Analisis Perilaku Geogrid Terhadap Beban Dinamik (Gempa) dengan Metode Finite Element. Studi Kasus: Lereng Cipularang KM 96+900 Ayu Putri Nuradi, Tommy Ilyas Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
[email protected]
Abstrak Geogrid merupakan salah satu perkuatan yang sering digunakan untuk perbaikan lereng karena kemampuannya dalam menahan gaya tarik yang ditimbulkan oleh beban vertikal. Suatu hal yang menarik jika meneliti pula kemampuan geogrid yang dipasang pada lereng dalam menahan beban horizontal, dalam hal ini adalah gempa (beban dinamik). Studi dilakukan pada lereng Cipularang KM 96+900. Penelitian ini membahas mengenai perilaku geogrid dalam menahan beban gempa. Parameter utama untuk menganalisis perilaku geogrid tersebut adalah nilai axial force geogrid akibat pembebanan statik dan dinamik yang disimulasikan menggunakan software Plaxis 2D V8.2. Perilaku geogrid yang diteliti antara lain apakah beban gempa menyebabkan geogrid putus atau tidak, perbedaan nilai axial force geogrid antara pembebanan statik dan pembebanan dinamik, pengaruh beban statik terhadap nilai axial force geogrid saat terjadi pula gempa pada lereng, dan pengaruh kenaikan axial stiffness geogrid terhadap axial force geogrid setelah terjadi gempa.
Analysis of Geogrid Behavior in Dynamic Load (Seismic) by Finite Element Method. Case Study: Slope Cipularang KM 96+900 Abstract Geogrid is one of reinforcement used for slope stabilization due to its ability to restrain tensile force caused by vertical loading. It’s an interesting thing to review also the abililty of geogrid to restrain horizontal force, in this case is earthquake (dynamic loading). This study was performed on Cipularang slope KM 96+900. This study analysed behavior of geogrid in restraining dynamic load. Main parameter to analyse the behavior is axial force of geogrid developed by static loading and dynamic loading using software Plaxis 2D V8.2. The behavior of geogrid which was reviewed whether geogrid would fail or not after dynamic loading, difference in value of axial force of geogrid between static loading and dynamic loading, influence of static load towards axial force in dynamic loading, and influence of increasing axial stiffness towards axial force. Keywords: axial force; axial stiffness; dynamic; Plaxis 2D V8.2; slope
1. Pendahuluan Sebuah lereng memiliki tingkat potensi yang berbeda terhadap kemungkinan terjadinya longsor. Penyebab kelongsoran beragam, seperti kondisi tanah lereng saat terjadi hujan maupun pembebanan, baik pembebaban statis ataupun dinamis. Pembahasan mengenai pembebanan dinamis semakin menarik sehubungan dengan gaya horizontal (beban gempa) pada lereng yang semakin memperbesar potensi lereng untuk mengalami kelongsoran. Indonesia merupakan negara yang terletak pada daerah gempa sehubungan dengan terdapat
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
banyak gunung berapi yang berstatus aktif. Gempa sangat menjadi perhatian khusus terhadap keamanan lereng. Properti tarik (tensile properties) pada geogrid, yaitu modulus tarik/kekakuan aksial (axial stiffness) dan kuat tarik (tensile strength), dapat menahan beban sebelum disalurkan ke lapisan tanah di bagian bawahnya sehingga mencegah terjadinya displacement yang terlalu besar. Jenis beban yang biasa terjadi pada aplikasi penggunaan geogrid untuk bidang geoteknik adalah beban vertikal. Beban vertikal memiliki arah pembebanan yang tegak lurus terhadap penampang melintang geogrid. Beban vertikal tersebut membuat geogrid meregang dan menimbulkan axial force yang dapat mengurangi displacement yang terjadi akibat pembebanan vertikal. Suatu hal yang menarik jika meneliti pula kemampuan geogrid dalam menahan beban horizontal (beban gempa) yang juga dibebankan pada geogrid, selain beban vertikal. Beban gempa menarik geogrid sejajar terhadap penampang melintangnya sehingga akan menghasilkan besar nilai axial force yang berbeda dibandingkan dengan pembebanan statik vertikal. Selain itu, dapat mengetahui seberapa besar kemampuan geogrid dalam menjaga kestabilan lereng setelah terjadi gempa. Karakteristik geogrid yang menjadi tinjauan utama dalam meneliti perilakunya terhadap pembebanan dinamis adalah besar axial force yang terjadi pada geogrid. Pada penelitian ini akan diteliti beberapa hal, antara lain: nilai axial force geogrid sebelum (kondisi statik) dan setelah terjadi gempa (kondisi dinamik), nilai axial force geogrid jika beban statis vertikal diberikan pada puncak lereng di saat lereng juga dibebani oleh gempa, dan nilai axial force geogrid setelah terjadi gempa jika nilai axial stiffness geogrid ditingkatkan.
2. Tinjauan Teoritis 2.1 Model Tanah Mohr Coulomb Model Mohr-Coulomb merupakan pemodelan tanah dengan nilai plastisitas sempurna. Plastisitas berhubungan dengan regangan yang tidak dapat kembali seperti semula. Untuk mengevaluasi apakah plastisitas telah terjadi dalam perhitungan, sebuah fungsi runtuhan (yield function) digunakan sebagai fungsi dari tegangan dan regangan. Sebuah fungsi runtuhan umumnya dapat dinyatakan sebagai suatu bidang dalam ruang tegangan utama.
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Model plastis-sempurna merupakan suatu model konstitutif dengan bidang runtuhan tertentu, yaitu bidang runtuhan yang sepenuhnya didefinisikan oleh parameter model dan tidak dipengaruhi oleh peregangan (plastis). 2.2 Damping Ratio Damping ratio menunjukkan bagaimana osilasi pada sebuah sistem dapat berhenti setelah dikenai gangguan atau seberapa cepat osilasi berhenti dari satu lompatan ke lompatan lain. Nilai damping ratio menunjukkan perilaku sistem yang dikenai gangguan. Damping merupakan efek pengurangan amplitudo osilasi. Efek ini berhubungan lurus dengan kecepatan dan osilasi. 2.3 Kuat Tarik (Tensile Strength) Adalah ketahanan maksimum geogrid terhadap deformasi yang terjadi pada geogrid saat geogrid dikenakan tegangan yang timbul dari gaya eksternal. Bentuk penampang melintang geogrid yang irregular, maka kuat tarik pada geogrid tidak dapat dinyatakan dalam satuan tegangan (kN/m2). Namun, dinyatakan dalam kN/m, yaitu beban maksimum yang mampu ditahan geogrid per satuan panjang penampang dari tepi geogrid. Properti kuat tarik geogrid dapat diketahui melalui uji kuat tarik yang mana spesimen geogrid akan diberikan beban sehingga menghasilkan kurva hubungan antara gaya dan regangan (force-elongation curve).
2.4 Modulus Tarik (Tensile Modulus) Modulus tarik perlu diperhatikan dalam desain sehubungan geogrid harus dapat menahan tegangan tarik. Modulus tarik merupakan slope pada kurva gaya-regangan (loadstrain curve) atau perbandingan antara perubahan gaya tarik per lebar geogrid terhadap perubahan regangan. Slope pada kurva hubungan load per unit width-strain merupakan tangent modulus. Untuk geotekstil yang tidak memiliki daerah linier, maka nilai modulus ditentukan sebagai secant modulus pada regangan spesifik (5% atau 10%).
3. Metode Penelitian 3.1 Kondisi Objek Penelitian Lereng yang menjadi objek penelitian adalah Lereng Cipularang KM 96+900 yang dibentuk untuk membangun jalan tol Cipularang. Geometri eksisting lereng adalah berundak-
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
undak dan tidak akan diubah dalam pemodelan agar dapat membuat perbandingan kondisi antara lereng sebelum menggunakan perkuatan geogrid dan lereng setelah menggunakan perkuatan geogrid.
Gambar 1. Lokasi Penelitian; Lereng Cipularang KM 96+900, Jawa Barat
Lebar dasar lereng 188 meter, tinggi total lereng 50 meter, tinggi lereng bagian timbunan 23 meter, lebar jalan (lebar puncak lereng) 28 meter. Letak Muka Air Tanah (MAT) diasumsikan berada di dasar bedrock. Bagian berwarna hijau merupakan tanah timbunan (jenis tanah lempung-lanau), bagian berwarna merah merupakan tanah lempung lanau, bagian berwarna biru merupakan tanah lempung keras, dan bagian berwarna kuning merupakan bedrock.
3.2 Karakteristik Tanah Data tanah diambil dari hasil boring log berdasarkan data skripsi terdahulu mengenai stabilitas lereng Cipularang. Tabel 1. Ringkasan Properti Fisik dan Mekanik Tanah di Lokasi Penelitian
Parameter
Simbol
LempungLanau (Timbunan)
Material Model Soil unit weight (unsaturated)
Lempung Lempung Bedrock Satuan Lanau Keras
MohrCoulomb
MohrCoulomb
MohrCoulomb
Linier Elastic
-
17
18
18
-
kN/m3
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Parameter
Simbol
LempungLanau (Timbunan)
Lempung Lempung Bedrock Satuan Lanau Keras
Soil unit weight (saturated)
18
19
19
-
kN/m3
Horizontal Permeability
0.001
0.000864
8.64E-05
-
m/day
Vertical Permeability Young’s Modulus Poisson’s Ratio
0.001
0.000864
8.64E-05
-
m/day
20000
30000
30000
7 x 107
kN/m2
0.3
0.3
0.3
0.35
-
Cohession
10
10
15
-
kN/m2
Friction Angle
30
22
27
-
(°)
0
0
0
-
(°)
0 0.0022
0 0.0022
0 0.0022
0 0.0022
-
Rigid
Rigid
Rigid
Rigid
-
Dilatancy Angle
ѱ
Damping Ratio Soil-Geogrid Interaction
Rinter
3.3 Data Teknis Lainnya Penentuan beban dinamik didasarkan pada SNI Gempa 03-1726-2002, Bandung terletak pada wilayah zona gempa 4 dengan percepatan puncak batuan dasar sebesar 0.2 g atau setara dengan percepatan maksimum sebesar 1.96 m/s2. Untuk membuat kurva accelerogram yang akan dijadikan data input pada program Plaxis, digunakan persamaan gelombang harmonik yang diambil dari jurnal berjudul Numerical Analysis of Reinforced Soil Walls with Granular and Cohessive Backfills Under Cyclic Loading oleh Guller et.al: ! ! =
!. ! !!" . ! ! sin 2. !. !. !
dimana: ! = 5.5 , ! = 55 , ζ = 12 adalah koefisien konstan, f adalah frekuensi, dan t adalah waktu pembebanan gempa. Ditetapkan nilai frekuensi sebesar 3 Hz sesuai dengan besaran frekuensi gempa vulkanik, yaitu antara 1-5 Hz.
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Dengan memasukkan kelipatan nilai 0.02 s (6 seconds/300 steps) ke dalam persamaan, maka akan dihasilkan nilai percepatan tertentu sehingga menghasilkan kurva accelerogram
Accelera'on (mg)
sebagai berikut 2.5 2 1.5 1 0.5 0 -‐0.5 0 -‐1 -‐1.5 -‐2 -‐2.5
1
2
3
4
5
6
7
Time (s)
Gambar 2. Gelombang harmonik percepatan gempa 0.2 g
Beban statis terdiri dari beban perkerasan (perkerasan lentur) dan beban ekivalen. Perkerasan lentur terdiri dari lataston, batu pecah, dan sirtu memiliki beban 174.3 kN/m (total beban perkerasan tidak dibagi terhadap lebar jalan). Sedangkan beban ekivalen diasumsikan beban dua buah kendaraan masing-masing seberat 2 ton yang dijadikan beban terbagi merata memiliki beban 4.14 kN/m. Sehingga total beban statis yang diberikan di puncak lereng adalah sebesar 178.44 kN/m. Nilai axial stiffness (EA) didapatkan dengan membagi nilai tensile stregth terhadap strain pada kondisi elastisnya, yaitu pada strain 5%. Hal tersebut sehubungan dengan nilai strain pada kondisi ultimit adalah 13%, sehingga diambil strain di bawah 13% atau strain pada kondisi elastis, yaitu sebesar 5%. Tabel 2. Properti tarik geogrid EA (kN/m)
5
Tensile Strength (kN/m) 21
Biaxial Geogrid
5
28
560
Biaxial Geogrid
5
35
700
Geogrid
Strain (%)
Biaxial Geogrid
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
420
3.4 Pemodelan dengan Plaxis 2D Untuk penelitian terhadap lereng ini, digunakan model plane strain karena objek penelitian adalah lereng sepanjang puluhan kilometer (arah memanjang menembus bidang), sedangkan prinsip model plane strain dalam Plaxis adalah menampilkan gaya hasil perhitungan dalam satuan gaya per unit panjang dengan arah menembus bidang (arah sumbu z). Selain itu digunakan 15 titik nodal dalam satu element atau menggunakan element 15nodes. Boundary condition yang digunakan adalah standard fixities yang secara otomatis menetapkan horizontal fixities pada garis vertikal geometri dan total fixities pada garis horizontal koordinat-y terendah geometri (pada dasar lereng). Untuk mensimulasikan beban dinamik pada lereng, maka perlu menambahkan prescribed displacement (dynamic) pada geometri lereng. Pada penelitian ini, prescribed displacement dynamic diletakkan memanjang dimulai dari koordinat (0;6) sampai (188;6) yang masih terletak pada bedrock. Satuan yang digunakan pada data input kurva accelerogram sudah dalam m/s2, maka nilai prescribed displacement yang dimasukkan adalah bernilai 1.
Gambar 3. Penggambaran objek penelitian
Nilai material damping ditetapkan bernilai 0 untuk Rayleigh aplha dan bernilai 0.0022 untuk Rayleigh betha. Nilai tersebut dipilih untuk dapat menghasilkan nilai damping ratio yang diasumsikan sebesar 5%. Nilai tersebut ditetapkan bernilai sama untuk semua lapisan tanah pada lereng. Damping ratio menunjukkan bagaimana osilasi pada sebuah sistem
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
dapat berhenti setelah dikenai gangguan. Untuk input data gempa sebesar 0.2 g, kurva accelerogram dimasukkan ke dalam Plaxis pada tahap Calculation. Absorbent boundary diletakkan pada sisi kiri, kanan, dan dasar lereng untuk mencegah terjadinya gangguan akibat gelombang gempa yang dipantulkan kembali ke dalam geometri lereng saat gelombang mencapai model boundary. Geogrid dimodelkan elastis sehingga hanya data propertis axial stiffness (EA) saja yang menjadi input data propertis geogrid. Interface tidak digunakan di sisi atas dan sisi bawah geogrid sehubungan dengan pemodelan elastis. Tanah dimodelkan berdasarkan teori Mohr-Coulomb dimana membutuhkan data parameter tanah antara lain: parameter kekakuan tanah (modulus elastisitas E dan poisson’s ratio v), parameter kekuatan tanah (kohesi, sudut geser, dilatansi), dan berat jenis tanah (kondisi dry dan saturated). Material type tanah yang digunakan saat tahap penimbunan adalah drained sedangkan saat dinamik adalah undrained. Proses analisis dinamik yang memakan waktu lama menyebabkan meshing yang dipilih adalah coarse. Proses analisis secara keseluruhan terdiri dari tiga jenis perhitungan, yaitu gravity loading, staged construction, dan dynamic. Sedangkan Phi-C Reduction hanya dilakukan untuk beberapa model saja. Variasi pemodelan yang dilakukan antara lain: Tabel 3. Variasi pemodelan Model
EA (kN/m)
Sv (m)
Keterangan
1
420
1
beban statis 178.44 kN/m
2
560
1
beban statis 178.44 kN/m
3
700
1
beban statis 178.44 kN/m
4
700
1
tanpa beban statis
Sv merupakan jarak spasi vertikal pemasangan geogrid. Keempat pemodelan tersebut dianalisis dengan bantuan program Plaxis 2D melalui tahapan perhitungan: gravity loading, staged construction, dan dynamic.
4. Hasil Penelitian Sebelum melakukan analisis untuk variasi pemodelan, studi awal dilakukan untuk memilih model pemasangan geogrid pada lereng yang akan digunakan untuk penelitian
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
selanjutnya dengan membandingkan nilai safety factor yang didapatkan dari kedua model yang ada sebagai berikut: Model Lereng 1
Model Lereng 2
33,2 10,56
Gambar 4. Bentuk kelongsoran yang terjadi pada Model Lereng 1 dan Model Lereng 2 (perbedaan pemasangan geogrid)
Kedua pemodelan tersebut dianalisis dengan bantuan program Plaxis 2D melalui tahapan perhitungan: gravity loading, staged construction, dynamic, dan phi-c reduction. Hasil nilai safety factor yang didapatkan dari kedua jenis model tersebut adalah sebagai berikut: SF Model Lereng 1
SF Model Lereng 2
33,2
Gambar 5. Nilai safety factor yang dicapai untuk Model Lereng 1 dan Model Lereng 2
Nilai safety factor pada Model Lereng 2 (bergeogrid) lebih besar dibandingkan Model Lereng 1 (bergeogrid) sehingga Model Lereng 2 yang akan digunakan untuk penelitan selanjutnya. Selain berdasarkan faktor nilai safety factor, pemilihan Model Lereng 2 didasarkan pada terdapat bagian geogrid (di slope puncak) yang berada di luar bidang longsor
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
sehingga akan terdapat kemungkinan tahanan geogrid yang cukup rasional dibandingkan jika geogrid diletakkan pada bidang longsor. Penelitian dilanjutkan dengan menganalisis keempat variasi pemodelan dianalisis oleh Plaxis 2D berdasarkan tahapan perhitungan: gravity loading, staged construction, dan dynamic. Selanjutnya akan diteliti pengaruh geogrid dalam menahan gempa yang dapat diketahui dari perbedaan nilai axial force sebelum dan setelah terjadi gempa kemudian dibandingkan terhadap tensile strength geogrid, pengaruh beban statis terhadap axial force dalam kondisi lereng dibebani gempa, pengaruh kenaikan nilai axial stiffness terhadap axial force dalam kondisi lereng dibebani gempa. Berikut adalah penomoran letak geogrid. Misalnya, pada elevasi 1 sampai dengan 4, terdapat sebuah geogrid menerus (geogrid 1 – 4). Sedangkan pada elevasi 5, terdapat dua buah geogrid, yaitu geogrid 5 di sisi kanan lereng dan geogrid 20 di sisi kiri lereng.
Gambar 6. Penomoran geogrid pada slope puncak lereng, sisi kanan lereng, dan sisi kiri lereng
Nilai axial force yang terjadi di tiap geogrid setelah terjadi gempa pada tiap pemodelan masing-masing untuk geogrid di bagian slope puncak, geogrid di sisi kanan lereng, dan geogrid di sisi kiri lereng sebagai berikut: Tabel 4. Nilai axial force geogrid pada slope puncak untuk tiap model Geogrid
Axial Force (kN/m) Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
1
11.68
15.07
18.25
5.38
2
10.38
13.54
16.53
5.46
3
8.55
11.21
13.75
7.43
4
9.45
12.51
15.47
9.01
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Tabel 5. Nilai axial force geogrid pada sisi kanan lereng untuk tiap model
Elevasi
Axial Force (10-3 kN/m)
Geogrid (kanan)
Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
5
5
397.45
534.25
673.47
1830
6
6
327.02
438.89
552.57
1490
7
7
467.05
620.38
773.32
1180
8
8
602.34
793.82
981.5
1210
9
9
506.85
666.78
823.86
1280
10
10
559.23
737.88
913.57
1750
11
11
286.91
372.73
456.97
1660
12
12
322.14
432.60
544.25
610.06
13
13
290.28
389.79
490.93
549.96
14
14
312.53
418.31
525.52
612.80
15
15
346.79
460.35
574.89
651.06
16
16
351.40
469.27
587.34
582.4
17
17
207.08
277.69
349.53
402.37
18
18
156
207.38
258.94
333.53
19
19
182.36
241.97
301.31
451.84
Tabel 6. Nilai axial force geogrid pada sisi kiri lereng untuk tiap model
Elevasi
Axial Force
Geogrid (kiri)
(10-3 kN/m) Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
5
20
449.15
600.01
751.6
2020
6
21
365.51
488.11
611.18
1670
7
22
512.47
678.5
842.29
1280
8
23
700.65
920.33
1130
1280
9
24
611.76
805.23
995.94
1340
10
25
681.44
858.18
1110
1900
11
26
381.95
493.29
601.12
1860
12
27
240.72
323.76
407.67
449.85
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Axial Force
Geogrid
Elevasi
(kiri)
(10-3 kN/m) Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
13
28
190.10
256.23
323.82
389.29
14
29
163.67
218.89
276.42
409.79
15
30
228.01
300.36
371.65
499.16
16
31
275.10
368.71
463.50
507.86
17
32
180.41
242.59
305.59
375.74
18
33
145.23
194.28
243.82
306.38
19
34
167.63
223
278.64
431.72
5. Pembahasan 5.1 Perbandingan Nilai Axial Force Geogrid Sebelum dan Setelah Gempa Pembahasan akan difokuskan pada geogrid 1, 2, 3, 4 di keempat model karena terdapat bagian dari geogrid-geogrid tersebut yang berada di luar bidang longsor. Tabel 7. Perbandingan axial force geogrid sebelum dan setelah gempa (Model 1) Axial Force (kN/m) Geogrid
Selisih
Sebelum
Setelah
Gempa
Gempa
1
4.08
11.68
7.6
2
3.41
10.38
6.97
3
2.86
8.55
5.69
4
2.33
9.45
7.12
(kN/m)
Tensile Strength (kN/m)
21
Tabel 8. Perbandingan axial force geogrid sebelum dan setelah gempa (Model 2) Axial Force (kN/m) Geogrid
Selisih
Sebelum
Setelah
Gempa
Gempa
1
5.3
15.07
9.77
2
4.42
13.54
9.12
(kN/m)
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Tensile Strength (kN/m) 28
Axial Force (kN/m) Geogrid
Selisih
Sebelum
Setelah
Gempa
Gempa
3
3.74
11.21
7.47
4
3.06
12.51
9.45
(kN/m)
Tensile Strength (kN/m)
Tabel 9. Perbandingan axial force geogrid sebelum dan setelah gempa (Model 3) Axial Force (kN/m) Geogrid
Selisih
Sebelum
Setelah
Gempa
Gempa
1
6.53
18.25
11.72
2
5.44
16.53
11.09
3
4.6
13.75
9.15
4
3.78
15.47
11.69
(kN/m)
Tensile Strength (kN/m)
35
Tabel 10. Perbandingan axial force geogrid sebelum dan setelah gempa (Model 4) Axial Force (kN/m) Geogrid
Selisih
Sebelum
Setelah
Gempa
Gempa
1
0.243
5.38
5.137
2
0.400
5.46
5.06
3
0.502
7.43
6.928
4
0.753
9.01
8.257
(kN/m)
Tensile Strength (kN/m)
35
Secara keseluruhan, nilai axial force geogrid setelah terjadi gempa lebih besar daripada nilai axial force geogrid sebelum gempa (akibat pembebanan statis saja). Hal tersebut diakibatkan oleh arah beban gempa yang menarik geogrid langsung searah dengan posisi pemasangan geogrid, yaitu mendatar atau searah dengan penampang potongan geogrid. Sedangkan pada pembebanan statis, geogrid mendapatkan beban statis secara tegak lurus (dari bagian atas geogrid) atau dari arah yang tidak langsung dengan penampang potongan geogrid.
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Kedua kondisi pembebanan tersebut, baik kondisi pembebanan statik (sebelum gempa) maupun dinamik (setelah gempa), menghasilkan nilai axial force geogrid yang masih berada di dalam batas tensile strength geogrid. Dengan kata lain, geogrid tidak putus dalam kedua kondisi pembebanan tersebut (statis dan dinamik).
5.2 Pengaruh Keberadaan Beban Statis terhadap Axial Force Model dan Model 4 saling dibandingkan untuk mengetahui pengaruh beban statis (yang diaktivasi sebelum terjadi gempa) terhadap axial force setelah gempa terjadi. Kedua model tersebut menggunakan geogrid yang memiliki nilai axial stiffness sama, yaitu 700 kN/m. Pembahasan akan difokuskan pada geogrid 1, 2, 3, 4 karena terdapat bagian dari geogrid-geogrid tersebut yang berada di luar bidang longsor. Tabel 11. Perbandingan axial force geogrid Model 3 dan Model 4 Axial Force (kN/m) Model 3
Model 4
Geogrid 1
18.25
5.38
Geogrid 2
16.53
5.46
Geogrid 3
13.75
7.43
Geogrid 4
15.47
9.01
35
35
Tensile Strength (kN/m)
Gambar 7. Perbandingan trend nilai axial force geogrid Model 3 dan Model 4
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Nilai axial force pada lereng yang diberikan beban statis (Model 3) lebih besar (2 – 3 kali lipat lebih besar) dibandingkan dengan nilai axial force pada lereng yang tidak diberikan beban statis (Model 4). Selain itu, nilai maksimum axial force geogrid yang dicapai pada Model 4 (tanpa beban statis) sebesar 9.01 kN/m merupakan nilai paling rendah dibandingkan dengan nilai maksimum axial force geogrid yang dicapai Model 1, 2, 3 (dengan beban statis) berturut-turut sebesar 11.68 kN/m, 15.07 kN/m, dan 18.25 kN/m. Hal tersebut dikarenakan beban statis memberikan beban tambahan pada geogrid selain beban dinamis. Beban statis menyebabkan geogrid tertekan dari arah atas sehingga geogrid meregang dan menimbulkan axial force. Begitu pula beban dinamis yang menarik geogrid secara horizontal (searah dengan arah tarikan geogrid) yang menimbulkan axial force pula. Oleh karena itu, lereng dengan beban statis memiliki axial force yang lebih besar jika dibandingkan dengan lereng yang tidak diberikan beban statis pada bagian puncaknya.
5.3 Pengaruh Peningkatan Axial Stiffness terhadap Axial Force Model 1, 2, 3 saling dibandingkan untuk mengetahui pengaruh kenaikan axial stiffness geogrid terhadap axial force yang terjadi pada geogrid setelah terjadi gempa pada lereng (axial stiffness sebagai variabel bebas). Perbandingan kenaikan dilakukan di setiap geogrid, yaitu geogrid di slope puncak, geogrid di sisi kiri lereng, dan geogrid di sisi kanan lereng.
Gambar 8. Kenaikan trend nilai axial force geogrid pada slope puncak lereng
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Gambar 9. Kenaikan trend nilai axial force geogrid pada sisi kanan lereng
Gambar 10. Kenaikan trend nilai axial force geogrid pada sisi kiri lereng
Terlihat bahwa peningkatan axial stiffness sebanding dengan peningkatan axial force yang terjadi pada geogrid. Perilaku tersebut terjadi di setiap geogrid yang dipasang pada lereng, baik geogrid di slope puncak, geogrid di sisi kiri dan di sisi kanan lereng, sehingga menghasilkan trend kurva yang sama atau dengan kata lain Model 1, Model 2, dan Model 3 memiliki perilaku geogrid yang sama untuk peningkatan nilai axial stiffness. Hal tersebut terjadi karena beban akan semakin besar dipikul oleh material yang lebih kaku. Dalam hal ini beban akan ditransfer ke tanah dan geogrid. Geogrid lebih kaku dibandingkan tanah, maka beban akan lebih besar ditransferkan pada geogrid. Semakin besar
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
beban yang terjadi, maka semakin besar pula beban yang ditransfer ke geogrid, sehingga berakibat pada nilai axial force geogrid yang semakin besar.
5.4 Perbandingan Nilai Axial Force Geogrid antara Kondisi Penelitian dan Kondisi Eksisting Pada penelitian ini, pembebanan sebesar 178.44 kN/m tidak dibagi dengan lebar jalan 28 m. Sedangkan pada kondisi sesungguhnya, jenis perkerasan yang digunakan adalah perkerasan kaku dengan beban sebesar 353.08 kN/m kemudian dibagi lebar jalan 28 m sehingga menghasilkan beban perkerasan sebesar 12.61 kN/m. Sedangkan beban ekivalen tetap sama, yaitu 4.14 kN/m. Total beban statis adalah 16.75 kN/m yang berada di puncak lereng. Oleh karena itu, perlu membandingkan kedua kondisi tersebut. Untuk membandingkannya, digunakan Model Lereng 2. Pembahasan akan difokuskan pada geogrid 1, 2, 3, 4 di keempat model karena terdapat bagian dari geogrid-geogrid tersebut yang berada di luar bidang longsor. Dengan melakukan langkah pemodelan yang sama pada Plaxis 2D, maka didapatkan sebaran nilai axial force geogrid sebagai berikut :
Axial Force (kN/m)
Puncak Lereng 20 15 10 5 0 0
1
2
3
4
5
Geogrid -‐ n eksis1ng
peneli1an
Gambar 11. Perbandingan nilai axial force geogrid (puncak lereng) eksisting dan penelitian
Dibandingkan dengan hasil penelitian, nilai axial force geogrid di slope puncak pada kondisi pembebanan eksisting lebih kecil daripada hasil penelitian. Hal ini disebabkan oleh perbedaan nilai beban statik vertikal yang besar sehingga axial force geogrid pada kondisi eksisting ini lebih kecil. Nilai axial force tiap setiap geogrid masih di bawah nilai tensile strength geogrid, yaitu 35 kN/m sehingga mengindikasikan geogrid tidak putus.
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Sedangkan bentuk kelongsoran antara kondisi eksisting dan kondisi penelitian sama, yaitu berbentuk circular dan terjadi di hampir seluruh bagian timbunan, namun berbeda pada nilai total displacement.
6. Kesimpulan 1.
Dibandingkan Model Lereng 1 (safety factor 1.101), geogrid yang dipasang pada Model Lereng 2 (disertai pengikisan tanah dasar pada bagian slope 1) dapat memberikan nilai safety factor yang lebih besar, yaitu 1.422, karena terdapat bagian geogrid di slope 1 dipasang di luar bidang longsor, namun menggunakan geogrid yang sangat panjang, yaitu 28 – 32 meter.
2.
Secara keseluruhan, nilai axial force geogrid setelah terjadi gempa lebih besar daripada nilai axial force geogrid sebelum gempa. Untuk model 1, 2, 3, pengaruh pembebanan dinamis (setelah gempa) terhadap axial force yang dihasilkan, yaitu 2 – 3 kali lipat lebih besar daripada pengaruh pembebanan statis (sebelum gempa). Sedangkan untuk model 4, pengaruh pembebanan dinamis terhadap axial force sampai 20 kali lipatnya karena tanpa adanya beban statis.
3.
Nilai axial force pada lereng yang diberikan beban statis (Model 1, 2, 3) lebih besar (2 – 3 kali lipat lebih besar) dibandingkan dengan nilai axial force pada lereng yang tidak diberikan beban statis (Model 4).
4.
Peningkatan axial stiffness sebanding dengan peningkatan axial force yang terjadi pada geogrid. Perilaku tersebut terjadi di setiap geogrid. Model 1, Model 2, dan Model 3 memiliki perilaku geogrid yang sama untuk peningkatan nilai axial stiffness.
5.
Geogrid yang dipasang pada lereng Cipularang KM 96+900 ini masih dapat menahan beban statik dan beban gempa, namun dengan ukuran yang panjang pada bagian puncaknya dan menyatu antara sisi kanan dan sisi kiri lereng.
7. Daftar Pustaka American Wood Council. (2007). Beam Design Formulas with Shear and Moment Diagrams. Washington: American Forest and Paper Association, Inc. China. TMP Geosynthetics: Biaxial Geogrid. Delft University of Technology. PLAXIS Version 8 Dynamics Manual.
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013
Delft University of Technology. PLAXIS Version 8 Reference Manual. Delft University of Technology. PLAXIS Version 8 Tutorial Manual. Duncan, J. Michael & Wright, Stephen J. (2005). Soil Strength and Slope Stability. New Jersey: John Wiley & Sons. Erol Guler, Elif Cicek, M. Melih Demirkan. (2011). Numerical analysis of reinforced soil walls with granular and cohesive backfills under cyclic loads. Bull Earthquake Eng, 10, 793-811. Koerner, Robert M. (1993). Designing with Geosyinthetic. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Kumar, Kamalesh. (2008). Basic Geotechnical Earthquake Engineering. New Delhi: New Age (P) Limited. Shukla, Sanjay Kumar & Yin, Jian-Hua. (2006). Fundamentals of Geosynthetic Engineering. London: Taylor and Francis Group. U.S. Department of Transportion: Federal Highway Administration (FHWA). (1998). Geosynthetics Design and Construction Guideline.
Analisis Perilaku ..., Ayu Putri Nuradi, FT UI, 2013