eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3(4) 807-824 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2015
ANALISIS PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM LEMBAGA LEGISLATIF FEDERAL DI AUSTRALIA Muhammad Syafril1 NIM. 0902045069
Abstract Gender equality is a crucial issue encountered a lot of countries. No exception in Australia politics. An indicator is the representation of women in one of the chambers of the federal legislative which is still below the minimum quota. From four election periods of the House of Representatives, its percentage is not more than 30%. Women representation in the Australia's federal legislative is actually fairly good, because the number of women representation during the four election periods in the Senate has been above 30%. The different results in both chambers are caused by many factors, among others are their different electoral systems and political will of political parties which are still not completely supporting the quota system as recommended by the CEDAW committee. Keywords : Political Participation, Women Participation, Women in Australia Pendahuluan Keikutsertaan perempuan menjadi pembuat keputusan politik sangatlah penting, karena kebijakan dan keputusan yang dihasilkan oleh negara tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki, dengan keikutsertaannya dalam pembuatan kebijakan publik dapat mencegah segala bentuk diskriminasi atau kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan (kebijakan yang tidak adil), dengan begitu kebijakan dan keputusan yang dihasilkan akan menyentuh seluruh aspek kehidupan warga negaranya. Sebagai pengambil keputusan, perempuan dapat membuat perubahan-perubahan seperti perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan dengan memasukkan kepentingan-kepentingan perempuan sebagai bagian dari agenda nasional. Pasca diratifikasinya kovensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) pada tanggal 28 Juli 1983 oleh Australia dan kemudian di deklarasikan pada tanggal 30 Agustus tahun 2000 yang mana CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di semua bidang – politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Juga mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakan khusus untuk mempercepat 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 807-824
kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktekpraktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki (CEDAW, 2009). Sehingga sudah seharusnya Australia melakukan berbagai tindakan yang dapat membantu terwujudnya kesetaraan perempuan dan laki-laki di berbagai bidang termasuk juga di bidang politik, salah satunya yaitu dengan mendorong tingkat keterwakilan perempuan di parlemen. Karena parlemen merupakan pusat segala kegiatan politik bagi Australia, dilembaga inilah semua keputusan yang menyentuh kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan kenegaraan dibuat. Berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa partisipasi perempuan yang rendah di bidang politik dan pemerintah akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas kebijakan publik yang responsif terhadap gender. Australia adalah negara pertama yang memberikan kesempatan bagi perempuan tidak hanya untuk memilih tetapi juga dipilih pada tahun 1902 (AEC, 28 Januari 2011). Juga merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat keterwakilan perempuan yang cukup baik di pemerintahan federalnya, ini dibuktikan dengan menduduki peringkat ke 48 dari 188 negara dengan rata-rata jumlah partisipasi politik perempuan di parlemen nasional (Senate & HoR) pada kurun empat periode (2004-2013) pemilihan umum adalah 29,5%. Namun pencapaian Australia pada tingkat keterwakilan di parlemen federal yang cukup tinggi dan berada di atas rata-rata pencapaian negara-negara demokrasi, terutama negara-negara yang turut meratifikasi konvensi CEDAW masih belum sepenuhnya dapat dikatakan sangat baik. Berdasarkan pemilu tahun 2004 - 2013 meskipun pada keterwakilan majelis tinggi federal mencapai kuota minimum, tidak halnya dengan majelis rendah federal, pencapaian keterwakilan perempuan pada majelis ini masih dibawah kuota minimum. Perbedaan persentase keterwakilan perempuan antara keduanya terpaut lebih dari 10%. Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan penilitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana tingkat partisipasi perempuan Australia di parlemen federal secara umum dan mengapa terjadi perbedaan jumlah keterwakilan perempuan antara majelis tinggi dan majelis rendah dalam pemilu tahun 2004 sampai 2013. Kerangka Konseptual Teori Sistem Suatu sistem adalah bagian-bagian yang saling bergantung, yang merupakan pula satu kesatuan dengan lingkungannya. Dengan ketergantungan dimaksudkan bahwa apabila sifat-sifat suatu bagian dalam sistem berubah, maka semua bagian dan sistem secara keseluruhan pun berubah pula. Dengan kata lain, apabila suatu bagian atau variabel dalam sistem berubah baik kuantitas maupun kualitasnya, maka bagian-bagian lain terkena pengaruhnya sehingga berubah. Di dalam tulisannya Comparative Polititical System tahun 1956 Almond mengajukan tiga asumsi yang harus dipertimbangkan dalam kajian sistem politik yang terdiri atas:
808
Analisis Partisipasi Politik Perempuan dalam Legislatif di Australia (M. Syafril)
1. Sistem menandai totalitas interaksi di antara unit-unitnya dan keseimbangan di dalam sistem selalu berubah; 2. Hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata lembaga formal, melainkan juga struktur informal serta peran yang dijalankannya; dan 3. Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam sistem politik, di mana budaya inilah yang membedakan satu sistem politik dengan sistem politik lain. (Almond dalam Chilcote, 1981) Almond menegaskan bahwa sistem politik memiliki empat karakteristik yang bersifat universal dan terdiri atas premis-premis: 1. Setiap sistem politik memiliki struktur-struktur politik; 2. Fungsi-fungsi (dari setiap struktur) yang sama dapat ditemui di setiap sistem politik; 3. Setiap struktur politik bersifat multifungsi; dan 4. Setiap sistem politik telah bercampur dengan budaya politik (yang dianut warganegara masing-masing) (Almond dalam Chilcote, 1981). Aspek lain dari pada konsepsi sistem adalah pengertian cakupan (boundary). Suatu sistem dimulai di suatu tempat dan berakhir di suatu tempat pula. Persoalan cakupan tidak mudah apabila mempertimbangkan sistem sosial atau politik. Sistem sosial tidak dicerminkan oleh individu-individunya, tetapi oleh peranannya. Sistem politik terdiri dari peranan warga negara yang saling berhubungan, yaitu sebagai pemilih, wakilwakil dalam sistem politik menjalankan pula peranan yang lain dalam sistem sosial yang lain, seperti ekonomi, keluarga, masyarakat agama, dan perkumpulan sukarela lainnya. Persoalan cakupan (Boundary) ini mempunyai arti khusus sebab teori sistem biasanya membagi proses interaksi itu kedalam tiga tahap, yaitu input, conversion, dan output. Input dan output ini melibatkan sistem politik dengan sistem-sistem lain merupakan transaksi antara sistem dengan lingkungannya. Proses konversi (perubahan) dari input ke output adalah kejadian yang sifatnya intern dalam sistem politik. Proses demikian dapat dipandang sebagai input dari lingkungan atau dari sistem yang lain dan outputnya masuk ke dalam lingkungan. Output ini dapat menimbulkan perubahan lingkungan, yang kemudian mempengaruhi pula sistem politik (Sukarna, 1990). Dilihat dari Teori Sistem diatas maka diperlukannya analisis struktur politik. Dimana keterlibatan antara sistem politik terhadap sistem lain (dalam hal ini sistem pemilu) yang merupakan transakasi antar sistem dan lingkungannya untuk mengetahui tingkat partisipasi politik perempuan di Australia. Konsep Sistem Pemilu Sistem Perwakilan Distrik (Single Member District), Sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua, didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang diberikan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecilpun selisih kekalahannya.
809
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 807-824
Sedangkan Sistem pemilu Proporsional (Multy Member Constituency) adalah sistem pemilihan umum dengan cara pemungutan suara berimbang, jika dalam sistem distrik disesuaikan terhadap letak geografis wilayah, maka proporsional disesuaikan dengan jumlah suara berimbang dengan perbandingan tertentu, jadi dalam sebuah wilayah bisa jadi tidak hanya ada satu kursi yang diperebutkan, karena disesuaikan jumlah pemilih didalamnya. Sistem ini menjamin kekuatan partai minoritas, karena setiap perolehan suara partai disesuaikan pada prosentase suara. Berdasarkan perbedaan kedua sistem pemilu diatas bahwa perbedaan pencapaian keterwakilan perempuan pada kedua kamar dikarenakan perbedaan sistem pemilu yang dianut. Konsep Partisipasi Politik Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah (public Policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum menjadi anggota parta atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi poiltik mempunyai bermacam-macam bentuk dan intesitas. Biasanya diadakan perbedaaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan intensitasnya. Menurut pengamatan, jumlah orang yang mengikuti kegiatan yang tidak bersifat intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, seperti memberikan suara dalam pemilihan umum besar sekali. Sebaliknya, kecil sekali jumlah orang yang secara aktif dan penuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan dari partai atau kelompok kepentingan (Budiarjo, 1982). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tingkatan yang paling intensif dalam bentuk partisipasi politik adalah keterlibatan menjadi anggota parlemen. Karena dengan keterlibatan menjadi anggota parlemen dapat memberikan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif analitik, yaitu menggambarkan dengan jelas dan konkrit tentang keterwakilan perempuan dalam parlemen di Australia dan gambaran-gambaran sistematis mengenai peran aktor-aktor yang terkait, melalui beragam upaya yang telah dilakukan dalam upaya peningkatan partisipasi perempuan di parlemen Australia. Serta melihat fenomena Fungsi-fungsi struktural yang mampu meningkatkan kedewasaan pola pikir SDM terhadap paradigma feminism dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tinjauan pustaka (library research) dan teknik analisis data bersifat Content Analysis Pembahasan Dilatarbelakangi oleh sejarah bangsa Australia yang merupakan wilayah koloni terhukum yang berasal dari Eropa, dan berangsur-angsur dipenuhi oleh bangsabangsa lain sebagai pendatang yang menetap, menjadikan Australia sebagai wilayah yang dihuni oleh beragam suku bangsa yang berbeda. Pada akhirnya memberikan
810
Analisis Partisipasi Politik Perempuan dalam Legislatif di Australia (M. Syafril)
pandangan terbuka dan kritis dalam menghadapi perbedaan. Berangkat dari pandangan ini kaum perempuan Australia yang merasa bahwa telah terjadi perbedaan dalam segi hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki mulai memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban dengan kaum laki-laki. Pada dasarnya kesetaraan dan pemberdayaan perempuan bukan hanya Hak Asasi manusia, namun juga prasyarat pembangunan yang inklusif, adil dan berkelanjutan. Hal ini telah disadari oleh kaum perempuan Australia sejak lama, sebagaimana yang tergambar pada sejarah pergerakan perempuan dalam menuntut hak dan kesetaraan yang ditandai dengan amandemen hak pilih perempuan. Sebagaimana perempuan di seluruh dunia pada tingkatan sosio-politik merasa dirinya kurang terwakili dalam parlemen dan jauh dari keterlibatan dalam pengambilan keputusan, begitu juga dengan perempuan-perempuan di Australia. Karena untuk mencapai kesetaraan Hak dan Kewajiban sebagai warga negara diperlukan keikutsertaan perempuan dalam pembuatan keputusan demi terciptanya peraturan-peraturan yang bias gender. Dalam kurun waktu dua dekade terakhir pemerintah Australia telah memperhatikan masalah kesetaraan ini ditandai dengan meratifikasi konvensi CEDAW (convention on the elimination of all forms of discrimination against women) yang berarti Australia telah setuju untuk menghapuskan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan termasuk didalamnya menjamin hak perempuan dalam kehidupan politik seperti yang diatur dalam pasal 7 Konvensi CEDAW, yang menyatakan kewajiban negara untuk menjamin bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan lakilaki. Dan dengan diakuinya hak perempuan sebagai pemilih sejak tahun 1902, sebagaimana termaktub dalam pasal 7 Konvensi CEDAW bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan suara didalam Pemilihan Umum dan kegiatan publik lainnya, dimana pada empat periode pemilihan umum terakhir menggambarkan bahwa jumlah pemilih antara laki-laki dan perempuan telah setara, hal ini didasarkan kepada jumlah persentase perbandingan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki dalam daftar pemilih. Tabel 4.1 Jumlah Pemilih Parlemen Federal Terdaftar tahun 2004 - 2013 (berdasarkan jenis kelamin) Tahun Laki-laki Peremp. Total Lk. (%) Pr. (%) 2004 6.272.129 6.749.101 13.021.230 48,17 51,83 2007 6.570.255 7.074.796 13.645.051 48,15 51,85 2010 6.786.203 7.302.013 14.088.216 48,17 51,83 2013 7.101.139 7.611.495 14.712.634 48,27 51,73 Sumber: Australian Electoral Commission Data diatas menggambarkan jumlah persentase pemilih berdasarkan jumlah perbandingan antara pemilih laki-laki dan perempuan, pada tahun 2004 jumlah pemilih perempuan terdaftar adalah 6,749,101 jiwa dan laki-laki berjumlah 6,272,129 jiwa. Pada tahun 2007 jumlah pemilih perempuan terdaftar adalah 7,074,796 jiwa dan laki-laki berjumlah 6,570,255 jiwa. Pada tahun 2010 jumlah pemilih perempuan terdaftar adalah 7,302,013 jiwa dan laki-laki berjumlah 6,786,203 jiwa. Pada Tahun
811
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 807-824
2014 jumlah pemilih perempuan terdaftar adalah 7,611,495 jiwa dan laki-laki berjumlah 7,101,139 jiwa. Tabel 4.2 Jumlah Pemilih Parlemen Federal Terdaftar tahun 2004 - 2013 (berdasarkan total suara, pemilih terdaftar, dan populasi)
19.913.144
T. Suara : Pe milih Te rdaftar 94.3 2%
T. Suara : Populasi 18+ 82.3 7%
Suara Tidak Sah 5.1 8%
15.696.515
20.434.176
94.7 6%
82.3 8%
3.9 5%
14.086.869
16.208.479
21.515.754
93.2 2%
81.0 2%
5.6 0%
14.722.754
17.048.865
22.262.501
93.2 3%
80.5 1%
5.9 1%
Thn.
T. Suara
Pe milih Te rdaftar
Populasi 18+
Populasi
2004
12.354.983
13.098.461
14.999.498
2007
12.931.460
13.646.539
2010
13.131.667
2013
13.726.070
Sumber: International Institute for Democracy and Electoral Assistance. Dari data berdasarkan tabel diatas, dapat digambarkan bahwa berdasarkan perbandingan antara jumlah populasi usia wajib mengikuti pemilihan umum (rentang umur diatas 18 tahun) dengan pemilih terdaftar dalam kurun empat periode pemilihan umum terakhir persentase jumlah pemilih terdaftar tidak pernah berada dibawah angka 90%. Sehingga dapat diasumsikan bahwa berdasarkan data jumlah pemilih parlemen federal terdaftar tahun 2004-2013 jumlah pemilih perempuan berdasarkan persentase pemilih terdaftar, jumlahnya adalah lebih besar atau sama dengan jumlah pemilih laki-laki. Juga mengingat kepada persentase perbandingan total suara didalam pemilihan dengan jumlah populasi berumur 18 tahun keatas persentasenya berada pada angka 80% dan tidak pernah kurang dari angka tersebut, sehingga dapat diasumsikan bahwa hampir seluruh warga negara termasuk perempuan telah terdaftar sebagai pemilih dan memanfaatkan hak pilihnya. Tingginya angka partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum di Australia tidak terlepas dari diberlakukannya peraturan mengenai kewajiban memilih bagi seluruh warga negara Australia yang berumur 18 tahun keatas dan diberlakukannya sanksi bagi yang tidak memilih, termasuk didalamnya perempuan sebagai warga negara, dimana seluruh warga negara yang berusia 18 tahun keatas wajib memberikan suaranya dalam pemilihan umum pemerintah federal atau negara bagian, dan kemangkiran dari pemilu dapat berujung pada denda atau tuntutan pidana. Untuk memberikan suara di pemilihan umum, warga negara diwajibkan untuk mendaftarkan diri, pendaftaran sebagai peserta pemilu dapat dilakukan sejak berusia 16 atau 17 tahun, dan akan secara otomatis tercantum sebagai pemilih saat berusia 18 tahun. Akan tetapi meskipun jumlah partisipasi perempuan sebagai pemilih sangat tinggi, serta masuknya perempuan pada posisi-posisi penting dalam pemerintahan, namun isu kesetaraan ini masih belum sepenuhnya dapat dikatakan telah tuntas. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan mengenai isu ini, sebagaimana tergambar pada empat pemilihan umum terakhir pada lembaga legislatif Australia dimana jumlah keterlibatan perempuan dalam lembaga ini dapat dikatakan masih kurang dikarenakan masih berada dibawah angka critical mass. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor yang pada nyatanya masih menghambat keterwakilan perempuan dalam lembaga ini.
812
Analisis Partisipasi Politik Perempuan dalam Legislatif di Australia (M. Syafril)
Persentase jumlah perempuan di parlemen Australia yang tergambar sebenarnya cukup baik. Berdasarkan daftar calon yang diajukan oleh partai politik dalam pemilu tahun 2004 sampai dengan 2013 persentase jumlah perempuan yang masih berada diatas angka kuota minium pencalonan, terkecuali pada tahun 2013 dimana terjadi penurunan jumlah persentase perempuan yang jumlahnya dibawah angka kuota minimum. Namun hal ini tidak berdampak pada jumlah kandidat perempuan yang terpilih, menganalisis hasil dari empat pemilihan umum terakhir apabila melihat persentase perempuan di Senate, berdasarkan pada data tahun 2004 adalah 107 orang dan yang terpilih adalah 27 orang, pada pemilu tahun 2007 jumlah kandidat perempuan yang diajukan meningkat menjadi 135 orang dan yang terpilih masih berjumlah 27 orang, di pemilu tahun 2010 jumlah kandidat perempuan yang diajukan adalah 123 orang dan yang terpilih meningkat menjadi 29 orang. Pada tahun 2013 jumlah kandidat yang diajukan adalah 143 orang dan jumlah perempuan yang terpilih adalah 31 orang. Dalam empat periode pemilihan umum terakhir terjadi peningkatan yang stabil diatas angka kuota minimum, bahkan meskipun telah terjadi penurunan persentase perempuan pada saat pemilu di tahun 2013. Sistem pemilihan di senate dapat dibagi menjadi dua keadaan, yaitu pemilihan setengah anggota dan pemilihan anggota penuh. Sistem pemilihan yang digunakan adalah sistem pemilihan proporsional (preferensial) atau yang lebih dikenal dengan Multi Member Constituency. Kandidat dapat diajukan sebagai perwakilan negara bagian atau wilayah teritori. Dengan persyaratan menyatakan bahwa setiap negara dan wilayah teritori memiliki jumlah perwakilan yang sama tanpa melihat jumlah penduduknya. Terhitung dari empat kali masa pemilihan, kuota keterwakilan perempuan di majelis tinggi telah sampai pada angka 30% bahkan lebih. Berikut gambaran mengenai tingkat keterwakilan perempuan di majelis tinggi Australia periode 2004, 2007, 2010, dan 2013. Sebagaimana data inter parliamentary union menggambarkan bahwa ratarata persentase pertumbuhan partisipasi politik perempuan di Senat selama empat periode masa pemilihan adalah 1,93%. Jumlah perempuan dalam majelis tinggi Australia juga telah mencapai kestabilan diatas angka 30%. Gambar 4.1 Diagram Keterwakilan Perempuan di Majelis Tinggi (Senate) Australia 60,00% 40,00%
Jumlah Kandidat
20,00%
Kandidat Terpilih
0,00% 2004
2007
2010
2013
Sumber: Inter Parliamentary Union Hasil persentase diatas berdasarkan pada perhitungan dari total jumlah 76 kursi yang disediakan, jumlah perempuan yang diajukan pada pemilihan umum tahun 2004
813
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 807-824
adalah 107 orang dari 330 total kandidat atau setara dengan 32,42% dan yang terpilih adalah 27 orang atau setara dengan 35,5%, pada pemilu tahun 2007 jumlah kandidat perempuan yang diajukan meningkat menjadi 135 orang dari 367 total kandidat atau setara dengan 36,78% dan yang terpilih masih berjumlah 27 orang atau setara dengan 35,5%, di pemilu tahun 2010 jumlah kandidat perempuan yang diajukan adalah 123 orang dari 349 orang atau setara 35,24% dan yang terpilih meningkat menjadi 29 orang atau setara dengan 38,2%. Pada tahun 2013 jumlah kandidat yang diajukan adalah 143 orang dari 529 total kandidat atau setara dengan 27,03% total dan jumlah perempuan yang terpilih adalah 31 orang atau setara dengan 41,3%. Hasil analisis menunjukkan bahwa turunnya persentase pada tahun 2013 ini dipengaruhi oleh jumlah partai politik yang mengikuti pemilihan umum pada saat itu, pada tahun tersebut jumlah partai politik yang mengikuti pemilu lebih banyak dibandingkan pada tiga periode pemilu sebelumnya dan kebanyakan dari partai-partai tersebut lebih banyak mengusung kandidat laki-laki, sehingga terjadi penurunan jumlah kandidat perempuan yang diajukan. Namun hal ini tidak berdampak langsung terhadap jumlah kandidat terpilih, bahkan pada tahun tersebut jumlah persentase perempuan yang terpilih merupakan jumlah tertinggi dalam empat periode pemilihan terakhir. Berbeda dengan Senate, HoR beranggota 150 orang yang ditarik dari masing-masing negara bagian secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Berdasarkan ketentuan konstitusi, pemilu bagi anggota majelis rendah dilaksanakan tiga tahun sekali, tetapi dapat dilakukan pemilu sebelum habis masa bakti tiga tahun bila mayoritas anggota parlemen menghendakinya. Sistem pemilihan yang diterapkan di HoR adalah Single Member District. Setiap Anggota HoR terpilih untuk mewakili daerah yang dikenal sebagai divisi pemilu (Electoral Division). Para pemilih di masing-masing divisi memilih satu orang untuk mewakili mereka. Sama seperti yang diberlakukan di pemilihan Senate, urutan calon pada surat suara juga ditentukan secara acak yang dilakukan di kantor pemilihan pejabat Australia (Australian Electoral Officer). Cara memilih calon berbeda dengan cara yang berlaku di Senate, untuk memilih anggota HoR, pemilih tidak dapat memberikan preferensi mereka kepada partai politik, pemilih diharuskan menentukan memilih kandidat secara langsung dengan menuliskan angka di lembar pemilihan, kandidat yang diberikan angka 1 merupakan pilihan utama dari pemilih. Pencapaian diatas kuota minimum sayangnya hanya terjadi pada majelis tinggi, sedangkan pada House of Representative berdasarkan pada diagram 3.2 terlihat bahwa presentasi jumlah perempuan di majelis rendah secara kuantitas mengalami fluktuasi dibawah angka critical mass dengan dominasi perwakilan dari Partai Buruh Australia. Tidak jauh berbeda dengan persentase jumlah kandidat yang diajukan oleh partai politik, dimana jumlah yang diajukan oleh partai politik masih berada dibawah kuota minimum pencalonan. Berdasarkan pada data tahun 2004 jumlah kandidat perempuan yang diajukan adalah 299 orang dan yang terpilih adalah 37 orang, pada pemilu tahun 2007 jumlah kandidat perempuan yang diajukan turun menjadi 272 orang dan yang terpilih meningkat menjadi 40 orang, di pemilu tahun 2010 jumlah kandidat perempuan yang
814
Analisis Partisipasi Politik Perempuan dalam Legislatif di Australia (M. Syafril)
diajukan adalah 230 orang dan yang terpilih turun kembali menjadi 37 orang. Pada tahun 2013 jumlah kandidat yang diajukan adalah 327 orang dan jumlah perempuan yang terpilih adalah 39 orang. dalam empat periode pemilihan umum terakhir terjadi peningkatan yang stabil diatas angka kuota minimum, bahkan meskipun telah terjadi penurunan persentase perempuan pada saat pemilu di tahun 2013. Grafik keterwakilan perempuan di HoR dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013 yang tergambar dibawah ini masih menunjukkan angka dibawah kuota minimum 30%, yang berarti masih dibawah pencapaian Senate negara Australia, diperlukannya pengkajian lebih agar dapat mencapai tingkat keterwakilan yang sama atau bahkan seharusnya lebih dari Senate, karena HoR adalah lembaga yang membuat undangundang sehingga dibutuhkan peran perempuan untuk dapat mengkritisi pembuatan undang-undang agar tidak bias gender. Melihat data statistik pertumbuhan pada HoR, rata-rata pertumbuhan partisipasi politik perempuan adalah 0.375% selama empat periode pemilihan terakhir, dalam artian bahwa dengan pertumbuhan yang lambat ini maka dari jumlah persentase perempuan sekarang yang berada pada angka 26% akan sangat lambat untuk mencapai angka stabil di 30%. Gambar 4.2 Grafik Keterwakilan Perempuan di Majelis Rendah (HoR) Australia 28,00% 26,00%
Jumlah Kandidat
24,00%
Kandidat Terpilih
22,00% 2004
2007
2010
2013
Sumber: Inter Parliamentary Union Sebagaimana pada empat pemilihan umum terakhir lembaga ini diperoleh data partisipasi perempuan dalam pemilihan umum sebagai kandidat dan kandidat terpilih (dari dua partai besar di Australia) menunjukkan bahwa pada tahun 2004 persentase perempuan di HoR adalah 24,7% atau sekitar 37 orang perempuan dari 150 jumlah kursi yang tersedia, dengan jumlah kandidat saat pemilihan 299 orang dari 1.091 orang kandidat atau setara dengan 27,4%. Berdasarkan persentase jumlah perempuan dari partai utama, Partai Buruh menyumbangkan 30,7% kandidat perempuan dan yang terpilih 33,3%. Sedangkan Partai Liberal menyumbangkan 23,7% kandidat perempuan dan yang terpilih 20%. Pada tahun 2007 jumlah keterwakilan perempuan di HoR mengalami peningkatan menjadi 26,7% atau sekitar 40 orang perempuan dari 150 jumlah kursi yang tersedia, dengan jumlah kandidat saat pemilihan 272 orang perempuan dari 1.054 orang kandidat atau setara dengan 25,8%. Berdasarkan persentase jumlah perempuan dari partai utama, Partai Buruh menyumbangkan 30,0% kandidat perempuan dan yang terpilih 32.5%. Sedangkan Partai Liberal menyumbangkan 23,1% kandidat perempuan dan yang terpilih 21,8%.
815
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 807-824
Pada tahun 2010 jumlah keterwakilan perempuan di HoR kembali menjadi 24,7% atau sekitar 37 orang perempuan dari 150 jumlah kursi yang tersedia, dengan jumlah kandidat saat pemilihan 230 orang perempuan dari 849 orang kandidat atau setara dengan 27,1%. Berdasarkan persentase jumlah perempuan dari partai utama, Partai Buruh menyumbangkan 31,3% kandidat perempuan dan yang terpilih 31,9%. Sedangkan Partai Liberal menyumbangkan 20,7% kandidat perempuan dan yang terpilih 21,7%. Pada tahun 2013 jumlah keterwakilan perempuan di HoR kembali mengalami peningkatan menjadi 26% atau sekitar 39 orang perempuan dari 150 jumlah kursi yang tersedia, dengan jumlah kandidat saat pemilihan 327 orang perempuan dari 1.188 orang kandidat atau setara dengan 27,5%. Berdasarkan persentase jumlah perempuan dari partai utama, Partai Buruh menyumbangkan 32,7% kandidat perempuan dan yang terpilih 36,4%. Sedangkan Partai Liberal menyumbangkan 23,1% kandidat perempuan dan yang terpilih 21,6%. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif Australia Sementara arena permainan politik di setiap negara mempunyai karakter tersendiri, sistem politik Australia didasarkan pada tradisi demokrasi liberal dengan kebebasan yang didasarkan pada undang-undang negara. Pemilihan umum untuk menentukan wakil rakyat merupakan salah satu terapan dari demokrasi perwakilan yang terdiri dari peranan warga negara yang saling berhubungan, yaitu sebagai pemilih dan wakilwakil dalam sistem politik. Sebagaimana sistem pemilu sangat erat kaitannya dengan partai politik yang merupakan pengusung kandidat-kandidat dalam pemilihan umum, sehingga penulis mencoba memberikan sudut pandang bahwa tidak tercapainya angka kuota minimum pada lembaga House of Representative menurut penelitian ini adalah dikarenakan dua faktor utama yang menghambat terpilihnya perempuan dalam pemilihan umum, yaitu kelemahan sistem pemilu yang digunakan pada lembaga House of Representative dan kurangnya political will partai politik. 1. Sistem Pemilu Alasan mengapa sistem pemilu yang digunakan di House of Representative menjadi sorotan dalam penelitian ini dikarenakan setelah membandingkan dengan sistem pemilihan pada Senate di negara yang sama, yang menggunakan sistem pemilihan proporsional, terlihat jelas perbedaan jumlah dan pertumbuhan keterwakilan perempuan yang lebih baik ketimbang sistem pemilu single member district yang digunakan di House of Representative. Sehingga timbul asumsi bahwa permasalahan keterwakilan perempuan di House of Representative lebih rendah dari Senate merupakan pengaruh dari sistem pemilu yang dianut pada lembaga ini. Sistem pemilihan single member district sebenarnya merupakan warisan kolonial bangsa eropa yang diberlakukan di Australia, pada dasarnya sistem ini digunakan untuk memberikan perwakilan-perwakilan yang lebih dekat dengan masyarakat dan mampu membawa aspirasi masyarakat sesuai dengan wilayah/district dimana mereka terpilih. Namun, dengan masih diberlakukannya sistem pemilihan single member district di House of Representative merupakan salah satu faktor yang menghambat naiknya perempuan ke kursi parlemen, meskipun bukan tidak mungkin perempuan
816
Analisis Partisipasi Politik Perempuan dalam Legislatif di Australia (M. Syafril)
untuk terpilih dengan sistem pemilihan ini, hanya saja karena pada dasarnya sistem pemilihan ini merupakan sistem pemilihan yang memberikan peluang kecil untuk perempuan terpilih menjadi anggota parlemen. Hal tersebut dikarenakan pada sistem pemilihan single member district kandidat yang terpilih adalah kandidat tunggal dengan suara terbanyak, sedangkan kandidat dengan suara lebih sedikit akan diabaikan meskipun hanya selisih satu atau dua suara. Dalam artian lain bahwa sistem pemilu ini lebih mengunggulkan suara mayoritas dari satu wilayah, dan tidak jarang perempuan merupakan bagian dari suara minoritas. Penilaian sebagai suara minoritas diberlakukan berdasarkan fakta-fakta bahwa setelah selama ini mereka yang selama ini duduk di kursi pemerintahan secara tidak proporsional dipegang oleh kaum laki-laki, dimana hampir di setiap Negara di dunia termasuk di Australia, kandidat yang terpilih atau yang memperoleh suara dalam pemilihan adalah mereka yang mencalonkan diri kembali, karena bagi masyarakat pada umumnya, memilih wakil-wakil rakyat yang baru seperti sebuah perjudian. Jika pun harus memilih untuk kandidat baru, sejarah keterlibatan mereka atau aktivitas dengan partai politik, posisi sebagai pemangku jabatan masyarakat, dan hubungan kekeluargaan terhadap para pemimpin yang dinilai positif merupakan manifestasimanifestasi yang paling kuat dalam pemilihan dan kebanyakan dari mereka yang berada pada posisi ini adalah kaum laki-laki. Penilaian lainnya adalah berdasar keterwakilan perempuan dalam perspektif gender. Dapat dikatakan bahwa secara umum perspektif gender ini merupakan salah satu hambatan terhadap perempuan untuk terpilih dalam pemilihan umum, sebagaimana pada masyarakat umum beranggapan bahwa pada dasarnya anggota parlemen yang berjenis kelamin laki-laki dianggap mampu untuk mewakili aspirasi perempuan, dengan mempertimbangkan gender sebagai konstruksi sosial dimana laki-laki bisa saja merupakan seorang feminism, meskipun keterwakilan politik perempuan sangat berarti karena beberapa argumen. Pertama, dari segi demokrasi, jumlah perempuan jauh lebih dari setengah jumlah total penduduk. Oleh karena itu, merupakan bangunan teoritis yang wajar apabila wakil rakyat merefleksikan konstituennya. Kedua, dari segi kesetaraan, keterwakilan dari perempuan untuk perempuan, sama halnya dengan tuntutan atas tuntutan sumber daya, merupakan penggunaan kemampuan intelektual perempuan. Ketiga, dari segi keterwakilan, banyak penelitian empiris yang menunjukkan bahwa bila perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, maka kepentingan mereka tidak dipertimbangkan secara sungguhsungguh. Namun dengan gambaran bahwa politik merupakan arena permainan yang keras dan kejam sehingga kekhawatiran perempuan tidak akan mampu menyuarakan aspirasi mereka, sehingga kerap kali laki-laki diangkat sebagai perwakilan sebagai kaum perempuan. Pengaruh sistem pemilihan terhadap partisipasi/representasi perempuan sangatlah dramatis, sebagaimana perbandingan jumlah kandidat dan kandidat terpilih antara pemilihan House of Representative dan Senate, pada sistem pemilihan proporsional di Senate, menunjukkan jumlah kandidat dan kandidat terpilih yang lebih tinggi ketimbang sistem pemilihan distrik di House of Representative. Ada sejumlah penjelasan mengenai hal ini. Pertama, sistem proporsional secara konsisten menyediakan jumlah kursi yang diperebutkan lebih besar, sehingga partai dapat
817
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 807-824
memenangkan jumlah kursi yang lebih besar. Hal ini dapat mempengaruhi strategi partai saat menentukan kandidat yang akan dicalonkan, ketika jumlah kursi yang diperebutkan lebih besar, maka kesempatan suatu partai untuk memenangkan beberapa kursi juga lebih besar. Ketika suatu partai mengharapkan kemenangan untuk beberapa kursi, maka partai akan menyeimbangkan daftar calon mereka. Penyeimbangan daftar calon ini berdasarkan asumsi partai dalam melihat keseimbangan sebagai cara untuk menarik para pemilih, pertimbangannya adalah, daripada memberikan satu calon tunggal untuk menarik suara maksimal dari pemilih yang pada akhirnya hanya mendapatkan satu buah kursi, partai akan lebih diuntungkan apabila mencalonkan kandidat yang berbeda-beda untuk mengumpulkan suara dari subsektor tertentu. Para kandidat yang mempunyai kedekatan dengan kelompok-kelompok berbeda dan sektor-sektor masyarakat yang berbeda pula, akan membantu menarik suara untuk partainya. Sehingga mencalonkan kandidat perempuan merupakan suatu keuntungan bagi partai untuk mengumpulkan suara, meskipun tanpa memperhatikan kepentingan partai. Selain itu keseimbangan dalam daftar partai sering dilihat sebagai suatu kesetaraan, faksi-faksi yang berbeda dalam partai akan menyatakan bahwa wakil-wakil mereka seharusnya dipilih untuk menjadikan kandidat yang mempunyai kesempatan untuk menang, ketika suatu kelompok perempuan dari partai tersebut sudah didirikan dan aktif dalam melakukan kegiatan penting partai, perempuan akan menjadi salah satu kelompok yang menuntut dimasukkan dalam daftar posisi yang dapat menang. Dan juga bahwa keseimbangan dalam daftar partai merupakan suatu cara untuk memelihara perdamaian didalam partai dan memastikan dukungan berkelanjutan berbagai kelompok dalam partai tersebut. Tentu saja hal ini akan sangat sulit diterapkan pada sistem pemilihan Single Member District yang hanya menyediakan satu kursi. Yang kedua adalah, karena sistem pemilihan proporsional lebih membantu perempuan untuk dapat dicalonkan oleh partai. Dalam pembahasan diatas, salah satu kendala perempuan untuk dapat dicalonkan adalah dikarenakan perempuan diasumsikan sebagai suara minoritas dimana jika perempuan berusaha masuk dalam ruang untuk pencalonan, partai harus menghindari pencalonan ulang untuk satu kursi yang sedang dipegang atau menolak tempat untuk kandidat laki-laki dari suatu faksi internal yang secara tradisional sudah menerima pencalonannya, untuk pencalonan kandidat perempuan. Hal ini tentu saja merupakan pertimbangan yang berat bagi partai. Sedangkan dalam sistem proporsional hal itu tidak perlu terjadi, karena partai mempunyai beberapa ruang untuk memasukkan kandidat perempuan didalamnya. Memasukkan perempuan kedalam daftar kandidat untuk partai dapat dijadikan sebagai opsi kedua partai dalam merangkul jumlah suara. Yang pada akhirnya perilaku partai dalam data yang dirujuk bahwa selama empat pemilihan umum terakhir, jumlah kandidat perempuan yang diajukan dalam pemilihan Senate oleh partai politik, jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah total perempuan yang diajukan sebagai kandidat oleh partai pada pemilihan House of
818
Analisis Partisipasi Politik Perempuan dalam Legislatif di Australia (M. Syafril)
Representative. Sehingga tidak mengherankan apabila partisipasi politik perempuan di House of Representative masih berada dibawah Senate. 2. Political Will Partai Politik Agar kuota keterwakilan perempuan dalam sistem pemilihan ini terpenuhi, diperlukannya peraturan-peraturan tambahan yang mampu mendorong tingkat partisipasi perempuan. Akan tetapi Australia belum memiliki peraturan yang benarbenar mendorong pengikatan keterwakilan perempuan di parlemen terutama pada lembaga House of Representative, hal ini terlihat dengan belum terlembaganya aturan tentang partai politik, seperti peraturan pemberian minimum kuota terhadap perempuan oleh pemerintah Australia, pencantuman jumlah kuota khusus di dokumen kepartaian atau yang paling penting adalah sanksi-sanksi administratif yang diberlakukan apabila keterwakilan perempuan masih dibawah laki-laki bagi partai politik. Karena sanksi merupakan salah satu unsur yang membawa kepatuhan dalam menjalankan hukum. Sebagaimana rekomendasi dari komite CEDAW yang menekankan pentingnya tindakan khusus sementara atau affirmative action untuk isu keterwakilan. Tindakan khusus sementara adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi atau keistimewaan dalam kasuskasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Salah satu bentuk pemberian kuota bagi perempuan dalam jumlah tertentu atau persentase dari anggota suatu badan, apakah itu suatu daftar kandidat, majelis parlemen, suatu komite, atau suatu pemerintahan. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan agar perempuan, paling tidak merupakan satu minoritas kritis (Critical minority) yang terdiri dari 30% atau 40%, meskipun syarat akan pro dan kontra, namun sistem kuota ini merupakan salah satu yang dianggap sebagai jalan keluar bagi masalah kurangnya keterwakilan perempuan dalam politik. Sorotan bagi political will partai dikarenakan partai-partai politik di Australia adalah lembaga yang tidak pernah disebut-sebut dalam konstitusi dan tidak dikontrol dalam suatu perundangan apapun, Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan yang mengatur penerimaan anggota, perumusan kebijakan dan pemilihan calon anggota parlemen adalah urusan mereka sendiri dan tidak dapat diajukan ke pengadilan. Meskipun partai di Australia merupakan aktor utama dalam pemilihan umum di Australia. Tidak adanya aturan hukum, terlebih dengan tidak adanya peraturan perundang-undangan mengenai sistem kuota, sehingga partai secara leluasa menentukan kandidat-kandidat mereka sendiri, dengan kata lain partai yang sedari awal merupakan arena pertarungan kaum laki-laki akan sulit untuk dimasuki oleh kaum perempuan. Upaya-upaya partai Australia untuk mendukung tingkat partisipasi politik perempuan sebenarnya cukup baik, beberapa partai telah memberlakukan pemberian kuota dalam pemilihan untuk perempuan, namun hal tersebut tentu saja tidak serta merta menjamin bahwa jumlah perempuan yang terpilih akan setara dengan jumlah perempuan yang dicalonkan, karenanya dibutuhkan sumbangsih lebih dari partai politik untuk dapat paling tidak menjamin jumlah perempuan terpilih akan setara atau lebih dari angka kuota minimum. Sehingga diperlukannya strategi-strategi khusus dari partai politik untuk dapat memaksimalkan peluang kemenangan bagi kandidat
819
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 807-824
perempuan dan menghindarkan persaingan dengan sudut pandang kuantitas sebagai kandidat dari partai politik yang sama dalam distrik yang sama pula. Karena akan percuma apabila sebuah partai memberikan persentase kuantitas sesuai dengan angka kuota minimum pada saat pencalonan, namun setengah atau lebih dari total jumlah kandidat ditempatkan pada distrik yang sama sebagai peserta pemilihan dan pada akhirnya hanya satu orang yang akan terpilih. Namun sayangnya partai yang mampu untuk menjamin posisi perempuan di parlemen dengan kuota minimal terpilih hanyalah Partai Buruh Australia, partai mayoritas/besar lainnya hanya mampu sampai pada kuota minimal pencalonan, dampak dari kemampuan partai yang hanya menjamin minimal kuota pencalonan ini adalah ketidak stabilan jumlah perempuan yang nantinya akan terpilih. Seperti yang digambarkan oleh data penelitian ini bahwa hasil dari empat periode pemilihan umum terakhir di House of Representative mengalami fluktuasi. Partai Buruh Australia memberikan jaminan perempuan wajib diajukan sebagai kandidat dan wajib terpilih dengan jumlah minimal 40 berbanding 40 dengan laki-laki seperti yang tertuang dalam peraturan internal partai Buruh. Partai ini juga telah berjanji untuk memberikan kandidat perempuan sepertiga daerah pemilihan yang dianggap dapat dimenangkan dalam pemilu. Pada Partai Liberal dan Partai Nasional, jumlah kuota sukarela yang ditetapkan adalah pada jumlah kandidat / kuota minimum pencalonan, beberapa partai bahkan belum memberlakukan sistem kuota pada partainya sehingga jumlah kandidat perempuan apabila diakumulasi masih berada pada angka dibawah target kuota minimum. Dengan persentase jumlah kandidat perempuan yang mengikuti pemilu masih dibawah kuota minimum dalam artian bahwa perbandingan jumlah laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dalam pemilu, maka kemungkinan pemenang dalam pemilu juga akan lebih besar dimenangkan oleh laki-laki. Sehingga tidak mengherankan jika Partai Buruh mampu mendominasi kandidat perempuan terpilih saat pemilu. Dominasi ini juga merupakan salah satu dampak dari sistem pemilihan single member district, pada dasarnya Partai Buruh Australia telah diuntungkan oleh sistem pemilihan ini karena sistem pemilihan memiliki sifat dasar mengeliminasi suara minoritas, sehingga suara-suara mayoritas yang dimiliki oleh partai besar akan mendominasi. Selain itu, Partai Buruh Australia yang sejak awal diuntungkan oleh sistem pemilihan ini sebagai partai besar mampu memaksimalkan jumlah kandidat terpilih dengan mencantumkan jumlah minimal kuota wajib terpilih bagi perempuan di dalam peraturan dasar partainya. Sehingga jumlah perempuan yang terpilih selalu berada diatas angka critical mass, seperti yang terlihat pada empat pemilihan terakhir, persentase jumlah kandidat perempuan yang terpilih di partai ini jumlahnya tidak pernah dibawah 30%. Meskipun begitu, tidak serta merata dapat dikatakan bahwa partai lainnya tidak serius dalam menanggapi gerakan affirmative action ini, mempertimbangkan dampak negative dari gerakan affirmative action terhadap perempuan dimana sebagian ahli menganggap gerakan ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Bagaimana tidak, karena sistem kuota pada dasarnya menentang prinsip kesetaraan bagi semua, dengan perempuan diberikan kuota maka dengan kata lain, perempuan telah diberikan preferensi.
820
Analisis Partisipasi Politik Perempuan dalam Legislatif di Australia (M. Syafril)
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa sistem kuota tidaklah demokratik, karena dengan sistem kuota, sejumlah kuantitas yang harus terpilih telah ditentukan oleh kuota ini. Secara tidak langsung ini memperlihatkan bahwa para politisi dipilih karena gendernya dan bukan karena kualifikasinya dan menyingkirkan kandidat-kandidat yang mungkin lebih layak untuk terpilih. Keterwakilan perempuan pada dasarnya ditujukan teruntuk kesetaraan untuk perempuan, namun dengan pemberian sistem kuota, secara tidak langsung hal itu berarti kita menganggap perempuan tidak akan mampu naik tanpa dukungan sistem kuota ini, dan banyak perempuan yang sebenarnya tidak ingin dipilih hanya karena mereka perempuan. Akan tetapi apabila kita mengingat kembali alasan-alasan munculnya sistem kuota ini dimana perempuan pada dasarnya telah kalah start dan tertinggal jauh oleh kaum laki-laki yang sedari dulu telah mendominasi dunia politik dan keadaan dimana perempuan yang berpredikat sebagai kaum lemah dan tugas pokoknya sebagai ibu rumah tangga dan tidak mampu bersaing didalam dunia politik, maka dapat dikatakan bahwa system kuota merupakan salah satu faktor yang mampu memicu kehadiran perempuan di dalam parlemen. Satu hal yang penting adalah bahwa kuota ini hanya diterapkan sebagai tindakan temporer. Apabila hambatan struktural terhadap masuknya perempuan dalam politik telah dapat disingkirkan, maka kuota tidak perlu diterapkan lagi. Hal ini tidak terlepas dari dasar pertimbangan penetapan kuota itu sendiri, oleh karena itu kuota tidak diperlukan lagi ketika perempuan dan laki-laki telah berada pada garis start yang sama. Dan melihat kembali hubungan antara sistem pemilihan dan partai politik dimana sistem pemilihan yang digunakan di House of Representative memberikan tekanan terhadap partai melalui besaran distrik (jumlah kursi per distrik) berjumlah satu, yang berarti hanya ada satu partai yang akan menjadi pemenang, sedangkan tujuan utama partai politik adalah untuk mendapatkan jumlah suara maksimal dengan mempertimbangkan besaran partai (jumlah pendukung partai), terhadap definisi tersebut maka partai-partai ini tidak memiliki kesempatan untuk menyeimbangkan daftar calon partai, karena keputusan nominasi dalam distrik anggota tunggal bersifat zero-sum, dalam artian partai-partai politik ini mengusung kandidat yang benar-benar diyakini mampu mengumpulkan suara maksimal. Diperlukannya keseriusan partai politik untuk dapat meningkatkan keterwakilan politik perempuan, karena partai politik adalah salah satu lembaga penting untuk meningkatkan dan memperluas partisipasi perempuan karena partai politik merupakan institusi penting dalam sistem pemilihan, baik di Australia maupun di seluruh dunia, sehingga untuk mencapai tingkat partisipasi politik yang cukup di parlemen di perlukan kinerja khusus dari partai politik dalam mendukung terciptanya target angka keterwakilan perempuan. Memberikan kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam partai politik merupakan langkah awal dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan di Australia. Keseluruhan dari partai politik memiliki aturan dasar yang sama yaitu menerima semua warga Australia yang ingin terlibat di dalam partai politik, bahkan partai-partai ini memberikan kemudahan kepada setiap orang yang ingin menjadi bagian dari partai dengan menerima pendaftaran sebagai anggota melalui media internet, yaitu pada website masing-masing partai. Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin untuk ikut terlibat didalam partai, sehingga kaum perempuan juga dapat ikut serta didalamnya.
821
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 807-824
Proses rekrutmen politik yang berjalan secara terbuka dan demokratis inilah yang menjadi jembatan bagi kaum perempuan untuk melibatkan diri secara intensif, karena didalam partai politik terdapat prosesi pengkaderan yang sistematik dan berkesinambungan, dengan terlibatnya perempuan didalam partai dan prosesi pengkaderan, maka kaum perempuan akan lebih memiliki kesiapan dan kesempatan untuk mengikuti pemilihan sebagai calon perwakilan. Penerapan sistem kuota internal partai yang hanya sampai pada kuota pencalonan dan banyaknya jumlah perempuan didalam partai di Australia pada akhirnya hanya mewakilkan jumlah perempuan yang cukup dalam daftar pemilihan saja, permasalahan utamanya adalah apakah masyarakat pada umumnya atau kaum perempuan pada khususnya akan memilih calon perempuan yang diusung. Terlebih karena peraturan sistem kuota ini tidak mengikat masyarakat secara umum karena tidak adanya peraturan atau undang-undang negara Australia yang mengharuskan masyarakat memilih perempuan agar jumlah keterwakilan sampai pada angka kuota minimum terpilih. Bagaimanapun juga dalam proses pemilihan partai politik kembali harus berupaya menggunakan strategi yang dapat membuat calon perempuan terpilih. Penempatan perempuan diposisi yang aman saat pemilihan merupakan upaya yang dapat dilakukan oleh partai politik di Australia dalam meningkatkan jumlah terpilihnya perempuan dalam pemilihan umum, penempatan perempuan ini diharapkan mengurangi 'bentrok' dengan calon laki-laki atau dengan calon sesama perempuan yang berjuang di posisi yang sama, karena apabila terjadi 'bentrok' antara posisi laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama, tidak menutup kemungkinan laki-lakilah yang akan menang dan apabila terjadi 'bentrok' terhadap sesama kaum perempuan, maka hal itu sama saja mengurangi kuantitas calon untuk mewakili perempuan. Kemudian partai dapat mengupayakan bagaimana agar calon perempuan dikenal oleh masyarakat, untuk terpilih seorang calon haruslah dikenal baik pribadinya maupun visi dan misi yang di angkat, semakin dikenalnya calon, maka semakin besar pula kemungkinan calon akan terpilih menjadi anggota parlemen. Langkah pertama yang diambil oleh partai politik di Australia untuk masalah tersebut adalah dengan melakukan pemilihan isu kampanye yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat agar menarik empati untuk memilih, terutama isu-isu tentang perempuan agar perempuan memprioritaskan kepentingannya secara khusus, seperti tentang kesehatan perempuan dan anak, atau pendapatan dan cuti hamil, kekerasan berbasis gender dan lain sebagainya yang sifatnya pendekatan terhadap kepentingan masyarakat terutama perempuan. Langkah berikutnya adalah memastikan perempuan menonjol semasa kampanye. Untuk meningkatkan pengakuan dan pengenalan calon mereka, Partai politik di Australia memperkenalkan calon yang diusung melalui media-media kampanye. Permasalahan yang sering muncul dalam masa kampanye ini adalah keterbatasan pendanaan. Tantangan pendanaan lebih dirasakan perempuan karena beberapa alasan, status ekonomi perempuan biasanya lebih rendah dari laki-laki. Peran perempuan telah terbagi, secara tradisional laki-laki adalah kepala keluarga, oleh karena itu mereka terbiasa untuk mencari uang untuk mereka sendiri. Jika perempuan dalam ranah privat tidak terbiasa mencari uang untuk diri sendiri, saat mereka mencari uang, biasanya mereka membelanjakan untuk kebutuhan keluarga terlebih dahulu.
822
Analisis Partisipasi Politik Perempuan dalam Legislatif di Australia (M. Syafril)
Laki-laki dapat berkampanye lebih efektif di luar struktur partai karena mereka terhubung dengan jaringan bisnis dan profesional yang dapat memberikan dukungan keuangan. Pengecualiannya terhadap wanita hanyalah ketika mereka merupakan anak, istri atau keluarga politisi terkenal yang memanfaatkan hubungan keluarga sebagai akses ke modal. Karena biaya kampanye di Australia sendiri bisa sangat mahal, terutama pada masa pemilihan nasional, sehingga masalah dana dapat berdampak pada keberhasilan kampanye. Manajemen dan bantuan dana dari partai merupakan salah satu bentuk strategi yang dapat ditempuh, dana yang diberikan biasanya berupa dana publik. Dana publik adalah salah satu mekanisme yang digunakan untuk menyetarakan tataran persaingan pada Periode Pemilihan, biasanya untuk partai yang duduk di parlemen. Dana publik diberikan tanpa kewajiban untuk penerima, namun dapat diatur sedemikian rupa agar ditujukan untuk pemberdayaan perempuan. Cara lain untuk menyediakan dana publik secara tidak langsung adalah akses ke media privat dan publik, ini merupakan komponen penting kampanye partai, karena menjalin hubungan antara calon dan pemilih. Keterlibatan perempuan di House of Representative sangat dibutuhkan oleh kaum perempuan Australia, karena lembaga ini merupakan salah satu lembaga pembuatanpembuatan kebijakan dan peraturan-peraturan Negara, apabila perempuan kehilangan suara atau dalam artian lain tidak ada perwakilan perempuan yang mencukupi dalam lembaga ini, maka dikhawatirkan keputusan yang dihasilkan akan bias gender. Kehilangan jumlah suara di saat angka kritis minimal di parlemen masih belum terpenuhi bagi perempuan merupakan kerugian yang patut di khawatirkan, karena untuk mencapai tujuan bersama dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, angka kritis ini sangat diperlukan, terutama dalam sudut pandang kesetaraan perempuan dalam dunia politik, gambaran akan kehadiran perempuan di House of Representative ini masih sangat jauh dari apa yang diharapkan. Kesimpulan Partisipasi politik perempuan di Australia dapat dikatakan cukup baik, dibuktikan dengan keikut sertaan perempuan dalam pemilihan umum dengan kuantitas yang berada diatas angka keikut sertaan laki-laki. Begitu juga dengan jumlah keterwakilan perempuan yang tercermin pada lembaga Senate Federal, dimana jumlah representasi perempuan telah sampai pada angka kuota minimum pencalonan dan angka kuota minimum terpilih telah dicapai. Perempuan di lembaga house of representative Australia dapat dikatakan masih berada dibawah kuota minimum yang di rekomendasikan komite CEDAW, sistem pemilu merupakan salah satu faktor utama yang memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap tingkat keterwakilan perempuan di lembaga ini apabila dibandingkan dengan sistem pemilihan yang diterapkan pada lembaga Senate. Referensi Buku Almond, Gabriel A. dan Verba, Sidney. 1990. Budaya Pollitik, tingkah laku politik dan demokrasi di lima Negara. Bumi Aksara. Jakarta.
823
eJournalIlmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 807-824
Budiarjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Gramedia. Jakarta. Chilcote, Ronald H. 1981. Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm. Westview Press. Colorado. Evington, Julie. 1995. Number magic: the trouble with women, art and representation, in Cain, B and Pringle, R Transitions. New Australian Feminism. Allen and Unwin. Sukarna. 1990. Perbandingan Sistem Politik,.Citra Aditya Bakti. Bandung. Summers, Anne. 1994. Damned Whores and Gods Police. Penguin Books. London. Internet CEDAW, http://cedaw-seasia.org/resource_documents.html, diakses pada tanggal 23 Juni 2014 JP 18 tahun 2001 Perempuan & Teknologi Pembebasan http://www.jurnalperempuan.org/uploads/1/2/2/0/12201443/di_jp_18perempuan_dan_teknologi_pembebasan.pdf, diakses pada tanggal 23 Juni 2014 Women in Political Arena, http://www.aec.gov.au/Elections/australian_electoral_ history/wopa.htm, diakses pada tanggal 14 Maret 2014
824