ANALISIS SPASIOTEMPORAL KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KECAMATAN NGALIYAN BULAN JANUARI-MEI 2012
LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program strata-1 kedokteran umum
Muhammad Rizki Febrianto G2A 008 119
PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO TAHUN 2012
i
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN HASIL KTI
ANALISIS SPASIOTEMPORAL KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KECAMATAN NGALIYAN BULAN JANUARI-MEI 2012 Disusun oleh: Muhammad Rizki Febrianto G2A 008 119
Telah disetujui: Semarang, Agustus 2012
Dosen Pembimbing
Dr. dr. Winarto, Sp.MK, Sp.M(K), DMM NIP 19490617 19780 2 1001 Ketua Penguji
Penguji
Dr Purnomo Hadi, M.Si
Dr. Endang Sri Lestari, Ph.D
NIP 19601107 09881 1 1001
NIP 19661016 199702 2 001
ii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Yang bertanda tangan ini, Nama
: Muhammad Rizki Febrianto
NIM
: G2A008119
Alamat
: Jalan Ngaliyan Permai I/Blok H-5, Semarang
Mahasiswa
: Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas kedokteran UNDIP Semarang.
Dengan ini menyatakan bahwa, (a) Karya tulis ilmiah saya ini adalah asli dan belum pernah dipublikasi atau diajukan untuk mendapatkan gelar akademik di Universitas Diponegoro maupun di perguruan tinggi lain.
(b) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan orang lain, kecuali pembimbing dan pihak lain sepengetahuan pembimbing
(c) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan judul buku aslinya serta dicantumkan dalam daftar pustaka.
Semarang, 6 Agustus 2012 Yang membuat pernyataan,
Muhammad Rizki Febrianto
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan yang maha Esa, karena atas kasih dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan laporan akhir hasil penelitian karya tulis ilmiah dengan judul “Analisis Spasiotemporal Kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan pada Januari-Mei 20012”. Penelitiaan ini dilakukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat strata-1 kedokteran umum di Fakultas Kedokteran Umum Diponegoro Semarang. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Prof. Sudharto P Hadi, MES PhD, Rektor Universitas Diponegoro yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, meningkatkan ilmu pengetahuan dan keahlian. 2. Dr. Endang Ambarwati, Sp.KFR, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan keahliaan. 3. Dr. dr. Winarto, Sp.MK, Sp.M(K), DMM, dosen pembimbing karya tulis ilmiah yang telah membimbing penulis sehingga dapat membuat karya tulis ilmiah ini. 4. Dr. Purnomo Hadi, M.Si, ketua penguji karya tulis ilmiah yang telah memberikan saran atas perbaikan karya tulis ini.
iv
5. Dr. Endang Sri Lestari, Ph.D, penguji karya tulis ilmiah yang telah memberikan masukan atas perbaikan karya tulis ini. 6. Drs. Wijianto dan Winarsih, S.E. M.Si, kedua orang tua saya atas doa, perhatian, motivasi serta dukungan moril dan materil, sehingga karya tulis ilmiah ini selesai dibuat . Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mohon maaf apabila ada kekurangan. Besar harapan, semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Akhirnya, semoga Tuhan senantiasa memberikan berkat dan rahmat yang berlimpah bagi kita semua. Penulis
v
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………
i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….
ii
PERNYATAAN KEASLIAN…………………………………………….
iii
KATA PENGANTAR……………………………………………...........
iv
DAFTAR ISI……………………………………………………………….
vi
DAFTAR TABEL……………………………………………………….....
x
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………
xi
DAFTAR GRAFIK.............................................................................. ......
xii
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………..
xiii
ABSTRAK………………………………………………………...............
xiv
ABSTRACT………………………………………………………............
xv
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………..
1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………....... 1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………….. 5 1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………......... 6 1.3.1 Tujuan umum………………………………………………................... 6 1.3.2 Tujuan khusus………………………………………………………….. 6 1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………………... 6 1.5 Keaslian Penelitian……………………………………………………….. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………….. 9
vi
2.1 Demam Berdarah Dengue……………………………………………….. 9 2.1.1 Aspek Klinis DBD….…………………………………………………
9
2.1.2 Virus Dengue…………………………………………………...……..
12
2.1.3 Vektor DBD……………………………………………………………. 13 2.2 Analisis Spasiotemporal Kasus DBD Dengan Menggunakan SIG ……… 16 2.3 Faktor Risiko DBD……………….........................................................
18
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS… 21 3.1 Kerangka Teori……………………………………………………............. 21 3.2 Kerangka Konsep…………………………………………………………. 22 3.3 Hipotesis………………………………………………………………… 22 BAB 4 METODE PENELITIAN…………………………………………… 23 4.1 Ruang Lingkup Penelitian………………………………………………
23
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………….........
23
4.3 Jenis dan Rancangan Penelitian……………………………………….... 23 4.4 Populasi dan Sampel Penelitian………………………………..............
23
4.4.1 Populasi Target……………………………………………...............
23
4.4.2 Populasi Terjangkau……………………………………………........
23
4.4.3 Sampel Penelitian………………………………………………………. 24 4.4.4 Cara Pengambilan Sampel……………………………………………… 24 4.4.5 Besar Sampel……………...........………………………………….....
24
4.5 Variabel Penelitian……………………………………………...............
24
vii
4.5.1 Variabel Bebas………………………………………………………….. 24 4.5.2 Variabel Tergantung……………………………………………............. 25 4.6 Definisi Operasional…………………………………………………...... 25 4.7 Cara Pengumpulan Data…………………………………………….......
27
4.7.1 Bahan………………………………………………………………
27
4.7.2 Alat. ……………………………………………............................….
27
4.7.3 Jenis Data……………………………………………........…..............
27
4.7.4 Cara Kerja……………………………………………......…...............
28
4.8 Alur Penelitian……………………………………………...…...............
29
4.9 Pengolahan dan Analisis Data………………………..........…...............
30
4.10 Etika Penelitian………………………………………………............... 30 4.11 Jadwal Penelitian………………………………………………............ 31 BAB 5 HASIL PENELITIAN……………………………………………..
32
5.1 Analisis Sampel Kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan……………….
32
5.2 Analisis Deskritif Data Kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan………..
32
5.2.1 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin…………………..
32
5.2.2 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur……………….
33
5.3 Analisis Spasial Data Kasus DBD di Kecamatan Tembalang…………..
34
5.3.1 Distribusi Kasus DBD berdasarkan Wilayah Kelurahan……………..
34
5.3.2 Distribusi Kasus DBD berdasarkan Kepadatan Penduduk…………..
35
5.4 Analisis Temporal Data Kasus DBD di Kecamatan Tembalang……….
36
viii
5.4.1 Distribusi Kasus DBD berdasarkan Bulan Kejadian………………..
36
5.4.2 Distribusi Kasus DBD berdasarkan Curah Hujan……………………
38
5.4.3 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Suhu Rata-Rata........................
39
5.4.4. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelembaban Udara.................
39
BAB 6 PEMBAHASAN………………………………………………….
41
BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN………………………………………
45
7.1 Simpulan……………………………………………………………….
45
7.2 Saran…………………………………………………………………...
45
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….............. 48
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penelitian terdahulu..................................………………………. 8 Tabel 2 Definisi Operasional Variabel....................................................... 26 Tabel 3 Jadwal Penelitian..........................................................................
31
Tabel 4 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin......................
33
Tabel 5 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Umur Penderita.................... 34 Tabel 6 Distribusi Kasus DBD per Kelurahan............................................ 34 Tabel 7 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Bulan Kejadian.................... 37
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Perjalanan penyakit dengue……………….………………………….. 10 Gambar 2 Kriteria WHO untuk klasifikasi kasus dengue …………………….… 11 Gambar 3 Siklus hidup nyamuk…………………………………………………
14
Gambar 4 Kerangka teori……...................................……………………..……
21
Gambar 5 Kerangka konsep……...................................……………………..…
22
Gambar 6 Alur penelitian……………………………………………………….
29
Gambar 7 Distribusi Kasus DBD per Kelurahan............................................
35
Gambar 8 Distribusi Kasus DBD per Bulan.................................................. .......
37
xi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk……............
36
Grafik 2 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Curah Hujan…….........................
38
Grafik 3 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Suhu Rata-Rata……....................
39
Grafik 4 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelembaban Udara……................ 40
xii
DAFTAR SINGKATAN
ABJ
: angka bebas jentik
Bappeda
: badan perencanaan pembangunan daerah
BMKG
: badan meterologi, klimatologi dan geofisika
BPS
: badan pusat statistic
COMBI
: community behaviour impact
DBD
: demam berdarah dengue
DEN
: dengue virus
DKK
: dinas kesehatan kota
IR
: incidence rate
Jumantik
: juru pemantau jentik
KLB
: kejadian luar biasa
PJB
: pemantauan jentik berkala
PSN
: pemberantasan sarang nyamuk
SIG
: sistem informasi geografis
WHO
: world health organization
xiii
ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit DBD masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Hal ini karena DBD adalah penyakit dengan angka kesakitan dan kematian yang masih tinggi, terutama di Kecamatan Ngaliyan, Semarang. Oleh karena itu diperlukan surveilens pemetaan distribusi serta analisis spasial dan temporal kasus DBD untuk mengarahkan intervensi terbaik demi pencegahan penyakit DBD. Tujuan: Mendapatkan gambaran distribusi spasial dan temporal kasus DBD di kecamatan Ngaliyan. Metode: Penelitian dengan disain eksploratif menggunakan data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui GPS dengan output letak lintang dan bujur tempat tinggal penderita. Data sekunder didapatkan dari DKK Semarang, BMKG Kota Semarang, dan Bappeda Kota Semarang. Data diproses dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan ArcGis 9.2 Hasil: Penelitian ini mendapatkan 39 penderita DBD yang tinggal di Kecamatan Ngaliyan pada bulan Januari-Mei 2012. Terdiri dari 21 laki-laki dan 18 perempuan. Kelurahan Kalipancur merupakan kelurahan dengan insidensi DBD tertinggi (38,46%). Bulan Maret merupakan bulan dengan angka kasus DBD tertinggi (33,33%). Umur penderita berkisar 5 bulan-36 tahun dengan angka tertinggi pada kelompok umur 5-14 tahun (51,28%). Simpulan: Didapatkan adanya hubungan antara angka kejadian DBD dengan kepadatan penduduk serta didapatkan adanya pengelompokan kasus DBD di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi. Akan tetapi tidak didapatkan hubungan antara angka kejadian DBD dengan curah hujan, suhu rata-rata serta kelembaban udara. Pencegahan kasus DBD sebaiknya difokuskan pada aspek kebersihan lingkungan. Kata Kunci: DBD, analisis spasiotemporal, SIG
xiv
ABSTRACT
Background: DHF still causes public health problem with its social and economical impact. This is because DHF is a disease with high rate of morbidity and mortality especially in Ngaliyan district, city of Semarang. Therefore it is needed to do surveillance and distribution mapping of DHF case as well as doing spatial and temporal analysis to help directing the intervention within the context of prevention of the disease. Aim: To find out the spatial and temporal distribution of DHF cases in Ngaliyan sub district. Methods: It is an exsplorative research using both primary and secondary data. Primary data was the coordinate of patient’s residence which was obtained by the GPS. Secondary data were obtained from DKK Semarang, BMKG Kota Semarang, dan Bappeda Kota Semarang. Data were processed and analyzed by using Microsoft Excel 2007 and ArcGis 9.2 Results: Subjects of research were 39 DHF patients living in Ngaliyan district between January to May 20012. It consisted of 21 men and 18 women. Kalipancur sub district is the area with hghest prevalance of DHF (38.46%). March is the month where DHF prevalance is at its highest (33,33%). The age of subjects ranged between 5 months old to 36 years old with the highest prevalance is at the age group of 5-14 years old. Conclusion: There is a relationship between DHF prevalance and population density, moreover we found some grouping of DHF cases in area with high people density. However there is no relationship between DHF prevalance and rainfall rate, mean temperature, air humidity and population density. Prevention of DHF shall be focussed on environmental sanitation. Keywords: DHF, spasiotemporal analysis, GIS
xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue (DEN) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Nyamuk yang dapat menularkan virus ini adalah nyamuk Aedes aegyypti dan Aedes albopictus. Virus dengue secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok virus RNA dari genus Flavivirus dan family Flaviviridae, namun juga digolongkan ke dalam kelompok arthropode-borne virus (Arbovirus). Tedapat 4 jenis serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN4. Orang yang terinfeksi satu serotipe dengue akan kebal terhadap serotipe tersebut tapi tidak kebal terhadap serotipe yang lain. Keempat serotipe tersebut dapat ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe yang terbanyak.1 Penyakit DBD masih menjadi masalah sampai saat ini dengan tingginya angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) yang ditimbulkan. Menurut World Health Organization (WHO) insidensi infeksi dengue telah meningkat dengan sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir. WHO memperkirakan setiap tahunnya secara global terjadi sekitar 50-100 juta infeksi virus dengue dengan tingkat kematian sebesar 2.5% . Sampai saat
1
ini penyakit DBD telah endemis di 100 negara terutama pada negara-negara Amerika Latin, Afrika, Asia Selatan dan Tenggara.2 Indonesia termasuk negara endemis DBD yang setiap tahun selalu terjadi kejadian luar biasa (KLB) di berbagai kota. Sepanjang tahun 2008 saja dilaporkan sebanyak 137.469 kasus DBD di Indonesia dengan kematian sebesar 1.170 orang.3,4 Semarang merupakan salah satu kota di Indonesia yang endemis DBD dengan morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi serta menjadi kota dengan kasus DBD terbanyak kedua di Indonesia. Menurut data di Dinas Kesehatan Kota Semarang, pada tahun 2009 tercatat angka kasus DBD terbesar terjadi di Kota Semarang yang mencapai 2.905 jiwa, dengan korban meninggal sebanyak 34 jiwa. Pada tahun 2010, kasus DBD di Kota Semarang meningkat 100% mencapai 5.556 jiwa, dengan korban meninggal sebanyak 47 jiwa. Namun pada tahun 2011 terjadi penurunan kasus hanya menjadi 1303 kasus dengan kematian 10 jiwa. Tembalang dan Ngaliyan tercatat sebagai kecamatan endemis DBD di kota Semarang yang selalu menempati masing-masing urutan pertama dan kedua berdasarkan incidence rate (IR) dalam kasus DBD sejak 3 tahun terakhir.5,6,7 Dalam perspektif teori simpul pengendalian penyakit, kita mengenal 4 macam simpul yaitu simpul 1 atau pengendalian pada sumber penyakit, simpul 2 atau pengendalian pada media transmisi atau lingkungan, simpul 3 atau pengendalian pada komunitas/masyarakat dan simpul 4 atau pengobatan
2
pada penderita. Cara paling efektif untuk menurunkan kasus DBD adalah dengan melakukan manajemen pada simpul 2 dan 34 karena manajemen pada simpul 1 dan 4 dipastikan belum mungkin dilakukan mengingat belum ditemukannya anti virus dengue dan vaksin terhadap virus ini, serta belum adanya alat diagnostik dini yang cepat dan presisi untuk mendeteksi antigen virus dengue di dalam tubuh. Faktor lingkungan dalam kasus infeksi dengue terbagi menjadi faktor yang dapat dimodifikasi dan yang tidak. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain ketinggian daerah,8 suhu permukaan,8,9 curah hujan,9,10
dan
kelembaban.9 Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi antara lain keberadaan sampah3, tempat penampungan air yang tidak dibersihkan3 serta tanaman yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk10. Pemerintah telah gencar menggalakkan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) sebagai bentuk manajemen pada simpul 2. Kegiatan PSN yang paling utama adalah dalam bentuk 3M plus, yaitu menutup tempat penampungan air, menguras bak mandi, mengubur barang-barang bekas dan menggunakan repellent. Selain itu PSN juga dapat dilakukan dalam bentuk fogging serta penggunaan larvasida pada tempat yang terdapat jentik nyamuk. Manajemen pada simpul 3 juga telah dilakukan pemerintah untuk menopang kegiatan manajemen pada simpul 2, seperti dilakukannya proyek Community Behaviour Impact (COMBI) serta meningkatkan peranan masyarakat dalam
3
melakukan PSN dengan melakukan pemantauan jentik berkala (PJB) oleh juru pemantau jentik (Jumantik). Banyak usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya menurunkan kasus DBD, namun angka kejadian DBD di kota Semarang masih tinggi dan terus bertambah setiap tahunnya. Saat ini yang biasanya dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang adalah pengolahan register kasus DBD dan analisis sebaran kasus. Registrasi kasus DBD diolah dalam bentuk tubuler, grafik, dan pemetaan, sedangkan sebaran kasus dipetakan dalam kelurahan, kecamatan, dan puskesmas. Registrasi kasus DBD seharusnya menjadi lebih bermanfaat apabila dipetakan berbasis alamat penderita, sehingga dapat dilihat sebaran secara geografis dalam layer peta melalui analisis spasiotemporal.11 Salah satu cara terbaik yang bisa dilakukan guna merancang program pemberantasan dan pencegahan DBD yang lebih baik adalah dengan melakukan analisis spasiotemporal dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG adalah suatu sistem informasi yang mengelola data yang memiliki informasi spasial bereferensi keruangan. Kemampuan SIG untuk memetakan penyakit berbasis alamat penderita bermanfaat dalam melihat sebaran penyakit sehingga mampu mengidentifikasi daerah yang berisiko tinggi.10,11,12 Selain itu, dilakukannya analisis spasiotemporal memungkinkan suatu penyakit untuk dilihat dari berbagai konteks sehingga diharapkan
4
mampu dilakukan perencanaan yang lebih baik dalam memberantas dan mencegah suatu penyakit. Penelitian mengenai analisis spasiotemporal dan faktor risiko kasus DBD pernah dilakukan oleh Yusnia11 (2009) di kecamatan Tembalang, namun penelitian serupa belum pernah dilakukan di kecamatan Ngaliyan. Mengingat tingginya kasus DBD di kecamatan Ngaliyan yang menempati urutan kedua di kota Semarang, maka penelitian tentang analisis spasiotemporal kasus DBD di kecamatan Ngaliyan secara ilmiah perlu dilaksanakan. Penelitian ini diharapkan mampu mendapatkan gambaran spatial dan temporal kasus DBD, mengidentifikasi faktor risiko perilaku, demografi, dan geografi terhadap penyebaran DBD sehingga dapat memberi petunjuk dimana intervensi kesehatan masyarakat yang efektif harus diterapkan dalam tindakan pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD yang lebih baik, sehingga angka kejadian penyakit DBD di kecamatan Ngaliyan dapat turun.
1.2
Rumusan Masalah Bagaimanakah gambaran distribusi spasial dan temporal kasus DBD di kecamatan Ngaliyan?
5
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Mendapatkan gambaran distribusi spasial dan temporal kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan.
1.3.2
Tujuan khusus a. Mendapatkan prevalensi DBD, kondisi geografis, dan sebaran alamat pasien penderita DBD di kecamatan Ngaliyan. b. Mendapatkan faktor-faktor risiko keruangan berupa kondisi geografis, faktor demografi, dan faktor perilaku yang meningkatkan prevalensi DBD di Kecamatan Ngaliyan.
1.4
Manfaat Penelitian a. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pembuat kebijakan, serta masyarakat mengenai gambaran distribusi spasial dan temporal kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan. b. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pembuat kebijakan mengenai prediksi arah/trend perkembangan wabah DBD. c. Memberikan informasi ilmiah kepada Dinas Kesehatan dan masyarakat mengenai faktor risiko keruangan yang meningkatkan prevalensi DBD.
6
d. Memberikan bahan pertimbangan kepada pemerintah selaku pembuat kebijakaan dalam menentukan intervensi kesehatan yang tepat yang berkaitan dengan kasus DBD.
1.5
Keaslian Penelitian Penelitian ini membahas tentang analisis spasiotemporal kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang pada Januari-Juni 2012. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan data primer yang berupa koordinat rumah tinggal pasien DBD dan keberadaan sarang nyamuk serta data sekunder berupa alamat, usia, jenis kelamin pasien, angka bebas jentik (ABJ), kepadatan penduduk, curah hujan, suhu, dan kelembaban daerah pada bulan Januari-Juni tahun 2012. Penelitian akan dilakukan di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang dimana sebelumnya belum pernah ada penelitian mengenai hal ini. Penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nazri et al8, Daud O13, Yusnia S10 dan Wahyono TYM et al3. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada waktu dan tempat penelitian. Berikut adalah penelitian-penelitian terdahulu yang terangkum dalam Tabel 1.
7
Tabel 1. Penelitian Terdahulu Penelitian Terdahulu Nazri CD, Rodziah I, Hashim A8
Judul Distribution pattern of a dengue fever outbreak using GIS
Tempat dan Metode Waktu Subang Cross Jaya, sectional Malaysia. 2006
Hasil Daerah resiko KLB DBD berhubungan dengan daerah kepadatan penduduk yang tinggi, dataran rendah, dan suhu yang tinggi
Daud O19
Studi epidemiologi kejadian penyakit demam berdarah dengue dengan pendekatan spatial sistem informasi geografis di Kecamatan Palu Selatan Kota Palu
Kecamatan Cross Palu Selatan, sectional Kota Palu. 2004-2006
Didapatkan hubungan antara kepadatan penduduk, suhu dan kelembaban udara serta angka bebas jentik (ABJ) dengan kejadian DBD.
Yusnia S10
Analisis spasiotemporal kasus DBD di kecamatan Tembalang bulan Januari-Juni 2009
Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Januari-Juni 2009
Cross sectional
Kasus DBD dipengaruhi oleh curah hujan, tanaman sekitar rumah, dan kepadatan penduduk. Terdapat kecenderungan pengelompokan kasus DBD saat curah hujan tinggi dan penyebaran kasus DBD saat curah hujan rendah.
Wahyono TYM, Haryanto B, Mulyono S, Adiwibowo A3
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dan upaya penanggulangannya di kecamatan Cimanggis, Depok Jawa Barat
Kecamatan Cimanggis Depok Jawa Barat. 20032007
Studi assesment; deskriptif dan case control, Studi Analisis model spasial; cross sectional.
Terjadi trend peningkatan kejadian DBD pada bulan Januari-April setiap tahunnya. Kejadian DBD berhubungan dengan jenis kelamin, pencahayaan dan ventilasi ruangan.
8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1
Aspek Klinis DBD Dengue merupakan suatu penyakit infeksi dengan spektrum klinik yang sangat luas dan beragam serta sering tidak bisa diprediksi. Sebagian besar populasi yang terinfeksi virus dengue hanya mengalami penyakit dengan gejala yang ringan dan self-limiting, namun ada sebagian kecil populasi dengan perjalanan penyakit yang berlanjut sampai ke tingkat yang sangat parah. Secara umum semua penderita, baik dengan gejala yang ringan maupun berat, memiliki virus dengue yang bersirkulasi dalam darah. Perjalanan penyakit dengue, setelah masa inkubasi, bisa dibagi kedalam 3 fase; fase akut/febril, kritis dan penyembuhan.4,14 Pada tahun 1997 WHO mengeluarkan suatu kriteria yang membagi infeksi virus dengue menjadi infeksi symptomatic dan asymptomatic, dimana infeksi symptomatic selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi 3 kelompok, yaitu demam yang tidak terdifferensiasi (undifferentiated fever), demam dengue dan demam berdarah dengue. Terakhir, DBD dikelompokkan lagi menurut beratnya gejala dari grade I-IV dengan grade III dan IV dinamakan sebagai dengue shock syndrome (DSS).(WHO).4,14 Pada tahun 2009 WHO
9
memperbaharui kriteria diatas dikarenakan adanya temuan di lapangan yang kurang sesuai dengan panduan dari WHO. Banyak ditemukan kasus dengue berat yang tidak memenuhi kriteria seperti yang dikemukakan WHO dikarenakan manifestasi klinis penyakit ini yang sangat luas. Oleh karena itu WHO menyepakati kriteria baru pada tahun 2009. Kriteria ini membagi infeksi dengue menjadi 3 macam; dengue tanpa tanda bahaya, dengue dengan tanda bahaya dan dengue berat.14,15 Dinas Kesehatan Kota Semarang masih menggunakan kriteria WHO tahun1997 dalam melakukan pendataan penderita DBD, sehingga yang dimaksud penderita DBD oleh DKK Semarang adalah pasien DBD dan DSS.
Suhu (oC) Masa kritis 40
39
38
Masa penyembuhan
Masa inkubasi 5-9 hari Masa akut 1-4 hari
37
36 1
2
3
4
5
Gambar 1. Perjalanan penyakit dengue
10
6
7
8
Hari
Gambar 2. Kriteria WHO untuk klasifikasi kasus dengue14 Pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif. Pengobatan didasarkan atas adanya perembesan plasma dan perdarahan yang merupakan gejala utama DBD dan dapat mengakibatkan syok hipovolemik, anoksia dan akhirnya mengakibatkan kematian. Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu yang biasanya terjadi pada hari ke tiga dan kelima, sehingga dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemberian cairan plasma dan tranfusi darah dilakukan untuk mengatasi syok, namun
11
harus dilakukan atas indikasi yang tepat. Untuk mengatasi demam dapat digunakan obat penurun panas16 2.1.2
Virus Dengue Virus dengue secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok virus RNA dari genus Flavivirus dan family Flaviviridae, namun secara khusus juga digolongkan ke dalam kelompok arthropode-borne virus (Arbovirus). Tedapat 4 jenis serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempat serotipe tersebut dapat ditemukan bersirkulasi bebas di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe yang terbanyak. Orang yang terinfeksi satu serotipe dengue akan kebal terhadap serotipe tersebut seumur hidup tetapi tidak kebal terhadap serotipe yang lain.1 Tingkat keparahan infeksi dengue terhadap manusia bersifat multifaktorial tergantung dari interaksi serotipe yang berbeda dengan latar belakang imunitas seseorang yang berbeda pula satu dengan yang lain. Hal yang sering diduga menimbulkan respon infeksi yang parah adalah respon imun terhadap beberapa serotip yang berbeda (cross-serotypic immune response), yang sering terjadi pada orang yang menderita infeksi kedua oleh serotipe virus yang berbeda. Teori yang dipercayai melatarbelakangi hal ini adalah adanya mekanisme antibody-dependent enhancement (ADE). Antibodi dari serotipe yang lama akan ikut campur dalam reaksi imun terhadap serotipe
12
yang baru sehingga memfasilitasi masuknya lebih banyak virus ke dalam tubuh host.17 2.1.3
Vektor DBD Penyakit DBD di Indonesia ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan nyamuk Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Hanya nyamuk betina yang menularkan penyakit DBD karena hanya nyamuk betina yang menghisap darah. Nyamuk yang menghisap darah manusia yang mengandung virus dengue akan menyebabkan virus berkembang biak di dalam tubuh nyamuk dan dapat ditularkan ke tubuh manusia yang digigit. Kedua nyamuk tersebut merupakan tipe nyamuk yang tinggal di daerah pemukiman. Keduanya memiliki fase pra-dewasa yang berkembang biak di tempat penampungan air yang jernih. Aedes Aegypti lebih banyak ditemukan berkembangbiak di tempat penampungan air bersih buatan manusia yang stagnan seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung, dan barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang pada waktu hujan terisi air serta biasanya di tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan Aedes albopictus lebih jarang kita temukan karena nyamuk ini hidup di daerah pinggiran kota atau pedesaan dan berkembang biak dihabitat perkebunan terutama pada kelopak daun, lubang pohon atau pangkal bambu yang sudah dipotong sehingga biasanya jarang terpantau di lapangan.1,18
13
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dimulai ketika nyamuk betina meletakkan telurnya pada permukaan air. Larva menetas ketika telur terkena air. Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar 1 ke instar 4 memerlukan waktu sekitar 4-5 hari, setelah mencapai instar 4, larva berubah menjadi pupa dan bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya menjadi imago atau nyamuk dewasa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 8-10 hari dalam suhu kamar, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.19 Telur mampu bertahan selama berbulan-bulan dalam kondisi tidak ada air dan bahkan mampu mengalami diapause atau penundaan pertumbuhan akibat kondisi lingkungan yang tidak mendukung.14
Gambar 3. Siklus hidup nyamuk19
14
Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus mempunyai sifat-sifat khas yang secara langsung mempengaruhi tingkat infeksi virus dengue. Nyamuk bersifat anthropophilic yang berarti lebih suka menghisap darah manusia. Kemudian nyamuk hanya dapat hidup di daerah yang memiliki ketinggian tidak lebih dari 1000 m dari permukaan laut. Nyamuk bersifat diurnal atau aktif menghisap darah dari pagi sampai petang, dengan 2 puncak waktu aktif yaitu pada pukul 08.00-10.00 dan 15.00-17.00 serta lebih sering menghisap di luar daripada dalam ruangan.14,18 Studi mengenai performa terbang nyamuk menunjukkan bahwa nyamuk betina hanya menghabiskan masa hidupnya di dalam dan sekitar rumah dan hanya memiliki jarak terbang rata-rata sejauh 100 m. Hal ini menunjukkan bahwa bukan nyamuk, namun mobilitas dari manusia itu sendiri, yang lebih berperan dalam perpindahan virus dengue secara cepat dari satu tempat ke daerah yang lain.14 Selain itu kedua spesies ini juga bersifat multiple feeding yang berarti nyamuk menghisap darah sampai beberapa kali sampai merasa kenyang. Sifat inilah yang meningkatkan risiko penularan virus dengue dikarenakan 1 individu nyamuk infektif mampu menularkan virus ke beberapa orang dalam jarak terbangnya.20 Di satu sisi, nyamuk yang terinfeksi virus dengue akan mengalami
penurunan
kemampuan
menusuk
sehingga
meningkatkan
frekuensi kontak dengan host dan meningkatkan risiko penularan virus
15
terhadap host,1 sehingga semakin padat suatu daerah semakin rentan daerah tersebut terhadap infeksi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus antara lain curah hujan, temperatur, musim dan ketinggian. Curah hujan yang meninggi pada musim penghujan menjadikan terciptanya lebih banyak genangan air yang mampu dijadikan tempat perkembangan nyamuk, tetapi suhu yang meninggi pada musim kemarau mempercepat siklus hidup nyamuk dan memperbanyak produksi telur yang siap berkembang ketika musim penghujan tiba. Faktor lain yang mempengaruhi antara lain adanya genangan air bersih baik yang alami (dedaunan, pohon, dll) maupun buatan (bak mandi, tempat penampungan air, dll) dan keberadaan sampah seperti ban bekas dan kaleng bekas yang terdapat genangan air di dalamnya. Indikator adanya larva nyamuk dalam tempat penampungan air digambarkan dalam ABJ, dimana semakin tinggi ABJ maka semakin sedikit larva nyamuk yang ada di dalam tempat penampungan air.
2.2
Analisis Spasiotemporal kasus DBD dengan Menggunakan SIG Analisis spasiotemporal adalah analisis yang dilakukan dengan melihat faktor keruangan (spasial) dan waktu. Sedangkan SIG adalah sistem informasi khusus untuk mengelola data yang memiliki informasi spasial bereferensi keruangan.10 SIG mampu mengumpulkan, menyimpan, mentransformasikan,
16
menampilkan, memanipulasi, memadukan, dan menganalisa data yang bersifat spasial dan mampu mengintegrasikan dengan data tekstual yang diambil di lapangan. Dengan SIG data dapat dikelola dan dimanipulasi untuk dilakukan analisis secara menyeluruh untuk selanjutnya hasil dapat ditampilkan dalam berbagai format yang diinginkan, baik dalam bentuk peta maupun berupa tabel.21 Sebagai suatu sistem informasi, SIG sangat berguna terutama dalam pengambilan keputusan perencanaan dan pengelolaan berbagai macam hal, termasuk dalam dunia kesehatan. Dalam dunia kesehatan SIG merupakan alat yang sangat penting untuk membantu menganalisis kondisi suatu daerah terhadap suatu penyakit karena mampu memetakan penyebaran penyakit serta melakukan kegiatan surveilens kesehatan masyarakat yang lain.11,22 Dalam kasus DBD, analisis data spasial mampu menunjukkan adanya faktor-faktor keruangan yang berpengaruh terhadap angka kejadian penyakit sehingga memberi petunjuk dimana intervensi kesehatan masyarakat yang efektif harus diterapkan. Sedangkan analisis terhadap waktu mampu menunjukkan perjalanan waktu faktor-faktor keruangan tersebut sehingga memberi petunjuk kapan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif dapat diterapkan, namun selain itu juga mampu untuk mempelajari perjalanan penyakit sehingga mampu memprediksi kapan terjadi kejadian luar biasa (KLB) dan daerah mana saja yang akan terkena. Oleh karena itu,
17
dilakukannya analisis spasiotemporal kasus DBD dengan menggunakan SIG dapat dijadikan sebagai alat bantu bagi pembuat kebijakan dalam perencanaan pemberantasan dan pencegahan kasus DBD di masing-masing daerah.
2.3
Faktor risiko DBD Faktor risiko DBD dapat dikategorikan menjadi 3 macam yaitu individu, perilaku dan lingkungan. 1.
Individu Faktor risiko individu antara lain jenis kelamin, umur, status gizi dan imunitas. Studi Daud O20 dan Wahyono et al3 menyatakan bahwa infeksi dengue paling banyak terjadi pada anak usia sekolah. Dari hasil ini dapat dicurigai bahwa mungkin saja infeksi berlangsung di sekolah. Studi Wahyono et al3 menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan angka kejadian DBD. Status gizi berkorelasi positif dengan imunitas. Semakin baik imunitas seseorang, semakin mampu orang tersebut menangkal infeksi virus dengue.
2.
Perilaku Faktor perilaku yang dapat menjadi faktor risiko antara lain perilaku melakukan PSN dengan 3M yaitu menguras bak mandi dan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air dan menyingkirkan sampah dan barang bekas yang berpotensi menjadi genangan air.
18
Menguras bak mandi yang benar adalah minimal seminggu sekali dimana hal ini berkaitan dengan siklus hidup nyamuk yang rata-rata butuh 9 hari dari telur untuk menjadi nyamuk dewasa. Menguras bak mandi dimaksudkan untuk membasmi jentik nyamuk. Menutup tempat penampungan air dimaksudkan agar tidak ada nyamuk yang mampu masuk ke dalam air dan meletakkan telurnya. ABJ dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan 3M terutama dalam menguras bak mandi serta menguras dan menutup tempat penampungan air. Selain hal tersebut di atas, cara-cara seperti melakukan fogging, memakai repellent, abatisasi dan pemberian predator biologis (ikanisasi) juga mempengaruhi
angka
kejadian
DBD
karena
cara-cara
tersebut
dimaksudkan untuk membunuh nyamuk, walaupun telah terbukti bahwa PSN merupakan cara yang paling baik dalam melakukan kontrol terhadap vektor nyamuk Perilaku manusia yang juga berpengaruh adalah mobilitas yang tinggi dari manusia. Seperti yang diketahui bahwa nyamuk betina hanya menghabiskan masa hidupnya di dalam dan sekitar rumah dan hanya memiliki jarak terbang rata-rata sejauh 400 m. Hal ini menunjukkan bahwa bukan nyamuk, namun mobilitas dari manusia itu sendiri, yang lebih berperan dalam perpindahan virus dengue secara cepat dari satu tempat ke daerah yang lain. Kepadatan penduduk juga merupakan faktor
19
yang berpengaruh karena semakin padat suatu daerah semakin mudah bagi nyamuk untuk berinteraksi dengan host. 3.
Lingkungan. Faktor risiko lingkungan dapat dibagi menjadi lingkungan eksternal dan internal. Lingkungan eksternal antara lain curah hujan, temperatur, kelembaban, suhu, musim dan ketinggian dimana faktor-faktor ini mempengaruhi siklus hidup dan perkembangan nyamuk. Faktor lingkungan internal adalah lingkungan yang ada di sekitar rumah seperti adanya pakaian yang digantung, tanaman yang mampu menjadi tempat perindukan nyamuk dan adanya sampah.3 Kesemuanya mempunyai potensi untuk menjadi tempat sarang nyamuk.
20
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Teori Ketinggian
Fogging
Suhu
Repellent
Kelembaban
Abatisasi Ikanisasi
Curah hujan
3M
Musim
Angka bebas jentik
Angka kejadian DBD
Kepadatan penduduk
Mobilitas penduduk
Sarang nyamuk
Imunitas Status gizi Jenis kelamin Usia Gambar 4. Kerangka teori
21
3.2 Kerangka Konsep Kepadatan penduduk
Suhu Kelembaban
Angka kejadian DBD
Curah hujan
Jenis kelamin Usia
Gambar 5. Kerangka konsep
3.3 Hipotesis Gambaran spasial dan temporal kasus DBD dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, suhu, kelembaban, curah hujan, dan kepadatan penduduk.
22
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian meliputi bidang ilmu Mikrobiologi, Epidemiologi dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Juli 2012.
4.3 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian merupakan penelitian eksploratif.
4.4 Populasi dan Sampel Penelitian 4.4.1 Populasi Target Populasi penelitian adalah penderita Demam Berdarah yang tinggal di Kecamatan Ngaliyan. 4.4.2 Populasi Terjangkau Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita Demam Berdarah yang tinggal di Kecamatan Ngaliyan dan tercatat di register DKK Semarang.
23
4.4.3 Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah penderita Demam Berdarah yang tinggal di Kecamatan Ngaliyan dengan kriteria sebagai berikut ; a. Kriteria Inklusi : 1. Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kriteria klinis WHO 1999 2. Tercatat pada bulan Januari-Mei 2012 b. Kriteria Ekslusi : 1. Alamat penderita tidak ditemukan. 2. Data tidak lengkap 4.4.4 Cara Pengambilan Sampel Sampel penelitian diambil dengan metode total sampling dari penderita DBD yang tercatat pada DKK Semarang bulan Januari-Mei 2012. 4.4.5 Besar Sampel Besar sampel penelitian ini adalah seluruh penderita DBD yang tinggal di Kecamatan Ngaliyan dan tercatat di register DKK Semarang bulan Januari-Mei 2012.
24
4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Variabel Bebas 1. Usia penderita DBD 2. Jenis Kelamin penderita DBD 3. Suhu 4. Kelembaban 5. Curah hujan 6. Kepadatan penduduk
4.5.2 Variabel Tergantung Angka kejadian DBD
4.6
Definisi operasional
Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Penelitian No.
Variabel
Unit
Skala
1.
Usia penderita Data usia diukur berdasarkan tahun. Data tersebut termasuk data sekunder yang didapat berupa usia penderita DBD yang tercatat di register DKK Semarang bulan Januari-Juni 2012.
Persen
Rasio
2.
Jenis kelamin Jenis kelamin diukur berdasarkan apakah pasien tersebut laki-laki atau perempuan. Data tersebut termasuk data sekunder yang didapat berupa jenis kelamin penderita DBD yang tercatat diregister DKK Semarang bulan Januari-Mei 2012
Persen
Nominal
25
Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Penelitian (Lanjutan) No.
Variabel
Unit
Skala
3.
Suhu Suhu merupakan suhu permukaan tanah. Data kemudian dibandingkan dengan angka kejadian DBD. Data merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Semarang
Derajat celcius
Interval
4.
Kelembaban Data kelembaban dibandingkan dengan angka kejadian DBD. Data merupakan data sekunder yang diperoleh dari BMKG Kota Semarang
Persen
Rasio
5.
Curah hujan Data curah hujan dibandingkan dengan angka kejadian DBD. Data merupakan data sekunder yang diperoleh dari BMKG Kota Semarang
Milimiter kubik
Rasio
6.
Kepadatan penduduk Letak tempat tinggal penderita DBD apakah terletak di wilayah dengan kepadatan yang tinggi. Data kasus DBD dipetakan dengan layer kepadatan penduduk. Data kepadatan penduduk Kecamatan Ngaliyan merupakan data sekunder didapat dari Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kota Semarang.
kepadatan tiap kelurahan per km2
Rasio
7.
Angka kejadian DBD kejadian kasus DBD yang diderita penduduk Kecamatan Ngaliyan dengan diagnosis klinis positif dan dengue blot positif. Data didapatkan dalam bentuk data sekunder yang tercatat diregister DKK Semarang bulan Januari-Juni 2012.
Angka kejadian DBD per bulan
Rasio
26
4.7. Cara Pengumpulan Data 4.7.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar data pasien yang diperoleh dari DKK Semarang serta layer peta Kota Semarang sebagai dasar menentukan letak bujur dan lintang tempat tinggal pasien DBD. Peta ini diperoleh dari Bappeda Kota Semarang. 4.7.2 Alat Alat yang dipakai dalam penelitian ini adalah GPS portable Garmin Nuvi, Alat ini sudah ditera dan digunakn untuk menentukan letak bujur dan lintang rumah pasien DBD. 4.7.3 Jenis Data 1. Data primer Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah koordinat dari tempat tinggal penderita. 2. Data sekunder Data sekunder dalam penelitian ini adalah : a. Alamat, usia, dan jenis kelamin penderita DBD yang diperoleh dari register DKK Semarang bulan Januari-Mei 2012. b. Kepadatan penduduk dalam bentuk data kepadatan penduduk per kelurahan di Kecamatan Ngaliyan yang diperoleh dari Bappeda Kota Semarang tahun 2012
27
c. Curah hujan, suhu, dan kelembaban yang diperolah dari BMKG Kota Semarang bulan Januari-Mei 2012. 4.7.4 Cara Kerja Langkah pertama adalah melakukan pengumpulan data sekunder di register DKK berupa nama, alamat, jenis kelamin dan usia penderita DBD di Kecamatan Ngaliyan selama rentang waktu Januari-Mei 2012. Selanjutnya pengumpulan data primer dilakukan dengan mengadakan kunjungan langsung ke rumah pasien DBD, kemudian peneliti mencatat koordinat dari alamat penderita DBD menggunakan GPS. Untuk keadaan geografi peneliti menggunakan data sekunder dari Bappeda Kota Semarang mengenai angka kepadatan penduduk perkelurahan tahun 2012 dan BMKG Kota Semarang mengenai curah hujan, suhu dan kelembaban bulan Januari-Mei 2012.
28
4.8 Alur Penelitian
Kasus DB (Data Sekunder DKK)
BMKG
Curah hujan, Suhu, Kelembaban
Bappeda
Alamat penderita
Kepadatan penduduk
wilayah,
Usia, Jenis kelamin
Penentuan letak
penderita, Angka
ordinat
kejadian DBD
Angka kejadian DBD
Gambar 6. Alur penelitian
29
4.9
Pengolahan dan Analisis Data Data diproses dengan menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan Arc GIS 9.2. Faktor-faktor demografi dianalisis dengan Microsoft Excell 2007 untuk mengetahui hubungan antar variabel. Data primer yang berupa koordinat tempat tinggal penderita dipetakan menggunakan software ArcView GIS 3.3 kemudian dilakukan analisis spasial dan temporal.
4.10 Etika Penelitian 1.
Penelitian ini telah dilakukan dan telah mendapatkan ijin Ethical Clearance dari Komisi Etika Penelitian Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/Rumah Sakit Dokter Kariadi.
2.
Seluruh biaya yang berhubungan dengan penelitian ditanggung oleh peneliti.
30
4.11 Jadwal Penelitian Tabel 3. Jadwal Penelitian Bulan keKegiatan Persiapan penelitian Pengumpulan data para penderita penyakit DB di DKK Melakukan kunjungan ke rumah sampel penelitian. Survey ke BMKG Survey ke Bappeda Melakukan pemetaan dan analisa spasiotemporal Pembuatan laporan akhir
31
1
2
3
4
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1. Analisis Sampel Kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan Penelitian ini menggunakan data penderita Demam Berdarah yang tercatat di register DKK Semarang bulan Januari-Mei 2012 dan bertempat tinggal di Kecamatan Ngaliyan yang diambil dengan metode total sampling. Pengambilan data sekunder berupa angka bebas jentik tidak dapat dilakukan karena data yang ada di DKK Semarang tidak lengkap. Pengambilan data berupa sarang nyamuk juga tidak dilakukan dikarenakan belum adanya kriteria yang mampu menentukan tingkat positivitas sarang nyamuk secara kuantitatif. Berdasarkan register DBD DKK Semarang, tercatat 60 kasus demam berdarah di Kecamatan Ngaliyan pada bulan Januari-Mei 2012. Adapun dari jumlah kasus DBD tersebut terdapat 39 kasus yang memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 11 kasus yang dieksklusi karena diagnosa pasien adalah DD (Demam Dengue), 5 kasus dieksklusi karena pasien tidak menderita DBD setelah dilakukan penyelidikan epidemiologik oleh petugas DKK Semarang, kemudian 3 kasus dieksklusi karena tercatat ganda, 1 kasus dieksklusi karena alamat tidak ditemukan serta 1 kasus lagi dieksklusi karena penderita tidak berdomisili di Semarang.
32
5.2. Analisis Deskriptif Data Kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan 5.2.1
Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin Kasus DBD lebih banyak ditemukan pada laki-laki 21 kasus DBD (52,2%) daripada perempuan 18 kasus DBD (47,8%) pada distribusi kasus DBD berdasarkan jenis kelamin (tabel 4).
Tabel 4. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
5.2.2
Frekuensi
Persentase (%)
21 18 39
53,8 46,2 100
Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur Penderita DBD yang tercatat pada register DBD Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang bulan Januari-Mei 2012 memiliki rentang usia 5 bulan sampai 36 tahun. Kelompok umur 5-14 tahun merupakan kelompok umur kejadian DBD terbanyak dengan 20 kasus DBD (51.28 %), sedangkan penderita paling sedikit kelompok umur 0-4 tahun dengan 9 kasus DBD (23.08 %) (tabel 5).
33
Tabel 5. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Umur Penderita Kelompok Umur (Tahun) 0-4 5-14 >15 Jumlah
Jumlah Kasus 9 20 10 39
Persentase (%) 23.08 51.28 25.64 100
5.3. Analisis Spasial Data Kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan 5.3.1. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Wilayah Kelurahan Wilayah dengan kasus DBD terbanyak adalah Kelurahan Kalipancur dengan 15 kasus DBD (31,22%), sedangkan jumlah kasus DBD paling sedikit adalah Kelurahan Gondoriyo, Podorejo, Wates dan Bambankerep dengan tidak ada kasus DBD (0 %). Distribusi kasus DBD berdasarkan wilayah kelurahan terdapat pada tabel 6 dan gambar 7. Tabel 6. Jumlah Kasus DBD per Kelurahan Kelurahan
Jumlah Kasus
Persentase (%)
Kalipancur Wonosari Tambakaji Ngaliyan Beringin Purwoyoso Bambankerep Gondowiryo Podorejo Wates Jumlah
15 11 5 4 3 1 0 0 0 0 39
38,46 28,20 12,82 10,27 7,69 2,56 0 0 0 0 100
34
Gambar 7. Distribusi Kasus DBD per Kelurahan
5.3.2. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk Terdapat 2 kelurahan padat penduduk, yaitu Kelurahan Kalipancur dan Tambakaji, dimana kasus DBD terpusat disana. Distribusi kasus DBD berdasarkan kepadatan penduduk terdapat pada grafik 1.
35
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Kepadatan Penduduk Jumlah Kasus DBD
Grafik 1. Distribusi kasus DBD berdasarkan kepadatan penduduk. Berdasarkan grafik 1 terlihat bahwa kasus DBD berbanding lurus dengan kepadatan penduduk.
5.4. Analisis Temporal Data Kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan 5.4.1. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Bulan Kejadian Kasus DBD tercatat paling banyak pada bulan Maret dengan 13 kasus DBD (25,9%), sedangkan paling sedikit pada bulan Mei dengan 5 kasus DBD (7,3%) selama bulan Januari-Mei 2012. Distribusi kasus DBD berdasarkan bulan kejadian terdapat pada gambar 8 dan tabel 8.
36
Tabel 8. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Bulan Kejadian Bulan Kejadian Januari Februari Maret April Mei Jumlah
Jumlah Kasus
Persentase (%)
6 8 13 7 5 39
15,38 20,52 33,33 17,95 12,82 100
Januari (6)
April (7)
Februari (8)
Mei (5)
Maret (13)
Gambar 8. Distribusi Kasus DBD per Bulan
Berdasarkan gambar 8 tidak terlihat pengelompokan kasus pada semua bulan.
37
5.4.2. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jumlah Total Curah Hujan Kasus DBD tercatat paling banyak pada bulan Maret dengan 13 kasus DBD (33,33 %) dengan jumlah total curah hujan 254,5 mm3, sedangkan paling sedikit bulan Mei dengan 5 kasus DBD (12,82 %) dengan jumlah total curah hujan 114 mm3 selama bulan Januari-Mei 2012 (grafik 2). 600 500 400 300 200 100 0 Jumlah Kasus DBD
Jumlah Total Curah Hujan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
6
8
13
7
5
568,1
383,6
254,5
101,5
114
Grafik 2. Distribusi kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan bulan Januari-Mei 2012 berdasarkan jumlah total curah hujan. Berdasarkan grafik 2 terlihat bahwa kasus DBD tidak berhubungan dengan curah hujan. 5.4.3 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Suhu Rata-Rata Kasus DBD tercatat paling banyak pada bulan Maret dengan 13 kasus DBD (33,33 %) dengan suhu rata-rata 27.4 oC, sedangkan paling sedikit bulan Mei dengan 5 kasus DBD (12,82 %) dengan suhu rata-rata 28.6 oC selama bulan Januari-Mei 2012 (grafik 3).
38
35 30 25 20 15 10 5 0 Jumlah Kasus DBD Suhu Rata-Rata
Januari
Februari
Maret
April
Mei
6
8
13
7
5
26,8
27,1
27,4
28,6
28,6
Grafik 3. Distribusi kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan bulan Januari-Mei 2012 berdasarkan suhu rata-rata Berdasarkan grafik 3 terlihat bahwa kasus DBD tidak berhubungan dengan suhu rata-rata. 5.4.4. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelembaban Udara Kasus DBD tercatat paling banyak pada bulan Maret dengan 13 kasus DBD (33,33 %) dengan kelembaban udara 79.0 %, sedangkan paling sedikit bulan Mei dengan 5 kasus DBD (12,82 %) dengan kelembaban udara 71.1 % selama bulan Januari-Mei 2012 (grafik 4).
39
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Jumlah Kasus DBD
6
8
13
7
5
Kelembaban Udara
83,5
81,1
79
73
71,1
Grafik 4. Distribusi kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan bulan Januari-Mei 2012 berdasarkan kelembaban udara Berdasarkan grafik 4 terlihat bahwa kasus DBD tidak berhubungan dengan kelembaban udara.
40
BAB 6 PEMBAHASAN Penyakit DBD masih merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Hal ini disebabkan karena DBD adalah penyakit yang angka kesakitan dan kematiannya masih tinggi, serta Kota Semarang yang termasuk daerah endemi DBD.5,6,7 Ngaliyan merupakan salah satu kecamatan di Semarang dengan incidence rate tertinggi sejak tiga tahun ini. Studi ini menggunakan ArcGIS 9.2 untuk menganalisa distribusi spatial dan temporal kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan pada bulan Januari – Mei 2012 mendapatkan gambaran spatial dan temporal kasus DBD yang dapat mengidentifikasi faktor resiko perilaku, demografi, dan geografi terhadap penyebaran DBD sehingga dapat memberi petunjuk dimana intervensi kesehatan masyarakat yang efektif harus diterapkan dalam tindakan pencegahan penyakit DBD. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa register kasus DBD Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang bulan Januari-Mei 2012. Data jumlah curah hujan total diambil dari stasiun pengukuran cuaca di Ngaliyan sedangkan data suhu udara rata-rata serta kelembaban udara diambil dari stasiun pengukuran cuaca di Kantor BMKG yang walaupun tidak terdapat di Ngaliyan namun mewakili dikarenakan jarak yang dekat. Kasus DBD lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini sesuai dengan studi sebelumnya3 yang menyatakan adanya korelasi antara jenis
41
kelamin dengan tingkat infeksi DBD. Hal ini disebabkan oleh karena laki-laki, terutama pada usia anak-anak, lebih sering beraktifitas daripada perempuan. Kejadian DBD terbanyak terjadi pada kelompok umur 5-14 tahun dengan 20 kasus DBD (51,28 %), sedangkan paling sedikit kelompok umur 15-18 dengan 1 kasus DBD (2,56 %). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya3 yang menyatakan adanya korelasi antara tingkat infeksi DBD dengan umur. Menurut Dardjito dkk, kejadian kasus DBD di Purwokerto Timur terjadi rata-rata pada anak usia <12 tahun. Hal ini didukung oleh kebiasaan masyarakat bahwa anak-anak lebih sering beraktivitas di luar rumah, sehingga kemungkinan kontak dengan nyamuk Ae. Aegypti lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa muda maupun orang tua.23 Wilayah dengan kasus DBD terbanyak adalah Kelurahan Kalipancur dengan 15 kasus DBD (38,46%), sedangkan paling sedikit adalah kelurahan Bambankerep, Gondowiryo, Wates dan Podorejo dengan tidak ada kasus DBD sama sekali. Sebaran kasus DBD tidak memiliki kecenderungan mengelompok di wilayah dengan kepadatan tinggi. Kasus DBD tertinggi terdapat pada Kelurahan Kalipancur dan Tambakaji yang memiliki kepadatan tinggi, namun pada kelurahan lain dengan kepadatan tinggi sepeti Ngaliyan, Purwoyoso dan Tambakaji tidak terdapat kasus DBD yang tinggi. Hasil tersebut perlu dicermati bahwa tingginya kasus DBD juga dipengaruhi oleh sistem pencatatan data pederita DBD. Angka kasus DBD yang tinggi dapat ditemukan pada daerah tersebut dimana hal ini mungkin saja mencerminkan sistem pencatatan penderita DBD yang baik.
42
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara faktor cuaca dengan insiden kejadian DBD. Hasil ini berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu8,10,19. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh karena tidak tercatatnya sebagian kasus DBD di Register DKK Semarang pada kondisi cuaca yang memungkinkan terjadinya insiden kasus DBD yang tinggi yang menbuat sampel menjadi kecil, sehingga hubungan antar variabel kurang bisa terlihat. Selain itu hal ini juga bisa disebabkan oleh karena sistem pencegahan DBD yang dilakukan oleh DKK Semarang melalui tindakan promosi kesehatan, penggalakan kader-kader jumantik, dll telah berjalan secara efektif. Hal ini terbukti dengan tingkat kasus DBD di Kota Semarang yang menurun drastis dari 5566 kasus pada tahun 2010 menjadi hanya 1303 kasus pada 2011 dan tampaknya trend penurunan ini berlanjut pada tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor cuaca bukanlah faktor utama yang berperan pada angka kejadian DBD di Kecamatan Ngaliyan. Faktor yang paling mungkin berperan terhadap angka kejadian DBD adalah kebersihan lingkungan. Tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat perindukan nyamuk seperti bak mandi, tempat penampungan air bersih, gantungan baju, serta tanaman di sekitar lingkungan. Lubang pohon atau pangkal bambu yang sudah terpotong dan pelepah daun mampu menjadi tempat perindukan nyamuk. Menurut Dardjito dkk, tanaman pekarangan merupakan lingkungan biologik yang mendukung perkembangbiakan nyamuk penular penyakit DBD, di samping dapat menampung air secara alami dapat pula mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan di dalam
43
rumah, sehingga menjadi tempat yang disenangi oleh nyamuk Ae. Aegypti untuk istirahat.23 Kebersihan lingkungan mencakup kebersihan rumah serta lingkungan sekolah atau kantor. Kelompok usia >4 tahun memiliki tingkat kasus DBD yang cukup banyak (30 kasus; 76,92%) dimana kelompok usia ini merupakan kelompok usia aktif pada waktu dimana vektor penyakit DBD sedang aktif, yaitu diantara jam 08.00-10.00 serta 15.00-17.00. Sangat dimungkinkan kontak antara vektor dengan pasien terjadi bukan di rumah, melainkan di kantor maupun sekolah. Keterbatasan penelitian ini adalah keterbatasan waktu penelitian yang dimiliki dimana akan lebih ideal jika analisis spasiotemporal dilakukan selama 1 tahun penuh. Selain itu tidak semua kasus DBD di Kecamatan Ngaliyan menjadi sampel penelitian. Hanya kasus DBD yang tercatat di register DKK saja yang dimasukkan ke dalam sampel. Tidak menutup banyak kasus DBD yang tidak terlaporkan atau bahkan tidak terdiagnosa.
44
BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Hasil penelitiaan kasus DBD periode Januari-Mei 2012 di Kecamatan Ngaliyan, dari kondisi geografis didapatkan persebaran kasus DBD di 6 kelurahan di Kecamatan Ngaliyan. Tidak terjadi kecenderungan peningkatan dan pengelompokan kasus DBD di daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, jumlah total curah hujan tinggi, suhu rata-rata tinggi serta kelembaban udara yang tinggi. Kasus DBD tertinggi terjadi di Kelurahan Kalipancur sebanyak 15 kasus DBD (38,46%). Maret merupakan bulan dengan angka pencatatan kasus DBD terbanyak 13 kasus DBD (33,33%). Gambaran kondisi demografi didapatkan kasus DBD lebih banyak laki-laki dengan 21 kasus DBD (53,8%). Kelompok umur 5-14 tahun merupakan kelompok umur kejadian kasus DBD terbanyak dengan 20 kasus DBD (51,28%).
7.2 Saran Diperlukan sistem pencatatan data penderita DBD yang lebih baik agar memudahkan surveilen dan intervensi untuk penelitian lebih lanjut, serta implementasi dari hasil penelitian. Tidak terdapat hubungan antara angka kejadian DBD dengan faktor-faktor geografis dan demografis, sehingga fokus pencegahan DBD agar lebih ditekankan pada kebersihan lingkungan.
45
Kebersihan lingkungan yang menjadi perhatian tidak cukup hanya kebersihan lingkungan rumah saja, kebersihan kantor dan sekolah juga wajib menajdi perhatian. Anjuran penelitian selanjutnya dengan menggunkan periode sampel yang lebih lama dan menganalisa faktor-faktor lingkungan sehingga didapatkan gambaran yang lebih jelas tentang penyebaran kasus DBD.
46
DAFTAR PUSTAKA
1.
Supartha I W. 2008. Pengendalian terpadu vector virus demam berdarah dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albofictus (Skuse) (Diptera : Culicidae) [internet]. [Diakses pada 4 Februari 2012]. Diakses dari : http://dies.unud.ac.id/wpcontent/uploads/2008/09/makalah-supartha-baru.pdf
2.
WHO. Dengue and Severe Dengue. [internet]. 2012 [Updated 2012 Jan 25; cited 2012 Feb 1]. Available from : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
3.
Wahyono TYM, Haryanto B, Mulyono S, Adiwibowo A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dan upaya penanggulangannya di kecamatan cimanggis, depok, Jawa barat. Buletin Jendela Epidemiologi [internet]. 2010 [Diakses pada 1 Februari 2012]. 2(5):31.
4.
Achmadi UF. Manajemen demam berdarah berbasis wilayah. Buletin Jendela Epidemiologi [internet]. 2010 [Diakses pada 1 Februari 2012]. 2(2):15.
5.
Dinas Kesehatan. 2010. Profil Kesehatan Kota Semarang 2009. Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang
6.
Dinas Kesehatan. 2011. Profil Kesehatan Kota Semarang 2010. Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang
7.
Dinas Kesehatan. 2012. Profil Kesehatan Kota Semarang 2011. Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang
8.
Nazri CD, Rodziah I, Hashim A. Distribution pattern of a dengue fever outbreak using GIS. Journal of Enviromental Health Research. 2009. 9(2):89.
9.
Pham Hau V, Doan Huong TM, Phan Thao TT, Minh Nguyen N Tran. Ecological factors associated with dengue fever in a central highlands province vietnam. BMC Infectious disease. 2011. 11(172).
47
10. Yusnia Siti. 2010. Analisis spasiotemporal kasus dbd di kecamatan tembalang bulan Januari-Juni 2009. Semarang: Fakutas Kedokteran Universitas Diponegoro 11. Hapsari Putri I. 2008. Analisis spasiotemporal kasus tuberculosis di Kota Semarang bulan Januari-Juni 2008. Semarang: Fakutas Kedokteran Universitas Diponegoro 12. Ristek. Membangun model sistem kewaspadaan dini KLB DBD dengan dukungan GIS [online]. [Diakses pada 1 Oktober 2011] Diakses dari : http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=2842 13. Daud O. Studi epidemiologi kejadian penyakit demam berdarah dengue dengan pendekatan spatial system informasi geografis di Kecamatan Palu Selatan Kota Palu [online]. 2008 [Diakses pada 01 Feb 2012]. Diakses dari : http://www.scribd.com/doc/16349352/ 14. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and control [internet]. Geneva (Switzerland) :World Health Organization [cited 2012 Feb 02]. Available from : World Health Organization 15. Sudjana Primal. Diagnosis dini penderita demam berdarah dengue dewasa. Buletin Jendela Epidemiologi. 2010. 2(3):21. 16. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. New York: The McGrow Hill Companies, Inc; 2008.1230 17. Dejnirattisai W, Jumnainsong A, Onsirisakul N, Fitton P, Vasanawathana S, Limpitikul W, et al. Cross-reacting antibodies enhance dengue virus infection in humans. 2010. 329(5988):142. 18. Sukowati Supratman.Masalah vektor demam berdarah dengue dan pengendaliannya di indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. 2010. 2(4):26. 19. Mosquito life cycle [online]. [cited 2012 Feb 02]. Available from: http://www.cdc.gov/Dengue/entomologyEcology/m_lifecycle.html
48
20. Sutanto Inge, editor. Buku ajar parasitologi kedokteran edisi keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. 21. Hadary F. Pemanfaatan medical geography berbasis sistem informasi geografis untuk mencegah penyebaran dbd [online]. [Diakses pada : 9 Feb 2012]. Diakses dari : http://www.untan.ac.id/?p=317 22. Oktavia S I. 2006. Aplikasi sistem informasi geografis untuk mendukung penanganan demam berdarah dengue dan demam chikungunya di Kota Bandung [online]. [Diakses pada 7 Okt 2011]. Diakses dari: http://digilib.ittelkom.ac.id/index.php?option=com_repository&Itemid=34&task =detail&nim=112020080 23. Dardjito E, saudin Yuniarno, Condro Wibowo, Agus Saprasetya DL, Hidayah Dwiyanti. Beberapa faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Banyumas. 3(15). Jakarta: Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2008. 126-136
49