sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
tangkapan alam. Di Indonesia, jenis-jenis kerang penghasil mutiara yang banyak dibudidayakan antara lain Pinctada maxima, P. margaritifera dan Pteria penguin (SUTAMAN, 1993). Setiap pembudidaya memiliki cara-cara (metode) yang berbeda dalam membudidayakan kerang mutiara. Menurut SUTAMAN (1993), ada empat tahapan yang perlu dilakukan untuk budidaya kerang mutiara, yaitu penyediaan benih kerang mutiara; pembesaran atau pemeliharaan; proses pemasukan nukleus mutiara; pemanenan dan penanganan hasil. Secara alami mutiara terbentuk ketika kerang merasa terganggu dengan keberadaan benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya, biasanya sebuah batu yang berukuran kecil atau butiran pasir. Untuk menolak rasa sakit akibat benda asing tersebut, maka kerang menutupinya dengan mantel yang ternyata dapat menghasilkan nacre, yaitu sebuah cairan dari zat kalsium karbonat (CaCO3) yang berbentuk kristal aragonit hingga terbentuklah sebuah mutiara. Mutiara alam sangat jarang terjadi (1 dalam 2000 kerang yang dapat menghasilkan), umumnya berukuran kecil dan bentuknya tidak beraturan (HAWS & ELLIS, 2000). Pada kegiatan budidaya mutiara, ada kemungkinan kerang mutiara mengalami kematian. Hal ini menjadi sebuah masalah yang serius, karena dapat mengakibatkan industri budidaya kerang mutiara mengalami kebangkrutan/kerugian. Pengetahuan tentang penyakit dan budidaya kerang mutiara sangat sedikit. Disamping itu diketahui bahwa tekanan (stress) pada kerang mutiara dapat menyebabkan penyakit. Organisme-organisme penyebab penyakit selalu ada di dalam air tetapi kerang mutiara yang sehat akan mampu menghindari penyakit. Ketika penyakit muncul dalam pembudidayaan hal itu hampir selalu menjadi sebuah tanda bahwa kerang mutiara telah menderita banyak sekali bentuk tekanan yang melemahkan kerang mutiara, sehingga kerang
mutiara tidak dapat bertahan lebih lama untuk menghindari organisme penyebab penyakit (HAWS, 2002). Tulisan ini membahas tentang penyebab kematian masal pada budidaya kerang mutiara dan cara mengatasinya. Hal ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kita dalam usaha budidaya kerang mutiara.
Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 43–53
ANALISIS KOMPONEN UTAMA DALAM KAJIAN EKOLOGI Oleh Bambang S. Soedibjo 1)
PENYEBAB KEMATIAN KERANG MUTIARA
ABSTRACT PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS IN ECOLOGY ANALYSIS. Principal Component Analysis (PCA) is one of the longest-established method in community ecology analysis. It is an ordination method in mapping samples in two or three dimensions which reflects the similarity of their biological communities. There is relative inflexibility of its definitions making this method limits its practical usefulness on species abundances or biomass rather than environmental data. An important thing to consider of using PCA in ordination samples based on species abundance or biomass data is the reduction of rare species from the list and initial transformation of its values to avoid over-domination of the resulting analysis by the commonest species. This paper describes the concept of PCA and its aplication in community ecology in order to give the idea of using this method for fresh graduate in marine biology. Examples of the analysis are also presented.
Pada industri budidaya kerang mutiara sering terjadi kematian. Penyebab kematian yang dibudidayakan tersebut diantaranya adalah : Bakteri DYBDAHL & PASS (dalam TUN, 2000) menyatakan bahwa bakteri yang umum menyerang kerang mutiara adalah Vibrio harveyi. LESTER (1989) juga melaporkan bahwa kematian dalam pembenihan moluska ada kaitannya dengan keberadaan V. tubiashi, Vibrio sp. dan Alteromonas sp. Menurut PASS (dalam GERVIS & SIMS, 1992) infeksi V. harveyi pada umumnya terjadi ketika kerang mutiara diangkut dalam tangki dengan sirkulasi air dan udara yang tidak mencukupi selama perjalanan. Ketika kondisi kerang melemah akibat berkurangnya jumlah oksigen dan meningkatnya suhu dalam tangki pengangkut, diduga telah menjadi penyebab V. harveyi berkembang dengan pesat. Hal ini dapat juga terjadi dalam tangki pembenihan yang kerang mutiaranya masih berupa larva. Perubahan Iklim Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap kualitas perairan, sehingga dapat menyebabkan kematian masal pada kerang mutiara. Menurut YAMASHITA (dalam GERVIS & SIMS, 1992) kematian yang lebih besar terjadi
ISSN 0216–1877
PENDAHULUAN
Salah satu kajian yang sering menarik perhatian para peneliti biologi laut adalah kajian untuk melihat bagaimana struktur komunitas suatu ekosistem dalam wilayah yang diteliti dan bagaimana hubungannya dengan faktor lingkungan. Pernyataan lain yang mungkin ingin dijawab oleh peneliti adalah “bagaimanakah interaksi antar spesies dalam memperebutkan sumberdaya yang tersedia?” atau “apakah interaksi ini akan tercermin dalam struktur komunitas yang diamati?”, dan berbagai pertanyaan-pertanyaan lain yang selalu muncul di benak para peneliti sebagai bentuk rasa keingintahuan atau ingin mengungkap fenomena-fenomena alam lainnya.
Komunitas adalah populasi dari seluruh species yang hidup dalam sebuah wilayah atau area. Ekosistem terbentuk karena adanya komunitas dan faktor-faktor lingkungannya, oleh karena itu, memahami sebuah ekosistem akan lebih komprehensif apabila dilakukan kajian melalui analisis multivariat. Pemahaman akan fenomenafenomena dalam sebuah ekosistem bisa lebih ditingkatkan dan selanjutnya dapat digunakan untuk melakukan prediksi, apabila hubungan antara komunitas dengan faktor-faktor lingkungan diketahui.
1)
Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi–LIPI, Jakarta.
. 43
10
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Analisis hubungan antar spesies dalam suatu ekosistem adalah salah satu kajian yang kerapkali dilakukan dalam bidang biologi laut. Analisis tersebut dilakukan dengan mengambil sampel (stasiun) yang mewakili suatu wilayah yang unit samplingnya bisa dalam satuan luas atau satuan volume tertentu. Berdasarkan data yang diperoleh, maka biasanya peneliti tertarik untuk melihat apakah komunitas yang dipelajari dalam wilayah tersebut memiliki karakteristik khusus, baik itu dicirikan oleh faktor lingkungan maupun faktor lainnya. Analisis yang umum digunakan untuk mengkaji hal seperti ini adalah apa yang disebut sebagai analisis klaster (ada juga menyebutnya klasifikasi) dan ordinasi. Tujuan dari analisis klaster adalah untuk mendapatkan gambaran secara umum bagaimana sampel mengelompok (secara alamiah) dalam sebuah wilayah. Pengelompokan ini terjadi karena sampel tersebut memiliki kemiripan yang sama dibandingkan dengan sampel dari kelompok yang lain, sedangkan ordinasi adalah sebuah peta dari sampel yang digambarkan dalam dua atau tiga dimensi, yang penempatan sampel bukanlah untuk menunjukkan lokasi geografis dari sampel tersebut, melainkan mencerminkan kemiripan komunitas secara biologik. Jarak antar sampel dalam ordinasi dicoba untuk sesuai dengan ketidakmiripan dalam struktur komunitas, dengan perkataan lain titik-titik yang berdekatan mencerminkan komunitas yang sama, atau sampel yang jauh terpisah memiliki sedikit spesies yang sama. Mana dari kedua analisis ini, analisis klaster atau ordinasi yang diambil dalam analisis komunitas tergantung dari kebutuhan dari si peneliti itu sendiri. Tulisan ini menguraikan salah satu teknik analisis dalam ordinasi yaitu Analisis Komponen Utama (AKU) atau yang dalam bahasa Inggrisnya lebih populer dikenal
dengan nama Principal Component Analysis (PCA). Dalam analisis ekologi kuantitatif, AKU merupakan metode yang memiliki sejarah yang cukup panjang. Penulis terdahulu yang menggunakan analisis ini diantaranya adalah HUGHES & THOMAS (1971), FIELD (1971), CASSIE (1972), MOORE (1974) dan OUGH (2000). Selain untuk melakukan pemetaan species, AKU juga dapat digunakan untuk melihat bagaimana dampak kegiatan manusia terhadap struktur komunitas fauna bentik (MARQUES et al., 1993; HERNANDO-PEREZ & FRID, 1998). Sebagai contoh, SOEDIBJO (2007) menggunakan AKU untuk melihat hubungan antara faktor lingkungan dengan struktur komunitas zooplankton di perairan Bangka Belitung. Meski AKU sudah dipakai sejak lama, karena ketidaklenturan dalam definisinya menyebabkan analisis ini secara praktis lebih berguna apabila digunakan dalam analisis mutlivariat untuk data lingkungan dibandingkan dengan data kelimpahan atau biomassa spesies (CLARKE & WARWICK, 2001). Namun demikian, hingga saat ini AKU masih banyak dipakai dan secara fundamental masih dianggap penting dalam analisis ekologi kuantitatif. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana menggunakan analisis ini khususnya bagi para peneliti yang tertarik dalam analisis multivariat. ANALISIS KOMPONEN UTAMA (AKU) Dalam membahas AKU, ada baiknya untuk menjelaskan istilah multivariat dalam analisis ekologi kuantitatif. Penelitian ekologi umumnya akan melibatkan data biotis maupun abiotis. Data biotis yang dikumpulkan biasanya disajikan dalam bentuk matriks data (spesies × stasiun) (Tabel 1).
Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 9–14
KEMATIAN MASAL PADA USAHA BUDIDAYA KERANG MUTIARA Oleh Dien Arista Anggorowati 1)
ABSTRACT MASS MORTALITIES OF PEARL OYSTER CULTURE. One of problems in pearl oysters culture is mass mortalities. The mass mortality can be caused by diseases (parasits, bacterias and viruses), natural disasters (hurricanes, earthquakes and tsunami), unsuitable environment conditions (fouling organisms, pollution and erratic weather patterns), farm management; predators, seeding, red tide and rough handling. However, all of mortalities causing bay desease are remained unsolved. To treat oysters with good care and keep it in good environment may increase the oyster’s resistance to diseases.
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
Penyebaran industri mutiara ini semakin meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, tidak hanya terbatas pada daerah yang merupakan habitat asli kerang mutiara tersebut, tetapi telah berkembang ke daerah lain yang sesuai untuk membesarkan kerang mutiara, misalnya di Teluk Lampung, Sumatera, Lombok, Sumbawa dan Sulawesi (ANONIMOUS, 1996). Permintaan mutiara yang sangat tinggi dari konsumen internacional, mengakibatkan ketertarikan pengusaha untuk menanam modalnya di Indonesia atau bekerjasama dengan perusahaan lokal. Perusahaan tersebut tidak hanya menjual mutiara, tetapi juga membudidayakan kerang penghasil mutiara secara intensif, sehingga tidak lagi mengandalkan hasil
PENDAHULUAN Keindahan mutiara telah lama menjadi perhatian manusia, karena dapat digunakan sebagai perhiasan atau aksesoris lain. Di Indonesia, mutiara pertama kali dimanfaatkan dan diperdagangkan di kawasan timur Indonesia yaitu di Pulau Aru, Maluku Tenggara (ANONIMOUS, 1996). Kegiatan ini awalnya hanya bergantung pada hasil alam melalui penyelaman di daerah yang banyak terdapat kerang mutiara. Semakin lama banyak industri perdagangan mutiara yang bermunculan di kawasan tersebut dengan mengandalkan hasil tangkapan alam, sehingga terjadi tangkap lebih (over catting).
1)
44
ISSN 0216–1877
UPT Loka Pengembangan Bio Industri Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Mataram.
9
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
PUNTA, G.E.; J.R.C. SARAVIA and P.M. YORIO 1993. The Diet and Foraging Behaviour of two Patagonian Cormorants. Mar. Orn. 21: 27-36.
WANLESS, S.; M.P. HARRIS; P. REDMAN and J.R. SPEAKMAN 2005. Low Energy Values of Fish as a Probable cause of a Major Seabird Breeding Failure in the North Sea. Mar. Ecol. Prog. Series. 294: 1-8.
Tabel 1. Contoh data matriks spesies × stasiun
Spesies 1
2
Stasiun . .
.
N
Species A Species B Species C Species D Species E Species F Sedangkan untuk data abiotis atau faktor lingkungan, maka data matriksnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Contoh data matriks stasiun × faktor lingkungan
Stasiun pH
Faktor Lingkungan Sal Tem . .
.
1 2 . . . N Data yang dikumpulkan dalam sebuah penelitian bisa berbentuk kualitatif atau kuantitatif. Untuk data biotis, contoh data yang berbentuk kualitatif adalah jika data matriks berisikan data presence/absence (ada atau tidak ada). Untuk pengolahan data, biasanya data ini berbentuk 0 dan 1, sedangkan data yang berbentuk kuantitatif, data yang dikumpulkan adalah data kelimpahan (yang umum digunakan) atau dapat juga berbentuk persentase. Sudah barang tentu, pendekatan analisis untuk kedua jenis data ini berbeda.
Berdasarkan data contoh di atas, AKU biasanya digunakan untuk melakukan ordinasi baik terhadap spesies maupun lokasi. Jika ordinasi akan dilakukan terhadap spesies, maka variabel yang akan dianalisis adalah spesiesnya dan sebaliknya jika akan dilakukan ordinasi terhadap stasiun yang menjadi variabelnya adalah stasiun. Notasi variabel biasanya dinyatakan sebagai X1, X2, ....., Xp, dimana p menunjukkan banyaknya variabel (banyaknya spesies atau stasiun). Hal sama juga dapat diperlakukan terhadap data matriks lingkungan.
8
45
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pada dasarnya AKU adalah suatu metode untuk mengekspresikan kembali data multivariat. Jika seorang peneliti memiliki sejumlah besar variabel, maka dengan AKU ini peneliti tersebut dapat melakukan orientasi kembali terhadap data yang dikumpulkan sedemikian rupa sehingga bisa diperoleh dimensi yang lebih sedikit namun memberikan informasi sebesar-besarnya dari data aslinya, dengan perkataan lain AKU adalah metode untuk mentransformasikan variabel lama menjadi variabel baru. Adanya pengurangan dimensi ini maka visualisasi data, tampak lebih sederhana dan lebih mudah mengelolanya. Sebagai contoh, penelitian yang melibatkan 20 variabel lingkungan (berarti kita berbicara dengan dimensi ruang sebanyak 20) mungkin saja dapat dijelaskan dalam dimensi yang lebih sedikit namun memiliki informasi yang cukup besar dalam menjelaskan fenomena yang diteliti. Banyaknya dimensi (komponen utama) yang harus ditentukan dalam analisis selanjutnya tergantung dari pertukaran (trade-off) yang akan kita ambil yaitu antara kesederhanaan (sedikit dimensi namun mudah dikelola) dengan kelengkapan (banyak dimensi namun memiliki muatan informasi yang lebih besar). Jika dalam analisis klaster atau klasifikasi yang digunakan sebagai data dasarnya adalah indeks kemiripan antar sampel, maka untuk perhitungan AKU konsep yang digunakan adalah jarak Euclidian.
Z 1 = a11 X 1 + a12 X 2 + ... + a1 p X p Z 2 = a 21 X 1 + a 22 X 2 + ... + a 2 p X p . Z p = a p1 X 1 + a p 2 X.2 + ... + a pp X p
yang disebut sebagai komponen utama. Selanjutnya Z 1 disebut sebagai komponen utama pertama, Z2 komponen utama kedua dan seterusnya. Urutan ini merupakan cerminan dari besarnya varians yang dimiliki oleh masingmasing variabel, atau secara matematis dinotasikan sebagai var(Z1) ≥ var(Z2) ≥... ≥ var(Zp), dimana var(Zi) adalah varians dari Zi dalam kumpulan data yang dipelajari. Dalam AKU, kita berharap bahwa varians dari sebahagian besar variabel diharapkan sekecil mungkin, sehingga bisa diperoleh variabel Z dengan jumlah yang sedikit namun memiliki varians yang besar. Inilah yang dimaksudkan dengan proses reduksi variabel. Semakin sedikit Z, maka semakin mudah kita menginterpretasi data yang kita miliki. Salah satu sifat dari variabel Zi adalah tidak adanya korelasi antara satu variabel dengan variabel lainnya. Ini berarti bahwa skor dari masing-masing variabel akan menunjukkan dimensi yang berbeda. Untuk mempermudah pemahaman akan definisi AKU ini, berikut ini diberikan data hipotetis dari sampel yang diambil disebuah area (Tabel 3).
METODE Misal kita mempunyai variabel X1, X2, ..., X p (spesies atau faktor lingkungan). Berdasarkan variabel ini kita dapat membangun kombinasi linear untuk menghasilkan variabel baru :
46
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
DAFTAR PUSTAKA
Dengan pengukuran biomassa, memungkinkan dilakukan kalkulasi kerapatan rata-rata dan penyebaran krustasea di suatu wilayah. Selanjutnya, dapat diketahui potensi rata-rata energi yang tersedia di unit wilayah tersebut. Pada akhirnya, hal ini dapat dikaitkan dengan penyebaran dan konsentrasi sebaran burung pantai. Untuk beberapa lokasi tertentu, pengukuran biomassa memungkinkan untuk mengkalkulasi nilai kepentingan jenis-jenis krustasea tertentu bagi burung pantai (dalam kaitannya dengan kelimpahan dan biomassa), dibandingkan dengan lokasi lain, atau dibandingkan dengan jenis krustasea lain di lokasi yang sama. Hasil dari pengukuran ini dapat dikaitkan dengan usaha konservasi dan perlindungan lokasi yang dianggap penting di suatu daerah tertentu (HOLMES et al., 2003). Jika pengukuran biomassa krustasea dilakukan secara berkala, misalnya setiap bulan, dan kemudian dihubungkan dengan studi yang lebih rinci mengenai pengukuran mangsa, penggantian populasi dan pengkajian pemangsaan oleh burung pantai, maka dapat dikalkulasi produksi biomassa tahunan dalam suatu areal dan memberikan informasi mengenai sejarah hidup dari krustasea tertentu. Jika dilakukan pengukuran ukuran tubuh masingmasing krustasea, maka dapat dikalkulasikan biomassa dari rata-rata ukuran krustasea tersebut, dengan menggunakan faktor pembetulan (correction factor) dapat mengkalkulasi biomassa krustasea yang telah diketahui ukurannya. Hasil pengukuran biomassa kemudian dapat dikonversikan dalam “kilo joule” (kj) (1 g ADW setara 22 kj), biasanya digunakan untuk mengkalkulasi faktor-faktor lainnya, seperti penggunaan energi (energy intake) dari burung yang diamati (HOLMES et al. 2003).
ADISOEMARTO, S. 1998. Pengelolaan Satwa Nusantara suatu Gagasan demi Peningkatan Mutu Kehidupan Bangsa. Dalam: Sumberdaya Alam sebagai Modal dalam Pembangunan Berkelanjutan. LIPI Jakarta. Pembangunan Berkelanjutan: 38-57. BLABER, S.B.R. and T.J. WASSERBURG 1989. Feeding Ecology of the Piscivovous Birds Phalacrocorax varius, Phalacrocorax melanoleucus and Sterna bergii in Moreton Bay, Australia: Diets and Dependance on Trawler Discards. Mar. Biol. 101: 1-10. CROBY, M.J. 2001. Saving Asia’s Threatened Birds, a Guide for a Government and Civil Society. Birdlife International: 43 pp. GOSZTONYI, A.E. and L. KUBA 1998. Fishes in the Diet of The Imperial Cormorant Phalacrocorax atriceps at Punta Lobería Chubut, Argentina. Marine Ornithology 26 : 59-61. HOLMES, J.; D. BAKEWELL and Y.R. NOOR 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor: 327 pp. NOOR, Y. R. 2004. Paparan Nilai Penting Cagar Alam Pulau Dua, Teluk Banten sebagai Kawasan Berbiak Burung Air, disertai panduan pengenalan jenis burung air. Seri Selamatkan Lingkungan Teluk Banten. Wetlands International– Indonesia Programme, Bogor: 70 hal.
7
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
HUBUNGAN BIOMASSA KRUSTASEA DENGAN SUMBER ENERGI BURUNG PANTAI
Hasil penelitian terhadap analisis isi perut yang dilakukan oleh GOSZTONYI & KUBA (1998), memberi gambaran bahwa terdapat 56% krustasea yang dalam perut burung Phalacrocorax atriceps terdiri dari Isopoda (5,7%), Amphipoda (4,7%), Caridea (15,5%), Brachyura (15,5%), Stomatopoda (2,4%), Campylonotus sp. (1,6%), Munida sp. (6,5%) dan jenis krustasea yang tak teridentifikasi (7,3%). Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan BLABER & WASSERBURG (1989), yaitu dengan melihat riwayat hidup burung tersebut berdasarkan analisis “otolith”. Tingkat kemudahan penangkapan krustasea oleh burung pantai, juga disebabkan adanya perbedaan ukuran tubuh krustasea. Kepiting dengan ukuran tubuh lebih besar lebih sulit ditangkap burung pantai, karena dapat menggali lebih dalam. Kepiting yang lebih kecil lebih mudah ditangkap oleh burung pantai, karena masih bisa dijangkau paruh burung pantai tersebut. Mangsa yang dimakan oleh burung pantai sangat bergantung pada jenis dan ukuran burungnya. Semakin besar ukuran tubuh burung pantai, semakin besar pula ukuran mangsanya. Untuk memantau perubahan musiman atau harian dari kehadiran mangsa di dekat atau di permukaan sedimen, adalah dengan menggunakan teknik tertentu, terutama bagi kepiting penggali. Teknik tersebut yakni dengan membuat pembatas dari kayu atau bambu berukuran 1 m2, kemudian diletakkan di atas sedimen. Jumlah kepiting yang ada di permukaan sedimen tersebut dihitung, baik dengan jumlah yang akurat maupun dengan jumlah perkiraan. Perhitungan tersebut dapat dilakukan setiap 15 menit pada interval sebelum, selama atau setelah air surut.
Salah satu fungsi ekologis penting dari burung pantai adalah sebagai indikator kualitas lingkungan pantai. Hal itu berkaitan erat dengan posisi burung pantai dalam jaring-jaring makanan, karena sebagian dari burung pantai menduduki puncak piramida makanan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier antara luasan hutan mangrove, produktivitas primer, kelimpahan krustasea, serta burung pantai. Kelimpahan krustasea cenderung terkonsentrasi pada daerah dengan kondisi hara yang berlimpah, biasanya dibentuk dari guguran seresah dan kotoran burung pantai. Burung pantai sebagai pemangsa krustasea, juga memiliki kecenderungan berkonsentrasi pada habitat yang tersedia makanan dalam jumlah berlimpah. Dengan korelasi ini, dapat ditunjukkan bahwa di lokasi ditemukan burung air dalam jumlah melimpah, hampir dapat dipastikan bahwa krustasea juga dalam keadaan yang melimpah (NOOR, 2004). Biomassa adalah bobot dari organisme hidup yang ditemukan di suatu wilayah dengan ukuran tertentu, misalnya dalam 1 meter persegi sedimen, dalam satuan gram per berat kering bebas abu per meter persegi (Ash-free Dry Weight per Square Meter – g ADW.m2). Data biomassa krustasea di tempat burung pantai mencari makan perlu diketahui, karena merupakan sumber energi utama bagi burung pantai, terutama bagi burung-burung pantai migran. Biomassa dalam berat kering merupakan jasad organik organisme, tanpa kandungan air, tanpa sedimen dalam perut, tanpa kandungan kapur dan garam. Pengukuran biomassa suatu organisme dapat dilakukan dengan pembakaran atau pemanasan pada suhu tinggi, dengan menggunakan oven sampai suhu 540 oC selama 2-4 jam (HOLMES et al., 2003).
Tabel 3. Contoh data kelimpahan spesies Stasiun (sampel)
Spesies 1
2
3
4
5
6
7
Species A
2
3
3
5
2
5
6
Species B
20
15
14
15
10
11
2
Species C
1
6
3
0
3
1
0
Species D
2
2
1
1
1
1
4
Berdasarkan Tabel 3 di atas tampak bahwa sampel merupakan titik-titik yang terletak dalam empat dimensi yaitu Species A, B, C dan D, dengan demikian, AKU akan menghasilkan empat komponen utama. Dalam tulisan ini tidak dibahas bagaimana menghitung komponen utama ini, karena terlalu tehnis. Cukup banyak perangkat lunak yang tersedia seperti SPSS, Minitab, Statistica dan lainnya. Namun salah
satu perangkat lunak yang banyak digunakan dalam analisis komunitas laut adalah PRIMER yang dikembangkan oleh Plymouth Laboratory, Inggris. Dalam tulisan ini semua contoh perhitungan menggunakan perangkat lunak ini. Umumnya, perhitungan menggunakan perangkat lunak apa saja akan memberikan beberapa hasil perhitungan sebagai berikut (Tabel 4):
Tabel 4. Hasil perhitungan varians dari komponen utama
Komponen Utama Z1
Eigenvalues (λi) 33,53
Persentase variasi 83,6
% variasi kumulatif 83,6
Z2
4,81
12,0
95,6
Z3
0,94
2,3
98,0
Z4
0,82
2,0
100,0
6
47
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Eigenvalues yang ditunjukkan dalam tabel di atas sebenarnya adalah varians dari masing-masing komponen utama. Jumlah dari eigenvalues sama dengan jumlah variabel atau jumlah komponen utama. Untuk contoh diatas jumlahnya adalah 4. Persentase variasi menunjukkan berapa besar muatan “informasi” yang terdapat pada masing-masing sumbu komponen dan diperoleh dari (λi/p × 100%). Berdasarkan Tabel 4 di atas tampak bahwa persentase varians untuk komponen utama pertama (Z1) adalah yang paling tinggi yaitu sebesar 83,6% disusul oleh Z2, Z3 dan Z4. Dalam kolom selanjutnya, komponen Z1 dan Z2 secara bersama-sama menghitung varians sebesar 95,6% dari total varians. Demikian pula Z1, Z2 dan Z3 secara bersama-sama menghitung sebesar 98,0% dari total varians, dari sini kelihatan bahwa 95,6% muatan informasi sudah dapat dijelaskan oleh Z1 dan Z2 saja. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa komponen utama pertama atau Z 1 adalah sumbu yang memaksimumkan varians dari titik-titik yang
diproyeksikan secara tegak lurus dengan sumbu ini, sedangkan komponen utama kedua (Z2) adalah sumbu yang tegak lurus dengan Z1 dimana varians dari titik-titik yang diproyeksikan pada sumbu ini juga dimaksimumkan, demikian pula, komponen utama ketiga (Z3) adalah sumbu yang tegak lurus dengan Z1 dan Z2. Sudah barang tentu, sangat sulit untuk melihat komponenkomponen utama yang lebih dari 3 dimensi dalam sebuah bidang datar, oleh karena itu, visualisasi dalam ordinasi umumnya menggunakan bidang datar berdimensi dua, baik itu antara Z1 dengan Z2, Z1 dengan Z3 atau Z2 dengan Z3. Hasil perhitungan selanjutnya adalah apa yang disebut sebagai eigenvector yaitu koefisien-koefisien yang membentuk kombinasi linier dari komponen utama. Perangkat lunak secara otomatis akan menghasilkan nilai-nilai koefisien ini. Dengan menggunakan perangkat lunak PRIMER maka diperoleh apa yang disebut sebagai muatan komponen utama (principal component loading, LATTIN et al., 2003) berikut ini (Tabel 5) :
perlindungan diri, misalnya capit yang kuat atau permukaan tubuh yang terdapat banyak duri. Selain itu juga karena kemampuan adaptasi yang baik, mampu berlari cepat, atau berlindung di balik cangkang, serta mengubur diri dalam substrat. Saat permukaan air berubah akibat pasang surut, maka aktifitas dan kehadiran kepiting juga akan berubah. Beberapa jenis krustasea yang paling banyak dikonsumsi oleh
burung pantai adalah jenis-jenis dari Decapoda (Scopimera sp., Macrophthalmus sp., Uca sp., Ocypode sp., Portunus sp., Penaeus sp., Callianassa sp., dan Corophium sp.), Stomatopoda (Oratosquilla sp.) serta Amphipoda (Gammarus sp.). Di samping itu, jenis-jenis krustasea yang dikonsumsi lainnya adalah tergantung dari jenis burung pantai yang memangsanya (HOLMES et al., 2003).
Uca sp. (Brachyura, Decapoda)
Portunus sp. (Brachyura, Decapoda)
Gammarus sp. (Amphipoda)
Oratosquilla sp. (Stomatopoda)
Tabel 5. Koefisien komponen utama Variabel Species A
Z1 0,188
Z2 -0,354
Z3 0,885
Z4 -0,237
Species B
-0,968
-0,186
0,151
0,073
Species C
-0,121
0,917
0,377
-0,057
Species D
0,112
-0,018
0,277
0,967
Berdasarkan Tabel 5 ini, maka kombinasi linier yang terbentuk dapat dituliskan secara aljabar sebagai berikut :
z1 z2 z3 z4
= 0,188 Sp.A – 0,968 Sp.B – 0,121 Sp.C + 0,112 Sp.D = –0,354 Sp.A – 0,186 Sp.B + 0,917 Sp.C – 0,018 Sp.D = 0,885 Sp.A + 0,151 Sp.B + 0,377 Sp.C + 0,277 Sp.D = –0,237 Sp.A + 0,073 Sp.B – 0,057 Sp.C + 0,967 Sp.D
48
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
Panulirus sp. (Macrura, Decapoda)
Penaeus sp. (Macrura, Decapoda)
Gambar 2. Beberapa jenis krustasea yang umum menjadi mangsa bagi burung pantai di daerah pasang surut.
5
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
tersebut. Burung pantai juga ada yang mencari makan dengan cara membalikkan batu atau serasah yang diduga sebagai tempat persembunyian mangsanya. Beberapa jenis burung pantai mencari makan dengan berenang, memutar-mutarkan tubuhnya di permukaan air, dan menangkap mangsanya dengan cara mengapung di air. Bahkan pada beberapa jenis burung pantai lainnya justru terbang berputarputar di sekitar daerah pasang surut dan segera menangkap mangsanya dengan cara terbang menukik ke arah mangsa tersebut (HOLMES et al., 2003).
Semua jenis krustasea bermanfaat sebagai mangsa burung pantai, jika dapat dicerna dan menghasilkan energi yang memadai per satuan waktu. Krustasea yang akan dimangsa oleh burung pantai biasanya memiliki daya penyamaran yang baik dan memiliki kemampuan bergerak cepat. Krustasea yang pergerakannya lambat, biasanya dilengkapi dengan pelindung tubuh yang lebih tebal dan kuat. Untuk jenisjenis krustasea yang mencari makan di bawah permukaan tanah, jarang muncul ke permukaan, memiliki kemampuan bergerak lebih lambat dan memiliki tubuh yang halus, serta kadang-kadang memanfaatkan cangkang gastropoda untuk melindungi tubuhnya, misalnya pada kumang Dardanus megistos (HOLMES et al., 2003). Krustasea yang hidup di kawasan pasang surut, telah mengalami penyesuaian diri (adaptasi) dan berkembang dengan baik untuk menghindarkan diri dari burung pantai. Beberapa jenis di antara krustasea tersebut, akan segera menguburkan diri ke dalam substrat pada saat burung pantai datang mendekat. Sementara beberapa jenis mangsa lainnya justru hanya akan berdiam diri untuk menghindari burung pantai, sampai waktu burung pantai tersebut meninggalkannya (HOLMES et al., 2003). Krustasea merupakan mangsa yang paling umum bagi burung pantai selama musim tidak berbiak (HOLMES et al., 2003). Analisis isi perut burung Phalacrocorax atriceps menunjukkan bahwa jenis mangsa yang dimakan oleh burung tersebut, 56% adalah berupa krustasea (GOSZTONYI & KUBA, 1998). Namun kasus yang ditunjukkan oleh PUNTA et al. (1993), menunjukkan bahwa mangsa terbanyak yang dimakan oleh Phalacrocorax albiventer di Bahia Bustamante dan Puerto Melo, Brasil adalah jenis ikan. Meski terdapat banyak jenis krustasea di daerah pasang surut, namun hanya sebagian kecil yang dapat dimangsa burung pantai. Krustasea yang tidak dapat dimangsa umumnya memiliki karapas yang kuat, memiliki alat
KRUSTASEA SEBAGAI MAKANAN BURUNG PANTAI Burung pantai cenderung berkumpul dan terkonsentrasi pada daerah yang paling menguntungkan, hal ini berkaitan dengan keberadaan mangsanya, yakni menyangkut ukuran, kerapatan dan posisi dari mangsanya serta kemungkinannya untuk menangkap (memakan) mangsanya. Mangsa yang berbeda, cenderung menempati habitat yang berbeda dan memiliki relung yang berbeda pula di daerah pasang surut. Kehadiran serta pergerakan mangsa, sangat dipengaruhi oleh kondisi dan siklus pasang surut yang terjadi di daerah tersebut (HOLMES et al., 2003). Keberadaan mangsa bagi burung pantai merupakan sesuatu yang harus terpenuhi setiap harinya, terutama pada saat-saat tertentu, yaitu pada musim migrasi maupun saat memijah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya persediaan mangsa akan berakibat pada kegagalan proses pendewasaan burung pantai yang masih muda. WANLESS et al. (2005) menunjukkan bahwa akibat kekurangan energi dari terbatasnya mangsa menyebabkan kegagalan proses pemijahan pada burung pantai Ammodytes marinus di Laut Utara. Burung pantai memangsa hampir semua fauna yang hidup di daerah pantai/pesisir, tetapi yang paling utama adalah fauna krustasea.
rendahnya kelimpahan Spesies A, sedangkan komponen Z 3 menunjukkan tingginya kelimpahan Spesies A akan diikuti oleh kelimpahan Spesies C. Berdasarkan kombinasi linier yang terbentuk di atas, maka kita dapat menghitung skor dari masing-masing komponen utama dengan memasukkan nilai-nilai kelimpahan masing-masing spesies ke dalam persamaan tersebut, sehingga diperoleh tabel berikut (Tabel 6).
Interpretasi dari kombinasi linier di atas adalah sebagai berikut, koefisien kombinasi linier komponen pertama untuk Spesies A, C dan D dapat dikatakan kecil atau bisa diabaikan, karena nilainya tidak begitu besar. Satu-satunya koefisien yang paling besar adalah Spesies B. Disini kelihatan bahwa Z1 menunjukkan adanya kontribusi yang sangat tinggi dari kelimpahan Spesies B atau adanya dominasi dari spesies ini. Komponen Z 2 mengindikasikan jika kelimpahan Spesies B tinggi akan diikuti oleh
Tabel 6. Skor komponen utama
Sampel
Skor Z1
Skor Z2
Skor Z3
Skor Z4
1
-7,500
-1,722
-0,683
1,291
2
-3,077
3,436
1,328
0,404
3
-1,857
0,890
-0,180
-0,465
4
-2,085
-2,752
0,612
-0,693
5
1,827
1,987
-1,671
-0,519
6
1,667
-0,093
0,383
-1,042
7
11,025
-0,747
0,211
1,025
Skor-skor di atas merupakan titik koordinat ordinasi untuk diplot dalam sumbu komponen yang diinginkan. Untuk contoh Tabel 6, ordinasi sampel dengan menggunakan sumbu Z1 dan Z2 dapat dilihat dalam Gambar 1.
49
4
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Z2
5 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -10
2 5 3 7
6
1 4
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
Z1
Gambar 1. Ordinasi sampel
Berdasarkan Gambar 1 tampak bagaimana sampel (stasiun) tergambar dalam bidang ordinasi. Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan sampel-sampel tersebut berdasarkan jarak antar sampel. Meskipun ini agak subjektif, namun secara kasat mata dapat kita lihat bahwa struktur komunitas yang diamati terdiri dua kelompok yaitu sampel/stasiun (2, 3, 4) dan sampel/stasiun (5, 6), sedangkan sampel 1 dan 7 kelihatan terpisah dengan kedua kelompok ini. Mengapa terjadi pemisahan seperti ini merupakan tugas peneliti untuk mengkajinya, apakah karena adanya pengaruh faktor lingkungan atau faktor habitat yang berbeda, oleh karena itu, dalam mengkaji suatu komunitas, seorang peneliti hendaknya melengkapi informasi sebanyak-banyaknya untuk mendukung hasil yang dicapai.
PERLAKUAN TERHADAP DATA Hasil perhitungan AKU yang disajikan di atas dilakukan langsung terhadap data aslinya. Dalam praktiknya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum kita melakukan analisis klaster atau ordinasi, khususnya yang menyangkut data kelimpahan spesies. Hal ini terkait dengan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis statistika parametrik dan bagaimana kontribusi setiap species dalam sebuah komunitas (spesies dalam jumlah besar atau spesies yang langka). Salah satu asumsi yang selalu menjadi syarat dalam analisis statistika parametrik adalah distribusi data yang harus menyebar secara normal. Namun dalam kenyataannya, asumsi ini sangat sulit untuk dipenuhi. Dalam lingkungan yang tidak
50
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
Dari 214 jenis burung pantai di dunia yang telah teridentifikasi, 65 jenis diantaranya ditemukan di Indonesia. Sampai saat ini belum ada peraturan khusus yang berkaitan dengan burung pantai di Indonesia. Dari 400 jenis burung yang dilindungi di Indonesia, hanya 9 jenis burung pantai. Usaha perlindungan terhadap kehidupan satwa liar, termasuk burung pantai diantaranya perdagangan satwa melalui CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Flora and Fauna) dan konvensi tentang biodiversitas yaitu CBD (Convension on Biological Diversity). Pada tahun 1991, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Ramsar tentang lahan basah yang berkaitan dengan habitat burung pantai. Indonesia turut serta dalam kesepakatan multilateral negara-negara di kawasan Asia dan Oseania, yaitu East Asian–Australian Shorebird Site Network, yang setiap negara anggota diharuskan mengajukan lokasi-lokasi yang penting bagi persinggahan burung pantai (HOLMES et al., 2003). Kehadiran jenis burung pantai tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan kesukaannya terhadap habitat. Meskipun tidak dapat dijadikan sebagai panduan utama, namun habitat dapat dijadikan sebagai panduan untuk membantu identifikasi terhadap jenis burung pantai tersebut. Sampai saat ini hampir setiap jenis burung pantai telah dapat dipetakan sebarannya, baik pada tingkat negara maupun tingkat geografis yang lebih sempit.
mencari makan pada saat tertentu, yaitu pada saat air surut. Untuk mengatasi berbagai halangan yang ditimbulkan oleh keadaan tersebut, burung pantai memiliki strategi khususnya dalam mencari makan. Keberadaan pemangsa burung pantai, merupakan tantangan bagi burung pantai dalam mencari makan. Keberadaan pemangsa tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan suhu. Setiap burung pantai memiliki perilaku makan yang efisien, sehingga mereka dapat mencari dan memperoleh makanan yang cukup walaupun waktu yang terbatas (HOLMES et al., 2003). Kompetisi diantara burung pantai dalam mencari makan akan berkurang, karena adanya spesialisasi pada masing-masing burung pantai. Spesialisasi tersebut diwujudkan dalam bentuk penampakan karakter morfologi, yaitu bentuk dan ukuran paruh, bentuk dan ukuran kaki serta ukuran mata. Burung pantai mencari makan sesuai pada mintakat tanah dan jenis makanan pada suatu lokasi yang sama. Disamping itu, perbedaan morfologi antara jantan dengan betina pada jenis yang sama, juga mempengaruhi kompetisi dalam mencari makan. Beberapa kelompok burung pantai memiliki perilaku yang khas dan mencolok dalam mencari makan, sehingga mudah dikenali dan memudahkan proses identifikasi. Perbedaan perilaku tersebut pada dasarnya disebabkan karena adanya perbedaan ukuran dan bentuk paruh, kaki serta habitat dari masing-masing burung pantai tersebut. Burung pantai yang memiliki mata besar, makan dengan berdiri tegak sambil melihat-lihat mangsa berikutnya, berlari dan mematuk mangsanya. Burung pantai yang memiliki paruh lebih panjang, umumnya memiliki mata lebih kecil dan mencari makan dengan menusuk-nusukkan paruh ke dalam sedimen yang lembut (HOLMES et al., 2003). Beberapa burung pantai biasanya mencari makan di daerah pesisir pantai yang dangkal dan berlari cepat untuk mengejar mangsa yang bergerak cepat di perairan
Strategi Makan Burung Pantai Burung pantai berkumpul dalam jumlah yang besar di suatu kawasan pantai selama periode tidak berbiak. Kondisi ini akan mengakibatkan kompetisi, baik dalam hal makanan, tempat mencari makan maupun tempat beristirahat. Wilayah mencari makan burung pantai umumnya adalah daerah pasang surut, sehingga burung pantai hanya bisa
3
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Burung-burung pantai sangat bergantung pada ketersediaan hewan-hewan pantai yaitu ikan, krustasea, moluska, polikhaeta dan biota lainnya. Krustasea merupakan salah satu mangsa utama bagi burung pantai (GOSZTONYI & KUBA, 1998). Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana peran krustasea bagi kelangsungan hidup burung pantai demi keseimbangan ekosistem pantai. Tulisan ini akan mencoba membahas tentang kehidupan burung pantai, khususnya mengenai cara makan dan krustasea sebagai makanan utama burung pantai.
BURUNG PANTAI Burung pantai diartikan sebagai sekelompok burung air yang secara ekologis bergantung pada kawasan pantai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak burung pantai yang berkembang biak jauh di daerah daratan yang bukan merupakan daerah pantai, tetapi burung-burung tersebut sangat bergantung pada kawasan pantai. Burung pantai, dalam kehidupannya yaitu mencari makan, mencari pasangan, berkembang biak, membesarkan anak dan bersarang hampir semuanya dilakukan di daerah pantai (HOLMES et al., 2003). Salah satu burung pantai yang kehidupannya tergantung pada daerah pantai adalah burung Trinil Pantai (Actitis hypoleucos) dari famili Scolopacidae (Gambar 1).
terganggu, distribusi kelimpahan individu antar spesies biasanya mengikuti ditribusi lognormal atau miring ke kanan (GRAY, 1981; RYGG, 1986; FLETCHER et al., 2005). Untuk memenuhi asumsi kenormalan ini, maka cara yang dapat dilakukan adalah dengan mentransformasikan nilai-nilai data ke dalam bentuk logaritma, akar kuadrat atau akar pangkat empat. Di samping untuk memenuhi kenormalan data, hal lain yang cukup penting adalah menghindari ketidakseimbangan jumlah individu antara yang sangat melimpah dengan sedikit (langka). Adanya dominasi kelimpahan dari beberapa spesies dalam sampel dapat mempengaruhi kemiripan dengan sampel lainnya. Untuk menghindarkan hal yang demikian, maka kita perlu melakukan pembobotan terhadap data sehingga varians antara satu sampel dengan sampel lainnya tidak
begitu berbeda. Untuk ordinasi menggunakan AKU, cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan normalisasi terhadap data yang ada. Normalisasi adalah mengurangi nilai kelimpahan dari setiap baris dengan rata-rata kelimpahan dari baris tersebut dibagi dengan simpangan bakunya (SD). Normalisasi data menyebabkan varians sampel sepanjang sumbu spesies akan sama yaitu 1. Ini berarti seluruh spesies memiliki nilai penting yang sama dalam menentukan komponen utama. Namun demikian, tidak semua data perlu dinormalisasikan, khususnya jika transformasi sudah memberikan gambaran yang seimbang atas kelimpahan spesies diantara sampel. AKU yang didasarkan pada data yang sudah dinormalisasi, disebut AKU berbasis korelasi. Sebaliknya, AKU yang datanya tidak dinormalisasi disebut AKU berbasis kovarians. Sebagai gambaran untuk melakukan normalisasi, kita lihat kembali contoh data dalam Tabel 3.
Tabel 7. Contoh data kelimpahan spesies
Spesies
Sampel/stasiun
Total
Rata-
2
3
4
5
6
7
Species A
2
3
3
5
2
5
6
26
3,7
1,6
Species B
20
15
14
15
10
11
2
87
11,0
4,5
Species C
1
6
3
0
3
1
0
14
2,0
2,2
Species D
2
2
1
1
1
1
4
12
1,7
1,1
Gambar 1. Burung Trinil Pantai (Actitis hypoleucos), salah satu jenis burung pantai yang sedang mencari makan di daerah pantai (CROBY, 2001).
2
51
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
rata
SD
1
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Normalisasi (tiap spesies dari seluruh sampel) dilakukan dengan menggunakan rumus berikut:
yij' =
PENETAPAN KOMPONEN YANG HARUS TERSISA
y ij − y i
Jika AKU berhasil mengurangi dimensionalitas dari data asli, maka langkah selanjutnya adalah menentukan berapa banyak komponen yang harus diperhatikan atau disisakan. MANLY (1986) menyatakan hal ini adalah masalah pertimbangan seorang peneliti semata. Namun secara teknis ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, diantaranya adalah metode grafis, kaidah Kaiser dan prosedur Horn. Berdasarkan ketiga metode ini, kaidah Kaiser tampaknya yang lebih mudah dan sederhana, yaitu dengan melihat nilai eigenvalues dari masing-masing komponen (dengan catatan kita menggunakan data yang telah dinormalisasikan). Kaidah ini menyatakan bahwa kita hanya perlu mengambil komponen utama yang nilai eigenvalue-nya lebih besar dari 1. Untuk contoh yang telah diberikan di atas, ternyata kita cukup mengambil hanya dua komponen saja, yaitu komponen pertama dan kedua.
si
di mana i = 1, 2,..., jumlah spesies, j = 1, 2, ...., jumlah sampel/stasiun. Contoh normalisasi (Spesies A pada stasiun 1) :
y11' =
y 11 − y 1 2 − 3,7 = = −1,06 s1 1,6
Spesies A pada stasiun 2 :
y12' =
y 12 − y 1 3 − 3,7 = = −0,44 s1 1,6
Selain transformasi data dan normalisasi data, hal lain yang penting diperhatikan sebelum AKU dilakukan adalah mereduksi spesies-spesies yang jumlahnya sangat sedikit (langka). Misalnya saja, dari 20 sampel yang diambil, Spesies A hanya muncul 1 individu dalam sedikit sampel. Reduksi spesies ini sebaiknya dilakukan sebelum transformasi dan normalisasi dilakukan. Menghilangkan spesies seperti ini akan banyak berpengaruh terhadap hasil ordinasi. Apalagi jika jumlah spesies yang tercatat sangat banyak tetapi kelimpahannya sedikit. Hasil pembahasan di atas mungkin timbul pertanyaan “kapankah kita melakukan transformasi dan normalisasi atau keduanya?”. Transformasi dalam data biotik umumnya tetap perlu ditransformasikan untuk menghindari distribusi data yang miring ke kanan (yang umum dijumpai untuk data kelimpahan). Normalisasi tidak selamanya perlu dilakukan. Normalisasi dalam AKU dilakukan apabila variabel-variabel yang diamati memiliki unit pengukuran yang berbeda antara lain data lingkungan. Contohnya suhu, salinitas, kimia hara, adalah variabelvariabel lingkungan yang memiliki satuan pengukuran yang berbeda.
PENUTUP Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan AKU dalam ordinasi sampel berdasarkan data kelimpahan atau biomassa sudah tidak begitu populer lagi. Hal ini dikarenakan kurangnya fleksibilitas dalam mendefinisikan ketidakmiripan (dissimilarity) komposisi komunitas antar sampel. Pada dasarnya, ordinasi merupakan suatu cara untuk mengkonversi ketidakmiripan ke dalam bentuk jarak (Euclidian) antar sampel tersebut yang dituangkan dalam grafik berdimensi dua atau lebih. Dalam AKU, ketidakmiripan didefinisikan sebagai jarak antara dua sampel, akan tetapi definisi ini kurang tepat dalam menjelaskan ketidakmiripan sampel seperti halnya yang diukur menggunakan indek ketidakmiripan BrayCurtis (CLARKE & WARWICK, 2001), oleh karena itu untuk menghadapi masalah yang
52
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008
Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 1–8
ISSN 0216–1877
BURUNG PANTAI PEMANGSA KRUSTASEA Oleh Ucu Yanu Arbi 1) ABSTRACT COASTAL BIRDS AS CRUSTACEAN PREDATORS. Ecologically, coastal birds depend on intertidal area to obtain their lives. Coastal birds tend to concentrate in area, were preys are occured. The most important food of coastal birds are crustacean, fish and mollusc Coastal birds carch their preys (crustaceans) in the coastal area. Decapods, Stomatopods, Amphipods and Isopods are some crustaceans that are usually captured by coastal birds.
lingkungan. Secara alami, pemangsaan akan menekan populasi yang berlebih dari suatu jenis di suatu wilayah ekologi tertentu (ADISOEMARTO, 1998). Hubungan antara hewan pemangsa dengan mangsanya merupakan sebuah wujud dari sistem dan mekanisme dalam pengendalian keseimbangan kehidupan di alam liar. Pemangsa berperan sebagai pengendali jenis hewan tertentu di dalam suatu lingkungan. Secara alamiah, proses pemangsaan akan menekan populasi dari suatu jenis hewan yang berlebihan. Jika hewan mangsa berlebihan, maka populasi hewan pemangsa akan bertambah besar dan jumlah hewan mangsa akan dikurangi. Jika jumlah pemangsa berlebihan, populasi mangsa akan menurun, sebagai akibatnya pemangsa pun akan menurunkan populasinya. Kehidupan burung pantai merupakan suatu indikator penting dalam pengkajian mutu dan produktivitas suatu lingkungan pantai, apalagi setelah diikrarkannya Konvensi Ramsar pada tahun 1971 (HOLMES et al., 2003).
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jumlah pulau lebih dari 17.000 buah. Jumlah panjang total pantai di Indonesia diperkirakan lebih dari 81.000 km, sebagian diantaranya ditumbuhi oleh hutan mangrove, serta hamparan lumpur dan pasir yang sangat potensial untuk mendukung sejumlah besar kehidupan biota. Termasuk di dalamnya adalah burung pantai (baik burung pantai yang bersifat sebagai penetap maupun yang bersifat migran) sebagai hewan pemangsa, serta berbagai jenis krustasea sebagai salah satu hewan mangsa utama bagi burung pantai tersebut. Sehingga dari kondisi tersebut, Indonesia menjadi negara yang penting dalam hal tersedianya habitat yang mendukung kehidupan burung pantai. Setiap satwa (termasuk burung pantai) harus mencari pakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Proses mencari pakan dan proses makan yang dilakukan oleh satwa tersebut, merupakan produk yang bermanfaat bagi
1)
UPT Loka Konservasi Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Bitung.
1
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
GRAY, J. S. 1981. Detecting Pollution Induced Changes in Communities Using the Lognormal Distribution of Individuals Among Species. Marine Pollution Bulletin 12 (5) : 173-176.
demikian, telah tersedia metode lain yaitu ordinasi dengan penskalaan multi dimensi (Multi Dimensional Scalling, MDS). Ordinasi MDS ini dapat dikatakan sangat baik khususnya jika menyangkut jumlah sampel yang relatif besar. Meski AKU kurang populer dalam melakukan ordinasi sampel berdasarkan data kelimpahan dan biomas, akan tetapi dalam kajian ekologi komunitas, AKU masih dapat digunakan secara maksimal dalam ordinasi sampel untuk data lingkungan. Dalam visualisasi data lingkungan secara multi-dimensional, sampel atau stasiun adalah titik-titik pada sumbu lingkungan. Suatu hal yang harus diperhatikan dalam AKU untuk data lingkungan ini adalah data dari seluruh variabel haruslah dalam satuan pengukuran yang sama. Jika tidak sama, maka seluruh variabel lingkungan harus dinormalisasikan terlebih dahulu setelah dilakukan tranformasi data (kalau ada), dengan perkataan lain kita melakukan AKU berbasis korelasi.
HUGHES, R.N. and M.L.H. THOMAS 1971. The classification and ordination of shallowwater benthic samples from Prince Edward Island, Canada. J. exp. Mar. biol. Ecol. 7 : 1 – 39. LATTIN, J., J.D. CARROL and P.E. GREEN 2003. Analysing multivariate data. Thomson Learning, Inc. : 556 pp. MARQUES, J.C., P. MARANHAO and M.A. PARDAL 1993. Human impact assesment on subtidal macrobenthic community structure in the Mondego Estuary (Western Portugal). Estuarine, Coastal and Shelf Science, 37 : 403 – 419. MOORE, P.G. 1974. The kelp fauna of Northeast Britain, III. Qualitative and Quantitative Ordinations, and the utility of multivariate approach. J. exp. Mar. biol. Ecol. 16 : 257 – 300.
DAFTAR PUSTAKA
OUGH, E. 2000. Softbottom macrofauna in the high-latitude ecosystem of Balsfjord, northern Norway : Species composistion, community structure and temporal variability. Sarsia 85 : 1 – 13.
CASSEI, R.M. 1972. Fauna and sediment of an intertidal mud-flat : an alternative multivariate analysis. J. exp. Mar. biol. Ecol. 9 : 55 – 64. CLARKE, K.R. and R.M. WARWICK 2001. Change in marine communities : an approach to statistical analysis and interpretation. 2 nd ed. PRIMER-E : Plymouth : 171 pp.
HERNANDOR-PEREZ, S and C.L.J. FRID 1998. The cessation of long-term fly-ash dumping : effects on macrobenthos and sediments. Marine Pollution Bulletin 36 : 780 – 790.
FIELD, J.F. 1971. A numerical analysis of changes in the softbottom fauna along transect across False Bay, South Africa. J. exp. Mar. biol. Ecol. 7 : 215 – 253.
RYGG, B. 1986. Heavy-metal pollution and lognormal distribution of individuals among species in benthic communities. Marine Pollution Bulletin, (17) I ; 31-36.
FLETCHER, D.; D. MACKENZIE and E. VILLOUTA 2005. Modelling skewed data with many zeros:A simple approach combining ordinary and logistic regression. Environmental and Ecological Statistics 12 : 45–54.
SOEDIBJO, B.S. 2007. Pengaruh faktor lingkungan terhadap distribusi spasial komunitas zooplankton di Teluk Klabat, Perairan Bangka Belitung. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33 : 47 – 63.
53
Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008