1
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
ANALISIS ON-BOTTOM STABILITY PIPA BAWAH LAUT PADA KONDISI SLOPING SEABED Oktavianus Kriswidanto, Yoyok Setyo Hadiwidodo dan Imam Rochani Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected]
Abstrak - Dalam proses desain pipa bawah laut, masalah penting yang harus diperhatikan adalah stabilitas pipa pada saat berada di dasar laut selama masa operasi. DNV (Det Norske Veritas) melakukan revisi terhadap standar code DNV RP E305 On-bottom Stability Design Of Submarine Pipeline 1988 dengan standar code DNV RP F109 On-bottom Stability Design Of Submarine Pipeline 2007. Revisi pada code ini yaitu adanya reduksi pembebanan pada pipa akibat adanya interaksi antara pipa dengan tanah pada suatu sistem pipeline. Gaya-gaya hidrodinamika dapat tereduksi karena adanya permeabilitas seabed dan penetrasi pipa ke seabed. Studi kasus yang dipakai dalam tugas akhir ini adalah proyek instalasi pipeline dari platform Udang Alpha menuju platform Udang Bravo sepanjang 7,706 km di laut Natuna, yang telah dihitung stabilitasnya dengan DNV RP E305 oleh PT. Pertalahan Arnebatara Natuna. Disebabkan penambahan faktor reduksi terhadap gaya-gaya hidrodinamika pada code DNV RP F109, mendorong untuk dilakukan perhitungan stabilitas kembali, sehingga dapat dilihat bagaimana pengaruh terhadap stabilitas pipa, gaya-gaya hidrodinamika dan kebutuhan akan tebal concrete coating. Selanjutnya dapat dilakukan analisa pengaruh sudut kemiringan, tipe tanah, kedalaman penetrasi,dan tebal concrete coating terhadap stabilitas pipa bawah laut. Selain itu, gaya yang diterima pipa akan mengalami reduksi seiring bertambahnya kedalaman penguburan atau penetrasi pipa ke seabed. Kata kunci : DNV RP F109, On-Bottom Stability, Submarine pipeline, Reduksi, Concrete Coating I. PENDAHULUAN Pipa bawah laut (Submarine Pipelines) merupakan salah satu cara untuk mengangkut minyak atau gas alam dari sumur minyak di lepas pantai menuju lokasi pantai atau dermaga bongkar muat. Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam penggunaan pipeline adalah ketidakstabilan akibat pengaruh gaya-gaya hidrodinamika yang bekerja pada pipa. Pada keadaan sebenarnya dimungkinkan pipa akan mengalami penetrasi ke tanah akibat beban fungsional pipa tersebut, keadaan ini mengakibatkan adanya reduksi terhadap gaya-gaya hidrodinamika yang bekerja pada pipa. Evaluasi ini diperlukan agar pipa mampu untuk menahan pembebanan gaya-gaya secara statis dan dinamik, dan dapat bertahan selama masa operasinya. Untuk menghindari pergeseran,
pipa harus diberi lapisan beton (concrete coating) yang cukup berat, atau dengan penguburan (trenching). Stabilitas pipa dapat diperoleh dengan menambah lapisan beton pada pipa sehingga berat pipa di dalam air bertambah. Analisa stabilitas pipa di dasar laut pada kasus proyek instalasi pipeline dari platform Udang Alpha menuju platform Udang Bravo sepanjang 7,706 km di laut Natuna dilakukan untuk mendapatkan ketebalan minimum lapisan beton yang dibutuhkan pada pipa, agar pipa stabil. Kemudian PT. Pertalahan Arnebatara Natuna (2008), telah melakukan perhitungan stabilitas pipa dengan ketebalan lapisan beton yang berbeda-beda hingga didapatkan tebal lapisan beton yang mencukupi dan diperoleh faktor keamanan yang diinginkan dengan DNV RP E305 (1988). Pada tahun 2007 DNV (Det Norske Veritas) menerbitkan standar code yang baru DNV RP F109 Onbottom Stability Design Of Submarine Pipeline sebagai pengganti DNV RP E305 (1988), dengan adanya penambahan faktor reduksi gaya akibat permeable dasar laut, reduksi gaya akibat terjadinya penetrasi pipa ke tanah, dan reduksi gaya akibat trenching. Maka dari itu perlu dilakukan perhitungan stabilitas pipa kembali untuk kasus proyek instalasi pipeline dari platform Udang Alpha menuju platform Udang Bravo sepanjang 7,706 km di laut Natuna dengan metode DNV RP F109. II. DASAR TEORI DNV (Det Norske Veritas) melakukan revisi terhadap standar code DNV RP E305 On-bottom Stability Design Of Submarine Pipeline 1988 dengan standar code DNV RP F109 On-bottom Stability Design Of Submarine Pipeline 2007 untuk menyelaraskan pendekatan desain stabilitas pipa bawah laut dengan desain yang terdapat pada code DNV OS 101 Submarine Pipeline System 2000. Di samping itu metode desain dalam standar code DnV RP F109 ini lebih luas dalam pembahasan pada kondisi tanah lempung dan pasir. Beberapa revisi yang terdapat dalam code ini yaitu adanya reduksi pembebanan pada pipa akibat adanya interaksi antara pipa dengan tanah pada suatu sistem pipeline. Gaya-gaya hidrodinamika dapat tereduksi karena adanya permeabilitas seabed, penetrasi pipa ke seabed, dan Trenching (pembuatan parit).
2
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
Dengan metode DNV RP E305, PT. Pertalahan Arnebatara Natuna (2008) telah menghitung stabilitas pipa bawah laut pada studi kasus proyek instalasi pipeline dari platform Udang Alpha menuju platform Udang Bravo sepanjang 7,706 km di laut Natuna. Perhitungan dilakukan dengan variasi tebal concrete coating, sehingga didapat hasil desain stabilitas pipa bawah laut yang dapat memenuhi faktor keamanan vertikal maupun lateral (J P Kenny, 2009). Pada kondisi instalasi didapat tebal concrete coating 1 in, kemudian untuk kondisi hydrotest, operasi, operasi terkorosi didapat juga tebal concrete coating 1 in.
2.1.2 Gaya Horizontal a) Drag Force Drag force terjadi karena adanya gesekan antara fluida dengan dinding pipa atau yang dikenal sebagai skin friction dan adanya vortex yang terjadi di belakang pipa (form drag). Terjadi drag force sangat terpengaruh oleh kecepatan aliran, nilai dari drag force dapat dirumuskan sebagai berikut : (1)
Penambahan faktor reduksi pada gaya-gaya hidrodinamika pada code DNV RP F109, mendorong untuk dilakukan perhitungan stabilitas kembali, sehingga dapat dilihat bagaimana pengaruh terhadap stabilitas pipa, gaya-gaya luar dan kebutuhan akan tebal concrete coating. Selanjutnya dapat dilakukan analisa pengaruh sudut kemiringan, tipe tanah, kedalaman penetrasi,dan tebal concrete coating terhadap stabilitas pipa bawah laut. Penurunan dalam kekuatan hidrodinamika dicatat melalui modifikasi koefisien hidrodinamika (M. Munari, et al, 2007) 2.1 Stabilitas Pipa Bawah Laut
Dengan, FD = drag force, N/m CD = koefisien drag Ρw D Us
= massa jenis fluida, kg/m3 = diameter pipa, m = Kecepatan partikel air akibat gelombang,
m/detik UD = arus laut, m/detik rtot_y = faktor reduksi gaya arah horizontal g
= gravitasi konstan, m/s2
2.1.1 Umum b) Gaya Inersia (Inertia Force) Stabilitas pipa di dasar laut, baik stabilitas dalam arah vertikal maupun arah horizontal, sangat dipengaruhi oleh berat pipeline di dalam air, gaya-gaya lingkungan yang bekerja, serta resistensi tanah di dasar laut. Gaya-gaya lingkungan yang masuk ke dalam analisis stabilitas pipa terdiri dari gaya-gaya hidrodinamika, seperti drag force, inertia force, dan lift force. Sedangkan resistensi tanah dasar laut merupakan drag force yang terjadi antara pipa dengan permukaan tanah dasar laut tersebut. Dengan memperhatikan faktor-faktor di atas, saat melakukan analisis stabilitas pipa akan didapatkan nilai berat pipa di dalam air yang dibutuhkan agar dapat memenuhi kriteria stabilitas yang telah ditentukan. Untuk mempermudah perhitungan dalam analisis stabilitas pipa, dapat dibuat diagram freebody dari gaya-gaya yang bekerja pada pipa. Gambar 2.1 merupakan ilustrasi dari penampang melintang pipa di dasar laut dengan gaya yang bekerja pada pipa tersebut.
Inertia force menunjukkan adanya dari masa fluida yang dipindahkan oleh pipa, nilainya dipengaruhi oleh percepatan partikel air. Nilai dari inertia force dapat dirumuskan seperti berikut :
(2) Dengan, FI = gaya inersia persatuan panjang, N/m CM = koefisien hidrodinamik inersia ax = percepatan partikel air arah horizontal, m/detik2 ρ = ρw massa jenis fluida, kg/m3 2.1.3 Gaya Vertikal (Lift Force) Lift force adalah gaya hidrodinamik dalam arah vertikal, gaya ini terjadi apabila terdapat konsentrasi streamline pada pipa. Konsentrasi streamline terjadi di atas silinder pipa yang mengakibatkan gaya angkat ke atas. Jika terjadi celah sempit antara silinder dan seabed, konsentrasi streamline di bawah silinder pipa akan mengakibatkan gaya angkat negatif ke arah bawah. Besarnya gaya angkat ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
Gambar 2.1 Diagram Gaya yang Bekerja pada Pipa di Dasar Laut
(3)
3
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
Dengan, FL
= gaya angkat (lift force), N/m
CL
= koefisien gaya angkat
Ρw D Us
= massa jenis fluida, kg/m3 = diameter pipa, m = Kecepatan partikel air akibat gelombang, m/detik
UD
= arus laut, m/detik
2.3 DNV RP F109
rtot_y = faktor reduksi gaya arah horizontal g
d : kedalaman laut, m k : angka gelombang H : tinggi gelombang pada kedalaman yang ditinjau, m T : periode gelombang, detik ω : frekuensi gelombang, rad/detik s : jarak vertikal titik yang ditinjau dari dasar laut, m L : panjang gelombang pada kedalaman yang ditinjau, m
2.3.1 Berat Terendam Pipa
= gravitasi konstan, m/s2
Potongan melintang sebuah pipa ditunjukkan pada Gambar 2.2 berikut ini.
2.1.4 Koefisien Hidrodinamik Sebelum melakukan perhitungan gaya-gaya hidrodinamika maka terlebih dahulu menentukan nilai dari koefisien-koefisien hidrodinamik, Mouselli menyatakan bahwa nilai dari suatu koefisien hidrodinamika bergantung pada nilai bilangan Reynold, kekasaran pipa (pipe roughness) dan bilangan Keulegan-Carpenter. Persamaan bilangan Reynold : (4)
Gambar 2.2 Potongan Pipa Melintang
Persamaan bilangan Keulegan-Carpenter :
Berikut ini rumus perhitungan berat terendam pipa : (5)
Berat Terendam Pipa :
Keterangan :
(8)
Us = kecepatan arus signifikan, m/detik
Berat Terendam Minimum Pipa :
UD = Kecepatan partikel air, m/detik D = diameter luar pipa, m Ν = viskositas kinematik T = periode gelombang, detik
(9) Dengan,
2.2 Teori Gelombang Persamaan kecepatan dan percepatan partikel gelombang pada arah horisontal untuk teori gelombang Stokes Orde 2 dapat diketahui dari persamaan berikut (Chakrabarti, 1987): Kecepatan Horizontal :
(6)
: Diameter luar pipa baja, m
Di
: Diameter dalam pipa baja, m
Dw
: Diameter luar lapisan anti karat (corrosin wrap), m
Dc
: Diameter luar selimut beton (concrete coating), m
ts
: Tebal pipa baja, in
tc
: Tebal selimut beton, in
Wst
: Berat baja di udara, N/m
Wcorr : Berat lapisan anti karat di udara, N/m
Percepatan Horizontal : (7) Dengan,
Ds
Wc B Ws
: Berat selimut beton di udara, N/m : Gaya apung, N/m : Berat terendam pipa, N/m
Ws_r : Berat Tenggelam minimum pipa, N/m Fw
: Faktor kalibrasi
μ
: Faktor gesek tanah
4
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
tepat di atas seabed. Namun yang membedakan adalah adanya reduksi terhadap nilai koefisien hidrodinamika akibat terpendamnya pipa. Gambar 2.3 di bawah ini menerangkan sketsa pipa yang terkubur di dalam tanah, di mana Zpb adalah harga kedalaman terkubur pipa terhadap seabed dan D adalah harga diameter terluar pipa.
FL : Lift Force, N/m FD : Drag Force, N/m FI : Inertia Force, N/m 2.3.2 Kecepatan Arus Rumus yang digunakan untuk menghitung kecepatan arus adalah, sebagai berikut :
(10) Gambar 2.3 Sketsa Pipa yang Terkubur dalam Tanah Dengan, Faktor reduksi gaya yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut :
UD = Kecepatan partikel air, m/detik D = diameter luar pipa, m Zo = parameter kekasaran seabed
Faktor reduksi gaya arah horizontal :
Zr = Ketinggian diatas seabed
(12)
Ur = kecepatan arus, m/detik Faktor reduksi gaya arah vertikal : 2.3.3 Koefisien Gesek Tanah
(13) Untuk faktor kalibrasi gesek tanah (Friction Calibration Factor), disesuaikan dengan tipe tanah pada seabed. Berikut tabel penentuan faktor kalibrasi gesek sesuai klasifikasi tanah. Tabel 1 Penentuan Faktor Kalibrasi Gesek Tanah
c) Passive Soil Resistance Passive soil resistance (FR) merupakan besarnya gaya tahanan lateral tanah (gaya reaksi dari tanah) yang muncul akibat adanya dorongan (gaya aksi) dari gaya-gaya hidrodinamika horizontal yang bekerja pada pipa. Besar gaya resistansi lateral tanah untuk tanah lempung (clay) berdasarkan DNV F109 halaman 14 adalah:
(14)
2.3.4 Stabilitas Lateral a) Reduksi Gaya Akibat Permeable dasar Laut
Dengan,
Pada dasar perairan yang bersifat permeable akan mengizinkan terjadinya aliran arus di bawah pipa yang menyebabkan terjadinya reduksi terhadap beban-beban yang bekerja pada pipa dalam arah horizontal maupun vertikal. Faktor reduksi yang digunakan untuk tanah keras (non permeabel) bernilai satu sedangkan untuk tanah yang permeable digunakan :
G = Parameter kekuatan tanah lempung γs = Unit weight of soil (kN/m3) Kc = Parameter Kappa untuk tanah lempung D = Diameter terluar pipa (m) Fz = Gaya Hidrodinamika arah vertikal (kN/m) 2.4 Aliran Fluida Disekitar Silinder
rperm,z=0,7
(11)
b) Reduksi Gaya Akibat Terjadinya Penetrasi Pipa Ke Tanah Ketika pipa berada di atas seabed, ada kemungkinan bahwa pipa tersebut terpendam akibat dari daya dukung tanah di bawah seabed lebih kecil dari tekanan efektif akibat berat pipa di atasnya (Ws). Pada kasus perhitungan stabilitas pipa yang mengalami penetrasi baik sebagian maupun seluruhnya, perhitungan stabilitas pipa dilakukan hampir sama dengan perhitungan stabilitas untuk pipa
Aliran di sekitar silinder akan menghasilkan resultan gaya pada permukaan silindernya, yang mana terbagi menjadi dua bagian yaitu, pertama gaya yang disebabkan karena tekanan dan kedua gaya yang disebabkan oleh adanya kekasaran, lihat Gambar 2.4 Gaya searah dari resultan gayanya (karena tekanan).
5
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
Tabel 4. Parameter Fungsional
Gambar 2.4 Sketsa Gaya
Tabel 5. Properti Material
Adanya vortex shedding akan mengakibatkan adanya komponen gaya tranversal (cross flow) yang umum disebut gaya angkat. Gaya pada silinder akibat gaya gelombang tergantung pada angka Reynolds. Pengaruh lainnya yaitu bentuk benda, kekasaran, turbulensi dan gaya gesek akan menyebabkan perubahan aliran. Bagaimana pun ada perkecualian yaitu pada angka Reynolds rendah (Re<<40), dimana umumnya disebut aliran akan mengalami vortex shedding. Sebagai konsekuensi dari phenomena vortex shedding, distribusi tekanan di sekitar silinder akan mengalami perubahan yang periodik di dalam prosesnya, sehingga menimbulkan gaya yang berperiodik pada silindernya. Distribusi tekanan total didapatkan dengan mengintegrasikan tersebut pada permukaan silinder
Tabel 6. Properti Tanah
Tabel 7. Metocean Parameter
III. METODOLOGI Langkah-langkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Input data parameter pipa 2. Perhitungan properti pipa 3. Perhitungan Berat terendam pipa (Wsub) 4. Input data lingkungan 5. Penentuan Teori gelombang 6. Perhitungan Kecepatan Arus 7. Perhitungan Koefisien Hidrodinamika 8. Perhitungan Koefisien Gesek Tanah 9. Perhitungan Berat Terendam Minimum Pipa 10. Analisa Kestabilan Lateral dan Vertikal Untuk data-data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : Tabel 2. Data Lingkungan
Tabel 3. Properti Air Laut
IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Stabilitas Pipa Bawah Laut Pada Saat Kondisi Instalasi Prosedur perhitungan pada pipa bawah laut dilakukan dengan menggunakan standar DNV RP F109 On-Bottom Stability Design of Submarine Pipeline. Analisis dilakukan pada dua kondisi yaitu kondisi instalasi dan kondisi operasi pada kedalaman laut 40.8 m. Perhitungan pada analisis ini dilakukan dengan variasi ketebalan lapisan beton, sehingga dapat dilihat pengaruhnya terhadap gaya hidrodinamika dan stabilitas pipa (baik secara vertikal maupun lateral). Dalam kasus ini akan dianalisis juga, bagaimana pengaruh kedalaman penetrasi pipa terhadap gaya hidrodinamika. Nantinya hasil perhitungan stabilitas pada kondisi kestabilan upslope akan dibandingkan dengan pada kondisi kestabilan downslope.
Kestabilan Vertikal
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
6
Kestabilan Lateral
Dalam perhitungan dengan DNV RP F109 akan digunakan 2 (dua) kondisi perhitungan, yaitu :
Kondisi Pipa diatas seabed Kondisi Pipa terkubur sebagian (Partly Burried)
Perhitungan dilakukan pada 4 (tiga) kondisi kedalaman Partly Burried Kondisi 1 dengan Zpb = 0.15D Kondisi 2 dengan Zpb = 0.3D Kondisi 3 dengan Zpb = 0.45D Kondisi 4 dengan Zpb = 0.5D
Gambar 4.2 Grafik Hubungan Antara Sudut Kemiringan Dengan Drag Force
Gambar 4.1 Sketsa Pipa yang Terkubur dalam Tanah 4.1.1 Analisis Pengaruh Sudut Kemiringan Terhadap Stabilitas Pipa bawah Laut Pada studi ini, serangkaian perhitungan yang telah dilakukan dengan code desain pipa bawah laut yang baru, yaitu DNV RP F109 untuk mengetahui pengaruh dari sudut kemiringan terhadap stabilitas pipa bawah laut. Serangkaian hasil dari perhitungan interaksi tanah dan pipa untuk kondisi dasar laut yang miring dan berpasir yang diberikan di dalam tabel 4.7.
Gambar 4.3 Grafik Hubungan Antara Sudut Kemiringan Dengan Resistance Force
Tabel 4.7 Hasil dari perhitungan interaksi dari tanah terhadap pipa bawah laut untuk kondisi dasar laut yang miring dan berpasir.
Gambar 4.4 Grafik Hubungan Antara Sudut Kemiringan Dengan koefisien tahanan tanah lateral Dari gambar 4.2 dan gambar 4.3 dapat dilihat bahwa variasi dari sudut kemiringan dasar laut memberikan pengaruh terhadap tahanan tanah lateral (FR) dan gaya drag (FD) pada stabilitas vertikal maupun stabilitas lateral pipa dengan sudut kemiringan dari dasar laut berpasir (α). Seperti yang ditunjukkan dalam gambar 4.2 dan gambar 4.3, untuk sebuah nilai yang diberikan dari berat terendam pipa. (WS=0.801 kN/m), dengan kenaikan-kenaikan sudut kemiringan mulai dari -30° sampai dengan 30°, mengalami penurunan tahanan tanah lateral, akan tetapi mengalami kenaikan yang sinifikan terhadap gaya drag (FD). Perhatikan bahwa, FR=FD-Wssinα. Seperti, semakin terjal kemiringan kondisi dasar laut, semakin besar perbedaan antara tahanan tanah lateral (FR) dan gaya drag (FD). Nilai dari tahanan lateral tanah untuk
7
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
kestabilan downslope lebih besar daripada kestabilan upslope. Akibat pengaruh berat tenggelam pipa itu sendiri, untuk kasus kestabilan upslope, komponen keseimbangan yang pertama adalah gaya gesek dari berat tenggelam pipa bawah laut (Wssinα) dan kemudian keseimbangan tahanan tanah lateral (FR). Pada gambar 4.4 menunjukkan pengaruh dari variasi sudut kemiringan terhadap koefisien tahanan tanah lateral (ηα) dengan sudut kemiringan dasar laut (α). Nilai dari berat tenggelam pipa (Ws) untuk dua diameter pipa (D=0.35m, 0.5m, lihat Gambar 4.4) yang kurang lebih sama.(Catatan:Ws=1.523kN/m, untuk D=0.50m). Hal tersebut menunjukkan bahwa, tidak ada pengaruh bagi kestabilan upslope atau kestabilan downslope, koefisien tahanan tanah lateral (ηα) untuk kemiringan dasar laut (α) lebih besar daripada dasar laut horisontal (α=0). Koefisien tahanan tanah lateral (ηα) akan meningkat dengan meningkatnya nilai sudut kemiringan dasar laut (α), dan nilai koefisien tahanan tanah lateral (ηα) untuk kestabilan downslope lebih besar daripada kestabilan upslope untuk sudut kemiringan dasar laut (α) yang sama.(Lihat Gambar 4.4).
Gambar 4.3 Grafik Hubungan Antara Tebal Concrete Coating dengan stabilitas vertikal
4.1.2 Analisis Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Stabilitas Pipa Bawah Laut Pada kondisi instalasi, bagian pipa belum terisi. Tebal pipa masih sesuai dengan tebal desain dan belum berkurang karena belum korosi. Gaya lingkungan yang digunakan adalah gaya lingkungan dengan periode ulang satu tahunan. Perhitungan dilakukan dengan variasi tebal lapisan beton yaitu sebesar 0.25 in, 0.5 in, 0.75 in, dan 1 in, dan jenis tanah di dasar laut sehingga diperoleh pengaruhnya terhadap stabilitas arah vertikal maupun lateral. Perhitungan ini dapat dilihat pada tabel 4.8 dibawah ini. Tabel 4.8 Perbandingan Stabilitas lateral dan vertikal antara pada kondisi clay seabed dan pada kondisi sand seabed.
Gambar 4.4 Grafik Hubungan Antara Tebal Concrete Coating dengan stabilitas lateral Pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa pipa dalam keadaan stabil, karena memenuhi kestabilan arah vertikal dan lateral yaitu lebih besar atau sama dengan 1,1. Pola Grafik menunjukkan, semakin bertambahnya tebal lapisan beton, semakin baik stabilitas yang dihasilkan. Untuk Kestabilan vertikal maupun lateral yang hitung pada kondisi dasar laut lempung dan pada kondisi dasar laut berpasir menghasilkan peningkatan stabilitas yang sama seiring bertambahnya tebal lapisan beton. Untuk stabilitas lateral pada kondisi dasar laut lempung mengalami stabilitas lateral yang lebih kecil dari kondisi dasar laut pasir disebabkan karena adanya perbedaan koefisien gesek. 4.1.3 Analisa Pengaruh Kedalaman Penetrasi (Zp) Terhadap Stabilitas Pipa Bawah Laut. Hasil analisa yang dilakukan dengan variasi kedalaman penetrasi pipa dan pengaruhnya terhadap stabilitas vertikal dan stabilitas lateral ditampilkan pada Tabel 4.9 Tabel 4.9 Variasi kedalaman penetrasi dan pengaruhnya terhadap stabilitas vertikal dan stabilitas lateral
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
Gambar 4.5 Hubungan Kedalaman Penetrasi dengan Stabilitas Vertikal
Gambar 4.6 Hubungan Kedalaman Penetrasi dengan Stabilitas Lateral
8
Gambar 4.7 Hubungan Kedalaman Penetrasi dengan Lift Force
Gambar 4.8 Hubungan Kedalaman Penetrasi dengan Inertia Force
Pada stabilitas vertikal dan stabilitas lateral, semakin besar kedalaman penetrasi, semakin baik stabilitas vertikal dan stabilitas lateral (terjadi peningkatan stabilitas), karena dipengaruhi oleh adanya pengurangan gaya akibat penambahan faktor reduksi. a) Analisa Gaya Hidrodinamika Terhadap Kedalaman Penetrasi (Zp) Pipa. Hasil analisa yang dilakukan dengan variasi kedalaman penetrasi pipa dan pengaruhnya terhadap gaya hidrodinamika (lift force, drag force, inertia force) ditampilkan pada Tabel 4.10. Tabel 4.10 Hubungan antara kedalaman penetrasi dengan gaya hidrodinamika
Gambar 4.9 Hubungan Kedalaman Penetrasi dengan Drag Force Pada gaya seret, gaya inersi dan gaya angkat, semakin besar kedalaman penetrasi, semakin kecil gaya yang dihasilkan (terjadi pengurangan gaya), karena dipengaruhi oleh adanya penambahan faktor reduksi.
9
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
4.1.4 Analisa Pengaruh Tebal Concrete Coating Terhadap Stabilitas Pipa Bawah Laut Hasil analisis dengan variasi tebal concrete coating dan pengaruhnya terhadap stabilitas vertikal dan stabilitas lateral, ditampilkan pada tabel 4.11 dibawah ini. Tabel 4.11 Variasi tebal concrete coating dan pengaruhnya terhadap stabilitas vertikal dan stabilitas lateral
lateral. Stabilitas vertikal dan stabilitas lateral yang dihitung pada kondisi sand seabed dihasilkan lebih besar daripada kondisi clay seabed. Dalam perhitungan stabilitas vertikal dan stabilitas lateral pada kondisi clay seabed terdapat tambahan faktor reduksi akibat penetrasi pipa dan permeable seabed, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor reduksi yang menyebabkan semakin baik stabilitas vertikal dan stabilitas lateral. Untuk stabilitas lateral yang dihitung pada kondisi clay seabed menghasilkan gaya lebih besar daripada kondisi sand seabed. a) Analisa Gaya Hidrodinamika Concrete Coating.
Terhadap
Tebal
Hasil analisis dengan variasi tebal concrete coating dan pengaruhnya terhadap gaya hidrodinamika, ditampilkan pada tabel 4.12 dibawah ini. Tabel 4.12 Variasi tebal concrete coating dan pengaruhnya terhadap gaya hidrodinamika
Gambar 4.10 Hubungan Tebal Concrete Coating dengan Stabilitas Vertikal
Gambar 4.12 Hubungan Tebal Concrete Coating dengan Lift Force
Gambar 4.11 Hubungan Tebal Concrete Coating dengan Stabilitas Lateral Pada gambar 4.10 dan gambar 4.11, menunjukkan grafik peningkatan stabilitas vertikal maupun stabilitas lateral yang disebabkan oleh pengaruh variasi tebal concrete coating. Berarti semakin bertambahnya tebal lapisan beton, semakin baik stabilitas vertikal dan stabilitas lateral yang dihasilkan. Perbandingan antara perhitungan pipa bawah laut pada kondisi sand seabed dan perhitungan pipa bawah laut pada kondisi clay seabed terjadi perbedaan besar stabilitas vertikal dan stabilitas
Gambar 4.13 Hubungan Tebal Concrete Coating dengan Drag Force
10
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
penetrasi pipa ke seabed, maka besar lift force, inertia force dan drag force akan semakin kecil (berkurang). Penambahan faktor reduksi (penetrasi pipa ke seabed) pada DNV RP F109, menyebabkan lift force dan drag force ikut tereduksi. Semakin dalam pipa terkubur ke dalam seabed, dapat kita lihat dari besarnya tekanan pada pipa bawah laut yang semakin mengecil.
Gambar 4.14 Hubungan Tebal Concrete Coating dengan Inertia Force Pada gambar 4.12, 4.13, dan 4.14, menunjukkan grafik peningkatan gaya hidrodinamika disebabkan pengaruh variasi tebal concrete coating. Berarti semakin bertambahnya tebal lapisan beton, semakin besar gaya hidrodinamika (Lift Force, Drag Force, dan Inertia Force). Perbandingan antara perhitungan pipa bawah laut pada kondisi sand seabed dan perhitungan pipa bawah laut pada kondisi clay seabed terjadi perbedaan besar gaya hidrodinamika. Gaya hidrodinamika yang dihitung pada kondisi sand seabed dihasilkan lebih besar dari pada kondisi clay seabed. Dalam perhitungan hydrodynamic force pada kondisi clay seabed terdapat tambahan faktor reduksi akibat penetrasi pipa dan permeable seabed, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor reduksi yang menyebabkan semakin kecilnya gaya hidrodinamika. Untuk inertia force yang dihitung pada kondisi clay seabed menghasilkan gaya lebih besar dari pada kondisi sand seabed. Perhitungan kestabilan pipa di bawah laut pada kondisi operasi hampir sama dengan perhitungan pada kondisi instalasi. Perbedaan hanya terdapat pada jenis pengisi pipa dan gaya lingkungan yang terjadi. Pada kondisi operasi, bagian pipa sudah terisi gas sehingga berat jenis pengisi pipa adalah berat jenis gas pengisi pipa. Tebal pipa masih belum berkurang karena belum terkena korosi dan gaya lingkungan yang digunakan adalah gaya lingkungan dengan periode ulang seratus tahunan. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan pada tugas akhir ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Besar gaya-gaya luar yang bekerja pada pipa dan pengaruhnya terhadap stabilitas pipa. Semakin tebal concrete coating yang dilapisi pada pipa, maka untuk lift force dan drag force yang dihitung pada kondisi clay seabed menghasilkan gaya yang lebih kecil daripada yang dihitung pada kondisi sand seabed. Untuk inertia force yang dihitung pada kondisi clay seabed menghasilkan gaya yang lebih besar daripada yang dihitung pada kondisi sand seabed. Dengan bertambahnya tebal concrete coating, maka stabilitas pipa bawah laut baik vertikal maupun lateral juga akan semakin baik (stabil). Semakin bertambah kedalaman
2. Nilai Safety Factor terhadap stabilitas pipa secara vertikal maupun lateral berdasarkan DNV RP F109. Semakin tebal Concrete Coating, semakin baik stabilitas pipa secara vertikal dan lateral (stabil atau SF≥1,1). Hal ini disebabkan karena bertambahnya berat terendam pipa bawah laut (submerged weight), baik dihitung pada kondisi clay seabed (TCC 0,75 in, VS = 1.86, LS = 12,01) maupun pada kondisi sand seabed (TCC 0,75 in, VS = 1.86, LS = 18,78). Untuk stabilitas lateral yang dihitung pada kondisi clay seabed bernilai lebih kecil dari yang dihasilkan oleh pada kondisi sand seabed. 3. Kebutuhan akan tebal concrete coating sehingga dapat memenuhi faktor keamanan lateral maupun vertikal sesuai DNV RP F109. Variasi tebal concrete coating yang dipakai dalam tugas akhir ini adalah sebesar 0.25 in, 0.5 in, 0.75 in Dan 1 in. Setiap variasi yang hitung, semuanya memenuhi faktor keamanan lateral maupun vertikal, yaitu lebih besar atau sama dengan 1,1. Nilai safety factor paling baik ditunjukkan pada saat ketebalan lapisan beton sebesar 1 in. Jadi ketebalan lapisan beton sebesar 1 in dapat diambil sebagai acuan untuk stabilitas pipa bawah laut yang lebih aman. Hasil yang dihitung pada kondisi clay seabed (TCC 1 in, VS = 1.98, LS = 13,87) dan pada kondisi sand seabed (TCC 1 in, VS = 1.98, LS = 22,37). 5.2 Saran Saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya yaitu : 1. Untuk penelitian lebih lanjut, sangat diperlukan analisis biaya baik stabilitas pipa bawah laut yang dihitung dengan DNV RP F109. 2. Metode analisa stabilitas yang dipakai pada tugas akhir ini adalah Absolute Lateral Static Stability Method (DNV RP F109). Selain itu dapat digunakan analisa stabilitas yang lain, yaitu Dynamic Lateral Stability Analysis dan Generalized Lateral Stability Method pada DNV RP F109. 3. Dapat dilakukan pengujian laboratorium dengan model prototype untuk variasi kedalaman penetrasi pada pipa bawah laut. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yoyok Setyo Hadiwidodo dan Bapak Imam Rochani selaku dosen Pembimbing yang telah banyak membimbing dan membantu dalam pengerjaan penelitian
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-11
ini. Serta tidak terlepas dari bantuan serta dorongan moral maupun material dari banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. DAFTAR PUSTAKA Chakrabarti, S. K. 1987. Hydrodinamics of Offshore Structures. CBI Industries, Inc : USA. Indiyono, P., 2004. Hidrodinamika Bangunan Lepas Pantai. SIC: Surabaya Kenny, JP. A Stability Design Rationale-A Review Of Present Design approaches. Proceedings of the ASME 28th International Conference on Ocean, Offshore and Arctic Engineering. USA : 2009 Munari, M. Gantina, R. Ibrahim, H. Idris, K. Fahrozi, T. On Bottom Stability Analysis of Partially Buried Pipeline at Near – Shore South Sumatera – West Java Pipeline. Journal of the Indonesian Oil and Gas Community. 2007.
11
Mouselli, A. H. 1981. Offshore Pipeline Design, Analysis and Methods. PenWell Books : Oklahoma. Sumer, B.M., and Fredsoe, J., “Hydrodynamic Around Cylindrical Structures”, Advance Series on Coastal Engineering, Volume 12, World Scientific, 1997. Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offshet : Yogyakarta. Veritas Offshore Technology and Services A/S. 1988. DNV-RP-E305 On-Bottom Stability Design of Submarine Pipelines. Veritas Offshore Technology and Services A/S. 2007. DNV-RP-F109 On-Bottom Stability Design of Submarine Pipelines. Veritas Offshore Technology and Services A/S. 2000. DNV-RP-F101 Submarine Pipeline Systems. Veritas Offshore Technology and Services A/S. 2006. DNV-RP-F105 Free Spanning Pipelines.