ANALISIS NALAR HUKUM FATWA DSN FATWA AL HIWALAH BIL UJRAH DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Andi Triyanto Dosen Prodi Muamalah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang Abstraksi
Terdapat sebuah adagium yang cukup terkenal dalam diskursus Ushul Al Fiqh, annushshuushu muntanahiya wa al waqi’u ghairu muntanahiya. Fiqh kemudian menjadi ilmu alat untuk menerjemahkan nash-nash guna merespon setiap kejadian yang selalu berkembang. Berkaitan dengan adagium tersebut muncul banyak pergolakan pemikiran, mengenai cara memahami nash baik Al Qur’an maupun Al Hadits, sebagai upaya pembumian nash yang ukhrawi dalam menanggapi permasalahan duniawi yang selalu berkembang. Konsekuensi dari hal tersebut muncul banyak perbedaan pendapat satu masalah yang sama dengan sumber rujukan yang sama. Dalam konteks fiqh, timbulnya mahzab-mahzab fiqhiyah merupakan sebuah bukti riil. Terkait dunia ekonomi, khususnya perdagangan ekspor impor dengan segala instrumen pendukungnya memerlukan landasan hukum yang dinamis namun tetap mengacu pada syariah, sehingga ada korelasi yang jelas antara agama dan muamalah. Tulisan ini mengupas hukum L/C Ekspor Impor yang disandarkan pada hiwalah bil ujrah dan wakalah bil ujrah. Kata Kunci: Fiqh Muamalah, Hiwalah, L/C Ekspor Impor.
dengan
LATAR BELAKANG Bulan Maret 2007 Dewan Syariah
mengacu
prinsip
tolong
menolong (ta’awun).
Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa
Dibolehkannya praktik al hiwalah
terkait dengan kegiatan perdagangan
bil ujrah, merupakan terobosan dan
ekspor impor luar negeri, yaitu: al
wacana baru dalam dunia fiqh, karena
hiwalah bil ujrah, wakalah bil ujrah
al hiwalah dikenal sebagai bagian aqad
untuk
dalam
tabarru’, aqad yang ditujukan untuk
ekspor, dan al hiwalah bil ujrah untuk
menolong pihak lain, sehingga tidak
pengalihan
impor.
dibenarkan meminta kompensasi dari
Tujuannya adalah untuk mempermudah
transaksi al hiwalah. Ketika al hiwalah
pelaku
dipadukan dengan
pengalihan
hutang
pasar
piutang
dalam
internasional
dalam
melakukan transaksi ekspor impor
kata
(dengan kompensasi)
1
bil
ujrah
maka secara
hukum dan fakta akan menghilangkan
dan
indikator
makna dan arti al hiwalah.
negara
salah
kemakmuran satunya
suatu
ditunjukkan
Al Hiwalah merupakan fiqh yang
dengan pertumbuhan ekonomi dalam
membahas secara rinci, rukun dan
gerak neraca pembayaran internasional
syarat perpindahan hutang piutang
negara tersebut (Suparmoko, 2001).
yang dilakukan seseorang dan tidak menerima
kompensasi.
Berlatar belakang hal-hal tersebut
Kompensasi
menjadi sangat penting dan strategis
dianggap menyalahi salah satu prinsip
untuk dilakukan kajjian mendalam
pokok al hiwalah serta menjadikannya
berkenaan dengan hukum perpindahan
tidak sesuai dengan hukum fiqh Islam
hutang piutang dan konsep mashlahat
bahkan menjadi legitimasi praktik riba
perspektif syariah. Analisis dilakukan
jahiliyah.
untuk mengetahui hukum sebenarnya
DSN yang merupakan kumpulan
dari materi yang diangkat dan batasan-
elit agama di tingkat nasional dan
batasan mashlahat yang harus dipenuhi
selaku dewan/lembaga yang memiliki
dalam menerapkan sebuah hukum.
wewenang untuk menentukan sesuai
Pemakalah
atau tidaknya sebuah transaksi ekonomi
“Analisis Nalar Hukum Fatwa DSN
dengan
(Fatwa Al Hiwalah bi Al Ujrah dalam
syariah,
tentu
tidak
akan
gegabah dalam memutuskan hukum
mengangkat
judul:
Perdagangan Internasional)”.
suatu masalah. Tujuan dikeluarkan fatwa-fatwa
tersebut
adalah
FIQH MUAMALAH
untuk
memberikan kemudahan bagi para
Secara terminologi (istilah), fiqh
pelaku perdagangan ekspor impor.
pada mulanya berarti pengetahuan
Asumsi yang dibangun adalah bahwa
keagamaan yang mencakup seluruh
perdagangan
impor
ajaran agama, baik berupa akidah,
internasional secara tidak langsung
akhlak, maupun amaliah (ibadah), yaitu
akan berdampak kepada kemakmuran
sama dengan arti syari’ah Islamiyah.
warga masyarakat dengan pertumbuhan
Kemudian fiqh merupakan bagian dari
perekonomian negara dan pergerakan
syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan
jumlah cadangan devisa negara, yang
tentang hukum syari’ah Islamiyah yang
berarti tercapai kemakmuran negara,
berkaitan dengan perbuatan manusia
ekspor
2
yang telah dewasa dan berakal sehat
syar’iyah) dan hukum internasional (al-
yang diambil dari dalil-dalil yang
qanun ad-duali).
terperinci. (Syafe’i, 2004). Sedangkan
Fiqh menjadi jembatan penerjemah
yang dimaksud dengan hukum syara’
syariah yang berwujud teks dengan
menurut
adalah
kehidupan yang selalu dinamis, untuk
ketetapan Allah yang berhubungan
mendapatkan kemashlahatan manusia.
pengalihan dengan perbuatan orang
Mashlahat
mukallaf baik berupa iqtidha (tuntutan
keselamatan atau kemanfaatan dan
perintah
atau
takhyir
menghindari bahaya dari sesuatu. Abu
(pilihan),
maupun
wadh’i
Hamid Al Ghazali mendefinisikan:
Imam
al-Ghazali
larangan), berupa
Khalaf (1997) mendefinisikan ilmu adalah
pengetahuan
tentang
hukum-hukum syari'ah Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil secara detail atau kodifikasi hukum-hukum syari'ah Islam tentang perbuatan
manusia
yang
upaya
mencari
Maslahah is essentially an expression for the acquisition of benefit or the repulsion of injury or harm, but that is not what we mean by it, because acquisition of benefits and the repulsion of harm represent human goals, that is, the welfare of humans through the attainment of these goals. What we mean by maslahah, however, is the preservation of the Shari`ah’s objectives
(sebab akibat). (Karim et.al, 2002).
fiqh
adalah
diambil
berdasarkan dalil-dalil secara detail. Ash
Shiddieqy
pembahasan bagian,
fiqh
sehingga
(2001)
Dia juga menjelaskan maqasid
membagi
menjadi
empat
tiap
bagian
syari’ah, tujuan diterapkannya syari’ah untuk mendapatkan mashlahat dengan menjaga 5 (lima) hal:
dinamakan rubu' (seperempat), yaitu:
The objective of the Shari`ah is to promote the well-being of all mankind, which lies in safeguarding their faith (din), their human self (nafs), their intellect (`aql), their posterity (nasl) and their wealth (maal). Whatever ensures the safeguard of these five serves public interest and is desirable.
rubu' ibadat, rubu' muamalat, rubu' munakahat, rubu' jinayat. Dahlan et al (1996) menambahkan fiqh mu’amalah mencakup hukum keluarga (al-ahwalu asy-syakhsyiyah), privat/perdata/sipil
hukum (al-qanun
al-
madani), hukum pidana (al-qanun aljaza’i),
hukum
politik
(siyasah
3
Asy
Syatiby
mashlahat
harus
menjelaskan memenuhi
Asyur (1995) menjelaskan masalah
tiga
hutang piutang menjadi bagian dari
klasisikasi kategori; darurat, hajiyat,
fiqh muamalah, lebih khusus masalah
dan tahsiniyat. Dalam Al Muwafaqat
perpindahannya dibahas dalam fiqh al
dia menyebutkan prinsip mashlahat:
hiwalah atau fiqh al hawalah, maka
as a principle that concerns the subsistence of human life, the completion of one’s livelihood, and the acquisition of what his/her emotional and intellectual qualities require of him/her in an absolute sense. (Dusuki dan Abdullah: 2006).
penyebutan al-hiwalah menunjukkan istilah fiqh Islam mengenai hukum perpindahan
kemashlahatan
Hiwalah adalah pemindahan hutang dari tanggungan seorang pemindah (muhil) menjadi tanggungan orang lain
dianggap
yang menerimanya (muhal 'alaihi). Al-Husaini dalam Rifa'i (1978)
kebahagian spiritual dan material yang
menjelaskan
harus terpadu di dalamnya al-tawazun, dan
al-ikhsan.
(2003)
menjelaskan
maslahah
‘ammah
konsep
upaya
adalah
Al-Jazairi (2003) adalah pemindahan
sebuah
hutang dari penghutang satu kepada penghutang lainnya. Dalam pengertian A mempunyai piutang kepada B, dan C
metode keseimbangan (al-tawazun),
mempunyai piutang kepada A dengan
kehendak bebas (al-ikhtiyar), keadilan
besar nominal yang sama, maka A
(al-’adalah) dan ikhsan (al-ikhsan)
memindahkan haknya kepada C untuk
yang selanjutnya disatukan dalam satu yang
secara
seseorang kepada orang lain. Menurut
kata
menyejahterakan
sistem
hawalah
pindahnya hutang dari tanggungan
masyarakat dengan melalui mekanisme
kesatuan
arti
bahasa berarti pindah. Menurut istilah
Dalam
cakupan masyarakat Abu Yusuf dalam Majid
(2000)
kata tahwiil yang berarti berpindah. Al-
berhasil ketika tercapai dan terpenuhi
al-ikhtiyar,
Sabiq
menjelaskan al-hiwalah berasal dari
Dalam perspektif ekonomi Islam, sebuah
hutang.
menagih piutang kepada B.
dapat
Hassan (1998)
dikategorikan menjadi sebuah nilai
menyatakan al-
hiwalah sebagai penyerahan, yaitu
etika.
seorang
FIQH AL HIWALAH
A
berhutang
kepada
B
kemudian dengan salah satu sebab A
4
mengatur agar hutangnya dibayar oleh
2. Muhal atau Muhtal, yaitu pihak yang
C. Hassan juga memberikan keterangan
berpiutang dan pengalih piutang.
tambahan
mengenai
dibolehkannya
3. Muhal 'alaihi atau Muhtal 'alaihi,
tanggung menanggung pada hutang,
yaitu pihak penerima pengalihan
amanat,
piutang.
denda,
kafarat,
dan
sebangsanya, tetapi tidak ada pada hukum
badan,
yaitu
tidak
dibolehkannya
menanggung
badan
orang
maksudnya
adalah
lain,
4. Muhal bih atau Muhtal bih, yaitu hutang muhil kepada muhal atau muhtal. 5. Utang muhal 'alaihi kepada muhil.
penanggungan badan dalam arti fisik, misalnya
menggantikan
6. Shighat, yaitu ijab qabul dalam
seseorang
transaksi al-hiwalah yang terjadi.
untuk diqishash. Hal ini lain dengan
Para
ulama
mahdzab
Hanafi
kafalah, bolehnya penjaminan atas diri
menetapkan rukun al-hiwalah sebagai
orang
berikut:
lain
(Suhendi,
2002).
An
Nabhani dalam Wachid (2002) bagus
1. Ijab atau penawaran dari muhil.
sekali menjelaskan fiqh penjaminan
Misalnya muhil berkata kepada
dalam fiqh dhaman untuk menjelaskan
muhal: "saya hawalahkan atau
hukum asuransi.
pindahkan
Dibolehkannya
al-hiwalah
piutangmu
kepada
fulan."
merupakan ijma ulama. Aqad ini
2. Qabul atau penerimaan dari muhal
dibolehkan pada hutang yang tidak
(orang yang menghutangkan) dan
berbentuk barang/benda karena al-
muhal
hiwalah adalah perpindahan hutang.
menanggung
Oleh karena itu, harus pada uang atau
muhal dan muhal 'alaihi masing-
kewajiban finansial. Mayoritas ulama,
masing berkata: "saya terima," atau
selain
"saya
mahdzab
Hanafi,
menyebut
rukun al-hiwalah ada enam, yaitu:
'alaihi
rela"
(orang
hutang).
yang
Misalnya
(Az-Zuhaily dalam
Antonio, 1999/2001).
1. Muhil, yaitu pihak yang berhutang dan memiliki kewajiban kepada
FACTORING
muhal.
Factoring adalah suatu perusahaan yang
5
melasanakan
transaksi
pengambilalihan hutang piutang pihak
analisis yang tajam untuk minimalisasi
tertentu
resiko, non performing loan (NPL)
dengan
kompensasi,
mendapatkan
perusahaan
ini
juga
yang ditanggungnya.
dikenal dengan anjak piutang. Hal ini
Nilai nominal pengalihan lebih
dilakukan ketika ada perusahaan yang
besar dari nilai nominal pengalihan
mengalihkan
maka
hutang
atau
piutang
kreditur
akan
mencatatnya
dengan cara menjual piutang yang
sebagai pendapatan pengalihan, dan
dimiliki kepada perusahaan factoring
sebaliknya
ketika
untuk
pengalihan
lebih
memenuhi
kebutuhan
uang
dengan segera.
terutama
kecil
nominal dari
nilai
nominal piutang maka kreditur akan
Transaksi hutang piutang sangat memungkinkan
nilai
mencatatnya sebagai beban pengalihan.
terjadi
pengalihan,
Pendapatan
upaya
pemenuhan
pengalihan tersebut didapatkan dari
dalam
kebutuhan dana liquid. Take offer
perhitungan
hutang
bukan
piutang
dalam
dunia
pengalihan
dan
pengalihan
pengalihan
pada
beban
factoring, nominal
perekonomian kontemporer, dipandang
piutang. Hal ini yang menyebabkan
memiliki nilai ekonomis, dalam arti
kedudukan piutang berbunga dan tidak
dijadikan sarana investasi. Investasi
berbunga sama, karena pembebanan
yang berarti, sebuah bentuk usaha
kompensasi yang diberikan kepada
pengembangan harta dari iddle money
pihak factoring tidak didasarkan pada
yang dimiliki kemudian dikelola dalam
nominal piutang namun pada aktivitas
wadah
pengalihan itu sendiri.
sebuah
mendapatkan
perusahaan keuntungan
untuk yang
Harahap
(2001)
mendefinisikan
berlipat. Factoring atau anjak piutang
sebagai sebuah perjanjian pengalihan
sebagai
kewajiban
sebuah
perusahaan
yang
(piutang)
dari
nasabah
menjual jasa take offer hutang piutang,
(pihak I) kepada bank (pihak II) dan
akan mendapatkan kompensasi dari
nasabah lain (pihak III), yaitu pihak I
jasa take offer yang telah dilakukan.
meminta pihak II membayar piutang
Income yang diterima oleh perusahaan
yang dimilikinya di pihak III, yang
anjak
sebagai
disebabkan transaksi jual beli atau
kompensasi manajemen yang baik dan
transaksi yang lain, dan ketika jatuh
piutang
dianggap
6
tempo pihak III membayar hutangnya
kompentisi di antara pengusaha. Di
kepada pihak II, pihak II mendapat
tingkat
keuntungan
pembelian
kelompok APEC, AFTA untuk Asia
hutang dengan nominal hutang yang
Tenggara, NAFTA untuk Wilayah
dia terima.
Lautan Atlantik bagian utara. Tahun
dari
selisih
internasional,
1970-an
berlangsung
terbentuk
perundingan
LETTER OF CREDITS EKSPOR
GATT, yang akhirnya pada tahun 1995
IMPOR
menjadi
Perdagangan
ekspor
impor
WTO
Organisation
(World atau
Trade
Organisasi
merupakan transaksi jual beli lintas
Perdagangan Dunia). Secara konkret,
negara untuk memenuhi kebutuhan,
globalisasi
Arbi (1998) menjelaskan impor adalah
terbentuk semakin menyatunya unit-
kegiatan memasukkan barang ke dalam
unit ekonomi di dunia ke dalam satu
daerah pabean (UU 10/95 Pasal 1 butir
unit ekonomi dunia, Sukirno (1985)
13).
menjelaskan
Ekspor
adalah
kegiatan
ekonomi
peran
bertujuan
ekspor
dalam
mengeluarkann barang dari daerah
pembangunan ekonomi selain memiliki
pabean (UU 10/95 Pasal 1 butir 14).
peran
Adapun pengertian Daerah Pabean
mendukung
potensi
juga
memiliki
menghambat
dengan
Indonesia adalah wilayah RI yang
industrialisasi. Menurutnya ada 3 (tiga)
meliputi wilayah darat, perairan dan
hal penting dalam industri yang harus
ruang udara di atasnya, serta tempat-
diperhatikan,
tempat tertentu di Zona Ekonomi
mentah dan tenaga kerja. Maka seluruh
Ekslusif
regulasi
dan
landasan
continental
(Arbi, 2003).
memperhatikan
Hubungan yang terjalin masing-
yaitu:
modal,
pemerintah ketiganya
bahan
harus untuk
menopang keberhasilan ekspor impor
masing negara tersebut secara ideal
negara.
adalah saling menguntungkan di bidang
Kelancaran
transaksi
ekonomi yang merupakan cita-cita
internasional
globalisasi
Pada
fasilitas yang diberikan oleh dunia
perkembangannya globalisasi ekonomi
perbankan dengan istilah letter of
membuka tantangan yang menuntut
credits (L/C). Bank yang memberikan
ekonomi.
7
tersebut
level didukung
layanan L/C kepada nasabah berarti
6. Penyerahan
dan
verifikasi
memberikan jaminan untuk membayar
dokumen
ekspor
terhadap
sejumlah
kesesuaian nilai L/C
nominal
tertentu
kepada
pihak lain atas permintaan nasabah
7. Penyerahan
dalam transaksi jual beli. Bank dalam
permintaan
hal
kepada Issuing Bank.
ini
menjadi
penengah
untuk
menutup resiko kecurangan transaksi
8. Issuing
dokumen
dan
pembayaran
L/C
Bank
memberitahukan
jual beli jarak jauh. Berikut mekanisme
kedatangan dokumen dan meminta
L/C dalam transaksi ekspor impor
pelunasan.
(Dahlan, 1999): KERANGKA BERPIKIR Analisis
1
8
4
6
hiwalah bi al ujrah dapat dilakukan dengan
3 Bank Importir (Issuing Bank)
DSN
dengan menggunakan hukum fiqh al
5 2
fatwa
tentang perdagangan ekspor impor
Eksportir
Importir
terhadap
Bank Koresponden (Advising Bank)
7
menggunakan
kerangka
berpikir sebagai berikut: 1 Perdag Exim
Factoring
Keterangan: 1. Penandatanganan kontrak jual beli
2
barang ekspor impor 2. Permohonan L/C oleh importer
Fatwa DSN Al Hiwalah Bi Al Ujrah
disertai dengan jaminan
3
3. Permintaan pembukuan L/C oleh Issuing Bank
4
kepada Advising
Fiqh Al Hiwalah
4. Pemberitahuan kepada eksportir
Keterangan:
Simpulan
Bank
mengenai
L/C
dan
jaminan
1. Membandingkan
pembayaran 5. Pengiriman
kesamaan barang
kepada
untuk
praktik
mencari transaksi
perpindahan hutang piutang dalam
importir
perusahaan
8
anjak
piutang
piutangnya
(factoring) dengan letter of credits 2.
dalam perdagangan ekspor impor 2. Menjabarkan fatwa DSN tentang perdagangan ekspor impor setelah
piutangnya
Factoring,
2.
Issuing Bank,
sebagai
sebagai
pembeli
pembeli
piutang
dan
piutang
dan
mengambil simpulan bahwa ada
berhak
berhak
kesamaan praktik factoring dan
menerima
menerima
letter of credits
pelunasan
pelunasan
hutang
pada
hutang
pada
saat
jatuh
saat
jatuh
3. Menilai
fatwa
DSN
tentang
perdagangan ekspor impor dengan merujuk
fiqh
al
hiwalah
tempo
dan
3.
tempo
Debitur,
3.
Importir,
analisis nalar hukum terhadap fatwa
sebagai pihak
sebagai pihak
tersebut
yang
yang
berhutang dan
berhutang dan
mempunyai
mempunyai
kewajiban
kewajiban
melunasi
melunasi
PEMBAHASAN
hutang
hutang
1. Perbandingan praktik take offer
tersebut pada
tersebut pada
saat
saat
4. Memberi simpulan dari analisis yang telah dilakukan.
hutang piutang dalam factoring
jatuh
tempo
dan perdagangan ekspor impor Perbandingan berdasarkan dipenuhi
dilakukan
rukun
dalam
4.
yang
5.
Letter of
merupakan obyek transaksi
transaksi pengalihan
Eksportir,
hutang
sebagai pihak
sebagai pihak
piutang
yang
kreditur yang
berpiutang
berpiutang
kemudian
kemudian
mengalihkan
mengalihkan
1.
yang
Kesepakatan
Credits
di
5.
Kesepakatan transaksi pengalihan hutang piutang
Berdasarkan tersebut
Transaksi Ekspor Impor,
transaksi
sebagai berikut:
Kreditur,
4.
obyek
transaksi, dapat dilihat dalam tabel
1.
Surat piutang,
merupakan
masing-masing
Factoring
tempo
yang
harus
jatuh
atas
perbandingan dapat
ditarik
simpulan bahwa praktik factoring
9
dengan
L/C
sama-sama
1.Kreditur, sebagai pihak yang berpiutang kemudian mengalihkan piutangnya, adalah muhal dalam alhiwalah. 2.Factoring atau Issuing Bank, sebagai pembeli piutang dan berhak menerima pelunasan hutang pada saat jatuh tempo, adalah muhal 'alaihi dalam al-hiwalah. 3.Debitur atau Importir, sebagai pihak yang berhutang dan mempunyai kewajiban melunasi hutang tersebut pada saat jatuh tempo, adalah muhil dalam al-hiwalah. 4.Surat piutang atau Transaksi Ekspor Impor, yang merupakan obyek transaksi, muhal bih dalam alhiwalah. 5.Kesepakatan transaksi, sighat (ijab qabul) dalam al-hiwalah.
dapat
dihukumi dengan fiqh al hiwalah, berdasarkan terpenuhinya rukun al hiwalah.
2. Fatwa DSN tentang perdagangan ekspor impor Fatwa
DSN
terkait
dengan
perdagangan ekspor impor terdiri dari al hiwalah bil ujrah, wakalah bil ujrah untuk pengalihan piutang dalam ekspor, dan al hiwalah bil ujrah untuk pengalihan hutang dalam
impor.
Berdasarkan
Tidak adanya hutang muhal 'alaihi kepada muhil baik dalam factoring maupun L/C seperti halnya rukun alhiwalah yang disebutkan fuqaha selain madzab Hanafi, tidak menjadikan factoring dilarang. Madzab Hanafi membolehkan hal tersebut dan memasukkannya dalam jenis AlHiwalah Al-Muthlaqah, yang dalam praktiknya al-hiwalah ini tidak mengaitkan hutang piutang antara muhil dan muhal 'alaihi (Az Zulaily dalam Antonio, 1999). Sebagian ulama berpendapat al-hiwalah ini termasuk kafalah mahdhah (jaminan). Sehingga dapat ditarik kesimpulan factoring tidak bermasalah dalam syari'ah dari sisi rukun yang harus dipenuhi.
perbandingan pada poin pertama, kesesuaian dengan praktik factoring adalah pihak Indonesia sebagai pihak eksportir. Sedangkan ketika Indonesia sebagai pihak Importir maka lebih tepat disandarkan pada fiqh dhaman atau wakalah bi al ujrah.
3. Analisis Pelaksanaan factoring dan L/C diperbolehkan apabila memenuhi prinsip dan syarat al-hiwalah. Secara rinci dijelaskan dalam poin-poin sebagai berikut: Berdasarkan rukun, factoring dan L/C sudah memenuhi kriteria alhiwalah, dengan perbandingan sebagai berikut:
Prinsip al-hiwalah, memfokuskan pembahasan mengenai obyek perpindahan piutang. Konsekuensi paling logis dari factoring yang diterima oleh kreditur:
10
1. Selaku pihak pengalihpiutang akan menerima dana kas lebih segera dari tanggal jatuh tempo yang sudah ditetapkan dan disepakati. Adapun L/C berarti mendapat jaminan pembayaran dari pihak importir. 2. Menerima nominal yang berbeda dari nominal piutang yang dimilikinya pada saat jatuh tempo, dan memiliki kecenderungan menerima nominal lebih rendah yang seharusnya diterima pada saat jatuh tempo. Dalam praktik L/C dibebani mengeluarkan biaya administrasi untuk pengurusan penyerahan dan verifikasi dokumen oleh Advising Bank. Kedua konsekuensi tersebut juga merupakan konsekuensi yang akan ditemui oleh muhal, selaku pihak pengalih piutang dalam transaksi alhiwalah, dalam hal ini akan diterima oleh muhal: 1. Kepastian menerima pelunasan piutang oleh muhal 'alaihi, dalam hal ini factoring. 2. Dalam hal muhal bih sebagai obyek al-hiwalah, yaitu hutang muhil kepada muhal harus jelas, yaitu sudah diketahui jumlahnya dan tetap dalam tanggungan dalam arti jelas pihak muhal dan muhil sebagaimana pendapat Diibul Bigha (Sunarto dan Multazam: 1984). Apabila menanggung hutang yang tidak diketahui (jumlahnya) dan belum tetap maka al-hiwalah tidak sah. Pendapat tersebut juga merupakan pendapat Syafi'i. Keadaan hutang harus diketahui, baik barang yang dihutang ataupun sifat-sifatnya dan harganya demikian pendapat Al-Husaini (Rifa’i et all: 1978). Meski Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah tetap
menyatakan sah al-hiwalah yang tidak jelas kadarnya, sedangkan Syafi'i dan Ibn Rusyd al-hiwalah sah jika dipenuhi syarat kejelasan baik kadar maupun sifat (Abdurrahman dan Abdullah: 1990). 3. Al-Hiwalah hanya terjadi pada hutang piutang emas dan dirham sebagaimana pendapat Ibn Rusyd yang juga menyebutkan perbedaan di kalangan fuqaha pada jenis makanan, kemudian hanya pada jenis hutang piutang finansial tidak pada jenis barang atau benda seperti disebutkan Wahbah AzZuhaily (Antonio: 1999 dan 2001). 4. Sebagaimana telah disebutkan AlJazairi muhal bih harus sama sejenis, waktu pelaksanaan, besar dan sifat (Bahri: 2003). Ibn Rusyd juga menambahkan kesejenisan muhal bih merupakan syarat yang harus dipenuhi. Kemudian Malik menambahkan waktu pelaksanaan yang sama karena jika berbeda akan terjadi jual beli hutang. Dari keempat hal yang dikemukakan di atas factoring dan L/C akan menyelisihi salah satu syarat yang dikemukakan beberapa fuqaha seperti Malik, Al-Jazairi, Ibn Rusyd yaitu sama kadar, sifat, jenis dan jangka waktu hutang. Hal ini terlihat ketika dalam factoring kreditur menerima nominal yang berbeda dari nominal piutang yang dimilikinya pada saat jatuh tempo, dan untuk L/C dibebani biaya administrasi sehingga menjadikan secara nominal haknya berkurang. Dalam transaksi baik factoring maupun L/C terdapat perbedaan nominal muhal bih, padahal dalam al-hiwalah, muhal bih harus sama, perbedaan diantara keduanya
11
memunculkan riba yang diharamkan, Malik berpendapat hal tersebut mengeluarkan pembahasan dari perpindahan hutang piutang menjadi jual beli hutang.
apabila ternyata muhal 'alaihi adalah musuhnya, tetapi Al-Ishthakhriy tidak wajib secara mutlak bagi muhal untuk menerimanya. Sebagian lagi mengutamakan persetujuan muhal dan muhal 'alaihi. Malik berpendapat perlunya persetujuan muhal tanpa harus muhal 'alaihi, sedangkan Daud justru perlunya persetujuan muhal 'alaihi tanpa harus persetujuan dari muhal. Dari sisi persetujuan pelaku alhiwalah, transaksi factoring tidak menyelisihi salah satu pendapat fuqaha berkaitan dengan masalah persetujuan tersebut, karena memang terjadi banyak sekali perbedaan di kalangan fuqaha tentang masalah ini.
Persetujuan pelaku al-hiwalah, dalam factoring pemegang kuasa dilakukannya transaksi adalah kreditur (muhal), sedangkan dalam L/C inisiator dari pihak importer debitur (muhil). Kreditur berhak menentukan kepada siapa dia hendak memindahkan piutangnya, termasuk tanpa harus meminta ijin kepada debitur (muhil). Pemberitahuan kepada debitur hanya sebatas pemberitahuan berpindahnya hak tagih dari kreditur kepada pemegang wesel (muhal 'alaihi). Adapun dalam L/C dengan debitur mengajukan L/C kepada Issuing Bank maka berpindahlah kewajibannya kepada Issuing Bank setelah dia menerima barang dari eksportir. Sedangkan dalam al-hiwalah ulama mahdzab Hanafi mengharuskan adanya kerelaan dari muhal'alaihi, sebab dialah yang harus menanggung alhiwalah tersebut dan menunaikannya. Karena itu, dalam pandangan ini, alhiwalah tidak sah bila muhal 'alaihi tidak rela menerimanya. Ulama lain berpendapat hanya mensyaratkan kerelaan muhil saja dalam al-hiwalah, sedangkan bagi muhal dan muhal 'alaihi dianggap tidak perlu. Rela atau tidak, kedua pihak ini wajib menerima al-hiwalah yang dilaksanakan oleh muhil. Ash Shiddieqy (2001) menyatakan muhal tidak wajib menerima al-hiwalah jika muhil meminta. Daud dan Abu Hanifah berpendapat wajib menerima, Syafi'i menyatakan harus menerima. Ketika muhil menawarkan al-hiwalah, menurut muhal tidak wajib menerima
Pasca al-hiwalah, kreditur dalam factoring juga mempunyai hak mutlak untuk menentukan sikap setelah terjadi transaksi, dalam hal kebertanggungjawaban terhadap pelunasan piutang yang telah dialihkannya. Meski bebas menentukan sikap, kebanyakan kreditur akan bertanggung jawab terhadap pelunasan piutang wesel, apabila ternyata debitur tidak menunaikan kewajibannya pada saat jatuh tempo wesel kepada pemegang wesel. Untuk itu dikenal istilah hutang tidak pasti (contingent liabilities), berfungsi untuk menginformasikan kreditur bertanggungjawab terhadap piutang yang sudah dialihkan, ketika muncul masalah dikemudian hari. Adapun dalam L/C pelanggaran atas hal ini, akan berakibat penuntutan dalam bidang hukum. Adapun dalam al-hiwalah mengenai masalah ini juga banyak sekali terdapat perbedaan
pendapat
di
kalangan
fuqaha. Syafi'i dan Ahmad berpendapat
12
muhal tidak boleh menarik kewajiban
dalam
kepada muhil kembali jika tidak ada
hutang maupun piutang.
pembahasan
di
awal.
Al-Husaini,
bertransaksi
Transaksi
memindahkan
perpindahan
hutang
dilakukan
melalui
Diibul Bigha dan Daud menyatakan
piutang
kewajiban
transaksi anjak piutang (factoring) dan
muhil
selesai
setelah
bisa
terjadinya al-hiwalah, demikian juga
dalam
pendapat Ibn Rusyd, adapun Zufar
melalui
berpendapat muhil masih mempunyai
pengalihan piutang atau tagihan jangka
kewajiban, dan pendapat beliau lah
pendek
yang paling mendekati jika dijadikan
kompensasi tertentu, sedangkan dalam
rujukan
pasca
L/C kompensasi merupakan rewards
transaksi. Abu Hanifah membolehkan
dalam penjaminan yang dilakukan bank
menarik kembali muhil, jika muhal
terhadap nasabahnya. Factoring tidak
'alaihi berlepas tangan karena pailit,
dapat dipraktikkan dalam Islam ketika
atau mengingkari tanggungjawabnya
nominal piutang yang dipindahkan
sekalipun tidak ada saksi, senada
dengan besarnya nominal yang akan
dengan pendapat beliau adalah Syuraih,
diterima
dan Utsman Al-Butti.
hutang berbeda, perbedaan tersebut
dalam
factoring
perdagangan L/C.
suatu
ekspor
impor
Factoring
adalah
perusahaan
penanggung
dengan
pengalihan
masuk kategori riba dalam kacamata SIMPULAN
al-hiwalah, tentu hal ini juga melekat
Al-Hiwalah adalah ilmu fiqh yang
pada praktik L/C meski dengan istilah
mengatur masalah perpindahan hutang
beban administrasi.
piutang. Factoring dan L/C yang merupakan
transaksi
Baik
perpindahan
hal ini dikarenakan adanya perbedaan
hukum fiqh bagi pihak yang berhutang,
nominal yang akan diterima ketika
pihak yang berpiutang, obyek hutang yang
yang
bisa dipraktikkan menurut fiqh Islam,
hiwalah, karena di dalamnya diatur
pihak
piutang
berbunga maupun tidak berbunga tidak
piutang masuk dalam pembahasan al-
piutang,
hutang
terjadi transaksi pengalihan, dan unsur
menanggung
riba
pengalihan hutang piutang, dan juga
terkandung
nominal
seluruh prinsip yang harus dipenuhi
hutang
perpindahan
13
dalam dengan hutang
perbedaan nominal tersebut.
Perbedaan menjadikan
nominal
inilah
yang
negeri dilaksanakan dengan tidak
piutang
wesel
baik
menggunakan jasa L/C perbankan?
berbunga maupun tidak berbunga tidak
3. Tidak
pantaskah
Issuing
Bank
bisa diterapkan dalam akuntansi Islam,
menerima reward untuk jasa yang
karena di dalam al-hiwalah telah
telah
menjadi
ada
menjamin bahwa pihak importir
di
akan membayar hutangnya kepada
syarat
perbedaan
yang
pendapat
tidak (khilaf)
kalangan fuqaha seperti Malik, Al-
dilakukannya
dengan
eksportir?
Jazairi, dan Ibn Rusyd mengenai harus
Jawaban dari minimal 3 (tiga)
samanya kadar, sifat, jenis, dan jangka
pertanyaan tersebut akan menghasilkan
waktu hutang (disaat masih terdapat
simpulan
khilaf
simpulan pertama. Wallaahu a’lam
syarat-syarat
Perbedaan
yang
tersebut
lain).
menjadikan
yang
berbeda
dengan
bishawab.
transaksi yang terjadi bukan sebagai DAFTAR PUSTAKA
pengalihan hutang piutang namun jual
Abdurrahman, M.A dan Abdullah,
beli hutang piutang.
Haris
Simpulan dari analisis pembahasan
A.
(penerjemah),
di atas merupakan satu pendapat dan
Terjemah Bidayatul Mujtahid
penawaran wacana, kita memahami
Ibnu Rusyd (3), Penerbit Asy-
hukum berdasarkan pendekatan teks
Syifa', Semarang, 1990
nash.
Adapun
nalar
hukum
Abu Bakar Al-Husaini, Taqyuddin
dan
pendekatan yang berbeda membuka
Muhammad,
peluang untuk simpulan yang berbeda.
Kifayatul Akhyar diterjemahkan
Berikut pendekatan masalah yang dapat
oleh Rifa'i et all, Toha Putra,
ditawarkan:
Semarang, 1978 Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minhajul
1. Apakah hukum perdagangan antar negara
dipengaruhi
oleh
Muslim
basis
Bahri
agama masing-masing negara? 2. Seberapa
besar
mashlahat
Khulashah
diterjemahkan Fadhli
,Darul
oleh Falah,
Jakarta, 2003
dan
Al-Maidani Abu Bakar, Perbedaan
madharat apabila perdagangan luar
Antara Jual Beli dan Riba
14
Shalih
Fauzan
Al-Fauzan,
Adlchiyah,
Pustaka At-Tibyan, Solo, 2002 An
Nabhani,
Multazam,
Bintang Pelajar, Surabaya, 1984
Taqiyuddin,
Hassan A., Tarjamah Bulughul Maram
“Membangun Sistem Ekonomi
Ibn Hajar Al-Atsqalani, CV.
Alternatif
Diponegoro, Bandung, 1998
Perspektif
diterjemahkan Wachid,
Islam
oleh
Maghfur
Isa Asyur, Ahmad, Fiqh Islam Praktis
Risalah
Gusti,
Bab Muamalah diterjemahkan
Surabaya, 2002
oleh
Antonio Syafi'i, Bank Syari'ah Dari
Zahwan
Karim, Adiwarman et all, Aplikasi
Pres, Jakarta, 2001
Konsep
----------------, Bank Syari'ah Wacana
Syariah
Untuk
Lembaga Keuangan Syariah,
Ulama dan Cendekiawan, Bank
Yayasan
Indonesia dan Tazkia Institute,
Ungaran, 2002
Jakarta, 1999 Syarif,
AbdulHamid,
Pustaka Mantiq, Solo, 1995
Teori ke Praktik, Gema Insani
Arbi,
dan
BMT
Network,
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushulul
Petunjuk
Praktis
Fiqh diterjemahkan oleh Helmy
Perdagangan Luar Negeri Seri
Masdar, Gema Risalah Press,
Ekspor,
Bandung, 1997
BPFE
UGM,
Sabiq, Sayyid, “Fiqh As Sunnah (terjemahan)”, Al Ma’rif, Bandung, 2000
Yogyakarta, 1998 ----------------,
Petunjuk
Praktis
Perdagangan Luar Negeri Seri Impor,
BPFE
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga
UGM,
Keuangan, Lembaga Penerbitan
Yogyakarta, 2003
FE UGM, Yogyakarta, 1999
Ash Shiddieqy Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Tinjauan
Fiqh
Antar
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah,
Islam
RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Mazhab,
2005.
Pustaka Rizki Putra, Semarang,
Sukirno,
2001
Pembangunan
Diibul Bigha, Mustofa, Fiqih Mahzab
Masalah,
Syafi'i (Terjemah At-Tahdzib) diterjemahkan
oleh
Sadono,
Sunarto,
15
Ekonomi Proses,
dan
Dasar
Kebijaksanaan,
Lembaga
Penerbitan FE UI, Jakarta, 1985 Suparmoko,
Pengantar
Makro,
Ekonomika
BPFE
UGM,
Yogyakarta, 2000 Syukur, Sarmin dan Rodhiyah, Luluk (penerjemah), RohmatulUmmah Berbagai Islam,
Masalah Al-Ikhlas,
Hukum Surabaya,
1993 Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari'ah, Zikrul Hakim, Jakarta, 2004
16