ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN DAN AKUNTABILTAS KINERJA DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE (Studi Kasus Inspektorat Jenderal Deparetemen Agama R.I.)
Oleh : ANDI MUTIAH NIM. 205082000126
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGER SYARIF HDAYATULLAH JAKARTA 2009
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbi al-alamin, sujud syukur penulis haturkan kepada Dzat yang Maha Rahman bagi semesta Alam dan Rahim bagi semua hambahamba-Nya yang selalu menjalankan perintah-Nya, yang telah menciptakan rasa cinta dan kasih kepada seluruh manusia. Washalatu wassalam’ala Rasulillah senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW (yang tak pernah lelah untuk membimbing umatnya dengan penuh kasih sayang), kepada keluarganya, sahabatnya serta umatnya sepanjang zamansemoga kita mendapat syafa’at-Nya diyaumul al-Ba’ats, amin. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak memenuhi hambatan dan cobaan. Namun, penulis berusaha menghadapi dengan ikhtiar dan tawakal. Alhamdulillah atas Rahmat Allah SWT, serta berkat do’a dan dukungan orang tua, keluarga, sahabat serta teman-teman, segala hambatan dan cobaan dapat penulis hadapi. Karena itulah, dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan tulus kepada segenap pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Sebagai rasa syukur penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Yang tercinta dan terkasih Ayahanda Drs. H. Andi Supardi dan Ibunda ku tersayang Hj. Lubnah terima kasih yang tak terhingga atas segala cinta dan kasih sayangnya yang begitu berlimpah untuk ananda, ketulusan serta perhatian dan dukungan yang tiada pernah ada habisnya kepada
ananda untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sebagai seorang anak, ananda merasa belum bisa membalas jasa, cinta, perhatian dan kasih sayang yang papa dan mama berikan kepada ananda, yang bisa ananda berikan adalah Do’a yang tulus dan ikhlas yang selalu ananda panjatkan kepada Allah SWT, semoga papa dan mama selalu senantiasa dalam lindunganNya, amin ya rabbal alamin. Luv u all 2.
Bpk. Prof. Dr. Abdul Hamid, MS. Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Jakarta.
3.
Bpk Afif Sulfa, SE., Ak., M.si. Ketua Jurusan Akuntansi dan Ibu Yessi Fitri, SE., Ak., M.si Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Bpk. Dr. Yahya Hamjah, MM. Dosen Pembimbing I dan Bpk. Drs. Abdul Hamid Cebba, MBA., CPA. Dosen Pembimbing II yang senantiasa membimbing penulis dan senantiasa bersedia memberikan waktu, tenaga serta pikiran untuk memberikan ilmu, pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, sampai dengan skripsi ini dapat selesai dengan baik.
5.
Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tempat penulis memperoleh berbagai informasi dan referensi yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
6.
Segenap Instansi Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I. yang telah berkenan meluangkan waktunya bagi penulis untuk bertanya dan
memperoleh informasi serta data yang diperlukan dalam penyelesaian skripsi ini. 7.
Adik-adikqu tershayang Ananda Andi Sakinah dan Ananda Andi Nur Shella, terima kasih sayang atas semua bentuk perhatian yang udah kamu berikan untuk ka uty, semangat yang tiada henti-hentinya untuk ka uty membuat ka uty semakin semangat dalam menyelesaikan skripsi dan kuliah k uty, kalian penyemangat terindah dalam hidup ka uty karena tanpa kelian berdua k uty ga ada artinya sama sekali. Kalian berdua segalanya untuk k uty,, “makasi banyak de2 kinoy dan de2 uchil nya ka uty,,ka uty Saayaaaaaaaaaaaaaaangggg,, kalian berdua selamanya.
8.
Orang terdekat penulis. Kakak ku Anton Febrianto terima kasih ya ka udah selalu ad untuk dede, dengan segala bentuk perhatian, dukungan, dan waktu yang kaka berikan untuk dede telah membuat dede sadar akan pentingnya terus berusaha dan pantang menyerah untuk menghadapi apapun yang ada didepan kita, dengan kasih sayang dan kesabaran kaka telah membuat dede mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik,, makasi kaka ku sayang.
9.
Sahabat dan temen-teman ku tersayang, Sahabat ku Ka Iwan Juniyadi makasi banyak ka selama di UIN udah selalu ada untuk tya, Antika, Arin, Lya, dan teman-teman di arisan gila (kalianlah arti dari persahabatan yang sesungguhnya luv u all). Sepupu ku Nina (makasi ya non untuk nasehatnya). Teman-teman ku Fuah, Sari, Ica, Yuli, dan semua anakanak akuntansi A (makasi untuk semuanya), anak-anak manajemen A
(Lina, Ami, Endang, Chafid, Dimas, Nia, Letti, Imam” ku shayang kalian semua”). Anak-anak kostn apartemen semanggi (Fitri, Ayu, Kiki, Ka dini, Ka goday, Ka nna, Reni luv u kalian semuanya). Kaka – kakakku (Ka Sogir, Ka Oland, Ka Bogel, Ka Roni, Bang Ubz, Bang Odji, Kakakkakak di Wali, Ka Botel) Makasi udah bantu dede selama ini terutama tumpangannya,,hehehe, dan seluruh kawan-kawan yang telah membantu penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini yang mana tidak dapat saya sebutkan satu persatu “ Thanks 4 all”… Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini sampai dengan selesai. Lebih dari ucapan terima kasih kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah SWT, semoga senantiasa memberikan sinar terang kepada seluruh hamba-Nya, dan semoga aktivitas penulis selalu diberkahi-Nya serta penulis selalu diberikan hidayah-Nya. Akhir kata, di dalam penulisan skripsi ini kiranya tentu masih terdapat banyak kekurangan, namun kiranya semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan
Jakarta, 3 Juni 2009
Penulis
ABSTRACT
Bed governance n Indonesia, which both makes the major cause of nation crisis that accoured in the 20 century. This is not apart from the failure of government delivery system and development of the century does not respect the principles of good governance. Supervision of concepts, strategies and implementation of good governance in achieving good governance is a key requirement for realizing the aspirations of the community is achieving the goals and ideals of nation and state. In other that required the development and implementation of management system of the right and responsibility a long with the right system, so clear and real enforcement of governance and development can take place efficient, clean and responsible and free corruption, collusion, and nepotism. In addition, note also the existence of mechanism for accountability at each regulation of government institutions so that people can know the extent to which the success of the goals and objectives have been defined can be achieved of monondagement institutions of parliament, and availability of equal access to information for the public. This research uses descriptive qualitative method, in which researchers conduct both primary data and secondary general inspectorate of ministry of religious affairs. Result from thus search is a system in the control system of management is to realize a role in good governance so that the performance accountability in the environment performance of Inspectorate General of Ministry of Religious Affair can be done well.
Key Word : Control system management, performance accountability, control system (internal and eksternal), the principles of good governance, accountability of performance measurement.
ABSTRAK
Buruknya tata kelola pemeritahan yang baik di Indonesia menjadikan penyebab utama terjadinya krisis nasional yang terjadi di penghujung abad 20. Hal tersebut tidak terlepas dar kegagalan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip good governance. Pengawasan konsep, strategi dan implementasi good governance dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik merupakan persyaratan yang utama untuk mewujudkan asprasi masyarakat dalam pencapaian tujuan dan cita-cita bangsa dan Negara. Dalam rangka itu di butuhkan penerapan dan pengembangan sistem pengendalian manajemen yang tepat dan disertai dengan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung dengan berdaya guna, bersih dan bertanggungjawab serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintahan agar masyarakat dapat mengetahi sejauh mana keberhasilan dari tujuan-tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyaratakat, serta memperkuat peran dan kapasitas pengendalian manajemen isntitusi parlemen, serta tersedianya akses yang sama pada nformasi bag masyarakat luas. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dimana peneliti melakukan pengumpulan data baik primer maupun sekunder dari Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I. hasil dar penelitan ini adalah sistem pengawasan dalam sistem pengendalian manajemen sangat berperan dalam mewujudakna good governance sehingga akuntabiltas kinerja di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I. dapat terlaksana dengan baik.
Kata Kunci :
Sistem Pengendalian Manajemen, akuntabiltas kinerja, sistem pengawsan internal dan eksternal, prinsip-prinsip good governance, pengukuran akuntabilitas knerja
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................. i DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR...................................................................................... v BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang Penelitian ........................................................ 1 B. Perumusan Masalah .................................................................. 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 6 A. Sistem Pengendalian Manajemen.............................................. 8 1. Definisi Sistem Pengendalian Manajemen .......................... 8 2. Arti Penting Sistem Pengendalian Manajemen ................... 10 3. Arti Penting Sistem Pengendalian Manajemen bagi Auditor ............................................................................... 12 B. Sistem Pengendalian Manajemen Pada Internal Audit............... 13 1. Jenis-jenis Internal Audit..................................................... 14 2. Posisi Pengendalian Manajemen dalam Internal Audit ........ 15 3. Perhatian Internal Auditor pada Penelahaan Pengendalian Manajemen.................................................... 16 4. Tujuan Pengendalian Manajemen yang Diuji Auditor ......... 18 5. Manfaat Pengendalian Manajemen bagi Akuntabilitas
Kinerja Organisasi .............................................................. 18 6. Peranan Pemeriksaan Manajemen dan Audit Kinerja dalam Pemeriksaan Kinerja ........................................................... 23 C. Sistem Pengendalian Manajemen terhadap Pengorganisasian ... 25 1. Perencanaan........................................................................ 26 2. Prosedur.............................................................................. 26 3. Kebijakan............................................................................ 27 4. Pencatatan........................................................................... 27 5. Pelaporan............................................................................ 27 6. Review Internal ................................................................... 28 D. Akuntabilitas ............................................................................ 28 1. Perkembangan Akuntabilitas............................................... 29 2. Jenis Akuntabilitas .............................................................. 32 E. Good governance...................................................................... 36 1. Definisi dan Konsep Good governance ............................... 39 2. Strategis Menerapkan Good governance ............................. 39 F. Kajian Penelitian Terdahulu...................................................... 41 G. Kerangka Penelitian ................................................................. 42 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 43 A. Ruang Lingkup Penelitian......................................................... 43 B. Metode Penentuan Sampel ........................................................ 42 C. Metode Analisis Data................................................................ 44 D. Metode Pengumpulan Data ....................................................... 45
1. Studi Kepustakaan .............................................................. 45 2. Studi Lapangan (Field Research) ........................................ 46 E. Operasional Variabel Penelitian .............................................. 46 1. Sistem Pengendalian Manajemen ........................................ 46 2. Akuntabilitas Kinerja .......................................................... 48 3. Good Governance ............................................................... 49
BAB IV
PENEMUAN DAN PEMBAHASAN ........................................... 51 A. Gambaran Umum Objek Penelitian .......................................... 51 1. Tugas dan Fungsi ................................................................ 53 2. Struktur Organisasi Departemen Agama.............................. 54 3. Visi dan Misi ...................................................................... 56 4. Program Utama Inspektorat Jenderal................................... 57 5. Capacity Building ............................................................... 59 B. Analisis dan Pembahasan ......................................................... 62 1. Analisis Deskriptif .............................................................. 62 2. Pembahasan ....................................................................... 93
BAB V
PENUTUP..................................................................................... 114 A. Kesimpulan............................................................................... 114 B. Saran ........................................................................................ 115 C. Implikasi................................................................................... 116
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 117
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Krisis nasional yang dihadapi bangsa Indonesia di penghujung Abad 20 tidak lepas dari kegagalan pengembangan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan yang tidak mengindahkan prinsipprinsip good governance. Perjuangan untuk melakukan reformasi disegala bidang telah membuahkan dasar-dasar perubahan di bidang manajemen pemerintahan. Hal tersebut antara lain diwujudkan dalam Tap MPR RI No.XI/MPR/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang menegaskan tekad bangsa ini untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan pemerintahan negara dan pembangunan yang didasarkan atas prinsip-prinsip good governance (LAN dalam buku pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Good Governance. 2002). Dalam
seminar
nasional
pengawasan
konsep,
strategi
dan
implementasi good governance dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan persyaratan utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam pencapaian tujuan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka itu, diperlukan penerapan dan pengembangan sistem pengendalian manajemen yang tepat dan disertai dengan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab serta bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah serta memperkuat peran dan kapasitas pengendalian manajemen institusi parlemen, serta tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas. Dalam praktik penerapan pengendalian manajemen ataupun elemen-elemennya dalam organisasi akan sangat bervariasi baik kedalaman maupun formalitasnya. Variasinya akan sangat tergantung dari tujuan yang hendak dicapai, ukuran organisasi, serta budaya dan karakteristik anggota-anggotanya. Oleh karena itu, dalam menurut (Ress, David dalam bukunya Management Peaples Startegy and Theory. 2007) pengendalian manajemen sekali-sekali tidak boleh dipandang sebagai kriteria normatif yang dapat dicontoh penerapannya secara umum walaupun dari suatu organisasi yang digunakan misalnya benchmarking. LAN dalam pedoman penyusunan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah 2005 menyatakan konsep dasar akuntabilitas didasarkan pada klasifikasi responsibilitas manajerial pada tiap tingkatan dalam organisasi yang bertujuan untuk pelaksanaan kegiatan pada tiap bagian. Masing-masing individu pada tiap jajaran aparatur bertanggungjawab atas setiap kegiatan yang dilaksanakan pada bagiannya. Konsep itulah yang membedakan adanya kegiatan-kegiatan yang terkendali (controllable activities) dan kegiatankegiatan yang tidak terkendali (uncontrollable activities).
Akuntabilitas menurut didefinisikan sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaransasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintahan merupakan suatu perwujudan atas pelaksanaan kewajiban instansi pemerintah mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan. Menurut pusat pendidikan dan latihan pengawasan badan pengawasan keuangan dan pembangunan, sistem pengendalian manajemen secara umum adalah kajian deskriptif. Konsepnya dikembangkan dari hasil pengamatan terhadap apa yang dilakukan oleh manajemen organisasi untuk mengarahkan organisasinya ke tujuan yang digariskan. Berdasarkan latar belakang diatas maka pembahasan yang akan dilakukan memiliki batasan hanya pada pokok permasalahan yang ada, yaitu “Analisis Sistem Pengendalian Manajemen dan Akuntabilita Kinerja Dalam Mewujudkan Good Governance Di Lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I”.
B. Perumusan Masalah Masalah penelitian yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa peranan sistem pengawasan pada sistem pengendalian manajemen untuk mewujudkan good governance di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama? 2. Sejauh mana akuntabilitas kinerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama dalam mewujudkan good governace?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban dari Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari masalah yang diteliti yaitu analisis sistem pengendalian manajemen yang difokuskan pada pelaksanaan pengawasan dan akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan good governance di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I. 1. Tujuan Penelitian a. Untuk
mengatahui
peranan
sistem
pengawasan
pada
sistem
pengendalian manajemen dalam mewujudkan good governance di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama; b. Untuk mengetahui sejauh mana akuntabilitas kinerja pada Inspektorat Jenderal Departemen Agama dalam mewujudkan good governance.
2. Manfaat Penelitian a. Bagi entitas terkait: hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
informasi
yang
bermanfaat
bagi
managemen
dalam
mengembangkan sistem pengendalian manajemen operasionalnya. b. Bagi auditor internal: penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai suatu pemahaman yang memadai mengenai pentingnya sistem pengendalian manajemen dalam mewujudkan good governance. c. Bagi pihak yang berkepentingan lainnya, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi masukan yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan. d. Bagi para peneliti lainnya, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam penelitiannya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian manajemen menurut (Pusat Pendidikan dan Pengawasan Badan Keuangan dan Pembangunan/BPKP 2000) tidak dapat di lepaskan dari kegiatan internal audit, dimana pengendalian manajemen mempunyai dua arti penting bagi pelaksanaan audit internal. Yang pertama, pengendalian manajemen diperlukan untuk melihat apakah sasaran audit sementara (Tentative Audit Objective/TAO) dapat dimatangkan menjadi sasaran audit tetap (Firm Audit Objective/FAO). Konsep pengendalian manajemen dikembangkan oleh berbagai asosiasi dan profesi akuntansi. Di Amerika Serikat saja mereka-mereka yang telah mengembangkan sistem pengendalian manajemen dapat disebut dengan American Institute of Certified Publik Accountant (AICPA), Goverment Accounting Office (GAO), the Institute of Internal Auditing (IIA) dan Comitie of Sponsoring Organization (COSO) of the Treadway Commission. Walaupun mereka mengembangkan dengan cara yang berbeda, tetapi substansi pembahasan pada dasarnya sama. Hal ini mudah dijelaskan karena konsep pengendalian manajemen merupakan konsep deskriptif dan bukannya konsep normatif. Artinya konsep pengendalian manajemen ini dikembangkan berdasarkan pengamatan terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh manajemen organisasi. Pengendalian internal (internal control) menurut (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dalam diktat Sistem Pengendalian Manajemen. 1999) sebutan yang paling awal digunakan yang nantinya akan berubah sesuai
dengan konsep yang dikembangkan oleh beberapa pihak dengan sudut pandang yang berbeda, masing-masing pihak memberikan nama yang mereka anggap paling sesuai sebagai alternatif dari istilah pengendalian internal. GAO misalnya, menggunakan istilah pengendalian manajemen (management control) karena ditentukan secara internal oleh pihak internal organisasi (dibedakan dari pengendalian oleh pihak luar organisasi), disebut sebagai pengendalian manajemen karena merupakan pengendalian yang ditetapkan oleh manajemen sendiri (dibedakan dari pengendalian yang ditetapkan secara normatif oleh pihak lain). Dari kedua nama ini variasi nama dibedakan untuk menjelaskan konsepnya menurut pendekatan yang digunakan terhadap pembahasannya. Seperti dengan bahasan awal yang termuat dalam Statement of Auditing Standard No.1 (SAS-1) yang berembrio dari Statement on Auditing Procedures (SAP) No.29 dan 33. AICPA menggunakan sebutan pengendalian intern (internal control) tambahan sebutan sistem sehingga menjadi sistem pengendalian intern (internal control system), dibuktikan karena dalam penerapannya pengendalian manajemen ini dijadikan bentuk formal dan kontinyu yang memenuhi unsur suatu sistem yaitu, mempunyai komponen input, proses dan output. Lembaga yang sama kemudian melalui SAS-55 kemudian mengubah sudut pandang pembahasannya dengan menekankan bentuk pengendaliannya (dibedakan dari komponen atau elemen pengendalian), sehingga kemudian menyebutnya sebagai struktur pengendalian manajemen (internal control struktur). Sejak COSO memperkenalkan sudut pandangnya bahwa pengendalian manajemen lebih menekankan pada proses yang dilakukan manajemen bukan
bentuk pengendalian yang digunakan, maka orang kembali menyebutnya sebagai pengendalian intern (internal control). Pengawasan didalam instansi pemerintahan sifatnya melekat atau inherent dalam fungsi manajemen secara keseluruhan dan menyatu dengan sistem manajemen yang berlangsung dalam organisasi. Dengan demikian pengawasan dengan atasan langsung (supervisi) dapat diringankan karena semestinya tidak akan mengurangi kadar pengawasan yang telah melekat dalam sistem pengendalian manajemen internal pada organisasi yang bersangkutan. . Uraian mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penelitian berdasarkan masing-masing konsep dan sudut pandangnya akan dibahas pada bagian ini. Dimana penulis memfokuskan pembahasan pada satu atau lebih teori atau hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan masalah penelitian.
A. Sistem Pengendalian Manajemen 1. Definisi Sistem Pengendalian Manajemen Pengertian pengendalian manajemen secara garis besar menurut (Anthony, Robert dalam bukunya “Management Control System”. 2007) yaitu sebagai suatu yang statis atau sesuatu yang dinamis. Konsep-konsep yang dikembangkan awalnya berdekatan statis. Pengendalian manajemen, pertama kali didefinisikan secara formal oleh Comunite Auditing Prosedur (CAP) komisi dari AICPA. Dikatakan bahwa definisi pengendalian ini dihasilkan dari suatu studi komprehensif dan dituangkan dalam suatu
laporan khusus yang menjelaskan unsur-unsur pengendalian manajemen dari manfaatnya bagi manajemen dan auditor independen. Pada bulan Oktober tahun 1958 komite yang sama menerbitkan Statement on Auditing Procedur (SAP) No.29 berjudul ”Scope of the Independent Auditor’s Review of Internal Control”. Pernyataan ini lebih menjelaskan ruang lingkup telahaan auditor independen terhadap pengendalian manajemen berkaitan dengan audit keuangan. Perkembangan lebih lanjut dari konsep pengendalian manajemen ini adalah terbitnya SAP No.33 pada tahun 1953 yang berjudul ”Auditing Standards and Procedures (accodification)”. SAP ini menegaskan bahwa auditor independen terutama hanya berkepentingan dengan pengendalian akuntansi yang berkaitan erat dengan keandalan catatan-catatan keuangan yang
akan
dievaluasi
dalam
audit.
Pengendalian
administratif
dipertimbangkan, hanya jika auditor independen beranggapan bahwa pengendalian tersebut mempunyai pengaruh yang penting terhadap keandalan catatan-catatan keuangan. Pada tahun 1972 Statement on Auditing Procedures (SAP) digantikan oleh Statement of Auditing Standard. Statement of Auditing Standard No.1 (SAS-1).yang terbit pada bulan November 1972 adalah kondifikasi SAS-1 hingga SAP-54. Oleh karena itu, sekarang ini boleh dikatakan bahwa pengertian pengendalian manajemen yang mendahului pengertian yang terdapat pada SAS-55 yang lebih menerbitkan atau
menekankan pada bentuk pengendalian dan pada komponennya adalah pengertian yang ada pada SAS-1. Definisi pengendalian manajemen yang memandang internal control sebagainya
terdapat dalam
konsep
COSO.
Pengendalian
manajemen didefinisikan sebagai proses yang dilakukan oleh manajemen dari personil lain, dimaksudkan keyakinan yang memadai bahwa tujuantujuan, efektifitas dan efisiensi operasi, keandalan pelaporan keuangan, serta kepatuhan terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku dapat dicapai. Melalui definisi ini COSO berusaha menekankan bahwa internal control adalah serangkaian tindakan bukannya suatu kejadian atau suatu kondisi.
2. Arti Penting Sistem Pengendalian Manajemen Pada dasarnya, Fungsi utama sistem pengendalian manajemen menurut (Draft, L dalam bukunya Management. 2006) adalah perencanaan dan
pengendalian.
Untuk
itu
kemampuan
dalam
mengelola
perusahaan/instansi sangat bergantung pada kemampuan melaksanakan kedua fungsi utama tersebut. Fungsi perencanaan meliputi aktivitasaktivitas seperti penentuan tujuan, penetapan kebijaksanaan, pengaturan pengeluaran modal dan pembuatan keputusan mengenai produk dan promosinya. Dengan kata lain, perencanaan berhubungan dengan pengembangan tujuan untuk masa yang akan datang serta penyusunan berbagai anggaran guna mencapai tujuan tersebut.
Agar manajemen memperoleh kepastian, apakah organisasinya telah melaksanakan apa yang ditetapkan didalam perencanaan, maka diperlukan adanya pengendalian manajemen, sebagai proses memotivasi dan memberi semangat kepada para manajer untuk melaksanakan kegiatan organisasi dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Anthony, 1978). Dengan demikian, pengendalian menyangkut implementasi kebijaksanaan, evaluasi pelaksanaan dan pengambilan tindakan koreksi atas pelaksanaan yang berada di bawah standar. Pengendalian manajemen meliputi semua metode dan prosedur termasuk sistem pengendalian manajemen, yang digunakan untuk menjamin bahwa organisasi telah melaksanakan strategi perusahaan secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Biasanya sistem pengendalian manajemen merupakan suatu sistem total, dengan pengertian bahwa sistem pengendalian tersebut meliputi aspek operasi perusahaan (Anthony, 1978). Sistem ini merupakan struktur dan proses sistematis serta terorganisir yang digunakan dalam pengendalian manajemen. Sistem pengendalian manajemen terdiri dari dua unsur, yaitu struktur pengendalian manajemen dan proses pengendalian manajemen. Struktur pengendalian manajemen menurut (Hariadi, Bambang dalam bukunya Strategi Manajemen “Strategi dalam Perang Bisnis” 2005) merupakan elemen yang membentuk sistem pengendalian manajemen, yang terdiri dari berbagai pusat pertanggungjawaban dan teknik yang
sesuai untuk perencanaan dan pengendalian prestasi pada setiap pusat pertanggungjawaban.
Sedangkan
proses
pengendalian
manajemen
merupakan cara bekerjanya setiap pusat pertanggungjawaban dengan menggunakan informasi yang mengalir di dalamnya. Terdapat tiga tahap dalam proses pengendalian manajemen, yaitu penyusunan program (programming), penyusunan anggaran (budgeting), serta analisis dan pelaporan prestasi
3. Arti Penting Pengendalian Manajemen bagi Auditor Sistem pengendalian manajemen tidak dapat dipisahkan dari pekerjaan audit, apakah itu general audit (audit terhadap laporan keuangan)
maupun
management
audit
(audit
terhadap
kinerja
pengelolaan). Dimana manajemen audit menurut Agoes (2001): “Manajemen audit adalah sesuatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional yang telah ditentukan oleh manajemen untuk mengetahui apakah kegiatan operasi tersebut sudah dilakukan secara efektif dan efisien dan ekonomis.” ` Auditor disaat sedang melaksanakan audit keuangan menggunakan pengujian terhadap pengendalian manajemen untuk melihat dapat atau tidaknya data dan informasi yang dihasilkan dalam proses manajemen dipercayai (kompetensi bukti yang diperlukannya didalam audit).
B. Sistem Pengendalian Manajemen Pada Internal Audit Sebelum tahun 1978, peran internal auditor dalam organisasi belum dapat didefinisikan dengan jelas. Belum terdapat keseragaman dalam hal bagaimana meletakkan satuan pengawas internal ini, dalam struktur organisasi. Oleh karena itu, satuan pengawas internal ini ada yang didudukan setingkat dengan direksi, langsung dibawah direktur utama, langsung dibawah direktur keuangan, tetapi ada juga yang diletakan dibawah divisi akuntansi. Pendefinisian posisi internal auditor manurut (Widjaja, Amin dalam bukunya Internal Audit 2008) mulai mendapatkan perhatian penting dengan di bentuknya Profesional Standards and Responsibilities Committe pada tahun 1974. Komite ini menghasilkan Standar Internal Auditing yang kemudian disahkan dalam Konferensi Internasional IIA di San Francisco pada bulan Juni 1876. Untuk mendalami pengertian internal audit, perlu dikemukakan berbagai ahli dan sumber. Konrath (2000) mendefinisikan internal audit sebagai berikut: Internal audit merupakan fungsi pemikiran yang independen di dalam suatu organisasi yang dilaksanakan untuk memeriksa dan mengevaluasi kegiatankegiatan yang ada di dalam organisasi tersebut sebagai suatu pemberian jasa kepada manjemen.
Menurut Agoes (2001) Internal audit adalah: pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan ketentuanketentuan dari ikatan profesi yang berlaku.
Standar internal auditing manurut (Sawyer’s Lawyers dalam buku Internal Auditing 2005) memuat lima standar umum yaitu: kebebasan, kecakapan profesional, ruang lingkup pekerjaan, kinerja pekerja audit, dan manajemen satuan audit internal. Pelaksanaan dari standar ini akan menuntun pada pendefinisian peranan internal auditor, yaitu sebagai katalis yang membantu proses manajemen. Dalam hal ini internal auditor mengambil peran sebagai alat manajemen yang bertugas melakukan studi terhadap pengendalian manajemen. Oleh karena itu, dapat secara tegas dikatakan bahwa tujuan pengendalian manajemen menjadi sasaran ruang lingkup kerja internal audit. 1. Jenis-Jenis Internal Audit Internal auditor menurut (Widjaja, Amin dalam bukunya Memahami Internal Audit 2008) melaksanakan pengujian pengendalian manajemen melalui proses review berkesinambungan yang lebih dikenal dengan nama internal audit. Jenis dan pelaksanaan audit ini bisa sangat beragam, tetapi Leo Herbert dalam bukunya Audit The Management Performance membagi internal audit ini menjadi dua kelompok sebagai tujuan audit. kelompok yang pertama disebut sebagai Manajemen Audit (M-Audit) jika audit dilakukan pada kegiatan manajemen yang sedang berlangsung M-Audit dapat mengambil kriteria ketaatan dan efisiensi atau kehematan sebagai tujuan audit. Kelompok yang kedua disebut sebagai Program Audit (P-Audit) berbeda dengan M-Audit yang dilaksanakan pada saat kegiatan masih berlangsung. P-Audit dilaksanakan setelah kegiatan manajemen selesai
dilaksanakan. Oleh karena itu P-Audit lebih mementingkan hasil dari pada cara pelaksanaan.
2. Posisi Pengendalian Manajemen dalam Internal Audit Baik manajemen audit ataupun pengendalian audit pelaksanaanya menurut (Munir, Nungki dalam buku Knowledge Management Audit 2008) dilakukan melalui tiga tahapan audit yaitu: audit pendahuluan, penelahaan pengendalian manajemen, dan audit lanjutan. Kebutuhan audit dapat berasal dari keluhan tidak bekerjanya dengan baik suatu sistem pengendalian, dapat pula berasal dari pemahaman dapat ditingkatkannya keandalan pengendalian manajemen. Penetapan sasaran audit akan ditentukan berdasarkan arti penting dan risiko sistem pengendalian tersebut dalam pencapaian tujuan organisasi. Dalam internal auditor, auditor akan mencapai keterhubungan antara
gejala-gejala
yang menimbulkan
kebutuhan audit dengan
pencapaian tujuan audit. Semua hal yang secara logis dapat dilihat sebagai kelemahan yangg menghambat pencapaian sasaran bagi internal auditor yang akan memberikan atribut sasaran audit yang mungkin. PAO (Possible Audit Objektive) ini akan dicarikan penjelasan pada audit pendahuluan, jika ternyata cukup memadai untuk dikembangkan dalam proses berikutnya, maka PAO ini akan berubah menjadi sasaran sementara (Tentative Audit Objective/TAO).
Pengendalian manajemen akhirnya menjadi batasan akhir apakah ada sesuatu yang dapat disumbangkan internal auditor pada percepatan tercapaianya tujuan organisasi. Jika dalam tahap audit penelaah sistem pengendalian manajemen ternyata bahwa yang tertuang dalam TAO bersumber pada kelemahan pengendalian manajemen, maka TAO akan berubah menjadi sasaran audit tetap (Firm Audit Objective/FAO). FAO ini akan menjadi titik tolak bagi auditor dalam audit lanjutan untuk membuktikan kepada manajemen bahwa jika hal tersebut tidak diberikan perhatian, maka akan terdapat kerugian sehingga menghambat tercapainya tujuan organisasi.
3. Perhatian
Internal
Auditor
Pada
Penelaahan
Pengendalian
Manajemen Dalam tahapan penelahaan sistem pengendalian manajemen, auditor akan menilai apakah sistem tersebut mencapai standar tertentu agar tujuan organisasi yang telah digariskan dapat dicapai. Sawyer’s dalam buku internal auditing (2005) menganjurkan beberapa pertimbangan yang dapat dilihat dalam penelahaan sistem pengendalian manajemen, yaitu antara lain: a. Ketetapan Waktu Pengendalian
harus
dapat
mendeteksi
kemungkinan
penyimpangan atau penyimpangan yang sudah terjadi secara dini untuk memperkecil kerugian yang akan diakibatkannya.
b. Hemat Pengendalian harus secara wajar menjamin bahwa hasil yang akan dicapai dengan biaya yang sekecil-kecilnya dan sesedikitnya kemungkinan terjadi efek samping. c. Akuntabilitas Pengendalian
harus
membantu
setiap
orang
dalam
menunjukan tanggungjawabnya atas pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. d. Penetapan Pengendalian harus ditempatkan pada tempat dimana ia akan bekerja lebih efektif. e. Flexibilitas Keadaan berakhir pada perubahan. Perencanaan dan prosedur hampir diyakini harus sesuai dengan waktu. f. Identifikasi Penyebab Perbaikan yang segera dapat dilakukan jika pengendalian tidak
hanya
mengidentifikasikan
mengidentifikasikan juga
penyebab
masalah, yang
tetapi
ditimbulkannya.
Ketepatan pengendalian harus memenuhi kebutuhan manajemen. g. Masalah. Pengendalian jelas membawa manfaat. Akan tetapi juga membawa masalah. Pengendalian mungkin tetap akan berfungsi, tetapi dengan pengorbanan finansial maupun moral. Pengendalian
harus dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan dan bukan suatu tujuan.
4. Tujuan Pengendalian Manajemen Yang Diuji Auditor Pengendalian manajemen menurut (Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/BPKP 2000), seharusnya dirancang untuk dapat menangkal risiko yang ditimbulkan risiko melekat. Auditor akan menguji apakah pengendalian manajemen ini cukup untuk menjamin tercapainya tujuan yang hendak dicapai manajemen dalam penyajian laporan keuangan yaitu: a. Kelengkapan; b. Akurasi; c. Keberadaan atau keterjadian; d. Pisah batas; e. Penilaian; f. Hak dan kewajiban, serta g. Penyajian dan pengungkapan.
5. Manfaat Pengendalian Manajemen Bagi Akuntabilitas Kinerja Organisasi Falsafah manajemen modern memandang pengendalian sebagai suatu bantuan dan bukan suatu kendala.
Pengendalian menurut
(Simanjuntak J dalam Manajemen dan Evaluasi Kinerja 2008) dilihat
sebagai suatu alat untuk mengintegrasikan tujuan perseorangan dan tujuan organisasi
untuk
membantu
tercapainya
tujuan-tujuan
tersebut.
Penganjuran penerapan pengendalian menyatakan bahwa pengendalian dapat
menjadi
alat
untuk mengukur
kinerja
pribadi khususnya
akuntabilitas kinerja, apakah seseorang atau suatu unit (akuntabilitas kinerja) telah menyelesaikan tugas yang dibebankan. a. Jenis–Jenis Pengendalian Pengendalian dapat dirancang untuk melaksanakan berbagai fungsi. Beberapa diantaranya diterapkan untuk menghindarkan hasil yang tidak diinginkan sebelum itu terjadi (pengendalian prefentif). Yang dirancang untuk mengenali adanya hasil yang dinginkan mereka terjadi (pengendalian detektif). b. Sistem Pengendalian Alat dari pengendalian meliputi orang, aturan, anggaran, jadwal dan mungkin berbagai komponen lain, kesemuanya membentuk sistem pengendalian. Sistem yang terbentuk mungkin mengintegrasikan subsistem, dan mungkin merupakan bagian dari sistem yang lebih besar. Tujuan sekaligus. Sistem pengendalian mungkin merupakan sistem terbuka ataupun sistem yang tertutup. Pada dasarnya sistem operasional mempunyai tiga komponen dasar yaitu: input, proses, dan output yang dapat digambarkan sebagai:
Gambar. 2.1
input
Proses
Output
Sumber: (Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2000).
\ 1) Sistem Pengendalian Black Box Dalam pandangan sistem pengendalian, black box adalah derajat sistem yang terendah. Dalam sistem ini manajemen memandang proses sebagai sesuatu yang tidak dapat dipengaruhi dan harus diterima apa adanya. Oleh karena itu proses dilihat sebagai suatu kotak hitam, dan digambarkan sebagai berikut Gambar. 2.2
input
Kotak hitam
output
Sumber: (Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2000).
2) Sistem Pengendalian Umpan Balik (Feed Back) Derajat kedua dari sistem pengendalian adalah sistem Pengendalian umpan balik. Untuk mengendalikan agar proses dapat menghasilkan output sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka dua elemen harus ditambahkan, yaitu sensor pengendalian dan umpan balik.
3) Sistem Pengendalian Umpan Depan (Feed Forward) Derajat tertinggi dalam sistem pengendalian adalah sistem pengendalian umpan depan. Sistem pengendalian ini menghendaki pemahaman bahwa suatu proses sebenarnya adalah serangkaian dari proses-proses yang lebih kecil. Dengan menempatkan sensor pengendalian pada setiap proses kecil tersebut maka informasi yang diperoleh dapat diumpankan kedepan (Feed Forward).
c. Aspek-aspek Pengendalian Manajemen Aspek-aspek pengendalian manajemen manurut (Ress, David and McBean dalam buku Management People Strategy and Theory 2007) penerapan pengendalian manajemen adalah hak prerogatif manajemen. Perkembangan kemudian mengharuskan manjemen perusahaan untuk menerapkan pengendalian manjemen baik secara langsung maupun tidak langsung. Terlebih lagi jika organisasi tersebut mulai menggunakan dana masyarakat dalam kegiatan usahanya, mau tidak mau ia berada dalam pengawasan badan pengatur yang mensyaratkan adanya pengendalian. Pada keadaan ini suatu organisasi harus tunduk misalnya pada syarat-syarat pengendalian yang terdapat pada undang-undang yang berlaku. Di Amerika Serikat. Foreign Corrupt Practice Act 1977 yang disempurnakan pada tahun 1988 adalah penyempurnaan dari Securities Exchange Act 1934. Seluruh organisasi (perusahaan) yang oleh
Securities Exchange Act 1934 diharuskan dimasukan laporan keuangan auditan, sekarang diharuskan untuk memelihara pembukuan yang cukup lengkap dan akurat serta menerapkan suatu pengendalian manajemen yang cukup andal. d. Kendala dan Keterbatasan Pengendalian Manajemen Banyak
pihak
yang
menginginkan
bahwa
dengan
melaksanakan pengendalian manajemen secara ketat, organisasi akan dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam mencapai misi dan tujuan organisasi secara ekonomis, efisien, dan efektif. e. Prosedur Pengujian Sistem Pengendalian Manajemen Tugas auditor dalam kaitan dengan pemahaman pengendalian manajemen adalah meyakinkan bahwa unsur-unsur pengendalian manajemen telah ditempatkan secara tepat dalam operasi dan didalam pedokumentasian. f. Mendokumentasikan Pemahaman Pengendalian Manajemen Untuk memudahkan auditor dalam menyimpulkan tingkat keandalan sistem pengendalian internal yang dievaluasi, beberapa alat dokumentasi atas hasil evaluasi tersedia untuk digunakan. Alat-alat ini diantara lain adalah: uraian naratif, flowchart, dan internal control questioner.
6. Peranan Pemeriksaan Manajemen Dan Audit Kinerja Dalam Pemeriksaan Kinerja Istilah pengukuran kinerja merupakan hasil terjemahan dari performance auditing yang dapat didefinisikan dalam kerangka yang sama seperti pemeriksaan manajemen, kecuali bahwa pemeriksaan operasional lebih
berlaku
terhadap
sistem
operasi audit
dari pada
sistem
manajemennya (J. Simke 1982). Pemeriksaan kinerja memberikan penekanan pada segi efisiensi dan ekonomis/penghematan pelaksanaan fungsi manajemen. Sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pemeriksaan kinerja maka pemeriksaan ini dapat dibedakan atas dua bagian yaitu : a. Pemeriksaan
pengelolaan
(management
auditing)
yaitu
pemeriksaan kinerja dengan penekanan pada segi ekonomis dan efisien; b. Pemeriksaan program (program auditing) yaitu pemeriksaan kinerja dengan penekanan pada aspek efektivitas.
Sehubungan dengan batasan mengenai rumusan istilah audit kinerja, menurut Johny Setiawan (1988): ”Pemeriksaan kinerja bertujuan menghasilkan perbaikan atas pengelolaan aktivitas dan mencapai hasil dari obyek yang diperiksa dengan cara memberikan saran-saran tentang upaya-upaya yang dapat ditempuh guna pendayagunaan sumber-sumber ekonomis secara efisien dan efektif”.
Pemeriksaan manajemen menurut Supriono (1990): ”Pemeriksaan manajeman adalah suatu proses pemeriksaan secara sistematis yang dilaksanakan oleh pemeriksa independen untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti secara objektif atas prosedur dan kegiatan manajemen”. Menurut Supriono (1990) perbedaan Audit Kinerja dengan Audit Manajemen adalah: Tabel. 2.1 No Audit Kinerja 1. Kegiatan pemeriksaan dilaksanakan secara policy manajer, pedoman akuntansi, standar kegiatan 2. Sumber-sumber telah digunakan secara efektif, efisien dan hemat serta mengkomunikasikan hasil pemeriksaan dalam bentuk laporan, konklusi laporan kepada atasan manajer yang diperiksa.
Audit Manajemen Kegiatan pemeriksaan dilaksanakan sesuai peraturan, prosedur, standar kegiatan, maupun policy manajer. Sumber telah digunakan secara efektif dan hemat serta mengkomunikasikan hasil pemeriksaan dengan pendapatan konklusi laporan kepada atasan manajer disertai dengan bentuk rekomendasi tindakan koreksi kegiatan yang in-efisiensi.
Standar atau kriteria pemeriksaan menurut (Sayle. 2000) adalah ukuran mengenai mutu pemeriksaan standar pemeriksaan kinerja yang digunakan dewasa ini merupakan norma umum pemeriksaan, pelaksanaan dan pelaporan yang dikembangkan oleh General Accounting Office (GAO) dari Amerika Serikat sebagaimana yang disebutkan dengan nama ”GAO Standar for Audit of Govermental Organization Programs, Activities and function” yang sejalan pula dengan hasil kongres IAI 1994 di Bandung yang dituangkan dalam buku standar auditing.
C. Sistem Pengendalian Manajemen terhadap Pengorganisasian Organisasi menurut (Kinicki, Angelo 2005) adalah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama-sama serta secara formal saling terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan. Dalam persekutuan ini terdapat seorang atau beberapa orang yang disebut alasan dan seorang/sekelompok orang yang disebut bawahan. Tiga unsur utama dalam suatu organisasi Supono (2000), yaitu: 1. Organisasi memiliki kegunaan atau tujuan, yaitu pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan; 2. Organisasi terdiri dari kelompok manusia; 3. Organisasi merupakan wadah sekelompok orang untuk bekerjasama. Selain itu pengorganisasian
juga terdiri dari beberapa aspek yang
mendasari pembentukan dari pengorganisasian yang di inginkan, dimana aspek-aspek tersebut didasari atas langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam suatu pengorganisasian, langkah-langkah tersebut bisa dipastikan tidak terlepas dari prosedur pengorganisasian yang telah ditentukan. Proses pembentukan organisasi diawali dengan penetapan visi dan misi yang bertujuan mengidentifikasikan tugas pokok, sasaran kinerja dan fungsi organisasi. Penetapkan standar kinerja dilakukan untuk mengendalikan pelaksanaan kegiatan para anggota organisasi agar tetap sesuai dengan yang diinginkan. Standar kinerja ini juga merupakan alat pendeteksi secara dini jika terjadi ketidaksesuaian antara pelaksanaan dan ketentuan atau prosedur yang
seharusnya. Organisasi berdasarkan atas dua bentuk pengklasifikasian yaitu organisasi bentuk struktural dan organisasi bentuk fungsi. 1. Perencanaan Menurut (Manulang dalam bukunya Dasar-Dasar Manajemen 2006) untuk dapat mencapai tujuan organisasi, manajemen harus merencanakan proses, membakukan, melaksanakan dan memantau pelaksanaannya dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, perencanaan merupakan tahap awal dari suatu proses manajemen. Perencanaan berfungsi untuk memberikan arahan kepada proses manajemen dengan cara membantu memutuskan apa yang diharus dikerjakan, kapan dan bagaimana
caranya
mengerjakan,
serta
siapa
saja
yang
harus
melakukannya. 2. Prosedur Setiap organisasi, mempunyai misi, fungsi serta tujuan masingmasing yang pada umumnya tercermin diperaturan perundangan yang mendasari. Prosedur pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian (urutanurutan), tindakan oleh satu atau beberapa orang dengan peralatan dan waktu tertentu didalam melaksanakan suatu aktivitas tertentu untuk mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan kebijakan pimpinan yang telah digunakan. Dengan kata lain prosedur merupakan pedoman yang sangat spesifik dan secara rinci menggambarkan langkah-langkah secara kronologis yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian
dikatakan bahwa filosofi diciptakannya prosedur adalah mengarahkan personil organisasi dalam bentuk secara sistematis guna mendukung tercapainya tujuan organisasi. 3. Kebijakan Dalam organisasi kebijakan merupakan alat bantu untuk memilih tindakan terbaik dari berbagai alternatif yang ada. Oleh karena itu kebijakan akan dijumpai dalam organisasi pada hampir seluruh tingkatan manajemen. Kebijakan akhirnya menjadi salah satu bidang kajian yang penting dalam manajemen, karena pengaruhnya yang luas, meliputi seluruh aspek pengelolaan organisasi. Dalam manajemen, kebijakan merupakan penjabaran keinginan organisasi yang harus dicapai. 4. Pencatatan Pencatatan merupakan suatu fungsi untuk mendokumentasikan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada suatu organisasi dari unit terendah sampai dengan unit tertinggi. Catatan ini sangat diperlukan karena memungkinkan para pihak yang berkepentingan untuk mendapat informasi, membaca, dan memperlajari kembali peristiwa atau fakta yang telah terjadi. 5. Pelaporan Laporan merupakan salah satu dari beberapa alat komunikasi yang digunakan organisasi. Dari sudut pandang pengendalian manajemen, laporan adalah sarana untuk meyakinkan bahwa setiap anggota organisasi mendapatkan pesan yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan dalam
rangka pencapaian tujuan organisasi. Bagi anggota organisasi fungsi laporan berkisar dari: a) sekedar menginformasikan, b) meyakinkan, hingga, c) menggerakan mereka untuk melakukan sesuatu. Menurut derajat formalitasnya laporan dapat berbentuk laporan lisan maupun tertulis. Isi laporan mungkin akan menyajikan informasi mengenai apa yang telah terjadi (what), dimana kejadiaanya (where), kapan terjadinya (when), mengapa hal itu terjadi (why), siapa yang terlibat didalam kejadian (who) dan bagaimana hal tersebut terjadi (how). Ciri mutu dari laporan harus dapat dimengerti, relevan, dan dapat dipercaya. 6. Review Internal Review internal merupakan unsur pengendalian manajemen yang terakhir. Kegiatan ini diperlukan untuk meyakini bahwa seluruh unsur pengendalian internal yang telah diuraikan pada bahasan-bahasan sebelumnya, yang terdiri dari pengorganisasian, kebijakan, perencanaan, prosedur, pencatatan, pelaporan, dan personil telah berfungsi sebagaimana mestinya demi terselenggaranya tugas pokok dan fungsi selalu instansi atau organisasi secara ekonomis, efisien, dan efektif.
D. Akuntabilitas Akuntabilitas menurut (LAN dalam Pedoman Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah No. 589/IX/6/Y/99 1999) tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran
yang
telah
ditetapkan,
melalui
suatu
media
pertanggungjawaban, yang dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia
birokrasi,
akuntabilitas
suatu
instansi
pemerintah
merupakan
suatu
perwujudan instansi pemerintah mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan nilai instansi yang bersangkutan. 1. Perkembangan Akuntabilitas Di dalam pendefinisian dari akuntabilitas ditinjau dari aspek yaitu tinjauan historia dan tinjauan teoritis. Menurut The Oxford Advance Learner’s Dictionary, akuntabilitas adalah required or expected to give an explanation for one’s action. Dengan kata lain, dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindaktanduk dan kegiatannya di bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi/atasannya. Dalam hal ini terminologi akuntansi dilihat dari sudut pandang pengendalian tindakan pada pencapaian tujuan. Tolak ukur atau indikator pengukuran kinerja adalah kewajiban individu atau organisasi untuk mempertanggungjawabkan pencapaian kinerjanya melalui pengukuran yang seobyektif mungkin. Media
untuk
mempertanggungjawabkan
akuntabilitas
tidak
terbatas didalam laporan pertanggungjawabannya saja tetapi juga mencakup praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian akuntabilitas akan tumbuh subur pada lingkungan
yang
pertanggungjawaban.
mengutamakan
keterbukaan
sebagai
landasan
Menurut J.B. Gharley, akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan ini memerlukan jawaban. Konsep pelayanan ini dalam akuntabilitas belum memadai, oleh karena itu harus diikuti dengan jiwa enterpreneurship pada pihak-pihak
yang
melaksanakan
akuntabilitas.
Akuntabilitas
juga
merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara bagaimana untuk mencapai semua itu. Akuntabilitas dapat hidup dan berkembang dalam suasana dan transparan dan demokratis dan adanya kebebasan dalam mengemukakan pendapat, sehingga di dalam negara yang otokratik dan tidak transparan, akuntabilitas akan hilang dan tidak berlaku. Oleh karena ini pemerintah harus betul-betul menyadari bahwa pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Ada empat dimensi yang membedakan akuntabilitas dengan yang lain: a. Siapa yang harus melaksanakan akuntabilitas; b. Kepada siapa dia berakuntabilitas; c. Apa standar yang ia gunakan untuk penilaian akuntabilitasnya; d. Nilai akuntabilitas itu sendiri. Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas publik (tahun 1985)
menetapkan definisi sebagai berikut,
bahwa
akuntabilitas
merupakan kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa
yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program. Pengendalian (control) sebagai tujuan penting manajemen yang baik, adalah saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa pengendalian tidak dapat berjalan dengan efisien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik pula, demikian sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian terhadap sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan melalui media
pertanggungjawaban secara periodik. Media akuntabilitas yang memadai adalah bentuk laporan yang dapat mengekspresikan pencapaian tujuan melalui pengelolaan sumber daya suatu organisasi. Media akuntabilitas ini dapat berupa laporan tahunan tentang pencapaian tugas pokok dan fungsi dengan aspek-aspek penunjangnya seperti aspek keuangan, aspek sarana dan prasarana, aspek sumber daya manusia dan lain-lain.
2. Jenis Akuntabilitas Menurut Sirajudin H. Salleh dan Aslam Iqbal, akuntabilitas sebetulnya merupakan sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi: a. Akuntabilitas intern seseorang dan b. Ekstren seseorang. Dari sisi intern, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhannya. Akuntabilitas yang demikian ini yang meliputi pertanggungjawaban sendiri mengenai segala sesuatu yang dijalankannya, hanya dipahami dan diketahui oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu akuntabilitas intern sering disebut juga sebagai akuntabilitas spiritual. Ledivina V.G menyatakan bahwa dengan disadarinya akuntabilitas spiritual, maka pengertian akan accountable atau tindakan seseorang bukan hanya dikarenakan ia mencuri dan tidak sensitif terhadap lingkungannya, akan tetapi lebih jauh dari itu yakni seperti adanya perasaan malu atas warna kulitnya, tidak bangga menjadi bagian suatu bangsa, kurang nasionalis, dan lain-lain. Akuntabilitas yang satu ini sangat sulit untuk diukur karena tidak adanya ukuran yang jelas dan diterima oleh semua orang serta tidak ada yang melakukan cek evaluasi dan monitor baik sejak proses sampai pertanggungjawaban itu sendiri.
Akuntabilitas Ekstern sesorang adalah akuntabilitas seseorang tersebut kepada lingkungannya, baik lingkungan formal maupun lingkungan masyarakat. Kegagalan seseorang melaksanakan akuntabilitas ekstern tersebut mencakup pemborosan waktu, pemborosan sumber dana, dan sumber-sumber daya pemerintah. Akuntabilitas ekstern akan lebih mudah diukur mengingat norma dan standar yang tersedia memang sudah jelas. Kontrol pengendalian eksternal sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam suatu sistem dan prosedur kerja. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di indonesia seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Lembaga Konsumen indonesia, merupakan contoh-contoh pengontrol dan penyeimbang pelaksanaan akuntabilitas instansi pemerintahan. Akuntabilitas Internal meliputi: a. Internal Accountability to the public servant’s own organization Dalam akuntabilitas ini setiap tingkatan pada hierarki organisasi, petugas pelayanan publik diwajibkan untuk accountable kepada atasannya dan kepada yang mengontrol pekerjaannya. Untuk itu diperlukan komitmen dari seluruh petugas untuk memenuhi kriteria pengetahuan dan keahlian untuk pelaksanaan tugas-tugasnya sesuai dengan posisi tersebut. b. Eksternal Accountability to the individual’s and organization outside public servant’s own organization Akuntabilitas ini mengandung pengertian akan kemampuan untuk menjawab setiap pertanyaan yang berhubungan dengan
pencapaian kinerja pelaksanaan tugas dan wewenang. Pembagian Akuntabilitas Eksternal meliputi: 1) Menurut Mario D. Yango a) Tradisional atau Regulariy Accountability Akuntabilitas tradisional atau reguler memfokuskan diri pada transaksi-transakisi reguler atau fiskal untuk mendapatkan informasi mengenai kepatuhan kepada peraturan yang berlaku terutama yang terkait dengan peraturan fiskal dan peraturan pelaksanaan
administrasi
Compliance
Accountibility.
publik. Hal
Disebut ini
juga
dengan
diperlukan
untuk
mempertahankan tingkat efisiensi pelaksanaan administrasi publik yang mengarah pada perwujudan pelayanan prima. b) Managerial Accountability Akuntabilitas
manajerial
menitikberatkan
kepada
efisiensi dan kehematan penggunaan dana, harta kekayaan, sumber daya, manusia dan sumber-sumber
daya lainnya.
Efisiensi penggunaan sumber daya yang menjadi kewenangan suatu instansi pemerintah merupakan ciri utama akuntabilitas manajerial. c) Program Accountability Akuntabilitas program memfokuskan pada pencapaian hasil operasi pemerintah. Pencapaian tugas tersebut tentunya dikaitkan program-program instansi pemerintah tersebut yang
dikaitkan dengan program nasional. Sehingga keberhasilan instansi pemerintah ini mempunyai sumbangan (share) yang jelas pada pencapaian program nasional. d) Process Accountability Akuntabilitas proses memfokuskan kepada informasi kepada
tingkat
pencapaian
kesejahteraan
sosial
atas
pelaksanaan kebijakan dan aktivitas-aktivitas organisasi.
2) Menurut Samuel Paul (1991) a) Democration Accountability Akuntabilitas demokrasi merupakan gabungan antara political
dan
administrative
accountability.
Pemerintah
accountable atas kinerja dan semua kegiatannya kepada pimpinan politik yang telah mereka pilih. b) Profesional Accountability Dalam akuntabilitas profesional para pakar, profesional, teknokrat melaksanakan tugas-tugasnya dengan dilandasi oleh norma-norma dan standar profesinya. Mereka diperkenankan untuk menentukan public interst sesuai dengan norma-norma dan standar yang dikaitkan dengan kepentingan masyarakat. c) Legal Accountability Berdasarkan kategori akuntabilitas yang satu ini, pelaksanaan ketentuan hukum disesuaikan untuk kepentingan
public goods dan public services yang memang dituntut oleh masyarakat Selain jenis-jenis yang disebutkan diatas akuntabilitas juga terbagi lagi menjadi beberapa jenis yaitu: a. Akuntabilitas Keuangan Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggungjawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan, dan ketaatan terhadap peraturan perundangan sasaran pertanggungjawaban ini adalah laporan keuangan yang disajikan dan peraturan perundangan yang berlaku yang mencakup penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran uang oleh instansi pemerintah. b. Akuntabilitas Manfaat Akuntabilitas
manfaat
(efektivitas)
pada
dasarnya
memberikan perhatian kepada hasil dalam kegiatan-kegiatan pemerintah. Dalam hal akuntabilitas manfaat hampir sama dengan akuntabilitas program. c. Akuntabilitas Prosedural Akuntabilitas prosedural merupakan pertanggungjawaban mengenai apakah suatu prosedur penetapan dan pelaksanaan suatu kebijakan telah mempertimbangkan masalah moralitas, etika, kepastian hukum, dan ketaatan pada keputusan politis untuk mendukung pencapaian tujuan akhir yang telah ditetapkan.
E. Good Governance Good governance menurut definisi yang diberikan Word Bank diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Word Bank, 1998 dalam Huther & Shah 1998). Menurut Seminar Nasional Pengawasan Konsep, Strategi, dan Implementasi Good governance dalam Penyelenggaraan Pemerintahan (Inspektorat Jenderal Departemen Agama 2007) good governance adalah pengelolaan suatu kegiatan, apakah dalam suatu organisasi skala kecil, perusahaan maupun pemerintah serta negara harus dilakukan secara amanah sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh pemberi amanah. Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah
dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Dari segi functional aspect, good governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau sebaliknya. Word bank memberikan definisi: “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”. Sementara UNDP mendefinisikan sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Oleh karena itu, menurut definisi terakhir ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan adminitrative. Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggaraan ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap equity, poverty, dan quality of life. Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik, termasuk mengajak kelompok-
kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. 1. Definisi dan Konsep Good Governance Good governance adalah pengelolaan suatu kegiatan apakah dalam suatu organisasi skala kecil, perusahaan maupun pemerintah serta negara harus dilakukan secara amanah sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh pemberi amanah (Departemen Agama R.I: Buku Panduan Acara Seminar Nasional “Pengawasan Konsep. Strategi dan Implementasi Good governance dalam Penyelenggaraan Pemerintah. 2007). Pengertian good governance mencakup aspek kehidupan yang luas mulai dari aspek hukum, politik, ekonomi, sosial, dan terkait erat dengan tugas fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta dengan posisi dan peran sektor dunia usaha, dengan masyarakat. Dengan lingkup tersebut, good governance dapat dikelompokan menjadi 9 (sembilan) bagian karakteristik, yaitu: (a) participation, (b) rule of low, (c) tranparancy, (d) responsiveness, (e) consensus orientation, (f) equity, (g) effectiveness and efficiency, (h) accountabiliy, (i) strategi visio.
2. Strategi Menerapkan Good Governance Berikut ini adalah beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mencapai penerapan praktik good governance dalam birokrasi pemerintah: (LAN: Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Good Governance. 2002).
a. Reformasi Sistem Birokrasi Birokrasi harus diarahkan pada prinsip pelayanan pada kepentingan publik. Reformasi sistem birokrasi ini menyangkut perubahan regulasi terutama yang terkait dengan pelayanan publik. Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh dalam reformasi sistem birokrasi ini adalah dengan menumbuhkan budaya koorporasi pada organisasi birokrasi pemerintah. b. Peningkatan
Budaya
Akuntabilitas
Dalam
Pelaksanaan
Pemerintahan Budaya pemerintah
akuntabilitas tidak
dipertanggungjawabkan.
mengharuskan
hanya Proses
setiap
dilaksanakan ini
namun
memungkinkan
kegiatan juga adanya
evaluasi pelaksanaan kegiatan. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk melakukan penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan periode berikutnya. Jika hal ini dilaksanakan secara terus-menerus, maka akan tercipta efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan, bahkan memungkinkan tumbuhnya inovasi dalam pelaksanaan kegiatan. c. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia perlu diingatkan dalam hal yaitu profesionalisme, etika dan moral, dan budaya kerja.
d. Transformasi Tata Nilai Tata nilai dalam suatu sistem berperan melandasi, memberikan acuan, menjadi pedoman perilaku, dan menikmati eksistensi dan dinamika unsur-unsur lainnya dalam sistem administrasi
negara
termasuk
birokrasi.
Semangat
good
governance harus ditransformasikan dalam tata nilai dan budaya organisasi.
F. Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya yang di dalam penelitiannya telah membahas mengenai sistem pengendalian manajemen, akuntabilitas kinerja dan good governance. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh: 1. Arief Ramadani “Pengaruh total Quality Manajemen dan Sistem Reward terhadap Kinerja Manajerial dengan Profit sebagai Variabel Moderating (studi kasus pada PT Pos Indonesia. Lap Banteng)”. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007. Membahas tentang pengaruh total quality manajemen dan pengaruh reward terhadap kinerja manajerial. 2. Mira Kumaira “Tanggung jawab Komite Audit, Audit internal dan Prinsip Good Coorparate Governance (pada salah satu bank swasta di Jakarta)”. UIN Syarih Hidayatullah Jakarta. 2007. Membahas mengenai sejauh mana tanggung jawab komite audit membantu bank x dalam menerapkan prinsip transparansi dan disclosure
dan sejauh mana tanggung jawab audit internal dalam membantu bank x dalam menerapkan prinsip transparansi dan disclosure. 3. Agus Subekti “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Perusahaan Melakukan Tax Planning (studi kasus pada KPP perusahaan masuk bursa (KPP PMB)”. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007. Membahas mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat memotivasi manajemen
perusahaan
perusahaannya.
untuk
melakukan
tax
planning
dalam
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang berusaha menggambarkan atau menjelaskan secermat mungkin mengenai suatu hal dari data yang ada. Penelitian ini tidak terbatas pada pengumpulan data dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu menjadi suatu wacana dan konklusi dalam berpikir logis, praktis dan teoritis. Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat mengungkapkan fakta (fact finding). Pemilihan metode ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam pembahasan penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai peranan pengawasan pada sistem pengendalian manajemen dan akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan good governance di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama.
B. Metode Penentuan Sampel Dalam skripsi ini dilakukan studi kasus terhadap Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I. Jakarta. Adapun penelitian ini membahas mengenai peranan pengawasan pada sistem pengendalian manajemen dan akuntabilitas
kinerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama dalam mewujudkan good governance di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama.
C. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dari lapangan yang didapat kemudian akan diperbandingkan dengan landasan teori yang berkaitan dengan obyek penelitian. Alasan peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan tujuan untuk dapat memahami isi dari penulisan ini (understanding). Fenomena sosial yang ada sesuai dengan definisi kualitatif menurut Dr. Nur Indriantoro dalam bukunya (metodologi penelitian bisnis. 1999) di mana paradigma deskriptif dinamakan juga sebagai pendekatan konstruktif, naturalisme atau interpretatif (constructivist, naturalistic, or interpretative approach), atau perspektif postmodern. Paradigma kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistis, kompleks dan rinci. Penelitianpenelitian dengan pendekatan induktif yang mempunyai pengungkapan fakta merupakan contoh tipe penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif. Paradigma kualitatif yaitu: 1. Realitas bersifat subyektif dan berdimensi banyak; 2. Penelitian berinteraksi dengan fakta yang diteliti;
3. Tidak bebas dan bias; 4. Penyusunan teori dengan analisis kualitatif. Fenomena sosial yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah yang berhubungan dengan peranan sistem pengendalian manajemen yang difokuskan pada pelaksanaan pengawasan dan akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan good governance di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama.
D. Metode Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian-penelitian ini adalah terdiri dari data yang bersifat primer dan data yang bersifat sekunder. Data yang bersifat primer adalah data yang didapat langsung dari sumber yang ada data sekunder yaitu data yang telah diolah terlebih dahulu guna mendapatkan data dan informasi yang lain, yang dibutuhkan pada penelitian ini, maka peneliti menerapkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah: 1. Studi Kepustakaan Studi Kepustakaan ini dilakukan dengan cara membaca buku, literatur, majalah, jurnal paper, tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan dengan masalah penelitian ini serta Standar Akuntansi Pemerintahan dan Standar Pedoman Akuntan Publik dan sebagainya dengan tujuan untuk mendapatkan kerangka teori dan menentukan arah dan tujuan penelitian serta mencari konsep yang sesuai dengan permasalahan penelitian dan
sebagai dasar untuk menganalisa obyek penelitian, sehingga dapat diperoleh kesimpulan hasil penelitian.
2. Studi Lapangan (Field Research) Studi
lapangan
(Field
Research)
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan data dan informasi secara langsung di Inspektorat Jenderal Departemen Agama. melalui wawancara mendalam dengan pimpinan maupun staff yang menjadi key Informan yang sehari-harinya secara langsung mengenai sistem pengawasan dan akuntabilitas kinerja. Dalam studi lapangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pengumpulan informasi dan data instansi terkait untuk dilakukan penelahaan lebih lanjut.
E. Operasional Variabel Penelitian Operasional variabel penelitian memberikan batasan dan penjelasan mengenai variabel yang digunakan dalam penelitian. Operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala ordinal yaitu sebagai berikut: 1. Sistem Pengendalian Manajemen Sistem pengendalian manajemen yang akan dibahas dalam pembahasan ini hanya dibatasi dan difokuskan pada pelaksanaan pengawasan. Pengawasan secara umum diartikan sebagai upaya menjaga agar program/kegiatan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana, efektif,
efisien, dan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dikenal dengan terminologi pengawasan dengan pendekatan agama, pengawasan melekat, pengawasan intern, pengawasan ekstern, pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat yang dapat digambarkan sebagai lapisan-lapisan unsur pengawasan nasional. Pengertian pengawasan dalam tulisan ini hanya dibatasi dan terfokus pada pengawasan internal, eksternal, dan pengawasan pendekatan agama. Pengawasan intern dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang terdiri atas BPKP, Inspektorat Jenderal Departemen, Inspektorat Kementrian/LPND dan Bawasda Provinsi, kabupaten dan kota. Pengawasan Ekstern dilaksanakan oleh BPK-RI sebagai aparat pengawasan ekstern yang bebas mandiri dalam pelaksanaan fungsi pemeriksaan keuangan negara, sedangkan Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) merupakan program pengawasan dini yang ditawarkan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama sebagai upaya pemberantasan KKN melalui penyampaian nilai-nilai agama. Secara universal diakui bahwa pengawasan intern, ekstern dan pendekatan agama memiliki peranan dalam mendorong perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance) melalui peningkatan akuntabilitas dan transparansi instansi pemerintah yang diawasi.
2. Akuntabilitas Kinerja Akuntabilitas didefinisikan sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan, melalui suatu media pertanggungjawaban, yang dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah merupakan suatu perwujudan instansi pemerintah dalam mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan nilai instansi yang bersangkutan. Akuntabilitas publik terkait erat dengan kinerja sektor publik yang memfokuskan pada kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana pelaksanaan kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran harus dilakukan secara jujur, efektif dan efisien. Sebagai konsekuensi dari perlunya akuntabilitas publik, maka diperlukan suatu sistem akuntabilitas publik yang di dalamnya berisi pertanggungjawaban pemerintah dengan orientasi pada kinerja. Sistem ini nantinya dapat berfungsi sebagai alat untuk peningkatan kinerja instansi sektor publik. Sistem inilah yang dikenal dengan nama SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah).
Gambar. 3.1 Siklus SAKIP Perencanaan Strategik
Perencanaan Kinerja
Pelaporan Kinerja
Akuntabilitas Kinerja
Pengukuran dan Evaluasi Kinerja
4. Good Governance Istilah good governance secara sederhana bermakna “tata kepemerintahan yang baik”. Kepemerintahan yang baik merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, di samping adanya pengaruh globalisasi. Persepsi masyarakat mengenai good governance di Indonesia dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan
yang efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, good governace akan tercipta manakala diantara unsu-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh satu pun di antara mereka yang memiliki kontrol absolut (Lukman Hakim Saifuddin 2000).
BAB IV PENEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian Departemen Agama lahir pada hari kamis, 3 Januari 1946 berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 1/SD Tahun 1946. Sebagai pelaksanaan dari penetapan pemerintah tersebut, telah dikeluarkan keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 118 HJ tanggal 20 Nopember tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama. Unsur pengawasan fungsional pada saat itu belum berdiri sendiri. Tugas pengawasan masih inheren pada pelaksaan tugas dan fungsi serta mengalami berbagai perubahan seperti: 1) Bagian/Urusan Perbendaharaan, 2) Biro Sekretaris Jenderal, dan 3) Biro Pengawasan Keuangan. Selanjutnya
ruang
lingkup
pengawasan
tidak
hanya
pembukuan/keuangan (finance audit), akan tetapi bidang perlengkapan dan tuntutan ganti rugi (TGR) telah menjadi sasaran pengawasan. Nama atau nomenklatur inspektorat pertama kali terdapat dalam KMA Nomor 56 Tahun 1967 tentang perincian struktur organisasi, tugas, dan wewenang departemen agama. Berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 29 Tahun 1963 tentang pengawasan keuangan negara dan KMA Nomor 56 Tahun 1967, diperlukan aparatur pengawasan keuangan Departemen Agama, maka diterbitkan KMA
Nomor 136 Tahun 1967 tentang Organisasi dan Tugas Wewenang Inspektorat Pengawas Keuangan (Itwasku). Berkenaan dengan pelaksanaan kehidupan beragama di Indonesia yang semakin subur, Departemen Agama perlu menyempurnakan struktur organisasi dan personalianya. Oleh karena itu dengan mencabut KMA Nomor 56 Tahun 1967 beserta peraturan pendukungnya, maka diterbitkan KMA Nomor 114 Tahun 1969 tentang struktur organisasi, tugas, kewajiban, wewenang, dan tata kerja Departemen Agama Pusat. Pada Tahun 1970, diterbitkan KMA Nomor 269 yang merupakan penyempurnaan terhadap KMA 114 Tahun 1969. Hal ini dimasudkan penyempurnaan pelaksanaan tugas Departemen Agama Pusat menuju arah koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi yang efisien dan efektif. Unsur pengawasan fungsional dalam KMA masih memiliki nama Inspektorat Jenderal Pengawasan Personil (Itwaspers) dan Inspektorat Pengawasan Keuangan dan Materil (Itwas Kumat). Sesuai dengan Keppres R.I. Nomor 1 Tahun 1971 tentang Pembentukan Itjen Departemen, maka melalui KMA Nomor 14 Tahun 1971 lahirlah suatu susunan organisasi dan tata kerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama secara jelas dan tegas. Adapun tugas pokok Inspektorat Jenderal Dep. Agama dalam KMA Nomor 14 Tahun 1971 adalah membantu Menteri Agama dalam malaksanakan pengawasan atas pelaksanaan tugas seluruh instansi di lingkungan Departemen Agama.
Tabel. 4.1 Para Inspektur Jenderal No
Nama Inspektur Jenderal
Masa Jabatan
1
1975 s.d. 1978
3
H. Anton Timur Djaelani, MA. Brigjen H. M. Ali Siregar, S.H. H. Abdul Qodir Basalamah
1981 s.d. 1984
4
Drs. H. Moh. Slamat Anwar
1984 s.d. 1991
5
Drs. H. Ahmad Gozali
1991 s.d. 1996
6
Mayjen H. E. Sukarya AG.
1996 s.d. 1998
7
1998 s.d. 2000
8
Letjen Pol. Drs. H. Lutfi Dahlan H. Muchtar Zarkasyi, S.H.
9
Drs. H. Slamet Riyanto, M.Si. Prof. H. Qodri A. Azizy, M.A., Ph.D Mudzier Suparta, MA
2
1978 s.d. 1981
2000 s.d. 2002 2002 s.d. 2005 2005 s.d. 2007 2007 s.d. sekarang
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
1. Tugas dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Menteri Agama R.I. Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. a. Tugas Menyelenggarakan
pengawasan
fungsional
terhadap
pelaksanaan tugas di lingkungan Departemen Agama berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Manteri.
b. Fungsi 1) Perumusan visi, misi, dan kebijakan pengawasan fungsional di lingkungan Departemen Agama; 2) Pelaksanaan pengawasan fungsional akuntabilitas kinerja aparatur; 3) Pelaksanaan penyelenggaraan administrasi Inspektorat Jenderal; 4) Pembinaan teknis terhadap kelompok jabatan fungsional Auditor; 5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Menteri.
2. Struktur Organisasi Departemen Agama a. Struktur Organisasi Departemen Agama (PMA Nomor 3 Tahun 2006) Gambar. 4.1
MENTERI AGAMA
Staf Ahli
Sekretaris Jenderal
Inspektorat Jenderal
Dirjen Pendk Islam
Dirjen Bimas Islam
Dirjen Bimas Kristen
Staf Khusus
Dirjen Bimas Katoli k
Dirjen Bimas Hindu
Dirjen Bimas Budha
Badan Litbang dan Diklat Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
Dirjen PHU
b. Struktur Organisasi Inspektorat Jenderal
Gambar. 4.2
INSPEKTUR JENDERAL SEKRETARIS
Bagian Perencanaan dan keuangan
Bagian Organisasi Tata Laksana dan Kepegawaian
BagianPengelol aan Hasil Pengawasan
Bagian Umum
Sub Bagian Perencanaan Program
Sub bagian Organisasi dan tata Laksana
Sub bagian Analisis Hsl Pengawasan Internal
Sub Bagian Tata Usaha
Sub Bagian Keuangan
Sub Bagian Kepegawaian
Sub Bagian analisis Hsl Pengawasan Eks. Dan Humas
Sub Bagian Rumah Tangga
Sub Bagian Evaluasi & Pelaporan
Sub Bagian Hukum&Perundang -Undangan
Sub bagian Data & inFormasi Hasil Pengawasan
Sub Bagian Perlengkap an
Inspektur Wilayah I
Sub Bagian Tata usaha
Jabatan Fungsional Auditor
Inspektur Wilayah II
Sub Bagian Tata Usaha
Jabatan Fungsional Auditor
Inspektur Wilayah III
Sub Bagian Tata Usaha
Jabatan Fungsional auditor
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
Inspektur Wilayah IV
Sub Bagian Tata Usaha
Jabatan Fungsional auditor
Inspektur Wilayah V
Sub Bagian Tata Usaha
Jabatan Fungsional auditor
3. Visi dan Misi a. Visi Visi
Inspektorat
Jenderal
Departemen
Agama
adalah
terwujudnya sistem pengawasan untuk menjadikan Departemen Agama menjalankan kepemerintahan yang baik (good governance), menjadi bagian pemerintah yang bersih (clean government), dan terhindar dari KKN dalam rangka membangun bangsa Indonesia yang sukses dan mempunyai integritas melalui agama dan pendidikan. b. Misi Misi Inspektorat Jenderal Departemen Agama adalah: 1) Menjadikan Itjen sebagai katalisator, konsultan, dan melakukan pengawasan di Departemen Agama; 2) Mendorong terwujudnya akuntabilitas kinerja di lingkungan Departemen Agama dalam kepemerintahan yang bersih (clean government); 3) Meningkatkan
peran
controlling
dalam
manajemen
penyelenggaraan pemerintah agar tercapai hasil kerja Departemen Agama secara efektif dan efisien; 4) Menumbuhkan budaya pengawasan dini/upaya preventif dengan pendekatan agama untuk menjadi pondasi bagi pengawasan melekat;
5) Melakukan internal auditing yang mencakup audit keuangan dan audit kinerja secara menyeluruh di Departemen Agama agar terhindar dari KKN; 6) Melakukan pengawasan fungsional secara profesional yang meliputi pemeriksaan komprehensif, khusus, dan investigasi; 7) Melakukan
kerjasama
dengan
penegak
hukum
untuk
menyelesaikan kasus yang sudah bukan wewenang Itjen.
4. Program Utama Inspektorat Jenderal a. Penguatan dan pengembangan sistem pengawasan dalam memperkuat tugas pengawasan fungsional baik konseptual, mental/perilaku maupun performance auditor. b. Peningkatan sistem informasi pengawasan, peningkatan kualitas pelaksanaan pengawasan dan pelaporan serta informasi manajemen hasil pengawasan (SIM-HP). c. Pelaksanaan koordinasi penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan. d. Peningkatan kualitas penyusunan standar kinerja dan indikator keberhasilan. e. Pelaksanaan pengawasan terpadu, sejak perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan audit berbasis kinerja, serta audit investigasi dari audit khusus dengan tujuan tertentu. f. Pemantauan atas pelaksanaan tugas dan fungsi unit kerja di daerah, antara lain:
1) Tindak lanjut hasil audit Itjen, BPK-RI, BPKP, dan pengaduan masyarakat; 2) Operasional Embarkasi dan Debarkasi haji; 3) Pelayanan KUA kecamatan; 4) Pendistribusian barang dan uang; 5) Pelayanan pendidikan (BOS/BOMM, Laboratorium, Perpustakaan, Ujian Nasinal; 6) Rekuitmen CPNS dan Petugas Haji; 7) Penertiban pengelolaan Barang Milik Negara; 8) Penertiban pengelolaan PNBP. g. Temu wicara pengawasan. h. Sosialisasi program Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) dalam rangka pencegahan perilaku korupsi. i. Percepatan penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan Inspektorat Jenderal, BPKP, dan BPK-RI. j. Penanganan dan penuntasan pengaduan masyarakat dan penyelesaian tindak lanjutnya. k. Desk audit (evaluasi kinerja, evaluasi akuntabilitas kinerja, evaluasi hasil kegiatan audit dan sistem pengendalian internal). l. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAN-PK di lingkungan Departemen Agama. m. Monitoring dan evaluasi pelaksanan Pakta Integritas di lingkungan Departemen Agama.
5. Capacity Building a. In house training (pembinaan mental sebagai dasar pengendalian diri pegawai dalam melaksanakan tugas); b. Rapat evaluasi dan koordinasi pejabat di lingkungan Inspektorat Jenderal secara berkala; c. Menertibkan pola dan bahasa penyusunan LHA dan STL hasil audit; d. Inspeksi mendadak atas kinerja tim audit di daerah; e. Menerapkan kode etik auditor; f. Pemberian sanksi (grounded/penundaan penugasan) kepada auditor yang terlambat penyusunan LHA/STL; g. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan tata cara tentang pengawasan di lingkungan Departemen Agama; h. Melibatkan pers dalam penyelenggaraan kegiatan dan acara pemaparan hasil pengawasan; i. Mengembangkan teknologi informasi dengan menyusun Sistem Informasi Manajemen Pengawasan: 1) SIM Hasil Pengawasan (Itjen, BPKP, dan Dumas); 2) SIM Kepegawaian; 3) SIM Peraturan Perundang-undangan; 4) SIM Perencanaan dan Keuangan
6. Temuan Hasil Auditan Itjen Persentasi Temuan Hasil Audit Itjen Departemen Agama sampai dengan 19 Juni 2008. Gambar. 4.3 saldo; 29,63%
Selesai; 66,70% proses; 3,67%
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
Gambar. 4.4 kejadian m erugikan negara dan m asyarakat Penyetoran ke Negara
2,63% 6,60% 0,08% 2,10%
29,66%
23,36%
Pelanggaran peraturan Perundang-undangan Pelanggaran Prosedur dan tata kerja Penyim pangan dan ketentuan pelaksanaan anggaran ham batan kelancaran proyek
6,91% 2,08%
24,85% 1,73%
Ham batan kelancaran tugas pokok Kelem ahan adm inistrasi (Tata Usaha/Akuntansi) Ketidaklancaran pelayanan kepada m asyarakat Tem uan Pem eriksaan lain
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
7. Temuan Hasil Audit BPKP Sampai dengan 11 Juni 2008 Persentase Temuan Hasil Audit BPKP yang telah dan belum ditindaklanjuti. Gambar. 4.5 belum ditindak lanjuti; 39% sudah ditindak lanjuti, 61%
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
Temuan hasil audit BPKP sampai dengan 11 Juni 2008 yang telah ditindaklanjuti sebanyak 58,83% dan yang belum ditindaklanjuti sebanyak 41,17%. 8. Temuan Hasil Audit BPK-RI Sampai dengan 11 Juni 2008 ”Persentasi Temuan Hasil Audit BPK-RI yang telah dan belum ditindaklanjuti. Gambar. 4.6
belum ditindak lanjuti, 36,67%
sudah dtindak lanj uti, 63,33%
Sumber : Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
Temuan hasil audit BPK-RI sampai dengan Juni 2008 yang telah ditindaklanjuti sebanyak 63,33% dan yang belum ditindaklanjuti 36,67%.
B. Analisis dan Pembahasan 1. Analisis Deskripstif a. Sistem Pengendalian Manajemen dalam Peran dan Manfaatnya pada Instansi Pemerintahan Pengendalian manajemen di lingkungan Instansi Pemerintahan, mempunyai sifat yang khusus. Organisasi pemerintahan dikelola dengan cara dan nilai yang berbeda jika dibandingkan dengan yang dilakukan di lingkungan badan usaha. Sistem pengendalian manajemen dalam instansi pemerintah digambarkan dalam suatu sistem atau disebut dengan pengawasan, dimana pengwasan tersebut meliputi tiga jalur pelaksanaan diantaranya pengawasan intern, ekstern, pengawasan masyarakat dan pengawasan dengan pendekatan agama. Pengawasan adalah salah satu fungsi dari manajemen (pengelolaan) untuk mengusai, dan mengendalikan jalannya organisasi agar tujuan organisasi tercapai dengan efisien. Termasuk dalam pengusaan dan pengendalian jalannya organisasi adalah seluruh kekayaan, personil dan metode yang digunakan dalam organisasi untuk melaksanakan misinya. Tuntutan kualitas pengelolaan yang menjadi sangat tinggi, dan semakin ketatnya
persaingan dalam kehidupan yang semakin
majemuk, merombak tata cara pengelolaan kegiatan atau sumber daya dalam organisasi. Pengawasan secara langsung yang dipercaya paling tinggi efektivitasnya tidak lagi mencukupi. Keterbatasan waktu,
pengetahuan,
dan
keahlian manajemen organisasi,
tidak
lagi
mencukupi. Manajemen modern memerlukan jenis pengawasan lain selain pengawasan secara langsung untuk mengatasi segala kompleksitas kegiatan organisasi. Salah satu di antara bentuk pengawasan yang kemudian dipilih sebagai dasar atau penyangga bentuk-bentuk pengawasan lainnya adalah sebagai sistem pengendalian manajemen. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pengawasan, perlu ditekank an bahwa pertama, pengawasan adalah alat bantu bagi manajemen untuk mencapai tujuan. Kedua, adanya pengawasan bukanlah jaminan bagi organisasi akan dapat mencapai tujuannya. Semua tetap berpulang kepada manajemen, karena sesungguhnya pengawasan tidak akan menggantikan manajemen secara efektif. Kedua asumsi ini penting dalam memahami arti, posisi, dan fungsi pengawasan organisasi
serta
perannya
dalam
proses
manajemen
dalam (sistem
pengendalian manajemen). Dalam bahasan ini, pengertian pengawasan sebagai salah satu sistem dipersamakan dengan pengertian pengendalian manajemen atau ’control’, yakni segala komponen, baik berupa proses, elemen maupun kegiatan, yang terjalin erat dan berfungsi untuk meyakinkan agar segala kegiatan yang akan, sedang, dan telah ditetapkan, dan diselenggarakan
dengan
cara-cara
yang
seefisien
mungkin.
Pengawasan yang akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan ini
adalah pengawasan intern, ekstern dan pengawasan pendekatan agama pada Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I. 1) Pengawasan Intern Pengawasan Intern pemerintah merupakan alat pengawasan eksektif. Pengawasan intern dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang terdiri atas BPKP, Inspektorat Jenderal
Departemen,
Bawasda
Provinsi,
Inspektorat
Kabupaten
dan
Kementerian/LPND Kota.
Ruang
dan
lingkup
pengawasan intern lebih luas dari pada pengawasan ekstern yang hanya melakukan pengawasan melalui kegiatan audit. Pengawasan intern pemerintah merupakan salah satu unsur manajemen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan utama pengawasan intern adalah membantu pimpinan instansi pemerintah
melalui
kegiatan
pengawasan
yang
mampu
memberikan keyakinan/jaminan (quality assurance) yang memadai bagi pencapaian kinerja pemerintah yang telah ditetapkan, dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik. Pengawasan
intern
pemerintah dilaksanakan
melalui
berbagai bentuk kagiatan pengawasan yaitu audit, evaluasi, review, pemantauan dan kegiatan-kegiatan asistensi, konsultasi serta sosialisasi tentang masalah–masalah yang berhubungan dengan sistem administrasi keuangan dan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pengawasan intern, kegiatan-kegiatan di
luar kegiatan audit mempunyai kedudukan dan manfaat yang sama pentingnya dengan kegiatan-kegiatan audit, karena seluruh kegiatan tersebut bersifat membantu pimpinan instansi pemerintah dalam meningkatkan kinerja organisasi. Pengawasan intern mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengendalian intern karena pengawasan intern merupakan bagian dari pengendalian intern instansi pemerintah yang bersifat menyeluruh. Pengawasan intern diperlukan oleh pimpinan instansi pemerintah
untuk
memberikan
keyakinan
bahwa
sistem
pengendalian intern di dalam instansi yang dipimpinnya telah berjalan secara efektif. Lembaga pengawasan intern melakukan evaluasi secara berkala maupun sewaktu-waktu terhadap keandalan dan efektivitas sistem pengendalian intern. Hasil evaluasi sistem pengendalian intern disampaikan kepada pimpinan instansi pemerintah serta unsur-unsur pimpinan lainnya dalam instansi pemerintah yang dipandang perlu untuk menindaklanjuti hasil evaluasi dan pengawasan tersebut. Hasil pengawasan intern bermanfaat bagi pimpinan organisasi karena dapat memberikan penilaian yang bersifat independen dan obyektif tentang keandalan sistem pengendalian intern,
tingkat
penacapaian
kinerja
(efektivitas,
efisiensi,
kehematan), hambatan, kelemahan dan penyimpangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan kegiatan unit-unit kerja di
bawahnya. Apabila hasil pengawasan mengidentifikasikan adanya temuan-temuan tersebut, pimpinan organisasi dapat mengambil tindakan tidak korektif untuk meyakinkan bahwa temuan-temuan tersebut tidak terulang lagi. Dalam hal ini, pengawasan intern dapat berperan sebagai: a) Katalisator dalam hal peningkatan kinerja organisasi; b) Pemberian rekomendasi yang berkesinambungan bagi perbaikan/peningkatan teknis pelaksanaan yang sedang berjalan; c) Pemberian masukan tentang perlunya mengganti/mengubah pendekatan dalam kegiatan yang sedang berjalan, yang terbukti kurang operasional atau sudah terlalu ketinggalan zaman (out dated). Agar lembaga pengawasan intern dapat berperan secara efektif dan efisien, terdapat dua faktor yang mendasar yang perlu dipenuhi yaitu: a) Adanya standar profesi kegiatan pengawasan intern yang diterima secara umum dan diakui secara meluas dalam dunia pengawasan intern; b) Adanya lingkungan yang mendukung, yang meliputi: -
Dasar hukum yang memberikan batasan tentang sistem, prinsip dan fungsi pengawasan intern
-
Sistem manajemen yang jelas dan berfungsi dengan baik pada obyek yang diawasi;
-
Independensi yang cukup;
-
Manfaat pengawasan yang jelas meliputi ruang lingkup dan jenis kegiatan pengawasan;
-
Supervisi atas pelaksanaan tugas pengawasan.
2) Pengawasan Ekstern Pengawasan ekstern dilaksanakan oleh lembaga yang berada di luar dan independen terhadap lembaga/entitas yang diawasi. Dalam konteks Negara Republik Indonesia, pengawasan ektern dilaksanakan oleh BPK-RI. Berdasarkan pasal 23 E ayat (1) Amandemen UUD 1945, posisi ektern dan independen tersebut dinyatakan dengan istilah ”bebas dan mandiri”. Karena posisi yang ekstern dan independen, pengawas ekstern mempunyai fungsi yang sangat strategis dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, yang pada akhirnya akan mendorong terwujudnya akuntabilitas dan transparansi sebagai syarat perwujudan kepemerintahan yang baik. Secara tidak langsung, hasil pengawasan ekstern akan membantu pemerintah untuk
memaksimumkan
kinerjanya
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik. Lembaga pengawasan ekstern juga mempunyai konstribusi yang sangat penting bagi terwujudnya
pengelolaan
keuangan
negara
yang
sehat
dalam
rangka
penyelenggaraan negara/pemerintahan. Tujuan utama pengawasan ekstern adalah memberikan pendapat terhadap kelayakan suatu pertanggungjawaban, yang lebih dikenal dengan fungsi atestasi/pengujian (attestation function). Menurut principal agency theory, keberadaan lembaga pengawasan ekstern diperlukan untuk mengatasi ketidak simetrisan informasi (information asymmetry) antara agent dan principal. Dalam konteks pengawasan penyelenggaraan negara/pemerintahan Republik
Indonesia,
yang berperan sebagai agent adalah
Pemerintah (eksekutif), sedangkan principal adalah masyarakat (publik) yang diwakili oleh pihak legislatif (DPR-RI, DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota). Independensi terhadap pihak eksekutif disertai dengan integritas dan kompetensi di bidang audit atas keuangan negara, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Hasil audit ini selanjutnya menjadi masukan bagi pihak legislatif dalam menjalankan fungsi pengawasan dan legislatif yang melekat pada dirinya. Dalam hal ini pelaksanaan fungsi pengawasan dan legislatif yang melekat pada dirinya. Dalam hal pelaksanaan fungsi pengawasan, laporan hasil audit BPK akan menjadi bahan bagi legislatif untuk menilai tingkat akuntabilitas publik pemerintah,
sehingga dengan itu pihak legislatif dapat menentukan tindakan selanjutnya terhadap pemerintah. Manfaat yang diharapkan dari adanya pengawasan ektern adalah: a) Mendorong
terjadinya
proses
penyelenggaraan
pemerintahan yang menjamin terwujudnya akuntabilitas dan tranparansi; b) Memberikan
kontribusi
perubahan
menuju
bagi
proses
perbaikan
reformasi
dan
administrasi
negara/pemerintahan; c) Mendorong terjadinya peningkatan/perbaikan pengelolaan sektor publik; d) Menjadi
”deterrent”
yang
mengakibatkan
para
penyelenggara pemerintahan selalu berhati-hati dan tidak melakukan penyimpangan terhadap rencana dan peraturanperaturan perundang-undangan. Dalam UU No. 15 Tahun 2004 disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP). Untuk itu,
laporan
hasil
pemeriksaan
intern
pemerintah
wajib
disampaikan kepada BPK. Namun UU No. 15 Tahun 2004 memberikan batasan yang baku tentang aparat pengawasan intern pemerintah. Untuk itu seyogyanya pengaturan hubungan antara
BPK-RI sebagai aparat pengawasan ekstern dan APIP perlu dirumuskan lebih lanjut dalam Undang-undang Sistem Pengawasan Nasional. Walaupun pengawasan intern dan ekstern mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu terwujudnya kepemerintahan yang baik, secara operasional terdapat perbedaan utama pengawasan intern dan ekstern, yaitu sebagai berikut: Tabel. 4.2 Pengawasan Intern dan Ekstern No
Uraian
Intern
Ekstern
1
Tujuan
Membantu manajemen
Memberikan pendapat terhadap
Utama
untuk menjamin
kelayakan suatu
terwujudnya efisiensi
pertanggungjawaban (attestation
dan efektivitas (equality
function)
assurance function) 2 Pelaksana
Unit Kementerian
Unit yang independen dan
negara/lembaga atau
terpisah dari pemerintah
pemda yang bersangkutan 3
Pemakai
Manajemen pemerintah
Kreditur, Rakyat, dll)
(user) 4
Audit, review, Bantuk pengawasan
Stakeholders (Pemerintah, DPR,
Audit
pemantauan, evaluasi, efisiensi, konsultasi dan sosialisasi
5
Jenis Audit
Audit Kinerja
Audit Keuangan
6
Audit dengan tujuan
Audit Kinerja
tertentu
Audit dengan tujuan tertentu
Key performance
Standar akuntansi dan pelaporan yang berlaku
indicator (KPI) dan akuntansi
Kriteria yang digunakan
Peraturan Perundang-
manajemen
undangan
Peraturan perundang-
Standar profesi audit
undangan
independen
Standar profesi audit intern
7
Kualitas
Memiliki kompetensi
Memiliki kompetensi dalam
auditor
dalam audit kinerja,
audit ketaatan dan audit
audit dengan tujuan
keuangan
tertentu, evaluasi efektivitas dan kualitas manajemen 8
Fokus data dan
Waktu sekarang dan
Waktu lampau
yang akan datang
informasi 9
Media pengawasan utama
Laporan pelaksanaan
Laporan keuangan, laporan
tugas, laporan
proyek, laporan satuan kerja
akuntabilitas dan sistem pengendalian intern
10
Tujuan akhir
Good governance and clean governance
3) Pengawasan Dengan Pendekatan Agama (PPA) Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) merupakan pengawasan dini (preventif) yang ditawarkan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama sebagai upaya pemberantasan KKN
melalui penyampaian pesan nilai-nilai ajaran agama. PPA merupakan pengembangan program Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama (PPKPKJA) yang digagas sejak tahun 1985 berdasarkan petunjuk Wakil Presiden RI tentang Paket Penerangan mengenai Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan tanggal 7 November 1984. Paket tersebut disusun bersama oleh Menteri Penerangan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Kapala BP-7 Pusat pada tanggal 17 Sepetember 1985. Hal tersebut dimaksudkan sebagai rintisan awal atau sebagai pedoman umum dalam penyebarluasan pengawasan melalui berbagai jalur. Mulai tahun 2006 pelaksanaan program PPA merupakan implementasi dari Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Program PPA dikembangkan dalam rangka: a) Perwujudan aparatur yang bersih dan berakhlak mulia dengan prinsip ’Ibda binafsika’ (mulai dari diri sendiri); b) Perwujudan sikap kepemimpinan yang tegas dalam menerapkan ketentuan yang berlaku; c) Peningkatan peran aktif pengawasan bagi pimpinan dan masyarakat secara objektif sehat dan terkendali;
d) Pertanggungjawaban yang ditanggung secara administrasi juga akan ada tanggung jawab di akhirat yang tidak satu pun terlewatkan. Program ini disebut PPA (implementasi RAN-PK).
b. Sistem Akuntabilitas Kinerja dalam Instansi Pemerintahan (SAKIP) Akuntabilitas
adalah
kewajiban
untuk
memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawabkan. Berdasarkan pada pengertian tersebut diatas, maka semua instansi pemerintah, badan dan lembaga negara di pusat dan daerah sesuai dengan tugas pokok masing-masing harus memahami ruang lingkup akuntabilitasnya masing-masing, karena akuntabilitas yang diminta meliputi keberhasilan dan juga kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan. Menyadari betapa penting dan strategisnya implementasi good governance, berbagai pihak telah mengembangkan prinsip-prinsip penyelenggaraan good governance. Namun demikian, dari sejumlah yang telah dikembangkan, ternyata prinsip akuntabilitas dipandang menjadi prinsip yang sangat penting oleh berbagai pihak. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh siapa pun sebagai pemegang mandat kepada
pihak pemberi mandat. Akuntabilitas publik merupakan kewajiban dari individu /penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya publik dan yang berkaitan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial dan program (Tokyo Declaration of Guidelines of Public Accountability, 1985). Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa akuntabilitas publik terkait erat dengan kinerja sektor publik yang memfokuskan pada kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana pelaksanaan kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran harus dilakukan secara jujur, efektif dan efisien. Dapat dikatakan dan dijelaskan bahwa eksistensi pemerintahan adalah untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Pelayanan publik hanya dapat terlaksana jika terdapat dukungan sumber daya (resources) yang memadai. Di sisi lain kita menyadari bahwa ciri utama sumber daya adalah jumlahnya yang sangat terbatas dan sifatnya yang habis pakai. Oleh karena itu, prinsip akuntabilitas menjadi suatu hal yang sangat penting untuk diterapkan dalam manajemen pemerintahan. Pengelolaan
sumbe daya
yang terbatas dalam
rangka
perwujudan pelayanan publik memerlukan penerapan prinsip-prinsip akuntabilitas. Dalam hubungan itu, berdasarkan Keputusan Kepala LAN No. 589/IX/6/Y/1999 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Pedoman Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang diperbaharui
dengan Keputusan Kapala LAN No. 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman pelaporan AKIP, maka disusunlah sistem akuntabilitas di Indonesia yang lebih dikenal dengan SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah). 1) Prinsip-Prinsip Akuntabilitas Kinerja Dalam pelaksanaan akuntabilitas dilingkungan instansi pemerintah, perlu memperhatikan prinsip-prinsip akuntabilitas yaitu sebagai berikut: a) Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan misi akuntansi; b) Harus merupakan suatu
sistem
yang dapat menjamin
penggunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) Harus dapat menunjukan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; d) Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh; e) Harus jujur, obyektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas. Disamping itu, akuntabilitas kinerja harus pula menyajikan penjelasan tentang deviasi antara realisasi kegiatan dengan rencana
serta keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam pengukuran kinerja yang dimulai dari perencanaan strategis dan berakhir dengan penyerahan laporan akuntabilitas kepada pemberi mandat (wewenang). Dalam pelaksanaan akuntabilitas ini, diperlukan pula perhatian dan komitmen yang kuat dari atasan langsung instansi memberikan akuntabilitasnya, lembaga perwakilan dan lembaga pengawasan, untuk mengevaluasi akuntabilitas kinerja instansi yang bersangkutan.
2) Perencanaan Strategik Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, perencanaan
strategik
merupakan
langkah
awal
untuk
melaksanakan mandat. Perencanaan strategik instansi pemerintah memerlukan integritas antara keahlian sumber daya manusia dan sumber daya lain agar mampu menjawab tuntutan perkembangan lingkungan strategis, nasional dan global. Analisis terhadap lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal merupakan langkah yang sangat penting dalam memperhitungkan kekuatan (strengths), kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan tantangan/kendala (threats) yang ada. Analisis terhadap unsurunsur tersebut sangat penting dan merupakan dasar bagi perwujudan visi dan misi serta strategi instansi pemerintah.
Dengan perkataan lain, perencanaan strategis yang disusun oleh instansi pemerintah harus mencakup; (1) pernyataan visi, misi strategi, dan faktor-faktor keberhasilan organisasi; (2) rumusan tentang tujuan, sasaran dan uraian aktivitas organisasi, dan (3) uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Dengan visi, misi, dan strategi yang jelas maka diharapkan instansi pemerintah akan dapat menyelaraskan dengan potensi, peluang dan kendala yang dihadapi. Perencanaan strategik bersama dengan pengukuran kinerja serta evaluasinya merupakan rangkaian sistem akuntabilitas kinerja yang penting.
3) Pengukuran Kinerja Pengukuran merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilities. Sebenarnya pengukuran kinerja punya makna ganda, yaitu pengukuran
kinerja
sendiri
dan
evaluasi
kinerja.
Untuk
melaksanakan kedua hal tersebut, terlebih dahulu harus ditentukan tujuan dari suatu program secara jelas. Setelah program didesain, haruslah sudah termasuk penciptaan indikator kinerja atau ukuran keberhasilan pelaksanaan program, sehingga dengan demikian dapat diukur dan dievaluasi tingkat keberhasilannya. Pengukuran perencanaan
kinerja
strategis
dengan
merupakan
jembatan
akuntabilitas.
Suatu
antara instansi
pemerintah dapat dikatakan berhasil jika terdapat bukti-bukti indikator-indikator atas ukuran-ukuran capaian yang mengarah pada pencapaian misi. Tanpa adanya pengukuran kinerja sangat sulit dicari pembenaran yang logis atas pencapaian misi organisasi instansi. Sebaliknya dengan disusunnya perencanaan strategik yang jelas,
perencanaan operasional
yang terukur,
maka
dapat
diharapkan tersedia pembenaran yang logis dan argumentasi yang memadai untuk mengatakan suatu pelaksanaan program tersebut sudah berhasil atau tidak. a) Penetapan Indikator Kinerja Penetapan
indikator
kinerja
merupakan
proses
identifikasi dan klasifikasi indikator kinerja melalui sistem pengumpulan
dan
menentukan
capaian
pengolahan tingkat
data/informasi
kinerja
untuk
kegiatan/program.
Penetapan indikator kinerja tersebut didasarkan pada kelompok menurut masukan (input), keluaran (outputs), hasil (outcome), manfaat untuk menunjukan proses manajemen kegiatan yang telah terjadi. Dengan demikian indikator tersebut digunakan untuk evaluasi ataupun tahap perencanaan (ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going) ataupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (ex-post). Perlu dicatat bahwa untuk indikator kinerja input dan output dapat dinilai sebelum kegiatan yang dilakukan selesai. Sedangkan untuk indikator outcomes, benefit
dan impacts mungkin baru diperoleh setelah beberapa waktu kegiatan berlalu. b) Penetapan Capaian Kinerja Penetapan
capaian
kinerja
dimaksudkan
untuk
mengetahui dan menilai capaian indikator kinerja pelaksanaan kegiatan/program dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh suatu instansi pemerintah. Pencapaian indikator-indikator kinerja tersebut tidak terlepas dari proses yang merupakan kegiatan mengolah input menjadi output, atau proses penyusunan kebijaksanaan/program/kegiatan yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan tujuan. Misalnya, keterkaitan antara tingkat capaian kinerja output tertentu dengan proses pencapaiannya seperti kecepatan dan keakuratan,
ketaatan pada peraturan perundangan-
undangan dan keterlibatan kelompok target (beneficiaries atau target group) disamping
terkait.
kelompok
Dengan demikian, indikator
menurut
sesungguhnya input,
output,
outcomes, benefits, dan impacts, juga terdapat kelompok indikator menurut proses.
c) Formulir Pengukuran Kinerja
Untuk memudahkan dalam melakukan evaluasi atas kesesuaian dan keselarasan antara kegiatan dan program, atau antara program penunjangan dan program utama, antara program yang lebih rendah dengan program yang lebih tinggi, atau antara kebijakan instansi yang lebih rendah dengan kebijakan instansi yang lebih tinggi, dapat digunakan formulir PK (pengukuran kinerja).
4) Evaluasi Kinerja Setelah tahap pengukuran kinerja dilalui, berikutnya adalah tahap evaluasi kinerja. Tahap ini dimulai dengan menghitung nilai capaian dari pelaksanaan per kegiatan. Kemudian dilanjutkan dengan menghitung capaian kinerja dari pelaksanaan program didasarkan pembobotan dari setiap kegiatan yang ada didalam suatu program. Untuk membantu evaluasi kinerja, digunakan formulir EK (evaluasi kinerja) yang terdiri dari formulir EK-1 yaitu untuk penilaian kinerja, formulir EK-2 untuk penilaian kinerja program dan formulir Ek-3 untuk penilaian kinerja kebijaksaan. Beberapa hal yang perlu diketahui berkaitan dengan evaluasi kinerja adalah membuat kesimpulan hasil evaluasi pelaporan akuntabilitas kinerja.
a) Membuat Kesimpulan Hasil Evaluasi
Untuk membuat kesimpulan hasil evaluasi tersebut diatas, digunakan skala pengukuran kinerja. Skala pengukuran kinerja dimaksud dibuat berdasarkan pertimbangan masingmasing instansi, antara lain dengan skala pengukuran ordinal, misalnya: Tabel . 4.3 Pengukuran Skala Ordinal
80 s/d 100
= Baik
Sangat Baik
Sangat Berhasil
70 = X < 80
= Sedang atau
Baik
55 = X < 70
= Kurang
Sedang
Cukup Berhasil
X < 55
= Sangat Kurang
Kurang Baik
Tidak Berhasil
atau
Berhasil
Pengukuran Ordinal (Buku Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN Oktober 2005.)
b) Analisis Pencapaian Akuntabilitas Kinerja Suatu laporan akuntabilitas kinerja tidak hanya berisi tingkat keberhasilan/kegagalan yang dicerminkan oleh evaluasi indikator-indikator kinerja sebagaimana diuraikan diatas. Tetapi juga harus menyajikan data dan informasi relevan lainnya
bagi
pembuat
keputusan
agar
dapat
menginterpretasikan keberhasilan/kegagalan tersebut secara lebih luas dan mendalam.
Oleh karena itu dari kesimpulan dari suatu evaluasi perlu dibuat analisis tentang pencapaian akuntabilitas kinerja
instansi secara keseluruhan. Analisis tersebut meliputi uraian tentang keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan dan program dengan kebijaksanaan dalam rangka mewujudkan sasaran, tujuan dan misi serta visi sebagaimana ditetapkan dalam perencanaan strategik. Dalam analisis ini perlu pula dijelaskan proses dan nuansa pencapaian sasaran dan tujuan secara efisien, efektif, dan ekonomis sesuai dengan kebijaksanaan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan informasi/data yang diperoleh secara lengkap dan rinci. Disamping itu perlu pula dilakukan analisis terhadap komponen-komponen penting dalam evaluasi kinerja yang antara lain mencakup analisis inputs-outputs, analisis realisasi outcomes dan benefits, analisis impacts baik positif maupun negatif dan analisis proses pencapaian indikatorindikator kinerja tersebut, analisis keuangan dan analisis kebijaksanaan.
5) Pelaporan Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah harus disampaikan
oleh
instansi-instansi
dari
pemerintah
pusat,
pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Penyusunan laporan harus mengikuti prinsip-prinsip yang lazim,
suatu laporan harus disusun secara jujur, obyektif dan transparan. Disamping itu perlu pula diperhatikan prinsip-prinsip: a) Prinsip pertanggungjawaban, sehingga harus cukup jelas hal-hal yang dikendalikan maupun yang tidak dikendalikan oleh pihak yang melaporkan harus dapat dimengerti pembaca laporan; b) Prinsip pengecualian, yang dilaporkan yang penting dan terdepan
bagi
pengambilan
keputusan
dan
pertanggungjawaban instansi yang bersangkutan seperti keberhasilan dan kegagalan, perbedaan realisasi dan target; c) Prinsip manfaat yaitu laporan harus lebih besar dari pada biaya penyusunan. Selanjutnya, perlu pula diperhatikan beberapa ciri laporan yang baik seperti relevan, tepat waktu, dapat dipercaya/diandalkan, mudah dimengerti (jelas dan cermat), dalam bentuk yang menarik (tegas dan konsisten, tidak kontradiktif atas sebagian), berdaya banding
tinggi,
berdaya
segi,
lengkap,
netral,
padat
dan
terstandarisasi. Agar LAKIP dapat lebih berguna sebagai umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan, maka bentuk dan isinya diseragamkan tanpa mengabaikan keunikan masing-masing instansi pemerintah. Penyeragaman ini paling tidak dapat mengurangi perbedaan cara pengkajian yang cenderung menjauhkan pemenuhan persyarat
minimal akan informasi yang seharusnya dimuat dalam LAKIP. Penyeragaman juga dimasudkan untuk pelaporan yang bersifat rutin. Sehingga perbandingan atau evaluasi dapat dilakukan secara memadai. LAKIP dapat dimaksudkan dalam kategori laporan rutin, karena paling tidak disusun dan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan setahun sekali. Isi LAKIP adalah uraian pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi dalam rangka pencapaian visi dan misi serta penjabarannya yang menjadi perhatian utama instansi pemerintah sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu. Disamping itu, perlu juga dimaksudkan dalam LAKIP berbagai aspek pendukung yang meliputi uraian pertanggungjawaban mengenai: (a) aspek keuangan; (b) aspek SDM; (c) aspek sarana dan prasarana dan (d) metode kerja, pengendalian manajemen, dan kebijaksanaan lain yang mendukung pelaksanaanya tugas utama instansi. Agar pengungkapan akuntabilitas aspek-aspek pendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut tidak tumpang tindih dengan pengungkapan akuntabilitas kinerja sebagaimana dimaksud dalam pedoman ini, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) Uraian pertanggungjawaban keuangan dititikberatkan kepada perolehan dan penggunaan dana, baik dana yang berasal alokasi APBN (rutin maupun pembangunan) maupun dana
yang berasal dari penggunaan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak); b) Uraian pertanggungjawaban SDM, dititik beratkan pada penggunaan dan pembinaan dalam hubungannya dengan peningkatan kinerja yang berorientasi pada hasil atau manfaat dan peningkatan kualitas pada masyarakat; c) Uraian mengenai pertanggungjawaban penggunaan sarana dan
prasarana
dititikberatkan
pada
pengelolaan,
pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan; d) Uraian mengenai metode kerja, pengendalian manajemen dan kebijaksanaan lainnya difokuskan pada manfaat atau dampak dari
suatu
kebijaksanaan
yang
merupakan
cerminan
pertanggungjawaban kebijaksanaan (policy accountability). Selain
hal
tersebut
diatas
untuk
membuat
laporan
akuntabilitas kinerja dan melihat apakah akuntabilitas kinerja tersebut sudah mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan dapat tercapai, terdapat dasar hukum yang berlaku yaitu: a) Keputusan Presiden R.I Nomor 165 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan susunan organisasi dan tata kerja Departemen Agama yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keppres RI Nomor Tahun 2001;
b) Instruksi Presiden R.I Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan; c) Instruksi Presiden R.I Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; d) Keputusan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2006 tentang perubahan atas keputusan Menteri Agama Nomor 507 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di Lingkungan Departemen Agama; e) Peraturan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2006 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Agama Nomor 507 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Laporan Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di Lingkungan Departemen Agama; f) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.
c. Good Governance Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggarakan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan
masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Dari segi functional espect: governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau sebaliknya. Word Bank memberikan definisi ”the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”. Sementara UNDP mendefinisikan sebagai ”the exercise of political economic, and administrative authority in manage a nation’s affair at all levels”. Oleh karena itu, menurut definisi terakhir ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political and administrative. Economic governance meliputi proses pembuatan keputusan (decisionmaking processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap equit, poverty dan quality of life. Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan.
Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau kepemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik, termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Negara, sebagai satu unsur governance, didalamnya termasuk lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sektor publik. Sektor swasta
meliputi perusahaan-perusahaan
swasta
yang
bergerak
diberbagai bidang dan sektor informal lain di pasar. Ada anggapan bahwa sektor swasta adalah bagian dari masyarakat. Namun demikian sektor swasta dapat dibedakan dengan masyarakat karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial, politik, dan ekonomi yang menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan-perusahaan itu sendiri. Sedangkan masyarakat (society) terdiri dari individual maupun kelompok (baik yang terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik. Dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak formal. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.
Arti good dalam good governance sendiri mengandung dua pengertian:
Pertama,
nilai-nilai
yang
menjunjung
tinggi
keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; Kedua, aspek-aspek fungsional dan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian ini good governance berorientasi pada, yaitu: Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti: legitimacy (apakah pamerintah dipilih dan mendapatkan kepercayaan dari rakyatnya), accountability (akuntabilitas), securing of human rights (perlindungan HAM), autonomi and devolution of power (kekuatan otonomi dan devaluasi), dan assurance of civilian control (pengawasan masyarakat). Sedangkan orientasi kedua, tergantung pada sejauh mana pemerintahan mempunyai kompetensi, dan sejauh mana stuktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
OECD dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan pembangunan yang solid dan bertangung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif menjalankan disiplin anggaran serta panciptaan legal and political frame works bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sedangkan UNDP sendiri memberikan definisi good governance sabagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat (society).
Berdasarkan hal
ini UNDP
kemudian mengajukan
kerakteristik good governance, sebagai berikut: 1) Kesetaraan, yaitu memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan; 2) Pengawasan, penyelenggaraan mengusahakan
yaitu
upaya
pemerintah ketertiban
pengawasan dan
swasta
pembangunan dan
terhadap dengan
masyarakat
luas,
melakukan kontrol dan supervisi terhadap administrasi publik dan mengembangkan aktivitas dengan melibatkan masyarakat dan organisasi-organisasi kemasyarakatan; 3) Penegakan hukum, yaitu adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;
4) Daya tanggap, yaitu meningkatnya kepekaan penyelenggaraan pemerintahan terhadap aspirasi dari aparat pemerintahan untuk mengatasi masalah, complain dan aspirasi dari masyarakat untuk mencari solusi yang bermanfaat bagi masyarakat banyak; 5) Efisiensi.dan efektivitas, yaitu terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab; 6) Partisipasi,
yaitu
mendorong
setiap
warga
untuk
mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung; 7) Profesionalisme, yaitu meningkatnya kemampuan dan moral penyelenggaraan
kepemerintahan
sehingga
mampu
memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau; 8) Akuntabilitas, yaitu meningkatnya tanggung jawab dan tanggung gugat para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas; 9) Wawasan ke depan, yaitu membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya;
10) Transparansi, yaitu adanya kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Kesepuluh karakteristik tersebut di atas saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh. Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance, tampaknya domain state menjadi domain yang paling memegang peranan penting dalam mewujudkan good governance karena berfungsi pengaturan yang memfasilitasi domain sektor dunia usaha swasta dan masyarakat (society), serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. Peran pemerintah melalui kebijakankebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-
upaya perwujudan kearah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan bersamaan dengan ini dilakukan upaya pembenahan penyelenggaraan negara dan bersamaan dengan itu dilakukan upaya pembenahan penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat mewujudkan good governance.
2. Pembahasan a. Peran Pengawasan dalam Mewujudkan Good Governance Di Lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama Secara universal diakui perlunya akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keduanya merupakan bagian dari persyaratan/prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance). Dalam hal ini, pengawasan intern dan ekstern pemerintahan mempunyai peranan yang sangat penting untuk memberikan jaminan bagi terwujudnya syarat-syarat kepemerintahan yang baik (good governance) tersebut, termasuk akuntabilitas dan transparansi. Melalui pengawasan intern dan ekstern pemerintah, didapatkan penilaian yang independen dan obyektif tentang kebenaran (veracity),
ketepatan
(akurasi),
kredibilitas
dan
keandalan
informasi/laporan yang disajikan oleh penyelenggaraan pemerintahan.
Selain hal tersebut diatas kita juga bisa melihat dari sepuluh prinsip-prinsip good governance, ada empat prinsip yang disebut pertama merupakan domain pengawasan. Oleh karena itu, untuk membangun sinergis dalam penegakan good governance, harus ada pengawasan yang berkelanjutan. Dalam konteks tersebut, maka pengawasan merupakan instrumen utama dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, karena melalui pengawasan dapat diuji sejauhmana penerapan prinsip-prinsip good governance, sesuai dengan mekanisme dan alat uji atau alat verifikasi yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan pengawasan yang selama ini sekedar untuk memenuhi unsur manajemen pemerintahan, pada dasarnya masih merupakan tataran mikro (good government), sedangkan pada tataran makronya harus dilihat sebagai conditio sine qua non bagi terwujudnya good governance. Dalam suatu organisasi, sistem pengawasan memegang peranan penting untuk memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan mandat, visi, misi, tujuan utama yaitu akuntabilitas dan proses belajar. Dari sisi akuntabilitas, sistem pengawasan akan memastikan bahwa anggaran telah dipergunakan sesuai dengan etika dan aturan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan. Dan sisi proses belajar, sistem pengawasan akan memberikan informasi tentang dampak dari program dan kegiatan yang telah dilakukan, sehingga
pengambil keputusan dapat belajar tentang bagaimana menciptakan program dan kegiatan yang lebih efektif.
b. Akuntabilitas Kinerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama (SAKIP) Akuntabilitas
merupakan
perwujudan
kewajiban
untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan
melalui
suatu
media
pertanggungjawaban
yang
dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas kinerja suatu instansi pemerintah merupakan perwujudan kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan
keberhasilan
atau
kegagalan
pelaksanaan misi suatu instansi dalam mewujudkan good governance. Perlunya akuntabilitas semakin kuat dengan tingginya tuntutan untuk menciptakan suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dalam hal ini Inspektorat Jenderal Departemen Agama
menegakan akuntabilitasnya sesuai dengan TAP MPR RI
Nomor XI/MPR/1998, UU Nomor 28 Tahun 1999 yang ditindak lanjuti dengan Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dalam konsekuensi dari perlunya penegakan akuntabilitas publik, maka diperlukan suatu sistem akuntabilitas publik yang didalamnya berisi pertanggungjawaban pemerintah dengan orientasi
pada kinerja. Sistem ini nantinya berfungsi sebagai alat untuk peningkatan kinerja instansi sektor publik. Sistem inilah yang dikenal dengan
nama
SAKIP
(Sistem
Akuntabilitas
Kinerja
Instansi
Pemerintah) yang mana terdiri dari: 1) Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja terdiri dari pengukuran kinerja kegiatan dan pengukuran pencapaian sasaran: a) Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) Pengukuran kinerja kegiatan yakni mengukur tingkat capaian kinerja kegiatan dimulai dengan menetapkan indokator kinerja kegiatan berdasarkan kelompok inputs, outputs, outcomes, benefits, dan impacts; merupakan rencana tingkat pencapaian/target; mengetahui realisasi indikator kinerja kegiatan; menghitung rencana dan realisasi untuk mendapatkan prosentasenya. Pada tahun 2007 Inspektorat Jenderal Departemen Agama memiliki 181 kegiatan. Rencana kegiatan semua sudah direalisasikan walaupun outcomesnya belum memenuhi target 100 persen. Pada saat ini indikator pengukuran kinerja kegiatan baru mencapai input, output dan outcomes karena belum terbangun sistem informasi yang dapat memberikan data yang dapat mengukur benefits, dan impacts.
b) Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS) Pengukuran pencapaian sasaran meliputi: menetapkan indikator sasaran; menetapkan rencana tingkat capaian target; mengetahui realisasi indikator sasaran; menghitung prosentasi realisasi dibandingkan dengan rencananya. Pada tahun 2007 Inspektorat Jenderal Departemen Agama memiliki 181 sasaran. Semua sasaran yang telah direncanakan dapat tercapai semuanya, walaupun belum 100 persen. Berdasarkan pengukuran pencapaian sasaran yang tertuang dalam formulir Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS) diperoleh kesimpulan bahwa mayoritas sasaran memperoleh nilai prosentase keberhasilan di atas 90 persen. Sasaran yang memiliki prestasi manonjol ini terutama adalah sasaran pelaksanaan audit dan pemantauan. Sedangkan sasaran dan kegiatan yang memperoleh tingkat prosentase pencapaian target di bawah 80 persen terutama terjadi pada sasaran terselenggaranya rapat koordinasi dan pelatihan-pelatihan peningkatan kualitas SDM. Hal ini terjadi disebabkan oleh kondisi waktu bagi para SDM pengawasan. Seringkali terjadi tabrakan waktu yang dialami para SDM pengawasan, terutama para auditor. Satu sisi dia harus menjalankan tugasnya di lapangan (luar kantor). Namun di sisi lain ada beberapa kegiatan kantor yang menurut
kehadirannya, terutama berupa kegiatan kantor yang manuntut kehadirannya, terutama kegiatan kantor rapat koordinasi dan pelatihan-pelatihan peningkatan kualitas SDM. Mencari waktu untuk dapat berkumpulnya semua orang dalam waktu yang sama bagi Inspektorat Jenderal Departemen Agama adalah sesuatu yang sulit. Inilah yang menjadi kendala dalam pencapaian keberhasilan kinerja yang telah direncanakan di Inspektorat Jenderal. Tabel. 4.5 Pengukuran Pencapaian Sasaran Akuntabilitas Kinerja Tahun 2007 Satuan Organisasi : Inspektorat Jenderal Departemen Agama Satuan kerja : Bagian Perencanaan dan Keuangan (10 dari 64 Sasaran Akuntabilitas Kinerja) No
Uraian
1
Terlaksananya audit bidang haji di Arab Saudi
2
Terselenggaranya audit komprehensif
3
Tersusunnya realisasi RKAT dan Non RKAT (triwulan)
Indikator
Terlaksana LHP Peningkatan pelayanan ibadah haji Terlaksana audit Teraudit LHP Meningkatkan Kualitas kinerja Buku realisai RKAT dan Non RKAT Peningkatan efektivitas, efisien dan ekonomis audit
Realisasi
Ren tk Capaian Target 1 tim 1 Eks 100%
%
1 tim 1 eks 80%
100 100 80
242tim 1205 auditn
242tim 1205 Auditn
100 100
242 eks 100% 120 Eks
242 eks 80% 120 Eks
100 85 100
100%
80%
80
4
5
6
7
8
9
10
Tersusunnya laporan evaluasi pelaksanaan tugas
Buku laporan pelaksanaan tugas Peningkatan kualitas kinerja
120 Eks
120 Eks
100
100%
80%
80
Tersusunnya buku revisi RAKT tahun 2007
Buku revisi RKAT tahun 2007 Peningkatan kualitias kegiatan Itjen tahun 2008 Buku monitoring tim kerja Terpenuhinya informasi kinerja Buku laporan pelaksanaan anggaran Peningkatan efektivitas pengguna anggaran Buku RKA-KL tahun 2008 Peningkatan kualitas keg Itjen tahun 2008 Terlaksana Meningkatkan kualitas informasi perencanaan Terselenggara Peningkatan pelayanan pada pimpinan
35 Eks
35 Eks
100
100%
80%
80
70 Eks
70 Eks
100
100%
80%
80
120 Eks
120 Eks
100
100%
80%
80
40 Eks
40 Eks
100
100%
85%
85
4 Keg 100%
4 Keg 80%
100 80
1 Keg 100%
1 Keg 75%
100 75
Tersusunnya buku monitoring tim kerja
Tersusunnya laporan pelaksanaan anggaran (triwulan)
Tersusunnya rencana kerja anggaran kementerian Negara/lembaga tahun 2008 Tersusunnya system informasi perencanaan
Terselenggaranya penyelesaian keg mendesak lainnya
2) Evaluasi Kinerja Semua rencana kinerja berupa terselenggaranya audit dan pemantauan terhadap auditan/satuan organisasi/satuan kerja di lingkungan Departemen Agama hampir seluruhnya dapat teraudit
atau terpantau. Kalaupun ada rencana kinerja audit tidak dapat tercapai 100% disebabkan oleh kondisi auditan. Ada beberapa auditan yang tidak dapat terjangkau oleh para auditor/pemantau karena sulitnya faktor alam, mengakibatkan terjadinya ganti auditan/satker
untuk
pelaksanaan
audit/pemantauan.
Juga,
pemekaran wilayah yang belum terakses oleh Departemen Agama juga menjadi permasalahan tersendiri bagi Inspektorat Jenderal Departemen Agama dalam mengemban tugas dan fungsinya dalam bidang pengawasan. Faktor pendukung keberhasilan ini terutama adalah kesiapan SDM pengawasan dalam menjalankan tugasnya, baik kesiapan fisik maupun non-fisik. Disamping itu faktor eksternal berupa kondisi pemerintahan yang berjalan cukup kondusif di tahun 2007 juga mempengaruhi tingkat kelancaran pelaksanaan tugas Inspektorat Jenderal Departemen Agama. Namun
demikian
keberhasilan
dalam
pelaksanaan
pengawasan ini perlu mendapat dukungan dari semua pihak terutama para auditan untuk menindaklanjuti hasil audit. Hal ini karena kondisi makro pemerintah Indonesia yang masih lemah dalam penegakan hukum akan mempengaruhi tingkat penyelesaian tindak lanjut hasil audit belum dapat berjalan secara maksimal terutama dalam pemberantasan KKN.
a) Kesimpulan Hasil Evaluasi Untuk membuat kesimpulan hasil evaluasi tersebut di atas, digunakan skala pengukuran kinerja dibuat berdasarkan pertimbangan masing-masing instansi, antara lain dengan skala pengukuran ordinal, yaitu: Tabel 4.3 Pengukuran Ordinal Akuntabilitas Kinerja 80 s/d 100
= Baik
Sangat Baik
Sangat Berhasil
70 = X < 80
= Sedang atau
Baik
55 = X < 70
= Kurang
Sedang
Cukup Berhasil
X < 55
= Sangat Kurang
Kurang Baik
Tidak Berhasil
atau
Berhasil
Pengukuran Ordinal (dalam %) (Buku Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN Oktober 2005.)
Tabel. 4.6 Pengukuran Kinerja Kegiatan
Variabel
Pengukuran Kinerja Kegiatan Tahun 2007
Sub Variabel
No
indikator
Realisasi
Skala
%
Ordinal Baik
Penyelenggaraan pengawasan & pemerintahan akuntabilitas kementrian/lembaga
1
Menyelenggara kan sidak pimpinan
80
Penyelenggaraan pengawasan & pemerintahan akuntabilitas kementrian/lembaga
2
Menyelenggara kan pemantauan embarkasi haji
80
Penyelenggaraan pengawasan & pemerintahan akuntabilitas kementerian/lembaga
3
Menyelenggara kan pemantauan debarkasi haji
80
Penyelenggaraan pengawasan & pemerintahan akuntabilitas kementerian/lembaga
4
Menyelenggara kan pemantauan perpustakaan dan lab pada madrasah (APBNP)
80
Penyelenggaraan pengawasan & pemerintahan akuntabilitas kementerian/lembaga
5
Menyelenggara kan pemantauan dan evaluasi pelayanan pendidikan pada madrasah
80
Penyelenggaraan pengawasan & pemerintahan akuntabilitas kementerian/lembaga
6
Menyelenggara kan perjalanan dinas pusat dan DKI Jakarta
80
Penyelenggaraan pengawasan & pemerintahan akuntabilitas kementerian/lembaga
7
Menyelenggara kan perjalanan lain-lain
80
Penyelenggaraan pengawasan & pemerintahan akuntabilitas kementerian/lembaga
8
Melaksanakan audit bidang haji di Arab Saudi
80
Penyelenggaraan pengawasan & pemerintahan akuntabilitas kementerian/lembaga
9
Menyelenggara kan pemantauan Dumas
85
Penyelenggaraan pengawasan & pemerintahan akuntabilitas kementerian/lembaga
10
Menyelenggara kan pelaksanaan Non PKPT (pemantauan Yanmas pada KUA kecamatan)
81
Cat:
Gambar 4.7 Efektivitas Skala Ordinal Pencapaian Kinerja Kegiatan Y
Pencapaian B
A A
Kinerja Kegiatan X
C
D
Keterangan: A = Baik, Sangat Baik, Sangat Berhasil B = Sedang, Baik, Berhasil C = Kurang, Sedang, Cukup Berhasil D = Sangat Kurang, Kurang Baik, Tidak Berhasil
Tabel. 4.7 Pengukuran Pencapaian Sasaran Akuntabilitas Kinerja Tahun 2007 Satuan Organisasi : Inspektorat Jenderal Departemen Agama Satuan kerja
Variabel
Pengukuran Pencapaian Sasaran Akuntabilitas Kinerja
: Bagian Perencanaan dan Keuangan
Sub Variabel
No
Indikator
Realisasi %
Terlaksananya audit bidang haji di Arab Saudi
1
80
Terselenggaranya audit komprehensif
2
Terlaksana LHP Peningkatan pelayanan ibadah haji Terlaksana audit Teraudit
Tersusunnya realisasi RKAT dan Non RKAT (triwulan)
Tersusunnya laporan evaluasi pelaksanaan tugas
Tersusunnya buku revisi RAKT tahun 2007
Tersusunnya buku monitoring tim kerja Tersusunnya laporan
LHP Meningkatkan Kualitas kinerja Buku realisai RKAT dan Non RKAT Peningkatan efektivitas, efisien dan ekonomis audit Buku laporan pelaksanaan tugas Peningkatan kualitas kinerja Buku revisi RKAT tahun 2007 Peningkatan kualitias kegiatan Itjen tahun 2008 Buku monitoring tim kerja Terpenuhinya informasi kinerja Buku laporan pelaksanaan
80
80
80
80
80
Skala Ordinal Baik
pelaksanaan anggaran (triwulan)
anggaran Peningkatan efektivitas pengguna anggaran Buku RKA-KL tahun 2008 Peningkatan kualitas keg Itjen tahun 2008
Tersusunnya rencana kerja anggaran kementerian Negara/lembaga tahun 2008 Tersusunnya system informasi perencanaan
Terlaksana Meningkatkan kualitas informasi perencanaan Terselenggara Peningkatan pelayanan pada pimpinan
Terselenggaranya penyelesaian keg mendesak lainnya
80
85
80
80
Gambar. 4.7 Efektivitas Skala Ordinal Pencapaian Sasaran Akuntabilitas Kinerja Y Pencapaian B
A A
Sasaran Akuntabilitas Kinerja X
C
D
Keterangan: A = Baik, Sangat Baik, Sangat Berhasil B = Sedang, Baik, Berhasil C = Kurang, Sedang, Cukup Berhasil D = Sangat Kurang, Kurang Baik, Tidak Berhasil
3) Analisis Akuntabilitas Kinerja Analisis pencapaian kinerja pada dasarnya diarahkan pada usaha untuk mengukur tingkat keberhasilan visi yang telah ditetapkan. Visi ini kemudian dijabarkan dalam misi. Selanjutnya untuk mewujudkan misi tersebut ditetapkan tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatannya. Oleh karena itu maka analisis pencapaian
kinerja
selanjutnya
secara
rinci
dilaksanakan
berdasarkan tingkat keberhasilan kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan. Berdasarkan evaluasi kinerja yang tertuang dalam formulir PKK dan PPS bahwa capaian kinerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama Tahun 2007 sudah baik apabila dilihat dari pencapaian target rencana yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan tingkat semangat para APFE (aparat pengawas fungsional pemerintah) di lingkungan Itjen Departemen Agama yang cukup tinggi dalam menghadapi perubahan yang banyak terjadi. Walaupun menghadapi kendala terbatasnya anggaran dibanding dengan orbik yang terus meningkat, apalagi di era otonomi daerah sekarang yang banyak terjadi pemekaran satuan kerja. Berdasarkan laporan akuntabilitas kinerja tersebut daiats maka perlu adanya usaha yang dilakukan secara terus-menerus untuk meningkatkan nilai capaian kinerja. Caranya antara lain melalui
peningkatan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dan peningkatan profesionalisme kerja terus-menerus dilakukan sesuai dengan prinsip good governance yaitu akuntability yaitu pembuat keputusan dalam pemeritahan,
sektor
swasta
dan
masyarakat
(civil
society)
bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholder. Akuntabilitas tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi. Dengan adanya Renstra (Rencana Strategis) dan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan) Inspektorat Jenderal Departemen Agama dalam pelaksanaan kepemerintahan yang melibatkan stakeholders, dapat mengetahui secara terperinci mengenai akuntabilitas kinerja dalam Pencapaian Pencapaian Sasaran Kinerja (PPS) dan Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) yang menunjukan tingkat keberhasilan 80% dari 100% atau dalam skala ordinal menunjukan
bahwa
akuntabilitas
kinerja
Inspektorat
Jenderal
Departemen Agama dinyatakan baik. Di lihat dari tingkat keberhasilan yang dicapai, maka dapat dikatakan bahwa akuntabilitas Inspektorat Jenderal Departemen Agama telah berhasil mewujudkan good governance dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip good governance di dalam pelaksanaan akuntabilitas kinerjanya yang berpedoman pada sistem akuntabilitas
kinerja
instansi
pemerintah
(SAKIP),
sehingga
terciptanya pencapaian tujuan, sasaran dan hasil kerja yang dapat dipertanggungjawabkan secara jujur, efektif, dan efisien.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Peranan sistem pengawasan dalam sistem pengendalian manajemen untuk mewujudkan
good
governance
dilingkungan
Inspektorat
Jenderal
Departemen Agama Sistem pengawasan dalam pengendalian manajemen memiliki peranan yang penting untuk mewujudkan good governance yaitu untuk memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan mandat, visi, misi dan tujuan utama yaitu akuntabilitas dan proses belajar. Dari sisi akuntabilitas, sistem pengawasan akan memastikan bahwa anggaran telah dipergunakan sesuai dengan etika dan aturan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan. Dan dari sisi proses belajar, sistem pengawasan akan memberikan informasi tentang dampak dari program dan kegiatan yang telah dilakukan, sehingga pengambil keputusan dapat belajar tentang bagaimana menciptakan program dan kegiatan yang lebih efektif.
2. Sejauh Mana Akuntabilitas Kinerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama Dalam Mewujudkan Good Governance Pada Tahun 2007 Inspektorat Jenderal Departemen Agama memiliki 181 kegiatan (dari 181 kegiatan). Seluruh kegiatan yang direncanakan dapat direalisasikan walaupun tidak 100 persen. Berdasarkan
pengukuran pencapaian sasaran dan kegiatan yang tertuang dalam formulir PPS dan PKK diperoleh kesimpulan bahwa hampir seluruh sasaran dan kegiatan memperoleh nilai prosentase keberhasilan di atas 80 persen. Dari hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas kinerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama tahun 2007 berdasarkan evaluasi kinerja yang tertuang dalam formulir PKK (Pengukuran Kinerja Kegiatan) dan PPS (Pengukuran Pencapaian Sasaran) dinyatakan sudah baik dalam mewujudkan good governance dilihat dari pencapaian target yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan tingkat semangat para APFP (Aparat Pengawas Fungsional Pemerintah) di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama yang cukup tinggi dalam menghadapi perubahan yang banyak terjadi.
B. Implikasi Selama peneliti melakukan studi kasus pada Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I. peneliti mengetahui bahwa jika dalam suatu instansi khususnya instansi pemerintahan memiliki sistem pengawasan yang baik pada sistem pengendalian manajemennya, akan menciptakan suatu koordinasi yang harmonis, serta akan meningkatkan kualitas akuntabilitas kinerja instansi tersebut. Koordinasi tersebut dapat berjalan lancer bila masing-masing pihak melaksanakan tanggungjawabnya dengan sungguh-sungguh. Maka secara tidak langsung dapat membantu instansi tersebut mewujudkan good
governance dilingkungannya, dan akan memberikan keuntungan pada instansi tersebut.
C. Saran Didasarkan dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Inspektorat Jenderal Tahun 2007 yang memuat laporan hasil kinerja didapat beberapa hambatan yang dihadapi yang mempengaruhi tingkat keberhasilan kinerja. Diantaranya: 1. Derasnya perubahan di bidang politik pemerintahan, antara lain, banyak terjadi pemekaran wilayah, baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kecamatan yang belum ditindak lanjuti; 2. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara dan lemahnya penegakan hukum; Atas dasar dari permasalahan tersebut, saran yang dapat saya sampaikan yaitu: 1. Departemen Agama harus segera menindak lanjuti derasnya perubahan di bidang politik pemerintahan yang terdiri dari pemekaran wilayah, baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kecamatan dengan cara memekarkan satuan kerjanya sesuai dengan perkembangan yang ada; 2. Lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara, Inspektorat Jenderal
Departemen
Agama
dapat
menumbuhkan
kepercayaan
masyarakat terhadap aparatur negara dengan menindaklanjuti hasil audit secara cepat, tepat dan komprehensif yang dilakukan sesuai dengan rekomendasi yang telah ditetapkan.
Demikian adanya saran yang dapat saya sampaikan yang kiranya dapat dipertimbangkan untuk menjadi masukan dalam pelaksanaan kinerja Inspektorat Jederal Departemen Agama yang sudah baik agar dapat menjadi lebih baik dalam mewujudkan good governance di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, Robert, Govindrajan, Vinjay. “Management Control System”, 12th Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc, 2007. Departemen Agama. RI. “Buku Panduan Seminar Nasional Pengawasan Konsep, Strategi dan Implementasi Good Governance dalam Penyelenggaraan Pemerintahan”. Departemen Agama RI. 2007. Draft, L. “MANAGEMENT”, 6th Edition, hal.522-551, Jakarta: Salemba Empat, 2006. Frank J, Fabozzi. “Investment Management”, Edisi Pertama, Jakarta: Salemba Empat, 2005. H.A. Simon. “Communication in Organisation”, dikutip dari Majalah Administrasi Negara, Tahun II No.10. Hamid, Abdul. “Pedoman Penulisan Skripsi”, Jakarta: FEIS UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Hariadi, Bambang. “Strategi Manajemen (Strategi Memenangkan Perang Bisnis)”, hal.21-44, Cetakan Ke-2, Malang: Bayumedia Publishing, 2005. IBK, Bayangkara, “Audit Manajemen”, hal.15-29, Jakarta: Salemba Empat, 2008. Ikatan Akuntan Indonesia, “Standar Profesional Akuntansi Publik (per 1 Januari 2001)”. Cetakan ke-1, Jakarta: Salemba Empat, 2001. Inpres RI Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pendayagunaan Aparatur Negara. Instruksi Presiden RI Nomor 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. J.B. Ghartey, “Crisis Accountability and Development in Third World”, London, 1987. Kinicki, Angelo. “Perilaku Organisasi”, Edisi-5, hal.556, Jakarta: Salemba Empat, 2005.
L.V. Carino, “Accountability, Corruption and Democracy”, A Clarification of Concepts, in the Asian Review of Publik Administration, vol. III No. 2, Desember 1991. LAN. “Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah dan good governance”, Jakarta: LAN, 2002.
Instansi
LAN. “Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (No.589/IX/6/Y/99)”, Jakarta: LAN. 1999.
Instansi
LAN. “Buku Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah”, 2005. Mahmudi. ”Kerangka Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah”. Akuntansui dan Keuangan Vol 3, No. 01, Universitas Indonesia. 2002. Manulang, M. “Dasar-dasar Manajemen”, Bab5, hal.176, Gajah Mada University, Press. 2006. M.D. Yango. Institutional Mechanism for Promoting Accountability in the Philippines Civil Service, in Asian Review of Public Administration, Vol. III No. 2, December 1991. Munir, Ningky. “Knowledge Management Audit”, Pedoman Organisasi Dalam Mengelola Pengetahuan, Jakarta: Sekolah Tinggi Manajemen PPM, 2008. Oxford Advance Learner’s Dictionary, Oxford University Press, 1989. Ray H, Garrison. “Management Accounting”, Edisi Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2007. Rees, David and McBean. “Management People Strategy and Theory (Edisi-2, cetakan 1 hal.248)”, Jakarta: Kencana. 2007. Rodi, Kertamuja. ”Peranan Auditing Kinerja dalam Meningkatkan Efisiensi dan Efektifitas”. Akuntansi dan Keuangan. Vol 5 No. 2. Des 2001. Sawyer’s, Lawrence B. “Internal Auditing”, Edisi-5, Jakarta: Salemba Empat, 2005. S. Paul. ”Accountability in Public Service: Exit, Voice and Control”. The World Development Journal, Vol 20. No. 7. Sayle, Allan J. “Manajemen Audit, The Assement Of Quality Manajemen System”, Second Edition. Great Britain. Quality Press, 2000.
Sekaran, Umma. “Business Research Methods for Managers”, A Skill-Building Approach, 4th Edition, New York, John Wiley&Sons, Inc, 2003. S.H. Saleh dan A. Iqbal, Accountability: the Endless Prophecy. Asian and Pasific Development Journal, Vol. 20, No.7. Siahaan, Hinsa. “Manajemen Resiko”, Jakarta: PT Elex Komunitas Eksindo, 2007. Simanjuntak J, Payaman. “Manajemen dan Evaluasi Kinerja”, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2008. Sulastiningsih. “Peran Anggaran dalam Meningkatkan Prestasi Manajer”. Manajemen, Ekonomi dan Bisnis. Vol 3 (1-3) 1999. TAP MPR RI nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tokyo Declaration of Guidelines on Public Accoutability, 1985. UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Widjaja, Amin. “Dasar-Dasar Audit Manajemen”, Jakarta: Harvarindo, 2008. Widjaja, Amin. “Memahami Internal Audit”, Jakarta: Haravindo, 2008.