ANALISIS KOMPARASI SALURAN PASAR TRADISIONAL DAN MODERN PADA KOMODITAS SAYURAN DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG
FITRIYANI MIR`AH ALIYATILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis komparasi saluran pasar tradisional dan modern pada komoditas sayuran di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013 Fitriyani Mir’ah Aliyatillah NIM H451110191
RINGKASAN FITRIYANI MIR`AH ALIYATILLAH. Analisis Komparasi Saluran Pasar Tradisional dan Modern pada Komoditas Sayuran di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh HARIANTO dan ANNA FARIYANTI. Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang penting untuk dikembangkan karena memiliki permintaan pasar yang tinggi baik dari dalam maupun luar negeri. Walaupun neraca perdagangan sayuran Indonesia masih bernilai negatif namun trend ekspor dari tahun 2005 sampai dengan 2010 bernilai positif 10 persen. Perkembangan pasar modern seperti ekspor tersebut dan food service industries seperti restoran menawarkan keuntungan yang lebih tinggi kepada petani sayuran. Namun pasar modern memiliki persyaratan terkait kontinyuitas kuantitas dan konsistensi kualitas sayuran. Oleh karena itu, penting dilakukan studi terkait pemasaran sayuran untuk pasar modern. Pangalengan merupakan sentra produksi sayuran di Jawa Barat yang berkontribusi cukup besar dalam produksi sayuran Nasional. Selain itu, Pangalengan juga merupakan wilayah yang ditargetkan dapat meningkatkan ekspor sayuran khususnya ke Singapura. Pemasaran sayuran yang dilakukan petani awalnya hanya ke pasar tradisional, namun seiring dengan berkembangnya pasar modern, petani mulai memasok ke pasar modern terutama karena adanya jaminan harga yang stabil berdasarkan kesepakatan dan tawaran harga jual yang tinggi. Berbeda dengan pasar tradisional yang menghadapi risiko fluktuasi harga sehingga memicu tidak terintegrasinya harga di tingkat petani dan pengecer. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain: (1) menganalisis aktivitas pemasaran komoditas sayuran di Pangalengan; (2) menganalisis efisiensi saluran pasar modern dan tradisional komoditas sayuran di Pangalengan; dan (3) menganalisis dampak saluran pasar modern terhadap petani dan saluran pasar tradisional. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) di tiga desa di Kecamatan Pangalengan yaitu Desa Pangalengan, Desa Margamekar, dan Desa Margamukti karena memiliki produktivitas sayuran paling tinggi. Komoditas sayuran yang diteliti adalah kentang, tomat, kubis dan wortel. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui lembaga pemasaran sayuran yang terlibat, fungsifungsi pemasaran yang terjadi, saluran pemasaran, serta dampak saluran pasar modern terhadap petani dan saluran pasar tradisional. Adapun analisis kuantitatif dilakukan dengan bantuan software Microsoft Excel dan Eviews untuk menganalisis integrasi harga sayuran di pasar tradisional yang menggunakan model ordinary least square (OLS) dari Model Ravallion. Berdasarkan hasil penelitian, lembaga pemasaran sayuran yang ada di saluran pasar tradisional adalah, pedagang I, pedagang II, grosir pasar, dan pedagang eceran. Adapun lembaga pemasaran pada pasar modern terdiri dari pedagang III, eksportir, dan restoran. Dari keempat komoditas sayuran yang dianalisis, fungsi pemasaran yang dilakukan oleh petani dan lembaga pemasaran sayuran yang memasok ke pasar tradisional umumnya terdiri dari: (1) fungsi fasilitas berupa sortasi, risiko, biaya, dan informasi; (2) fungsi fisik berupa pengangkutan dan penyimpanan; serta (3) fungsi pertukaran berupa penjualan dan
pembelian. Yang membedakannya dengan pasar modern adalah di tingkat petani terdapat penambahan fungsi fasilitas berupa grading. Efisiensi pemasaran yang terjadi pada komoditas kentang, tomat, dan kubis terbukti lebih efisien pada saluran pasar modern dibanding tradisional. Efisiensi saluran pasar dilihat dari nilai marjin pemasaran, farmer’s share, dan integrasi pasar antara petani dan ritel. Umumnya komoditas sayuran yang dianalisis belum terintegrasi dengan baik yang ditunjukkan oleh nilai index of market connection yang tinggi. Hal ini terjadi karena informasi pasar yang datang ke petani lebih lambat dibandingkan pedagang perantara. Adapun pada komoditi tomat, terintegrasi kuat karena informasi kepada petani lebih terbuka dan disalurkan dengan cepat. Dampak saluran pasar modern terhadap petani adalah meningkatnya produktivitas sayuran yang dihasilkan, meningkatnya keuntungan, dan meningkatnya kualitas sayuran yang dipasarkan. Adapun dampak saluran pasar modern terhadap saluran pasar tradisional antara lain berkurangnya volume perdagangan sayuran di pasar tradisional, bertambahnya fungsi pemasaran, serta saluran pemasaran tradisional menjadi lebih pendek. Kata kunci:
Pasar tradisional, Pasar modern, Sayuran, Integrasi Pasar, Saluran Pemasaran
SUMMARY FITRIYANI MIR`AH ALIYATILLAH. Comparative Analysis of Traditional and Modern Marketing Channels of Vegetables Commodities in Pangalengan District, Bandung Regency. Supervised by HARIANTO and ANNA FARIYANTI. Vegetable is one of the important horticultural commodities that potential to be developed because it has a high market demand both from within and outside the country. Although the trade balance value was still negative, the export trend of vegetable from 2005 to 2010 is positive 10 percent. Modern market developments such as the export and food service industries such as restaurants offer higher returns to farmers. But the Modern market has the requirement related to quantity and consistency of vegetable quality. Therefore, it is important to analyze marketing of vegetable in Modern market. Pangalengan is the vegetable production centers in West Java that contribute quite big in the National vegetable production. In addition, the district is also targeted to make contribution to increase the export of vegetable, especially to Singapore. Along with the development of a Modern market, farmers started supplying to the Modern market that enforces the selling price fixed based on agreements and offer a higher selling price than traditional markets. Because of fluctuating prices, traditional market trigger unintegrated market price at the level of farmers and retailers. The aims of this research are to: (1) analyze the marketing aktivities of vegetables in Pangalengan; (2) analyze the efficiency of the Modern and traditional market channels of vegetables in Pangalengan; and (3) analyze the impact of Modern market channels against farmers and traditional market channels. Research location determined purposively in three villages in the District of Pangalengan because of the highest vegetables productivity i.e. Margamekar Village, Pangalengan Village and Margamukti Village. Vegetables in this research are potato, tomato, cabbage and carrot. Data analysis was done qualitatively and quantitatively. Qualitative analysis was conducted to find out the vegetable market institutions, marketing functions, marketing channels, and the impact of modern market channels to farmers and traditional market channels. Microsoft Excel and Eviews software are used to analyze price integration of vegetables on traditional market with ordinary least square (OLS) model that adapted from Ravallion Model. The results showed that the marketing institutions of vegetables in traditional market channels are traders I, traders II, wholesale and retailers. While for marketing institutions on the modern market are of traders III, exporters, and restaurant. The marketing function that carried out by marketing institutions who supply vegetables to traditional market generally consists of: (1) facilities functions such as sortation, risk, cost, and market information; (2) physical functions in the form of transportation and storage; and (3) exchange functions such as sales and purchase. While in the modern market channels, there is an additional marketing function facility at the level of farmer i.e grading activities. The modern market channels of potato, tomato, and cabbage are more efficient than the traditional market channels. It can be seen from marketing margin, farmer's share, and market integration between farmers and retailers.
Analysis of the market integration indicates that generally vegetables in traditional markets were unintegrated. This condition happened because the information that comes to market farmers is slower than intermediary traders. As for the commodity tomato, integrated strong because information to farmers more open and distributed quickly. The impact of Modern market channels to traditional market channels are declining trading volume of vegetables, adding of marketing functions, and shortening marketing channels. The impact of Modern market channels are increasing the productivity of the vegetables, increased profits, and increasing the quality of the vegetables. Keywords: Traditional market, Modern Markets, Vegetable, Market Integration, Marketing channels
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KOMPARASI SALURAN PASAR TRADISIONAL DAN MODERN PADA KOMODITAS SAYURAN DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG
FITRIYANI MIR`AH ALIYATILLAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr Ir Suharno, M. Adev
Penguji Wakil Program Studi Agribisnis
: Dr Ir Netti Tinaprilla, MM
Judul Tesis : Analisis Komparasi Saluran Pasar Tradisional dan Modern pada Komoditas Sayuran di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Nama : Fitriyani Mir`ah Aliyatillah NIM : H451110191
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Harianto, MS Ketua
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 28 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
Judul Tesis : Analisis Komparasi Saluran Pasar Tradisional dan Moderen pada Komoditas Sayuran di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Nama : Fitriyani Mir' ah Aliyatillah NIM : H451110191
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
...-----
Dr Ir Harianto, MS Ketua
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Tanggal Ujian: 28 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
1 1 NOV 20n
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pemasaran, dengan judul analisis komparasi saluran pasar tradisional dan modern pada komoditas sayuran di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Dr Ir Harianto, MS sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, waktu, saran, dan motivasi kepada penulis. 2. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, waktu, saran, dan motivasi kepada penulis. 3. Dr Ir Suharno, M. Adev dan Dr Ir Netti Tinaprilla, MM sebagai dosen penguji pada sidang tertutup yang telah banyak memberi saran dan masukan. 4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS sebagai ketua program studi magister sains agribisnis; Dr Ir Suharno, M.Adev sebagai sekretaris program studi magister sains agribisnis; dan seluruh staf program studi magister sains agribisnis atas motivasi, saran, dan bantuannya kepada penulis. 5. Kementrerian Pendidikan dan Kebudayaan Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN) sebagai sponsor biaya pendidikan penulis selama menjadi mahasiswa pasca sarjana. 6. Bapak H. Enzem Zaenal dan Bapak H. Odih Dedi Permana sebagai tokoh masyarakat dan ketua kelompok tani di Desa Margamekar yang telah memberikan informasi secara mendalam dan bantuan serta kasih sayang kepada penulis selama pengambilan data berlangsung. 7. Bapak Firman sebagai penyuluh pertanian di Disperta Jawa Barat yang telah menyediakan informasi harga sayuran secara komprehensif. 8. Ayahanda Maman Karliman dan Ibunda Fatmah Setiawati sebagai orangtua penulis, atas segala doa, motivasi, dan kasih sayangnya. 9. Teman-teman seperjuangan Magister sains agribisnis angkatan 2 yang selalu memberikan inspirasi dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak terutama pelaku pemasaran sayuran, akademisi, dan pengambil keputusan.
Bogor, November 2013 Fitriyani Mir`ah Aliyatillah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
1 1 3 6 6 6
2 TINJAUAN PUSTAKA Pemasaran Sayuran di Indonesia Lingkup Pasar Modern Efisiensi Saluran Pemasaran Modern dan Tradisional Integrasi Pasar Komoditas Agribisnis Dampak Saluran Pasar Modern terhadap Petani dan Saluran Pasar Tradisional
7 7 8 8 9 10
3 KERANGKA PEMIKIRAN Pemasaran Produk Pertanian secara makro Konsep Saluran Pemasaran Konsep Efisiensi Pemasaran Kerangka Pemikiran Operasional
13 13 15 16 19
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan dan Analisis Data
23 23 23 24
5 AKTIVITAS PEMASARAN SAYURAN DI PANGALENGAN Karakteristik petani responden Karakteristik pedagang Gambaran umum sistem pemasaran sayuran di Pangalengan Lembaga pemasaran pada saluran pasar tradisional Lembaga pemasaran pada saluran pasar Modern Saluran pemasaran sayuran di Kecamatan Pangalengan Saluran pemasaran kentang Saluran pemasaran tomat Saluran pemasaran kubis Saluran pemasaran wortel
26 28 29 31 34 35 36 36 40 43 46
6 EFISIENSI SALURAN PASAR TRADISIONAL DAN MODERN Marjin Pemasaran dan Farmer’s share Integrasi pasar sayuran di Pangalengan
48 48 55
7 DAMPAK SALURAN PASAR MODERN Dampak saluran pasar modern terhadap petani Produktivitas sayuran petani menjadi meningkat Keuntungan petani menjadi meningkat Meningkatnya kualitas sayuran yang dihasilkan petani Dampak saluran pasar modern terhadap saluran pasar tradisional Menurunnya volume sayuran Bertambahnya fungsi pemasaran Saluran pemasaran lebih pendek
56 56 57 59 62 64 64 65 66
8 SIMPULAN
67
9 SARAN
68
DAFTAR PUSTAKA
68
LAMPIRAN
73
RIWAYAT HIDUP
93
DAFTAR TABEL 1 Pasar Ekspor Sayuran Indonesia tahun 2005-2009 2 Kontribusi produksi sayuran Jawa Barat terhadap nasional tahun 2011 3 Data produksi kentang, tomat, wortel, dan kubis di Kecamatan Pangalengan tahun 2010 4 Kriteria Integrasi Pasar 5 Luas wilayah Kecamatan Pangalengan Tahun 2012 6 Luas lahan, produktivitas, dan produksi sayuran di kecamatan Pangalengan tahun 2011 7 Karakteristik Responden Petani Sayuran di Pangalengan 8 Karakteristik Responden Pedagang Sayuran di Pangalengan 9 Biaya Produksi Kentang di Kecamatan Pangalengan Berdasarkan Jenis Bibit yang digunakan 10 Fungsi-fungsi yang dilakukan Lembaga Pemasaran Kentang 11 Fungsi-fungsi yang dilakukan Lembaga Pemasaran tomat 12 Fungsi-fungsi yang dilakukan Lembaga Pemasaran Kubis 13 Fungsi-fungsi yang dilakukan Lembaga Pemasaran Wortel 14 Marjin pemasaran dan farmer’s share kentang di Pangalengen periode Januari-April 2013 15 Marjin pemasaran dan farmer’s share tomat di Pangalengen periode Januari-April 2013 16 Marjin pemasaran dan farmer’s share kubis di Pangalengen periode Januari-April 2013
1 3 23 26 27 27 29 30 36 38 40 44 46 48 49 50
17 Marjin pemasaran dan farmer’s share wortel di Pangalengen periode Januari-April 2013 18 Integrasi Pasar Komoditas Sayuran 19 Produktivitas Kentang pada Saluran Pasar Tradisional dan Modern 20 Produktivitas tomat pada Saluran Pasar Tradisional dan Modern 21 Produktivitas kubis pada Saluran Pasar Tradisional dan Modern 22 Produktivitas wortel pada Saluran Pasar Tradisional dan Modern 23 Analisis keuntungan petani kentang 24 Analisis keuntungan petani tomat 25 Analisis keuntungan petani kubis 26 Analisis keuntungan petani wortel 27 Diferensiasi harga kentang di pasar Modern periode Januari-April 2013 28 Harga beli tomat di pasar Modern (Restoran) 29 Fungsi pemasaran yang tumbuh karena pasar modern
52 53 54 55 56 56 56 57 58 59 60 60 63
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Fluktuasi Harga Sayuran di Tingkat Petani dan Pengecer Pangalengan Saluran pemasaran sayuran di Jawa Barat Margin pemasaran Kerangka pemikiran operasional Skema arus komoditi kentang di Pangalengan periode Januari-April 2013 Skema arus komoditi tomat di Pangalengan periode Januari-April 2013 Skema arus komoditi kubis di Pangalengan periode Januari-April 2013 Skema arus komoditi wortel di Pangalengan periode Januari-April 2013 Farmer’s share kentang di Pangalengan periode Januari-April 2013 Farmer’s share tomat di Pangalengan periode Januari-April 2013 Farmer’s share kubis di Pangalengan periode Januari-April 2013 Farmer’s share wortel di Pangalengan periode Januari-April 2013 Ukuran kentang yang dihasilkan petani Pangalengan Alokasi volume sayuran setelah adanya pasar Modern
4 7 17 22 37 41 43 45 50 51 53 54 59 62
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Marjin pemasaran kentang Marjin pemasaran tomat Marjin pemasaran kubis Marjin pemasaran wortel Hasil output analisis integrasi pasar vertikal kentang Hasil output analisis integrasi pasar vertikal tomat Hasil output analisis integrasi pasar vertikal kubis Hasil output analisis integrasi pasar vertikal wortel
71 74 76 78 81 83 86 89
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang sangat berpotensi untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi baik dari dalam maupun luar negeri. Konsumsi per kapita sayuran di Indonesia dari tahun 2006 sampai 2011 mengalami pertumbuhan sebesar 36.5 persen sehingga permintaan akan sayuran di dalam negeri pun meningkat (BPS 2011). Namun kondisi neraca perdagangan sayuran Indonesia sampai dengan tahun 2009 masih bernilai negatif dengan nilai ekspor sebesar 100 juta USD sedangkan nilai impor mencapai 298 juta USD. Walaupun demikian, potensi ekspor masih besar dan variatif yang terbukti dari trend ekspor dari tahun 2005 sampai dengan 2009 yang bernilai positif 10 persen. Adapun Negara tujuan ekspor sayuran Indonesia antara lain Cina, India, Singapura, Jepang, Malaysia, Filipina, Korea, Taiwan, dan Thailand (ACDIVOCA 2011). Pasar ekspor sayuran Indonesia tahun 2005 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Pasar ekspor sayuran Indonesia tahun 2005-2009 Indikator Perdagangan Importir
Dunia China India Singapura Jepang Malaysia Filipina Korea Taiwan Thailand
Nilai Ekspor (000 USD)
Trade Balance (000 USD)
100 168 19 894 18 551 12 202 9 906 8 695 8 476 6 916 6 486 3 664
-198 841 -176 604 14 306 11 073 9 749 2 297 5 750 6 507 6 427 -11 672
Share ekspor dari Indonesia (%) 100 19.9 18.5 12.2 9.9 8.7 8.5 6.9 6.5 3.7
Growth Nilai Ekspor (%) 10 2 77 14 3 -2 4 12 9 65
Rank Negara Importir 13 6 28 8 19 71 25 49 44
Share dari impor dunia (%) 100 2.2 4.3 0.7 3.5 1.1 0.1 0.8 0.3 0.4
Sumber: Agricultural Cooperative Development International (2011) Salah satu permintaan ekspor hortikultura Indonesia adalah berasal dari Singapura dimana permintaannya pada tahun 2014 mendatang mencapai 30 persen dari total ekspor buah dan sayuran Indonesia. Permintaan tersebut baru dapat dipenuhi sebesar 6 persennya saja di tahun 2010 yaitu senilai 22.4 juta USD1. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, pada tahun 2012 Kementerian Pertanian secara khusus mengeluarkan pedoman teknis akselerasi peningkatan ekspor hortikultura ke Singapura karena Indonesia masih memiliki potensi yang besar untuk memperluas pangsa pasar sayuran terutama karena didukung oleh kondisi agronomis dan letak geografis yang berdekatan dengan Singapura. 1
www.thejakartapost.com. RI cannot meet overseas demand for fruits and vegetables [Juni 2013]
2
Terdapat beberapa kelemahan yang menyebabkan Indonesia belum dapat meningkatkan pangsa pasar sayuran di Singapura maupun Negara importir sayuran lainnya. Kelemahan tersebut diantaranya adalah kondisi infrastruktur jalan dan pelabuhan yang kurang memadai serta lemahnya manajemen rantai pasok. Pada dasarnya sayuran Indonesia memiliki dayasaing, namun perlu adanya perbaikan kemasan dan kualitas (Kemendag 2011). Oleh karena itu, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kinerja ekspor sayuran Indonesia adalah dengan meningkatkan kualitas sayuran diantaranya melalui perbaikan sistem pemasaran. Pasar ekspor sayuran Indonesia merupakan salah satu contoh pasar modern dengan sistem kontrak yang dicirikan oleh adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli baik secara lisan ataupun tertulis terkait dengan harga, kualitas, kuantitas, dan persyaratan lainnya (Perdana 2011). Jenis pasar ini juga disebut sebagai pasar terstruktur. Selain pasar ekspor sayuran Indonesia, pasar modern dengan sistem kontrak juga mencakup lingkup domestik seperti ritel modern, agroindustri, dan food service industry seperti restoran. Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pasar tradisional seperti pasar induk kramat Djati dan Caringin, serta pasar modern dengan sistem kontrak yang terdiri dari pasar ekspor serta restoran yang secara nasional pertumbuhannya mencapai 2.09 persen di tahun 2011 (BPS 2011). Pada tahun 2007, petani yang terlibat dalam rantai pasar modern di Indonesia baru mencapai 15 persen. Hal ini dikarenakan adanya persyaratan berupa konsistensi terhadap kualitas dan kontinyu dalam hal kuantitas yang sulit dipenuhi oleh petani sayuran skala kecil. Perkembangan pasar modern dalam rantai pemasaran sayuran di Indonesia memiliki dampak terhadap perekonomian. Beberapa pihak berpendapat bahwa dengan meluasnya pasar modern seperti ritel modern di Indonesia, pertumbuhan ekonomi serta iklim persaingan usaha semakin baik dan dapat meningkatkan lapangan pekerjaan (Punjabi dan Sardana 2007). Namun pihak lain berpendapat bahwa pasar modern berdampak negatif terhadap pasar tradisional karena mengakibatkan hilangnya konsumen di pasar tradisional (SMERU 2007). Dampak hadirnya pasar modern terhadap konsumen lebih positif karena pasar tersebut menawarkan lebih banyak keunggulan sehingga kepuasan konsumen dapat meningkat dengan disediakannya lebih banyak pilihan. Adapun dampak saluran pasar modern terhadap petani sayuran masih menjadi kontroversi. Terdapat hasil penelitian yang bertolak belakang dalam melihat dampak saluran pasar modern terhadap petani hortikultura khususnya di Negara berkembang. Sebagian besar hasil penelitian menyebutkan bahwa saluran pasar modern merugikan petani produk agribisnis terutama petani kecil karena kemungkinan petani dalam menghasilkan produk yang diinginkan oleh konsumen sangat kecil. Studi empiris ditunjukkan oleh Cartey dan Mesbah (1993) yang mengungkapkan bahwa petani kecil sangat sedikit partisipasinya dalam ekspor buah di Negara Chili. Begitu juga dengan ekspor sayuran di Kenya yang tidak melibatkan petani sehingga saluran pemasaran tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi petani lokal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan fakta yang berbeda dimana saluran pasar modern justru membantu meningkatkan pendapatan dan aset petani kecil. Hal ini dibuktikan oleh Hernandez et al. (2007) yang mengungkapkan hasil penelitiannya di Guatemala, dimana ribuan petani skala kecil mendapat manfaat
3
dan pendapatan yang lebih tinggi ketika menjadi pemasok dalam saluran pasar modern untuk komoditas jagung. Selain meningkatkan pendapatan, saluran pasar modern juga dapat meningkatkan produktivitas dan akses tenaga kerja lokal yang lebih baik. Huang dan Reardon (2008) yang menyebutkan bahwa saluran pasar modern memiliki dampak positif bagi petani yaitu peningkatan pendapatan, teknologi produksi yang semakin membaik dan menciptakan lowongan pekerjaan yang baru bagi masyarakat. Conception dan Digal (2007) juga menyatakan bahwa saluran pasar modern memberikan pendapatan yang lebih baik kepada petani walaupun supermarket sebagai salah satu ritel modern memiliki standar kualitas dan kuantitas yang harus dipenuhi. Hal ini terjadi karena saluran pasar modern telah menggeser paradigma petani untuk lebih memperhatikan keamanan pangan dan berusaha memproduksi komoditas yang sesuai dengan permintaan konsumen. Dengan demikian, penting dilakukan penelitian yang mengkaji secara khusus mengenai saluran pasar sayuran baik dengan tujuan akhir pasar tradisional maupun pasar modern dengan sistem kontrak seperti ekspor dan restoran. Dampak hadirnya pasar modern terhadap petani dan pasar tradisional menjadi penting untuk dianalisis karena perbedaan hasil penelitian terdahulu tidak dapat dijadikan kesimpulan umum khususnya untuk komoditas hortikultura di Indonesia. Perumusan Masalah Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi sayuran di Indonesia yang berkontribusi cukup besar terhadap produksi sayuran nasional. Pada tahun 2011, Jawa Barat menjadi penghasil sayuran Nasional seperti kubis sebesar 21.97 persen, tomat 37.19 persen, kentang 25.93 persen, cabe merah 21.98 persen dan bawang merah 11.34 persen (Disperta Jabar 2012). Adapun penelitian ini membahas empat komoditas sayuran utama yaitu kentang, tomat, kubis, dan wortel. Hal ini karena keempat komoditas tersebut berkontribusi cukup besar terhadap produksi sayuran nasional. Kontribusi produksi sayuran Jawa Barat terhadap Nasional pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kontribusi produksi sayuran Jawa Barat terhadap nasional tahun 2011 Komoditas Nasional (Ton) Jawa Barat (Ton) 1 358 113 298 332 Kubis Tomat 954 046 354 832 1 060 805 Kentang 275 101 Cabe Merah 888 852 195 383 Bawang Merah 893 124 101 273 Wortel 526 917 115 297 Sumber: Diperta Jawa Barat (2012) (diolah)
Persentase 21.97 37.19 25.93 21.98 11.34 21.88
Salah satu wilayah yang menjadi sentra produksi sayuran di Jawa Barat adalah Kecamatan Pangalengan. Selain memasok kebutuhan nasional, Pangalengan juga merupakan salah satu wilayah yang ditargetkan dapat berkontribusi dalam pemenuhan ekspor sayuran sesuai dengan yang tercantum dalam pedoman teknis akselerasi pengingkatan ekspor hortikultura ke Singapura. Program tersebut diduga memiliki pengaruh terhadap saluran pemasaran petani
4
yang awalnya hanya memasok ke pasar tradisional menjadi memiliki kesempatan untuk memasok juga ke pasar modern. Harga yang lebih tinggi mendorong petani untuk melakukan pemasaran sayuran ke pasar modern dengan sistem kontrak walaupun harus memenuhi persyaratan terkait kualitas dan kuantitas sayuran. Harga yang terjadi di pasar modern cenderung stabil karena penetapan harga terjadi sesuai dengan kesepakatan di awal kerjasama. Sebaliknya, di pasar tradisional, pelaku agribisnis sayuran menghadapi risiko fluktuasi harga. Fluktuasi harga sayuran di tingkat petani dan pedagang pengecer di pasar Pangalengan dapat dilihat pada Gambar 1. 14000
Harga (Rp/Kg)
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 Data Mingguan April 2012- Maret 2013
Kentang Harga Petani Kentang Harga Pengecer Tomat Harga Petani Tomat Harga Pengecer Kubis Harga Petani Kubis Harga Pengecer Wortel Harga Petani Wortel Harga Pengecer
Gambar 1 Fluktuasi harga sayuran di tingkat petani dan pedagang pengecer di pasar Pangalengan Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat, 2013
Salah satu fenomena yang sering terjadi pada komoditas sayuran adalah fluktuasi harga yang memicu pada ketidakefisienan pasar jika perubahan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak disampaikan dengan baik ke tingkat petani. Berdasarkan Gambar 1, kenaikan atau penurunan harga sayuran yang terjadi di tingkat pedagang pengecer, tidak selalu diikuti oleh kenaikan atau penurunan harga yang terjadi di tingkat petani. Hal ini sering disebut dengan pasar yang tidak terintegrasi padahal integrasi pasar merupakan salah satu indikator efisiensi harga. Oleh karena itu, diperlukan analisis integrasi pasar sebagai bagian dari analisis efisiensi harga di lokasi penelitian. Pelaku pemasaran baik itu di pasar tradisional maupun pasar modern harus melakukan kegiatan pemasaran secara efisien supaya kualitas sayuran tetap terjaga dan memberikan keuntungan yang maksimal. Saluran pasar modern maupun tradisional memiliki tingkat efisiensi yang berbeda. Salah satu ukuran efisiensi adalah terintegrasinya hubungan antara harga di tingkat petani dan harga di tingkat pedagang eceran. Kenaikan harga di tingkat konsumen memiliki respon yang berbeda saat penurunan harga, terkadang lebih intensif namun juga terkadang terjadi sebaliknya (Aguiar dan Santana 2002). Walaupun efisiensi saluran pasar modern terbukti lebih baik dibanding saluran pasar tradisional
5
(Aparna dan Hanumanthaiah 2012), namun tingkat efisiensi dapat berbeda karena dipengaruhi juga oleh kondisi geografis wilayah dan karakteristik responden. Untuk itu, analisis efisiensi pemasaran di kedua saluran pemasaran menjadi salah satu bagian dari penelitian. Aktivitas pemasaran yang dilakukan lembaga pemasaran baik pasar modern maupun tradisional ditujukan untuk menciptakan nilai spesifik produk dengan melakukan berbagai fungsi pemasaran. Namun salah satu fungsi pemasaran yang seringkali tidak dilakukan oleh petani dalam saluran pasar tradisional adalah sortasi dan grading yang pada dasarnya dapat meningkatkan nilai tambah dari sayuran yang dihasilkannya. Aktivitas tersebut dinilai memerlukan biaya tambahan karena membutuhkan penanganan ekstra dan membutuhkan tenaga kerja. Oleh karena itu, sayuran yang dipasok ke pasar tradisional kualitasnya tercampur dan hanya dikenakan satu harga. Berbeda dengan saluran pasar modern yang menuntut dilakukannya fungsi pemasaran berupa sortasi dan grading. Walaupun jenis sayurannya sama, namun harga yang terbentuk akan bervariasi tergantung dengan grade yang dihasilkan sehingga dapat meningkatkan harga jual yang secara otomatis meningkatkan penerimaan produsen atau petani (Tambunan et al. 2004). Menyikapi perkembangan pasar modern, petani yang pada awalnya hanya berorientasi kepada pasar tradisional kini mulai terdorong untuk memenuhi permintaan di pasar modern karena menawarkan keuntungan lebih besar dibandingkan pasar tradisional. Hal ini juga dikarenakan konsumen pasar modern memiliki willingness to pay lebih tinggi dibandingkan pasar tradisional karena segmentasinya menengah ke atas. Hernandez et al. (2007) mengungkapkan bahwa petani merupakan bagian penting dalam saluran pasar modern. Namun, beberapa penelitian menunjukkankan bahwa petani sulit terlibat dalam saluran pasar modern khususnya petani skala kecil (Minot dan Roy 2007). Hal ini terkait dengan persyaratan memasuki pasar modern untuk komoditas sayuran diantaranya adalah kualitas, kuantitas, kemasan, keamanan pangan, dan keberlanjutan pengiriman. Dampak hadirnya pasar modern yang secara spesifik dicirikan oleh hadirnya saluran pasar modern, baik itu terhadap petani maupun terhadap perekonomian, tidak dapat disamakan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi lokal baik geografis maupun karakteristik petani suatu daerah, begitu juga dengan Pangalengan. Walaupun berperan sebagai daerah sentra produksi sayuran, namun dampak hadirnya saluran pasar modern dengan sistem kontrak perlu dilakukan lebih lanjut. Dampak saluran pasar modern terhadap petani dan saluran pasar tradisional pada penelitian ini dapat dianalisis setelah mengetahui secara komprehensif aktivitas pemasaran yang terjadi baik di saluran pasar tradisional maupun modern. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan tersebut, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah aktivitas pemasaran komoditas sayuran di Pangalengan? 2. Apakah saluran pasar modern lebih efisien dibandingkan dengan saluran pasar tradisional pada komoditas sayuran di Pangalengan? 3. Bagaimanakah dampak saluran pasar modern terhadap petani dan saluran pasar tradisional?
6
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diungkapkan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini antara lain untuk: 1. Menganalisis aktivitas pemasaran komoditas sayuran di Pangalengan. 2. Menganalisis efisiensi saluran pasar modern dan tradisional komoditas sayuran di Pangalengan. 3. Menganalisis dampak saluran pasar modern terhadap petani dan saluran pasar tradisional. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi terciptanya sistem pemasaran komoditas sayuran yang baik sebagai salah satu subsistem agribisnis yang terintegrasi khususnya di Pangalengan sebagai daerah penelitian. Penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi acuan bagi lembaga pemasaran komoditas hortikultura dalam memasuki pasar modern sebagai salah satu jaringan pemasaran dengan tetap menjaga kualitas produk yang dihasilkan melalui aktivitas pemasaran yang tepat. Adapun bagi perguruan tinggi, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan pengetahuan terkait pemasaran sayuran sehingga dapat juga dijadikan sebagai bahan penelitian lanjutan. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini terbatas pada sentra sayuran di Kabupaten Bandung yaitu Kecamatan Pangalengan, dengan asumsi sudah mewakili daerah sentra produksi sayuran yang lainnya di Indonesia. Desa yang dipilih adalah Margamukti, Margamekar, dan Pangalengan dengan alasan ketiga desa tersebut merupakan penghasil komoditas sayuran Kubis, Kentang, Wortel dan Tomat dengan produksi paling tinggi. Pemilihan komoditas tersebut berdasarkan studi pendahuluan kepada beberapa ketua kelompok tani di Pangalengan dan data sekunder dari Direktorat Jenderal Hortikultura Jawa Barat terkait komoditas sayuran potensial untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor khususnya ke Singapura. Pasar modern yang dipilih adalah pasar ekspor dan food service industry yaitu restoran.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pemasaran Sayuran di Indonesia Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang penting bagi perekonomian Indonesia. Sayuran memiliki karakteristik yang mudah rusak sehingga lembaga pemasaran yang terlibat di dalamnya dituntut untuk melakukan aktivitas pemasaran yang tepat sehingga kualitas sayuran tetap terjaga. Adapun lembaga pemasaran sayuran terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer (Silitonga 1999; Permana 2004), serta eksportir dan konsumen institusi untuk pasar modern (Setiawan 2009).
7
Analisis pemasaran sayuran telah banyak dilakukan oleh peneliti baik di Indonesia maupun luar negeri. Sayuran tersebut diantaranya wortel, kentang, kubis (Silitonga 1999; Ma’mun 1985; Setiawan 2009). Pada dasarnya saluran pemasaran sayuran yang terjadi memiliki kemiripan satu sama lain dimana melibatkan lembaga pemasaran yang hampir sama. Secara khusus, saluran pemasaran sayuran di Jawa Barat bermuara kepada konsumen luar negeri dan konsumen domestik yang bergerak dari desa menuju ke daerah perkotaan (Ferrari 1994). Produk yang mudah rusak (perisable) seperti sayuran, dalam pemasarannya biasanya hanya melewati sedikit perantara dibandingkan produk yang tahan lama akan tetapi pada komoditas sayuran karena produksinya tersebar, perantara kemungkinan lebih panjang karena membutuhkan kegiatan pengumpulan. Hal ini terjadi terutama pada petani yang mengusahakan sayuran dalam skala kecil dan menghasilkan sayuran dengan volume sedikit sehingga memilih pedagang pengumpul dalam memasarkan sayurannya. Walaupun demikian, waktu yang dibutuhkan untuk melewati perantara tersebut relatif singkat yaitu hanya satu atau paling lama dua hari (Ferrari 1994). Adapun saluran pemasaran sayuran di Jawa Barat menurut Ferrari (1994) dapat dilihat pada Gambar 2.
Farmer Village
Collecting Point
Customer (Village market)
Field Trader Customer (Local market) Assembly Trader
Small Town
Wholesaler Broker
Subwholesaler Urban Centre
Ritel Market Riteler
Institutional Buyer
Consumer Export
Gambar 2 Saluran pemasaran sayuran di Jawa Barat Sumber: Ferrari (1994)
8
Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa saluran pasar sayuran di Jawa Barat terdiri dari pasar modern yaitu pasar internasional untuk memenuhi ekspor dan perusahaan institusi. Adapun pasar tradisional umumnya dipasarkan melalui pedagang pengecer. Pasar modern umumnya memasok sayuran dari pedagang besar (wholesaler) dan tidak langsung dari petani. Berdasarkan penelitian terdahulu di beberapa Negara berkembang, sedikit sekali petani yang mampu mengakses saluran tersebut secara langsung, terutama petani kecil. Hal ini disebabkan adanya persyaratan volume produksi yang harus berkelanjutan dan kualitas yang harus konsisten. Oleh karena itu, saluran pasar modern membentuk saluran tersendiri dengan melibatkan lembaga pemasaran yang berbeda dengan saluran pasar tradisional. Segala persyaratan yang harus dipenuhi di pasar modern menjadikan petani lebih memperhatikan kualitas sayuran bahkan sejak tahapan budidaya (Huang dan Reardon 2008). Lingkup Pasar Modern Pasar sering didefinisikan sebagai tempat atau lokasi terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli yang membentuk harga tertentu. Dahl dan Hammond (1977), pakar ekonomi memberikan pengertian ruang lingkup pasar menjadi empat hal yaitu: 1). Kekuatan dari permintaan dan penawaran yang bekerja; 2). Harga dan modifikasinya adalah penentu; 3). Pengalihan hak milik dari sejumlah barang atau jasa; 4). Mengandung pengertian fisik dan kelembagaan yang terlibat. Pasar secara ekonomi diartikan sebagai ruang atau dimensi dimana kekuatan penawaran dan permintaan bekerja untuk menentukan atau mengubah harga. Istilah pasar modern dalam penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian terdahulu. Sebagian besar penelitian membatasi pasar modern pada retail modern seperti Hernandez et al. (2012) untuk komoditas jambu merah (guava) yang dipasarkan ke pasar modern berupa supermarket dan Cadilhon et al. (2006) untuk komoditas sayuran yang dipasarkan ke pasar modern berupa supermarket, hypermarket, dan department store. Adapun penelitian ini mengacu kepada konsep yang diungkapkan oleh Minot dan Roy (2007) dimana saluran pemasaran modern tidak hanya mencakup retail modern saja tetapi juga perusahaan pengolah makanan (food processing), food service industry seperti restoran, dan ekspor. Oleh karena itu, karena restoran dan ekspor merupakan salah satu bagian dari pasar modern, maka digunakan istilah saluran pasar modern untuk dijadikan komparasi dengan saluran pasar tradisional. Efisiensi Saluran Pasar Modern dan Tradisional Efisiensi pemasaran merupakan ukuran yang digunakan oleh banyak pakar dan peneliti pemasaran dalam menganalisis saluran pemasaran suatu produk. Faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi pemasaran suatu produk diantaranya adalah jarak antara produsen (petani) kepada konsumen, ukuran pasar atau jumlah komoditi yang diperdagangkan, persentase produk di pasar, luas areal panen, dan jumlah penduduk (Silitonga 1999). Adapun efisiensi pemasaran sayuran di Indonesia berdasarkan penelitian terdahulu dibedakan menjadi dua yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Pengukuran efisiensi operasional adalah marjin pemasaran dan farmer share (Silitonga 1999) sedangkan ukuran efisiensi harga yang sering digunakan adalah analisis integrasi pasar yang dapat melihat apakah
9
kenaikan atau penurunan harga di tingkat konsumen (ritel) dapat diteruskan dengan baik kepada petani sebagai produsen (Irawan 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Silitonga (1999) marjin pemasaran sayuran merupakan perbedaan harga pada masing-masing tingkat pasar yang terdiri dari biaya dan keuntungan pemasaran (marketing cost and marketing profit). Konsep pengukuran dilakukan berdasarkan perbedaan harga beli dan harga jual dalam rupiah per kilogram. Tingkat harga beli dan harga jual tersebut dihitung berdasarkan rata-rata pembelian atau penjualan per kilogram. Adapun farmer share digunakan untuk mengetahui bagian harga di tingkat konsumen yang diterima oleh petani dalam bentuk persentase. Irawan (2007) mengungkapkan bahwa besarnya marjin pemasaran umumnya merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mendeteksi terjadinya inefisiensi pemasaran yang disebabkan oleh kekuatan pasar yang tidak sempurna. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa marjin pemasaran yang tinggi tidak selalu mencerminkan adanya kekuatan monopsoni yang secara teoritis ditunjukkan oleh adanya keuntungan pedagang yang berlebihan (non zero profit). Hal ini karena besarnya marjin pemasaran tersebut pada dasarnya merupakan total biaya pemasaran yang meliputi biaya operasional pemasaran yang dikeluarkan pedagang (biaya pengangkutan, penyimpanan, sortasi, grading) dan keuntungan pedagang. Adapun biaya operasional yang dikeluarkan pedagang dapat bervariasi tergantung pada sifat voluminous komoditas yang dipasarkan, risiko kerusakan dan penyusutan selama proses pemasaran, risiko modal pedagang, dan fungsi-fungsi pemasaran lain yang harus dilakukan dalam memenuhi preferensi konsumen. Dalam marjin pemasaran pun, jarak antara produsen dan konsumen biasanya memiliki pengaruh signifikan karena berpengaruh terhadap biaya sewa alat angkutan, pengepakan, dan tingkat kerusakan selama proses pemasaran. Oleh karena itu, diperlukan ukuran efisiensi lain yang pada penelitian ini menggunakan farmer’s share dan integrasi pasar. Terkait dengan perbandingan efisiensi di saluran pasar tradisional dan modern, Cadilhon et al. (2006) mengungkapkan hasil temuannya berdasarkan penelitian tentang komparasi pasar tradisional dan modern pada komoditas sayuran di Vietnam. Saluran pasar modern yang memfokuskan secara eksklusif terhadap kualitas, terbukti lebih efisien dibandingkan saluran pasar tradisional. Namun, saluran pasar modern tersebut hanya mencakup 2 persen dari total keseluruhan pemasaran sayuran. Integrasi Pasar Komoditas Agribisnis Pasar yang mendekati persaingan sempurna merupakan pasar yang efisien dimana pedagang akan meneruskan setiap kenaikan harga di tingkat konsumen dengan besaran yang relatif sama kepada petani, dengan kata lain kenaikan harga di tingkat konsumen relatif sama besar dengan kenaikan harga di tingkat petani. Tetapi pada pasar dengan kekuatan monopsoni atau oligopsoni, kenaikan harga di tingkat petani akan lebih kecil dibanding kenaikan harga di tingkat konsumen akibat perilaku pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungannya dengan memberikan informasi harga yang tidak sempurna untuk menekan harga beli dari petani (Irawan 2007). Kondisi ini sering terjadi pada pemasaran komoditas agribisnis termasuk sayuran dimana petani umumnya menghadapi kondisi pasar dengan beberapa pedagang dan informasi yang dimilikinya tidak sempurna.
10
Penelitian terkait integrasi pasar telah banyak dilakukan pada komoditas agribisnis seperti kentang (Adiyoga et al. 2006), Jagung (Asmarantaka 1985), kentang dan kubis (Ma’mun 1985), dan komoditas agribisnis lainnya. Rezitl et al. (2008) menungkapkan bahwa integrasi pasar vertikal merupakan hubungan antara harga komoditas tertentu pada berbagai level di sepanjang rantai pasok. Seberapa cepat sebuah shock disampaikan antara produsen ke konsumen serta besaran penyesuaian yang terjadi sangat tergantung dari sifat produk. Produk yang bersifat perishable dan tidak banyak membutuhkan proses pengolahan cenderung disampaikan dengan cepat ketika perubahan harga terjadi. Sebaliknya produk yang membutuhkan proses pengolahan yang lebih panjang atau tindakan pascapanen tertentu serta relatif tidak mudah rusak akan memiliki mekanisme transmisi yang lebih lambat. Hal tersebut dibuktikan oleh studi empiris yang dilakukan oleh Bakucs dan Ferto (2008) yang menyebutkan bahwa produk susu yang sebenarnya perisable, namun dengan proses pengolahan yang dilakukan mengakibatkan tidak terjadinya integrasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal tersebut terjadi karena processor dan pengecer dapat menunda atau menahan proses penyampaian harga dari konsumen ke produsen sehingga mengurangi efisiensi pemasaran pada sektor tersebut (Bakucs and Ferto 2008). Aguiar dan Santana (2002) berdasarkan penelitian yang dilakukannya di Brazil, juga mengungkapkan bahwa baik daya simpan produk maupun konsentasi pasar bukanlah menjadi faktor yang menentukan tidak terjadinya transmisi harga atau integrasi pasar. Adiyoga et al. (2006) mengungkapkan hasil penelitiannya yang menggunakan data serial harga harian, mingguan dan bulanan yang mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi dengan baik. Kointegrasi merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi (harga). Hubungan jangka panjang tersebut mengandung arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Pasar kentang yang terintegrasi tersebut membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Pada akhirnya hal tersebut akan mengarah pada penggunaan sumber daya yang lebih efisien. Analisis keterpaduan pasar sayuran di Jawa Barat juga pernah dilakukan sebelumnya oleh Permana (2004). Penelitian tersebut mengukur keterpaduan pasar Ciwidey dengan pasar Caringin. Hasil analisis menunjukkan adanya keterpaduan pasar namun dinyatakan bahwa petani kurang dapat mengakses informasi pasar sehingga persaingan menjadi tidak sempurna. Terdapat ketidaksesuaian dalam hal tersebut karena keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi pasar yang memadai. Dengan demikian, berdasarkan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa komoditas pertanian khususnya sayuran, merupakan produk yang dapat diukur integrasi pasarnya baik secara vertikal antar lembaga pemasaran maupun secara horizontal antara pasar yang satu dan pasar yang lainnya. Integrasi pasar sebagai salah satu indikator efisiensi harga perlu dilakukan sehingga dapat diketahui bagaimana informasi pasar berjalan diantara lembaga pemasaran dan bagaimana struktur pasar yang terbentuk.
11
Dampak Saluran Pasar Modern terhadap Petani dan Saluran Pasar Tradisional Perkembangan ritel modern seperti supermarket dan hypermarket yang pesat di Negara berkembang mendorong beberapa peneliti untuk mengkaji lebih jauh konsekuensinya bagi petani dan konsumen serta eksistensi pasar tradisional. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di dalam negeri, yang dicirikan dengan berkembangnya ritel modern seperti swalayan atau hypermarket di kota-kota besar tersebut memberikan peluang dan tantangan tersendiri karena menuntut kualitas produk pada tingkat tertentu yang lebih baik. Perkembangan pasar-pasar swalayan yang pesat tersebut perlu disikapi pula dengan penyediaan produk yang bermutu. Selain ritel modern, permintaan yang berasal dari konsumen dalam negeri juga mendorong produsen sayuran untuk memenuhi pangsa pasar yang diminta. Pasar modern dalam hal ini eksportir, perusahaan pengolah makanan, restoran, dan supermarket menjual sayuran dengan harga yang lebih tinggi daripada pasar tradisional, sehingga tidak kompetitif atas komponen harga. Namun, penawaran kualitas yang lebih tinggi menargetkan segmen konsumen yang berbeda. Dengan menawarkan produk-produk segar berkualitas tinggi dan sering dengan jaminan keamanan pangan, pasar modern seperti ritel modern melayani terutama untuk konsumen berpenghasilan menengah dan atas. Hal ini juga tercermin dari jam buka dan fitur lain dari toko-toko ritel modern yang lebih disesuaikan dengan gaya hidup modern. Bahkan setelah mengendalikan perbedaan kualitas produk, harga sayuran tetap secara signifikan lebih tinggi di gerai ritel modern daripada di pasar tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggan menghargai suasana belanja modern dan kenyamanan yang ditawarkan oleh supermarket. Melalui hasil penelitian tersebut, perluasan yang cepat dari pasar dengan sistem kontrak berkaitan erat dengan pertumbuhan kualitas produk dan segmentasi pasar dibanding kompetisi langsung dengan pasar tradisional. Hal tersebut terlihat baik karena konsumen berpenghasilan rendah masih merupakan kelompok yang cukup besar dari pelanggan di Thailand dan negara-negara berkembang lainnya. Namun ini adalah perspektif yang keliru karena ada dua alasan penting. Pertama, dari waktu ke waktu sektor ritel modern kemungkinan akan beradaptasi dengan kebutuhan konsumen dan melalui pemanfaatan skala ekonomi, peritel modern akan dapat menurunkan harga dan semakin menarik pelanggan berpenghasilan rendah. Dengan demikian, segmen pasar tradisional dan modern secara bertahap akan bertemu. Akhirnya, sampai batas waktu tertentu, hipermarket akan menawarkan sayuran kualitas agak rendah dan dengan harga yang lebih rendah dari supermarket. Alasan kedua adalah pertumbuhan ekonomi dan era globalisasi yang menunjukkan kecenderungan peningkatan pendapatan rumah tangga, akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan informasi, serta preferensi konsumen yang berubah dengan cepat kepada produk yang bernilai tinggi (high value products). Oleh karena itu, ritel modern tumbuh lebih proporsional dengan pembangunan ekonomi dan mengorbankan sektor ritel tradisional. Hal tersebut tentunya memiliki dampak sosial yang mendalam karena pasar tradisional masih menjadi outlet utama untuk produk segar dari petani kecil (Schipmann dan Qaim 2011).
12
Pada dasarnya petani kecil juga dapat mengakses ritel modern, seperti yang diungkapkan oleh Minot dan Roy (2007). Setidaknya ada lima faktor penting yang harus diperhatikan saat petani akan memasok sayuran kepada eksportir, supermarket, perusahaan pengolah, dan perusahaan layanan makanan berskala besar, yaitu: 1. Biaya produksi dari petani skala kecil terhadap petani skala besar. Jelas sekali bahwa petani kecil tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi ketika ada perbedaan signifikan terkait skala produksi karena petani skala besar berproduksi pada biaya yang lebih rendah. Namun untuk komoditas seperti sayuran, harga dapat diusahakan dengan kompetitif oleh petani kecil karena memiliki pekerja keluarga dengan tingkat upah yang secara implisit lebih rendah dan lebih intensif dibanding pekerja upahan. 2. Biaya pemasaran dari petani skala kecil terhadap petani skala besar. Eksportir, supermarket, perusahaan pengolah, dan perusahaan layanan makanan berskala besar membutuhkan pasokan dengan volume yang besar. Posisi petani kecil tidak menguntungkan bahkan jika biaya produksi lebih rendah. 3. Struktur agraria akan mepengaruhi sejauh mana petani kecil mampu berpartisipasi dalam rantai pasokan modern. Jika dibutuhkan pasokan yang besar sementara petani besar hanya sedikit, maka ritel modern terpaksa mendapat pasokan dari petani kecil. Namun jika populasi petani kecil sedikit dan pasokan relatif kecil, ritel modern hanya akan bekerja sama dengan petani besar. 4. Sifat permintaan konsumen. Ketika kualitas dan keamanan pangan menjadi standar yang ketat dari konsumen, maka hanya petani besar yang dapat memenuhi hal tersebut. Petani besar yang berorientasi ekspor bahkan melakukan integrasi vertikal sehingga biaya bisa lebih efisien dan keuntungan lebih maksimal 5. Lembaga pemasaran yang menghubungkan petani dan pembeli. Koordinasi antara banyak petani skala kecil untuk mencapai agregat pasokan yang besar merupakan salah satu strategi memasuku ritel modern. Petani kecil memang sulit memasuki pasar modern dan lebih tepat mengakses pasar tradisional, namun tidak menutup kemungkinan berpartisipasi dalam saluran pasar modern. Schipmann dan Qaim (2011) kemudian mengusulkan strategi ganda untuk mengurangi konsekuensi sosial yang tidak diinginkan. Pertama, pasar tradisional juga perlu untuk lebih beradaptasi dengan perubahan preferensi konsumen. Langkah-langkah penting ke arah ini termasuk meningkatkan daya tarik keseluruhan pasar tradisional adalah menawarkan produk berkualitas tinggi. Aspek-aspek tertentu, seperti menyesuaikan jam buka pasar atau kemasan sayuran dapat diimplementasikan dalam jangka pendek. Hal lain yang perlu penyesuaian lebih mendalam adalah dalam struktur rantai pasokan dan infrastruktur fisik yang tentunya memerlukan dukungan pemerintah. Strategi kedua adalah meniadakan kesempatan yang ditawarkan oleh ekspansi pasar ritel modern. Pertumbuhan tren yang diamati di Thailand dan negara-negara berkembang lainnya menunjukkan bahwa supermarket tidak hanya fenomena sementara. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah untuk petani kecil dengan hubungan jaringan yang lebih baik dengan pedagang dan aktor-aktor lain di pasar tradisional tersebut dengan memunculkan rantai nilai yang tinggi.
13
Petani yang dapat mengakses saluran pasar modern pada umumnya terkena dampak positif yaitu mendapatkan harga yang tinggi terutama karena berupaya memenuhi persyaratan kualitas produk sayuran dengan menjalankan fungsi pemasaran. Selain itu, manfaat positif lainnya yang didapat petani adalah kemudahan mengakses pasar ekspor yang memberikan keuntungan lebih besar (Punjabi dan Sardana 2007). Adapun Cadilhon et al. (2006) menungkapkan dampak positif dan negatif dari meningkatnya partisipasi petani dalam saluran pasar modern. Dampak positifnya antara lain meningkatnya lapangan kerja, perbaikan kualitas produk, terciptanya harga yang kompetitif, dan berkembangnya usaha agribisnis untuk memasok saluran pasar modern yang berorientasi ekspor. Dampak negatifnya antara lain diperlukan investasi yang tinggi dalam teknik budidaya yang berpotensi meniadakan keterlibatan petani khususnya petani kecil dalam saluran pasar modern. Hasil penelitian terkait dampak saluran pasar modern terhadap petani sayuran dilakukan juga oleh Conception dan Digal (2007) di Filipina. Hasil penelitian menyebutkan bahwa meningkatnya populasi dan berubahnya gaya hidup masyarakat perkotaan menciptakan peluang terciptanya saluran pasar modern. Namun supermarket sebagai salah satu ritel modern memiliki standar kualitas dan kuantitas yang harus dipenuhi sehingga petani kecil mengalami kesulitan untuk terlibat karena membutuhkan investasi yang cukup besar dalam memproduksi sayuran berkualitas. Supaya petani dapat terlibat, petani harus bertindak sebagai satu kesatuan yang terorganisasi di mana organisasi tersebut harus mampu beradaptasi dengan perubahan pasar. Untuk mampu menanggapi perubahan pasar dengan baik dibutuhkan adanya kompetisi manajerial dan kepemimpinan yang juga baik. Keterlibatan petani dalam organisasi diharapkan mampu mengubah posisi petani dalam penentuan harga dan lebih mendorong petani untuk terlibat aktif dalam saluran pasar modern yang memberikan pendapatan lebih tinggi kepada petani. Dengan demikian, peran kelembagaan dalam saluran pasar modern juga penting untuk meningkatkan peran serta petani terutama yang berskala kecil. Suryadarma et al. (2008) mengungkapkan dampak kehadiran pasar modern terhadap penurunan kinerja pedagang pasar tradisional secara keseluruhan. Hal tersebut dilihat melalui indikator kinerja pasar tradisional, seperti keuntungan, omzet, dan jumlah pegawai. Di antara ketiga indikator kinerja tersebut, supermarket secara statistik hanya berdampak pada berkurangnya jumlah pegawai yang dipekerjakan oleh pedagang pasar tradisional. Langkah utama yang dapat ditempuh adalah perbaikan infrastruktur pasar tradisional, pengorganisasian para pedagang kaki lima (PKL), dan pelaksanaan pengelolaan pasar yang lebih baik. Kebersihan, keamanan, lahan parkir yang luas, dan fasilitas umum yang memadai dapat mendorong pasar tradisional yang kompetitif mampu bersaing dengan pasar modern. Berdasarkan penelitian terdahulu, analisis dampak pasar modern telah banyak dilakukan baik itu terhadap perekonomian, petani, pasar tradisional,dan lapangan pekerjaan. Namun analisis yang juga penting dilakukan adalah dampak saluran pasar modern terhadap saluran pasar tradisional. Dampak tersebut tentu saja melingkupi pembahasan terkait fungsi pemasaran, marjin pemasaran, volume pemasaran, dan aktivitas-aktivitas pemasaran yang menyertainya.
14
3 KERANGKA PEMIKIRAN Pemasaran Produk Pertanian secara Makro Purcell (1979) menekankan definisi pemasaran kepada adanya koordinasi dan proses atau sistem yang menjembatani atau menghubungkan gap antara apa yang diproduksi produsen dengan apa yang diinginkan konsumen. Definisi ini lebih menekankan kepada apa yang terjadi dan bagaimana produk pertanian setelah lepas dari tangan produsen atau farm gate. Hal yang hampir senada diungkapkan oleh Kohl dan Uhls (2002) yang mendefinisikan pemasaran sebagai keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran produk-produk atau jasa-jasa dimulai dari tingkat produksi pertanian sampai pada konsumen akhir. Dahl dan Hammond (1977) juga menekankan pengertian pemasaran kepada serangkaian fungsi yang diperlukan dalam penanganan atau pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer sampai dengan konsumen akhir. Fungsi tersebut mencakup fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungus fisik (pengolahan, pengangkutan, penyimpanan), dan fungsi fasilitas (pembiayaan, risiko, standarisasi, dan intelegen pemasaran). Fungsi-fungsi tersebut merupakan kegiatan produktif yang meningkatkan nilai guna baik tempat, waktu, maupun kepemilikan yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh kelompok perusahaan atau individu yang disebut sebagai lembaga pemasaran. Dahl dan Hammond (1977) memperluas analisis pemasaran produk pertanian kedalam empat segmen yaitu segmen sarana produksi pertanian (farm inpur industries), segmen aktivitas usahatani (on farm), segmen pemasaran produk pertanian yang meliputi lembaga pemasaran, serta segmen kebijakan atau fasilitas dari pemerintah. Schaffner et al. (1998) mengungkapkan bahwa pemasaran dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu makro dan mikro. Perspektif makro yang diungkapkan sama seperti definisi sebelumnya yang dikemukakan oleh Purcell (1979) dan Kohl dan Uhls (2002), yaitu menganalisis sistem pemasaran setelah dari petani yaitu fungsi-fungsi pemasaran atau aktivitas yang diperlukan untuk menyampaikan produk atau jasa yang berhubungan dengan nilai guna waktu, bentuk, tempat, dan kepemilikan kepada konsumen dan kelembagaan atau perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam sistem pemasaran tersebut seperti pengolah, distributor, broker, agen, grosir dan pedagang eceran. Adapun perspektif mikro pemasaran merupakan aspek manajemen dimana perusahaan secara individu pada setiap tahapan pemasaran dalam mencari keuntungan melalui pengelolaan bahan baku, produksi, penetapan harga, distribusi dan promosi yang efektif terhadap produk perusahaan yang akan dipasarkan. Baik perspektif makro maupun mikro, memiliki tujuan akhir yang sama yaitu untuk mencapai kepuasan konsumen. Adapun dalam penelitian ini, pemasaran yang dimaksud adalah dalam perspektif makro yang lebih spesifik mengacu pada pemasaran produk pertanian (marketing of agricultural products) khususnya terhadap komoditas hortikultura yaitu sayuran. Analisis pemasaran dalam konsep makro dapat dijelaskan oleh pendekatan Structure, Conduct, dan Performance (SCP) dan pendekatan Chicago School (Gonarsyah 1996).
15
Pendekatan Chicago school biasanya bersifat agregasi yang lebih menekankan pada kuantitatif seperti melihat peranan pemerintah dalam penentuan harga. Adapun pendekatan SCP lebih kepada kajian empiris yang menekankan pada aspek deskriptif yang membahas aspek kelembagaan secara mendalam dan lebih menekankan pada pembentukan harga (price discovery) serta menjelaskan tindakan institusi yang memiliki kekuatan pasar. Adapun pada penelitian ini lebih mengacu kepada pendekatan SCP namun tidak secara keseluruhan tercakup pembahasannya karena juga menekankan kepada bagaimana pengaruh pasar modern terhadap petani dan saluran pemasaran tradisional yang sudah ada. Konsep Saluran Pemasaran Saluran pemasaran (marketing channel) adalah sebuah sistem yang dirancang untuk memindahkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen, termasuk orang dan organisasi yang didukung oleh berbagai fasilitas, peralatan, dan sumberdaya informasi (Bovee and Thill 1992). Saluran pemasaran dikatakan juga sebagai suatu jaringan dari semua pihak yang terlibat dalam mengalirnya produk atau jasa dari produsen kepada konsumen atau konsumen bisnis (Levens 2010). Adapun Kotler-Keller (2009) mendefinisikan saluran pemasaran merupakan sekumpulan organisasi yang saling terkait yang terlibat dalam proses membuat produk atau jasa yang tersedia untuk digunakan atau dikonsumsi. Saluran distribusi diartikan juga sebagai sekumpulan organisasi yang saling bergantung yang terlibat dalam proses yang membuat produk atau jasa siap digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen atau pengguna bisnis (KotlerArmstrong 2010). Berdasarkan beberapa teori yang dijelaskan oleh berbagai sumber di atas, saluran pemasaran merupakan sebuah sistem jaringan yang terdiri dari orang atau organisasi yang terlibat dalam pengalihan kepemilikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Bovee and Thill (1992) menyatakan bahwa produsen membutuhkan saluran pemasaran untuk tiga alasan penting yaitu: (1) menjaga aspek transaksi dari pemasaran, termasuk penjualan, pembiayaan, dan pengambilan risiko yang dihubungkan dengan ketersediaan produk dalam mengantisipasi penjualan di masa yang akan datang; (2) melaksanakan fungsi logistik perpindahan produk dari produksi utama ke pembelian atau konsumsi utama; serta (3) membantu produsen mempromosikan barang dan jasa. Kotler-Armstrong (2010) menyatakan bahwa saluran pemasaran digunakan untuk tujuan efisiensi yang lebih besar dalam usaha menyediakan barang bagi pasar sasaran. Melalui kontak, pengalaman, spesialiasi, dan skala operasi, perantara biasanya menawarkan pencapaian yang lebih besar dibandingkan pencapaian yang mampu diraih produsen jika melakukan sendiri. Dalam saluran distribusi, perantara membeli produk dalam jumlah besar dari berbagai produsen dan memecahnya ke dalam kuantitas yang lebih kecil serta dengan kombinasi barang yang lebih luas yang diinginkan konsumen. Oleh karena itu, perantara memainkan peran penting untuk menyesuaikan permintaan dan penawaran. Bovee and Thill (1992) mengungkapkan bahwa orang dan organisasi yang membantu dalam aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen dalam saluran pemasaran disebut perantara pemasaran (marketing intermediaries). Perantara pemasaran yang umumnya dikenal yaitu:
16
1. Middleman (perantara) yaitu seseorang atau organisasi yang membantu produsen memindahkan produk melalui saluran pemasaran. 2. Agen atau broker adalah perantara yang membantu pemasaran barang dan jasa tetapi tidak memiliki produk. Agen tidak seperti broker yang biasanya bekerja pada waktu yang lama untuk produsen. 3. Grosir (wholesaler) merupakan perantara yang membeli dari produsen dan menjual ke pengecer dan konsumen. 4. Pengecer (riteler) yaitu perantara yang menjual ke konsumen akhir, pengecer membeli barang dari grosir atau pada beberapa kasus membeli langsung dari produsen. 5. Distributor biasanya diterapkan dalam organisasi pemasaran untuk perantara yang melakukan fungsi yang sama baik grosir dan pengecer. 6. Pedagang (dealer) merupakan perantara yang menjual hanya kepada konsumen akhir, tidak kepada perantara-perantara lain. 7. Value-Added Reseller (VAR), perantara yang membeli bahan baku dari produsen, memberikan nilai tambah pada produk memodifikasi atau mengembangkan produk, kemudian menjual kembali produk tersebut kepada konsumen akhir. Perantara pemasaran juga dibagi kedalam dua kelompok umum, yaitu pedagang (merchants) yang merupakan perantara dengan mengambil kepemilikan fisik barang yang dijual kepada konsumen atau perantara lain dan perantara fungsional (functional intermediaries) yaitu perantara yang tidak mengambil kepemilikan barang yang dijual. Agen yang menfasilitasi yang membantu pemasaran dan proses distribusi tidak selalu lansung membantu aliran produk. Agen juga menambahkan keahlian atau fungsi pendukung seperti, finacial service, risk taking, transportation and storage. Konsep Efisiensi Pemasaran Efisiensi pemasaran dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk optimalisasi dari nisbah antara input dan output dimana suatu perbaikan tingkat efisiensi ditandai dengan perubahan yang dapat mengurangi biaya input dalam melakukan kegiatan pemasaran tanpa mengurangi kepuasan konsumen dari output berupa barang atau jasa. Istilah efisiensi pemasaran sering digunakan dalam menilai prestasi kerja (performance) proses pemasaran. Hal itu mencerminkan kesepakatan bahwa pelaksanaan proses pemasaran harus berlangsung secara efisien. Teknologi atau prosedur baru hanya boleh diterapkan jika dapat meningkatkan efisiensi proses pemasaran. Asmarantaka (2009) mengungkapkan bahwa efisiensi pemasaran dapat diukur dengan beberapa cara yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berkaitan dengan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio input dan output pemasaran. Adapun yang dimaksud dengan input pemasaran adalah sumberdaya seperti tenaga kerja, pengepakan, mesin, dan lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran. Adapun output pemasaran berhubungan dengan kepuasan konsumen. Dengan demikian, sumberdaya adalah biaya sedangkan kegunaan adalah manfaat dari rasio efisiensi pemasaran. Rasio efisiensi pemasaran juga dilihat melalui dua cara yaitu perubahan sistem pemasaran dengan mengurangi biaya pada fungsi-fungsi pemasaran tanpa mengubah manfaat konsumen dan meningkatkan kegunaan
17
output dari proses pemasaran tanpa meningkatkan biaya pemasaran. Ukuran efisiensi kedua yaitu efisiensi harga, adalah menekankan pada kemampuan sistem pemasaran yang sesuai dengan keinginan konsumen. Target efisiensi harga adalah efisiensi alokasi sumberdaya dan maksimisasi output. Efisiensi harga akan tercapai apabila pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran bersifat responsif terhadap harga. Adapun Schaffner et al. (1998) menjelaskan bahwa efisiensi pemasaran dapat dilihat secara makro maupun mikro. Dalam perspektif makro, efisiensi diukur secara keseluruhan yang terdiri dari dua dimensi yang berbeda yaitu efisiensi operasional yang mengukur produktivitas pelaksanaan jasa pemasaran serta efisiensi penetapan harga yang mengukur bagaimana harga pasar mencerminkan biaya produksi dan harga pemasaran secara memadai pada seluruh sistem pemasaran. Perspektif mikro menukur efisiensi secara manajerial atau individu melalui pengolahan bahan baku dan strategi pemasaran seperti segmenting, targeting, positioning, dan marketing mix (price, product, place, promotion) melalui supply chain management. Pasar yang efisien adalah pasar yang mendekati pasar persaingan sempurna. Oleh karena itu, konsep efisiensi pasar dapat dilihat dari efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional merupakan rasio antara sumberdaya yang dipergunakan dengan marketing output yang ditujukan untuk memenuhi kepuasan konsumen. Adapun yang dikatakan efisien adalah kondisi dimana biaya menurun tanpa menurunkan kepuasan konsumen, atau kondisi dimana kepuasan meningkat tanpa meningkatkan biaya, juga kondisi meningkatnya kepuasan konsumen dengan peningkatan biaya yang lebih rendah. Adapun ukuran efisiensi pemasaran yang digunakan pada penelitian ini adalah efisiensi operasional yang terdiri dari marjin pemasaran dan farmer’s share dan efisiensi harga berupa integrasi pasar. Marjin Pemasaran Tomek dan Robinson (1990) yang membagi marjin pemasaran ke dalam dua alternatif definisi yaitu: (1) perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen; dan (2) merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktifitas bisnis yang terjadi dalam pemasaran tersebut. Definisi pertama sama dengan definisi marjin pemasaran Dahl dan Hammond (1977) yaitu perbedaan harga di tingkat pengecer (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf). Harga eceran (retail price) merupakan hasil dari pertemuan antara penawaran turunan (derived supply) dengan permintaan primer (primary demand). Permintaan primer berasal dari konsumen akhir yang pada penelitian ini terdiri dari eksportir dan restoran untuk pasar modern, dan konsumen akhir yang membeli dari pedagang pengecer untuk pasar tradisional. Adapun harga petani merupakan hasil dari pertemuan antara penawaran primer (primary supply) dengan permintaan turunan (derived demand). Permintaan turunan berasal dari pedagang perantara (grosir atau eceran) dan perusahaan pengolah kepada petani sedangkan penawaran turunan berasal dari tingkat pedagang eceran. Konsep marjin pemasaran dapat dilihat pada Gambar 3.
18
Harga (P) Derived Supply (Sr) Primary Supply (Sf) Ritel (Pr)
Marjin Petani (Pf)
Primary Demand (Df)
Derived Demand (Dr) Q
Jumlah (Q)
Gambar 3 Basic market margins Sumber: Tomek and Robinson, 1990
Gambar 3 menunjukkan bahwa marjin pemasaran adalah selisih harga ritel dengan harga petani (Rr-Pf). Marjin pemasaran dikalikan dengan jumlah komoditas yang ditawarkan (Q) maka hasilnya disebut nilai marjin pemasaran yang terbagi menjadi dua komponen. Komponen pertama berupa pembayaran yang diberikan kepada faktor-faktor produksi yang dipergunakan dalam proses produksi seperti upah tenaga kerja, bunga, modal, sewa tanah, laba wirausaha, dan risiko modal yang kemudian disebut sebagai biaya pemasaran. Komponen kedua adalah pembayaran yang diberikan kepada pelaku yang terlibat dalam pemasaran seperti pedagang pengecer, pedagang pengumpul (assembler), dan pedagang perantara. Marjin pada setiap tingkat lembaga pemasaran dapat dihitung dengan jalan menghitung selisih antara harga jual dengan harga beli pada setiap tingkat lembaga pemasaran. Konsep kedua lebih bersifat ekonomi karena memberikan pengertian adanya nilai tambah (value added) dari adanya kegiatan pemasaran. Farmer’s Share Bagian harga yang diterima (farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima oleh petani dengan harga di tingkat konsumen yang dinyatakan dalam presentase. Analisis Integrasi Pasar Integrasi atau keterpaduan pasar merupakan suatu indikator dari efisiensi pemasaran khususnya efisiensi harga yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi pada pasar acuan akan menyebabkan perubahan harga di pasar pengikutnya. Integrasi pasar terjadi dari pasar di tingkat yang lebih tinggi seperti pedagang eceran ke pasar dengan tingkat yang lebih rendah contohnya tingkat petani (Asmarantaka 2009). Keterpaduan antara dua pasar terjadi jika perubahan harga dari satu pasar ditransfer ke pasar lain dengan cepat karena tersedianya informasi pasar. Hal ini
19
terjadi biasanya pada pasar yang strukturnya mendekati persaingan sempurna. Supaya keterpaduan pasar ini terjadi, maka setiap lembaga yang terlibat baik dalam pasar acuan maupun dalam pasar pengikut, harus memiliki informasi yang sama. Adapun ukuran yang digunakan untuk menganalisis integrasi pasar ada tiga yaitu pendekatan dengan metode korelasi (r), pendekatan dengan regresi sederhana (OLS), dan pendekatan hubungan autoregressive distribute lag antara pasar acuan dengan pasar pengikut (Ravallion 1986). Ukuran integrasi pasar yang pertama dan kedua dilakukan pada analisis harga di tingkat pasar yang satu dengan yang lainnya pada saat yang bersamaan (concurrent method). Adapun ukuran ketiga, data yang dipakai adalah the time lag method dengan persamaan yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) yaitu: Pit = (1+b1) Pit-1 + b2 (Pt – Pt-1) + (b3-b1) Pt-1 + b4X Dimana: Pit : Harga di pasar lokal (i) waktu t Pt : Harga di pasar acuan waktu t Pit-1 : Harga di pasar lokal (i) waktu t-1 Pt-1 : Harga di pasar acuan waktu t-1 X : Faktor musim dan faktor lain : Koefisien lag harga di tingkat pasar ke-1 (lokal) pada waktu t-1 (1+b1) b2 : Koefisien perubahan harga di pasar (acuan) pada t (Pt) dan t-1 (Pt-1) (b3-b1) : Koefisien lag harga di tingkat pasar (acuan) pada waktu t-1 IMC (Index of Market Connection) atau indeks hubungan pasar merupakan perbandingan antara koefisien pasar lokal pada periode sebelumnya dengan koefisien pasar acuan pada periode sebelumnya. Apabila terjadi keterpaduan pasar dalam jangka pendek, b1 = -1 dan IMC=0; jika pasar terpisah atau tidak terpadu dalam jangka pendek, b1 dan b3 bernilai sama dan IMC=∞. Pada dasarnya, nilai IMC yang mendekati nol menunjukkan derajat integrasi pasar yang tinggi dan dalam keterpaduan jangka panjang nilai b2 mendekati 1. Jika batasan ini diterima, maka terjadi keseimbangan dalam proses penyesuaian harga jangka pendek dimana kenaikan harga di pasar acuan akan diteruskan secara sempurna ke pasar lokal. Dengan kata lain, jika terjadi integrasi pada jangka pendek maka dalam jangka panjang pun akan terjadi integrasi, namun tidak berlaku kebalikannya. Kerangka Pemikiran Operasional Indonesia tidak hanya memiliki keunggulan kompetitif dalam hal tenaga kerja tetapi juga memiliki keunggulan komparatif dalam hal tanah, iklim, dan kondisi geografis yang menguntungkan dalam memasuki pasar hortikultura di Asia Tenggara ataupun dunia. Namun hal tersebut belum mampu menjadikan Indonesia dengan mudah mengekspor produk hortikultura dan memenuhi permintaan pasar ASEAN khususnya Singapura dan pasar regional lainya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kualitas produk yang belum memenuhi standar yang diinginkan pasar. Supaya produk hortikultura Indonesia dapat bersaing lebih efektif di pasar regional dan internasional, petani, eksportir, dan pelaku pemasaran yang terlibat harus lebih memahami pasar, bagaimana mengakses pasar, dan menerapkan manajemen ekspor yang efektif salah satunya
20
dengan melakukan sistem pemasaran yang efisien. Hal ini penting dilakukan mengingat produk hortikultura salah satunya sayuran, merupakan produk yang mudah rusak (perishable), memerlukan banyak tempat karena sifat fisiknya yang kaku (bulky), dan memerlukan ruang yang besar (voluminous) sehingga memerlukan penanganan pemasaran yang baik untuk menjaga kualitasnya. Petani sebagai produsen dan juga lembaga pemasaran yang berperan penting dalam terlaksananya ekspor produk hortikultura khususnya sayuran, dituntut untuk melaksanakan tidak hanya good agricultural proceses (GAP) tetapi juga aktivitas pemasaran yang efisien. Jika produk yang berkualitas dapat diciptakan dan diiringi dengan pemasaran yang baik, maka terdapat tiga pilihan pemasaran yang menjanjikan untuk produk hortikultura khususnya sayuran di Indonesia. Pertama, memenuhi permintaan ekspor, kedua mengganti impor sayuran dengan produksi dalam negeri, dan ketiga memenuhi permintaan high end lokal market seperti supermarket dan food service industry. Pilihan pertama dan ketiga merupakan bentuk pasar modern yang seiring dengan berkembangnya pendidikan dan pendapatan masyarakat, meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan pasar modern yang cepat memberikan peluang bagi produsen pertanian untuk memasuki pasar tersebut, termasuk petani sayuran. Dengan segala persyaratan yang ditentukan oleh pasar modern, kemudian muncul pertanyaan terkait dampak saluran pasar modern terhadap aktivitas pemasaran petani dan terhadap saluran pemasaran tradisional. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa saluran pasar modern terbukti lebih efisien dan lebih menguntungkan petani dibandingkan saluran pasar tradisional (Cadilhon et al. 2006; Aparna dan Hanumanthaiah 2012). Namun hal tersebut tidak bisa dijadikan kesimpulan di Indonesia yang kondisi geografis dan demografisnya berbeda. Oleh karena itu, diperlukan kajian secara khusus terhadap dampak saluran pasar modern komoditas hortikultura di Indonesia. Salah satu sentra produksi komoditas hortikultura terutama sayuran yang ada di Indonesia adalah Jawa Barat. Komoditas yang juga berkontribusi cukup besar terhadap produksi sayuran nasional adalah kubis, kentang, tomat, dan wortel. Penghasil sayuran tersebut salah satunya adalah Kecamatan Pangalengan. Jawa Barat juga merupakan daerah yang ditargetkan dapat berkontribusi dalam pemenuhan pangsa pasar ekspor sayuran khususnya ke Singapura berdasarkan pedoman akselerasi peningkatan ekspor hortikultura ke Singapura. Hal ini berimplikasi terhadap produk sayuran yang kuantitasnya harus kontinyu dan kualitas yang konsisten untuk memenuhi permintaan di pasar modern tersebut. Persyaratan tersebut juga berpengaruh terhadap kegiatan yang dilakukan petani baik terhadap aktivitas budidaya maupun pemasaran. Hipotesis awalnya adalah, dengan adanya persyaratan dari pasar modern baik itu eksportir maupun restoran, petani lebih menyadari pentingnya kualitas sayuran yang dihasilkannya sehingga melakukan budidaya dan pemasaran yang baik yang dapat menjaga kualitas sayuran atau meningkatkan nilai tambah sayuran. Hal ini tentu saja didorong karena permintaan pasar yang menawarkan insentif berupa harga jual yang tinggi kepada petani. Perubahan orientasi petani dari yang awalnya memasarkan produknya ke pasar tradisional dan beralih ke pasar modern, secara otomatis mengubah aktivitas budidaya dan pemasaran sayuran yang dilakukannya. Hal ini tentu saja berdampak pada biaya dan penerimaan yang dihasilkan oleh petani. Untuk dapat
21
melihat dampak tersebut, maka dilakukan analisis kuantifikasi untuk mengetahui keuntungan petani yang didapatkan dari penerimaan petani dan biaya yang dikeluarkan petani. Analisis tersebut dilakukan dengan satuan rupiah per hektar dan merupakan rata-rata dari reponden petani yang terpilih baik yang memasok ke saluran pasar tradisional maupun saluran pasar modern. Adapun aktivitas pemasaran petani sayuran di Pangalengan yang dianalisis diantaranya mencakup lembaga pemasaran yang terlibat baik di saluran pasar tradisional maupun modern, skema arus setiap komoditi sayuran, penentuan harga dan transaksi yang dilakukan, serta fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan lembaga pemasaran. Efisiensi pemasaran yang dilakukan untuk mengukur efisiensi operasional terdiri dari marjin pemasaran dan farmer’s share. Adapun analisis efisiensi harga dilakukan dengan menganalisis integrasi pasar antara harga sayuran yaitu kentang, tomat, kubis, dan wortel di tingkat petani dan di tingkat pedagang pengecer. Integrasi pasar hanya dilakukan di saluran pasar tradisional karena menghadapi risiko fluktuasi harga sehingga kenaikan atau penurunan harga di tingkat konsumen diduga tidak selalu diikuti oleh kenaikan atau penurunan harga di tingkat produsen. Data harga yang digunakan adalah data mingguan selama satu tahun dimulai dari April 2012 sampai dengan Maret 2013. Adapun pada pasar modern tidak dilakukan analisis integrasi pasar karena harga yang terbentuk merupakan harga kesepakatan yang stabil dalam jangka waktu tertentu. Ketika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen pada pasar tradisional yang melebihi harga kontrak di pasar modern, maka kedua belah pihak yaitu petani dengan restoran ataupun eksportir dengan pedagang besar, memperbaharui kesepakatan harga dengan menaikkan harga supaya tetap saling menguntungkan. Berdasarkan analisis efisiensi pemasaran, kemudian dianalisis dampak saluran pasar modern terhadap petani. Pada dasarnya dampak saluran pemasaran modern terhadap petani dapat dilihat dari beberapa indikator. Minot dan Roy (2012) mengkaji dampak saluran pasar modern terhadap petani yaitu: 1). Biaya produksi; 2). Biaya pemasaran; 3). Struktur agrarian; 4). Permintaan konsumen; dan 5). Institusi pemasaran yang terlibat. Adapun pada penelitian ini, dampak saluran pasar modern dilihat dari tiga indikator penting yaitu produktivitas sayuran yang dihasilkan petani, keuntungan petani, dan kualitas sayuran yang dihasilkan petani. Walaupun demikian, ketika menganalisis dampak saluran pasar modern terhadap keuntungan petani, maka secara otomatis dapat juga dilihat biaya pemasaran yang dikeluarkan petani dan biaya produksi dalam hal ini biaya usahatani. Di samping itu juga dibahas institusi pemasaran yang terlibat. Selanjutnya dampak saluran pasar modern terhadap saluran pasar tradisional juga dianalisis dengan tiga indikator penting yaitu volume sayuran yang dipasok, bertambah atau berkurangnya fungsi pemasaran, serta menanjang atau memendeknya saluran pemasaran. Hal ini ditentukan karena dalam mengkaji saluran pemasaran selalu terkait dengan fungsi pemasaran, institusi pemasaran, dan aliran produk yang dipasarkan. Berdasarkan keseluruhan analisis yang dilakukan maka diharapkan dapat memberikan informasi yang komprehensif terkait dengan saluran pasar baik tradisional dan modern komoditas sayuran Indonesia, dan pada akhirnya dapat dirumuskan cara yang tepat bagi setiap institusi pemasaran sayuran dalam memenuhi permintaan pasar high local end market maupun permintaan pasar luar negeri. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 4.
22
Pasar Modern: 1.Pertumbuhan restoran 2.Peningkatan pangsa pasar sayuran ke luar negeri
Persyaratan: 1. Kualitas yang konsisten 2. Kuantitas yang Kontinyu
Pasar Tradisional
Tidak ada persyaratan khusus terhadap sayuran yang dipasarkan
Saluran Pasar Modern
Saluran Pasar Tradisional
Diduga terjadi perubahan pola budidaya petani dan juga penambahan fungsi pemasaran di Petani.
Fungsi pemasaran di tingkat petani relatif terbatas dan lebih banyak dilakukan pedagang
Analisis aktivitas pemasaran kentang, tomat, kubis, dan wortel di Pangalengan Jawa Barat; 1. Karakteristik Petani 2. Karakteristik Pedagang 3. Lembaga pemasaran sayuran yang terlibat 4. Fungsi pemasaran di setiap lembaga 5. Saluran Pemasaran Sayuran tradisional dan modern
Analisis efisiensi saluran pasar tradisional dan modern Efisiensi Operasional: Marjin Pemasaran dan Farmer’s Share
Dampak saluran pasar modern terhadap petani; 1. Produktivitas sayuran 2. Keuntungan Petani 3. Kualitas Sayuran
Efisiensi Harga: Integrasi Pasar
Dampak saluran pasar modern terhadap saluran pasar tradisional; 1. Volume Produksi 2. Fungsi Pemasaran yang tumbuh 3. Panjang pendeknya saluran pemasaran
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Operasional
23
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) di tiga desa di Kecamatan Pangalengan yaitu Desa Pangalengan, Desa Margamekar, dan Desa Margamukti. Pemilihan ketiga desa tersebut adalah berdasarkan produksi tertinggi di Kecamatan Pangalengan. Data produksi keempat komoditas di Kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 3. Adapun komoditas sayuran yang diteliti adalah kentang, kubis, wortel, dan tomat. Komoditas yang masuk ke pasar modern dan pasar tradisional pada penelitian ini adalah kentang, tomat dan kubis, sedangkan wortel hanya memasuki pasar tradisional. Alasan pemilihan keempat komoditas sayuran tersebut adalah karena merupakan sayuran di Jawa Barat dengan produktivitas yang tinggi. Pengambilan data primer dilakukan dari bulan Maret sampai April 2013. Tabel 3 Data produksi kentang, tomat, wortel, dan kubis di kecamatan Pangalengan tahun 2010 Total Produksi (Ton) Nama Desa Kentang Tomat Wortel Kubis Pangalengan 12 236 3 725 5 786 11 661 Margamukti 12 236 4 300 4 094 7 514 Margamekar 18 690 3 576 4 730 14 976 Sukaluyu 3 600 40 112 2 246 Margaluyu 6 012 2 160 2 420 7 032 Warnasari 8 200 1 700 2 774 8 918 Pulosari 2 600 2 415 0 2 425 Margamulya 9 636 4 176 4 324 10 332 Tribaktimulya 600 0 0 0 Banjarsari 3 420 380 480 2 100 Sukamanah 9 658 3 344 3 927 11 151 Wanasuka 2 088 320 620 2 375 Total 89 054 26 152 29 267 80 730 Sumber: Kecamatan Pangalengan, 2010 Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari petani, pedagang, dan lembaga pemasaran sayuran yang ada di Kecamatan Pangalengan. Jumlah petani dalam penelitian ini adalah 31 orang yaitu 13 petani dari Desa Margamekar, 10 petani dari Desa Pangalengan, dan 8 petani dari Desa Margamukti. Jumlah petani responden dari masing-masing komoditas adalah berbeda. Jumlah petani kentang adalah 12 orang untuk pasar tradisional dan 4 orang untuk pasar modern; Petani tomat berjumlah 19 orang untuk pasar tradisional dan 5 orang untuk pasar modern; Petani kubis berjumlah 17 orang untuk pasar tradisional dan 1 orang untuk pasar modern; serta petani wortel berjumlah 10 orang yang keseluruhannya memasok ke pasar tradisional.
24
Jumlah responden tersebut berbeda karena setiap petani mengusahakan sayuran dengan sistem tumpang sari dengan komposisi yang berbeda. Adapun jumlah pedagang yang diwawancara adalah 15 orang yang mana 10 orang terlibat di perdagangan kentang, 7 orang di perdagangan tomat, 7 orang di perdagangan kubis, dan 4 orang di perdagangan wortel. Selain itu, data terkait didapatkan dari kantor kecamatan setempat. Data sekunder didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Publikasi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat, FAO, serta publikasi ilmiah lain yang relevan dengan penelitian. Data dikumpulkan dengan menelusuri informasi dari petani, pedagang, dan lembaga pemasaran lain yang terlibat dalam pemasaran sayuran di lokasi penelitian melalui wawancara. Populasi petani adalah mereka yang menanam salah satu atau gabungan dari sayuran berupa kubis, kentang, wortel, dan tomat. Petani dikelompokkan berdasarkan luas kepemilikan lahan dan setiap kelompok dipilih secara acak (stratified sampling) yaitu skala kecil, menengah, dan besar. Adapun pedagang pada umumnya dibagi menjadi pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Pedagang yang dipilih adalah berdasarkan penelusuran informasi proses pemasaran. Pengumpulan informasi saluran pemasaran sayuran dengan menelusuri saluran pemasaran yang terjadi. Penelitian juga dilakukan di pasar modern yang merupakan salah satu saluran pemasaran di Pangalengan. Pasar modern dalam penelitian ini adalah eksportir dan restoran. Selain cross section data yang dilakukan di lokasi Pangalengan, penelitian ini juga mempergunakan time series data mingguan dari bulan April 2012 sampai dengan Maret 2013 (n = 49). Data rentang waktu tersebut berupa data harga sayuran yaitu kentang, tomat, kubis dan wortel di tingkat petani dan konsumen akhir di pasar tradisional. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat, dan instansi terkait yang relevan dengan tujuan penelitian. Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan bantuan komputer yaitu Microsoft Excel dan software Eviews. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui karakteristik petani, karakteristik pedagang, lembaga pemasaran sayuran yang terlibat, aktivitas pemasaran, fungsifungsi pemasaran yang terjadi dan dampak saluran pasar modern terhadap petani serta saluran pasar tradisional. Adapun analisis kuantitatif melalui Microsoft Excel dilakukan untuk menganalisis tingkat keuntungan petani terkait dampak saluran pemasaran modern, serta analisis efisiensi pemasaran yang terdiri dari efisiensi operasional berupa marjin pemasaran dan farmer’s share. Analisis kuantitatif lainnya menggunakan Eviews adalah untuk mengkaji efisiensi harga berupa integrasi pasar. Data yang dihasilkan dari pengolahan software tersebut kemudian diintrepetasikan secara ekonomi dari sudut pandang agribisnis. Analisis keuntungan petani yang dilakukan dalam penelitian ini didapatkan dari rincian biaya dan penerimaan petani dengan satuan rupiah per hektar. Namun dalam analisis biaya usahatani atau on farm sayuran tidak dilakukan secara terperinci melainkan hanya dicantumkan secara keseluruhan. Analisis lebih dalam dilakukan pada biaya pasca panen atau biaya pemasaran. Keuntungan petani didapatkan dari total penerimaan dikurangi total biaya.
25
Analisis efisiensi operasional pemasaran sayuran dalam penelitian ini dilakukan dengan mengukur marjin pemasaran dan analisis farmer’s share. Marjin pemasaran total adalah perbedaan harga antara pembayaran konsumen akhir dengan harga yang diterima petani. Adapun marjin pemasaran di setiap tingkat lembaga pemasaran merupakan selisih harga beli dengan harga jual dari masing-masing tingkat lembaga pemasaran yang bersangkutan. Dalam bentuk matematika sederhana dirumuskan menjadi: Dimana: Mmi = marjin pemasaran pada setiap tingkat lembaga pemasaran Ps = harga jual pada setiap tingkat lembaga pemasaran Pb = Harga beli pada setiap tingkat lembaga pemasaran Bagian harga yang diterima (farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima oleh petani dengan harga di tingkat konsumen yang dinyatakan dalam presentase. Farmer’s share dirumuskan sebagai berikut:
Dimana: Fs = Farmer’s share Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga di konsumen Integrasi pasar merupakan analisis seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas pada tingkat lembaga atau pasar dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Analisis keterpaduan pasar dalam penelitian ini mengacu pada model yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Perubahan harga di tingkat konsumen seharusnya ditransfer dengan baik ke tingkat petani secara terintegrasi. Adapun persamaan yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 4 persamaan karena terdapat 4 jenis komoditas yang dilihat hubungan integrasi pasarnya. Adapun persamaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: Pf(i) = (1+b1) Pf(i)1 + b2 Pr(i)FD + (b3-b1) Pr(i)1 + C Dimana: Pf(i) : harga sayuran di tingkat petani interval April (Minggu pertama) 2012 sampai dengan Maret (Minggu Pertama) 2013 Pr(i) : harga sayuran di tingkat ritel interval April (Minggu pertama) 2012 sampai dengan Maret (Minggu Pertama) 2013 Pf(i)1 : harga di tingkat petani interval Maret (Minggu keempat) 2012 sampai dengan Februari (Minggu keempat) 2013 Pr(i)1 : harga di tingkat ritel interval Maret (Minggu keempat) 2012 sampai dengan Februari (Minggu keempat) 2013 C : faktor musim dan faktor lain (1+b1) : koefisien lag harga sayuran di tingkat petani b2 : koefisien lag harga sayuran di tingkat ritel (b3-b1) : koefisien lag harga sayuran di tingkat ritel antara April (Minggu pertama) 2012 sampai Maret (Minggu Pertama) 2013; dengan Maret (Minggu keempat) 2012 sampai Februari (Minggu keempat) 2013 FD : First Difference atau perbedaan harga sayuran di tingkat ritel i : Sayuran yang terdiri dari kentang, tomat, kubis, wortel
26
IMC (Index of Market Connection) atau indeks hubungan pasar merupakan perbandingan antara koefisien pasar lokal pada periode sebelumnya dengan koefisien pasar acuan pada periode sebelumnya. Berikut rumus matematikanya: IMC =
(1 b1) (b3-b1)
atau
b1 b3
Adapun ketentuan suatu pasar dikatakan terintegrasi dengan kuat atau lemah ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Kriteria integrasi pasar Jangka Pendek Keterangan Integrasi Kuat IMC mendekati 0 atau IMC < 1 Integrasi Lemah IMC > 1 Tidak terintegrasi IMC tinggi Sumber: Ravallion (1986)
Jangka Panjang b2 mendekati 1 (> 0.5) b2 mendekati 0 (< 0.5) b2 sangat mendekati 0
Nilai Index of Market Connection (IMC) menggambarkan sejauh mana keterpaduan pasar antara pasar lokal dalam hal ini harga di tingkat petani, dengan pasar acuan atau harga di tingkat pedagang eceran. Jika nilai IMC lebih kecil dari satu atau b1 < b3, maka harga yang terjadi di pasar acuan di waktu sebelumnya sangat mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal pada saat ini. Hal tersebut mengindikasikan derajat keterpaduan pasar jangka panjang antara kedua pasar relatif tinggi. Namun jika nilai IMC lebih besar dari 1 maka dapat dikatakan bahwa pasar lokal dan pasar acuan kurang terpadu atau kurang terintegrasi.
5 AKTIVITAS PEMASARAN SAYURAN DI PANGALENGAN Gambaran Umum Pangalengan sebagai Sentra Produksi Sayuran Penelitian dilakukan di sentra produksi sayuran yaitu Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, yang secara geografis terletak pada 107o 29’ – 107o 39’ BT dan 7o 19’ - 7o 6’ LS. Berdasarkan topografinya, sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pegunungan atau perbukitan dengan ketinggian di atas permukaan laut bervariasi antara 984 meter sampai dengan 1 571 meter. Kecamatan Pangalengan dilalui oleh dua sungai yaitu Cisangkuy dan Situ Cileunca yang bermanfaat untuk pertanian, pariwisata, dan pembangkit listrik tenaga air. Suhu rata-rata berkisar antara 16 oC – 25 oC. Pada tahun 2012 curah hujan mencapai 2 085 mm per tahun dengan rata-rata 8.76 mm per hari. Adapun curah hujan tertinggi terjadi di bulan September sampai dengan Desember. Luas wilayah Kecamatan Pangalengan pada tahun 2012 mencapai 27 294.79 2 km yang terdiri dari 13 desa. Luas tersebut terdiri dari tanah pesawahan, tanah basah, tanah kering, tanah hutan, dan tanah perkebunan. Adapun luas wilayahnya secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 5.
27
Tabel 5 Luas wilayah Kecamatan Pangalengan tahun 2012 Nama Desa Pangalengan Margamukti Lamajang Margamekar Sukaluyu Margaluyu Warnasari Pulosari Margamulya Tribaktimulya Banjarsari Sukamanah Wanasuka Total Sumber: Kecamatan Pangalengan, 2012
Luas Wilayah (Ha) 589.95 2 613.05 4 016.10 817.99 1 748.20 860.20 2 354.12 5 118.15 1 294.14 449.91 2 208.97 668.04 4 555.97 27 294.79
Komoditas sayuran unggulan di Kecamatan Pangalengan terdiri dari kentang, kubis, tomat, cabe, wortel, dan bawang merah. Komoditas sayuran yang diteliti pada penelitian ini terdiri dari kentang, tomat, kubis, dan wortel baik itu yang dipasarkan ke pasar tradisional maupun pasar modern yang teridiri dari eksportir dan food service industries seperti restoran. Adapun untuk wortel, hanya dipasok ke pasar tradisional dan dianalisis sebagai pembanding dengan sayuran lainnya. Penelitian dilakukan di tiga desa yang ditentukan secara purposive yaitu Desa Margamekar, Desa Margamukti, dan Desa Pangalengan. Alasan pemilihan ketiga desa tersebut adalah tingkat produktivitas sayuran yang paling tinggi. Tabel 6 menunjukkan data luas lahan, produksi, dan produktivitas komoditas sayuran Tahun 2011. Tabel 6 Luas lahan, produktivitas, dan produksi sayuran di kecamatan Pangalengan tahun 2011 Luas Lahan Produktivitas Rata-rata Jenis Sayuran Produksi (Ha) (Ton/Ha) Kentang 7 146 135 774.00 19.00 Kubis 5 544 155 232.00 28.00 Tomat 1 561 40 211.36 25.76 Cabe 256 2 133.66 8.33 Petsay 1 786 38 184.68 21.38 Wortel 1 233 23 058.00 18.70 Bawang Merah 1 434 9 894.60 6.90 Sumber: Kecamatan Pangalengan, 2012
28
Karakteristik Petani Responden Jumlah petani responden secara keseluruhan dalam penelitian ini adalah 31 orang. Petani tersebut berasal dari desa Margamekar sebanyak 13 orang, Pangalengan sebanyak 11 orang dan Margamukti sebanyak 7 orang. Setiap petani mengusahakan jenis sayuran yang berbeda dan biasanya menggunakan sistem rotasi tanaman untuk monokultur dan juga sistem tumpang sari. Oleh karena itu, dalam satu tahun yang umumnya bisa dua sampai tiga kali musim tanam, seorang petani bisa mengusahakan lebih dari satu jenis sayuran. Petani yang diteliti dapat dikategorikan kepada petani yang hanya memasok ke pasar tradisional, hanya memasok ke pasar modern, dan memasok baik pasar tradisional maupun pasar modern. Hal ini karena perlakuan petani tidak sama pada setiap komoditas yang dihasilkannya. Seorang petani misalnya dapat dikategorikan sebagai pemasok pasar modern untuk komoditi kentang namun berperan sebagai pemasok pasar tradisional untuk komoditi tomat. Oleh karena itu, petani tradisional dan modern akan dibagi per komoditas yaitu kubis, kentang, tomat, dan wortel. Petani responden mayoritas menyelesaikan pendidikan sampai jenjang Sekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 41.94 persen sedangkan jenjang lainnya adalah SMP sebesar 22.58 persen, SMA sebesar 22.58 persen, dan Perguruan Tinggi sebesar 12.90 persen. Usia petani mayoritas berkisar antara 40 sampai dengan 50 tahun yaitu sebesar 41.94 persen. Petani responden yang paling sedikit adalah berusia kurang dari 40 tahun yaitu sebesar 12.90 persen. Berdasarkan data tersebut, jelas bahwa pendidikan bukan menjadi faktor utama seorang petani untuk memulai usahanya. Bahkan 90 persen petani responden mengungkapkan bahwa profesinya dijalani karena faktor keturunan. Hal ini berbanding lurus dengan pengalaman bertani yang mayoritas lebih dari 30 tahun yaitu sebesar 38.71 persen sedangkan petani yang pengalamannya kurang dari 10 tahun hanya sebesar 12.90 persen. Jumlah anggota keluarga petani responden sebagian besar adalah antara 3 sampai 4 orang yaitu sebesar 54.84 persen, kemudian 1 sampai 2 orang anggota keluarga sebesar 35.48 persen, dan lebih dari 4 orang sebesar 9.68 persen. Dengan demikian, mayoritas anggota keluarga petani responden tidak lebih dari 4 orang. Terkait dengan modal awal, sebesar 96.77 persen modal awal petani berasal dari dana pribadi dan sisanya meminjam dari pedagang besar sayuran setempat. Timbal balik dari meminjam dana bagi petani adalah harus menjual sayuran yang dihasilkannya kepada pedagang tersebut. Adapun pengusahaan lahan sayuran terbagi menjadi 5 kategori yaitu kurang dari 0.5 hektar sebesar 19.35 persen, 0.51 sampai 1.0 hektar sebesar 35.48 persen, 1.1 sampai 5.0 hektar sebesar 25.81 persen, 5.1 sampai 10 hektar sebesar 9.68 persen, dan skala sangat besar yaitu lebih dari 10 hektar sebesar 9.68 persen. Luas lahan tersebut merupakan luas lahan total dari kepemilikan lahan responden. Lahan tersebut ditanami komoditas sayuran yang berbeda-beda sesuai dengan rotasi tanaman yang dilakukan petani responden. Luas kepemilikan lahan berkaitan dengan jumlah tenaga kerja yang dimiliki petani responden. Mayoritas petani memiliki tenaga kerja atau buruh tani kurang dari 10 orang yaitu sebesar 58.01 persen sedangkan 22.58 persen petani memiliki jumlah buruh tani antara 10 sampai 20 orang dan sisanya lebih dari 20 orang yaitu sebesar 19.35 orang. Adapun karakteristik seluruh petani responden di Kecamatan Pangalengan secara terperinci disajikan pada Tabel 7.
29
Tabel 7 Karakteristik petani responden di Kecamatan Pangalengan Jumlah Petani Indikator Kriteria Persentase (%) (orang) SD 13 41.94 SMP 7 22.58 Pendidikan SMA 7 22.58 PT 4 12.90 <40 4 12.90 40-50 13 41.94 Umur (Tahun) 51-60 8 25.81 >60 6 19.35 <2 11 35.48 Jumlah Anggota Keluarga 3-4 17 54.84 (Orang) >4 3 9.68 <0.5 6 19.35 0.5-1 11 35.48 Luas Lahan 1.1-5 8 25.81 (Ha) 5.1-10 3 9.68 >10 3 9.68 <10 4 12.90 Pengalaman Bertani 11-20 10 32.26 (Tahun) 21-30 5 16.13 >30 12 38.71 Sendiri 30 96.77 Sumber Modal Pinjaman 1 3.23 <10 18 58.06 Jumlah Tenaga Kerja 11-20 7 22.58 (Orang) >20 6 19.35
Karakteristik Pedagang Responden pedagang sayuran yang diwawancarai sebanyak 15 orang yang terdiri dari pedagang I, pedagang II, dan pedagang III. Pedagang I dan II khusus untuk pedagang di pasar tradisional, sedangkan pedagang III merupakan pedagang yang memasok ke pasar modern namun tidak menutup kemungkinan memasok ke pasar tradisional. Pedagang I memiliki kapasitas usaha per hari di bawah 7 ton sedangkan pedagang II kapasitas usahanya sama seperti pedagang III yaitu lebih dari 7 ton per hari. Pedagang responden didapatkan berdasarkan penelusuran informasi dari petani dan pedagang. Satu pedagang dapat mengusahakan beberapa jenis komoditas sayuran atau tidak selalu hanya berfokus pada satu sayuran. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir risiko fluktuasi harga antara satu sayuran dengan sayuran lainnya. Secara ringkas, karakterisitk pedagang responden di Kecamatan Pangalengan disajikan pada Tabel 8.
30
Tabel 8 Karakteristik responden pedagang sayuran di Pangalengan Jumlah Indikator Kriteria Persentase (%) (Orang) SD 6 40.00 SMP 4 26.67 Pendidikan SMA 3 20.00 PT 2 13.33 <40 5 33.33 Umur (Tahun) 41-50 5 33.33 >50 5 33.33 Pribadi 13 86.67 Sumber Modal Pinjaman 2 13.33 <10 4 26.67 Jumlah Tenaga Kerja 10-20 6 40.00 (Orang) >20 5 33.33 Ya 10 66.67 Menerima Bantuan Kredit Tidak 5 33.33 Karakteristik pendidikan responden sebanyak 40 persen sampai ke jenjang sekolah dasar, 26.67 persen merupakan tamatan SMP, 20.00 persen merupakan tamatan SMA, dan 13.33 persen merupakan lulusan perguruan tinggi. Mayoritas pedagang mengungkapkan alasan menjadi pengusaha atau pedagang sayuran walaupun tidak didukung oleh pendidikan yang tinggi adalah karena sayuran merupakan komoditas yang sesuai dengan potensi daerah Pangalengan. Pedagang umumnya memulai proses pembelajaran dengan menjadi pekerja di tempat pedagang lainnya kemudian beralih mendirikan usaha sendiri. Berbeda dengan pedagang di pasar tradisional, selain berbekal pengalaman, keseluruhan pedagang yang memasok ke pasar modern adalah lulusan dari perguruan tinggi. Sebanyak 13.33 persen bahkan memulai usahanya dengan meminjam modal dari Bandar yang menjadi tempatnya bekerja. Sebagian besar pedagang yang menjadi responden yaitu 86.67 mengandalkan modal pribadi dalam memulai usahanya. Responden mengungkapkan, modal yang diperlukan menjadi pedagang sayur tidaklah besar karena sistem pembayaran yang dilakukan tidak cash and carry melainkan menunggu sampai sayuran terjual di pedagang grosir pasar tradisional. Oleh karena itu, modal utama yang diperlukan adalah ketersediaan transportasi dan tenaga kerja. Dalam menjalankan usahanya di tahun berjalan, pedagang menerima bantuan kredit baik yang berasal dari bank maupun sumber modal lainnya. Proporsi responden pedagang yang menerima bantuan kredit adalah 66.67 persen sedangkan yang tidak menerima kredit sebesar 33.33 persen. Umur pedagang tersebar merata dengan rata-rata 33.33 persen baik pada kisaran usia kurang dari 40 tahun, antara 40 sampai 50 tahun, dan di atas 50 tahun. Pedagang yang menjadi responden tidak ditemukan yang usianya kurang dari 40 tahun. Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor pengalaman berpengaruh terhadap kecenderungan pedagang menjalankan profesinya. Jumlah tenaga kerja mayoritas antara 10 sampai dengan 20 orang yaitu mencapai 40 persen, sisanya kurang dari 10 orang sebesar 26.67 persen, dan lebih dari 20 orang sebesar 33.33 persen.
31
Gambaran Umum Sistem Pemasaran Sayuran di Pangalengan Mayoritas kegiatan pemasaran sayuran dilakukan untuk memeuhi pasar tradisional. Setiap pagi hari di Pasar Pangalengan terjadi transaksi pemasaran sayuran secara lelang. Para pedagang dari seluruh daerah di Pangalengan dan daerah sekitarnya seperti Lembang dan Ciwidey, berkumpul untuk membeli sayuran dari petani dan dijual kembali ke pasar tradisional seperti pasar induk Caringin dan Pasar induk Kramatjati. Setiap pedagang besar, selalu mengadakan komunikasi dengan pedagang yang ada di pasar tujuan supaya harga yang diberikan ke petani tidak melebihi harga jual konsumen akhir. Pedagang yang memasok ke pasar modern pun tidak terkadang mengikuti kegiatan lelang ini dengan tujuan memenuhi pasokan sayuran jika terjadi kekurangan pada petani mitra. Adapun sistem pembayaran yang dilakukan di saluran pasar tradisional ada 3 jenis yaitu secara tunai, dengan membayar uang muka, dan penundaan pembayaran atau sering disebut pinjam. Batas maksimal peminjaman adalah 3 hari atau sesuai dengan kesepakatan yang terjadi antara petani dan pedagang. Adapun pembayaran bisa dilakukan dengan transfer antar rekening bank ataupun diserahkan kepada petani secara langsung. Harga sayuran yang diperjualbelikan terutama tomat, kentang, kubis dan wortel di pasar tradisional mengalami fluktuasi bahkan dalam hitungan hari. Fluktuasi harga sayuran terjadi berdasarkan dayabeli konsumen di pasar induk yang dituju, biasanya pasar induk Kramat Djati dan Pasar Induk Caringin. Sistem pembayaran yang dilakukan pun hampir sama seperti saat pembelian sayuran dari petani. Maksimal pembayaran adalah 3 hari dan biasanya dilakukan dengan transfer setelah nota diberikan. Nota tersebut biasanya sudah dapat diterima dalam satu hari yang sama, umumnya pada sore hari menjelang malam hari. Adapun sistem pembayaran untuk pasar modern umumnya per minggu biasanya setiap hari jumat untuk komoditi kentang yang dipasok ke pasar ekspor. Fenomena menarik yang terjadi di Pangalengan terkait dengan saluran pasar tradisional adalah keberadaan penyedia jasa perantara pemasaran yang biasanya disebut mafia pemasaran atau calo oleh penduduk setempat. Calo merupakan bagian yang sulit dipisahkan dari saluran pemasaran tradisional di Pangalengan dan berperan untuk menghubungkan petani dengan Bandar sayuran. Peranan calo sebenarnya bisa ditiadakan jika komunikasi antar Bandar dan petani berjalan lancar dan informasi yang dikuasai keduanya seimbang. Namun dengan banyaknya jumlah petani yang panen sayuran sedangkan jumlah Bandar besar yang terbatas atau menghadapi pasar oligopsoni, maka kehadiran penyedia jasa perantara tersebut dapat juga dikatakan bermanfaat. Penyedia jasa perantara dibedakan menjadi dua jenis yaitu yang berasal dari Bandar besar dan memang ditugaskan untuk mengadakan negosiasi dengan petani, serta ada juga yang memanfaatkan peluang dan kesempatan dengan mencari-cari petani yang sedang panen untuk dihubungkan dengan bandar. Dengan hanya bermodalkan komunikasi dan koneksi, calo ini mendapatkan keuntungan dari perbedaan harga yang ditawarkan ke petani dan harga yang di tetapkan oleh bandar. Keberadaan penyedia jasa perantara ini menyebabkan biaya pemasaran sayuran di Pangalengan meningkat walaupun tidak memperpanjang saluran pemasaran karena tidak terlibat dalam kepemilikan sayuran secara fisik.
32
Adapun cara yang dilakukan penyedia jasa pemasaran dalam mendapatkan keuntungan dibagi menjadi tiga. Cara pertama adalah dengan mengambil bagian dari setiap kilogram sayuran yang dijual petani. Cara yang dilakukannya tersebut lebih terselubung namun telah menjadi rahasia umum diantara pelaku pemasaran sayuran di Pangalengan. Pada umumnya calo mengambil Rp100 per kilogram, sehingga jika petani kecil sebut saja petani kubis yang memiliki luas lahan kurang dari satu hektar yaitu 0.25 ha, dengan panen mencapai 10 ton, maka keuntungan yang dapat dinikmati penyedia jasa pemasaran adalah satu juta rupiah. Cara kedua adalah dengan memberikan jasa kepada petani yang memang meminta dicarikan pembeli atas sayuran yang dihasilkannya. Dengan cara kedua, penyedia jasa ini lebih transparan dalam berkomunikasi dan membiarkan negosiasi terjadi antara Bandar dan petaninya langsung. Oleh karena itu, dapat dikatakan penyedia jasa jenis ini memang menjual jasanya dan biasanya mendapatkan keuntungan sebagai imbalan jasa dengan jumlah yang disesuaikan dengan kemampuan petani maupun Bandar. Adapun cara ketiga adalah penyedia jasa yang memang diberikan upah tetap oleh Bandar sebagai tenaga kerja yang ditugaskan untuk mencari pasokan sayuran. Walaupun demikian, umumnya petani tetap membayar kepada para penyedia jasa tersebut karena terdapat juga calo yang menonjolkan kekuasaan. Calo jenis ketiga muncul sebagai akibat dari kekuasaan Bandar yang sebelumnya memberikan bantuan dana kepada petani ataupun pedagang pengumpul. Timbal balik yang harus dilakukan petani dan pedagang pengumpul adalah menjual sayuran dengan harga yang ditetapkan Bandar. Harga yang diberikan seringkali berada di bawah harga pasar sehingga Bandar tersebut khawatir petani menjual hasil sayurannya ke Bandar yang lain. Oleh karena itu, calo yang ditugaskan oleh Bandar juga bertugas untuk menjamin dan mengawasi pemasaran sayuran petani. Setiap pihak menyadari bahwa kehadiran penyedia jasa pemasaran (calo) sebenarnya kurang menguntungkan dalam pemasaran sayuran di Pangalengan karena tidak menambah fungsi pemasaran yang menambah nilai sayuran. Namun, karena telah melembaga, penyedia jasa yang jumlahnya mencapai puluhan orang setiap desa menjadi sulit ditiadakan kehadirannya. Bahkan beberapa diantaranya menjadikan profesi calo sebagai pekerjaan utama. Pada tahun 2009 dilakukan rencana pembangunan pasar sayuran modern oleh pemerintah di Pangalengan, namun para penyedia jasa perantara tersebut memprotes dan menuntut tetap harus disediakan ruang khusus untuk para calo di pasar modern yang akan dibangun. Kebijakan pemerintah pun kemudian batal diimplementasikan. Sistem pemasaran sayuran di Pangalengan untuk pasar tradisional tetap berjalan dengan keberadaan jasa perantaraperantara di dalamnya. Berbeda dengan saluran pasar modern yang umumnya tidak ditemukan penyedia jasa perantara karena dibangun berdasarkan kemitraan dan pembagian informasi yang adil dan seimbang antara petani dan pedagang. Petani binaan yang diharapkan dapat memasok sayuran bahkan secara kontinyu dibina tentang cara budidaya sayuran yang baik (good agricultural practices) sehingga menghasilkan sayuran dengan kualitas yang diharapkan. Dengan demikian, terjadi simbiosis mutualisme dimana petani mendapat harga jual sayuran yang lebih baik dan pedagang dapat secara kontinyu memasok sayuran sesuai dengan perjanjian di pasar modern yaitu eksportir dan restoran.
33
Terkait dengan pemilihan saluran pemasaran tradisional dan modern, hasil wawancara dan analisis mengungkapkan beberapa alasan petani yang belum termotivasi untuk memasok ke saluran pasar modern antara lain: 1. Kualitas sayuran yang dihasilkan petani variatif. Pasar modern, dalam hal ini eksportir memang mensyaratkan kualitas sayuran yang dibedakan menjadi beberapa grade. Namun khusus untuk tomat, eksportir meminta kualitas super saja dengan ukuran 8 sampai 10 buah per kilogram. Petani tradisional mengungkapkan bahwa hasil panen sayurannya memiliki kualitas yang bervariasi dan kualitas super hanya 10 sampai dengan 20 persen dari total keseluruhan panen. Jika petani menjual tomat dengan kualitas super, maka petani akan kesulitan menjual sisa tomat sebanyak 80 sampai dengan 90 persen dari total panen karena para pedagang tidak mau menerima tomat yang kualitas supernya telah diambil. Oleh karena itu, petani lebih memilih menjual sayurannya ke pasar tradisional sehingga sayuran yang dihasilkan dapat terjual habis. 2. Sistem pembayaran yang memberatkan petani. Berbeda dengan saluran pasar tradisional yang sistem pembayarannya berkisar antara 1 sampai dengan 3 hari, pasar modern memerlukan waktu yang lebih lama dalam sistem pembayarannya. Umumnya untuk eksportir dan restoran yang menerima sayuran dari petani responden di Pangalengan, pembayarannya adalah seminggu sekali. Hal tersebut cukup memberatkan petani khususnya petani kecil. Oleh karena itu, petani di saluran pasar tradisional tidak memilih memasok sayuran ke pasar modern. Walalupun demikian, terdapat petani di desa Pangalengan yang bermitra dengan pedagang di saluran pasar modern sehingga walaupun eksportir membayar dalam jangka waktu satu minggu namun petani tetap dibayar pedagang dalam jangka waktu satu sampai dengan tiga hari. 3. Volume yang diminta besar. Alasan lain petani memilih saluran pasar tradisional dibandingkan saluran pasar modern adalah terkait volume yang diminta eksportir cukup besar. Oleh karena itu, petani yang menghasilkan sayuran dalam jumlah kecil langsung menarik diri dari saluran pasar modern. Padahal hal tersebut bisa diatasi melalui kemitraan dengan pedagang besar yang bekerja sama langsung dengan eksportir. Petani kecil dapat tetap berkontribusi karena persyaratan volume dapat diupayakan untuk tetap dipenuhi oleh pedagang besar. Demikian alasan yang diungkapkan petani di saluran pasar tradisional yang belum termotivasi memasuki saluran pasar modern. Dengan demikian, penting untuk digarisbawahi bahwa saluran pasar tradisional tetap memegang peranan yang penting dalam pemasaran sayuran khususnya di Pangalengan. Selain menyerap volume sayuran yang besar dibandingkan saluran pasar modern, saluran pasar tradisional juga melibatkan banyak pelaku pemasaran. Namun pasar tradisonal juga harus dapat bersaing dengan pasar modern terutama karena preferensi konsumen yang semakin baik seiring dengan peningkatan pendapatan dan perdagangan bebas. Oleh karena itu, petani dan seluruh pelaku pemasaran di saluran pasar tradisional dapat belajar dari saluran pasar modern terkait good agricultural practices maupun sistem pemasaran yang baik yang dapat menambah nilai sayuran yang dipasarkan. Hal ini tentunya didukung juga oleh perbaikan infrastruktur yang dilakukan pemerintah untuk pasar tradisional.
34
Lembaga Pemasaran pada Saluran Pasar Tradisional Lembaga pemasaran pada saluran pasar tradisional memiliki sedikit perbedaan dengan yang ada pada saluran pasar modern. Adapun lembaga pemasaran atau pelaku pasar pada saluran pasar tradisional antara lain: 1. Pedagang pengumpul (Pedagang I) Pedagang pengumpul merupakan lembaga pemasaran yang berperan mengumpulkan sayuran dari petani. Umumnya volume sayuran yang dikumpulkan dalam jumlah kecil yaitu kurang dari tiga ton per hari. Pedagang pengumpul ini terbagi menjadi dua jenis yaitu yang langsung mendatangi petani dan pedagang pengumpul yang didatangi petani. Pedagang pengumpul biasanya menjual kembali sayurannya kepada pedagang besar yang kemudian disebut sebagai pedagang II karena khusus memasok ke saluran pasar tradisional. Jumlah pedagang pengumpul di Pangalengan cukup banyak karena biasanya menampung sayuran dari banyak petani atau buruh tani yang menjual sayuran dalam jumlah kecil. Adapun kegiatan pemasaran yang dilakukan biasanya pengangkutan dan sortasi. 2. Pedagang Besar (Pedagang II) Pedagang Besar yang kemudian disebut pedagang II pada penelitian ini merupakan pedagang sayuran berskala besar di Pangalengan yang melakukan transaksi penjualan sayuran lebih dari atau sama dengan 7 ton per hari. Pedagang II khusus memasok ke pasar tradisional dan merupakan pihak yang mendistribusikan sayuran yang diperolehnya dari petani dan pedagang pengumpul ke pasar-pasar induk di Pulau Jawa seperti pasar induk Kramat Jati, pasar induk Caringin, Pasar Cibitung di Tanggerang dan pasar tradisional lainnya. Pedagang besar yang memasok ke pasar-pasar tersebut umumnya mengumpulkan sayuran dalam jumlah besar supaya biaya transportasi per kilogram sayuran dapat ditekan. Hal ini terutama dilakukan untuk pasar yang memiliki jarak tempuh yang cukup jauh. Beberapa diantara pedagang II tersebut bahkan merangkap menjadi petani skala besar supaya dapat menjamin pasokan sayuran setiap harinya. Pedagang II biasanya mengkhususkan diri dalam memasok sayuran tertentu walaupun tidak menutup kemungkinan untuk melakukan perdagangan sayuran lebih dari satu jenis. 3. Grosir atau Bandar sayur di Pasar Tradisional Grosir berlokasi khusus di suatu pasar tertentu seperti pasar induk Caringin atau Kramat Djati. Grosir menampung sayuran dari pedagang II yang datang dari berbagai lokasi produksi sayuran di Indonesia seperti Pangalengan, Dieng, Ciwidey, Lembang, Garut, dan daerah sentra produksi sayuran lainnya. Grosir mendistribusikan sayuran yang dipasok ke pasar induk tradisonal kepada pedagang pengecer yang mendatangi lokasinya. 4. Pedagang pengecer Pedagang pengecer merupakan perantara pemasaran sayuran yang berperan menyalurkan produknya kepada konsumen. Pedagang pengecer pada saluran pasar tradisional biasanya berlokasi di pasar-pasar lokal seperti pasar Pangalengan. Ada juga pedagang pengecer yang menjual sayurannya melalui gerobak dan menjajakan sayurannya secara berkeliling ke perumahan setempat. Umumnya, karena jumlah sayuran yang dijual tidak banyak, maka pedagang pengecer mengandalkan marjin pemasaran yang cukup tinggi dalam memperoleh keuntungan.
35
Hal yang menarik dari pelaku pemasaran di pasar tradisional adalah adanya kemitraan antara bandar dengan petani. Kemitraan yang terbentuk pada dasarnya merupakan simbiosis mutualisme bagi kedua belah pihak. Di satu sisi, petani yang kekurangan modal saat menggarap lahannya, dapat diberikan bantuan modal dari Bandar sayuran. Di sisi lain, Bandar sayuran memiliki keterjaminan pasokan sayuran dari petani tersebut karena secara otomatis sayuran yang dihasilkan petani tersebut harus dijual kepada Bandar yang memberinya pinjaman dana. Selain petani, Bandar juga menjalin kerjasama dengan pedagang pengumpul dengan memberikan modal usaha supaya pasokan sayurannya terjamin. Namun dalam prakteknya, hubungan kerjasama antara Bandar dengan petani maupun Bandar dengan pedagang pengumpul tidak selamanya menghasilkan konsekuensi yang saling menguntungkan. Pada satu kondisi, petani akan dirugikan dengan sistem pembayaran terhadap modal yang diberikan Bandar. Walaupun kelihatannya tanpa bunga, pembayaran yang harus dilakukan petani terkadang lebih besar karena menggunakan permainan harga beli. Petani berkewajiban menjual sayuran yang dihasilkannya kepada Bandar dengan tingkat harga yang ditetapkan oleh Bandar berdasarkan harga pasar yang berlaku. Namun biasanya harga beli yang ditetapkan Bandar, dikenakan potongan biaya terlebih dahulu sebagai penggantian pinjaman modal kepada petani. Selama kurun waktu tertentu dan selama modal yang petani pinjam belum dapat dilunasi, petani harus selalu menjual sayurannya kepada Bandar walaupun harga beli yang ditetapkan berada di bawah harga pasar yang berlaku. Namun pada kondisi yang lain, Bandar juga dirugikan oleh sistem kemitraan yang terbentuk. Petani yang diberikan pinjaman modal tidak selamanya konsisten dengan aturan yang disepakati sebelumnya. Hasil panen petani yang tidak selalu baik, ditambah lagi kondisi fluktuasi harga sayuran yang relatif cepat, tidak jarang membuat Bandar merugi yang juga berdampak pada tidak kembalinya modal yang dipinjamkan. Risiko lain yang dihadapi Bandar adalah petani yang diberi pinjaman menjual hasil sayurannya kepada Bandar lain sehingga Bandar pemberi pinjaman harus mencari pasokan sayur dari petani yang lain. Kedua fenomena tersebut terjadi di saluran pasar tradisional karena biasanya tidak ada surat perjanjian ataupun tanda bukti setiap melakukan transaksi atau kesepakatan. Semuanya terjalin atas dasar saling percaya antara kedua belah pihak.
Lembaga Pemasaran pada Saluran Pasar Modern Berbeda dengan saluran pasar tradisional, saluran pasar modern melewati lembaga pemasaran khusus sebelum sayuran tersebut sampai ke tangan konsumen. Pasar modern yang dimaksud adalah eksportir dan restoran yang menjalankan kegiatan pemasaran berdasarkan atas kontrak kerjasama. Adapun lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pasar modern di Pangalengan antara lain: 1. Pedagang besar (Pedagang III) Pedagang besar merupakan lembaga pemasaran yang berperan penting dalam saluran pasar modern karena merupakan pihak yang mengadakan kerjasama dengan pasar modern. Pedagang besar ini umumnya merangkap jadi petani skala besar dalam upaya menjamin pasokan sayuran sesuai dengan
36
perjanjian. Selain itu, Bandar juga biasanya mengadakan kemitraan dengan petani lainnya dan memberikan pembinaan yang mengarah kepada kerjasama saling menguntungkan. Petani diarahkan untuk menjalankan sistem budidaya yang baik sehingga dapat menghasilkan kualitas sayuran yang dihasilkan. Adapun Bandar bertugas menyediakan dana jika petani membutuhkan modal tambahan. Pada saat panen, petani biasanya diberikan harga yang lebih tinggi dari harga pasar sedangkan Bandar mendapatkan kualitas sayuran yang sesuai dengan permintaan pasar modern. 2. Restoran Restoran adalah salah satu lembaga di saluran pasar modern pada komoditas tomat dan kubis. Restoran memiliki persyaratan terkait dengan kualitas dan kuantitas atau volume sayur. Biasanya permintaan sayuran dari restoran lebih sedikit dan frekuensi pengirimannya adalah mingguan. 3. Eksportir Eksportir merupakan lembaga pemasaran di saluran pasar modern komoditas sayuran di Pangalengan. Adapun eksportir yang dimaksud adalah PT. Alamanda Sejati Utama yang berlokasi di Banjaran Jawa Barat. Adapun komoditas yang masuk ke pasar ekspor pada penelitian ini adalah kentang dan tomat. Kualitas kentang yang masuk ke eksportir terdiri dari kualitas super, AB, DN, dan TO serta baby dengan ukuran 30 biji atau lebih per satu kilogram kentang. Adapun kualitas tomat yang diminta hanya kualitas super saja. Saluran Pemasaran Sayuran di Kecamatan Pangalengan Terkait dengan pemasaran sayuran di Kecamatan Pangalengan, diperlukan sebuah gambaran saluran pemasaran yang dapat dilihat melalui skema arus komoditi. Melalui skema ini dapat dilihat persentase dan volume sayuran di setiap lembaga pemasaran. Saluran pemasaran sayuran di kecamatan Pangalengan terbagi menjadi dua yaitu pasar tradisional untuk seluruh komoditas sayuran yang diteliti, dan modern untuk komoditas kentang, tomat, dan kubis. Untuk memudahkan dalam pengelompokan ke dalam dua pasar tersebut, maka saluran pemasaran akan dipisahkan per komoditas dimana setiap saluran pemasaran yang terbentuk melibatkan lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang berbeda. Saluran Pemasaran Kentang Petani sampel di Pangalengan seluruhnya membudidayakan kentang jenis granola dengan tingkat produktivitas yang bergantung kepada bibit yang digunakan. Kentang jenis granola merupakan jenis kentang unggulan karena produktivitasnya bisa mencapai 30 ton per hektar. Dari jumlah tersebut, rata-rata menghasilkan 20 ton berkualitas baik (Super, A dan B), 5 ton berkualitas sedang (C), serta 5 ton kualitas DN, TO, dan ars. Selain itu, kentang jenis granola juga tahan terhadap penyakit dibanding jenis kentang pada umumnya. Misalnya jika daya serang suatu penyakit terhadap varietas kentang lain mencapai 30 persen, maka jenis granola hanya 10 persen saja. Penggunaan bibit yang berbeda akan menyebabkan produktivitas dan biaya produksi yang berbeda. Semakin baik bibit yang digunakan, semakin baik kualitas dan produktivitas kentang. Biaya produksi pengusahaan kentang berdasarkan penggunaan bibit dapat dilihat pada Tabel 9.
37
Tabel 9 Biaya produksi kentang di kecamatan Pangalengan berdasarkan jenis bibit yang digunakan Jenis Bibit G2 G3 G4 F1
Harga Bibit (Rp/ Kg) 14 000-15 000 12 000-13 900 10 000-11 900 7 000-9 900
Biaya Produksi (Rp/Ha) 90 000 000 70 000 000 65 000 000 55 000 000
Sistem pemasaran kentang di Pangalengan memiliki keistimewaan dibandingkan dengan sayuran lainnnya. Sifatnya yang cukup tahan lama menjadikan kentang dapat disimpan sebelum dijual ke pasar. Kentang dengan spesifikasi DN-TO dengan ukuran 25-30 biji per kilogram, dapat digunakan kembali untuk bibit setelah disimpan selama empat sampai lima bulan di gudang. Bibit yang disimpan tersebut umumnya digunakan kembali sebagai bibit di kebun dan sisanya dijual dengan kisaran harga Rp6 000 sampai dengan Rp10 000 per kilogram sesuai dengan jenis bibit yang diturunkan. Bibit yang disimpan juga akan mengalami penyusutan karena busuk yaitu antara 20 sampai dengan 30 persen. Penggunaan kentang sebagai bibit biasanya tidak seluruhnya karena bergantung pada luas lahan yang akan ditanami. Umumnya, satu hektar lahan membutuhkan bibit kentang sebanyak 1.5 sampai dengan 2 ton. Petani biasanya langsung menjual kentang ke pasar bersama hasil panen kentang lainnya jika bibit sudah sering diturunkan. Saluran pasar kentang tradisional berbeda dengan saluran pasar kentang modern. Pada saluran pasar tradisional, kentang biasanya hanya dikemas menggunakan karung waring tanpa dilakukan pencucian. Adapun dalam saluran pasar modern, dilakukan pencucian dan pengemasan serta tindakan lainnya yang menambah nilai dari kentang tersebut. Hal ini tentu saja dilakukan untuk memenuhi spesifikasi atau persyaratan yang diminta eksportir sesuai kontrak kerjasama. Untuk menghindari terjadinya pengembalian kentang afkir, pedagang III melakukan sortasi dua kali. Pemasaran kentang dari petani tradisional umumnya dilakukan tanpa ada grading. Petani menjual kentang secara tercampur yang sering disebut abress atau kentang ABC. Adapun petani yang menjual ke eksportir melakukan grading sehingga mendapatkan harga jual yang lebih tinggi. Banyaknya petani sampel dalam analisis komoditi kentang adalah 16 orang yang terdiri dari petani yang memasok ke pasar tradisional 14 orang dan petani yang memasok ke pasar modern sebanyak 2 orang. Total produksi kentang yang dijual yaitu 1 053 500 kilogram dengan total kentang yang dijual langsung sebanyak 784 775 kilogram per musim antara bulan Januari sampai dengan April 2013. Jumlah kentang yang dijadikan bibit adalah 268 725 kilogram. Jumlah pedagang I adalah 3 orang, pedangang II adalah 4 orang, serta pedagang III adalah 2 orang. Berdasarkan data sampel tersebut dapat disusun aliran pemasaran kentang. Skema volume arus komoditi kentang di Kecamatan Pangalengan disajikan pada Gambar 5.
38
38
41 500 Kg/ 5.3%
330 375 Kg/ 41.95% Pasar Induk Bekasi/Tgr
Petani
Pedagang I
Pedagang II
Pasar Induk Caringin
624 775 Kg (n=14) 288 875 Kg/ 36.65%
294 400 Kg Petani 160 000 Kg (n=2)
P E N G E C E R
58,05 %
Pasar Induk Kramat Djati
Konsumen Dalam Negeri
270 400 Kg/ 34,54 %
Konsumen Luar Negeri
160 000 Kg/20.05 %
Pedagang III
Eksportir
Bibit
Penyusutan
286 725 Kg
40 000 Kg
Keterangan:
Saluran 1 Saluran 2
Saluran 3 Saluran 4
Gambar 5 Skema volume arus komoditi kentang di Kecamatan Pangalengan
39
Berdasarkan skema volume arus komoditi kentang, saluran pemasaran kentang di Pangalengan adalah: 1. Petani Pedagang I Pedagang II Grosir (Pasar Induk) Pedagang Pengecer Konsumen Dalam Negeri 2. Petani Pedagang II Grosir (Pasar Induk) Pedagang Pengecer Konsumen Dalam Negeri 3. Petani Pedagang III Grosir (Pasar Induk) Pedagang Pengecer Konsumen Dalam Negeri 4. Petani Pedagang III Eksportir Konsumen Luar Negeri Terdapat 3 saluran pasar tradisional kentang yaitu saluran 1, 2, dan 3 sedangkan saluran pasar modern hanya ditunjukkan oleh saluran 4. Saluran yang paling umum dilakukan petani adalah melalui pedagang III dengan jumlah penjualan mencapai 454.400 kilogram, sedangkan paling sedikit yaitu 5.3 persen petani responden menjual kentangnya melalui pedagang I. Skema volume arus komoditi kentang yang ditunjukkan oleh Gambar 5 belum mengungkapkan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran. Oleh karena itu perlu didampingi oleh fungsi-fungsi di setiap lembaga pemasaran yang ditunjukkan oleh Tabel 10. Tabel 10 Fungsi-fungsi yang dilakukan lembaga pemasaran kentang Saluran dan Lembaga Pemasaran Saluran 1 Petani Pedagang I Pedagang II Grosir Pasar Induk Pengecer Saluran 2 Petani Pedagang II Grosir Pasar Induk Pengecer Saluran 3 Petani Pedagang III Grosir Pasar Induk Pengecer Saluran 4 Petani Pedagang III Eksportir
Pertukaran Jual Beli
Fungsi-fungsi Pemasaran Fisik Fasilitas Angkut Simpan Sortasi Risiko Biaya
Informasi
√ √ √
√ √
√ √ √
-
√ -
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √
√ √
√
√ √
√ -
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√ √
√
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√ √
√ -
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√ √
√
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√ √
√ -
√ √
√ √
√ √
√ √ √
√ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
40
Berdasarkan Tabel 10 terkait fungsi pemasaran, dapat diketahui bahwa petani pada saluran pasar tradisional melakukan hampir semua fungsi pemasaran yang terdiri dari fungsi pertukaran berupa kegiatan penjualan, fungsi fisik berupa memindahkan kentang ke jalan (angkut), dan fungsi fasilitas berupa sortasi penanggungan risiko, biaya, dan informasi pasar. Hal ini sedikit berbeda dengan petani di pasar modern yang melakukan sortasi dan grading. Adapun sortasi yang dilakukan biasanya memisahkan antara yang busuk atau tidak, serta memisahkan ukuran DN yang akan dijadikan bibit kentang sedangkan grading memisahkan berdasarkan ukuran dan kualitas kentang. Kemudian juga terlihat pada saluran pasar tradisional, pedagang I tidak melakukan salah satu dari fungsi pemasaran kecuali pedagang II. Pedagang I tidak melakukan penyimpanan, grosir tidak melakukan pengangkutan, serta pengecer tidak melakukan sortasi. Berbeda dengan pasar modern atau tujuan eksportir, setiap lembaga melakukukan fungsi pemasaran kecuali petani yang tidak melakukan pembelian karena menghasilkan sayurannya sendiri. Kondisi pasar modern tersebut didukung oleh adanya kemitraan yang baik antara petani, pedagang, dan eksportirnya sendiri. Informasi pasar disampaikan dengan terbuka dan adanya prinsip untuk maju bersama. Petani dibekali cara budidaya yang baik dan pihak eksportir melakukan pengawasan secara berkala kepada lembaga pemasaran yang menjadi mitranya. Setiap kesulitan dan permasalahan yang terjadi dikomunikasikan dengan baik dan dicari solusi yang menguntungkan sehingga kerjasama yang terjadi tetap berkelanjutan. Petani yang memasok ke saluran pasar tradisional mengungkapkan adanya kesulitan dalam memasuki pasar modern. Sebagian petani mengungkapkan bahwa untuk menjadi petani yang memasok ke saluran pasar modern, harus memiliki jumlah produksi yang besar dan kualitas yang dihasilkannya pun sulit dipenuhi. Berbeda dengan pasar tradisional yang langsung mengambil seluruh hasil panen kentang tanpa syarat ukuran apapun. Petani juga mengungkapkan bahwa tindakan grading tidak dilakukan petani di pasar tradisional karena para pedagang tidak akan mau menerima kentang dengan spesifikasi DN, TO, atau ars. Dengan tercampur, maka kentang dapat terjual habis. Hal ini bertolak belakang dengan petani modern yang telah terlibat langsung kepada pasar eksportir. Petani melakukan grading sehingga kentang yang dihasilkan dapat dijual dengan harga yang berbeda-beda. Namun memang, jumlah produksi yang dihasilkan cukup besar dan petani yang menjual ke pasar ekspor merupakan petani skala besar. Saluran Pemasaran Tomat Berbeda dengan komoditi kentang yang relatif lebih tahan lama, tomat merupakan sayuran yang lebih cepat rusak. Oleh karena itu, setiap dilakukan pemanenan, maka pada hari itu juga petani sampel di Pangalengan menjual tomatnya. Tomat yang diusahakan petani contoh di Kecamatan Pangalengan adalah jenis marta. Tomat jenis ini dipilih petani pangalengan karena merupakan varietas khusus untuk dataran tinggi serta memiliki keunggulan lebih tahan lama saat pengiriman. Pemetikan tomat dapat dilakukan antara 1 sampai dengan 12 kali per satu kali musim tanam yaitu pada usia tomat mencapai 90 sampai dengan 120 hari. Biasanya pemetikan dilakukan 3 sampai 4 hari sekali tergantung kepada cuaca yang terjadi. Produktivitas rata-rata tomat di Pangalengan adalah 25 ton per hektar per musim. Adapun saluran pemasaran tomat disajikan pada Gambar 6.
41
107 500 Kg/ 16.58% Pasar Pangalengan Petani n=19
Pedagang I (n=3)
Pedagang II (n=3)
Pasar Induk Caringin
489 000 Kg 320 000 Kg/ 49.37%
Pasar Induk Kramat Djati
P E N G E C E R
Konsumen Dalam Negeri
78 920Kg/ 12.17%
Pedagang III (n=1) 102 600 Kg/ 15.83% Petani n=5
Eksportir 26 240Kg/ 4.05%
Restoran
125 000Kg/ 19.28%
Konsumen Luar Negeri
Konsumen Dalam Negeri
210 600 Kg
Keterangan:
Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3
Saluran 4 Saluran 5
41
Gambar 6 Skema arus komoditi tomat di Kecamatan Pangalengan
42
Berdasarkan data dari petani contoh sebanyak 24 orang dengan total produksi mencapai 648 100 kilogram, pedagang I sebanyak 1 orang, pedagang II sebanyak 3 orang dan pedagang III sebanyak satu orang, terbentuk 5 saluran pemasaran tomat di Kecamatan Pangalengan, yaitu: 1. Petani Pedagang I Pedagang II Grosir Pasar Induk Pengecer Konsumen Dalam Negeri (DN) 2. Petani Pedagang II Grosir Pasar Induk Pengecer Konsumen DN 3. Petani Pedagang III Grosir Pasar Induk Pengecer Konsumen DN 4. Petani Pedagang III Eksportir Konsumen Konsumen Luar Negeri 5. Petani Restoran Konsumen Dalam Negeri. Saluran pasar tradisional ada 3 yaitu saluran 1, 2, dan 3 sedangkan saluran pasar modern ditunjukkan oleh saluran 4 dan 5. Saluran pasar tradisional tomat masih mendominasi yaitu mencapai 72.13 persen sedangkan pasar modern hanya 23.34 persen. Saluran yang paling umum dilakukan petani adalah melalui pedagang II dengan jumlah penjualan mencapai 320 000 Kilogram. Adapun fungsi-fungsi pemasaran di setiap lembaga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Fungsi-fungsi yang dilakukan lembaga pemasaran tomat di Kecamatan Pangalengan periode Januari-April 2013 Saluran dan Lembaga Pemasaran Saluran 1 Petani Pedagang I Pedagang II Grosir Pengecer Saluran 2 Petani Pedagang II Grosir Pengecer Saluran 3 Petani Pedagang III Grosir Pengecer Saluran 4 Petani Pedagang III Eksportir Saluran 5 Petani Restoran
Pertukaran Jual Beli
Fungsi-fungsi Pemasaran Fisik Fasilitas Angkut Simpan Sortasi Risiko Biaya
Informasi
√ √ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √
√ √ √ -
√ √ √ √√
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ -
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √ -
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √
√ √
√ √ √
√ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √
√
√ -
√
√ -
√ √
√ √
√ √
43
Petani yang memiliki luas garapan kurang dari atau sama dengan satu hektar akan menjual ke Pedagang I sedangkan petani yang luas lahannya lebih dari satu hektar menjual sayurannya ke pedagang besar (Pedagang II dan III). Lembaga pemasaran yang melakukan fungsi pemasaran secara sempurna atau mencakup seluruh fungsi baik itu fisik, pertukaran, maupun fasilitas di kedua saluran pasar tradisional dan modern adalah Pedagang III. Pedagang III dalam hal ini adalah pedagang besar dengan volume usaha lebih dari 7 ton per hari dan mengirimkannya ke pasar tradisional dan juga modern. Hal ini terjadi karena tomat yang diminta pada pasar modern volumenya sedikit dan khusus untuk permintaan ekspor hanya mengambil tomat dengan kualitas super yaitu dalam satu kilogram terdiri dari 8-10 buah tomat. Oleh karena itu, petani di saluran pasar modern juga menjual ke pasar tradisional karena tomat yang dihasilkannya tidak mungkin 100 persen masuk dalam grade super. Saluran Pemasaran Kubis Petani responden untuk pengusahaan komoditi kubis berjumlah 17 orang dengan volume produksi mencapai 529 000 kilogram kubis periode Januari sampai dengan April 2013. Pengusahaan komoditas kubis tidak banyak biaya yang dikeluarkan karena kubis tidak membutuhkan pemupukan. Hanya saja, sebelum masa tanam kubis, masa tanam sebelumnya harus didahului oleh tanaman selain kubis yang dalam pemeliharaannya terjadi pemupukan, misalnya kentang dan tomat. Oleh karena itu, petani di Pangalengan menerapkan sistem rotasi tanaman. Dengan demikian, biaya produksi kubis relatif lebih kecil dibanding kentang dan tomat. Terdapat sistem jual yang berbeda dengan kentang dan tomat pada komoditi kubis. Pemanenan kubis dilakukan sekaligus atau sekali habis dan hal ini mendorong terjadinya sistem tebasan yaitu sistem penjualan sayuran kepada pedagang dimana pedagang tersebut membeli berdasarkan taksiran kebun, bukan berdasarkan berat per kilogram. Sistem ini terkadang menguntungkan, tapi juga terkadang merugikan petani karena penjualan hasil panen berdasarkan perkiraan petani dan pedagang yang akan membeli. Umumnya satu tanaman kubis menghasilkan 1 kilogram sehingga dalam satu hektar taksirannya adalah mencapai 25 ton jika populasinya 25 000 pohon. Setelah disepakati, pemanenan dilakukan sesuai dengan keinginan pedagang. Biasanya panen dilakukan pada hari ke-85 sampai dengan hari ke-90. Adapun skema komoditi kubis dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan Gambar tersebut, saluran pemasaran kubis yang terjadi di Kecamatan Pangalengan terdiri dari 3 saluran. Saluran pasar tradisional terdiri dari saluran 1 dan 2 sedangkan saluran pasar modern diwakili oleh saluran ketiga. Saluran pasar yang terjadi antara lain: 1. Petani Pedagang I Pedagang II Grosir Pasar Induk Pedagang Pengecer Konsumen Dalam Negeri 2. Petani Pedagang II Grosir Pasar Induk Pedagang Pengecer Konsumen Dalam Negeri 3. Petani Restoran Konsumen Dalam Negeri
44
44
95 250 Kg/ 17.44% Pasar Pangalengan Petani
Pedagang I
Pedagang II
Pasar Induk Caringin
529 000 Kg 434 250 Kg/ 82.09%
Pasar Induk Kramat Djati
P E N G E C E R
526 500 Kg/ 99.53%
2 500 Kg/ 0.47%
Restoran
Keterangan:
Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3
Gambar 7 Skema arus komoditi kubis di kecamatan Pangalengan
Konsumen Dalam Negeri
45
Berdasarkan skema arus komoditi kubis, sebanyak 82.09 persen kubis dari total produksi yang dihasilkan responden disalurkan melalui pedagang II, 17.44 persen disalurkan melalui pedagang I, dan 0.47 persen atau sebanyak 2.500 kilogram kubis disalurkan ke restoran. Petani cenderung memilih pedagang II walaupun harus mengeluarkan biaya untuk membayar jasa perantara dalam memasarkan kubisnya. Harga kubis yang berfluktuasi dan tak terduga membuat petani juga memilih menjual kubis secara tebas atau dengan sistem taksiran kebun sebagai alternatif menjual hasil panennya. Sistem tebas memiliki keunggulan dalam segi kepraktisan dari sisi petani, namun menyebabkan petani tidak melakukan fungsi pemasaran berupa fungsi fisik. Seluruh aktivitas pasca panen pada sistem tebas diserahkan sepenuhnya kepada pedagang. Fungsi pemasaran yang dilakukan lembaga pemasaran kubis secara terinci ditunjukkan oleh Tabel 12. Tabel 12 Fungsi-fungsi yang dilakukan lembaga pemasaran kubis Saluran dan Lembaga Pemasaran Saluran 1 Petani Pedagang I Pedagang II Grosir Pasar Pengecer Saluran 2 Petani Pedagang II Grosir Pasar Pengecer Saluran 3 Petani Restoran
Fungsi-fungsi Pemasaran Fisik Fasilitas
Pertukaran
Biaya
Informasi Pasar
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ -
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ -
√ √
√ √
√ √
Jual
Beli
Angkut Simpan Sortasi Risiko
√ √ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √
√ √ -
√ √ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √
√ √
√
√ -
√
Petani pada saluran pemasaran pertana tidak melakukan fungsi pemasaran yaitu fungsi fisik berupa penyimpanan juga tidak melakukan fungsi fasilitas berupa sortasi. Hal ini karena saat panen, petani saluran pasar tradisional menyerahkan segalanya kepada pedagang termasuk biaya panen itu sendiri dan penimbangan. Berbeda dengan petani di saluran pasar modern yang mengirim kubisnya ke restoran, fungsi fasilitas berupa sortasi dan fungsi fisik berupa pengangkutan tetap dilakukan. Adapun fungsi pengangkutan yang dilakukan petani umumnya dari kebun ke jalan besar untuk menunggu jemputan atau transaksi dari pedagang. Kegiatan tersebut menambah nilai dari kubis yang dipasarkan ke restoran. Petani melakukan hal tersebut supaya kerjasama dengan pasar modern yang menawarkan harga stabil tetap berkelanjutan.
46
Saluran Pemasaran Wortel Jumlah petani responden pada komoditi wortel adalah 10 orang dengan total produksi mencapai 794 000 kilogram. Berbeda dengan pembahasan ketiga komoditas sebelumnya di mana terdapat saluran pasar modern, komoditi wortel hanya dipasok untuk pasar tradisional. Dalam pemanenan wortel petani harus mengeluarkan upah tenaga kerja yang lebih besar karena panen wortel biasanya membutuhkan waktu dari pagi hingga sore. Oleh karena itu, petani yang tidak ingin mengeluarkan biaya panen, menjual wortelnya dengan cara tebas. Cara ini di satu sisi memang merupakan cara yang cepat apalagi dengan asumsi harga wortel di waktu mendatang akan mengalami penurunan. Namun, dengan sistem tebas, petani harus mengeluarkan biaya untuk membayar penyedia jasa perantara dan menghadapi risiko penerimaan yang lebih rendah jika harga yang terjadi saat panen lebih tinggi dari harga pada saat disepakatinya transaksi. Adapun skema arus komoditi wortel di Pangalengan ditunjukkan oleh Gambar 8. 23.03 %
Pasar Induk Caringin
Pedagang I Petani
Pasar Induk Kramat Djati
794.000 Kg (n=10)
Pasar Pangalengan
Pedagang II
P E N G E C E R
K O N S U M E N
76.97 %
Keterangan:
Saluran 1
Saluran 2
Gambar 8 Skema volume arus komoditi wortel di Kecamatan Pangalengan Berdasarkan skema arus komoditi wortel yang digambarkan pada Gambar 8, dapat diketahuo bahwa saluran pemasaran wortel terdiri dari: 1. Petani Pedagang I Pedagang II Grosir Pasar Induk Pedagang Pengecer Konsumen 2. Petani Pedagang II Grosir Pasar Induk Pedagang Pengecer Konsumen Mayoritas petani menjual wortel yang diproduksinya kepada pedagang II atau pedagang yang skala usahanya termasuk besar yaitu lebih dari 7 ton per hari. Petani menjual wortelnya tidak selalu per kilogram atau tebas saja, terdapat beberapa petani yang menjual wortelnya dengan gabungan cara tersebut. Hal ini tergantung kepada tinggi rendahnya harga yang sedang berlaku di pasar. Skema volume arus komoditi wortel yang ditunjukkan oleh Gambar 8 perlu didampingi oleh Tabel 13 yang menunjukkan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan setiap lembaga pemasaran wortel yang terlibat.
47
Tabel 13 Fungsi-fungsi yang dilakukan lembaga pemasaran wortel Saluran dan Lembaga Pemasaran Saluran 1 Petani Pedagang I Pedagang II Grosir Pasar Pengecer Saluran 2 Petani Pedagang II Grosir Pasar Pengecer
Fungsi-fungsi Pemasaran Fisik Fasilitas
Pertukaran Jual
Beli
√ √ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √
√ √ -
√ √ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ -
Biaya
Informasi Pasar
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
Angkut Simpan Sortasi Risiko
Fungsi pemasaran pada saluran pasar wortel lebih banyak dilakukan oleh pedagang I dan pedagang II dibandingkan petani. Sama halnya seperti pada komoditi kubis, petani wortel yang melakukan penjualan dengan sistem tebas tidak melakukan fungsi fisik berupa penyimpanan, juga tidak melakukan fungsi fasilitas berupa sortasi. Hal ini karena saat panen, petani saluran pasar tradisional menyerahkan penanganan lahan sayurannya kepada pedagang termasuk biaya panen dan transportasi. Walaupun ada petani yang menjual wortelnya per kilogram, pedagang tetap menjemput ke kebun petani sehingga fungsi pengangkutan yang dimaksud adalah dari kebun petani ke jalan tempat penjemputan oleh pedagang. Secara umum, aktivitas pemasaran antara petani yang memasok ke saluran pasar tradisional sedikit berbeda dibandingkan dengan aktivitas pemasaran petani di saluran pasar modern. Hal yang membedakannya adalah pada komoditas kentang dan tomat, petani pasar modern sudah melakukan fungsi fisik berupa grading sehingga mendapatkan nilai jual yang lebih tinggi. Pada komoditas kubis, petani pasar modern melakukan tambahan fungsi pemasaran berupa pengepakan dan sortasi sedangkan pada petani di saluran pasar tradisional jarang dilakukan. Biaya pemasaran yang dikeluarkan petani tradisional di keempat komoditas yang dianalisis lebih banyak untuk membayar penyedia jasa perantara sedangkan biaya pemasaran di saluran pasar modern lebih dialokasikan untuk menambah nilai sayuran yang tercermin dari dilakukannya lebih banyak fungsi pemasaran. Keberadaan pasar modern seperti eksportir dan restoran merupakan alternatif pemasaran yang baik bagi petani sayuran di Pangalengan. Walaupun demikian, peranan pasar tradisional tetap vital karena lebih dari 80 persen sayuran yang dihasilkan petani disalurkan ke pasar tradisional. Namun, aktivitas pemasaran yang dilakukan di saluran pasar tradisional dapat ditambah untuk menambah nilai guna sayuran yang dihasilkan sehingga harga jual yang didapat petani juga lebih baik. Hal ini dapat ditempuh dengan meminimalisir peran jasa perantara dan memperkuat hubungan petani dengan pedagang melalui kemitraan.
48
6 EFISIENSI SALURAN PASAR TRADISIONAL DAN MODERN Pengukuran efisiensi pemasaran baik di pasar tradisional maupun modern pada keempat komoditas sayuran dilihat dari efisiensi operasional yang terdiri dari marjin pemasaran dan farmer’s share, serta efisiensi harga yang dianalisis dengan integrasi pasar antara harga sayuran di tingkat pengecer terhadap harga di tingkat petani. Marjin Pemasaran dan Farmer’s share Kentang Marjin pemasaran terbagi sesuai dengan jumlah saluran pemasaran pada setiap komoditas. Adapun penetapan marjin pemasaran pada pasar modern kentang dibagi menjadi saluran 4a, 4b, 4c adalah berdasarkan harga jual yang dilakukan terhadap eksportir. Hal ini disebabkan karena kentang yang dijual kepada eksportir terdiri dari beberapa kualitas dengan harga yang berbeda. Oleh karena itu diberlakukan 3 ketentuan harga yaitu: (1) saluran 4a adalah ketika pedagang III dikenakan harga paling rendah dari ekportir yaitu kentang kualitas DN-TO sebesar Rp4 000 per kilogram; (2) saluran 4b adalah saluran dengan harga rata-rata dari semua grade kentang yang dijual pedagang III ke eksportir yaitu rata-rata harga jual dari kualitas super, medium, DN, dan TO sebesar Rp4 600 per kilogram; serta (3) saluran 4c menggunakan harga jual tertinggi dari kentang kualitas super yang dijual ke eksportir yaitu Rp5 500 per kilogram. Adapun rincian marjin pemasaran kentang dapat dilihat pada Lampiran 1. Marjin pemasaran terbesar diantara keempat saluran pemasaran kentang yang terjadi di Pangalengan adalah pada saluran pemasaran pertama untuk saluran pemasaran tradisional dan saluran pemasaran 4c untuk saluran pasar modern yang berturut-turut nilainya Rp1 575 per kilogram dan Rp1 000 per kilogram. Total marjin pemasaran pada saluran kedua sebesar Rp1 325 per kilogram dan saluran ketiga sebesar Rp1 250 per kilogram. Marjin pemasaran pada saluran pertama paling besar terjadi di pedagang pengecer yaitu Rp500 per kilogram. Saluran kedua memiliki marjin pemasaran yang tersebar merata per lembaga yaitu sebesar Rp500 per kilogram. Marjin pemasaran terbesar di saluran ketiga juga terjadi di pedagang pengecer. Nilai marjin yang besar mengindikasikan adanya biaya pemasaran yang besar. Mengkaji marjin di pasar modern, terdapat marjin yang nilainya paling kecil yaitu Rp500 pada saluran pasar 4a yang berlaku untuk asumsi kentang dengan kualitas dan harga jual paling rendah. Dengan demikian, pedagang III pada saluran tersebut lebih banyak mengeluarkan biaya pemasaran dibandingkan penerimaannya sehingga mengalami kerugian sebesar Rp25 per kilogram. Namun hal ini tertutupi dengan jumlah marjin pada saluran 4b dan 4c untuk kentang dengan kualitas rata-rata dan paling tinggi, dimana mendapatkan keuntungan berturut-turut sebesar positif Rp375 dan Rp475 per kilogram. Secara ringkas marjin dari pasar modern dan tradisional dapat dilihat pada Tabel 14.
49
Tabel 14 Marjin pemasaran dan farmer’s share kentang di Pangalengan periode Januari-April 2013 Uraian a. Harga Jual Petani b. Marjin Pedagang I c. Marjin Pedagang II d. Marjin Pedagang III e. Marjin Grosir f. Marjin Pengecer g. Harga Jual konsumen h. Eksportir Total Marjin Rata-rata Marjin
Saluran Pemasaran (Rp/Kg) 1 3 925 400 375 300 500 5 500 1 575
2 4 275 480 345 500 5 600 1 325
3
4a
4b
4c
4 500 450 300 500 5 750 1 250
4 000 500 4 500 500
4 600 900 5 500 900
5 500 1 000 6 500 1 000
Tradisional: Rp1 383.33
Modern: Rp800
Marjin rata-rata dari saluran pasar tradisional adalah Rp1 383.33 per kilogram sedangkan dari saluran pasar modern rataannya adalah Rp800 per kilogram. Berdasarkan hasil tersebut, jika dinilai dari segi marjin pemasaran saja, maka pemasaran kentang di kecamatan Pangalengan lebih efisien terjadi di saluran pasar modern dibandingkan pasar tradisional karena menghasilkan marjin lebih kecil. Adapun marjin pemasaran terbesar di pasar tradisional dinikmati oleh pengecer. Hal ini terjadi karena para pedagang baik I, II, dan III mengandalkan kuantitas atau tonase kentang dalam penjualannya. Berbeda halnya dengan pengecer yang biasanya menjual dengan volume yang sedikit sehingga marjin yang dikenakan terhadap kentang per kilogramnya menjadi tinggi. Adapun di saluran pasar modern, marjin terbesar dinikmati oleh pedagang III karena melalukan fungsi pemasaran lebih banyak dalam menambah nilai guna produk. Ukuran efisiensi operasional lain yang dilakukan pada penelitian ini adalah bagian harga yang diterima petani atau farmer’s share. Nilai farmer’s share tertinggi komoditi kentang di saluran pasar tradisional adalah pada saluran pasar 3 yaitu petani pedagang III grosir pasar pengecer Konsumen Dalam Negeri. Bagian yang diterima petani pada saluran pasar tersebut adalah 78.26 persen. Adapun pada saluran pasar modern, nilai farmer’s share tertinggi adalah pada saluran 4a yaitu petani pedagang III Eksportir Konsumen Luar Negeri. Nilai bagian yang diterima petani pada saluran pasar tersebut mencapai 88.89 persen dengan asumsi penetapan harga kentang dengan kualitas terendah yaitu Rp4 500 per kilogram. Adapun nilai rata-rata farmer’s share pada saluran pasar tradisional adalah 75.32 persen sedangkan pada saluran pasar modern rataannya mencapai 85.71 persen. Berdasarkan nilai marjin pemasaran dan farmer’s share tersebut, maka pemasaran kentang di saluran pasar modern dapat dikatakan lebih efisien dibandingkan pasar tradisional. Adapun secara ringkas, farmer’s share kentang disajikan pada Gambar 9.
Persentase (%)
50
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
1 2 3 4a 4b 4c i ii Marketing Channels Tradisional (i) modern (ii) Rataan Farmer's Share 71.36 76.34 78.26 88.89 83.64 84.62 75.32 85.71
Gambar 9 Farmer’s share kentang di Pangalengan periode Januari-April 2013 Tomat Marjin pemasaran tertinggi pada saluran pasar tradisional adalah pada saluran satu yaitu petani Pedagang I Pedagang II Pedagang II Grosir pasar induk Pengecer Konsumen dengan total marjin mencapai Rp1 550 per kilogram tomat. Adapun marjin tertinggi pada saluran pemasaran tomat modern adalah saluran keempat yaitu petani Pedagang III Eksportir Konsumen yaitu Rp750 per kilogram. Sama halnya seperti kentang, pada komoditi tomat juga diberlakukan 3 harga pada saluran kelima. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa grade tomat yang diperjualbelikan ke restoran. Adapun 5a memberlakukan harga tomat paling rendah sebesar Rp4 500, 5b merupakan harga dengan kualitas ratarata yaitu Rp7 237.50 dan 5c dengan kualitas super dengan harga jual Rp11 600. Saluran pemasaran kelima yaitu 5a, 5b dan 5c memiliki marjin bernilai nol karena merupakan pemasaran langsung dari petani ke restoran. Jika hanya dilihat pada indikator marjin pemasaran, maka saluran pemasaran tomat modern lebih efisien dibanding tradisional. Berdasarkan saluran pemasaran yang terbentuk, baik tradisional maupun modern maka marjin pemasaran tomat di kecamatan Pangalengan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Adapun ringkasannya disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Marjin pemasaran dan Farmer’s Share tomat di Kecamatan Pangalengan periode januari-april 2013 Uraian a. Harga Jual Petani b. Marjin Pedagang I c. Marjin Pedagang II d. Marjin Pedagang III e. Marjin Grosir f. Marjin Pengecer g. Harga Jual konsumen h. Eksportir Total Marjin
1 3950 325 325 400 500 5500 1550
2 4125 400 450 600 5575 1450
Saluran Pemasaran (Rp/Kg) 3 4 5a 5b 4600 5250 4500 7238 500 750 400 400 5900 6000 4500 1300 750 0 -
5c 11600 -
51
Persentase (%)
Marjin pemasaran tertinggi pada saluran pasar tradisional tomat di Kecamatan Pangalengan dinikmati oleh pedagang pengecer. Hal ini terjadi karena pedagang pengecer menjual tomat dalam jumlah yang sedikit sehingga mengandalkan marjin yang cukup tinggi sedangkan pedagang I, II, dan III lebih mengandalkan kuantitas tomat atau volume penjualan. Total marjin pemasaran tertinggi terjadi di saluran pertama sebesar Rp1 550 per kilogram dimana marjin terbesar juga dinikmati oleh pedagang pengecer. Adapun di saluran pasar modern yaitu eksportir, nilai marjin lebih kecil bahkan bernilai nol untuk saluran kelima yaitu ke restoran. Saluran pasar modern terdiri dari saluran 4, 5a, 5b, dan 5c. Adapun marjin pada saluran pasar modern yang paling tinggi adalah yang disalurkan ke eksportir yaitu mencapai Rp750. Hal ini terjadi karena pasokan ke eksportir hanya tomat dengan kualitas super saja. Oleh karena itu, petani menjual ke pedagang III yang juga memasarkan tomatnya ke pasar tradisional. Adapun marjin saluran kelima yang bernilai nol disebabkan petani langsung menjual langsung tomatnya ke restoran sehingga tidak ada lembaga perantara yang lain. Berdasarkan indikator marjin pemasaran, dapat diketahui bahwa saluran pasar modern pada dasarnya merupakan saluran yang menguntungkan petani. Namun di sisi lain, permintaan tomat yang sedikit dari restoran menyebabkan petani harus menjual produksi tomatnya ke saluran pasar tradisional. Walaupun demikian, pada dasarnya pasar modern masih terbuka peluang yang cukup besar terutama untuk ekspor. Oleh karena itu, petani tomat harus dapat menghasilkan tomat dengan yang kualitasnya sesuai dengan spesifikasi kualitas ekspor. Hal tersebut dapat ditempuh dengan penerapan good agriculture practices melalui budidaya dan sistem pemasaran yang baik. Adapun farmer’s share pada komoditi tomat secara ringkas ditunjukkan oleh Gambar 10. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
1 2 3 4 5a 5b 5c i ii Tradisional (i) modern (ii) Rataan Farmer's Share 71.82 73.99 77.97 87.50 100.00 100.00 100.00 74.59 96.88
Marketing Channels
Gambar 10 Farmer’s share tomat di Pangalengan periode Januari-April 2013 Nilai farmer’s share tertinggi yaitu 100 persen dihasilkan pada saluran kelima yang memasok ke pasar modern yaitu restoran. Farmer’s share rata-rata untuk saluran pasar tradisional adalah 74.59 persen sedangkan di saluran pasar modern adalah 96.57 persen. Pada dasarnya nilai farmer’s share pada penelitian ini tinggi karena harga tomat sedang mengalami peningkatan bahkan merupakan
52
harga tertinggi di sepanjang musim selama sepuluh tahun terakhir. Pada kondisi sebelumnya, harga tomat pernah mengalami penurunan mencapai angka Rp300 per kilogram sehingga biaya produksi petani dalam mengusahakan tomat pun tidak tertutupi. Oleh karena itu, di pembahasan selanjutnya dilakukan analisis integrasi pasar antara harga di tingkat petani dan harga di tingkat pengecer untuk komoditi tomat di Pangalengan. Kubis Komoditi selanjutnya yang menjadi pembahasan adalah kubis. Berdasarkan saluran pemasaran yang terbentuk, baik tradisional maupun modern maka marjin pemasaran kubis di kecamatan Pangalengan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Adapun ringkasannya disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Marjin pemasaran dan farmer’s share komoditi kubis di Kecamatan Pangalengan periode Januari-April Uraian a. Harga Jual Petani b. Marjin Pedagang I c. Marjin Pedagang II d. Marjin Grosir e. Marjin Pengecer f. Harga Jual Konsumen g. Restoran Total Marjin
Saluran Pemasaran (Rp/Kg) 1 2 1 940.00 2 050.00 360.00 400.00 650.00 300.00 300.00 500.00 500.00 3 500.00 3 500.00 1560.00 1450.00
3 2 500.00 2 500.00 0
Hasil analisis marjin pemasaran kubis menunjukkan bahwa di saluran pasar pertama, nilai marjin terbesar dinikmati oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp500 per kilogram. Selanjutnya di saluran pasar kedua, marjin tertinggi juga dinikmati oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp500 per kilogram. Adapun di saluran pasar modern, nilai marjinnya adalah nol karena petani langsung memasarkan produknya ke restoran. Jika dilihat hanya berdasarkan nilai marjin pemasaran ini, efisiensi pemasaran di saluran pasar modern lebih baik dibandingkan saluran pasar tradisional. Nilai farmer’s share tertinggi di saluran pasar tradisional kubis adalah pada saluran pasar modern yaitu petani langsung menjual kubis ke restoran. Bagian yang diterima petani pada saluran pasar tersebut adalah 100 persen karena tidak ada lembaga pemasaran lain yang terlibat. Adapun pada saluran pasar tradisional baik satu maupun dua menghasilkan farmer’s share berturut-turut adalah 55.43 persen dan 58.57 persen. Berdasarkan nilai farmer’s share tersebut, maka pemasaran kubis di saluran pasar modern lebih efisien dibandingkan pasar tradisional. Nilai farmer’s share tomat secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 11.
53
Persentage (%)
100 80 60 40 20 0
Marketing Channels Farmer's Share
Tradisio nal 1 55.43
Tradisio nal 2 58.57
modern 100.00
Gambar 11 Farmer’s share kubis di Pangalengan periode Januari-April 2013 Hal yang menarik untuk dianalisis pada pemasaran kubis ini adalah pada sistem tebasan yang dilakukan petani. Hal tersebut dipilih petani karena dianggap mudah dan simple karena petani tidak melakukan kegiatan pemasaran. Namun fakta yang terjadi petani justru mengeluarkan biaya lebih banyak karena harus membayar jasa peyedia informasi (calo) kepada pedagang I atau pedagang II. Terlihat pada saluran I dan II petani mengeluarkan biaya terbesar adalah untuk membayar penyedia jasa tersebut sedangkan biaya lainnya hanya sepertiga dari total biaya pemasaran yang dikeluarkan petani. Berbeda dengan petani yang memasok ke saluran pasar modern, biaya pemasaran yang dikeluarkan tidak mencakup biaya untuk penyedia jasa perantara karena kerjasama sudah terjalin sebelumnya melalui kontrak kerjasama. Biaya pemasaran pun lebih rendah jika dibanding dengan saluran II, yaitu Rp300 per kilogram dibanding Rp321.35 per kilogram. Wortel Komoditi keempat yang menjadi pembahasan adalah wortel. Wortel merupakan satu-satunya sayuran pada penelitian ini yang hanya dipasarkan ke pasar tradisional. Analisis marjin pemasaran pada wortel menunjukkan bahwa marjin tertinggi pada kedua saluran dinikmati oleh pedagang II yang berturut-turut nilainya adalah Rp533.33 per kilogram dan Rp542.82 per kilogram. Hal ini disebabkan oleh biaya pemasaran yang dilakukan oleh pedagang II merupakan yang paling tinggi dibanding lembaga pemasaran lainnya. Wortel bahkan juga dilakukan pencucian, sortasi dan pengepakan sehingga kualitas wortel di pasar tradisional sudah cukup baik. Sama halnya seperti komoditi kubis, wortel juga dipasarkan oleh petani dengan dua cara yaitu dengan sistem tebas dan sistem abress atau per kilogram. Petani biasanya menjual wortel dengan sistem tebasan kepada pedagang I yang biasanya membutuhkan jasa perantara (calo). Pada saluran pertama dan kedua berturut-turut nilainya adalah Rp143.80 dan Rp42.86. Hal ini dilakukan petani dengan beberapa alasan. Pertama adalah alasan kepraktisan karena kegiatan pemanenan wortel membutuhkan waktu yang lama yang berbanding lurus dengan biaya tenaga kerja. Oleh karena itu, jika diserahkan kepada pedagang dalam penanganannya, maka petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk tenaga kerja atau tidak repot mencari tenaga kerja yang memang sulit dicari. Alasan kedua adalah karena petani yang sibuk. Petani tersebut biasanya memiliki pekerjaan lain
54
yang membutuhkan penanganannya secara langsung. Oleh karena itu, untuk kegiatan pemanenan diserahkan langsung kepada pedagang. Marjin pemasaran secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 4 sedangkan ringkasan dari marjin pemasarannya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Marjin Pemasaran dan Farmer’s share komoditi wortel di Kecamatan Pangalengan periode Januari-April Saluran Pemasaran (Rp/Kg) 1 1 532.04 434.63 533.33 300.00 400.00 3 200.00 1 667.96 47.88
Uraian a. Harga Jual Petani b. Marjin Pedagang I c. Marjin Pedagang II d. Marjin Grosir e. Marjin Pengecer f. Harga Jual Konsumen Total Marjin Farmer's Share
2 1 928.57 542.86 300.00 500.00 3 271.43 1 342.86 58.95
Persentase (%)
Wortel adalah sayuran yang pada penelitian ini hanya dipasok ke pasar tradisional. Berdasarkan saluran yang terbentuk, nilai bagian yang diterima petani wortel adalah 47.88 persen dan 58.95 persen. Nilai ini merupakan nilai yang paling rendah dibandingkan nilai farmer’s share pada komoditas lain seperti kentang, tomat, dan kubis. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kegiatan pemasaran atau pasca panen yang menambah nilai produk, sebagian besar dilakukan oleh pedagang sedangkan petani hanya sampai pemanenan saja. Nilai farmer’s share wortel di Pangalengan periode Januari-April 2013 disajikan pada Gambar 12. 60 50 40 30 20 10 0
Marketing Channels Farmer's Share
Tradisional 1 47.88
Tradisional 2 58.95
Gambar 12 Farmer’s share wortel di Pangalengan periode Januari-April 2013 Secara umum, jika dilihat dari nilai marjin pemasaran dan farmer’s share, dapat disimpulkan bahwa saluran pasar modern komoditas sayuran yaitu kentang, tomat, dan kubis lebih efisien dibandingkan saluran pasar tradisional. Adapun komoditi wortel yang dipasok hanya ke pasar tradisional memiliki farmer’s share kurang dari 60 persen.
55
Integrasi Pasar Sayuran di Pangalengan Integrasi pasar vertikal merupakan pengukuran seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada satu tingkat lembaga atau pasar dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Secara sederhana adalah bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar acuan dengan mempertimbangkan harga pada waktu yang lalu dengan harga yang terjadi pada saat ini. Perubahan harga pada pasar lokal dapat disebabkan oleh adanya perubahan marjin pada pasar lokal dan pasar acuan pada waktu yang sebelumnya (lag-time). Analisis integrasi pasar vertikal yang dianalisis yaitu integrasi jangka pendek dan integrasi jangka panjang. Analisis integrasi pasar sayuran baik kentang, tomat, kubis, maupun wortel pada jangka pendek dianalisis dengan menggunakan Indeks Keterpaduan Pasar (IKP) atau Index of Market Connection (IMC). Nilai Indeks Keterpaduan Pasar (IKP) pada jangka pendek memperlihatkan hubungan antara pasar lokal dengan pasar acuan. Adapun analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah hubungan antara petani dengan pedagang eceran atau ritel saja. Hasil output komputer eviews keempat komoditas dapat dilihat pada Lampiran 5, 6, 7, dan 8. Secara ringkas intrepetasi hasil integrasi pasar dapat ditunjukkan oleh Tabel 18. Tabel 18 Integrasi pasar komoditas sayuran Koefisien Output Komoditas
b1
b2
Kentang
0.779
0.112
Tomat Kubis Wortel
0.372 0.699 0.727
0.660 0.258 0.349
b3
Integrasi IMC
Jangka Pendek
-0.059 13.201 Tidak Terintegrasi 0.503 0.208 0.165
0.739 Kuat 3.359 Lemah 4.403 Lemah
Jangka Panjang Lemah Kuat Lemah Lemah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komoditi kentang, petani tidak memiliki integrasi dengan pedagang eceran dalam jangka pendek. Hal ini ditunjukkan dengan nilai IMC yang tinggi. Artinya, perubahan harga kentang di tingkat ritel pada waktu sebelumnya tidak memengaruhi harga kentang di tingkat petani pada saat ini. Adapun pada komoditas kubis dan wortel, nilai IMC adalah lebih besar dari satu namun tidak tinggi terlalu tinggi. Hal ini menujukkan bahwa dalam jangka pendek integrasi yang terjadi antara petani dan pedagang pengecer bersifat lemah. Dengan kata lain, harga kubis dan wortel ditingkat petani saat ini dipengaruhi oleh harga kubis ditingkat ritel pada waktu sebelumnya meskipun hubungannya lemah. Adapun pada komoditas tomat, nilai IMC lebih besar dari 0.5 dan kurang dari 1, yaitu 0.739. Hal ini berarti integrasi jangka pendek yang terjadi bersifat kuat atau perubahan harga tomat di tingkat ritel pada waktu sebelumnya sangat memengaruhi harga tomat di tingkat petani. Namun pada komoditi tomat ditemukan permasalahan asumsi BLUE yang menyebabkan hasil analisis menjadi kurang representatif. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, diantaranya terkait dengan data dan informasi dan cara pengambilan sampel. Pada komoditas sayuran lain juga ditemukan permasalahan asumsi BLUE, namun dengan mentransformasi model, beberapa permasalahan tersebut dapat diselesaikan. Secara lengkap koreksi model dapat dilihat pada Lampiran 5, 6, 7, 8.
56
Adapun hubungan jangka panjang antara pasar lokal dengan pasar acuan dapat dilihat dari nilai koefisien b2. Analisis yang dilakukan adalah melihat hubungan antara pasar lokal (petani) dengan pasar acuan (ritel). Nilai b2 yang kurang dari 0.5 pada komoditas kentang, kubis, dan wortel menunjukkan bahwa dalam jangka panjang petani memiliki integrasi pasar yang lemah dengan pedagang eceran. Hal yang berbeda terjadi pada komoditi tomat di mana hubungan antara petani dengan ritel dalam jangka panjang bersifat kuat yang ditunjukkan oleh nilai b2 lebih besar dari 0.5. Berdasarkan hasil analisis terkait integrasi pasar sayuran di Pangalengan, dapat diketahui bahwa secara umum sayuran di pasar tradisional belum terintegrasi dengan baik. Hal ini terjadi karena informasi pasar baik terkait dengan harga maupun volume sayuran di pasar yang dituju tidak dapat diakses oleh petani. Petani pangalengan umumnya mendapatkan informasi dari para pedagang besar dan itu pun selang beberapa waktu. Harga yang berubah di pasar acuan, dalam hal ini harga ritel sangat dipengaruhi oleh pasokan nasional. Pada kasus kentang misalnya, ketika seorang petani ingin memasarkan kentangnya, pedagang yang hendak membeli hasil panen kentang akan mencari informasi terlebih dahulu terkait volume sayuran yang kira-kira akan masuk ke pasar tradisional seperti pasar induk Kramat Djati. Informasi tersebut diperoleh bukan dari dinas setempat melainkan mengandalkan koneksi dengan pedagang atau petani di daerah lain yang mungkin akan memasok kentang ke pasar Kramat Djati. Pedagang yang dihubungi tersebut berasal dari Dieng, Sumatera, Garut, dan daerah sentra produksi kentang lainnya. Oleh karena itu, integrasi harga pada komoditas kentang tidak terjadi pada jangka pendek, dan lemah pada jangka panjang. Penurunan harga yang terjadi pada sayuran juga dipengaruhi oleh waktu panen dari petani. Jika panen petani dilakukan secara bersamaan, baik saling mengetahui satu sama lain antar petani ataupun tidak, maka pasokan akan melimpah dan menurunkan harga pasar. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sistem informasi yang merekam data faktual terkait luas lahan sayuran di setiap daerah sentra produksi sayuran. Diharapkan dengan data tersebut, petani dapat terkoordinir dan terjadwal waktu panennya. Lebih jauh, dengan adanya informasi tersebut petani juga dapat merencanakan waktu tanam dan komoditas sayuran yang akan ditanamnya.
7 DAMPAK SALURAN PASAR MODERN Dampak Saluran Pasar Modern terhadap Petani Hadirnya saluran pasar modern menyebabkan terjadinya beberapa perubahan baik pada aktivitas budidaya maupun pemasaran yang dilakukan oleh petani sayuran di Kecaatan Pangalengan. Terdapat beberapa indikator yang akan menjadi pembahasan dalam mengkaji dampak saluran pasar modern pada petani di Kecamatan Pangalengan. Indikator tersebut diantaranya adalah produktivitas sayuran, keuntungan petani per hektar, dan kualitas sayuran yang dihasilkan petani.
57
Produktivitas Sayuran Petani menjadi Meningkat Produktivitas kentang di Kecamatan Pangalengan dikelompokkan menjadi dua jenis berdasarkan saluran pasar yang terjadi yaitu tradisional dan modern. Hasil analisis data menunjukkan bahwa produkivitas kentang dari petani yang memasok ke pasar modern lebih tinggi dibandingkan produktivitas kentang yang dihasilkan petani pasar tradisional. Produktivitas kentang yang dihasilkan saluran pasar modern adalah 20 000.00 kilogram per hektar sedangkan pada pasar tradisional 19 509.89 kilogram per hektar. Hal ini terjadi karena petani di saluran pasar modern menerapkan budidaya yang lebih baik seperti penggunaan mulsa dan pemupukan tambahan. Biaya produksi per hektar di saluran pasar modern pada komoditas kentang lebih tinggi dibandingkan saluran pasar tradisional namun tudak signifikan yaitu sebesar Rp57 500 000.00 per hektar sedangkan pada saluran pasar tradisional mencapai Rp57 033 175.36 per hektar. Namun terkait dengan biaya pemasaran dan penerimaan, khusus pada komoditi kentang dibedakan menjadi tunai dan total. Penerimaan atau biaya tunai adalah berkaitan dengan kentang yang langsung dijual saat panen, sedangkan istilah total digunakan ketika memperhitungkan kentang yang dijadikan bibit. Adapun perbedaan biaya tunai yang dikeluarkan petani di pasar tradisional dam modern berturut-turut adalah Rp61 080 864.93 dan Rp63 155 000.00 sedangkan biaya total Rp62 102 665.88 untuk pasar tradisional dan Rp63 955 000.00 untuk pasar modern. Analisis keseluruhannya dilakukan dalam lingkup per hektar. Diantara kedua pasar memang tidak terdapat perbedaan biaya yang signifikan. Hal ini terjadi karena teknik budidaya yang dilakukan petani di saluran pasar modern tidak jauh berbeda dengan yang petani untuk pasar tradisional lakukan. Walaupun produktivitas yang dihasilkan oleh petani yang memasok ke pasar modern lebih tinggi, namun biaya produksi per kilogram yang dihasilkan di saluran pasar modern sedikit lebih tinggi dibanding saluran pasar tradisional yaitu Rp3 157.75 berbanding Rp3 130.76. Produktivitas dan biaya usahatani di kedua saluran pasar dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Produktivitas dan biaya pokok kentang pada saluran pasar tradisional dan modern di kecamatan Pangalengan Produktivitas per Ha Biaya Pokok per Ha Biaya Pokok per Saluran Pasar (Kg) (Rp) Kg (Rp) Tradisional 19 509.89 53 033 175.36 3 130.76 Modern 20 000.00 57 500 000.00 3 157.75 Perbedaan 490.11 466 824.64 26.99 Sama halnya dengan komoditi kentang, produktivitas tomat dikedua saluran pemasaran menghasilkan rataan yang berbeda. Produktivitas tomat di saluran pasar modern juga lebih tinggi dibanding saluran pasar tradisional yaitu 36 000 kilogram per hektar berbanding 29 842.11 kilogram per hektar. Biaya produksi pengusahaan tomat oleh petani pasar modern per hektar pun lebih tinggi dari saluran pasar tradisional, berturut-turut adalah Rp74 163 424.12 dan Rp55 768 455.07. Perbedaan tersebut terjadi karena petani di saluran pasar modern dituntut untuk menghasilkan tomat dengan kualitas super sesuai dengan permintaan restoran atau eksportir. Tomat dengan kualitas super tersebut dihasilkan jika mendapatkan perlakuan budidaya yang lebih baik diantaranya adalah pemupukan,
58
penggunaan mulsa, penggunaan turus dan pengikatan cabang pada turus. Perlakuan tersebut seringkali tidak dilakukan oleh petani pada saluran pasar tradisional sehingga biaya produksi lebih rendah. Akhirnya biaya produksi tomat di saluran pasar modern pun lebih tinggi yaitu Rp2 060.10 sedangkan di pasar tradisional hanya Rp1 868.78. Produktivitas dan biaya produksi tomat di kecamatan Pangalengan kedua saluran pasar dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Produktivitas dan biaya pokok tomat pada saluran pasar tradisional dan Modern di kecamatan Pangalengan Saluran Pasar Tradisional Modern Perbedaan
Produktivitas per Ha (Kg) 29 842.11 36 000.00 6 157.89
Biaya Pokok per Ha (Rp) 55 768 455.07 74 163 424.12 18 389 969.09
Biaya Pokok per Kg (Rp) 1 868.78 2 060.10 191.31
Seperti kentang dan tomat, produktivitas kubis di saluran pasar modern lebih tinggi dibandingkan saluran pasar tradisional. Perbedaan produktivitasnya mencapai 3 864.96 kilogram per hektar. Biaya produksi kubis per hektar di kedua saluran hampir mendekati angka yang sama yaitu Rp27 382 198.95 untuk saluran tradisional dan Rp31 250 000.00 untuk modern. Adapun biaya pokok produksi per kilogram yang dihasilkan hanya berbeda Rp0.10 karena pada dasarnya dalam budidaya kubis tidak ada perbedaan yang signifikan di kedua saluran. Produktivitas kubis di kedua saluran pasar dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Biaya pokok dan produktivitas kubis pada saluran pasar tradisional dan Modern di kecamatan Pangalengan Produktivitas per Ha Biaya Pokok per Ha Biaya Pokok Saluran Pasar (Kg) (Rp) per Kg (Rp) Tradisional 27 385.04 27 382 198.95 999.99 Modern 31 250.00 31 250 000.00 1 000.00 Perbedaan 3 864.96 3 052 455.36 0.10 Berbeda dengan ketiga komoditas sayuran sebelumnya yaitu kentang, tomat, dan kubis, wortel pada penelitian ini merupakan komoditas yang hanya dipasok ke saluran pasar tradisional. Produktivitas wortel yang dihasilkan oleh petani responden rata-rata mencapai 25 525.00 kilogram per hektar dengan biaya pokok produksi per hektar mencapai Rp13 716 996.90 dan biaya pokok per kilogram sebesar Rp537.39. Produktivitas dan biaya pokok produksi wortel di Kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Produktivitas dan biaya pokok wortel pada saluran pasar tradisional di kecamatan Pangalengan Saluran Pasar Produktivitas Biaya Pokok per hektar Biaya Pokok per Kg
Satuan Kilogram Rupiah Rupiah
Besaran 25 525.00 13 716 996.90 537.39
59
Secara umum, produktivitas sayuran di saluran pasar modern lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas sayuran di saluran pasar tradisional. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa saluran pasar modern memiliki pengaruh yang positif terhadap produktivitas sayuran yang diusahakan petani. Petani pasar modern lebih aware terhadap budidaya sayuran yang baik supaya menghasilkan sayuran berkualitas sesuai dengan keinginan pasar karena termotivasi dengan harga jual yang tinggi. Keuntungan Petani menjadi Meningkat Keuntungan petani yang akan dianalisis dalam melihat dampak saluran pasar modern adalah per hektar. Hal ini dilakukan supaya analisis komparasi dilakukan secara konsisten dengan perbandingan yang adil karena jika dilakukan per kilogram, maka produktivitas lahannya tidak dapat terukur. Dengan diketahuinya produktivitas dan biaya usahatani per hektar, maka dapat diketahui biaya pokok per kilogram dari setiap komoditas sayuran yang diteliti. Berdasarkan aktivitas budidaya yang dilakukan petani dikedua saluran, dapat diketahui perbedaan biaya dan produktivitas sayuran baik di saluran pasar tradisional maupun di saluran pasar modern. Adapun keuntungan petani di kedua saluran pemasaran baik tradisional maupun modern untuk komoditi kentang disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Analisis keuntungan petani kentang Saluran Pasar Indikator Tradisional Modern Biaya usahatani per Ha (Rp) 57 033 175.36 57 500 000.00 Produktivitas (Kg/Ha) 19 509.89 20 000.00 Biaya Pemasaran (Rp/Ha) 5 069 490.52 6 455 000.00 Keuntungan (Rp/Ha) 31 810 959.72 36 645 000.00 Rasio keuntungan terhadap biaya 1.51 1.57 Berdasarkan Tabel 23, dapat diketahui bahwa keuntungan dari petani di pasar modern lebih besar 15.20 persen dari petani yang memasok ke pasar tradisional. Hal ini juga terbukti dari nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang lebih besar untuk petani yang memasok ke pasar modern yaitu sebesar 1.57 sedangkan petani pasar tradisional 1.51. Petani di pasar modern melakukan kegiatan sortasi dan grading sehingga menambah nilai dari kentang yang dihasilkannya dan mendapatkan nilai jual kentang yang lebih tinggi. Petani tersebut biasanya bermitra dengan pedagang besar (pedagang III) dan menjalin komunikasi yang baik antara keduanya supaya usaha yang dilakukan tetap berkelanjutan. Terkait dengan biaya pemasaran, seperti telah dibahas di bagian sebelumnya, petani di pasar tradisional lebih banyak menggunakan jasa perantara untuk memasarkan kentang sedangkan di pasar modern petani tidak menggunakan jasa tersebut. Akhirnya biaya yang dikeluarkan petani pada pasar tradisional lebih banyak digunakan untuk membayar jasa perantara yaitu 60 persen dari total biaya pemasaran, sedangkan biaya yang menambah nilai sayuran yang dihasilkan hanya 40 persennya saja.
60
Beralih ke komoditi tomat, hasil analisis menunjukkan bahwa petani tomat di saluran pasar modern rata-rata mengeluarkan biaya produksi yang lebih tinggi dibanding petani pasar tradisional. Begitu juga dengan biaya pemasaran yang dikeluarkan dibandingkan di pasar tradisional. Hal ini terjadi karena terdapat petani pasar modern yang memasok tomat langsung ke restoran dimana seluruh biaya dimulai sortasi, pengepakan, transportasi, dan bongkar muat ditanggung sendiri. Adapun keuntungan petani di pasar tradisional maupun modern untuk komoditi tomat secara rata-rata disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Analisis keuntungan petani tomat di Kecamatan Pangalengan periode Januari-April 2013 Indikator Biaya usahatani per Ha (Rp) Produktivitas (Kg/Ha) Biaya Pemasaran (Rp) Total Biaya (Rp) Penerimaan (Rp) Keuntungan (Rp) Rasio keuntungan thd biaya
Saluran Pasar Tradisional Modern 55 768 455.07 74 163 424.12 29 842.11 36 000 4 989 772.85 23 202 857.14 60 755 227.93 97 366 281.27 125 979 314.80 180 202 334.63 64 224 086.88 83 836 053.36 1.07 0.85
Perbedaan yang cukup signifikan dapat dilihat pada pengusahaan tomat. Biaya produksi antara petani yang memasok ke pasar tradisional rata-rata mencapai Rp55 768 455.07 per hektar sedangkan biaya pokok produksi tomat yang dipasok ke pasar modern mencapai Rp74 163 424.12 per hektar. Biaya pemasaran pun lebih tinggi Rp18 216 084.29 dibandingkan saluran pasar tradisional. Akhirnya keuntungan yang didapatkan petani yang memasok ke eksportir dan restoran lebih tinggi sebesar 27.00 persen dibandingkan keuntungan petani di pasar tradisional yang berturut-turut nilainya adalah Rp64 224 086.88 dan Rp83 836 053.36. Walaupun demikian, jika dilihat nilai rasio keuntungan terhadap biaya, saluran pasar tradisional memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu 1.07 sedangkan pasar modern hanya 0.85. Hal ini terjadi karena pada budidaya tomat yang dilakukan petani saluran pasar modern, lebih banyak biaya yang dikeluarkan sehingga memengaruhi biaya secara keseluruhan. Harga tomat yang berlaku pada saat penelitian lapang dilangsungkan yaitu bulan Maret sampai April, pernah terjadi harga pasar tomat yang melebihi harga kontrak eksportir. Petani pun kemudian merasa kurang nyaman dengan hal tersebut sehingga perjanjian antara kedua belah pihak diperbaharui. Harga yang diberlakukan kemudian menjadi harga kontrak ditambah dengan harga yang berlaku di pasar tradisional kemudian dibagi dua. Hal ini jelas membuat petani tetap bersemangat untuk memproduksi tomat dengan kualitas dan keuntungan yang lebih baik. Keuntungan petani untuk komoditi kubis di kedua saluran pemasaran baik tradisional maupun modern berdasarkan analisis yang dilakukan ternyata tidak berbeda secara nyata. Analisis secara rata-rata terkait keuntungan petani kubis di pasar tradisional maupun modern disajikan pada Tabel 25.
61
Tabel 25 Analisis keuntungan petani kubis Indikator Biaya usahatani per Ha (Rp) Produktivitas (Kg/Ha) Biaya Pemasaran (Rp) Penerimaan (Rp) Keuntungan (Rp) Rasio Keuntungan thd Biaya
Saluran Pasar Tradisional 27 382 198.95 27 385.04 5 922 629.44 56 259 162.30 22 954 333.92 0.69
Modern 31 250 000.00 31 250.00 9 375 000.00 72 265 625.00 31 640 625.00 0.78
Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa keuntungan petani kubis di pasar modern lebih besar 37.84 persen dibandingkan keuntungan petani yang memasok kubis ke pasar tradisional. Biaya usahatani dan pemasaran yang dikeluarkan oleh petani kubis pasar tradisional lebih rendah dibandingkan biaya usahatani dan biaya pemasaran yang dikeluarkan di pasar modern. Namun karena harga kubis di pasar modern lebih tinggi yaitu Rp2 500 berbanding Rp2 071, maka penerimaannya pun lebih tinggi. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai rasio keuntungan terhadap biaya yaitu 0.78 untuk pasar modern dan 0.69 untuk pasar tradisional. Namun dalam penelitian komoditi kubis, petani responden yang memasok ke pasar modern di Pangalengan masih terbatas yaitu hanya satu orang. Hal ini dikarenakan petani belum dapat menyerap informasi dan menjalin kerjasama dengan pasar modern. Keuntungan petani untuk komoditi wortel di saluran pasar tradisional cukup besar yaitu mencapai 65.52 persen dari biaya usahatani per hektar. Hal ini disebabkan oleh harga jual wortel yang tinggi di pasar tradisional yaitu mencapai Rp1 928.57 per kilogram, sedangkan biaya pokok produksinya 61elative kecil yaitu Rp537.39 per kilogram. Secara umum petani melakukan sistem tebasan dalam menjual wortelnya, namun tetap ada biaya pemasaran sebesar Rp5 787 930.88 per hektar yang proporsi terbesarnya (65.96 persen) digunakan untuk membayar penyedia jasa perantara. Hal tersebut lebih banyak dialokasikan untuk pembayaran jasa perantara saat penjualan hasil panen wortel. Adapun nilai rasio keuntungan terhadap biaya pengusahaan wortel oleh petani adalah 1.07 yang berarti petani mendapatkan keuntungan Rp1.07 dari setiap Rp1 biaya yang dikeluarkan. Secara terperinci keuntungan petani wortel disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Analisis keuntungan petani wortel di Kecamatan Pangalengan periode Januari-April 2013 Indikator Biaya usahatani per Ha (Rp) Produktivitas (Kg/Ha) Biaya Pemasaran (Rp) Penerimaan (Rp) Keuntungan (Rp) Rasio Keuntungan terhadap Biaya
Jumlah 13 716 966.70 25 525.00 5 787 930.88 40 441 419.14 20 936 491.57 1.07
62
Secara umum, dampak saluran pemasaran modern terhadap petani adalah positif dimana petani terdorong untuk menghasilkan sayuran yang lebih baik yang ditunjukkan oleh peningkatan produktivitas dan kualitas sayuran yang dihasilkan. Hal ini dicapai karena petani melakukan food agricultural practices pada pengusahaan sayurannya. Keuntungan petani modern pun dari ketiga komoditas yang dipasarkan ke pasar modern yaitu kentang, tomat dan kubis terbukti lebih tinggi dibandingkan keuntungan petani yang memasok ke pasar tradisional. Hal ini juga dibuktikan dengan nilai rasio biaya terhadap keuntungan di saluran pasar modern yang lebih tinggi dibandingkan tradisional kecuali untuk komoditi tomat. Meningkatnya Kualitas Sayuran yang Dihasilkan Petani Petani pangalengan umumnya menjual kentang hasil produksinya dalam bentuk abress atau secara tercampur. Tidak ada pengelompokkan kentang berdasarkan ukuran (grading) padahal sebenarnya kentang yang dihasilkan memiliki ukuran yang berbeda-beda. Pada pasar modern biasanya dilakukan grading sebagai fungsi fasilitas disamping kegiatan sortasi yang dilakukan petani. Harga jual yang tinggi di pasar modern mendorong petani yang biasanya bermitra dengan pedagang besar dan eksportir untuk menghasilkan kentang yang berkualitas. Adapun kentang yang dihasilkan adalah Super/XL, Medium ABC, DN, TO dan Baby. Adapun ukuran kentang yang dipanen dapat dilihat pada Gambar 13.
Keterangan: dari kiri ke kanan ukuran Baby-TO-DN-Medium ABC-Super Gambar 13 Ukuran kentang yang dihasilkan oleh petani Pangalengan Pada saluran pasar tradisional, biasanya kentang yang diperjualbelikan adalah kualitas ABC yang tercampur tanpa differensiasi harga. Berbeda dengan pasar modern yang menetapkan harga berbeda sesuai dengan grade kentang yang dihasilkan. Harga kentang yang tercantum dalam perjanjian dengan eksportir ditunjukkan oleh Tabel 27. Tabel 27 Differensiasi harga kentang di pasar modern pada periode Januari sampai April 2013 GradeKentang Spesifikasi (Buah/Kg) Harga yang ditetapkan Super 10-15 6 500 Medium ABC 16-20 6 000 Mini (TO) 21-30 4 500 DN/ Baby >30 4 500
63
Berdasarkan data differensiasi harga tersebut, dapat diketahui bahwa kualitas yang baik menghasilkan harga jual yang lebih tinggi. Hal ini bahkan berlaku bagi kentang dengan ukuran TO dan DN (baby) yang bahkan jika dikelompokkan dengan baik dan sesuai keinginan konsumen, dihargai lebih tinggi dari kentang abress. Dengan adanya kontrak harga, petani yang memasok ke pasar modern lebih terpacu untuk meningkatkan kualitas kentangnya. Hal ini terjadi terutama untuk petani mitra yang bekerja sama baik dengan eksportirnya langsung maupun mitra dari pedagang besar yang memasok ke eskportir. Melalui sistem kemitraan yang biasanya juga tergabung dalam sebuah kelompok tani, petani kemudian dibina dalam hal budidaya supaya kualitas kentang sesuai dengan kesepakatan. Sistem tersebut jelas merupakan simbiosis mutualisme yang menguntungkan lembaga pemasaran di pasar modern. Oleh karena itu, salah satu dampak hadirnya pasar modern adalah meningkatkan kualitas kentang. Kualitas tomat yang dihasilkan petani sangat beragam ukurannya. Namun petani saluran pasar tradisional biasanya menjualnya secara tercampur. Adapun di pasar modern, grade tomat yang dihasilkan terdiri dari kualitas super, A, B, dan TO. Kualitas super spesifikasi beratnya adalah terdiri dari 8-10 buah per kilogram, kualitas A berisi 11-15 buah per kilogram, kualitas B berisi 16-20 buah per kilogram, serta TO yang dalam satu kilogramnya berisi lebih dari 20 buah. Tomat yang akan dipasok ke pasar modern dibeli dengan harga yang berbeda sesuai dengan grade yang dihasilkan petani. Berbeda dengan kentang yang sortasi dan grading-nya dilakukan pedagang besar, pada komoditas tomat akan disoroti saluran pasar modern yaitu restoran karena fungsi pemasaran tersebut dilakukan langsung oleh petani. Tabel 28 menunjukkan harga beli tomat di restoran yang menjadi tujuan petani responden. Tabel 28 Harga beli Tomat di Pasar Modern (Restoran) GradeTomat Super A B TO
Spesifikasi (Buah/Kg) 8-10 11-15 16-20 >20
Harga yang ditetapkan (Rp/Kg) Restoran 1 Restoran 2 8 200 15 000 7 700 6 500 7 000 4 500 5 000 4 000
Penetapan harga tomat di pasar modern lebih tinggi dibandingkan harga tomat di pasar tradisional yang pada waktu penelitian kisaran harganya Rp3 500 sampai dengan Rp7 000 dan tetap menghadapi risiko fluktuasi harga. Walaupun permintaan tomat untuk restoran relatif sedikit yaitu 50 kilogram per minggu, namun untuk pasar ekspor permintaan tomat masih belum dapat terpenuhi. Kontrak harga menyebabkan petani terpacu untuk memenuhi permintaan tomat. Sama halnya seperti kentang, petani yang menyalurkan tomat ke pasar ekspor juga bermitra sehingga terdapat pengawasan dan pemberian informasi yang penting dalam menghasilkan tomat berkualitas. Target menghasilkan tomat yang berkualitas ditempuh dengan pemasangan ajir atau turus dan pengikatan batang tanaman tomat pada ajir tersebut. Selain itu, cabang tanaman tomat juga tidak dibiarkan banyak, cukup 4 cabang supaya dihasilkan tomat dengan kualitas super lebih banyak. Dengan demikian, pada komoditi tomat pun terjadi peningkatan kualitas dengan hadirnya pasar modern.
64
Adapun pada komoditi kubis, hadirnya saluran pasar modern dalam hal ini restoran cukup berpengaruh terhadap peningkatan kualitas kubis yang dihasilkan petani. Walaupun dalam hal budidaya tidak ada perbedaan yang signifikan antara petani tradisional dan petani pasar modern, tetapi dalam saluran pasar modern terdapat perlakuan pasca panen pada komoditi kubis. Adapun tindakan pasca panen yang dilakukan adalah sortasi, pengelupasan lapisan luar kubis yang kotor, pelapisan bonggol kubis, dan pengemasan dengan dibungkus koran. Walaupun harga jual yang ditetapkan restoran tidak berbeda jauh yaitu Rp2 500 per kilogram, namun berdasarkan aktivitas pasca panen tersebut, jelas bahwa kualitas kubis yang dihasilkan lebih baik dibandingkan saluran pasar tradisional yang langsung dijual saat panen. Komoditi terakhir yaitu wortel, kualitas yang dihasilkan pada pasar tradisional sudah cukup baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan negosiasi lebih lanjut dengan pasar modern. Sebagian petani menyebutkan enggan memasuki pasar modern karena sistem konsinyasi yang cenderung merugikan dan maraknya wortel impor dari luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan regulasi pemerintah terhadap ketentuan impor produk hortikultura khususnya sayuran. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa dengan hadirnya pasar modern dan saluran pasar yang mengikutinya, petani dapat meningkatkan kualitas sayuran yang dihasilkan. Walaupun biaya yang dikeluarkan lebih tinggi, namun keuntungan petani tetap lebih tinggi karena harga yang berlaku di pasar modern pun lebih tinggi dari pasar tradisional. Dampak Saluran Pasar Modern terhadap Saluran Pasar Tradisional Keberadaan saluran pasar modern tentu memiliki dampak terhadap saluran pasar tradisional. Hal ini dapat dilihat dari tiga indikator utama yaitu volume produksi sayuran di saluran pasar tradisional, kegiatan pemasaran yang tercermin melalui fungsi pemasaran oleh masing-masing lembaga pemasarab, serta panjang pendeknya saluran pemasaran yang terjadi di pasar tradisional. Menurunnya Volume Sayuran Volume produksi pada saluran pasar tradisional dengan hadirnya saluran pasar modern adalah lebih kecil karena alokasi produk sayuran di lokasi penelitian terbagi ke pasar modern baik itu eksportir maupun restoran. Pada awalnya, ketika saluran pasar modern belum menjadi alternatif pilihan pemasaran petani, seluruh hasil sayuran petani dipasarkan ke pasar tradisional. Seperti yang diungkapkan pada pembahasan skema volume arus komoditi sebelumnya, walaupun proporsinya volume sayuran yang dipasarkan ke saluran pasar modern lebih rendah, namun hal tersebut berdampak pada menurunnya volume sayuran yang dipasarkan di saluran pasar tradisional. Volume perdagangan pada saluran pasar tradisional menjadi menurun di ketiga komoditas yang dianalisis yaitu kentang sebesar 20.39 persen, tomat sebesar 23.34 persen, dan kubis sebesar 0.47 persen. Gambar 14 menunjukkan alokasi volume sayuran setelah adanya pasar modern.
65
Volume Perdagangan (Kg)
700000
624 775
600000
526 500 467500
500000 400000
volume ke Pasar Tradisional
300000
180 600
160000
200000
Volume ke pasar modern
2 500
100000 0 Kentang
Tomat
Kubis
Komoditas
Gambar 14 Alokasi volume sayuran setelah adanya saluran pasar modern Pada dasarnya volume perdagangan sayuran di pasar modern masih dapat ditingkatkan seiring dengan meluasnya retail modern dan permintaan ekspor dari dalam negeri. Petani dan pelaku pemasaran sayuran di Pangalengan dapat mengakses informasi pasar dan menciptakan sistem agribisnis sayuran yang baik termasuk pemasaran sebagai penanganan pasca panen. Namun, peranan pasar tradisional yang menyerap volume sayuran lebih besar tidak dapat dihilangkan begitu saja. Untuk itu, pasar tradisional perlu perbaikan dalam hal sarana dan infrasturktur sehingga sistem yang terjadi dapat mencontoh kepada saluran pasar modern yang terbukti menambah keuntungan di sisi produsen dan kepuasan konsumen tetap tercapai. Bertambahnya Fungsi Pemasaran Saluran Pasar Tradisional Indikator kedua adalah fungsi pemasaran yang terjadi ketika pasar modern menjadi tujuan pemasaran. Dapat diketahui bahwa terdapat fungsi pemasaran yang tumbuh akibat dari keberadaan pasar modern. Lebih tepatnya adalah pada komoditi kentang yang dilakukan oleh pedagang III, dan pada komoditi kubis yang dilakukan oleh petani. Bertambahnya fungsi pemasaran karena pengaruh pasar modern dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Fungsi pemasaran yang tumbuh karena pasar modern Komoditas dan Lembaga Pemasaran
Fungsi-fungsi Pemasaran Fisik Fasilitas Sortasi/ Beli Angkut Simpan Risiko Biaya Grading
Pertukaran Jual
Informasi Pasar
Kentang Pedagang II
√
√
√
√
-
√
√
√
Pedagang III
√
√
√
√
√
√
√
√
Petani
√
-
-
-
-
√
√
√
Petani
√
-
√
-
√
√
√
√
Kubis
66
Pertama komoditi kentang, ketika pasar modern belum ada, maka pedagang III yang posisinya sama dengan pedagang II berdasarkan karakteristik dan volume usahanya, akan menyalukan seluruh kentang yang dibelinya ke pasar tradisional. Adapun fungsi pemasaran yang dilakukan akan sama seperti pedagang II yaitu tidak ada sortasi dan grading. Namun setelah hadirnya saluran pasar modern, pedagang III kemudian melakukan fungsi fasilitas tersebut. Lebih jauh bahkan pedagang III melakukan tindakan pencucian. Jika setelah pencucian kentang tersebut memiliki bintik dan sedikit cacat, karena persyaratan kualitas maka kentang tersebut diperkirakan akan afkir jika dikirim ke eksportir. Akhirnya kentang yang telah dicuci tersebut dijual ke pasar tradisional. Dengan demikian, jelas bahwa fungsi pemasaran bertambah di saluran pasar tradisional. Kedua adalah komoditi kubis. Jelas terlihat peranan saluran pasar modern dalam bertambahnya fungsi pemasaran yang dilakukan petani kubis. Jika pasar modern tidak ada, maka petani kubis tidak melakukan fungsi fisik berupa pengangkutan, dan fungsi fasilitas berupa sortasi. Ketika saluran pasar modern dalam hal ini restoran muncul, maka petani melakukan kedua fungsi tersebut. Tindakan pengangkutan adalah saat petani mengantarkan kubisnya ke restoran, dan fungsi sortasi dilakukan supaya kubis yang dipasok ke restoran merupakan kubis dengan kualitas yang baik (tidak pecah, tidak kotor, tidak terkena hama). Berdasarkan kedua kasus empiris tersebut, dapat dsimpulkan bahwa dengan adanya saluran pasar modern, fungsi pemasaran menjadi bertambah. Tidak hanya di tingkat petani, bahkan lembaga pemasaran seperti pedagang pun melakukan fungsi pemasaran yang tidak dilakukan di pasar tradisional. Dengan adanya penambahan fungsi pemasaran yang dilakukan lembaga pemasaran, maka terdapat nilai tambah sayuran yang dihasilkan. Saluran Pasar Tradisional Lebih Pendek Indikator ketiga adalah memanjang atau memendeknya saluran pemasaran. Hal ini dapat dilihat pada komoditi kentang dan tomat. Pada kedua komoditas tersebut, peran pedagang I dapat ditiadakan dan menggantikannya dengan pedagang II atau pedagang III. Dengan demikian, petani akan menjual langsung sayurannya ke pedagang besar tanpa adanya pedagang perantara. Hal ini mungkin dilakukan dengan adanya sistem kemitraan atau kelompok tani yang terkoordinasi dengan baik. Pada komoditi kentang, sebelum adanya pasar modern atau eksportir, kentang akan selalu dijual ke pasar tradisional. Saluran pasar tradisional yang terjadi ada tiga dimana melibatkan pedagang I dan pedagang II. Pedagang III di pasar modern berkedudukan sama dengan pedagang II ketika dia tidak berperan di pasar ttadisional. Karena pedagang III selalu membeli kentang dari petani, maka pedagang I dapat dihilangkan. Dengan demikian, saluran pemasaran menjadi lebih pendek Sama halnya seperti komoditi kentang, ketika pasar modern belum ada, lembaga pemasaran komoditi tomat yaitu pedagang III akan berkedudukan sebagai pedagang II karena memiliki karakteristik dan volume usaha yang sama. Lebih tepatnya, posisi pedagang III akan sama seperti pedagang II yang berperan di saluran pasar yang pertama yaitu petani pedagang I pedagang II grosir pasar pengecer Konsumen, dan saluran pasar kedua yaitu petani pedagang II grosir pasar pengecer Konsumen. Tanpa kehadiran pasar modern, pedagang III menjadi pedagang II yang juga membeli dari pedagang I.
67
Namun dengan adanya pasar modern, pedagang III akan selalu berada di saluran pasar kedua karena selalu membeli tomat dari petani. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa pedagang III merupakan penggerak kelompok tani di Pangalengan. Tidak hanya berorientasi profit dalam menjalankan usahanya, pedagang III juga bervisi untuk menyejahterakan petani. Dengan adanya pasar modern, penggerak kelompok tani ini juga lebih berperan dalam memotivasi petani untuk menghasilkan tomat yang berkualitas. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pasar modern, saluran pasar menjadi lebih pendek yang berindikasi pada semakin efisiennya pemasaran. Dalam pasar modern, informasi terbuka seluas-luasnya sehingga tidak ditemukan adanya penyedia jasa perantara (calo) antara petani dan pedagang. Berdasarkan kedua contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadirnya saluran pasar modern memberikan dampak positif berupa memendeknya saluran pemasaran sayuran.
8 SIMPULAN 1.
2.
3.
Aktivitas pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran di saluran pasar modern dan tradisional terdapat perbedaan. Hal tersebut dicirikan oleh fungsi pemasaran yang dilakukan. Pada pasar tradisional, fungsi pemasaran yang dilakukan oleh petani dan lembaga pemasaran sayuran yang memasok umumnya terdiri dari: (1) fungsi fasilitas berupa sortasi, risiko, biaya, dan informasi; (2) fungsi fisik berupa pengangkutan dan penyimpanan; serta (3) fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian. Namun pada beberapa saluran pasar tradisional, petani tidak melakukan fungsi sortasi dan pengangkutan. Hal tersebut yang membedakannya dengan saluran pasar modern dimana petani melakukan fungsi fasilitas berupa sortasi dan fungsi fisik berupa pengangkutan. Pada komoditas kentang dan tomat bahkan petani di saluran pasar modern sudah melakukan fungsi grading yang menambah nilai sayuran. Efisiensi pemasaran yang terjadi pada komoditas kentang, tomat, dan kubis terbukti lebih efisien pada saluran pasar modern dibanding tradisional. Efisiensi saluran pasar dilihat dari nilai marjin pemasaran, farmer’s share, dan intergrasi pasar antara petani dan ritel. Umumnya komoditas sayuran yang dianalisis belum terintegrasi dengan baik karena informasi pasar yang datang ke petani lebih lambat dibandingkan pedagang perantara. Adapun pada komoditi tomat, terintegrasi kuat karena informasi kepada petani lebih terbuka dan disalurkan dengan cepat karena permintaan tomat pada saat penelitian sedang tinggi. Dampak saluran pasar modern terhadap petani adalah meningkatnya produktivitas sayuran yang dihasilkan, meningkatnya keuntungan, dan meningkatnya kualitas sayuran yang dipasarkan. Adapun dampak saluran pasar modern terhadap saluran pasar tradisional antara lain berkurangnya volume perdagangan sayuran di pasar tradisional, bertambahnya fungsi pemasaran, serta saluran pemasaran tradisional menjadi lebih pendek.
68
9 SARAN 1.
2.
3.
Terbukanya jendela pasar regional dan internasional memberi peluang besar bagi Indonesia untuk ikut berperan aktif dalam perdagangan internasional. Selain itu, pertumbuhan pasar modern menuntut produk pertanian Indonesia khususnya sayuran untuk secara kontinyu dapat memasuki pasar tersebut dengan kualitas yang unggul. Tingginya permintaan sayuran di pasar Internasional dan domestik perlu ditindaklanjuti oleh para pelaku agribisnis sayuran terutama petani. Tidak hanya produktivitas tanaman yang perlu ditingkatkan tetapi juga manajemen pemasaran yang harus diintegrasikan. Langkah yang dapat dilakukan untuk mendukung terlaksananya hal tersebut adalah dengan penyediaan akses informasi. Akses informasi ini ditujukan untuk seluruh pihak yang terlibat dalam sistem agribisnis khususnya sayuran. Oleh karena itu, dengan informasi yang tersebar merata, diharapkan setiap pelaku tersebut dapat menjalankan pasar yang adil. Terkait saluran pasar tradisional, pemerintah dapat menempuh langkah yang baik dengan menciptakan iklim investasi di pasar tradisional. Tidak hanya menyediakan fasilitas atau infrastruktur di pasar tersebut, tetapi juga menciptakan sistem pemasaran yang baik dengan mengintegrasikan seluruh lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pasar tradisional.
DAFTAR PUSTAKA [ACDIVOCA] Agricultural Cooperative Development International and Volunteers in Overseas Cooperative Assistance. 2011. Indonesia: Export and Import Replacement Potential for Selected Horticultural Products, A Market Window Analysis. Washington DC (US). Asmarantaka RW. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. ______________. 1985. Analisis Pemasaran Jagung di Daerah Sentra Produksi Lampung [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Aguiar DRD, Santana JA. 2002. Asymmetry in farm to retail price transmission: Evidence from Brazil. Agribusiness (US). 18(01): 37-48. Aparna B, Hanumanthaiah CV. 2012. Are supermarket more efficient than traditional market channels?. Agricultural Economics Research Review (IN). 25(2):309-316. Adiani G. 2005. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
69
Adiyoga W, Fuglie KO, dan Suherman R. 2006. Integrasi Pasar Kentang di Indonesia: Analisis Korelasi dan Kointegrasi. Informatika Pertanian (ID) Volume 15. Ariyanto. 2008. Analisis Tataniaga Sayuran Bayam: Kasus Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2011. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi Indonesia. Jakarta (ID): BPS. Bakucs LZ and Ferto I. 2008. Price Transmission on The Hungarian Milk Market [Paper]. Belgium (BE): People, Food and Environments: Global Trends and European Strategies. Paper prepared for presentation at the 12th EAAE Congress. Bovee CL, Thill JV. 1992. Marketing. New York (US): Mc Graw Hill, Inc. Cadilhon JJ, Moustier P, Poole ND, Tam PTG, and Fearne AP. 2006. Traditional vs. Modern Food Systems? Insights from Vegetable Supply Chains to Ho Chi Minh City (VN). Development Policy Review. 24 (1): 31-49. Carter, MR and Mesbah D. 1993. Can land market reform mitigate the exclusionary aspects of rapid agro‐export growth? World Development. 21(7): 1085–1100. Conception SB and Digal LN. 2007. Alternative vegetable supply chains in the Philippines. Philippines (PH): Regoverning Markets Project. Dahl DC, Hammond JW. 1977. Market and price analysis. The Agricultural Industries. New York (US): Mc Graw Hill, Inc. [Disperta Jabar] Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat. 2012. Kontribusi produksi sayuran Jawa Barat terhadap Nasional tahun 2011. Bandung (ID): Disperta Jabar. __________________________________________________________________ . 2012. Pelayanan Informasi Pasar Unit Sentra Pangalengan. Bandung (ID): Disperta Jabar. [Dirjen Hortikultura] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2012. Perkembangan PDB subsektor hortikultura tahun 2006-2010. Jakarta (ID): Dirjen Hortikultura. ______________________________________________. 2012. Nilai ekspor hortikultura tahun 2007-2011. Jakarta (ID): Dirjen Hortikultura. Fariyanti A. 2008. Perilaku ekonomi rumahtangga petani sayuran dalam menghadapi risiko produksi dan harga produk di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ferrari MF. 1994. 20 Years of Horticulture in Indonesia: The Vegetable Sector. Working paper series. Washington DC (US): CGPRT Centre. Gonarsyah I. 1992. Peranan Pasar Induk Kramat Jati Sebagai Barometer Harga Sayur Mayur di Wilayah DKI Jakarta. Mimbar Sosek, Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). (5):43-48.
70
__________. 1994. Catatan kuliah pemasaran pertanian lanjutan. Sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): IPB. Hernández R, Reardon T, and Berdegué JA. 2007. Supermarkets, Wholesalers, and Tomato Growers in Guatemala. Agricultural Economics, 36(3): 281‐ 290. __________, Berdegue J, dan Reardon T. 2012. Modern Markets and Guava Farmers in Mexico. Brazil (BR): Selected paper prepared for presentation at International Association of Agricultural Economics (LAAE) Triennial Conference. Huang J, Reardon T. 2008. Patterns in and Determinants and Effects of farmers’ Marketing strategies in Developing Countries. Synthesis Report – Micro Study. Regoverning Markets-Small-scale producers in modern agrifood markets. Sustainable Markets Group. London (GB): International Institute for Environment and Development (IIED). Irawan B. 2007. Fluktuasi harga, transmisi harga, dan Marjin pemasaran sayuran dan buah. Analisis Kebijakan Pertanian. 5(4): 358-373 [Kemendag] Kementrian Perdagangan. 2012. Indonesia Perluas Pasar Produk Hortikultura ke Eropa. Jakarta (ID): Kemendag. Kohls dan Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. Ninth Edition. New Jersey (US): A Prentice Hall Upper Saddle River. Kotler P. 2003. Marketing Management. 12th ed. Pearson Prentice-Hall, Inc. New Jersey. Kotler P, Amstrong G. 2010. The Principles of Marketing 14th Edition. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall. Kotler P, Keller KL. 2009. Manajemen Pemasaran. Sabran B, penerjemah; Maulana A, Hayati YS, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Marketing Management. Ed ke-13. Levens M. 2010. Marketing: Defined, Explained, Applied. Pearson Education. New Jersey. Ma’mun. 1985. Keragaan pemasaran kentang dan kubis di Jawa Barat dan beberapa faktor yang mempengaruhinya [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Minot N, Roy D. 2007. Impact of high-value agriculture and modern marketing channels on poverty: An analytical framework. Washington DC (US): International Food Policy Research Institute. Nakajima. 2011. Estimations of the Price Transmission and Market Power in Canola Export Market: Implication to Canola Import of Japan. Conference: 55thAnnual AARES (Australian Agricultural and Resource Economics Society) National Conference. Onoja AO, Usoroh BB, Adieme DT. 2012. Determinants of market participation in Nigerian small-scale fishery sector: Evidence from Niger Delta Region. The Journal of Sustainable Development. 09(1):69-84.
71
Perdana T and Kusnandar. 2012. The Triple Helix Model for Fruits and Vegetables Supply Chain Management Development Involving Small Farmers in Order to Fulfill the Global Market Demand: a Case Study in “Value Chain Center (VCC) Universitas Padjadjaran. Procedia-Social and Behavioral. 52(09):80-89 Permana AS. 2004. Analisis jaringan pemasaran komoditas sayuran: kasus petani kecil Ciwidey, Bandung [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Punjabi M dan Sardana V. 2007. Initiatives and Issues in Fresh Fruit and Vegetable Supply Chain in India. India (IN): 3rd International Conference on Linking Markets and Farmers: Exploring Leading Practices to Foster Economic Growth in Rural India. Purcell WD. 1979. Agricultural Marketing: System, Coordination, Cash and Future Prices. Virginia (US): A Prentice Hall Company. Purnama MK. 2010. Optimasi rantai dingin dan penjadwalan kirim untuk peningkatan ekspor sayuran: studi kasus unit prosessing sayuran dataran rendah di Pekanbaru Riau [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahman A. 2012. Integrasi dan Transmisi Harga pada Pasar CPO dan Minyak Goreng Sawit di Indonesia [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics (US). 68(1): 102-109. Reztl I, Panagopoulos Y 2008. Asymmetric Price Transmission in the Greek AgriFood Sector: Some Tests. Agribusiness (US). 24(01):16-30. DOI: 10.1002/agr.20144 Rosiana N. 2012. Sistem Pemasaran Gula Tebu (Cane Sugar) dengan pendekatan sctructure, conduct, performance (SCP). Kasus Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bunga mayang [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ross DF. 2008. The intimate of supply chain: Leveraging the supply chain to manage the customer experience. New York (US): Taylor & Francais Group. Russel E. 2010. The Fundamentals of Marketing. Washington (US): AVA Publisher. Savitri D. 2010. Analisis permintaan sayuran hijau di Pulau Jawa [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Schaffner DJ, Schroder WR, Earle MD. 1998. Food Marketing. An international perspective. Boston (US): McGraw Hill. Schipmann C, Qaim M. 2011. Modern food retailers and traditional markets in developing countries: Comparing quality, prices, and competition strategies in Thailand. Global Food Discussion Papers Germany (DE): Georg-August-University of Göttingen.
72
Setiawan AS. 2009. Studi peningkatan kinerja manajemen rantai pasok sayuran dataran tinggi terpilih di Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Silitonga EH. 1999. Analisis efisiensi pemasaran sayuran dataran tinggi kabupaten Karo provinsi Sumatera Utara [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. SMERU. 2007. Traditional Markets in The Era of Global Competition. Jakarta (ID): Newsletter April-Juni. Stanton J, William. et al. 1994. Fundamental of Marketing (US). New York: Mc Graw Hill, Inc. Suryadarma D, Poesoro A, Budiyati S, Akhmadi, Rosfadhila M. 2008. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian SMERU. Tambunan THH, Nirmalawati D, Silondae AAS. 2004. Kajian Persaingan dalam Industri Ritel. Jakarta (ID): Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Taudabel SVC, Meyer J. 2004. Asymmetric Price Transmission: A Survey. Journal of Agricultural Economics. 55(3): 581-611. Tomek GW, Robinson KL. 1990. Agricultural Product Prices. Third Edition. Itacha (US): Cornell University Press. [USDA] United States Department of Agriculture. 2011. Foreign Agriculture Service: Indonesia as a Growth Market: Challenges and Opportunities. Washington DC (US): USDA. World Bank. 2007. Horticultural, Producers and Supermarket Development in Indonesia. Jakarta and Washingdon DC (ID and US): Report No. 38543ID. www.antaranews.com Aprindo optimistic with positif growth of ritel business. [diakses tanggal 15 Juni 2013] www.hortikultura.go.id [diakses tanggal 20 januari-1 Februari 2013] www.diperta.jabarprov.go.id [diakses tanggal 23 januari-1 Februari 2013] _______________________. Master Plan Agropolitan Kecamatan Pangalengan 2006-2010. Bappenas. Jakarta. www.thejakartapost.com. RI cannot meet overseas demand for fruits and vegetables [diakses tanggal 10 Juni 2013].
73
Lampiran 1 Margin Pemasaran Kentang
Uraian Petani a. Harga Jual b. Biaya Pemasaran Sortasi Transportasi ke Jalan Karung Jasa Perantara Total Biaya Pemasaran c. Biaya Usahatani d. Keuntungan Pedagang I a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Transportasi Bongkar-Muat Sortasi Pengepakan Total Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Pedagang II a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Transportasi Bongkar-Muat Sortasi Pengepakan Penyusutan Total Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Pedagang III a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Transportasi Bongkar-Muat
1
2
Saluran Pemasaran (Rp/Kg) 3 4a 4b
3,925.00 4,275.00 4,500.00 31.25 50.00 30.00 200.00
33.75 77.36 25.69 100.00
50.00 100.00 26.67 0.00
311.25 236.81 176.67 2,793.65 2,873.04 2,784.81 820.10 1,165.16 1,538.52 3,925.00 112.50 50.00 47.50 75.00 285.00 400.00 115.00 4,325.00
-
4,325.00 4,275.00 125.00 111.11 50.00 50.00 0.00 47.78 112.50 95.83 0.00 38.00 287.50 342.72 375.00 480.56 87.50 137.83 4,700.00 4,755.56 -
-
-
4,500.00 75.00 75.00
4c
4,000.00 4,600.00 5,500.00 50.00 100.00 32.75 0.00
50.00 100.00 32.75 0.00
50.00 100.00 32.75 0.00
182.75 160.00 160.00 2,875.00 2,875.00 2,875.00 942.25 1,565.00 2,465.00 -
-
-
4,000.00 4,600.00 5,500.00 100.00 100.00
100.00 100.00
100.00 100.00
74
Lampiran 1 Margin Pemasaran Kentang (Lanjutan)
Marketing Margin (Rp/Kg)
Uraian Sortasi Pengepakan Penyusutan Pencucian Total Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Grosir a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Retribusi dan Handling Total Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Pedagang Eceran a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Eksportir Total Marjin Farmer's Share
1 -
2 -
Saluran Pemasaran (Rp/Kg) 3 4a 4b 4c 50.00 150.00 150.00 150.00 50.00 75.00 75.00 75.00 50.00 50.00 50.00 50.00 50.00 50.00 50.00 50.00 350.00 525.00 525.00 525.00 450.00 500.00 900.00 1,000.00 100.00 -25.00 375.00 475.00 4,950.00 4,500.00 5,500.00 6,500.00
4,700.00 4,755.56 4,950.00 200.00
200.00
200.00
300.00 344.44 300.00 100.00 144.44 100.00 5,000.00 5,100.00 5,250.00 5,000.00 5,100.00 5,250.00 200.00 200.00 100.00 500.00 500.00 500.00 300.00 300.00 400.00 5,500.00 5,600.00 5,750.00 1,575.00 1,325.00 1,250.00 71.36 76.34 78.26
4,500.00 5,500.00 6,500.00 500.00 900.00 1,000.00 88.89 83.64 84.62 Av MM 1,383.33 800.00 Av FS 75.32 85.71
1,000 800 600
Pedagang I
400
Pedagang II
200
Pedagang III
0
Grosir 1
2
3
4a
4b
Tradisional Moderen Marketing Channels
4c
Pedagang Pengecer
75
Lampiran 2 Margin Pemasaran Tomat Saluran Pemasaran (Rp/Kg) Uraian
1
2
3
4
5a
5b
5c
3,950.00
4,125.00
4,600.00
5,250.00
4,500.00
7,237.50
11,600.00
Sortasi
12.50
25.00
40.00
40.00
100.00
100.00
100.00
Transportasi
62.50
96.88
95.00
95.00
175.00
175.00
175.00
100.00
80.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
319.76
319.76
319.76
175.00
201.88
135.00
135.00
594.76
594.76
594.76
c. Biaya Usahatani
1,714.71
1,847.92
2,012.03
2,012.03
2,000.00
2,000.00
2,000.00
d. Keuntungan
2,060.29
2,075.21
2,452.97
3,102.97
1,905.24
4,642.74
9,005.24
3,950.00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
50.00
-
-
-
-
-
-
Petani a. Harga Jual b. Biaya Pemasaran
Jasa Perantara Pengepakan Biaya Pemasaran
Pedagang I a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Bongkar-Muat
50.00
-
-
-
-
-
-
Transportasi
Sortasi
104.38
-
-
-
-
-
-
Penyusutan
19.75
-
-
-
-
-
-
224.13
-
-
-
-
-
-
c. Marjin Pemasaran
325.00
-
-
-
-
-
-
d. Keuntungan
100.88
-
-
-
-
-
-
4,275.00
-
-
-
-
-
-
4,275.00
4,125.00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Bongkar-Muat
25.00
43.75
-
-
-
-
-
Sortasi
50.00
50.00
-
-
-
-
-
Transportasi
50.00
78.13
-
-
-
-
-
Pengepakan
75.00
75.00
-
-
-
-
-
Penyusutan
20.00
21.13
-
-
-
-
-
220.00
268.00
-
-
-
-
-
325.00
400.00
-
-
-
-
-
Biaya Pemasaran
e. Harga Jual Pedagang II a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran
Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan
105.00
132.00
-
-
-
-
-
e. Harga Jual
4,600.00
4,525.00
-
-
-
-
-
Pedagang III
-
-
a. Harga Beli
-
-
4,600.00
5,250.00
-
-
-
b. Biaya Pemasaran
-
-
-
-
-
Bongkar-Muat
-
-
45.00
100.00
-
-
-
Transportasi
-
-
108.00
120.00
-
-
-
Sortasi
-
-
50.00
100.00
-
-
-
Pengepakan
-
-
108.00
200.00
-
-
-
76
Lampiran 2 Margin Pemasaran Tomat (Lanjutan) Saluran Pemasaran (Rp/Kg) Uraian
1
2
3
4
5a
5b
5c
Penyusutan
-
-
27.00
50.00
-
-
-
Total Biaya
-
-
338.00
570.00
-
-
-
c. Marjin Pemasaran
-
d. Keuntungan
-
-
500.00
750.00
-
-
-
-
162.00
180.00
-
-
-
e. Harga Jual
-
-
5,100.00
6,000.00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Grosir a. Harga Beli
4,600.00
b. Biaya Pemasaran Retribusi dan Handling
4,525.00
5,100.00
200.00
225.00
200.00
-
-
-
-
46.00
50.00
51.00
-
-
-
-
246.00
275.00
251.00
-
-
-
-
c. Marjin Pemasaran
400.00
450.00
400.00
-
-
-
-
d. Keuntungan
154.00
175.00
149.00
-
-
-
-
5,000.00
4,975.00
5,500.00
-
-
-
-
-
-
-
-
Susut Biaya Pemasaran
e. Harga Jual Pedagang Eceran a. Harga Beli
5,000.00
4,975.00
5,500.00
-
-
-
-
b. Biaya Pemasaran
200.00
300.00
200.00
-
-
-
-
c. Marjin Pemasaran
500.00
600.00
400.00
-
-
-
-
d. Keuntungan
300.00
300.00
200.00
-
-
-
-
5,500.00
5,575.00
5,900.00
-
-
-
-
-
-
-
6,000.00
e. Harga Jual Eksportir Restoran Total Marjin
-
-
-
4,500.00
7,237.50
11,600.00
1,550.00
1,450.00
1,300.00
750.00
0.00
0.00
0.00
71.82
73.99
77.97
87.50
100.00
100.00
100.00
Farmer's Share
74.59
96.88
Marketing margin (Rp/Kg)
800.00 700.00 600.00 500.00
Pedagang I
400.00
Pedagang II
300.00
Pedagang III
200.00
Grosir
100.00
Pedagang Pengecer
0.00 1
2
3
4
5a
Tradisional Marketing Channels
5b
Moderen
5c
77
Lampiran 3 Margin Pemasaran Kubis Uraian 1 Petani a. Harga Jual b. Biaya Pemasaran Sortasi Transportasi Jasa Perantara Pengepakan+Karung Total Biaya Pemasaran c. Biaya Usahatani d. Keuntungan Pedagang I a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Transportasi&Bongkar-Muat Sortasi Penyusutan Karung Total Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Pedagang II a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Transportasi&Bongkar-Muat Sortasi Pengepakan+karung Penyusutan Total Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Grosir a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Retribusi dan Handling Susut Total Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan
Saluran Pemasaran (Rp/Kg) 2
3
1,940.00
2,050.00
2,500.00
18.75 95.44 200.00 0.00 314.19 963.45 662.37
25.00 76.35 200.00 20.00 321.35 1,000.00 728.65
50.00 150.00 0.00 100.00 300.00 1,000.00 1,200.00
1,940.00 90.00 25.00 19.40 30.00 164.40 320.00 155.60 2,260.00
-
-
2,260.00
2,050.00
100.00 25.00 50.00 20.00 195.00 440.00 245.00 2,700.00
50.00 50.00 76.43 180.36 356.79 650.00 293.21 2,700.00
2,700.00
2,700.00
150.00 27.00 177.00 300.00 123.00
150.00 27.00 177.00 300.00 123.00
-
78
Lampiran 3 Margin Pemasaran Kubis (Lanjutan) Uraian e. Harga Jual Pedagang Eceran a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Restoran Total Marjin Farmer's Share
Saluran Pemasaran (Rp/Kg) 1 2 3,000.00 3,000.00
3 -
3,000.00 150.00 500.00 350.00 3,500.00 1,560.00 55.43
2,500.00 0.00 100.00
3,000.00 150.00 500.00 350.00 3,500.00 1,450.00 58.57
Marketing Margin (Rp/Kg)
800 700 600 500
Pedagang I
400
Pedagang II
300
Grosir
200
Pedagang Pengecer
100 0 Traditional 1
Traditional 2
Modern
Marketing Channels
Lampiran 4 Marjin Pemasaran Wortel
Uraian Petani a. Harga Jual b. Biaya Pemasaran Sortasi Transportasi ke Jalan Jasa Perantara Total Biaya Pemasaran c. Biaya Usahatani d. Keuntungan
Saluran Pemasaran (Rp/Kg) 1 2 1,532.04
1,928.57
12.50 41.67 143.80 197.96 392.86 941.22
25.00 60.71 42.86 128.57 395.28 1,404.72
79
Lampiran 4 Marjin Pemasaran Wortel (Lanjutan) Uraian Pedagang I a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Transportasi-Bongkar-Muat Sortasi Penyusutan Peti/Karung Total Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Pedagang II a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Transportasi-Bongkar-Muat Sortasi Pengepakan+Karung Pencucian Penyusutan Total Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Grosir a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran Retribusi dan Handling Total Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Pedagang Eceran a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran c. Marjin Pemasaran d. Keuntungan e. Harga Jual Eksportir Total 0Marjin Farmer's Share
Saluran Pemasaran (Rp/Kg) 1 2 1,532.04 125.71 50.00 15.50 30.00 221.21 434.63 213.42 1,966.67
-
1,966.67
1,928.57
120.00 25.00 75.00 150.00 20.00 390.00 533.33 143.33 2,500.00
125.71 50.00 80.00 150.00 20.00 425.71 542.86 117.14 2,471.43
2,500.00
2,471.43
150.00 150.00 300.00 150.00 2,800.00
150.00 150.00 300.00 150.00 2,771.43
2,800.00 100.00 400.00 300.00 3,200.00 1,667.96 47.88
2,771.43 150.00 500.00 350.00 3,271.43 1,342.86 58.95
Marketing Margin (Rp/Kg)
80
600.00 500.00 400.00
Pedagang I
300.00
Pedagang II
200.00
Grosir
100.00
Pedagang Pengecer
0.00 Tradisional 1 Tradisional 2 Marketing Channels
81
Lampiran 5 Hasil Output Analisis Integrasi Pasar Vertikal Kentang PFPO PRPO
: Harga kentang di tingkat petani : Harga kentang di tingkat ritel
Analisis Regresi: PFPO dengan PFPO1, PRPOFD, PRPO1 Dependent Variable: PFPO Method: Least Squares Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PFPO1 PRPOFD PRPO1 C
0.779925 0.111512 -0.059080 1332.469
0.099998 0.095839 0.089818 638.2355
7.799434 1.163532 -0.657771 2.087739
0.0000 0.2509 0.5141 0.0426
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.619306 0.593350 268.7397 3177726. -334.5205 2.118239
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
4052.188 421.4260 14.10502 14.26095 23.85948 0.000000
Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi : 1. Uji Autokorelasi Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dengan membandingkan nilai X2 (Khi-Kuadrat) hitung dengan X2 (Khi-Kuadrat) tabel, yaitu : a. Jika nilai X2 hitung > X2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa model bebas dari masalah autokorelasi ditolak. b. Jika nilai X2 hitung < X2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa model bebas dari masalah Autokorelasi diterima. Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.191067 0.432786
Probability Probability
0.826792 0.805419
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung) sebesar 0.43 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α = 5% adalah 5.99. karena 0.43 < 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas dari masalah autokorelasi. 2. Uji Normalitas Untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak dengan membandingkan nilai Jarque Bera (JB) dengan X2 tabel, yaitu : a. Jika nila JB > X2 tabel, maka residualnya berdistribusi tidak normal b. Jika JB < X2 tabel, maka residualnya berdistribusi normal.
82
10 Series: Residuals Sample 1/11/2012 12/05/2012 Observations 48
8
6
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
5.45E-13 -33.48912 562.3561 -689.5928 260.0215 0.057953 3.186768
Jarque-Bera Probability
0.096633 0.952832
2
0 -600
-400
-200
0
200
400
600
Analisis Hasil Output, bahwa nilai JB sebesar 0.096. Karena 0.096 < 5.99, maka dapat disimpulkan bahwa residual berdistribusi normal. 3. Uji Multikolinearitas Tahapan pengujian melalui program eviews dengan pendekatan konsep parsial dengan tahapan sebagai berikut : Melakukan regresi untuk 4 persamaan : PFPO1, PRPOFD, PRPO1 1) PFPO = a0 + a1 PFPO1+ a2 PRPOFD + a3 PRPO1…………………... (1) 2) PFPO1= b0 + b1 PRPOFD + b2 PRPO1………………………………. (2) 3) PRPOFD = b0 + b0 PFPO1+ b0 PRPO1……………………………… (3) 4) PRPO1= b0 + b0 PFPO1+ b0 PRPOFD ……………………………… (4) Melalui analisis regresi diperoleh : Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.619306 selanjutnya disebut R21 Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.142799 selanjutnya disebut R22 Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.222267 selanjutnya disebut R23 Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.322780 selanjutnya disebut R24 Ketentuan : Bila nilai R21 > R22, R23, R24 maka model tidak diketemukan adanya multoklinearitas Bila nilai R21 < R22, R23, R24 maka model diketemukan adanya multoklinearitas Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas 4. Uji Heteroskedastisitas Apabila nilai X2 hitung (nilai Obs*R-squared) > nilai X2 tabel,dengan derajat kepercayaan α = 5%, maka dapat disimpulkan model tidak lolos uji heteroskedastisitas atau apabila P-value < α. Hasil output white heteroskedastisitas (no cross terms)
83
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.585097 3.785797
Probability Probability
0.740109 0.705637
Hasil output white heteroskedastisitas (cross terms) White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.493227 12.54055
Probability Probability
0.185732 0.184521
Analisis Hasil Output, berdasarkan tabel output diatas, tampak bahwa nilai Obs*R-squared untuk hasil estimasi uji white no cross terms adalah sebesar 3.785797 dan uji white cross terms adalah sebesar 12.54055. Nilai X2 tabel dengan derajat kepercayaan α = 5% adalah sebesar 7.81. Karena nilai X 2 hitung (nilai Obs*R-squared) > nilai X2 tabel, untuk cross terms maupun maka dapat disimpulkan model di atas tidak lolos uji heteroskedastisitas. Namun pada no cross terms nilai X2 hitung (nilai Obs*R-squared) < nilai X2 tabel, maka dapat disimpulkan model lolos uji heteroskedastisitas Pada analisis regresi kentang, model yang digunakan sudah memenuhi asumsi BLUE. Oleh karena itu, tidak perlu ada koreksi model.
Lampiran 6 Hasil Output Analisis Integrasi Pasar Vertikal Tomat PFTO PRTO
: Harga TO di tingkat petani : Harga Tomat di tingkat ritel
Analisis Regresi: PFTO dengan PFTO1, PRTOFD, PRTO1 Dependent Variable: PFTO Method: Least Squares Included observations: 48 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PFTO1 PRTOFD PRTO1 C
0.371907 0.660066 0.503238 -775.1445
0.159126 0.080228 0.133583 273.8772
2.337179 8.227358 3.767229 -2.830263
0.0240 0.0000 0.0005 0.0070
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.941278 0.937274 507.9282 11351605 -365.0771 1.978914
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
2699.062 2028.046 15.37821 15.53415 235.0961 0.000000
84
Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi : 1. Uji Autokorelasi Hasil analisis uji autokorelasi model regresi tomat menghasilkan: Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic
2.366496
Probability
0.106204
Obs*R-squared
4.861311
Probability
0.087979
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung) sebesar 4.8613 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α = 5% adalah 5.99. karena 0.43 < 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas dari masalah autokorelasi. 2. Uji Normalitas Untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak dengan membandingkan nilai Jarque Bera (JB) dengan X2 tabel, yaitu : c. Jika nila JB > X2 tabel, maka residualnya berdistribusi tidak normal d. Jika JB < X2 tabel, maka residualnya berdistribusi normal. 14 Series: Residuals Sample 1/11/2012 12/05/2012 Observations 48
12 10 8 6 4 2 0 -1000
-500
0
500
1000
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-3.20E-14 -100.2063 1306.330 -1016.397 491.4504 0.625544 3.246390
Jarque-Bera Probability
3.251856 0.196729
1500
Analisis Hasil Output, bahwa nilai JB sebesar 3.25. Karena 3.25 < 5.99, maka dapat disimpulkan bahwa residual berdistribusi normal. 3. Uji Multikolinearitas Tahapan pengujian melalui program eviews dengan pendekatan konsep parsial dengan tahapan sebagai berikut: Melakukan regresi untuk 4 persamaan: PFTO, PFTO1, PRTOFD, PRTO1 1) PFTO = a0 + a1 PFTO1+ a2 PRTOFD + a3 PRTO1………………... (1) 2) PFTO1= b0 + b1 PRTOFD + b2 PRTO1……………………………. (2) 3) PRTOFD = b0 + b0 PFTO1+ b0 PRTO1……………………………… (3) 4) PRTO1= b0 + b0 PFTO1+ b0 PRTOFD ……………………………… (4)
85
Melalui analisis regresi diperoleh: Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.941278 selanjutnya disebut R21 Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.945095 selanjutnya disebut R22 Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.237521 selanjutnya disebut R23 Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.946646 selanjutnya disebut R24 Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam model ini diketemukan adanya multikolinearitas. 4. Uji Heteroskedastisitas Hasil output white heteroskedastisitas (no cross terms) White Heteroskedasticity Test: F-statistic
2.907849
Probability
0.018658
Obs*R-squared
14.32852
Probability
0.026174
Hasil output white heteroskedastisitas (cross terms) White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
2.062247 15.75119
Probability Probability
0.058455 0.072263
Analisis Hasil Output, berdasarkan tabel output diatas, tampak bahwa nilai Obs*R-squared untuk hasil estimasi uji white no cross terms adalah sebesar 14.32852 dan uji white cross terms adalah sebesar 15.75119. Nilai X2 tabel dengan derajat kepercayaan α = 5% adalah sebesar 7.81. Karena nilai X2 hitung (nilai Obs*R-squared) > nilai X2 tabel, untuk cross terms maupun no cross terms maka dapat disimpulkan model di atas tidak lolos uji heteroskedastisitas. Karena pada uji asumsi klasik terdapat masalah heretokedastisitas dan multikolinieritas, maka dilakukan koreksi model dengan transformasi ke dalam bentuk logaritma. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut: Dependent Variable: LNPFTO Method: Least Squares Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPFTO1 LNFDPRTO LNPRTO1 C
0.379781 0.198437 0.673578 -1.987457
0.199040 0.062478 0.311612 1.368420
1.908066 3.176095 2.161592 -1.452374
0.0725 0.0052 0.0444 0.1636
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.902686 0.886467 0.235696 0.999946 2.785408 1.911992
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
7.786153 0.699504 0.110417 0.308789 55.65583 0.000000
86
Uji Multikolinearitas Melalui analisis regresi diperoleh : Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.902686 selanjutnya disebut R21 Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.867890 selanjutnya disebut R22 Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.252409 selanjutnya disebut R23 Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.857538 selanjutnya disebut R24 Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam koreksi model ini menjadi tidak ditemukan multikolinearitas. Uji Heteroskedastisitas Hasil output white heteroskedastisitas (no cross terms) White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.559347 8.451022
Probability Probability
0.226384 0.206886
Hasil output white heteroskedastisitas (cross terms) White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.921015 12.98642
Probability Probability
0.144769 0.163222
Analisis Hasil Output, berdasarkan tabel output diatas, tampak bahwa nilai Obs*R-squared untuk hasil estimasi uji white no cross terms adalah sebesar 8.451022 dan uji white cross terms adalah sebesar 12.98642. Nilai X2 tabel dengan derajat kepercayaan α = 5% adalah sebesar 7.81. Karena nilai X2 hitung (nilai Obs*R-squared) > nilai X2 tabel, untuk cross terms maupun no cross terms maka dapat disimpulkan model koreksi tetap tidak lolos uji heteroskedastisitas. Lampiran 7 Hasil Output Analisis Integrasi Pasar Vertikal Kubis PFKU PRKU
: Harga kubis di tingkat petani : Harga kubis di tingkat ritel
Analisis Regresi: PFKU dengan PFKU1, PRKUFD, PRKU1 Dependent Variable: PFKU Method: Least Squares Included observations: 48 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PFKU1 PRKUFD PRKU1 C
0.699174 0.257648 0.208140 -82.47203
0.165755 0.126390 0.150871 237.9869
4.218115 2.038506 1.379583 -0.346540
0.0001 0.0475 0.1747 0.7306
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.853903 0.843942 374.2983 6164365. -350.4233 1.807289
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1982.302 947.4904 14.76764 14.92357 85.72337 0.000000
87
Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi : 1. Uji Autokorelasi Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dengan membandingkan nilai X2 (Khi-Kuadrat) hitung dengan X2 (Khi-Kuadrat) tabel, yaitu : c. Jika nilai X2 hitung > X2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa model bebas dari masalah autokorelasi ditolak. d. Jika nilai X2 hitung < X2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa model bebas dari masalah Autokorelasi diterima. Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.484727 3.169569
Probability Probability
0.238213 0.204992
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung) sebesar 3.1695 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α = 5% adalah 5.99. karena 3.1695 < 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas dari masalah autokorelasi. 2. Uji Normalitas Untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak dengan membandingkan nilai Jarque Bera (JB) dengan X2 tabel, yaitu : e. Jika nila JB > X2 tabel, maka residualnya berdistribusi tidak normal f. Jika JB < X2 tabel, maka residualnya berdistribusi normal. 8 Series: Residuals Sample 1/11/2012 12/05/2012 Observations 48
7 6 5 4 3 2 1 0 -1200
-800
-400
0
400
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.45E-13 0.666244 790.2310 -1455.932 362.1556 -0.984658 7.301937
Jarque-Bera Probability
44.76973 0.000000
800
Analisis Hasil Output, bahwa nilai JB sebesar 44.769. Karena 44.769 > 5.99, maka dapat disimpulkan bahwa residual tidak berdistribusi normal. 3. Uji Multikolinearitas Tahapan pengujian melalui program eviews dengan pendekatan konsep parsial dengan tahapan sebagai berikut : Melakukan regresi untuk 4 persamaan: PFKU1, PRKUFD, PRKU1 1) PFKU = a0 + a1 PFKU1+ a2 PRKUFD + a3 PRKU1………………... (1) 2) PFKU1= b0 + b1 PRKUFD + b2 PRKU1……………………………. (2) 3) PRKUFD = b0 + b0 PFKU1+ b0 PRKU1…………………………… (3) 4) PRKU1= b0 + b0 PFKU1+ b0 PRKUFD……………………………… (4)
88
Melalui analisis regresi diperoleh : Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.853903 selanjutnya disebut R21 Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.879348 selanjutnya disebut R22 Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.500167 selanjutnya disebut R23 Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.890715 selanjutnya disebut R24 Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam model ini diketemukan adanya multikolinearitas. 4. Uji Heteroskedastisitas Hasil output white heteroskedastisitas (no cross terms) White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
2.604363 13.24576
Probability Probability
0.031271 0.039295
Hasil output white heteroskedastisitas (cross terms) White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
9.681240 33.42329
Probability Probability
0.000000 0.000113
Analisis Hasil Output, berdasarkan tabel output diatas, tampak bahwa nilai Obs*R-squared untuk hasil estimasi uji white no cross terms adalah sebesar 13.24576 dan uji white cross terms adalah sebesar 33.42329. Nilai X2 tabel dengan derajat kepercayaan α = 5% adalah sebesar 7.81. Karena nilai X 2 hitung (nilai Obs*R-squared) > nilai X2 tabel, untuk cross terms maupun no cross terms maka dapat disimpulkan model di atas tidak lolos uji heteroskedastisitas.
HASIL KOREKSI MODEL REGRESI KUBIS Dependent Variable: LNKUPF Method: Least Squares Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNKUPF1 LNKUFDPR LNKUPR1 C
1.151280 0.056152 -0.490842 2.544504
0.322401 0.070635 0.467410 1.804670
3.570959 0.794956 -1.050133 1.409955
0.0026 0.4383 0.3093 0.1777
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.788739 0.749128 0.229973 0.846204 3.248501 0.478062
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
7.663390 0.459147 0.075150 0.274296 19.91193 0.000012
89
Uji Heterokedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.062869 6.582180
Probability Probability
0.431634 0.361219
Analisis Hasil Output, berdasarkan tabel output diatas, tampak bahwa nilai Obs*R-squared untuk hasil estimasi uji white no cross terms adalah sebesar 6.582180. Nilai X2 tabel dengan derajat kepercayaan α = 5% adalah sebesar 7.81. Karena nilai X2 hitung (nilai Obs*R-squared) < nilai X2 tabel, untuk cross terms maka dapat disimpulkan model di atas lolos uji heteroskedastisitas. Uji Multikolinearitas Melalui analisis regresi diperoleh : Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.788739 selanjutnya disebut R21 Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.877934 selanjutnya disebut R22 Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.064674 selanjutnya disebut R23 Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.875259 selanjutnya disebut R24 Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam model ini tetap diketemukan adanya multikolinearitas. Lampiran 8 Hasil Output Analisis Integrasi Pasar Vertikal Wortel PFWO PRWO
: Harga wortel di tingkat petani : Harga wortel di tingkat ritel
Analisis Regresi: PFWO dengan PFWO1, PRWOFD, PRWO1 Dependent Variable: PFWO Method: Least Squares Included observations: 48 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PFWO1 PRWOFD PRWO1 C
0.727374 0.349834 0.165207 -244.9291
0.133491 0.069008 0.091931 229.6138
5.448873 5.069476 1.797082 -1.066700
0.0000 0.0000 0.0792 0.2919
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.951760 0.948471 391.2306 6734700. -352.5470 2.114626
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
2782.604 1723.475 14.85613 15.01206 289.3665 0.000000
Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi : 1. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.055375 2.296855
Probability Probability
0.357110 0.317135
90
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung) sebesar 2.296855 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α = 5% adalah 5.99. karena 2.296855 < 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas dari masalah autokorelasi. 2. Uji Normalitas 9 Series: Residuals Sample 1/11/2012 12/05/2012 Observations 48
8 7 6 5 4 3 2 1 0 -800
-400
0
400
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
8.47E-14 27.68770 942.1373 -706.6686 378.5386 0.048063 2.609151
Jarque-Bera Probability
0.324006 0.850439
800
Analisis Hasil Output, bahwa nilai JB sebesar 0.324006. Karena 0.324006 < 5.99, maka dapat disimpulkan bahwa residual berdistribusi normal. 3. Uji Multikolinearitas Tahapan pengujian melalui program eviews dengan pendekatan konsep parsial dengan tahapan sebagai berikut : Melakukan regresi untuk 4 persamaan : PFWO1, PRWOFD, PRWO1 1) PFWO = a0 + a1 PFWO1+ a2 PRWOFD + a3 PRWO1……………... (1) 2) PFWO1= b0 + b1 PRWOFD + b2 PRWO1…………………………. (2) 3) PRWOFD = b0 + b0 PFWO1+ b0 PRWO1…………………………… (3) 4) PRWO1= b0 + b0 PFWO1+ b0 PRWOFD …………………………… (4) Melalui analisis regresi diperoleh : Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.951760 selanjutnya disebut R21 Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.939904 selanjutnya disebut R22 Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.297278 selanjutnya disebut R23 Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.942530 selanjutnya disebut R24 Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam model ini diketemukan adanya multikolinearitas 4. Uji Heteroskedastisitas Hasil output white heteroskedastisitas (no cross terms) White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.309345 7.718412
Probability Probability
Hasil output white heteroskedastisitas (cross terms)
0.274792 0.259467
91
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.229892 10.82788
Probability Probability
0.306316 0.287692
Analisis Hasil Output, berdasarkan tabel output diatas, tampak bahwa nilai Obs*R-squared untuk hasil estimasi uji white no cross terms adalah sebesar 7.718412 dan uji white cross terms adalah sebesar 10.82788. Nilai X2 tabel dengan derajat kepercayaan α = 5% adalah sebesar 7.81. Karena nilai X2 hitung (nilai Obs*R-squared) > nilai X2 tabel, untuk cross terms maupun no cross terms maka dapat disimpulkan model di atas tidak lolos uji heteroskedastisitas. Hasil Output Koreksi Model Regresi Wortel Dependent Variable: LNPFWO Method: Least Squares Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPFWO1 LNFDPRWO LNPRWO1 C
0.383978 0.160393 0.610282 -1.378878
0.160143 0.070080 0.248109 1.132527
2.397714 2.288723 2.459739 -1.217524
0.0322 0.0395 0.0287 0.2450
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.958935 0.949458 0.146587 0.279341 10.80059 0.314038
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1.012138 6.423142
Probability Probability
0.468976 0.377494
0.907146 9.152628
Probability Probability
0.564709 0.423306
7.930009 0.652033 -0.800069 -0.604019 101.1894 0.000000
Uji Heterokedastisitas No cross term White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
Cross Term White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
Analisis Hasil Output, berdasarkan tabel output diatas, tampak bahwa nilai Obs*R-squared untuk hasil estimasi uji white no cross terms adalah sebesar 6.423142. Nilai X2 tabel dengan derajat kepercayaan α = 5% adalah sebesar 7.81. Karena nilai X2 hitung (nilai Obs*R-squared) < nilai X2 tabel, untuk cross terms maka dapat disimpulkan model di atas lolos uji heteroskedastisitas.
92
Uji Multikolinearitas Melalui analisis regresi diperoleh : Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.958935 selanjutnya disebut R21 Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.906568 selanjutnya disebut R22 Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.495810 selanjutnya disebut R23 Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.890911 selanjutnya disebut R24 Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 < R22, R23, R24, maka dalam model ini bebas dari multikolinearitas. Rangkuman hasil analisis regresi dan koreksinya: Uji Asumsi Komoditas Autokorelasi Normalitas Multikolinieritas
Heterokedastisitas
Kentang
Bebas
Normal
Bebas
Bebas
Tomat
Bebas
Normal
Ditemukan
Ditemukan
Kubis
Bebas
Tidak Normal
Ditemukan
Bebas
Normal
Ditemukan
Wortel Keterangan:
Ditemukan Ditemukan
Terselesaikan Tetap ditemukan Koreksi Model Integrasi Pasar untuk memenuhi Kaidah BLUE Model regresi yang menggunakan data time series harus memenuhi kaidah BLUE sesuai dengan yang diungkapkan oleh Gaus Markov supaya dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Adapun pada model yang digunakan di penelitian ini, terdapat beberapa masalah multikolinieritas dan heterokedastisitas yang ditemukan pada komoditas tomat, kubis, dan wortel. Oleh karena itu, dibuat koreksi model dengan mengubah seluruh variabelnya menjadi bentuk logaritma. Setelah dilakukan proses koreksi, maka permasalahan multikolinieritas dan heterokedastisitas pada komoditi wortel dan kubis dapat diselesaikan. Namun masalah multikolinoeritas hanya dapat diselesaikan pada komoditi wortel. Permasalahan heterokedastisitas yang terjadi pada komoditas tomat, kubis dan wortel karena beberapa penyebab yaitu situasi error learning atau konvergensi diantara elemen sample. Situasi ini terjadi ketika yang terjadi perbaikan dalam pengambilan data harga yang dilakukan oleh penyuluh pertanian untuk departemen pertanian Jawa Barat. Hasil wawancara dengan pengambil sampel, mengungkapkan bahwa sample awalnya hanya diambil dari orang yang dikenal saja dan jumlahnya terbatas pada titik tertentu. Namun seiring berjalannya waktu, pengambil sampel kemudian mengkoreksi metode pengambilan data dengan cara yang lebih tepat yaitu random sample dengan penyebaran yang lebih merata. Adapun permasalahan multikolinieritas yang terjadi pada komoditi tomat, kubis, dan wortel setelah dianalisis terjadi juga karena cara pengambilan data dan kecilnya ukuran sample serta adanya common trend yang sering terjadi pada komoditas agribisnis yaitu faktor musim.
93
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 12 September 1987 dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Maman Karliman dan Ibu Fatmah Setiawati. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun 2005 di SMAN 1 Cicalengka. Penulis kemudian melanjutkan studi ke perguruan tinggi program sarjana di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan studi pascasarjana untuk program studi Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor yang disponsori oleh beasiswa unggulan dari Kementrian Pendidikan Nasional, Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri. Selama mengikuti pendidikan formal, penulis juga aktif dalam kegiatan di luar akademik seperti mengikuti kegiatan penelitian bersama lembaga penelitian tertentu diantaranya melakukan riset terkait supply chain tekstil di Jawa Barat bersama LPPM IPB dan riset terkait value chain komoditas pertanian strategis di Jawa Barat bersama International Finance Corporation (IFC). Selain itu, penulis juga aktif mengikuti kegiatan seminar dan konferensi Internasional seperti 23rd Pacific Conference of the Regional Science Association International (RSAI) and the 4th Indonesian Regional Science Association (IRSA) Institute yang diselenggarakan di Bandung dan The First Annual International Scholars Conference in Taiwan yang diselenggarakan di Asia University, Taichung, Taiwan. Penulis juga aktif mengikuti seminar dan pelatihan internasional salah satunya kegiatan international summer course antara Institut Pertanian Bogor dan Ibaraki University dengan tema Sustainable Tropical Agriculture Production which special reference on Plantation and Agroforestry. Selain kegiatan tersebut di atas, penulis juga aktif mengajar pada lembaga bimbingan belajar Primagama untuk mata pelajaran ekonomi, akuntansi, dan matematika. Penulis juga menjadi pengajar privat untuk siswa Sekolah Dasar dan Menengah dengan mata pelajaran matematika dan ekonomi. Sebelum melanjutkan studi pascasarjana, penulis berpengalaman bekerja sebagai customer service representative di PT. Telkomsel Bandung selama bulan Agustus 2010 sampai dengan Mei 2011.