ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI
SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA: CHICAL TEODALI TELAUMBANUA NIM: 060707007
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012
ANALISIS SINUNŐ PADA PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI
OLEH: NAMA: CHICAL TEODALI TELAUMBANUA NIM: 060707007
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Drs. Fadlin, M.A.
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196102201989031003
NIP 196512211991031001
Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomuskologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal : Hari
:
Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP
Panitia Ujian: 1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. 3.Drs. Fadlin, M.A. 4. 5.
Tanda Tangan
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap suku bangsa di nusantara ini masing-masing memiliki bentukbentuk kesenian tradisional yang khas dan beragam yang sering disebut dengan local culture yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Meskipun masyarakat pendukungnya mengalami perubahan, kesenian tradisional tersebut berkembang dengan mengikuti dinamika zaman. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan pencerminan dari pola pikir, tingkah laku, dan watak masyarakat pemiliknya. Pada prinsipnya sebuah bentuk kesenian diciptakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar merasa tentram dalam menghadapi tantangan alam. Salah satu suku bangsa tersebut adalah masyarakat Nias. Secara geografis, Nias merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera (Indonesia). Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang memiliki budaya megalitik, musik, tarian, dan nyanyian (sinunő). Suku Nias menamakan diri mereka sebagai Ono Niha yang artinya (ono artinya anak atau keturunan dan niha artinya manusia) dan pulau Nias sebagai Tanő Niha yang artinya (tanő artinya
tanah) dan diartikan sebagai tanah manusia. Suku Nias merupakan
masyarakat yang hidup di lingkungan adat dan kebudayaan yang memiliki nilainilai yang khas.
1
Unsur-unsur kebudayaan seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Oleh karena itu dapat di perkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas adat-istiadat dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koentjaraningrat, 1997:4). Kenyataan ini dapat dijumpai dalam etnik Nias yang merupakan salah satu etnik yang berdiam di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Nias sangat menghargai setiap unsur budaya yang melekat dalam kehidupan mereka dan menjadikan unsur budaya itu menjadi suatu hal yang sangat sakral dan harus dijalani dan di patuhi oleh setiap masyarakat Nias. Masyarakat Nias memiliki sistem hukum adat yang disebut Fondrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kepada kematian, dan bagi setiap orang yang tidak melaksanakannya akan diberikan ganjaran yang sesuai dengan apa yang mereka perbuat. Dalam kebudayaan Nias terdapat banyak sekali keragaman budaya. Keragaman budaya tersebut antara lain seperti tarian tradisional, sinunő dan musik tradisional, makanan,dan minuman yang bersifat tradisional. Tarian tradisional, musik dan sinunő di pertunjukan pada setiap upacara-upacara adat, baik itu pernikahan, kematian, penyambutan tamu-tamu adat dan pemerintahan. Pada setiap upacara-upacara adat salah satu unsur yang tidak dapat lepas darinya adalah tarian tradisional serta sinunő (nyanyian) pengiring tari tersebut. Tarian tradisional dan sinunő ini diiringi oleh ensambel musik yang terdiri dari gendra (gendang besar), faritia (canang), dan mamba (gong). Masih terdapat beberapa alat musik lainnya dan yang ketiga alat musik di atas adalah yang paling umum dipakai. Pada masyarakat Nias terdapat beberapa 2
jenis tarian tradisional, antara lain: Tari Maena yaitu tarian ini merupakan tarian suka cita yang biasa di pertunjukkan pada acara pernikahan, owasa, dan penyambutan tamu yang di hormati, tari Maru yang
merupakan tarian yang
dipertunjukkan pada pesta penyambutan tamu dan owasa, tari Mamadaya Saembu atau Folaya Saembu merupakan tarian yang dipertunjukan pada pesta kebesaran untuk meningkatkan derajat seseorang di tengah-tengah masyarakat, tari Moyo yang merupakan tarian yang menyerupai gerakan elang dan biasanya di pertunjukkan pada penyambutan tamu, tari Perang
tarian yang biasanya di
pertunjukkan pada penyambutan tamu, dan festival-festival kebudayaan, tari Ya’ahowu merupakan tarian kreasi baru yang sudah menjadi salah satu tarian yang paling sering ditampilkan pada acara-acara penyambutan tamu, baik itu tamu adat dan tamu yang hadir pada suatu pesta. Untuk mempersempit pokok permasalahan, maka dalam hal ini saya sebagai penulis mengambil pokok permasalahan pada tari Ya’ahowu. Tari ya’ahowu ini merupakan sebuah tarian khas kepulauan Nias di mana tarian ini merupakan sapaan khas penduduk Pulau Nias yang dipertunjukkan untuk menyambut tamu yang datang, baik tamu kedaerahan, pemerintahan dan tamu adat. Tarian ini diikuti atau diiringi oleh nyanyian (sinunő) yang merdu dan sahut menyahut yang mengandung makna dan arti tertentu yang dinyanyikan dalam bahasa Nias. Kalau kita mengartikan kata Tari Ya’ahowu jika dilihat dari pengertiannya, tari merupakan gerak tubuh manusia yang sama sekali lepas dari unsur ruang, waktu, dan tenaga. Ada juga yang mengartikan bahwa tari adalah keindahan exspresi jiwa manusia yang diungkapkan dalam bentuk gerak tubuh yang di perhalus melalui estetika.
3
Latar belakang terciptanya tari Ya’ahowu ini adalah adanya unsur keinginan masyarakat untuk menciptakan tari yang menggambarkan rasa sukacita dan penyambutan kepada tamu yang datang di Nias terutama di daerah Nias bagian utara. Sebelum terbaginya beberapa wilayah kabupaten dan kota di Nias, tari penyambutan di yang sering dan umum di pertunjukan adalah tari Faluaya (tari perang) dan nyanyiannya vokal yang digunakan pada masa sebelum terbaginya wilayah Nias adalah nyanyian Hoho. Terjadinya pembagian wilayah kabupaten di Nias menjadikan masyarakat Nias menciptakan kesenian tradisional baru yang melambangkan atau menjadi ikon dari daerah itu. Nias Utara dan selatan memiliki perbedaan tradisi yang sangat jauh berbeda, terutama dalam hal tarian dan musik. Nias bagian utara pada tariannya memiliki gerakan yang lebih halus dibandingkan dengan Nias bahagian selatan yang rata-rata gerakannya kesar dan energik. Begitu juga dalam nyanyiannya. Dari perbedaan wilayah inilah maka Nias bagian utama atau sekarang di kenal dengan daerah kota Gunungsitoli menciptakan tari Ya’ahowu sebagai tari penyambutan tamu adat di daerah ini. Tarian ini pertama sekali diciptakan secara bersama oleh Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli. Sampai sekarang tarian ini belum didaftarkan ke pihak Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Republik Indonesia. Karena penciptanya berkelompok, dalam hal ini Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli, maka sebahagian besar orang Nias memandangnya sebagai karya kelompok bersama bukan perseorangan. Pada upacara penyambutan tamu, tari Ya’ahowu di pertunjukan disertai dengan sinunő fangowai yang artinya adalah nyanyian penyambutan. Nyanyian pada waktu penyambutan ini terdiri dari 2 jenis, yakni: bőlihae dan fangowai. Kedua nyanyian ini biasanya didapati pada setiap acara penyambutan tamu-tamu 4
adat, ataupun pemerintahan. Pengertian kedua nyanyian tersebut, dalam konteks kebudayaan Nias adalah sebagai berikiut: (a) Bőlihae adalah nyanyian yang dibawakan disepanjang tamu memasuki lokasi acara tempat diadakannya pesta penyambutan tamu. (b) Fangowai adalah ungkapan rasa hormat pihak sowatő atau orang dalam terhadap tome atau tamu yang datang. Kedua nyanyian di atas menggunakan syair-syair tertentu, khususnya Bőlihae yang berisikan pujian-pujian dari masyarakat setempat atau orang dalam kepada pihak tome/ tamu yang datang. Sikap merendahkan hati dan ungkapan peristiwa sukacita saat itu tergambar dari nyanyian (sinunő) yang mereka nyanyikan pada saat itu; sedangkan Fangowai berisikan penghormatan tehadap pihak tamu. Kedua nynyian ini dinyanyikan dengan menitikberatkan pada medium suara manusia. Kedua nyanyian ini juga merupakan suatu nyanyian rakyat yang diaplikasikan pada suatu upacara adat penyambutan tamu pada masyarakat Nias. Kebutuhan akan pentingnya suatu nyanyian (sinunő) untuk pengiring tari Ya’ahowu membuat Bolihae dan Fangowai diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang. Meskipun tarian Ya’ahowu dan sinunő pengiringnya masih tergolong kreasi baru, tetapi mempunyai posisi yang penting pada kebudayaan Nias. Dalam konteksnya, banyak tarian yang mengadopsi atau mengunakan
nyanyian vokal sebagai
pengiring dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan tari itu sendiri. Banyak tarian yang mana nyanyian pengiringnya mengandung makna sesuai dengan gerakan tari yang dimainkan oleh penari. Sinunő atau Nyanyian pengiring tari Ya’ahowu ini mempunyai fungsi yang sama dengan nyanyian hoho yang terdapat di Nias selatan yaitu sama-sama nyanyian pengiring tari, hanya saja berbeda dalam konteks penyajian, tergantung 5
dimana konteks dia di pertunjukakan. Tari Ya’ahowu di Nias utara lebih sering dipertunjukan pada acara penyambutan tamu, dan teks yang terkandung dalam sinunő mengandung makna sapaan, pemberian hormat dan rasa sukacita yang diberikan kepada tamu. Sedangkan hoho pada kebudayaan Nias selatan hampir di semua acara adat dia di pergunakan. Teks dalam nyanyian hoho ini belum baku dan bisa berubah sesuai dimana ia di mainkan. Di dalam teks hoho ini terdapat mitologi Nias yang berisi berbagai konsep orang Nias tentang alam, adat dan rekigi ataupun filsafah hidup masyarakat Nias. Ere hoho mempunyai peranan penting dalam menyusun ataupun membuat teks hoho yang akan ditampilkan. Berdasarkan cara menyajikan atau menampilkannya, masyarakat Nias (bagian Selatan) membagi hoho dalam dua jenis, yang pertama adalah Hoho yang dibawakan untuk mengiringi tari Faluaya. Atau yang menyanyikan hoho membawakan nyanyian itu sambil menarikan tarian Faluaya bersama dengan penari Faluaya lainnya yang jumlahnya bisa mencapai pulihan orang dan biasanya ditampilkan dihalaman kampong atau newali. Sedangkan yang kedua hoho yang ditampilkan tanpa tarian dan ditampilkan sambil duduk di atas darodaro (kursi tradisional Nias) atau disebut dengan hoho Fetataro. Jadi sinunő pengiring tari Ya’ahowu mempunyai fungsi yang sama dengan hoho, yaitu samasama sebagai nyanyian pengiring tari, tetapi cara menyanyikannya, intonasinya, serta teksnya berbeda. Cara bernyanyi di Nias selatan lebih keras disbanding cara bernyanyi masyarakat di Nias utara yang lebih lembut. Sinunő atau nyanyian pengiring tari Ya’ahowu ini tergolong nyanyian baru yang baru diciptakan sekitar bulan Maret tahun 2004 oleh Bapak Man Harefa yang merupakan salah seorang budayawan Nias. Nyanyian ini banyak dipengaruhi oleh nyanyian gereja yang dapat di lihat dari nada-nada yang diciptakan dan 6
teksnya yang berisi kalimat-kalimat yang lembut yang berbeda jauh dari cara masyarakat Nias Selatan yang lebih keras. Dengan melihat pendapat tersebut, nyanyian (sinunő) pengiring tari Ya’ahowu juga menjadi bagian yang sangat perlu dikaji lebih dalam lagi melalui analisis tekstual. Berbicara mengenai tekstual, maka akan berbicara mengenai bahasa juga, dimana bahasa juga merupakan salah satu system yang masuk kedalam unsur-unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1981:203). Fenomena linguistik dengan bunyi musikal sudah sangat lama diteliti mengenai hubungannya. Menurut salah satu pakar etnomusikologi Feld dalam Purba (2004:2) mengatakan ada dua masalah yang mendasar sekali dari hubungan inter relasi antara kedua unsur tersebut, yaitu : yang meliputi hubungan tekstual (relasi), sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian; dan yang kedua, music didalam bahasa, yaitu: masalah yang meliputi eksistensi sifat (properties) ke-musikal-an dari bahasa. Demikian juga sinunő pengiring tari Ya’ahowu merupakan musik vokal, jelas mempunyai hubungan inter relasi antara unsur bahasa dan musiknya, baik itu yang meliputi hubungan tekstual begitu juga gaya bahasa di dalam struktur nyanyiannya. Sinunő pengiring tari Ya’ahowu memiliki bahasa yang bersifat konotatif (makna yang tidak sebenarnya), jauh dari bahasa sehari-hari dan sering menggunakan pantun-pantung adat atau bahasa-bahasa ynag mengandung makna tersendiri sebagai syair/teks nyanyian. Makna konotatif ini merupakan suatu pesan yang disampaikan dalam bentuk kata dan mungkin hanya dipahami oleh masyarakat Nias itu sendiri. Maka sinunő juga merupakan media komusikasi yang memiliki tandatanda atau ciri-ciri tersebut, dan menyampaikan suatu makna yang dapat dipahami 7
oleh masyarakat Nias itu sendiri ataupun masyarakat lain di luar kebudayaan Nias. Dengan demikian sinunő tidak hanya sebatas nyanyian yang dinyanyikan pada acara-acara adat ataupun penyambutan tamu dan berfungsi sebagai media komunikasi, hiburan, atau memiliki beberapa fungsi lain.tetapi yang paling inti bahwa sinunő menggambarkan suatu cirri atau kebudayaan masyarakat Nias melalui teks atau syair dan menyampaikan makna yang terkandung di dalam teks atau syair tersebut. Dengan melihat latar belakang tersebut di atas, maka nyanyian sinunő yang disajikan dalam pertunjukan fanari Ya’ahowu dalam kebudayaan masyarakat Nias di Kota Gunung Sitoli ini, menarik secara keilmuan untuk dikaji melalui disiplin etnomusikologi. Apalagi disiplin ini adalah ilmu yang penulis pelajari dan resapi selama beberapa tahun terakhir ini. Untuk itu perlu penulis uraikan sekilas apa itu etnomusikologi dan bagaimana terapannya untuk penelitian ini. Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu seni dan siial, disiplin ilmu etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan gabungan atau fusi dari dua disiplin ilmu yaitu antropologi (kadangkala disebut juga dengan etnologi dengan musikologi. Fusi antara kedua disiplin ini sendiri telah menimbulkan pengaruh yang sangat kompleks dalam sejarah perkembangan etnomusikologi di seluruh dunia ini. Dalam konteks penggunaan kedua disiplin itu di dalam etnomusikologi, maka bidang musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik
yang
mempunyai
hukum-hukum
internalnya sendiri. Di lain sisi
antropologi memandang musik sebagai bagian dari fungsi kebudayaan manusia yang lebih luas.
Secara tegas dinyatakan oleh Alan P. Merriam di tahun 1964
sebagai berikut. 8
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).1 Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian musikologi
dan
etnologi.
kemungkinan masalah besar
keilmuan yang
Selanjutnya menimbulkan
terpisah,
yaitu
kemungkinan-
dalam rangka mencampur kedua disiplin itu
dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, bahan-bahan
bacaan
yang
dihasilkannya.
dapat ditandai dari
Katakanlah
seorang
sarjana
etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu 1
Buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.
9
sistem
tersendiri. Di lain sisi,
sedangkan
sarjana
lain
memilih
untuk
memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang
sama,
beberapa
sarjana
dipengaruhi secara
luas oleh para pakar
antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai
dengan
melakukan studi musik
dalam
konteks etnologisnya. Di
dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan,
atau
penekanannya.
Beberapa
studi
provokatif
awalnya
dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika
telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.
10
Khusus
mengenai
beberapa
definisi
tentang
etnomusikologi
telah
dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta.
Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi
etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.2 Dari definisi etnomusikologi tersebut di atas, maka dalam konteks penelitian ini, sangatlah relevan mengkaji sinunő pada pertunjukan fanari Ya’ahowu di dalam kebudayaan masyarakat Nias di Gunung Sitoli. Alasannya adalah bahwa sinunő adalah musik vokal yang mengandung makna-makna kebudayaan. Nyanyian ini dapat didekati oleh disiplin etnomusikologi yang merupakan hasil fusi dari disiplin antropologi dan musikologi. Sinunő ini dapat dikaji dari aspek
2
Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.
11
strukturalnya melalui musikologi dan dikaji aspek fungsi sosial dan budayanya dari sudut antropologi. Berdasarkan apa yang diamati dan diteliti oleh penulis, maka penulis tertarik untuk menganalisis sinunő (nyanyian) untuk iringan tari Ya’ahowu karena melihat hal ini baik untuk dibahas dan dituliskan dalam skripsi dengan judul: ANALISIS SINUNŐ
PADA
PERTUNJUKAN FANARI YA’AHOWU
DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI.
1.2 Pokok Permasalahan Adapun pokok permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur sinunő
yang digunakan pada pertunjukan fanari
Ya’ahowu dalam kebudayaan masyarakat Nias di Kota Gunungsitolu? 2. Bagaimana struktur teks sinunő fanari Ya’ahowu pada acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli? 3. Makna apa yang terkandung di dalam sinunő?
1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana struktur nyanyian/melodi vocal sinunő fanari Ya’ahowu dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias. 2. Untuk mengetahui struktur teks sinunő fanari Ya’ahowu dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.
12
3. Untuk mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam sinunő fanari ya’ahowu yang dapat berguna sebagai pedoman oleh masyarakat Nias
1.3.2 Manfaat Yang menjadi manfaat dalam tulisan ini adalah: 1. Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui secara jelas bagaimana dan sejauh mana sinunő berperan dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias. 2. Penelitian ini bermanfaat untuk mendokumentasikan keberadaan seni etnik, khususnya Nias. 3. Penelitian
ini
juga
bermanfaat
untuk
pengembangan
ilmu
etnomuskolologi dalam mengkaji kebudayaan etnik yang terdapat di seluruh dunia ini.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Konsep adalah pengertian abstrak dari jumlah konsepsi-konsepsi atau pengertian, pendapat (paham) yang telah ada dalam pikiran (Bachtiar, 1997:10). Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya (dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia 1998). Atau dengan kata lain, konsep merupakan istilah dari kata analisa atau analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan 13
yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya. Struktur adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur
yang
berhubungan
satu
sama
lain
dalam
satu
kesatuan
(Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005). Sinunő dalam Kamus Bebas Bahasa Nias berarti nyanyian, sedangkan yang bernyanyi artikan Si Manunő. Nyanyian disebut juga dengan musik vokal, yang menggunakan suara manusia sebagai sumber utamanya. Pertunjukan menurut Richard Schechner (1997:161) adalah suatu proses yang memerlukan ruang dan waktu, yang memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan terdiri dari persiapan bagi pemain maupun penonton, pementasan, aftermath (yang terjadi setelah pertunjukan selesai). Menurut Singer (1995:165) pertunjukan adalah sesuatu yang selalu memiliki waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton, tempat pertunjukan, dan kesempatan untuk mempertunjukkannya. Sedangkan menurut Sediawaty (1981:58-60) seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu dengan maksud bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan teknis sebagai bahan. Selain hal tersebut, seni pertunjukan dibagi kedalam dua kategori yaitu: (1) seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, dimana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, dimana antara penyaji dan penonton
14
saling berhubungan. Dalam hal ini seni yang terdapat dalam tari Ya’ahowu/fanari Ya’ahowu yaitu seni vokal, musik, dan tari. Fanari dalam Kamus Bahasa Nias berarti menari atau menarikan. Jika dilihat dari pengertiannya, tari merupakan gerak tubuh manusia yang sama sekali tidak lepas dari unsur ruang, waktu, dan tenaga. Ada juga yang mengartikan bahwa tari adalah keindahan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dalam bentuk gerak tubuh yang diperhalus melalui estetika. Haukin mengatakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasai dan di beri bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan sebagai ungkapan si pencipta (Haukins, 1990:2). Dalam konteksnya, beberapa unsur gerak tari yang tampak meliputi gerak, ritme, dan bunyi musik, serta unsur-unsur pendukung lainnya. Ya’ahowu dalam Kamus Bahasa Nias (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia berarti “Semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh yang maha kuasa. Sedangkan Kota Gunungsitoli adalah, kota terbesar di pulau Nias saat ini, membuat kota ini menjadi salah satu tujuan orang dari pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias untuk pergi berimigrasi ke kota Gunungsitoli. Di samping itu Kota Gunugsitoli memiliki penduduk yang beragam (heterogen). Hal ini ditandai dengan banyaknya orang-orang Kota GunungSitoli yang tinggal menetap bukan hanya berasal dari Nias itu sendiri melainkan dari luar Nias seperti orang Padang, Batak, Aceh, dan orang-orang keturunan Tionghoa.
15
1.4.2 Teori Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Sebagai landasan berfikir dalam melihat permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis mempergunakan dua teori utama untuk membedah dua permasalahan utama. Untuk mengkaji masalah struktur melodi digunakan teori weighted scale (bobot tangga nada), dan untuk mengkaji struktur teks (lirik) lagu digunakan teori semiotik. Sinuno atau nyanyian berhubungan erat dengan bahasa (tekstual). Terkadang juga nynyian berhubungan erat dengan musik. Ada 2 faktor yang paling mendasar di dalam hubungan bahasa dan musik, antara lain : 1. Bahasa di dalam musik yang meliputi hubungan tekstual, sifal quistik atau gaya bahasa. 2. Musik di dalam bahasa meliputi masalah eksistensi sikap atau masalah dari bahasa. Menurut Steven Feld dan Hugo Zemp,vocabulari yang sebelumnya dianggap sebagai tata bahasa saja, tetapi berhubungan dengan kebiasaan masyarakat seperti bentuk musik, nyanyian vokal, nyanyian pengiring dalam sebuah pertunjukan tari. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori William P. Malm (1977:15) untuk menganalisis sinunő (nyanyian), yang membahas scale (tangga nada), nada dasar, range (wilayah nada), frequency of notes (jumlah nada-nada), prevalent interval (interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic formula (formula melodi), dan contour (kontur). Penulis juga melakukan 16
pendekatan seperti yang ditawarkan Nettl (1963:89), yaitu: (1) menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan apa yang kita dengar itu di atas kertas, dan kemudian mendeskripsikan apa yang kita lihat itu. Dalam hal ini penulis hanya akan menganalisa nyanyian , yaitu sinuno sebagai nyanyian vocal,bagaimana nada-nadanya, interval yang di pakai, bagaimana irama nyanyian itu. Untuk menganalisis pertunjukan penulis berpedoman pada Sedyawati (1981:48-66) yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung masyarakatnya, pergeseran-pergeseran nilai yang terdapat di dalam pertunjukan, dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang (penyaji dan penyaji, penyaji dan penonton) diantara variabelvariabel wilayah yang berbeda. Dari segi tari, penulis mengutip apa yang dikatakan Soedarsono (1972:8198), mengatakan bahwa tari adalah seni yang memiliki substansi dasar yaitu gerak tetapi gerak-gerak di dalam tari bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dimana gerakan itu memiliki hal-hal yang indah dan menggetarkan perasaan manusia, yang didalamnya mengandung maksudmaksud tertentu dan juga mengandung maksud-maksud simbolis (abstrak) yang sukar untuk dimengerti, hal ini diperbuat agar makna tari itu berbeda dari apa yang dinamakan “pantonim” yang menggunakan gerakan-gerakan yang mudah dimengerti. Qureshi (1986:135-136) menekankan bahwa pentingnya proses dari analisa yang terkait dimana adanya interaksi diantara dua pandangan yang berbeda yaitu
17
bukan hanya sekedar penyajian musikal, karena setiap peristiwa yang terkait memiliki makna tertentu bagi masyarakat pendukungnya.
1.5 Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian penulis mengacu pada pendapat Nettl (1964:62) yang mengatakan ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Penulis juga menggunakan metode
penelitian kualitatif
umumnya
ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti.
Penelitian ini melibatkan berbagai jenis disiplin,
baik dari ilmu humaniora, sosial, ataupun ilmu alam. Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang disarankan Curt Sach dalam Nettl (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work). Metode penelitiaan yang digunakan juga memakai metode penelitian deskriptif,
merupakan penelitian yang berusaha
mendeskripsikan dan
menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, dan akibat atau efek yang terjadi (Sukmadinata 2006:72). Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.
18
1.5.1 Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian sebelumnya, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengadakan penelusuran kepustakaan untuk memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti. Penulis juga mempelajari buku-buku tentang asal usul Orang Nias, buku tentang bagaimana Nias di zaman dahulu. Penulis juga mempelajari bagaimana kebudayaan Nias dulu, bagaimana kesenian- kesenian yang terdapat di masa dulu serta kaitannya kepada kebudayaan musik sekarang, serta membaca jurnal-jurnal yang membahas dan berkaitan dengan kebudayaan Nias. Dalam mencari informasi yang berhubungan dan mendukung dengan tulisan ini serta dapat dijadikan sebagai landasan dalam penelitian, penulis melakukan studi kepustakaan. Ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan yang berguna untuk melengkapi hal-hal yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian lapangan. Selain itu penulis juga mencari penjelasan dari internet yang mana dari literatur tersebut diharapkan dapat membantu penyelesaian dari penulisan skripsi ini.
19
1.5.2
Kerja Lapangan Penelitian lapangan ini dilakukan dengan metode pengumpulan data
dengan cara wawancara dan perekaman. Sebelum wawancara, penulis menyusun daftar pertanyaan untuk mengarahkan kepada pokok permasalahan yang ingin penulis ketahui. Namun demikian penulis tetap akan mengembangkan pertanyaan kepada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Penelitian kualitatif menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data/informan yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selain itu juga penulis mengacu pada pendapat Merriam bahwa dalam etnomusikologi, dikenal istilah teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti pengumpulan data-data secara rinci di lapangan.
Metode
lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu meliputi dasar-dasar teoritis yang menjadi acuan bagi teknik penelitin lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan masalah pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik dan juga berbagai pemecahan masalah sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan (Merriam, 1964:39-40). Penulis
juga
melakukan
pengamatan
langsung
ke
tempat
diselengarakannya pertunjukan fanari Ya’ahowu pada sebuah acara penyambutan tamu daerah yang menampilkan naynyian dan tarian tersebut di Kota Gunungsitoli dan melakukan perekaman langsung guna diteliti.
20
1.5.3
Wawancara Dalam rangka penelitian ini, penulis melakukan wawancara langsung
kepada objek yang di teliti, baik penarinya, penyanyinya serta pemusiknya yang berguna untuk mengumpulkan data-data yang akurat untuk penelitian ini. Menurut Moleong wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak-pihak yaitu pewawancara (interviewer) dan yang
diwawancari
(interview).
Patton
(dalam
Moleong,
1988:135),
mengungkapkan beberapa jenis wawancara, yaitu: (1) wawancara pembicaraan informal, (2) pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, dan (3) wawancara baku terbuka. Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang (Koentjaraningrat,1990:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.
1.5.4
Perekaman Data Visual dan Audio Perekaman data baik itu visual dan audio merupakan salah satu bagian
terpenting juga yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data selain menggunakan teknik wawancara. Perekaman data visual dan audio dilakukan secara langsung pada saat pertunjukan Fanari Ya’ahowu ditampilkan pada acara
21
penyambutan tamu dengan langsung merekamnya dengan format video dan mengambil foto-foto tentang pertunjukan itu. Perekaman data ini di lakukan dengan menggunakan handycam Sony dan menggunakan camera Nikkon. serta merekam nyanyianatau sinuno melalui laptop yang menggunakan software Nuendo 4.2 dan menyimpannya dalam format mp3. Hasil dari rekaman ini kemudian di edit dan dipilih, sehingga dapat dimuat dalam data skripsi. Data nyanyian atau sinunő tersebut di pindahkan ke dalam satu notasi yang sifatnya visual agar mudah dipelajari.
1.5.5
Kerja Laboratorium Dari semua data yang diperoleh dari perekaman melalui penelitian
langsung, Semua data yang diperoleh di lapangan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna pengolahan dan penganalisisan data. Dalam kerja laboratorium ini juga penulis di bimbing langsung oleh dosen pembimbing yaitu: Bapak Fadlin dan Muhammad Takari yang juga mengarahkan penulis melalui pendekatan-pendekatan etnomusikologi tentang masalah yang penulis bahas. Sehingga jika terdapat kekurangan dapat langsung diperbaiki melalui saran dari dosen pembimbing.
22
1.5.6
Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan Di Nias terdapat banyak sanggar seni, baik itu sanggar seni yang berada di
bawah pembinaan atau naungan sekolah, seperti sanggar Sma Xaverius Gunungsitoli, Sanggar SMA Negeri 3 Gunungsitoli, Sanggar Perguruan Pemda (Pemerintah Daerah) Gunungsitoli, dan masih banyak lagi sanggar seni yang ada di bawah naungan sekolah lainnya. Ada juga sanggar seni yang dimiliki oleh instansi-instansi tertentu. Dalam pemilihan lokasi penelitian, penulis menetapkan Sanggar Bolalahina Sma Negeri 1 Kota Gunungsitoli yang merupakan sanggar pencipta tari Ya’ahowu dan sanggar ini juga merupakan sanggar yang paling banyak di undang untuk mengisi setiap acara-acara yang menampilkan kesenian-kesenian Nias. Sanggar ini di pilih karena di sanggar inilah banyak terdapat informasiinformasi yang berhubungan dengan penelitian yang di kerjakan oleh penulis. Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan. Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari terlebih dahulu adalah informan pangkal yaitu orang yang terlebih dahulu penulis kenal yang mampu membeikan informasi yang penulis butuhkan sebelum melakukan penelitian. Informan pangkal inilah nantinya yang akan membawa atau mengarahkan penulis kepada informan kunci. Adapun kapasitas dan criteria informan kunci ini adalah orang yang mengetahui tentang Sinuno dalam tari Ya’ahowu dan memberikan semua informasi yang penulis butuhkan. Informan kunci yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Ibu Adiria Zendrato (42) dan Ibu Eka Gulo (45). Ibu Adiri Zendrato dan Ibu Eka Gulo dianggap oleh masyarakat Nias di Gunungsitoli 23
sebagai orang yang banyak memahami sinuno untuk tari Ya’ahowu. Keduanya melatih dan menghasilkan para penari Ya’ahowu dengan kualitas estetik dan teknis yang dipandang baik. Keduanya juga berwawasan budaya dalam konteks memaknai tari dan lagu ini.
24
BAB II DESKRIPSI ETNOGRAFI MASYARAKAT NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI 2.1. Gambaran Umum kota Gunungsitoli
Pulau Nias yang merupakan salah satu pulau yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang disebut Pulau Nias. Luas Kabupaten Nias adalah 3.495,40 Km² atau 4,88% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara, dan merupakan daerah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau. Menurut letak geografis, Kabupaten Nias terletak pada garis 0º12’-1º32’LU (Lintang Utara) dan 97º-98ºBT (Bujur Timur) dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah:
Sebelah Utara
: berbatasan dengan Pulau-pulau Banyak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
Sebelah Selatan
: berbatasan dengan Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara;
Sebelah Timur
: berbatasan dengan Pulau Mursala, Kabupaten Tapanuli Tengah;
Sebelah Barat
: berbatasan dengan Samudera Hindia.
Pulau Nias memiliki satu (1) Kotamadya, yaitu kota Gunungsitoli. Kota Gunungsitoli adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29 25
Oktober 2008, sebagai salah satu hasil pemekaran dari Kabupaten Nias. Istilah Gunungsitoli itu sendiri secara etimologis dan historis merupakan terjemahan akulturatif bahasa Melayu dengan bahasa Nias, berasal dari istilah “Hili Gatoli”yakni sebuah nama gunung dalam kota Gunungsitoli saat ini (Hili = Gunung; Gatoli= Sitoli). Cikal bakal munculnya istilah Gunungsitoli muncul pada saat diadakan kontrak dagang VOC Belanda (terjadinya interaksi orang Nias dengan Belanda untuk kepentingan dagang VOC), sedangkan alasan penggunaan bahasa Melayu dalam istilah Gunungsitoli karena pada saat itu karena bahasa Melayu telah digunakan secara umum di seluruh Nusantara dan orang Belanda telah menguasai bahasa Melayu. Pada tahun 1755 kota Gunungsitoli menjadi kota Pelabuhan yang dinamakan “Kade”dan pada tahun 1840 kota Gunungsitoli menjadi ibu kota Pemerintahan yang disebut Ina Mbanua. Ada beberapa pendapat tentang lahirnya kota Gunungsitoli sebagai ibu kotanya pulau Nias. Momentum ini antara lain; Menurut Zebua (1996), ada beberapa peristiwa terdekat yang menjadi pra-momentum lahirnya Kota Gunungsitoli yakni: a. Pusat kota Gunungsitoli yang sekarang, pada awalnya adalah suatu lokasi dalam teritorial yurisdiksi kerajaan Laraga (yang berpusat di desa Luahalaraga kawasan sungai Idanoi) b. Pemukiman pertama di Gunungsitoli adalah banua Hilihati (di Hilihati sekarang) yang dididiami oleh Baginda Lochozitolu Zebua, kawasan muara sungai Nou (kampung Dahana’uwe) yang didiami oleh Baginda Bawolaraga Harefadan kampung Bonio yang didiami oleh Baginda Laso Borombanua Telaumbanua.
26
c. Ketiga leluhur pemukiman tersebut (Marga Zebua, Harefa, dan Telaumbanua) disebut Sitolu Tua. Menurut Zebua (1996), pada awalnya penduduk dan populasi kota Gunungsitoli adalah bersifat homogen yang disebut Ono Niha (Orang Nias) namun dari sisi Marga (Mado) bersifat heterogen terdiri dari 3 marga yakni Harefa, Zebua, dan Telaumbanua. d. Penduduk pemukiman Sitolu Tua sama-sama menggunakan Luahanou segera meningkat penggunaan jasanya dan tampak agak ramai. Dengan demikian Luaha Nou menjadi Saota (Pelabuhan) dagang dan menjadi saingan pelabuhan Luaha Idanoi di Luahalaraga. Dengan demikian momentum lahirnya kota Gunungsitoli dianalogikan dengan kelahiran pelabuhan yang dinamakan Luahanou. Pelabuhan tersebut pada awalnya masih sebagai pelabuhan alam terbuka pada tahun 1629. (Juga disebut dengan nama Luaha). Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan sendirinya Tano Niha (Suku Nias) dengan kepualuannya masuk dalam wilayah Negara Republik Indonesia.Tano niha dengan kepulauannya(kepulauan Hinako dan kepulauan Batu) menjadi satu Lurah yang dipimpin oleh Kepala Lurah, dengan Ibu Kotanya Gunungsitoli. Kepala Luhak pertama adalah Daliziduhu Marunduri (1945-1946).Kemudian tahun 1946, status wilayah Luhak Nias di tingkatkan menjadi Kabupaten Nias yang dikepalai oleh Bupati.Bupati pertama adalah Pendeta Ros Telaumbanua (1946-1950), dengan ibu kotanya Gunungsitoli. Tidak berapa lama kemudian Tano Niha menjadi daerah Tingkat II Kabupaten Nias dan mulai terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II. Dalam perkembangannya pemimpin pemerintahan (bupati) berganti dan sat ini Kota Gunungsitoli sebagai Daerah Otonom Baru dipimpin walikota defenitif.
27
Proses perkembangan kota Gunungsitoli sejak lahirnya dengan nama Luahanou masa kemerdekaan Republik Indonesia dan masa Daerah Otonomi Baru Saat ini. Perkembangan itu dapat ditinjau dari perkembangan komunitas/etnis maupun perkembangan fisik/ prasarana. Kedatangan etnis lain di Kota Gunungsitoli adalah etnis Aceh dan Minangkabau (1700), Belanda/VOC (1775140), Cina (1850), Jerman (1865) dan Jepang (1942). Berdasarkan sejarahnya, motif kedatangan etnis asing tersebut adalah berdagang, kecuali Jerman (motif pengembangan agama Kristen) dan Jepang (motif politik dan kekuasaan).
Gambar 1:Peta Wilayah Kota Gunungsitoli
28
Gambar 2: Peta Keseluruhan Pulau Nias
29
2.1.1
Demografi Dari hasil survei oleh Badan Pusat Statistik di Kota Gunungsitoli tahun 2010,
dimana survei tersebut dihitung berdasarkan jenis kelamin di kota Gunungsitoli menghasilkan data sebagai berikut : NO
TAHUN
2010
1
Jumlah Pria (Jiwa)
61.839
2
Jumlah Waniata (Jiwa)
64.363
3
Total (Jiwa)
4
Pertumbuhan Penduduk (% )
5
Kepadatan penduduk ( jiwa/km2)
126.202 ----269
2.1.2 Iklim
Pulau Nias beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu mencapai 2.927,6 mm pertahun sedangkan jumlah hari hujan setahun 200-250 hari atau 86 %. Kelembaban udara rata-rata setiap tahun antara 90 %, dengan suhu udara berkisar antara 17,0ºC – 32,60ºC. Kondisi alam daratan Pulau Nias sebagian besar berbukit-bukit dan terjal serta pegunungan dengan tinggi di atas laut bervariasi antara 0-800 m, yang terdiri dari dataran rendah hingga bergelombang sebanyak 24% dari tanah bergelombang hingga berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit hingga pegunungan 51,2% dari seluruh luas daratan. Akibat kondisi alam yang demikian mengakibatkan adanya 102 sungaisungai kecil, sedang, atau besar ditemui hampir di seluruh kecamatan. Keadaan 30
iklim kepulauan Nias pada umumnya di pengaruhi oleh Samudra Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 26°C dan rata-rata maksimum 31°C. Kecepatan angin
rata-rata dalam satu tahun 14 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata
maksimum sebesar 16 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara. Sebagian besar wilayah Nias masih merupakan hutan, sebagian lagi merupakan lahan pertanian dan perkebunan. Iklim daerah Nias sama dengan iklim wilayah indonesia pada umumnya yaitu iklim tropis denagn curah hujan yang cukup besar yaitu antara 3000 sampai 4000 milimeter pertahun. Karena itu antara musim kemaru dan penghujan memiliki kelelmbaban (humiditas) yang cukup berimbang.
2.1.3 Pemerintahan Pemerintah Kota Gunungsitoli terbilang muda. Baru terbentuk berdasarkan UU No. 47 Tahun 2008, sebagai pemekaran dari Kabupaten Nias. Kota gunungsitoli di pimpin oleh Walikota, yang mana jabatan ini merupakan jabatan yang paling tertinggi di pemerintahan Kota Gunungsitoli. Golongan atau jabatan yang di ada pada walikota selalu mendapat perlakuan istimewa dari masyarakatnya atau anggota-anggota pemerintahan lain yang ada di bawahnya. Walikota ini selalu dihormati, selalu di undang untuk hadir dalam pesta-pesta adat,
seperti
perkawinan,
kematian,
dan
lainnya.
Walikota
ini
juga
mempunyai wewenang untuk memutuskan hal-hal penting dalam pemerintahan kota yang ia pimpin.
31
Ada beberapa pembagian wilayah Kecamatan di Kota Gunungsitoli, yaitu: Kecamatan Gunungsitoli Utara, Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa, Kecamatan Gunungsitoli, Kecamatan Gunungsitoli Selatan, Kecamatan Gunungsitoli Barat, dan
Kecamatan Gunungsitoli Idanoi. Masing-masing wilayah kecamatan
dipimpin oleh camat yang mempunyai wewenang atas wilayahnya masingmasing.
2.2 Masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli 2.2.1 Agama Kebudayaan Nias merupakan salah satu kebudayaan Nusantara yang bebas dari pengaruh Hindu-Budha maupun Islam. Orang Nias mengalami banyak perubahan dalam hal kepercayaan dan agamanya. Dahulu kepercayaan orang Nias percaya pada sistem yang bersumber pada kekuatan alam dan roh leluhur. Juga dua kekuatan supernatural di kosmos, yang menampakkan diri sebagai gejalagejala alam dan arwah leluhur mereka. Kekuatan adikodrati (supernatural) bersumber
pada
gejala-gejala
alam
yang
memiliki
nama
sesuai
dengan tempat atau sistem kekuatannya. Para leluhur Nias kuno menganut kepercayaan animisme murni. Mereka mendewakan roh-roh yang tidak kelihatan dengan berbagai sebutan, misalnya: Lowalangi, Laturadanö, Zihi, Nadoya, Luluö, dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda. Selain roh-roh atau dewa yang tidak kelihatan dan tidak dapat diraba tersebut di atas, mereka juga memberhalakan roh-roh yang berdiam di dalam berbagai benda berwujud. Misalnya berbagai jenis patung, (Adu Nama, Adu Nina, Adu Nuwu, Adu Lawölö, 32
Adu Siraha Horö, Adu Horö, dan lain-lain) yang dibuat dari bahan batu atau kayu. Mereka juga percaya pada leluatan supernatural pada pohon tertentu, misalnya: Fösi, Böwö, Endruo, dan lain-lain. Oleh karena masyarakat Nias percaya terhadap banyak dewa, maka sering disebut bahwa orang Nias kuno menganut kepercayaan politeisme. Dalam acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai sarana. Misalnya dukun atau pemimpin agama kuno (ere) sebagai perantara dalam menyampaikan permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk syair-syair kuno (hoho) atau mantera-mantera. Selain itu, para ere juga mempersiapkan sesajen, misalnya: sirih dan makanan lainnya untuk dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon dapat dikabulkan. Sesajen dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya upacara pemberhalaan itu sempurna dan permohonan dikabulkan. Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan selesai, emas sering kali menjadi porsi ere pada akhirnya. Banyak benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan supernatural (sakti) sehingga dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan, misalnya: Sikhöri Lafau, Kara Zi’ugu-ugu, Kara Mboli, Öri Zökha, dan sebagainya. Sesama manusia juga diilah-kan. Hal ini tergambar dari ungkapan seperti: sibaya ba sadono Lowalani (Lowalangi) ba guli danö. Artinya paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu) dan orang tua merupakan jelmaan Tuhan yang hadir di bumi. Maka tidak heran kalau dalam tradisi kuno sebelum agama baru masuk di Nias, patung leluhur (Adu Zatua) selalu dibuat untuk kemudian diberhalakan. 33
Zaman dahulu para leluhur ono Niha (masyaraakat Nias) mempercayai bahwa seluruh jagat raya dan alam semesta ini diatur oleh dewa, dan dewa tertinggi pada saat ini menurut kepercayaan mereka adalah Dewa Si’Ai. Para leluhur Nias dahulu mempercayai bahwa pada saat-saat tertentu mereka harus memberikan sesajian-sesajian untuk menghormati dewa ini. Mereka mengadakan sebuah upacara dengan berkumpul dibawah pohon besar (pohon fosi atau pohon eho) atau dalam bahasa Niasnya upacara ini disebut sebagai sambua olahoitö. Dibawah pohon tersebut mereka melakukan upacara dengan mengelilingi pohon tersebut dan manyampaikan keinginan mereka. Selain dewa Si’ai mereka leluhur Nias dahulu juga mempercayai adanya dewa-dewa lain di antaranya: Luo Lowalangi sebagai Dewa Pencipta Alam Semesta; Lature Sobawi Sihono atau Dewa Pemilik dan Penguasa Ternak Babi; Uwu Gere atau Dewa Pelindung dan Penguasa; Uwu Wakhei
atau Dewa
Penguasa Tanaman-tanaman; Gazo Tuha Zangarofa Dewa Penguasa Air, dan lainnya. Sejak masyarakat Nias menghuni pulau Nias (Tanȍ Niha) mereka mamiliki pandangan bahwa masih ada dewa lain atau kekuatan lain di luar tubuh manusia yang beberbentuk gaib. Mereka percaya bahwa roh atau arwah-arwah leluhur mereka yang sudah meninggal dunia, memiliki kekuatan yang dapat melindungi serta menolong mereka. Sehingga mereka membuat tempat atau benda-benda seperti patung-patung yang terbuat dari batul. Mereka juga percaya akan tempattempat tertentu adalah tempat keramat,yang mana terdapat roh yang bisa berbuat sesuatu terhadap mereka. Untuk menghormati roh-roh tersebut mereka melakukan ritual berdoa atau sembahyang pada waktu-waktu tertentu dengan memberikan
34
persembahan–persembahan atau sesajian dan melakukan ritual dengan cara mengelilingi pohon-pohon besar atau batu besar. Dalam sistem religi terutama sebelum masuknya ajaran agama Islam dan Kristen, masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut dengan Sanomba Adu. Kata-kata ini secara etimologis sanomba berarti menyembah, dan adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu yang dipercayai sebagai media roh bersemayam. Adu atau patung di tempatkan di Osali bȍrȍnadu, yaitu bagunan tempat ibadah untuk penyembah patung (sonomba adu). Pada abad-19 masuklah ajaran agama kristen di Pulau Nias yang pertama kali dibawa oleh Denninger tahun 1865 tepatnya di Kota Gunungsitoli. Sebelumnya ia sudah belajar bahasa Nias dan bergaul dengan orang Nias yang ada di Padang. Orng Nias yang berjumlah kurang lebih 3000 jiwa ini merupakan pendatang. Dari mereka inilah Denninger banyak mempelajari kebiasaankebiasaan orang Nias, adat istiadatnya sehingga ia tertarik untuk datang ke Nias untuk menyebarkan dan mengajarkan ajaran Kristen yang ternyata berhasil dengan baik ia sebarkan. Misi selanjutnya dilanjutkan oleh Thomas yang datang ke Nias pada tahun1873. Masa terpenting pada penyebaran agama Kristen tersebut terjadi antara tahun 1915-1930 dan tahun ini disebut sebagai tahun pertobatan (fangesa dȍdȍ sebua). Transformasi adat ini berlangsung cukup massif. Keajaiban dalam pengabaran Injil terjadi pada 1916 ketika digelar Fangefa SebuaFangesa Sebua (Pertobatan Massal) yang dimotori oleh misionaris Kristen (zendeling). Sejak peristiwa tersebut, orang-orang Nias mulai berani menghanyutkan patung-patung perwujudan nenek moyang mereka, menhir, patung-patung dewa, dan benda35
benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai. Keberhasilan misi Kristen di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti famaoso dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap kepercayaan orang Nias, yang mana kepercayaan yang sebelumnya ditinggalkan dengan membuang atau menghancurkan dan membakar patung-patung yang tadinya mereka jadikan sebagai dewa. Sangsi-sngsi hukum adat dengan hukum badan, poligami, penyembahan patung, penyembuhan penyakit memalui dukun sudah semakin berkurang. Hingga kini sebagian besar etnik Nias beragam kristen (S. Zebua 1984:62). Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat Kristen tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, seluruh masyarakat Nias menganut agama yang dikenal sekarang, yaitu dengan komposisi agama Kristen Protestan 60%, Katolik 30%, 9% Islam, dan 1% Hindu dan Budha (S. Zebua, 1984:63). Selain memeluk agama Kristen, orang Nias di Kota Gunungsitoli ada juga yang memeluk agama Islam. Mereka yang beragama Islam biasanya mengadakan upacara mangikuti ajaran-ajaran agama Islam. Mereka tidak lagi mengikiuti tradisi sanomba adu (penyembah patung), tidak lagi percaya kepada dukundukun, tidak lagi mengadakan sesajen untuk roh-roh leluhur. Mereka tidak lagi memotong babi yang diajaran Islam. Babi ini merupakan hewan yang haram dagingnya untuk dimakan. Biasanya digantikan dengan lembu atau kambing yang diabsahkan oleh ajaran Islam sebagai hewan yang halal. Masyarakat muslim di Nias juga giat melakukan kegiatan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, wirid yasin, memperingati isra’ mi’raj Nabi Muhammad dan lainnya. Walaupun 36
memiliki perbedaan kepercayaan, masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli hidup dengan harmonis dan rukun, serta saling menghormati antar umat beragama.
2.2.2 Bahasa Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Dr. Lea Brown, seorang ahli linguistik dari Australia yang telah menulis disertasi doktoralnya tentang bahasa Nias Selatan berjudul “A grammar of Nias Selatan”, mengatakan dalam suatu wawancara: “Barangkali misteri terpenting, dan yang paling menarik bagi para ahli bahasa, adalah ciri khas gramatikal Li Niha yang hingga sekarang tidak dikenal dalam bahasa-bahasa lain di dunia.” Bahasa Nias termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia tetapi agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya, karena sifatnya yang vokal yaitu tidak mengenal konsonan di tengah maupun di akhir kata. Bahasa Nias mempunyai huruf bunyi tunggal (vokal) yang khas yaitu yang bunyinya hampir sama dengan e pepet atau eu dalam bahasa Sunda. Berdasarkan analisis, di identifikasi bahwa fonem bahasa Nias hanya berjumlah 20, yakni: b, d, f, g, h, k, l, m, mb, n, ndr, r, rn, s, t, w, bw, x, y, z. Logat dan intonasi bunyi bahasa Nias berbeda–beda yaitu karena memiliki dua logat, antara lain logat Nias Utara dan Nias Selatan atau Tello. Logat pertama dipergunakan di Nias bagian utara, timur, dan barat yang menggunakan pengaruh logat bahasa Nias Utara antara lain di daerah pedalaman dan daerah pantai memiliki ciri khas. Logat yang kedua di Nias bagian tengah, selatan dan Kepulauan Batu yang mendapat mengaruh bahasa logat Nias bagian 37
Selatan yaitu di daerah pedalaman dengan intonasi yang lebih tegas dan penekanan bunyi konsonan lebih sering. Penggunaan imbuhan berupa awalan, akhiran dan sisipan terbatas. Penggunaan morfologi lebih banyak terjadi karena ada perubahan bunyi secara sintaksis bukan semantik. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a, e, i, u, o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam"). Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Nias seharusnya memiliki fungsi-fungsi three in one. Bahasa Nias tidak saja merupakan bagian, indeks, dan simbol budaya Nias. Bahasa Nias juga merupakan media untuk memenuhi kebutuhan menyampaikan atau menanggapi suatu informasi, baik mengenai masa lampau, mengenai masa kini, maupun mengenai masa depan. Ini sejalan dengan pendapat Grimes (2002), yang menyatakan bahwa bahasa berkembang bersama lingkungan masyarakat dan mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Bahasa digunakan untuk menuturkan cerita, menceritakan masa lampau, mengungkapkan rencana masa depan, mengungkapkan sastra (baik lisan maupun tertulis), dan mewariskan cara hidup. Ini menunjukkan betapa penting peranan bahasa Nias. Saat ini bahasa Nias masih digunakan sebagai alat komunikasi pada berbagai ranah, terutama oleh (sebagian besar) penduduk di desa-desa di pulau Nias. Beberapa warga komunitas tertentu asal Pulau Nias, yang tinggal di beberapa daerah di luar Pulau Nias, terutama di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa 38
juga masih menggunakan bahasa Nias ketika berkomunikasi dengan sesama warga asal Pulau Nias. Akan tetapi, ada beberapa fenomena yang memberi petunjuk bahwa kehidupan bahasa Nias memerlukan lebih banyak perhatian berbagai pihak. Dalam beberapa tahun terakhir, interferensi bahasa Indonesia (dan beberapa bahasa lain) ke dalam bahasa Nias cenderung menjadi semacam invansi atau “penjajahan” bahasa. “Serangan” bahasa Indonesia (dan beberapa bahasa lain) terhadap bahasa Nias tidak saja menyangkut kosakata, melainkan juga meliputi elemen-elemen lain. Elemen-elemen lain bahasa Indonesia, misalnya, tidak lagi mengikuti kaidah yang berlaku dalam bahasa Nias. Salah satu hal yang menarik perhatian penulis mengenai penyusupan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Nias tersebut adalah kenyataan bahwa bahasa Indonesia menyusup, bahkan menggeser bahasa Nias, melalui orang Nias. Untuk menulis sebuah kalimat dalam bahasa nias, harus memperhatikan beberapa aturan:
Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus menggunakan tanda pemisah (') contoh kata: Ga'a
Semua kata dalam bahasa nias asli selalu ditutup oleh huruf vokal. Beberapa kosa kata bahasa Nias dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia.
Ya'ahowu = biarlah engkau diberkati, bisa juga digunakan sebagai ucapan salam
ya'o = aku, saya
ahono = tenang, diam
ya`ugö = anda, kamu 39
asu = anjing
tola = boleh
lö nasa = belum
ebua = besar
fofo = burung
li Niha = bahasa Nias
lala = cara, jalan
tötö`a = dada
Tanö Niha = Pulau Nias
idanö = air
tundraha = sampan/perahu
Hadia duria? = Apa kabar?
Hauga bözi? = Jam berapa?
Koda, foto = gambar
bongi = malam
tanÕ owi = sore
ama = bapak
ina = ibu
ga'a = abang
nomo = rumah
baru = baju
manga = makan
serewa = celana
omasi'ö = disayangi
omasido = aku suka 40
laluo = siang
ono = anak
ono alawe = anak perempuan
Hezo möi'ö? = Mau kemana?
Manörö-nörö = jalan-jalan
Gambar 3: Seorang Ibu Sedang Berbicara dalam Bahasa Nias
2.2.3 Organisasi Mayarakat Dalam kehidupan sehari-hari, sistem kekerabatan dan kerjasama sangat menonjol pada masyarakat Nias di kota Gunungsitoli, meskipun terdapat perbedaan dalam kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Ini mencerminkan kenyataan sosial bahwa Kota Gunungsitoli ini dihuni oleh beberapa etnis lain di luar etnis Nias itu sendiri. Walaupun berbeda dari segi agama, etnis, dan budaya, namun masyarakat Nias di Kota Gunungsitoli hidup harmonis, tolong menolong,
41
bahkan bersatu di dalam setiap kegiatan organisasi yang ada di tengah masyarakat. Salah satu organisasi masyarkat di Kota Gunungsitoli adalah dalam segi organisasi keagamaan, seperti organisasi Persatuan Masyakat Muslim SeKepulauan Nias yang sudah banyak mengadakan acara-acara seperti pada acara memperingati Maulid Nabi Muhamad SAW. Ketua MUI Kota Gunungsitoli, H. Abdul Hadi Caniago, S.H. di halaman Masjid Al-Falah Tohia mengatakan, saat ini pihaknya memperhatikan BKPRM (Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia) telah banyak melakukan berbagai kegiatan positif, khususnya dalam sendi-sendi kehidupan umat Islam di wilayah Kota Gunungsitoli dan Nias. Pihaknya juga mengharapkan kepada semua umat Islam untuk terus menggunakan mesjid sebagai tempat ibadah secara kolektif, sesuai dengan tujuan dan fungsi masjid itu sendiri sehingga masjid dapat dipandang dengan baik di mata semua umat. Momentum peringatan Maulid Nabi dapat dijadikan sebagai rasa hormat dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah diutus oleh Allah SWT sebagai rahmatan lil alamin. Untuk itu pihaknya mengharapkan kepada generasi muda untuk dapat terus meneladani Nabi Muhammad sAW. Terlebih saat ini meningkatnya berbagai kegiatan negatif yang dapat menjerumuskan para kaderkader pemuda Islam. Ada juga organisasi Persatuan Pemuda Kristen se-kepulauan Nias yang sudah banyak melakukan kegiatan-kegiatan rohani, perlombaan-perlombaan yang membuat pemuda Nias bersatu tanpa melihat perbedaan yang ada. Ada juga persatuan HIMNI (Himpunan Masyarakat Nias Indonesia), Persatuan pemuda Pasar Kota Gunungsitoli. Selain itu, ada juga organisasi perempuan Nias seperti HIPMI (Himpunan perempuan Nias Indonesia). Adajuga persatuan masyarakat 42
Idanȍ Gawo, Lahewa, Sirombu, Nias Selatan dan Pulau-pulau Batu dan lainnya. Ada juga organisasi masyarakat berdasarkan marga (mado), seperti Persatuan marga Telaumabnua, Zalukhu, Zega, Gulȍ, Ziliwu dan lainnya.
2.2.4 Mata pencaharian Kota Gunungsitoli saat ini merupakan kota yang sangat berkembang di Pulau Nias dan Kota Gunungsitoli ini juga merupakan Kota yang menjadi tujuan orang dari perkampungan atau pelosok untuk bermigrasi, mengadu nasib, dan mencari lahan pekerjaan akibat ketertarikan akan banyaknya lahan kerja yang ada di kota Gunungsitoli. Masyarakat dari perkampungan yang ke kota Gunungsitoli ini menyebar keberbagai wilayah di kota, ada yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, TNI/POLRI, menjadi petani, nelayan karyawan swasta atau bahkan ada yang jadi tukang becak dan buruh lepas. Mata pencaharian orang Nias, kecuali yang tinggal di daerah pantai adalah pada umumnya bercocok tanam yakni di ladang (sabae’e) dan di sawah (laza). Lahan di Pulau Nias tergolong memiliki daya guna yang besar bila sistem pendayagunaan dikembangkan. Hal ini di sebabkan oleh iklim di daerah Nias sangat menunjang untuk lahan pertanian karena memiliki curah hujan yang tingg sehingga banyak juga orang Nias yang hidup dari bertani. Mata pencaharian lainnya adalah berburu di hutan, menangkap ikan di sungai, beternak dan bertukang. Hasil peternakan utama di Nias adalah babi. Selain itu diternakkan pula kambing dan kerbau yang biasanya diusahakan oleh orang Nias yang beragama Islam. Nias juga memiliki hutan tropic yang beraneka ragam jenis tanaman dan relatif tidak homogen. Banyak dijumpai tanaman perkebunan seperi cengkeh, kopi, karet, dan nilam. Yang menjadi hasil olahan 43
penduduk antara lain berupa minyak nilam, kopi, kopra dan minyak kelapa. Minyak nilam dari Nias juga diekspor setelah diproses di Medan sebagai bahan kosmetik. Sedangkan kpra dan kopi dipasarkan keluar pulau Nias namun masih dalam jumlah yang kecil karena keterbatasan sarana dan prasarana angkutan (distribusi barang yang terbatas). Selain masyarakat nias sendiri yang bermigrasi,ada juga masyarakat dari etnis lain di luar Nias seperti Minangkabau (Padang), Aceh, Melayu, Cina yang mencari nafkah di kota Gunungsitoli dengan cara berdagang. Arang Padang, Aceh, dan Melayu sebagian besar berjualan emas. Ada juga yang jualan pakaian jadi, serta ada yang berjualan bahan bagunan dan elektronik.
2.2.5 Teknologi Tradisional Orang Nias yang berkebudayaan megalitik sudah mengenal teknologi mengenai pertukangan logam sejak zaman prasejarah. Misalnya, pandai membuat jenis-jenis pedang dan golok perang yang disebut seno gari dan telogu. Dari segi ketajaman, keampuahan, dan keindahan bentuk, senjata-senjata tajam buatan Nias tidak kalah dengan mandau yang dibuat oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Orang Nias juga memiliki keahlian dan keterampilan dalam seni membangun pemukiman, seni ukir, dan seni tari sangat khas. Keahlian orang Nias yang khas ini diwariskan secara turun temurun sehingga keasliannya masih dapat dipertakankan sampai saat kini. Namun adanya pergeseran nilai akibat pengaruh budaya luan membuat keakhlian khas yang dimiliki orang Nias tidak begitu berkembang terutama dalam seni membuat perkakas atau ornamen-ornamen dalam
keperluan
rumah
tangga. Industri yang berkembang di Nias berupa kerajinan rumah seperti: 44
kerajinan anyaman, topi, tikar, karung dan bagian-bagian ornamen untuk bagianbagian rumah. Industri lainnya berupa industri perkakas logam seperti pedang, tombak, golok, dan cangkul.
2.2.6 Adat Istiadat dan Filsafat Hidup Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kemudian bagi siapa saja yang melanggar hukum tersebut akan di kenakan sanksi sesuai dengan apa yang dilakukannya, bahkan ada sanksi yang sampai kepada kematian. Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah Balugu. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. telah memberi. Ada 3 jenis pesta dari berbagai varian yang sedemikian banyak (sebanyak jumlah desa yang ada!): integrasi individu ke dalam komunitas (lahir, menikah, meninggal, naiknya status sosial), pesta antar desa seketurunan untuk menghormat leluhur, dan fondrakö yaitu perayaan peneguhan norma-norma adat yang dirayakan 7 tahun sekali. Pesta yang pertamalah yang paling meriah dirayakan, paling banyak babi yang dimasak. Pada perayaan naiknya status seseorang batu-batu megalith dibuat dan ditegakkan di halaman rumah balugu sebagai tanda dari status sosialnya. Tanpa adanya pesta, megalith tidak punya alasan untuk didirikan. 45
Umumnya pesta dilangsungkan dengan menari dan menyanyikan hoho. Menari adalah mencipta ruang. Dalam tindakan menari dan menyanyikan hoho itu tatanan semesta (banua) dipentaskan ulang. Semua anggota komunitas berpartisipasi dalam tarian sesuai peran dan kedudukan dia di dalamnya. Desa dan anggotanya pada peristiwa itu sungguh-sungguh menjadi banua, karena istilah banua itu sendiri selain bermakna langit, semesta, juga desa dan orang-orangnya. Di dalam peristiwa menari dan menyanyi ini dibagikanlah (commune) dan diteguhkan kisah penciptaan dan harapan yang hendak dicapai di depan. Menari adalah awal dan akhir dunia. Di suku ono Niha (suku Nias) kepatuhan terhadap adat-istiadat itu adalah merupakan salah satu beban tugas yang harus ditaati agar dapat menggapai apa yang disebut dengan fahasara dödö (persatuan). Sebab dengan tidak adanya fahasara dödö (persatuan) maka akan timbullah yang disebut siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Itulah sebabnya ono niha takit melawan atau melanggar setian peraturan (fondrakhö) yang berlaku dan yang sudah diatur di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat Nias mempercayai bahwa apa yang diamanahkan oleh leluhur itu adalah “Hukum” dan barang siapa yang melanggarnya akan dikenakan sanksi yang berat atau kutukan dari arwah leluhur yang mengakibatkan hidup diatas dunia ini tidak bahagia, tidak aman serta dilanda oleh kesengsaraan hidup sampai ke anak cucu. Amaedola (pepatah) Nias mengatakak afatö gahe zanaö, aköi döla hulu zanuri arö yang artinya patah kaki yang melanggar hukum dan bengkok punggung yang menyeruaknya. Masyarakat Nias yang memiliki hukum adat-istiadat pada umumnya dapat kita ketahui dengan mengamatinya secara sederhana sekali berdasarkan pada:
46
- Selalu mempercayai segala yang diamanahkan oleh orang tua atau leluhur agar tidak terkena kutukan. - Tetap mematuhi semua amanah leluhur baik dalam segi kehidupan sehari-hari baik dari segi persatuan, kesatuan, dan alam sekitar terlebih di dalam keluarganya. - Seluruh warga mengetahui bahwa yang lebih berkuasa adalah yang disebut sobawi (dewa yang dapat memberikan kebahagiaan dah dapat memberikan kesengsaraan dan kesusahan juga bagi setiap orang yang tidak mematuhi aturan yang digariskan oleh leluhur. - Tetap memelihara dan menyambungkan semua amanah itu kepada anaknya sampai kepada cucu-cunya. -.
Menyadari bahwa adat dan hukumnya itu adalah satu sumber pengaturan kehidupan agar tenteram, damai dan bahagia serta dapat mempersatukan warga dalam wadah yang baik.
Contoh seseorang
yang
memandang
remeh,
tidak
menghormati,
tidak
menghormati orang tuanya, pamannya, mertuanya, tidak mengasihi istri dan anakanaknya, tidak sopan santun dalam berbicara, maka dalam adat istiadat Nias ini tindakan ini disebut dengan silo mangila huku (tidak tahu adat). Akibat dari perbuatannya ini, maka dia, keluarganya dan keturunanya akan mendapatkan hukuman baik dari dewa dan roh leluhur. Masyarakat Nias juga mengenal filsafat hidup, salah satu filsafah hidup orang Nias adalah seperti buah ilalang di tengah buah tanaman padi, kelihatan buah kebohongan dibawa angin dan kelihatan buah kebenaran dapat dinikmati atau dipanen. Dalam bahasa Nias hulo mbua go’o, bagotalua mbua wakhe, Oroma zowua faya i’ohe angi, ba oroma zowua sindruhu tola mubasi. 47
Kemudian filsafat rumput ilalang di tengah tanaman padi sebagai pesan khusus kepada pilar Nias. Rumput ilalang sangat dibenci oleh petani karena sangat membahayakan dan merusak tanaman padi. Menanam padi secara musiman di ladang (area tanah keras) bukan sawah (area tanah datar yang berair) memiliki banyak kelemahan yaitu selalu mudah ditumbuhi oleh ilalang dan jenis tanaman rumput lainnya. Rumput ilalang tumbuh diantara padi dan sulit sekali dideteksi karena jenis daunnya hampir sama. Lebih hebatnya lagi, ilalang bisa menyesuaikan diri dengan tingkat kehijauan daun padi. Rumput ilalang sangat kuat dalam memperebutkan makanan dari tanah, justru ilalang kelihatan lebih subur dan kadang daunnya menghalangi daun padi. Rumput ilalang merusak padi dan membuatnya menjadi tidak menghasilkan buah yang maksimal. Cerita di atas mengungkap Filsafat Nias dalam pepatah yang jarang diungkapkan sekarang ini, yaitu: Ada juga filsafat hidup hulo mbua go’o, bagotalua mbua wakhe, oroma zowua faya i’ohe angi, ba oroma zowua sindruhu tola mubasi. Artinya, seperti buah ilalang di tengah buah tanaman padi, kelihatan buah kebohongan dibawa angin dan kelihatan buah kebenaran dapat dinikmati atau dipanen. Sekalipun rumput ilalang berusaha menyembunyikan diri dari komunitas tanaman padi, namun pada akhirnya mereka pasti tertangkap dari hasil kerja yang mereka buahi. Akhir dari semuanya itu adalah “buah” yang langsung kelihatan mana yang benar dan mana yang penuh dengan kefasikan. Sekalipun rumput ilalang mengubah wajahnya, berusaha seakan-akan seperti padi yang baik hati, namun suatu hari dia tertangkap dalam “hasil kerja yang dibuahkannya.” Apa misinya rumput ilalang? Menumpang hidup, artinya rumput ilalang di mana-mana akan berusaha menumpang hidup dilahan yang baru disiapkan untuk 48
Tanaman Padi. Misi yang pertama ini sudah ketahuan bahwa pemikirannya hanya bersifat short term. Sangat bersifat pendek dan sesaat. Sifat inilah yang sangat membahayakan organisasi di manapun, ada orang-orang yang berpikir pendek memakai kata “mumpung ada kesempatan.” Akibatnya aboto mbanua karena ilalang kelihatannya persis tanaman padi, mukanya sangat polos seakan-akan buahnya kelak sama dengan buahnya padi, semua orang dilingkungannya menganggap dia saudara, sahabat, dan mitra yang baik. Hati sebagian tanaman padi menjadi condong kepadanya, karena belas kasihan namun akan diuji oleh waktu bahwa ketika tiba saatnya akan kelihatan siapa yang akan memberi hasil yang baik dan siapa yang hanya memberi buah kosong, ada penyesalan namun sudah terlambat. Akibat lainnya jika petani sang pengelola ladang terlambat mendeteksi rumput ilalang dalam ladang itu, maka rumput ilalang sangat cepat sekali menyebar ke seluruh areal ladang. Padi pun menjadi kurus kering dan mati, hidupnya
terancam
akhirnya
jika
bertahan
hidup,
sekalipun
tentu
tidak menghasilkan buah yang maksimal, pasti hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Apa yang harus di lakukan? Cabut rumput ilalang sampai keakar-akarnya dan buang ke bara api untuk dibakar sampai jadi debu. Jangan ada belas kasihan padanya, karena dia dilahirkan sebagai perusak. Tidak akan mungkin dia menghasilkan buah padi sampai kapan pun. Rumput ilalang tetap menghasilkan buah ilalang. Di manapun ilalang tumbuh dia adalah trouble maker, samoto banua, dan pembuat penderitaan bagi tanaman padi. Hal ini prinsip para petani yang baik di manapun di muka bumi ini, bahwa rumput ilalang tidak menguntungkan dan tidak diharapkan kelahirannya di dalam 49
ladang yang telah disiapkan untuk kehidupan dan peradaban manusia. Itulah arti dari apa yang saya sampaikan bahwa kita harus mengabdikan diri bagi kemanusiaan, mendatangkan kebaikan dan mampu mebedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika kita memisahkan rumput ilalang dari tanaman padi harus benar-benar super hati-hati, supaya tanaman padi lainnya jangan ikut tercabut dan turut terbawa ke bara api yang mematikan itu. Namun segala sesuatu ada resikonya. Saudara, kita membutuhkan profesionalisme yang tinggi meminimalis resiko apapun. Namun ada harga yang harus dibayar jika memang demikian keadaanya di lapangan. Sekalipun beresiko besar bagi tanaman padi yang akan turut tercabut posisinya karena ketika sang ilalang dicabut dengan tangan yang kokoh, yang mengakibatkan tanaman padi dilingkungannya turut tercabut. Itu adalah resiko dan harga yang harus dibayar dalam menyelamatkan ladang padi yang lebih besar yang telah disiapkan untuk menghasilkan padi demi keluhuran manusia dan demi kebaikan kita bersama. Filsafat buah ilalang, padi, dan ladang ini, sangat dipegang teguh oleh masyarakat Nias hingga hari ini. Inti dari filsafat hidup ini adalah jangan mengganggu orang lain, hiduplah untuk kebijakan dan bermanfaat bagi orang lain.
2.2.7 Kesenian Kesenian masyarakat Nias meliputi seni musik, seni lukis, tari, seni kerajinan, seni pahat seperti memahat patung. Nias memiliki budaya yang sangat menarik. Lompat batu (hombo batu) merupakan salah satu contoh budaya yang paling terkenal dan unik, di mana seorang pria melompat di atas sebuah tumpukan batu dengan ketinggian lebih dari 2 meter. Lompatan itu untuk menunjukkan 50
kedewasaan seorang pria, para pengunjung dapat menyaksikan lompat batu tersebut di Desa Bawomatolua, Hilisimaetano, atau di desa-desa sekitarnya. Lompat batu dilakukan untuk menunjukkan kedewasaan seorang pria. Walaupun hal ini sangat berbahaya tetapi menjadi sebuah olahraga yang menyenangkan serta menjadi daya tarik pariwisata di pulau Nias.
Gambar 4: Atraksi Lompat Batu Nias
Tarian perang tradisional Nias juga sangat menarik tetapi jangan takut karena tarian ini bukan untuk menunjukkan perang yang sebenarnya. Para penari mengenakan pakaian tradiional, pakaian yang terbuat dari sabut ijuk dan serat kulit kayu dan kepala mereka dihiasi dengan bulu burung. Dengan tangannya mereka membawa tombak dan perisai.
51
Gambar 5 : tari perang
Di dalam kebudayaan Nias, tarian tradisional merupakan hal penting dan masih ada sampai sekarang, contohnya adalah sebagai berikut. 1. Maluaya (tari perang), terdapat diseluruh daerah Nias. Di bahagian utara namanya Baluse. Tarian tersebut ditarikan minimal 12 orang pria, dan bila lebih maka akan lebih baik. Pada umumnya lebih 100 orang, gerakannya sangat kuat. Maluaya ini di Pulau-pulau Batu berbeda dengan daerah Nias lainnya, di Pulau-pulau Batu para wanita juga turut menari. Para wanita menari dengan langkah kecil yang lemah gemulai. Tarian Maluaya ditarikan pada upacara pernikahan untuk masyarakat kelas atas, penguburan, dan pesta untuk menyambut pendatang baru. 2.
Maena adalah sebuah tarian khas dari Nias Utara yang ditarikan oleh wanita dan pria, biasanya ditarikan pada uapacara pernikahan.
3.
Forgaile adalah sebuah tarian khas Nias Selatan yang ditarikan oleh wanita untuk mengekspresikan rasa hormat dan untuk menyambut tamu khusus dan memberikan mereka sirih tradisional. Di bagian Utara dinamakan Mogaele dan dapat ditarikan oleh wanita dan pria. 52
4. Foere adalah tarian yang menampilkan lebih dari 12 penari wanita, diiringi dengan seorang penyanyi. Tarian ini merupakan bentuk dari penyembahan untuk berakhirnya kematian dan bencana. 5. Fanarimoyo (tarian perang) adalah sebuah tarian yang ditarikan di Nias Selatan dan Utara oleh 20 penari wanita. Kadang-kadang di dalam lingkaran ditarikan oleh penari pria. Di bagian utara tarian ini dinamakan Moyo. Tarian ini dimulai dengan gerakan seperti elang terbang
dan
ditampilkan
untuk
acara
hiburan.
Tarian
ini
menggambarkan seorang gadis yang harus menikahi pria yang tidak dicintainya. Dia berdoa supaya menjadi seekor elang yang dapat terbang. 6. Foluaufaulu adalah upacara yang manandakan kedudukan status seseorang pada zaman megalitikum. Dalam upacara ini ditarikan kedua tarian Maluaya dan Foere. 7. Famadaya Hasijimate (Siulu) adalah sebuah upacara pemakaman bagi keturunan raja di Nias Selatan. Di dalam upacara ini, tarian Maluaya ditarikan dibawah pimpinan desa Shaman, peti mati diukir dari batang kayu pohon dan ukiran kepalanya dihiasi dengan sebuah batang kayu untuk memperlihatkan dasarnya setelah itu zenajah tersebut dikuburkan. 8. Mandau Lumelume adalah sebuah tarian dengan tujuan untuk memanggil roh. Tarian ini hanya ada di Pulau-pulau Batu. 9. Manaho adalah tarian yang ditarikan pada acra pernikahan dan untuk menyambut tamu penting. Penari wanita berjejer didepan dan penari pria yang berada disamping melakukan gerakan yang mirip dengan tarian perang. Karena tarian ini sangat mahal biasanya masyarakat kelas 53
bawah menarikan tarian Boli-boli. Tarian ini ditarikan didalam gedung, dengan tujuan agar tamu tidak erasa bosan. Tarian ini hanya ada di Pulau-pulau Batu. 10. Tari Tuwu adalah tarian yang menampilkan seorang penari wanita/pria diatas sebuah meja batu, dengan tujuan untuk menghormati para pemimpin. 11. Fadabu adalah sebuah upacara untuk mempertunjukkan kekebalan seseorang. Sebuah pertunjukkan yang menikam dirinya sendiri dengan benda tajam. Di dalam bahasa Indonesia namanya dabus dan banyak dijumpai di Indonesia seperti di Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta, Banten, kawasan-kawasan budaya Melayu, dan lain-lainnya. 12. Silat Nias adalah sebuah bentuk seni perang tradisional yang lebih menekankan kepada sisi seninya daripada sisi perangnya. Masyarakat Aceh dan Pesisir memperkenalkn tarian ini ke Nias. Ada banyak jenis nama-nama tarian ini: Starla, Aleale, Sangorofafa, Famosioshi, dan lain-lainnya. 13. Fatabo adalah sebuah peristiwa unik di Pulau-pulau Batu. Fatabo walaupun berunsur tari, namun bukan sebuah tarian, hanya sebuah cara untuk menangkap ikan diair yang dangkal. Dua baris orang yang masing-masing di bawah pimpinan, berjalan meninggalkan air tersebut dan membawa sebuah kotak. Pemimpin tersebut meminta agar dibuat suara keras dan memukul air tersebut dengan tongkat, kemudian mereka berjalan di atas tanah, menyembunyikan kotak tersebut, dan menyimpan ikan tersebut di antara mereka dan pantai. Di pantai lain barisan pria bergerak melemparkan jaringan untuk menangkap ikan. Keseluruhan 54
peristiwa ini adalah sebuah nilai seni yang mempunyai irama musik dan keributan. Fatabo sangat populer di Pulau Sigata, Desa Wawa, dan Tanah Masa. Sekarang sangat jarang dijumpai di Nias. 14. Tari Ya’ahowu merupakan sebuah tari kreasi baru yang biasanya di pertunjukan pada acara penyambutan tamu adat, pesta-pesta adat seperti pernikahan, penyambutan tamu pemerintahan atau daerah. Tarian ini merupakan tari kreasi baru dan sudah disahkan menjadi salah satu tarian kesenian Nias. Dan tarian ini selalu di pertunjukan setiap kali ada penyambutan tamu di pulau Nias Masyarakat Nias juga mengenal beberapa tradisi musik antara lain yaitu tradisi seni suara yang dilakukan bersama (sikola manuno), nyanyian perorangan, dan hoho (nyanyian adat). Sikola manuno merupakan suatu koor baik dalam kelompok gereja untuk memuliakan kebesaran atau pujian (sinuo fano bu’o) atau lagu perkawinan dikala seorang calon mempelai laki-laki menawara, jujuran (fanuo bawango walu), lagu kematian sebagai ratapan bela sungkawa (bawa abu dodo), lagu mars, pemberi semangat berperang (sinuno wanuwo) dan lagu anak-anak (sinuno nda ono). Salah contoh lagu dari Nias adalah Hoho Hilinawalö-Fau. Alat musik pukul, gesek, tiup dan petik juga terdapat di Nias. Alat-alat musik tersebut dibunyikan pada saat pesta. Pada upacara kebesaran, pesta perkawinan dan kematian, aramba (gong), faritia (canang), dan göndra (gendang), fondrahi atau tutu (tambur) dibunyikan berhari-hari sebelum pesta berlangsung agar masyarakat dan desa tetangga mendengarnya. Alat musik lagia, ndruri, doli-doli, dan surune sering dibunyikan oleh masyarakat pada saat mereka sedang santai, kesepian, atau sedih agar mereka dapat terhibur. 55
Di Nias Selatan, selain pada upacara kebesaran (fa’ulu), pada upacara kematian seorang bangsawan yang dihormati, gong dan gendang juga dibunyikan. Sementara pada upacara pemujaan dewa-dewa, para pemuka agama kuno (ere) selalu membunyikan fondrahi sambil mengucapkan mantra-mantra tertentu dalam bentuk syair atau pantun (hoho). Di bawah ini adalah berbaga jenis alat-alat musik tradisional yang sering di pakai oleh masyarakat nias dalam berbagai acara kebudayaan: 1.
Gendang, gendang dalam bahasa daerah nias sering di sebut dengan göndra, di dalam bahasa Inggris di sebut dengan drum, dan dalam bahasa Indonesia disebut dengan gendang. Alat musik göndra (gendang) ini berasal dari Orahili-Ulunoyo, Nias Tengah. Terbuat dari batang pohon besar yang bulat yang telah dikeruk bagian dalamnya, hingga tembus sampai ke ujung sebelah. Kemudian, kedua sisinya diregangi dengan kulit kambing, diikat dengan rotan di sekeliling pinggirnya. Dipergunakan pada upacara besar (owasa), pesta pernikahan, dan sebagainya.
56
Gambar 6: Göndra (Gendang Besar)
2.
Gong dalam bahasa Nias disebut dengan aramba, dalam bahasa Inggris di sebut dengan Gong, sama seperti dalam bahasa Indonesia. Gong ini berasal dari Desa Hilimbuasi, Nias Tengah. Terbuat dari bahan kuningan. Dan biasanya dibunyikan dengan cara memukul gong dengan sebuah kayu yang dililit dengan kain yang tebal. Dipergunakan pada saat ada upacara besar (owasa), pesta pernikahan dsb. Tinggi 13,5 cm, tebal 0,5 cm, dengan diameter 44 cm.
57
Gambar 7: Aramba (Gong)
3. Canang/faritia. Canang dalam bahasa nias sering di sebut dengan faritia. Sedangkan dalam bahasa Inggris-nya disebut juga dengan fong. Faritia ini berasal dari Teluk Dalam. Faritia ini merupakan alat musik yang jenisnya hampir sama dengan bentuk dari pada gong. Faritia ini terbuat dari bahan kuningan. Alat musik ini dimainkan dengan memukul faritia tersebut dengan menggunakan sepotong kayu kecil. Faritia ini dipergunakan pada saat ada upacara besar (owasa), pesta pernikahan, dan sebagainya. Tinggi 8,5, cm, tebal 0,4 cm, dengan diameter 26 cm.
58
Gambar 8: Faritia
4. Lagia ini merupakan sebuah alat music gesek yang berasal dari desa Orahili-Ulunoyo .Alat musik ini Memiliki panjang 25,2 cm, tinggi 96 cm, tebalnya 1,3 cm dengan diameter 14,8cm. Alat musik ini dulu sering diikutsertakan dalam acara-acara adat.Sebaliknya pada zaman sekarang alat musik ini jarang sekali digunakan dalam acara atau pesta-pesta adat.
59
Gambar 9: Lagia
Orang Nias juga mengenal seni rupa yang termasuk di dalamnya seni lukis, seni ornamentasi, seni arsitektur tradisional, seni kerajinan, seni patung, dan lain-lainnya. Masyarakat Nias juga mengenal seni patung dan kerajinan angan. Kedua kegiatan ini dilakukan umumnya mengambil tempat di mbele-mbele atau emper depan rumah adat. Kegiatan ornamen, untuk mengisi bagian penting rumah, sebagai pencerminan penghormatan kepada nenek moyang. Pada megalith tersebut
dipahat
berbagai
ukiran
sehingga
menjadi
ornamen
yang
merupakan simbol-simbol. Contoh dari seni patung itu antara lain, seperti pembuatan patung (nadu) yang menjadi simbol kekuasan, patung yang menjadi simbol marga, dan lain-lain.
60
Gambar 10: Salah Satu Seni Patung di Nias
61
Nias memiliki rumah adat yang sangat menarik. Rumah tradisional yang tertua dan terluas yang dinamakan Omo Sebua, yang merupakan rumah asli dan suku yang suka perang terdapat di dea Bawomatulou atau “Sunhill”. Rumah ini tingginya mencapai 22 m dan beberapa tiangnya lebih tebal dari 1 m. Rumah ini masih dimiliki dan ditempati oleh keluarga kerajaan.
Gambar 11: Omo Sebua
62
Arsitektur dari bangunan ini bagus sekali, mempunyai ukuran dinding yang menarik untuk menghormati upacara pesta yang terkenal dan hiasan perabotnya, seperti meja dan kursi beratnya masing-masing mencapai 18 ton.
63
BAB III DESKRIPSI PERTUNJUKAN SINUNỎ PADA FANARI YA’AHOWU
3.1 Persiapan Awal Sebelum melaksanakan pertunjukan tari Ya’ahowu, ada beberapa tahap persiapan awal yang dilakukan oleh penari sebelum memulai pertunjukan, seperti mempersiapkan costum adat yang akan dipakai pada pertunjukan, hiasan kepala, anting-anting dan kalung. Selain itu juga para pemusik mengecek semua peralatan musik yang akan di pergunakan apakah sudah lengkap atau belum. Biasanya yang memeriksa semua persiapan ini dilakukan oleb pembina atau pelatih yang langsung turun tangan dan selalu mendampingi peserta tari dimanapun mereka melakukan pertunjukan. Setelah semua perlengkapan yang dipergunakan telah selesai dipersiapkan, maka sebelum pertunjukan dimulai, biasanya peserta tari melaksanakan GR (gladi resik). Gladi resik ini dilakukan untuk mencoba kembali gerakan-gerakan tari, musik dan nyanyian yang akan dibawakan apakah ada kesalahan di dalamnya di dalamnya atau tidak. Sehingga pada kegiatan tersebut kesalahan-kesalahan dapat di perbaiki sebelum acara pertunjukan dimulai.
64
3.2 Properti Dalam pertunjukan fanari ya’ahowu ini, ada beberapa properti yang harus dan .wajib digunakan oleh si penari dan pemusiknya antara lain : busana, peralatan tari, dan make up yang di gunakan.
3.2.1 Busana Busana atau kostum yang di dipergunakan pada pertunjukan tarian tradisional Nias oleh nenek moyang zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang. Zaman dulu akibat belum adanya teknologi yang canggih dan memadai, serta kurangnya pengetahuan masyarakat dulu dengan teknologi dalam membuat dan menciptakan pakaian, maka nenek moyang masyarakat Nias dahulu menggunakan pakaian, hiasan kepala, anting-anting, gelang, dan kalung yang terbuat dari kulit pohon.
65
Gambar 12 : Pakaian Tradisional Nias Zaman Dahulu
Berbeda dengan zaman modern saat ini yang sudah banyak beranjak dan berubah tidak seperti zaman dulu,yang mana zaman sekarang masyarakat sudah dapat menciptakan pakaian dari bahan-bahan yang bagus dan canggih. Salah satunya adalah kostum yang akan dipakai oleh para penari Ya’ahowu saat ini sudah sangat jauh berubah dengan kostum dari zaman nenek moyang orang Nias (seperti pada gambar di atas). Menurut informasi dari Ibu Adiria Zendrato sekalu informan penulis dan sebagai salah seorang pembina dari sanggar seni Bolalahina SMA Negeri 1 66
Gunungsitoli, penari Ya’ahowu saat ini menggunakan kostum modren dengan corak baju berwarna merah dengan liris hitam di beberapa titik dan mengandung ornamen Nias di dalamnya. Sedangkan hiasan kepala, anting-anting, gelang, dan kalung yang dahulu juga terbuat dari kulit pohon, sekarang hiasan tersebut terbuat dari plat kuningan.
Gambar 13: Kostum Penari Ya’howu, Serta Hiasan-hiasan Lain Yang Digunakan Seperti Kalung, Anting, Gelang Tangan, dan Hiasan Kepala
67
Sedangkan pemain musiknya yang umumnya adalah laki-laki menggunakan celana hitam dengan panjang di bawah lutut, menggunakan baju kaos hitam, rompi adat Nias dan ikat kepala.
Gambar 14: Kostum Pemusik Pengiring Tari Ya’ahowu
3.2.2 Peralatan Tari
Peralatan yang di pergunakan dalam pertunjukan tari ya’ahowu ini selain dari pada kostum yaitu peralatan musik yang bertugas sebagai pengiring tari seperti göndra (gendang besar), aramba (gong besar), faritia (canang), serta mampersiapkan setiap alat pemukul seperti bambu untuk pemukul göndra, kayu kecil 2 buah seukuran 30-40 cm sebagai alat pemukul canang, satu buah kayu 68
kecul dengan panjang kurang lebih 40-50 cm yang ujungnya dibalut dengan kain tebal sebagai alat pemukul gong. Selain mempersiapkan peralatan musik, penari juga mempersiapkan mbola nafo (sirih) yang nantinya akan di persembahkan kepada para tamu sesuai dengan acara yang dilakukan sebagai bukti penghormatan dan rasa sukacita dari pihak sowatö (sepangkalan) kepada pihak tamu yang datang. Mbola nafo atau sekapur sirih merupakan hal terpenting dan harus ada pada pertunjukan tari Ya’ahowu.
3.2.3 Make Up
Para penari sebelum tampil mempertunjukan tarian, mereka biasaya terlebih dahulu ke salon untuk merias wajah dan menata serta menyanggul rambut mereka agar lebih rapi dan cantik. Kebanyakan dari penari ini mempergunakan prodak salon
dan rata-rata menggunakan make up merek Ponds. Ada juga yang
menggunakan make up produk dari Orifflame. Ada juga para anggota penari melakukan sendiri persiapannya. Biasanya mereka menggunakan tata rias yang sederhana dan seadanya dengan keinginan masing-masing anggota.
3.3 Pertunjukan Secara umum istilah pertunjukan atau seni pertunjukan diambil dari bahasa Inggris performing art. Beberapa definisi seni pertunjukan juga masih berdasarkan penafsiran masing-masing. Ada yang membagi pertunjukan menjadi seni teater, seni musik, dan seni tari. Menurut definisi ini, seni pertunjukan adalah seni yang dipertunjukkan kepada penonton. Sedangkan dalam bahasa Inggris, performing art ini lebih mengacu pada mempertunjukkan hasil seni yang 69
berbentuk apapun kepada penonton. Hampir semua jenis karya seni bisa dipadukan dalam performance art. Tari yang dilatarbelakangi lukisan atau foto, dengan dekorasi dari hasil seni karya, disertai musik yang menggugah. Bersamaan dengan itu, interaksi dengan penonton
juga
terbangun
melalui
masuknya
imajinasi
penon-
ton ke dalam larutan performance art. Sementara itu, seni pertunjukan modern sudah bisa merumuskan faktor terjadinya sebuah pertunjukan seni atau seni pertunjukan. Faktor itu ada empat. ruang, waktu, tubuh, dan interaksi dengan penonton. Seni pertunjukan yang dimaksud di sini adalah seni pertunjukan yang dikonsep sebagai satu kesatuan pertunjukan yang mempunyai tema dan tujuan tertentu, baik untuk kepentingan orang banyak, maupun bagi seni itu sendiri. Salah satu dari pertunjukan seni tradisional yang ada sekarang yaitu pertunjukan tari Ya’ahowu atau tarian selamat datang yang ada di Pulau Nias. Tarian ini sering sekali dipertunjukan pada acara-acara adat di pulau Nias. Tarian ini lebih sering dipertunjukan untuk menyambut kedatangan tamu-tamu adat yang mana di dalam tarian ini dimelambangkan rasa sukacita atas datangnya para tamu, tamu yang agung yang disebut balugu (orang yang di hormati) dan kepada tuhenöri (penatua-penatua adat).
70
Gambar 15: Salah Satu Pertunjukan Tari Ya’ahowu pada Upacara Adat Penyambutan Tamu
Gambar 16: Gambar Salah Satu Pertunjukan Tari Ya’ahowu
71
3.5 Deskripsi Gerak Pada dasarnya gerak tubuh yang berirama atau beritme-ritme memiliki potensi menjadi gerak tari. Salah satu cabang seni tari yang di dalamnya mempelajari gerakan sebagai sumber kajian adalah tari. Dalam kehidupan seharihari, manusia selalu bergerak. Gerak dapat dilakukan dengan berpindah tempat (locomotive movement). Sebaliknya, gerakan di tempat disebut gerak di tempat (stationary movement). Hal lain juga disampaikan oleh Hawkins bahwa, tari adalah ekspresi perasaan manusia yang diubah ke dalam imajinasi dalam bentuk media gerak sehingga gerak yang simbolis tersebut sebagai ungkapan si penciptanya (Hawkins, 1990:2). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dirangkum bahwa, pengertian tari adalah unsur dasar gerakyang diungkapan atau ekspresi dalam bentuk perasaan sesuai keselarasan irama. Dengan demikian dapat diakumulasi bahwa tari adalah gerak-gerak dari seluruh anggota tubuh yang selaras dengan musik, diatur oleh irama yang sesuai dengan maksud dan tujuan tertentu dalam tari. Di sisi lain juga dapat diartikan bahwa tari merupakan desakan perasaan manusia di dalam dirinya untuk mencari ungkapan beberapa gerak ritmis. Tari juga bisa dikatakan sebagai ungkapan ekspresi perasaan manusia yang diubah oleh imajinasi dibentuk media gerak sehingga menjadi wujud gerak simbolis sebagai ungkapan koreografer. Sebagai bentuk latihanlatihan, tari digunakan untuk mengembangkan kepekaan gerak, rasa, dan irama seseorang. Oleh sebab itu, tari dapat memperhalus pekerti manusia yang mempelajarinya. 72
Dalam gerakan Tari Ya’ahowu terdapat beberapa jenis gerakan, walaupun gerakan dalam tariannya tidak terlalu banyak dan bervariasi, tetapi tari Ya’ahowu ini mampu membuat semua tamu dan penonton yang menikmatinya dapat merasakan kegembiraan dan sukacita setelah melihatnya. Gerakan-gerakan tersebut akan penulis deskripsikan dengan menyertakan gambar berikut.
Gambar 17: Contoh Visual Gerakan Tari Ya’ahowu
Pada foto diatas gerakan tersebut merupakan gerakan dimana para penari berjalan menuju panggung atau menuju pentas tempat mereka mempersembahkan dan mempertunjukan tari Ya’ahowu kepada para tamu.
73
Gambar 18: Gerak dalam Pola Berkumpul
Gambar 19: Gerak Membentuk Formasi Lingkaran
74
Gerakan pada gambar 18 dan 19 adalah gerakan dimana para penari saling berhadapan dengan membentuk lingkaran 8 dan saling memberikan sapaan dan penghormatan diantara sesama penari yang menggambarkan kekompakan diantara para penari. Gerakan ini juga merupakan gerakan sukacita yang datang dari dalam diri para penari disebabkan karna telah bersedianya para tamu meringankan langkah mereka untuk hadir pada acara adat yang yang sedang diselenggarakan tersebut.
Gambar 20: Gerak Menunjukkan Kotak Kapur Sirih
75
Gambar 21: Gerak Fame’e Afo Khö Tome
Gerakan pada gambar 20 dan 21 adalah gerakan fame’e afo khö tome (pemberian/penyerahan sekapur sirih kepada para tamu). Pada bagian ini para penari menarikan mbola nafo (tempat) sekapur sirih yang ada di tangan kanan mereka ke atas kepala mereka yang melambangkan bahwa mereka menyerahkan sekapur sirih kepada para tamu dengan sukacita tanpa tekanan ataupun tanpa berat hati. Pemberian ini nantinya akan diserahkan oleh 2 orang penari yang berposisi di bagian depan formasi barisan tarian, dan ke 2orang penari inilah yang mempunyai tugas untuk menyerahkan sekapur sirih tersebut kepada para tamu yaitu balugu atau tuhenöri.
76
Gambar 22: Penyerahan Sirih kepada Seorang Penonton Wanita
77
Gambar 23: Penyerahan Sekapur Sirih kepada Seorang Penonoton Pria
Pada gambar 22 dan 23 adalah gerakan fame’e afo ( pemberian sekapur siri) kepada tamu yang datang, dan pihak tamu pun menerima sekapur sirih itu dengan sukacita dan melambangkan bahwa mereka sudah diterima dengan senang hati oleh pihak sowatö (yang mengadakan acara).
78
Gambar 24: Gerakan Akhir dalam Persembahan Tari Ya’ahowu
Gerakan tarian pada gambar 24 di atas merupakan gerakan dimana para penari Ya’ahowu sudah selesai melakukan tugasnya dalam menyambut para tamu yang datang dan merekapun kembali ke tempat mereka dengan sukacita dan selanjutnya menikmati acara berikutnya.
3.6 Musik Musik adalah sebuah bentuk karya seni yang terdiri dari bunyi-bunyian instrumental atau vocal yang menghasilkan sebuah karya yang indah dan harmonis. Musik juga merupakan perantara untuk mengkomunikasikan ide-ide, 79
perasaan atai pemikiran tertentu dari si pencipta music (komposer) kepada pendengar. Musik juga merupakan suatu kebutuhan yang memegang peranan cukup penting dalam kehidupan seseorang. Kata atau istilah musik berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata muse, yang berarti dewa. Dalam mitologi yunani kata muse berarti dewa-dewi pelindung ilmu pendidikan dan kesenian. Kata muse tersebut kemudian menjadi salah satu pengertian dengan polyhimnis, yang berarti komposer dalam jenis lagu, atau dengan kata lain muse berarti seni atau teknik permainan dari seorang musisi. Musik terdapat dalam setiap kebudayaan, yang mana banyak kebudayaan menjadikan musik untuk digunakan dalam kegiatan-kegiatan sacral dan upacara yang berhubungan dengan kepercayaan dan adat. Musik juga dijadikan sebagai sarana untuk membangkitkan semangat, menyemarakkan suasana, mengiringi gerak tari dan lagu dan juga sebagai media kesurupan (trance). Beragam Macam jenis alat musik, telah membuat kebudayaan semakin hidup. Dimanapun dan kapanpun Sebuah alunan musik akan sangat indah bila dibarengi dengan alat-alat musik. Dalam kebudayaan musik Nias, musik tradisi ini mempunyai peran atau posisi yang sangat penting dalam setiap acara adat di Nias. Sama halnya dengan musik tradisi dari tanah Batak (gondang sabangunan) mempunyai peran yang sangat penting dalam setiap upacara adat yang dilaksanakan dan merupakan sarana untuk membawa atau menyambungkan antara manusia kepada Tuhan atau sarana membawa doa kepada Tuhan untuk dapat di dengar dikabulkan. Di Nias, alat musik merupakan komponen yang tidak boleh hilang dari kebudayaan, walaupun hal itu harus dibayar dengan nyawa namun tetap dipertahankan. Musik Nias yang asli menggunakan 3 atau 4 nada dalam satu 80
oktav. Jenis ini sekarang sukar sekali ditemukan. Instrumen yang digunakan: gong besar, faritia/saraina (gong kecil), sigu mbawa dan surune mbawa (suling), druridana (garputala bambu), tamburu, gendera, cucu, fodrahi, dan taburana (gendang yang panjangnya 3 meter dengan 2 kulit), koko (semacam celempung/kecapi), dan lagiya (rebab). Tetapi dari zaman ke zaman banyak alat musik Nias yang sudah jarang di pakai atau ada yang sudah punah dan tidak di kenal masyarakat Nias di zaman modern ini. Musik Nias yang paling sering di bawakan dalam setiap acara adat sekarang hanya terdiri dari dari tiga (3) jenis alat music yang digabungkan dalam satu ensambel music yaitu sebagai berikut. 5.
Göndra atau gendang besar merupakan alat musik Nias yang
terbuat dari batang pohon besar yang bulat yang telah dikeruk bagian dalamnya, hingga tembus sampai ke ujung sebelah. Kemudian, kedua sisinya ditutup dengan kulit kambing, diikat dengan rotan di sekeliling pinggirnya. Gendang ini merupakan salah satu alat musik tradisional Nias yang masih bertahan sampai sekarang dan merupakan salah satu alat musik yang wajib ada dalam pertunjukan ensambel musik tradisional Nias pada setiap upacara adat atau pesta adat. Gőndra ini dimainkan dimainkan oleh 2 orang pemusik dengan cara memukul membran dengan bagian tengah dari stik rotan dan bukan pada ujung stik rotan. Membran di pukul pada sisi bagian pinggir dari membran dan juga di pukul pada bagian tengah membran. Berikut adalah gambar dari gőndra yang dimainkan oleh 2 (dua) orang pemusik.
81
Gambar 25: Gambar Dua Orang Pemain Gőndra
6.
Aramba atau gong besar merupakan alat musik gong yang
berdiameter kira-kira satu meter dan dimainkan oleh satu orang pemusik. Gong ini juga sampai sekarng merupakan alat musik Nias yang bertahan dan wajib ada dalam setiap pertunjukan musik dalam budaya Nias. Berikut ini adalah gambar dari gong dan pemainnya.
82
Gambar 25: Gambar Pemain Gong
7.
Faritia/faricia merupakan gong kecil atau dalam bagsa lain disebut
sebagai canang atau mong-mongan yang berjumlah dua buah dan dimainkan oleh 83
dua orang. Faritia ini dimainkan dengan menggunakan stik dari kayu. Faritia ini merupakan alat musik yang juga wajib hadir disetiap pertunjukan musik Nias ataupun pada setiap upacara adat di Nias.
Gambar 26: Faritia yang Dimainkan oleh Dua Orang Pemusik
Ketiga ensambel musik di atas adalah jenis alat musik tradisional Nias yang masih bertahan sampai sekarang dan merupakan musik yang “wajib’ ada di dalam setiap upacara adat, baik itu kematian, pesta pernikahan, owasa, ataupun pada upcara penyambutan tamu adat.
84
3.7 Sinunő Sinunő atau nyanyian merupakan ungkapan perasaan hati yang dalam yang disertai melodi dan disuarakan secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri, misalnya nyanyian gereja, paduan suara, vocal group, vocal solo, dan lain-lain. Setiap suku bangsa biasanya mempunyai suatu istilah tertentu untuk menyebut musik vokal tradisi sukunya masing-masing. Demikian juga orang Nias, yang menyebut musik vokalnya dengan sinunő. Mengenai kesenian tradisional, adapun suatu kesenian, baik yang tumbuh dari rakyat itu sendiri atau pengaruh dari budaya lain, sehingga masyarakat itu telah mewarisinya secara turun-temurun dari nenek moyang mereka, dapat disebut kesenian tradisonal. Predikat tradisional bisa diartikan segala sesuatu yang sesuai tradisi, sesuai dengan kerangka, pola-pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang-ulang (Sedywati, 1981: 48) Sesuai dengan pendapat di atas kita dapat mengatakan bahwa musik vokal dapat disuarakan oleh satu orang atau lebih, baik dengan mengunakan iringan alat musik maupun hanya dengan suara manusia itu sendiri. Pada dasarnya, konsep-konsep nyanyian atau sinunő masyarakat Nias banyak “menyerap” ajaran-ajaran agama Kristen Protestan yang awal kali masuk ke pulau Nias pada tahun 1865, tepatnya di kota Gunung Sitoli, yang dibawa oleh Denninger (seorang missionaris dari Jerman). Setelah itu, muncul Thomas dan Krämer pada tahun 1873 dan terakhir Dr. W. H. Sunderman tiba pada tahun 1876 (Zega, 1986 : 4). Thomas menerjemahkan beberapa buah buku ke dalam bahasa Nias, antara lain:
85
a) Woordebuk (Kamus Nias-Melayu-Belanda). b) Katechimus (Tata Ibadah Agama Kristen Protestan tulisan dari Martin Luther). c) Bibelkunde (Alkitab) d) Buku Zinunő (Buku nyanyian gereja). (Zega,1986:4).
Buku Zinunő adalah buku nyanyian gereja berbahasa Belanda yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Nias seperti halnya buku gereja-gereja Protestan lainnya. Pada buku ini, terlihat percampuran antara musik Barat yang berupa melodi, tangga nada, dan ritme lagu dengan tradisi Nias yang berupa syair lagu. Buku nyanyian ini biasanya dipergunakan pada setiap acara kebaktian gereja Nias maupun di rumah sebagai bagian dari ibadah Kristiani. Jadi nyanyian sinunő yang terdapat di Nias banyak di pengaruhi oleh kebudayaan dari luar Nias yang dibawa oleh misionaris. Masyarakat Nias terutama yang ada di Pulau Nias bagian selatan mempunyai sinunő/nyanyian vocal yang di kenal dengan hoho. Hoho merupakan tradisi nyanyian vokal yang dibawakan oleh sekelompok penghoho (sifahoho atau solau hoho) yang semua penyanyinya adalah pria. Sinunő Hoho selalu terkait dengan konteks adat dimana iya dimainkan. Biasanya sinunő hoho ini dimainkan pada acara kematian, perkawinan, penyambutan tamu adat yang di hormati. Pada masa pra-Kristen juga hoho ini dinyanyikan pada acara-acara religi asli Nias (Nias selatan). Teks-teks sinunő hoho ini desesuaikan dengan upacara adat diamana ia ditampilkan. 86
Sinunő hoho di atas merupakan salah satu contoh nyanyian tradisi Nias yang sampai sekarang masih ada di Nias terutama di Nias bagian selatan. Kemudian sinunő hoho ini juga sekarang dijadikan sebagai bahan rekonstruksi terutama dalam hal pengembangan pariwisata di Nias. Demikian juga di dalam sinunő atau nyanyian terutama nyanyian vocal yang dinyanyikan dalam mengiringi tari Ya’ahowu berisikan teks-teks yang cenderung menyambut
para
tamu
yang
datang,
memberikan
penghormatan
dan
menyampaikan rasa sukacita atas terselenggaranya acara adat tersebut. Dalam teks sinunő ini juga terkandung teks pemberian sirih kepada para tamu yang merupakan wujut sukacita dan penghormatan kepada tamu yang hadir. Nyanyian atau sinunő ini di iringi oleh alat musik tradisional Nias yang terdiri dari gondang (gőndra), faritia (canang), dan gong (aramba).
87
BAB IV ANALISIS MAKNA TEKS SINUNŐ
4.1 Struktur Teks Secara umum struktur teks/lirik dari nyanyian atau Sinunö pengiring tari ya’ahowu
merupakan teks yang baku. Artinya teks yang diungkapkan oleh
penyaji tidak lagi berubah-rubah sesuai isi hati si penyaji. Jika kita melihat arti dari teks, Teks adalah suatu naskah yang berisi kata-kata asli dari pengarang (KBBI 2001: 1159).dalam tulisan ini teks yang di maksut oleh penulis adalah teks yang ada pada nyanyian pengiring tari ya’ahowu/ sinunö pengiring tari Ya’ahowu. Di dalam keseluruhan teks Sinuno pengiring tari ya’ahowu berisi pesan-pesan yang jelas yang disampaikan kepada setiap tamu yang datang pada setiap acara adat di Nias. Dalam teks Sinunö pengiring tari ya’ahowu ini penulis melihat adanya susunan teks yang berstruktur, yang mana struktur teks ini dibagi dalam tiga (3) bagian. Tiga bagian dari struktur teks ini yaitu di mulai dari teks pembuka, isi, dan diakhiri dengan penutup. Berikut ini penulis akan memberikan contoh dari bagian-bagian struktur teks Sinunö pengiring tari ya’ahowu yang terdapat dalam tulisan ini.
4.1.1 Teks Pembuka Pada umumnya setiap lagu Sinunö pengiring tari ya’ahowu diawali dengan kata pembukaan. Teks pembuka merupakan suatu pengantar yang biasanya menggambarkan situasi acara, alasan acara atau tujuan dari acara. Namun pada perkembangannya sekarang, teks pembuka hanya merupakan sapaan salam saja. 88
Berikut ini adalah contoh dari keseluruhan teks Sinunö pengiring tari ya’ahowu. He ira ama.....
Kepada bapak
He ira ina......
Kepada ibu
Tome salua ba olayama......
Tamu yang sudah hadir di tempat ini
Ya’e zumange mi..........
inilah penghormatan kepada kalian
Afo si sara Silimaendronga......
dalam sebuah sirih yang berisikan 5 pemberian sekaligus yaitu, sirih, pinang, gambir,kapur sirih,dan tembakau
Ira ama le ya’e nafoda...........
Kepada bapak ini sekapur sirih untuk kalian
Ira ina le ya’e nafoda........
kepada ibu ini sekapur sirih untuk kalian
Fefu ira tomema le yae nafoda....... kepada seleruh tamu yang hadir ini sekapur sirih untuk kalian
Dari keseluruhan isi teks Sinunö pengiring tari ya’ahowu, yang menjadi teks pembuka yaitu terdapat pada baris teks pertama, kedua dan ke tiga. Sampel : He ira ama.....
Kepada bapak
He ira ina......
Kepada ibu
Tome salua ba olayama...... Tamu yang sudah hadir di tempat ini
Dari sempel teks diatas dapat dilihat bahwa maknanya adalah penyanji memulai acara dengan menyapa dan memberikan salam kepada para tamu baik itu dari kaum bapak, ibu dan seluruh undangan yang hadir pada acara adat tersebut, yang bertujuan untuk meminta izin dan penghormatan terlebih dahulu kepada
89
mereka sebelum memulai acara dan juga untuk mengapresiasikan rasa sukacita kepada para tamu yang datang atas terselenggarakannya acara adat tersebut. Kalimat dari teks pembuka ini merupakan hal yang penting dan harus dilakukan sebelum upacara adat dimulai. Tanpa adanya sapaan (fangowai) ini, maka acara tersebut tidak layak untuk dilanjutkan pelaksanaannya.
4.1.2 Teks isi Pada bagian isi dari teks Sinunö pengiring tari ya’ahowu ini terdapat pada baris teks ke 4 dan ke 5 yang beisikan : Ya’e zumange mi..........
inilah penghormatan kepada kalian
Afo si sara Si lima endronga......
dalam sebuah sirih yang berisikan 5 pemberian sekaligus yaitu, sirih, pinang, gambir,kapur sirih,dan tembakau
Dari teks sinunö di atas jelas mengambarkan tentang isi dari nyanyian tersebut merupakan pemberian penghormatan kepada tamu, baik itu tamu yang agung/balugu dan tuhenöri serta kepada seluruh tamu yang hadir pada acara adat tersebut. Pemberian penghormatan kepada para tamu ini disampaikan di dalam mbola nafo (sekapur sirih) yang mana di dalam sekapur sirih ini mengandung 5 unsur kesatuan yaitu: sirih, pinang, gambir, kapur, dan tembakau. Kelima unsur kesatuan dalam sekapur sirih diatas merupakan salah satu bentuk penghormatan adat yang dipersembahkan kepada setiap tamu yang hadir pada acara adat di Pulau Nias. Dan di dalam sekapur sirih ini juga menggambarkan sukacita pihak sowatö (yang mengadakan acara) kepada pihak tome atau tamu. 90
4.1.3 Teks Penutup Pada bagian penutup dari teks Sinunö pengiring tari ya’ahowu ini, merupakan sapaan terakhir dari nyanyian atau sinunö pengiring tari Ya’ahowu yang di sertakan pemberian atau penyerahan mbola nafo (sekarur sirih) oleh para penari kepada pihak tamu. Teks penutup ini terdapat pada baris lagu 6, 7, 8 yang berisikan: Ira ama le ya’e nafoda...........
kepada bapak ini sekapur sirih untuk kalian
Ira ina le ya’e nafoda........
kepada ibu ini sekapur sirih untuk kalian
Fefu ira tomema le yae nafoda....... kepada seleruh tamu yang hadir ini sekapur sirih untuk kalian. Pada bagian penutup ini biasanya setelah penari menyampaikan nyanyian dari teks penutup diatas dan sebelum memberikannya kepada pihak tamu, maka pihak Tome atau tamu biasanya akan membalas nyanyian yang di nyanyikan oleh penari dengan menjawab, “He...” pada setiap akhir kalimat yang dinyanyikan oleh penari Ya’ahowu.
Contohnya: Penari : Ira ama le ya’e nafoda...........
Kepada bapak ini sekapur sirih untuk kalian
Tamu : He.............. Penari : Ira ina le ya’e nafoda........
kepada ibu ini sekapur sirih untuk kalian
Tamu : He......... Penari : Fefu ira tomema le yae nafoda....... kepada seleruh tamu yang hadir 91
ini sekapur sirih untuk kalian. Tamu : Hee.....!!!!
Setelah fangowai (penyambutan) diatas selesai, maka penari menyerahkan sekapur sirih tersebut kepada tamu agung/balugu dan tuhenöri, dan setelah itu maka berakhirlah pertunjukan tarian penyambutan atau tari Ya’ahowu ini dan dilanjutkan dengan acara selanjutnya.
4.2. Makna Teks 4.2.1 Makna Konotatif Makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. Kata makan dalam makna konotatif dapat berarti untung atau pukul. Makna konotatif atau sering disebut juga makna kiasan, makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Kata-kta yang bermakna konotatif atau kiasan biasanya dipakai pada pembicaraaan atau karangan nonilmiah, seperti: berbalas pantun, peribahasa, lawakan, drama, prosa, puisi, dan lain-lain. Karangan non-ilmiah sangat mementingan nilai-nilai estetika. Nilai estetika dibangun oleh bahasa figuratif dengan menggunakan kata-kata konotatif agar penyampaian pesan atau amanat itu terasa indah. Makna konotatif berbeda dari zaman ke zaman. Ia tidak tetap. Kata kamar kecil mengacu kepada kamar yang kecil (denotatif), tetapi kamar kecil berarti juga jamban (konotatif). Dalam hal ini, kita kadang-kadang lupa apakah suatu makna kata itu adalah makna denotatif atau konotaif. Kata rumah monyet mengandung makna konotatif. Akan 92
tetapi, makna konotatif itu tidak dapat diganti dengan kata lain, sebab nama lain untuk kata itu tidak ada yang yang tepat. Begitu juga dengan istilah rumah asap. Makna konotatif dan makna denotatif berhubungan erat dengan kebutuhan pemakaian bahasa. Makan denotatif ialah arti harfiah suatu kata tanpa ada satu makna yang menyertainya, sedangkan makna konotatif adalah makna kata yang mempunyai tautan pikiran, perasaan, dan lain-lain yang menimbulkan nilai rasa tertentu. Dengan kata lain, makna denotatif adalah makna yang bersifat umum, sedankan makna konotatif lebih bersifat pribadi dan khusus. Contoh: Dia adalah wanita cantik (denotatif). Dia adalah wanita manis (konotatif). Kata cantik lebih umum dari pada kata manis. Kata cantik akan memberikan gambaran umum tentang seorang wanita. Akan tetapi, dalam kata manis terkandung suatu maksud yang lebih bersifat memukau perasaan kita. Nilai kata-kata itu dapat bersifat baik dan dapat pula besifat jelek.
4.2.2 Makna Denotatif Makna denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna wajar ini adalah makna yang sesuai dengan apa adanya. Denotatif adalah suatu pengertian yang dikandung sebuah kata secara objektif. Sering juga makna denotatif disebut
makna konseptual. Kata makan, misalnya,
bermakna
memasukkan sesuatu ke dalam mulut, dikunyah, dan ditelan. Makna kata makan seperti ini adalah makna denotatif. Makna denotatif disebut juga dengan istilah; makna denatasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposional (Keraf, 2002:2080). Disebut makna denotasional, konseptual, referensial dan ideasional, karena makna itu mengacu pada referensi, konsep atau ide tertentu dari suatu referensi. Disebut makna 93
kognitif karena makna itu berhubungan dengan kesadaran, pengetahuan dan menyangkut rasio manusia. Denotatif adalah suatu pengertian yang dikandung sebuah kata secara objektif. Sering juga makna denotatif disebut makna konseptual. Kata makan, misalnya, bermakna memasukkan sesuatu kedalam mulut, dikunyah, dan ditelan. Makna kata makan seperti ini adalah makna denotatif. Makna denotatif disebut juga dengan istilah; makna denatasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposional (Keraf, 2002:2080). Disebut makna denotasional, konseptual, referensial dan ideasional, karena makna itu mengacu pada referensi, konsep atau ide tertentu dari suatu referensi. Disebut makna kognitif karena makna itu berhubungan dengan kesadaran, pengetahuan dan menyangkut rasio manusia. Makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. Kata makan dalam makna konotatif dapat berarti untung atau pukul. Makna konotatif atau sering disebut juga makna kiasan, makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Kata-kta yang bermakna konotatif atau kiasan biasanya dipakai pada pembicaraaan atau karangan nonilmiah, seperti: berbalas pantun, peribahasa, lawakan, drama, prosa, puisi, dan lain-lain. Karangan non-ilmiah sangat mementingan nilai-nilai estetika. Nilai estetika dibangun oleh bahasa figuratif dengan menggunakan kata-kata konotatif agar penyampaian pesan atau amanat itu terasa indah. Makna konotatif berbeda dari zaman ke zaman. Ia tidak tetap. Kata kamar kecil mengacu kepada kamar yang kecil (denotatif), tetapi kamar kecil berarti juga jamban (konotatif). Dalam hal ini, kita kadang-kadang lupa apakah suatu makna kata itu adalah makna denotatif atau konotaif. 94
Dari kedua defenisi makna konotatif dan denotatif diatas maka kita dapat menganalisa makna konotatif dan denotatif dari teks Sinunö pengiring tari Ya’ahowu. Analisis makananya sebagai berikut:
(a) He ira ama Makna denotasi, kata he
dalam bahasa nias bermakna hai dalam bahasa
Indonesia, yang berarti seruan atau sapaan kepada orang lain. Ira ama bermakna kaum bapak (laki-laki yang sudah menikah/beristri). Makna konotasi, dalam memahami makna konotasi dari kalimat ini, terlebih dahulu harus memahami konteks yang terjadi pada saat kalimat ini diucapkan. Kalimat He ira ama ini di ucapkan pertama sekali ketika di mulainya pertunjukan penyambutan (fengowai) kepada pihak tamu (laki-laki). setelah memahami konteks situasinya, maka makna konotasi dari kalimat di atas adalah, bermakna penghormatan atau sanjungan kepada seluruh kaum laki-laki yang ada di tempat itu yang berasal dari si tuan rumah atau orang yang mengundang seluruh tamu yang hadir pada suatu acara tersebut. Dan sapaan ini sekaligus menunjukkan harkat dan derajat laki-laki yang tinggi sehingga kaum laki-laki disapa terlebih dahulu.
(b) He ira ina Makna denotasi – kata he
dalam bahasa nias bermakna hai dalam bahasa
Indonesia, yang berarti seruan atau sapaan kepada orang lain. Ira ina bermakna kaum Ibu (perempuan yang sudah menikah/bersuami) Makna konotasi - dalam memahami makna konotasi dari kalimat ini, terlebih dahulu harus memahami konteks yang terjadi pada saat kalimat ini diucapkan. 95
Kalimat He ira ina ini di ucapkan pertama sekali ketika di mulainya pertunjukan penyambutan (fengowai) kepada pihak tamu (perempuan). setelah memahami konteks situasinya, maka makna konotasi dari kalimat di atas adalah bermakna penghormatan atau sanjungan kepada seluruh kaum perempuan yang juga ada di tempat itu yang sapaan ini berasal dari si tuan rumah atau orang yang mengundang seluruh tamu yang hadir pada suatu acara tersebut.
(c) Tome salua ba olayama Makna denotasi – kalimat di atas bermakna tamu yang telah tiba di halaman. Makna kontasi - dalam memahami makna konotasi dari kalimat ini, terlebih dahulu harus memahami konteks yang terjadi pada saat kalimat ini diucapkan. Kalimat ini juga di ucapkan pada saat mulainya acara penyambutan tamu adat yang dating. setelah memahami konteks situasinya, maka makna konotasi dari kalimat di atas adalah bermakna menyapa seluruh tamu yang telah datang dan telah berkumpul di tempat
pelaksanaan acara tersebut, sebagai suatu
penghormatan yang tinggi kepada seluruh hadirin yang telah meringankan langkahnya untuk datang pada acara tersebut.
(d) Ya’e zumange mi Makna denotasi – kalimat di atas bermakna inilah penghormatan untuk kalian. Makna konotasi – Ya’e Zumange mi dari kalimat di atas adalah bermakna seruan penegasan akan memberikan sesuatu kepada seluruh tamu, sebagai bukti bahwa si tuan rumah atau yang punya hajatan/acara benar-benar menghormati dan menghargai seluruh tamu yang telah hadir, dengan memberikan sesuatu berupa benda atau barang. 96
(e) Afo si sara si lima endronga Makna denotasi – kalimat ini bermakna sebuah sirih yang dibuat dari lima macam/jenis bahan-bahan (daun sirih, pinang, gambir, ......lupa aku dua lagi apa bang, hehehe) Makna konotasi - Afo si sara si lima endronga bermakna si tuan rumah atau yang punya hajatan begitu menghormati tamu-tamunya dengan menyuguhkan sekapur sirih yang terbaik yang terbuat dari lima jenis bahan-bahan terbaik yang dapat ia siapkan dan akhirnya menjadi satu dalam sebuah sirih yang akan dipersembahkan sebagai ssanjungan kepada seluruh tamu yang telah hadir dan untuk bersamasama menikmati sirih tersebut dengan sukacita.
(f) Ira ama le yae nafoda Makna denotasi – kalimat ini bermakna inilah sekapur sirih untuk kaum bapak Makna konotasi - Ira ama le yae nafoda bermakna penegasan kembali akan suatu penghormatan atau penghargaan yang diberikan kepada seluruh kaum laki-laki yang hadir yaitu sekapur sirih yang akan dinikmati bersama-sama.
(g) Ira ina le yae nafoda Makna denotasi - kalimat ini bermakna inilah sekapur sirih untuk kaum Ibu Makna konotasi - Ira ina le yae nafoda yaitu bermakna penegasan kembali akan suatu penghormatan atau penghargaan yang diberikan kepada seluruh kaum perempuan yang hadir yaitu sekapur sirih yang akan dinikmati bersama-sama.
97
(h) Fefu ira tomema le yae nafoda Makna denotasi – kalimat ini bermakna inilah sekapur sirih untuk seluruh tamu undangan kami Makna konotasi - Fefu ira tomema le yae nafoda bermakna penegasan kembali akan suatu penghormatan atau penghargaan yang diberikan kepada seluruh tamu hadirin baik kaum laki-laki dan kaum perempuan yang hadir, yaitu sekapur sirih yang akan dinikmati bersama-sama.
98
BAB V ANALISIS STRUKTUR MELODI SINUNÖ
Untuk
mengalisa
sebuah
musik,
diperlukan
transkripsi
untuk
menggambarkan atau memvisualisasikan bunyi yang diteliti ke dalam tulisan yang menggunakan simbol-simbol yang dapat dilihat untuk dipahami. Dalam menganalis struktur melodi Sinunö penulis menggunakan teori William P. Malm (1977:15) yang di kenal dengan teori weighted scale untuk menganalisis sinuno (nyanyian), yang membahas scale (tangga nada), nada dasar, range (wilayah nada), frequency of notes (jumlah nada-nada), prevalent interval (interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic formula (formula melodi), dan contour (kontur). Penulis juga melakukan pendekatan seperti yang ditawarkan Nettl (1963:89), yaitu: (1) menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan apa yang kita dengar itu di atas kertas, dan kemudian mendeskripsikan apa yang kita lihat itu.
Dalam hal ini penulis hanya akan
menganalisa nyanyian, yaitu sinuno sebagai nyanyian vocal,bagaimana nadanadanya, interval yang di pakai, bagaimana irama nyanyian itu. Setelah mendapatkan nada apa saja yang ada dalam nyanyian, penulis menuliskannya ke dalam garis para nada yang menggunakan notasi Barat atau notasi balok. Penulis memakai notasi Barat karena notasi tersebut paling umum digunakan dan dikenal dalam informasi sebuah musik. Berikut ini adalah lagu Sinunö pengiring tari Ya’ahowu yang sudah penulis tuangkan kedalam notasi barat atau notasi balok Barat: 99
5.1 Tangga Nada (scale) Dalam pengertian yang sederhana, tangga nada dalam musik bisa diartikan sebagai satu set atau satu kumpulan not musik yang diatur sedemikian rupa dengan aturan yang baku sehingga memberikan nuansa atau karakter tertentu. Aturan baku tersebut berupa interval atau jarak antara satu not dengan not yang lain, aturan tentang nada awal dan nada final, dan lain-lain. Ada berbagai macam tangga nada di dalam musik, masing-masing memiliki aturan baku sebagai ciri yang membedakan antara tangga nada yang satu dengan tangga nada yang lain. Penulis menyusun semua nada-nada yang terdapat dalam nyanyian tersebut. Penulis mengurutkan tangga nada dari nada terendah hingga nada tertingi termasuk nada oktaf jika ada ke dalam garis paranada. Nada terendah adalah G dan tertinggi adalah C. Lagu ini hanya memakai empat buah nada.
100
5.2
Wilayah Nada (range) Wilayah nada dalam suatu komposisi musik adalah jarak antara nada
terendah dengan nada tertinggi. Oleh karena itu, setelah penulis membuat lagu tersebut ke dalam garis paranada, maka didapatlah range tersebut. Wilayah nadanya adalah sebagai berikut.
G
——
C
5.3 Nada Dasar (pitch center) Dalam menentukan nada dasar, penulis berpedoman kepada rekaman yang ada, penulis mendengarkan rekaman dari lagu tersebut dan mencocokkan dengan bantuan alat musik keyboard. Nada dasarnya adalah G. Penulis juga telah membuat tanda kunci G pada garis paranada. 5.4 Formula Melodik (melodic formula) Bentuk juga dapat dibagi menjadi 5 menurut pendapat Malm (Malm dalam Takari 1993 : 14-15), yaitu: 1. Repetitive, yaitu bentuk nyanyian yang mengalami pengulangan. 2. Ireratif, yaitu suatu bentuk nyanyian yang menggunakan formula melodi yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian.
101
3. Reverting, yaitu suatu bentuk nyanyian apabila di dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frase pertama setelah terjadi penyimpangan melodis. 4. Strofic, yaitu apabila bentuk nyanyian diulang dengan formalitas yang sama namun menggunakan teks yang baru. 5. Progressive, yaitu apabila bentuk nyanyian selalu berubah dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru. Pada lagu Sinunö pengiring tari Ya’ahowu ini,
penulis menyimpulkan
bahwa bentuk lagu tersebut adalah Repetitive. Hal tersebut dapat dilihat dari notasi lagu yang telah penulis transkripsikan di atas.
5.5 Interval (prevalent interval) Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lainnya (Manoff 1991 : 50). Penulis memisah interval pada lagu tersebut dengan interval naik dan interval turun.
102
Tabel 1: Distribusi Interval
Interval
Posisi
Jumlah
1P
—
16
↑
10
↓
8
↑
2
↓
2
↑
-
↓
1
2M
2m
3M
Dari tabel di atas, maka tampaklah bahwa interval yang paling sering muncul adalah interval 1P sebanyak 16 kali, sedangkan interval yang sedikit muncul adalah interval 3M naik sebanyak 1 kali. Maka dapat dikatakan bahwa banyak nada yang sama yang dipakai dalam lagu tersebut atau tidak terlalu bervariasi.
103
5.6 Pemakaian Nada/Jumlah Nada (Frequency of Notes) Jumlah nada dapat dilihat dari banyaknya pemakaian nada yang dipakai dalam sebuah komposisi. Penulis menyusun jumlah nada yang dipakai dalam lagu sesuai dengan tangga nada yang telah dibuat sebelumnya. Dapat dilihat dari gambar garis paranada berikut
6
12
14
8
Maka, dapat dilihat nada B adalah nada yang paling banyak muncul sedangkan nada G merupakan nada yang paling sedikit muncul dalam lagu tersebut.
104
5.7
Pola Kadensa (Cadence pattern)
5.8
Kontor (contour) Kontur dapat diartikan alur melodi yang biasanya ditandai dengan menarik
garis. Menurut Malm, ada beberapa jenis kontur (Malm dalam Jonson 2000: 76). Jenis-jenis tersebut antara lain: 1. Ascending, yaitu garis melodi yang sifatnnya naik dari nada rendah ke nada yang lebih tinggi, seperti gambar : 2. Descending, yaitu garis melodi yang sifatnya turun dari nada yang tinggi ke nada yang rendah, seperti gambar :
3. Pendulous, yaitu garis melodi yang sifatnya melengkung dari nada yang rendah ke nada yang tinggi, kemudian kembali ke nada yang rendah. Begitu juga sebaliknya, seperti gambar :
4. Teracced, yaitu garis melodi yang sifatnya berjenjang seperti anak tangga dari nada yang rendah ke nada yang lebih tinggi kemudian sejajar, seperti gambar :
105
5. Statis, yaitu garis melodi yang sifatnya tetap atau apabila gerakan-gerakan intervalnya terbatas, seperti gambar: Dari jenis-jenis kontur yang tertera di atas, penulis menyimpulkan bahwa jenis kontur dalam lagu Sinunö pengiring tari Ya’ahowu ini mempunyai kontur pendulous. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menggambarkan bentuk kontur sesuai nada pada garis paranada.
106
BAB VI PENUTUP
107