ANALISIS PENGARUH FAKTOR IKLIM TERHADAP TINGKAT SERANGAN HAMA WERENG COKELAT (Studi kasus : Kabupaten Karawang)
FEBRI KURNIA SARI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRACT FEBRI KURNIA SARI (G24070027). Analysis of Brown Planthopper Attack Area as Influenced by Climate Factor (Case study : Karawang Regency, West Java). Supervised by YONNY KOESMARYONO and IMPRON. Brown Planthopper (Nilaparvata lugens Stal) is one of the limiting factors that cause decline in rice production. Based on existing data, the highest level of infestation occurred in 1998 in three areas of West Java, namely Karawang, Subang, and Indramayu at a total of 40.000 ha. The purpose of this study was to determine the effect of climatic elements on the level of infestation by brown planthopper on rice plantation in Karawang Regency. Climatic elements are used as the independent variable (x) and area infested by brown planthopper as the dependent variable (Y). A quadratic regression and multiple regression were used for the analysis. Quadratic regression analysis is used to express the relationship between the area infested and the climatic elements. Multiple linear regression analysis was performed to obtain the relationship of five climatic factors, namely the maximum temperature, minimum temperature, average temperature, humidity, and rainfall as a whole against area infested by brown planthopper. Climatic element that had the most influence was the minimum temperature with the value of the coefficient of determination (R2 = 17.6%) and with the regression equation of LS = - 8276 + Tm 797.6 - 18.69 TM2. The equation obtained from multiple regression analysis was LS = 905 - 28.0 Tr - 0:12 RH + CH 0210, with R2 = 7.2 %. These results suggested that there was a weak relationship between the area of infestation and the climatic elements.
Key words: climatic element, brown planthopper, area of infestation
ABSTRAK FEBRI KURNIA SARI (G24070027). Analisis Pengaruh Faktor Iklim Terhadap Tingkat Serangan Hama Wereng Cokelat (Studi kasus : Kabupaten Karawang). Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan IMPRON Hama wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens Stal) merupakan salah satu faktor pembatas yang menyebabkan penurunan produksi padi. Berdasarkan data yang ada, tingkat serangan hama tertinggi terjadi pada tahun 1998 di tiga wilayah Jawa Barat yaitu Karawang, Subang, dan Indramayu dengan luas serangan sebesar 40,000 ha. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh unsur-unsur iklim terhadap luas serangan hama wereng cokelat di Karawang. Unsur iklim digunakan sebagai variabel bebas (x) dan luas serangan hama wereng cokelat digunakan sebagai variabel terikat (Y). Analisis statistik yang digunakan adalah analisis regresi kuadratik dan analisis regresi berganda. Analisis regresi kuadratik digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan faktor iklim. Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan lima faktor iklim yaitu suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata, kelembaban, curah hujan secara keseluruhan terhadap luas serangan. Faktor iklim yang memiliki pengaruh paling besar adalah suhu minimum dengan nilai koefisien determinasi (R 2 = 17.6 %) dan dengan persamaan regresi adalah LS = - 8276 + 797.6 Tm - 18.69 Tm2. Persamaan yang didapatkan dari analisis regresi berganda adalah LS= 905 - 28.0 Tr - 0.12 RH + 0.210 CH, dengan R2= 7.2 %. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa hubungan antara luas serangan hama dengan unsur-unsur iklim tidak nyata.
Kata kunci: unsur iklim, wereng cokelat, luas serangan
ANALISIS PENGARUH FAKTOR IKLIM TERHADAP TINGKAT SERANGAN HAMA WERENG COKELAT (Studi kasus : Kabupaten Karawang)
FEBRI KURNIA SARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Mayor Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi Nama NIM
: Analisis Pengaruh Faktor Iklim Terhadap Tingkat Serangan Hama Wereng Cokelat (Studi Kasus: Kabupaten Karawang) : Febri Kurnia Sari : G24070027
Menyetujui Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS. NIP: 19581228 198503 1 003
Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc. NIP: 19630315 199203 1 002
Mengetahui: Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. NIP: 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus:
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya sehingga penelitian dengan judul Analisis Pengaruh Faktor Iklim Terhadap Tingkat Serangan Hama Wereng Cokelat (Studi kasus : Kabupaten Karawang) dapat penulis seleseikan. Karya ilmiah ini disusun dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Sains pada mayor Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak terutama Allah SWT, kedua orang tua tercinta, ayahanda Adriandi, ibunda Yunne Rossa, adinda Miftahurrahmi, adinda Azizah Ulfi, adinda Annisa, keluarga besar dan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS selaku pembimbing I dan Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc selaku pembimbing II atas bimbingan, arahan, dan nasehat selama pelaksanaan penelitian. 2. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku Ketua Departemen Meteorologi dan Geofisika yang telah memberikan saran serta seluruh dosen GFM yang telah memberikan banyak ilmu. 3. Ka anang yang telah membantu penulis menyeleseikan penelitian, mbak wita yang memberikan nasehat kepada penulis 4. Teman-teman GFM 44, terima kasih atas dukungan dan kebersamaan baik dalam suka maupun duka. 5. Staf tata usaha Departemen Geofisikan dan Meteorologi. 6. Teman-teman Pondok Raos, terima kasih atas dukungan dan semangatnya. 7. Seluruh kakak kelas dan adik kelas GFM. 8. Semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki kekurangan penulisan. Harapan penulis semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Bogor, Maret 2012
Febri Kurnia Sari
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Muara Panas Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 13 Februari 1989 sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Penulis dilahirkan dari pasangan Adriandi dan Yunne Rossa. Penulis menyeleseikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Negeri 01 Muara Panas dan melanjutkan pendidikan di Mts Negeri Koto Baru. Setelah menyeleseikan studi di Mts pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Kota Solok dan lulus pada tahun 2007. Kemudian penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dengan Program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis menyeleseikan minor Ekonomi Sumberdaya pada semester 7. Selama masa studi, penulis aktif dalam organisasi himagreto tahun 2008 dalam bidang keilmuan. Penulis juga mengikuti kegiatan seperti Earth Chalenge. Untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si), penulis membuat tugas akhir dengan judul Analisis Pengaruh Faktor Iklim Terhadap Tingkat Serangan Wereng Cokelat (Studi Kasus : Kabupaten Karawang) dibawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS. dan Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc.
ix
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................................................ vii RIWAYAT HIDUP ..................................................................................................................... viii DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................... xii I.
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1 1.2 Tujuan ............................................................................................................................ 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................... 2.1 Definisi Hama ............................................................................................................... 2.2 Hama Wereng Cokelat .................................................................................................. 2.2.1 Bioekologi Wereng Cokelat .................................................................................. 2.2.2 Gejala Serangan ................................................................................................... 2.2.3 Biotipe Wereng Cokelat ....................................................................................... 2.2.4 Perkembangan Populasi ....................................................................................... 2.2.5 Morfologi .............................................................................................................. 2.2.5.1 Siklus Hidup.............................................................................................. 2.2.5.2 Telur .......................................................................................................... 2.2.5.3 Nimfa ........................................................................................................ 2.2.5.4 Imago ........................................................................................................ 2.2.6 Faktor Pemicu Serangan Wereng Cokelat ............................................................ 2.2.7 Tekhnik Pengendalian Wereng Cokelat ................................................................ 2.3 Pengaruh Unsur Iklim Pada Wereng Cokelat ................................................................ 2.3.1 Suhu Udara ........................................................................................................... 2.3.2 Kelembaban Udara................................................................................................ 2.3.3 Curah Hujan .......................................................................................................... 2.3.4 Cahaya dan Radiasi ............................................................................................... 2.3.5 Angin ....................................................................................................................
1 1 1 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 6 6 6 7
III. METODE PENELITIAN ..................................................................................................... 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................................ 3.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................................. 3.3 Tahapan Penelitian ......................................................................................................... 3.3.1 Persiapan Data ...................................................................................................... 3.3.2 Pengolahan Data ...................................................................................................
7 7 7 7 7 7
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................ 8 4.1 Kondisi Geografis Kabupaten Karawang ....................................................................... 8 4.2 Kondisi Iklim Kabupaten Karawang .............................................................................. 8 4.3 Periodisasi Musim Tanam Padi di Karawang ................................................................. 10 4.4 Kondisi Serangan Wereng Cokelat Kabupaten Karawang ............................................. 10 4.5 Analisis Regresi ............................................................................................................. 12 4.5.1 Regresi Kuadratik ................................................................................................. 12 4.5.2 Regresi Berganda .................................................................................................. 16 4.6 Analisis Klimogram ....................................................................................................... 16 V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 17 5.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 17 5.2 Saran .............................................................................................................................. 17 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 17 LAMPIRAN ................................................................................................................................ 19
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 2
Intensitas serangan hama ..................................................................................................... 7 Periodisasi musim tanam padi di Karawang ......................................................................... 10 Koefisien determinasi (R2) unsur iklim ................................................................................ 12
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Wereng Cokelat .................................................................................................................... 2 Wereng Cokelat Makroptera dan Brakiptera......................................................................... 2 Siklus hidup Wereng Cokelat ............................................................................................... 3 Telur Wereng Cokelat ........................................................................................................... 4 Nimfa Wereng Cokelat ......................................................................................................... 4 Peta Karawang ...................................................................................................................... 8 Suhu Udara Bulanan (2004-2009) ........................................................................................ 9 Kelembaban Bulanan (2004-2009) ....................................................................................... 9 Curah hujan rata-rata (1974-2009) ........................................................................................ 9 Hubungan suhu rata-rata bulanan dengan luas serangan hama ............................................. 10 Hubungan suhu maksimum bulanan dengan luas serangan hama ........................................ 11 Hubungan suhu minimum bulanan dengan luas serangan hama .......................................... 11 Hubungan kelembaban bulanan dengan luas serangan hama ................................................ 12 Hubungan curah hujan bulanan dengan luas serangan hama ............................................... 12 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu rata-rata (Tr) (tanpa lag) .................................. 13 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu rata-rata (Tr) (lag 1) ......................................... 13 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu rata-rata (Tr) (lag 2) ......................................... 13 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu maksimum (TM) (tanpa lag) ............................ 14 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu minimum (Tm) (tanpa lag) .............................. 14 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu minimum (Tm) (lag 1) ..................................... 14 Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu minimum (Tm) (lag 2) ..................................... 15 Hubungan luas serangan (LS) dengan kelembaban (RH) (tanpa lag) ................................... 15 Hubungan luas serangan (LS) dengan curah hujan (CH) (lag 2) .......................................... 15 Klimogram Wereng Cokelat ................................................................................................. 16
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata tanpa lag .......................................... 20 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata lag 1 ................................................. 20 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata lag 2 ................................................. 20 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu maksimum tanpa lag...................................... 21 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum tanpa lag ........................................ 21 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum lag 1 .............................................. 21 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum lag 2 .............................................. 22 Hasil output minitab 14 analisis regresi kelembaban tanpa lag ............................................ 22 Hasil output minitab 14 analisis regresi curah hujan lag 2 .................................................... 22 Hasil output minitab 14 analisis regresi curah hujan lag 2 .................................................... 23
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi merupakan tanaman pertanian yang menyediakan beras bagi kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 kebutuhan konsumsi beras penduduk perkapita adalah 109-139 kg pertahun sehingga kebutuhan nasional beras pertahun adalah 66.649 juta ton beras (BPS 2010). Pemenuhan kebutuhan ini akan menjadi terhambat apabila terdapat faktor pembatas yang mengganggu pertumbuhan dan produktivitas padi. Salah satu faktor pembatas tersebut adalah hama tanaman. Hama merupakan hewan pengganggu yang dapat merusak tanaman serta menimbulkan kerugian besar pada produksi pertanian tanaman padi. Masalah hama di Indonesia telah menjadi isu penting dalam produksi pertanian. Ada dua parameter yang menjadi masalah hama di Indonesia yaitu luas persawahan dan kehilangan hasil pertanian akibat ledakan hama. Sementara itu kehilangan hasil pertanian lebih disebabkan oleh variasi lokasi, kerentanan dari varietas padi, hama yang dominan, serta kemampuan dari petani sendiri untuk mengantisipasi masalah hama. Kehilangan hasil pertanian yang disebabkan oleh serangan hama diperkirakan mencapai 11.3 % - 33.1 % pertahun dalam 14 tahun terakhir. Salah satu hama yang sangat merugikan petani dari segi produksi padi adalah wereng cokelat. Pada periode 19701980, luas serangan wereng coklat mencapai 2.5 juta ha. Dalam periode 1980-1990, luas serangannya menurun menjadi 50,000 ha, dan dalam periode 1990-2000 meningkat hingga sekitar 200,000 ha (Baehaki 1996). Sementara itu di Jawa Barat serangan wereng cokelat terjadi di jalur pantura pada tahun 1998 dan 2005 meliputi wilayah Subang, Karawang, dan Indramayu mencapai 40,000 ha. Serangan tersebut menyerang semua varietas padi dengan tingkat kerusakan berkisar dari ringan sampai dengan berat, bahkan puso. (Nurbaeti et al. 2010). Adanya serangan hama di Karawang yang merupakan salah satu sentra produksi padi dapat mengganggu suplai beras domestik. Pemahaman tentang perkembangan hama pada ekosistem padi- salah satunya adalah pemahaman tentang siklus hidup hama dan kaitannya dengan faktor lingkungan, antara lain iklim - merupakan hal yang penting. Dengan mengetahui siklus hidup hama yang
dikaitkan dengan iklim di wilayahnya diharapkan dapat membantu dalam mengelola dan mengendalikan serangan hama wereng yang pada akhirnya dapat membantu mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. Kajian mengenai pengaruh iklim terhadap serangan hama wereng cokelat perlu dilakukan. Strategi antisipasi dan teknologi adaptasi terhadap perubahan iklim dan serangan hama merupakan salah satu aspek yang harus menjadi rencana strategi untuk menyikapi perubahan iklim. Dengan demikian penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi untuk menekan penurunan produksi maupun kegagalan panen. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan berbagai faktor iklim dengan luas serangan hama wereng cokelat (Nilaparvata lugens Stal) di Kabupaten Karawang dan menggambarkan klimogram Kabupaten Karawang.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Hama Hama merupakan serangga perusak tanaman budidaya yang berguna untuk kesejahteraan manusia (Pracaya 2008). Proses terjadinya hama tidak lepas dari pengaruh lingkungan, perubahan pandangan manusia, perpindahan tempat, dan aplikasi insektisida yang tidak bijaksana. Pada ekosistem alami makanan hama terbatas dan musuh alami berperan aktif selain hambatan lingkungan, sehingga populasi hama rendah. Sebaliknya pada ekosistem pertanian, terutama monokultur makanan hama relatif tidak terbatas sehingga populasi bertambah dengan cepat tanpa dapat diimbangi oleh musuh alaminya. 2.2 Hama wereng cokelat Menurut Soegawa (1986) hama padi yang merusak adalah wereng cokelat. Wereng coklat dapat menyebabkan daun berubah kuning oranye sebelum menjadi coklat dan mati. Dalam keadaan populasi wereng tinggi dan varietas yang ditanam rentan wereng coklat dapat mengakibatkan tanaman seperti terbakar atau “hopperburn”. Wereng coklat juga dapat menularkan penyakit virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput, dua penyakit yang sangat merusak. Pada awalnya serangga ini dianggap sebagai minor pest dalam jumlah yang sedikit
2
sehingga tidak menyebabkan pengaruh yang terlalu besar. Namun sejak tahun 1970 secara signifikan serangan hama ini terus berkembang di Indonesia terutama di daerah Sumatera, Jawa, dan Bali. Penyebab perkembangan hama ini antara lain penanaman padi yang berkelanjutan sepanjang tahun, sistem rotasi tanaman serta kurangnya control terhadap rumput liar (Khalshoven 1981).
1986 dalam Soemawinata Sosromarsono1986).
dan
Gambar 2 Wereng Cokelat Makroptera dan Brakiptera Sumber : Nurbaeti et al. (2010)
Gambar 1 Wereng Cokelat Sumber: (www.agrocourier.com) Wereng coklat adalah hama yang berbahaya untuk tanaman padi, karena inang utama wereng batang coklat adalah tanaman padi. Dengan demikian perkembangan populasi wereng batang coklat tergantung pada adanya tanaman padi. Hama wereng cokelat ini dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman padi, dimana tanaman padi akan menguning dan cepat sekali mengering (Pracaya 2008). 2.2.1 Bioekologi Wereng Coklat Wereng cokelat merupakan serangga yang menghisap cairan tanaman dan bewarna kecoklat-coklatan. Serangga ini memiliki panjang tubuh 2 - 4.4 mm. Setelah dewasa serangga tersebut memilki dua bentuk yaitu serangga bersayap pendek (brachypters) dan serangga yang bersayap panjang (macropters.). Makroptera mempunyai kemampuan terbang serta dapat bermigrasi jauh. Brachypters mulai bertelur lebih awal daripada macropters. Wereng cokelat bersifat endernik di daerah oriental tropis, tetapi secara temporer dapat rnencapai Korea dan Jepang khususnya di musim panas. Wereng coklat adalah serangga monofag, terbatas pada padi dan padi liar (Oryza parennis dan Oryza spontanea) (Soegawa
Kemunculan hama wereng cokelat dengan morfologi brachypters disebabkan oleh ketersediaan pakan pada stadium nimfa yang berlebih serta didorong oleh kisaran suhu optimal yang sesuai dengan pertumbuhannya. Sedangkan hama wereng cokelat dengan morfologi macropters berkembang karena populasi yang tinggi saat stadium nimfa serta penurunan kualitas dan kuantitas sediaan pakan (Oktarina 2009). 2.2.2 Gejala Serangan Serangan wereng ini terjadi pada tanaman padi yang telah dewasa, tetapi belum memasuki masa panen. Adakalanya wereng juga menyerang persemaian padi. Jika tanaman padi muda yang terserang warna daun akan menjadi kuning dan pertumbuhan akan terhambat sehingga tanaman tetap menjadi kerdil. Serangan hebat akan mengakibatkan tanaman menjadi layu dan mati. Perkembangan akar menjadi terhambat. Wereng cokelat mengeluarkan kotoran embun madu yang biasanya akan ditumbuhi cendawan jelaga sehingga daun padi menjadi hitam. Banyaknya kotoran putih bekas pergantian kulit nimfa menunjukkan populasi wereng telah tinggi. Wereng secara langsung akan mematikan tanaman dan menyebarkan penyakit virus kerdil rumput (Pracaya 2008). 2.2.3 Biotipe wereng cokelat Wereng coklat adalah serangga yang plastis dan mudah beradaptasi pada kondisi lingkungan yang berubah.
3
Populasi wereng coklat awal sebelum varietas tahan digunakan disebut biotipe 1. Varietas tahan, seperti IR 26, yang tahan terhadap biotipe I , dalam waktu lima musim sudah tidak tahan terhadap hama. Hal ini disebabkan oleh populasi wereng coklat biotipe 1 sudah berubah menjadi biotipe 2. Pada saat ini di Indonesia pada umumnya populasi wereng coklat adalah biotipe 2. Di dalam populasi wereng coklat dengan genetik yang sangat beragam, sebagian dari populasi sebenarnya dapat hidup pada varietas tahan (Soemawinata 1986). 2.2.4 Perkembangan Populasi Perkembangan populasi wereng cokelat sejak penanaman padi sampai panen merupakan dasar pengendalian hama . Perkembangan populasi wereng coklat dimulai dari makroptera wereng cokelat yang datang sebagai serangga migran dari tempat lain. Wereng coklat pendatang ini kemudian berkembang biak dan selama stadium vegetatif dapat mencapai satu atau dua generasi tergantung dari saat irnigrasinya. Bila migrasi terjadi pada umur tanarnan 2 - 3 minggu setelah tanam (MST), maka selama stadium vegetatif serangga itu berkembang biak sebanyak dua generasi. Populasi nimfa generasi pertama dan kedua berturut-turut muncul pada umur 5 - 6 MST dan 10 - l l MST. Bila migrasi terjadi setelah tanaman berumur 5 - 6 MST, maka akan hanya dijumpai satu puncak populasi nimfa, yaitu pada umur 4 - 10 MST. Serangga dewasa generasi pertama (pada lebih kurang 7 MST) pada umumnya adalah brakiptera. Serangga betina berakiptera tidak memencar, dan meletakkan telur dalam jumlah besar. Pada generasi berikutnya persentase serangga dewasa makroptera meningkat. Serangga dewasa yang muncul setelah stadium pembungaan umumnya makroptera yang kemudian memencar bermigrasi ke persawahan lain (Soemawinata dan Sosromarsono1986). 2.2.5 Morfologi 2.2.5.1Siklus Hidup Satu generasi hama wereng cokelat antara 28-32 hari pada suhu 250C dan 23-25 hari pada suhu 280C. Ada 3 fase dalam satu siklus hidupnya yaitu: fase telur 8-10 hari, fase nympha 12-14 hari, dan fase
imago praoviposisi adalah 4-8 hari (Subroto et al. 1992). Siklus hidup satu generasi wereng cokelat di daerah tropis rata–rata berkisar antara 21 – 28 hari, Seekor imago jantan rata-rata hidupnya 21 hari dan imago betina 25 hari. Bentuk imago brakipetra lebih dahulu bertelur daripada bentuk makropetra. Berdasarkan umur padi dan umur imago wereng cokelat dalam setiap generasi, maka selama satu musim tanam dapat timbul 2-8 imago wereng cokelat (Hidayat 2000).
Gambar 3 Siklus Hidup Wereng Cokelat Sumber : Nurbaeti et al. (2010) 2.2.5.2Telur Telur wereng coklat pada saat diletakkan berwarna putih bening dan lama kelamaan berubah warna sesuai dengan perkembangan embrio. Telur berbentuk oval, bagian ujung, pangkal dan tutup telurnya tumpul, serta mempunyai perekat pada pangkal telurnya yang menghubungkan telur satu dengan lainnya (Subroto et al. 1992). Telur biasanya diletakkan dalam jaringan pelepah daun dan helaian daun padi. Peletakkan telur secara berkelompok dan tersusun seperti buah pisang dengan jumlah telur tiap kelompok antara 2-37 butir. Selama hidupnya, seekor WBC betina menelurkan telur sekitar 390 butir (Sogawa 1971). Wereng cokelat berkembang biak secara seksual dan memiliki siklus hidup yang pendek. Wereng bersayap pendek membutuhkan masa peneluran selama 3-4 hari dan
4
3-8 hari untuk wereng bersayap panjang. Tingkat perkembangan wereng betina dapat dibagi ke dalam masa peneluran 2-8 hari dan masa bertelur 9-23 hari. Masa peneluran dapat berlangsung dari beberapa jam sampai 3 hari. Masa pra-dewasa adalah 19-23 hari.
Gambar 4 Telur Wereng Cokelat Sumber : IRRI (2009) 2.2.5.3 Nimfa Wereng cokelat yang baru menetas sebelum menjadi dewasa (imago) akan melewati lima tahapan pergantian kulit (instar) nimfa yang dibesakan menurut ukuran bentuk tubuh dan bakal sayapnya. Periode setiap instar nimfa berkisar antara 24 hari, sehingga wereng cokelat rata-rata menghabiskan 12-15 hari pada seluruh fase nimfa (Sogawa 1971). Nimfa akan berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa yaitu bentuk bersayap pendek dan bersayap panjang. Kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman tua daripada tanaman muda, dan lebih banyak pada tanaman setengah rusak daripada tanaman sehat.
Gambar 5 Nimfa Wereng Cokelat Sumber : Nurbaeti et al. (2010)
2.2.5.4 Imago Serangga dewasa wereng cokelat mempunyai dua bentuk, yaitu bersayap sempurna (makroptera) dan bersayap tidak sempurna atau tidak dapat terbang (brakhiptera). Wereng cokelat makroptera dapat bermigrasi dari satu sawah ke sawah lain setelah persemaian. Generasi WBC yang umumnya ditemukan terdiri dari betina brakhiptera dan jantan makroptera (Subroto et al. 1992). Pada kepadatan populasi tinggi atau keadaan kekurangan makanan maka akan terbentuk lebih banyak serangga makroptera pada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika keadaan makanan cukup, maka akan terbentuk lebih banyak serangga dewasa brakhiptera. 2.2.6 Faktor Pemicu Serangan Wereng Cokelat Kerusakan tanaman padi akibat populasi wereng cokelat yang tinggi dipicu oleh beberapa faktor pendukung perkembangan wereng cokelat. Menurut Baehaki (1985) faktor yang mendukung perkembangan wereng cokelat mencapai populasi yang tinggi adalah penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan, iklim yang sesuai bagi perkembangan wereng cokelat, dan teknik penanaman yang rapat. 2.2.7 Teknik Pengendalian Wereng Cokelat Pengendalian hama wereng cokelat dapat dilakukan dengan mengganti pola bercocok tanam, memilih varietas tahan hama, pengendalian biologi, dan penggunaan pestisida. Cara bercocok tanam yang dianjurkan adalah tanam serentak dalam satu wilayah, pergiliran tanaman, penggunaan varietas tahan dan sanitasi. Pada daerah yang kekurangan air dan bertanam padi hanya dapat dilakukan satu kali yaitu pada musim hujan, maka pergiliran tanaman dapat berjalan dengan sendirinya. Pada musim hujan sebaiknya ditanam varietas tahan terhadap wereng coklat, seperti Mekongga, Inpari 1, Inpari 2, Inpari 3, dan Inpari 13. Selanjutnya pengaturan jarak tanam, yaitu tanaman ditanam dalam barisan yang teratur dengan jarak tanam sesuai dengan kondisi agroekosistem setempat agar dapat yang
5
dianjurkan untuk memperlancar gerakan angin dan cahaya matahari masuk ke dalam pertanaman. Hal ini dapat mengubah iklim mikro yang cocok untuk menekan perkembangan wereng coklat (Nurbaeti et al. 2010). Musuh alami yang dapat mengendalikan hama wereng coklat adalah parasitoid, predator dan pathogen. Parasitoid telur seperti Anagrus flaveolus waterhouse, A. Optabilis Perkins, A. Perforator Perkins, Mymar tabrobanicum, Polynema spp., Olygosita, spp., dan Gonatocerus spp. Parasitoid ini dapat memparasitasi telur wereng coklat 45- 87%. Parasitoid nimfa dan wereng dewasa seperti Elenchus, spp., dan Haplogonatopus orientalis. Predator wereng coklat seperti Cytorrhinus lividivennis, Microvelia douglasi, Ophionea indica, dan Paedorus fuscipes, laba-laba Lycosa pseudoannulata (Wolf spider), Tetragnatha sp. (four spider), Clubiona javonicola (sack spider), Araneus inustus (orb spider), Calitrichia formosana, Oxyopes javanus, dan Argiope catenulata (Nurbaeti et al. 2010). Penggunaan insektisida yang tidak bijaksana akan menyebabkan permasalahan hama semakin kompleks, banyak musuh alami yang mati sehingga populasi serangga bertambah tinggi disamping berkembangnya resistensi, resurgensi dan munculnya hama sekunder. Resistensi terhadap insektisida bisa terjadi kalau digunakan jenis Insektisida yang lama (bahan aktif sama atau kelompok senyawa yang sama) secara terus-menerus, terutama dosis yang digunakan tidak tepat (dosis sublethal). Pada populasi serangga di alam terjadi keragaman genetik antara individu - individunya. Ada individu yang tahan terhadap suatu jenis insektisida dan ada yang tidak tahan. Bila digunakan jenis insektisida yang sama secara terus menerus maka individu yang ada dalam populasi tersebut akan terseleksi menjadi individu yang tahan. Apabila serangga tersebut berkembangbiak dan masih digunakan insektisida yang sama dengan dosis yang sama maka jumlah individu yang tahan akan semakin banyak demikian seterusnya (Soemarsono 1979). Beberapa jenis pestisida yang dapat digunakan pada saat ini diantaranya adalah yang berbahan aktif: Fipronil, Tiamektosam, dan Imidakloprid.
Penggaruh penggunaan insektisida yang tidak tepat dan dilakukan secara terus menerus dapat mengakibatkan resistensi, resurjensi dan kematian musuh alami. Oleh karena itu sebelum dilakukan pengendalian insektisida, harus dilakukan monitoring secara dini (Nurbaeti et al. 2010). 2.3 Pengaruh Unsur Iklim Pada Wereng Cokelat 2.3.1 Suhu Udara Serangga merupakan spesies poikilotermal yang suhu tubuhnya bergantung pada suhu udara lingkungan sekitar. Hal ini mengakibatkan suhu udara lingkungan akan memengaruhi proses metabolisme serangga. Menurut Mavi dan Tupper (2004), aktivitas serangga akan lebih cepat dan efisien pada suhu yang tinggi, tapi akan mengurangi lama hidup serangga. Pada beberapa serangga, suhu tinggi akan menghambat metabolisme atau mengakibatkan kematian, tetapi serangga yang hidup di gurun dapat menurunkan laju metabolisme sehingga dapat bertahan pada daerah dengan jumlah makanan dan air terbatas (Speight et al. 2008). Pengaruh suhu udara terhadap hama dan penyakit tumbuhan antara lain mengendalikan perkembangan, kelangsungan hidup dan penyebaran serangga (Koesmaryono 1999). Suhu dinyatakan dalam derajat panas, sumber pada permukaan tanah berasal dari radiasi matahari. Tinggi rendahnya intensitas cahaya matahari berbanding lurus dengan tinggi rendahnya suhu udara. Semua spesies serangga mempunyai kisaran suhu udara tertentu dalam mempertahankan hidupnya. Kisaran ini akan berbeda pada setiap spesies serangga. Bila suhu udara berada di bawah atau di atas keadaan optimal, maka akan menimbulkan kematian serangga dalam waktu dekat. Beberapa serangga dapat beradaptasi menghadapi lingkungan ekstrim dengan diapause. Suhu udara minimum yang memungkinkan serangga masih dapat bertahan hidup adalah pada suhu -30 0C. Perkembangan dan aktivitas serangga akan normal kembali jika suhu udara berada pada kisaran yang cocok (Mavi dan Tupper 2004). Keadaan suhu selama fase nimfa dan dewasa dapat mempengaruhi umur serangga. Sangat sulit menentukan pada
6
keadaan suhu berapa yang paling sesuai bagi perkembangan populasi wereng batang coklat. Kisaran suhu normal untuk wereng cokelat makroptera jantan adalah 9-300C dan untuk wereng cokelat makroptera betina adalah 10-320C (Subroto et al. 1992). Kondisi suhu optimal untuk WBC, terutama untuk perkembahngan telur dan nimfa adalah 25-300C, perkembangan embrio WBC akan terhenti jika suhu kurang dari 100C (Hirano, 1942 dalam Subroto et al. 1992). Menurut Abraham dan Nair (1975) dalam IRRI (1979), bahwa ledakan hama wereng batang cokelat terjadi pada selang suhu 20-300C. Subroto et al., (1992) menyimpulkan suhu harian antara 28300C dan suhu malam hari yang rendah adalah suhu yang paling sesuai untuk pemunculan sejumlah serangga dewasa. 2.3.2 Kelembaban Udara Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses biologi serangga, dimana kisaran kelembaban udara optimum pada umumnya sekitar 73-100%. Kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat aktivitas dan kehidupan serangga, kecuali pada beberapa jenis serangga yang biasa hidup di tempat basah. Kelembaban optimum serangga berbeda menurut jenis dan stadium (tingkatan kehidupan) pada masing-masing perkembangan (Sunjaya 1970). Kelembaban udara merupakan faktor iklim yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan wereng cokelat. Wereng cokelat sangat menyukai lingkungan yang memiliki kelembaban tinggi dengan RH optimal berkisar antara 70-85%. Dalam sebuah penelitian, perkembangan wereng cokelat akan terhambat apabila dipelihara dalam kelembaban nisbi yang konstan di atas 80% pada suhu 290C, namun perkembangannya lebih baik pada kelembaban nisbi yang konstan di bawah 80% pada suhu yang sama (IRRI 1976 dalam Baco 1984). Serangan wereng cokelat berhubungan dengan kepadatan tanaman, radiasi matahari yang rendah, kelembaban yang tinggi, dan perbedaan suhu yang kecil antara siang dan malam hari.
2.3.3 Curah Hujan Kejadian curah hujan dalam suatu areal yang dihuni serangga mengakibatkan pengaruh langsung yaitu hentakan butir hujan pada tempat hidup serangga serta pengaruh tidak langsung pada kelembaban dan tanah. Sebaran hujan sepanjang tahun juga memiliki pola tertentu yang menunjukkan panjang pendeknya pendeknya periode bulan dengan curah hujan banyak (bulan basah) dan periode bulan dengan curah hujan sedikit (bulan kering). Ledakan populasi suatu hama mungkin sangat erat hubungannya dengan periodisitas sebaran hujan tersebut. (Koesmaryono 1991). Variasi curah hujan musiman memengaruhi kelimpahan spesies. Pada saat curah hujan rendah, beberapa spesies serangga kelimpahannya tinggi, walaupun ketersediaan tanaman inang rendah. Curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan kematian langsung pada serangga, atau memungkinkan perkembangan patogen serangga (Mavi dan Tupper 2004). Wereng cokelat memiliki sifat biological clock, dimana wereng cokelat mampu berkembang dengan baik di musim hujan dan musim kemarau yang terdapat hujan (Baehaki 2005 dalam Susanti et al. 2007). Curah hujan tidak bisa dipisahkan dari faktor iklim lain seperti keadaan angin. Kombinasi keduanya dapat menyebabkan tekanan rendah dan konvergensi cuaca dan berakibat pada penyebaran populasi serangga (Speight et al. 1999). 2.3.4 Cahaya dan Radiasi Intensitas cahaya memengaruhi kehidupan serangga. Fluktuasi harian berpengaruh pada suhu udara, kelembaban, makanan, dan sebagainya. (Andrewartha dan Birch 1954). Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda-beda antara serangga yang aktif pada siang hari (diurnal) dengan yang aktif pada malam hari (nocturnal). Pada serangga yang aktif pada siang hari, keaktifannya akan dirangsang oleh keadaan intensitas maupun panjang gelombang cahaya di sekitarnya. Sebaliknya pada serangga malam hari keadaan cahaya tertentu mungkin dapat menghambat keaktifannya (Koesmaryono 1991). Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan cahaya minimum
7
dan lemah, apabila intensitas cahaya ditingkatkan akan mengakibatkan aktivitasnya akan tertekan, begitu pula sebaliknya. Meningkatnya intensitas cahaya dapat mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat umur imagonya (Sunjaya 1970). Faktor cahaya dan radiasi juga mempengaruhi kehidupan wereng batang coklat. Apabila wereng cokelat dewasa dipelihara di tempat gelap maka pematangan indung telur terhambat dan jumlah telur yang di letakkan juga kecil. Wereng cokelat lebih banyak ditemukan pada musim yang sering mendapat radiasi langsung dibandingkan musim yang kurang mendapat sinar matahari langsung (Baco 1984). 2.3.5 Angin Pertumbuhan dan perkembangan serangga secara tidak langsung dipengaruhi oleh angin. Angin mempengaruhi penguapan dan kelembaban udara yang secara tidak langsung memberi efek pada suhu tubuh serangga maupun kadar air dalam tubuh serangga. Namun pengaruh angin yang paling penting adalah karena angin dapat memengaruhi pemencaran dan keaktifan serangga (Koesmaryono 1991). Pemencaran dan aktivitas serangga dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya pada serangga yang bertubuh ringan walaupun berdaya terbang lemah dan tidak bersayap akan mampu pindah ke daerah yang lebih jauh, hal ini terjadi akibat adanya gerak udara vertikal maupun gerak udara horizontal (Sunjaya 1970).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan September 2011 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi. Dengan kajian di Karawang 3.2 Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini: 1. Seperangkat komputer 2. Microsoft Office (Microsoft Word dan Microsoft Excell 3. Minitab 14
4.
5.
Data iklim harian 6 tahun stasiun Jatisari, Kabupaten Karawang (periode tahun 2004 sampai 2009) meliputi data suhu maksimum (T max), data suhu minimum (T min), data suhu rata-rata (T rata), dan data kelembaban udara (RH) serta data curah hujan bulanan periode 19742009 Data luas serangan hama wereng cokelat 2 mingguan di wilayah Karawang selama 4 tahun (20062009)
3.3 Tahapan Penelitian 3.3.1 Persiapan Data Data luas serangan hama yang diperoleh merupakan data 2 mingguan sehingga data iklim disesuaikan dengan data luas serangan hama tersebut. Data luas serangan tersebut merupakan luas tanaman terserang yang dinyatakan dalam hektar. Intensitas serangan hama secara kuantitatif dinyatakan dalam persen. Tabel 1 Intensitas serangan hama Kategori Tingkat serangan >25 %
Ringan
25 – 50 %
sedang
50-90 %
berat
>90 %
puso
Sumber : Ditjentan 1986 3.3.2 Pengolahan Data Analisis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh iklim terhadap serangan hama adalah regresi kuadratik, dan regresi berganda. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi kuadratik digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan faktor iklim yaitu suhu rata-rata, suhu makasimum, suhu minimum, kelembaban, dan curah hujan. Persamaan umum regresi kuadratik adalah sebagai berikut : Y = a + b1x1 + b2x22 dimana : Y = luas serangan wereng cokelat x = Tmax, Tmin, Trata,RH, dan CH a,b= konstanta
8
Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan lima faktor iklim, yaitu suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata, kelembaban, curah hujan secara keseluruhan terhadap luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan faktor iklim dan luas serangan WBC secara umum. Persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut : Y : a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + b5x5 dimana : Y = luas serangan WBC x = unsur iklim (Tmax, Tmin, Trata,RH, dan CH) a,b= konstanta (Tingkat keeratan hubungan antara Y dan x dinyatakan dalam koefisien determinasi R2), yang nilainya berkisar dari 0-100 %) Analisis hubungan faktor iklim dengan luas serangan WBC dilakukan pada berbagai waktu tunda (time lag) berdasarkan siklus hidup WBC. Siklus hidup WBC berkisar 28-32 hari atau kurang lebih satu bulan sampai WBC menjadi serangga dewasa (Subroto et al. 1992). Analisis tanpa memperhitungkan lag berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi luas serangan pada saat terjadi serangan atau ketika WBC pada
fase imago aktif mencari makan. Analisis pada waktu tunda setengah bulan (lag 1) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase nimfa. Analisis pada waktu tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Geografis Wilayah Kajian Karawang adalah sebuah Kabupaten yang terdapat di Provinsi jawa Barat dengan luas daerah 1.737,30 km2. Secara geografis Kabupaten Karawang terletak antara 107°02'107°40' BT dan 5°56'-6°34' LS. Topografi Kabupaten Karawang sebagian besar adalah berbentuk dataran yang relatif rata dengan variasi antara 0-5 m di atas permukaan laut (dpl). Hanya sebagian kecil wilayah yang bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian antara 0-1.200 mdpl. Sesuai dengan bentuk morfologi Kabupaten Karawang, daerah ini terdiri dari dataran rendah yang mempunyai temperatur udara rata-rata 270C dengan tekanan udara rata-rata 0,01 milibar, penyinaran matahari 66 persen dan kelembaban nisbi 80 persen. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.100-3.200 mm/tahun.
Gambar 6 Peta Karawang 4.2 Kondisi Iklim Wilayah Kajian Kondisi iklim wilayah Karawang yang terletak di lintang tropis dengan penyinaran matahari sepanjang tahun salah satunya
dipengaruhi oleh topografi setempat. Berdasarkan data yang diperoleh hubungan unsur cuaca suhu rata-rata, suhu maksimum,
9
dan suhu minimum bulanan dalam rentang waktu 6 tahun tertera dalam gambar berikut.
Gambar 8 Kelembaban bulanan (2004-2009)
Gambar 7 Suhu udara bulanan (2004-2009) Secara umum suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum Karawang mengikuti pola yang sama. Suhu rata-rata bulanan berkisar antara 24.30C-280C. Suhu maksimum bulanan berkisar antara 27.30C32.90C.Suhu minimum bulanan berkisar antara 21.20C-230C. Puncak suhu tertinggi terjadi pada bulan September dan terendah pada bulan Januari. Pada saat memasuki musim hujan suhu cenderung mengalami penurunan yaitu pada bulan September – Januari. Penurunan tersebut disebabkan oleh kurangnya intensitas penyinaran matahari karena lebih sering terjadi hujan. Suhu rata-rata bulanan wilayah Karawang berfluktuasi menurut tahun masing-masing pengamatan. Namun suhu rata-rata sangat fluktuatif pada tahun 2007. Peningkatan suhu yang tinggi terjadi dari bulan Juni hingga maksimum pada bulan September. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh El-Nino yang mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu. Kejadian El-Nino biasanya berasosiasi dengan kejadian kemarau panjang atau kekeringan karena terjadinya penurunan hujan jauh dari normal khususnya musim kemarau (Boer 2003). Peningkatan suhu tersebut juga diikuti dengan pengurangan curah hujan sehingga menimbulkan kekeringan di beberapa wilayah Indonesia. Kejadian ini berdampak pada penurunan hasil padi di wilayah tertentu. Suhu rata-rata terendah terjadi pada bulan Februari tahun 2009. Suhu rata-rata tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu 22.9 0C.
Kelembaban menunjukkan kandungan uap air di udara. Kelembaban udara di Indonesia selalu tinggi yaitu diatas 60 %. Kelembaban udara Karawang berkisar antara 69-79 %. Gambar di atas merepresentasikan hubungan kelembaban rata-rata selama dalam rentang waktu 6 tahun. Wilayah Karawang mengalami penurunan kelembaban udara dari bulan Februari-Mei dan mengalami kenaikan pada bulan Oktober-Januari. Pada saat musim hujan kandungan uap air di udara lebih besar sehingga nilai kelembaban udara pada mengalami kenaikan dari bulan Oktober. Kelembaban tertinggi terjadi pada tahun 2008. Kelembaban dipengaruhi oleh curah hujan dan angin. Semakin tinggi curah hujan maka semakin tinggi pula kelembaban udara karena kelembaban udara menun jukkan kondisi uap air di udara.
Gambar 9 Curah hujan rata-rata (1974-2009) Unsur iklim curah hujan wilayah Karawang menunjukkan tipe hujan monsunal yaitu wilayah yang memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan (DJF) dan periode musim kemarau (JJA). Kurva curah
10
hujan itu sendiri memiliki pola seperti huruf v seperti yang tertera pada Gambar 8. 4.3 Periodisasi Musim Tanam Padi di Karawang Penanaman padi di Indonesia secara umum bisa dilakukan sepanjang tahun.
Namun sebagian besar petani menanam padi pada saat musim hujan karena ketergantungan padi akan ketersediaan air yang tinggi. Berikut ini periodisasi musim tanam padi di Karawang.
Tabel 2 Periodisasi musim tanam padi di Karawang
Sumber : pustaka.litbang.deptan.go.id Pemanenan padi rata-rata dilakukan empat bulan setelah masa tanam. Tanam utama akan menghasilkan panen raya, tanam gadu menghasilkan panen gadu, dan tanam kemarau menghasilkan panen kecil. Panen raya dilakukan pada saat memasuki musim hujan. Pemanfaatan curah hujan tersebut memberikan hasil optimum terhadap tanaman padi sehingga hasil yang didapatkan cukup besar. Pada saat tanam gadu (kering) hasil yang didapatkan tidak sebanyak pada tanam utama karena curah hujan yang terjadi tidak sebesar pada musim tanam utama. Untuk kebutuhan pertanaman petani memanfaatkan saluran irigasi. Panen paling kecil didapatkan pada saat musim tanam kemarau. Pada musim tanam ini petani juga membutuhkan saluran irigasi yang besar karena minimnya curah hujan. 4.4 Kondisi Serangan Wereng Cokelat Kabupaten Karawang Luas serangan hama wereng cokelat di wilayah Karawang pada selang pengamatan 2006-2009 berbeda-beda. Peningkatan luas serangan berbanding lurus dengan peningkatan populasi hama wereng cokelat itu sendiri di wilayah kajian. Penurunan luas serangan berbanding lurus dengan pengurangan populasi wereng cokelat di
wilayah kajian. Berikut merupakan analisis hubungan suhu udara dengan luas serangan.
Gambar 10 Hubungan suhu rata-rata bulanan dengan luas serangan hama Berdasarkan gambar di atas luas serangan hama wereng cokelat bulanan periode 20062009 meningkat seiring dengan peningkatan suhu udara. Suhu udara rata-rata terendah terjadi pada bulan Januari. Jumlah serangan mulai mengalami peningkatan sampai pada bulan April. Namun serangan menurun ketika suhu menjadi maksimum. Menurut Effendi
11
(1985) suhu optimum untuk perkembangan wereng cokelat berkisar antara 180C-280C. Meskipun suhu rata-rata tersebut berada pada kisaran yang sesuai dengan perkembangan hama wereng cokelat, terdapat pengaruh lain yang menyebabkan penurunan populasi wereng itu sendiri. Salah satunya adalah pengaruh kelembaban mikro yang disebabkan oleh curah hujan maupun keadaan air sawah. Penurunan luas serangan hama juga dipengaruhi oleh ada tidaknya tanaman padi. Keadaan serangan pada bulan Desember, Januari, dan Februari yang bernilai 0 terkait dengan periodisasi musim tanam padi. Musim tanam utama yang terjadi pada musim hujan (DJF) yang baru mulai tanam menyebabkan luas tanaman terserang menjadi tidak ada, sesuai dengan Pracaya (2008) yang menyatakan bahwa serangan wereng cokelat terjadi pada tanaman padi yang sudah dewasa tapi belum memasuki masa panen. Sementara itu luas serangan paling tinggi terjadi pada bulan Agustus pada saat musim gadu.
yaitu dengan total serangan 1377 ha pada saat suhu maksimum 310C. Untuk musim tanam utama di wilayah ini pemanenan dilakukan pada sekitar bulan Juni sehingga pada bulan tersebut luas serangan tanaman yang terukur juga lebih kecil. Sama halnya dengan Gambar 10 musim tanam mempengaruhi tidak ada serangan pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Hal ini disebabkan oleh musim tanam raya baru mulai sedangkan hama wereng cokelat menyerang pada padi yang sudah dewasa tapi belum memasuki masa panen.
Gambar 12
Gambar 11 Hubungan suhu maksimum bulanan dengan luas serangan hama Gambar di atas menunjukkan hubungan luas serangan terhadap suhu maksimum. Suhu maksimum merupakan suhu tertinggi yang terukur pada wilayah pengamatan. Pengaruh suhu udara terhadap hama tumbuhan antara lain mengendalikan perkembangan, kelangsungan hidup dan penyebaran serangga. Suhu maksimum bulanan mengalami penurunan pada periode September-Januari. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang lembap karena musim hujan. Luas serangan terbesar terjadi pada bulan Agustus
Hubungan suhu minimum bulanan dengan luas serangan hama
Suhu minimum merupakan suhu yang paling rendah yang terukur dalam jangka waktu tertentu. Suhu yang terlalu rendah mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan hama. Hal ini terlihat pada Gambar 11 . Suhu minimum pada bulan Januari, Juli, dan Desember menyebabkan berkurangnya populasi wereng cokelat. Pada bulan Agustus terjadi ledakan luas serangan hama dengan suhu minimum 220C. Pada bulan berikutnya populasi wereng cokelat berkurang karena terjadi kenaikan suhu sehingga luas serangan menjadi 209.5 Ha. Fluktuasi suhu bulanan tersebut memberikan gambaran yang sesuai dengan pernyataan Abraham dan Nair (1975) dalam IRRI (1979), bahwa ledakan hama wereng batang cokelat terjadi pada selang suhu 20-300C. Suhu yang terlalu rendah dapat mengakibatkan kematian pada wereng cokelat sehingga luas serangan hama menjadi lebih kecil. Pengaruh musim tanam menyebabkan serangan tinggi terjadi pada musim tanam gadu. Pada musim tanam ini keadaan iklim yang tidak terlalu basah serta suhu yang optimum menyebabkan hama
12
lebih nyaman untuk tumbuh dan berkembang biak.
Gambar 13
Hubungan kelembaban bulanan dengan luas serangan hama
Hubungan kelembaban dengan luas serangan hama dapat diinterpretasikan oleh Gambar 12. Pada saat kelembaban tinggi luas serangan menjadi kecil sedangkan pada saat kelembabn rendah luas serangan cenderung besar. Kelembaban udara dapat meningkatkan fekunditas dan fertilitas serangga. Merujuk pada penelitian IRRI tentang kelembaban relatif udara wereng cokelat di Filipina menunjukkan bahwa hama akan tertekan pertumbuhan dan perkembangannya pada kelembaban 50-60% dan sangat sesuai pada kelembaban 80 % (Mochida et al.1986 dalam Ahmadi 2011).
Februari. Pada umumnya persentase telur pada musim kemarau lebih rendah dibandingkan dengan musim hujan. Hal tersebut diduga karena tingginya faktor mortalitas terutama parasit dan predatornya (Soebroto et al. 1992). Dengan demikian presentase telur pada periode Maret-Agustus lebih besar sehingga menyebabkan perkembangan populasi wereng cokelat pada bulan Agustus. Selain itu hujan dapat menyebabkan pengaruh langsung yaitu menyapu telur hama. Menurut Ahmadi (2011) Curah hujan yang tinggi belum tentu dapat mejadikan serangan wereng cokelat tinggi. Karena curah hujan yang tinggi juga dapat membuat tergenangnya air di sawah melebihi kapasitasnya. 4.5 Analisis Regresi 4.5.1 Regresi Kuadratik Keragaman dan perubahan iklim telah menimbulkan dampak terhadap perubahan luasan tanaman yang terserang hama wereng cokelat. Untuk itu diperlukan analisis regresi yang bertujuan untuk mengetahui pola dan hubungan antara luas serangan hama dengan komponen-komponen iklim mencakup suhu rata-rata, suhu maksimum, suhu minimum, kelembabab, dan curah hujan. Dengan demikian akan dihasilkan koefisien determinasi dari setiap unsur iklim. Koefisien determinasi (R2) unsur iklim Unsur iklim tanpa lag 1 lag 2 lag (%) (%) (%) suhu rata8.7 8.5 7.5 rata suhu 6.9 6.9 6.5 maksimum suhu 15.7 16.1 17.6 minimum kelembaban 6.7 2.1 1.8
Tabel 3
curah hujan
Gambar 14 Hubungan curah hujan bulanan dengan luas serangan hama Hubungan antara luas serangan dengan curah hujan terlihat pada Gambar 13 . Curah hujan meningkat pada periode September-
6
4.6
7.2
Tabel di atas menggambarkan koefisien determinasi (R2) dari unsur iklim terhadap luas serangan hama. Dengan demikian koefisien determinasi yang lebih besar memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan koefisien determinasi yang kecil. Pada unsur iklim suhu rata-rata diperoleh koefisien determinasi tertinggi saat analisis tanpa lag yaitu sebesar 8.7
13
%. Pada unsur suhu maksimum diperoleh nilai koefisien tertinggi pada saat analisis tanpa lag dan lag 1. Pada unsur suhu minimum diperoleh koefisien determinasi tertinggi pada lag 2. Pada unsur kelembaban diperoleh koefisien determinasi tertinggi pada analisis tanpa lag dan koefisien determinasi curah hujan pada tahap lag 2. Beberapa unsur iklim yang dianalisis tersebut memiliki hubungan dengan luas serangan hama. Unsur yang paling berpengaruh adalah suhu minimum yang memiliki koefisien determinasi paling besar diantara unsur iklim lainnya.
Gambar 16
Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu rata-rata (Tr) (lag 1)
Analisis hubungan luas serangan dengan suhu rata-rata pada lag 1 menghasilkan koefisien determinasi sebesar 8,5 % yang tertera pasa Gambar 15. Pada kondisi ini hama berada pada fase telur. Persamaan yang menjelaskan hubungan luas serangan dengan suhu rata-rata adalah :
Gambar 15
Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu rata-rata (Tr) (tanpa lag)
Berdasarkan gambar di atas suhu rata-rata yang memberikan koefisien determinasi terbaik adalah pada saat tanpa lag. Pada analisis ini hama wereng cokelat berada pada fase dewasa. Hubungan luas serangan dengan suhu rata-rata diwakili oleh persamaan sebagai berikut:
LS = - 3838 + 339.9 Tr - 7.1 Tr2 (R2 = 8.5 %) dimana: LS = luas serangan (ha) Tr = suhu rata-rata (0C) Perubahan suhu rata-rata memberikan perubahan pada luas serangan. Suhu rata-rata yang semakin meningkat menyebabkan penurunan luas serangan dengan bentuk kurva yang lebih landai. Artinya peningkatan suhu memberikan pengaruh berkurangnya luas serangan yang sedikit.
LS = - 3607 + 321.9 Tr - 6.7 Tr2 (R2=8.7% ) dimana: LS = luas serangan (ha) Tr = suhu rata-rata (0C) Persamaan tersebut menjelaskan bahwa luas serangan memiliki keterkaitan dengan suhu rata-rata. Perubahan suhu rata-rata mengakibatkan perubahan terhadap luas serangan hama wereng cokelat.
Gambar 17
Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu rata-rata (Tr) (lag 2)
Hubungan antara suhu dengan luas serangan
rata-rata dengan
14
menggunakan lag 2 tertera pada gambar di atas. Koefisien determinasi yang didapatkan adalah 7,5 %. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan pada lag 1 dan lag 2. Hal ini menunjukkan bahwa dibandingkan fase telur dan fase nimfa,suhu rata-rata lebih berpengaruh terhadap luas serangan pada fase dewasa. Sementara itu persamaan yang didapatkan untuk menunjukkan hubungan keduanya adalah : LS = - 3305 + 297.1 Tr - 6.241 Tr2 (R2=7.5 %) dimana: LS = luas serangan (ha) Tr = suhu rata-rata (0C) Kurva yang landai menunjukkan bahwa perubahan suhu rata-rata mengakibatkan penurunan luas serangan hama yang sedikit.
Gambar 19
Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu minimum (Tm) (tanpa lag)
Berdasarkan gambar di atas regresi quadratik suhu minimum dengan luas serangan memberikan koefisien determinasi sebesar 15.7 %. Hal ini berarti terdapat kontribusi suhu minimum terhadap luas serangan hama sebesar 15.7 % pada fase telur (lag 1). Persamaan yang mewakili hubungan keduanya adalah: LS = - 8120 + 780.7 Tm - 18.26 Tm2 (R2 = 15.7 %) dimana: LS = luas serangan (ha) Tm = suhu minimum (0C) Dengan demikian perubahan suhu minimum berpengaruh terhadap perubahan luas serangan.
Gambar 18
Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu maksimum (TM) (tanpa lag)
Gambar di atas menunjukkan persamaan regresi untuk analisis tanpa lag. Hubungan luas serangan dengan suhu maksimum adalah: LS = 5273 - 303.2 TM + 4.455 TM2 (R2=6.9%) dimana: LS = luas serangan (ha) TM = suhu maksimum (0C) Persamaan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara suhu maksimum dengan luas serangan. Peningkatan suhu maksimum juga mengakibatkan peningkatan luas serangan namun tidak signifikan.
Gambar 20
Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu minimum (Tm) (lag 1)
Pada fase nimfa persamaan regresi yang menunjukkan hubungan suhu minimum dan luas serangan adalah: LS = -8120 + 780.7 Tm - 18.26 Tm2 (R2=16.1 %) dimana: LS = luas serangan (ha)
15
Tm = suhu minimum (0C) Nilai koefisien determinasi yang dihasilkan adalah sebesar 16.1 %. Suhu minimum yang terlalu kecul memberikan pengaruh pada peningkatan luas serangan. Sedangkan suhu minimum yang terlalu tinggi memberikan pengaruh pada penurunan hama wereng cokelat.
Gambar 22
Hubungan luas serangan (LS) dengan kelembaban (RH) (tanpa lag)
Hubungan kelembaban terhadap luas serangan ditunjukkan oleh Gambar 21 . Kelembaban berpengaruh pada perkembangan serangan saat wereng berada pada fase dewasa. Persamaan regresi yang didapat adalah: Gambar 21
Hubungan luas serangan (LS) dengan suhu minimum (Tm) (lag 2)
Bardasarkan gambar di atas suhu minimum dengan koefisien tertinggi terjadi pada lag 2. Suhu minimum memberikan pengaruh lebih besar pada fase telur terhadap luas serangan. Hubungan suhu minimum dengan luas serangan adalah: LS = - 8276 + 797.6 Tm - 18.69 Tm2 (R2 =17.6 %) dimana: LS = luas serangan (ha) Tm = suhu minimum (0C)
LS= - 1990 + 65.50 RH - 0.4884 RH2 (R2=6.7 %) dimana: LS = luas serangan (ha) RH = kelembaban (%) Dengan demikian unsur iklim kelembaban mempengaruhi luas serangan hama. Kelembaban yang terlalu rendah tidak baik untuk perkembangan wereng cokelat begitu pula kelembaban yang terlalu tinggi sehingga kelembaban optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan hama wereng cokelat adalah 50 – 60 % (Mochida et al.1986).
Persamaan tersebut menjelaskan bahwa perubahan suhu minimum mengakibatkan perubahan luas serangan. Pada saat suhu minimum berada pada kisaran 180C-210C peningkatan suhu minimum berbanding lurus dengan peningkatan luas serangan. Namun pada saat suhu minimum diatas 210C peningkatan suhu minimum menyebabkan penurunan luas serangan.
Gambar 23
Hubungan luas serangan (LS) dengan curah hujan (CH) (lag 2)
16
Gambar di atas menunjukkan hubungan antara curah hujan dan luas serangan dengan menggunakan lag 2 sehingga curah hujan lebih berpengaruh pada fase telur. Hubungan tersebut diwakili oleh persamaan : LS = 172.8 - 2.9 CH + 0.02 CH2 (R2=7.2 %) dimana: LS = luas serangan (ha) CH = curah hujan (mm) Dengan demikian terdapat hubungan antara curah hujan dengan luas serangan hama. 4.5.2 Regresi Berganda Analisis regresi berganda dilakukan untuk mengetahui hubungan linier antara luas serangan hama dengan beberapa unsur iklim secara bersama-sama. Hasil keluaran minitab yang menunjukkan koefisien determinasi tertinggi adalah pada hubungan berikut: LS = 905 - 28.0 Tr - 0.12 RH + 0.210 CH dimana: LS = luas serangan (ha) Tr = suhu rata-rata (0C) RH = kelembaban (%) CH = curah hujan (mm)
Persamaan tersebut memiliki nilai keeratan 7.2 %. Dengan demikian dari unsur iklim suhu rata-rata, suhu maksimum, suhu minimum, kelembaban, dan curah hujan unsur iklim yang memiliki hubungan lebih besar menurut koefisien determinasi secara bersamaan adalah suhu rata-rata, kelembaban, dan curah hujan. Faktor-faktor iklim yang diduga berpengaruh terhadap hama menurut Kisimoto dan Dyck (1976) di antaranya adalah suhu, kelembapan relatif, curah hujan dan angin. Nilai koefisien determinasi yang kecil menunjukkan bahwa kontribusi unsur iklim terhadap luas serangan juga kecil. Hal ini dikarenakan luas serangan hanya menjelaskan luasan tanaman padi yang terserang tanpa mengetahui populasi hama wereng tersebut. 4.6 Analisis Klimogram Klimogram merupakan grafik yang menunjukkan interaksi dari dua buah unsur iklim rata-rata bulanan. Grafik berikut memperlihatkan klimogram yang merupakan interaksi dari unsur iklim kelembaban dan suhu udara. Kedua unsur iklim tersebut dipilih karena memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan hama.
Gambar 24 Klimogram wereng cokelat Keterangan angka dalam kurung menunjukkan [bulan, tingkat serangan] Klimogram di atas dibuat untuk menguji kesesuaian antara unsur iklim kelembaban dan suhu rata-rata daerah Karawang dengan hama wereng cokelat. Pada dasarnya kelembaban optimum untuk perkembangan dan pertumbuhan hama wereng cokelat adalah 70 – 85 % sedangkan untuk suhu rata-rata berada pada kisaran 250C – 300C sehingga
didapatkan beberapa titik di dalam daerah yang diarsir sebanyak sembilan titik. Titiktitik tersebut merupatkan plot serangan hama bulanan yang meliputi bulan Februari, Maret, April, Juni, Agustus, September, Oktober, November, dan Desember. Dengan demikian pada bulan-bulan tersebut di daerah Karawang hama wereng cokelat dapat berkembang
17
secara optimum sehingga menjadi rawan untuk tanaman padi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Analisis regresi linier yang menunjukkan hubungan yang paling kuat adalah hubungan suhu minimum dengan luas serangan yang memiliki koefisien determinasi sebesar 17.6 % pada lag 2. Analisis regresi berganda menunjukkan hasil bahwa unsur iklim yang berpengaruh secara bersamaan terhadap luas serangan hama wereng adalah suhu rata-rata, kelembaban, dan curah hujan dengan koefisien determinasi sebesar 7.2 %. Dengan koefisien determinasi yang kecil ini belum mampu menunjukkan pengaruh unsur iklim terhadap luas serangan hama secara nyata. Klimagrom dapat memberikan gambaran potensi serangan hama wereng cokelat. Analisis menunjukan bahwa potensi serangan ada pada selang suhu 250C – 300C dan kelembaban pada selang 70-85 %.
5.2 Saran Analisis klimogram menggambarkan potensi hama dalam kisaran unsur iklim yang optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan hama. Analisis ini hanya mampu memetakan potensial wilayah bulanan sehingga dibutuhkan data beberapa wilayah untuk analisis lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Baehaki SE. 1985. Studi Perkembangan Populasi Wereng Coklat Nilaparvata lugens (Stal) Asal Imigran dan Pemencarannya di Pertanian. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Baehaki SE, Sasmita P, Kertoseputro D, Rifki A. 1996. Pengendalian Hama Berdasar Ambang Ekonomi dengan Memperhitungkan Musuh Alami Serta Analisis Usaha Tani dalam PHT. Temu Teknologi dan Persiapan Pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu. Lembang. 81 hlm. Baco D. 1984. Biologi Wereng Coklat, Nilaparvata Lugens Stal. Dan Wereng Batang Putih, Sogatella Furcifera Horvath Serta Interaksi Antara Keduanya Pada Tanaman
Padi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bayer CropScience. The long-lasting Solution Againts Brownplanthopper. [www.agrocourier.com] [21 Desember 2011] [BBPTP] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2007. Tegnologi Pengendalian Wereng Cokelat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian Tanman Padi. Subang. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Luas Panen,Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi Seluruh Provinsi. [http://www.bps.go.id] [13 Februari 2012] Hidayat T. 2000. Analisis Hubungan Iklim dengan Populasi dan Luas Serangan Wereng Batang Cokelat (Nilparavata lugens Stal.) di Jatisari, Karawang. Laporan Praktik Lapang. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [IRRI] International Rice Reseach Intitute. 1979. Brown Planthopper : Treat to Rice Production in Asia. Filipina : International Rice Reseach Intitute. [IRRI] International Rice Reseach Intitute. 2009. Part of the image collection of the International Rice Research Institute (IRRI). [26 Juli 2011] [Ditjentan] Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. 1986. Pengendalian Hama Terpadu Wereng Coklat Pada Tanaman Padi. Jakarta: Ditjentan. Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Jakarta : PT Ichtiar Baru – Van Hoeve. Kisimoto R and Dyck VA. 1976. Climate and rice insects. p.367-390. In Proc. Symposium on Climate and Rice (International Rice Research Institute, ed.). IRRI, Los Banos, Philippines. Koesmaryono Y. 1991. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Koesmaryono Y. 1999. Hubungan CuacaIklim Dengan Hama dan Penyakit Tanaman. Kumpulan Makalah Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian
18
Barat dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor 1-12 Febuari 1999. Mavi HS dan Tupper GJ. 2004. Agrometeorology Principles and Applications of Climate Studies in Agriculture. New York: Food Products Press Mochida. 1978. Brown Plantopher “Hama Wereng” Problems on Rice in Indonesia. Sukamandi, Jawa Barat : Cooperative CRIA –IRRI Program. Nurbaeti B, Diratmaja A, Putra S. 2010. Hama Wereng Cokelat (Nilaparvata Lugens stal) dan Pengendaliannya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Departemen Pertanian. Oktarina R. 2009. Tanggap Fungsional Predator Cyrotorhinus lividipennis Reuter (Hemiptera:Miridae) terhadap Hama Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stal (Hemiptera:Delphacidae). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Pracaya. 2008. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar swadaya : Jakarta. Soemawinata TA, Sosromarsono S. 1986. Hama Wereng Cokelat dan masalah Pengendaliannya di Indonesia. Prosiding Diskusi Ilmiah. Institut Pertanian Bogor. Soegawa K. 1971. Feeding Behaviors of The Brown Planthopper and Variental Resistance of Rice to This Insect. Tropical Agriculture Research Center. Tokyo : Ministry of Agriculture and Foresry. Soegawa K. 1986. Resurgence of BPH populations by insecticides. Short Report. Indonesia Japan Join. Programme on Food Crop. Protection. 5 p. Sosromarsono S. 1979. Pengaruh Iklim Terhadap Perkembangan Serangga Hama. Simposium Meteorologi Pertanian Bogor. Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 2008. Ecology of Insects: Consepts and Application. Britain: The Alden Press Subroto SWG, Wahyudin, Toto H, Sawanda H. 1992. Taksonomi dan Bioekologi Wereng Batang Coklat Nilparvata lugens Stall. Kerjasam Teknis Indonesia – Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA-162) Laporan Akhir Wereng Batang Coklat. Direktorat Bina
Perlindungan Tanaman. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan. Sumarno. 2000. Periodisasi Musim Tanam Padi Sebagai Landasan Manajemen Produksi Beras Nasional [pustaka.litbang.deptan.go.id] [13 Februari 2012] Sunjaya IP. 1970. Dasar-dasar Ekologi Serangga. Diktat tidak dipublikasikan. Ilmu Hama Tanaman Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
19
LAMPIRAN
20
Lampiran 1 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata tanpa lag The regression equation is Luas serangan (Ha) = - 3607 + 321.9 Suhu rata-rata (C) - 6.747 Suhu rata-rata (C)**2 S = 194.383
R-Sq = 8.7%
R-Sq(adj) = 2.6%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 30 32
SS 108423 1133546 1241969
MS 54211.5 37784.9
F 1.43
P 0.254
Sequential Analysis of Variance Source Linear Quadratic
DF 1 1
SS 86977.1 21445.9
F 2.33 0.57
P 0.137 0.457
Lampiran 2 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata lag 1 The regression equation is Luas serangan (Ha) = - 3838 + 339.9 Suhu rata-rata (C) - 7.091 Suhu rata-rata (C)**2 S = 194.681
R-Sq = 8.5%
R-Sq(adj) = 2.3%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 30 32
SS 104951 1137018 1241969
MS 52475.6 37900.6
F 1.38
P 0.266
Sequential Analysis of Variance Source Linear Quadratic
DF 1 1
SS 82045.7 22905.5
F 2.19 0.60
P 0.149 0.443
Lampiran 3 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu rata-rata lag 2 The regression equation is Luas serangan (Ha) = - 3305 + 297.1 Suhu rata-rata (C) - 6.241 Suhu rata-rata (C)**2 S = 195.684
R-Sq = 7.5%
R-Sq(adj) = 1.3%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 30 32
SS 93200 1148769 1241969
MS 46599.9 38292.3
F 1.22
Sequential Analysis of Variance Source Linear Quadratic
DF 1 1
SS 75049.9 18150.0
F 1.99 0.47
P 0.168 0.496
P 0.310
21
Lampiran 4 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu maksimum tanpa lag The regression equation is Luas serangan (Ha) = 5273 - 303.2 Suhu maksimum (C) + 4.455 Suhu maksimum (C)**2 S = 196.365
R-Sq = 6.9%
R-Sq(adj) = 0.6%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 30 32
SS 85188 1156781 1241969
MS 42594.2 38559.4
F 1.10
P 0.344
Sequential Analysis of Variance Source Linear Quadratic
DF 1 1
SS 75701.9 9486.5
F 2.01 0.25
P 0.166 0.624
Lampiran 5 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum tanpa lag The regression equation is Luas serangan (Ha) = - 7807 + 752.6 Suhu minimum (C) - 17.64 Suhu minimum (C)**2 S = 186.779
R-Sq = 15.7%
R-Sq(adj) = 10.1%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 30 32
SS 195380 1046589 1241969
MS 97690.0 34886.3
F 2.80
P 0.077
Sequential Analysis of Variance Source Linear Quadratic
DF 1 1
SS 50468 144912
F 1.31 4.15
P 0.261 0.050
Lampiran 6 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum lag 1 The regression equation is Luas serangan (Ha) = - 8120 + 780.7 Suhu minimum (C) - 18.26 Suhu minimum (C)**2 S = 186.368
R-Sq = 16.1%
R-Sq(adj) = 10.5%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 30 32
SS 199976 1041993 1241969
MS 99988.1 34733.1
Sequential Analysis of Variance Source Linear Quadratic
DF 1 1
SS 44463 155513
F 1.15 4.48
P 0.292 0.043
F 2.88
P 0.072
22
Lampiran 7 Hasil output minitab 14 analisis regresi suhu minimum lag 2 The regression equation is Luas serangan (Ha) = - 8276 + 797.6 Suhu minimum (C) - 18.69 Suhu minimum (C)**2 S = 184.659
R-Sq = 17.6%
R-Sq(adj) = 12.1%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 30 32
SS 219004 1022965 1241969
MS 109502 34099
F 3.21
P 0.054
Sequential Analysis of Variance Source Linear Quadratic
DF 1 1
SS 53160 165844
F 1.39 4.86
P 0.248 0.035
Lampiran 8 Hasil output minitab 14 analisis regresi kelembaban tanpa lag The regression equation is Luas serangan (Ha) = - 1990 + 65.50 Kelembaban (%) - 0.4884 Kelembaban (%)**2 S = 196.489
R-Sq = 6.7%
R-Sq(adj) = 0.5%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 30 32
SS 83726 1158243 1241969
MS 41863.1 38608.1
F 1.08
P 0.351
Sequential Analysis of Variance Source Linear Quadratic
DF 1 1
SS 418.5 83307.7
F 0.01 2.16
P 0.919 0.152
Lampiran 9 Hasil output minitab 14 analisis regresi curah hujan lag 2 The regression equation is Luas serangan (Ha) = 172.8 - 2.860 Curah hujan (mm) + 0.02446 Curah hujan (mm)**2 S = 196.014
R-Sq = 7.2%
R-Sq(adj) = 1.0%
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 30 32
SS 89329 1152640 1241969
MS 44664.3 38421.3
F 1.16
Sequential Analysis of Variance Source Linear Quadratic
DF 1 1
SS 1103.4 88225.2
F 0.03 2.30
P 0.869 0.140
P 0.326
23
Lampiran 10 Hasil output minitab 14 analisis regresi curah hujan lag 2 The regression equation is Luas serangan (Ha) = 905 - 28.0 Suhu rata-rata (C) - 0.12 Kelembaban (%) + 0.210 Curah hujan (mm) Predictor Constant Suhu rata-rata (C) Kelembaban (%) Curah hujan (mm) S = 199.308
Coef 905.1 -28.01 -0.123 0.2101
R-Sq = 7.2%
SE Coef 562.2 19.81 3.532 0.7672
T 1.61 -1.41 -0.03 0.27
P 0.118 0.168 0.972 0.786
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 29 32
Source Suhu rata-rata (C) Kelembaban (%) Curah hujan (mm)
SS 89986 1151983 1241969 DF 1 1 1
MS 29995 39724
Seq SS 86977 32 2978
F 0.76
P 0.528