Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
96
Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Pendapatan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi Nur Anim Jauhariyah, S.Pd.,M.Si Institut Agama Islam Darussalam (IAIDA) Banyuwangi INTISARI Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi, penting halnya untuk meningkatkan sistem perencanaan pembangunan daerah dengan menganalisis integrasi antar aspek pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi dengan melihat pertumbuhan ekonomi antarkecamatan. Perbedaan tingkat pembangunan akan membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antardaerah yang pada akhirnya akan menyebabkan ketimpangan regional antardaerah semakin besar. Sumberdaya yang bervariasi antar kecamatan di Kabupaten Banyuwangi dapat diklasifikasikan dengan tepat dan mengungkap permasalahan apa yang menjadi problematika di setiap kecamatan sehingga ketimpangan antar kecamatan dapat diminimalisir dengan mengoptimalkan sumberdaya alam yang menjadi komoditi potensial. Dalam penelitian ini alat analisis yang digunakan adalah Tipologi Klassen dan Indeks Williamson. Hasil penelitian menunjukkan 1) Terdapat 2 kecamatan yang masuk kategori Cepat maju dan Cepat tumbuh dengan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita lebih tinggi dari Kabupaten Banyuwangi, 10 Kecamatan yang diklasifikasikan pada kecamatan Berkembang Cepat dengan nilai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi namun PDRB Perkapita di bawah tingkat Kabupaten, 4 Kecamatan masuk kategori Maju tertekan dengan nilai PDRB perkapita di atas Kabupaten dan 8 kecamatan masuk kategori tertinggal dengan nilai pertumbuhan ekonomi ekonomi dan PDRB perkapita di bawah Kabupaten Banyuwangi; 2) Kondisi disparitas ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Banyuwangi menunjukkan bahwa hasil analisis IW pada PDRB ADHB Tahun 2013 di 24 Kecamatan indeks ketimpangan Williamson Tahun 2013 PRDB ADHK Tahun 2000 pada 24 Kecamatan menunjukkan bahwa Kecamatan Wongsorejo memiliki nilai IW tertinggi yaitu 0.173 diikuti Licin sebesar 0.158 dan Kalipuro sebesar 0.123. Kecamatan yang memiliki indeks Williamson terendah yaitu Kecamatan Purwoharjo dan Glagah sebesar 0.05. Sedangkan tren Indeks Williamson di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2009-2013 mengalami penurunan dengan kategori ketimpangan pendapan di Kabupaten Banyuwangi adalah rendah dengan indeks di bawah 0.5/mendekati level nol. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan dan pertumbuhan ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Banyuwangi merata. Key Words: Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Ekonomi, dan Disparitas Pendapatan
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi Banyuwangi menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Selama empat tahun tren pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi berada pada angka 7,14% sedangkan Provinsi Jawa Timur 6,86%; Tahun 2012 Kabupaten Banyuwangi pertumbuhan ekonominya naik ke level 7,29% dan Provinsi Jawa Timur berada di titik 7,27%; dan pada Tahun 2013 mengalami penurunan yaitu 6,76% dan naik
96
Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
97
menjadi 6,94% pada Tahun 2014, namun keadaan itu masih diatas level pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur yaitu pada Tahun 2013 pada titik 6,5% dan turun pada level 5,8% pada Tahun 2014 (Banyuwangi Dalam Angka, 2015). Angka pertumbuhan di Kabupaten Banyuwangi di dapat dari analisis data sekunder masing-masing sektor ekonomi yaitu: 1) sektor pertanian; 2) petambangan dan penggalian; 3) industri pengolahan; 4) listrik, gas, dan air bersih; 5) bangunan; 6) perdagangan, hotel dan restoran; 7) pengangkutan dan komunikasi; 8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan 9) jasa-jasa. Namun di dalam analisis pertumbuhan di Kabupaten Banyuwangi tidak memperlihatkan angka pertumbuhan ekonomi dan angka ketimpangan pembangunan antar kecamatan yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi. Dalam upaya memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi, penting halnya untuk meningkatkan sistem perencanaan pembangunan daerah dengan menganalisis integrasi antar aspek pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi dengan melihat pertumbuhan ekonomi antarkecamatan sehingga kebijakan strategi pembangunan diarahkan pada kebijakan yang memberikan dampak yang optimal bagi pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan masyarakat, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Analisis sektor unggulan dan penemuan wilayah pusat pertumbuhan yang diperoleh melalui analisis penelitian dapat menjadi dasar pertimbangan dalam perencanaan pembangunan selanjutnya sebagai kontribusi arah kebijakan Pemerintah Daerah di Kabupaten Banyuwangi. Perbedaan tingkat pembangunan akan membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antardaerah yang pada akhirnya akan menyebabkan ketimpangan regional antardaerah semakin besar. Sumberdaya yang bervariasi antar kecamatan di Kabupaten Banyuwangi dapat diklasifikasikan dengan tepat dan mengungkap permasalahan apa yang menjadi problematika di setiap kecamatan sehingga ketimpangan antar kecamatan dapat diminimalisir dengan mengoptimalkan sumberdaya alam yang menjadi komoditi potensial. Komoditi potensial bisa juga disebut dengan produk kecamatan tertentu yang bisa dikembangkan masyarakat setempat dan mempunyai prospek pasar yang bagus. Upaya pemberdayaan tentunya difokuskan pada pengoptimalan pengusahaan produk terutama yang banyak melibatkan stakeholder masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan inventarisasi dan deskripsi produk potensial khususnya di daerah sentra produksi di desa/kecamatan yang potensial. Sehingga tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang meningkat di Kabupaten Banyuwangi yang secara angka didominasi oleh penduduk minoritas namun ada pertumbuhan ekonomi riil di masyarakat dengan berkurangnya tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran serta terbuka lebarnya kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat sehingga akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kesejahteraan yang merata dapat diminimalisir disparitas antar kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. B. Permasalahan 1. Bagaimana gambaran perekonomian 24 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi secara makro? 2. Bagaimana kondisi disparitas pendapatan antar kecamatan di Kabupaten Banyuwangi? Kajian Pustaka 97
Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
98
A. Pusat Pertumbuhan Pemikiran Perroux (dalam Sjahrizal, 2008: 127) tentang adanya konsentrasi kegiatan industri pada daerah tertentu yang kemudian dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, kemudian berkembang menjadi konsep pusat pertumbuhan yang dalam bahasa Perancis dinamakan sebagai Pole de Croissance. Selanjutnya, Richardson (1978) (dalam Sjahrizal, 2008: 127) memberikan definisi Pusat Pertumbuhan sebagai berikut: “A growth pole was defined as a set of industries capable of generating dynamic growth in the economy, and strongly interrelated to each other via input-output linkages around a leading industry (Propulsive Industry)”. Dari definisi ini terlihat bahwa ada 4 karakteristik utama sebuah Pusat Pertumbuhan yaitu: a. Adanya sekelompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu; b. Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang dinamis dalam dalam perekonomian; c. Terdapat keterkaitan input dan output yang begitu kuat antara sesama kegiatan ekonomi pada pusat tersebut; d. Dalam kelompok kegiatan ekonomi tersebut terdapat sebuah industri induk yang mendorong pengembangan kegiatan ekonomi tersebut terdapat sebuah industri industri induk yang mendorong pengembangan kegiatan ekonomi pada pusat tersebut. Pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.1 disini terlihat bahwa dalam suatu pusat pertumbuhan akan terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang didalamnya terdapat sebuah kegiatan ekonomi yang berfungsi sebagai industri induk dan beberapa kegiatan ekonomi lainnya yang saling terkait satu sama lainnya dari segi input dan output. Dalam kaitan dengan kegiatan pertanian, pusat pertumbuhan pada dasarnya menganut konsep agribisnis yang melibatkan kegiatan produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran produk. B. Strategi Pembangunan Berbasis Keuntungan Kompetitif Daerah Strategi pembangunan ekonomi daerah seharusnya didasarkan pada prinsip Keuntungan Kompetitif (Competitive Advantage) sebagaimana dimaksud oleh Michael E. Porter (2001) (dalam Syafrizal, 2008). Berbeda dengan konsep Keuntungan Komparatif (Comperative Advantage) yang telah bersifat tradisional didasarkan pada perbedaan kandungan sumberdaya yang dimiliki (resource endowment), konsep Keuntungan Kompetitif ini lebih didasarkan pada unsur kreativitas, teknologi dan kualitas sumberdaya manusia yang dikombinasikan untuk menghasilkan produk yang mempunyai daya saing tinggi. Dengan demikian dapat saja terjadi suatu negara atau daerah yang tidak mempunyai kandungan sumberdaya alam yang memadai, dapat berkembang pesat karena kelebihannya dari segi kreativitas, teknologi dan kualitas sumberdaya manusia. Dengan menggunakan konsep Keuntungan Kompetitif tersebut sebagai dasar, prioritas pembangunan ekonomi daerah haruslah diletakkan pada sektor-sektor mempunyai Keuntungan Kompetitif tinggi yang tidak hanya didasarkan pada kandungan sumberdaya alam yang dimiliki, tetapi juga memperhatikan kemampuan teknologi dan kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki oleh sektor yang bersangkutan. Dengan demikian, produk yang dihasilkan oleh suatu daerah akan mempunyai daya saing cukup tinggi karena didukung oleh potensi spesifik yang dimiliki daerah bersangkutan. Keadaan tersebut selanjutnya akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan pendapatan masyarakat karena 98
Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
99
produk yang dihasilkan akan dapat menguasai pasar sehingga kegiatan produksi dapat berkembang dengan baik. C. Ketimpangan Ekonomi antar Daerah Williamson (1965) (dalam Kuncoro, 2004:133) meneliti bahwa hubungan antara disparitas regional dan tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data ekonomi Negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang” dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan. Ketimpangan pembangunan antarkecamatan yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional (regional inequality) yang dinamakan Indeks Ketimpangan Williamson (Sjarizal, 1997) (dalam Kuncoro, 2004:133): √∑ keterangan: Yi = PDRB perkapita di kecamatan i Y = PDRB perkapita rata-rata Kabupaten Banyuwangi fi = jumlah penduduk di kecamatan i n = jumlah penduduk di Kabupaten Banyuwangi Metode Penelitian A. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di 24 Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi yaitu Kecamatan Pesanggaran, Siliragung, Bangorejo, Purwoharjo, Tegaldlimo, Muncar, Cluring, Gambiran, Tegalsari, Glenmore, Kalibaru, Genteng, Srono, Rogojampi, Kabat, Singojuruh, Sempu, Songgon, Glagah, Licin, Banyuwangi, Giri, Kalipuro, dan Wongsorejo. Penelitian ini dilakukan pada Tanggal 15 November 2015 sampai dengan 30 April 2016. B. Jenis Penelitian Penelitian ini tergolong dalam penelitian diskriptif dengan jenis data kuantitatif dan kualitatif. Untuk analisis sektor potensi unggulan, analisis disparitas antar kecamatan di Kabupaten Banyuwangi dan 24 kecamatan, data diambil dari 24 Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, BPS Jawa Timur, BPS Kabupaten Banyuwangi, Bappeda Kabupaten Banyuwangi, dan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Banyuwangi. C. Metode Pengumpulan Data 1. Kuisioner, yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden penelitian. Kuisioner didapatkan dari menganalisis Produk Domesik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Banyuwangi dan Produk Domesik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan. 2. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana
99
Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
100
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama lama (Bungin, 2007). 3. Observasi dengan pengamatan langsung di lapangan untuk memperkuat data penelitian sehingga fenomena yang terjadi selama penelitian berlangsung bisa terpantau oleh peneliti. 4. Dokumentasi dilakukan untuk mengabadikan fenomena di lapangan saat berkunjung ke objek atau sobyek penelitian yang tidak tercover pada data primer. D. Jenis Data 1. Data Primer Data primer didapatkan dari hasil analisis langsung pada sumber utama penelitian melalui penyebaran kuisioner kepada responden penelitian yang dianggap expert dalam menyikapi kebijakan berkaitan dengan potensi unggulan dan disparitas ekonomi antar kecamatan. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang didapatkan bukan dari sumber utama, melainkan dari pihak-pihak lain ataupun dari data dokumentasi atau arsip. Adapun data sekunder yang diperlukan untuk analisis penelitian adalah sebagai berikut: a) Data sekunder didapatkan dari hasil analisis Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Banyuwangi menurut sektor ekonomi 2000- 2014 atas dasar harga konstan (ADHK) Tahun 2000. b) Data sekunder didapatkan dari hasil analisis Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Jawa Timur menurut sektor ekonomi 2000-2014 atas dasar harga konstan (ADHK) Tahun 2000. c) Data sekunder didapatkan dari hasil analisis Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di 24 Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi menurut sektor ekonomi 2009- 2013; d) Data-data sekunder yang mendukung untuk penelitian yang bersumber dari BPS Jatim, BPS Banyuwangi, Bappeda, dan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Banyuwangi dan 24 Kantor Kecamatan. E. Analisis Data 1. Tipologi Klassen Analisis tipologi klasen digunakan mengidentifikasikan posisi perekonomian daerah dengan memperhatikan perekonomian daerah yang diacunya. Mengidentifikasikan sektor, subsektor, usaha, atau komoditi unggulan suatu daerah. a) Manfaat Tipologi Klasen 1) Dapat membuat prioritas kebijakan derah berdasarkan keunggulan sektor, subsektor, usaha, atau komoditi daerah yang merupakan hasil analisis, tipologi klassen. 2) Dapat menentukan prioritas kebijakan daerah berdasarkan posisi perekonomian yang dimiliki terhadap perekonomian nasional maupun daerah yang diacunya. 3) Dapat menilai suatu daerah baik dari segi daerah maupun sektoral. b) Cara mencari Rata-rata Pangsa dan Rata-rata Pertumbuhan di Kabupaten Banyuwangi Karena data PDRB Kabupaten Banyuwangi Tahun 2000-2014 maka untuk PDRB Jawa Timur juga diambil data Tahun 2000-2014 untuk kesinkronan analisis data. 1) Cara menganalisis Rata-rata Sektoral PDRB Banyuwangi dan Jatim Rata-rata Sektoral= Jumlah PDRB (sektor) : N tahun
100
Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
101
2) Cara menganalisis Rata-rata Pangsa PDRB Kabupaten Banyuwangi Jatim
dan
Rata-rata Pangsa= (Rata-rata persektor : Total Rata-rata) x 100%
3) Cara menganalisis Rata-rata Banyuwangi dan Jatim
Pertumbuhan
PDRB
Kabupaten
Rata-rata Pertumbuhan = Jumlah PDRB (r1-rn) : N
c) Cara mencari Rata-rata Pangsa dan Rata-rata Pertumbuhan di setiap kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Karena data PDRB Kabupaten Banyuwangi Tahun 2000-2014 maka untuk PDRB Kecamatan juga diambil data Tahun 2000-2014 untuk kesinkronan analisis data. 1) Cara menganalisis Rata-rata Sektoral PDRB Kecamatan i dan Banyuwangi Rata-rata Sektoral= Jumlah PDRB (sektor) : N
2) Cara menganalisis Rata-rata Pangsa PDRB Kecamatan i dan Banyuwangi Rata-rata Pangsa= (Rata-rata persektor : Total Rata-rata) x 100%
3) Cara menganalisis Pertumbuhan PDRB Kecamatan i dan Banyuwangi PDRB (r1) =[PDRB(r2) – PDRB(r1)] : [PDRB (r1)] x 100%
4) Cara menganalisis Rata-rata Pertumbuhan PDRB Kecamatan i dan Banyuwangi PDRB (r1) =[PDRB(r2) – PDRB(r1)] : [PDRB (r1)] x 100%
2.
Analisis Disparitas Antar Kecamatan Ketimpangan pembangunan antarkecamatan yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi dapat dianalisis dengan menggunakan formulasi dengan Indeks ketimpangan regional (regional inequality) yang dinamakan Indeks Ketimpangan Williamson (Sjarizal, 1997) (dalam Kuncoro, 2004:133): √∑ keterangan: Yi = PDRB perkapita di kecamatan i Y = PDRB perkapita rata-rata Kabupaten Banyuwangi fi = jumlah penduduk di kecamatan i n = jumlah penduduk di Kabupaten Banyuwangi Pembahasan A. Temuan Hasil Penelitian Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi dan Provinsi Jawa Timur pada Tahun 2000-2014 dengan analisis data PDRB ADHK Tahun 2000 adalah sebagai berikut.
101
Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
102
Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyuwangi
Provinsi Jawa Timur
10,12 7,27 7,22 7,30 7,07 6,76 6,556,94 6,32 5,94 6,05 6,68 6,22 6,06 5,83 5,84 5,80 5,64 5,80 5,01 4,91 4,79 4,74 4,78 3,76 3,80 3,75 4,03
Pada tiga tahun terakhir yaitu Tahun 2012-2014, Kabupaten Banyuwangi memiliki nilai pertumbuhan ekonomi diatas Provinsi Jawa Timur. Pada Tahun 2012 Kabupaten Banyuwangi nilai pertumbuhan ekonominya sebesar 7,30 sedangkan Provinsi Jawa Timur sebesar 7,27. Tahun 2013, Kabupaten Banyuwangi nilai pertumbuhan ekonominya sebesar 6,76 sedangkan Provinsi Jawa Timur sebesar 6,65 dan pada Tahun 2014 pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi yaitu sebesar 6,94 lebih tinggi dibandingkan dengan di Provinsi Jawa Timur yang pertumbuhan ekonominya mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 6,06. Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi menunjukkan bahwa ada beberapa sektor ekonomi di Kabupaten Banyuwangi mengalami peningkatan. Hal ini perlu ditingkatkan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan tentu saja diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi pula. B. Analisis Data Penelitian 1. Tipologi Daerah 24 Kecamatan Tipologi Daerah 24 Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi dianalisis berdasarkan Pertumbuhan dan Pendapatan Perkapita di kecamatan tersebut. Tipologi daerah dibagi menjadi 4 klasifikasi yaitu: a) Kecamatan dengan pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi (Kuadran I/Cepat Maju dan Cepat Tumbuh) b) Kecamatan dengan pertumbuhan Tinggi namun pendapatan perkapita rendah (Kuadran II/Berkembang Cepat) c) Kecamatan dengan pertumbuhan Rendah namun pendapatan perkapita Tinggi (Kuadran III/Maju Tertekan) d) Kecamatan dengan pertumbuhan Rendah dan pendapatan perkapita rendah (Kuadran VI/Tertinggal) Kecamatan Muncar menempati peringkat pertama dengan jumlah PDRB tertinggi dibandingkan dengan kecamatan yang lainnya dan Kecamatan Giri memiliki nilai PDRB terendah.
102
Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
103
Grafik 2. Pertumbuhan Ekonomi 24 Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi 7,93 7,83
Genteng Banyuwangi Kalibaru Muncar Cluring Glenmore Bangorejo Rogojampi Srono Gambiran Sempu Giri Glagah Singojuruh Kalipuro Kabat Purwoharjo Tegaldlimo Tegalsari Pesanggaran Songgon Siliragung Licin Wongsorejo
7,40 7,30 7,16 7,14 7,14 7,13 7,12 7,12 7,04 6,84 6,65 6,64 6,63 6,63 6,61 6,50 6,39 6,20 5,94 5,87 5,22 5,19
Kecamatan Genteng memiliki nilai pertumbuhan ekonomi tertinggi dibandingkan dengan kecamatan yang lain yaitu 7,93%, dan Kecamatan Wongsorejo memiliki nilai pertumbuhan ekonomi terendah yaitu 5,19%. Kecamatan Licin memiliki PDRB Perkapita tertinggi yaitu Rp. 18.775.744,- dan Kecamatan Tegalsari memiliki pendapatan perkapita terendah yaitu Rp. 5.745.336,Tabel 1. PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi 24 Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013 No
Kecamatan
Pertumbuhan (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12 13 14 15 16
Pesanggaran Siliragung Bangorejo Purwoharjo Tegaldlimo Muncar Cluring Gambiran Tegalsari Kalibaru Genteng Srono Rogojampi Kabat Singojuruh
6.20 5.87 7.14 6.61 6.50 7.30 7.16 7.12 6.39 7.40 7.93 7.12 7.13 6.63 6.64
PDRB Perkapita (Juta) 7,497.067 6,918.870 7,221.011 8,397.397 7,989.589 9,982.140 6,314.007 7,859.207 5,745.336 6,990.079 7,732.739 7,321.853 8,848.541 8,301.386 6,871.789
103
Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
17 18 19 20 21 22 23 24
Sempu Songgon Glagah Licin Banyuwangi Giri Kalipuro Wongsorejo Kabupaten
104 7.04 5.94 6.65 5.22 7.83 6.84 6.63 5.19 6.76
6,201.593 7,209.490 8,889.467 18,775.744 8,032.763 7,811.945 13,407.737 15,447.721 8,580.072
Sumber data: BPS Kabupaten Banyuwangi, 2014 (diolah) Hasil analisis pada Tabel 1. dapat diklasifikasikan Kecamatan mana yang pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapitanya lebih besar dari pada Kabupaten Banyuwangi. Sehingga Pemerintah akan lebih mudah untuk mengambil kebijakan terkait kondisi secara makro pada kecamatan tersebut. Berkembang Cepat Kecamatan Bangorejo Kecamatan Cluring Kecamatan Gambiran Kecamatan Glenmore Kecamatan Kalibaru Kecamatan Genteng Kecamatan Srono Kecamatan Sempu Kecamatan Banyuwangi Kecamatan Giri
PDRB Tertinggal 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kecamatan Pesanggaran Kecamatan Siliragung Kecamatan Purwoharjo Kecamatan Tegaldlimo Kecamatan Kabat Kecamatan Singojuruh Kecamatan Songgon Kecamatan Tegalsari
Cepat Maju&Cepat Tumbuh 1. Kecamatan Muncar 2. Kecamatan Rogojampi
PERTUMBUHAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
PERKAPITA
Maju Tertekan 1. Kecamatan Glagah 2. Kecamatan Licin 3. Kecamatan Kalipuro 4. Kecamatan Wongsorejo
Gambar 1. Pola dan Struktur Perekonomian Kabupaten Banyuwangi Menurut Tipologi Daerah, Tahun 2013 Terdapat 2 kecamatan yang masuk kategori Cepat maju dan Cepat tumbuh dengan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita lebih tinggi dari Kabupaten Banyuwangi, 10 Kecamatan yang diklasifikasikan pada kecamatan Berkembang Cepat dengan nilai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi namun PDRB Perkapita di bawah tingkat Kabupaten, 4 Kecamatan masuk kategori Maju tertekan dengan nilai 104
Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
105
PDRB perkapita di atas Kabupaten dan 8 Kecamatan masuk kategori tertinggal dengan nilai pertumbuhan ekonomi ekonomi dan PDRB perkapita di bawah Kabupaten Banyuwangi. 2. Analisis Disparitas Antar Kecamatan Masalah ketimpangan/disparitas ekonomi dapat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya tingkat pembangunan ekonomi di suatu daerah. Oleh karena untuk meratakan pembangunan ekonomi diperlukan pembangunan ekonomi yang merata, sehingga nilai ketimpangan dapat mendekati nilai nol. Indeks disparitas Williamson Tahun 2009-2013 di 24 Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Adapun Indeks Williamson PDRB ADHB Tahun 2013 24 Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi dapat diamati pada grafik di bawah ini: Grafik 3. Indeks Williamson PDRB ADHB Tahun 2013 di 24 Kecamatan 0,144
0,132
Giri
Kalipuro
Banyuwangi
Licin
Glagah
Sempu
Songgon
Kabat
Singojuruh
Srono
Rogojampi
Kalibaru
Genteng
Glenmore
Tegalsari
Gambiran
Cluring
Muncar
Tegaldlimo
Purwoharjo
Siliragung
Bangorejo
Pesanggaran
0,058 0,049 0,052 0,042 0,040 0,031 0,031 0,031 0,029 0,028 0,027 0,024 0,021 0,020 0,018 0,016 0,010 0,010 0,005 0,005 0,001
Wongsorejo
0,133
Pada Grafik 3. hasil analisis IW pada PDRB ADHB Tahun 2013 di 24 Kecamatan menunjukkan bahwa Kecamatan Licin memiliki nilai IW tertinggi sebesar 0.144, Kecamatan Kalipuro sebesar 0.133, dan Kecamatan Wongsorejo sebesar 0.132. Adapun kecamatan yang memiliki IW terendah yaitu Kecamatan Kabat sebesar 0.001. Kesimpulan 1. Terdapat 2 kecamatan yang masuk kategori Cepat maju dan Cepat tumbuh dengan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita lebih tinggi dari Kabupaten Banyuwangi, 10 Kecamatan yang diklasifikasikan pada kecamatan Berkembang Cepat dengan nilai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi namun PDRB Perkapita di bawah tingkat Kabupaten, 4 Kecamatan masuk kategori Maju tertekan dengan nilai PDRB perkapita di atas Kabupaten dan 8 kecamatan masuk kategori tertinggal dengan nilai pertumbuhan ekonomi ekonomi dan PDRB perkapita di bawah Kabupaten Banyuwangi. 2. Kondisi disparitas ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Banyuwangi menunjukkan bahwa hasil analisis IW pada PDRB ADHB Tahun 2013 di 24 Kecamatan indeks ketimpangan Williamson Tahun 2013 PRDB ADHK Tahun 2000 pada 24 Kecamatan menunjukkan bahwa Kecamatan Wongsorejo memiliki nilai IW tertinggi yaitu 0.173 diikuti Licin sebesar 0.158 dan Kalipuro sebesar 0.123. Kecamatan yang memiliki indeks Williamson terendah yaitu Kecamatan 105
Istiqro’ : Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.1 / No. 2: 1-24, Agustus 2015, ISSN : 2460-0083
106
Purwoharjo dan Glagah sebesar 0.05. Sedangkan tren Indeks Williamson di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2009-2013 mengalami penurunan dengan kategori ketimpangan pendapan di Kabupaten Banyuwangi adalah rendah dengan indeks di bawah 0.5/mandekati level nol. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan dan pertumbuhan ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Banyuwangi merata. Daftar Pustaka BPS. 2011. Banyuwangi Dalam Angka 2011, Banyuwangi, BPS Kabupaten Banyuwangi. BPS. 2014. Banyuwangi Dalam Angka 2014, Banyuwangi, BPS Kabupaten Banyuwangi. BPS Jawa Timur. (2015). Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Jawa Timur 2010-2014, BPS Propinsi Jawa Timur. Brojonegoro PS, Bambang. 1992. AHP (the Analytical Hierarchy Process). Pusat Antar University – Studi Ekonomi Universitas Indonesia; Bungin, B. (2008).Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Kuncoro, Mudrajat. (2004). Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Jakarta, Erlangga. Kuncoro, Mudrajad. (2006). Ekonomi Pembangunan Teori, Masalah, dan Kebijakan, Jogjakarta, UPP STIM YKPN. Mankiw, Grogory. 2001. TeoriMakroekonomi Intermediate. Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Yogyakarta. Sjafrizal, (2008). Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Padang, Baduose Media, Cetakan Pertama. Suparmoko, M. 2008. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Suatu Pendekatan Teoritis, Yogyakarta, BPFE-Yogyakarta. Widodo. (2006). Perencanaan Pembangunan: Aplikasi Komputer, Jogjakarta: UPP STIM YKPN.
106