ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP KONVERGENSI PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA
OLEH NISA KARAMI H14080106
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
NISA KARAMI. Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Konvergensi Pendapatan di Pulau Sumatera (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Kesenjangan atau ketimpangan pendapatan di suatu daerah akan menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut dapat berupa peningkatan migrasi dari daerah yang miskin ke daerah yang lebih maju, kriminalitas, dan konflik antar masyarakat. Dalam konteks kenegaraan kesenjangan akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang kemudian akan mengancam keutuhan suatu negara. Maka dari itu, kesenjangan harus diatasi oleh pemerintah dengan mendorong daerah yang miskin untuk mampu mengejar ketertinggalan perekonomiannya terhadap daerah yang sudah kaya. Hal ini dapat disebut sebagai konvergensi pendapatan, yaitu pengejaran pertumbuhan ekonomi oleh daerah miskin terhadap daerah kaya. Salah satu penyebab kesenjangan yang terjadi antardaerah di Indonesia dapat diakibatkan oleh kesenjangan ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur merupakan suatu input dalam proses produksi yang dapat memberikan peningkatan produktivitas marjinal pada output. Infrastruktur yang layak dan tepat dapat membantu mendorong berbagai kegiatan ekonomi melalui fungsinya yang dapat melancarkan proses produksi dan mobilitas manusia, barang, dan jasa. Dengan demikian, infrastruktur berperan sebagai prasyarat dalam meningkatkan perekonomian. Perbedaan ketersediannya antardaerah dapat menciptakan perbedaan kemampuan antardaerah dalam menciptakan pendapatan. Selanjutnya, hal itu akan berdampak pada kesenjangan pendapatan antardaerah. Kepemilikan nilai PDRB riil per kapita dan infrastruktur di berbagai propinsi di Pulau Sumatera pada Tahun 2010 menunjukkan kondisi yang belum merata. Infrastruktur yang diamati adalah jalan, listrik, air bersih, dan kesehatan. Perbedaan tersebut menggambarkan bahwa masing-masing propinsi memiliki perbedaan sarana dan prasarana yang dapat memengaruhi perbedaan kemampuan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Penelitian ini mencoba menganalisis proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera dan mengidentifikasi peran infrastruktur terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kesehatan RI, dan PT. PLN. Data panel yang dikumpulkan berupa data cross section yang terdiri dari sembilan propinsi di Pulau Sumatera yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung serta data time series tahunan periode 2003-2010. Konvergensi sigma dihitung dengan standard deviasi dari logaritma PDRB riil per kapita (Barro dan Sala-i Martin, Bab 11:2004) di Pulau Sumatera dari tahun ke tahun. Analisis konvergensi beta kondisional melibatkan variabel infrastruktur. Persamaan yang digunakan yaitu persamaan pada Krismanti (2011) dengan penyesuaian terhadap penelitian ini. Metode analisis yang digunakan adalah panel dinamis dengan Sys-GMM. Hasil estimasi konvergensi sigma menunjukkan adanya konvergensi pendapatan, dilihat dari penurunan nilai standard deviasi logaritma PDRB riil per
kapita selama periode analisis. Analisis konvergensi beta kondisional menunjukkan bahwa proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera telah terjadi. Hal itu terlihat pada koefisien dari lag PDRB riil per kapita yang kurang dari satu, yaitu sebesar 0,9301 dan signifikan. Konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera memiliki kecepatan 7,24 persen dan waktu untuk mengurangi setengah kesenjangan menuju ke kondisi mapan adalah lebih dari 9 tahun. Infrastruktur yang mendukung terjadinya konvergensi adalah listrik. Pentingnya infrastruktur sebagai pendukung konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera, menunjukkan bahwa pemerintah perlu terus memerhatikan pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan infrastruktur. Hal tersebut utamanya perlu dilakukan di daerah yang berpendapatan rendah, sehingga daerah tersebut diharapkan dapat mengejar ketertinggalannya terhadap daerah yang sudah maju. Penelitian selanjutnya disarankan menganalisis lebih lanjut mengenai pengaruh infrastruktur lainnya terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera yang juga dapat melancarkan arus barang, jasa, manusia, dan informasi. Dengan demikian, estimasi dapat lebih lengkap dan menyeluruh.
ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP KONVERGENSI PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA
Oleh NISA KARAMI H14080106
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Konvergensi Pendapatan di Pulau Sumatera
Nama
: Nisa Karami
NIM
: H14080106
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. NIP. 19630805 198811 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP.19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2012
Nisa Karami H14080106
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nisa Karami lahir pada tanggal 10 Februari 1991 di Kota Jambi, Propinsi Jambi. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Dr. H. Karomani, M.Si dan Hj. Enung Juhartini. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, diawali dari menamatkan pendidikan di TK Pembina Jambi lalu SDN Cimuncang 1 Bandung kemudian MTS Mathla’ul Anwar di Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Selanjutnya penulis menamatkan jenjang pendidikan SMA di SMAN 2 Bandar Lampung. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) sebagai anggota divisi Discussion and Analysis (DnA) pada tahun 2010-2011. Selain itu penulis juga pernah terlibat menjadi panitia berbagai kegiatan kampus baik di tingkat departemen, fakultas maupun KM. Pada bidang akademis, penulis pernah menjadi juara III Kompetisi Ekonomi Islam (KEI) yang diselenggarakan oleh SES-C Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Penulis juga merupakan salah satu anggota tim diskusi terbaik dari Lomba Karya Tulis Indonesia Economic Outlook 2012 pada tahun 2011 di Universitas Indonesia.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala hidayah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Konvergensi Pendapatan di Pulau Sumatera”. Penelitian ini merupakan syarat bagi perolehan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian dan penyempurnaan skripsi ini tidak lepas dari kontribusi berbagai pihak. Maka dari itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai dosen pembimbing yang telah sabar dan ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing dengan memberikan ide, kritik dan saran untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. M. Parulian Hutagaol sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Deni Lubis, M.A sebagai dosen komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam tata cara penulisan skripsi. 4. Kedua orang tua penulis, Dr. H. Karomani, M.Si dan Hj. Enung Juhartini serta adik tersayang Mohammad Thaha Husein Haikal yang telah memberikan kasih sayang, semangat, doa, dan dukungan kepada penulis. 5. Segenap Dosen Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis. 6. Teman-teman satu bimbingan Astary Pradipta dan Aditya Rakhman yang telah saling mendukung dan menjadi teman diskusi pada penyelesaian skripsi ini. 7. Teman-teman Ilmu Ekonomi 45 atas kebersamaan dan dukungannya. Khususnya Retno, Theresia, April, Laelati, Etika, dan Vevi yang juga telah memberikan semangat dan juga menjadi teman bertukar pikiran dan diskusi dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Teman-teman di Villa Taman Sehat yang menjadi teman berbagi dan selalu mendukung melalui kebersamaannya selama ini di Villa Taman Sehat. Akhirnya, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebut satu per satu. Semoga Allah SWT memberikan balasan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang memerlukannya.
Bogor, Juli 2012
Nisa Karami H14080106
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................................iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ v I.
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 5 1.3 Tujuan .................................................................................................... 9 1.4 Manfaat................................................................................................... 9 1.5 Ruang Lingkup ..................................................................................... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 11 2.1 Faktor Penentu Pertumbuhan Ekonomi ................................................. 11 2.2 Konvergensi.......................................................................................... 13 2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ............................................ 15 2.4 Infrastruktur .......................................................................................... 15 2.4.1 Jalan ............................................................................................. 16 2.4.2 Listrik .......................................................................................... 17 2.4.3 Air Bersih .................................................................................... 18 2.4.4 Fasilitas Kesehatan ....................................................................... 19 2.5 Penelitian Terdahulu ............................................................................. 20 2.6 Kerangka Pemikiran.............................................................................. 23 2.7 Hipotesis Penelitian .............................................................................. 27 III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 28 3.1 Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 28 3.2 Analisis Konvergensi ............................................................................ 28 3.3 Metode Analisis .................................................................................... 30 3.3.1 Data Panel .................................................................................... 30 3.3.2 Data Panel Dinamis ...................................................................... 31 3.3.2.1 First-difference GMM (FD-GMM) ................................... 32 3.3.2.2 System GMM (SYS-GMM) .............................................. 35
ii
3.4 Kriteria Model Terbaik ......................................................................... 36 IV GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR ............................................... 37 4.1 Jalan ..................................................................................................... 37 4.2 Listrik ................................................................................................... 39 4.3 Air Bersih ............................................................................................. 42 4.4 Infrastruktur Kesehatan ......................................................................... 44 V. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... 47 5.1 Analisis Konvergensi di Pulau Sumatera ............................................... 47 5.1.1 Konvergensi Sigma ...................................................................... 47 5.1.2 Konvergensi Beta ......................................................................... 49 5.2 Analisis Sumber Pendorong Tingkat Pendapatan .................................. 51 5.3 Implikasi Kebijakan .............................................................................. 60 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 62 6.1 Kesimpulan........................................................................................... 62 6.2 Saran .................................................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 64 LAMPIRAN ...................................................................................................... 67
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDRB ADHK 2000 Pulau Sumatera menurut Propinsi Tahun 2010 ..................................................... 3 2. Panjang Jalan menurut Kewenangan dan Kondisi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (km) ..................................................................................... 38 3. Beberapa Penemuan Konvergensi Sigma Antar Negara atau Wilayah ...... 48 4. Hasil Estimasi Konvergensi Pendapatan di Pulau Sumatera dengan SysGMM serta Perbandingan Koefisien antara Sys-GMM, PLS, dan FE ....... 50 5. Efektivitas Produksi Air Bersih oleh Perusahaan Air Bersih menurut Propinsi Tahun 2003 dan Tahun 2010 (%) ............................................... 55
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDB ADHK 2000 menurut Pulau Tahun 2010 ...................................................................................... 2 2. PDRB per Kapita ADHK 2000 menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (Juta Rupiah) .......................................................................... 5 3. Persentase Jalan Kondisi Rusak dan Rusak Berat menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 ...................................................................... 6 4. Persentase Energi Terjual terhadap Total Pulau Sumatera menurut Satuan PLN/Propinsi Tahun 2010 .................................................................. 7 5. Jumlah Air Bersih yang Disalurkan oleh PDAM menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (ribu m3)........................................................ 8 6. Jumlah Infrastruktur Kesehatan Tahun 2010 menurut Propinsi di Pulau Sumatera ................................................................................................... 9 7. Fungsi Produksi per Kapita ...................................................................... 11 8. Konvergensi Menuju Kondisi Mapan ....................................................... 14 9. Peran Sektor Transportasi dalam Pembangunan Wilayah ......................... 17 10. Kerangka Pemikiran ................................................................................ 26 11. Persentase Panjang Jalan menurut Kondisi di Pulau Sumatera Tahun 2010 ........................................................................................................ 37 12. Kondisi Jalan Baik dan Sedang menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (km) ..................................................................................... 39 13. Jumlah Pelanggan Listrik PLN di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 ....... 40 14. Energi Listrik Terjual di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 (GWh) ......... 40 15. Energi Listrik Terjual menurut Satuan PLN/Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (GWh) .......................................................................... 41 16. Jumlah Pelanggan Air Bersih di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 ......... 42 17. Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Didistribusikan di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 (%) ....................................................................... 43 18. Jumlah Air Didistribusikan menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2008-2010 (ribu m3) .......................................................................... 44 19. Persentase Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Pulau Sumatera Tahun 2010 .............................................................................................. 45 20. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 ....................................................................................... 45 21. Konvergensi Sigma Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 ............................ 47
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Estimasi Konvergensi dengan Sys-GMM ................................................. 68 2. Estimasi Konvergensi dengan PLS ........................................................... 69 3. Estimasi Konvergensi dengan Fixed Effect............................................... 69
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di
suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) karena PDRB merupakan ukuran yang menunjukkan nilai tambah produksi barang dan jasa dalam masyarakat. Daerah yang memiliki sumber-sumber input produksi seperti, tenaga kerja, modal, dan sumberdaya alam yang melimpah akan dapat menciptakan nilai tambah yang besar. Nilai tambah yang tercermin pada nilai PDRB tersebut merupakan pendapatan yang dapat dinikmati oleh masyarakat di suatu daerah. Akan tetapi, setiap daerah tidak memiliki sumber-sumber input produksi, sarana dan prasarana yang sama. Oleh karena itu, kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini selanjutnya akan menimbulkan kesenjangan pendapatan antardaerah. Kesenjangan tersebut dapat terjadi dalam ruang lingkup yang besar seperti antarnegara, ataupun dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu antarpropinsi dalam suatu negara atau antarkabupaten/kota dalam suatu propinsi. Kesenjangan atau ketimpangan pendapatan akan menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut dapat berupa peningkatan migrasi dari daerah yang miskin ke daerah yang lebih maju, kriminalitas, konflik antarmasyarakat, dan dalam konteks kenegaraan, kesenjangan akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang kemudian akan mengancam keutuhan suatu negara. Hal ini tentu akan mengganggu proses produksi dan aktivitas ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, kesenjangan harus diatasi oleh pemerintah. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang miskin atau memiliki pendapatan yang lebih rendah. Dengan demikian, daerah miskin diharapkan mampu mengejar ketertinggalan perekonomiannya terhadap daerah yang sudah kaya. Hal ini dapat disebut sebagai konvergensi pendapatan, yaitu pengejaran pertumbuhan ekonomi
2
oleh daerah miskin terhadap daerah yang kaya, sehingga kesenjangan antardaerah dapat diperkecil dari waktu ke waktu. Kepemilikan
pendapatan
antardaerah
di
Indonesia
masih
belum
menunjukkan kemerataan. Hal ini dapat dilihat pada besaran kontribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dimiliki oleh masing-masing wilayah atau daerah di Indonesia. Kontribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 menurut pulau pada Tahun 2010 menunjukkan bahwa Pulau Jawa merupakan kontributor terbesar dalam pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) ADHK 2000, yaitu sebesar 61 persen. Pulau Sumatera merupakan daerah yang memiliki peran terbesar kedua dalam pembentukan PDB ADHK setelah Pulau Jawa dengan nilai sebesar 21 persen. Sedangkan penjumlahan kontribusi pulau-pulau lainnya memberikan kontribusi sebesar 18 persen.
3% 5% 1%
21%
9%
P.Sumatera P.Jawa
P.Bali P.Kalimantan P.Sulawesi Lainnya 61%
Sumber : BPS, diolah.
Gambar 1. Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDB ADHK 2000 menurut Pulau Tahun 2010 Kontribusi PDRB yang terdapat di Pulau Sumatera tidak merata. Pada Tahun 2010, Propinsi Sumatera Utara yang merupakan pemilik kontribusi PDRB ADHK terbesar, menyumbang PDRB lebih dari 25 persen terhadap total PDRB Pulau Sumatera. Sedangkan Propinsi Bengkulu, Propinsi Kep. Bangka Belitung, dan Propinsi Jambi merupakan daerah yang sumbangan PDRB nya terhadap PDRB ADHK Sumatera paling rendah, yaitu di bawah lima persen. Dengan
3
demikian, pembangunan di wilayah tersebut perlu mendapat perhatian dari pemerintah, agar daerah tersebut mampu meningkatkan perekonomiannya. Lokasi Pulau Sumatera yang dekat dengan Pulau Jawa merupakan peluang bagi masingmasing propinsi di Pulau Sumatera untuk meningkatkan aktivitas ekonominya. Tabel 1. Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDRB ADHK 2000 Pulau Sumatera menurut Propinsi Tahun 2010 Propinsi
Kontribusi PDRB
Nanggroe Aceh Darussalam
7,07%
Sumatera Utara
25,35%
Sumatera Barat
8,30%
Riau
20,87%
Jambi
3,73%
Sumatera Selatan
13,62%
Bengkulu
1,78%
Lampung
8,18%
Kepulauan Bangka Belitung
2,32%
Kepulauan Riau
8,78%
Sumber : BPS, diolah.
Penyebab ketimpangan pendapatan di Indonesia yang dirangkum oleh Tambunan (176-182:2003) diantaranya adalah pertama, konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, suatu daerah yang memiliki konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi akan tumbuh lebih cepat. Hal ini dapat menyebabkan tenaga kerja, modal, dan kegiatan perdagangan pindah ke daerah yang lebih maju. Kedua, alokasi investasi yang terpusat di suatu daerah tertentu. Hal ini menyebabkan tingkat pendapatan per kapita yang rendah di daerah minim investasi. Ketiga, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah. Keempat perbedaan sumber daya antarpropinsi. Kelima, perbedaan demografis antarwilayah, seperti jumlah dan pertumbuhan penduduk, pendidikan, kesehatan, dan disiplin masyarakat serta etos kerja. Keenam, kurang lancarnya kegiatan perdagangan antarpropinsi yang disebabkan oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi.
4
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab kesenjangan yang terjadi antardaerah di Indonesia
adalah kesenjangan
ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur merupakan suatu input dalam proses produksi yang dapat memberikan peningkatan produktivitas marjinal pada output. Infrastruktur yang layak dan tepat dapat membantu mendorong berbagai kegiatan ekonomi. Perbedaan ketersediannya antardaerah bisa menimbulkan perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Infrastruktur yang
berperan penting dalam
proses
pembangunan
diantaranya adalah infrastruktur ekonomi dan sosial. Infrastruktur ekonomi dapat berupa jalan, listrik, air, irigasi, dan komunikasi. Infrastruktur ekonomi dapat menjadi modal yang digunakan oleh tenaga kerja dalam melakukan proses produksi seperti listrik dan air bersih. Konsumsi air bersih oleh rumah tangga juga dapat menjadi sesuatu yang berperan menjaga kesehatan tenaga kerja, sehingga air bersih dapat pula berperan secara tidak langsung terhadap perekonomian melalui peningkatan kesehatan tenaga kerja. Tenaga kerja yang sehat mampu bekerja dengan baik, sehingga mereka diharapkan menjadi lebih produktif. Adapun infrastruktur ekonomi lainnya seperti jalan dan komunikasi dapat menjadi sarana penunjang bagi kelancaran arus kegiatan ekonomi. Infrastruktur sosial dapat meliputi infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Peningkatan pendidikan tenaga kerja mampu meningkatkan keahlian mereka dalam berproduksi. Infrastruktur kesehatan dapat membantu tenaga kerja mengatasi permasalahan kesehatan yang dapat menganggu jalannya kegiatan kerja mereka. Oleh sebab itu, kehadiran infrastruktur tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja. Penyediaan berbagai infrastruktur di atas sangat bermanfaat dalam menciptakan daya tarik investasi bagi tiap daerah. Khususnya bagi daerah yang relatif lebih miskin yang umumnya memiliki sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang masih rendah. Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur perlu direncanakan dengan sebaik mungkin agar mampu meningkatkan perekonomian daerah, terutama daerah miskin, agar kemudian dapat meminimalkan kesenjangan antardaerah. Berbagai jenis infrastruktur di atas dapat dibangun baik oleh pemerintah maupun swasta atau gabungan antara keduanya.
5
1.2
Rumusan Masalah Jumlah penduduk suatu daerah memengaruhi jumlah PDRB yang diterima
per penduduk. Maka dari itu untuk melihat kesenjangan secara lebih jelas, akan digunakan ukuran PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000. PDRB
berdasarkan
harga
konstan
merupakan
pengukuran
yang
telah
menghilangkan efek perbedaan harga, sehingga disebut PDRB riil. Kesenjangan pendapatan antarpropinsi di Pulau Sumatera pada Tahun 2010, secara sepintas dapat dilihat pada perbedaan kepemilikan PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000. Propinsi Kepulauan Riau merupakan daerah dengan nilai PDRB per kapita ADHK 2000 tertinggi, yakni Rp 24.466.510,30. Sedangkan nilai terendah dimiliki oleh Propinsi Bengkulu, yaitu Rp 4.855.877,48. Dapat dilihat bahwa Propinsi Kepulauan Riau merupakan propinsi yang bukan merupakan kontributor PDRB terbesar terhadap PDB, namun memiliki nilai PDRB per kapita ADHK tertinggi. Sementara itu, Sumatera Utara yang merupakan kontributor PDRB tertinggi terhadap PDB memiliki PDRB per kapita yang relatif lebih rendah dari Propinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, ukuran PDRB per kapita ADHK dapat dikatakan lebih baik untuk melihat kesenjangan daripada pengukurannya tanpa membagi dengan jumlah penduduk.
Kep. Riau Kep. Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Nanggroe Aceh Darussalam 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Millions
Sumber : BPS, diolah.
Gambar 2. PDRB per Kapita ADHK 2000 menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (Juta Rupiah)
6
Infrastruktur merupakan modal yang dapat menjadi input produksi ataupun penunjang bagi kelancaran kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat. Perbedaan ketersediaan infrastruktur yaitu jalan, listrik, air bersih, dan kesehatan di berbagai propinsi di Pulau Sumatera menunjukkan bahwa masing-masing propinsi memiliki perbedaan sarana dan prasarana yang dapat membantu meningkatkan produktivitas dan memudahkan akses pelaku ekonomi terhadap sumber kegiatan ekonomi. Daerah dengan akses terhadap infrastruktur yang cukup mempunyai kesempatan melaksanakan kegiatan ekonomi dengan lebih lancar dan memiliki sumber daya manusia yang lebih baik, dan sebaliknya. Hal ini selanjutnya dapat menimbulkan kesenjangan antardaerah dalam menciptakan pendapatan. Pada Tahun 2010, persentase jalan berkondisi rusak dan rusak berat tertinggi terdapat di Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Jambi, dan Propinsi Bengkulu. Propinsi Jambi dan Propinsi Bengkulu termasuk propinsi yang memiliki PDRB per kapita relatif rendah. Sedangkan wilayah yang paling sedikit memiliki persentase jalan kondisi rusak dan rusak berat pada tahun yang sama adalah Propinsi Bangka Belitung. Meskipun propinsi ini PDRB nya berkontribusi kecil terhadap PDB, namun setelah dilihat dalam ukuran PDRB per kapita, wilayah ini memiliki nilai PDRB per kapita yang hampir sama dengan propinsi yang merupakan kontributor PDRB tertinggi di Pulau Sumatera. 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
Sumber : BPS, diolah.
Gambar 3. Persentase Jalan Kondisi Rusak dan Rusak Berat menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010
7
Persentase energi listrik terjual terhadap total energi terjual di Sumatera pada Tahun 2010 ditunjukkan pada Gambar 4. Persentase tertinggi dimiliki oleh Propinsi Sumatera Utara, yakni sebesar 31,41 persen. Adapun propinsi dengan persentase energi listrik terjual terendah adalah Propinsi Jambi, Bengkulu, dan Bangka Belitung. Propinsi Kepulauan Riau juga memiliki persentase yang rendah, akan tetapi nilai itu di luar satuan PLN Batam yang juga merupakan bagian dari Propinsi Kepulauan Riau menurut geografis kepemerintahan. Dengan demikian, Propinsi Kepulauan Riau secara keseluruhan memiliki persentase energi terjual sebesar 8,88 persen. Energi yang terjual baik kepada industri maupun rumah tangga berperan dalam meningkatkan produktivitas. Masyarakat yang memiliki akses terhadap listrik dapat memiliki kesempatan yang lebih banyak dalam melakukan berbagai kegiatan yang produktif dengan lancar, seperti belajar, bekerja, dan kegiatan lainnya. Selain itu, usaha rumahan, layaknya industri, juga membutuhkan akses listrik untuk menunjang aktivitas produksi.
Batam Kep. Riau Kep. Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan
persentase
Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Nanggroe Aceh Darussalam 0%
5%
10% 15% 20% 25% 30% 35%
Sumber : PLN, diolah.
Gambar 4. Persentase Energi Terjual terhadap Total Pulau Sumatera menurut Satuan PLN/Propinsi Tahun 2010 Konsumsi air bersih yang disalurkan oleh PDAM dapat tercermin pada jumlah air bersih yang didistribusikan kepada pelanggan. Konsumsi air bersih diantaranya dapat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan jumlah industri. Penduduk yang memiliki akses terhadap air bersih diharapkan memiliki kesehatan
8
yang baik dan akhirnya dapat menjadi lebih produktif. Sedangkan industri dapat memanfaatkan air bersih sebagai salah satu bahan baku pada proses produksi. Distribusi air bersih yang meningkat akan membantu meningkatkan pendapatan melalui hal tadi. Jumlah air bersih yang didistribusikan oleh PDAM pada Tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah air yang didistribusikan antarpropinsi. Propinsi Bengkulu dan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah yang memiliki jumlah air didistribusikan paling kecil. Sedangkan distribusi air terbesar pada tahun yang sama dimiliki oleh Propinsi Sumatera Utara, yaitu hampir sebesar 200 juta kubik. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah air terdistribusikan di propinsi lainnya. 220000 200000 180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0
Sumber : BPS, diolah.
Gambar 5. Jumlah Air Bersih yang Disalurkan oleh PDAM menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (ribu m3) Selain infrastruktur ekonomi di atas, infrastruktur sosial juga penting untuk diperhatikan. Ketersediaan infrastruktur sosial berupa rumah sakit dan psukesmas sebagai sarana menjaga kesehatan masyarakat adalah hal yang penting. Masyarakat yang sehat diharapkan mampu menjalankan aktivitas dengan lancar dan produktif. Pada Tahun 2010, kepemilikan jumlah rumah sakit dan puskesmas di berbagai propinsi di Pulau Sumatera berbeda antardaerah. Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi yang memiliki jumlah rumah sakit dan puskesmas terbanyak dibandingkan dengan propinsi lainnya.
9
700 600 500 400 300 200 100 0
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, diolah.
Gambar 6. Jumlah Infrastruktur Kesehatan Tahun 2010 menurut Propinsi di Pulau Sumatera Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera? 2. Bagaimana peran infrastruktur dan faktor lainnya terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera?
1.3
Tujuan Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini
adalah : 1. Menganalisis proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera. 2. Mengidentifikasi peran infrastruktur
dan faktor lainnya terhadap
konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera.
1.4
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan
kepada pembaca mengenai proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera. Selain itu, penelitian ini memberikan masukan mengenai jenis infrastruktur yang dapat berpengaruh secara signifikan sebagai pemicu konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera dan sebagai masukan untuk perumusan kebijakan bagi pemerintah.
10
Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para peneliti untuk mengkaji masalah konvergensi dan pengaruh infrastruktur terhadap konvergensi pendapatan di suatu daerah.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian ini membahas mengenai konvergensi yang terjadi di Pulau
Sumatera pada Tahun 2003-2010. Pengamatan meliputi sembilan propinsi di Pulau Sumatera. Propinsi Kepulauan Riau yang mekar pada tengah waktu pengamatan dimasukkan ke dalam propinsi induknya yaitu Propinsi Riau. Hal ini dilakukan untuk menjaga kepastian data. Infrastruktur yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah jalan, air bersih, listrik, dan kesehatan. Periode penelitian dipilih berdasarkan ketersediaan data untuk infrastruktur pada masa otonomi daerah di Pulau Sumatera.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Faktor Penentu Pertumbuhan Ekonomi Teori mengenai pertumbuhan ekonomi akan memberikan gambaran
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Teori ekonomi Neoklasik Solow menjelaskan mengenai pengaruh persediaan modal, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi terhadap ouput.
Fungsi produksi agregat dapat
membantu menggambarkan mengenai hal tersebut. Mula-mula akan dibahas mengenai pertumbuhan ouput yang dipengaruhi oleh modal dan tenaga kerja tanpa memasukkan teknologi. Fungsi produksi agregat dapat ditulis sebagai berikut: Y = F(K,L) ………………………………………………………………….. (2.1) Model pertumbuhan Solow mengasumsikan adanya constant return to scale ketika input dianalisis secara bersamaan. Namun, ketika input dianalisis secara terpisah maka asumsi yang digunakan adalah diminishing return to scale (Todaro dan Smith, 150:2006). Pada mulanya peningkatan modal per tenaga kerja akan meningkatkan output per kapita, akan tetapi ketika penambahan modal terus dilakukan output meningkat lebih rendah (diminishing marginal product of capital). Output per kapita, y y = f(k) y
k
Sumber : Dornbusch, Fischer, dan Startz (62:2008)
Gambar 7. Fungsi Produksi per Kapita
k
12
Fungsi produksi tanpa memasukkan unsur kemajuan teknologi dilakukan untuk penyederhanaan, sehingga tidak dapat dilihat pertumbuhan jangka panjang pada perekonomian secara lebih lengkap. Kemajuan teknologi merupakan variabel eksogen dalam teori ekonomi neoklasik Solow. Untuk melihat hal itu dalam teori pertumbuhan neoklasik Solow, dengan memasukkan kemajuan teknologi, persamaan fungsi agregat dapat ditulis sebagai berikut (Mankiw, 212:2006) : Y = F(K, L x E) ……………………………………………………………… (2.2) E merupakan variabel yang mewakili efisiensi tenaga kerja, yaitu pengetahuan mengenai metode produksi. Pendidikan atau keahlian serta kesehatan tenaga kerja dapat
meningkatkan efisiensi tenaga
kerja.
Kemajuan teknologi dapat
meningkatkan efisiensi tenaga kerja ketika contohnya, teknologi komputer dipakai pada proses produksi dalam bidang manufaktur untuk proses perakitan pada akhir abad dua puluh (Mankiw, 212:2006). Peningkatan jumlah pekerja efektif akibat peningkatan teknologi tersebut mampu meningkatkan output. Akan tetapi peningkatan jumlah pekerja efektif tidak berarti menunjukkan peningkatan input atau tenaga kerja. Jumlah pekerja dapat sama dengan waktu yang lalu, tetapi dengan kemajuan teknologi yang dikuasai tenaga kerja saat ini, ketersediaan tenaga kerja efektif menjadi bertambah. Maka dari itu, dari persamaan di atas dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan output ditentukan oleh modal (K) dan jumlah pekerja efektif (L x E). Efisiensi tenaga kerja sebagai bagian dari modal tidak dijelaskan dalam model dasar Solow, padahal dalam beberapa hal modal manusia serupa dengan modal fisik. Modal manusia mampu memberikan peningkatan kemampuan untuk memproduksi ouput. Modal manusia yaitu berupa ilmu pengetahuan dan keahlian yang dimiliki pekerja dari kegiatan pendidikan seperti on the job training dan pendidikan formal lainnya. Pada model Solow, E merupakan modal manusia yang bergabung dengan variabel tenaga kerja. Sementara yang dimaksud dengan menggunakan modal manusia di atas adalah menganalisis modal manusia dengan terpisah dari variabel tenaga kerja, yaitu sebagai bentuk baru dari modal (K). Dengan demikian, E hanya mencerminkan teknologi dan modal manusia tidak merupakan bagian di dalamnya (Mankiw, 222:2006).
13
Mankiw (222:2006) menyatakan bahwa pada kenyataannya, modal yang ada tidak hanya merupakan jenis modal pada model neoklasik Solow saja, yaitu tabungan. Akan tetapi, jalan raya, jembatan, sistem pembuangan air, pabrik, komputer, dan robot juga merupakan bentuk lain dari modal yang ada di dunia. Oleh sebab itu, pengembangan terhadap fungsi produksi dilakukan oleh para ekonom untuk meneliti faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh dalam proses perekonomian di dunia atau di suatu wilayah.
2.2
Konvergensi Teori ekonomi neoklasik berpendapat bahwa perekonomian akan bergerak
menuju steady state atau kondisi mapan, pergerakan tersebut ditentukan oleh tingkat teknologi, tingkat investasi termasuk modal manusia dan modal fisik, tingkat pertumbuhan penduduk, serta tingkat depresiasi modal manusia dan modal fisik. Pergerakan perekonomian menuju kondisi mapan terjadi saat tingkat teknologi dan tabungan yang dimiliki suatu perkeonomian tinggi dan tingkat pertumbuhan populasi serta depresiasi yang terjadi rendah, dan sebaliknya. Perbedaan tingkat tabungan, tingkat teknologi, tingkat pertumbuhan populasi, serta perbedaan karakteristik lainnya antarnegara atau antardaerah menyebabkan setiap perekonomian tidak memiliki tingkat kondisi mapan yang sama. Peningkatan pendapatan per kapita hanya akan terjadi sebesar tingkat teknologinya ketika suatu perekonomian telah berada pada kondisi mapannya (Valdés, 62-63:2003). Valdés (2003) lebih lanjut memberikan ilustrasi mengenai konvergensi menuju kondisi mapan (Gambar 8). Jika suatu perekonomian berada di bawah kondisi mapannya (jalur C), maka pertumbuhan pendapatan per kapita akan lebih besar dari pada tingkat teknologi. Sedangkan jika perekonomian berada di atas kondisi mapannya (jalur D), maka perekonomian akan bergerak menuju kondisi mapan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita yang lebih kecil dari tingkat teknologinya. Jalur B menunjukkan perekonomian yang telah berada pada kondisi mapan, pada posisi tersebut pertumbuhan ekonomi akan tumbuh sebesar tingkat teknologinya.
14
Sumber : Valdés (63:2003)
Gambar 8. Konvergensi Menuju Kondisi Mapan Terdapat dua kosep konvergensi, yaitu σ convergence dan β convergence. Konsep yang pertama fokus pada dispersi yang dapat diukur dengan misalnya, standard deviasi dari logaritma pendapatan atau produk per kapita antardaerah. Jika nilainya menunjukkan penurunan antarwaktu maka konvergensi pendapatan terjadi. Namun, jika nilainya tidak menunjukkan penurunan maka konvergensi tidak terjadi. Sedangkan konsep yang kedua menyatakan perekonomian miskin mampu mengejar (catch up) perekonomian kaya dalam hal pendapatan atau produk per kapita (Barro dan Sala-i Martin, 462:2004). Konsep β convergence dapat dibedakan menjadi dua, yaitu absolute convergence dan conditional convergence. Konvergensi absolut terjadi ketika pengukuran konvergensi didasarkan pada tingkat pendapatan awal saja. Sedangkan konvergensi kondisional menambahkan beberapa variabel kontrol. Variabel kontrol ini merupakan karakteristik yang menentukan tingkat kondisi mapan masing-masing perekonomian. Dengan demikian konvergensi kondisional menyatakan bahwa perekonomian akan berkonvergen pada kondisi mapan masing-masing yang dipengaruhi oleh berbagai variabel kontrol seperti tingkat tabungan dan pertumbuhan populasi (Barro dan Sala-i Martin, 17:2004).
15
2.3
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB serupa dengan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan
output barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu perekonomian pada suatu negara (nasional), termasuk pendapatan warga negara asing di dalam negeri (Mankiw, 28:2006). Sedangkan PDRB menunjukkan output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian di suatu daerah (regional). Terdapat dua jenis PDRB yaitu, PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menghitung nilai tambah ouput dengan menggunakan harga pada tahun berjalan. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menghitung nilai tambah ouput menggunakan harga tahun dasar tertentu. Maka dari itu, pada PDRB atas dasar harga konstan, pengaruh perbedaan harga antarwaktu telah dihilangkan. Pergeseran dan struktur perekonomian dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga berlaku. Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana kemampuan sumber daya ekonomi suatu daerah untuk menghasilkan output pada tahun tersebut. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat secara keseluruhan atau sektoral (BPS Propinsi Banten, 10-12:2008).
2.4
Infrastruktur Terdapat beragam definisi berkaitan dengan infrastruktur, diantaranya
adalah
definisi infrastruktur dalam The McGraw-Hill Dictionary of Modern
Economics (Greenwald, 297:1973), yakni: “The foundation underlying a nation’s economy (transportation and communications systems, power facilities, and other public services) upon which the degree of economic activity (industry, trade, etc) depends.”
Definisi lainnya untuk infrastruktur pada Kamus Istilah Ekonomi (Rochaety dan Tresnati, 163:2005), yaitu: “Pelayanan kepada masyarakat dalam skala besar seperti air, jalan raya, kereta api, sistem penerbangan, telepon, komunikasi radio, dan lain-lain.”
Salim (48:2000) menyatakan bahwa infrastruktur terdiri dari infrastruktur fisik berupa listrik, air minum, transportasi, dan telekomunikasi, sedangkan infrastruktur sosial terdiri dari pendidikan, latihan, dan kesehatan. Selain itu,
16
Ramelan (5-6:1997) menjelaskan secara lebih rinci, bahwa terdapat dua jenis infrastruktur pembangunan yaitu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi berupa infrastruktur fisik yang digunakan masyarakat ataupun pada proses produksi, seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih
dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan yang
dimaksud dengan infrastruktur sosial adalah kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa infrastruktur fisik termasuk sebagai social overhead
capital,
penambahannya
akan
meningkatkan
produktivitas
perekonomian. Pembangunan berbagai jenis infrastruktur dapat memberikan dampak multiplier terhadap perekonomian. Infrastruktur fisik menjadi komponen modal dalam faktor produksi yang penambahannya dapat menciptakan produktivitas marjinal. Untuk mendukung terjadinya konvergensi diperlukan pembangunan yang berkaitan dengan peningkatan kuantitas maupun kualitas infrastruktur di masing-masing daerah, khususnya di daerah yang lebih miskin agar mampu mengejar ketertinggalannya terhadap daerah kaya.
2.4.1 Jalan Pembangunan infrastruktur transportasi dapat memberikan peningkatan keunggulan daya saing suatu daerah. Sistem transportasi yang efisien akan memecahkan permasalahan distribusi biaya tinggi. Hal tersebut terjadi karena sistem transportasi yang efisien tersebut membuat proses mobilitas barang dan manusia menjadi cepat, aman, dan murah. Selanjutnya, ekspor dapat meningkat dengan adanya biaya komoditi yang murah di pasar internasional. Transportasi yang baik akan menarik investor dan menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan konsumsi masyarakat. Akhirnya pendapatan daerah meningkat dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan daerah dapat meningkat pula. Secara keseluruhan hal tersebut akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang dilihat dari peningkatan PDRB (Bappenas, 2003). Hal tersebut lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 9. Sebagai salah satu infrastruktur transportasi, jalan merupakan sarana transportasi yang digunakan dalam mendukung transportasi jangka pendek dalam
17
suatu pulau atau propinsi. Sejak Otonomi Daerah (Otda) diberlakukan, perencanaan, pemeliharaan, dan pelaksanaan pembangunan jaringan jalan provinsi, kabupaten, kota, dan desa merupakan wewenang pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah saat ini memiliki peran yang lebih besar dalam mengelola infrastruktur daerahnya masing-masing. Daerah yang memiliki infrastruktur jalan yang baik, tentu lebih memiliki kesempatan untuk mengembangkan perekonomian wilayahnya dan sebaliknya. Oleh sebab itu, perbedaan ketersediaan infrastruktur jalan dapat memengaruhi perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan aktivitas ekonominya, selanjutnya hal itu dapat menjadi pendorong kesenjangan perekonomian antardaerah. Sistem Transportasi
Daya Saing Wilayah
Investasi (I)
Ekspor (X)
Lapangan Kerja
Pendapatan Pemerintah
Konsumsi (C)
Pembiayaan Pemerintah (G)
Pembangunan Wilayah PDRB = C+I+G+nX Sumber : Bappenas (123:2003)
Gambar 9. Peran Sektor Transportasi dalam Pembangunan Wilayah
2.4.2 Listrik Selain jalan, energi merupakan hal penting yang dibutuhkan dalam berbagai aktivitas. Kemajuan suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan terhadap energi listrik. Kebutuhan listrik juga meningkat seiring dengan perubahan dunia yang menjadi semakin modern. Berbagai alat rumah tangga dan telekomunikasi saat ini penggunaannya tergantung pada kesediaan listrik. Industri membutuhkan listrik untuk berproduksi,
18
sehingga investasi di bidang industri akan berkaitan dengan jaminan ketersediaan listrik. Beberapa rumah tangga juga menjalankan usaha, sehingga mereka membutuhkan listrik untuk berproduksi. Penduduk yang memiliki akses listrik mampu bekerja dan beraktivitas lebih lama. Kelancaran sistem transportasi pun tidak luput dari kebutuhan terhadap listrik, traffic light akan menjalankan tugasnya berdasarkan ketersediaan listrik yang mengalir. Daerah yang memiliki akses konsumsi listrik yang baik akan memiliki peluang lebih besar dalam menjalankan kegiatan, baik ekonomi maupun non-ekonomi. Daerah tersebut akan memiliki produktivitas yang lebih baik dari pada daerah yang minim akan akses listrik. Ketersediaan listrik yang berkelanjutan sangat dibutuhkan dengan semakin tergantungnya berbagai aktivitas terhadap energi listrik. Pengelolaan listrik dan penyalurannya di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh PT. PLN. Perusahaan milik negara ini bertugas untuk menjamin ketersediaan listrik bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, pelanggan listrik di Indonesia bergantung pada kemampuan PT. PLN dalam menghasilkan dan menyalurkan listrik.
2.4.3 Air Bersih Ketersediaan air bersih merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam perekonomian. Air bersih merupakan barang ekonomi karena penggunaannya membutuhkan kompetisi. Kompetisi tersebut terjadi karena air bersih merupakan sumberdaya yang terbatas dan penting. Oleh karena itu, air merupakan barang yang diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Hal tersebut merupakan beberapa prinsip Dublin yang dikemukakan pada UN Conference on Environment and Development (UNCED) Tahun 1992 di Rio de Janeiro (Bouhia, 8:2001). Pentingnya permasalahan air membuat pemerintah mengeluarkan UU Republik Indonesia No.7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air. Undangundang tersebut menjelaskan mengenai segala hal yang berkaitan dengan penyediaan, pengelolaan, dan pemanfaatan air. Pemerintah menegaskan bahwa sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi. Pada undang-undang tersebut juga tertulis bahwa negara menjamin hak setiap orang
19
untuk mendapatkan air untuk memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif.
Fungsi sosial dari air bersih dapat berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat yang bisa tercermin dari kesehatannya. Penduduk yang sehat mampu bekerja dengan baik dan menghasilkan pendapatan bagi kehidupannya. Daerah dengan akses air bersih yang minim, memiliki kesempatan yang terbatas dalam melakukan salah satu upaya menjaga kesehatan masyarakatnya. Pada sisi ekonomi, air bersih bisa digunakan bagi berbagai industri untuk berproduksi. Akses terhadap air bersih yang berkelanjutan menjadi salah satu dari target Millenium Development Goals 2015 (Todaro dan Smith, 31:2006). Penekanan pentingnya akses air bersih oleh lembaga dunia, yakni United Nations Development Programme (UNDP) bertujuan agar kesenjangan penyediaan kebutuhan dasar bagi kesejahteraan manusia dapat secepatnya dihilangkan. Maka dari itu, pemerintah pusat dan daerah melalui departemen terkait serta pihak lainnya harus mampu menjamin ketersediaan air bersih dan penyalurannya bagi seluruh masyarakat di berbagai daerah, khususnya daerah yang lebih miskin agar masyarakatnya memiliki kesempatan meningkatkan kesehatannya untuk dapat bekerja dengan lebih produktif.
2.4.4 Fasilitas Kesehatan Pembangunan sumber daya manusia dapat berbentuk pembangunan di bidang kesehatan. Masyarakat yang sehat diharapkan dapat bekerja lebih pruduktif, sehingga mampu menghasilkan output atau pendapatan dengan baik. Selain itu, masyarakat yang sehat senantiasa memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Angka harapan hidup merupakan salah satu poin yang digunakan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Investasi pada bidang kesehatan dapat berupa perbaikan dan ataupun penambahan sarana dan prasarana kesehatan. Rumah sakit dan puskesmas merupakan infrastruktur kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat. Pembangunan dan perbaikan kedua infrastruktur tersebut merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan begitu, daerah dengan infrastruktur kesehatan yang
20
cukup diharapkan lebih mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai kepada masyarakatnya.
2.5
Penelitian Terdahulu Konsumsi energi dalam kehidupan, terutama di era modern menjadi
kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Rumah tangga dan industri membutuhkan energi untuk melakukan berbagai aktivitas harian dan ekonomi. Lorde, Waithe, dan Francis (2010) meneliti hubungan antara GDP riil dan konsumsi energi berupa listrik di Barbados. Penelitiannya menunjukkan bahwa konsumsi energi baik oleh residensial maupun oleh kelompok non-residensial (sektor perhotelan, industri, dan bisnis) memberikan pengaruh yang signifikan dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Terdapat hubungan kausalitas bidirectional antara GDP riil dan konsumsi energi total pada jangka panjang. Akan tetapi pada jangka pendek, hanya ada satu hubungan kausalitas yaitu konsumsi energi total memengaruhi GDP riil dan tidak untuk sebaliknya. Setiadi (2006) menganalisis pengaruh pembangunan infrastruktur dasar terhadap pendapatan per kapita di Pulau Sumatera periode 1983-2003. Variabel yang digunakan adalah panjang jalan per luas wilayah propinsi tanpa memerhitungkan kondisi jalan, jumlah telepon tetap per kapita, produksi listrik per kapita, investasi (PMA dan PMDN) per kapita, serta indeks pendidikan penduduk. Hasil analisis menunjukkan bahwa infrastruktur jalan tidak memberikan pengaruh terhadap pendapatan per kapita. Sedangkan investasi non infrastruktur, indeks pendidikan, telepon, dan listrik berpengaruh signifikan pada pendapatan per kapita. Penelitian mengenai pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di Kawasan Barat Indonesia (KBI) periode 1995-2006 dilakukan oleh Prasetyo (2008). Variabel yang digunakan adalah panjang jalan sesuai kondisi baik dan sedang per kapita, energi listrik terjual per kapita, kapasitas air bersih disalurkan per kapita, investasi per kapita, dan dummy otonomi daerah. Hasilnya menunjukkan bahwa infrastruktur listrik dan jalan berpengaruh siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan oleh PDRB ADHK per kapita dan pendapatan per kapita yang dinyatakan oleh PDRB
21
atas dasar harga berlaku per kapita. Sedangkan air tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Penelitian tersebut juga menganalisis ketimpangan di KBI menggunakan Indeks Williamson dan Klassen Typologi. Nilai indeks ketimpangan antarpropinsi di KBI dari Tahun 1995-2007 cukup besar yaitu 0,59-0,73. Nilai tersebut meningkat pada awal masa otonomi daerah dan menurun pada tahun-tahun setelahnya. Pada periode 20002007 tanpa DKI Jakarta, Riau, dan Aceh, hasil tipologi klassen menunjukkan bahwa Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa Barat berada pada kuadran 1, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Bali di kuadran 2, Jambi dan Bengkulu di kuadran 3, dan Lampung, Jawa Tengah, dan D.I. Yogyakarta di kuadran 4. Manasan dan Mercado (1999) meneliti konvergensi pendapatan di Filipina. Hasil estimasi mereka menunjukkan bahwa konvergensi telah terjadi selama 1975-1997. Konvergensi terjadi lebih cepat saat sektor pertanian tumbuh lebih besar dari sektor industri dan sebaliknya. Agarwalla dan Pangotra (2011) menemukan bahwa proses divergensi pendapatan pada Tahun 1980-2006 terjadi di India. Sedangkan jika analisis dibagi menjadi daerah khusus dan non khusus, konvergensi sigma terjadi di daerah khusus dan divergensi terjadi di daerah non khuhus. Analisis konvergensi kondisional dengan metode cross section yang melibatkan tingkat tabungan, pertumbuhan tenaga kerja, dan depresiasi menunjukkan divergensi terjadi di India. Sedangkan jika analisis kembali dipisahkan, maka dapat dilihat konvergensi antardaerah khusus terjadi dan divergensi terjadi antardaerah non-khusus. Adapun analisis panel menunjukkan bahwa konvergensi pendapatan terjadi di India. Krismanti (2011) meneliti ketimpangan di Pulau Jawa menggunakan koefisien variasi Williamson dan konvergensi pendapatan kabupaten/kota di pulau Jawa dengan menggunakan FD-GMM. Selain itu ia juga meneliti faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah, termasuk infrastruktur, di Pulau Jawa. Analisis ketimpangan dengan koefisien variasi Williamson dan konvergensi menggunakan dua jenis variabel dependen yaitu PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Variabel independen yang digunakan untuk meneliti konvergensi adalah investasi dan tenaga kerja.
22
Ketimpangan yang terjadi di Pulau Jawa pada pendekatan PDRB yaitu sebesar 0,94 sampai 0,98. Namun angka tersebut mencerminkan penurunan selama periode pengamatan. Sedangkan hasil estimasi dengan pendekatan kedua menunjukkan nilai koefisien variasi Williamson yang lebih kecil, yaitu antara 0,29 sampai 0,44. Hasil estimasi konvergensi PDRB per kapita kabupaten/kota di Pulau Jawa menunjukkan konvergensi tidak terjadi. Sedangkan hasil estimasi konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga per
kapita
kabupaten/kota di Pulau Jawa menunjukkan bahwa konvergensi terjadi di Pulau Jawa dengan tingkat konvergensi 107,28 persen. Kecepatan yang cukup tinggi tersebut disebabkan karena konvergensi dilihat dari sisi rumah tangga. Analisis faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah kabupaten/kota antarpropinsi di Pulau Jawa juga dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu koefisien variasi Williamson dari PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Adapun variabel independen yang digunakan untuk menganalisis ketimpangan wilayah adalah pengeluaran rutin pemerintah, share pertanian terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000, share manufaktur terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000, share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja, jumlah puskesmas, jumlah energi listrik yang terjual kepada konsumen, volume air bersih yang disalurkan PDAM kepada konsumen, dan panjang jalan yang berkondisi baik dan sedang untuk Tahun 2001-2009. Pada analisis faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah, propinsi DKI Jakarta dikecualikan dari pengamatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa listrik dan air meningkatkan ketimpangan PDRB antarwilayah. Sedangkan dengan pendekatan koefisien variasi Williamson dari pengeluaran rumah tangga, tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas merupakan variabel yang meningkatkan ketimpangan antarwilayah di Pulau Jawa. Infrastruktur merupakan variabel yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah Eropa. Selain itu, infrastruktur juga berpengaruh dalam membentuk proses konvergensi pendapatan (Del Bo, Florio, dan Manzi, 2010). Infrastruktur berupa panjang jalan dan jumlah sambungan telepon seluler, beserta variabel modal manusia dan tenaga kerja, serta stok kapital secara signifikan memengaruhi pertumbuhan regional dan
konvergensi.
23
Konvergensi terjadi dengan kecepatan sekitar 2 persen per tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan variabel yang penting dalam menutup kesenjangan antardaerah di Eropa. Penelitian mengenai infrastruktur dan konvergensi di Indonesia dilakukan oleh Margono (2009), ia menganalisis pengaruh infrastruktur terhadap konvergensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode 1995-2005. Metode yang digunakan adalah fixed effect pada data panel. Adapun variabel yang digunakan berupa investasi (PMA dan PMDN) per kapita, jumlah tenaga kerja tamat SMA dan universitas per kapita, panjang jalan (kondisi baik dan sedang) per kapita, kapasitas air bersih per kapita, kapasitas listrik terpasang per kapita, jumlah sambungan telepon induk per kapita, pertumbuhan jumlah penduduk, dummy otonomi daerah, dan dummy krisis. Hasil analisis α-convergence dan βconvergence menunjukkan adanya konvergensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada analisis conditional convergence, variabel tenaga kerja, infrastruktur telepon, air, dan jalan, serta dummy otonomi daerah (Otda) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dummy krisis dan pertumbuhan penduduk memiliki elatisistas negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel investasi (PMA dan PMDN) serta listrik tidak signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Waktu untuk menutup setengah kesenjangan awal adalah 14 tahun hingga 34 tahun.
2.6
Kerangka Pemikiran Pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang ingin dicapai setiap
daerah. Hal tersebut menunjukkan pembangunan di suatu daerah. PDRB merupakan besaran yang dapat memerlihatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang tercermin dari proses penciptaan nilai tambah. Daerah dengan sumber input produksi yang melimpah dan berkualitas akan memberikan nilai tambah yang besar. Akan tetapi kepemilikan terhadap sumber input produksi, sarana, dan prasarana masing-masing daerah berbeda satu sama lain. Hal itu bisa mengakibatkan
perbedaan
kemampuan
antardaerah
untuk
meningkatkan
pendapatan dan kemudian akan menimbulkan kesenjangan perekonomian
24
antardaerah. Kesenjangan pendapatan antardaerah dapat menimbulkan berbagai masalah kriminalitas, konflik antarmasyarakat, migrasi yang tinggi dari daerah miskin ke daerah yang maju, dan dalam konteks kenegaraan akan menimbulkan kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah berkurang, sehingga akan
mengancam keutuhan suatu negara. Pemerintah dapat melakukan berbagai program untuk mendorong perkonomian daerah yang miskin agar mampu mengejar ketertinggalannya terhadap perekonomian daerah yang maju. Pengejaran perkonomian yang miskin terhadap perekonomian yang sudah maju disebut konvergensi. Konvergensi pendapatan terjadi ketika pertumbuhan ekonomi daerah miskin lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi yang telah maju atau kaya. Pulau Sumatera merupakan wilayah yang memiliki nilai PDRB ADHK tertinggi setelah Pulau Jawa. Akan tetapi nilai PDRB yang besar tersebut tidak terdistribusi merata dalam kepemilikannya. Propinsi yang berkontribusi cukup besar terhadap PDRB ADHK total Pulau Sumatera adalah Propinsi Sumatera Utara. Sementara beberapa propinsi lainnya, yaitu Propinsi Bengkulu, Propinsi Kep. Bangka Belitung, dan Propinsi Jambi merupakan daerah yang sumbangan PDRB ADHK nya terhadap PDRB ADHK total Pulau Sumatera paling rendah. Salah satu penyebab kesenjangan dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana, seperti ketersediaan infrastruktur, baik infrastruktur sosial maupun infrastruktur ekonomi. Infrastruktur yang memadai dan layak dapat menjadi pendorong perekonomian suatu daerah. Selain itu, ketersediaan infrastruktur tersebut akan menarik minat investasi. Perbedaan ketersediaan infrastruktur antardaerah dapat menyebabkan perbedaan kemampuan daerah dalam menciptakan pendapatan, sehingga menimbulkan kesenjangan. Dengan demikian, penyediaan infrastruktur, khususnya di daerah yang miskin, penting untuk dilakukan. Ukuran terhadap kesenjangan pendapatan dilihat pada perbedaan kepemilikan PDRB riil per kapita. Pada Tahun 2010 di Pulau Sumatera, perbedaan PDRB per kapita ADHK antarpropinsi dapat terlihat. Hal ini dapat memicu kekhawatiran terhadap munculnya dampak negatif dari kesenjangan di waktu yang akan datang. Maka dari itu, penelitian ini akan menganalisis proses
25
konvergensi pendapatan yang terjadi di Pulau Sumatera. Selain itu, akan dilihat pula pengaruh infrastruktur jalan, air, listrik, dan kesehatan terhadap proses konvergensi. Dampak infrastruktur terhadap perekonomian dan ketimpangan telah dilakukan pada berbagai penelitian. Hasil yang ditunjukkan sangat beragam. Secara teori, infrastruktur adalah modal yang dapat berpengaruh positif terhadap perekonomian. Ketersediannya yang tidak merata dapat mencerminkan perbedaan akses terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki antardaerah. Hal itu, selanjutnya dapat menciptakan perbedaan kemampuan antardaerah untuk menghasilkan pendapatan di daerahnya. Dengan demikian, ketersediaan infrastruktur di daerah yang miskin diharapkan dapat membantu kelancaran dan peningkatan
perekonomian
daerah
tersebut
dan
kemudian
mengurangi
kesenjangan antarwilayah. Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh infrastruktur serta variabel penjelas lainnya berupa jumlah tenaga kerja terhadap konvergensi pendapatan dan perekonomian di Pulau Sumatera. Infrastruktur tersebut berupa energi listrik yang dilihat dari jumlah energi listrik terjual oleh PLN, jumlah air yang didistribusikan oleh PDAM, panjang jalan berkondisi baik dan sedang baik jalan negara, propinsi, maupun kabupaten/kota, dan jumlah fasilitas kesehatan berupa jumlah rumah sakit serta puskesmas. Analisis konvergensi dilakukan terhadap data panel pada sembilan propinsi di Pulau Sumatera yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung dalam rentang Tahun 2003-2010. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data panel dinamis berupa Sys-GMM. Software yang digunakan adalah STATA 12 dan Microsoft Excel. Hasil analisis akan memerlihatkan proses konvergensi pendapatan dan signifikansi pengaruh tenaga kerja serta infrastruktur terhadap konvergensi pendapatan dan perekonomian. Selanjutnya, hasil tersebut digunakan dalam menganalisis saran yang dapat berupa implikasi kebijakan bagi pihak terkait
dalam
rangka
mendukung
proses
konvergensi
dan
mendorong
perkonomian di Pulau Sumatera. Ilustrasi kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
26
Pulau Sumatera memiliki kontribusi PDRB terbesar setelah Pulau Jawa. Namun, kontribusi PDRB tersebut tidak merata antarpropinsi.
Ketidakmerataan penyediaan infrastruktur dapat menjadi salah satu penyebab kesenjangan.
Ketersediaan dan akses infrastruktur di Pulau Sumatera belum merata.
Analisis proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera dan pengaruh infrastruktur pada konvergensi menggunakan Sys-GMM.
Terjadi
Tidak
Saran dan kebijakan bagi pihak terkait untuk mengurangi kesenjangan. Gambar 10. Kerangka Pemikiran
27
2.7
Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan literatur maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis,
yakni: 1) Konvergensi pendapatan terjadi di Pulau Sumatera dengan semakin berkurangnya
ketimpangan
regional
yang
ditunjukkan
dengan
laju
konvergensi yang positif. 2) Infrastruktur dan faktor lainnya berupa jumlah penduduk yang bekerja merupakan faktor yang memengaruhi proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera selama periode penelitian.
28
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber. Jenis data yang digunakan adalah data panel, yaitu gabungan data cross section dan time series. Data panel yang dikumpulkan berupa data cross section yang terdiri dari sembilan propinsi di Pulau Sumatera yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung serta data time series tahunan periode 2003-2010. Adapun data yang digunakan sebagai variabel penelitian meliputi data PDRB ADHK 2000, jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja, panjang jalan sesuai kondisi (baik dan sedang), jumlah air yang disalurkan PDAM, jumlah listrik terjual (GWh), dan jumlah rumah sakit serta puskesmas tiap propinsi dari Tahun 2003 sampai Tahun 2010. Beragam data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kesehatan RI, dan PT. PLN.
3.2
Analisis Konvergensi Konvergensi pendapatan dapat dilihat dari penurunan dispersi pendapatan
antardaerah dengan menghitung koefisien variasi atau standard deviasi dari logaritma pendapatan riil per kapita antardaerah dari tahun ke tahun. Konvergensi dengan pendekatan tersebut dinamakan konvergensi sigma ( sigma (σ) convergence). Maka dari itu, untuk mengetahui konvergensi sigma di Pulau Sumatera akan dihitung standard deviasi dari logaritma pendapatan riil per kapita (Barro dan Sala-i Martin, Bab 11:2004) di Pulau Sumatera dari tahun ke tahun. Pendekatan kedua dalam melihat konvergensi adalah konvergensi beta (beta (β) convergence). Pendekatan ini menyatakan bahwa konvergensi terjadi ketika perekonomian yang miskin mampu tumbuh lebih cepat dari perekonomian yang kaya. Dengan demikian, perekonomian miskin mampu mengejar (catch up) pendapatan per kapita perekonomian kaya (Barro dan Sala-i Martin, 462:2004). Untuk melihat hal tersebut terdapat dua jenis konvergensi beta, pertama konvergensi absolut dan kedua konvergensi kondisional.
29
Konvergensi absolut dilihat dengan tanpa memasukkan variabel kontrol yang merupakan karakteristik masing-masing daerah. Setiap daerah dianggap mempunyai kondisi steady state yang sama dan tidak memerhitungkan peran variabel lain yang berbeda antardaerah. Maka dari itu, untuk melihat pengaruh infrastruktur dan variabel lainnya yang diperkirakan memengaruhi kondisi steady state masing-masing daerah, akan dihitung konvergensi kondisional. Persamaan konvergensi yang digunakan oleh Krismanti (59:2011) untuk menghitung konvergensi kabupaten/kota di Pulau Jawa adalah: …………….. (3.1) dengan
adalah PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 dan
pengeluaran rumah tangga per kapita yang telah dideflasi menggunakan harga tahun 2000 sebagai proksi untuk menghitung pendapatan rumah tangga. Inv adalah investasi sebagai bentuk modal dan labour adalah tenaga kerja. Modal, dalam penelitian ini,
dilihat
dalam bentuk ketersediaan
infrastruktur. Adapun pendapatan dilihat dari PDRB per kapita. Persamaan untuk menghitung konvergensi kondisional pada penelitian ini, adalah sebagai berikut : …………………….. (3.2)
dengan : : : PDRB per kapita ADHK 2000 propinsi i pada tahun t : PDRB per kapita ADHK 2000 propinsi i pada tahun sebelumnya : jumlah rumah sakit dan puskesmas di propinsi i pada tahun t : jumlah listrik terjual di propinsi i pada tahun t : jumlah air yang disalurkan di propinsi i pada tahun t : panjang jalan sesuai kondisi (baik dan sedang) di propinsi i pada tahun t : jumlah penduduk yang bekerja di propinsi i pada tahun t : efek individu
30
: error term i
: propinsi yang diamati (Aceh, Sumatera Utara,..., Lampung)
t
: periode penelitian (2003, 2004,..., 2010)
Analisis pada persamaan 3.2 akan memberikan gambaran mengenai proses konvergensi
pendapatan
dan
pengaruh
infrastruktur
dalam
mendukung
konvergensi pendapatan. Konvergensi terjadi ketika koefisien dari dari satu. Tingkat konvergensi dinyatakan dengan – ln
kurang
. Adapun waktu yang
diperlukan untuk menutup setengah dari kesenjangan awal yang disebut dengan half-life of convergence dihitung dengan (Jan dan A.R. Chaudhary, 2011) : ………………..……………………...................... (3.3)
3.3
Metode Analisis
3.3.1 Data Panel Data panel merupakan data yang terdiri dari data cross section dan data time series. Jenis data ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan data cross section dan time series. Penggunaan panel data dalam suatu model dapat membantu menjelaskan perbedaan antarindividu dalam satu waktu dan juga perbedaan perilaku suatu unit individu antarwaktu. Pada panel data, variabel yang digunakan memiliki analisis antarindividu dan antarwaktu yang ditandai oleh penggunaan indeks i untuk individu (i= 1,…, N) dan t untuk periode waktu (t=1,…, T). Dengan demikian, model yang dibangun dengan data panel dapat memberikan model yang lebih realistis daripada cross section dan time series murni (Verbeek, 341-342:2004). Kelebihan penggunaan data panel yang dirangkum oleh Baltagi (4-7:2005) menurut Hsiao, Klevmarken dan Solon adalah sebagai berikut : 1) Heterogenitas antarindividu dapat dikontrol, panel data mengusulkan bahwa individu bersifat berbeda-beda atau heterogen. 2) Penggunaan panel data dapat memberikan informasi data yang lebih banyak dan beragam, permasalahan multikolinearitas yang minim, derajat bebas yang lebih banyak, dan lebih efisien.
31
3) Analisis penyesuaian dinamis (dynamics of adjustment) lebih baik dilakukan oleh panel data. 4) Panel data lebih unggul dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat ditemukan pada data cross section murni atau time-series murni. 5) Model pada panel data dapat digunakan untuk membangun dan menguji model pada perilaku yang lebih kompleks dari pada data cross section murni atau time-series murni. Suatu panel data dikatakan balanced panel jika masing-masing unit crosssection memiliki jumlah observasi time-series yang sama. Sedangkan jika jumlah observasi time-seriesnya berbeda antar individu atau anggota panel lainnya, maka disebut unbalanced panel (Gujarati, 640:2003).
3.3.2 Data Panel Dinamis Manfaat penggunaan data panel salah satunya adalah untuk menganalisis penyesuaian dinamis (dynamic adjustment). Hubungan dinamis tersebut dapat dideteksi dari adanya lag variabel dependen pada persamaan regresi. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada persamaan berikut: ; i = 1,…, N ; t = 1,…, T ………..……………(3.4) dimana δ merupakan skalar dan merupakan matriks berukuran
merupakan matriks berukuran . Asumsi pada
dan β
adalah one-way error
component model, yaitu : ………………………………………………………………. (3.5) dengan
adalah efek individu yang diasumsikan
error term yang diasumsikan
,
dan dan
adalah
saling bebas satu sama
lain. Ketika suatu persamaan mengandung lag dari variabel dependen maka akan muncul masalah berupa korelasi antara variabel dapat dikarenakan fungsi dari
merupakan fungsi dari
dan berarti
dengan
. Hal itu
juga merupakan
. Sehingga estimasi dengan panel data statis seperti OLS, fixed effect,
32
dan random effect pada persamaan panel dinamis menjadi bias dan inkonsisten, meskipun
tidak berkorelasi secara serial (Baltagi, 135-136:2005). Hal itu juga
ditekankan oleh Verbeek (360-361:2004). Konsistensi (robustness) dan efisiensi mengenai perlakuan
ketika menggunakan Fixed Effect Method (FEM) maupun
Random Effect Method (REM) pada model panel statis bisa didapatkan. Sedangkan pada panel dinamis hal ini tidaklah sama, karena
tergantung pada
. Permasalahan inkonsistensi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan method of moments atau Generalized Method of Moment (GMM). Dua jenis prosedur estimasi GMM yang biasa digunakan untuk mengatasi hal tersebut adalah (Indra, 52:2009) : 1. First-difference GMM (FD-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM)
3.3.2.1 First-difference GMM (FD-GMM) Ide dari penggunaan FD-GMM pada persamaan panel dinamis, yakni dengan menghilangkan efek individu, diantaranya diusulkan oleh Arellano dan Bond (Baltagi, 136:2005). Pada persamaan first difference, instrumen yang tepat untuk digunakan adalah variabel lag dari level. Estimasi δ yang konsisten dengan N→∞ dengan T tetap diperoleh dengan melakukan first-difference pada persamaan di bawah untuk menghilangkan pengaruh individual ( ) δ dengan
; |δ| < 1 ; t=1,…, T ……………………………………... (3.6) dimana
dan
saling bebas
satu sama lain. Sehingga: ; t = 2,…, T …………..….. (3.7) Estimasi dengan OLS pada persamaan di atas akan menghasilkan penduga δ yang inkonsisten meskipun jika T→∞, sebab
dan
berkorelasi. Maka
pendekatan instrumen dianjurkan untuk digunakan (Verbeek, 362:2004). Sebagai contoh,
akan digunakan sebagai instrumen,
berkorelasi dengan
33
tetapi tidak berkorelasi dengan
, dan
tidak berkorelasi
serial. Penduga variabel instrumen untuk δ adalah sebagai berikut : ………………………………….…...…...... (3. 8) Syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah …………………………...… (3. 9)
Penduga (3.8) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao. Mereka juga menganjurkan penduga alternatif dimana digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi δ adalah: ……………………………….….. (3.10) Syarat perlu agar penduga tersebut konsisten adalah: …………………. (3.11)
Penduga variabel instrumen yang kedua (IV(2)) membutuhkan tambahan lag variabel untuk menciptakan instrumen, sehingga jumlah efektif pada observasi pada estimasi berkurang satu periode sampel. Kerugian dari pengurangan ukuran sampel dapat dieliminasi dengan pendekatan metode momen, pendekatan ini juga dapat menyatukan penduga. Langkah pertama pada pendekatan tersebut adalah menetapkan kondisi momen (moment condition), yakni: ..... (3.12)
dan
………………………………... (3.13)
34
Estimator IV dan IV(2) diberi kondisi momen pada saat estimasi. Semakin banyak kondisi momen yang digunakan, efisiensi dari penduga akan meningkat. Jika terdapat ukuran sampel sebanyak T, maka vektor transformasi eror dapat ditulis sebagai:
……………………………………………………… (3.14)
dan matriks instrumen berupa
……………………..…. (3.15)
setiap baris pada matriks
berisi matriks yang valid untuk periode yang
diberikan. Seluruh himpunan kondisi momen dapat ditulis sebagai : ′
…………………………………………………………..…. (3.16)
Dengan kondisi 1+2+3+…+T-1. Untuk menurunkan estimator GMM, persamaan (3.16) ditulis sebagai : ′
……………………………………….………….….. (3.17)
Estimasi δ akan dilakukan dengan meminimumkan bentuk kuadrat momen sampel yang berkoresponden karena jumlah kondisi momen biasanya melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui. Dengan demikian, penduga GMM adalah : ′
′
′
′
…………....................… (3.18)
35
Penduga konsisten selama matriks penimbang
merupakan definit positif.
Matriks penimbang yang optimal mampu memberikan penduga yang paling efisien, yaitu yang memberi matriks kovarian asimtotik terkecil untuk
.
Blundell dan Blond (138:1998) menyatakan bahwa pada sampel yang berukuran kecil, penduga FD-GMM dapat mengandung bias dan ketidaktepatan. Selain itu, instrumen berupa lagged level pada persamaan first-difference merupakan instrumen yang lemah pada FD-GMM. Estimasi dengan least square pada panel data dengan model AR(1) akan mengasilkan koefisien yang bias ke atas (biased upward) dan pendugaan dengan fixed effect akan menghasilkan koefisien yang bias ke bawah (biased downward). Penduga koefisien yang konsisten dapat diperoleh jika nilai koefisien terdapat di antara penduga least square atau fixed effect (Firdaus, 220-221:2011). Penduga FD-GMM yang memiliki nilai di bawah penduga fixed effect kemungkinan disebabkan oleh instrumen yang lemah (Indra, 57-58:2009).
3.3.2.2 System GMM (SYS-GMM) Inti dari metode System GMM (SYS-GMM) adalah pengestimasian sistem persamaan baik pada first-difference maupun pada level. Instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-difference. Asumsi tambahan pada metode SYS-GMM adalah
, untuk i= 1,..., N. Adapun matriks instrumen
bagi SYS-GMM adalah (Firdaus, 221:2011):
…………………………...….. (3.19)
Himpunan kondisi momen dapat dituliskan sebagai : …………………………………………………………...…. (3.20) .................................................................... (3.21) Maka System GMM memiliki kombinasi instrumen berupa level pada persamaan first difference dan instrumen berupa first difference pada persamaan level.
36
Blundell dan Bond (1998) mendapatkan bahwa estimasi dengan model ini merupakan salah satu cara untuk menghindari masalah bias pada sampel yang sedikit dan ketidaktepatan yang ada pada FD-GMM pada saat T yang digunakan kecil.
3.4
Kriteria Model Terbaik Pada analisis dengan menggunakan model panel dinamis, kriteria yang
digunakan untuk menguji model sedikit berbeda dengan uji pada panel statis. Pengujian model yang dilakukan adalah uji validitas dan konsistensi. Untuk menguji validitas instrumen dapat dilakukan dengan melakukan Uji Sargan. Hipotesis nol pada Uji Sargan adalah instrumen valid, berarti instrumen tidak bermasalah. Selanjutnya adalah uji konsistensi yang dapat didapat dari statistik Arellano-Bond m1 dan m2. Jika statistik m1 menunjukkan nilai yang menolak hipotesis nol dan m2 menunjukkan nilai yang menerima hipotesis nol, maka estimator konsisten. Selain itu, estimator yang tidak bias adalah yang berada di antara estimator pooled least squares dan fixed effect (Firdaus, 222: 2011).
37
IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR
4.1
Jalan Jalan merupakan infrastruktur yang penting untuk menghubungkan satu
daerah ke daerah lain atau satu pusat perekonomian ke pusat perekonomian lainnya. Ketersediaan infrastruktur jalan yang baik akan melancarkan penyaluran barang serta mobilitas manusia atau tenaga kerja. Hubungan antara desa dan kota juga dibantu oleh ketersediaan infrastruktur jalan, menurut Perpres RI No. 29 Tahun 2011 tentang Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) 2012 Buku III, hampir 90 persen pedesaan di Sumatera dapat diakses dengan jalan darat.
14.92%
40.59% 20.22%
24.27%
Baik
Sedang
Rusak
Rusak Berat
Sumber : BPS, diolah.
Gambar 11. Persentase Panjang Jalan menurut Kondisi di Pulau Sumatera Tahun 2010 Persentase panjang jalan menurut kondisi di Pulau Sumatera pada Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan bahwa 40,59 persen jalan berada dalam keadaan baik. Jalan berkondisi baik adalah jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 60 kilometer per jam dan hingga dua tahun ke depan tanpa pemeliharaan pada pengerasan jalan. Sedangkan jalan berkondisi sedang di Pulau Sumatera pada tahun 2010 adalah sebesar 24,27 persen. Jalan dengan kondisi sedang adalah jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 40 hingga 60 kilometer per jam dan selama satu tahun ke depan tanpa rehabilitasi pada
38
pengerasan jalan. Adapun jalan berkondisi Rusak, yaitu jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 20 hingga 40 kilometer per jam serta perlu perbaikan kondisi jalan adalah sebesar 20,22 persen. Jalan dengan kondisi rusak berat adalah sebesar 14,92 persen. Jalan dengan kategori rusak berat adalah jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan nol hingga 20 kilometer per jam. Tabel 2. Panjang Jalan menurut Kewenangan dan Kondisi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (km) Kewenangan
Baik
Sedang
Rusak
Rusak Berat
Negara
5.718
4.946
283
621
Propinsi
7.722
3.860
2.210
1.455
Kabupaten
52.881
30.839
30.533
22.305
Sumber : BPS, diolah.
Jika dilihat
menurut
kewenangannya,
di Pulau Sumatera,
jalan
kabupaten/kota adalah jalan dengan jumlah terpanjang, yaitu mencapai 83,59 persen, disusul oleh jalan propinsi 9,33 persen, dan jalan negara 7,08 persen. Jika dilihat jalan menurut kondisi pada kewenangannya, maka jalan dalam kondisi rusak hingga rusak berat terbanyak juga berada di jalan kabupaten/kota yaitu sebesar 38,69 persen, lalu jalan propinsi 24,04 persen, dan jalan negara 7,81 persen. Pada masa otonomi daerah, perbaikan dan pemeliharaan jalan di masingmasing daerah menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. Propinsi yang memiliki panjang jalan berkondisi baik dan sedang terbanyak berdasarkan Gambar 12 adalah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Aceh, dan Lampung. Selanjutnya, daerah yang memiliki panjang jalan berkondisi baik dan sedang terkecil adalah Propinsi Bengkulu, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Ini menunjukkan bahwa kepemilikan jalan berkondisi baik dan sedang di masing-masing propinsi di Pulau Sumatera belum merata. Jumlah di atas tidak melihat per wilayah, maka diasumsikan jalan-jalan tersebut berada pada wilayah yang merupakan pusat kegiatan atau wilayah yang tidak berada di pedalaman.
39
25000 20000 15000
10000 5000 0
Sumber : BPS, diolah.
Gambar 12. Kondisi Jalan Baik dan Sedang menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (km) 4.2
Listrik Listrik yang diproduksi oleh PT. PLN didistribusikan kepada berbagai
jenis pelanggan. Jumlah pelanggan listrik di Pulau Sumatera dari Tahun 2003 hingga Tahun 2010 dapat terlihat pada Gambar 13. Pelanggan listrik jenis rumah tangga merupakan pelanggan dengan jumlah terbanyak dari tahun ke tahun disusul oleh jenis pelanggan bisnis setelahnya. Pertumbuhan jumlah pelanggan pada Tahun 2010 terhadap Tahun 2003 yang paling tinggi terjadi pada jenis penerangan publik yaitu sebesar 165,28 persen. Kategori pelanggan dengan pertumbuhan jumlah pelanggan tertinggi kedua adalah pelanggan bisnis, yakni sebesar 56,48 persen. Sedangkan pertumbuhan jumlah pelanggan yang negatif dimiliki oleh pelanggan jenis industri yaitu sebesar -5,36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah jenis pelanggan tersebut pada Tahun 2010 menjadi lebih kecil dibandingkan dengan jumlahnya pada Tahun 2003.
40
9000000 8000000 7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : PLN, diolah.
Gambar 13. Jumlah Pelanggan Listrik PLN di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 Jumlah energi listrik yang disalurkan tercermin pada jumlah energi listrik terjual kepada pelanggan. Sepanjang Tahun 2003 hingga Tahun 2010, energi listrik yang terjual di Pulau Sumatera terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan energi listrik terjual pada Tahun 2010 cukup tinggi yaitu sebesar 11, 68 persen. Pertumbuhan ini tertinggi kedua selama Tahun 2003 hingga Tahun 2010, selain pada Tahun 2008 yang sebesar 11,85 persen. 25000
20000
15000
10000
5000
0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : PLN, diolah.
Gambar 14. Energi Listrik Terjual di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 (GWh)
41
Konsumsi energi terbesar sepanjang tahun di Pulau Sumatera dimiliki oleh jenis konsumen rumah tangga, bisnis, dan industri. Konsumsi terkecil dimiliki oleh jenis konsumen sosial dan pemerintah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun jumlah pelanggan industri merupakan yang terkecil, tetapi konsumsi energi oleh jenis pelanggan tersebut termasuk yang terbesar. Pada Tahun 2010, jika dilihat dari kategori penggunaan, energi listrik terjual paling besar digunakan untuk kategori rumah tangga yaitu sebesar 51,23 persen. Sedangkan sisanya digunakan oleh kategori pelanggan bisnis 20,03 persen, industri 19,86 persen, penerangan publik 4,12 persen, sosial 2,87 persen, dan pemerintah sebesar 1,89 persen. Jumlah energi listrik terjual per propinsi pada Tahun 2010 menunjukkan bahwa Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi dengan pemakai energi listrik terbesar. Selanjutnya, pengguna energi listrik terbesar adalah Propinsi Sumatera Selatan. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan listrik oleh rumah tangga dan industri terbanyak berada di Propinsi Sumatera Utara. Begitu juga dengan Propinsi Sumatera Selatan yang penggunaan energi listrik rumah tangganya terbanyak kedua setelah Propinsi Sumatera Utara.
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Sumber : PLN, diolah.
Gambar 15. Energi Listrik Terjual menurut Satuan PLN/Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (GWh)
42
4.3
Air Bersih Perusahaan air bersih yang melakukan distribusi air bersih di Sumatera
pada Tahun 2010 adalah sebanyak 204 perusahaan. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada Tahun 2003, pada waktu itu hanya terdapat 197 perusahaan air bersih. Jumlah pelanggan air bersih di Pulau Sumatera berfluktuasi selama Tahun 2003 hingga Tahun 2010. Pertumbuhan jumlah pelanggan air bersih yang paling tinggi adalah pelanggan kelompok khusus serta niaga dan industri. Kedua jenis pelanggan tersebut pada Tahun 2010 tumbuh sebesar 261,19 persen dan 37,29 persen secara berurutan terhadap jumlahnya di Tahun 2003. 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BPS, diolah.
Gambar 16. Jumlah Pelanggan Air Bersih di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 Konsumsi terhadap air bersih dapat terlihat pada jumlah air yang terdistribusikan
kepada
pelanggan.
Persentase
pertumbuhan
air
yang
didistribusikan di Pulau Sumatera dapat ditunjukkan pada Gambar 17. Pada Tahun 2010, persentase pertumbuhan jumlah air yang didistribusikan di Pulau Sumatera mengalami penurunan dari Tahun 2003. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pertumbuhan jumlah air yang didistribusikan berfluktuatif sepanjang Tahun 2003 hingga Tahun 2010. Sepanjang tahun tersebut, konsumen jenis non-niaga serta niaga dan industri merupakan pelanggan dengan jumlah terbanyak. Mereka juga merupakan konsumen air bersih terbesar.
43
20% 15% 10% 5% 0% 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
-5% -10% -15% -20%
Sumber : BPS, diolah.
Gambar 17. Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Didistribusikan di Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 (%) Pada awal bagian dari penelitian ini telah diperlihatkan jumlah air yang didistribusikan di tiap propinsi yang ada di Pulau Sumatera pada Tahun 2010. Jika dilihat pada penggunaannya, air bersih pada Tahun 2010 lebih banyak digunakan oleh kategori non-niaga sebesar 83,16 persen. Kemudian disusul oleh penggunaan kelompok pelanggan niaga dan industri sebesar 10,73 persen, selanjutnya sosial 4,16 persen, dan 1,95 persen oleh kelompok khusus. Perkembangan jumlah air yang didistribusikan per propinsi pada beberapa tahun terakhir akan dilihat secara lebih jelas pada gambaran posisi tiga tahun terakhir, yaitu Tahun 2008 hingga 2010. Pada Gambar 18 dapat terlihat bahwa selama tiga tahun terakhir, Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi dengan konsumsi air bersih tertinggi dibandingkan propinsi lainnya dan jumlahnya terus mengalami peningkatan. Sedangkan daerah pengguna air bersih terendah adalah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, tetapi penggunaan air bersih terus meningkat di daerah ini. Hal di atas dapat terjadi karena penggunaan air bersih oleh kelompok non-niaga dan niaga serta industri terbesar ada di Propinsi Sumatera Utara selama tiga tahun terakhir. Propinsi yang mengalami penurunan jumlah air didistribusikan selama tiga tahun terakhir adalah Propinsi Lampung, Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Jambi, dan Propinsi Kepulauan Riau.
44
200000 180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0
2008 2009 2010
Sumber : BPS, diolah.
Gambar 18. Jumlah Air Didistribusikan menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2008-2010 (ribu m3) 4.4
Infrastruktur Kesehatan Selain infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial juga merupakan bagian
penting. Infrastruktur sosial berupa infrastruktur kesehatan, berguna untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Penduduk yang sehat mampu beraktivitas dengan lancar untuk menghasilkan berbagai output termasuk pendapatan. Selain dari sisi kuantitas, kualitas infrastruktur penting untuk dilihat. Akan tetapi, karena keterbatasan data, infrastruktur dilihat dari ketersediaannya dalam bentuk jumlah rumah sakit dan puskesmas. Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa di Pulau Sumatera pada Tahun 2010, jumlah puskesmas yang ada yaitu 85 persen. Jumlah ini merupakan porsi yang sangat besar daripada rumah sakit yang hanya 15 persen. Puskesmas memiliki jangkauan yang lebih tersebar di berbagai penjuru daerah dibandingkan rumah sakit yang biasanya hanya dibangun di pusat kota atau kabupaten, sehingga ketersediaan puskesmas sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Namun demikian, peran rumah sakit tentu tidak dapat dikesampingkan dalam upaya pelayanan kesehatan masyarakat.
45
15% RS 85%
Puskesmas
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, diolah.
Gambar 19. Persentase Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Pulau Sumatera Tahun 2010 Jika dilihat pada Gambar 20, jumlah puskesmas merupakan yang paling dominan daripada rumah sakit pada tiap propinsi. Meskipun puskesmas memiliki kemampuan yang terbatas dalam melayani permasalahan kesehatan, tetapi puskesmas lebih unggul dilihat dari sisi kedekatannya dengan lokasi tempat tinggal masyarakat. Fasilitas yang terletak lebih dekat lagi dengan masyarakat adalah balai kesehatan masyarakat (Balkesmas), tapi karena keterbatasan data, balkesmas tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Rumah Sakit Puskesmas
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, diolah.
Gambar 20. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010
46
Pada Gambar 20, terlihat bahwa ketersediaan sarana kesehatan di Pulau Sumatera belum merata. Propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Selatan, dan Lampung secara berurutan merupakan propinsi yang memiliki jumlah puskesmas terbanyak dibanding propinsi lainnya. Adapun jumlah rumah sakit terbanyak secara berurutan berada di Propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. Sedangkan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan yang terendah dalam ketersediaan rumah sakit dan puskesmas. Rumah sakit pada data di atas merupakan jumlah keseluruhan rumah sakit dari berbagai jenis, baik umum maupun khusus, serta berbagai kategori pengelolaannya, baik oleh pemerintah maupun swasta.
47
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Analisis Konvergensi di Pulau Sumatera
5.1.1 Konvergensi Sigma Analisis konvergensi sigma dapat dilakukan dengan melihat nilai dispersi pendapatan per kapita dari tahun ke tahun. Tingkat dispersi tersebut dilihat dengan menghitung nilai standard deviasi logaritma natural dari pendapatan per kapita dari waktu ke waktu. Konvergensi pendapatan akan terjadi ketika dispersi antarperekonomian menurun dari waktu ke waktu. Hal tersebut berarti akan ditunjukkan melalui penurunan nilai standard deviasi logaritma PDRB riil per kapita dari waktu ke waktu. 1 0.95 0.9 0.85 0.8 0.75 0.7 0.65 0.6 0.55 0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1
Standard Deviasi
2003
2004
2005 2006
2007
2008
2009 2010
Gambar 21. Konvergensi Sigma Pulau Sumatera Tahun 2003-2010 Sepanjang periode analisis, yaitu dari Tahun 2003 sampai Tahun 2010, nilai standard deviasi menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun, kecuali Tahun 2010 yang menunjukkan sedikit peningkatan dari Tahun 2009. Peningkatan nilai dispersi pada Tahun 2010 dari tahun sebelumnya dapat disebabkan oleh pertumbuhan perekonomian beberapa daerah yang berpendapatan per kapita tinggi pada tahun tersebut lebih besar dari pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Propinsi Kepulauan Riau pada Tahun 2010 naik 3 persen dari pertumbuhan ekonomi Tahun 2009, Kepulauan Bangka
48
Belitung naik 2,15 persen, Sumatera Barat naik 1,65 persen, Sumatera Utara naik 1,28 persen, Sumatera Selatan naik 1,32 persen, Aceh 8,14 persen lalu Riau naik 1 persen. Sedangkan Jambi dan Lampung hanya naik sebesar 0,92 persen dan 0,59 persen. Bahkan Bengkulu mengalami penurunan sebesar 1,29 persen akibat pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil pada Tahun 2010 yaitu sebesar 5,14 persen dibandingkan pada Tahun 2009 yang sebesar 6,43 persen. Secara keseluruhan, nilai standard deviasi pada Tahun 2003 sebesar 0,48 menurun menjadi sebesar 0,42 pada tahun 2010. Dengan adanya penurunan nilai dispersi PDRB riil per kapita di Pulau Sumatera tersebut, dapat dikatakan bahwa proses konvergensi pendapatan terjadi di Pulau Sumatera. Jika dilihat per waktu, maka penurunan nilai tersebut cenderung sangat kecil setelah Tahun 2006, hal itu terlihat pada nilainya yang tetap berada pada level 0,42. Tabel 3. Beberapa Penemuan Konvergensi Sigma Antar Negara atau Wilayah Penulis
Negara/Daerah
Tahun
Konvergensi σ
Manasan dan Mercado (1999)
Filipina
1975-1997
Ya
Agarwalla dan Pangotra (2011)
India
1980-2006
Tidak
Margono (2009)
Indonesia
1993-2007
Ya
Penurunan nilai dispersi dari pendapatan per kapita di beberapa wilayah bisa terjadi dan tidak. Analisis konvergensi sigma yang dilakukan Manasan dan Mercado (1999) menghasilkan adanya konvergensi di Filipina. Nilai standard deviasi dari log GDRP per kapita pada Tahun 1975 sebesar 0,209 menjadi lebih kecil pada tahun 1997 yaitu sekitar 0,185. Konvergensi terjadi saat sektor pertanian tumbuh lebih cepat dari sektor industri, daerah yang miskin di Filipina umumnya mengandalkan sektor pertanian dalam perekonomiannya. Agarwalla dan Pangotra (2011) melakukan estimasi konvergensi sigma di India pada Tahun 1980-2006. Divergensi GSDP riil per kapita terjadi pada periode tersebut, hal itu disebabkan adanya daerah maju yang terus tumbuh pada tingkat yang tinggi. Sementara itu, daerah tertinggal mengalami pertumbuhan yang negatif. Hasil estimasi konvergensi sigma di Indonesia oleh Margono (2009), menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi nilai dispersi PDRB riil per kapita selama
49
periode analisis, tetapi cenderung menunjukkan penurunan. Pada beberapa tahun seperti 1997 dan 2005 dispersi meningkat akibat krisis ekonomi dan kenaikan harga BBM. Dengan demikian, konvergensi terjadi di Indonesia dengan penurunan dispersi yakni dari 0,30 pada Tahun 1993 menjadi 0,27 pada Tahun 2007. Penurunan nilai dispersi dari standard deviasi PDRB riil per kapita di Pulau Sumatera lebih besar jika dibandingkan dengan hasil estimasi konvergensi sigma Margono (2009). Hal ini menunjukkan bahwa proses konvergensi kemungkinan terjadi lebih cepat di Sumatera dibandingkan proses konvergensi secara nasional. Hasil estimasi konvergensi melalui dispersi dari nilai standard deviasi pendapatan per kapita antarnegara atau antar daerah memiliki perubahan nilai yang berbeda-beda. Hal itu bisa disebabkan oleh kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian yang cenderung bisa berbeda di tiap wilayah. Dengan demikian, penurunan atau peningkatan nilai dispersi dapat bergantung pada keadaan pertumbuhan pendapatan masing-masing daerah di dalamnya akibat fenomena ekonomi di masing-masing daerah atau negara pada waktu tertentu.
5.1.2 Konvergensi Beta Pada teori pertumbuhan neoklasik faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah modal dan tenaga kerja. Modal pada analisis ini akan dianalisis menjadi modal infrastruktur. Modal infrastruktur diantaranya dianalisis melalui listrik, air bersih, jalan, dan kesehatan. Tabel 4 menunjukkan hasil estimasi konvergensi di Pulau Sumatera. Pada analisis konvergensi kondisional dengan menggunakan panel dinamis yaitu SysGMM, didapatkan bahwa proses konvergensi antarpropinsi di Pulau Sumatera terjadi. Hal tersebut dapat dilihat dari koefisien dari lag pendapatan per kapita yang kurang dari satu, yaitu sebesar 0,9301 yang signifikan pada taraf nyata satu persen. Pada variabel penjelas lainnya yaitu jumlah penduduk yang bekerja, listrik, air bersih, jalan, dan kesehatan terdapat empat variabel yang tidak signifikan yaitu jumlah penduduk yang bekerja, air bersih, jalan, dan kesehatan. Variabel infrastruktur yaitu listrik memiliki koefisien sebesar 0,1074. Variabel tersebut signifikan pada taraf nyata sepuluh persen.
50
Konsistensi penduga ditunjukkan oleh hasil Arellano-Bond (AB) test. Hasil Arellano-Bond test diperlihatkan oleh signifikansi nilai statistik m1 dan m2. Statistik m1 yaitu sebesar -1,6724 dengan p-value yang signifikan pada taraf nyata sepuluh persen dan statistik m2 yaitu sebesar -0,2067 dengan p-value yang tidak signifikan baik pada taraf nyata satu persen, lima persen maupun sepuluh persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduga dapat dikatakan konsisten atau tidak terdapat second order serial correlation pada residual dari pembedaan spesifikasi. Tabel 4. Hasil Estimasi Konvergensi Pendapatan di Pulau Sumatera dengan SysGMM serta Perbandingan Koefisien antara Sys-GMM, PLS, dan FE Variabel Dependen Yi,t Parameter
Estimated Coefficient
Standard Error
P-Value
Yi,t-1
0,9301
0,2316
0,000
Ai,t
0,0202
0,0234
0,388
Pi,t
-0,2074
0,1977
0,294
Li,t
0,1074
0,0641
0,094
Ji,t
-0,0129
0,0180
0,474
Ki,t
-0,0516
0,1523
0,734
AB Test Arellano-Bond m1 Arellano-Bond m2 Sargan Test Parameter
z -1,6724 -0,2607
Prob > z 0,0944 0,7943
chi2(34) = 2,9197 Prob > chi2 = 1,0000 Estimated Coefficient
Standard Error
P-Value
Sys-GMM
0,9301
0,2316
0,000
PLS
0,9513
0,0117
0,000
Fixed Effect
0,9217
0,0503
0,000
Validitas instrumen dilihat melalui Sargan test. Nilai statistik uji Sargan adalah sebesar 2,9197 dengan probabilitas sebesar 1,0000. Probabilitas tersebut
51
tidak signifikan baik pada taraf nyata satu persen, lima persen maupun sepuluh persen. Dengan kata lain tidak terdapat masalah terhadap validitas instrumen. Analisis panel dinamis yang sempurna harus memenuhi kriteria tidak bias (unbiased). Hal ini dapat dilihat pada nilai koefisien estimasi parameter yang berada pada rentang OLS dan Fixed Effect. Pada hasil estimasi, hal ini terjadi. Koefisien lag variabel dependen dari hasil estimasi menggunakan Sys-GMM sebesar 0,9301 berada di antara koefisien lag dari estimasi dengan menggunakan PLS (0,9513) dan Fixed Effect (0,9217). Konvergensi di Pulau Sumatera ini memiliki tingkat konvergensi sebesar 7,24 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan masing-masing daerah untuk mencapai kondisi steady state adalah sebesar 7,24 persen per tahun. Adapun waktu untuk menutup setengah kesenjangan awal atau half life of convergence adalah lebih dari 9 tahun. Kecepatan konvergensi dengan melibatkan variabel infrastruktur di Eropa yang ditemukan oleh Del Bo, et al. (2010) adalah sebesar 2 persen per tahun. Sedangkan di Indonesia, Margono (2009) menemukan bahwa kecepatan konvergensi adalah sebesar 3 persen per tahun dan half-life time adalah sebesar 22 tahun. Kecepatan konvergensi yang berbeda dari penelitian terdahulu dapat disebabkan oleh perbedaan pemilihan variabel yang digunakan dalam penelitian, metode analisis serta ruang lingkup penelitian. Selain itu, hal ini juga berarti bahwa di Pulau Sumatera konvergensi terjadi dengan cepat karena pada dasarnya Pulau Sumatera memang sudah memiliki lokasi yang strategis yang berdekatan dengan Pulau Jawa yang merupakan pusat perekonomian nasional. Namun memang
masing-masing daerah harus
lebih
memerhatikan ketersediaan
infrastruktur yang baik untuk dapat terus meningkatkan perekonomiannya. Pada hasil estimasi juga dapat dikatakan bahwa infrastruktur listrik mendukung terjadinya proses konvergensi di Pulau Sumatera.
5.2
Analisis Sumber Pendorong Tingkat Pendapatan Margono (2009) menyatakan bahwa dari hasil analisis konvergensi
kondisional dapat dilihat pula faktor yang memengaruhi pertumbuhan regional.
52
Dari hasil estimasi di atas dapat dibahas pula beberapa faktor yang dapat memengaruhi pendapatan regional yakni PDRB di Pulau Sumatera: PDRB riil per Kapita Periode Sebelumnya PDRB riil per kapita tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata satu persen, terhadap pendapatan (PDRB riil per kapita) saat ini. Maka dari itu, pemerintah masing-masing daerah harus mengupayakan daerahnya untuk mampu mendorong perekonomiannya dengan mengupayakan potensi daerahnya masing-masing, terutama bagi daerah miskin. Dengan demikian, daerah miskin dapat mengejar ketertinggalannya. Jumlah Penduduk Bekerja Jumlah penduduk yang bekerja memiliki nilai koefisien yang negatif dan tidak signifikan berpengaruh terhadap pendapatan per kapita. Hal ini dapat disebabkan karena analisis hanya menggunakan jumlah penduduk usia kerja yang bekerja saja, tanpa melihat pendidikan terakhir maupun pelatihan yang telah ditempuh oleh pekerja, sehingga produktivitas pekerja tidak dapat dilihat. Risgianto (93-94:2007) juga menemukan bahwa setelah masa otonomi daerah, variabel tenaga kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap PDRB di Kabupaten Brebes. Ia pun menyarankan agar ada upaya peningkatan kualitas SDM oleh pemerintah terkait. Peningkatan
produktivitas
tenaga
kerja
dapat
dilakukan
melalui
peningkatan kualitas tenaga kerja. Hal tersebut dapat dilaksanakan melalui pelatihan dan pendidikan. Pelatihan dan pendidikan dapat menjadi salah satu cara untuk mentransfer teknologi, informasi, dan pengetahuan dalam berproduksi. Dengan demikian, melalui pelatihan dan pendidikan, pekerja akan mampu memiliki keahlian dalam berproduksi dengan lebih baik. Jalan Jalan menunjukkan koefisien regresi yang negatif dan tidak signifikan terhadap pendapatan per kapita. Hasil ini berbeda dengan Del Bo, et al. (2010) yang menunjukkan bahwa infrastruktur jalan berpengaruh positif terhadap perekonomian. Hasil analisis Setiadi (2006) terhadap infrastruktur jalan di Sumatera juga menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Menurutnya, hal itu disebabkan karena jalan yang dipilih belum berdasarkan kondisi baik dan sedang.
53
Pada penelitian ini jalan sudah dinalisis berdasarkan jalan berkondisi baik dan sedang, tetapi menunjukkan hasil yang tidak diharapkan. Hal ini bisa disebabkan oleh lokasi dari jalan berkondisi rusak itu sendiri yang terletak di jalan yang menjadi pusat lalu lintas barang dan manusia. Oleh karena itu, jumlah jalan berkondisi baik dan sedang cukup besar, jalan berkondisi buruk yang mungkin jumlahnya lebih sedikit berada pada jalur penting dalam arus barang dan manusia seperti pada Jalan Lintas Sumatera. Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) merupakan jalur yang menghubungkan berbagai daerah di Sumatera, yaitu dari Lampung hingga Aceh. Bahkan jalur ini merupakan jalur yang menjadi pintu transportasi darat untuk melaksanakan berbagai kegiatan ekonomi dari Pulau Jawa ke berbagai daerah di Sumatera. Akan tetapi kondisi jalan lintas sumatera sangat memprihatinkan. Sejak tahun 2001 Jalan Lintas Timur Sumatera di Sumatera Selatan mengalami kerusakan berat, bahkan pada Maret 2006 kemacetan selama tiga hari di Ruas Jalan Betung-Sungai Lilin sempat terjadi (Raksono, Anwar, dan Santoso, 2009). Kerusakan Jalan Lintas Timur Sumatera memberikan beberapa dampak negatif bagi masyarakat sekitar dan pengguna jalan, diantaranya adalah kekesalan pengemudi dan penumpang, gangguan kesehatan seperti iritasi dan gangguan pernapasan pada masyarakat sekitar, kerusakan pada kendaraan, dan peningkatan waktu tempuh dalam distribusi barang dan mobilitas manusia. Kerugian ekonomi dari kerusakan Jalan Lintas Timur Sumatera adalah sekitar 8,17 triliun. Kerugian yang diperkirakan tersebut adalah kerugian yang dirasakan oleh masyarakat sekitar dan pengguna jalan (Raksono, et al., 2009). Dengan melihat hal tersebut maka kerusakan jalan lintas sumatera harus segera diperbaiki oleh pihak terkait. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Departemen Perhubungan 20052025 telah menjelaskan beberapa poin yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan transportasi darat, yaitu jalan. Arah pembangunan transportasi darat di Pulau Sumatera diantaranya telah difokuskan untuk mendorong berfungsinya jaringan jalan lintas sumatera serta jalan-jalan pengumpan yang menghubungkan jalan-jalan lintas sumatera. Akan tetapi saat ini masih terdapat jalan-jalan rusak yang terletak di Jalan Lintas Sumatera.
54
Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kendala dalam masalah pembangunan jaringan Jalinsum, sebab masih dapat ditemukan jalan-jalan yang rusak di area Jalinsum. Untuk itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memerhatikan kembali kondisi jalan di daerah tersebut untuk segera diperbaiki dengan benar. Beberapa titik jalan di jalan lintas sumatera memang mengalami perbaikan dengan menambal jalan-jalan yang rusak. Akan tetapi penambalan tidak dilakukan dengan baik karena ada sedikit bagian jalan yang sengaja dibiarkan tidak ditambal. Bagian jalan yang dibiarkan tidak ditambal itu tetap akan mengganggu proses perjalanan berbagai kendaraan yang melintas. Dengan kata lain, perbaikan jaringan jalan yang dilakukan di sepanjang jalan lintas sumatera yang melintasi berbagai provinsi di Sumatera tersebut kurang terintegrasi. Kondisi jalan di satu titik sudah baik, namun di titik Jalinsum lainnya jalan masih banyak yang berkondisi buruk. Selain menghambat perjalanan, hal itu juga rawan menjadi penyebab kecelakaan. Perbaikan Jalan Lintas Sumatera harus dilakukan dengan menyeluruh agar kendaraan pengangkut barang dan manusia dapat dengan aman melintas dan waktu tempuh tidak menjadi lama. Jika jalan tersebut tidak diperbaiki, maka kendaraan besar yang mengangkut barang-barang akan menempuh jalan kota untuk alternatif rute perjalanan. Hal ini akan memercepat rusaknya jalan dalam kota yang selanjutnya akan merugikan kondisi transportasi dalam kota. Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera sebagai upaya penyediaan infrastruktur transportasi darat di Sumatera sedang diteliti oleh pemerintah. Direktorat Jendral (Ditjen) Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menyatakan bahwa konsep yang akan dibangun pada Jalan Trans Sumatera tersebut adalah High Grade Highway (HGH). Konsep ini akan membentuk dua jenis jalan, yaitu freeway dan jalan berbayar atau jalan tol. Pembangunan ini telah mendapatkan persetujuan dari gubernur
yang
daerahnya
akan terkena
pembangunan proyek 1. Selain hal di atas, tidak signifikannya variabel jalan kemungkinan karena panjang jalan yang digunakan pada analisis belum melihat perbandingannya 1
Pusat Komunikasi Publik Kementerian PU. 2012. Pemerintah Terus Kaji Tol Trans Sumatera. http://www.pu.go.id/main/view/7223 [diakses 4 Mei 2012].
55
terhadap luas wilayah. Sehingga analisis belum melihat pengaruh kecukupan panjang jalan yang tersedia di masing-masing daerah. Daerah yang lebih luas, idealnya memiliki panjang jalan yang lebih panjang dari wilayah yang luasnya lebih kecil. Air Air menunjukkan pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap pendapatan per kapita. Hasil ini serupa dengan Prasetyo (2008), ia menyatakan hal tersebut dapat diakibatkan oleh jumlah air bersih yang lebih banyak digunakan untuk konsumen jenis rumah tangga. Jenis konsumen air bersih terbanyak di Pulau Sumatera juga adalah non-niaga atau rumah tangga. Namun demikian, yang menjadi penyebab hal di atas dapat pula berupa pertumbuhan distribusi air bersih yang lebih kecil pada Tahun 2010 dari pada Tahun 2003. Hal ini bisa disebabkan oleh kebocoran pipa yang menjadi masalah umum pada berbagai PDAM nasional. Tabel 5 Efektivitas Produksi Air Bersih oleh Perusahaan Air Bersih menurut Propinsi Tahun 2003 dan Tahun 2010 (%) Propinsi
2003
2010
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Kepulauan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Kepulauan Riau
67,53 82,54 71,5 80,3 70,53 95,71 88,22 77,3 66,79 -
83,68 89,36 79,48 74,67 73,78 77,51 62,74 63,36 63,67 73,81
Sumber : Statistik Air Bersih, BPS.
Pada Tahun 2010 terjadi penurunan efektivitas produksi air bersih yang dilakukan oleh perusahaan air bersih di beberapa propinsi di Pulau Sumatera relatif terhadap Tahun 2003. Hal itu dapat menunjukkan kurangnya kemampuan perusahaan air bersih dalam melakukan penyediaan air bersih bagi masyarakat. Seperti hal sebelumnya, kemungkinan penyebabnya adalah masalah kebocoran
56
pipa yang umum terjadi pada berbagai PDAM nasional. PDAM harus meningkatkan kapasitas produksi efektifnya untuk mengatasi masalah tersebut, agar mampu memaksimalkan upaya distribusi air bersih bagi masyarakat. Air bersih dapat menghindarkan masyarakat dari penyakit, sehingga mereka mampu beraktivitas dengan baik. Akses air bersih yang cukup juga merupakan simbol kesejahteraan masyarakat, karena hal itu merupakan sebagian dari kebutuhan dasar manusia. Hal itu diperkuat oleh United Nations Development Programme (UNDP) yang menjadikan akses air bersih sebagai salah satu poin dalam target Millenium Development Goals 2015. Kelompok niaga dan industri seperti rumah sakit, hotel, mall, pertokoan, pabrik makanan dan minuman, pabrik kimia juga membutuhkan air bersih untuk berproduksi, maka air bersih tetap merupakan kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi pada kehidupan di era modern. Listrik Hasil estimasi menunjukkan bahwa listrik memiliki koefisien regresi yang positif atau sesuai dengan teori dan signifikan pada taraf nyata sepuluh persen. Hasil ini serupa dengan penelitian Lorde, et al. (2010). Namun demikian koefisiennya tidak begitu besar, hanya 0,1074. Hal ini dapat disebabkan oleh ketersediaan listrik yang belum stabil yang ditandai oleh seringnya pemadaman listrik bergilir yang terjadi di berbagai daerah di Pulau Sumatera selama masa pengamatan. Akan tetapi, hal tersebut sudah semakin berkurang seiring dengan diterapkannya berbagai langkah strategis oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT. PLN. Pemadaman bergilir ini dirasakan utamanya saat musim kemarau, karena debit air di beberapa sumber air penggerak PLTA mengalami defisit. Oleh sebab itu, PT. PLN harus membagi distribusi listrik dengan pemadaman bergilir. Contohnya, pada Tahun 2008 defisit listrik akibat penurunan kemampuan dan pemeliharaan pembangkit menjadikan munculnya sistem kuota per wilayah untuk pemadaman bergilir. Propinsi Jambi sebesar 9 persen, Bengkulu 7 persen, Sumatera Selatan 20 persen, Sumatera Barat 25,5 persen, Riau 15,8 persen, dan Lampung 22 persen2. 2
Kompas. 2008. Krisis Listrik Masih Panjang.http://cetak.kompas.com/read/2008/07/01/ 01360495/krisis.listrik.masih.panjang [diakses 16 Juli 2012].
57
Pemadaman bergilir ini memberikan dampak negatif baik pada sisi ekonomi dan
keamanan. Beberapa usaha harus tutup dengan terjadinya
pemadaman bergilir, seperti penyiaran radio dan warnet. Selain itu, pemadaman tersebut dapat menganggu kegiatan industri dan menyebabkan kerusakan peralatan elektronik rumah tangga. Pada sisi keamanan, tindak kriminalitas meningkat selama terjadinya pemadaman listrik bergilir yang terjadi di beberapa daerah. Polda Sumbar mencatat data peningkatan tindak kriminalitas dari seluruh satuan wilayah pada saat pemadaman bergilir pada pertengahan Tahun 2008 di Sumatera Barat3. Berbagai upaya perbaikan dalam penyediaan energi listrik telah dilakukan, diantaranya dengan mengeluarkan berbagai peraturan terkait hal tersebut. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No.37 Tahun 2008. Peraturan Menteri itu berisi tentang Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik Sumatera. Aturan tersebut bertujuan untuk menciptakan keamanan, keandalan, pengoperasian, dan pengembangan sistem transmisi tenaga listrik yang andal dan terpadu di Pulau Sumatera seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan listrik di Sumatera, sehingga permasalahan kelistrikan di Pulau Sumatera dapat diminimalisir. Pada peraturan itu dijelaskan bahwa Unit Pelayanan Transmisi merupakan bagian yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pemeliharaan dan perbaikan peralatan transmisi/kabel dan gardu induk di kawasannya. Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban (P3B) Sumatera, yakni PLN Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Sumatera, sebagai pemilik jaringan dan pengelola sistem tenaga listrik di Sumatera bertanggung jawab untuk merencanakan dan mengkoordinasikan sistem proteksi semua komponen dalam sistem. Termasuk proteksi utama dan cadangan, serta skema pelepasan beban otomatis dengan relai frekuensi rendah pada fasilitas transmisi. Hal tersebut dilakukan untuk membatasi gangguan dan menjamin keseimbangan antara beban dan pembangkitan dalam kondisi darurat. Sebagai upaya untuk melakukan penyediaan energi yang berkelanjutan, pemerintah telah mengeluarkan peraturan menteri yang mendorong penyediaan
3
Ahmad. 2008. Pemadaman Listrik Bergilir Berdampak Meningkatnya Kriminalitas. http://www.antarasumbar.com/eng/index.php?mod=berita&d=1&id=628 [diakses 28 Mei 2012]
58
dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Peraturan Menteri ESDM No. 10 Tahun 2012 berisi tentang pelaksanaan kegiatan fisik pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Kegiatan fisik dalam hal kelistrikan diwujudkan dalam pembangunan, pengadaan, dan/atau pemasangan instalasi penyediaan tenaga listrik. Selain untuk mendorong penyediaan energi baru terbarukan, hal ini juga bertujuan untuk mendorong program pengembangan Desa Mandiri Energi (DME). DME merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di Pulau Sumatera khususnya di daerah minor atau yang memiliki rasio elektrifikasi yang rendah. Upaya untuk mewujudkan kemandirian energi dan lumbung energi kelistrikan di Pulau Sumatera juga tertuang dalam Perpres No. 13 Tahun 2012. Hal itu dilakukan dengan mengembangkan interkoneksi jaringan listrik dan pengembangan energi baru dan terbarukan. Peraturan di atas dapat dilihat sebagai sesuatu yang bersifat menguatkan beberapa kegiatan yang telah maupun akan dilakukan dalam penyediaan energi listrik menggunakan energi listrik baru dan terbarukan. Sebagai salah satu bentuknya, beberapa proyek pembangkit di Pulau Sumatera telah menggunakan energi baru dan terbarukan, batu bara, dan gas. Proyek tersebut dilakukan oleh PT. PLN maupun dengan kerja sama pihak swasta. Daftarnya dapat dilihat pada Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2012 tentang daftar proyek-proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan, batu bara, dan gas serta transmisi terkait. Selain melalui peraturan di atas, solusi terhadap penyediaan listrik berkelanjutan juga dituangkan dalam Masterplan Pembangunan Ketenagalistrikan 2010-2014. Permasalahan pemadaman listrik bergilir di Indonesia termasuk di Sumatera berusaha diatasi oleh PT. PLN dengan meningkatkan produksi listrik agar keberlanjutan energi listrik yang terjual kepada konsumen dapat terjamin. Solusi baik jangka pendek maupun jangka panjang untuk menjamin ketersediaan listrik berkelanjutan dituangkan dalam masterplan yang dibuat oleh Kementerian ESDM tersebut. Solusi jangka pendek untuk hal itu adalah dengan penambahan daya melalui sewa pembangkit, pembelian kelebihan kapasitas captive, dan pengadaan pembangkit baru yang cepat masa pembangunannya. Penambahan kapasitas pembangkit dan penyaluran daya melalui sistem transmisi dan distribusi.
59
Solusi jangka panjang adalah dengan membangun pembangkit tenaga listrik yang baru baik oleh PT. PLN atau Independent Power Producer (IPP) yang membutuhkan waktu 3-5 tahun. Pemadaman bergilir yang terjadi akhir-akhir ini di wilayah Sumatera memang sudah mulai berkurang seiring dengan mulai diterapkannya hal di atas. Akan tetapi, pada saat musim kemarau dan pemeliharaan pembangkit, pemadaman bergilir tidak dapat terhindarkan, apalagi jika keduanya terjadi bersamaan. Sebagai tambahan solusi, PT. PLN sebaiknya dapat mengatur pola waktu perbaikan pembangkit dan terus mengembangkan pembangkit yang menggunakan energi alternatif yang dapat membantu untuk mengatasi masalah distribusi listrik, khususnya pada saat musim kemarau di berbagai daerah di Pulau Sumatera. Pada era yang modern saat ini konsumsi listrik menjadi semakin tinggi karena penggunaan listrik sebagai sumber utama penggerak berbagai aktivitas masyarakat semakin meluas. Selain oleh masyarakat, listrik pun digunakan sebagai sarana berproduksi berbagai industri. Dari segi masyarakat, akses terhadap sumber listrik merupakan juga kebutuhan dasar karena akses penerangan lebih baik dengan menggunakan listrik karena cahaya yang dihasilkan lebih baik dari penerangan non listrik. Sedangkan bagi industri, ketersediaan listrik dan jaminan keberlanjutannya merupakan hal yang penting untuk membangun dan menjalankan industri. Ketersediaan listrik yang terjamin akan menjadi salah satu daya tarik bagi investor untuk berinvestasi di suatu daerah, selain jaminan regulasi. Maka dari itu, PT. PLN harus terus melakukan inovasi dalam menyediakan energi listrik dengan terus mengembangkan berbagai metode pemeliharaan pembangkit serta penggunaan energi alternatif sebagai pembangkit listrik agar dapat menjamin ketersediaan listrik bagi masyarakat. Fasilitas Kesehatan Infrastruktur kesehatan memiliki hasil estimasi yang bertanda negatif dan tidak signifikan. Akses pelayanan kesehatan dapat tercermin pada peningkatan jumlah, jaringan, dan kualitas fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Pada analisis ini kualitas pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit tidak dapat terlihat. Dengan demikian, jumlah puskesmas dan rumah
60
sakit yang tinggi ternyata belum mampu melihat secara keseluruhan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan pada puskesmas dan rumah sakit dapat dilihat dari kecepatan pelayanan, kemudahan administrasi, dan lama waktu tunggu dalam identifikasi hasil pemeriksaan. Ketersediaan fasilitas kesehatan secara fisik yang diimbangi dengan kualitas pelayanan yang mampu memuaskan masyarakat akan menjadi kombinasi yang tepat bagi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Hal itu selanjutnya akan membantu meningkatkan produktivitas masyarakat.
5.3
Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil di atas dapat dibuat beberapa implikasi kebijakan untuk
menciptakan konvergensi pendapatan dan peningkatan level perekonomian daerah di Pulau Sumatera: a) Peningkatan pendidikan bagi pekerja penting dilakukan karena peningkatan jumlah tenaga kerja saja tidak cukup untuk memengaruhi peningkatan pendapatan. Maka dari itu, pemerintah perlu mendorong berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan untuk memudahkan akses pendidikan bagi calon pekerja. b) Pemerintah harus segera memerbaiki jalan-jalan yang merupakan jalur urat nadi distribusi barang serta mobilitas masyarakat di Pulau Sumatera. Pemerintah pusat harus memprioritaskan perbaikan Jalan Lintas Sumatera yang merupakan jalan utama bagi arus barang dan manusia dari luar Pulau Sumatera dan antarpropinsi di pulau Sumatera. Pemerintah propinsi dan kabupaten/kota juga perlu memerbaiki jalan rusak di jalur-jalur yang penting untuk distribusi barang dan mobilitas manusia di daerahnya masing-masing. Perbaikan tersebut harus menjadi prioritas utama sebelum memerbaiki jalan rusak lainnya. Perbaikan jaringan jalan pada berbagai titik jalan rusak harus disertai pengawasan yang benar agar jalan diperbaiki dengan menyeluruh. Selain itu, ide pembangunan jalan terpadu sepanjang Sumatera seperti Trans Sumatera Highway juga dapat menjadi solusi tambahan untuk melancarkan transportasi antardaerah.
61
c) Penurunan efektivitas produksi air bersih oleh PDAM di beberapa propinsi dapat menjadi salah satu dugaan bahwa PDAM belum mampu menyediakan air bersih secara berkelanjutan. Dengan demikian, PDAM harus dapat meningkatkan kemampuan distribusi air bersih dengan mengurangi kebocoran pipa, sehingga dapat meningkatkan kapasitas produksi efektifnya. d) PT. PLN sebagai penyalur energi listrik di Indonesia, harus terus berupaya meningkatkan pelayanannya dengan mendorong rasio elektrifikasi hingga 100 persen, sehingga seluruh masyarakat dapat menikmati energi listrik. Program Desa Mandiri Energi (DME) patut terus didukung sebagai cara untuk memenuhi hal di atas. Melihat pentingnya energi listrik bagi pertumbuhan ekonomi, Lorde, et al. (2010) menyarankan adanya jaminan dan kestabilan distribusi energi listrik serta maksimalisasi efisiensi energi. Selain itu, ia juga menyarankan penggunaan energi baru terbarukan untuk menghasilkan listrik sebagai upaya konservasi energi, agar penggunaan energi listrik yang berkelanjutan
dapat
mendukung
perekonomian
berkelanjutan.
Upaya
peningkatan kestabilan distribusi energi listrik di Pulau Sumatera, dapat dilakukan oleh PT. PLN dengan memerhitungkan dan menjadwalkan secara baik perbaikan pembangkit listrik dan terus mengembangkan energi alternatif untuk pembangkit listrik, yang terutama akan sangat berguna saat musim kemarau. Pengembangan energi baru dan terbarukan, serta interkoneksi jaringan listrik di Pulau Sumatera sebagai upaya untuk mewujudkan kemandirian energi dan lumbung energi kelistrikan sesuai Perpres No. 13 Tahun 2012 perlu terus didukung dan dipercepat. e) Perhatian terhadap kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit dan puskesmas oleh pemerintah pusat maupun daerah serta pihak terkait perlu dilakukan. Sebab, peningkatan jumlah rumah sakit dan puskesmas belum cukup untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai bentuk investasi SDM. f) Keseluruhan hal di atas, harus dilakukan terutama pada daerah yang memiliki pendapatan yang rendah. Dengan demikian, daerah-daerah tersebut mampu mengejar ketertinggalannya terhadap daerah yang sudah maju.
62
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil estimasi mengenai konvergensi dan infrastruktur di
Pulau Sumatera pada Tahun 2003 sampai 2010, maka beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera terjadi dengan adanya penurunan nilai dispersi pendapatan per kapita selama periode penelitian. Hal ini juga dibuktikan pada analisis konvergensi beta kondisional.
Konvergensi
pendapatan di Pulau Sumatera terjadi dengan kecepatan 7,24 persen dan waktu untuk mengurangi setengah kesenjangan menuju ke kondisi mapan masingmasing daerah adalah lebih dari 9 tahun. Infrastruktur yang mendukung terjadinya konvergensi adalah listrik. 2. Penduduk yang bekerja, infrastruktur berupa air bersih, jalan, dan kesehatan tidak signifikan berpengaruh terhadap perekonomian. Hal itu dapat dikarenakan oleh jumlah pekerja yang besar belum bisa menjamin peningkatan produktivitasnya. Produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui pendidikan atau pelatihan. Selain itu, penurunan pertumbuhan kuantitas air bersih disalurkan pada beberapa tahun terakhir serta penurunan efektivitas produksi air bersih oleh PDAM dapat menyebabkan hal di atas. Jalan berkondisi rusak dan rusak berat yang terletak di jalur strategis arus barang dan manusia antarpulau dan antarpropinsi seperti Jalan Lintas Sumatera dapat menyebabkan hal di atas terkait infrastruktur jalan. Selain itu, indikator jalan yang digunakan belum mengaitkannya dengan luas wilayah, sehingga kecukupan panjang jalan per wilayah belum terlihat. Selanjutnya, jumlah puskesmas dan rumah sakit yang banyak belum tentu menjamin kualitas dan akses masyarakat yang cukup tehadap pelayanan pada infrastruktur kesehatan.
6.2
Saran Kondisi konvergensi yang cepat diharapkan akan dapat terjadi jika
pemerintah mengupayakan pembangunan dan perbaikan infrastruktur, terutama di
63
daerah yang berpendapatan rendah. Infrastruktur sebagai prasyarat dalam kelancaran aktivitas ekonomi diharapkan mampu melancarkan kegiatan ekonomi di daerah berpendapatan rendah, agar kemudian daerah tersebut mampu meningkatkan kemampuannya untuk mengejar ketertinggalannya terhadap daerah yang kaya. Hal tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan perbaikan infrastruktur jalan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya. Prioritas utama terhadap pembangunan infrastruktur jalan adalah pada jalan yang merupakan jalur utama distribusi barang dan mobilitas manusia dari luar Pulau Sumatera dan anatarpropinsi di Pulau Sumatera, yaitu Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum). Perbaikan jaringan jalan harus disertai pengawasan yang benar. Selain itu, pembangunan jalan terpadu sepanjang Sumatera seperti Trans Sumatera Highway juga dapat membantu melancarkan transportasi antardaerah. Pengupayaan terhadap distribusi listrik yang berkelanjutan penting dilakukan oleh pihak PT. PLN. Hal ini dilakukan untuk memberikan daya tarik bagi investor untuk dapat berinvestasi di daerah yang berpendapatan rendah dan meningkatkan produktivitas aktivitas di daerah tersebut. PDAM perlu mengatasi masalah kebocoran pipa agar dapat meningkatkan kemampuan efektifnya dalam mendistribusikan air bersih. Pemerintah melalui instansi terkait perlu mendorong berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan untuk memudahkan akses pendidikan, agar masyarakat dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya untuk meningkatkan kualitasnya sebagai tenaga kerja. Tenaga kerja yang berkualitas diharapkan mampu berproduksi dengan lebih produktif. Ketersediaan infrastruktur kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas belum cukup untuk melihat dampak infrastruktur kesehatan terhadap perekonomian. Hal itu harus dilengkapi dengan kualitas dan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan infrastruktur kesehatan. Disarankan penelitian selanjutnya dapat menganalisis lebih lanjut mengenai pengaruh infrastruktur lain terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera seperti bandara, kereta api, dan lain-lain yang juga dapat melancarkan arus barang, jasa, manusia, dan informasi. Pemilihan indikator infrastruktur serta kualitas infrastruktur dalam penggunaan variabel juga perlu diperhatikan. Dengan demikian, hasil yang didapat bisa lebih menyeluruh.
64
DAFTAR PUSTAKA
Agarwalla, Astha dan Prem Pangotra. 2011. Regional Income Disparities in India and Test for Convergence 1980 to 2006. Working Paper No.2011-01-04 Indian Institute of Management Ahmedabad (IIMA). Ahmad. 2008. Pemadaman Listrik Bergilir Berdampak Meningkatnya Kriminalitas.http://www.antarasumbar.com/eng/index.php?mod=berita&d =1&id=628 [diakses 28 Mei 2012]. Baltagi, Badi H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data 3rd Edition. John Wiley & Sons, England. Bappenas. 2003. Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis. Perum Percetakan Negara RI, Jakarta. Barro, Robert J. dan Xavier Sala-i Martin. 2004. Economic Growth 2nd Edition. MIT Press, London. Blundell, Richard dan Stephen Bond. 1998. Initial Conditions and Moment Restrictions in Dynamic Panel Data Models. Journal of Econometrics, 87: 115-143. Bouhia, Hynd. 2001. Water in the Macro Economy : Integrating Economics and Engineering into an Analytical Model. Ashgate Publishing Limited, England . BPS. Berbagai tahun publikasi. Produk Domestik Regional Bruto ProvinsiProvinsi di Indonesia menurut Lapangan Usaha. BPS, Jakarta. BPS. Berbagai tahun publikasi. Statistik Air Bersih. BPS, Jakarta. BPS. Berbagai tahun publikasi. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta. BPS. Berbagai tahun publikasi. Statistik Perhubungan. BPS, Jakarta. BPS. Berbagai tahun publikasi. Statistik Transportasi. BPS, Jakarta. BPS Propinsi Banten, Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik (editor). 2008. Memahami Data Strategis yang Dihasilkan BPS. BPS Propinsi Banten, Serang. Del Bo, Chiara, Massimo Florio, dan Giancarlo Manzi. 2010. Regional Infrastructure and Convergence : Growth Implications in a Spatial Framework. Transit Stud Rev (2010), 17: 475-493.
65
Dornbusch, Rudiger, Stanley Fischer, dan Richard Startz. 2008. Makroekonomi Edisi 10. Roy Indra Mirazudin [penerjemah]. Media Global Edukasi, Jakarta. Firdaus, Muhammad. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. IPB Press, Bogor. Greenwald, Douglas. 1973. The McGraw-Hill Dictionary of Modern Economics ; A Handbook of Terms and Organization 2nd edition. McGraw-Hill, New York. Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics 4th edition. McGraw-Hill, New York. Indra. 2009. Analisis Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan per Kapita : Studi Komparatif di Sepuluh Negara Asia Pasifik. [Tesis]. IPB, Bogor. Jan, Sajjad Ahmad dan A.R. Chaudhary. 2011. Testing the Conditional Convergence Hypothesis for Pakistan. Pak. J. Commer. Soc. Sci 2011 Vol. 5 (1): 117-128. Kementerian Kesehatan RI. Berbagai tahun publikasi. Profil Kesehatan Indonesia. Kemenkes, Jakarta. Kompas. 2008. Krisis Listrik Masih Panjang. http://cetak.kompas.com/read/2008/ 07/01/01360495/krisis.listrik.masih.panjang [diakses 16 Juli 2012]. Krismanti, Tri Wahyuni. 2011. Konvergensi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. [Tesis]. IPB, Bogor. Lorde, Troy, Kimberly Waithe, dan Brian Francis. 2010. The Importance of Eletrical Energy for Economic Growth in Barbados. Energy Economics, 32 (2010): 1411-1420. Manasan, Rosario G. dan Ruben G. Mercado. 1999. Regional Economic Growth and Convergence in The Philippines : 1975-1997. Discussion Paper Series No. 99-13 Philippine Institute for Development Studies. Mankiw, N. Gregory. 2006. Makroekonomi. Fitria Liza dan Imam Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Margono, Novy Farah. 2009. Pengaruh Infrastruktur Terhadap Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia : Analisis Data Panel 1995-2005. [Skripsi]. UI, Depok. Peraturan Presiden RI No.29 Tahun 2011. Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2012, Buku III : Pembangunan Berdimensi Kewilayahan, Bab 2 : Pengembangan
66
Wilayah Sumatera Tahun 2012. http://kawasan.bappenas.go.id/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=205&Itemid=215 [diakses 17 Juli 2012]. PLN. Berbagai tahun publikasi. Statistik PLN. PLN, Jakarta. Prasetyo, Rindang Bangun. 2008. Ketimpangan dan Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pembangunan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia (KBI). [Skripsi]. IPB, Bogor. Pusat Komunikasi Publik Kementerian PU. 2012. Pemerintah Terus Kaji Tol Trans Sumatera. http://www.pu.go.id/main/view/7223 [diakses 4 Mei 2012]. Raksono, Satrio Sang, Aditya Anwar, dan Pradoto Imam Santoso. 2009. Kajian Ekonomi Akibat Kerusakan Jalan Nasional di Lintas Sumatera. http://sosekling.pu.go.id/database/database/penelitian/83 [diakses 15 Juli 2012]. Ramelan, Rahardi. 1997. Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. Penerbit Koperasi Jasa Profesi LPPN, Jakarta. Risgianto. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Daerah Kabupaten Brebes Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah (Tahun 1993-2004). [Skripsi]. Univesitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Rochaety, Eti dan Ratih Tresnati. 2005. Kamus Istilah Ekonomi. Bumi Aksara, Jakarta. Salim, Emil. 2000. Kembali ke Jalan Lurus Esai-Esai 1966-99. AlvaBet, Jakarta. Setiadi, Elen. 2006. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Dasar Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional (8 Propinsi di Pulau Sumatera). [Tesis]. UI, Depok. Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1. Haris Munandar dan Puji A.L [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Valdés, Benigno. 2003. An Application of Convergence Theory to Japan’s PostWWII Economic Miracle. Journal of Economic Education, Vol.34 No.1 : 61-81. Verbeek, Marno. 2004. A Guide to Modern Econometrics 2nd Edition. John Wiley & Sons, England.
67
LAMPIRAN
68
Lampiran 1. Estimasi Konvergensi dengan Sys-GMM . xtset prop tahun panel variable: time variable: delta:
prop (strongly balanced) tahun, 2003 to 2010 1 unit
. xtdpdsys y p l j k, pre(a) twostep maxldep(2) maxlags(2) noconstant System dynamic panel-data estimation Group variable: prop Time variable: tahun
Number of obs Number of groups Obs per group:
Number of instruments =
40
= =
63 9
min = avg = max =
7 7 7
= =
14871.47 0.0000
Wald chi2(6) Prob > chi2
Two-step results y
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
y L1.
.9301395
.2316774
4.01
0.000
.47606
1.384219
a p l j k
.0202355 -.2074573 .1074767 -.0129681 -.0516904
.023417 .1977042 .0641844 .0180932 .1523295
0.86 -1.05 1.67 -0.72 -0.34
0.388 0.294 0.094 0.474 0.734
-.025661 -.5949503 -.0183224 -.0484303 -.3502508
.066132 .1800358 .2332758 .022494 .2468699
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/3).y L(1/2).a Standard: D.p D.l D.j D.k Instruments for level equation GMM-type: LD.y D.a . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2
z
Prob > z
-1.6724 -.2607
0.0944 0.7943
H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(34) Prob > chi2
= =
2.919797 1.0000
69
Lampiran 2. Estimasi Konvergensi dengan PLS
. xtset prop tahun panel variable: time variable: delta:
prop (strongly balanced) tahun, 2003 to 2010 1 unit
. reg y l.y p a l j k Source
SS
df
MS
Model Residual
12.1287649 .036932585
6 56
2.02146081 .00065951
Total
12.1656975
62
.196220927
y
Coef.
Std. Err.
y L1.
.9513186
.0117016
p a l j k _cons
-.00864 .026322 .0414243 -.0359749 -.0480188 .7618217
.0200167 .0058377 .0157517 .0170499 .0185076 .3177625
t
Number of obs F( 6, 56) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE
= 63 = 3065.09 = 0.0000 = 0.9970 = 0.9966 = .02568
P>|t|
[95% Conf. Interval]
81.30
0.000
.9278775
.9747596
-0.43 4.51 2.63 -2.11 -2.59 2.40
0.668 0.000 0.011 0.039 0.012 0.020
-.0487383 .0146276 .0098698 -.0701299 -.085094 .125267
.0314582 .0380163 .0729789 -.0018199 -.0109437 1.398377
Lampiran 3. Estimasi Konvergensi dengan Fixed Effect
. xtreg y l.y p a l j k, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prop
Number of obs Number of groups
= =
63 9
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
7 7.0 7
within = 0.9281 between = 0.9857 overall = 0.9837
corr(u_i, Xb)
F(6,48) Prob > F
= 0.2270
y
Coef.
y L1.
.9217419
.0503306
p a l j k _cons
.0534675 .0087123 .0051391 -.0226183 .0241067 .3794417
.0779418 .0118301 .0302918 .0203869 .0638401 1.009777
sigma_u sigma_e rho
.05624349 .0248771 .83637297
(fraction of variance due to u_i)
F test that all u_i=0:
Std. Err.
F(8, 48) =
t
= =
103.22 0.0000
P>|t|
[95% Conf. Interval]
18.31
0.000
.8205454
1.022938
0.69 0.74 0.17 -1.11 0.38 0.38
0.496 0.465 0.866 0.273 0.707 0.709
-.1032451 -.0150736 -.0557667 -.0636089 -.1042524 -1.650851
.21018 .0324982 .0660449 .0183724 .1524658 2.409735
1.46
Prob > F = 0.1970