ANALISIS MOTIVASI DIBALIK STOCK SPLIT DAN REVERSE STOCK SPLIT: PEMBUKTIAN PADA LIKUIDITAS DAN RETURN SAHAM
Oleh Wisudowati Ayu Sugito NIM: 105081002452
JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
ANALISIS MOTIVASI DIBALIK STOCK SPLIT DAN REVERSE STOCK SPLIT: PEMBUKTIAN PADA LIKUIDITAS DAN RETURN SAHAM
Oleh Wisudowati Ayu Sugito NIM: 105081002452
JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
Daftar Riwayat Hidup I.
II.
Identitas Pribadi 1 Nama 2 Tempat & Tgl. Lahir 3
Alamat
:
4
Telepon
:
Wisudowati Ayu Sugito Depok, 21 Oktober 1987 Jl. Dipo Ratu Jaya No. 08 Rt. 01/Rw. 017 Depok 16431 021 - 7760818
: : : :
SD Negeri 02 Depok SMP Negeri 02 Depok SMA Negeri 02 Depok UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan 1 SD 2 SMP 3 SMA 4 S1
: :
III. Pengalaman Organisasi 1
BEM
:
2
Dll
:
IV. Latar Belakang Keluarga 1 Ayah 2 Tempat & Tgl. Lahir
: :
3
Alamat
:
4 5 6
Telepon Ibu Tempat & Tgl. Lahir
: : :
7
Alamat
:
8 9
Telepon Anak ke dari
: :
Koordinator Div. Lembaga Swadaya Otonom BEM Jurusan Manajemen (2007-2008) Anggota Div. Lomba Panitia Anniversary FEIS ke-5 (2007)
Ponirin Sugito, SE Purworejo, 12 Desember 1958 Jl. Dipo Ratu Jaya No. 08 Rt. 01/Rw. 017 Depok 16431 021 - 7760818 Sri Siti Budi Rochatin Purworejo, 10 Februari 1959 Jl. Dipo Ratu Jaya No. 08 Rt. 01/Rw. 017 Depok 16431 021 - 7760818 2 dari 4 bersaudara
ABSTRACT
Split is one of the information forms which gives for the corporate to increase (stock split) or decrease (reverse stock split) the outstanding share of stock. Rationally corporate is based on the three main hypothesis method that usually use on stock split and reverse stock split such as optimal price range hypothesis, liquidity hypothesis, and signaling hypothesis. The purpose of this research is find empirical evidence although the effects are caused by split information according to the motivation that based on the capability procedure. Whether optimal price range hypothesis and liquidity hypothesis can be proved by stock increment liquidity after the split capability, and the signaling hypothesis marked with abnormal return in stock around stock split and reverse stock split announcement. When researcher was analyzing charge of liquidity stock before and after stock split and reverse stock split, researcher used non-parametric method with sign test, because the trading volume activity (TVA) data as indicator of liquidity, has abnormal distribution. And ARIMA method is used to analyzing abnormal return around the stock split and reverse stock split announcement to estimation expected return. Its succeed result showed that there was a change on stock liquidity before and after the split has been done. Meanwhile the liquidity reduction was found on corporate after the stock split was done, which means it is not support into optimal price range hypothesis and liquidity hypothesis which is based to stock split. The opposite result was found on corporate after they carried out the reverse stock split. It has been shown with stock liquidity increment after the reverse stock split was done, according to the optimal price range hypothesis and liquidity hypothesis as based to reverse stock split. And the result of stock return test was founded abnormal return around stock split and reverse stock split announcement. It is recorded for signaling hypothesis as based to stock split and reverse stock split.
Key Words: Stock split, reverse stock split, optimal price range hypothesis, liquidity hypothesis, signaling hypothesis.
ABSTRAK
Pemecahan saham (split) merupakan salah satu bentuk informasi yang diberikan oleh emiten untuk menaikan jumlah lembar saham yang beredar (stock split) atau menurunkannya (reverse stock split). Terdapat tiga hipotesis utama yang mendasari rasionalitas emiten dalam melaksanakan stock split dan reverse stock split, yaitu optimal price range hipotesis, liquidity hipotesis, dan signaling hipotesis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari bukti empiris apakah efek yang diakibatkan adanya informasi pemecahan saham (split) telah sesuai dengan motivasi yang mendasari pelaksanaan kebijakan tersebut. Optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan likuiditas saham setelah kebijakan split. Sedangkan signaling hipotesis ditandai dengan adanya return yang tidak normal (abnormal return) disekitar pengumuman stock split dan reverse stock split. Dalam menganalisis perubahan likuiditas saham sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan reverse stock split digunakan metode non-parametrik dengan menggunakan uji tanda (sign test) karena data trading volume activity (TVA) sebagai indicator likuiditas memiliki distribusi yang tidak normal. Sedangkan untuk menganalisis adanya return yang tidak normal (abnormal return) disekitar pengumuman stock split dan reverse stock split digunakan metode ARIMA dalam mengestimasi besarnya return wajar (expected return). Hasil penelitian berhasil menunjukan bahwa terdapat perubahan pada likuiditas saham setelah pelaksanaan split. Pada emiten yang melakukan stock split ditemukan adanya penurunan likuiditas setelah pelaksanaan split, yang berarti tidak mendukung optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang mendasari pelaksanaan stock split. Hasil berlawanan diperoleh pada emiten yang melakukan reverse stock split. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan likuiditas saham setelah pelaksanaan reverse stock split, sesuai dengan optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang mendasari pelaksanaan reverse stock split. Sedangkan hasil pengujian terhadap return saham menemukan adanya abnormal return disekitar tanggal pengumuman stock split dan reverse stock split. Hal ini sesuai dengan signaling hipotesis yang mendasari pelaksanaan stock split dan reverse stock split.
Kata kunci: Stock split, reverse stock split, optimal price range hipotesis, liquidity hipotesis, signaling hipotesis.
KATA PENGANTAR
Assalamu’allaikum Wr.Wb. Alhamdulillaahirrobil’ alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik
dan
hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Penulis mencoba untuk mencari bukti empiris apakah efek yang diakibatkan adanya pemecahan saham (split) telah sesuai dengan motivasi yang mendasari pelaksanaan kebijakan tersebut, yaitu optimal price range hipotesis, liquidity hipotesis, dan signaling hipotesis. Atas dasar itulah maka disusun skripsi dengan judul : “ANALISIS MOTIVASI DIBALIK STOCK SPLIT DAN REVERSE STOCK SPLIT: PEMBUKTIAN PADA LIKUIDITAS DAN RETURN SAHAM” dengan periode 2004-2008. Penyusunan skripsi ini diajukan guna memenuhi syarat untuk mencapai derajat Sarjana Ekonomi jurusan Manajemen pada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besaranya atas segala bimbingan, pengarahan serta bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Maka penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Indo Yama Nasarudin, SE, MAB, selaku Ketua Jurusan Program Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Prof. Dr. Achmad Rodoni, MM, selaku Dosen Pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Titi Dewi Warninda, SE, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang dengan sabar memberikan petunjuk dan pengarahan yang berguna bagi penulis dalam proses penulisan skripsi ini. 5. Seluruh dosen FEIS UIN.. terima kasih untuk ilmu dan bimbingannya, khususnya Pak Indra Wijaya (terima kasih atas masukan dan motivasinya), serta seluruh staf akademik, jurusan, kasubag keuangan dan perpus. 6. Kedua orang tua super.. Bapak Ponirin Sugito, terima kasih untuk pembelajaran hidup yang luar biasa dan Ibu Tien Sugito, terima kasih telah bersedia jadi malaikat untuk anak manja. 7. Keluarga besar Sugito.. Mas Fajar, Mba Yani, Adik-adik tercinta Arti dan Putri, keponakanku Argia dan Sheika, dan Nia.. Terima kasih untuk semua doa dan bantuannya. 8. Sahabat-sahabatku tercinta.. Nila, Anita, Maul, Vie2, Opa, Ndank, Mieyha, Masrofah, Nia, Ennys dan Tina.. Terima kasih untuk persahabatan yang indah. 9. Sahabat seperjuanganku melewati masa kuliah.. Faizah, Budi, Umam, Sigit, Enny, Vini, Fitri, Ana dan Susi.. Terima kasih untuk setiap semangat yang ditularkan.. 10. Anggota group Manajemen B.. Firman, Ridho, Adick, Mawi, Ochid, Topay, Tuti, Yoko, Akhyar, Penjol, Aris, Ariel, Farhah, Ical, Iin, Indra, Lela, Agus, Makhrus, Sanusi Alfa, Maulana, Jamal.. Tetap kompak ya!! 11. Manajemen Keu A.. Imam, Ibeh, Tian, Roey, Utha, Andri, Dahlan, Febi, Here, Idel, Intan, Lesda, Maharis, Oji, Ridwan, Ristiandi, dll..temen masamasa akhir sbg mahasiswa.. Harapan besar dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Sehubungan dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis, dengan rendah hati penulis menerima saran dan kritik yang membangun demi lebih baiknya skripsi ini. Wassalamu’allaikum Wr.Wb.
Jakarta, 17 Juni 2009 Penulis
DAFTAR ISI
Daftar Riwayat Hidup
ii
Abstract
iii
Abstrak
iv
Kata Pengantar
v
Daftar Isi
vii
Daftar Tabel
ix
Daftar Gambar
x
Daftar Lampiran
xi
BAB I
: PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Perumusan Masalah
13
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
14
1. Tujuan Penelitian
14
2. Manfaat Penelitian
15
: TINJAUAN PUSTAKA
17
A. Sekilas Tentang Pasar Modal
17
B. Pasar Efisien
18
C. Likuiditas
22
D. Return Saham
24
E. Stock Split
25
F. Reverse Stock Split
31
G. Motivasi Terkait: Stock Split dan Reverse Stock Split
35
H. Hipotesis
41
BAB II
I. Penelitian Sebelumnya
42
J. Kerangka Pemikiran
47
BAB III
: METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
51
B. Metode Penentuan Sampel
52
C. Metode Pengumpulan Data
54
D. Metode Analisis
55
E. Operasional Variabel Penelitian
66
BAB IV
: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
69
Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
69
A. A.
1. Sejarah Singkat Pasar Modal
69
2. Perkembangan Pasar Modal
71
B. Analisis dan Pembahasan
B.
51
73
1. Analisis Deskriptif
73
2. Analisis Pengujian Statistik
83
BAB V A. C.
: KESIMPULAN DAN IMPIKASI Kesimpulan
115 115
B. Implikasi Penelitian
117
C. Saran
119
Daftar Pustaka Lampiran
xii
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1 2.1 2.2 3.1 4.1 4.2
4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16 4.17
Keterangan
Hal Optimal Price Range Hipotesis, Liquidity Hipotesis dan 7 Signaling Hipotesis Stock Split 2 untuk 1 di Chen Industries 28 Reverse Stock Split 1 untuk 4 di Chen Industries 32 Perhitungan Jumlah Sampel 53 Trading Volume Activity (TVA) antara Sebelum dan Sesudah 74 Pelaksanaan Stock Split dan Reverse Stock Split Statistik Deskriptif Trading Volume Activity (TVA) antara 77 Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Stock Split dan Reverse Stock Split Rata-Rata Return Realisasi Emiten yang Melakukan Stock Split 80 Pada Periode Estimasi dan Investigasi Rata-Rata Return Realisasi Emiten yang Melakukan Reverse 81 Stock Split Pada Periode Estimasi dan Investigasi Abnormal Return Periode Investigasi 82 Statistik Deskriptif Abnormal Return Periode Investigasi 82 Perbandingan Trading Volume Activity (TVA) Sebelum dan 85 Sesudah Stock Split Perbandingan Trading Volume Activity (TVA) Sebelum dan 86 Sesudah Reverse Stock Split Hasil Signifikansi Perubahan TVA Sebelum dan Sesudah 88 Pelaksanaan Stock Split dan Reverse Stock Split Hasil Uji Stasioneritas Tingkat Level Pada Emiten yang 92 Melakukan Stock Split Permodelan ARIMA Pada Emiten yang Melakukan Stock Split 94 Hasil Estimasi Parameter Model Pada Emiten yang Melakukan 95 Stock Split Hasil Perhitungan Abnormal Return di Sekitar Pengumuman Stock 100 Split Hasil Uji Stasioneritas Tingkat Level Pada Emiten yang 103 Melakukan Reverse Stock Split Permodelan ARIMA Pada Emiten yang Melakukan Reverse 104 Stock Split Hasil Estimasi Parameter Model Pada Emiten yang Melakukan 106 Reverse Stock Split Hasil Perhitungan Abnormal Return di Sekitar Pengumuman 110 Reverse Stock Split
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.1 2.1 2.2
Keterangan
Hal
Grafik Jumlah Emiten yang Melakukan Stock Split dan Reverse 12 Stock Split Flowchart Analisis Likuiditas 49 Flowchart Analisis Return Saham 50
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Keterangan
1
Daftar Emiten yang Melakukan Stock Split dan Reverse Stock Split
2 3
Daftar Emiten yang Melakukan Stock Split Data sampel emiten yang melakukan Reverse Stock Split
4
Hasil Uji Normalitas Data Trading Volume Activity (TVA) Sampel yang Melakukan Stock Split Hasil Uji Normalitas Data Trading Volume Activity (TVA) Sampel yang Melakukan Reverse Stock Split Output SPSS Sign Test untuk Emiten yang Melakukan Stock Split Output SPSS Sign Test untuk Emiten yang Melakukan Reverse Stock Split Hasil Uji Stasioneritas Return Saham yang Melakukan Stock Split Hasil Uji Stasioneritas Return Saham yang Melakukan Reverse Stock Split Hasil Correlogram Otokorelasi dan Correlogram Otokorelasi Parsial Pada Emiten yang Melakukan Stock Split Hasil Correlogram Otokorelasi dan Correlogram Otokorelasi Parsial Pada Emiten yang Melakukan Reverse Stock Split Hasil Estimasi Parameter Model Pada Emiten yang Melakukan Stock Split Hasil Estimasi Parameter Model Pada Emiten yang Melakukan Reverse Stock Split Hasil Uji Model dengan Correlogram Pada Emiten yang Melakukan Stock Split Hasil Uji Model dengan Correlogram Pada Emiten yang Melakukan Reverse Stock Split Output SPSS untuk Uji t Pada Emiten yang Melakukan Stock Split Output SPSS untuk Uji t Pada Emiten yang Melakukan Reverse Stock Split
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Harga saham adalah harga yang dibentuk dari interaksi para penjual dan pembeli saham yang dilatarbelakangi oleh harapan mereka terhadap profit perusahaan. Untuk itu investor memerlukan informasi yang berkaitan dengan pembentukan harga saham tersebut dalam mengambil keputusan untuk menjual atau membeli. Pengambilan keputusan ini berkaitan dengan pemilihan portfolio investasi yang paling menguntungkan dengan resiko tertentu. Menurut Lorie (1985), informasi dapat mengurangi ketidakpastian yang terjadi sehingga keputusan yang diambil diharapkan dapat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. (Wang Sutrisno, 2000). Hal ini dikarenakan harga saham merefleksikan informasi yang terdapat di pasar modal. Dengan kata lain informasi yang masuk ke pasar akan tercermin pada harga-harga surat berharga. Pasar akan memproses informasi yang relevan kemudian pasar akan mengevaluasi harga saham berdasarkan informasi tersebut. Dalam pasar modal, banyak sekali informasi yang dapat diperoleh investor baik informasi yang tersedia dipublik maupun informasi pribadi (privat). Salah satu informasi yang ada adalah pengumuman stock split dan reverse stock split. Sepanjang bulan Januari sampai dengan Desember tahun 1996, stock split menjadi perilaku emiten yang sangat populer karena banyaknya emiten yang berlomba-lomba melakukan stock split.
Jumlah emiten yang melakukan stock split maupun jumlah saham yang berasal dari perubahan nilai nominal tersebut terus membesar. Jika dalam periode JanuariJuli 1996, jumlah emiten yang melakukan stock split paling banyak hanya empat emiten per bulan, maka pada kurun waktu Agustus sampai dengan Desember jumlah itu menjadi dua kali lipat. Tepatnya, setiap bulan paling sedikit ada delapan emiten yang melakukan stock split. Dalam bulan Agustus sampai Desember tercatat sebanyak 33 emiten yang melakukan stock split dengan total saham mencapai 5,65 milyar lembar. Jumlah saham tersebut mengalahkan penerbitan saham dari right issue dalam waktu yang sama. (PT. BEI, Statistika BEI Tahun 1996). Di tahun 2004, peristiwa semacam itu juga terjadi. Namun, kali ini reverse stock split yang memainkan peran. Pada tahun tersebut, jumlah saham yang terdaftar menurun cukup besar dari tahun sebelumnya. Jika pada tahun 2003 jumlah saham yang terdaftar mecapai 829.359,8 lembar, maka pada tahun 2004 jumlah itu menurun menjadi 656.447,2 lembar. Hal ini disebabkan oleh banyaknya emiten yang melakukan reverse stock split terutama dari sektor perbankan. (Suad Husnan, 2005:16). Stock split dan reverse stock split merupakan perubahan nilai nominal per lembar saham yang beredar sesuai dengan faktor pemecahan (split factor). Secara singkat stock split menyebabkan harga per lembar saham baru adalah ”1/n” dari harga sebelumnya. (Harjanti Widiastuti dan Usmara, 2005). Oleh karena itu, setiap pemegang saham akan mendapat saham tambahan tanpa harus membayar untuk saham baru. Berlawanan dengan stock split, reverse stock split membuat
harga per lembar saham baru menjadi meningkat sebanyak ”n” kali lipat dari harga saham sebelumnya. Dengan kata lain, reverse stock split menggabungkan ”n” saham menjadi satu saham saja yang memiliki nilai lebih besar. Stock split dan reverse stock split sendiri merupakan fenomena yang masih menjadi teka-teki dibidang ekonomi karena kedua perilaku perusahaan (corporate actions) tersebut sebenarnya tidak menambah nilai ekonomis bagi perusahaan. Atau tidak secara langsung mempengaruhi arus kas perusahaan. Oleh karena itu, keduanya sering disebut sebagai
suatu kosmetika saham, dalam arti bahwa
tindakan perusahaan tersebut merupakan upaya pemolesan saham. Namun, mengapa emiten melakukan stock split dan reverse stock split ? Menurut Keown, Scott, Martin dan Petty (1996) dalam Endah Lestari (2006), terdapat tiga hipotesis utama yang mendasari rasionalitas emiten dalam melaksanakan stock split dan reverse stock
split, yaitu optimal price range
hipotesis, liquidity hipotesis, dan signaling hipotesis. Optimal price range hipotesis (hipotesis rentang harga optimal), menyatakan bahwa terdapat suatu rentang harga saham yang optimal bagi suatu perusahaan yang mana pada rentang tersebut perdagangan paling likuid. Bagi saham yang berada pada level yang terlalu tinggi diatas rentang harga ini, sahamnya akan sulit untuk diperdagangkan pada pasar yang lebih luas. Atau dengan kata lain saham-saham tersebut tidak dapat dijangkau oleh daya beli investor dengan modal terbatas, misalnya investor individual. Pada kondisi demikian, emiten dapat menempuh kebijaksanaan stock split dengan tujuan untuk mempertahankan agar sahamnya tetap berada dalam rentang
perdagangan yang optimal, sehingga daya beli investor meningkat terutama investor kecil. (Harjanti Widiastuti dan Usmara, 2005). Dengan demikian, diharapkan akan terjadi distribusi saham ke arah yang lebih luas. Pada saham yang berada pada level yang jauh di bawah rentang harga optimal, harga saham cenderung menunjukkan bahwa perusahaan emiten tidak memiliki kinerja yang baik. Hal ini menyebabkan banyaknya investor menghindari sahamsaham tersebut. Untuk mencapai harga saham pada rentang harga yang optimal, emiten dapat melakukan reverse stock split untuk menaikan harga saham. Pada tingkat harga baru tersebut, saham dapat menunjukkan kualitasnya sehingga dapat terdeteksi dan bisa mendapatkan kepercayaan dari investor. Pada akhirnya, saham akan menjadi lebih likuid. Dalam menentukan apakah harga saham telah mencapai rentang harga perdagangan yang optimal atau tidak setelah emiten melaksanakan stock split atau reverse stock split, dapat dilihat dari peningkatan likuiditas saham tersebut. Likuiditas saham yang semakin meningkat menunjukkan bahwa saham diperdagangkan secara lebih aktif karena berada pada rentang harga yang optimal yang ditandai dengan peningkatan volume perdagangan. Hipotesis yang kedua yang menjelaskan mengenai mengapa perusahaan melakukan stock split dan reverse stock split adalah liquidity hipotesis (hipotesis likuiditas) yang sangat erat kaitannya dengan keberadaan optimal price range hipotesis. Pada rentang harga ini, perdagangan saham akan lebih aktif yang berarti terjadi peningkatan likuiditas. Likuiditas menjadi sangat penting karena emiten menginginkan sahamnya dapat diperdagangkan dengan mudah dan
menghindari sahamnya menjadi saham tidur. Saham tidur dekat dengan ancaman delisted. Oleh karena itu, salah satu alasan perusahaan melakukan stock split dan reverse stock split juga untuk meningkatkan likuiditas saham. Likuiditas saham yang dimaksud adalah fluktuasi dari volume transaksi atas saham yang mengalami stock split dan reverse stock split. Volume transaksi atas saham yang mengalami stock split akan meningkat karena harga pasar sahamnya akan mengalami penurunan seiring dengan menurunnya harga atau nilai nominal saham ditambah dengan adanya peningkatan jumlah saham yang beredar setelah saham mengalami stock split. Kemahalan harga saham dan likuiditas saham akhirnya menjadi alasan bagi perusahaan untuk melakukan stock split. Hal tersebut dapat dipahami karena apabila harga pasar saham terlalu mahal maka menjadi tidak menarik bagi investor, terutama investor kecil, dan akhirnya saham menjadi tidak likuid. Dengan alasan tersebut, semakin mahal harga saham dan semakin rendah likuiditas saham, semakin besar kemungkinan perusahaan melakukan stock split. (Harjanti Widiastuti dan Usmara, 2005). Reverse stock split dilaksanakan perusahaan emiten untuk membawa saham kepada harga yang lebih tinggi. Pada tingkat harga baru tersebut, saham dapat menunjukkan kualitasnya sehingga dapat terdeteksi dan bisa mendapatkan kepercayaan dari investor. Pada akhirnya, saham akan menjadi lebih likuid. Salah satu alasan lain mengapa perusahaan emiten melakukan reverse stock split adalah reverse stock split dapat mengurangi biaya transaksi. Hal ini berkaitan
dengan hubungan antara biaya transaksi dengan harga saham yang saling berbanding terbalik. Maka saham yang berada pada harga yang lebih tinggi akan mengalami penurunan biaya transaksi (dalam persen harga saham) sehingga saham lebih banyak diperdagangkan. Hipotesis yang ketiga adalah signaling hipotesis. Signaling hipotesis menyatakan bahwa terdapat sinyal yang dapat ditangkap oleh investor dalam informasi yang dipublikasikan di pasar, dalam hal ini stock split dan reverse stock split. Fama, et.al. (1969) dalam Ahmad Rifa’i dan Rudi Handoko (2005) berargumentasi bahwa pasar bereaksi positif terhadap stock split, karena pasar berasumsi bahwa pemecahan saham merupakan sinyal akan adanya perubahan income yang diharapkan dalam bentuk kenaikan deviden, dan reaksi positif ini merupakan antisipasi pasar terhadap kenaikan deviden. Reaksi positif ini ditandai dengan adanya abnormal return positif yang signifikan. Secara teoritis setelah stock split seharusnya aktivitas volume perdagangan saham naik dikarenakan volume perdagangan mengikuti seiring dengan meningkatnya jumlah saham yang beredar sehingga akan menghasilkan arus kas masuk perusahaan, yang nantinya dipergunakan untuk membayarkan deviden tunai. Berkebalikan dengan stock split, reverse stock
split dianggap membawa
sinyal negatif bagi investor. Investor beranggapan bahwa perusahaan emiten yang melakukan reverse stock split adalah perusahaan emiten dengan performance yang buruk. Hal ini memiliki efek negatif pada harga saham, terutama selama
hari-hari menjelang pengumuman reverse stock split. Hasilnya, sering terdapat abnornmal return yang negatif menjelang pengumuman reverse stock split. Ketiga hipotesis yang telah dijabarkan secara singkat diatas dapat dirangkum dalam Tabel 1.1 di bawah ini: Tabel 1.1 Optimal Price Range Hipotesis, Liquidity Hipotesis dan Signaling Hipotesis Hipotesis Optimal Price Range
Liquidity
Signaling
Stock Split
Reverse Stock Split
Menurunkan harga
Menaikan harga
menuju optimal
menuju optimal price
price range
range
Meningkatkan
Meningkatkan
likuiditas
likuiditas
Signal positif
Signal negative
mengenai future
mengenai future
earnings
earnings
Indikator
Likuiditas
Likuiditas
Abnormal Return
Terdapat banyak penelitian empiris yang berusaha membuktikan motivasimotivasi diatas sebagai alasan mengapa emiten melakukan stock split dan reverse stock split dengan melihat bagaimana reaksi pasar terhadap informasi tersebut yang dibuktikan dengan adanya abnormal return dan peningkatan likuiditas. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wang Sutrisno (2000) yang menyatakan bahwa stock split tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap abnormal return yang berarti tidak ada perubahan pada return saham. Selain itu, diperoleh kenyataan bahwa stock split mempunyai pengaruh negative terhadap likuiditas saham di pasar modal. Dengan kata lain, dengan melakukan
stock split, likuiditas saham perusahaan atau emiten malah menurun jika dibandingkan antara sebelum dengan sesudah mengalami stock split. Hal senada juga dinyatakan oleh Ade Wirman (2002) yang menyatakan bahwa stock split mempunyai pengaruh terhadap likuiditas saham di pasar modal. Namun, pengaruh itu juga bersifat negative atau dapat dinyatakan bahwa likuiditas saham justru menurun dengan dilaksanakannya stock split. Penelitian serupa
juga dilakukan
penelitiannya yang membuktikan
oleh Zidny Rahmawati (2005) dalam
bahwa return saham perusahaan secara
keseluruhan setelah stock split mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan harga cenderung turun dibandingkan dengan harga saham sebelumnya yang dipengaruhi oleh kurangnya likuiditasnya perusahaan,
kondisi ekonomi yang turun, atau
masalah sosial politik dalam negeri. Pendapat-pendapat diatas, bertentangan dengan Baker dan Gallangher (1993) dalam Wang Sutrisno (2000) yang menyatakan bahwa stock split mengembalikan harga per lembar saham pada tingkat perdagangan yang optimal dan meningkatkan likuiditas. Berkaitan dengan pengaruh stock split terhadap return saham, penelitian Maloney dan Mulherin (1992) dalam Achmad Rifa’i dan Rudi Handoko (2005) menemukan bahwa terdapat kenaikan return saham positif yang signifikan pada 10 hari sebelum pengumuman pemecahan saham, dan kenaikan 3,33% pada tiga hari sebelum tanggal pengumuman. Dia juga melaporkan bahwa pada saat pelaksanaan pemecahan saham, terdapat kenaikan harga saham rata-rata sebesar 1,6%.
Berbeda dengan stock split yang mendapat perhatian lebih dari peneliti sehingga banyak digunakan sebagai bahan dalam penelitiannya, reverse stock split dianggap kurang menarik sehingga penelitian tentang reverse stock split sangat terbatas. Penelitian reverse stock split yang berkaitan dengan abnormal return dan likuiditas saham dilakukan oleh Poon Lamoureux (1987) pada Melinda Savitri dan Dwi Martini (2006). Lamoureux menemukan bahwa reverse stock split berpengaruh negatif dan signifikan terhadap abnormal return. Selain itu, likuiditas saham meningkat pada saham yang mengalami reverse stock split. Hasil yang persis sama juga dinyatakan Hans K. C (1995) dalam Melinda Savitri dan Dwi Martini (1995). Reverse stock split berpengaruh negatif dan signifikan terhadap abnormal return dan meningkatkan likuiditas saham. Penelitian yang dilakukan pada pasar modal Indonesia dilakukan oleh Melinda Savitri dan Dwi Martini (2006) yang memfokuskan pada efek yang dihasilkan stock split dan reverse stock split terhadap return saham dan volume perdagangan. Mereka menemukan abnormal return yang positif dan signifikan pada saat hari pengumuman dan lima hari sebelum pengumuman stock split. Sedangkan abnormal return yang negatif dan signifikan ditemukan pada saat hari pengumuman, tiga hari dan dua hari sebelum pengumuman, serta hari setelah pengumuman reverse stock split.
Namun, pada hari sebelum pengumuman
reverse stock split justru ditemukan abnormal return yang positif dan signifikan. Reverse stock
split sendiri tidak memberikan dampak yang signifikan pada
volume perdagangan saham walaupun tetap terjadi penurunan.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa motivasi emiten dalam melaksanakan stock split dan reverse stock split tidak selalu sejalan dengan bukti-bukti empiris yang telah melalui penelitian. Sebagian besar hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan hasil bertentangan dengan tujuan emiten melakukan stock split. Karena seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa stock split dilakukan oleh emiten untuk meningkatkan likuiditas saham perusahaannya. Dan stock split memberikan sinyal positif bagi investor akan adanya abnormal return yang positif. Akan tetapi, sebagian besar hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia justru menunjukan hal yang sebaliknya. Sementara penelitian mengenai reverse stock split belum banyak dilakukan. Untuk itu, diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai apakah stock split dan reverse stock split mempunyai pengaruh signifikan terhadap return saham dan likuiditas saham dan apakah hal tersebut sesuai dengan motivasi yang mendasari emiten melakukan stock split dan reverse stock split. Dari uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk
menulis dengan judul
”Analisis Motivasi Dibalik Stock Split dan Reverse Stock Split: Pembuktian Pada Likuiditas Saham dan Return Saham”. Penelitian ini mengambil periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2008. Periode ini dipilih karena alasan-alasan berikut: 1. Tahun 2004 dijadikan dasar periode dalam penelitian ini karena pada tahun tersebut pasar modal Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Hal ini didukung oleh meningkatnya stabilitas di bidang politik,
keamanan dan ekonomi di tahun 2004. Hampir seluruh indikator utama bursa mengalami peningkatan yang sangat berarti. Salah satunya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada level 1.000,23 pada akhir perdagangan tahun 2004, yang
merupakan indeks penutupan perdagangan akhir tahun
tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia sampai tahun 2004. Selain itu, nilai transaksi harian di BEJ tahun 2004 juga mengalami peningkatan yang luar biasa yaitu 97,7%, dari Rp. 518,3 milyar/hari di tahun 2003 menjadi sebesar Rp. 1,02 trilyun/hari di tahun 2004. 2. Pada tahun 2004 jumlah emiten yang melakukan stock split maupun reverse stock split mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat digambarkan oleh grafik yang akan disajikan pada gambar 1.1. 3. Periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2008 dapat menggambarkan reaksi pasar terkini terkait dengan pengumuman stock split dan reverse stock split. Berikut akan disajikan gambar 1.1 yang menunjukkan jumlah perusahaanperusahaan yang melakukan stock split dan reverse stock split selama periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2008. Pada tahun 2002, pasar modal sudah cukup stabil dari berbagai peristiwa politik dan gejala sosial yang terjadi, misal peralihan kepemimpinan nasional dari Abdurahman Wahid kepada Megawati dan tragedi 11 September 2001 yang menimpa World Trade Center di New York. Oleh karena itu, fluktuasi penggunaan kebijakan split pada emiten yang dimulai pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 dapat menggambarkan seberapa
populer kebijakan split dimata emiten dengan optimal price range hipotesis, liquidity hipotesis dan signaling hipotesis yang mendasari pelaksanaannya. 12 10 8 stock split
6
reverse stock split
4 2 0 '02
'03
'04
'05
'06
'07
'08
Sumber: Indonesia Capital Market Dictionary 2008
Gambar 1.1 Grafik Jumlah Emiten yang Melakukan Stock Split dan Reverse Stock Split
Adapun kelebihan penelitian ini dibandingkan dengan penelitianpenelitian sebelumnya, adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini dilakukan pada periode yang masih sangat up date sehingga dapat melukiskan reaksi pasar terkini berkaitan dengan adanya pengumuman stock split dan reverse stock split. 2. Penelitian ini memfokuskan pada perusahaan yang melakukan kebijakkan stock split dan reverse stock split tanpa adanya kebijakkan-kebijakkan lain, sehingga dapat dilihat efek murni dari stock split dan reverse stock split. 3. Penelitian ini menyelidiki motivasi emiten dibalik kebijakan stock split dan reverse stock split yang ditandai dengan adanya perubahan pada return saham dan likuiditas saham.
4. Metode yang digunakan dalam menghitung expected return yang digunakan untuk melihat adanya perubahan pada return saham akibat adanya kebijakan stock split dan reverse stock split sebagai pembawa fungsi signaling adalah ARIMA. Metode ini sangat populer digunakan untuk mengatasi masalah data time series yang memiliki pola yang tidak jelas.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian identifikasi dan batasan masalah tersebut, maka masalahmasalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat peningkatan yang signifikan pada likuiditas saham sebelum dan sesudah pengumuman stock split yang sejalan dengan optimal price range hipotesis dan liquidty hipotesis ? 2. Apakah terdapat peningkatan yang signifikan pada likuiditas saham sebelum dan sesudah pengumuman reverse stock split yang sejalan dengan optimal price range hipotesis dan liquidty hipotesis ? 3. Apakah stock split memang mempunyai fungsi signaling yang dibuktikan dengan adanya abnormal return pada saat
stock split diumumkan,
dikarenakan adanya reaksi pasar terhadap stock split tersebut ? 4. Apakah reverse stock split memang mempunyai fungsi signaling yang dibuktikan dengan adanya abnormal return pada saat reverse stock split diumumkan, dikarenakan adanya reaksi pasar terhadap reverse stock split tersebut ?
C.
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini disusun berdasarkan perumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh stock split terhadap likuiditas saham sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan juga menganalisis optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang mendasarinya. 2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh reverse stock split terhadap likuiditas saham sebelum dan sesudah pelaksanaan reverse stock split dan juga menganalisis
optimal price range hipotesis dan liquidity
hipotesis yang mendasarinya. 3. Untuk mengidentifikasi stock split yang mempunyai fungsi signaling yang dibuktikan dengan adanya abnormal return pada saat stock split diumumkan, dikarenakan adanya reaksi pasar terhadap stock split tersebut. 4. Untuk mengidentifikasi apakah reverse stock split memang mempunyai fungsi signaling yang dibuktikan dengan adanya abnormal return pada saat reverse stock split diumumkan, dikarenakan adanya reaksi pasar terhadap reverse stock split tersebut .
2.
Manfaat Penelitian Manfaat
penelitian
ini
ditujukan
untuk
berbagai
pihak
yang
berkepentingan dengan penelitian ini, yang disajikan sebagai berikut: 1. Bagi perusahaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan atau kondisi harga saham di pasar modal terutama di Indonesia pada sebelum atau sesudah stock split dan reverse stock split. Sehingga perusahaan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau pemikiran dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan dalam hal kebijakan stock split dan reverse stock split. 2. Bagi penulis Penelitian ini menjadi salah satu sarana bagi peneliti untuk dapat mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang selama ini peneliti dapat dari mengikuti perkuliahan di jurusan manajemen keuangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bagi investor Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi
dan
penyedia
informasi
sehingga
dalam
melakukan
perdagangan dan transaksi di bursa dapat menjadi pertimbangan sebelum melakukan investasi di pasar modal, khususnya terhadap suatu informasi yang beredar di bursa efek seperti informasi stock split dan reverse stock split.
4. Penelitian selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya di bidang manajemen keuangan, khususnya yang ingin mendalami dan meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh stock split dan reverse stock
split
terhadap abnormal return dan
likuiditas saham di pasar modal dan motivasi-motivasi yang mendasari emiten dalam melaksanakannya. 5. Bagi masyarakat Penelitian ini bagi masyarakat secara umum diharapkan berguna sebagai salah satu pengetahuan mengenai investasi pada pasar modal Indonesia, khususnya dengan memperhatikan pengaruh dari adanya kebijakan stock split dan reverse stock split terhadap abnormal return dan likuiditas saham di pasar modal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Sekilas Tentang Pasar Modal Secara formal pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar untuk berbagai instrument keuangan (atau sekuritas) jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang ataupun modal sendiri, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun perusahaan swasta. (Suad Husnan, 2005:3). Alasan dibentuknya pasar modal adalah karena pasar modal menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan. Dalam melaksanakan fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari lender (pihak yang mempunyai kelebihan dana) ke borrower (pihak yang memerlukan dana). Dengan menginvestasikan kelebihan dana yang mereka miliki, lenders mengharapkan akan memperoleh imbalan dari penyerahan dana tersebut. Dari sisi borrowers tersedianya dana dari pihak luar memungkinkan mereka melakukan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari hasil operasi perusahaan. Fungsi keuangan dilakukan dengan menyediakan dana yang diperlukan oleh para borrowers dan para lenders menyediakan dana tanpa harus terlibat langsung dalam kepemilikan aktiva riil yang diperlukan untuk investasi tersebut. (Suad Husnan, 2005:4).
Ada beberapa daya tarik pasar modal. Pertama, diharapkan pasar modal akan bisa menjadi alternative penghimpunan dana selain sistem perbankan. Pasar modal memungkinkan perusahaan menerbitkan sekuritas yang berupa surat tanda hutang (obligasi) ataupun surat tanda kepemilikan (saham). Dengan demikian, perusahaan bisa menghindarkan diri dari kondisi debt to equity ratio yang terlalu tinggi karena meminjam dana dari bank sehingga justru membuat cost of capital of the firm tidak lagi minimal. Kedua, pasar modal memungkinkan para pemodal mempunyai berbagai pilihan investasi yang sesuai dengan prefensi risiko mereka. Dengan adanya pasar modal, para pemodal memungkinkan untuk melakukan diversifikasi investasi, membentuk portofolio (yaitu gabungan dari berbagai investasi) sesuai dengan risiko yang mereka bersedia tanggung dan tingkat keuntungan yang mereka harapkan. (Suad Husnan, 2005:5).
B.
Pasar Efisien Stock split dan reverse stock split merupakan salah satu informasi yang akan mempengaruhi harga saham. Teori yang menghubungkan antara informasi dan harga saham sering dinyatakan sebagai hipotesa pasar yang efisien. Para ahli ekonomi sering mengdefinisikan tiga level efisiensi pasar ini, yang dibedakan atas dasar tingkat informasi yang direfleksikan dalam harga saham. (Ahmad Rifa’i dan Rudi Handoko, 2005). Level pertama, bahwa harga saham merupakan refleksi atas informasi harga saham masa lalu, atau dengan kata lain harga saham sekarang dapat diketahui dari
harga saham masa lalu. Hal ini sering disebut dengan efisiensi pasar bentuk lemah. Level kedua, menyatakan bahwa harga saham tidak hanya mencerminkan harga saham sebelumnya, tetapi juga mencerminkan semua informasi yang dipublikasikan. Informasi yang dipublikasikan ini misalnya, informasi dari Bursa Efek Jakarta, Emiten, Laporan Keuangan, maupun dari media-media keuangan lain. Hal ini sering disebut dengan efisiensi pasar bentuk setengah kuat. Jika pasar saham efisien dalam bentuk setengah kuat ini, maka harga saham akan segera disesuaikan segera setelah adanya informasi yang dipublikasikan, misalnya pengumuman laba perusahaan, pengumuman rencana stock split dan reverse stock split, rencana pengeluaran saham baru, dan sebagainya. Dalam pasar yang efisien bentuk setengah kuat, maka tidak ada investor atau grup dari investor yang dapat menggunakan informasi yang dipublikasikan untuk mendapatkan keuntungan tidak normal dalam jangka waktu yang lama. Level yang ketiga, yang dikenal sebagai efisiensi pasar bentuk kuat, menyatakan bahwa harga saham mencerminkan semua informasi yang ada di pasar, baik informasi tersebut dipublikasikan maupun informasi yang tidak dipublikasikan. Bentuk efisiensi pasar tersebut bila ditinjau dari ketersediaan informasinya saja disebut dengan efisiensi pasar secara informasi (informationally efficient market), sedangkan bila ditinjau dari kecanggihan pelaku pasar dalam mengambil keputusan berdasarkan informasi yang tersedia disebut dengan efisiensi pasar secara keputusan (decisionally efficient market).
Dalam pasar efisien, jika harga saham merefleksikan semua informasi yang tersedia, maka perubahan harga saham berarti merefleksikan
adanya suatu
informasi baru. Oleh karena itu, dapat diamati bahwa pentingnya suatu peristiwa (event) atau informasi dapat diteliti dari perubahan harga saham selama periode dimana peristiwa tersebut terjadi. Bodie, et.al. (2002) dalam Achmad Rifai’i dan Rudi Handoko (2005) mengatakan bahwa studi peristiwa (event study) merupakan suatu teknik penelitian keuangan empiris yang memungkinkan peneliti untuk menilai pengaruh suatu peristiwa tertentu terhadap harga saham perusahaan. Studi peristiwa dapat digunakan untuk menguji kandungan informasi (sinyal) dari suatu peristiwa. Kandungan informasi (sinyal) dari suatu peristiwa dapat diketahui dari ada tidaknya abnormal return sebagai reaksi pasar terhadap suatu peristiwa. (Jogiyanto, 2003 dalam Achmad Rifai’i dan Rudi Handoko, 2005). Studi peristiwa memiliki parameter sebagai berikut: event, announcement date, estimation window, investigation window, dan estimation model. Event dalam penelitian ini adalah suatu peristiwa dimana perusahaan mempublikasikan kepada public mengenai informasi rencana perusahaan untuk melakukan kebijakan tertentu. Announcement date merupakan tanggal yang dianggap event pengumuman kebijakan tersebut. Tanggal ini dianggap sebagai t0. Estimation window, atau periode estimasi adalah periode sebelum suatu event terjadi, dimana data diperoleh untuk menentukan variable penelitian. Sedangkan
investigation windows, atau periode investigasi adalah periode yang diteliti sebagai akibat adanya suatu event. Estimation model adalah model statistik yang digunakan untuk memperoleh return wajar (expected return) yang akan digunakan untuk menghitung abnormal return. Penelitian ini berkaitan dengan efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi, karena penelitian ini, berusaha mengetahui apakah peristiwa pengumuman rencana stock split dan reverse stock split
oleh manajemen
memiliki kandungan informasi (sinyal) bagi investor, yang dapat diketahui dengan reaksi pasar (adanya abnormal return) pada periode sekitar pengumuman pemecahan saham tersebut dan seberapa cepat pasar bereaksi terhadap suatu peristiwa tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian digunakan metode studi peristiwa. Berkaitan dengan efisiensi pasar setengah kuat, Suad Husnan (2003) dalam Achmad Rifa’i dan Rudi Handoko (2005) meneliti perilaku harga saham di pasar perdana selama tahun 1990 menyimpulkan bahwa pasar modal di Indonesia belum efisien bentuk setengah kuat. Demikian juga Affandi dan Siddarta (1998) dalam Achmad Rifa’i dan Rudi Handoko (2005), penelitiannya tentang uji efisiensi pasar bentuk setengah kuat terkait dengan informasi pengumuman laba menyimpulkan bahwa pasar modal di Indonesia, khususnya Bursa Efek Jakarta belum efisien bentuk setengah kuat.
C.
Likuiditas Definisi likuiditas menurut Van Horne (1980) dalam Ade Wirman (2002) adalah: Liquidity may be defined as ability to realize value in money the most liquid of assets. Pembatasan yang lebih khusus diberikan oleh Robinson dan Wrightsman (1981) dalam Ade Wirman (2002) kutipan berikut ini: A major dimension of the wealth allocation process is the adjustment of liquidity. Liquidity measures the nearest of a financial asset to cash, which itself is financial assets differing from all others in that only cash is used as medium of change. The liquidity of a given financial asset is gauged by the ability to convert the asset into cash at any time without taking loss. Tanpa membedakan pengertian likuiditas, Tinic dan West (1979) dalam Ade Wirman (2002) memandang likuiditas dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Berikut ini adalah definisi likuiditas yang diberikan oleh mereka: The word liquidity should be reserved for the circumstances that call a definition of marketability plus the absence of price risk. Dari semua definisi yang disampaikan oleh para ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan tentang pengertian likuiditas. Likuiditas adalah tingkat kemampuan suatu aktiva financial berubah menjadi kas atau sebaliknya pada setiap saat diinginkan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya dan dengan resiko kerugian yang paling minimum. Kesimpulan terhadap pengertian likuiditas tersebut jika dikaitkan dengan salah satu variable dalam penelitian ini-likuiditas saham-maka saham merupakan salah satu jenis aktiva financial. Dalam kesimpulan atas definisi likuiditas tersebut
disebutkan bahwa likuiditas aktiva financial adalah sesuatu hal yang amat diinginkan oleh investor. Dengan demikian, definisi likuiditas saham adalah tingkat kemampuan saham untuk dapat diubah menjadi kas atau sebaliknya setiap saat diinginkan dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dengan tingkat resiko yang paling minimum. Likuiditas dapat diukur dengan beberapa variabel yang mempengaruhinya, antara lain execution cost dan volume perdagangan. Execution cost (biaya pelaksanaan) adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengubah suatu sekuritas menjadi kas atau sebaliknya. Ada dua macam execution cost, pertama, biaya komisi broker dan kedua, bid-ask spread dimana spread ini ditentukan oleh dealer. Semakin besar persentase spread-nya, semakin rendah likuiditas dan sebaliknya. (Wang Sutrisno, 2000). Dalam penelitian ini, likuiditas saham diukur dengan volume perdagangan. Semakin tinggi volume perdagangan suatu saham, maka saham tersebut semakin likuid. Volume perdagangan merupakan indikator likuiditas yang relatif banyak dipergunakan. Pengertian dari volume perdagangan sendiri adalah jumlah satuan unit saham yang diperjualbelikan dalam suatu periode tertentu, biasanya harian. Selain karena kesederhanaannya dan kemudahannya untuk dipahami, indikator tersebut lebih mudah didapatkan di pasar modal. Namun kelemahan dari indikator ini adalah tidak bisa digunakannya indikator ini manakala jumlah saham yang beredar di pasar mengalami perubahan. Walaupun demikian, peneliti dan analisis pasar modal biasanya melakukan penyesuaian (adjustment) dengan
membaginya dengan jumlah saham yang beredar. Pendekatan ini menghasilkan indikator yang disebut dengan trading volume activity (TVA). Pendekatan lainnya adalah dengan memilih adjusted volume, yaitu volume yang telah disesuaikan dengan penambahan dan pengurangan saham beredar. Penelitian ini menggunakan trading volume activity (TVA) sebagai indikator likuiditas.
D.
Return Saham Tingkat pengembalian saham (return saham) adalah penghasilan yang diperoleh selama periode investasi per sejumlah dana yang diinvestasikan. Tingkat pengembalian suatu investasi merupakan persentase penghasilan total selama periode investasi dibandingkan harga beli investasi tersebut. (Bodie, 2006). Return saham dalam konteks manajemen investasi merupakan imbalan yang diperoleh dari investasi yang merupakan imbalan atas keberanian investor menanggung resiko atas investasi yang dilakukan. Pada prinsipnya return saham dapat dibedakan menjadi dua, yaitu return realisasi dan return ekspektasi. Return realisasi (realization return) merupakan return yang telah terjadi. Return realisasi dihitung berdasarkan data histories. Return realisasi penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja perusahaan. Return histories ini juga berguna sebagai dasar penentuan tingkat keuntungan yang diharapkan (expected return) dan resiko di masa datang.
Return ekspektasi (expected return) adalah return yang diharapkan akan diperoleh oleh investor di masa mendatang. Berbeda dengan return realisasi yang sifatnya sudah terjadi, sedangkan return ekspektasi sifatnya belum terjadi. Penelitian ini menyelidiki apakah terdapat return yang tidak normal yang dapat diterima oleh investor sebagai akibat dari adanya informasi stock split dan reverse stock split sebagai bukti bahwa stock split dan reverse stock split sebagai pembawa sinyal. Return tidak normal (abnormal return) adalah selisih return yang lebih atau kurang dari nilai yang seharusnya. Atau dengan kata lain abnormal return dihitung dengan selisih tingkat return sesungguhnya dengan return ekspektasi. (Suad Husnan, 2005:269).
E.
Stock Split Kebijakan manajemen dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yaitu kebijakan investasi, kebijakan pembiayaan, dan kebijakan deviden (Van Horne, 1995 dalam Achmad Rifa’i dan Rudi Handoko, 2005). Stock split merupakan salah satu kebijakan deviden perusahaan. Stock split
memiliki
pengaruh yang sama dengan deviden saham. Satu-satunya perbedaan antara deviden saham dan pemecahan saham
berhubungan dengan perlakuan
akutansinya (Keown, et.al. 1996 dalam Achmad Rifa’i dan Rudi Handoko, 2005). Dengan kata lain, tidak ada bedanya dalam hal ekonomi antara deviden saham dan pemecahan saham. Keduanya merupakan distribusi yang proposional dari saham tambahan kepada pemegang saham sekarang. Tapi, untuk tujuan akuntansi, pemecahan saham didefinisikan sebagai deviden saham yang melebihi 25%.
Menurut Baridwan (1993) dalam Ade Wirman (2002) definisi stock split adalah sebagai berikut: Stock split adalah suatu kebijakan yang ditempuh oleh manajemen perusahaan dengan cara menarik kembali saham yang beredar dan ditukar dengan saham yang nilai nominalnya lebih kecil atau menarik kembali saham yang beredar dan ditukar dengan saham yang nilai nominalnya lebih besar. Menurut Hilman (1989) dalam Ade Wirman (2002) mendefinisikan stock split up adalah: A corporation may wish to reduce the par value of its stock or to reduce the price at which the stock is being sold where by the number of shares outstanding are increased and the par of stated value per share is usually reduced. The total capitalized value of the outstanding shares remains the same and there is no change in retained earnings. Namun demikian, Kieso mempunyai pandangan yang lebih sempit dibandingkan pandangan yang telah disampaikan oleh para ahli sebelumnya. Menurut Kieso (1989) dalam Ade Wirman (2002) stock split adalah: A stock split is employed when the management of corporation thinks that the market price of his stock is too high. The market price of his stock must be sufficiently low to be within range of the majority of potential investors. So, the lower the market price of a stock the more readily it can be purchased by most people. Because the management believes that for
better public relations, wider ownership of the corporation stock is desirable. Dari semua pandangan dan pernyataan yang disampaikan oleh para ahli tentang stock split, maka dapat disimpulkan definisi stock split adalah: 1. Stock split adalah suatu kebijakan untuk memecah saham atau melakukan perubahan atas nilai nominal saham yang beredar-yang ditempuh oleh manajemen perusahaan-dalam rangka mengurangi harga pasar saham yang beredar sehingga saham perusahaan dapat dimiliki oleh banyak investor (kecil) lainnya. 2. Stock split-pada umumnya atau biasanya-berarti perubahan nilai nominal saham menjadi nilai nominal saham yang lebih kecil. 3. Stock split adalah kebijakan untuk memecah saham perusahaan yang tidak mengakibatkan adanya perubahan pada nilai total modal saham dan nilai laba ditahan perusahaan. Untuk dapat memahami lebih dalam mengenai stock split, berikut disajikan contoh dari stock split. Asumsikan bahwa Chen Industries memiliki total ekuitas pemegang saham seperti yang diperlihatkan dalam sisi kiri di tabel 2.1. Chen Industries kemudian melakukan stock split 2 untuk 1 sehingga jumlah saham yang beredar menjadi dua kali lipat. Total akun ekuitas pemegang saham digambarkan pada sisi kanan di tabel 2.1.
Tabel 2.1 Stock Split 2 untuk 1 di Chen Industries Sebelum Sesudah Saham biasa Saham biasa (nilai nominal $5; (nilai nominal $2,5; 400.000 lembar $2.000.000 800.000 lembar $2.000.000 Tambahan modal disetor $1.000.000 Tambahan modal disetor $1.000.000 Laba ditahan $7.000.000 Laba ditahan $7.000.000 Ekuitas total pemegang Ekuitas total pemegang $10.000.000 $10.000.000 saham saham Sumber : James C. Van Horne dan John Wachowich, Jr., 2007:290
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa stock split tidak merubah akun saham biasa, modal disetor, laba ditahan dan tentu saja ekuitas total pemegang saham. Satu-satunya perubahan dalam nilai nominal saham biasa, yang berdasarkan per lembarnya, kini setengah dari yang sebelumnya. Stock split merupakan kebijakan yang ditempuh oleh manajemen perusahaan dalam rangka memanfaatkan psikologis pemodal sehingga upaya meningkatkan likuiditas saham dapat direalisasikan. Hal ini dikarenakan stock split semata-mata hanya penambahan jumlah saham beredar, dengan mengalikan jumlah saham yang dipegang investor dengan rasio stock split. Tindakan stock split akan menimbulkan efek fatamorgana bagi investor, yaitu investor akan merasa seolaholah menjadi lebih makmur karena memegang saham dalam jumlah yang lebih banyak. Hasil penjelasan tersebut, bahwa stock split menyebabkan meningkatnya jumlah saham yang beredar dan membuat harga lebih rendah sehingga terjangkau oleh lebih banyak pemodal. Akibatnya permintaan akan saham cendrung naik dan saham akan lebih aktif diperdagangkan di lantai di bursa. Oleh sebab itu besar
kemugkinan harga saham tersebut akan naik. Dan pada akhirnya akan mempengaruhi bauran pemegang saham karena pemilik individual akan semakin banyak dan pemilik institusional akan menurun. Perusahaan emiten jarang mempertahankan dividen tunai yang sama per lembarnya sebelum dan sesudah stock split. Akan tetapi perusahaan mungkin akan menaikan dividen efektif bagi para pemegang saham. Contohnya, perusahaan mungkin memecah saham biasanya 2 untuk 1 dan membuat tarif dividen tahunan sebesar $1,20 per lembar sementara sebelumnya tarif tersebut adalah $2 per lembar. Seorang pemegang saham yang memiliki 100 lembar saham sebelum stock split akan menerima $200 dividen tunai per lembar tahun. Sesudah stock split, pemegang saham tersebut akan memiliki 200 lembar saham dan akan menerima dividen sebesar $240 per tahun. Hal inilah yang membuat pasar menginterpretasikan bahwa pengumuman stock split sebagai suatu sinyal yang baik mengenai akan adanya kenaikan deviden tunai. (Van Horne dan Wachowicz, 2002:510). Selain itu, jika investor berkeinginan menjual beberapa lembar saham untuk mendapat penghasilan, stock split akan membuatnya lebih mudah melakukan hal tersebut. Tanpa stock split, pemegang saham juga dapat menjual beberapa lembar saham yang awalnya mereka miliki untuk mendapatkan penghasilan. Dalam situasi yang mana pun, penjualan saham mewakili penjualan pokok sekuritas (principal) dan dikenai pajak atas keuntungan modal. Mungkin saja investor tertentu tidak memandang penjualan saham tambahan yang merupakan hasil dari stock split sebagai penjualan pokok. Bagi mereka, stock split merupakan
keuntungan tidak rutin. Mereka dapat menjual saham tambahan dan tetap mempertahankan kepemilikan awalnya. Stock split dapat memiliki pengaruh yang menguntungkan terhadap para pemegang saham ini. (Van Horne dan Wachowich, 2007:292). Stock split merupakan sinyal positif yang diberikan oleh manajer perusahaan kepada pasar mengenai kinerja dan prospek yang bagus di masa depan dari perusahaan yang melakukan aktivitas tersebut. Penelitian mengenai hal ini telah dilakukan oleh Grinblatt, et.al. (1984) dalam Ahmad Rifa’i dan Rudi Hanoko (2005) yang menemukan bahwa efek atas informasi pemecahan saham pada perusahaan yang tercatat tidak membayarkan dividen tunai lebih tinggi daripada perusahaan yang tercatat melakukan pembayaran dividen tunai sebelumnya, dengan return yang signifikan secara statistik sekitar 3.44%. Berdasarkan penelitian ini, Grinblatt, Masulis, dan Tiltman menginterpretasikan bahwa pengumuman pemecahan saham sebagai suatu sinyal yang baik mengenai cash flow perusahaan di masa depan. Hanya perusahaan yang mempunyai kinerja yang bagus saja yang bisa melakukan stock split, karena untuk melakukan aktivitas tersebut, perusahaan harus menanggung biaya-biaya yang diakibatkan oleh aktivitas pemecahan saham. Menurut Mc Gough dalam Endah Lestari (2006) satu kerugian dilakukannya pemecahan saham bagi perusahaan adalah adanya biaya pemecahan yang termasuk didalamnya biaya transfer agen untuk proses sertifikat dan biaya lainnya, sedangkan bagi pemegang saham tidak ada kerugiannya. Biaya broker
setelah stock split menimbulkan bertambahnya biaya yang dikeluarkan perusahaan akibat stock split. Penjelasan bahwa stock split dapat memberikan sinyal informatif mengenai prospek perusahaan yang menguntungkan, menurut Brennan dan Copeland (1988) dalam Wang Sutrisno (2000), adalah bahwa aktivitas split memberikan sinyal yang mahal terhadap informasi manager karena biaya perdagangan tergantung pada besarnya harga saham dimana kedua variable tersebut memiliki hubungan yang negative. Apabila aktivitas split dapat meningkatkan biaya likuiditas kepada investor, maka split menunjukkan sinyal yang valid. Hal ini didukung oleh Brennan dan Hughes (1986) dalam Wang Sutrisno (2000). Menurut mereka semakin tinggi tingkat komisi saham dengan semakin rendahnya harga saham menimbulkan bertambahnya biaya
yang harus
dikeluarkan perusahaan akibat split. Tingkat komisi saham yang semakin tinggi merupakan daya tarik bagi broker untuk melakukan analisis setepat mungkin agar harga saham berada pada tingkat perdagangan yang optimal serta mampu memberikan informasi yang menguntungkan bagi perusahaan dan investor.
F.
Reverse Stock Split Reverse split merupakan kebalikan dari stock split. Reverse stock split adalah salah satu aktivitas perusahaan emiten untuk menaikan harga sahamnya dan mengurangi jumlah saham yang beredar. (Martell dan Webb, 2005). Untuk mempermudah dalam memahami reverse stock split, berikut akan disajikan sebuah contoh. Asumsikan bahwa Chen Industries memiliki total ekuitas
pemegang saham seperti yang diperlihatkan dalam sisi kiri di tabel 2.2. Chen Industries kemudian melakukan reverse stock split 1 untuk 4, untuk tiap empat lembar saham yang dimiliki pemegang saham akan menghasilkan satu saham baru sebagai gantinya. Total akun ekuitas pemegang saham digambarkan pada sisi kanan di Tabel 2.2. Tabel 2.2 Reverse Stock Split 1 untuk 4 di Chen Industries Sebelum Sesudah Saham biasa Saham biasa (nilai nominal $5; (nilai nominal $20; 400.000 lembar $2.000.000 100.000 lembar $2.000.000 Tambahan modal disetor $1.000.000 Tambahan modal disetor $1.000.000 Laba ditahan $7.000.000 Laba ditahan $7.000.000 Ekuitas total pemegang Ekuitas total pemegang $10.000.000 $10.000.000 saham saham Sumber : James C. Van Horne dan John Wachowich, Jr., 2007:296
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa seperti stock split, reverse stock split juga tidak merubah akun saham biasa, modal disetor, laba ditahan dan tentu saja ekuitas total pemegang saham. Satu-satunya perubahan dalam nilai nominal saham biasa, yang berdasarkan per lembarnya, kini menjadi empat kali lipatnya. Dalam beberapa kasus, reverse stock split adalah upaya untuk tetap dapat tercatat di bursa efek besar karena harga saham mungkin dapat saja jatuh terlalu rendah hingga akan dikeluarkan dari pencatatan. Di Amerika Serikat, reverse stock split merupakan langkah penyelamatan yang dilakukan perusahaan emiten agar bisa memenuhi persyaratan marginability untuk tetap menjaga status listing di perdagangan pasar modal. Peraturan ini sudah diperkenalkan sejak tahun 1991 di Nasdaq. Hal ini dilakukan dengan
menetapkan harga jual saham minimum sebesar $1.00 pada pasar modal nasional maupun pasar Small Cap. (Terence F. Martell dan Gwendollyn P. Webb, 2005). Sebagian investor tidak akan membeli saham dengan harga kurang dari $5.00, bahkan beberapa investor institusi menghindari saham dengan harga kurang dari $10.00. Bagi investor reverse stock split menggambarkan ketidakpercayaan diri perusahaan emiten bahwa harga sahamnya akan naik dengan sendirinya tanpa usaha apapun dari perusahaan emiten. Pasar modal India juga memiliki peraturan harga jual saham minimum yang diperlukan untuk menghindari delisting. Secondary Market Advosory Commite (SMAC) mengeluarkan peraturan No.SMDRP/Policy/Cir-16,99 dated June 14 1999 yang menyatakan “No listed company whose market price in the previous sixs months is less than Rs.500 per share can split the value of its equity share”. (Satyajid Dhar dan Sweta Chhaochharia, 2008). Pasar modal Indonesia, tidak terdapat harga jual saham minimum yang harus dipenuhi untuk menghindari delisting. Keputusan Direksi PT. Bursa Efek Indonesia nomor Kep-308/BEJ/07.2004 mengenai delisting dan relisting memuat gambaran kondisi emiten yang akan mengalami delisting oleh bursa, yaitu emiten yang salah satunya ”mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat baik secara finansial atau secara hukum”. (PT. BEI, Peraturan BEI, 2004). Namun, reverse stock split bukan hanya dilakukan untuk menjaga agar tetap tercatat pada bursa efek. Lihuang Jing (2002) dalam penelitiannya menyatakan
tiga alasan utama perusahaan emiten melakukan reverse stock split adalah sebagai berikut: 1. Reverse stock split akan mengurangi biaya transaksi, jumlah lembar saham yang berkurang akan menyebabkan biaya transaksi juga berkurang. 2. Reverse stock split akan memperbaiki fleksibilitas harga saham baru (new issue) ketika dibutuhkan. Perusahaan emiten yang melakukan reverse stock split akan mengurangi nilai nominal sahamnya, sehingga ketika perusahaan tersebut akan menerbitkan saham baru perusahaan tersebut tidak perlu menetapkan nilai nominal dengan diskon untuk saham barunya. 3. Reverse stock split akan meningkatkan investor institusional dan internasional. Perusahaan yakin bahwa dengan melakukan penggabungan saham akan meningkatkan profil perusahaan di mata investor institusional. Walaupun tujuan perusahaan emiten melakukan reverse stock split bukan hanya untuk misi penyelamatan agar terhindar dari delisting, persepsi pasar akan hal ini adalah bahwa perusahaan emiten yang melakukan reverse stock split adalah perusahaan emiten dengan performance yang buruk. Hal ini memiliki efek negatif pada harga saham, terutama selama hari-hari menjelang pengumuman reverse stock split. Hasilnya, sering terdapat abnornmal return yang negatif menjelang pengumuman reverse stock split.
G.
Motivasi Terkait: Stock Split dan Reverse Stock Split 1. Optimal price range hipotesis Optimal price range merupakan rentang harga yang dirasa tepat bagi saham untuk diperdagangkan oleh investor. Disini, saham diperdagangkan secara aktif dan memberikan total market value yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan saham yang tidak di-split. Tingkat harga optimal biasanya dibagi berdasarkan industri dan karakteristik pemegang sahamnya. (Melinda Safitri, 2006). Bagi saham yang berada pada level yang terlalu tinggi diatas rentang harga ini, sahamnya akan sulit untuk dimiliki oleh investor dengan resource terbatas, misalnya investor individual. Karakteristik kepemilikannya menjadi tidak luas dan tidak mencakup jenis investor ini. Seringkali, sahamnya juga menjadi tidak aktif dan transaksinya kurang frekuentif sehingga pemegang saham menjadi sulit untuk mencari calon pembeli dan memperoleh capital gain. Emiten yang berada pada kondisi demikian biasanya melaksanakan stock split. Emiten mengharapkan efek dari pelaksanaan stock split dapat memberikan kesempatan kepada investor kecil untuk memiliki atau memperdagangkan saham secara lebih frekuentif. Disini total market value saham diharapkan akan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan tidak dilaksanakannya stock split. Hipotesis ini memprediksi bahwa kecilnya jumlah investasi yang dibutuhkan untuk membeli sejumlah lot saham akan menaikan jumlah
pemegang saham individu. Pemegang saham institusi tidak terhambat oleh jumlah investasi yang besar dan oleh sebab itulah tidak terpengaruh oleh pelaksanaan stock split. (Melinda Safitri, 2006). Saham yang berada pada level yang jauh di bawah rentang harga optimal dapat juga melaksanakan reverse stock split untuk mencapai harga yang diinginkan. Pada level yang terlalu rendah, harga saham cendrung mengindikasikan rendahnya kualitas (konotasi negative terhadap saham yang diperdagangkan pada tingkat harga sangat rendah atau peny stock). Hal ini menyebabkan banyaknya investor institusi yang hanya melakukan pembelian yang dapat dijustifikasi menjauhi saham-saham demikian. (Lakonishok, et.al. 1992 dalam Melinda Safitri, 2006). Peny stock dikatakan merupakan saham yang tidak berkualitas karena perusahaan dengan harga saham rendah seringkali diasosiasikan dengan manipulasi, penipuan, dan rendahnya kualitas. Emiten menjadi tidak mampu untuk menunjukkan potensinya karena rendahnya kepercayaan pasar. Pada saat inilah emiten menganggap perlu untuk menaikan harga sahamnya dengan melakukan reverse stock split. Saham yang harganya telah naik ini diharapkan dapat meningkatkan kredibilitasnya sebagai perusahaan yang berkualitas. Dengan demikian, kesan bahwa harga saham terlalu murah dapat dihindari dan kepercayaan investor kepada
saham
diharapkan
akan
diperdagangkan dengan lebih aktif.
meningkat
sehingga
saham
dapat
2. Liqidity Hipotesis Hipotesis ini disebutkan oleh Copeland (1979) dan dijadikan salah satu alasan pelaksanaan split yang disebutkan oleh Van Horne (2002) dalam Melinda
Safitri (2006).
menginginkan
sahamnya
Likuiditas dapat
menjadi
penting
diperdagangkan
karena
dengan
emiten
mudah
dan
menghindari sahamnya menjadi saham tidur. Saham tidur dekat dengan ancaman delisted. Hipotesis likuiditas erat kaitannya dengan keberadaan optimal price range. Pada rentang harga ini, baik stock split maupun reverse stock split menghendaki adanya perdagangan yang lebih aktif menuju likuiditas yang lebih tinggi. Namun bukti-bukti empiris yang menunjukkan pengaruh stock split dan reverse stock split terhadap likuiditas perdagangan saham sendiri cendrung tidak konsisten dengan hipotesis. Stock split diharapkan mampu meningkatkan likuiditas perdagangan dengan cara memperluas cakupan karakteristik investornya ke investorinvestor kecil. Namun hal ini bergantung kepada proporsi kepemilikan sebelum dilaksanakannya stock split sebagaimana dibuktikan oleh Najmudin (2002) dalam Melinda Safitri (2006). Perusahaan dengan proporsi kepemilikan institusi yang rendah sebelum split mengalami kenaikan likuiditas. Lain halnya dengan perusahaan yang proporsi kepemilikan institusinya sebelum stock split adalah tinggi, likuiditas perdagangan saham tidak mengalami kenaikan.
Berdasarkan penelitian, dampak dari dilaksanakannya stock split seringkali menunjukkan bukti-bukti empiris akan menurunnya likuiditas perdagangan. Penurunan ini berkaitan dengan hubungan antara transaction cost dengan harga. Semakin rendah harga, maka transaction cost (dalam persen harga saham) akan semakin tinggi (berbanding terbalik). (Melinda Safitri, 2006). Dilaksanakannya reverse stock split membawa saham kepada harga yang lebih tinggi. Pada rentang ini, saham dapat menunjukkan kualitasnya sehingga dapat terdeteksi dan bisa mendapatkan kepercayaan dari investor. Pada akhirnya, saham akan menjadi lebih likuid. Likuiditas juga dikatakan akan meningkat setelah reverse stock split dengan alasan lain selain diatas. Hipotesis bahwa harga saham berbanding terbalik dengan transaction cost membuat saham yang berada pada harga yang lebih tinggi mengalami penurunan transaction cost (dalam persen harga saham) sehingga saham lebih banyak diperdagangkan. 3.
Signaling hipotesis Split dikatakan memiliki muatan informasi dimana arus informasi pada pasar tidak selalu simetris. Pihak manajemen dianggap memiliki informasi yang lebih dalam dan menyeluruh atas segala tindakan perusahaan dan investor sebagai pihak luar hanya akan menerima sebagian informasi saja. Dilaksanakannya split, baik stock split maupun reverse stock split, akan membawa sinyal-sinyal yang mempengaruhi persepsi investor dalam mengambil keputusan. Hal ini disebutkan oleh Van Horne (2002) sebagai informational atau signaling effect. (Melinda Safitri, 2006).
Stock split membawa sinyal bahwa perusahaan akan mengalami future earnings yang signifikan dimasa mendatang. Hal ini seringkali menjadi persepsi investor karena sebagian besar perusahaan yang melakukan stock split adalah perusahaan yang di tahun-tahun sebelumnya mengalami kenaikan earnings secara terus-menerus yang secara relative berada diatas industrinya. Selain itu, apabila perusahaan telah memutuskan untuk melaksanakan stock split yang menurunkan harga saham, berarti perusahaan sendiri memiliki kepercayaan bahwa harga sahamnya akan mengalami kenaikan dimasa mendatang. (Endah Lestari, 2006). Investor juga memiliki persepsi bahwa perusahaan akan membagikan cash dividend setelah dilaksanakannya stock split. Persepsi ini terjadi karena pada prakteknya perusahaan kadang melakukan stock split yang diikuti oleh pembagian deviden tunai. (Van Horne dan Wachowicz, 2002:510). Disini stock split berlaku sebagai sinyal positif dari prospek masa depan sebuah perusahaan. Sinyal baik ini direspon oleh investor sehingga mempengaruhi saham secara positif sehingga terjadi kenaikan harga saham yang signifikan. Kenaikan harga (pasar) ini seringkali tidak proporsional dengan proporsi split, sehingga para pemegang saham akan memiliki total value yang lebih tinggi. Emiten yang melakukan stock split, mengharapkan sinyal positif ini tersampaikan kepada investor yang akan bertindak sesuai dengan persepsinya. Sinyal yang ingin ditunjukkan oleh emiten yang melakukan reverse stock split adalah sinyal positif yang menandakan bahwa sahamnya memiliki
kualitas yang lebih dari harga yang ditunjukannya. Harga yang rendah dengan mudah diasosiasikan dengan rendahnya kualitas, dengan melakukan reverse stock split, emiten ingin menghindari persepsi tersebut dan menunjukkan kinerja dan prospeknya. Di luar itu, perusahaan kadang menggunakan reverse stock split sebagai alat untuk menarik perhatian pasar. (Melinda Safitri, 2006). Namun sinyal yang tersampaikan adalah sinyal negatif berupa persepsi investor
akan
future
earnings
dan
kemampuan
perusahaan
untuk
meningkatkan harga sahamnya di masa mendatang. Apabila perusahaan memutuskan untuk melaksanakan reverse stock split, perusahaan dianggap tidak optimis dalam menilai kinerjanya di masa mendatang. Perusahaan dianggap tidak mampu untuk menaikan harga sahamnya dengan cara menunjukan kinerja. Hasil dari persepsi ini diterapkan dalam reaksi investor yang secara empiris telah dibuktikan menyebabkan terjadinya abnormal return yang negatif, terutama disekitar hari pengumuman. (Van Horne dan Wachowicz, 2007:296). Reverse stock split membawa sinyal negatif lainnya bagi investor. Reverse stock split seringkali dilaksanakan oleh emiten yang selama tahun-tahun sebelumnya mengalami kinerja earnings yang tidak baik sehingga mendorong harga sahamnya ke bawah. Kinerja finansial yang buruk ini kemudian dihubungkan dengan semua kejadian reverse stock split sehingga emiten yang melakukannya dianggap mengalami kesulitan finansial.
H.
Hipotesis Berdasarkan analisis dan penelitian terdahulu, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Hipotesis pertama berkaitan dengan likuiditas saham. Indikator yang digunakan untuk membandingkan likuiditas sebelum dan sesudah stock split dan reverse stock split adalah trading volume activity. Hipotesis pertama adalah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap likuiditas saham pada perusahaan sebelum dan sesudah melakukan stock split dan reverse stock split. Hipotesis ini diteliti apakah rata-rata likuiditas sama dengan nol atau tidak. Sehingga dapat dirumuskan dengan: Ho : µ2 – µ1 = 0 Ha : µ2 – µ1 ≠ 0 µ1 dan µ2 adalah likuiditas saham sebelum dan sesudah pengumuman stock split dan reverse stock split. 2. Hipotesis kedua adalah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap Abnormal Return sebelum dan sesudah melakukan stock split dan reverse stock split yang dirumuskan dengan: Ho : ARij = 0 Ha : ARij ≠ 0
I.
Penelitian Sebelumnya Seperti yang telah dijabarkan diatas, terdapat tiga hipotesis utama yang mendasari emiten dalam melakukan stock split dan reverse stock split, antara lain optimal price range hipotesis, liquidity hipotesis, dan signaling hipotesis. Optimal price range hipotesis menyatakan bahwa emiten melakukan stock split atau reverse stock split didorong oleh perilaku praktisi pasar yang konsisten dengan anggapan bahwa dengan melakukan stock split atau reverse stock split dapat menjaga harga saham tetap berada pada tingkat yang optimal sehingga dapat diperdagangkan dengan aktif yang ditandai oleh adanya peningkatan likuiditas. Likuidity hipotesis berhubungan erat dengan optimal price range. Pada rentang harga ini, baik stock split maupun reverse stock split menghendaki adanya perdagangan yang lebih aktif menuju likuiditas yang lebih tinggi. Signaling hipotesis, menyatakan bahwa stock split memberikan sinyal yang positif karena manajer perusahaan akan memformulasikan prospek masa depan yang baik dari perusahaan kepada publik.
Hal ini ditandai dengan adanya
abnormal return yang positif. Lain halnya dengan reverse stock split yang dinilai membawa sinyal negative akan adanya future earnings dan kinerja perusahaan yang buruk, sehingga terdapat abnormal return yang negative di sekitar pengumuman reverse stock split. Terdapat beberapa penelitian yang mendukung dan tidak mendukung hipotesis-hipotesis tersebut. Salah satu penelitian yang tidak mendukung hipotesis-hipotesis tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Wang Sutrisno (2000) pada periode Juli 1995-Juli 1997, menghasilkan bahwa aktivitas split
mempuyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap likuiditas saham ditandai dengan semakin besarnya persentase spread secara keseluruhan baik ditinjau secara individual maupun sebagai sebuah portofolio. Namun, split tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap varians saham dan abnormal return baik ditinjau secara individual maupun sebagai sebuah portfolio. Penelitian Ade Wirman (2002) juga menghasilkan hasil yang tidak sesuai dengan optimal price range dan liquidity hipotesis pada stock split. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stock split mempunyai pengaruh terhadap likuiditas saham di pasar modal. Namun, stock split bukan alternative yang tepat dalam meningkatkan likuiditas saham perusahaan. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa sebagian besar perusahaan yang melakukan stock split, likuiditas saham perusahaan justru menurun jika dibandingkan antara sebelum stock split. Penelitian Julita (2002) mendukung kebenaran dari signaling hipotesis. Penelitian ini menyelidiki apakah terdapat perubahan pada return saham dan laba perusahaan setelah pengumuman stock split. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stock split tetap direspon secara positif oleh pasar. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan laba yang diproksikan dengan Earning Per Share (EPS) dan abnormal return yang positif. Penelitian Zidny Rahmawati (2005) mendukung adanya optimal price range dan liquidity hipotesis pada stock split, namun tidak signaling hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan pada tahun 2003, stock split ternyata tidak cukup efektif untuk meningkatkan return saham, meskipun volume perdagangan saham mengalami peningkatan sesudah stock split, sehingga perlu bagi perusahaan untuk
tetap membagikan deviden agar investor tidak beralih pada saham perusahaan lain yang lebih menguntungkan. Penelitian serupa dilakukan oeh Achmad Rifa’i dan Rudi Handoko (2005) yang meneliti tentang pengaruh stock split terhadap tingkat return: studi mengenai pasar bentuk setengah kuat di BEJ yang menyimpulkan bahwa pengaruh informasi stock split terhadap return saham lebih kuat terjadi pada perusahaan yang tercatat tidak membayarkan deviden tunai daripada perusahaan yang melakukan pembayaran deviden sebelumnya. Hal ini ditandai dengan abnormal return positif disekitar pengumuman pada perusahaan yang tercatat tidak membayarkan deviden tunai sangat signifikan pada tingkat 1%. Sedangkan pada perusahaan yang melakukan pembayaran deviden sebelumnya abnormal return positif disekitar pengumuman signifikan pada tingkat 10%. Berarti hasil tersebut sesuai dengan signaling hipotesis yang menyatakan adanya abnormal return yang positif akibat pengumuman stock split. Penelitian yang menyelidiki stock split dan reverse stock split secara bersama pada bursa efek Indonesia adalah penelitian Melinda Savitri dan Dwi Martani (2006). Penelitian ini menyelidiki pengaruh dari stock split dan reverse split terhadap return saham dan volume perdagangan pada Bursa Efek Jakarta selama 2001-2005. Penelitian ini menganalisis abnormal return dan volume perdagangan selama periode pengamatan dan hubungan return saham dengan profitability, laverage, dan volume perdagangan. Penelitian ini menemukan adanya abnormal return positif dan signifikan pada tanggal pengumuman dan lima hari sebelumnya dengan α = 10% pada sampel stock split. Untuk sampel reverse stock split,
terdapat abnormal return negatif
dan signifikan pada tanggal pengumuman
dengan α = 5%. Tiga hari sebelum tanggal pengumuman juga ditemukan abnormal return negatif dan signifikan. Selain itu, ditemukan perbedaan yang signifikan pada volume perdagangan sebelum dengan sesudah stock split dan reverse split. Volume perdagangan dan profitability yang diwakili oleh Return On Assets (ROA) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap return saham tetapi Debt to Equity Ratio (DER) tidak. Penelitian reverse stock split pada bursa efek luar negeri dilakukan oleh Lihua Jing (2002). Penelitian ini bertujuan untuk melihat reaksi pasar karena adanya reverse split pada bursa efek Hongkong selama 1991-2001. Lihua Jing menemukan bahwa terdapat abnormal return negatif sebesar -1,86% pada hari sebelum pengumuman reverse stock split pada perusahaan kecil di Hongkong. Hal ini mengidentifikasikan adanya kebocoran informasi sebelum pengumuman saham. Jumlah CAR selama periode sebelum dan sesudah reverse stock split adalah -14,97%. Penelitian ini juga menyelidiki perubahan volume perdagangan akibat reverse stock split. Pada penelitian ini ditemukan bahwa volume perdagangan meningkat signifikan akibat reverse stock split. Hasil ini menunjukkan bahwa reverse split dapat meningkatkan likuiditas saham. Hal ini sesuai dengan optimal price range dan liquidity hipotesis yang mendasari dilakukannya reverse stock split. Penelitian pada bursa efek Canada dilakukan oleh Vijay Jong dan Peng Cheng Zhu (2004). Penelitian ini menganalisis pengaruh dari stock split, reverse split dan stock deviden pada Bursa Efek Canada selam 30 tahun. Penelitian ini
difokuskan pada periode 60 bulan sebelum dan 60 bulan sesudah “bulan event” terjadinya stock split, reverse split dan stock deviden dan menyelidiki perubahan pada return saham, Earning Per Share (EPS), beta, volume perdagangan, jumlah transaksi dan P/E ratio akibat event-event tersebut. Dengan menggunakan analisis jangka panjang, penelitian ini menunjukkan bahwa stock split terjadi pada saat pasar dalam keadaan ”bull” dimana terjadi kenaikan harga dengan adanya abnormal return. Abnormal return yang tertinggi terjadi selama periode sebelum split. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stock split membawa saham pada optimal piece range dimana terjadi peningkatan signifikan pada volume perdagangan dan jumlah transaksi dalam periode split. Selanjutnya penelitian ini menemukan adanya peningkatan permanen pada EPS selama periode split dan volume per transaksi menurun yang disebabkan adanya peningkatan jumlah pemegang saham individual. Sebagai tambahan, perubahan
permanen juga
ditemukan pada P/E rasio dalam kedua periode. Penelitian yang dilakukan oleh
Satyajit Dhar dan Sweta Chhachharia
(2008) pada bursa efek India juga membuktikan adanya abnormal return yang positif disekitar pengumuman
stock split. Penelitian ini menguji pengaruh
pengumuman stock split dan bonus issue pada pasar saham India selama periode April 2000 sampai dengan Maret 2007. Metodologi yang digunakan adalah studi peristiwa dengan 81 hari periode window. Penelitian ini menemukan Avarege Abnormal Return (ARR) positif sebesar 1,8% akibat bonus issue dimana dinilai cukup tinggi dan signifikan dengan tingkat 0,01%. Sedangkan stock split
mengakibatkan ARR positif sebesar 0,8% dan sangat signifikan dengan tingkat 0,01%. Hasil ini sesuai dengan ekspiektasi bahwa pasar saham India efisien setengah kuat serta mendukung hipotesis signaling teori.
J.
Kerangka Pemikiran Penelitian ini dimulai dengan pemilihan sampel perusahaan. Penelitian ini menyelidiki apakah terdapat peningkatan pada likuiditas saham setelah stock split dan reverse stock split yang mendukung optimal price range dan liquidity hipotesis yang mendasarinya. Indikator likuiditas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan trading volume activity (TVA). Setelah melakukan uji normalitas data, jika distribusi data normal kemudian melakukan uji t (one-tailed) agregat sampel berpasangan antara hari sebelum pelaksanaan split dengan hari pelaksanaannya. Hasil uji normalitas data menunjukkan data tidak berdistribusi normal, maka digunakan metode non-parametrik dengan menggunakan uji tanda (sign test). Untuk membuktikan bahwa stock split dan reverse stock split membawa sinyal bagi investor yang sesuai dengan signaling hipotesis yang mendasarinya, dilihat dengan adanya Abnormal Return disekitar pengumuman stock split dan reverse stock split. Metode yang digunakan dalam menentukan expected return adalah ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Avarage Model). Kemudian dihitung AR dan diuji dengan uji t (two-tailed).
Setiap prosedur yang dijabarkan diatas akan dilakukan dua kali, satu kali pada sampel emiten yang melakukan stock split dan satu kali pada sampel emiten yang melakukan reverse stock split. Langkah-langkah dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam sebuah flow chart penelitian pada Gambar 2.1 untuk analisis likuiditas dan Gambar 2.2 untuk analisis return saham.
Pemilihan Sampel Perusahaan
Sebelum dan Sesudah Reverse Stock Split
Sebelum dan Sesudah Stock Split
Trading Volume Activity
Uji Normalitas data
Tidak normal
Normal
Sign test
Paired t-test
Iterpretasi
Gambar 2.1 Flowchart Analisis Likuiditas
Pemilihan Sampel Perusahaan
Return Saham
Uji unit root
Tidak Stasioner
Differencing 1
Stasioner Stasioner
Tidak Stasioner
Differencing 2 dst.
Stasioner
Expected Return dengan Model ARIMA
Abnormal Return (AR)
Uji t (two-tailed)
Interpretasi
Gambar 2.2 Flowchart Analisis Return Saham
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.
Ruang Lingkup Penelitian Pelaksanaan stock split dan reverse stock split dikaitkan dengan beberapa hipotesis yang mendasarinya, yaitu optimal price range hipotesis, likuidity hipotesis, dan signaling hipotesis. Hipotesis ini kemudian didukung oleh beberapa penelitian yang meneliti perilaku abnormal return dan likuiditas. Semua ini mengambil periode penelitian disekitar pengumuman atau pelaksanaan stock split dan reverse stock split. Penelitian ini juga akan meneliti signifikansi abnormal return disekitar hari pengumuman stock split dan reverse stock split; serta perilaku likuiditas pada masa sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan reverse stock split sebagai reaksi pasar atas adanya kebijakan stock split dan reverse stock split yang dilakukan oleh emiten telah sesuai dengan motivasi yang mendasari kebijakan tersebut. Periode penelitian dimulai dari Januari 2004 sampai dengan Desember 2008. Tahun 2004 dijadikan tahun dasar dalam penelitian karena pada tahun tersebut terjadi kenaikan yang cukup signifikan pada emiten yang melakukan stock split dan reverse stock split. Selain itu, pada tahun 2004, bursa efek Indonesia sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat.
B.
Metode Penentuan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang mempublikasi kepada publik melalui pelaporan ke Bapepam dan Bursa Efek Indonesia mengenai rencana stock split dan reverse stock split. Metode pengambilan sampel merupakan nonprobability sampling yaitu tipe purposive sampling dimana pengambilan data sampel penelitian dipilih berdasarkan criteria sebagai berikut: 1. Tanggal announcement date tersebut dapat diketahui dengan pasti dari Bursa Efek Indonesia baik melalui Pusat Referensi Pasar Modal maupun dari website BEI di www.idx.co.id. 2. Emiten mempublikasikan ke public baik melalui pelaporan ke Bapepam dan BEI atau melalui iklan di media massa perihal rencana pelaksanaan stock split dan reverse stock split. 3. Emiten tidak melakukan kebijakan lain atau corporate action lain (misalnya penerbitan warrant, obligasi, pembayaran deviden, right issue) selama periode investigasi (investigation window). 4. Emiten harus telah listing setidaknya satu tahun sebelum periode penelitian, untuk memastikan ketersediaan data. 5. Emiten yang sahamnya pada periode penelitian sangat jarang diperdagangkan dikeluarkan dari sampel. Saham tersebut tidak mengalami aktivitas perdagangan selama paling tidak satu minggu berturut-turut (lima hari perdagangan) sehingga mempengaruhi keakuratan penelitian.
6. Sampel yang telah melakukan split lebih dari satu kali, harus memiliki jangka waktu setidaknya satu tahun sebelum melakukan split kembali. Hal ini dilakukan untuk dapat menganalisis pengaruh dari stock split maupun reverse stock split dalam periode satu tahun. Perusahaan yang melakukan stock split selama Januari 2004 sampai dengan Desember 2008 sebanyak 47 emiten, yang kemudian diseleksi menurut kriteriakriteria diatas sehingga menyisakan 16 emiten dimana salah satu emiten melakukan stock split sebanyak dua kali selama periode penelitian. Sedangkan perusahaan yang melakukan reverse stock split sebanyak 15 emiten. Setelah dilakukan seleksi meninggalkan sampel akhir sebanyak 8 emiten. Nama emiten yang termasuk kedalam sampel dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2. Berikut Tabel 3.1 yang menyajikan ringkasan perhitungan jumlah sampel yang telah dijelaskan sebelumnya.. Tabel 3.1 Perhitungan Jumlah Sampel Stock Split
Reverse stock split
Emiten yang melakukan kebijakan split
47
15
Emiten yang melakukan kebijakan lainnya (corporate action)
17
4
Emiten dengan likuiditas yang sangat rendah
10
3
Emiten yang tidak mempunyai data yangss lengkap
4
0
16*
8*
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian * satu emiten melakukan stock split 2 kali
C.
Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu metode pengumpulan data yang diperoleh dengan cara membaca buku-buku dan surat kabar, mengadakan penelitian kepustakaan baik melalui buku-buku maupun bahanbahan serta literature-literatur yang berhubungan erat kaitannya dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. 2. Data sekunder, yaitu melalui pihak lain seperti data-data yang dapat diperoleh dari Bursa Efek Indonesia dan BAPEPAM. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: o Tanggal pengumuman (announcement date) stock split dan reverse stock split. Announcement date yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanggal diberitakanya rencana pelaksanaan stock split dan reverse stock split yang dapat diketahui dari Bursa Efek Indonesia baik melalui Pusat Referensi Pasar Modal maupun dari website BEI di www.idx.co.id. o Tanggal pelaksanaan stock split dan reverse stock split. o Harga
penutupan pada saham pada data harian harga saham yang
melakukan stock split dan reverse stock split selama periode estimasi dan periode investigasi. o Volume perdagangan saham harian sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan reverse stock split.
o Jumlah lembar saham yang diperdagangkan sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan reverse stock split.
D.
Metode Analisis 1. Metode Analisis Likuiditas Pendekatan atau indicator yang digunakan untuk membandingkan likuiditas antara sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split atau reverse stock split adalah dengan menggunakan data volume perdagangan. Kemudian menghitung trading volume activity untuk menyesuaikan volume perdagangan dengan perubahan jumlah lembar saham. Software SPSS 17 digunakan untuk mengolah data dalam analisis likuiditas. Setiap saham yang diperbandingkan, akan ditarik rentang waktu 60 hari sebelum pelaksanaan (t-60) dan 60 hari setelah pelaksanaan (t+60) dengan t0 sebagai hari pelaksanaan stock split dan reverse stock split. Hari pelaksanaan (t0) tidak dimasukan sebagai data yang diperbandingkan untuk menghilangkan efek yang berlebihan dari pelaksanaan split. Langkah pertama dalam menganalisa perubahan likuiditas adalah dengan melakukan uji normalitas data. Selanjutnya, jika data berdistribusi normal, dalam menguji hipotesis digunakan paired sampel t-test. Namun, jika data memiliki distribusi yang tidak normal maka menggunakan sign-test. Kedua prosedur ini akan dilakukan dua kali, satu kali pada sampel emiten yang melakukan stock split dan satu kali pada sampel emiten yang melakukan reverse stock split.
a. Uji normalitas data Uji normalitas data adalah pengujian tentang kenormalan distribusi data. Uji ini bertujuan untuk menguji apakah variabel yang digunakan mempunyai distribusi yang normal atau tidak. Ada beberapa cara untuk mendeteksi normalitas data, salah satunya dengan penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik. Dasar pengambilan keputusan dalam uji normalitas data adalah: o Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka variabel-variabel tersebut memenuhi asumsi normalitas. o Jika data menyebar dari garis diagonal dan tidak mengikuti arah garis diagonal maka variabel-variabel tersebut tidak memenuhi asumsi normalitas. b. Paired sampel t-test Paired sampel t-test bertujuan untuk melihat pergerakan perubahan volume secara agregat pada hari pelaksanaan split. Pengujian ini digunakan karena jenis datanya berpasangan dan tidak saling bebas (dependen). Perbandingan pada dua sampel dependen berarti membandingkan setiap data dari kelompok pertama dengan data kelompok kedua yang diambil dari sumber yang sama biasa disebut data berpasangan. Pasanganpasangan ini diperbandingkan dengan melihat perbedaan atau selisih dari masing-masing data. Hipotesis yang diuji adalah apakah rata-rata dari
perbedaan ini sama dengan nol atau tidak. Statistik hitung untuk menguji hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:
Sb
=
∑d
2
n(n − 1)
dimana: Sb
= standar error dua mean yang berhubungan t
=
(B − 0) ) = Sb
B Sb
dimana: B
= beda antara pengamatan tiap pasang
B
= mean dari beta pengamatan
c. Uji tanda (sign test) Jika hasil uji normalitas data menunjukkan bahwa distribusi data dalam penelitian ini tidak bersifat normal melainkan deskret, maka harus digunakan metode non parametrik. Adapun alat uji yang digunakan adalah uji tanda (sign test). Penelitian dengan uji tanda seperti ini juga pernah dilakukan oleh Ade Wirman (2002). Dengan
menggunakan
uji
tanda
ini,
peneliti
hanya
akan
membandingkan rata-rata likuiditas saham perusahaan sampel sebelum dan sesudah saham tersebut di-split. Kemudian dengan memperhatikan hasil perbandingan tersebut, dapat ditarik kesimpulan tentang apakah stock
split dan reverse stock split mempunyai pengaruh terhadap likuiditas atau tidak.
2. Metode Analisis Return Saham Data yang digunakan untuk menghitung return saham adalah harga saham yang termasuk kedalam data deret waktu (time series). Deret waktu merupakan barisan data yang memiliki jarak waktu (interval) yang sama yang diobservasi selama periode tertentu. Ada dua tujuan dari analisis deret waktu yaitu mengidentifikasi karakter alami (nature) dari deret waktu dan melakukan peramalan terhadap bagaimana deret tersebut berlanjut pada waktu ke depan. Kedua tujuan tersebut membutuhkan identifikasi pola (pattern) dari deret sehingga dapat diinterpretasikan dan diintegrasikan dengan informasi lainnya. Secara teoritis, ada tiga kemungkinan pola yang terjadi yaitu horizontal, musiman dan trend. Pola horizontal diindikasikan oleh pola data yang berfluktuasi disekitar rataan dan biasanya deret itu disebut sebagai deret yang stasioner. Pola musiman diindikasikan oleh pola data yang dipengaruhi oleh faktor musiman seperti bulan tertentu selama setahun atau hari tertentu selama seminggu. Sedangkan pola trend diindikasikan oleh pola yang mengalami kecendrungan tertentu baik meningkat atau menurun selama periode deret. Namun dalam prakteknya, sebagian besar deret memiliki pola yang tidak jelas.
Seringkali
deret
yang
pada
awalnya
diasumsikan
musiman,
menunjukkan pola yang tidak wajar pada titik tertentu sehingga menyulitkan dalam pengambilan keputusan penggunaan model yang tepat. Salah satu metode yang sangat populer untuk mengatasi hal tersebut adalah metode ARIMA. (Nuryadin, 2004).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Avarage Model) untuk mengestimasi
return wajar saham (expected return), yaitu dengan mencari model terbaik saham berdasarkan periode estimasi dengan menstasionerkan data yang ada sebagaimana dilaksanakan oleh Nuryadin (2004). Dalam pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Eviews 5. ARIMA merupakan kombinasi dari model autoregressive dan moving
avarage yang dapat dijabarkan secara singkat seperti dibawah ini, yaitu: 1. Autoregressive (AR)
Autoregressive merupakan model linier yang meregresikan suatu variabel dengan variabel itu sendiri pada masa lalu. Autoregressive berasumsi bahwa keragaman suatu variabel pada saat ini dapat dijelaskan oleh keragaman variabel itu sendiri pada masa lalu. Secara matematis,
autoregressve
dengan order p atau AR (p) dapat dituliskan sebagai
berikut: Υt = ϑ1 Υt −1 + ϑ 2 Υt − 2 + ... + ϑ p Υt − p + ε t
dimana: Yt
=
data pada hari ke-t
Yt-n
=
data pada hari ke t-n (n = 1,2,3,...,p)
ϑn
=
koefisien regresi order n (n = 1,2,3,...,p)
εt
=
residual pada hari ke-t
3. Moving Avarage (MA)
Moving Avarage merupakan model linier yang meregresikan variabel tertentu dengan residualnya pada masa lalu. Moving avarage berasumsi bahwa keragaman suatu variabel dapat dijelaskan keragaman residual variabel itu sendiri pada masa lalu. Secara matematis, persamaan moving
avarage dengan order q atau MA (q) adalah sebagai berikut: Υt = θ1ε t −1 + θ 2ε t − 2 + ... + θ p ε t − q + ε t
dimana: Yt
=
data pada hari ke-t
ε t −n
=
residual pada hari ke t-n
θn
=
koefisien regresi order n
εt
=
residual pada hari ke-t
3. Autoregressive-Moving Avarage (ARMA) Seringkali perilaku suatu data time series dapat dijelaskan dengan baik melalui penggabungan antara model AR dan model MA. Model gabungan ini disebut
autoregressive-moving avarage (ARMA). Secara umum
bentuk model dari ARMA dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut: Υt = ϑ0 + ϑ1 Υt −1 + ϑ 2 Υt − 2 + ... + ϑ p Υt − p + θ 0 ε t + θ 1ε t −1 + θ 2 ε t −2 + ... + θ q ε t − q
4. Autoregressive Integrated Moving Avarage (ARIMA) Model AR, MA dan ARMA sebelumnya mensyaratkan bahwa data time
series yang diamati mempunyai sifat stasioner. Data time series dikatakan stasioner jika mempunyai rata-rata, varian, dan kovarian yang konstan.
Namun dalam kenyataannya data time series seringkali tidak stasioner dan baru stasioner pada proses diferensi (difference). Model dengan data yang stasioner melalui proses differencing ini disebut model ARIMA. Penelitian ini menggunakan jumlah periode estimasi selama 100 hari, dengan t-110 sebagai awal dari perhitungan estimasi dan t-10 sebagai akhir dari periode estimasi. Tanggal yang dianggap sebagai event pengumuman stock
split dan reverse stock split
(announcement date) adalah tanggal emiten
mengumumkan stock split dan reverse stock split. Tanggal ini selanjutnya dianggap sebagai periode nol (t0). Berdasarkan tanggal pengumuman tersebut kemudian ditentukan periode investigasi, 10 hari sebelum (t-10)
sampai
dengan 5 hari setelah (t+5) pengumuman stock split dan reverse stock split. Jadi, t-10 adalah ending point pada periode estimasi sekaligus starting point untuk menghitung abnormal Return, sementara t+5 merupakan ending point untuk menghitung abnormal return. Periode investigasi t-10 digunakan untuk mengantisipasi adanya kebocoran informasi sebelum pengumuman stock split dan reverse stock split, sedangkan t+5 dipilih sebagai ending point periode investigasi, karena rata-rata perusahaan di Indonesia melaksanakan stock split atau reverse stock split 5-10 hari setelah tanggal pengumuman. Pada dasarnya, penyusunan model dengan pendekatan ARIMA merupakan suatu proses trial and error dengan melibatkan beberapa prosedur yang terdiri dari langkah-langkah berikut:
a. Mempersiapkan data Tujuan dari tahap ini adalah untuk memastikan data memenuhi persyaratan permodelan ARIMA yaitu data bersifat stasioner. Suatu data runtun waktu dikatakan stasioner jika nilai rata-rata (mean), variance, dan
autocovariance-nya bukan merupakan fungsi dari waktu (time invariant), jika data time series tidak memenuhi kriteria tersebut maka data dikatakan tidak stasioner. Dengan kata lain data time series dikatakan tidak stasioner jika rata-ratanya maupun variance-nya tidak konstan, berubah-ubah sepanjang waktu (time-varying mean and variance). Untuk memastikan kestasioneran data, maka dilakukan uji unit root dengan metode Augmented Dickey-Fuller Regression (ADF). Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai statistik ADF dengan nilai kritis Mackinnon untuk mengetahui derajat integrasi stasioneritas suatu variabel. Suatu variabel disebut stasioner jika nilai statistik ADF lebih besar dari nilai kritis Mackinnon. Apabila ternyata data belum stasioner maka harus dilakukan
differencing orde pertama yaitu mengurangkan data pada hari ke-t dengan data pada hari ke-t-1. Apabila belum stasioner juga maka perlu dilakukan
differencing orde kedua dengan mengurangkan data yang telah didifferencing hari ke-t terhadap hari ke-t-1. Demikian seterusnya sampai mendapat data yang stasioner. Namun pada umumnya, differencing orde pertama telah dapat merubah data menjadi stasioner.
b. Penentuan Model Tentatif Setelah mendapatkan data yang stasioner, maka selanjutnya adalah menentukan model ARIMA. Metode baku yang digunakan untuk pemilihan model ARIMA adalah melalui plot correlogram. Tujuan plot
correlogram adalah untuk melihat pola autocorrelation dan partial autocorrelation pada plot correlogram dilakukan sampai dengan lag 30. Pola autocorrelation dan partial autocorrelation yang dihasilkan dari plot
correlogram setidaknya akan terdiri dari empat kemungkinan, yaitu: o Tidak ada autocorrelation dan partial autocorrelation pada data.
Artinya model ARIMA kurang sesuai, sehingga permodelan cukup dilakukan dengan metode regresi. o Data bersifat musiman, yang ditunjukkan oleh autocorrelation
dan/atau partial autocorrelation
yang sangat signifikan pada lag
berkelipatan. o Jika autocorrelation menurun drastis pada lag tertentu dan pola partial
autocorrelation-nya turun secara perlahan, maka model MA (q) kemungkinan
cocok
untuk
diterapkan.
Sedangkan
partial
autocorrelation menurun drastis pada lag tertentu dan pola autocorrelation-nya turun secara perlahan maka model AR (p) kemungkinan cocok untuk digunakan. o Jika tidak jelas model AR atau MA yang dapat diterapkan, maka dapat
digunakan model gabungan AR dan MA atau salah satu diantara keduanya.
c. Estimasi Parameter Model Tentatif Setelah model tentatif diperoleh, pada tahap ini dilakukan estimasi terhadap parameter model tersebut dengan metode Least Square. Metode
Least Square merupakan salah satu metode regresi yang meminimalkan jumlah kuadrat dari residual-nya (sum of square error). d. Pembentukan Model Akhir Sebagian dari koefisien dugaan parameter sangat mungkin tidak signifikan, sehingga variabel yang bersangkutan harus dikeluarkan dari model. Jika lebih dari satu variable tidak signifikan, maka variable harus dikeluarkan satu per satu. Dengan dikeluarkannya variabel yang tidak signifikan secara satu per satu, variabel lain yang sebelumnya tidak signifikan bisa berubah menjadi signifikan. Setelah semua variabel signifikan, maka ketepatan model harus diuji lagi dengan melakukan plot terhadap residualnya seperti yang dilakukan pada tahap kedua. Pencarian model dapat dilakukan dengan terus mengulang langkah kedua sampai langkah keempat. Ukuran lain yang dapat dijadikan pertimbangan adalah Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Info Criterion (SIC), Adjusted R2, dan Standar Error of Regression. Ketika memutuskan menambah satu variabel tertentu yang ternyata signifikan, maka penambahan tersebut dapat diterima jika
Adjusted R2 meningkat,
sedangkan Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Info Criterion (SIC) dan
Standar Error of Regression menurun.
Model dari setiap saham yang telah didapatkan diatas digunakan untuk melakukan peramalan return wajar (expected return) masing-masing saham, dengan persamaan berikut: ARit
=
Rit - E(Rit)
dimana: ARit
=
return tidak normal sekuritas ke-i pada periode investigasi ke-t
Rit
=
return saham yang terjadi untuk sekuritas ke-i pada periode investigasi ke-t
E(Rit)
=
expected return sekuritas ke-i pada periode investigasi ke-t berdasarkan permodelan ARIMA
Selanjutnya, AR untuk setiap saham selama periode estimasi dan periode investigasi dirata-ratakan untuk mendapatkan AR harian dengan formula sebagai berikut: AARj
=
1 N
n
∑ AR
ij
i =1
dimana: AARj
=
rata-rata abnormal return pada periode investigasi ke-j
ARij
=
abnormal return saham-i pada periode investigasi ke-j
N
=
jumlah saham dalam sampel
Sedangkan standar deviasi selama periode estimasi didefinisikan sebagai berikut: T
∑ ( AR SAR
j
− AR) 2
j =1
=
T −1
dimana: SAR
=
standar deviasi dari AR
AR
=
rataan dari AR dari hari ke-1 sampai hari ke-T
T
=
jumlah hari pada periode estimasi
Dari dua formula diatas, maka t-statistik (two-tailed) untuk abnormal return dapat dituliskan sebagai berikut: t-stat
E.
=
ARt SAR
Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Independen a. Volume Perdagangan Jumlah saham yang diperdagangkan dalam pasar efek selama periode tertentu. Volume perdagangan digunakan sebagai ukuran aktivitas jumlah saham yang diperdagangkan dari tangan penjual ke tangan pembeli. Jika pembeli melakukan pembelian saham sebesar 100 lembar dari pembeli, maka volume perdagangan untuk periode tertentu meningkat 100 lembar berdasarkan transaksi tersebut.
Volume perdagangan merupakan indikator penting dalam analisis techical yang digunakan untuk mengukur harga pada pergerakan pasar. Jika pasar membuat harga bergerak naik atau turun, besarnya pergerakan tersebut tergantung dari volume perdagangan pada periode tersebut. Volume perdagangan saham dapat dilihat dengan melihat trading volume activity (TVA), yaitu jumlah saham j yang diperdagangkan pada hari t dengan jumlah saham j yang beredar pada hari t. Adapun formula untuk menghitung trading volume activity adalah sebagai berikut:
Jumlah saham i yang diperdagangkan pada hari t TVA =
* 100% Jumlah saham i yang beredar pada hari t
b. Harga saham Harga saham adalah tingkat harga dimana saham diperdagangkan pada pasar efek. Dalam penelitian ini digunakan harga penutupan saham pada data harian harga saham. 2. Variabel Dependen a. Likuiditas Likuiditas saham, adalah tingkat kemampuan saham untuk dapat diubah menjadi kas atau sebaliknya setiap saat diinginkan dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dengan resiko yang paling minimum.
b. Return Saham Return saham adalah keuntungan perusahaan dari hasil investasi baik itu berbentuk deviden tunai atau berbentuk saham maupun capital gain yang diperoleh perusahaan dari fluktuasi harga saham sebelum melakukan stock split atau reverse stock split.
Rit
=
Pt − Pt −1 Pt −1
Rit
=
return saham yang terjadi untuk sekuritas ke-i pada hari ke-t
Pt
=
harga penutupan pada hari t
Pt-1
=
harga penutupan di hari sebelum t
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
D.
Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian 1.
Sejarah Singkat Pasar Modal
Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Setelah perang dunia ke1, pasar modal di Surabaya dibuka pada tanggal 1 Januari 1925 dan disusul di Semarang pada tanggal 1 Agustus 1925. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC. Pasar modal ini beroperasi sampai kedatangan Jepang di Indonesia di tahun 1942. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia, pada tanggal 1 September 1952 dikeluarkan Undang-Undang Darurat
No. 12 yang kemudian dijadikan
Undang-Undang No. 15/1952 tentang pasar modal. Bursa Efek Jakarta (BEJ) akhirnya dibuka kembali pada tanggal 3 Juni 1952. Tujuannya adalah menampung obligasi pemerintah yang sudah dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya, serta mencegah larinya sahamsaham perusahaan Belanda ke luar negri yang sebelumnya diperdagangkan di pasar modal Indonesia. Namun pada tahun 1958, karena adanya sengketa antara pemerintah RI dengan Belanda mengenai Irian Barat, semua bisnis
Belanda dinasionalkan. Sengketa ini mengakibatkan larinya modal Belanda dari Indonesia. Sejak itu aktivitas di Bursa Efek Jakarta semakin menurun. Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977. Sejak diaktifkan kembali sampai dengan tahun 1988 pasar modal mengalami tidur panjang, karena hanya sedikit perusahaan yang tercatat di BEJ, hanya 24 perusahaan saja. Setelah tahun 1988, selama 3 tahun saja, yaitu sampai dengan 1990, jumlah perusahaan yang terdaftar di BEJ meningkat sampai dengan 127. Hal ini didukung oleh berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Periode ini juga dicatat sebagai kebangkitan Bursa Efek Surabaya (BES), yang dilahirkan kembali pada tanggal 16 Juni 1989. Tahun 1995, BEJ mulai mengotomatisasikan kegiatan transaksi di bursa. Jakarta Automated Trading System (JATS) adalah sistem otomatisasi menggunakan jaringan komputer yang digunakan oleh broker untuk perdagangan sekuritas di BEJ. Sedangkan pasar modal Surabaya menggunakan Surabaya Market Information and Automate Remote Trading (S-MART) sebagai sistem otomatisasinya. Pasar modal mengalami penurunan yang sangat drastis pada tahun 1997 akibat krisis moneter yang melanda negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Hal ini ditandai dengan IHSG yang selalu menurun. Pasar modal Indonesia baru bangkit kembali pada tahun 2003. Di tahun 2007, Bursa Efek Surabaya bergabung dengan Bursa Efek Jakarta dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia.
2.
Perkembangan Pasar Modal
Kegiatan pasar modal Indonesia resmi dimulai pada tahun 1977 sewaktu perusahaan PT. Semen Cibinong menerbitkan sahamnya di BEJ (Bursa Efek Jakarta). Dalam perkembangannya kondisi ekonomi dan moneter tidak bisa dilepaskan, tetapi pengaruh yang tampak nyata ternyata berasal dari berbagai kebijaksanaan pemerintah. Pada awalnya perkembangan pasar modal Indonesia, jika diukur dengan beberapa indicator pasar modal, seperti jumlah perusahaan yang terdaftar di bursa, jumlah saham yang tercatat, kegiatan perdagangan, dan sebagainya, ternyata sangat lambat pada awal-awal pengaktifan kembali pasar modal. Sampai dengan tahun 1988 hanya tercatat 24 perusahaan yang terdaftar di bursa. Baru pada tahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan jumlah perusahaan yang tercatat di bursa. Pada tahun 1982 pemerintah memberikan intensif dalam bentuk keringanan pajak bagi perusahaan yang bersedia menjual sahamnya di pasar modal Indonesia. Insentif ini berakhir pada tahun 1983, karena pada tahun 1984 berlaku system perpajakan yang baru. Karena itulah beberapa perusahaan memanfaatkan insentif ini sehingga jumlah perusahaan meningkat dari hanya 8 perusahaan yang terdaftar di bursa, menjadi 23 perusahaan. Sebelum Juni 1983, tingkat bunga deposito dan kredit dari bank-bank milik pemerintah ditentukan oleh pemerintah. Penentuan tingkat bunga ini relative rendah sehingga perusahaan enggan untuk melakukan emisi di BEJ,
dan karenanya jumlah perusahaan yang teraftar di BEJ tidak berubah dari tahun 1984 sampai dengan 1988. Pada tahun 1989 sampai dengan tahun 1991 jumlah perusahaan yang terdaftar di BEJ meningkat cukup banyak. Hal ini diakibatkan adanya beberapa kebijakan dari pemerintah. Pertama, BAPEPAM tidak ingin mencampuri pembentukan harga saham di pasar perdana. Kedua, harga yang terbentuk diserahkan pada kekuatan permintaan dan penawaran. Ketiga, dikenakanya pajak 15% atas bunga deposito, dan terakhir diizinkannya pemodal asing untuk membeli saham-saham yang terdaftar di BEJ. Sepanjang bulan Januari sampai dengan Desember 1996 jumlah saham yang terdaftar meningkat cukup besar. Karena pada rentang waktu tersebut perusahaan-perusahaan
emiten berlomba-lomba melakukan pemecahan
saham atau stock split. Waktu krisis financial mulai memukul Indonesia pada akhir tahun 1997, pasar modalpun merasakan pengaruhnya. IHSG (yang merupakan cerminan seluruh harga saham yang terdaftar di BEJ) turun dari 637 pada tahun 1996 menjadi hanya 398 pada tahun 1998 (pada waktu krisis mencapai puncaknya), dan baru bangkit kembali mulai tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2004 jumlah saham yang terdaftar menurun cukup besar, disebabkan karena banyak perusahaan yang melakukan reserve stock
split. Namun, di tahun 2004, pasar modal juga mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan nilai perdagangan harian yang mencapai lebih dari Rp.1 trilyun per hari.
Pasar modal terus berkembang pada tahun-tahun berikutnya. Nilai transaksi saham harian terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika tahun 2004 telah mencapai Rp.1 trilyun per hari, di tahun 2005 meningkat menjadi Rp.1,67 trilyun per hari dan terus meningkat menjadi Rp.1,84 trilyun per hari di tahun 2006. Tahun 2007 merupakan tahun yang bersejarah bagi pasar modal Indonesia dengan resmi bergabungnya BEJ dengan BES menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada tahun ini juga, IHSG BEI sepanjang tahun 2007 mengalami tingkat pertumbuhan terbaik ketiga diantara bursa-bursa besar dunia yaitu dengan tingkat pertumbuhan 52,08%.
E.
Analisis dan Pembahasan 1.
Analisis Deskriptif
Perusahaan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan yang telah memenuhi kriteria-kriteria yang ditentukan, yaitu perusahaan yang melakukan stock split atau reverse stock split dari Januari 2004 sampai dengan Desember 2008. Perusahaan tersebut tidak melakukan kebijakan (corporate action) lain seperti deviden, warant, right issue, dan pengumuman lainnya. Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal BEI, IDX Statistic Quarterly, IDX Statistic Annual, Indonesian Capital Market Dictionary, dan Internet.
Setelah semua data yang dibutuhkan dalam penelitian ini telah terkumpul dari berbagai sumber,
maka
selanjutnya
penulis akan
menganalisis data tersebut. Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Likuiditas
Indikator yang digunakan untuk membandingkan likuiditas antara sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split atau reverse stock split adalah dengan menggunakan data volume perdagangan. Kemudian menghitung trading volume activity (TVA) untuk menyesuaikan volume perdagangan dengan perubahan jumlah lembar saham. Trading volume activity (TVA) antara sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan reverse stock split dapat dilihat pada tabel 4.1. Sedangkan tabel 4.2 menyajikan statistik deskriptif untuk TVA antara sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan reverse stock split. Tabel 4.1 Trading Volume Activity (TVA) antara Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Stock Split dan Reverse Stock Split
t-60 -59 -58 -57 -56 -55 -54 -53 -52 -51 -50 -49 -48 -47 -46 -45
Stock Split TVA t0,003229106 0,002348208 0,002970544 0,002875176 0,002046854 0,003407594 0,00389799 0,006358307 0,002732365 0,002965516 0,004522839 0,001988738 0,001460339 0,001387953 0,00140253 0,001423667
+1 +2 +3 +4 +5 +6 +7 +8 +9 +10 +11 +12 +13 +14 +15 +16
TVA
t-
0,003263096 0,003955933 0,001741664 0,003302538 0,003385468 0,002175034 0,001287978 0,001817684 0,002322748 0,001129492 0,001401599 0,002134338 0,002375816 0,001247709 0,002663564 0,00196588
-60 -59 -58 -57 -56 -55 -54 -53 -52 -51 -50 -49 -48 -47 -46 -45
Reverse Stock Split TVA tTVA 0,004090165 0,000346115 0,000270277 0,000593747 0,00049071 0,00033545 0,001729313 0,000621173 0,000746264 0,000474469 0,000969036 0,002266173 0,000293582 0,001888915 0,000481169 0,001216985
+1 +2 +3 +4 +5 +6 +7 +8 +9 +10 +11 +12 +13 +14 +15 +16
0,004702644 0,012098878 0,003651996 0,008079958 0,014789326 0,013129443 0,011020114 0,004984318 0,004736816 0,00622821 0,005379599 0,004938276 0,006272798 0,004884292 0,004460839 0,006677558
t-44 -43 -42 -41 -40 -39 -38 -37 -36 -35 -34 -33 -32 -31 -30 -29 -28 -27 -26 -25 -24 -23 -22 -21 -20 -19 -18 -17 -16 -15 -14 -13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1
Stock Split TVA t0,00107247 0,001575113 0,002123832 0,001337282 0,002039364 0,001601741 0,001513913 0,00153772 0,001301731 0,001596279 0,001524033 0,001494636 0,00451457 0,002488767 0,002022071 0,001357791 0,002040578 0,001813422 0,003787963 0,002309375 0,002280861 0,002373893 0,002397005 0,000604827 0,002358554 0,001522556 0,000842874 0,001932659 0,00476952 0,004647884 0,002188866 0,001852967 0,0013307 0,000664989 0,000873261 0,00348587 0,001750282 0,002301311 0,00117322 0,002778737 0,005309306 0,002786223 0,00551086 0,001927838
+17 +18 +19 +20 +21 +22 +23 +24 +25 +26 +27 +28 +29 +30 +31 +32 +33 +34 +35 +36 +37 +38 +39 +40 +41 +42 +43 +44 +45 +46 +47 +48 +49 +50 +51 +52 +53 +54 +55 +56 +57 +58 +59 +60
TVA
t-
0,003922467 0,002693963 0,002485989 0,003818674 0,003836387 0,005361764 0,003236703 0,004305905 0,006476527 0,004952951 0,002806513 0,002230719 0,002962073 0,002394636 0,003337684 0,004283907 0,004551378 0,005581274 0,001860485 0,001699748 0,008963767 0,007987783 12,10511629 0,002036223 0,003204485 0,001987803 0,003459327 0,003152402 0,002715624 0,001670376 0,001924579 0,004759513 0,002388247 0,003672272 0,001585287 0,001733485 0,001141237 0,005551316 0,00290082 0,001203163 0,004057319 0,002944003 0,001726669 0,001668793
-44 -43 -42 -41 -40 -39 -38 -37 -36 -35 -34 -33 -32 -31 -30 -29 -28 -27 -26 -25 -24 -23 -22 -21 -20 -19 -18 -17 -16 -15 -14 -13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1
Reverse Stock Split TVA tTVA 0,000910982 0,004498607 0,001859994 0,002556681 0,001449722 0,000460303 0,002363945 0,002545231 0,000606468 0,001123487 0,000620199 0,003126115 0,002543404 0,001277207 0,000284574 0,000957662 0,001482869 0,00115391 0,002249568 0,002625746 0,000778422 0,001958727 0,005283145 0,009101705 0,000876169 0,000442279 0,001100629 0,001196053 0,004205991 0,002666197 0,003181689 0,001610984 0,001043897 0,002512288 0,001559733 0,001555911 0,001015686 0,001538743 0,001936612 0,00067243 0,004162326 0,002770719 0,001319507 0,007930657
+17 +18 +19 +20 +21 +22 +23 +24 +25 +26 +27 +28 +29 +30 +31 +32 +33 +34 +35 +36 +37 +38 +39 +40 +41 +42 +43 +44 +45 +46 +47 +48 +49 +50 +51 +52 +53 +54 +55 +56 +57 +58 +59 +60
0,003360614 0,002471997 0,00185589 0,002327324 0,001540994 0,003460381 0,000643348 0,010134589 0,003023992 0,006525198 0,006151714 0,010019174 0,005158644 0,002686424 0,00877784 0,002687659 0,00402912 0,005499689 0,002109946 0,002170463 0,004018425 0,006958741 0,008271038 0,004877452 0,004693033 0,006532483 0,010796957 0,005883796 0,004595566 0,008873545 0,011841811 0,010145455 0,003001743 0,009590807 0,003964109 0,029755414 0,002305371 0,002259098 0,001739556 0,010753265 0,015011061 0,010326122 0,005181703 0,011923861
Tabel 4.1 memberikan gambaran pergerakan trading volume activity (TVA) sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan reverse stock split. Pada emiten yang melakukan stock split, perbedaan TVA antara t-10 dengan t+10 menunjukan adanya perbedaan TVA sebesar 0,000256231 dimana TVA pada 10 hari setelah stock split (0,001129492) lebih besar dibandingkan dengan TVA 10 hari sebelum stock split (0,000873261). Keadaan serupa juga terjadi pada perbedaan TVA antara t-1 dengan t+1. Pada hari sebelum pelaksanaan stock split besarnya TVA adalah 0,001927838, kemudian mengalami peningkatan menjadi 0,003263096 pada satu hari setelah pelaksanaan stock split. Penurunan TVA antara sebelum dengan sesudah pelaksanaan stock split terjadi pada t-60 dengan t+60. Jika pada 60 hari sebelum pelaksanaan stock split TVA sebesar 0,003229106, maka pada 60 hari setelah pelaksanaan stock split TVA justru mengalami penurunan sebesar 0,001668793. Pada emiten yang melakukan reverse stock split, peningkatan TVA setelah pelaksanaan reverse stock split juga terjadi antara t-10 dengan t+10. TVA pada 10 hari sebelum pelaksanaan reverse stock split adalah sebesar 0,001559733, sedangkan TVA pada 10 hari setelah pelaksanaan kebijakan tersebut sebesar 0,00622821. Hal ini berarti terjadi peningkatan TVA sebesar 0,004668 pada 10 hari setelah pelaksanaan reverse stock split jika dibandingkan dengan 10 hari sebelum reverse stock split dilaksanakan.
Keadaan berlawanan terjadi antara t-1 dengan t+1, dimana TVA mengalami penurunan sehari setelah pelaksanaan reverse stock split dibandingkan sehari sebelum pelaksanaan kebijakan tersebut. Pada satu hari sebelum pelaksanaan reverse stock split nilai TVA adalah sebesar 0,007930657, sedangkan sehari setelah pelaksanaan kebijakan tersebut nilai TVA sebesar 0,004702644. Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Trading Volume Activity (TVA) antara Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Stock Split dan Reverse Stock Split Statistik Deskriptif Mean Median Standar Deviasi Maximum Minimum
Trading Volume Activity (TVA) Stock Split Reverse Stock Split Sebelum Setelah Sebelum Setelah 0,002362257 0,002039971 0,001252728 0,006358307 0,000604827
0,204775351 0,002761068 1,562367675 12,10511629 0,001129492
0,0018655 0,0013846 0,0017076 0,0091017 0,0002703
0,006566175 0,005170174 0,004685273 0,029755414 0,000643348
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa rata-rata TVA setelah pelaksanaan stock split lebih besar dibandingkan sebelum pelaksanaan stock split. Jika sebelum melaksanakan stock split rata-rata TVA adalah sebesar 0,002362257 atau 0,2362257%, maka setelah pelaksanaan stock split TVA meningkat cukup tinggi menjadi sebesar 0,204775351 atau 20,4775%. TVA maksimum juga terjadi setelah pelaksanaan stock split yakni sebesar 12,10511629 pada t+39 atau 39 hari setelah pelaksanaan stock split. Pada emiten yang melakukan reverse stock split, rata-rata TVA juga meningkat setelah pelaksanaan reverse stock split. Rata-rata TVA
sebelum melakukan reverse stock split adalah sebesar 0,0018655 atau 0,18655%, kemudian meningkat menjadi 0,006566175 atau 0,6566175% setelah melaksanakan reverse stock split. TVA maksimum juga terjadi setelah pelaksanaan reverse stock split yakni sebesar 0,029755414 pada t+52 atau 52 hari setelah pelaksanaan reverse stock split. Kenaikan rata-rata TVA setelah pelaksanaan stock split dan reverse stock split menandakan peningkatan likuiditas saham pada emiten-emiten tersebut. Hal ini secara umum mendukung optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang menyatakan bahwa tujuan dari pelaksanaan stock split dan reverse stock split adalah mengembalikan harga saham pada kisaran perdagangan yang optimal sehingga dapat meningkatkan likuiditas. 2.
Return Saham
Rata-rata return realisasi emiten yang melakukan stock split selama periode estimasi dan investigasi disajikan pada tabel 4.3. Nilai persentase pada kolom 4 menunjukkan perubahan rata-rata return saham dari periode estimasi ke periode sebelum pengumuman (t-10 sampai dengan t-1). Terdapat delapan emiten yang mengalami peningkatan rata-rata return dari periode estimasi menuju periode sebelum pengumuman. Emiten tersebut adalah Ekadharma International Tbk, International Nickel Indonesia Tbk II, Jaya Pari Steel Tbk, Kalbe Farma Tbk, Lippo Karawaci Tbk, Panorama Sentrawisata Tbk, Rig Tenders Indonesia Tbk, Tempo Scan Pacific Tbk.
Sebagai contoh, emiten Ekadharma International Tbk selama periode estimasi (t-110 sampai dengan t-10) memiliki rata-rata return sebesar 0,00251843 atau 0,2518%, kemudian pada periode sebelum pengumuman (t-10 sampai dengan t-1), terdapat peningkatan rata-rata return menjadi sebesar 0,02221654 atau 2,2216%, sehingga terdapat peningkatan sebesar 1,97%, kemudian return tersebut menurun menjadi -0,0238461 atau -2,3846% pada periode setelah pengumuman (t+1 sampai dengan t+5). Terdapat enam emiten lain selain Ekadharma International Tbk yang juga mengalami penurunan rata-rata return realisasi pada periode setelah pengumuman (t+1 sampai dengan
t+5) dibandingkan dengan periode
sebelum pengumuman (t-10 sampai dengan t-1). Emiten tersebut adalah Arpeni Pratama Ocean Line Tbk, International Nickel Indonesia Tbk II, Indosat Tbk,
Jaya Pari Steel Tbk, Rig Tenders Indonesia Tbk, dan Tempo Scan
Pacific Tbk.
Tabel 4.3 Rata-Rata Return Realisasi Emiten yang Melakukan Stock Split Pada Periode Estimasi dan Investigasi Rata-Rata Return Realisasi
Nama Emiten Arpeni Pratama Ocean Line Tbk Ciputra Surya Tbk Davomas Abadi Tbk Ekadharma International Tbk Hexindo Adiperkasa Tbk International Nickel Indonesia Tbk I International Nickel Indonesia Tbk II Indosat Tbk Jakarta Internasional Hotel & Dev Tbk Jaya Pari Steel Tbk Kalbe Farma Tbk Lippo Karawaci Tbk Panorama Sentrawisata Tbk Rig Tenders Indonesia Tbk Tempo Scan Pacific Tbk Bakrie Sumatra Plantations Tbk
t-110 s/d t-11
t-10 s/d t-1
%
t+1 s/d t+5
0,001771985 -0,00018190 0,00290113 0,00251843 0,00481258
-0,00526493 -0,00204079 -0,0114277 0,02221654 0,00311775
-0,70 -0,19 -1,43 1,97 -0,17
-0,00736745 0,00008079 0,00011299 -0,0238461 0,0082251
-0,00025373
-0,00107835
-0,08
0,0032095
0,00449806
0,0045433
0,005
0,00204307
0,00690392
-0,000446
-0,73
-0,0058226
-0,0001473
-0,01169230
-1,15
-0,0094453
0,00143056 0,00481957 -0,0007683 0,00092567 0,00275182 0,00052336 0,00678794
0,006768 0,0051221 0,0017822 0,0013295 0,0083240 0,0081842 0,001677
0,53 0,03 0,26 0,04 0,56 0,77 -0,51
0,0066503 0,01512195 0,01040532 0,05321890 0,00061189 0,0056530 0,06186246
Rata-rata return realisasi emiten yang melakukan reverse stock split selama periode estimasi dan investigasi disajikan dalam tabel 4.4. Ada 6 dari 8 emiten mengalami peningkatan rata-rata return realisasi saham dari periode estimasi ke periode sebelum pengumuman (t-10 sampai dengan t1). Peningkatan terbesar diperoleh saham Inti Agri Resources Tbk dengan peningkatan sebesar 1,28% dari return sebelumnya sebesar 0,01051696 atau 1,05169% menjadi 0,0233333 atau 2,3333% pada periode sebelum pengumuman. Emiten yang mengalami penurunan terbesar rata-rata return realisasi saham dari periode estimasi ke periode sebelum pengumuman (t-10
sampai dengan t-1) adalah Pan Pacific Internasional Tbk. Rata-rata return pada periode estimasi adalah sebesar 0,0075 atau 0,75%, kemudian mengalami penurunan yang cukup besar pada periode sebelum pengumuman menjadi -0,01666667 atau -1,6667%, sehingga terjadi penurunan sebesar -2,42%, kemudian terus menurun pada periode setelah pengumuman menjadi -0,0535714 atau -5,357%. Tabel 4.4 Rata-Rata Return Realisasi Emiten yang Melakukan Reverse Stock Split Pada Periode Estimasi dan Investigasi Nama Emiten Pan Pacific Internasional Tbk Sentul City Tbk Bakrie & Brothers Tbk I Bakrie & Brothers Tbk II Inti Agri Resources Tbk Lippo E-net Tbk Redland Asia Capital Tbk Sierad Produce Tbk
Rata-Rata Return Realisasi t-110 s/d t-11
t-10 s/d t-1
%
t+1 s/d t+5
0,0075 -0,00594893 0,001607142 0,006451114 0,01051696 0,00125577 -0,00329112 0,007333333
-0,01666667 0,0023809 0,00178571 -0,00716042 0,0233333 0,0125 0,0033333 0,01666667
-2,42 0,83 0,02 -1,36 1,28 1,12 0,66 0,93
-0,0535714 -0,00333333 0,10903318 -0,01951886 0,07912519 -0,0222222 0,07768941 -0,04625
Tabel 4.5 menyajikan data rata-rata abnormal return saham pada emiten yang melakukan stock split dan reverse stock split selama periode investigasi (t-10 sampai dengan t+5). Sedangkan tabel 4.6 menyajikan statistik deskriptif untuk rata-rata abnormal return tabel 4.5.
Tabel 4.5 Abnormal Return Periode Investigasi Periode h-10 h-9 h-8 h-7 h-6 h-5 h-4 h-3 h-2 h-1 h0 h+1 h+2 h+3 h+4 h+5
Abnormal Return Stock Split Reverse Stock Split 0,006916301 -0,040221063 0,000369113 0,019558624 -0,010234358 0,055237605 -0,006616144 0,00559384 0,001334209 -0,032537787 0,011987004 -0,062304752 0,000225032 -0,039968764 -0,002999558 0,050726497 0,00564539 0,024287853 0,000189385 0,023807514 0,005919912 0,02156815 0,003686792 0,019888963 0,015179458 -0,01895519 -0,001156597 -0,008187859 0,009080738 0,044537085 0,003853001 0,015774879
Tabel 4.6 Statistik Deskriptif Abnormal Return Periode Investigasi Statistik Deskriptif Mean Median Standar Deviasi Maximum Minimum
Abnormal Return Stock Split Reverse Stock Split t-10 s/d t-1 t+1 s/d t+5 t-10 s/d t-1 t+1 s/d t+5 0,000681637 0,000297073 0,006482997 0,011987004 -0,010234358
0,006128678 0,003853001 0,006221897 0,015179458 -0,001156597
0,000417957 0,012576232 0,041296997 0,055237605 -0,062304752
0,010611576 0,015774879 0,024956373 0,044537085 -0,01895519
Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa rata-rata abnormal return untuk emiten yang melakukan stock split pada periode setelah tanggal pengumuman ternyata lebih besar, yaitu sebesar 0,006128678 daripada periode sebelum tanggal pengumuman, yang hanya sebesar 0,000681637. Nilai abnormal return tertinggi juga terjadi pada periode setelah tanggal pengumuman yaitu sebesar 0,015179458 yang terjadi pada periode h+2.
Pada emiten yang melakukan reverse stock split, rata-rata abnormal return pada periode setelah tanggal pengumuman ternyata juga lebih besar, yaitu sebesar 0,010611576 daripada periode sebelum tanggal pengumuman, yang hanya sebesar 0,000417957. Nilai abnormal return tertinggi terjadi pada periode sebelum tanggal pengumuman yaitu sebesar 0,055237605 yang terjadi pada periode h-8. Secara umum, tanpa melakukan uji signifikansi, dapat disimpulkan bahwa terdapat abnormal return positif setelah pengumuman stock split maupun reverse stock split bagi investor. Kedua kebijakan tersebut dinilai membawa sinyal positif bagi investor, sehingga mempengaruhi investor dalam keputusan transaksi yang ditandai dengan adanya abnormal return. Hal ini sesuai dengan signaling hipotesis yang mendasari kebijakan stock split maupun reverse stock split, yang menyatakan bahwa dalam informasi kebijakan split mengandung sinyal yang akan dipandang secara positif atau negatif oleh investor yang pada akhirnya akan mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan menjual atau membeli.
2.
Analisis Pengujian Statistik 1.
Analisis Likuiditas
Likuiditas merupakan alat yang digunakan untuk menguji optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis. Kedua hipotesis ini menyatakan bahwa stock split dan reverse stock split akan membawa
harga pada tingkat yang optimal sehingga perdagangan saham akan lebih aktif yang berarti terjadi peningkatan likuiditas. Dalam melakukan analisis terhadap likuiditas, langkah pertama yang dilakukan dalam menganalisa perubahan likuiditas adalah melakukan uji normalitas data terhadap trading volume activity yang merupakan indikator likuiditas. Tujuan dilakukannya uji normalitas data adalah untuk melihat apakah data memiliki distribusi yang normal atau tidak. Uji normalitas data yang digunakan adalah dengan menggunakan grafik distribusi normal. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka variabel-variabel tersebut memenuhi asumsi normalitas. Dan sebaliknya, jika data menyebar dari garis diagonal dan tidak mengikuti arah garis diagonal maka variabel-variabel tersebut tidak memenuhi asumsi normalitas. Hasil
uji
normalitas
data
terhadap
trading
volume
activity
menunjukkan bahwa data memiliki distribusi yang tidak normal. Hal ini dapat dilihat pada lampiran 4 dan lampiran 5. Data semua sampel tidak menyebar disekitar garis diagonal melainkan berkumpul menjauhi garis diagonal, maka dapat disimpulkan variabel-variabel tersebut tidak memenuhi asumsi normalitas. Karena data dalam penelitian ini tidak bersifat normal, maka dalam penelitian ini menggunakan metode non-parametrik dengan melakukan uji tanda (sign test). Dengan uji tanda, akan dibandingkan rata-rata trading volume activity sampel selama 60 hari sebelum dan 60 hari setelah
dilaksanakan split. Kemudian dapat ditarik kesimpulan tentang apakah stock split dan reverse stock split mempunyai pengaruh terhadap likuiditas atau tidak. Tabel 4.7 Perbandingan Trading Volume Activity (TVA) Sebelum dan Sesudah Stock Split Nama Emiten Kalbe Farma Tbk Indosat Tbk Jakarta Internasional Hotel & Dev Tbk International Nickel Indonesia Tbk I Rig Tenders Indonesia Tbk Bakrie Sumatra Plantations Tbk Ekadharma International Tbk Ciputra Surya Tbk Hexindo Adiperkasa Tbk Lippo Karawaci Tbk Tempo Scan Pacific Tbk Arpeni Pratama Ocean Line Tbk Davomas Abadi Tbk Jaya Pari Steel Tbk International Nickel Indonesia Tbk II Panorama Sentrawisata Tbk
TVA Sebelum
TVA Sesudah
Tanda
0,001608197 0,001778963 0,003803472 0,000236363 0,000155276 0,004071985 0,001249396 0,002749009 0,001399509 0,003826264 0,001028741 0,001602027 0,000498531 0,003729324 0,006402185 0,003656875
0,00103209 0,00262317 0,00188518 0,00010511 5,7062E-05 0,01851631 0,00054944 0,01315123 0,00033301 0,0026128 0,00280942 0,00108896 0,00051209 0,00138103 0,00168543 3,2280633
+ + + + + +
Dalam tabel tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa semua emiten yang melakukan stock split mengalami penurunan trading volume activity (TVA) yang berarti juga
penurunan likuiditas. Hanya enam
emiten saja yang trading volume activity (TVA)-nya mengalami kenaikan yakni PT. Indosat Tbk, PT. Bakrie Sumatra Plantations Tbk, PT. Ciputra Surya Tbk, PT. Tempo Scan Pacific Tbk, PT. Davomas Abadi Tbk, dan PT. Panorama Sentrawisata Tbk. Dari keenam emiten tersebut hanya PT. Panorama Sentrawisata Tbk yang mengalami kenaikan TVA sangat signifikan dari 0,003656875
sebelum mengalami stock split menjadi 3,2280633 setelah mengalami stock split. Sedangkan PT. Davomas Abadi Tbk adalah emiten yang mengalami kenaikan TVA
paling rendah dengan kenaikan sebesar
0,000013558. Diantara kesepuluh emiten yang trading volume activity (TVA)-nya justru menurun setelah melakukan stock split, PT. International Nickel Indonesia Tbk II adalah yang mengalami penurunan paling signifikan dibandingkan dengan yang lain. Sebelum mengalami stock split TVA PT. International Nickel Indonesia Tbk II sama dengan 0,00640218. Namun setelah mengalami stock split TVA menurun menjadi hanya 0,0016854. Untuk emiten yang melakukan reverse stock split, perbandingan trading volume activity (TVA) akan disajikan pada tabel berikut. Tabel 4.8 Perbandingan Trading Volume Activity (TVA) Sebelum dan Sesudah Reverse Stock Split Nama Emiten Redland Asia Capital Tbk Sierad Produce Tbk Inti Agri Resources Tbk Bakrie & Brothers Tbk I Lippo E-net Tbk Pan Pacific Internasional Tbk Sentul City Tbk Bakrie & Brothers Tbk II
TVA Sebelum
TVA Sesudah
Tanda
0,0018042 0,000232216 0,000712029 0,002688677 0,001352835 0,001839173 7,72451E-05 0,006217721
0,003287667 0,00079266 0,003839784 0,023623124 0,000639301 0,000401637 0,000119133 0,019826092
+ + + + + +
Berkebalikan dengan yang dialami oleh emiten yang melakukan stock split, secara keseluruhan emiten-emiten yang melaksanakan reverse stock split mengalami peningkatan trading volume activity (TVA) yang berarti peningkatan likuiditas.
Hanya dua emiten yang mengalami penurunan TVA setelah melakukan reverse stock split yakni PT. Lippo E-net Tbk dan PT. Pan Pacific Internasional Tbk. Penurunan paling signifikan dialami oleh PT. Pan Pacific Internasional Tbk dari 0,001839173 sebelum mengalami reverse stock split menjadi 0,000401637 setelah mengalami reverse stock split. Sedangkan PT. Lippo E-net, TVA sebelum melakukan reverse stock split sebesar 0,001352835 menjadi 0,000639301 setelah melakukan reverse stock split. Kenaikan TVA PT. Bakrie & Brothers I ternyata lebih besar dibandingkan emiten lainnya yang juga mengalami kenaikan. TVA PT. Bakrie & Brothers I sebelum mengalami reverse stock split sama dengan 0,002688677. Namun, setelah mengalami reverse stock split TVA-nya naik menjadi 0,023623124. Kenaikan TVA paling rendah dialami oleh PT. Sentul City Tbk yakni sebesar 0,0000418875. Output SPSS dari pengujian ini dapat dilihat pada lampiran 6 untuk emiten yang melakukan stock split, dan lampiran 7 untuk emiten yang melakukan reverse stock split. Dari hasi output SPSS ini, dapat dilihat signifikansi dari perubahan TVA. Tabel 4.9 menyajikan hasil signifikansi dari TVA sebelum dan sesudah tanggal pelaksanaan stock split atau reverse stock split.
Tabel 4.9 Hasil Signifikansi Perubahan TVA Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Stock Split dan Reverse Stock Split Perubahan TVA Sebelum dan Sesudah Stock Split Reverse Stock Split
Significance (P-value) 0,454 0,289
Nilai Kritis bila α = 5% 2,131 2,365
Keterangan Signifikan Signifikan
Berdasarkan output Frequencies uji tanda pada emiten yang melakukan stock split (lampiran 6) terlihat bahwa jumlah selisih pasangan data TVA sesudah – TVA sebelum terdiri dari 10 pasang berselisih negatif, dan 6 pasang berselisih positif, dan tidak ada pasangan berselisih nol atau pasangan data bernilai sama (ties). Hal ini sesuai dengan tabel 4.7-Perbandingan Trading Volume Activity (TVA) sebelum dan sesudah Stock Split yang telah disajikan sebelumnya. Output SPSS memberikan P-value untuk uji dua sisi (two-tailed) sama dengan 0,454 pada emiten yang melakukan stock split seperti tampak pada lampiran 6. Adapun nilai kritis dengan tingkat keyakinan 95% (α = 5%) dan derajat kebebasan (degree of freedom) atau df sebesar 15 (nilai df = 15 diperoleh dari n-1, dimana n=16) adalah sebesar 2,131. Nilai ini dapat diperoleh dari tabel nilai t. Nilai P-value uji dua sisi ini lebih kecil dari α = 5% sehingga merupakan bukti kuat untuk menolak Ho. Hal ini membuktikan bahwa likuiditas mengalami perubahan signifikan setelah emiten melakukan stock split. Namun secara umum perubahan ini bersifat negatif atau dengan kata lain likuiditas mengalami penurunan setelah melakukan stock split.
Hasil penelitian ini tidak
mendukung optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang mendasari pelaksanaan stock split. Perubahan tingkat harga akibat pelaksanaan stock split belum cukup membawa tingkat harga pada rentang harga optimal, sehingga justru menurunkan likuiditas saham. Hal ini dapat disebabkan karena tidak adanya kepastian bisnis dalam pasar modal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang Sutrisno (2000) dan Ade Wirman (2002) yang menyatakan bahwa likuiditas mengalami penurunan signifikan setelah mengalami stock split. Data output Frequencies uji tanda pada emiten yang melakukan reverse stock split (lampiran 7) menunjukkan jumlah selisih pasangan data TVA sesudah – TVA sebelum terdiri dari 2 pasang berselisih negatif, 6 pasang berselisih positif, dan tidak ada pasangan berselisih nol atau pasangan data bernilai sama (ties). Hasil ini sesuai dengan tabel 4.8Perbandingan Trading Volume Activity (TVA) Sebelum dan Sesudah Reverse Stock Split yang telah disajikan sebelumnya. Output SPSS memberikan P-value untuk uji dua sisi (two-tailed) sama dengan 0,289 pada emiten yang melakukan reverse stock split seperti tampak pada lampiran 7. Adapun nilai kritis dengan tingkat keyakinan 95% (α = 5%) dan derajat kebebasan (degree of freedom) atau df sebesar 7 (nilai df = 7 diperoleh dari n-1, dimana n=8) adalah sebesar 2,365. Nilai Pvalue uji dua sisi ini lebih kecil dari α = 5% sehingga merupakan bukti kuat untuk menolak Ho.
Hal ini membuktikan bahwa likuiditas mengalami perubahan signifikan setelah emiten melakukan reverse stock split. Secara keseluruhan perubahan ini bersifat positif atau dengan kata lain likuiditas mengalami peningkatan setelah melakukan reverse stock split. Hasil ini mendukung optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang merupakan motivasi dibalik pelaksanaan reverse stock split. Penelitian ini menghasilkan bukti yang sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lihua Jing (2002) yang menyatakan bahwa likuiditas saham meningkat setelah mengalami reverse stock split. 2.
Analisis Abnormal Return
Keberadaan abnormal return berangkat dari signaling hipotesis yang menyatakan bahwa kebijakan stock split dan reverse stock split membawa sinyal bagi investor yang ditandai dengan adanya abnormal return yang signifikan disekitar hari pengumuman stock split atau reverse stock split. Penelitian ini menggunakan pendekatan ARIMA dalam permodelan expected return dengan periode estimasi sebanyak 100 hari, terhitung mulai dari h-110 sampai dengan h-10 pengumuman split. Sedangkan periode investigasi dimulai dari h-10 sampai dengan h+5 pengumuman split. Periode ini berlaku bagi emiten yang melakukan stock split maupun reverse stock split.
a. Stock Split
Kestasioneran merupakan salah satu asumsi yang harus terpenuhi sebelum menggunakan metode ARIMA. Data time series dikatakan stasioner jika rata-ratanya maupun variance-nya konstan, tidak berubahubah sepanjang waktu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan unit root test dengan metode Augmented Dickey-Fuller Regression (ADF) dalam pengujian stasioneritas data. Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai statistik ADF dengan nilai kritis Mackinnon untuk mengetahui derajat integrasi stasioneritas suatu variabel. Suatu variabel disebut stasioner jika nilai statistik ADF lebih besar dari nilai kritis Mackinnon. Hasil pengujian stasioneritas data return saham menunjukkan bahwa data telah stasioner pada tingkat level. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.10 yang disajikan dibawah ini. Sedangkan hasil output Eviews untuk uji stasioneritas ini terlampir pada lampiran 8.
Tabel 4.10 Hasil Uji Stasioneritas Tingkat Level Pada Emiten yang Melakukan Stock Split
Nama Emiten
-12.29506 -9.879758 -7.534218 -11.13593 -12.13031
ADF McKinnon Critical Value (5%) -2.886732 -2.886732 -2.886732 -2.886732 -2.886732
-8.597983
-2.886732
Stasioner
-8.647781
-2.886732
Stasioner
-9.158394
-2.886732
Stasioner
-11.04539
-2.886732
Stasioner
-14.09071 -10.59691 -8.094985 -11.33966 -12.65750 -10.84424 -10.19183
-2.886732 -2.886732 -2.886732 -2.886732 -2.886732 -2.886732 -2.886732
Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner
Hasil ADF
Arpeni Pratama Ocean Line Tbk - APOL Ciputra Surya Tbk - CTRS Davomas Abadi Tbk - DAVO Ekadharma International Tbk - EKAD Hexindo Adiperkasa Tbk - HEXA International Nickel Indonesia Tbk I INCO1 International Nickel Indonesia Tbk II INCO2 Indosat Tbk - ISAT Jakarta Internasional Hotel & Dev Tbk JIHD Jaya Pari Steel Tbk - JPRS Kalbe Farma Tbk - KLBF Lippo Karawaci Tbk - LPKR Panorama Sentrawisata Tbk - PANR Rig Tenders Indonesia Tbk - RIGS Tempo Scan Pacific Tbk - TSPC Bakrie Sumatra Plantations Tbk - UNSP
Keterangan Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa hasil ADF selalu lebih besar dari nilai kritis Mackinnon pada tingkat α = 5%. Hal ini menunjukkan bahwa data telah stasioner pada tingkat level. Pemakaian tingkat signifikansi 5% tersebut dinilai masih layak digunakan untuk mewakili hubungan antar variable dan umum digunakan dalam penelitian ilmu sosial. (Nazir, 2001 dalam Achmad Rifa’i dan Rudi Handoko, 2005). Setelah data stasioner, langkah selanjutnya adalah menentukan model ARIMA
dengan
bantuan
plot
correlogram
autocorrelation
dan
correlogram partial autocorrelation. Pola autocorrelation function (ACF) dan partial autocorrelation function (PACF) yang dihasilkan dari plot correlogram dapat ditunjukkan olah lampiran 10. Dari hasil plot correlogram ini, dapat ditentukan model yang tepat dengan memperhatikan pola
autocorrelation function dan partial
autocorrelation function. Pola ACF dan PACF yang dihasilkan dari plot correlogram setidaknya akan terdiri dari empat kemungkinan, yaitu: o Tidak ada ACF dan PACF pada data. Artinya model ARIMA kurang
sesuai, sehingga permodelan cukup dilakukan dengan metode regresi. o Data bersifat musiman, yang ditunjukkan oleh ACF dan/atau PACF
yang sangat signifikan pada lag berkelipatan. o Jika ACF menurun drastis pada lag tertentu dan pola PACF-nya turun
secara perlahan, maka model MA (q) kemungkinan cocok untuk diterapkan. Sedangkan jika PACF menurun drastis pada lag tertentu dan pola ACF-nya turun secara perlahan maka model AR (p) kemungkinan cocok untuk digunakan. o Jika tidak jelas model AR atau MA yang dapat diterapkan, maka dapat
digunakan model gabungan AR dan MA atau salah satu diantara keduanya. Permodelan ARIMA yang telah dipilih melalui plot correlogram dapat dilihat pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11 Permodelan ARIMA Pada Emiten yang Melakukan Stock Split Nama Emiten Arpeni Pratama Ocean Line Tbk Ciputra Surya Tbk Davomas Abadi Tbk Ekadharma International Tbk Hexindo Adiperkasa Tbk International Nickel Indonesia Tbk I International Nickel Indonesia Tbk II Indosat Tbk - ISAT Jakarta Internasional Hotel & Dev Tbk Jaya Pari Steel Tbk Kalbe Farma Tbk Lippo Karawaci Tbk Panorama Sentrawisata Tbk Rig Tenders Indonesia Tbk Tempo Scan Pacific Tbk Bakrie Sumatra Plantations Tbk
Model ARIMA (apol) ar(1) ma(1) – ARMA(1,1) (ctrs) ar(1) ma(1) ma(2) – ARMA (1,2) (davo2) ar(1) – ARMA (1,0) (ekad1) ar(1) ar(2) ar(3) ar(4) ma(1) ma(2) ma(3) ma(4) – ARMA (4,4) (hexa) c ar(1) ma(1) – ARMA (1,1) (inco1) ma(1) – ARMA (1,0) (inco2) ar(1) – ARMA (1,0) (isat) c ar(1) – ARMA (1,0) (jihd) ar(1) ar(2) ar(3) ar(4) ar(5) ma(1) ma(2) ma(3) ma(4) ma(5) - ARMA (5,5) (jprs) ar(1) – ARMA (1,0) (klbf) ar(1) ar(2) ar(3) ma(1) ma(2) ma(3) – ARMA (3,3) (lpkr) ar(1) – ARMA (1,0) (panr) ar(1) ar(2) ar(3) ma(1) ma(2) ma(3)– ARMA (3,3) (rigs) c ar(1) – ARMA (1,0) (tspc) ar(1) ar(2) ma(1) ma(2) – ARMA (2,2) (unsp) c ar(1) ar(2) ar(3) ma(1) ma(2) ma(3) – ARMA (3,3)
Setelah model tentatif diperoleh, tahap selanjutnya adalah melakukan estimasi terhadap parameter model tersebut dengan metode Least Square. Hasil estimasi parameter model terlampir pada lampiran 12. Dari hasil ini, harus dipastikan variabel-variabel yang terdapat dalam model signifikan. Jika terdapat koefisien dugaan parameter yang tidak signifikan, maka variabel yang bersangkutan harus dikeluarkan dari model. Ukuran lain yang dapat dijadikan pertimbangan adalah Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Info Criterion (SIC), Adjusted R2 dan Standar Error of Regression. Ketika memutuskan menambah satu variabel tertentu
yang ternyata signifikan, maka penambahan tersebut dapat diterima jika Adjusted R2 meningkat, sedangkan Akaike Info Criterion (AIC) dan Standar Error of Regression menurun. Tabel 4.12 Hasil Estimasi Parameter Model Pada Emiten yang Melakukan Stock Split Kode Emiten APOL CTRS DAVO
EKAD
HEXA INCO 1 INCO 2 ISAT
JIHD
JPRS
Variabel AR(1) MA(1) AR(1) MA(1) MA(2) AR(1) AR(1) AR(2) AR(3) AR(4) MA(1) MA(2) MA(3) MA(4) C AR(1) MA(1) MA(1) AR(1) C AR(1) AR(1) AR(2) AR(3) AR(4) AR(5) MA(1) MA(2) MA(3) MA(4) MA(5)
t-statistic 1.658316 -2.682442 -3.368805 3.669654 1.796088 3.639194 3.663559 -4.722154 4.061580 -13.77859 -6.210882 8.773573 -6.317916 24.05179 2.169169 -9.860621 6.814448 2.505135 2.441018 2.117357 1.714694 -8.190281 5.429858 5.236048 -8.585129 -14.32343 5.851442 -4.360726 -5.518242 8.153802 10.20956
AR(1)
-3.065866
Signifikan * *** *** *** * *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** ** *** *** ** ** ** * *** *** *** *** *** *** *** *** *** ***
***
Kode Emiten
KLBF
LPKR
PANR
RIGS
TSPC
UNSP
Variabel
t-statistic
Signifikan
AR(1) AR(2) AR(3) MA(1) MA(2) MA(3) AR(1) AR(1) AR(2) AR(3) MA(1) MA(2) MA(3) C AR(1) AR(1) AR(2) MA(1) MA(2) C AR(1) AR(2) AR(3) MA(1) MA(2) MA(3)
-3.567191 -4.040330 -5.317450 3.810272 3.414288 6.013452
*** *** *** *** *** ***
2.945540 7.583712 13.92131 -12.70942 -38.26213 -35.69295 70.70284 2.007089 -1.864994 -13.00621 -13.07582 135.1546 162.2904 2.000676 -10.86235 -12.63681 -14.74100 44.57055 68.53545 55.33505
*** *** *** *** *** *** *** ** ** *** *** *** *** ** *** *** *** *** *** ***
* Signifikan 10 % ** Signifikan 5 % *** Signifikan 1%
Tabel 4.12 merupakan ringkasan dari lampiran 12, yang menyajikan variabel-variabel dari setiap emiten dengan nilai t-statistiknya untuk menentukan apakah variabel-variabel tersebut telah signifikan. Dari penyajian diatas, dapat dilihat bahwa semua variabel telah signifikan pada nilai α yang bervariasi. Namun, sebagian besar telah signifikan pada tingkat α = 1 %. Hanya APOL, CTRS dan ISAT yang salah satu variabel dari modelnya signifikan pada tingkat α = 10 %. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan variabel yang terdapat dalam model yang disajikan pada tabel 4.11 telah signifikan. Setelah semua variabel signifikan, maka ketepatan model harus diuji lagi dengan melakukan plot correlogram terhadap residualnya seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil correlogram dapat ditunjukan oleh lampiran 14. Tujuan dari pengujian kembali dengan plot correlogram adalah memastikan apakah spesifikasi model telah benar. Jika residualnya ternyata white noise, maka modelnya sudah baik. Hal ini dapat dilihat dari autocorrelation function (ACF) dan partial autocorrelation (PACF) yang tidak signifikan. Ini merupakan indikasi bahwa residual merupakan white noise yang artinya model telah cocok. Signifikan tidaknya ACF dan PACF dapat dilihat dari uji Barlet pada correlogram. Barlet merupakan dua garis yang merupakan interval keyakinan atau pembatas signifikan atau tidaknya ACF dan PACF pada setiap lag. Bila ACF dan PACF semuanya kecil dan terletak diantara interval yang telah ditentukan, dapat dikatakan bahwa residualnya merupakan white noise. Pada lampiran 14 menunjukan bahwa semua sampel, pada semua lag, ACF dan PACF-nya berada diantara interval garis barlet. Hal ini dapat diartikan ACF dan PACF-nya tidak signifikan dan residualnya telah white noise. Sehingga model yang telah disajikan pada tabel 4.11 adalah model terbaik.
Dengan model dari setiap saham yang telah didapatkan diatas, kemudian dilakukan peramalan return wajar (expected return) masingmasing saham. Dalam melakukan peramalan ini, model ARIMA yang telah diperoleh, diubah ke dalam model matematis. Setelah langkahlangkah diatas, barulah dapat dilakukan perhitungan return wajar (expected return). Dibawah ini akan disajikan perhitungan expected return PT. Hexindo Adiperkasa Tbk saat t-10 atau 10 hari sebelum pengumuman stock split sebagai contoh yang mewakili sampel emiten yang melakukan stock split karena model ARIMA dari HEXA meliputi autoregression dan moving avarage serta terdapat konstanta yang signifikan pada model tersebut. Model ARIMA terbaik PT. Hexindo Adiperkasa Tbk saat t-10: (hexa) c ar(1) ma(1) – ARMA (1,1)
Υt = δ + ϑ1 (Υt −11 − δ ) + ε t + θ1ε t −11 Υt = δ (1 − ϑ1 ) + ϑ1Υt −11 + ε t + θ1ε t −11 Yt = 0,005301 (1 – (-0,949890)) + (-0,949890 * 0) + 0 + (0,874148 * -0,029034) Yt = -0,015043646142
dimana: Yt
= expected return HEXA saat t-10
δ
= konstanta (lampiran 12)
ϑ
= koefisien regresi AR orde 1 (lampiran 12)
Yt-11
= return pada saat t-11
θ
= koefisien regresi MA orde 1 (lampiran 12)
εt
= residual,
yang
sebagaimana
model
OSL
mempunyai
karakteristik nilai rata-rata nol, varian konstan dan tidak saling berhubungan.
ε t −1
= residual pada t-11 Langkah berikutnya setelah mendapat nilai expected return adalah
melakukan perhitungan abnormal return setiap saham, untuk selanjutnya dilakukan pengujian statistik terhadap abnormal return. Hal ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi abnormal return yang ada diperiode peristiwa. Signifikansi ini ditunjukkan secara statistik abnormal return tersebut tidak sama dengan nol yaitu positif
untuk good news atau
membawa sinyal positif bagi investor dan negatif untuk bad news atau membawa sinyal negatif bagi investor. Dalam penelitian ini, uji statistik abnormal return dilakukan dengan menggunakan uji t.
Pengujian signifikansi dengan uji t dilakukan untuk abnormal return seluruh saham pada masing-masing hari selama periode investigasi. Jadi pengujian dengan uji t ini tidak dilakukan untuk masing-masing saham, tetapi terhadap seluruh saham (portofolio sekuritas). Output SPSS untuk uji signifikansi abnormal return terampir pada lampiran 16. Ringkasan hasil pengujian signifikansi terhadap abnormal return untuk emiten yang melakukan stock split terdapat di tabel 4.13.
Tabel 4.13 Hasil Perhitungan Abnormal Return di Sekitar Pengumuman Stock Split Hari ke-t AR -10 0,006916301 -9 0,000369113 -8 -0,010234358 -7 -0,006616144 -6 0,001334209 -5 0,011987004 -4 0,000225032 -3 -0,002999558 -2 0,00564539 -1 0,000189385 0 0,005919912 +1 0,003686792 +2 0,015179458 +3 -0,001156597 +4 0,009080738 +5 0,003853001 * Signifikan 10 % ** Signifikan 5 % *** Signifikan 1% NS Non-signifikan
t-hitung 1,619 0,085 -2,479 -2,100 0,266 1,470 0,047 -0,281 0,803 0,050 0,473 0,609 1,161 -0,119 0,718 0,355
p-value 0,126 0,933 0,026 0,053 0,794 0,162 0,963 0,782 0,435 0,961 0,643 0,551 0,264 0,907 0,484 0,728
Keterangan NS NS ** * NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS
Dalam pengujian uji t (two-tailed), dengan tingkat keyakinan 90% (α = 10%) dan derajat kebebasan (degree of freedom) atau df sebesar 15 (nilai df = 15 diperoleh dari n-1, dimana n=16), maka nilai kritis t adalah sebesar
± 1,753. Apabila dengan tingkat keyakinan 95% (α = 5%) dan
df 15, nilai kritis t adalah sebesar ± 2,131. Sedangkan dengan tingkat keyakinan 99%
(α = 1%) dan df 15, nilai kritis t sebesar ± 2,947. Nilai
ini dapat diperoleh dari Tabel nilai t. Hasil perhitungan abnormal return pada emiten yang melakukan stock split menunjukkan bahwa pada tanggal pengumuman nilai abnormal return positif sebesar 0,005919912. Namun, hasil pengujian signifikansi
dengan uji t menunjukkan bahwa nilai tersebut tidak signifikan.
Hal ini dapat disebabkan karena investor ragu-ragu dalam menafsirkan sinyal
yang
disampaikan
emiten
melalui
stock
split
sehingga
mempengaruhi investor dalam keputusan menjual atau membeli saham. Tidak terdapatnya abnormal return yang signifikan mencerminkan keraguraguan investor dalam mengambil keputusan apakah akan menjual atau membeli saham. Hal lain yang menyebabkan tidak terdapatnya abnormal return yang signifikan pada tanggal pengumuman stock split adalah investor telah mengetahui terlebih dahulu informasi mengenai rencana kebijakan stock split sebelum kebijakan ini resmi diumumkan kepada pubik. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya
abnormal return yang secara statistik
signifikan yang terjadi pada t-8 dan t-7. Nilai t-hitung pada t-8 adalah sebesar -2,479 dan probabilitas sebesar 0,026 yang nilainya dibawah 0,05, hal ini menunjukkan bahwa
abnormal return signifikan pada tingkat
kepercayaan 95% (α = 5%). Pada t-7 nilai t-hitung adalah sebesar -2,100 dengan probabilitas 0,053 yang nilainya dibawah 0,1 yang menunjukkan bahwa abnormal return signifikan pada tingkat kepercayaan 90% (α = 10%). Hal ini berarti hipotesis Ho ditolak, yang berarti diterimanya hipotesis alternatif (Ha), yang menyatakan bahwa terdapat abnormal return pada periode investigasi.
Kebocoran informasi yang terjadi sebelum pengumuman stock split dipublikasikan mengakibatkan terdapat abnormal return ditemukan pada t-8 dan t-7
dimana investor telah bereaksi atas kebocoran informasi
tersebut. Hasil yang diperoleh membuktikan signaling hipotesis pada stock split, dimana stock split membawa sinyal dari emiten yang akan
memberikan pandangan kepada investor dalam merespon informasi stock split tersebut.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Rifa’i dan Rudi Handoko (2005) yang meneliti tentang pengaruh stock split terhadap perusahaan yang tercatat tidak membayarkan deviden tunai dengan perusahaan yang melakukan pembayaran deviden sebelumnya. Ahmad Rifa’i dan Rudi Handoko (2005) menemukan adanya abnormal return yang signifikan pada t-30, t-29, t-27, t-3 dan t+30 dengan
tingkat α = 1% pada emiten yang tercatat tidak membayarkan deviden tunai. Sedangkan pada emiten yang melakukan pembayaran deviden sebelumnya ditemukan abnormal return pada t-27, t-25, dan t+4 pada tingkat α = 10%. Abnormal
return
yang
ditemukan
sebelum
pengumuman
mencerminkan kebocoran informasi sebelum pengumuman stock split resmi dipublikasikan sehingga menimbulkan reaksi investor terkait pandangannya terhadap sinyal yang dibawa dari informasi tersebut. b. Reverse Stock Split
Seluruh prosedur yang dilakukan untuk menganalisis adanya abnormal return pada emiten yang melakukan stock split juga dilakukan terhadap
emiten yang melakukan reverse stock split.
Langkah pertama dalam melakukan analisis adanya abnormal return dengan pendekatan ARIMA adalah uji stasioneritas. Data time series dikatakan stasioner jika rata-ratanya maupun variance-nya konstan, tidak berubah-ubah sepanjang waktu. Pada emiten yang melakukan reverse stock split uji stasioneritas juga dilakukan menggunakan unit root test dengan metode Augmented DickeyFuller Regression (ADF). Pengujian ini dilakukan dengan cara
membandingkan nilai statistik ADF dengan nilai kritis Mackinnon untuk mengetahui derajat integrasi stasioneritas suatu variabel. Suatu variabel disebut stasioner jika nilai statistik ADF lebih besar dari nilai kritis Mackinnon.
Hasil pengujian stasioneritas data return saham menunjukkan bahwa data telah stasioner pada tingkat level. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.14 yang disajikan dibawah ini. Sedangkan hasil output Eviews untuk uji stasioneritas ini terlampir pada lampiran 9. Tabel 4.14 Hasil Uji Stasioneritas Tingkat Level Pada Emiten yang Melakukan Reverse Stock Split
Nama Emiten Pan Pacific Internasional Tbk - APIC Sentul City Tbk - BKSL Bakrie & Brothers Tbk I - BNBR1 Bakrie & Brothers Tbk II - BNBR2 Inti Agri Resources Tbk - IIKP Lippo E-net Tbk - LPLI Redland Asia Capital Tbk - PLAS Sierad Produce Tbk - SIPD
Hasil ADF -18.14286 -16.60838 -13.64563 -10.64387 -9.821035 -12.20674 -12.23756 -9.462758
ADF McKinnon Critical Value (5%) -2.886732 -2.887665 2.886732 2.886732 2.886732 -2.886959 2.886732 -2.887425
Keterangan Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa hasil ADF selalu lebih besar dari nilai kritis Mackinnon pada tingkat α = 5%. Hal ini menunjukkan bahwa data telah stasioner pada tingkat level. Setelah data stasioner, langkah selanjutnya adalah menentukan model ARIMA
dengan
bantuan
plot
correlogram
autocorrelation
dan
correlogram partial autocorrelation. Pola autocorrelation function (ACF)
dan partial autocorrelation function (PACF) yang dihasilkan dari plot correlogram dapat ditunjukkan olah lampiran 11.
Dari hasil plot correlogram ini, dapat ditentukan model yang tepat dengan memperhatikan pola
autocorrelation function dan partial
autocorrelation function. Permodelan ARIMA yang telah dipilih melalui
plot correlogram dapat dilihat pada tabel 4.15. Tabel 4.15 Permodelan ARIMA Pada Emiten yang Melakukan Reverse Stock Split Nama Emiten Pan Pacific Internasional Tbk Sentul City Tbk Bakrie & Brothers Tbk I Bakrie & Brothers Tbk II Inti Agri Resources Tbk Lippo E-net Tbk Redland Asia Capital Tbk Sierad Produce Tbk
Model ARIMA (apic) ar(1) – ARMA (1,0) (bksl) ar(1) – ARMA (1,0) (bnbr1) c ar(1) ma(1) – ARMA (1,1) (bnbr2) ar(1) ar(2) – ARMA (2,2) (iikp) c ar(1) ar(2) ar(3) ar(4) ma(1) ma(2) ma(3) ma(4) – ARMA (4,4) (lpli) ma(1) – ARMA (0,1) (plas) ma(1) – ARMA (0,1) (sipd) c ar(1) ma(1) – ARMA (1,1)
Tahap selanjutnya adalah melakukan estimasi terhadap parameter model tersebut dengan metode Least Square. Hasil estimasi parameter model terlampir pada lampiran 13.
Dari hasil ini, harus dipastikan variabel-variabel yang terdapat dalam model signifikan. Jika terdapat koefisien dugaan parameter yang tidak signifikan, maka variabel yang bersangkutan harus dikeluarkan dari model. Ukuran lain yang dapat dijadikan pertimbangan adalah Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Info Criterion (SIC), Adjusted R2 dan Standar Error of Regression. Ketika memutuskan menambah satu variabel tertentu
yang ternyata signifikan, maka penambahan tersebut dapat diterima jika Adjusted R2 meningkat, sedangkan Akaike Info Criterion (AIC) dan Standar Error of Regression menurun.
Tabel 4.16 Hasil Estimasi Parameter Model Pada Emiten yang Melakukan Reverse Stock Split Kode Emiten
Variabel
t-statistic
Signifikan
APIC
AR(1)
-6.001527
***
BKSL
AR(1) C AR(1) MA(1) AR(1) AR(2) MA(1) MA(2) C AR(1) AR(2) AR(3) AR(4) MA(1) MA(2) MA(3) MA(4)
-4.965907 3.857330 4.549927 -62.22522 9.924026 -15.93656 -31.52461 58.93047 2.130978 5.329911 -4.365582 2.473432 -3.020555 -5.624788 5.613255 -3.535713 3.446623
*** *** *** *** *** *** *** ***
LPLI
MA(1)
-7.696819
***
PLAS
MA(1) C AR(1) MA(1)
-1.658069 14.43938 4.095256 -54.54884
*
BNBR 1
BNBR 2
IIKP
SIPD
** *** *** ** *** *** *** *** ***
*** *** ***
* Signifikan 10 % ** Signifikan 5 % *** Signifikan 1%
Tabel 4.16 merupakan ringkasan dari lampiran 13, yang menyajikan variabel-variabel dari setiap emiten dengan nilai t-statistiknya untuk menentukan apakah variabel-variabel tersebut telah signifikan. Dari penyajian diatas, dapat dilihat bahwa semua variabel telah signifikan pada nilai α yang bervariasi. Namun, sebagian besar telah signifikan pada tingkat α = 1 %. Hanya PLAS yang salah satu variabel dari
modelnya signifikan pada tingkat α = 10 %. Oleh karena itu, dapat disimpulkan variabel yang terdapat dalam model yang disajikan pada Tabel 4.15 telah signifikan. Setelah semua variabel signifikan, maka ketepatan model harus diuji lagi dengan melakukan plot correlogram terhadap residualnya seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil correlogram dapat ditunjukan oleh lampiran 15. Tujuan dari pengujian kembali dengan plot correlogram adalah memastikan apakah spesifikasi model telah benar. Jika residualnya ternyata white noise, maka modelnya sudah baik. Hal ini dapat dilihat dari autocorrelation function (ACF) dan partial autocorrelation (PACF) yang
tidak signifikan. Ini merupakan indikasi bahwa residual merupakan white noise yang artinya model telah cocok.
Signifikan tidaknya ACF dan PACF dapat dilihat dari uji Barlet pada correlogram. Barlet merupakan dua garis yang merupakan interval
keyakinan atau pembatas signifikan atau tidaknya ACF dan PACF pada setiap lag. Bila ACF dan PACF semuanya kecil dan terletak diantara interval yang telah ditentukan, dapat dikatakan bahwa residualnya merupakan white noise. Pada lampiran 15 menunjukan bahwa semua sampel, pada semua lag, ACF dan PACF-nya berada diantara interval garis barlet. Hal ini dapat diartikan ACF dan PACF-nya tidak signifikan dan residualnya telah white
noise. Sehingga model yang telah disajikan pada tabel 4.15 adalah model
terbaik. Dengan model dari setiap saham yang telah didapatkan diatas, kemudian dilakukan peramalan return wajar (expected return) masingmasing saham. Dalam melakukan peramalan ini, model ARIMA yang telah diperoleh, diubah ke dalam model matematis. Setelah langkahlangkah diatas, barulah dapat dilakukan perhitungan return wajar (expected return). Dibawah ini akan disajikan perhitungan expected return PT. Bakrie & Brothers Tbk I saat t-10 atau 10 hari sebelum pengumuman reverse stock split sebagai contoh yang mewakili sampel emiten yang melakukan reverse stock split
karena model ARIMA dari BNBR1 meliputi
autoregression dan moving avarage serta terdapat konstanta yang
signifikan pada model tersebut. Model ARIMA terbaik PT. Bakrie & Brothers Tbk I saat t-10: (bnbr1) c ar(1) ma(1) – ARMA (1,1) Υt = δ + ϑ1 ( Υt −11 − δ ) + ε t + θ 1ε t −11 Υt = δ (1 − ϑ1 ) + ϑ1Υt −11 + ε t + θ 1ε t −11 Yt = 0,002058 (1 – 0,436208) + (0,436208 * 0,142857) + 0 + (-0,972484 * 0,086312) Yt = -0,020461327
dimana: Yt
= expected return BNBR1 saat t-10
δ
= konstanta (lampiran 13)
ϑ
= koefisien regresi AR orde 1 (lampiran 13)
Yt-11
= return pada saat t-11
θ
= koefisien regresi MA orde 1 (lampiran 13)
εt
= residual,
yang
sebagaimana
model
OSL
mempunyai
karakteristik nilai rata-rata nol, varian konstan dan tidak saling berhubungan.
ε t −1
= residual pada t-11 Langkah berikutnya setelah mendapat nilai expected return adalah
melakukan perhitungan abnormal return setiap saham, untuk selanjutnya dilakukan pengujian statistik terhadap abnormal return. Hal ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi abnormal return yang ada diperiode peristiwa. Signifikansi ini ditunjukkan secara statistik abnormal return tersebut tidak sama dengan nol yaitu positif
untuk good news atau
membawa sinyal positif bagi investor dan negatif untuk bad news atau membawa sinyal negatif bagi investor. Dalam penelitian ini, uji statistik abnormal return dilakukan dengan menggunakan uji t.
Pengujian signifikansi dengan uji t dilakukan untuk abnormal return seluruh saham pada masing-masing hari selama periode investigasi. Jadi pengujian dengan uji t ini tidak dilakukan untuk masing-masing saham, tetapi terhadap seluruh saham (portofolio sekuritas). Output SPSS untuk
uji signifikansi abnormal return terampir pada lampiran 17. Ringkasan hasil pengujian signifikansi terhadap abnormal return untuk emiten yang melakukan reverse stock split terdapat di Tabel 4.17. Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Abnormal Return di Sekitar Pengumuman Reverse Stock Split Hari ke-t AR -10 -0,040221063 -9 0,019558624 -8 0,055237605 -7 0,00559384 -6 -0,032537787 -5 -0,062304752 -4 -0,039968764 -3 0,050726497 -2 0,024287853 -1 0,023807514 0 0,02156815 +1 0,019888963 +2 -0,01895519 +3 -0,008187859 +4 0,044537085 +5 0,015774879 * Signifikan 10 % ** Signifikan 5 % *** Signifikan 1% NS Non-signifikan
t-hitung -1,941 0,393 1,548 0,259 -0,558 -1,933 -1,532 1,702 1,899 0,558 0,439 0,514 -0,551 -0,181 1,468 0,309
p-value 0,093 0,706 0,165 0,803 0,594 0,095 0,170 0,132 0,099 0,595 0,674 0,623 0,598 0,862 0,186 0,766
Keterangan * NS NS NS NS * NS NS * NS NS NS NS NS NS NS
Dalam pengujian uji t (two-tailed), dengan tingkat keyakinan 90% (α = 10%) dan derajat kebebasan (degree of freedom) atau df sebesar 15 (nilai df = 15 diperoleh dari n-1, dimana n=16), maka nilai kritis t adalah sebesar
± 1,753. Apabila dengan tingkat keyakinan 95% (α = 5%) dan
df 15, nilai kritis t adalah sebesar ± 2,131. Sedangkan dengan tingkat keyakinan 99%
(α = 1%) dan df 15, nilai kritis t sebesar ± 2,947. Nilai
ini dapat diperoleh dari tabel nilai t.
Hasil perhitungan abnormal return pada emiten yang melakukan reverse stock split menunjukkan bahwa pada tanggal pengumuman nilai
abnormal return positif sebesar 0,02156815. Namun, hasil pengujian signifikansi dengan uji t menunjukkan bahwa nilai tersebut tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan karena investor ragu-ragu dalam menafsirkan sinyal yang disampaikan emiten melalui reverse stock split sehingga mempengaruhi investor dalam keputusan menjual atau membeli saham. Tidak terdapatnya abnormal return yang signifikan mencerminkan keraguraguan investor dalam mengambil keputusan apakah akan menjual atau membeli saham. Hal lain yang menyebabkan tidak terdapatnya abnormal return yang signifikan pada tanggal pengumuman reverse stock split adalah investor telah mengetahui terlebih dahulu informasi mengenai rencana reverse stock split sebelum informasi tersebut secara resmi dipublikasikan. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya abnormal return negatif yang secara statistik signifikan yang terjadi pada t-10 dan t-5. Nilai t-hitung pada t-10 adalah sebesar -1,941 dan probabilitas sebesar 0,093 yang nilainya dibawah 0,1, hal ini menunjukkan bahwa
abnormal return signifikan pada tingkat
kepercayaan 90% (α = 10%). Pada t-7 nilai t-hitung adalah sebesar -1,933 dengan probabilitas 0,095 yang nilainya dibawah 0,1 yang menunjukkan bahwa abnormal return signifikan pada tingkat kepercayaan 90% (α = 10%). Hal ini berarti hipotesis Ho ditolak, yang berarti diterimanya
hipotesis alternatif (Ha), yang menyatakan bahwa terdapat abnormal return pada periode investigasi.
Kebocoran informasi yang terjadi sebelum pengumuman reverse stock split dipublikasikan mengakibatkan terdapat abnormal return negatif
ditemukan pada t-10 dan t-5
dimana investor telah bereaksi atas
kebocoran informasi tersebut. Abnormal return negatif ini dikarenakan persepsi investor bahwa reverse stock split seringkali dilaksanakan oleh emiten yang selama tahun-
tahun sebelumnya mengalami kinerja earnings yang tidak baik sehingga mendorong harga sahamnya ke bawah. Kinerja finansial yang buruk ini kemudian dihubungkan dengan semua kejadian reverse stock split sehingga emiten yang melakukannya dianggap mengalami kesulitan finansial. Hal ini membuktikan bahwa reverse stock split membawa sinyal yang dipandang negatif oleh investor, hasil ini juga berarti pembenaran pada signaling hipotesis pada reverse stock split. Selain abnormal return negatif yang signifikan pada saat t-10 dan t-5, hasil analisa data penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat abnormal return positif yang signifikan yang terjadi pada t-2 dengan nilai t-hitung
1,899 dan probabilitas sebesar 0,099 yang nilainya dibawah 0,1, hal ini menunjukan abnormal return
tersebut
signifikan pada tingkat
kepercayaan 90% (α = 10%). Abnormal return positif signifikan yang terjadi pada t-2 atau dua hari
sebelum tanggal pengumuman mungkin terjadi karena reaksi pasar yang
menganggap reverse stock split sebagai sesuatu yang tidak konsisten dan mempengaruhi sinyal yang dibawanya.
(Melinda Safitri dan Dwi
Martani, 2006). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lihua Jing (2002) yang meneliti reaksi pasar akibat adanya kebijakan reverse stock split pada pasar modal Hongkong selama 1991 sampai
dengan 2001. Lihua Jing menemukan adanya abnormal return negatif sebesar -1,86% pada hari sebelum pengumuman reverse stock split pada perusahaan kecil di Hongkong. Hal ini mengidentifikasikan adanya kebocoran informasi sebelum pengumuman saham. Dua fakta penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa mengenai split memiliki kandungan informasi yang dianggap bernilai bagi investor. Secara teoritis, seharusnya split
tidak memiliki arti apapun,
hanya merupakan kebijakan kosmetik saja bagi emiten, karena split sama sekali tidak mempengaruhi cash flow serta nilai perusahaan. Split hanya semata-mata penambahan atau pengurangan lembaran saham, yang disertai penurunan atau peningkatan nilai nominal, sehingga total nilai ekuitas pada neraca perusahaan sama sekali tidak berubah. Namun, walaupun secara teoritis informasi split seharusnya tidak memiliki nilai, tetapi bukti empiris adanya reaksi pasar yang positif maupun negatif mengungkapkan suatu fakta bahwa dibalik informasi split terkandung suatu informasi yang menurut pasar atau investor memiliki suatu nilai. Atau dengan kata lain investor memandang bahwa informasi
split membawa sinyal positif atau negatif dari emiten yang akan direspon
dengan
reaksi
menjual
atau
membei
saham
tersebut
sehingga
menimbulkan abnormal return positif maupun negatif disekitar tanggal pengumuman saham. Hal ini membuktikan signaling hipotesis pada stock split dan reverse stock split yang menyatakan bahwa kebijakan split membawa sinyal dari
emiten yang akan mempengaruhi perilaku investor dalam keputusannya menjual atau membeli saham yang ditandai adanya abnormal return pada saham yang melakukan kebijakan split.
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian terhadap perilaku likuiditas pada masa sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split dan reverse stock split yang didasari oleh optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis; serta signifikansi abnormal return disekitar hari pengumuman stock split dan reverse stock split sebagai bukti
yang mendukung signaling hipotesis yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara likuiditas sebelum dan sesudah pelaksanaan stock split. Hal ini ditandai dengan penurunan trading volume activity (TVA) pada emiten yang melakukan stock split. Hasil penelitian ini
tidak mendukung optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang mendasari pelaksanaan stock split. Perubahan tingkat harga akibat pelaksanaan stock split belum cukup membawa tingkat harga pada rentang harga optimal,
sehingga justru menurunkan likuiditas saham. Hal ini dapat disebabkan karena tidak adanya kepastian bisnis dalam pasar modal. 2. Terdapat perbedaan yang signifikan antara likuiditas sebelum dan sesudah pelaksanaan reverse stock split. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan trading volume activity (TVA) sesudah pelaksanaan kebijakan tersebut. Hasil
ini mendukung optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang merupakan motivasi dibalik pelaksanaan reverse stock split.
3. Terdapat abnormal return signifikan sebelum tanggal pengumuman stock split. Hal ini disebabkan karena investor telah mengetahui terlebih dahulu
informasi mengenai rencana stock split sebelum informasi tersebut dipublikasikan secara resmi oleh emiten. Kebocoran informasi yang terjadi sebelum pengumuman stock split dipublikasikan mengakibatkan terdapat abnormal return signifikan ditemukan pada hari-hari menjelang pengumuman
informasi tersebut, dimana investor telah bereaksi atas kebocoran informasi tersebut. Abnormal return signifikan ditemukan pada t-8 dan t-7 sebelum pengumuman kebijakan tersebut. Hasil yang diperoleh membuktikan signaling hipotesis pada stock split, dimana kebijakan tersebut membawa sinyal dari emiten yang akan memberikan pandangan kepada investor dalam merespon informasi stock split. 4. Terdapat abnormal return signifikan sebelum tanggal pengumuman reverse stock split. Hal ini disebabkan karena investor telah mengetahui terlebih
dahulu informasi mengenai rencana reverse stock split sebelum informasi tersebut dipublikasikan secara resmi oleh emiten. Hal ini mengakibatkan terdapat abnormal return signifikan ditemukan pada hari-hari menjelang pengumuman informasi tersebut dimana investor telah bereaksi atas kebocoran informasi tersebut. Abnormal return signifikan ditemukan pada t10, t-5 dan t-2 sebelum pengumuman kebijakan tersebut. Hasil yang diperoleh membuktikan signaling hipotesis pada reverse stock split, dimana kebijakan tersebut membawa sinyal dari emiten yang akan memberikan pandangan kepada investor dalam merespon informasi reverse stock split.
B.
Implikasi Penelitian
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, mengenai motivasi dibalik stock split dan reverse stock split dengan pembuktian pada likuiditas dan return
saham semoga hasil dari penelitian ini dapat berguna bagi berbagai pihak yang memiliki minat pada pasar modal: 1. Bagi lingkungan akademis Penelitian ini memberikan tambahan bukti empiris terhadap optimal price range hipotesis, liquidity hipotesis dan signaling hipotesis sebagai motivasi
dibalik kebijakan stock split dan reverse stock split, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya di bidang manajemen keuangan, khususnya yang ingin mendalami dan meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh stock split dan reverse stock split terhadap likuiditas dan abnormal return saham di pasar modal dan motivasimotivasi yang mendasari emiten dalam melaksanakannya. 2. Bagi perusahaan Penelitian terhadap likuiditas memberikan bukti empiris bahwa terdapat penurunan likuiditas setelah pelaksanaan stock split dimana hal ini tidak mendukung optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis. Perubahan tingkat harga akibat pelaksanaan stock split belum cukup membawa tingkat harga pada rentang harga optimal, sehingga justru menurunkan likuiditas saham. Hal ini dapat disebabkan karena tidak adanya kepastian bisnis dalam pasar modal. Oleh karena itu, bagi perusahaan yang mempunyai harga saham
yang tinggi sehingga kurang likuid, kebijakan stock split bukanlah alternatif terbaik dalam meningkatkan likuiditas. Hasil berbeda ditemukan pada emiten yang melakukan reverse stock split, karena terjadi peningkatan likuiditas saham setelah emiten melaksanakan kebijakan tersebut. Hal ini sesuai dengan optimal price range hipotesis dan liquidity hipotesis yang mendasari pelaksanaan reverse stock split. Bagi
perusahaan yang mempunyai harga saham yang terlalu rendah sehingga kurang menarik bagi investor, reverse stock split dapat dijadikan pilihan yang tepat untuk meningkatkan likuiditas. Secara umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan atau kondisi harga saham di pasar modal terutama di Indonesia pada sebelum atau sesudah stock split dan reverse stock split. Sehingga dapat menjadi referensi emiten dalam mengambil keputusan kebijakan. 3. Bagi investor Dari penelitian pada return saham, ditemukan adanya abnormal return disekitar tanggal pengumuman stock split dan reverse stock split. Hal ini mendukung signaling hipotesis dimana informasi stock split dan reverse stock split memiliki kandungan informasi yang akan mempengaruhi keputusan
investor dalam melakukan transaksi. Penelitian ini memberi masukan bahwa stock split dan reverse stock dapat memberikan suatu sinyal bagi investor yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam keputusan transaksi.
Implikasi dari penelitian ini bagi investor adalah menambah bahan acuan sehingga dapat menginterprestasikan stock split dan reverse stock split sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan investasi.
C.
Saran
Sebagai peneliti penulis menyadari, bahwa dalam melakukan penelitian harus selalu dilakukan penyempurnaan secara terus-menerus, karena manajemen keuangan dan pasar modal Indonesia selalu berkembang dari waktu ke waktu, maka untuk penelitian selanjutnya penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Sebaikanya dalam menganalisis perubahan likuiditas tolak ukurnya diperluas, tidak hanya diukur dengan volume perdagangan. Hal ini perlu untuk dilakukan karena likuiditas suatu saham juga dapat diukur dari persentase spread-nya, ataupun besarnya komisi untuk broker karena komisi ini ikut
menentukan likuiditas saham. 2. Sebaiknya periode estimasi dalam menganalisis return saham diperpanjang. Dengan periode estimasi yang lebih panjang, dapat dilihat lebih jelas dalam menghitung expected return.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Rifai dan Rudi Handoko, “Pengaruh Pemecahan Saham Terhadap Tingkat Pengembalian Saham: Studi Mengenai Efisiensi Pasar Bentuk Setengah Kuat di Bursa Efek Jakarta”, Jurnal Keuangan dan Moneter Vol. 2 No. 8. (Desember), 2005. Ade Wirman, “Analisis Pengaruh Stock Split Terhadap Likuiditas Saham di Pasar Modal”. Economac Vol. 1 No. 1. (Februari), 2002. Agus Widarjono, “Ekonometrika: Teori dan Aplikasi”, Edisi Kedua dan Cetakan Pertama, Ekonisia, Yogyakarta, 2007. Bodie, Zvi dkk, “Investment”, Edisi Enam, Salemba Empat, Jakarta, 2006.
Dhar, Satyajit dan Sweta Chhaochharia, ”Market Reaction Arround The Stock Split and Bouss Issue: Some Indian Evidence”, University of Kalyani, India, 2008. Jing, Lihua, “An Event Study of Reverse Split in Hongkong Market”, City University of Hongkong, Kowloon, 2002. Jog, Vijay dan Peng Cheng Zhu, “Thirty Years of Stock Split, Reverse Split and Stock Devidend in Canada”, Sprott School of Business Carleton University, Otawa, 2004. Julita. “Market Reaction of Stock Split Announcement”. Jurnal Kiat Vol. IV No. 11. (Oktober), 2002.
Luciana Spica Almilia dan Emanuel Kristijadi. “Dampak Size Perusahaan Terhadap Kandungan Informasi dan Efek Intra Industri Pengumuman Stock Split”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol. 13 No. 1. (Maret), 2006. Martell, Terrence F. dan Gwendolyn P. Webb, “The Performance of Stock that are Reverse Split”, The City University of New York, 2005. Melinda Savitri dan Dwi Martani, ”The Analisys Impact of Stock Split and Reverse Split on Stock Return and Volume The Case of Jakarta Stock Exchange”, University of Indonesia, 2006. Nachrowi D Nachrowi, ”Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan”, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2006. Pavabutr, Pantisa dan Kulpatro Sirodom, “The Impact of Stock Split on Price and Liquidity on the Stock Exchange of Thailand”, International Research Journal of Finance and Economic, Thailand, 2008. Stanislaus S. Uyanto, ”Pedoman Analisis Data Dengan SPSS”, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009. Suharsimi Arikunto, “Manajemen Penelitian”, Rineka Cipta, Jakarta, 2007.
Sutrisno, Wang. “Pengaruh Stock Split Terhadap Likuiitas dan Return Saham di Bursa Efek Jakarta”. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 2 No. 2. (September), 2000. Van Horne, James C. dan John M. Wachowich Jr., “Fundamental of Financial Management”, Salemba Empat, 2007. Widiastuti, Harjanti dan Usmara. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stock Split dan Pengaruhnya Terhadap Nilai Perusahaan”. Jurnal Akuntansi dan Investasi Vol. 6 No. 2. (Juli), 2005.
Zidny Rahmawaty, “Analisis Return Saham Sebelum dan Sesudah Stock Split pada Perusahaan Go Publik di Bursa Efek Surabaya”. Jurnal Ekonomi, Bisnis dan Sosial (JEB’s) Vol. 5 No. 2. (Januari), 2005.