ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH KARYA ACHMAD CHODJIM; APLIKASI METODOLOGI KAJIAN TAFSIR ISLAH GUSMIAN
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh: Irwan NIM: 102034024814
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH KARYA ACHMAD CHODJIM; APLIKASI METODOLOGI KAJIAN TAFSIR ISLAH GUSMIAN
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh: Irwan NIM: 102034024814
Di bawah Bimbingan
Dr. M. Suryadinata, M.A. NIP: 19600908 198903 1 005
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
ii
ABSTRAK
Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim; Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian Upaya menafsirkan al-Quran adalah tugas setiap generasi. Oleh sebab itu, perlu disadari bahwa hasil interpretasi dari tiap-tiap generasi tidak pernah sampai pada level absolut tapi hanya pada derajat relatif. Karena, bagaimanapun penerimaan manusia terhadap wahyu verbal-tertulis, berbeda dari waktu-waktu bergantung pada tingkat nalar masing-masing penafsir dan faktor ekstrenal yang turut mempengaruhinya. Dalam konteks Indonesia, penafsiran al-Quran terus berkembangan hingga saat ini. Tentu ini fenomena yang sangat membanggakan mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Tidak hanya banyak dari sisi kuantitas, karya tafsir al-Quran di Indonesia telah memperlihatkan keragaman dari sisi teknis penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan. Sayangnya, jumlah karya tafsir yang banyak itu tidak dibarengi dengan maraknya penelitian ilmiah, khususnya, oleh mahasiswa Tafsir-Hadis UIN Jakarta. Data yang penulis dapat, hanya ada sekitar 16 judul skripsi yang membahas metodologi sebuah karya tafsir. Dan hanya setengahnya yang membahas metodologi tafsir dari karya tafsir yang ditulis oleh penafsir dalam negeri. Untuk memberikan semangat positif kepada mahasiswa Tafsir-Hadis yang lain, maka penulis melakukan penelitian ilmiah terhadap tafsir Alfatihah: Membuka Mata Batin dengan Surat Pembuka karya Achmad Chodjim. Yang penulis bidik dari Alfatihah, tentu saja aspek metodologi tafsirnya. Sosok Achmad Chodjim memang masih asing bagi komunitas mahasiswa Tafsir-Hadis. Pendidikan formalnya bukan dari IAIN atau lebih spesifik lagi Tafsir-Hadis. Profesinya juga tidak bersentuhan langsung dengan teori-teori penafsiran al-Quran atau sebagai dosen studi agama. Ia sekarang adalah mantan karyawan di perusahaan asing dan seorang motivator. Kalaupun ada kegiataan yang berkaitan dengan isu-isu keagamaan, ia dikenal sebagai orang yang getol memasarkan pemikiran Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. Layaknya HB. Jassin dan Dawam Rahardjo, Chodjim juga mendapat gugatan ketika meluncurkan karyanya tersebut. Bagi Salman Harun, karyanya itu bukan karya tafsir, dan itu artinya dia bukan penafsir. Meski demikian, menurut Chodjim, Allah tidak pernah memberikan hak istimewa kepada siapapun untuk menafsirkan al-Quran. “Kitab Suci itu terbuka bagi siapa saja yang ingin memahaminya”, tegasnya. Dalam meneliti metodologi tafsir Alfatihah, penulis mengikuti rumusan yang dibuat oleh Islah Gusmian, sarjana Tafsir-Hadis UIN Jogjakarta. Dengan rumusan Gusmian, metodologi kajian tafsir dilihat dari dua sisi, yakni sisi teknis penulisan dan sisi hermeneutiknya.
iii
LEMBAR PENGESAHAN
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul: "Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim; Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian" diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 14 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Tafsir Hadis. Jakarta, 17 Juli 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Pembimbing
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. M. Suryadinata, MA NIP: 19600908 198903 1 005
Muslim, S. Th. I
Anggota,
Dr. Yusuf Rahman, MA NIP: 19670213 199203 1 002
Drs. Zainal Arifin Zamzami, MA
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Huruf Arab
Huruf Latin
Ç È Ê Ë Ì Í Î Ï Ð Ñ Ò Ó Ô Õ Ö
tidak dilambangkan
Ø Ù Ú Û Ý Þ ß á ã ä æ å Á í ÜÉ
Th
B T S J H Kh D Dz R Z S Sy Sh Dh
Zh ' Gh F Q K L M N W H ` Y Ah
2. Syiddah Ditulis Rangkap
ãÝÓøÑæä ditulis mufassirûn
ÑÈø ditulis rabb
3. Vokal Panjang Tanda Baca
ÜÇó
Keterangan Fathah + alif
v
Ditulis Â
Üöí Üõæ
Kasroh + ya mati
Î
Dhammah + waw
Û
4. Vokal-vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan Apostrof
ÃÃäÊã ditulis a`antum ÃÚÏøÊ ditulis u'iddat
5. Kata Sandang
Bila diikuti huruf "Qamariyyah" ditulis al-
ÇáÚÈÏ ditulis al-'abd
Bila diikuti huruf "Syamsyiyyah" ditulis dengan menghilangkan huruf L dan menggandakan huruf "Syamsyiyyah" yang mengikutinya
ÇáÑøÓæá ditulis ar-rasûl
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT. Tuhan yang selalu mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya. Dialah ’Tangan Gaib’ yang selalu ‘menyapa’ dan terus ‘menyemangati’ penulis kala kelelahan mental dan finansial dalam perampungan tugas akhir skripsi ini. Atas pertolonganNya pula, penulis berhasil meraih gelar sarjana strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Salawat serta salam seiring kerinduan, senantiasa tercurah-limpah kepada baginda Nabi Muhammad saw. Beliaulah mata air kehidupan dan teladan sempurna hingga akhir zaman. Motivasi-motivasinya yang selalu menganjurkan pengikutnya untuk selalu menuntut ilmu, bagaimanapun telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan penulis. Penulis menyadari betul, bahwa skripsi yang berjudul "Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim: Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian" ini tidak akan rampung dengan daya yang penulis miliki sendiri. Banyak sosok, kolega, orang-orang spesial baik langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada: Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Dr. Bustamin, M.S.i., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis. Bapak Dr. M. Suryadinata, M.A., selaku pembimbing yang telah memberikan kontribusi bermakna dalam menyelesaikan skirpsi ini. Bersama beliau, segala proses, perubahan, dan pencapaian adalah pelajaran yang sangat
vii
berharga. Seluruh dosen, staff, dan pegawai Fakultas Ushuluddin. Kebaikan dan kemurahhatian mereka secara sadar telah mendorong penulis untuk tidak surut sebelum menang serta menantang untuk giat membaca dan tidak pernah puas berwacana. Bapak Achmad Chodjim untuk wawancara dan diskusinya. Ambisi beliau untuk terus menggali makna yang terdapat dalam al-Quran patut penulis apresiasi. Tugas mulia itu sebenarnya secara formal bukanlah tanggung jawabnya, melainkan tanggung jawab masyarakat Tafsir Hadis, termasuk penulis. Juga untuk Islah Gusmian yang telah menunjukkan kepada penulis dan peminat kajian tafsir sebuah buku tentang metodologi kajian tafsir yang inovatif. Orangtua, Amrizal dan Nurhasni, yang selalu mengingatkan penulis untuk mengakhiri masa kuliah dengan husn al-khatimah. Salut untuk keduanya karena selalu menyampaikan hal itu dengan bahasa pertemanan, layaknya dari seseorang kepada temannya. Kehangatan inilah yang membuat penulis dengan santai merampungkan karya ini tanpa ada tekanan moril tapi menyiratkan tanggung jawab penuh. Semoga karya ini menjadi bukti buat keduanya bahwa penulis selalu mendengar apa yang keduanya nasihatkan. Abang-abang dan adik perempuan penulis: Joni Amrizal, Andi Amrizal, Ifan Amrizal, Aan Amrizal, serta Karisma Yuanita. Meski dunia ini kadang begitu membosankan bersama kalian tapi ikatan darah yang mengalir dalam diri kita abadi. Tidak sopan bila penulis melupankan kakak ipar: Ka’ Anim, Ka’ Nela, dan Ka’ Dona serta dua keponakan penulis: Nazwa dan Zakwan. Teman-teman yang sampai saat ini masih mewarnai kehidupan pribadi dan
viii
intelektual penulis: Sahal Mubarok, Agus Rusli, Bagus Irawan, Abdul Majid, Tri Iswahyudi, Hasiolan, Sahro, Syamsul Munir, dan lain-lain. Tanpa Arrisalah mungkin kita tidak akan bertemu. Doakan agar presiden kalian ini bisa mendengar aspirasi kalian. Keluarga Madina: Pak Haidar Bagir, Mas Putut Widjanarko, Mas Farid Gaban, Bang Ade Armando, Kang Hikmat Darmawan, Warsa Tarsono, Achmad Rifki,
M.
Husnil,
dan
Rika
Febriani.
Bersama
kalian,
penulis
bisa
menggambarkan dunia dalam aksara dan kata. Teman-teman kelas TH-A/2002: Rifki, Asok, Yos, Umam, Away, Gonggo, Husni, Iqbal, dan Tita atas buku-buku dan disket mininya. Teman-teman HMI cabang Ciputat: Idris Madura, Opan, Asyari, Elban, Dodi, Azwar, Isnur, Su’udi, Fikri, dan lain-lain. Zya Fatimah Baraqbah, Gusti Sari Nadia Ulfah, M. Ja’far, Nanang Sunandar, Tata Septayuda, dan Syofwatillah Mohzaib. Sebelum mengakhiri, penulis ingin mengutip pantun kuno Minangkabau. Kayu gadang di tangah padang. Bakeh bataduah hari hujan. Bakeh balinduang hari paneh. Ureknyo buliah bakeh baselo. Batangnyo buliah bakeh basanda. Pohon besar di tengah padang. Untuk berteduh dari hujan. Untuk berlindung hari panas. Akarnya boleh untuk bersila. Batangnya boleh untuk bersandar. Jakarta, 10 Mei 2010
Irwan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i ABSTRAK ............................................................................................................ ii PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................iv PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ v KATA PENGANTAR ..........................................................................................vii DAFTAR ISI......................................................................................................... .x DAFTAR TABEL.................................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................12 C. Metodologi Penelitian ....................................................................13 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian....................................................16 E. Sistematika Penulisan .....................................................................16
BAB II
METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN A. Pengertian Metodologi Tafsir........................................................17 B. Sejarah Perkembangan Tafsir........................................................21 C. Pemetaan Metodologi Tafsir .........................................................24
BAB III
MENGENAL
ACHMAD
x
CHODJIM
DAN
MENDALAMI ALFATIHAH A. Achmad Chodjim: .........................................................................37 1.Biografi ......................................................................................37 2. Karya-karya Intelektual.............................................................38 B. Alfatihah ........................................................................................39 1. Konteks Sosial...........................................................................39 2. Masa Penulisan dan Penerbitan.................................................40 3. Modal Penafsiran ......................................................................41
BAB IV
ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH A. Aspek Teknis ............................................................................45 B. Aspek Hermeneutis...................................................................58 C. Catatan Kritis ...........................................................................81
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................84 B. Saran................................................................................... … 86
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
xi
88
DAFTAR TABEL Tabel 1 Karakter Tafsir Menurut M. Yunan Yusuf .............................................32 Tabel 2 Konstruksi Ilmu Tafsir Nasruddin Baidan...............................................33 Tabel 3 Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian ................................................34 Tabel 4 Sistematika Penyajian Alfatihah ..............................................................47 Tabel 5 Bentuk Penyajian Alfatihah .....................................................................49 Tabel 6 Gaya Penulisan Alfatihah.........................................................................51 Tabel 7 Bentuk Penulisan Alfatihah......................................................................52 Tabel 8 Sifat Mufasir Alfatihah ............................................................................53 Tabel 9 Asal-usul Keilmuan Mufasir Alfatihah....................................................54 Tabel 10 Asal-usul Alfatihah ................................................................................55 Tabel 11 Sumber-sumber Rujukan Alfatihah........................................................57 Tabel 12 Metode Alfatihah ...................................................................................73 Tabel 13 Nuansa Alfatihah....................................................................................78 Tabel 14 Pendekatan Alfatihah .............................................................................81 Tabel 16 Metodologi Tafsir Alfatihah ..................................................................85
DAFTAR LAMPIRAN Transkrip Wawancara ........................................................................................... I
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bagi kalangan Muslim, al-Quran adalah Kitab Suci sekaligus petunjuk (huda). Oleh sebab itu kajian-kajian yang dilakukan kalangan Muslim mengenai al-Quran sebagian besar merupakan kajian dalam rangka mengungkap makna teks al-Quran (baca: tafsir). 1 Dengan kerangka al-Quran adalah petunjuk, para sarjana Muslim lalu merumuskan kesepakatan bersama tentang al-Quran: bahwa al-Quran shảlih li kuli zamản wa makản (al-Quran relevan di setiap zaman dan tempat). Artinya, alQuran dapat dipahami dengan baik jika penafsir kitab suci mampu mendialogkannya secara kritis, dinamis, dan proporsional. Diktum ini setidaknya memberi ruang bagi berbagai pemahaman al-Quran yang akan selalu berkembang seiring perkembangan peradaban dan budaya manusia. 2 Atas dasar proporsisi di atas, maka wajar Nasr Hamid Abu Zayd menyebut peradaban Islam sebagai peradaban teks. Mengingat peradaban Islam berporos pada ‘Narasi Besar’ bernama al-Quran. 3 Dari ’Narasi’ ini lahir ribuan karya intelektual yang ditulis para sarjana Muslim, baik klasik maupun mutakhir, sebagai bentuk persembahan pemikiran dan solusi pada konteksnya serta sebagai
1
Ihsan Ali-Fauzi, “Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis atas Karyakarya dalam Bahasa Arab” (Jurnal UQ, II. 1990), h. 12. 2 Very Verdiansyah, Islam Emansiaptoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M] dan Ford Foundation Jakarta, 2004), h. 3. 3 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul Quran, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 1.
1
rekapitulasi nilai-nilai agama dan untuk menegaskan kembali pemahaman Islam standar bagi para pengikutnya. 4 Semula usaha menafsirkan al-Quran diserahkan sepenuhnya kepada Nabi sebagai penafsir tunggal. Tapi setelah kematian beliau, proses penafsiran al-Quran jatuh ke tangan para sahabat. Setidaknya ada 10 sahabat yang mendapat anugerah berat itu. Seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, Ali ibn Abu Talib, Abdullah ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zait ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah ibn Zubair. 5 Bila ditelisik dari sisi sejarah, keberhasilan Islam sebagai pandangan hidup (world view) masyarakat Arab pada abad VII M yang melampaui agama-agama pendahulunya, Yahudi dan Kristen serta kepercayaan lokal kaum pagan (pribumi) tak bisa dipisahkan dari peran tafsir kontekstual-liberatif Nabi. 6 Mengingat betapa pentingnya posisi tafsir al-Quran dalam menentukan wajah Islam sebagai penebar kasih bagi semesta, maka proses dan tradisi ini harus dipertahankan untuk selalu terus-menerus, berkembang, dan kaji-ulang sampai semua metode keilmuan yang dibangun manusia betul-betul bisa menjaring seluruh makna yang terkandung dalam al-Quran. Sebab secara inheren, al-Quran selalu menebarkan sayap maknanya pada setiap pembaca dan kondisi. 7 Didin Syafruddin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an.” Jurnal Studia Islamika 2, No.2 (1995), h. 180. Review buku Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996). 5 Ahli tafsir di kalangan sahabat sebenarnya banyak jumlahnya tapi yang paling terkenal 10 sahabat di atas. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, penerjemah Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 411. 6 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), h. 298. 7 Lihat M. Quraisy Shihab, Mukjizat al-Quran Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2001), h. 94. Schoun, seperti yang dikutip A’la, menambahkan bahwa keunikan al-Quran karena bahasa al-Quran tidak disusun dalam bentuk pernyataan doktrinal melainkan dalam bentuk narasi historis dan eskatologis. Abd A’la, al-Quran dan Hermeneutik; Memahami Bahasa Agama dalam Wacana Neo-Modernitas (Jakarta: Jurnal taswirul Afkar, Edisi VIII, 2000), h. 122. 4
2
Karena upaya pengakraban terhadap al-Quran dengan berbagai metode dan pendekatannya adalah tugas setiap generasi, harus diingat bahwa hasil interpretasi tidak pernah sampai pada level absolut dan benar secara mutlak. Sebaliknya hasil pemahaman tersebut hanya sampai pada derajat relatif. Bagaimanapun resepsi manusia terhadap wahyu verbal tertulis berbeda dari waktu ke waktu, sesuai dengan tingkat nalar dan faktor-faktor ekstrenal yang turut mempengaruhinya. 8 Dalam konteks Indonesia, sarjana Muslim Indonesia cukup produktif dalam mereproduksi makna al-Quran dan membukukannya dalam sebuah karya.9 Tapi sejauh ini penulis belum menemukan tulisan yang merekapitulasi berapa persisnya jumlah karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia. 10 Sejarah mencatat ada sebuah penggalan karya tafsir surat al-Kahfi (18) dalam bahasa Melayu. Manuskrip itu tertanggal sebelum tahun 1620 yang dibawa ke Belanda oleh sebuah armada Belanda. Bahasanya sangat fasih dan idiomatis. Jelasnya, karya tersebut termasuk kajian al-Quran yang telah terbangun dengan baik, dan yang–tidak kalah dari terjemahan Hamzah Fansuri—telah mencapai standar yang tinggi. Meskipun tidak ada pengarang yang terindikasi, dapat dipastikan bahwa karya tersebut adalah terjemahan Tafsir al-Khazin (w. 1340)
Pengantar Nur Kholis Setiawan,dalam Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas nalar Tafsir Gender (Jogjakarta: Safiria Insania Press, 2004), h. xiv. 9 Aktivitas penafsiran al-Quran di Indonesia, setidaknya, bisa dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama atau yang disebut periode klasik dimulai dari abad 17 sampai 19 M. Periode kedua dimulai dari awal abad 20 sampai dekade 80-an. Terakhir periode kontemporer yang dimulai dari dekade 80-an sampai sekarang. Bidik Lisma Dyawati Fuaida, “Kajian al-Quran Kontemporer: Gagasan tentang Metode dan Pendekatan Penafsiran al-Quran di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). 10 Dalam sebuah makalah yang penulis temukan di internet, dikatakan bahwa Nasruddin Baidan mencatat ada sekitar 1000 karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia. Tapi penulis tidak menemukan informasi ini langsung dalam buku-buku yang ditulis Nasruddin Baidan. 8
3
atas surat al-Kahfi. Karya ini merefleksikan perbedaan penafsiran atas surat itu dam mazhab tasawuf yang berbeda dengan Hamzah Fansuri. 11 Sejarah juga mencatat nama Abd al-Rauf al-Singkel (1024-1105 H/16151693 M) sebagai sarjana Nusantara yang menyusun karya tafsir lengkap 30 juz dan diberi judul Tarjuman al-Mustafid. Karya ini ditulis kala dirinya diangkat sebagai mufti pada masa pemerintahan seorang sultanah dari kesultanan Aceh bernama Kamalat al-Din (berkuasa 1098-1109 H/1688-1699 M). Karya ini lahir sebagai tanggapan terhadap gerakan sufisme wujudiyyah yang dipimpin Hamzah Fansuri (w.1607) dan muridnya Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630) vis-a-vis gerakan ortodoksi yang dipimpin Nur al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji alHumaidi al-‘Aidarusi atau yang biasa dikenal dengan al-Raniri (w.1658). 12 Pada masa itu tidak ada karya tafsir yang populer dari sarjana Muslim Nusantara kecuali karya an-Nawawi al-Bantani (1813-1897). al-Bantani adalah salah seorang ulama yang menonjol pada abad ke-19 dan telah menghasilkan lebih dari 100 karya dalam pelbagai bidang ilmu keislaman. Seperti tafsir, fikih, ushuluddin, ilmu tauhid, tasawuf, sejarah Nabi, tata bahasa Arab, hadis, dan akhlak. Pada 1886, ia menyelesaikan karya monumentalnya mengenai tafsir dengan judul Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir dalam bahasa Arab setebal 985 halaman yang terdiri dari dua jilid. Mazhab tafsir yang dirujuknya bercorak
11
Anthony H. Johns, “Tafsir al-Quran di Dunia Indonesia-Melayu: Sebuah Penelitian Awal.” Jurnal Studi Al-Qur’an I, No. 3 (2006), h. 464. Untuk melihat puisi dan prosa Hamzah Fansuri bidik Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik Karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2000); Syed M. Naguib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970); Didin Syafruddin, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV), h. 5357. 12 Oman Fathurahman, “Abdur Rauf Singkel Ulama Dari Serambi Mekkah,” Kompas, 01 Januari 2000, h. 12; Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2002), h. 110-133.
4
Suni sekalipun di beberapa bagian merujuk pada karya tafsir dari kalangan Muktazilah, terutama karya az-Zamakhsyari. 13 Belakangan muncul nama Howard M. Federspiel. Indonesianis yang semula pemerhati dinamika politik Indonesia tapi kemudian tertarik mengamati literatur-literatur terkait studi al-Quran. Ia mencatat beberapa literatur tentang ulum al-Quran (55 buah), terjemahan al-Quran (69), kutipan al-Quran (29-30), peranan al-Quran (27), bagaimana cara membaca al-Quran (91-92), dan indeks al-Quran (74). 14 Beberapa karya tafsir yang dicatat Federspiel antara lain: [1] Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) 12 jilid. [2] H. Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1983). [3] Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs., Tafsir al-Quran (Jakarta: Widjaya, 1959). [4] Ahmad Hassan, Al-Furqan: Tafsir Quran (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1956). [5] A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abas, dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir Al-Quranul Karim (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1969) 2 jilid. Pada 1955 diterbitkan lagi di Medan. [6] T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Bayan (Bandung: Al-Ma’arif, 1966) 2 jilid. [7] Bactiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran: Huruf Arab dan Latin (Bandung:
F.A.
Sumatera,
1978).
[8]
Yayasan
Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al-Quran, 15 Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta, 1975)
Didin Syafruddin, Ilmu al-Quran Sebagai Sumber Pemikiran dalam Ensiklpodei Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.,t.), jilid IV, h. 54. 14 Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), h. 100-248. Lihat juga Didin Syafruddin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an.” h. 180. 15 Dua karya (nomor 8 dan 9) yang ditulis bersama-sama itu didanai oleh pemerintah dan menarik sekelompok ulama, yang dikenal akrab oleh para pejabat Departemen Agama. Sebagian besar dari mereka memiliki hubungan dengan IAIN-IAIN. Mereka adalah Bustami A. Gani (ketua), T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (wakil ketua), Kamal Muhtar (seketaris), Ghazali Thaib, Syukri Ghazali, A. Mukti Ali, M. Toha Yahya Umar, Amin Nashir, Timur Jailani, Ibrahim Husien, 13
5
11 jilid. [9] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta, 1971). Sebelumnya pernah dicetak pada 1967. [10] H. Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1973). Selain menginventarisasi, Federspiel juga mengelaborasi masing-masing karya tafsir dan menjelaskan perbedaan karya-karya tafsir generasi tertentu dengan karya tafsir pada generasi setelahnya. Misalnya, karya tafsir nomor 2, 3, 4, 7, dan 10 adalah karya tafsir generasi kedua. Genarasi ini dimulai pada era 19601970. Generasi ini merupakan penyempurnaan atas upaya generasi pertama (1900-an sampai 1960-an). Generasi pertama oleh Federspiel ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah. Karya tafsir pada generasi kedua biasanya memiliki beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata per kata, dan kadang-kadang disertai indeks yang sederhana. 16 Sedangkan karya generasi ketiga diwakili oleh karya nomor 1, 5, dan 6. Karya pada generasi ketiga bertujuan untuk memahami kandungan al-Quran secara komprehensif. Oleh karena itu berisi materi tentang teks dan metodologi dalam menganalisa tafsir. 17 M. Yunan Yusuf dalam artikelnya mencatat beberapa karya tafsir yang beredar pada abad 20. Karya-karya tafsir yang disebutkannya sebagian besar telah disebutkan oleh Federspiel. Seperti Tafsir Qur’an Karim-nya Mahmud Yunus, AlFurqon Tafsir Qur’an-nya A. Hassan, dan lain-lain. Dalam artikelnya tersebut,
A. Musaddad, Mukhyar Yahya, A. Soenaryo, Ali Maksum, Musyairi Majdi, Sanusi Latif, dan Abdur Rahim. Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, h. 106. 16 Kategorisasi Federspiel memang bermanfaat dalam rangka melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Namun dari segi tahun pemilahannya itu tampak kacau. Ia memasukan tiga karya tafsir yang menurutnya representatif untuk mewakili generasi kedua. Padahal karya itu telah muncul pada pertengahan dan akhir tahun 1950-an, yang dalam kotegorisasinya masuk dalam generasi pertama. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Teraju: Bandung, 2003), h. 65. 17 Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, h. 129 dan 137. Untuk melihat literature-literatur yang diteliti Federspiel selain karya-karya di atas, bidik halaman 162-164, 224 dan 260.
6
Yusuf membedakan masing-masing karya tafsir dari sisi metode penafsiran, tehnik penafsiran, dan aliran penafsirannya. Di akhir artikel Yusuf menyimpulkan bahwa sebagian besar karya tafsir yang ia teliti ternyata masih beraliran tradisional. 18 Islah Gusmian, untuk penelitian tesisnya, mengumpulkan dan mencatat 24 karya tafsir dalam periode 1990-an. Karya-karya itu di antaranya: [1] Konsep Kufur dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematis (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) karya Harifuddin Cawidu, [2] Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Quran, Suatu Kajian Tafsir Tematis (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) karya Jalaluddin Rakhmat, [3] Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam alQuran (Yogyakarta: LESFI, 1992) karya Musa Asy’ari, dan lain-lain. 19 Dalam penelitiannya tersebut, Gusmian melihat ada keragaman dari sisi teknis penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan. Menurutnya, itu merupakan fenomena yang memperlihatkan adanya tren baru dalam sejarah penulisan tafsir pada dasawarsa 1990-an. M. Affifuddin, untuk penelitian skrisinya, mencata sekitar 26 kitab tafsir yang berkonsentrasi hanya pada surat al-Fatihah. Misalnya, [1] Kandungan Surat al-Fatihah: Tinjauan dari Sudut Kebudayaan, Agama, Politik, dan Sastra karya Bahrum Rangkuti, [2] Rahasia Ummul al-Quran atau Tafsir Surat al-Fatihah karya A. Bahri, [3] Samudera al-Fatihah, Mahkota Tuntunan Ilahi: Pesona alFatihah karya M. Quraish Shihab, [4] Tafsir Sufi al-Fatihah: Mukadimah karya
18
Selengkapnya bidik M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Quran di Indonesia Abad Keduapuluh.” Jurnal Ulumul Quran 3, No. 4 (1992), h. 50. 19 Selengkapnya bidik Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 69.
7
Jalaluddin Rakhmat; [5] dan Alfatihah: Membuka Mata Batin dengan Surah Pembuka karya Ahmad Chodjim. 20 Karya-karya tafsir yang dicatat Howard. M. Federspiel, Yunan Yusuf, Islah Gusmian, dan M. Affifuddin jangan lantas dikumulasikan dan segitulah jumlahnya. Sebab, ada beberapa karya tafsir yang dicatat oleh lebih dari satu orang. Seperti Tafsir Sufi Surat al-Fatihah karya Jalaluddin Rakhmat, yang tidak hanya dicatat oleh Islah Gusmian tapi juga dicatat oleh M. Affifuddin. Dari sekian banyak karya tafsir yang diproduksi sarjana Muslim Indonesia, sayangnya masih sedikit yang dijadikan objek kajian penelitian ilmiah dalam bentuk skripsi oleh mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta, khususnya pembahasan tentang analisis metodologi karya tafsir. Data yang penulis peroleh dari katalog digital skripsi di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Jakarta, ada sekitar 231 judul skripsi 21 yang membahas tentang tafsir. 22 Dari 231 judul skripsi, penulis mencatat hanya ada 16 judul skripsi yang membahas tentang metodologi karya tafsir. Delapan judul skripsi membahas aspek metodologi tafsir karya dalam negeri 23 dan 8 judul skripsi membahas aspek metodologi tafsir karya nonIndonesia. 24
20
M. Affifuddin, “Apresiasi Spiritual Q.S al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya Jalaluddin Rakhmat, Anand Krishna, dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004), h. 40. Bidik juga Izza Rohman Nahrowi, “Karakter Kajian al-Quran di Indonesia” (Skripsi S1, fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). 21 Penulis meragukan jumlah tersebut. Sebab ada beberapa judul skripsi yang tertulis lebih dari satu kali. Di samping itu, jumlah tersebut tidak melulu berasal dari skripsi mahasiswa Tafsir hadis. 22 Tema tafsir yang dibahas oleh mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta secara umum adalah: konsep tertentu yang ‘dicomot’ dari sebuah karya tafsir, komparasi suatu konsep tertentu dari dua karya tafsir yang berbeda, melihat suatu fenomena tertentu dengan merujuk kepada sebuah karya tafsir, elaborasi metodologi penafsiran seorang tokoh, dan studi tokoh dengan karya tafsirnya. 23 [1] Tita Rodhiyatan Mardhiyyah ”Metodologi Tafsir Yayasan Al-Mu’min; Telaah Metode Mawdhû’î dan Corak Isyârî dalam Buku ’Kabar Gemberi dan Peringatan tentang Penyembahan Kita kepada Allah SWT,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas
8
Untuk menyemarakan studi analisis metodologi karya tafsir, penulis ingin berpartisipasi dalam pembahasan tersebut terutama karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia. Karya tafsir yang akan penulis telaah dalam penelitian ini adalah tafsir Alfatihah yang ditulis Achmad Chodjim. 25 Karya tafsir yang diterbitkan Serambi pada Maret 2008 itu adalah karya national bestseller dengan tebal 357 halaman. 26 Dalam pembukaan karya tafsirnya, Chodjim menulis 27 : ”Surah ini dibaca untuk membuka mata batin kita. Dengan memahami dan menghayati surah ini diharapkan akan terbuka mata hati agar kita menyadari kandungan Kitab Allah, baik Kitab-kitab-Nya yang tertulis maupun yang tidak Islam Negeri Jakarta, 2008). [2] Rifka Rahma Wardani ”Tafsir Tematik al-Quran tentang Hubungan Sosial Antar-umat Beragama karya Majlis Tarjih P.P. Muhammadiyah: Sebuah Telaah Analitis tentang Metodologi Penafsiran al-Quran”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [3] Abd. Gofur ”Metode dan Corak Tafsir al-Hijri: Kajian Analitis Karya Didin Hafiduddin”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [4] Hernizal Saidi Harahap ”Studi Kritis Metodologi Tafsir Rahmat”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004). [5] Mahnawil ”Tafsir al-Furqan karya Ahmad Hassan: Analisa Kritis”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [6] Ahmad Zaeni ”Mengenal Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf Singkel: Analisis terhadap Sumber, Metode, dan Corak Tafsir”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008). [7] Cucu Surahman ”Pola Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (Pola Penafsiran Surah al-Baqarah)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003). [8] Rena Yuniar, Analisa Metodologi Tafsir Pasé: Kajian Surah al-Fatihah dan Surah-surah dalam Juz 'Amma: Paradigma Baru (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin & Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005). 24 [1] Liza Khadijah “Metode dan Corak Penafsiran al-Quran dalam Tafsir Ad-Durr alMansur fi al-Tafsir al-Ma'tsur karya Jalaluddin Suyuti”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). [2] Syahrullah Iskandar “Manhaj Fakhruddin Arozi fi Tafsir al-Fatihah: Dirasat Tahliliyah li Tafsir Mafatih al-Ghaib”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003). [3] Achmad Rizal “Pemikiran Ibn Taimiyah dalam Tafsir: Telaah Kritis terhadap Metode Tafsir al-Kabir”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005). [4] Yusuf Iskandar “Tafsir Ayat al-Ahkam: Studi Atas Metode Tafsir Ayat al-Ahkam karya al-Shabuni”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). [5] Lalu M. Iqbal “Metodologi Penafsiran al-Quran Mutawalli Sya’rawi dalam Tafsir al-Sya’rawi”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). [6] Ihat Malihatun ”Metode Penafsiran Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004). [8] M. Rizal “Metode Penafsiran Abdurrahman al-Sa’di dalam Kitab Taysir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005). 25 Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi baru] (Jakarta: Serambi, 2008). 26 Buku ini pertama kali cetak pada Februari 2002. Saat itu, buku ini berjudul Jalan Pencerahan; Menyelami Kandungan Samudra al-Fatihah. 27 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 6.
9
tertulis, yaitu kitab yang terbentang di semesta alam, termasuk kitab yang ada dalam diri kita”.
Sebagai gambaran umum Alfatihah, Chodjim menafsirkan ayat per ayat secara berurutan. 28 Mulai dari Basmalah, Segala Puji Kepunyaan Allah, Dia Maha Pemurah, Raja Hari al-Din, Ibadah dan Pertolongan, Jalan yang Lurus, Kenikmatan Surgawi, Orang yang Dimurkai, dan terakhir Amin. Masing-masing ayat tadi terpisah penafsirannya bab per bab. Di kata pengantar karya ini Chodjim dengan bahasa diplomatis menulis bahwa karyanya itu bukan karya tafsir. Menurutnya, secara kapasitas dia tidak memiliki otoritas untuk menyatakan dirinya sebagai ahli tafsir. 29 Tengok saja latar belakang pendidikan formalnya. Pada 1987 ia meraih gelar sarjana pertanian (agronomi) dari Institut Pertanian Bogor. Lalu pada 1996, ia meraih gelar magister Manajemen di Sekolah Tinggi Prasetya Mulya, Jakarta. Di Indonesia bila aktivitas penafsiran al-Quran dilakukan oleh seseorang yang secara keilmuan dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan penafsiran selalu dipersoalkan. Sebut saja usaha yang dilakukan HB. Jassin dengan karyanya Bacaan Mulia 30 dan Dawan Rahardjo dengan Ensiklopedi AQur’an di jurnal Ulumul Qur’an. 31 Begitupun yang dialami Achmad Chodjim. Dalam sebuah forum diskusi di IAIN Jakarta pada 2000, Salman Harun, mantan Dekan fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan UIN, Jakarta, dengan tegas berkata
Lihat daftar isi buku Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 7. Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 11. 30 Untuk mengetahui sosok HB. Jasin bidik ‘suplemen’, Ulumul Quran 5, vol. IV (1993), h. 62. Lalu untuk melihat ‘dosa kedua’ Jassin setelah Bacaan Mulia bidik D. Sirojuddin AR, “AlQuran Berwajah Puisi: Dibenarkan Tapi Tidak Diakui.” Ulumul Quran 5, vol. IV (1993), h. 60. 31 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Sosial Berdasarkan Konsepkonsep Kunci (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 2002), h. xx. Bidik juga Nasaruddin Umar, “Refleksi Sosial dalam Memahami Al-Qur’an: Menimbang Ensiklopedi AlQur’an Karya M. Dawam Rahardjo.” Jurnal Studi Al-Qur’an I, No. 3 (2006), h. 487. 28 29
10
kepada Achmad Chodjim: ”Tafsir itu bukan wilayah Anda, sebaiknya Anda tidak masuk ke ranah tersebut”. 32 Meski begitu, menurutnya, tidak seorangpun berhak mengklaim dirinya punya hak istimewa dalam menafsirkan al-Quran. Al-Quran akan membuka dirinya bagi siapapun yang ingin membaca dan memahami kandungan dalam dirinya. 33 Singkat kata, ada beberapa alasan yang mendorong penulis memilih tema penelitian ini. Pertama, sarjana Muslim Indonesia tidak kalah produktifnya dalam menghasilkan karya tafsir. Terbukti telah hadir beragam karya tafsir dari generasi awal hingga saat ini. 34 Tapi ada kesenjangan antara banyaknya produk tafsir yang ditulis para sarjana Muslim Indonesia dengan sedikitnya penelitian ilmiah terhadap produk tafsir tersebut, khususnya penelitian yang dilakukan para mahasiswa Tafsir-Hadis UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kedua, penulis Alfatihah adalah bukan orang dari lingkungan pelajar ilmu agama dan lebih spesifik lagi Tafsir-Hadis. Tentu akan sangat menarik untuk meneliti karya yang ditulis ’orang-luar’ dari sisi metode tafsir yang digunakan dan sumber-sumber yang dirujuknya. Poin ini sekaligus menentukan apakah nantinya penulis akan sepakat dengan Salman Harun yang menyangsikan bahwa karya yang ditulis Achmad Chodjim itu adalah tafsir atau sebaliknya. Ketiga, kebetulan Islah Gusmian, selain mencatat beberapa karya tafsir seperti yang disebut di atas, juga membuat rumusan metodologi kajian atas karya
32
Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim, Senin 15 Februari 2010 di kediamannya,
Pamulang. Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 11. Untuk melihat kecenderungan umum kajian tafsir di Indonesia, bidik Kusmana, “Rekontekstualisasi Tradisi Tafsir al-Quran di Indonesia; Mencari Kemungkinan Penggunaan Analisa Metodologi ‘Barat’.” Jurnal refleksi 4, No. 3 (2002), h. 63. 33 34
11
tafsir. Rumusan ini akan sangat mubazir kalau tidak dimanfaatkan untuk meneropong karya tafsir yang ditulis oleh sarjana Muslim, khususnya dari Indonesia. Akhirnya untuk mengisi kelangkaan tersebut, penulis memberanikan diri melakukan penelitian tafsir Alfatihah yang ditulis Achmad Chodjim terutama dari sisi metodologinya. Dengan mengucap bismillah sambil berharap kepada-Nya agar selalu diberi kemudahan, penulis berniat mengajukan penelitian dalam bingkai skripsi dengan judul: ”Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah karya Achmad Chodjim; Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa fokus penelitian ini adalah pada metodologinya, yakni bagaimana melihat tafsir Alfatihah karya Achmad Chodjim dari sisi metodologinya. Untuk menopang fokus penelitian tersebut, penulis menggunakan rumusan metodologi kajian atas beberapa karya tafsir yang dibuat Islah Gusmian. Ada pertimbangan tersendiri mengapa penulis memilih rumusan Islah Gusmian. Pertama, sependek pengetahuan penulis, rumusan Islah Gusmian adalah rumusan mutakhir yang dibuat untuk menganalisa metodologi sebuh karya tafsir, khususnya tafsir dalam negeri. 35 Kedua, Rumusan yang disusun Islah Gusmian lebih detail dibanding rumusan yang lain. Rumusan Farmawi, misalnya, (tahlîlî, ijmâlî, muqarân, dan maudû’î)—yang sering dikutip mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta baik dalam 35
Bidik bab III halaman 31 untuk melihat perkembangan perumusan metodologi kajian karya tafsir oleh para perumus dari dalam negeri.
12
makalah maupun skripsi—tidak menjelaskan secara rinci hal-hal menarik yang terdapat dalam sebuah karya tafsir. Seperti bentuk penulisan tafsir, gaya bahasa yang digunakan, atau asal-usul tafsir. Ketiga, Rumusan Farmawi harus diakui memang lebih maju dari rumusan ulama abad ke-9 sampai abad 13 H yang membagi metodologi tafsir dalam tiga kelompok al-Tafsir bi al-Ma’tsûr, al-Tafsir bi al-Ra’yî, dan al-Tafsir bi al-Isyârî. Tapi rumusan yang dibuat Farmawi tidak memberikan pemetaan yang tegas antara wilayah metode dan pendekatan tafsir serta teknis penulisan tafsir. 36 Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Bagaimana metodologi tafsir Alfatihah Achmad Chodjim bila dilihat berdasarkan rumusan metodologi kajian tafsir Islah Gusmian?
C. Metodologi Penelitian 1. Metode pengumpulan data Dalam mengkaji metodologi tafsir Alfatihah, penulis menggunakan metode pengumpulan data yaitu library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan). Penelitian pertama digunakan untuk melakukan studi terhadap buku-buku yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, baik itu sumber-sumber primer atau skunder. Sedangkan penelitian kedua digunakan untuk mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan studi ini. a. Penelitian Kepustakaan
36
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 115.
13
Rujukan utama pembahasan ini ialah Alfatihah; Membuka Mata Batin dengan Surah Pembuka (Jakarta, Serambi, 2008), [edisi baru] karya Achmad Chodjim dan Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Bandung: Teraju, 2003) karya Islah Gusmian. Data sekunder dieksplorasi kala data-data mengenai persoalan tertentu tidak tersedia dalam sumber-sumber primer. Sumber sekunder adalah buku-buku, artikel jurnal dan koran, baik yang tercetak maupun yang elektronik yang tidak secara langsung membahas tentang studi ini namun masih berkaitan. b. Penelitian Lapangan Untuk lebih mendalami lagi penelitian ini, penulis akan mewawancarai penulis Alfatihah. Wawancara akan berguna untuk mengungkap hal-hal yang tidak disebutkan secara eksplisit tapi masih relevan untuk penelitian ini. 2. Metode Pembahasan Untuk mengkaji metodologi tafsir Alfatihah dalam penelitian ini, penulis mengikuti rumusan yang disusun Islah Gusmian. 37 Dalam hal ini, ada dua variabel penting yang perlu didedah. Pertama, variabel teknis penulisan tafsir. Variabel teknis ini menyangkut sistematika dan bentuk tekstual literatut tafsit ditulis dan disajikan, gaya bahasa yang digunakan, sifat penafsir, serta buku-buku rujukan yang digunakan. Kedua, menyangkut aspek ’dalam’, yaitu konstruksi hermeneutik karya tafsir. Aspek hermeneutik ini tidak hanya terbatas pada variabel linguistik dan riwâyah, tapi juga mempertimbangkan unsur triadik: teks, penafsir, dan audiens sebagai sasaran teks. Dalam aspek hermeneutik ini, arah kajian bergerak pada tiga
37
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 119-121.
14
wilayah. (1) metode penafsiran, yakni tata kerja analisa yang digunakan dalam penafsiran yang terdiri dari: metode riwayat, metode pemikiran, dan metode interteks. (2) nuansa penafsiran, yaitu analisa yang menjadi nuansa atau mainstrem yang terdapat dalam karya tafsir. Misalnya nuansa fikih, sufi, dan lain sebagainya. (3) pendekatan tafsir, yaitu arah gerak yang dipakai dalam penafsiran. Dalam bagian ini terdiri dari: (a) pendekatan tekstual bergerak dari proses penafsiran cenderung berpusat pada teks. Sifatnya ke bawah: dari refleksi (teks) ke praksis (konteks). (b) pendekatan kontekstual, yaitu arah gerak penafsiran yang lebih berpusat pada konteks sosio-historis di mana penafsir hidup dan berada, sifatnya cenderung ke atas: dari praksis (konteks) ke refleksi (teks). 3. Metode Penulisan Untuk penulisan skripsi ini, penulis memakai buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” (Jakarta : CeQDA [Center for Quality Development and Assurance] Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), Cet. II.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan utama penelitian ini ialah ingin melihat metode yang digunakan Achmad Chodjim dalam tafsir Alfatihah. Penulis juga ingin mengekspolari dan mengelaborasi ragam metodologi karya tafsir. Tujuan yang tak kalah penting ialah memenuhi syarat lulus jenjang S1 jurusan Tafsir-Hadis, fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta. Manfaat dari penulisan skripsi ini di antaranya: Dari sisi akademis, ingin menambah khazanah intelektual mahasiswa dan masyarakat dalam kajian al-
15
Quran, khususnya metodologi Alfatihah karya Achmad Chodjim. Dari sisi praktis, ingin memberi masukan dan motivasi kepada mahasiswa Tafsir-Hadis UIN Jakarta agar mau menggalakan kajian terhadap karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia sendiri.
E. Sistematika Penulisan Secara garis besar skripsi ini terdiri dari 5 bab. BAB I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan dan pembatasan masalah, metodologi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Pada BAB II, penulis akan menjelaskan pengertian metodologi tafsir. Lalu menjelajahi sejarah tafsir dan memetakan ragam metodologi tafsir dalam karyakarya tafsir dengan mengutip beberapa pengamat karya tafsir. Pada BAB III, penulis berusaha menampilkan sosok Achmad Chodjim lebih dekat, baik dari sisi riwayat hidup dan karya-karya intelektual yang pernah ditulisnya. Selain itu, penulis juga memaparkan konteks sosial Alfatihah, masa penulisan dan penerbitannya, serta modal penafsiran yang dipunyai Achmad Chodjim. Pada BAB IV, penulis akan fokus menyoroti metodologi tafsir Alfatihah. Untuk itu penulis menggunakan rumusan Islah Gusmian, yaitu membidik Alfatihah dari aspek luar (teknis penulisan) dan aspek dalamnya (hermeneutis). Lalu beberapa catatan kritis terhadap Alfatihah. BAB V adalah bab terakhir dan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
16
BAB II METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN
A. Pengertian Metodologi Tafsir Untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan metodologi tafsir, perlu kiranya dikemukakan terlebih dahulu pengertian semantik dari istilah yang digunakan: metodologi dan tafsir. Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary, 1 metodologi adalah (1) a set or system of methods, principles, and rules in a given discipline. (2) a branch of pedagogics dealing with analysis of subject to be taught and of the method of teaching them. Menurut The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language 2 metodologi adalah (1) a branch of philosophy dealing with the sciense of method or procedure. (2) a system of method and rules applied in a sciense. Lorens Bagus 3 menulis bahwa metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos, yang diambil dari bahasa Latin: methodus yang terambil dari kata meta (setelah, mengikuti) dan hodos (jalan). Sedangkan logos berarti kata, ujaran, rasio, dan ilmu. Ada lima pengertian dari metodologi yang ditulis Lorens Bagus: (1) Studi mengenai metode-metode [prosedur, prinsip] yang digunakan dalam dispilin
1
Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 776. Sedangkan metode adalah procedure, technique, or planned of way doing something; order or system in doing anything; dan orderly or systematic arrangement, sequence, or the like. 2 The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language, vol. I (Danbury, CT: Lexicon Publications, INC., 2004), h. 628. Sedangkan metode adalah a way of doing something; a procedure for doing something; orderliness in doing, planning, etc. 3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta:Gramedi, 1996), h. 648-649. Sedangkan metode, Bagus mengartikannya sebagai jalan atau cara totalitas yang ingin dicapai atau dibangun; cara yang didefinisikan secara jelas dan sistematis untuk mencapai suatu tujuan. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 644.
17
tertentu. Atau studi tentang metode [prosedur, prinsip] yang digunakan untuk menata ilmu yang teratur tersebut. (2) Prinsip-prinsip dari sistem teratur itu sendiri. (3) Cabang logika yang merumuskan dan/atau menganalisa prinsipprinsip yang diperlukan dalam mengambil kesimpulan-kesimpulan logis dan membentuk konsep-konsep. (4) Prosedur-prosedur yang digunakan dalam suatu disiplin yang memungkinkan diperoleh pengetahuan. (5) kumpulan cara penelitian yang digunakan dalam ilmu tertentu. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan metodologi sebagai ilmu tentang metode atau uraian tentang metode. Sedangkan metode adalah cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan lain sebagainya) atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. 4 Dalam bahasa Arab 5 , metodologi diterjemahkan dengan manhaj atau minhâj yang berarti jalan yang terang. 6 Adapun kata tafsir atau al-tafsîr adalah bentuk masdar (kata benda abstrak) dari kata fassara-yufassiru-tafsîran. Kata ini, dalam ilmu sorf berwazan (timbangan) kata taf’il. Kata ini sudah dipakai sejak abad kelima H/kesebelas M.
7
4
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 652-653. 5 Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta dan Jambi: Gaung Persada Press dan Sulthan Taha Press, 2007), h. 39. 6 Seperti yang tertulis dalam surat al-Maidah (5) ayat 48:
☯ “….Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang….”. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h. 116. 7 Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terjemahan Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), h. 94. Istilah paling awal untuk menunjukan usaha interpretasi tampaknya adalah ma’âni (harfiahnya, ‘pemaknaan’). Istilah ini sendiri signifikan dengan asumsi pluralisnya yang implisit. Istilah ini, juga tafsir, dipakai pula untuk penerjemahan Arab dan Yunani atas karya-karya Aristoles, termasuk penjelasan lirik-lirik puisi pra-Islam. Goldfield, seperti yang dikutip Farid Esack, memperlihatkan bagaimana tata nama
18
Secara etimologis, tafsir 8 berarti memperlihatkan makna yang masuk akal dan membuka (izhâr al-ma’na al-ma’qûl wa al-kasyf) atau menerangkan dan menjelaskan (al-idah wa al-tabyin). 9 Keterangan dan penjelasan itu pada lazimnya dibutuhkan bilamana ada ungkapan atau penyataan yang dirasa belum atau tidak jelas. 10 Menurut al-Zarkasyi, kata tafsir berasal dari kata al-tafsirah yang berarti sedikit air seni dari seorang pasien yang digunakan dokter untuk menganalisa penyakitnya. Kalau tafsîrat adalah metode kedokteran yang dapat mengungkap suatu penyakit dari diri seorang pasien, maka tafsîr dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan lafal-lafal atau ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, tafsir adalah ilmu untuk mengetahui pemahaman Kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad dengan menjelaskan makna-makna dan mengeluarkan
hukum-hukum
serta
hikmah-hikmah
yang
terkandung
di
dalamnya. 11 Dari tinjauan makna secara bahasa di atas, setiap ulama memunyai rumusan tersendiri dalam mengartikan kata tafsir secara istilah. Al-Jurjani menyatakan bahwa tafsir adalah menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran, baik dari konsep-konsep dalam interpreatsi ini menunjukan keakraban yang lebih besar daripada beberapa dekade sebelum wafatnya Nabi pada 632. Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, h. 115. 8 Dalam al-Quran, kata tafsir disebutkan hanya sekali. Yaitu pada surat al-Furqon (25) ayat 33.
ﻻ َ ﻚ َو َ ﻞ َﻳﺄْ ُﺗﻮْ َﻧ ٍ ﻻ ِﺑ َﻤ َﺜ ﻚ ِإ ﱠ َ ﺟﺄْﻧ ِ ﻖ ﺤﱢ َ ْﻦ ﺑِﺎﻟ َﺴ َ ْﺴ ْﻴﺮًا َوَأﺣ ِ َﺗ ْﻔ “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h. 363. 9 Mannâ' Khalîl al-Qaththân, Mabâhis fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah ar-Risâlah, 1405 H/1985 M), h. 323. 10 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 85. 11 Al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1972), jilid II, h. 3.
19
segi segala persoalan, kisahnya maupun dari segi asbab al-Nuzul-nya dengan lafal (penjelasan) yang dapat menunjuk makna secara terang. 12 Menurut Abd al’Azhim al-Zarqani, tafsir adalah ilmu yang membahas al-Quran dari segi pengertian-pengertiannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan kesanggupan manusia biasa. 13 Menurut as-Suyuthi, tafsir adalah ilmu mengenai turunnya ayat-ayat dan hal ihwalnya, cerita-cerita–sebab turunnya, tertib Makiyah–Madaniyah-nya, muhkâm–mutasyâbihât-nya, nâsikh–mansûkh-nya, khusus–umumnya, muthlaqmuqayyad-nya,
mujmal-mufashshal-nya,
halal–haramnya,
janji-ancamannya,
perintah-larangannya, dan mengenai ungkapan-ungkapan dan perumpamaanperumpamaannya. 14 Berdasarkan pengertian tafsir yang dibuat ulama di atas, dapat diartikan sebuah kesimpulan bahwa tafsir sebagai suatu hasil pemahaman manusia terhadap al-Quran yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang dipilih oleh seorang mufasir. Tujuannya untuk memperjelas suatu makna teks ayat-ayat al-Quran. Bila seorang mufasir menggunakan metode dan pendekatan filsafat, maka tafsir yang dihasilkan bercorak filosofis. Bila seorang mufasir menggunakan metode atau pendekatan fikih, maka tafsirannya kental dengan nuansa fikih. Begitu seterusnya. 15
12
h. 65.
Al-Jurjani, Kitâb al-Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lubnan, Sahatu Riyad al-Suhl, 1965),
13
Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa al-Babi alHalabi, t.th.), jilid II, h. 3. 14 Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî asy-Syâfi'î, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979 M), Jilid II, h. 174. 15 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 2.
20
Dus, metodologi tafsir 16 adalah ilmu atau uraian tentang cara kerja sistematis untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan menafsir. Atau kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang. 17 Atau pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas, dan merefleksikan kandungan al-Qur`an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang representatif. 18 Nashruddin Baidan mengartikan metodologi tafsir sebagai pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Quran. Dia juga membedakan antara metode tafsir: cara-cara menafsirkan al-Quran dan metodologi tafsir. Sebagai contoh, pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqârin (perbandingan) disebut analisis metodologis. Sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara menerapkan metode itu terhadap ayat-ayat disebut pembahasan metodik. 19
B. Sejarah Perkembangan Tafsir Tafsir merupakan praktek alamiah, yakni praktek yang telah berjalan sejak Nabi menerangkan dan mengajarkan makna teks Kitab Suci yang diterimanya kepada para pengikutnya. Inilah yang disebut tafsỉr al-Nabiy (penafsiran Nabi). Pada masa ini karya-karya tafsir yang tertulis belum hadir. Penafsiran Nabi sendiri
16
Dalam studi teks al-Quran, selain mengenal kata tafsir kalangan sarjana Muslim juga mengenal kata ta’wil. Oleh para sarjana al-Quran, ta’wil diberi bobot lebih dari kata tafsir. Artinya, kalau tafsir hanya menjelaskan bagian luar dari al-Quran, maka ta’wil merujuk pada penjelasan makna-dalam dan tersembunyi dari al-Quran. Untuk melihat perbedaan di antara keduanya secara panjang lebar rujuk Nasr Hamid Abu-Zayd, Kritik Wacana Agama, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 116; al-Qaththân, Mabâhist, h. 324. 17 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik, h. 41. 18 Samsul Bahri, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim (ed.), Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 38. 19 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 3.
21
hanya dapat ditelusuri lewat karya-karya tentang hadis yang dikumpulkan para pengumpul hadis atas dasar riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka. 20 Setelah Beliau wafat, para sahabat baru mulai menafsirkan al-Quran dan mengajarkan pemahaman mereka atas al-Quran kepada Muslim yang lain. Sumber utama penafsiran sahabat adalah pernyataan al-Quran yang memunyai relevansi yang sama dengan pernyataan al-Quran lain yang sedang dibahas dan ditafsirkan (tafsỉr al-Quran bi al-Quran). Sumber kedua adalah bacaan (qira’ah) al-Quran. Misalnya, bacaan ibn Mas’ud yang berbunyi ”atau hingga kamu memunyai rumah dari emas (dzahab)” memperjelas maksud dari bacaan yang resmi yang berbunyi ”sebuah rumah dari zukhruf.” Dan sumber yang terakhir adalah hadis. 21 Dari pernyataan al-Quran tersebut (lihat catatan kaki sebelumnya) jelas bahwa menjelaskan dan menafsirkan al-Quran merupakan satu di antara sekian tugas kenabian Muhammad. Tidak heran jika pada periode ini, karya tafsir masih bercampur baur dengan karya-karya tentang hadis dan sirah. 22 Dengan berlalunya waktu dan banyak mufasir dari kalangan sahabat yang meninggal, sementara ayat-ayat al-Quran belum tuntas dijelaskan, maka para pengikut sahabat mulai melanjutkan bidang ini. Ada tiga aliran tafsir yang utama yang dikembangkan oleh para tabi’in. (1) Aliran Mekkah dengan ibn ’Abbas sebagai pakarnya. Murid-murid dari aliran ini: Sa’id al-Jubayr [w. Sekitar 712
20 21
Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 13. Dalam al-Quran 16: 44 dikatakan:
⌧ “…. Dan telah Kami turunkan adz-dzikr (al-Quran) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang teah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008), h. 272. 22 Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 13.
22
atau 713 M], Mujahid ibn Jabr al-Makki [w. 722], ’Ikrimah [w. 723], Thawus ibn Kaysan al-Yamani [w. 722], dan ’Atha ibn Abi Rabbah [w.732]. (2) Aliran Irak mendaku ibn Mas’ud sebagai imamnya. Murid-muridnya antara lain: ’Alqama ibn Qays [w. 720], al-Aswad ibn Yazid [w. 694], Masruq ibn al-Ajda’ [w. 682], Mara al-Hamadani [w. 695], ’Amir al-Sya’bi [w. 723], alHasan al-Bisri [w. 738], Qatada al-Sadusi [w. 735], dan Ibrahim al-Nakha’i [w. 713]. (3) Aliran Madinah yang juga sebagai pusat kekhalifan Islam. Yang paling terkemuka di sini adalah Ubayy ibn Ka’b. Murid-muridnya antara lain: Abu al’Aliya [w. 708], Muhammad ibn Ka’b al-Qarzi [w. 735], Zayd ibn Aslam [w. 747], ’Abd al-Rahman ibn Zayd, dan Malik ibn Anas. 23 Abdul Mustaqim mencatat ada dua faktor yang menyebabkan tafsir alQuran sebagai sebuah keniscayaan. Pertama, faktor internal yang terbagi menjadi tiga variabel. (1) Kondisi objektif teks al-Quran itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam. (2) Kondisi objektif dari kata-kata dalam al-Quran yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam. (3) Adanya ambiguitas makna dalam al-Quran dengan adanya kata-kata musytarak [bermakna ganda] seperti kata al-qur’u [dapat bermakna suci dapat pula bermakna haid]. 24 Kedua, faktor eksternal berupa kondisi sosial yang melingkupi sang penafsir. Bisa juga perspektif dan keahlian atau keilmuan yang ditekui sang penafsir. Lalu adanya persinggungan dunia Islam dengan peradaban-peradaban di luar Islam. Yang paling signifikan, menurut Abdul Mustaqim adalah yang berkaitan dengan faktor politik dan teologis. 25
23
Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 14. Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 8-12. 25 Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 12-13. 24
23
C. Pemetaan Metodologi Tafsir Dalam kata pengantar buku Islah Gusmian, Amin Abdullah mengutip pendapat Alford T. Welc yang membagi studi al-Quran pada tiga bidang. (1) exegesis atau studi teks al-Quran itu sendiri, (2) sejarah interpretasinya, dan (3) peran al-Quran dalam kehidupan dan pemikiran umat Islam. Menurut Amin Abdullah, studi pada permasalahan yang kedua dan ketiga tampaknya masih begitu langka dalam tradisi keilmuan yang berkembang di kalangan Muslim termasuk di Indonesia. 26 Sedari awal penafsiran al-Quran hadir, metode-metode tertentu sudah digunakan untuk mengungkap makna teks al-Quran. Hanya saja para sarjana Muslim masa itu belum memelajari, memilah, dan memetakan metode tersebut. Kesadaran untuk memelajari, memilah, dan memetakan baru dilakukan belakangan setelah ilmu pengetahuan Islam berkembang. Itu artinya, studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual umat Islam. Metodologi tafsir baru dijadikan sebagai objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri. 27 Namun, menurut keterangan Abdul Mustaqim, kajian mengenai sejarah tafsir di kalangan sarjana Muslim sesungguhnya sudah lama. Tepatnya sejak asSuyuti menulis karya Thabaqảt al-Mufassirỉn. Sayangnya tradisi ini tidak berlangsung lama dan bahkan menurun. Sejak saat itulah kajian di bidang ini diambil alih oleh sarjana Barat. Salah satu karya terbesar Barat yang bersentuhan
26
Pengantar Amin Abdullah dalam Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003), h. 21. 27 Samsul Bahri, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim (ed.), Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37.
24
dengan khazanah tafsir ialah Die Rictungen der Islamichen Koranasulegung atau Madzảhibut Tafsỉr al-Islảmiyyah karya Ignaz Goldziher. 28 Para sarjana, baik sarjana Muslim maupun Islamolog, berbeda-beda dalam memetakan metode dan corak penafsiran yang berkembang. Pemetaan yang akan penulis paparkan nanti bukanlah paparan secara kronologis, yakni dimulai dari yang pertama kali melakukannya dan kemudian disusul oleh sarjana berikutnya yang melakukan hal yang sama. John Wansbrough membagi karya-karya tafsir klasik (abad 2 H) ke dalam lima jenis. (1) Tafsir haggadic. 29 Contohnya tafsir karya Muqatil ibn Sulayman [w. 767] yang belakangan diberi judul Tafsỉr al-Qurản. Tentang Q.S 2: 189 30 , misalnya Muqatil dalam tafsirnya mencoba memberi keterangan sedetail mungkin tentang siapa yang bertanya, mengapa ia atau mereka bertanya, apa yang ia atau mereka tanyakan, dan seterusnya. (2) Tafsir halakich. 31 Contohnya Tafsỉr Khams Mi’ah min al-Qurản karya ibn Sulayman. Tafsir ini berisi materi-materi tentang ayat legal al-Quran. Contoh yang lain Ahkam al-Quran karya Abu Bakr al-Jashshash [w. 981] dan al-Jami li Ahkam al-Quran karya Abu ’Abd Allah al-Qurthubi [w. 1272]. (3) Tafsir masoretic. 32 Aktivitas dalam tafsir jenis ini terpusat pada penjelasan tentang 28
Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, h. 19. Hagaddic berasal dari kata haggadah. Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary, haggadic adalah a book containing the story of exodus, used at the seder service on passover. Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 552. Bidik juga Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis, h. 15. 30 “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Itu adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji”. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan, h. 29. 31 halakihic berasal dari kata halakhah. Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary, halakhic adalah the body of Jewish law, comprising the oral law as transcribed in the Talmud and subsequet legal codes and rabbanical decisions. Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 553. 32 Masoretic berasal dari kata masorah. Dalam kamus Random House Webster’s College Dictionary, masoretic adalah a body of scribal note form textual guide to hebrew Old Testement, 29
25
aspek-aspek leksikon dalam ragam bacaan ayat-ayat al-Quran. Contohnya Ma’ảni al-Qurản karya al-Farra’ [w. 882], atau Fadâil al-Qurản karya Abu ‘Ubayd [w. 838]. Contoh lainnya adalah Kitab al-Wujûh wa al-Nazâir karya ibn Sulayman yang lain dan Musyâbihat al-Qurản karya Kisa’I [w. 804]. (4) Tafsir retorik. Di sini perhatian dipusatkan pada nilai sastra al-Quran. Contohnya, Majâs al-Qurản karya Abu ‘Ubaydah [w. 824] dan Ta’wîl Musykîl al-Qurản karya ibn Qutaybah [w. 889]. (5) Tafsir alegoris, yakni tafsir yang mengungkap makna simbolik al-Quran atas dukungan terdapatnya perbedaan antara makna zahir dan makna batin al-Quran. Contohnya, tafsir sufistik karya Sahl al-Tustari [w. 896]. 33 Daud Rahbar, seperti yang dikutip Ilham B. Saenong, mencatat sedikitnya ada empat belas macam metode dan pendekatan yang diterapkan untuk memahami ayat-ayat al-Quran sampai lima dasawarsa yang lalu. (1) Penafsiran yang didasarkan pada laporan tentang peristiwa yang menyebabkan turunnya suatu ayat. (2) Penafsiran yang bertujuan mempertanyakan otentisitas ayat-ayat tertentu dan mempermasalahkan penambahan dan keragaman teks. (3) Penafsiran melalui frase dari ayat tertentu secara parsial dan lepas kontek. (4) Penafsiran atas ayat atau frase yang disesuaikan dengan pandangan seseorang tentang semangat umum al-Quran. (5) Penafsiran yang menganggap bahasa dari ayat tertentu berbahasa alegoris. (6) Penafsiran esoterik dengan memercayai keseluruhan teks al-Quran bercorak metaforis.
compiled form the 7 th to 10th centuries AD . Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999), h. 552. 33 John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretastion (London: Oxford University, 1977), h. 119.
26
(7) Penafsiran atas dasar pemiliahan antara ayat-ayat yang pasti maknanya (muhkam) dan yang ambigu (mutasyâbih). (8) Penjelasan dengan menghubungkan struktur gramatikal dengan makna yang dimaksud. (9) Penjelasan dengan mempersoalkan segi etimologis. (10) Uraian dengan mengemukakan persoalan nâsikh-mansûkh. (11) Penjelasan melalui hubungan semantis dan keterputusan antara satu ayat dengan yang lain yang berdampingan (taqâthu’-tanâsub). (12) Mempersoalkan gaya bahasa al-Quran. (13) Memilih-milih ayat-ayat tertentu secara arbitrer dalam penafsiran. (14) Dan penafsiran yang menggunakan frasefrase teks sebagai titik tolak pemikiran bebas. 34 Muhammad Husein al-Dzahabi, seperti yang dikutip Very Verdiansyah, membagi kategori tafsir berdasarkan kronologi waktunya. (1) Tafsir pada masa Nabi dan sahabat. Ciri umum tafsir model ini: tidak menafsirkan seluruh alQuran; tidak banyak perbedaan pendapat dalam penafsiran; penafsirannya bersifat ijmali; cenderung hanya menafsirkan dari aspek bahasa; jarang melakukan istinbat hukum secara ilmiah terhadap ayat-ayat yang ditafsirkan; tidak bersifat sektarian; belum terkodifikasi secara utuh; banyak menggunakan riwayat yang disampaikan secara lisan; cenderung bersifat mitis, penafsiran cenderung diterima begitu saja tanpa kritik. (2) Tafsir masa tabi’in. Ciri umumnya: tafsir pada masa tabi’in belum dikodifikasikan secara tersendiri; tradisi tafsir masih bersifat hapalan dan periwayatan; tafsir sudah dimasuki riwayat-riwayat Israiliyyat; sudah muncul benih-benih perbedaan mazhab dalam penafsirannya; sudah banyak perbedaan pendapat antara penafsiran para tabi’in dan para sahabat. (3) Tafsir pada masa 34
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hasan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), h. 49.
27
kodifikasi. Tafsir model ini diperkirakan muncul pada pemerintahan Bani Umayyah, awal pemerintahan Abbasiyah. Pada masa ini tafsir sudah dibukukan dan berkembang pula tafsir dengan berbagai corak dan mazhabnya. 35 Amina Wadud Muhsin membagi tafsir al-Quran dari perspektif gerakan feminisme dalam beberapa kelompok. (1) Tafsir tradisional, tafsir yang menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan penafsirnya, seperti hukum, nahwu dan lain-lain. (2) Tafsir reaktif, tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Quran. (3) Tafsir holistik, tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, politik, isu perempuan yang muncul di era modern. 36 Al-Farmawi membagi empat bentuk tafsir berdasarkan metode yang digunakan. (1) al-Tafsir al-Tahlîlî. Tafsir metode tahlîlî adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam alQuran Mushaf ’Ustmani. Ketika menggunakan metode ini, seorang mufasir biasanya melakukan langkah-langkah sebagai berikut. (a) Menerangkan hubungan [munâsabah] baik antara satu ayat dengan ayat yang lain atau satu surat dengan surat yang lain. (b) Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat. (c) Menganalisa kosakata dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. (d) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya. (e) Menerangkan unsur-unsur fashâhah,
35
Very Verdiansyah, Islam Emansipasoris: Menafsir Agama, h. 57. Amina Wadud Muhsin, Al-Qur’an dan Perempuan dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 186-188. 36
28
bayân, dan i’jâz-nya bila dianggap perlu. (f) Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas. (g) Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat bersangkutan. 37 Metode ini bisa dipecah lagi menjadi beberapa metode. Seperti al-Tafsỉr bi al-Ma’tsûr, al-Tafsỉr bi al-Ra’yî, al-Tafsỉr al-Fiqhi, al-Tafsỉr al-Shûfî, al-Tafsỉr al-Falsafi, al-Tafsỉr al-’Ilmi, al-Tafsỉr al-Adâbi al-Ijtimâ’i. (2) al-Tafsîr al-Ijmâli. Metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara mengemukakan makna global. Dengan metode ini mufasir menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran secara garis besar. Sistematikanya mengikuti urutan surat dalam al-Quran, sehingga makna-maknanya dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufasir menggunakan ungkapan yang diambil dari al-Quran sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung. (3) al-Tafsîr al-Muqârin. Metode tafsir yang menggunakan cara perbandingan. Objek kajian tafsir dengan metode ini dapat dikelompokkan menjadi: (a) Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat yang lain. (b) Perbandingan ayat al-Quran dengan hadis. (c) Perbandingan penafsiran satu mufasir dengan mufasir yang lain. (4) al-Tafsîr al-Mawdhû’i. Metode ini memunyai dua bentuk. (a) Tafsir yang membahas satu surat al-Quran secara menyeluruh, memperkenalkan, dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, atau antara satu satu pokok masalah dengan pokok masalah lain. Dengan metode ini suart tersebut tampak dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-betul cermat, teliti, dan sempurna. (b) 37
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Rosihan Anwar (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 23-29.
29
Tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu bahasa tema tertentu. Ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam menyusun satu karya tafsir berdasarkan metode ini. (a) Menentukkan topik bahasan setelah menemukan batas-batasnya dan mengetahui jangkauannya dalam ayat-ayat al-Quran. (b) Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut. (c) Merangkai urutan ayat sesuai dengan masa turunnya. (d) Kajian tafsir ini merupakan kajian yang memerlukan kitab-kitab tafsir tahlîlî. (e) Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna. (f) Melengkapi pembahasan dengan hadis yang menyangkut masalah yang dibahas. (g) Memelajari semua ayat yang terpilih dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya. (h) Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa pasal, dan setiap pasal itu dibahas, kemudian ditetapkan unsur pokok yang meliputi macam-macam pembahasan yang terdapat pada bab. Metodologi yang dirumuskan Farmawi banyak dianut oleh sarjana Muslim Indonesia dalam memetakan sebuah karya tafsir. Seperti Quraish Shihab, Komaruddin Hidayat, Harifuddin Cawidu, dan Tim Penulisan 38 buku Sejarah dan Ulum al-Qur’an yang dieditori Azyumardi Azra. 39 Sebenarnya ada dua nama tokoh yang mencoba merumuskan metodologi tafsir baru, yaitu Yunan Yusuf dan Nashruddin Baidan. Yunan Yusuf, seperti yang dikutip Islah Gusmian, melihat literatur tafsir dengan ranah yang ia sebut ’karakter tafsir’, yakni sifat khas yang ada dalam 38
M. Quraish Shihab (ketua), Ahmad Sukardja, Badri Yatim, Dede Rosyada, dan Nasaruddin Umar. 39 M. Quraish Shihab et al., Sejarah & ‘Ulûm al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
30
literatur tafsir. Dalam konteks ini, ia memetakan dari tiga arah: (1) metode [misalnya: metode antar-ayat, ayat dengan hadis, ayat dengan kisah israiliyyat, (2) tehnik penyajian [misalnya: tehnik runut dan topikal], dan (3) pendekatan [misalnya: fiqhi, falsafi, shufi, dan lain-lain]. Tabel I Karakter Tafsir Pemetaan M. Yunan Yusuf Metode Tafsir
Tehnik Penyajian
Pendekatan tafsir
Tafsir Antar-ayat
Runut
Fiqhi
Ayat dengan hadis
Topikal
Falsafi
Ayat dengan kisah
Shufi, dan lain-lain
Israiliyyat
Adapun Nasruddin Baidan, membagi metodologi tafsirnya dalam dua bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri alQuran [sejarah al-Quran, asbảb al-nuzủl, qirả’at, nasỉkh-mansủkh, munasabah, dan lain-lain], dan (2) kepribadian mufasir [akidah yang benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain]. Kedua, komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur pembentuk: (1) metode penafsiran [global, analitis, komparatif, dan tematik], (2) corak penafsiran [shủfỉ, fiqhi, falsafi, dan lain-lain], dan (3) bentuk penafsiran [ma’tsủr dan ra’yu].
31
Dalam konteks kategorisasi yang dibangun Yunan, komponen internal versi Baidan menemukan relasinya, meskipun tidak sama. 40 Tabel II Konstruksi Ilmu Tafsir Nasruddin Baidan Komponen Ekstrenal Jati Diri al-
Kepribadian
Quran
Mufasir
Sejarah al-
Akidah yang
Quran
benar
Qirả’at
Ikhlas
Nasỉkh
Komponen Internal Bentuk Tafsir
Metode Tafsir
Corak Tafsir
Ma’tsủr
Global
Tasawuf
Ra’yu
Analitis
Fiqhi
Netral
Komparatif
Falsafi
Mansủkh
Sadar
Tematik
Kombinasi
Munasabah
Ilmu Muahibah
Sosial
Mukjizat al-
Kemasyarakatan
Quran
dan lain-lain
Dan lain-lain
Oleh Islah Gusmian beberapa pemetaan yang disusun para pemerhati kajian tafsir sebagian merupakan perkembangan baru. Namun menurutnya secara paradigmatik belum mampu memberikan pendasaran tentang suatu metode kajian atas tafsir. Itu sebabnya, menurutnya, perlu rumusan baru yang mampu menelisik unsur-unsur fundamental dari karya tafsir. 41
5.
40
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.
41
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 119.
32
Ada dua variabel yang penting ketika kita ingin memetakan sebuah karya tafsir menurut Islah Gusmian. (1) Aspek teknis. Aspek ini terdiri dari sistematika penyajian tafsir, bentuk penyajian tafsir, gaya bahasa yang dipakai dalam penulisan tafsir, sifat mufasir, sumber-sumber yang dijadikan rujukan dalam penulisan tafsir, dan keilmuan mufasir. (2) Aspek ’dalam’ atau hermeneutik. Aspek ini terdiri dari metode penafsiran, nuansa penafsiran, dan pendekatan tafsir. Untuk lebih jelas, amati tabel di bawah ini. Tabel III Peta Metodologi Kajian atas Tafsir al-Quran Konstruksi Islah Gusmian ASPEK TEKNIS PENULISAN TAFSIR
ASPEK HERMENUTIK TAFSIR
AL-QURAN
AL-QURAN
Sistematika Penyajian Tafsir
Metode Tafsir
1. Runtut
1. Berdasarkan urutan
1.
Metode
Riwayat:
Penafsiran
mushaf
Muhammad Sebagai Sumber Acuan
Nabi
2. Berdasarkan urutan turunnya wahyu
2. Tematik
1. Tematik modern:
2. Metode
Analisis sosio-
a. Tematik plural
Pemikiran:
Kultural
b. Tematik singular
Intelektualitas
Analisis Semiotik
2. Tematik klasik:
Sebagai Dasar Tafsir
Metode Semantik
a. Ayat-ayat dan surat-
Metode Sains-
surat tertentu
Ilmiah
b. Surat tertentu
Dan seterusnya
c. Juz tertentu Bentuk Penyajian Tafsir
3. Metode Interteks
33
1. Bentuk Penyajian Global 2. Bentuk Penyajian Rinci Gaya Bahasa Penulisan Tafsir
Nuansa Tafsir 1. Nuansa Kebahasaan 2. Nuansa Sosial Kemasyarakatan
1. Gaya Bahasa Kolom
3. Nuansa Teologis
2. Gaya Bahasa Reportase
4. Nuansa Sufistik
3. Gaya Bahasa Ilmiah
5. Nuansa Psikologis, dan lain-lain
4. Gaya Bahasa Populer, dan lain-lain Bentuk Penulisan Tafsir 1. Ilmiah
Pendekatan Tafsir 1. Pendekatan Tekstual 2. Pendekatan Kontekstual
2. Non Ilmiah Sifat Mufasir 1. Individual 2. Kolektif/Tim Keilmuan Mufasir 1. Disiplin ilmu tafsir al-Quran 2. Disiplin non-ilmu tafsir al-Quran Asal-usul Literatur Tafsir 1. Akademik 2. Non-Akademik Sumber-sumber Rujukan 1. Buku-buku tafsir klasik dan/ modern 2. Buku non-tafsir
34
BAB III MENGENAL ACHMAD CHODJIM DAN MENYELAMI ALFATIHAH
Pengantar Farid Esack, seperti yang dikutip A. Sihabulmilah 1 , membagi pembaca teks al-Quran, yang kemudian dia sebut pencinta, menjadi tiga kelompok: (1) Pencinta tak kritis (the uncritical lover). (2) Pencinta ilmiah (the scholarly lover). (3) Pencinta kritis (the critical lover). Pertama, pencinta tak kritis (the uncritical lover). Orang yang menduduki level ini biasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Kecantikan seorang kekasih telah “membutakan” mata hatinya, seakan tak ada perempuan lain yang lebih cantik daripada kekasihnya. Pencinta menilai, sekujur tubuh dan apa saja yang melekat pada tubuh sang kekasih itu indah, mempesona, dan sempurna. Dalam konteks pembaca al-Quran, pencinta tak kritis selalu memuja-muja al-Quran. al-Quran adalah segala-segalanya. Ia memperlakukukannya seperti permata berlian, tanpa pernah tahu apa manfaatnya. Bagi dia, al-Quran adalah jawaban dari segala persoalan, tapi tidak tahu bagaimana proses memperoleh atau membuat jawaban-jawaban tersebut. Ia hanya mengkonsumsi atau mendaur-ulang jawaban-jawaban mengenai al-Quran dari orang lain. Posisi pencinta ini ditempati oleh kaum muslim kebanyakan; mereka memperlakukan al-Quran hanya sebatas bahan bacaan yang dilafalkan di ujung lidah. 1
A. Sihabulmilah, “Stratifikasi Pembaca Teks Alquran.” Artikel diakses pada 19 Ferbuari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/stratifikasi-pembaca-teks-alquran/. Lihat juga Farid Esack, Menghidupkan Al-Qur’an dalam Wacana & Prilaku, terjemahan Norma Arbi’a Juli Setiawan (Depok: Inisiasi Press, 2006), h. vii-xii. Sayangnya dalam buku ini terjemahannya buruk sekali.
35
Kedua, pencinta ilmiah (the scholarly lover). Pencinta tipe ini mengagumi segala keindahan yang dimiliki sang kekasih. Hal yang membedakan dia dengan pencinta pertama adalah keberanian dan kecerdasannya untuk memaknai seluruh keindahan yang melekat pada tubuh sang kekasih. Rasa tergila-gila pada pujaan hati tidak membuat dia mabuk kepayang, apalagi sampai lupa daratan. Pencinta ilmiah selalu merenungkan dan mempertanyakan, semisal, mengapa ayat-ayat al-Quran begitu indah dan mempesona dan apa makna di balik keindahannya. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian ia jawab dengan segenap ilmu pengetahuan al-Quran yang ia miliki dan kemudian dituangkan dalam bentuk karya tafsir. Dengan ungkapan lain, di samping ia selau merindukan kehadiran alQuran, ia juga membaca, memahami, dan menafsirkan ayat-ayatnya. Para pencinta yang masuk dalam kategori ini adalah Abul ‘Ala alMaududi, Husain Tabatabai, Muhammad Asad, Bint al-Shatti, Muhamad Husayn al-Dhahabi, Jalal al-Din al-Suyuti, Badr al-Din Zarkashi, dan lain-lainnya. Pencinta-pencinta ini telah menghasilkan karya tafsir yang sungguh menakjubkan dan patut dihargai jerih payahnya. Ketiga, pencinta kritis (the critical lover). Ia terpikat pada sang kekasih, tapi tidak menjadikan ia gelap mata. Meskipun ia gemar membaca, memahami, dan menafsirkan beberapa organ tubuhnya, ia juga bersikap kritis terhadap segala sesuatu yang menempel pada tubuh sang kekasih. Ia pun tak segan-segan mempertanyakan sifat dan asal-usulnya, bahasanya, warna “rambutnya”, faktor apa yang melingkupi keindahannya, sesuatu yang janggal dalam dirinya, dan lainlain. Untuk mengetahui itu semua, para pencinta pada level ini rela “menikahi” sang kekasih (baca: al-Quran) dan memanfaatkan berbagai macam ilmu sosial
36
mutakhir, semisal linguistik, sosiologi, antropologi, hermeneutika, dan filsafat sebagai pisau analisisnya. Dengan metode seperti itu, para pencinta ini bisa berdialog dengan alQuran dan mampu menyingkap segala misteri yang melingkupinya. Hasil dialog itu kemudian dibakukan dalam bentuk karya tulis studi pemikiran Islam kontemporer yang benar-benar baru dan menyegarkan serta bisa menjawab persoalan zaman. Para intelektual Muslim yang masuk dalam tipe ini adalah Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun, Fazlur Rahman, dan lain-lain.
A. Achmad Chodjim
1. Biografi Achmad Chodjim lahir di Surabaya pada 7 Februari 1953. Ia dibesarkan dalam tradisi masyarakat agraris, tradisional-islami. Dalam memelajari ilmu-ilmu pengetahuan agama, ia diasuh oleh paman dan sepupu dari pihak ibu. Ketika SMP dan SMA, ia pernah nyantri di pondok pesantren Darul Ulum, Jombang, dan pondok modern Darussalam, Gontor. Hal ini yang menyulut semangatnya untuk menggeluti ilmu-ilmu agama. Setelah itu ia melanjutkan studinya ke Sekolah Pertanian Menengah Atas di Malang pada 1974. 2 Ketika di Malang, Chodjim menyempatkan waktu untuk belajar ilmu-ilmu agama kepada tokoh agama yang ada di sana saat itu. Kepada K.H. Achmad Chair, ketua rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang, ia belajar tafsir seminggu sekali. Sedangkan untuk hadis, ia belajar kepada Muhammad Bejo, mubalig nasional Muhammadiyah. 2
M. Affifuddin, “Apresiasi Spiritual Q.S al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya Jalaluddin Rakhmat, Anand Krishna, dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004), h. 46.
37
Dari belajar kedua tokoh agama tersebut, ia mendapat pemahaman lebih tentang agama khususnya tentang tafsir dan hadis. Kedua guru tersebut juga memperkenalkan kepada Chodjim dan teman-teman pengajiannya macam-macam kitab klasik Islam, baik yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab untuk dipelajari. Itu mendorongnya untuk mendalami bahasa Arab sebagai ilmu alat dalam memelajari kitab klasik Islam tapi bukan bahasa Arab sebagai percakapan. Dalam bahasa Arab, ia juga belajar nahwu, sorf, mantiq, dan sastra. 3 Pada 1987 ia meraih gelar sarjana pertanian (agronomi) dari Institut Pertanian Bogor. Pada 1996, ia meraih gelar magister Manajemen di Sekolah Tinggi Parsetya Mulya, Jakarta. Saat ini dia bekerja di salah satu perusahaan asing di Jakarta. Selain itu, dia juga memberikan bimbingan kepada kelompokkelompok pengajian rohani karyawan di tempatnya bekerja dan juga di berbagai majlis taklim.
2. Karya-karya Intelektual Ada beberapa karya intelektual Achmad Chodjim selain Alfatihah yang pernah diterbitkan. Antara lain: [1]. Islam Esoteris: Kemulian dan Keindahannya (Jakarta: Gramedia, 2000). Buku ini ditulis bersama Anand Krishna. [2]. Syekh Siti Jenar: Makna Kematian (Jakarta: Serambi, 2002). [3]. Annas: Segarkan Jiwa dengan Surah Manusia (Jakarta: Serambi, 2005). [4]. Al-Alaq: Sembuh Penyakit Batin dengan Surah Subuh (Jakarta: Serambi, 2002). [5]. Al-Ikhlash: Bersihkan Iman dengan Surah Kemurniaan (Jakarta: Serambi, 2005). [6]. Membangun Surga: Bagaimana Hidup Damai di Bumi Agar
3
Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim. Pamulang, 15 Februari 2010.
38
Damai Pula di Akhirat (Jakarta: Serambi, 2004). [7]. Rahasia Sepuluh Malam (Jakarta: Serambi, 2007). [8]. Meaningful Life (Jakarta: Hikmah, 2005). [9]. Menerapkan Keajaiban Surah Yasin dalam Kehidupan Sehari-hari [1] (Jakarta: Serambi, 2008).
B. Alfatihah
1. Konteks Sosial Al-Fatihah adalah satu-satunya surat dalam al-Quran yang paling sering dibaca dan dihapal umat Islam. 4 Bagi yang aktif salat, al-Fatihah dibaca sebanyak 17 kali dalam sehari. Al-Fatihah juga dibaca pada momen-momen tertentu seperti dalam doa, pembuka pertemuan, dan tahlilan. Fenomena inilah yang mendorong Chodjim untuk menulis tafsir Alfatihah agar mereka yang sering membaca alFatihah tahu makna al-Fatihah. 5 Chodjim menyadari bahwa memang sudah banyak yang menafsirkan alFatihah. Tapi menurutnya al-Fatihah sering ditafsirkan secara ortodoks, penafsirannya tidak terkait dengan realitas kekinian padahal al-Fatihah sering dibaca. Oleh sebab itu, al-Fatihah menurutnya mesti diberi penafsiran yang mengena dalam alam pikiran umat. Menurut Chodjim bila ditelisik lebih dalam, ketika seorang Muslim membaca al-Fatihah selalu terselip di dalam pikirannya sebuah harapan. Ada yang berharap kesembuhan dan ada yang berharap keterbukan hati serta pikiran. Meski kadang-kadang tidak termanifestasikan namun harapan itu selalu ada. Sayangnya, hampir setiap Muslim yang menafsirkan al-Fatihah dari ayat dan kalimatnya tidak Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin dengan surah Pembuka (Jakarta: Serambi, 2008), h. 19. 5 Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. 4
39
mengalami perubahan. Yang berubah sama sekali yang ditulis oleh Amin Aziz yang berjudul Paradigma Al-Fatihah. Tapi yang ditulis Amin Aziz terlalu luas cakupannya. Singkat kata, Chodjim ingin menafsirkan al-Fatihah secara sederhana tapi poin-poinnya memberikan motivasi orang untuk melangkah dengan benar. 6 2. Masa Penulisan dan Penerbitan Alfatihah diterbitkan pada Maret 2002 oleh Serambi. Tapi Alfatihah sudah ditulis Chodjim pada 1999 akhir dan selesai pada 2000 awal. Saat penulisan karya itu, Chodjim adalah seorang staff di sebuah perusahan dan bukan seorang penulis. Makanya tidak gampang baginya untuk meyakinkan penerbit untuk menerbitkan karya tulisnya itu. Ditambah Chodjim tidak memiliki reputasi sebagai penafsir dari lingkungan IAIN seperti Quraish Shihab. Faktor-faktor itulah yang jadi bahan pertimbangan penerbit dan tentunya menyebabkan proses penerbitan karyanya agak lama. Malah sebelumnya, menurut cerita Chodjim, ada kekhawatiran di penerbit kalau tulisannya itu tidak bernilai komersial. 7 Sebelum diterbitkan, Alfatihah sempat tertahan selama tiga bulan di Serambi. Kebetulan saat itu ada pergantian staff redaksi. Mulanya judul karya Chodjim tersebut adalah Jalan Pencerahan. Baru pada 2003 judulnya diganti seperti sekarang. Setelah berganti judul, penerbit kewalahan memenuhi permintaan pasar dan terus mencetak ulang. Sebenarnya pada 2000, Gramedia adalah penerbit karya Chodjim itu. Kepindahan hak penerbitan ke Serambi karena pada Juli 2000 Gramedia didemonstrasi FPI (Front Pembela Islam). Menurut FPI, Gramedia bukan bagian dari Islam dan oleh karena itu Gramedia dilarang menerbitkan buku-buku 6 7
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010.
40
keislaman. Selain itu, buku-buku keislaman yang diterbitkan Gramedia tentulah buku-buku keislaman yang mendukung misi Gramedia dan mendukung pemikiran Islam liberal dan sejenisnya. 8 Tidak berapa lama setelah kejadian itu, Gramedia menghubungi Chodjim untuk mengatakan bahwa Gramedia tidak mungkin lagi menerbitkan buku-buku keislaman termasuk Alfatihah. Kecuali buku-buku keislaman dari kumpulan artikel atau opini yang pernah dimuat di Kompas. Seperti bukunya Komaruddin Hidayat yang pernah diterbitkan Gramedia. Gramedia memberi saran kepada Chodjim untuk menerbitkan bukunya itu melalui penerbit yang jelas-jelas punya kalangan Muslim. Mendengar keputusan Gramedia itu, Chodjim terpaksa mendaftar beberapa nama penerbit buku-buku keislaman yang akan dijajakinya untuk mau bekerjasama dalam menerbitkan Alfatihah. Akhirnya Chodjim memilih Serambi dengan pertimbangan buku-buku yang pernah diterbitkan Serambi. 9 3. Modal Penafsiran Seperti pengakuannya sendiri, pendidikan formal Chodjim memang bukan di jalur pendidikan agama. Tapi waktu SMU, dia pernah belajar kepada guru tafsir dan hadis yang ada di Malang pada saat itu selama seminggu sekali. Guru-guru tersebut menurutnya bukanlah guru-guru yang masih level kampung, melainkan sudah pada level nasional. Dia belajar tafsir kepada K.H. Achmad Chair, ketua rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang. Untuk hadis, dia belajar kepada Muhammad Bejo, mubalig nasional Muhammadiyah. 10
8
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. 10 Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. 9
41
Ketika K.H. Achmad Chair mengajarkan tafsir, dia dan teman-teman sepengajiannya diperintahkan untuk membuka al-Quran masing-masing. Lalu K.H. Achmad Chair menerjemahkan dan menjelaskan ayat yang sedang dibahas. Kala menjelaskan, biasanya K.H. Achmad Chair merujuk kepada kitab tafsir tertentu. Misalnya, “Kata ini akan bermakna ini kalau kita mengikuti as-Suyuti”. Dari belajar dengan K.H. Achmad Chair, Chodjim mendapat pemahaman lebih dibanding sekedar membaca terjemahan al-Quran saja. Guru-guru tersebut juga menginformasikan kepadanya beberapa kitab tafsir- baik yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab- untuk dipelajari. Ini yang mendorongnya di kemudian hari untuk mendalami bahasa Arab sebagai landasan penafsiran dan bukan sebagai percakapan. Dalam bahasa Arab, dia belajar nahwu, sorf, mantiq, dan sastra. Dari pembelajaran itu timbul permenungan tersendiri. Misalnya, kenapa ibn Katsir bobot penafsirannya hanya pada titik tertentu. Kenapa as-Suyuti lebih menitikberatkan di satu tempat. Artinya, menurut Chodjim, banyak pilihan-pilihan yang disediakan ketika seorang penafsir ingin menafsirkan al-Quran. Maka dia lebih memilih agar terjemahan al-Quran diberi penjelasan yang lebih kontemporer yang bisa dipahami oleh pembaca zaman sekarang. 11 As-Suyuti, seperti yang dikutip Islah Gusmian, mendaftar beberapa keilmuan yang mesti dikuasai seorang yang akan melakukan aktivitas penafsiran. Dengan menguasai beberapa keilmuan tersebut diharapkan penafsiran yang dilakukan lebih akurat. 12 (1) Ilmu bahasa. (2) Ilmu nahwu. (3) Ilmu tashrîf. (4) Ilmu isytiqâq. (5) Ilmu ma’âni. (6) Ilmu badî’. (7) Ilmu qirâ’at. (8) Ilmu ushûl al11
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi (Bandung: Teraju, 2003), h. 282. 12
42
dîn. (9) Ilmu ushûl al-fîqh. (10) Ilmu asbâb al-nuzûl. (11) Ilmu naskh mansûkh. (12) Ilmu fiqh. (13) Ilmu hadîst. (14) Ilmu al-muhabah [ilmu yang diberikan Allah kepada mereka yang mengamalkan apa yang diketahui]. M. Abduh, seperti yang dikutip Rif’at Syauqi Nawawi, menetepkan beberapa syarat bagi seorang mufasir. 13 (1) Memahami hakikat lapal-lapal tunggal yang dipergunakan al-Quran dengan memperhatikan bagaimana ahli bahasa lapallapal itu tanpa harus terpaku pada satu pendapat tertentu. (2) Menguasai ’ilm alasâlib, yaitu ilmu yang mengkaji tentang gaya bahasa Arab. (3) Mengetahui sosiologi (hal-ihwal manusia). (4) mengetahui secara cermat bagaimana al-Quran memberikan petunjuk kepada manusia; dan mengenal dengan baik sejarah perikehidupan Nabi dan para sahabat. Atau Fazlur Rahman yang masyhur dengan pendekatan sejarah dalam menafsirkan al-Quran, seperti yang dikutip Taufik Adnan Amal, juga menetapkan beberapa modal untuk seorang penafsir. 14 (1) Memahami kondisi aktual masyarakat Arab pra-Islam dan masa Nabi dalam rangka menafsirkan pernyataanpernyataan legal dan sosio-ekonomi al-Quran. (2) Menekankan ’ideal moral’ alQuran ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Lalu apa modal Achmad Chodjim? Dari hasil wawancara penulis dengannya tergambar beberapa modal yang dimilikinya untuk menafsirkan alQuran. Sebagai landasan standar, Chodjim mengumpulkan dan membaca beberapa karya yang membahas Ulûm al-Qurản dari berbagai penulis. Setelah itu
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 10-109. 14 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1989), h. 189-190. 13
43
dia juga memahami hadis-hadis Nabi dan khitah-khitah yang ada dalam agama Islam. Tidak lupa membaca sirah Nabi dan para sahabat. 15 Menurut Chodjim, dengan memelajari ilmu-ilmu tadi dan sudah mengidentifikasi karya-karya tafsir yang sudah dibaca sebelumnya, seorang mufasir sudah tahu tafsir yang akan dirumuskannya seperti apa dan tahu akan ke mana lingkup tafsirnya sebelum menuliskannya. Setelah itu seorang bisa menambahkan keilmuan non-agama mutakhir. Seperti fisika, kimia, geologi, sosiologi, dan lain-lain. Dalam wawancara lain, Chodjim menyebut beberapa syarat atau modal yang diperlukan seorang mufasir. (1) Bahasa Arab. Untuk menafsirkan al-Quran kita harus paham bahasa Arab, termasuk sastranya meskipun secara pasif. (2) Seorang mufasir juga harus punya modal sejarah (sîrah) Nabi. Sebab seperti yang kita tahu bahwa ayat-ayat al-Quran itu diturunkan tidak lepas dari ruang dan waktu. (3) Seorang mufasir juga harus memiliki kamus bahasa Arab. Tentu saja makin banyak kamus bahasa Arab yang dimiliki akan sangat membantu calon penafsir dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Karena kenyataannya banyak ayatayat al-Quran yang satu kata digunakan oleh satu suku, misalnya suku Quraisy, tapi tidak digunakan suku lain. Padahal dalam al-Quran dinyatakan bahwa alQuran itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Tentu pengertian yang jelas harus diselidiki dan ditinjau lebih jauh. Kalau sesuatu dikatakan jelas berarti seseorang pasti akan menemukan rujukannya tidak mungkin tidak. 16
15
Wawancara Pribadi dengan Achmad Chodjim, 15 Februari 2010. Wawancara Achmad Chodjim dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Diakses pada 19 Februari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/kita-selalu-butuh-tafsir-yang-sesuai-zaman/. 16
44
BAB IV ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH
Pengantar Ada dua aspek yang dibidik ketika ingin menganalisis sebuah karya tafsir dengan menggunakan rumusan Islah Gusmian. 1 (1) Aspek teknis. Aspek ini terdiri dari sistematika penyajian tafsir, bentuk penyajian tafsir, gaya bahasa yang dipakai dalam penulisan tafsir, sifat mufasir, sumber-sumber yang dijadikan rujukan dalam penulisan tafsir, dan keilmuan mufasir. (2) Aspek ’dalam’ atau hermeneutik. Aspek ini terdiri dari metode penafsiran, nuansa penafsiran, dan pendekatan tafsir. Dalam pembahasan nanti, penulis akan menguraikan terlebih dahulu apa yang sudah dirumuskan oleh Islah Gusmian, seperti definisi dan penjabaran dari variabel teknis dan hermenenutis beserta sub-sub bagiannya. Setelah itu, penulis akan menentukan di mana posisi Alfatihah berdasarkan formulasi Islah Gusmian tersebut, baik aspek teknis dan hermeneutisnya.
A. Aspek Teknis Penulisan Pengertian aspek teknis penulisan tafsir adalah suatu kerangka teknis yang digunakan penulis tafsir dalam menampilkan sebuah karya tafsir. Jadi, aspek ini terkait lebih pada penulisan karya tafsir yang bersifat teknis, bukan pada proses penafsiran yang bersifat metodologis.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Bandung: Teraju, 2003), h. 119-121. 1
45
1. Sistematika Penyajian Tafsir Sistematika penyajian tafsir adalah rangkaian yang dipakai dalam penyajian tafsir. Dalam sub-bab ini, Islah Gusmian membagi menjadi dua kelompok. Sistematika penyajian runut dan sistem penyajian tematik. (a) Sistematika runut adalah model sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada: (1) Urutan surat yang ada dalam model mushaf Ustmani standar (2) mengacu pada urutan turunnya wahyu. 2 (b) Sistematika penyajian tematik adalah suatu bentuk rangkain penulisan karya tafsir yang struktur paparannya diacukan pada tema tertentu atau pada ayat, surat, dan juz tertentu. Tema atau ayat, surat dan juz tertentu, ditentukan sendiri oleh penulis tafsir. Dari tema-tema ini, mufasir menggali visi al-Quran tentang tema yang ditentukan itu. Kesimpulan: Berdasarkan rumusan yang dibuat Gusmian di atas, penulis melihat bahwa tafsir Alfatihah lebih condong kepada tematik klasik, yakni menafsirkan surat tertentu (bisa juga juz atau ayat tertentu) yang dalam hal ini surat al-Fatihah. Disebut tematik klasik karena model penyajian tematik seperti ini umum dipakai dalam karya tafsir klasik.3 Dalam Alfatihah, setiap ayat ditafsirkan satu per satu secara berurutan. Masing-masing ayat menjadi tema tersendiri di dalam sebuah bab. Seperti Basmalah, Segala Puji Kepunyaan Allah, Dia Maha Pemurah, Raja Hari al-Din, Ibadah dan Pertolongan, Jalan yang Lurus, Kenikmatan Surgawi, Orang yang Dimurkai, dan terakhir Amin. Tiap-tiap bab tadi memiliki sub-bab sendiri-sendiri. 4
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 122-128. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 129. 4 Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi baru] (Jakarta: Serambi, 2008) h. 6. 2 3
46
Tabel IV Sistematika Penyajian Alfatihah Sistematika Penyajian Tafsir Tematik Klasik
Tafsir Alfatihah
2. Bentuk Penyajian Tafsir Bentuk penyajian tafsir adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian tafsir yang ditempuh mufasir dalam menafsirkan al-Quran. Dalam bentuk penyajian ini, ada dua bagian: (a) bentuk penyajian global dan (b) bentuk penyajian rinci yang masing-masingnya memunyai ciri-ciri tersendiri. (a) Bentuk penyajian global adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian karya tafsir yang penjelasannya dilakukan cukup singkat dan global. Biasanya bentuk ini lebih menitikberatkan pada inti dan maksud dari ayat-ayat al-Quran yang dikaji. Bentuk penyajian global ini bisa diidentifikasi melalui model analisa tafsir yang digunakan, yang hanya menampilkan bagian terjemahan, sesekali asbảb al-nuzủl, dan perumusan pokok-pokok kandungan dari ayat-ayat yang dikaji. (b) Bentuk penyajian rinci menitikberatkan pada uraian-uraian penafsiran secara detail, mendalam, dan komprehensif. Terma-terma kunci di setiap ayat dianalisis untuk menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks ayat. Setelah itu, penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan, yang sebelumnya ditelisik aspek asbảb al-nuzủl dengan kerangka analisis yang beragam, seperti analisis sosiologis, antropologis, dan yang lain. 5
5
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 148-152.
47
Kesimpulan: Dalam menafsirkan ayat per ayat, Chodjim tidak mencantumkan ayat dalam teks Arab tapi dalam tulisan Latin lalu terjemahannya. Seperti yang ia tulis, ”Alhamdu li Allahi rabbi al-Alamin’, begitulah bunyi ayat kedua dari surat al-Fatihah seperti yang dicetak dalam Alquran yang ada di Indonesia”. 6 Namun pada beberapa ayat yang lain, Chodjim langsung memulai penafsirannya tanpa menulis terlebih dulu ayat yang akan dibahas. 7 Sebagai bacaan populer, Alfatihah cukup bermanfaat bagi orang ingin cepat memahami surat al-Fatihah tapi harus dijejali dengan pelbagai analisis yang rumit. Tidak seperti Tafsir al-Mishbảh karya Quraish Shihab yang panjang lebar dalam menganalisa penggalan ayat dari sisi kebahasaan, dalam tafsir Alfatihah proses ini dirampingkan. Sebagai contoh, ketika menafsirkan ayat basmalah, sebagai permulaan Chodjim mengartikan secara literal ayat tersebut. Setelah itu, ia langsung menjelaskan pentingnya mengucapkan lapal bismillah dalam segala aktivitas. Menurutnya, bismillảh adalah cara Tuhan untuk mengingatkan manusia bahwa apa yang dikerjakannya menjadi mungkin karena kekuatan yang ada pada dirinya adalah anugerah Tuhan. Tidak ada analisis kebahasaan di sini padahal ia merujuk Shihab dalam menafsirkan ayat itu. 8 Bandingkan dengan Shihab ketika menafsirkan ayat yang sama. Dalam permulaan penafsiran ia mengelaborasi makna huruf ba yang dibaca bi pada bismillảh. Huruf tersebut, menurutnya, yang diterjemahkan dengan mengandung satu kata atau kalimat yang tidak terucapkan tapi harus terlintas di dalam benak ketika mengucapkan basmalah, yaitu kata ’memulai’, sehingga Bismillảh berarti
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 64. Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 90 dan 213. 8 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 26. 6 7
48
”Saya atau Kami memulai apa yang kami kerjakan ini –dalam konteks surah ini adalah membaca al-Quran—dengan nama Allah. 9 Tabel V Bentuk Penyajian Alfatihah Bentuk Penyajian Tafsir Bentuk Penyajian Global
Tafsir Alfatihah
3. Gaya Bahasa Penulisan Tafsir Analisis bentuk gaya bahasa penulisan diorientasikan untuk melihat bentuk-bentuk bahasa yang dipakai dalam karya tafsir. Kategorisasi yang dipakai dalam konteks ini mirip yang ada dalam dunia jurnalistik. Setidaknya ada empat gaya bahasa penulisan yang dapat dibedakan dari literatur tafsir yang ada. Yakni gaya bahasa kolom, reportase, ilmiah, dan populer. Gaya bahasa kolom adalah gaya penulisan tafsir dengan memakai kalimat yang pendek, lugas, dan tegas. Dalam bentuk ini, biasanya diksi-diksi yang dipakai dipilih melalui proses serius dan akurat. Diksi-diksi yang dipilih itu menyimpan kekuatan yang mampu menghentakkan imajinasi dan batin pembaca. Gaya bahasa penulisan reportase ditandai dengan menggunakan kalimat yang sederhana, elegan, komunikatif, dan lebih menekankan pada hal yang bersifat pelaporan dan bersifat human interest. Gaya bahasa macam ini, seperti reportase yang sering digunakan dalam majalah atau koran yang menyajikan laporan dari pelbagai peristiwa penting. Biasanya model ini memikat emosi pembaca sekaligus mengajaknya masuk dalam tema yang ditulis.
9
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbảh (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 11.
49
Gaya bahasa ilmiah ialah suatu gaya bahasa penulisan yang dalam proses komunikasinya terasa formal dan kering. Biasanya dalam model ini kalimatnya cenderung menunjuk pada sistem komunikasi oral dihindari, seperti pemakaian kata Anda, kita, saya, dan seterusnya. Karena karakternya yang semacam itu, maka gaya bahasa ilmiah ini cenderung melibatkan otak ketimbang emosi pembaca. Dengan demikian pembaca kurang dilibatkan dalam wacana peristiwa yang dipaparkan. Gaya bahasa populer adalah model gaya bahasa penulisan karya tafsir yang menempatkan bahasa sebagai medium komunikasi dengan karakter kebersahajaan. Kata maupun kalimat yang digunakan, dipilih yang sederhana dan mudah. Bedanya dengan gaya reportase, gaya bahasa populer ini kurang kuat dalam proses pelibatan pembaca. 10 Kesimpulan: Sebagai bacaan populer tentu saja Alfatihah menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh semua lapisan sosial calon pembacanya. Apalagi karya ini tidak hanya ditujukan bagi kalangan Muslim saja tapi juga untuk kalangan agama lain, seperti Kristen, Khatolik, Hindu, Budha atau kepercayaan apapun yang diyakini. 11 Selain menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, Chodjim dalam menuliskan tafsirnya juga menggunakan kata-kata lho, nah, dan aha yang lazim digunakan dalam pembicaraan face to face. Sepertinya yang terbayang dalam benak Chodjim ketika menulis Alfatihah dia tidak sedang menulis melainkan berbicara langsung dengan pembacanya. Di beberapa
10 11
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 165-170. Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 13.
50
kesempatan, Chodjim menjelaskan kaitan ayat dengan cara bercerita dan percakapan antara satu tokoh dengan sahabatnya. 12 Tabel VI Gaya Penulisan Alfatihah Gaya Penulisan Tafsir Gaya Bahasa Populer
Tafsir Alfatihah
4. Bentuk Penulisan Tafsir Bentuk penulisan tafsir adalah mekanisme penulisan yang menyangkut aturan teknis dalam penyusunan keredaksian sebuah literatur tafsir. Aturan yang dimaksud adalah tata cara mengutip sumber, penulisan catatan kaki, penyebutan buku-buku yang dijadikan rujukan, serta hal-hal lain yang menyangkut konstruksi keredeksionalan. Dalam kaitan ini, ada dua hal pokok yang dianalisis: (a) bentuk penulisan ilmiah dan (b) bentuk penulisan non-ilmiah. (a) Bentuk penulisan ilmiah adalah suatu penulisan tafsir yang sangat ketat dalam memperlakukan mekanisme penyusunan redaksionalnya. Dalam bentuk ini, kalimat maupun pengertian yang didapat dari beberapa literatur lain diberi catatan kaki ataupun catatan perut untuk menunjukkan pada pembaca sumber asli pengertian yang dirujuk tersebut. Judul, buku, tempat, tahun, penerbit, serta nomor halaman buku menjadi penting untuk dituturkan dalam bentuk penulisan ilmiah ini. (b) Bentuk penulisan non-ilmiah adalah bentuk penulisan tafsir yang tidak menggunakan kaidah penulisan ilmiah yang mensyaratkan adanya: footnote,
12
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 214 dan 90.
51
endnote, maupun catatan perut, dalam memberikan penjelasan atas literatur yang dirujuk. Meskipun tidak menggunakan bentuk penulisan ilmiah, bukan berarti sebuah karya tafsir lalu diklaim, dari segi isi, tidak ilmiah. Kategori ilmiah dalam pengertian ini tidak ada kaitannya dengan isi. 13 Kesimpulan: Meski dalam Alfatihah ada catatan kaki, tapi tidak seketat karya ilmiah. Seperti saat mengutip sebuah hadis, Chodjim dalam catatan kakinya hanya menyebut hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi tertentu tanpa menyebut nama kitab perawi tersebut, jilid berapa, nama penerbit, tahun penerbitan, dan halamannya. 14 Begitu juga ketika dia merujuk kepada suatu karya tafsir. Dia hanya menulis ”Thabataba’i dalam Mengungkap Rahasia Alquran menyebutkan bahwa kata menyentuh bisa diartikan memahami”. 15 Dalam footnote tersebut, jelas ia tidak mencantumkan di halaman berapa kalimat itu berada. Tabel VII Bentuk Penulisan Alfatihah Bentuk Penulisan Tafsir Tafsir Alfatihah
Bentuk Penulisan Non-Ilmiah
5. Sifat Mufasir Dalam penyusunan sebuah karya tasfir, seseorang bisa melakukannya secara individual, kolektif-dua orang atau lebih- atau bahkan dengan membentuk tim atau panitia khusus secara resmi. Dalam konteks sifat mufasir ini, terbagi menjadi dua bagian: (a) Individual, dan (b) Kolektif atau tim. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 172-174. Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 62 dan 63. 15 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 227. 13 14
52
(a) Istilah mufasir individual digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu karya tafsir lahir dan ditulis oleh satu orang. (b) Pengertian mufasir kolektif untuk menunjukkan bahwa karya tafsir disusun oleh lebih dari satu orang. Sifat kolektif ini terbagi menjadi dua bagian: (1) kolektif resmi dan (2) kolektif tidak resmi. (1) Kolektif yang resmi adalah kolektivitas yang dibentuk secara resmi oleh lembaga tertentu dalam bentuk tim atau panitia khusus dalam rangka menulis tafsir. (2) Kolektif yang tidak resmi adalah bentuk kolektif yang tidak bersifat formal dan dalam kolektivitas itu hanya terdiri dua orang penyusun. 16 Kesimpulan: Alfatihah ditulis Achmad Chodjim sendiri. 17 Tidak ada pihak-pihak lain yang membantunya dalam hal penulisan. Tabel VIII Sifat Mufasir Alfatihah Sifat Mufasir Individual
Tafsir Alfatihah
6. Asal-usul dan Keilmuan Mufasir Asal-usul dan keilmuan mufasir adalah latar belakang seorang mufasir dalam pendidikan formalnya. Setelah itu, dibedakan apakah ia berangkat dari disiplin ilmu tafsir al-Quran atau disiplin ilmu non-tafsir al-Quran. 18 Kesimpulan: Seperti yang diakuinya sendiri, secara formal studi yang yang ditempuh Achmad Chodjim bukanlah dari disiplin tafsir al-Quran. Pendidikan strata 1 ditempuh di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada jurusan Agronomi dan lulus pada 1987. Lalu ia melanjutkan pendidikan strata 2 ditempuh Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 1176-177. Untuk lebih lengkapnya lihat sub-bab III, Masa Penulisan Dan Penerbitan. 18 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 179. 16 17
53
di Sekolah Tinggi Prasetya Mulya, Jakarta, dengan konsentrasi studi manajemen dan lulus pada 1996. Meski demikian, sebelumnya Achmad Chodjim pernah nyantri di pondok pesantren Darul Ulum, Jombang, dan pondok modern Darussalam, Gontor. Saat di Malang, ia pernah mengaji tafsir dan hadis pada dua guru yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing. Dari keduanya, Chodjim mendapatkan pengetahuan yang lebih luas dan mendalam tentang al-Quran dan hadis. 19 Tabel IX Asal-usul Keilmuan Mufasir Alfatihah Asal-usul dan Keilmuan Mufasir Tafsir Alfatihah
Disiplin ilmu Non-Tafsir al-Quran
7. Asal-usul Literatur Tafsir Asal-usul literatur tafsir di sini ingin menelusuri apakah literatur tafsir itu ditulis untuk kepentingan akademis di perguruan tinggi,-seperti skripsi, tesis, dan disertasi- atau hanya sebagai bentuk apresiasi umat Islam atas kitab sucinya. Asal-usul literatur tafsir al-Quran yang pada mula ditulis untuk kepentingan akademik adalah untuk memperoleh gelar akademik. Karya tafsir yang mulanya lahir dari tugas akademik secara umum cukup komprehensif: dari segi isi, model penulisan, dan bahasa yang digunakan. Ini terjadi karena dalam dunia akademik, beberapa persyaratan, baik dari segi bentuk penulisan, bahasa, serta analisa yang digunakan, menjadi persyaratan utama yang harus dipenuhi seorang penulis. Itu sebabnya, literatur tafsir di Indonesia yang berasal dari tugas 19
Untuk lebih lengkapnya lihat bab III, khususnya sub-bab masa penulisan dan
penerbitan.
54
akademik memunyai beberapa kelebihan, setidaknya dari segi bentuk penulisan dan analisis yang digunakan. Bentuk kedua asal-usul buku tafsir adalah yang ditulis berasal dari kepentingan akademik. Meskipun bukan dalam konteks kepentingan akademik, buku tafsir yang termasuk dalam kategori ini bukan berarti tidak ilmiah, baik dari segi bentuk penulisan, bahasa, maupun analisis yang digunakan. Sebab literatur tafsir dalam bagian ini, secara substansial juga merupakan karya ilmiah. 20 Kesimpulan: Alfatihah bukanlah karya akademis. Alfatihah ditulis Chodjim sebagai bentuk apresiasinya terhadap surat al-Fatihah dan sebagai upayanya untuk menyelami makna dan kandungannya. Menurutnya, al-Fatihah adalah surat yang paling sering dibaca kalangan Muslim. Bagi yang aktif salat, alFatihah dibaca sebanyak 17 kali dalam sehari. Belum lagi pada acara-acara atau ritus-ritus tertentu seperti tahlilan. Selain dalam rangka mengapresiasi al-Fatihah, Chodjim juga ingin menawarkan sebuah tafsir al-Fatihah kepada khalayak yang sesuai dengan konteks kekinian tapi diulas dengan bahasa yang sederhana. Cocok untuk mereka yang tidak paham bahasa Arab tapi ingin mengetahui maknanya. 21 Tabel X Asal-usul Alfatihah Asal-usul Literatur Tafsir Non-Akademik
Tafsir Alfatihah
20 21
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 182-184. Untuk lebih lengkapnya lihat bab III, khususnya sub-bab masa penulisan dan
penerbitan.
55
8. Sumber-sumber Rujukan Sumber-sumber rujukan adalah buku atau tafsir yang dijadikan referensi oleh seorang mufasir dalam penulisan tafsirnya. Referensinya bisa dari bahasa tertentu atau terjemahan, generasi tertentu, dan aliran tafsir tertentu. Untuk menguatkan tafsirnya, seorang mufasir bisa juga merujuk ke buku-buku di luar tafsir. 22 Kesimpulan: Ada sekitar 19 buku yang dijadikan referensi dalam penulisan Alfatihah oleh Chodjim. 23 Di antaranya: [1] Alquran Alkarim. [2] Studi Ilmu-ilmu Quran, terjemahan Muzakir AS (Bogor dan Jakarta, 2000) karya Manna Khalil Al-Qatthan. [3] Islamologi (Dinul Islam), terjemahan R, Kaelan dan H.M. Bachrun (Jakarta, 1996) karya Maulana Muhammad Ali. [4] Qur’an Suci: Teks Arab, Terjemahan dan Tafsir Bahasa Indonesia, terjemahan H.M. Bachrun (Jakarta, 1996) karya Maulana Muhammad Ali. [5] Fatwa Alquran tentang Alam Semesta, terjemahan Mahnun Husein (Jakarta, 2000) karya Aneesuddin. [6] Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, terjemahan Syihabuddin (Jakarta, 1999) karya Muhammad Nasib Ar-Rifai. [7] Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta, 1994) karya J.S. Badudu dan Zain S.M. [8] Hans Wehr: A Dictinary of Modern Written Arabic (3rd ed. New York, 1976) karya J. Milton Cowan. [9] Alquran dan Terjemahannya (Ed. Revisi, Semarang 1989) karya Departemen Agama RI. [10] Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terjemahan A. Supratinya (Yogyakarta, 1987) karya Frank. G. Globe. [11] Mutiara Surat Al-Fatihah (Ciputat, 2000) karya Salman Harun. [12] Surat al-fatihah, terjemahan Muhammad Ja’far (Surabaya, 1983) karya Syekh 22 23
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 187-188. Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 353-355.
56
Thanthawi Jauhary. [13] Tafsir Surat-surat Pilihan: Mengungkap Hikmah Alquran, terjemahan M.S. Nasrullah (Jakarta, 1992) karya Murthada Muthahari. [14] Mahkota Pokok-pokok Hadis Rasulullah Saw, terjemahan Bahrun Abu Bakar (Bandung, 1996) karya Syekh Manshur Ali Nashif. [15] Sebuah Ijtihad (Jakarta, 1984) karya H.E. Semedi. [16] Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surah-surah Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung, 1997) karya M. Quraish Shihab. [17] The Holy Qur’an: English Translation of the Meaning and Commentary (Madinah, 1410 H) karya The Presidency of Islamic Researches. [18] Mengungkap Rahasia Alquran, terjemahan A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas (Bandung, 1997) karya M. H. Thabathaba’i. [19] Alquran Terjemahan Indonesia (Jakarta, 1994) karya Tim Disbintalad. Tabel XI Sumber-sumber Rujukan Alfatihah Sumber-sumber Rujukan Tafsir Alfatihah
1. Buku Tafsir
Buku nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 19.
2. Buku non-Tafsir
Buku nomor 7, 8, 10, 14, 15.
57
B. Aspek Hermeneutik Dalam sejarah hermeneutik tafsir al-Quran, setidaknya terbagi menjadi dua: (1) hermeneutika al-Quran tradisional dan (2) hermenenutika al-Quran kontemporer. Dalam hermeneutika al-Quran tradisional, perangkat metodologi yang digunakan sebatas pada linguistik dan riwayah. Jadi, belum ada rajutan sistemik antara teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, meskipun unsur triadik ini telah hidup di dalamnya waktu itu. Sedangkan hermeneutika al-Quran kontemporer telah melakukan perumusan sistematis unsur triadik tersebut. Di dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tapi penafsir di satu sisi dan audiens di sisi lain, secara metodologis merupakan bagian yang mandiri. 24 Dalam konteks penggalian dimensi-dalam karya ini, yang bersifat paradigmatik, di sini diacukan pada tiga variabel pokok: (1) metode penafsiran, (2) nuansa penafsiran, dan (3) pendekatan tafsir. Dari tiga variabel ini, analisis Alfatihah dilakukan. 1. Metode Tafsir Metode tafsir adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran al-Quran. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting. Pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang merepresentasikan ruang-ruang sosialbudaya yang beragam di mana teks itu muncul. Selain dua aspek ini, seperti yang terjadi dalam hermeneutika al-Quran tradisional, riwayah juga merupakan satu variabel yang digunakan untuk menjelaskan makna teks. 25
24 25
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 196. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 196.
58
Dalam kecenderungan umum penafsiran al-Quran, ada dua arah penting dalam melihat kerangka metodologi yang dipakai, yaitu tafsir riwayat dan tafsir pemikiran. Selanjutnya akan penulis rinci kedua metode tafsir tersebut. a. Metode Tafsir Riwayat: Pemahaman Nabi Muhammad Sebagai Acuan Tunggal Dalam tradisi studi al-Quran klasik, riwayat merupakan sumber penting dalam pemahaman teks al-Quran. Sebab, Nabi diyakini sebagai penafsir pertama terhadap al-Quran. Dalam konteks ini, muncul istilah ’metode tafsir riwayat’. Pengertian metode riwayat dalam sejarah hermeneutik al-Quran klasik, merupakan proses penafsiran al-Quran yang menggunakan data riwayat dari Nabi dan atau sahabat sebagai variabel penting dalam proses penafsiran al-Quran. Model tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan Nabi dan atau para sahabat. Ini ditemukan dalam beberapa literatur tafsir klasik, misalnya Tafsỉr al-Thabảri karya al-Thabari, Tafsỉr al-Qurản al-Azhỉm karya ibn Katsir dan yang lain. 26 Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir riwayat. Al-Zarqani, seperti yang dikutip Gusmian, membatasinya dengan mendefiniskan sebagai tafsir yang diberikan ayat al-Quran, sunah Nabi, dan para sahabat. Dalam batasan ini ia jelas tidak memasukan tafsir yang dilakukan para tabi’in. al-Zhahabi, seperti yang dikutip Gusmian, memasukan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung dari nabi Muhammad. Tapi nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka,
26
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 197.
59
seperti Tafsỉr al-Thabảri. Al-Shabuni, seperti yang dikutip Gusmian, memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya, tafsir riwayat adalah model tafsir yang bersumber dari al-Quran, sunah, dan perkataan sahabat. Definisi alShabuni ini tampaknya lebih terfokus pada material tafsir bukan pada metodenya. Berbeda dengan al-Shabuni, ulama Syiah, seperti yang dikutip Gusmian, berpendapat bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam ahl al-bayt. Hal-hal yang dikutip dari para sahabat dan tabi’in menurut mereka tidak dianggap sebagai hujjah. Dari segi material, menafsirkan al-Quran memang bisa dilakukan dengan menafsirkan antar-ayat, ayat dengan hadis Nabi, dan atau perkataan sahabat. Namun secara metodologis, bila kita menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat yang lain dan atau dengan hadis tapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu itu semua sepenuhnya merupakan hasil intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat atau hadis Nabi dalam menafsirkan al-Quran, tentu ini secara metodologis tidak sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat. 27 Lepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode tafsir riwayat bisa didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran Nabi yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan/atau dalam bentuk asbảb alnuzủl sebagai satu-satunya sumber data otoritatif’. Sebagai salah satu metode, model riwayat dalam pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya
27
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 198.
60
bergantung pada data riwayat penafsiran Nabi. Juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asbảb al-nuzủl. b. Metode Tafsir Pemikiran: Intelektualitas Sebagai Dasar Tafsir Al-Qaththan, seperti yang dikutip Gusmian, mencatat bahwa sejak berakhirnya masa salaf, sekitar abad ke-3 H, peradaban Islam semakin berkembang dengan dibarengi lahirnya pelbagai mazhab di kalangan umat Islam. Masing-masing mazhab berusaha meyakinkan pengikutnya dengan memberikan penjelasan dari ayat-ayat al-Quran. Teks al-Quran, kemudian ditafsirkan dalam kerangka corak kepentingan dan ideologinya tersebut. Dalam konteks ini, sejarah tafsir mencatat adanya perkembangan pelbagai corak tafsir. Misalnya muncul Tafsỉr al-Rảzi dengan corak filsafatnya yang ditulis Fakhr al-Razi, al-Kasysyảf dengan corak teologi Muktazilahnya yang ditulis al-Zamakhsyari, Tafsỉr alManảr dengan corak sosiologisnya yang ditulis Muhammad Rasyid Ridla dan seterusnya. 28 Namun, dalam konteks pengertian metode tafsir pemikiran yang dimaksud bukan seperti yang diuraikan oleh al-Qhathan di atas. Metode tafsir pemikiran didefinisikan sebagai suatu penafsiran al-Quran yang didasarkan pada kesadaran bahwa al-Quran, dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah budaya dan sejarah—di samping bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari budaya manusia. Dalam metode tafsir pemikiran, penafsir berusaha menjelaskan pengertian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan langkah epistemologis yang mempunyai dasar-pijak pada teks dengan konteks-konteksnya.
28
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202.
61
Proses yang bersifat ijtihadi ini, bisa berupa penafsiran teks al-Quran dalam konteks internalnya dan atau meletakan teks al-Quran dalam konteks sosiokulturalnya. Untuk kepentingan ini diperlukan suatu kajian atas medan bahasa dalam konteks semiotik dan semantiknya yang membawa ide-ide dalam historisitas masyarakatnya sebagai audiens. Teks al-Quran dengan wacana yang dikembangkan di dalamnya, juga dikaji sebagai bagian penting dalam proses perumusan dan penarikan kesimpulan dari gagasan-gagasan yang disampaikan alQuran. Teks al-Quran dengan historisitasnya mengharuskan adanya analisis terhadap bangunan budaya yang ada pada saat teks itu muncul. Artinya, yang dibangun dalam metode tafsir pemikiran ini adalah aspek teoritis penafsiran, bahwa memahami teks al-Quran, sejatinya tidak lepas dari kesadaran pengetahuan ilmiah untuk meletakkannya pada strukturnya sebagai bahasa yang mempunyai struktur historis dengan wacana-wacana yang dipakai dan budaya masyarakat yang menjadi audiensnya. Sebab teks al-Quran, dalam konteks bahasa, merupakan bentuk representasi dan kerterwakilan budaya masyarakat saat teks diproduksi. Proses pergeseran makna dari satu terma dalam bahasa (Arab) juga harus dipahami dalam konteks budaya masyarakat ketika terma itu dipakai. Dengan demikian, untuk memahami al-Quran harus juga memahami persoalan budaya, wilayah geografi, dan psikologi masyarakat di mana al-Quran diturunkan dan berdialog dengannya. 29 Dengan kerangka teori yang demikian, bukan hanya bahasa dengan strukturnya yang menentukan sebuah pemahaman atas gagasan yang ada dalam teks al-Quran. Struktur wacana dan budaya yang melingkupi kemunculan teks
29
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202.
62
juga menjadi medan analisis yang sangat penting. Dari sini, kita akan mampu mengungkap hal-hal implisit dan yang tak terkatakan (maskủt ’anhu) dari teks alQuran. Dari situ pula gagasan yang disampaikan al-Quran dapat ditemukan secara utuh. Jadi, pokok dasar dari metode ini terletak pada bangunan epistemologi tafsir yang didasarkan bukan semata-mata pada riwayat tapi pada proses intelektualisasi yang secara epistemologis bisa dipertanggungjawabkan. Pada metode tafsir pemikiran ini, ada dua variabel pokok yang akan dijadikan titik tolak. Pertama, variabel sosio-kultural di mana teks al-Quran muncul dan diarahkan pertama kali. Dalam bagian ini meliputi persoalan geografis, psikologis, budaya, dan tradisi masyarakat yang menjadi audiens pertama teks al-Quran. Kedua, adalah struktur linguistik teks. Bagian ini, meliputi analisis semantik dan semiotik lalu dipaparkan juga metode tafsir ilmiah, sebuah penafsiran yang didasarkan pada data-data yang secara material diperoleh dari penemuan sains-ilmiah yang fungsinya untuk mengukuhkan bangunan logika ilmiah yang dinarasikan al-Quran. I. Analisis Sosio-Kultural: Melihat al-Quran dari Medan Sosial dan Budaya Mesti dipahami bahwa teks al-Quran lahir dan diturunkan Tuhan bukan dalam ruang hampa tapi dalam sejarah umat manusia (masyarakat Arab). Itu sebabnya, Fazlur Rahman, seperti yang dikutip Gusmian, menyebutnya sebagai ’respon Ilahi’ melalui pikiran Nabi terhadap situasi sosio-moral dan historis masyarakat Arab abad ke-7 M. 30 Dalam pengertian ini, budaya dan sejarah
30
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 204.
63
masyarakat Arab sebagai audiens al-Quran menjadi suatu wilayah yang harus dikaji untuk menemukan gagasan-gagasan pokok al-Quran. Analisis yang dilakukan itu, tentu tidak hanya bergantung pada asbảb alnuzủl. Sebab, asbảb al-nuzủl sendiri tidak sepenuhnya mampu menggambarkan secara sempurna bangunan sosio-historis masyarakat (Arab) sebagai audiens di samping memang tidak semua ayat mempunyai asbảb al-nuzủl. Langkah yang demikian menjadi penting karena dengan pelbagai unsur tersebut teks al-Quran terbentuk dan dalam konteks itu pula mestinya konsepsi-konsepsi yang dibangunnya harus dipahami. Seperti yang terlihat pada rumusan Abu Zayd, yang dikutip Gusmian, tentang level-level teks al-Quran, konteks sosio-kultural ini—yang terdiri dari aturan sosial dan kultural dengan semua konvensi, adat istiadat, dan tradisi yang terekspresikan
dalam
bahasa
teks—merupakan
otoritas
epistemologis
(marja’iyyah ma’rifiyyah). Sebab, bahasa pada hakekatnya mengandung aturanaturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai kebudayaan sendiri, konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan kulturalnya sendiri pula. Analisis sosio-kultural terhadap teks Kitab Suci menjadi penting dalam rangka memberikan pemahaman yang lebih sesuai. Konsepsi yang dibangun dalam teks al-Quran dengan demikian menjadi bangunan yang sangat historis dan kultural sifatnya. Usaha untuk menemukan konsepsi-konsepsi itu, mesti diletakan dalam medan kesejarahannya. Ada banyak hal yang mesti dilibatkan dalam analisis sosio-historis ini: masalah wilayah geografis di mana suatu masyarakat yang menjadi audiens pertama al-Quran itu berada, psikologi dan tradisi yang
64
berkembang di dalamnya. Dalam hermeneutik al-Quran kontemporer, keterkaitan antara struktur triadik: teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, kemudian menjadi wilayah penting yang harus dipertimbangkan. Yang terakhir ini, bisa menemukan signifikansinya bila variabel kultural dan sejarah dalam makna yang luas, dianalisis secara komprehensif. II. Analisis Semiotik: Lewat Bahasa Menangkap Makna Menurut Abu Zayd, seperti yang dikutip Gusmian, bahasa mengandung aturan-aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai kebudayaan sendiri, konsepsi-konsepsi mental, dan kepercayaan kultural. Konteks percakapan (siyâq al-takhâtub) yang diekspresikan dalam struktur bahasa (bunyah lughawiyyah) berkaitan dengan hubungan antara pembicara dan partner bicara yang didefinisikan karakteristik teks pada satu sisi, dan otoritas tafsir pada sisi lain. 31 Dalam konteks ini, makna-makna dari suatu bahasa yang telah terkontekstualisasi mengarahkan kita tentang perlunya menganalisis makna dari kata. Dalam perspektif semiotik, bahasa adalah penanda (signifier) yang terkait dengan yang ditandai (signified). Bagi Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik, seperti yang dikutip Gusmian, bahasa sebagai sistem tanda (sign) hanya dapat
dikatakan
mengekspresikan
sebagai atau
bahasa
atau
menyampaikan
berfungsi ide-ide
tertentu. 32
31 32
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 211. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 212.
65
atau
sebagai
bahasa
bila
pengertian-pengertian
Oleh karena itu, bahasa bagi Saussure, seperti yang dikutip Gusmian, bukanlah sekedar nomenklatur. Tinanda-tinandanya bukanlah konsep yang sudah ada lebih dulu, tapi konsep-konsep yang dapat berubah-ubah mengikuti perubahan kondisi yang lain. Tinanda dengan demikian tidaklah mandiri dan otonom yang masing-masing memiliki esensi atau inti yang menentukannya. Ketinandaan dan kepenandaan ditentukan oleh ’hubungan-hubungannya’. Dalam hubunganhubungan ini, Saussure lalu membaginya menjadi dua. Pertama, hubungan associattive, atau yang biasa dikenal dengan istilah paradigmatik, dan kedua, hubungan syntagmatic. Hubungan ini terdapat dalam kata sebagai rangkaian bunyi maupun sebagai konsep. Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakangnya dalam sebuah kalimat, atau juga antar-dua kata, di mana kata pertama muncul sebagai subjek bagi kata yang kedua. Selanjutnya saat menuturkan sesuatu, kita pada dasarnya juga memilih suatu kata dari perbendaharaan kata yang kita ketahui dan kita simpan dalam ingatan. Sebagian kata yang tidak kita pilih dalam ingatan itu memiliki hubungan asosiatif dengan kata yang kita ucapkan. Hubungan inilah yang disebut sebagai rangkaian paradigmatik. Teks al-Quran dalam konteks linguistik juga merupakan sistem tanda yang merepresentasikan ide-ide sebagai tinandanya. Unsur-unsur kalimat yang ada di dalamnya juga mengharuskan dipahami dalam konteks hubungan sintagmatik dan asosiatif tadi. Sebab, dengan cara demikian, makna dari sebuah kata akan ditemukan yang sesuai dengan konteks kalimat. Sehingga kata yang sama, dalam hubungan sitagmatik yang berbeda, bisa jadi akan mengungkap makna yang
66
berbeda dan makna yang berbeda mengantarkan suatu gagasan yang berbeda. Bahkan bila kita mengacu pada pendapat Jakobson yang menganggap bahwa ’kata’ tidak lagi dianggap satuan linguistik yang paling elementer tapi unsur yang paling dasar adalah bunyi (fonem), maka kita juga akan menemukan analisis mendasar dari kata sebagai penanda yang memberikan makna berbeda.33 III. Metode Semantik: Menangkap Pandangan Dunia al-Quran Gagasan tentang analisis semantik dalam konteks al-Quran mulanya dipopulerkan Toshihiko Izutsu. Dalam pengertian etimologisnya, semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pergertian yang lebih luas dari kata. Begitu luas, sehingga apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek semantik. ’Makna’ dalam pengertian dewasa ini dilengkapi persoalan-persoalan penting para pemikir yang bekerja dalam pelbagai bidang kajian, khususnya linguistik itu sendiri, sosiologi, antropologi, psikologi, dan seterusnya. 34 Bagi Izutsu, seperti yang dikutip Gusmian, kajian semantik merupakan kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir tapi lebih penting lagi adalah pengonsepsian dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Semantik dalam pengertian ini, bagi Izutsu merupakan kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang signifikan dengan menggunakan alat analisis
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 212. Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, penerjemah Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah, dan Aminuddin, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), h. 2 33 34
67
metodologis terhadap konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata kunci bahasa itu. 35 Analisis semantik tidak saja berkaitan dengan elemen-elemen suatu kalimat, atau korelasi antar-kalimat, atau berkaitan dengan perluasan figuratif dalam arti bentuk gramatikal dan style, seperti yang terjadi dalam analisis semiotik tapi menyangkut weltanschauung al-Quran, yaitu gagasan dan pandangan dunia al-Quran yang bisa diperoleh dengan membongkar signifikansi yang implisit atau yang Abu Zayd sebut sebagai maskût ’anhu di dalam struktur wacana. Dan analisis teks melalui tanda linguistik haruslah mengungkap yang tak terkatakan tadi. 36 Analisis semantik semacam ini juga merepresentasikan kepentingan dalam merangkum gagasan al-Quran yang terpecah-pecah. Artinya, konteks internal alQuran, juga berkaitan dengan ’ketakintegralan’ struktur teks al-Quran dan pluralitas wacananya. Ketakintegralan ini terjadi karena adanya perbedaan antara urutan teks (tartỉb al-ajzả) dan urutan pewahyuan (tartỉb al-nuzủl), di samping memang teks al-Quran pada hakikatnya bersifat plural dan tidak mungkin memahaminya kecuali dengan mempertimbangkan level spesifiknya. Level spesifik ini berkaitan dengan konteks pewahyuan yang didasarkan pada faktafakta yang masing-masing bagian mempunyai konteks dan bahasanya sendiri karena audiensnya berbeda-beda. IV. Metode Sains Ilmiah: Relevansi al-Quran dengan Perkembangan Teknologi Sains Ilmiah
35 36
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 220. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 220.
68
Metode tafsir ilmiah adalah pemahaman atas teks al-Quran dengan menggunakan data hasil observasi ilmiah sebagai variabel penjelas. Dalam tradisi tafsir, model ini bukanlah hal baru. Thantawi Jawhari, dalam al-Jawảhir-nya, misalnya, adalah penafsir yang dikenal kuat dalam menggunakan metode tafsir ilmiah ini. Dalam tafsirnya itu, ia menggunakan pelbagai data ilmiah sebagai variabel dalam menjelaskan ayat al-Quran. 37 Usaha menjelaskan ayat al-Quran dengan metode ilmiah ini bisa dipahami, mengingat dalam al-Quran sendiri terdapat banyak isyarat ilmiah. Yang menjadi persoalan adalah manakah yang lebih dulu: pemahaman ilmiah baru dicarikan justifikasi pada al-Quran ataukah pemahaman al-Quran yang kemudian mendorong riset keilmuan? Tampaknya yang pertama yang banyak terjadi selama ini. Dalam konteks ini muncul problem krusial: bagiamana bila teori ilmiah yang dijadikan penjelas, tadinya diyakini final berkesesuaian dengan al-Quran ternyata mengalami anomali dan tidak valid, sebab penemuan ilmiah tidak saja terus berkembang tapi juga berubah. C. Metode Interteks Dalam sebuah teks selalu ada teks-teks lain. Oleh karena itu, setiap teks secara niscaya merupakan sebuah interteks. Proses interteks bisa tampil dalam dua bentuk. Pertama, teks-teks lain yang ada di dalam tersebut diposisikan sebagai anutan dalam proses tafsir, sehingga fungsinya sebagai penguat. Kedua, teks-teks di dalam teks tersebut diposisikan sebagai teks pembanding atau bahkan sebagai objek kritik untuk memberikan suatu pembicaraan baru yang menurutnya lebih
37
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 226.
69
sesuai dengan dasar dan prinsip epistemologis yang bisa dipertanggungjawabkan. 38 Kesimpulan:
Chodjim
jelas
tidak
menggunakan
metode
yang
memanfaatkan data riwayat sebagai variabel utamanya, apalagi satu-satunya dalam menafsirkan al-Fatihah. Data riwayat digunakannya di bab I, Penduhuluan, ketika ia menjelaskan di mana surat ini diturunkan, nama-nama lain al-Fatihah— seperti Umm al-Kitảb, Umm al-Qurản, dan Surah al-Syifả--, serta pentingnya alFatihah dalam salat. 39 Di bab III, Segala Puji Kepunyaan Allah, ia mengutip data riwayat tentang musyarawah yang dilakukan Nabi dan para sahabat terkait isu tawanan pasca perang Badr, riwayat yang terakhir tidak ada kaitan langsung dengan surat al-Fatihah. 40 Selebihnya, Chodjim mengutip hadis-hadis dari Bukhari dan Muslim. Lalu apakah Alfatihah dari sisi metodenya termasuk kategori metode pemikiran? Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, dalam metode pemikiran ada beberapa sub, yakni analisis sosio-kultural, analisis semiotik, metode semantik, metode sains-ilmiah, dan lain-lain. Mari telusuri satu per satu. Dalam analisis sosio-kultural, konsepsi yang terbangun dalam teks al-Quran menjadi bangunan yang sangat historis dan kultural sifatnya. Dengan kerangka itu, maka Alfatihah tidak masuk dalam sub-kategori ini. Mengapa? Sebab dalam analisisnya Chodjim tidak menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat Arab ketika menerima surat al-Fatihah dari sisi psikologi dan tradisi yang berkembang di dalamnya ketika itu. Dalam konteks ini, asbảb al-nuzủl tentu tidak berbicara banyak tentang hal-hal tadi. Bahkan dalam kasus asbảb al-nuzủl al-Fatihah, ada Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 228. Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 20-23. 40 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 64-65. 38 39
70
ketidakpastian di mana dan kapan persisnya al-Fatihah diturunkan. Untuk mengatasi permasalahan ini, Dawan Rahardjo, misalnya, merekomendasikan buku-buku sejarah seperti Kitảb Sirảh Rasủl Allah karya ibn Hisyam dan Muhammad at Mecca dan Muhammad at Madina karya Montgomery Watt. 41 Analisis semiotik yang menitikberatkan pada bahasa untuk menangkap makna dan metode sains-ilmiah tampaknya juga tidak dominan dalam tafsir Alfatihah. Yang paling memungkinkan menurut penulis adalah metode semantik. Meski demikian, sebenarnya metode semantik tidak akan bisa berdiri utuh tanpa ditopang dengan analisis-analisis lainnya, seperti linguistik, sosiologis, psikologis, dan lain-lain. Dengan kerangka di atas, mari perhatikan bagaimana Chodjim menafsirkan terma shirâth al-mustaqîm. Ia mencatat terma shirâth terulang dalam al-Quran sebanyak 44 kali. Dari 44 kali, hanya 32 kali yang terulang dalam al-Quran dengan lengkap. Kemudian, Chodjim menyajikan beberapa ayat yang di dalamnya terdapat terma tadi. (1) Allah memberi petunjuk Musa dan Harun untuk menyelamatkan Bani Israil seperti yang tertulis pada Q.S. 37:118, ”Dan Kami tunjuki keduanya jalan yang lurus”. (2) Petunjuk Tuhan mengantarkan manusia kepada jalan yang lurus. Hal ini diungkapkan pada Q.S. 2:213. 42 (3) Barang siapa yang berpegang teguh kepada Allah, bukan mengikuti dorongan hawa nafsu, berarti ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Perhatikan firman-Nya Q.S. Perhatikan firman-Nya Q.S. 3:101 dan 19:36. (4) alQuran adalah kitab yang memberi petunjuk manusia ke jalan yang lurus, yang mengeluarkan orang-orang dari kegelapan kepada cahaya yang terang, sehingga M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 2002), h. 650. 42 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 226. 41
71
sampai kepada kesalamatan hidup. Lihat Q.S. 5:16 dan 42:52. (5) Kehendak Tuhan itu selalu berada di atas jalan yang lurus. Itu artinya, Allah tidak pernah merugikan hamba-Nya sedikitpun. Orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya akan dibiar sesat dalam hidupnya. Sebaliknya, mereka yang berusaha memamahi ayatayat-Nya akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus. Artinya, kehendak Tuhan bergantung pada pilihan manusia. Perhatikan Q.S. 6:39, 10:25, dan 24:46. (6) Jalan lurus berarti agama yang benar, seperti yang dipraktekan nabi Ibrahim. Dengan kebijakan yang dimilikinya, Ibrahim mampu mencari Tuhan melalui pemahaman alam yang pada ujungnya bahwa Tuhanlah yang berada di balik alam ini. Jalan hidup yang dilaluinya disebut jalan lurus, doktrin (millah) yang lurus atau agama yang lurus. (7) Para rasul, para utusan Tuhan adalah mereka yang berada di jalan yang lurus, seperti yang diungkapkan pada Q.S. 36:4. (8) Tuhan adalah Dia yang senantiasa ada di jalan yang lurus, seperti yang dinyatakan-Nya sendiri Q.S. 11:56. Analisis semantik mengandaikan adanya keharusan kajian kebahasaan secara umum, baik dalam konteks bagaimana sebuah kata dipakai menjadi terma kuci dalam al-Quran atau proses perkembangan dan perluasan medan semantiknya yang menjadi bangunan dasar dalam perumusan pandangan dunia al-Quran. Dalam Alfatihah, ayat-ayat yang terkait dengan shirâth al-mustaqîm tidak diperlihatkan perkembangan dan perluasan medan semantiknya. Walhasil, paparan ayat-ayat tadi kurang menjadi menjadi bangunan utuh yang memberikan pengertian tertentu dari pandangan dunia al-Quran. Sebagai bukti, Chodjim akhirnya berkesimpulan bahwa jalan lurus adalah jalan keselamatan bersama. Jalan lurus adalah jalan yang penuh keharmonisan dalam kehidupan masyarakat.
72
Metode konflik yang diterapkan dalam kepemimpinan adalah bertentangan dengan jalan lurus. Artinya, manusia tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. 43 Layaknya karya tafsir lainnya, Alfatihah juga mengutip beberapa karya tafsir yang representatif sebagai sumber rujukan. 44 Ini dalam rumusan Gusmian disebut dengan interteks. Kebanyakan karya-karya tafsir yang dirujuk Chodjim untuk menguatkan pendapatnya dan bukan untuk dijadikan objek kritik sehingga memberikan pembacaan baru. Sebagai contoh, tulisan Chodjim yang dirujuk dari Shihab: ”Menguncapkan basmalah berarti kita menyatakan ’saya berbuat dengan nama Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang’. Atau, saya bertindak atau bekerja dengan nama Tuhan Yang Rahman dan Rahim”. 45 Tabel XII Metode Alfatihah Metode Tafsir Metode Interteks
Tafsir Alfatihah
2. Nuansa Tafsir Yang dimaksud dengan nuansa tafsir adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya tafsir. Misalnya, nuansa kebahasaan, teologi, sosialkemasyarakatan, psikologis, dan seterusnya. Uraian berikut akan memandu penulis untuk meletakan posisi tafsir Afatihah. Proses analisis dengan pemetaan nuansa tafsir ini lebih didasarkan pada variabel dominan di dalam karya tafsir.
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 232. Untuk melihat karya-karya tafsir yang dijadikan rujukan oleh Chodjim bidik halaman 64 di bab ini. 45 Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 25. 43
44
73
a. Nuansa Kebahasaan Ketika teks al-Quran diwahyukan dan dibaca Nabi, ia sesungguhnya telah tertransformasi dari sebuah tek ilahi (nash ilâhi) menjadi sebuah konsep (mafhûm) atau teks manusia (nash insâni). Sebab, secara langsung berubah dari wahyu (tanzîl) menjadi interpretasi (ta’wîl). Dari sini makna-makna yang dikonsepsikan harus dilihat dari konteks bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Arab. Dalam konteks ini, analisis bahasa menjadi signifikan. Dalam hermeneutik al-Quran kontemporer langkah semacam ini adalah bagian pokok dari kerja interpretasi. Dalam satu kasus, bisa jadi satu karya tafsir memilih langkah analisis kebahasaan ini sebagai variabel utama. Dalam konteks inilah nuansa kebahasaan itu dimaksud, yakni proses interpretasi dalam karya tafsir yang dominan digunakan adalah analisis kebahasaan. b. Nuansa Sosial-Kemasyarakatan Muhammad Abduh, seperti yang dikutip Gusmian, pernah mengatakan bahwa pada hari akhir nanti Allah akan menanyai manusia mengenai pendapat para mufasir dan tentang bagaimana mereka memahami al-Quran. Tapi Ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia. Terhadap pernyataan Abduh ini, J.J.G. Jansen menyimpulkan bahwa dengan maknanya yang praktis bukan hanya untuk ulama profesional. Abduh menginginkan pembacanya, masyarakat awam maupun ulama, menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional tidak akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Ia ingin meyakinkan pada para ulama bahwa mereka seharusnya
74
membiarkan al-Quran berbicara atas namanya sendiri bukan malah diperumit dengan penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil. 46 Nuansa sosial kemasyarakatan adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Quran dari: (1) segi ketelitian redaksinya, (2) kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan al-Quran, aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan al-Quran, dan (3) penafsiran ayat dikaitkan dengan sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dilakukan Abduh, yang dikutip Gusmian, nuansa tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah menjadikan al-Quran terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu ataupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan al-Quran sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar. c. Nuansa Teologi Nuansa teologis yang dimaksud di sini berbeda pengertiannya dengan apa yang terjadi sebagaimana dalam sejarah teologi klasik yang meletakan pelbagai paham teologi menjadi variabel dalam menafsirkan al-Quran. Dalam konteks ini, konsep teologi yang secara harfiah berarti studi tentang Tuhan dimaksudkan sebagai nuansa atau corak yang menempatkan sitem keyakinan ketuhanan dalam Islam sebagai variabel tema penting dalam bangunan tafsir. Pengertian teologi di sini jauh lebih sekedar keyakinan ketuhanan tapi lebih dipandang sebagai suatu disiplin kajian yang membicarakan tentang persoalan hubungan manusia dengan Tuhannya. J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Quran Modern, penerjemah Hairussalim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 28. 46
75
Ranah nuansa teologis ini mengungkap pandangan al-Quran secara komprehensif tentang keyakinan dan sistem teologi. Namun dalam proses yang dilakukan bukan dalam rangka pemihakan terhadap kelompok tertentu, yang sudah terbangun mapan dalam sejarah, tapi lebih pada upaya menggali secara serius bagaimana al-Quran berbicara dalam soal-soal teologis itu dengan melacak terma-terma pokok, serta konteks-konteks dari penggunaa terma itu dalam alQuran. d. Nuansa Sufistik Dalam tradisi ilmu tafsir al-Quran klasik, tafsir yang bernuansa sufistik sering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayatayat al-Quran dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya. Tafsir yang menggunakan corak pembacaan jenis ini ada dua macam: (1) yang didasarkan pada tasawuf nazhâri (teoritis) yang cenderung menafsirkan al-Quran berdasarkan teori atau paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari pengertian bahasa, (2) didasarkan pada tasawuf amâli (praktis), yaitu menakwilkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam suluknya. Jenis tafsir sufi yang kedua ini oleh para ahli tafsir disebut tafsỉr isyảrỉ. Menurut para ahli, jenis tafsir ini dapat diterima dengan syarat: (1) tidak bertentangan dengan lahir ayat, (2) mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama yang sekaligus berfungsi sebagai penguatnya, (3) tidak bertentangan dengan ajaran agama dan akal, (4) tidak menganggap bahwa penafsiran model ini yang paling benar sesuai yang dikehendaki Tuhan.
76
Tokoh dalam corak tafsir ini menurut ’Ali al-Awsi, seperti yang dikutip Gusmian, adalah Muhyiddin Ibn ’Arabi (w. 638 H). Hal ini bisa dilihat ketika Ibn ’Arabi menafsirkan firman Allah Q.S. al-Rahman [55]:19, ”Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu”. Ibn ’Arabi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua lautan oleh ayat tersebut lautan subtasnsi raga yang asin dan pahit serta lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar, yang keduanya saling bertemu di dalam wujud manusia. 47 Tafsir sufi ini sebetulnya sangat terkait dengan ta’wỉl. Seperti dikonsepsikan Abu Zayd, ta’wîl berkaitan dengan proses penguakan dan penemuan yang tdak dicapai melalui jalan tafsîr. Sebab, ta’wîl melakukan penjelasan makna-dalam dan yang tersembunyi dari al-Quran, sedangkan tafsîr menjelaskan ’yang luar’ dari al-Quran. e. Nuansa Psikologis Al-Quran memang bicara banyak hal meskipun bukan semua hal. Masalah psikologi manusia juga tidak luput dari pembahasan al-Quran. Dalam konteks ini, pengertian nuansa psikologis yang dimaksud adalah suatu nuansa tafsir yang analisisnya menekankan pada dimensi psikologis manusia. Kesimpulan: Dari beberapa macam nuansa yang dicirikan oleh Gusmian, penulis
menilai
bahwa
Alfatihah
lebih
dekat
dengan
nuansa
sosial-
kemasyarakatan. Ini bisa dilihat dari motivasi awal sang pengarang. 48 Karena Alfatihah lebih dekat dengan nuansa sosial-kemasyarakatan, maka tafsir ini penuh dengan himbauan-himbauan moral yang terdapat dalam surat alFatihah. Sebagai contoh, saat memulai menafsirkan ayat ihdinả al-shirâth al47 48
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 245. Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim. Pamulang, 15 Februari 2010.
77
mustaqîm, Chodjim menulis: ”Bila kita mohon diberi petunjuk, maka pikiran kita harus dalam suasana yang jernih. Pikiran yang kusut, hati yang gundah, sulit menerima petunjuk.” Masih dalam ayat tersebut Chodjim menulis: ”Pada ayat ke5, pernyataan beribadah dan minta pertolongan ternyata tidak bersifat singular (tunggal). Tetapi berbentuk plural (jamak). Kita tidak menyatakan, ’Hanya kepada Engkau aku beribadah dan hanya kepada Engaku aku meminta pertolongan’. Juga kita mengatakan, ’Tunjukilah kami jalan yang lurus’ dan bukan ’Tunjukilah aku jalan yang lurus’. Apa artinya ini? Ini artinya manusia hidup di dunia tidak bisa sendirian. Manusia adalah zoon politikon, mahluk bermasyarakat”. 49 Tabel XIII Nuansa Alfatihah Nuansa Tafsir Tafsir Alfatihah
Nuansa Sosial-Kemasyarakatan
3. Pendekatan Tafsir Pengertian pendekatan tafsir dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda. 50 Ada dua pendekatan: (1) berorientasi pada teks dalam dirinya yang kemudian disebut pendekatan tekstual dan (2) berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) yang kemudian disebut pendekatan kontekstual. a. Pendekatan Tekstual: Teks al-Quran sebagai Pusat 49 50
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 213 dan 223. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 248.
78
Dalam pendekatan tekstual, praktik tafsir lebih berorientasi pada teks dalam dirinya. Kontekstualitas suatu teks lebih dilihat sebagai posisi suatu wacana dalam konteks internalnya atau intra-teks. Pandangan yang lebih maju dalam konteks ini adalah bahwa dalam memahami suatu wacana/teks, seseorang harus melacak konteks penggunaan pada masa teks itu muncul. Ahsin Muhammad misalnya,
sebagaimana
yang
dikutip
Gusmian,
menegaskan
bahwa
kontekstualisasi pemahaman al-Quran merupakan upaya penafsir dalam memahami bukan melalui harfiah teks tapi dari konteks (siyảq) dalam melihat faktor-faktor lain, seperti situasi dan kondisi ayat al-Quran itu diturunkan. Dengan demikian, penafsir harus mempunyai cakrawala pemikiran yang luas, seperti mengetahui sejarah hukum Islam secara detail, mengetahui situasi dan kondisi pada waktu hukum itu ditetapkan, mengetahui ’illah dari suatu hukum, dan seterusnya. Jadi, pengertian kontekstualitas dalam pendekatan tekstual cenderung bersifat kearaban karena teks al-Quran turun pada masyarakat Arab. Ini artinya, masyarakat Arab sebagai audiesnya. Dengan demikian, suatu tafsir yang menggunakan pendekatan tekstual ini biasanya analisisnya cenderung bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks). Itupun, praksis yang menjadi muaranya adalah lebih bersifat kearaban tadi sehingga pengalaman lokal (sejarah dan budaya) di mana penafsir dengan audiensnya berada tidak menempati posisi yang signifkan atau bahkan sama sekali tidak punya peran. b. Pendekatan Kontekstual: Realitas Kehidupan sebagai Medan Keberangkatan Penafsiran
79
Pendekatan kedua adalah pendekatan yang berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) teks al-Quran. Model pendekatan ini disebut pendekatan kontekstual. Dalam pendekatan ini, kontekstualitas dalam pendekatan tekstual, yaitu latar belakang sosial historis teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun semuanya itu, dan ini yang penting, harus ditarik ke dalam konteks pembaca (penafsir) itu hidup dan berada dengan pengalaman budaya, sejarah, dan sosialnya sendiri. Oleh karena itu, sifat gerakannya adalah dari bawah ke atas: dari praksis (konteks) menuju refleksi (teks). Dalam tradisi hermeneutik al-Quran kontemporer, Farid Esack, seperti yang dikutip Gusmian, adalah salah satu contoh yang baik dalam pendekatan ini. Hermeneutik al-Quran, oleh Esack ditempatkan dalam ruang sosial di mana dia berada sehingga sifatnya bukan lagi kearaban yang bersifat umum. Ia adalah di antara Muslim Afrika yang merumuskan hermeneutik al-Quran yang berporos pada pembebasan dan persamaan dengan mempertimbangkan aspek kontekstual (sosial sejarah) di mana ia hidup dan berada. Bagi Esack, tidak ada tafsir dan takwil yang ’bebas nilai’. Penafsiran mengenai al-Quran, bagaimanapun, adalah eisegsis—memasukan wacana asing ke dalam al-Quran (reading into)—sebelum exegesis—mengeluarkan wacana dari al-Quran (reading out). 51 Kesimpulan: Chodjim dalam menafsirkan Alfatihah lebih berorientasi pada teks dalam dirinya. Makanya suatu teks dilihat sebagai posisi wacana dalam konteks internalnya atau intra teks. Hal-hal di luar teks seperti konteks sosial yang meliputi dirinya tidak menjadi perhatiannya atau tidak mempengaruhinya dalam proses menafsirkan al-Fatihah.
51
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 250.
80
Kalaupun ada komentarnya tentang kondisi sosial politik dalam penafsirannya pada satu ayat dalam surat al-Fatihah hanyalah komentar umum dan tidak untuk kasus yang spesifik. Seperti ”Banyak orang dengan dalih membela Allah, melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Banyak orang yang ingin memberantas kemaksiatan tanpa memperdulikan tata tertib dan etika dalam masyarakat. Banyak orang yang ingin memberantas kemungkaran dengan main hakim sendiri. Manusia harus memuliakan Tuhan dengan budi luhur atau ahlak karimah.” 52 Atau komentarnya tentang kehidupan politik yang kotor saat ini di mana banyak para politisi yang mengedepankan perebutuan kekuasaan. Menurutnya, para politisi itu secara tidak sadar telah terjebak dalam permainan yang penuh dosa dan pelanggaran. 53 Tabel XIV Pendekatan Alfatihah Pendekatan Tafsir Pendekatan Tekstual
Tafsir Alfatihah
C. Catatan Kritis Sebelum memasuki bab kesimpulan dan saran, ada beberapa kritik yang patut penulis sampaikan di sini terhadap Alfatihah. Pertama, Achmad Chodjim cukup ‘pelit’ untuk menyebut sumber-sumber yang dirujuknya dalam footnote. Agak sulit bagi penulis untuk melihat sejauh mana pengaruh rujukan-rujukan tadi dalam Alfatihah. Dari 160 footnote, kebanyakan Chodjim merujuk kepada teks al52 53
Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 173. Ahmad Chodjim, Alfatihah, h. 176.
81
Quran, kitab hadis tertentu, buku keilmuan tertentu, kamus bahasa asing, dan sebuah majalah. Penulis mencatat ada 12 footnote yang merujuk langsung pada penafsir lain. Seperti M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quran Karim sebanyak 4 kali. Maulana Muhammad Ali, Quran Suci sebanyak 4 kali. Tafsir ibn Katsir 1 kali. Mir Aneesudin, Fatwa al-Quran tentang Alam Semesta 1 kali. Terakhir, Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Alquran 54 1 kali. Saat penulis tanya, dalam sebuah wawancara, mana di antara karya-karya tafsir tadi yang menjadi sumber dominan dalam proses penafsiran, Chodjim menjawab tidak ada. Baginya seorang penulis/penafsir tidak harus terpaku pada satu sumber, malah kalau bisa seorang penulis/penafsir harus merujuk ke sebanyak mungkin sumber. Pertanyaannya, apakah salah jika ada salah satu sumber yang dominan sebagai rujukan dalam menafsir? Yang salah menurut penulis adalah jika seorang penulis/penafsir merujuk ke sebuah sumber tanpa mempertimbangkan apakah hasil penafsiran dalam sebuah sumber tadi masih relevan dengan zamannya atau tidak. Kedua, dilihat dari sejarah penulisannya, Alfatihah ditulis Chodjim pada akhir 1999 sampai awal 2000. Lalu pada 2000 juga, Alfatihah diterbitkan pertama kali oleh Gramedia dan beralih ke Serambi pada Maret 2003. Kalau kita coba mengingat kembali, fase 1999-2000 adalah fase yang sangat rawan bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada 1997 akhir, ekonomi Indonesia bangkrut. Lalu timbul kepanikan massal—harga-harga yang terus naik, pengangguran meluas, nilai tukar Rupiah atas Dollar AS yang terus melemah, dan Dalam footnote nomor 133 yang tercantum dalam kitab itu tidak dituliskan nama buku yang dimaksud. Buku Menungkap Rahasia Alquran, penulis ambil dari daftar sumber rujukan yang tertulis. Ahmad Chodjim, Alfatihah; Membuka Mata Batin, h. 277 dan 355. 54
82
kerusuhan di kota-kota besar serta kekerasan yang dialami etnis Tionghoa—yang berujung pada penjatuhan Soeharto di pertengahan 1998. Pada 1999 kekerasan dan konflik terus berlanjut di Indonesia. Di lokasilokasi tertentu terjadi peristiwa yang mengerikan: Muslim membunuh orang Kristen dan sebaliknya. Desas-desus kekerasan dan konflik tadi membangkitkan tindakan pembalasan oleh warga sesama agama di lokasi yang lain, seperti yang terjadi di Maluku. 55 Kenyataan-kenyataan yang terjadi di Indonesia secara umum pada periode penulisan Alfatihah, 1999-2000, tidak masuk dalam fokus penafsiran Chodjim. Pertanyaannya, bukankah seorang penulis/penafsir memiliki tanggung jawab moral untuk mengubah kenyataan-kenyataan yang dianggapnya tidak ideal pada zamannya? Terkait dengan surat al-Fatihah, Chodjim mestinya bisa memberikan penafsiran terhadap ayat al-Rahmản al-Rahỉm yang sesuai dengan kenyataan pahit pada fase itu. Bukankah kekerasan terjadi ketika cinta kasih sudah lenyap dalam diri kita? Berangkat dari proposisi ini, pengertian al-Rahmản al-Rahỉm seharusnya bisa dielaborasi untuk memininalisir potensi dan endemi kekerasan pada saat itu. Sebagai bacaan populer, Alfatihah selayaknya bisa turut membantu menyemai kembali cinta kasih yang mulai layu.
Donald K. Emmerson, Pemilu dan Kekerasan: Tantangan Tahun 1999-2000 dalam Donald K. Emmerson (ed) Indonesia Beyond Soeharto, terjemahan Perikles Kattopo dan Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia dan The Asian Foundation Indonesia, 2001), h. 65. 55
83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan terkait analisis metodologi tafsir Alfatihah karya Achmad Chodjim dengan menggunakan rumusan Islah Gusmian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, dari sisi teknis penulisan, Alfatihah masuk dalam kategori tematik klasik untuk sistematika penulisannya. Sedangkan dalam bentuk penyajiaan, Alfatihah masuk dalam kategori global. Gaya bahasa populer adalah gaya bahasa yang digunakan dalam penulisan Alfatihah. Karena asal-usul Alfatihah bukan berasal dari ruang akademik, maka bentuk penulisannya yang digunakan adalah bentuk penulisan non-ilmiah. Achmad Chodjim adalah satusatunya penulis Alfatihah dan latar belakangan pendidikannya bukan berangkat dari disiplin ilmu tafsir al-Quran. Untuk sumber rujukan, Alfatihah mengambil dari karya tafsir modern dan buku-buku non-tafsir. Dari sisi hermeneutis, Alfatihah menggunakan metode interteks. Nuansa sosial-kemasyarakatan adalah ruang dominan yang dijadikan sudut pandang dalam menafsirkan al-Fatihah. Lalu, pendekatan yang digunakan Alfatihah adalah pendekatan tekstual. Kedua, pada dekade 1990-an, kajian al-Quran tidak lagi menjadi ‘ruang privat’ sarjana-sarjana Muslim yang berasal dari lingkungan perguruan tinggi agama dan lebih spesifik lagi yang berkonsentrasi di ilmu tafsir al-Quran. Sebut
84
saja nama Jalaluddin Rakhmat, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, atau yang lebih awal H.B. Jassin. Tapi itu sebenarnya bukan fenomena khas Indonesia. Sayyid Qutb yang konsentrasi studinya bukan studi ilmu al-Quran, melainkan studi sastra, telah menulis tafsir Fî Dzilâl al-Qurân yang sampai sekarang tetap dijadikan pegangan bagi sebagian kelompok Islam di Indonesia. Begitupun Abu al-A’la alMaududi. Dia semula tidak tertarik untuk mempelajari studi agama. Dia lebih tertarik dengan dunia politik dan jurnalistik. Baru setelah dia merasa ingin kembali di bawah panduan agama, ia lantas menulis Tafhîm al-Qurân. Sejauh yang penulis ketahui, dalam sejarah ulûm al-Qurân tidak ada lagi entitas selain tafsir dan takwil sebagai usaha untuk menggali makna yang terdapat dalam al-Quran. Oleh sebab itu, sampai sekarang penulis tidak pernah mendengar, misalnya, kata tafhîm di awal karya yang ingin mendalami al-Quran. Kalaupun Alfatihah dinilai bukan seperti karya-karya tafsir lain yang mendalam dan penuh dengan pelbagai analisis, biarkan itu menjadi proses intelektual dari pergumulan Achmad Chodjim dengan al-Quran. Lagi pula, pembaca bisa menjadi wasit bagi dirinya sendiri untuk menentukan mana karya yang bermanfaat dan mana yang tidak. Tabel XVI Metodologi Tafsir Alfatihah ASPEK TEKNIS PENULISAN
ASPEK HERMENEUTIK
Sistematika Penyajian Tafsir
Metode tafsir
Tematik Klasik
Metode Interteks
Bentuk Penyajian Tafsir
Nuansa Tafsir
85
Bentuk Penyajian Global
Nuansa Sosial Kemasyarakatan
Gaya Bahasa Penulisan Tafsir
Pendekatan Tafsir
Gaya Bahasa Populer
Tekstual
Bentuk Penulisan Tafsir Non-Ilmiah Sifat Mufasir Individual Keilmuan Mufasir Disiplin non-Ilmu Tafsir al-Quran Asal Usul Literatur Tafsir Non-Akademik Sumber-sumber Rujukan Buku-buku Tafsir Klasik dan Modern serta Buku-buku Non-Tafsir
B. Saran Dengan segala keterbatasan dan kendala dalam penelitian ini, maka kiranya di sini ada beberapa hal yang perlu dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak lain yang berkaitan. Berikut beberapa pertimbangan tersebut: Pertama, maraknya karya tafsir yang ditulis oleh sarjana Muslim Indonesia seharusnya menjadi kesempatan bagi mereka yang berkepentingan untuk lebih mengembangkan lagi studi al-Quran di dalam negeri. Tentu akan sangat disayangkan jika mahasiswa dari studi Tafsir-Hadis tidak ikut
86
berpartisipasi dalam proses intelektual ini, khususnya, untuk melakukan penelitian ilmiah terhadap karya tafsir dari sisi metodologi. Penelitian dari sisi metodologi sebuah karya tafsir setidaknya bisa menjadi pintu masuk pertama untuk melihat adakah perkembangan terbaru dalam studi al-Quran. Kedua, Allah memang tidak pernah menyerahkan ‘tulisan-Nya’ itu bagi satu kelompok masyarakat saja. Al-Quran sengaja ‘diterbitkan’ agar bisa dibaca dan dipelajari semua orang. Tapi tentu saja perlu keahlian tersendiri untuk mempelajarinya. Artinya, tidak bisa sembarang orang bisa menjadi ‘juru bicara’ al-Quran. Harus ada mekanisme ‘fit and proper test’ terlebih dahulu dengan cara melihat rekam jejak intelektual sang penafsir. Ketiga, satu Islah Gusmian memang sudah membantu. Tapi kalau bisa ada seribu Islah Gusmian tentu sangat membantu memetakan karya-karya tafsir dalam negeri dari sisi metodologi yang digunakannya. Apalagi untuk para peneliti pemula yang ingin mencoba hal yang sama.
87
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, kata pengantar dalam Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003). Abu-Zayd, Nasr Hamid, Tekstualitas al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul Quran, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003). ____________________, Kritik Wacana Agama, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003). Affifuddin, M., “Apresiasi Spiritual Q.S. al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya Jalaluddin Rakhmat, Anand Krishna, dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004). Ali-Fauzi, Ihsan, “Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibliografis atas Karya-karya dalam Bahasa Arab.” Ulumul Quran 2, No. 2 (1990). Qaththân, al, Mannâ' Khalîl, Mabâhis fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah arRisâlah, 1405 H/1985 M). Attas, al, Syed M. Naguib, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970). Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1989). Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2002).
88
A’la, Abd, al-Quran dan Hermeneutik; Memahami Bahasa Agama dalam Wacana Neo-Modernitas (Jakarta: Jurnal taswirul Afkar, Edisi VIII, 2000). Bahri, Samsul, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim (ed.), Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005). Bagus, Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996). Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). ______________, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Chodjim, Ahmad, Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi baru] (Jakarta: Serambi, 2008). Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008). Esack, Farid, Menghidupkan Al-Qur’an dalam Wacana & Prilaku, terjemahan Norma Arbi’a Juli Setiawan (Depok: Inisiasi Press, 2006). Esack, Farid, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terjemahan Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000). Emmerson, Donald K., Pemilu dan Kekerasan: Tantangan Tahun 1999-2000 dalam Donald K. Emmerson (ed) Indonesia Beyond Soeharto, penerjemah Perikles Kattopo dan Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia dan The Asian Foundation Indonesia, 2001).
89
Fathurahman, Oman, “Abdur Rauf Singkel Ulama Dari Serambi Mekkah,” Kompas, 01 Januari 2000. Farmawi, al, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Rosihan Anwar (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002). Federspiel, Howard M., Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996). Fuaida, Lisma Dyawati, “Kajian al-Quran Kontemporer: Gagasan tentang Metode dan Pendekatan Penafsiran al-Quran di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Teraju: Bandung, 2003). Hadi WM, Abdul, Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik Karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2000). Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia, penerjemah Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah, dan Aminuddin, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003). Johns, Anthony H., “Tafsir al-Quran di Dunia Indonesia-Melayu: Sebuah Penelitian Awal.” Jurnal Studi Al-Qur’an 1, No. 3, (2006). Jurjani, al, Kitâb al-Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lubnan, Sahatu Riyad al-Suhl, 1965).
90
Kusmana, “Rekontekstualisasi Tradisi Tafsir al-Quran di Indonesia; Mencari Kemungkinan Penggunaan Analisa Metodologi ‘Barat.” Jurnal refleksi 4, No. 3, (2002). Muhsin, Amina Wadud, Al-Qur’an dan Perempuan dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003). Mustaqim, Abdul, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005). Nahrowi, Izza Rohman, “Karakter Kajian al-Quran di Indonesia” (Skripsi S1, fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002). Nasution, Harun, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998). Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002). Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 2002). Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999). Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002). Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, penerjemah Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
91
Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta dan Jambi: Gaung Persada Press dan Sulthan Taha Press, 2007). Setiawan, Nur Kholis, dalam kata pengantar Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas nalar Tafsir Gender (Jogjakarta: Safiria Insania Press, 2004). Shihab, M. Quraisy, Mukjizat al-Quran Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2001). __________et al., Sejarah & ‘Ulûm al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008). _____________, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002). Sihabulmilah, A., “Stratifikasi Pembaca Teks Alquran.” Artikel diakses pada 19 Ferbuari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/stratifikasi-pembacateks-alquran/ Sirojuddin AR, D., “al-Quran Berwajah Puisi: Dibenarkan Tapi Tidak Diakui.” Ulumul Qur’an 5, vol. IV (1993). Suplemen, Ulumul Qur’an 5, vol. IV (1993). Suyûthî, Jalâl ad-Dîn, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979 M), Jilid II. Syafruddin, Didin, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV). _______________, Ilmu al-Quran Sebagai Sumber Pemikiran dalam Ensiklpodei Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.,t.), jilid IV.
92
____________, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an”, Studia Islamika 2, No. 2 (1995). Review buku Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996). The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language, vol. I (Danbury, CT: Lexicon Publications, INC., 2004). Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997). Umar, Nasaruddin, “Refleksi Sosial dalam Memahami Al-Qur’an: Menimbang Ensiklopedi Al-Qur’an Karya M. Dawam Rahardjo.” Jurnal Studi AlQur’an 1, No. 3 (2006). Verdiansyah, Very, Islam Emansiaptoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M] dan Ford Foundation Jakarta, 2004). Wansbrough, John, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretastion (London: Oxford University, 1977). Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim. Pamulang, Senin 15 Februari 2010. Yusuf, M. Yunan, “Karakteristik Tafsir al-Quran di Indonesia Abad Keduapuluh.” Ulumul Quran 3, No. 4 (1992). Zarqani, al, Abd al-‘Azhim, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa alBabi al-Halabi, t.th.), jilid II.
93
Hasil Transkrip Wawancara Pribadi Dengan Achmad Chodjim. Pamulang, Senin, 15 Februari 2010. Buku Alfatihah diterbitkan pertama kali pada 2002. Adakah konteks tertentu yang mendorong Anda untuk menulisnya? Saya memahami bahwa al-Fatihah adalah surat yang paling sering dibaca umat Islam. Bagi yang aktif salat, al-Fatihah dibaca sebanyak 17 kali dalam sehari. AlFatihah juga dibaca pada momen-momen tertentu seperti dalam doa, pembuka pertemuan, dan tahlilan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis tafsir alFatihah agar mereka yang sering membaca al-Fatihah tahu makna al-Fatihah. Memang sudah banyak yang menafsirkan al-Fatihah. Tapi karena ditafsirkan secara ortodoks, penafsirannya tidak terkait dengan realitas kekinian. Padahal alFatihah sering dibaca. Kalau begitu, mesti diberi sebuah penafsiran yang mengena alam pikiran yang sekarang sedang berjalan. Apa yang Anda maksud dengan ‘alam pikiran yang sedang berjalan’? Ketika membaca al-Fatihah itu kan ada harapan. Ada yang berharap kesembuhan, ada yang berharap keterbukan hati dan pikiran. Harapan-harapan itu kan adanya di alam pikiran. Tapi kadang-kadang tidak termanifestasikan. Jadi hampir setiap orang yang menafsirkan al-Fatihah dari ayat dan kalimatnya tidak mengalami perubahan. Yang berubah sama sekali yang ditulis oleh Amin Aziz yang berjudul Paradigma Al-Fatihah. Tapi yang ditulis Amin Aziz terlalu luas cakupannya. Singkat kata, saya ingin menafsirkan al-Fatihah secara simpel tapi poin-poinnya memberikan motivasi orang untuk melangkah dengan benar. Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk menulis tafsir Alfatihah? Buku itu sudah saya tulis pada 1999 akhir dan selesai pada 2000. Cuma baru bisa diterbitkan pada Maret 2002. Saat itu saya adalah seorang staff di sebuah perusahan dan bukan seorang penulis. Makanya tidak gampang untuk menyakinkan penerbit apalagi saya bukan dari lingkungan IAIN. Inilah yang jadi bahan pertimbangan penerbit dan membuat prosesnya agak lama. Malah sebelumnya ada kekhawatiran di penerbit kalau tulisan saya itu tidak bernilai komersial. Judul awal buku saya adalah Jalan Pencerahan. Baru pada 2003 judulnya diganti seperti yang sekarang. Dan setelah diganti, penerbit kewalahan terus mencetak ulang. Tulisan saya sempat tertahan tiga bulan di penerbit karena saat itu ada pergantian staff redaksi di tingkatan penerbit. Dan alhamdulillah tidak ada draft kedua atau ketiga. Pada 2001 tulisan saya masuk ke Serambi lalu diterbitkan pada Maret 2002. Tapi pada 2000 tulisan saya ini sudah diterbitkan oleh Gramedia. Kepindahan ke Serambi karena pada Juli 2000, Gramedia didemo oleh FPI (Front Pembela Islam) dengan alasan Gramedia menerbitkan buku-buku agama Islam. Oleh FPI, Gramedia dianggap bukan bagian dari Islam. Kalaupun ada buku-buku agama Islam yang diterbitkan Gramedia tentu buku-buku agama Islam yang mendukung misi Gramedia yang mendukung liberalisme dan sejenisnya.
I
Akhirnya pihak Gramedia menghubungi saya untuk mengatakan bahwa saat itu mereka tidak bisa lagi menerbitkan buku-buku ajaran Islam. Kecuali buku-buku ajaran Islam yang digabungkan dari koran-koran Kompas. Seperti bukunya Komaruddin Hidayat. Oleh pihak Gramedia, saya disarankan untuk menerbitkan buku saya itu ke penerbit-penerbit yang jelas-jelas punya Muslim. Lalu saya pilih Serambi dengan pertimbangan buku-buku yang pernah diterbitkan Serambi dan mendapat sambutan di awal 2001. Waktu itu Anda menulis buku itu hanya ‘iseng-iseng’? Saya menulis buku itu sudah menggunakan sistematika penulisan tertentu. Kebetulan saya adalah seorang staff di sebuah perusahaan yang tentunya sudah terbiasa membuat laporan. Tapi tentu saja mesti ada titik temu dengan penerbit terkait tulisan tersebut. Setelah al-Fatihah selesai, maka tulisa saya yang selanjutnya seperti Annas dan al-Falaq bisa lolos dengan mudah. Berapa eksemplar buku Anda yang sudah terjual dari hasil laporan penerbit? Laporan dari penerbit rutin per semester. Kebetulan saya memang tidak pernah menghitung kumulatif dari buku saya itu. Normatifnya, Alfatihah sudah cetakan berapa lalu dikali 5000. Kalau sembilan berarti dikalikan limu ribu saja. Dilihat dari latar belakang pendidikan formal, Anda tidak memelajari studi keagamaan khususnya studi tafsir. Apa yang membuat Anda berani menafsirkan al-Quran? Meski pendidikan formal saya bukan di jalur pendidikan agama tapi waktu SMU, saya pernah belajar kepada guru tafsir dan hadis yang ada di Malang pada saat itu seminggu sekali. Dan guru-guru tersebut, bagi saya levelnya sudah level nasional. Saya belajar tafsir kepada K.H. Achmad Chair, ketua rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang. Dan untuk hadis, saya belajar kepada Muhammad Bejo adalah mubalig nasional Muhammadiyah. Dari belajar itulah saya mendapat pemahaman lebih dibanding hanya membaca terjemahan al-Quran saja. Guru tersebut juga menginformasikan kepada kami macam-macam kitab tafsir, baik yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab untuk kami pelajari. Ini tentu saja mendorong saya untuk mendalami bahasa Arab sebagai landasan penafsiran tapi bukan sebagai percakapan. Dalam bahasa Arab, saya juga belajar nahwu, sorf, mantiq, dan sastra. Dari pembelajaran itu timbul permenungan tersendiri. Misalnya, kenapa ibn Katsir bobot penafsirannya hanya pada titik tertentu. Kenapa as-Suyuti lebih menitikberatkan di satu tempat. Artinya, banyak pilihan-pilihan yang disediakan ketika kita ingin menafsirkan al-Quran. Maka pilihan saya agar terjemahan alQuran diberi penjelasan yang lebih kontemporer yang bisa dipahami oleh pembaca zaman sekarang.
II
Lalu modal apa yang Anda miliki untuk menafsirkan al-Quran, selain bahasa Arab tadi? Saya tentu saja membaca ‘Ulûm al-Quran dari berbagai macam penulis. Lalu memahami hadis-hadis Nabi dan khitah-khitah yang ada dalam agama Islam. Saya juga membaca sirah Nabi dan para sahabat. Dengan memelajari ilmu-ilmu tadi, ketika akan menulis saya tahu tafsir ini lingkupnya akan ke mana arah penulisannya, karena saya sudah mengidentifikasi tafsir yang sudah kita baca sebelumnya. Pertanyaannya, kenapa kita tidak menulis setelah membaca banyak literatur? Adakah ilmu lain yang Anda masukan dalam tafsir Anda tersebut? Tentu saja. Sebab ketika kita membaca al-Quran tentu kita tidak bisa lepas dari pemahaman fisika, kimia, geologi, sosiologi, dan lain-lain. Apa metode yang Anda gunakan untuk menafsirkan al-Quran? Semua metode. Ketika kita ingin menafsirkan al-Quran hendaknya kita merujuk kepada ayat-ayat yang lain yang sama temanya. Lalu dalam menafsirkan al-Quran kita juga harus merujuk kepada hadis-hadis dan riwayat-riwayat sahabat yang ada yang relevan dalam pembahasan ayat tersebut. Kita juga bisa menggunakan asbab al-nuzul, meskipun tidak semua ayat ada asbab al-nuzul dan asbab al-nuzul bukan informasi yang eksak. Artinya, semua sumber bisa kita eksplor untuk menafsirkan ayat. Tafsir saya bukan tafsir berdasarkan topik tertentu, tapi berdasarkan surat. Oleh sebab itu, dalam tafsir saya ada model tafsir berdasarkan urutan ayat dan karena di dalam surat ada berbagai tema, maka tema-tema yang ada saya bahas juga. Kenapa Anda tidak menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang sesuai dengan latar belakang pendidikan formal Anda. Seperti ayat-ayat tentang pertanian atau tentang alam? Kalau kita ingin menafsirkan al-Quran kita tidak boleh hanya terpaku pada latar belakang semata. Sebab nanti al-Quran tidak bisa lagi diakses oleh banyak orang. Kalau membahas tentang pertanian, berarti menafsirkan ayat-ayat yang secara maudu’i berbicara tentang pertanian. Dengan begitu kita tidak bisa lagi membahas al-Quran yang maknanya lebih luas baik ditinjau dari segi riwayat, dirayat, atau kaitan ayatnya. Lagipula, Wahyu yang diterima Nabi kan tidak spesifik. Setidaknya bila ditopang dengan latar belakang pendidikan Anda, tafsir Anda tentang pertanian akan lebih mendalam? Lebih mendalam tidak berarti lebih fungsional. Katakanlah, misalnya saya menulis karya tafsir yang sesuai dengan latar pendidikan formal saya atau tafsir yang fokus pada pertanian, maka pembacanya hanya terbatas pada orang yang mengerti pertanian. Padahal orang pertanian yang jenius tidak butuh tafsir alQuran tentang pertanian. Buat apa kita mendalami pertanian dengan membaca karya tafsir. Malah yang ada nanti kita dianggap orang melakukan justifikasi ayat terhadap ilmu pengetahuan yang ada. Contoh, ilmu pertanian yang sudah ada lalu kita konfirmasi dengan ayat
III
al-Quran. Bukankah itu hal yang buruk. Ini sama dengan kasus penemuan ilmiah mutakhir oleh Barat lalu sebagian dari umat mengklaim bahwa al-Quran sudah mengatakan itu sebelumnya. Kecuali setelah kita membaca al-Quran kita mampu merumuskan sebuah ilmu baru, ini yang lebih baik. Apa motivasi Anda menulis Alfatihah? Agar kehidupan pembaca lebih baik lagi sebelumnya. Sehingga kualitas hidup mereka juga lebih baik lagi. Adakah yang menggugat terhadap karya Anda tersebut? Pada 2000 saya pernah diundang dalam sebuah forum di IAIN Jakarta. Saat itu Pak Salman Harun keberatan dengan apa yang saya tulis itu sebagai tafsir. Dia berkata kepada saya, “Tafsir bukan wilayah saya dan oleh sebab itu sebaiknya Anda tidak memasuki ranah itu.”
Mengetahui
Achmad Chodjim
IV