ANALISIS PERPINDAHAN PANAS ATAP BETON DAN ATAP HIJAU DI GEDUNG PITP, IPB
DILA RACHMAYUDILA PUTRI
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOG I PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perpindahan Panas Atap Beton dan Atap Hijau di Gedung PITP, IPB adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014 Dila Rachmayudila Putri NIM F44100027
ABSTRAK DILA RACHMAYUDILA PUTRI. Analisis Perpindahan Panas Atap Beton dan Atap Hijau di Gedung PITP, IPB. Dibimbing oleh YUDI CHADIRIN. Lapisan kedap air memiliki sifat kapasitas panas yang kecil sehingga pemantulan panas lebih besar. Salah satu solusinya adalah dengan menggunaka n atap hijau. Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengura ika n gradien suhu sesuai ketinggian dan untuk menguji perbedaan fluks panas antara green roof dan atap beton dengan menggunakan sensor termokopel dan VH400. Prosedur penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu pembuatan model, pengambila n data dan pengolahan data dengan menggunakan Hukum Newton. Pada green roof, interval suhu sebesar 20-34.9°C. Hal itu menunjukkan bahwa semakin ke bawah, suhu semakin turun yang disebabkan karena adanya penyerapan panas. Adanya penyerapan panas akan membuat gradien suhu bernilai negatif. Pada atap beton, interval suhu sebesar 27-38.9°C. Hal itu menunjukkan bahwa semakin ke bawah, suhu semakin tinggi. Peningkatan suhu disebabkan adanya pantulan dari material dalam hal ini beton ke udara. Hal itu akan menyebabkan gradien suhu bernilai positif. Interval perpindahan panas di green roof sebesar 807.52 MJ/m2 jam dan di atap beton sebesar 975.47 MJ/m2 jam. Pada atap beton menghasilkan fluks panas yang lebih tinggi dari pada atap hijau. Sehingga panas yang hilang yang disebabkan dengan adanya green roof rata-rata sebesar 17.30%. Kata kunci: perpindahan panas, gradien suhu, sensor, termokopel, VH400
ABSTRACT DILA RACHMAYUDILA PUTRI. Heat Transfer Analysis of Concrete Roof and Green Roof in PITP building, IPB. Supervised by YUDI CHADIRIN. Impermeable layer has characteristic of small heat capacity so that greater heat reflection. One of the solutions was to use a green roof. The purpose of the research were to explain temperature gradient and the height of the heat flux to examine differences between the green roof and concrete roof using thermocoup le sensors and VH400. Procedures were divided into three stages, the making of model, data retrieval and data processing using Newton's law. On the green roof, the temperature interval was 20-34.9°C. It showed that further down, the temperature was getting lower due to the absorption of heat. The existence of absorption heat will make the temperature gradient negative. In the concrete roof, the temperature interval was 27-38.9°C. It showed that further down, the temperature was higher. The increase of temperature caused by the reflection of the material in this concrete into the air. It will cause the temperature gradient become positive. Heat flux at green roof was 807.52 MJ/m2 hours and at the concrete roof was 975.47 MJ/m2 hours. The concrete roof produce higher heat flux compared to the green roof so heat loss caused by the presence of green roof was 17.30%. Key words: heat flux, temperature gradient, sensors, thermocouple, VH400
ANALISIS PERPINDAHAN PANAS ATAP BETON DAN ATAP HIJAU DI GEDUNG PITP, IPB
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOG I PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Perpindahan Panas Atap Beton dan Atap Hijau di Gedung PITP, IPB Nama : Dila Rachmayudila Putri NIM : F44100027
Disetujui oleh
Dr Yudi Chadirin, S.TP, M.Agr Pembimbing I
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Budi Indra Setiawan M.Agr Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah perpindahan panas, dengan judul Analisis Perpindahan Panas Atap Beton dan Atap Hijau di Gedung PITP, IPB Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Yudi Chadirin STP, M.Agr selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, mamah, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014 Dila Rachmayudila Putri
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Data Hasil Pengukuran di Lingkungan Sekitar PITP
5
Kalibrasi Sensor
7
Data Hasil Pengukuran Suhu
8
Perpindahan Panas di Tanah
11
Gradien Suhu
12
Laju Perpindahan Panas
13
Panas yang Hilang
15
SIMPULAN DAN SARAN
16
Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
18
RIWAYAT HIDUP
22
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Pemodelan atap hijau dan atap beton Grafik distribusi suhu udara dan kelembaban udara selama pengukuran Data radiasi harian total di lingkungan sekitar PITP, IPB Grafik hubungan waktu dan radiasi harian selama pengukuran Grafik suhu dan kelembaban diurnal harian selama 24 jam di lingkunga n sekitar PITP, IPB Grafik hubungan sensor termokopel dengan termometer standar Grafik hubungan kadar air tanah dan nilai yang terbaca oleh sensor VH400 Grafik distribusi nilai suhu di atas green roof selama pengukuran Grafik suhu diurnal harian selama 24 jam di green roof pada saat radiasi maksimum Grafik distribusi nilai suhu di atas atap beton selama pengukuran Grafik suhu diurnal harian selama 24 jam di atap beton pada saat radiasi maksimum Grafik distribusi suhu udara dan radiasi matahari selama pengukuran Grafik distribusi kelembaban tanah dan curah hujan selama pengukuran Grafik distribusi radiasi matahari dan kelembaban tanah selama pengukuran Grafik gradien suhu saat radiasi maksimum (a) Pagi 10.00 WIB, (b) siang 14.00 WIB dan (c) malam 18.00 WIB Grafik gradien suhu saat radiasi minimum (a) Pagi 10.00 WIB, (b) siang 14.00 WIB dan (c) malam 18.00 WIB Fluks panas di green roof Fluks panas di atap beton Fluks panas di green roof dan atap beton
4 6 6 6 7 7 8 9 9 10 10 10 11 12 12 13 14 14 15
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta lokasi penelitian 2 Detail tahapan penelitian 3 Sketsa titik sensor Pemodelan green roof
18 19 20 21
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan pembangunan infrastruktur dan kawasan pemukiman baru menyebabkan berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Berdasarkan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa luasan RTH minimal sebesar 30% dari luas wilayah kota. Fakta di lapangan, keberadaan RTH jauh dari proporsi. Pada awal tahun 1970, luasan RTH sebesar 35% yang berkurang menjadi 10% pada akhir tahun 2013 (BIG 2013). Berkurangnya RTH disebabkan oleh konservasi lahan yaitu beralih fungsinya RTH menjadi lapisan kedap air seperti bangunan, jalan raya dan lainnya. Pada umumnya, atap bangunan menggunakan lapisan kedap air yang memiliki porositas yang kecil. Lapisan kedap air memiliki sifat kapasitas panas yang kecil sehingga pemantulan panas lebih besar. Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan atap hijau. Media tanam pada atap hijau dapat berupa tanah, pasir atau bebatuan. Material tersebut memiliki porositas yang tinggi sehingga air mudah masuk. Porositas yang tinggi memiliki kapasitas simpan panas yang tinggi pula. Hal itu dapat menyebabkan terjadinya penyerapan panas. Atap hijau (green roof) adalah atap yang sebagian atau seluruhnya ditutup i dengan vegetasi dan media tumbuh yang memberikan manfaat umum bagi kota/masyarakat (Dyanna Becker dan Daisty Wang 2011). Salah satu manfaatnya adalah mengurangi aliran panas (heat flow). Di Vancouver,B.C., Kanada, pengurangan aliran panas pada saat musim semi/panas sebesar 83-85% dan pada saat musim dingin/hujan sebesar 40-44%. Keseluruhan pengurangan adalah 66% jika dibandingkan dengan atap konvensional. Atap konvensional dalam hal ini adalah atap beton. Aliran panas atap beton dengan atap hijau akan berbeda yang dipengaruhi oleh konduktivitas termal. Konduktivitas termal (thermal conductivity) adalah jumlah panas yang ditransmisikan melalui ketebalan unit dalam arah yang normal ke permukaan dari satuan luas (Gaylon S.Campbell dan John M.Norman 1998). Nilai konduktivitas panas dapat digunakan untuk mengukur penghematan energi atap. Oleh karena itu, analisis diperlukan untuk mengetahui pengurangan panas oleh green roof.
Perumusan Masalah 1. 2.
Perumusan masalah pada penelitian ini sesuai dengan pertanyaan berikut. Bagaimana gradien suhu udara dan tanah terhadap waktu pada sistem green roof ? Bagaimana perbandingan aliran panas antara atap beton dengan green roof ?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah untuk menguraika n gradien suhu udara dan tanah sesuai ketinggian atau kedalaman terhadap waktu
2 pada green roof. Selain itu menguji perbedaan fluks panas antara green roof dan atap beton.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang akan dilakukan ini adalah memungkinkan para peneliti atau pelajar di masa datang memahami green roof. Selain itu manfaat lainnya adalah mengetahui effisiensi dalam pengurangan aliran panas oleh green roof. Data yang ada dapat digunakan untuk menganalisis aliran panas melalui lapisan atap dan untuk mengendalikan tingkat pemanasan dan pendinginan tanah.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan adalah menyiapka n pemodelan green roof dengan lapisan dasar green roof berupa tanaman, tanah, ijuk dan kerikil. Penggunaan sensor untuk mengukur distribusi suhu pada atap beton dan lapisan media green roof dengan menggunakan sensor termokopel. Selain itu sensor VH400 digunakan untuk mengukur distribusi kelembaban tanah pada lapisan green roof. Analisis dilakukan terhadap perpindahan panas pada atap beton dan lapisan green roof.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian yang akan dilakukan mulai Maret sampai Juli 2014. Percobaan lapangan dilakukan di atap gedung Pusat Informasi Teknologi Pertanian (PITP), Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Bahan Bahan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini diantaranya adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan berasal dari pemodelan dengan menggunakan bahan-bahan seperti tanaman yaitu lili paris, tanah, ijuk dan kerikil. Sedangkan data sekunder yaitu data suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi matahari dan curah hujan di sekitar lingkungan PITP. Data sekunder didapat dari stasiun cuaca Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB.
Alat Alat yang digunakan untuk pemodelan green roof adalah kotak akrilik berukuran 1m x 1m x 0,35 m, besi siku dan pipa untuk drainase berdiameter 5 cm dengan panjang 1 m. Selain itu pipa berdiameter 10 cm dengan panjang 1 m
3 digunakan untuk pengukuran suhu udara. Penelitian untuk aliran panas dalam tanah menggunakan sensor suhu yaitu termokopel dan sensor kelembaban yaitu VH400. Midi logger adalah alat yang digunakan untuk merekam data hasil pengukuran sensor dengan interval 5 menit. Alat pendukung lainnya adalah kipas, kabel, obeng, solder, penggaris, wadah penampung air drainase, alat perekat, alat tulis dan laptop. Software yang digunakan berupa Microsoft Word, Microsoft Excel dengan Visual Basic dan GL220_820APS. Program microsoft digunakan untuk membantu penelitian dan perhitungan cepat melalui program Visual Basic. GL220_820APS adalah program graptech untuk menghubungkan Personal Computer (PC) dengan midi logger.
Prosedur Analisis Data Prosedur penelitian dibagi menjadi tiga tahap. Tahap tersebut adalah pembuatan pemodelan, pengambilan data dan pengolahan data dengan menggunakan program komputer. Detail tahapan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Tahapan pertama dalam pembuatan pemodelan adalah merancang bentuk dan lapisan yang akan digunakan. Lapisan yang digunakan berupa kerikil, ijuk, tanah dan tanaman. Dimensi kotak disesuaikan dengan kebutuhan yaitu 1m x 1m x 0.35 m. Atap memiliki kapasitas pembebanan yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan perhitungan beban green roof. Pembebanan dihitung pada setiap material dengan menggunakan densitas setiap material. Satuan dalam densitas adalah kg/m3 dan volume yang sudah ditentukan berupa cm3 yang dikonversi menjadi m3 sehingga didapat beban setiap material. Beban green roof ini harus kurang dari kapasitas beban atap. Hal itu dimaksudkan agar atap dapat menahan beban dari green roof yang akan digunakan. Tahap selanjutnya adalah membuat kotak model dengan ukuran 1m x 1m x 0.35 m menggunakan bahan akrilik. Lapisan green roof adalah kerikil (8 cm), ijuk (5 cm), tanah (20 cm) dan tanaman lili paris (50 tanaman). Kemiringan pemodelan yang digunakan sebesar 5° pada ketiga sudut kotak sehingga air drainase akan keluar pada satu sudut. Pipa berlubang diletakkan di atas tanah green roof untuk pengukuran suhu udara. Pada ujung pipa diletakkan kipas yang mengarah keluar. Hal itu dimaksudkan bahwa persyaratan dalam pengukuran suhu udara adalah sensor tidak boleh terkena cahaya matahari secara langsung dan harus berada dalam udara yang bergerak. Selain itu, Pipa berlubang dan kipas angin diletakkan di atap beton. Gambar pemodelan atap hijau dan atap beton dapat dilihat pada Gambar 1. Sensor termokopel dan VH400 diletakkan di atap hijau dan atap beton. Pada green roof, titik yang digunakan sebanyak tujuh titik yaitu -33 cm, -28 cm, -20 cm, -10 cm, 0 cm, 20 cm dan 67 cm. Titik -33 cm berada di dasar green roof. Titik -28 cm berada di antara lapisan kerikil dan ijuk. Titik -20 cm berada di antara ijuk dan tanah. Titik -10 cm berada di tanah kedalaman 10 cm. Titik 0 cm berada di permukaan tanah. Titik 20 cm berada di dalam pipa 20 cm dari tanah. Titik 67 cm berada di dalam pipa 67 cm dari tanah. Sensor diletakkan juga di dalam pipa atap beton. Titik yang digunaka n sebanyak tiga titik yaitu –33 cm, 17 cm dan 67 cm. Titik -33 cm berada di permukaan atap beton. Titik 17 cm berada di 50 cm atas permukaan beton. Titik 67
4 cm berada di 100 cm atas permukaan beton. Posisi pipa tegak lurus dengan permukaan beton tanpa kemiringan. Sketsa titik sensor dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 1 Pemodelan atap hijau dan atap beton Kalibrasi adalah tahapan verifikasi bahwa suatu akurasi alat ukur sesuai dengan rancangannya. Sensor termokopel yang digunakan dibandingkan dengan termometer standar sehingga selisih perbedaan akan diketahui. Penambahan es batu dan air dilakukan untuk mendapatkan suhu yang diinginkan. Kemudian grafik dibuat dengan sumbu x adalah suhu yang terbaca oleh sensor dan sumbu y adalah suhu di termometer standar. Kalibrasi pada sensor kelembaban dilakukan dengan membandingkan dengan kadar air tanah. Tanah diambil sebagai contoh uji kemudian ditimbang untuk mendapatkan massa tanah. Contoh uji disimpan dalam oven dengan suhu 105°C selama 24 jam. Contoh uji ditimbang kembali dan sensor kelembaban yaitu VH400 digunakan sehingga muncul nilai yang keluar berupa volts. Air ditambahkan pada contoh uji dan disimpan dalam oven lagi. Prosedur yang sama dilakukan sampai kadar air jenuh. q = U x ΔT dimana : q = U = ΔT =
(1) Fluks panas (W/m2 ) Keofisien konveksi (W/m2 K) Gradien suhu (K)
Pengukuran laju fluks panas (heat flux) adalah pengukuran laju perpindahan panas melalui bahan per satuan luas. Heat flux akan berbeda-beda sesuai dengan suhu, material dan ketebalan lapisan setiap materialnya. Pengukuran laju perpindahan ini secara konveksi sehingga persamaan yang digunakan berdasarkan Hukum Newton. Nilai konduktivitas suhu berbeda-beda sesuai dengan material yang digunakan.
5 1
1 −1
𝐿𝑥
U = [𝑓𝑖 + ∑𝑥=1 + 𝑓𝑜 ] 𝑛 𝐾 dimana : U Lx K fi fo
= = = = =
Koefisien konveksi (W/m2 K) Jarak titik suhu (m) Konduktivitas termal (W/mK) Koefisien konveksi permukaan dalam Koefisien konveksi permukaan luar
fi = 5.7 + 3.8 V dimana : fi V
(2)
(3) = =
Koefisien konveksi permukaan dalam Kecepatan angin (m/detik) 0.31
1.14 ΔT fo = 1-0.0018 (̅ T-10) 0.07 L
dimana : fo ₸ ΔT L
= = = =
(4)
Koefisien konveksi permukaan luar Suhu rata-rata material (K) Gradien suhu (K) Tebal material (m)
Konduktivitas termal yang digunakan sesuai dengan materialnya. Konduktivitas termal kerikil, ijuk, tanah dan udara berturut-turut sebesar 0.27 W/mK, 0.04 W/mK, 0.41 W/mK dan 0.024 W/mK. Selain itu digunakan konduktivitas termal beton sebesar 1.40 W/mK (ASHRAE 1967 dalam Dyanna Becker dan Daisy Wang 2011). Kemudian panas yang hilang dapat diketahui dengan membandingkan fluks panas atap hijau dengan atap beton. Heatloss =
q kontrol -q atap hijau q kontrol
x 100 %
(5)
HASIL DAN PEMBAHASAN Data Hasil Pengukuran di Lingkungan Sekitar PITP Suhu dan kelembaban setiap lingkungan akan berbeda-beda yang dipengaruhi oleh morfologi lingkungan itu sendiri. Data kondisi umum di sekitar lingkunga n PITP (Pusat Informasi Teknologi Pertanian) didapat dari stasiun cuaca Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB. Data yang digunakan dimulai dari tanggal 23 April sampai dengan 10 Juni 2014. Lokasi stasiun cuaca memiliki vegetasi dengan rerumputan yang lebat dan letak pohon yang mengelilingi stasiun tersebut.
6
Gambar 2 Grafik distribusi suhu udara dan kelembaban udara selama pengukuran Suhu maksimum terjadi pada tanggal 25 April 2014 pukul 15.00 WIB sebesar 34.6 °C. Sedangkan suhu minimum terjadi pada tanggal 23 Mei 2014 pukul 07.00 WIB sebsar 22.4°C. Pada kelembaban, interval nilai dari 51% sampai dengan 98%. Pada grafik, suhu udara berbanding terbalik dengan kelembaban. Peningkatan suhu disebabkan oleh pancaran radiasi matahari yang besar. Panas radiasi menyebabkan terjadinya penguapan air. Kadar uap air dalam udara akan menguap dengan cepat. Hal itu menyebabkan kelembaban rendah saat suhu tinggi.
Gambar 3 Data radiasi harian total di lingkungan sekitar PITP,IPB Pada gambar, radiasi maksimum terjadi pada tanggal 23 April 2014 sebesar 182.05 MJ/m2 dan radiasi minimum sebesar 25 Mei 2014 sebesar 78.16 MJ/m2 . Radiasi matahari ini akan mempengaruhi proses keseimbangan panas di dalam atap hijau dan atap beton. Data radiasi total harian maksimum dan minimum dibuat dalam bentuk diurnal harian agar terlihat fluktuatif dalam satu hari.
Gambar 4 Grafik hubungan waktu dan radiasi harian selama pengukuran Pada gambar 5, Suhu pada siang hari lebih tinggi dari pada pada malam dan pagi hari. Hal itu disebabkan karena terdapat sinar matahari yang menyebabkan
7 peningkatan suhu khususnya pada pukul 14.00 (Gambar 4). Pada pukul 12.00 waktu setempat, matahari berada tegak lurus dengan atap menyebabkan peningkata n beban panas. Panas di atmosfer akan melaju ke permukaan bumi sehingga sekitar pukul 14.00 terjadi peningkatan suhu maksimum.
Gambar 5 Grafik suhu dan kelembaban diurnal harian selama 24 jam di lingkungan sekitar PITP,IPB
Kalibrasi Sensor Kalibrasi sensor perlu dilakukan untuk mengetahui perbandingan antara alat yang akan digunakan dengan alat yang sudah distandarisasi. Sensor termokope l yang digunakan sebanyak sepuluh sensor kemudian dibandingkan dengan termometer standar. Kemudian grafik dibuat untuk melihat persamaan garis. Sumbu y berupa suhu di termometer standar dan sumbu x yaitu suhu di sensor yang muncul pada midi logger.
Gambar 6 Grafik hubungan sensor termokopel dengan termometer standar Persamaan Persamaan garis Persamaan garis Persamaan garis
garis yang dihasilkan pada sensor 1 adalah y = 1.0148x-0.6031. yang dihasilkan pada sensor 2 adalah y = 1.0143x-0.585. yang dihasilkan pada sensor 3 adalah y = 1.0209x-0.8274. yang dihasilkan pada sensor 4 adalah y = 1.0165x-0.664.
8 Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 5 adalah y = 1.0133x-0.60207. Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 6 adalah y = 1.0209x-0.778. Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 7 adalah y = 1.033x-1.2695. Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 8 adalah y = 1.0297x-1.1073. Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 9 adalah y = 1.0128x-0.7167. Persamaan garis yang dihasilkan pada sensor 10 adalah y = 1.0299x-1.181. Kemudian persamaan digunakan untuk data suhu sensor sehingga sesuai dengan standar. Sensor kelembaban tanah menggunakan sensor VH400 yang harus dikalibrasi. Kalibrasi sensor kelembaban membandingkan dengan kadar air tanah (basis volume). Tanah yang digunakan pada awalnya tanah kering atau kadar airnya rendah sampai tanah jenuh. Sensor dimasukkan ke dalam tanah setiap kali penambahan air. Grafik dibuat sehingga muncul persamaan y = 0.1201x-21.639 dengan sumbu x adalah kadar air dan sumbu y adalah nilai yang terbaca oleh sensor VH400. Persamaan digunakan untuk data kelembaban tanah.
Gambar 7 Grafik hubungan kadar air tanah dan nilai yang terbaca oleh sensor VH400
Data Hasil Pengukuran Suhu Suhu yang dihasilkan di atap hijau dan atap beton menunjukkan lebih besar dari pada suhu lingkungannya (suhu yang terukur di stasiun cuaca). Hal itu disebabkan keadaan atap PITP yang menggunakan material beton dan tidak adanya vegetasi di sekitar titik pengukuran. Pada grafik terdapat data yang kosong sekitar tanggal 13 Mei-18 Mei 2014. Data yang kosong disebabkan karena tidak dilakukan pengukuran. Adanya permasalah pada tanggal 13 Mei yaitu berupa ganggua n eksternal sehingga perlu dilakukan perbaikan. Perbaikan selama enam hari agar pengukuran dapat dilakukan kembali.
9
Gambar 8 Grafik distribusi nilai suhu di atas green roof selama pengukuran Di antara titik -33 cm dan titik -28 cm berupa material kerikil. Di antara titik -28 cm dan titik -20 cm berupa material ijuk. Di antara titik -20 cm sampai titik 0 cm berupa material tanah. Di antara titik 0 cm dan 67 cm berupa udara bebas. Pada green roof, interval suhu pada titik -33 cm sebesar 20-28.9°C. Interval suhu pada titik -28 cm sebesar 20.3-29.9°C. Interval suhu pada titik -20 cm sebesar 21.530.9°C. Interval suhu pada titik -10 cm sebesar 22.2-31.8°C. Interval suhu pada titik 0 cm atau permukaan tanah sebesar 24.7-32.8°C. Interval suhu pada titik 20 cm sebesar 24-33.9°C. Interval suhu pada titik 67 cm sebesar 22-34.9°C.
Gambar 9 Grafik suhu diurnal harian selama 24 jam di green roof pada saat radiasi maksimum Grafik suhu diurnal dibuat selama 24 jam pada saat radiasi maksimum. Grafik diurnal dibuat untuk melihat fluktuasi suhu yang terjadi dalam satu hari. Pada grafik dapat dilihat bahwa di siang hari, suhu udara lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di kerikil, ijuk dan tanah. Hal itu menunjukkan adanya penyerapan panas oleh green roof. Penyerapan panas material dipengaruhi oleh kapasitas panas. Kapasitas panas yang menentukan jumlah energi yang diserap atau dilepaskan, atau perubahan entalpi dalam tubuh sebelum suhunya berubah (Gunn D.A. 2005). Kapasitas panas setiap material berbeda-beda. Kapasitas panas material kerikil, ijuk dan tanah lebih besar dibandingkan kapasitas panas udara. Pada malam dan pagi hari, suhu udara lebih rendah dibandingkan dengan suhu kerikil, ijuk dan tanah. Hal itu menunjukkan adanya pelepasan panas oleh ketiga material. Panas yang diterima pada siang hari akan dilepaskan pada malam hari. Hal itu disebabkan panas bergerak dari suhu tinggi ke suhu yang lebih rendah.
10
Gambar 10 Grafik distribusi nilai suhu di atas atap beton selama pengukuran Pada atap beton, interval suhu pada titik -33 cm sebesar 27-40.9°C. Interval suhu pada titik 17 cm sebesar 27-39.9°C. Interval suhu pada titik -33 cm sebesar 27-38.9°C. Data diurnal harian dibuat pada saat radiasi maksimum. Pada Gambar menunjukkan bahwa semakin ke bawah, suhu semakin tinggi. Suhu di permukaan beton lebih tinggi dari pada suhu di titik 50 cm dan 100 cm di atas permukaan beton. Hal itu disebabkan beton memiliki porositas yang kecil. Kapasitas panas berbanding lurus dengan porositas material. Pemantulan panas di beton lebih besar disebabkan kapasitas panas beton yang kecil.
Gambar 11 Grafik suhu diurnal harian selama 24 jam di atap beton pada saat radiasi maksimum Setiap waktu, suhu material akan berfluktuatif yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti suhu lingkungannya. Pada Gambar 10, grafik terjadi penurunan suhu pada selang tanggal 9-12 Mei, 27-29 Mei, 1-4 Juni dan 5-6 Juni 2014. Penurunan suhu pada atap beton disebabkan karena suhu lingkungan semakin menurun. Tetapi berbeda pada tanggal 27-29 Mei dan 5-6 Juni. Pada grafik, suhu mengala mi penurunan tetapi suhu lingkungan mengalami peningkatan. Hal itu disebabkan oleh radiasi matahari yang mengalami peningkatan (Gambar 12).
Gambar 12 Grafik distribusi suhu udara dan radiasi matahari selama pengukuran
11 Perpindahan Panas di Tanah Tanah adalah material berpori yang terbuat dari partikel padat, air dan udara. Aliran panas dalam tanah akan berbeda-beda. Hal itu disebabkan oleh ukuran partikel tanah, kadar air tanah, kerapatan tanah, komposisi mineral dan suhu tanah. Pada green roof, suhu dan konduktivitas termal adalah dua variabel untuk menghitung perpindahan panas (Paulo Cesar T.V., et al 2012). Tingkat perpindahan panas melalui bahan diatur oleh konduktivitas termal. Semakin tinggi konduktivitas termal maka semakin besar perpindahan panasnya. Umumnya bahan dengan massa termal yang tinggi akan memilik i konduktivitas termal yang tinggi. Jika terdapat lapisan tanah dan vegetasi di atap dapat mempengaruhi konduktivitas termal seluruh atap. Nakshabandi, 1964 dalam Dyanna Becker dan Daisy Wang, 2011 menyebutkan bahwa perpindahan panas lebih baik melalui air dan udara. Ketika kandungan air tanah meningkat maka konduktivitas termal akan cepat meningkat. Jika kadar air mencapai kapasitas maksimum maka konduktivitas termal akan melambat. Hal itu karena tambahan air tidak akan memberikan konstribusi lebih dalam perpidahan panas melalui padatan.
Gambar 13 Grafik distribusi kelembaban tanah dan curah hujan selama pengukuran Suhu tanah yang tinggi berbanding terbalik dengan kelembaban tanah. Salah satu yang mempengaruhi kelembaban tanah adalah curah hujan. Pada grafik dapat dilihat bahwa terjadi fluktuatif dengan curah hujan maksimum sebesar 16.4 mm pada tanggal 26 April 2014 pukul 17.00 WIB. Pada saat itu, kelembaban tanah masih rendah yaitu sekitar 64%. Tetapi selanjutnya kelembaban tanah meningkat yaitu menjadi 82%. Hal itu disebabkan karena terdapat proses pergerakan dan penyerapan air oleh tanah. Air hujan yang diterima tanah akan berkumpul di permukaan tanah. Gaya gravitasi membuat adanya infiltrasi dan perkolasi. Infiltrasi adalah proses masuknya air ke dalam tanah. Sedangkan perkolasi adalah kelanjutan dari infiltras i yaitu masuknya air ke tanah yang lebih dalam. Proses itu memerlukan waktu sehingga adanya curah hujan tidak membuat tanah menjadi lembab secara langsung. Pada tanggal 5-8 Mei 2014 dan 4-7 Mei 2014 terjadi penurunan kelembaban tanah yang disebabkan oleh radiasi matarahari. Radiasi matahari dapat menyebabkan evaporasi pada tanah. Evaporasi adalah proses penguapan dimana air dalam bentuk cair dikonversi menjadi uap air (vaporazion) dan dipindahkan dari permukaan penguapan (vapour removal). Gaya penggerak untuk memindahkan uap air dari permukaan penguapan adalah perbedaan tekanan. Tekanan permukaan
12 berbeda dengan tekanan udara atmosfir. Hal itu menyebabkan air yang ada di permukaan bumi akan menjadi uap air di udara.
Gambar 14 Grafik distribusi radiasi matahari dan kelembaban tanah selama Pengukuran
Gradien Suhu Gradien suhu adalah perubahan suhu terhadap kedalaman atau ketinggia n yang dapat memberitahu pergerakan suhu secara vertikal yang biasanya digambar sebagai grafik dalam sistem koordinat dimana sumbu Y adalah ketinggian dan sumbu X adalah suhu. Radiasi maksimum menyebabkan suhu pada setiap material menjadi tinggi. Pada satu hari, suhu akan berfluktuatif dengan suhu maksimum terjadi pada siang hari dan suhu minimum terjadi pada pagi dan malam hari. Pada siang hari, suhu berada di sekitar 29-34°C untuk kedua jenis atap. Pada pagi dan malam hari, suhu berada di sekitar 26-31°C.
Gambar 15 Grafik gradien suhu saat radiasi maksimum (a) pagi 10.00 WIB, (b) siang 14.00 WIB dan (c) malam 18.00 WIB Saat radiasi minimum, suhu material yang diterima lebih kecil dari pada hari lainnya. Saat siang hari, suhu yang diterima atap hijau dan atap beton sekitar 2731°C. Pada malam dan pagi hari, suhu yang dihasilkan lebih rendah dari siang hari sekitar 26-29°C. Suhu yang rendah pada malam dan pagi hari disebabkan tidak adanya radiasi matahari atau sumber panas lainnya.
13
Gambar 16 Grafik gradien suhu saat radiasi minimum (a) pagi 10.00 WIB, (b) siang 14.00 WIB dan (c) malam 18.00 WIB Gambar suhu harian memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan suhu pada atap hijau (garis biru). Semakin ke dalam suhu yang dihasilkan semakin rendah. Hal itu menunjukkan adanya penyerapan panas oleh material dalam hal ini kerikil, ijuk dan tanah. Adanya penyerapan panas akan membuat gradien suhu bernilai negatif. Sedangkan pada atap beton, suhu ke permukaan semakin meningkat. Hal itu akan menyebabkan gradien suhu bernilai positif. Adanya perbedaan gradien suhu di atas atap akan mempengaruhi suhu di bawah atap atau di dalam ruangan. Pada atap beton, suhu di dalam ruangan akan lebih panas dari pada suhu di luar ruangan. Hal itu disebabkan karena beton mudah meneruskan panas. Selain itu pada atap beton tidak adanya penyerapan dan penyimpanan panas. Menurut Mangun Wijaya Y.B 1994 dalam Yuniati 2013 secara umum suhu ruangan yang ideal ialah antara 20°C-25°C dan kelembaban 40%-50%. Penggunaan green roof diterapkan sehingga suhu di ruangan menjadi lebih rendah dengan pengurangan suhu sekitar 3-5°C jika dibandingkan dengan atap beton.
Laju Perpindahan Panas Perpindahan panas (heat transfer) adalah perpindahan energi karena adanya perbedaan temperatur (gradien suhu). Ada tiga bentuk mekanisme perpindahan panas yang diketahui, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Konduksi merupakan perpindahan panas dari tempat yang bertemperatur tinggi ke tempat yang bertemperatur rendah di dalam medium yang bersinggungan langsung. Konveksi adalah perpindahan panas yang terjadi antara permukaan padat dengan fluida yang mengalir di sekitarnya dengan menggunakan media penghantar berupa fluida (cairan/gas). Radiasi adalah perpindahan panas yang terjadi karena pancaran/ sinaran/radiasi gelombang elektromagnetik tanpa memerlukan media perantara. Pengukuran perpindahan panas dilakukan secara konveksi sehingga persamaan yang digunakan adalah Hukum Newton. Faktor-faktor yang mempengaruhi fluks panas adalah luas penampang material, tebal material, gradien suhu, arah rambatan kecepatan angin dan konduktivitas termal. Konduktivitas termal kerikil, ijuk, tanah, udara dan beton berturut-turut sebesar 0.27 W/mK, 0.04 W/mK, 0.41 W/mK, 0.024 W/mK dan 1.40 W/mK.
14
Gambar 17 Fluks panas di green roof Interval fluks panas untuk kerikil dan ijuk sebesar 324.2-342.0 MJ/m2 jam dan 76.4-80.1 MJ/m2 jam. Sedangkan interval untuk tanah green roof dan udara di atasnya sebesar 395.3-416.8 MJ/m2 jam dan 17.5-18.0 MJ/m2 jam. Fluks panas tertinggi terjadi di media tanah. Hal itu disebabkan tebal lapisan yang mencapai 20 cm dan konduktivitas termal yang paling tinggi di antara kerikil, ijuk dan udara yaitu sebesar 0.41 W/mK. Pada atap hijau, energi panas terjadi pada udara, material yang digunaka n dalam atap hijau dan uap air yang dihasilkan dari penguapan. Keseimbangan energi panas dalam atap hijau atau green roof adalah absorption, reflection dan evapotranspiration. Absorption adalah penyerapan yang dalam hal ini yaitu panas matahari oleh material di permukaan bumi. Reflection adalah pemantulan radiasi matahari oleh material. Evapotranspiration adalah perpaduan antara evaporasi dan tranpirasi yaitu penguapan dari bentuk cair menjadi uap air baik oleh tanah dan tanaman.
Gambar 18 Fluks panas di atap beton Interval fluks panas yang terjadi di atap beton sekitar 957.3-996.6 MJ/m2 jam. Terjadinya fluktuatif pada fluks panas beton disebabkan karena radiasi matahari dan curah hujan yang terjadi. Pada atap beton menghasilkan fluks panas yang lebih tinggi dari pada atap hijau. Hal itu disebabkan gradien suhu atap beton lebih besar dari pada atap hijau sehingga panas yang hilang dapat diketahui. Pada atap beton, keseimbangan energi terjadi pada udara dan materia l. Perbedaan keseimbangan panas antara atap hijau dengan atap hijau adalah tidak adanya proses Evapotranspiration. Hal itu menyebabkan proses pemantulan panas di atap beton lebih besar dari pada di atap hijau. Perbedaan itulah dapat menyebabkan pengurangan panas atau heatloss.
15 Panas yang Hilang Interval perpindahan panas di green roof sebesar 807.52 MJ/m2 jam dan di atap beton sebesar 975.47 MJ/m2 jam. Adanya selisih fluks panas antara atap beton dan green roof maka akan terjadi pengurangan panas oleh green roof. Panas yang hilang yang disebabkan dengan adanya green roof sebesar 17.30%. Pada atap hijau akan terjadi penyerapan panas sehingga panas yang dihasilkan akan lebih kecil jika dibandingkan atap beton. Hal itu disebabkan oleh kapasitas panas dan konduktivitas termal material. Kapasitas panas volumetrik (volumetric heat capacity) adalah jumlah dari kapasitas panas dalam hal ini komponen tanah, ijuk dan kerikil. Kapasitas panas material sesuai dengan porositas material. Semakin banyak porositas pada material maka kapasitas panas akan lebih besar. Hal itu disebabkan karena perpindahan panas lebih baik melalui air dan udara. Tanah, ijuk dan kerikil memiliki porositas yang tinggi sehingga terjadi penyerapan panas. Hal itu berbanding terbalik dengan beton yang memiliki kepadatan material yang sangat kuat.
Gambar 19 Fluks panas di green roof dan atap beton Konduktivitas termal (thermal conductivity) adalah jumlah panas yang ditransmisikan melalui ketebalan unit dalam arah yang normal ke permukaan dari satuan luas (Gaylon S.Campbell dan John M.Norman 1998). Konduktivitas termal sesuai dengan jenis materialnya. Jika porositas material semakin rendah maka konduktivitas termalnya semakin tinggi. Beton memiliki porositas yang rendah sehingga konduktivitas termalnya tinggi mencapai 1.40 W/mK. Konsep penyerapan panas oleh green roof yaitu radiasi matahari yang diterima material akan disimpan oleh material penyusunan lapisan media tanam green roof dalam hal ini adalah tanah, ijuk dan kerikil. Perpindahan suhu akan terjadi dengan meneruskan panas dari lapisan media tanam paling atas sampai dengan lapisan yang paling bawah dalam hal ini tanah sampai ke kerikil. Kemudian berlanjut ke dalam suhu di dalam ruangan sehingga suhu di ruangan akan lebih rendah dibandingkan dengan suhu dalam ruangan atap beton. Penyimpanan panas akan terjadi pada material sesuai dengan kapasitas panasnya masing- masing. Panas akan dilepaskan pada malam dan pagi hari karena panas bergerak dari suhu tinggi ke suhu rendah. Penyimpanan panas oleh green roof akan menyebabkan pengurangan panas jika dibandingkan dengan atap konvensional dalam hal ini adalah atap beton.
16
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Gradien suhu pada green roof semakin ke bawah maka suhu semakin turun. Hal itu disebabkan adanya penyerapan panas. Sedangkan pada atap beton suhu semakin meningkat jika mendekati permukaan beton. Peningkatan suhu disebabkan adanya pantulan dari material dalam hal ini beton ke udara. Rata-rata perpindahan panas di green roof sebesar 807.52 MJ/m2 jam dan di atap beton sebesar 975.47 MJ/m2 jam. Pada atap beton menghasilkan fluks panas yang lebih tinggi dari pada atap hijau. Sehingga panas yang hilang yang disebabkan dengan adanya green roof sebesar 17.30%.
Saran Penelitian dari awal harus memperhitungkan gangguan eksternal seperti adanya hewan yang dapat mengganggu pengukuran. Hal itu akan mengura ngi kesalahan sehingga tidak ada data yang kosong. Selain itu pengamatan perlu dilakukan setiap hari baik pagi, siang dan malam agar saat langsung diperbaiki jika tidak sesuai dengan standar.
DAFTAR PUSTAKA American Society of Heating, Refrigerating and Air-Condition Engineers, Inc. 1967. Handbook of Fundamentals. New York, NY: ASHRAE. Anwar, Nadjadji dkk. 2012. Penentuan Nilai Konduktivitas Hidrolik Tanah Tidak Jenuh Menggunakan Uji Resistivitas di Laboratorium. Jurnal Teknik Pengairan , Volume 3, Nomor 1, Mei 2012, Hlm 81–86. Jurusan Teknik Sipil, FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. BCIT Green Roof Research Facility. 2003. Centre for the Advancement of Green Roof Technology. Vancouver,B.C., Canada. Becker Dyanna dan Wang Daisy. 2011. Green Roof Heat Transfer and Thermal Performance Analysis. Civil and Environmental Engineering. Carnegie Mellon University. BIG (Badan Informasi Geospasial). 2013. Ruang Terbuka Hijau Yang Semakin Terpinggirkan. Caesar, Paulo T.V., et al. 2012. Validation of Predictive Heat and Mass Transfer Green Roof Model With Extensive Green Roof Field Data. Ecologica l Engineering. The Pennsylvania State University. United States Campbell, Gaylon S. Dan Norman, John M. 1998. An Introduction to Environmental Biophysics. Second Edition. Springer-Verlag New York, Inc. D.A. De Vries. 1952. The Thermal Conductivity of Soil. Meded. Landbouwhogesc h, Wageningen.
17 D.A. Gunn, L.D. Jones, M.G. Raines, D.C. Entwisle, and P.R.N. Hobbs.2005. Laboratory Measurement and Correction of Thermal Properties for Application to The Rock Mass. Geotech. Geol. Eng., 23, 773-791. Komar, Nur dkk. 2001. Teknik Penyimpanan Bawang Merah Pasca Panen di Jawa Timur. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 2, No. 2, Agustus 2001: 79-95. Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universita s Brawijaya. Mangunwijaya YB dalam Yuniati. 2013. Analisis Perbandingan Kenyamanan Termal Gedung Kuliah B1, FEM – IPB dengan Menggunakan Atap Beton dan Green Roof (Tanaman Hias). Departemen Teknik Sipil dan Lingk unga n. IPB. Bogor. Ma’sum, Zuhdi dkk. 2012. Analisis Perpindahan Panas Dengan Konveksi Bebas dan Radiasi Pada Penukar Panas Jenis Pipa dan Kawat. Jurnal Teknik Kimia Vol.7, No.1, September 2012. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Univeritas Tribhuwana Tunggadewi, Malang. Nababan, Binsar dkk. 2006. Analisis Eksergi Penyimpanan Panas Untuk Sistem Berenergi Surya. Bagian Energi Dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Intsitut Pertanian Bogor. Nakshabandi, G. and Kohnke, H., 1964. Thermal Conductivity and Diffusivity of Soils as Related to Moisture Tension and Other Physical Properties. Agricultural Meteorology 2 (1965), pp. 271-279. Prasetyo, Eko. 2004. Perancangan penyimpan Panas Pada Pengering Tembakau dengan Memanfaatkan Tenaga Surya. Teknik Fisika FTI-ITS. P.J. Wierenga, D.R. Nielsen, and R.M. Hagan. 1969. Thermal properties of soil based upon field and laboratory measurements. Soil Science Society of America Proceedings, 33, 354-360. Rosenzweig C, Soelcki WD, Parshall L, Lynn B, Cox J, Goldberg R, et al. 2009. Integrating Stakeholder Perspectives and Scientific Evaluation. Bulletin American Meteorological Society.1297–311. Stewart, Curtis. 2005. Thinking Above the Box: Green Roof History and Systems. Department of Plant Sciences. The University of Tennessee. Sucipta, Made. 2011. Analisa Performansi Destilasi Air Laut Tenaga Surya Menggunakan Penyerap Radiasi Surya Tipe Bergelombang Berbahan Dasar Beton. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Vol. 5 No.1. April 2011 (7-13). Jurusan Teknik Mesin,Fakultas Teknik Universitas Udayana. Sysoev, Victor V Et All. 2014. Temperature Gradient Effect On Gas Discrimination Power Of A Metal-Oxide Thin-Film Sensor Microarray. Departmen Fisika, Saratov State Technical University, Polytechnichesk a ya 77, Saratov 410054, Russia.
18 Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
19 Lampiran 2 Detail tahapan penelitian
20
21
22
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 10 Desember 1992 dari ayah Achmad Sutedjo dan ibu Lilis Darwati. Penulis adalah putri ketiga dari empat bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Garut dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkulihan, penulis menjadi asisten praktikum Polusi Tanah dan Air Tanah pada tahun ajaran 2012/2013 dan 2013/2014, asisten praktikum Analisis Struktur pada tahun ajaran 2012/2013, asisten praktikum Teknik Kontrol Lingkungan pada tahun ajaran 2013/2014 dan asisten praktikum Teknik Lingkungan Biofisik pada tahun ajaran 2013/2014. Bulan Juni-Agustus 2013, penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT.Indonesia Power UBP Kamojang dengan judul Mempelajari Dampak Lingkungan Pengelolaan Listrik Tenaga Panas Bumi. Penulis pernah aktif sebagai anggota Akustik Club di Asrama TPB IPB pada tahun 2010/2011, staf Kependidikan Himpunan Mahasiswa Garut 2011/2012, staf Departemen Mitra Desa BEM FATETA 2011/2012 dan Sekretaris Umum 1 HIMATESIL 2012/2013. Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan dan kegiatan seminar, pelatihan dan forum di lingkungan kampus ataupun di nasional.