Analisis Kinerja SISO dan MIMO pada Mobile WiMAX 802.16e Mustofa Agung Prasetya, Wirawan Jurusan Teknik Elektro FTI - ITS
Abstrak—Perkembangan teknologi Mobile WiMAX yang mengarah kepada pemenuhan akan kebutuhan kapasitas yang tinggi, serta penggunaan bandwidth yang efisien dan kemampuan dalam menghadapi gangguan selama transmisi yang berujung pada minimnya error. Maka digunakanlah teknologi multiple input multiple output (MIMO) yang sangat mendukung dalam hal tersebut. Teknologi MIMO yang digunakan pada Mobile WiMAX adalah Space Time Block Coding (STBC) dan Spatial Multiplexing (SM). Tugas akhir ini merancang dan menyimulasikan pemodelan sistem MIMO-STBC Alamouti dan Spatial Multiplexing (SM) yang memenuhi spesifikasi standar Mobile WiMAX 802.16e. Sistem yang digunakan dalam simulasi mengacu pada parameter-parameter yang ada dalam Mobile WiMAX. Jumlah antena MIMO yaitu 2 antena pengirim dan 2 antena penerima, model kanal yang digunakan adalah Rayleigh fading dan noise AWGN. Dari kedua sistem MIMO yaitu MIMO-STBC Alamouti dan MIMO-Spatial Multiplexing dibandingkan dengan sistem SISO, berdasarkan performansi nilai BER versus SNR.
II. TEORI PENUNJANG A. Space Time Block Coding (STBC) Bentuk STC yang paling sederhana yang diperkenalkan oleh Siavash M, Alamouti pada tahun 1998 yang penerapannya terbatas pada sistem dengan dua antena transmitter. Pada sistem STBC Alamouti, aliran data yang sama dipancarkan melalui kedua antena transmitter. Namun, sebelum siap dipancarkan, aliran data yang menuju ke setiap antena mengalami perlakuan yang berbeda. STBC yang diciptakan oleh Alamouti dapat digunakan untuk sistem yang menggunakan dua antena pengirim. STBC tersebut dapat dinyatakan dalam matriks berikut [3]: ⎡ s0 − s1* ⎤ (2.1) ⎢ * ⎥ ⎣⎢ s1 s0 ⎦⎥ Dimana s menyatakan simbol dan * menyatakan bilangan kompleks konjugat. Untuk mengirimkan dua simbol dibutuhkan dua time slot, namun pada antena kedua urutan simbolnya dibalik, dikonjugasikan, dan salah satunya dinegatifkan, tujuannya adalah untuk memudahkan pemisahan kedua simbol pada penerima sehingga deteksi dua simbol yang semula harus dilakukan bersamaan pada sinyal campuran sekarang dapat dipecah menjadi dua proses deteksi simbol yang terpisah. Gambar 1 menunjukkan skema Alamauti 2x2, dimana pada skema tersebut terdiri dari 2 antena transmitter dan 2 antena receiver.
Kata kunci—Mobile WiMAX, MIMO, STBC Alamouti, Spatial Multiplexing. I. PENDAHULUAN erdapat dua macam jenis WiMAX berdasar jenis band yang digunakan yaitu Fixed WiMAX dan Mobile WiMAX. Ada banyak Standar Mobile WiMAX tetapi pada bulan Desember 2005 IEEE menyelesaikan amandemen 802.16e-2005 [1], yang menambah beberapa fitur baru mendukung aplikasi mobile dan menyediakan layanan handoff serta roaming. Standar yang dihasilkan sering disebut sebagai Mobile WiMAX. Mobile WiMAX sudah menggunakan Scalable Orthogonal Frequency Division Multiplexing Access (SOFDMA), yaitu suatu teknik multi-carrier modulation yang menggunakan subkanalisasi. Pada awalnya WiMAX menggunakan teknologi antena single input single output (SISO) untuk transmisinya, akan tetapi seiring perkembangan teknologi WiMAX yang membutuhkan kehandalan dalam transfer dan akses data, maka digunakanlah teknologi multiple input multiple output (MIMO) yang sangat mendukung dalam hal tersebut. Mobile WiMAX mendukung penuh berbagai teknik antena cerdas, termasuk Beamforming, Spatial Transmit Diversity dan Spatial Multiplexing (SM). Beamforming atau lebih khusus eigen beamforming membutuhkan channel state information (CSI) di pemancar [2]. Mobile WiMAX juga mendukung teknik Adaptive MIMO Switching (AMS) untuk memilih skema MIMO terbaik. Spatial transmit diversity dicapai dengan menerapkan Alamouti Space Time Coding untuk downlink (DL) [3].
T
Gambar 1 Skema Alamouti 2 X 2 [3]
1
Tabel 1 Definisi Kanal Pada Antena Transmitter dan Receiver rx antenna 0 rx antenna 1 h0 h2 tx antenna 0 h1 h3 tx antenna 1 Tabel 2 Notasi Sinyal Pada 2 Antena Receiver rx antenna 0 rx antenna 1 r0 r2 time t r1 r3 Time t + T r0 = h0s0 + h1s1 + n0 r1 = -h0s1* + h1s0* + n1 (1) r2 = h2s0 + h3s1 + n2 r3 = -h2s1* + h3s0* + n3 Dimana n0, n1, n2 dan n3 adalah variable random kompleks yang merupakan representasi dari noise dan interferensi. Pada gambar 1 dari combiner dua sinyal yang dikirimkamkan ke maximum likelihood detector dapat ditulis: * * * * s 0 = h0 r0 + h1r1 + h2 r2 + h3 r3 * * * * s1 = h1 r1 − h0 r1 + h3 r2 − h2 r3
Gambar 2 Perbandingan Sinyal Single-Carrier dengan Sinyal OFDM
Dalam sistem OFDM, aliran data input dibagi menjadi beberapa aliran data paralel dengan data rate yang lebih rendah dari data rate sebelumnya (durasi simbol bertambah) dan masing-masing aliran data pararel tersebut dimodulasi dan ditransmisikan melalui sub-carrier terpisah yang saling ortogonal. Karena sinyal OFDM dikirimkan pada beberapa carrier berpita sempit(narrowband) yang saling ortogonal. Gambar 2 menunjukkan perbandingan antara sinyal OFDM dan sinyal single-carrier, sinyal OFDM dikirimkan secara paralel dan sinyal single-carrier dikirimkan secara serial. Kemampuan untuk mengatasi delay spread, multipath, dan Inter-Symbol Interference (ISI) memungkinkan kita untuk dapat mengirim data rate yang lebih tinggi dan dapat bekerja pada lingkungan NLOS. Oleh karena itu sangat mudah untuk mengekualisasi satu carrier OFDM dibandingkan dengan mengekualisasi sinyal single carrier dengan bandwidth yang lebih lebar.
(2)
Setelah persamaan tersebut disubtitusi seperti pada skema konvensional didapatkan: s0 = (α 02 + α12 + α 22 + α 32 ) s0 + h0*n0 + h1n1* + h2*n2 + h3 n3* (3) s1 = (α 02 + α12 + α 22 + α 32 ) s1 − h0 n1* + h*1 n0 − h2 n3* + h3*n2 B. Spatial Multiplexing [4] Konsep Spatial Multiplexing berbeda dengan konsep spacetime coding yang mementingkan kualitas sinyal yang diterima dan meningkatkan diversity gain. Spatial Multiplexing dapat dinotasikan dengan matriks [s1s2]T. Dimana simbol ditransmisikan secara paralel oleh dua antena pemancar dengan notasi s1 dan s2, masing-masing menunjukkan respon saluran dari antena pemancar (Tx) i ke antena penerima (Rx) j oleh kanal hji (i,j=1,2), sinyal yang diterima oleh dua antena penerima dapat dinyatakan sebagai : r1 = h11s1 + h12 s2 + n1 (4) r2 = h21s1 + h22 s2 + n2 Persamaan 4 dapat ditulis dalam bentuk matrik sebagai : ⎛ r11 ⎞ ⎛ h11 h12 ⎞ ⎛ s1 ⎞ ⎛ n1 ⎞ ⎜ ⎟ = ⎜⎜ ⎟⎟ ⎜⎜ ⎟⎟ + ⎜⎜ ⎟⎟ (5) ⎜r ⎟ h ⎝ 2 ⎠ ⎝ 21 h22 ⎠ ⎝ s2 ⎠ ⎝ n2 ⎠
D. Kanal Nirkabel (Wireless Channel) Pada proses transmisi, sinyal sampai ke penerima tidak hanya melalui satu jalur tetapi datang dari berbagai jalur (multipath). Pada sistem ini, karakteristik kanal diwakili oleh dua gejala yaitu multipath fading dan adanya noise yang berdistribusi Gaussian, yaitu Additive White Gaussian Noise (AWGN). - AWGN (Additive White Gaussian Noise) [7] Pada kanal transmisi selalu terdapat penambahan noise yang timbul karena akumulasi thermal noise dari perangkat penerima. Additive White Gaussian Noise (AWGN) merupakan model kanal sederhana dan umum dalam suatu sistem komunikasi. Model kanal ini dapat digambarkan seperti gambar 3.
Konsep Spatial multiplexing yang mengirim deretan simbol yang akan dipecah menjadi beberapa paralel deretan simbol, yang kemudian ditransmisikan secara simultan dengan bandwidth yang sama pada masing-masing antenna. Sehingga teknik Spatial multiplexing akan memberikan peningkatan laju data, dan dapat menambah spektrum efisiensi sehingga dapat menambah kecepatan transmisi data. C. Teknologi OFDM [5,6,7] Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) merupakan suatu teknik multiplexing yang membagi-bagi bandwidth menjadi beberapa frekuensi sub-carrier. OFDM merupakan bentuk khusus dari multi-carrier modulation.
Gambar 3 Pemodelan Kanal AWGN
2
Sinyal yang dikirim X(t), pada kanal akan terkena derau AWGN n(t). Sehingga sinyal yang diterima menjadi Y(t) = X(t) + n(t) . - Kanal Multipath [5,7] Dalam sistem komunikasi wireless, kondisi lingkungan yang terdiri dari berbagai objek sangat mempengaruhi penjalaran sinyal dari pengirim menuju penerima, akibatnya sinyal yang dipancarkan oleh suatu pengirim akan melewati berbagai lintasan dan mengalami peredaman, penguatan, hamburan, difraksi dll. Di sisi penerima total sinyal yang diterima adalah sinyal yang telah mengalami variasi amplitudo dan fasa. Efek seperti ini dikenal sebagai multipath propagation atau multipath fading. III.PEMODELAN DAN SIMULASI SISTEM A. Pemodelan Sistem Secara umum, akan ada tiga model sistem yang digunakan untuk simulasi, yaitu : 1. Sistem transmisi SISO. 2. Sistem transmisi MIMO-STBC Alamouti 2x2. 3. Sistem transmisi MIMO-Spatial Multiplexing 2x2. Pemodelan secara umum dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 6 Diagram Blok Simulasi MIMO‐STBC Alamouti
Gambar 7 Diagram Blok Simulasi MIMO Spatial Multiplexing
B. Parameter Sistem Dalam sistem Mobile WiMAX yang akan disimulasikan pada Tugas Akhir ini menggunakan parameter-parameter dasar yang ada dalam sistem Mobile WiMAX secara keseluruhan. Parameter OFDM yang digunakan untuk simulasi terdapat pada tabel 3. Modulasi yang digunakan adalah QPSK, 16-QAM, 64-QAM dengan code rate bervarisi 1/2, 2/3, dan 3/4. Koding yang digunakan untuk error control coding adalah Convolutional Encoder. Tabel code rate untuk modulasi di tunjukkan tabel 4. Untuk mensimulasikan kanal transmisi digunakan rayleigh fading dan AWGN. Rayleigh fading divariasikan dengan parameter kecepatan (v) gerak relatif mobile station dengan base station. Variasi kecepatan gerak juga merupakan variasi pergeseran maksimum frekuensi Doppler (Doppler shift). Nilai kecepatan (v) dalam simulasi ini adalah 3 Km/Jam. Noise
Gambar 4 Diagram Alir Pemodelan Sistem Data Bits
Data
Convolutional Encoder
Viterbi Decoder
Modulation (QPSK, M-QAM)
Demodulation Symbol
Sub-channel Maping
Sub-channel Demaping
IFFT
IFFT Rayleigh Fading
+ AWGN
Gambar 5 Diagram Blok Simulasi SISO
3
QAM dengan code rate 2/3 dan 3/4 nilai BER mencapai 10-3 ketika SNR sekitar 21.5 dB dan sekitar 23 dB.
Tabel 3 Parameter OFDM
Value 5 5.6 0.18 512 10.94 91.4 22.8 124.2 421 60 360 24 15
SISO
0
10
QPSK 1/2 QPSK 3/4 16-QAM 1/2 16-QAM 3/4 64-QAM 2/3 64-QAM 3/4
-1
10
-2
10 BER
Parameter Channel bandwidth (MHz) Sampling frequency Fs (MHz) Sampling period 1/ Fs (μs) FFT Size (NFFT) Subcarrier frequency spacing Δf=Fs /NFFT (kHz) Useful symbol period Tb=1/Δf(μs) Guard Time Tg=Tb/4 (μs) OFDMA symbol duration Ts=Tb+Tg (μs) Number of used subcarriers (Nused) Number of pilot subcarriers Number of data subcarriers Number of data subcarriers/subchannel Number of subchannels
-3
10
-4
10
-5
10
0
5
10
20
25
Gambar 8 Kurva Hasil Simulasi Pemodelan Antena Tunggal (SISO)
Tabel 4 Tabel Code Rate
Code Rate ½ ¾ ½ ¾ 2/3 ¾
MIMO-STBC Alamouti 2x2
0
10
QPSK 1/2 QPSK 3/4 16-QAM 1/2 16-QAM 3/4 64-QAM 2/3 64-QAM 3/4
-1
10
-2
10 BER
Modulasi QPSK QPSK 16-QAM 16-QAM 64-QAM 64-QAM
15 SNR (dB)
IV.
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
-3
10
A. Analisa Hasil Simulasi Pemodelan Antena Tunggal (SISO) Gambar 8 adalah kurva BER dari data yang dimodulasikan dibandingkan terhadap nilai SNR. Dapat diamati pada gambar 8 terlihat bahwa modulasi QPSK dengan code rate 1/2 dan 3/4 nilai BER mencapai 10-3 ketika SNR sekitar 6 dB dan 9,5 dB. Untuk Modulasi 16-QAM dengan code rate 1/2 dan 3/4 nilai BER mencapai 10-3 ketika SNR sekitar 11,5 dB dan sekitar 15,5 dB. Sedang untuk Modulasi 64-QAM dengan code rate 2/3 dan 3/4 nilai BER mencapai 10-3 Ketika SNR sekitar 19,5 dB dan sekitar 21,5 dB.
-4
10
-5
10
0
5
10
15
20
25
SNR (dB)
Gambar 9 Kurva Hasil Simulasi Pemodelan Sistem MIMO-STBC Alamouti 2x2. MIMO Spatial Multiplexing 2x2
0
10
B. Analisa Hasil Simulasi Pemodelan Sistem MIMO-STBC Alamouti 2x2 Pada gambar 9 dapat dilihat bahwa modulasi QPSK dengan code rate 1/2 dan 3/4 mencapai 10-3 ketika SNR sekitar 2 dB dan sekitar 4.5 dB. Untuk modulasi 16-QAM dengan code rate 1/2 dan 3/4 nilai BER mencapai 10-3 ketika SNR sekitar 7.5 dB dan sekitar 12.5 dB. Sedang untuk Modulasi 64-QAM dengan code rate 2/3 dan 3/4 nilai BER mencapai 10-3 ketika SNR sekitar 16.5 dB dan sekitar 18.5 dB.
QPSK 1/2 QPSK 3/4 16-QAM 1/2 16-QAM 3/4 64-QAM 2/3 64-QAM 3/4
-1
10
-2
BER
10
-3
10
-4
10
-5
10
C. Analisa Hasil Simulasi Pemodelan Sistem MIMO-Spatial Multiplexing 2x2. Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa modulasi QPSK dengan code rate 1/2 mencapai nilai BER 10-3 Ketika SNR sekitar 4 dB dan sekitar 7.5 dB. Untuk Modulasi 16-QAM dengan code rate 1/2 dan 3/4 nilai BER mencapai 10-3 ketika SNR sekitar 13 dB dan 17 dB. Sedang untuk Modulasi 64-
0
5
10
15
20
25
SNR (dB)
Gambar 10 Kurva Hasil Simulasi Pemodelan Sistem MIMO-Spatial Multiplexing 2x2.
Terlihat pada gambar 8, gambar 9, dan gambar 10 ketika BER bernilai 10-3 kinerja Modulasi yang sama dengan code rate yang lebih lebih tinggi memiliki kinerja yang lebih baik 4
dari pada modulasi dengan code rate yang lebih rendah, yaitu code rate 1/2 lebih baik dibandingkan dengan code rate 3/4, dan code rate 2/3 lebih baik dibandingkan dengan code rate 3/4. Penggunaan code rate yang lebih tinggi dapat menekan nilai BER yang dihasilkan. Nilai perbedaan gain yang dihasilkan dengan code rate yang berbeda untuk sistem SISO adalah berkisar 2-3 dB, untuk Sistem MIMO-STBC Alamouti dan Sistem MIMO-Spatial Multiplexing adalah berkisar 1-3 dB. Jika diamati lebih lanjut pada gambar 8, gambar 9, dan gambar 10 dengan nilai SNR yang sama, terlihat nilai BER sistem yang menggunakan modulasi 64-QAM lebih besar dibanding dua jenis modulasi lainnya. Modulasi 16 QAM, memiliki nilai BER relatif lebih besar dibanding modulasi QPSK. Kedua hal tersebut dilihat sebagai sesuatu yang wajar, karena modulasi QPSK hanya menggunakan 2 simbol, sedangkan modulasi 16-QAM dan 64 QAM memodulasikan 4 dan 6 simbol, sehingga lebih rentan terhadap noise selama transmisi. Dapat dilihat bahwa nilai BER dari semua modulasi memiliki kecenderungan nilai semakin kecil seiring makin naiknya nilai SNR. Hal ini di sebabkan karena pada nilai SNR yang besar mempresentasikan perbandingan varian sinyal yang besar dibandingkan dengan varian noisenya. Oleh karena itu, nilai varian noise yang jauh lebih kecil daripada varian sinyalnya akan menyebabkan nilai BER yang kecil. Karena error yang terjadi akan lebih kecil dibandingkan data yang dikirim.
PERBANDINGAN MODULASI QPSK 1/2
0
10
MIMO STBC QPSK 1/2 MIMO SM QPSK 1/2 SISO QPSK 1/2
-1
10
-2
BER
10
-3
10
-4
10
-5
10
0
1
2
3
4
5 SNR (dB)
6
7
8
9
10
Gambar 11 Kurva Perbandingan Hasil Simulasi Pemodelan Sistem SISO, MIMO-STBC Alamouti 2x2, dan MIMO-Spatial Multiplexing 2x2 untuk Modulasi QPSK dengan Code Rate 1/2. PERBANDINGAN MODULASI 16-QAM 1/2
0
10
MIMO STBC 16-QAM 1/2 SISO 16-QAM 1/2 MIMO SM 16-QAM 1/2
-1
10
-2
BER
10
-3
10
D. Analisa Hasil Simulasi Pemodelan Sistem SISO, MIMOSTBC Alamouti 2x2, dan MIMO-Spatial Multiplexing 2x2 untuk Modulasi QPSK dengan Code Rate 1/2. Dari gambar 11 dapat diamati tentang perbandingan modulasi QPSK dengan code rate 1/2 untuk sistem SISO, MIMO-STBC Alamouti 2x2, dan MIMO-Spatial Multiplexing 2x2. Dapat dilihat pada SNR bernilai 0 dB sampai 7 dB, nilai BER sistem SISO lebih besar dari nilai BER sistem MIMOSpatial Multiplexing, dan nilai BER sistem MIMO-Spatial Multiplexing lebih besar dari nilai sistem BER MIMO-STBC Alamouti. Dapat dilihat pada SNR bernilai 3dB nilai BER untuk sistem MIMO-STBC Alamouti, MIMO-Spatial Multiplexing, dan SISO secara berurutan bernilai sekitar 10-3, 3x10-2, dan 4x10-1. Jika dilihat ketika nilai BER 10-3 kinerja sistem MIMO-STBC Alamouti memiliki perbaikan nilai SNR sebesar 3 dB, dan sistem MIMO-Spatial Multiplexing memiliki perbaikan sebesar 2 dB terhadap sistem SISO. Terlihat bahwa modulasi QPSK dengan code rate 1/2 Sistem MIMO-STBC Alamouti memiliki kinerja yang lebih baik, karena pada SNR yang sama MIMO-STBC Alamouti telah mencapai nilai BER yang kecil dibandingkan dengan sistem MIMO-Spatial Multiplexing, dan sistem MIMO-Spatial Multiplexing masih lebih baik dari sistem SISO.
-4
10
-5
10
0
2
4
6
8
10 12 SNR (dB)
14
16
18
20
Gambar 12 Kurva Perbandingan Hasil Simulasi Pemodelan Sistem SISO, MIMO-STBC Alamouti 2x2, dan MIMO-Spatial Multiplexing 2x2 untuk Modulasi 16-QAM dengan Code Rate 1/2. PERBANDINGAN MODULASI 64-QAM 2/3
0
10
-1
10
-2
BER
10
-3
10
-4
10
MIMO STBC 64-QAM 2/3 SISO 64-QAM 2/3 MIMO SM 64-QAM 2/3
-5
10
0
5
10
15
20
25
SNR (dB)
Gambar 13 Kurva Perbandingan Hasil Simulasi Pemodelan Sistem SISO, MIMO-STBC Alamouti 2x2, dan MIMO-Spatial Multiplexing 2x2 untuk Modulasi 64-QAM dengan Code Rate 2/3.
5
E. Analisa Hasil Simulasi Pemodelan Sistem SISO, MIMOSTBC Alamouti 2x2, dan MIMO-Spatial Multiplexing 2x2 untuk Modulasi 16-QAM dengan Code Rate 1/2. Dari gambar 12 dapat diamati tentang perbandingan modulasi 16-QAM dengan code rate 1/2 untuk sistem SISO, MIMO-STBC Alamouti 2x2, dan MIMO-Spatial Multiplexing 2x2. Dapat dilihat pada SNR 0 dB sampai 3 dB kinerja dari ketiga sistem relatif sama, tetapi setelah SNR lebih dari 3 dB terlihat perbedaan. Dapat dilihat pada SNR bernilai 9 dB nilai BER untuk sistem MIMO-STBC Alamouti, MIMO- Spatial Multiplexing, dan SISO secara berurutan bernilai sekitar 10-3, 10-1, dan 8x10-1. Jika dilihat ketika nilai BER 10-3 kinerja sistem MIMO- STBC Alamouti memiliki perbaikan nilai SNR sebesar 2.5 dB, dan sistem MIMO Spatial Multiplexing mengalami penurunan nilai SNR sebesar 1.5 dB terhadap sistem SISO. Terlihat bahwa modulasi 16-QAM dengan code rate 1/2 Sistem MIMO-STBC Alamouti memiliki kinerja yang lebih baik, karena pada SNR yang sama MIMO-STBC Alamouti telah mencapai BER yang kecil dibandingkan dengan sistem MIMO-Spatial Multiplexing ataupun SISO. Akan tetapi Sistem MIMO-Spatial Multiplexing memiliki kinerja yang lebih buruk dibandingkan dengan sistem SISO.
1. Sistem MIMO-STBC Alamouti pada Mobile WiMAX mampu meningkatkan performansi secara signifikan dibandingkan dengan sistem SISO. Hal ini merujuk pada kurva yang ditunjukkan pada gambar 4.4 sampai gambar 4.9. Pada saat nilai SNR yang sama, nilai BER sistem MIMO-STBC Alamouti lebih kecil daripada nilai BER dari sistem SISO. 2. Sistem MIMO-Spatial Multiplexing pada Mobile WiMAX memiliki kinerja yang buruk untuk mentransmisikan modulasi dengan orde yang besar yaitu modulasi 16-QAM dan 64-QAM, dibandingkan dengan sistem SISO. Hal ini merujuk pada kurva yang ditunjukkan pada gambar 4.6 sampai gambar 4.9. Pada saat nilai SNR yang sama, nilai BER sistem MIMO-Spatial Multiplexing lebih besar daripada nilai BER dari sistem SISO. 3. Sistem MIMO-Spatial Multiplexing pada Mobile WiMAX memiliki rentang kerja yang panjang yaitu mencapai 25 dB, untuk sistem SISO mencapai 24 dB, sedangkan untuk sistem MIMO-STBC Alamouti hanya mencapai 21 dB. DAFTAR PUSTAKA [1] IEEE Std 802.16e™-2005, “Part 16: Air Interface for Fixed and Mobile Broadband Wireless Access Systems”, Feb. 2006. [2] J. G. Andrews, A. Ghosh and R. Muhamed, “Fundamentals of WiMAX : Understanding Broadband Wireless Networks”, Prentice Hall, Feb. 2007. [3] M. Alamouti, “A Simple Transmit Diversity Technique for Wireless Communications”, IEEE JSAC, Vol. 16, No. 8, Oct. 1998. [4] Kwang-Cheng Chen, J. Roberto B. de Marca, “MobileWiMAX”, JohnWiley & Sons, Ltd. 2008 [5] Jinliang Huang, “A Matlab/Octave Simulation Environment for SDR With Application to OFDM and MIMO”, Thesis Master Sience, Stockholm, Apr. 2005 [6] Tito Ilyasa,”OFDM pada Komunikasi Digital Pita Lebar”,Teknik Elektro,Universitas Indonesia, 2007 [7] Rustam E, “Limited Feedback Precoding Dan Mimo Spatial Multiplexing Untuk Aplikas 802.16e“, Thesis Magister, STTTelkom, Bandung, 2007
F. Analisa Hasil Simulasi Pemodelan Sistem SISO, MIMOSTBC Alamouti 2x2, dan MIMO-Spatial Multiplexing 2x2 untuk Modulasi 64-QAM dengan Code Rate 2/3. Dari gambar 13 dapat diamati tentang perbandingan modulasi 64-QAM dengan code rate 2/3 untuk sistem SISO, MIMO STBC Alamouti 2x2, dan MIMO Spatial Multiplexing 2x2. Dapat dilihat pada SNR 0 dB sampai 10 dB kinerja dari ketiga sistem relatif sama, tetapi setelah SNR lebih dari 10 dB terlihat perbedaan. Dapat dilihat pada SNR bernilai 17 dB nilai BER untuk sistem MIMO STBC Alamouti, MIMO Spatial Multiplexing, dan SISO secara berurutan bernilai sekitar 5x10-3, 10-1, dan 8x10-1. Jika dilihat ketika nilai BER 10-3 kinerja sistem MIMO STBC Alamouti memiliki perbaikan nilai SNR sebesar 3 dB, dan sistem MIMO Spatial Multiplexing mengalami penurunan nilai SNR sebesar 2 dB terhadap sistem SISO. Terlihat bahwa modulasi 16-QAM dengan code rate 3/4 Sistem MIMO-STBC Alamouti memiliki kinerja yang lebih baik, karena pada SNR yang sama MIMO-STBC Alamouti telah mencapai nilai BER yang kecil dibandingkan dengan sistem MIMO-Spatial Multiplexing ataupun SISO. Dan sistem MIMO-Spatial Multiplexing memiliki kinerja yang lebih buruk dibandingkan dengan sistem SISO.
RIWAYAT PENULIS Mustofa Agung Prasetya, dilahirkan di Malang 26 Maret 1986. Merupakan putra pertama dari tiga bersaudara pasangan Gatot Eko Priono dan Royati. Lulus dari SDN Tamankuncaran I tahun 1998 dan melanjutkan ke SLTPN I Tirtoyudo lulus tahun 2001. Kemudian melanjutkan ke SMKN I Singosari lulus pada tahun 2004. Setelah menamatkan SMK, penulis melanjutkan studinya di Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Malang lulus pada tahun 2007. Pada bulan Januari 2009 penulis melanjutkan studinya ke jenjang S1 di Jurusan Teknik Elektro ITS Surabaya. Pada bulan Juni 2011 penulis mengikuti seminar dan ujian tugas akhir di bidang studi Telekomunikasi Multimedia Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS Surabaya. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Elekto.
Dari pengamatan gambar 11 sampai gambar 13 terlihat jelas bahwa nilai BER dari sistem MIMO-STBC alamouti selalu lebih kecil dari sistem model lain, ini terjadi karena sistem ini dirancang untuk memperbaiki kualitas sinyal pada sistem komunikasi nirkabel yang rentan terhadap multipath fading.
V. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari hasil simulasi pada tugas akhir ini adalah: 6