ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAN EFISIENSI INTERMEDIASI BANK UMUM KONVENSIONAL DAN BANK UMUM SYARIAH TAHUN 2006-2011
OLEH MEITA PUSPITASARI H14080133
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
MEITA PUSPITASARI. Analisis Kinerja Keuangan dan Efisiensi Intermediasi Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah Tahun 2006-2011. (Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA).
Indonesia menganut dual banking system atau sistem perbankan ganda yaitu bank konvensional yang bekerja dengan prinsip bunga dan bank syariah yang bekerja dengan prinsip bagi hasil. Perkembangan dan perbedaan sistem yang terjadi pada perbankan Indonesia memungkinkan terjadinya perbedaan kinerja keuangan dan efisiensi perbankan. Selain itu, krisis keuangan juga akan berpengaruh pada efisiensi perbankan baik konvensional maupun syariah. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu menganalisis kinerja keuangan serta efisiensi Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah pada periode 2006-2011 serta setelah krisis tahun 2008. Penelitian ini juga menganalisis perbedaan kinerja keuangan serta efisiensi pada kedua jenis bank tersebut. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data tahunan dari 2006 sampai 2011 yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia. Analisis mengenai kinerja keuangan perbankan dilakukan dengan analisis deskriptif terhadap rasio keuangan antara lain Capital Adequacy Ratio (CAR), Loan to Deposit Ratio (LDR) atau Financing to Deposit Ratio (FDR), Non Performing Loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF), Return on Asset (ROA), rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). Hasil analisis menunjukkan perubahan kualitas rasio keuangan umumnya disebabkan oleh adanya krisis global tahun 2008. Berdasarkan analisis uji data berpasangan terdapat perbedaan nyata antara BUK dan BUS pada variabel CAR, FDR/LDR, ROA, dan BOPO dimana BUK memiliki keunggulan pada rasio permodalan (CAR) dan rentabilitas (ROA) sedangkan BUS memiliki keunggulan pada rasio likuiditas (FDR) dan efisiensi BOPO. Analisis efisiensi perbankan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Pengolahan data menggunakan Banxia Software Frontier Analyst dengan pengukuran efisiensi berorientasi output (maksimisasi). Analisis data menggunakan pendekatan model DEA yaitu model constant return to scale. Variabel input yang digunakan yaitu total aset, total Dana Pihak Ketiga, dan biaya operasional/ biaya tenaga kerja serta variabel output penyaluran kredit/ pembiayaan dan pendapatan operasional. Analisis DEA secara bersamaan menunjukkan BUS dapat bekerja lebih efisien dibandingkan BUK pada periode pengamatan. Hasil analisis DEA pada masing-masing bank menunjukkan BUK dan BUS tidak mencapai tingkat efisiensi 100% pada saat krisis dan setelah krisis. Hasil pengukuran efisiensi perbankan setelah krisis menunjukkan terdapat empat BUK dan dua BUS yang tidak efisien di tahun 2009 serta terdapat empat BUK dan satu BUS yang tidak efisien di tahun 2010. Akan tetapi, berdasarkan uji data berpasangan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada efisiensi kedua perbankan.
ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAN EFISIENSI INTERMEDIASI BANK UMUM KONVENSIONAL DAN BANK UMUM SYARIAH TAHUN 2006-2011
Oleh MEITA PUSPITASARI H14080133
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Analisis Kinerja Keuangan Dan Efisiensi Intermediasi Bank Umum Konvensional Dan Bank Umum Syariah Tahun 2006-2011
Nama
: Meita Puspitasari
NRP
: H14080133
Mayor
: Ilmu Ekonomi
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. NIP: 1964 0101 198803 1 061
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP: 1964 1022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, November 2012
Meita Puspitasari H14080133
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Meita Puspitasari, lahir pada tanggal 1 Mei 1990 di Bogor. Penulis merupakan anak pertama dari empat orang bersaudara, dari pasangan Jon Wiklif Tinambunan dan Kesianna Manik. Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Budi Mulia, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 4 Bogor dan lulus tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi yaitu pada tahun 2008 dimana penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen melalui jalur Prestasi Internasional dan Nasional (PIN). Selama penulis menjalani perkuliahan, penulis ikut serta dalam berbagai kepanitiaan dan juga bergabung dalam beberapa organisasi intra kampus diantaranya: Agria Swara, Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi “Analisis Kinerja Keuangan dan Efisiensi Intermediasi Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah Tahun 2006-2011”. Adapun hal yang melatarbelakangi penulis dalam membuat skripsi ini adalah diperlukan kondisi perbankan yang sehat dan baik sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai negara ini. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Orang tua penulis, yaitu Bapak Jon Wiklif Tinambunan dan Ibu Kesianna Manik serta adik David, Jenny dan Debora atas kasih sayang dan dukungan mereka sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan sehingga pembuatan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 3. Bapak Dr. Iman Sugema sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan banyak masukan dalam skripsi ini. 4. Bapak Salahuddin el Ayyubi, MA sebagai penguji komisi pendidikan yang telah memberi masukan mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik. 5. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi. 6. Teman-teman penulis, yaitu Nenti, Sinta, Dian, Suci, Eris, dan Laura yang telah memberikan semangat, bantuan, dan kerjasamanya. 7. Elizabeth Karlinda, Bayu Tri Laksana, Mbak Santi, Mas Sutarsono, Mbak Desi, dan Pak Aditya atas semua dukungan saran dan diskusi selama penyusunan skripsi ini
8. Teman-teman Ilmu Ekonomi terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat kekurangan. Segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Oleh sebab itu, penulis memohon maaf atas segala kesalahan kata dan kekurangan dari skripsi ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan masukan untuk perbaikan yang akan datang. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun berbagai pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, November 2012
Meita Puspitasari H14080133
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .....................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vi I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...........................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................
7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bank ...................................................................................................
8
2.1.1. Definisi Bank ........................................................................
8
2.1.2. Perbankan Konvensional ......................................................
9
2.1.3. Perbankan Syariah ................................................................ 10 2.1.4. Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah................ 10 2.1.5. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil ......................................... 11 2.1.6. Sistem dan Produk Penghimpunan Dana Bank Konvensional dan Bank Syariah ........................................... 12 2.1.7. Sistem dan Produk Penyaluran Dana Bank Konvensional dan Bank Syariah ........................................... 16 2.2. Rasio Keuangan ................................................................................. 19 2.2.1. Rasio Permodalan (Solvabilitas)........................................... 19 2.2.2. Rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP) ............................... 22 2.2.3. Rasio Rentabilitas ................................................................. 23 2.2.4. Rasio Likuiditas .................................................................... 24 2.2.5. Rasio Efisiensi ...................................................................... 24 2.3. Efisiensi Perbankan ........................................................................... 24 2.3.1. Definisi dan Konsep Efisiensi Perbankan............................. 24
i
2.3.2. Hubungan Input dan Output dalam Pengukuran Efisiensi Bank ...................................................................................... 25 2.4. Konsep Data Envelopment Analysis (DEA) ...................................... 27 2.4.1. Model Constant Return to Scale (CRS) atau Model Charnes Cooper dan Rhodes (CCR) ..................................... 28 2.5. Uji T Data Berpasangan (Paired Sample T Test) .............................. 30 2.6. Penelitian Terdahulu .......................................................................... 31 2.7. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 33 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 36 3.2. Populasi dan Sampel .......................................................................... 36 3.3. Metode Analisis ................................................................................. 37 3.3.1. Analisis Deskriptif ................................................................ 38 3.3.2. Metode Data Envelopment Analysis (DEA) ......................... 38 3.3.3. Uji T Data Berpasangan (Paired Sample T Test) ................. 42 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Data ................................................................................... 43 4.1.1. Analisis Rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) .................... 43 4.1.2. Analisis Rasio Loan/Financing to Deposit Ratio (LDR/FDR) ........................................................................... 45 4.1.3. Analisis Rasio Non Performing Financing/Loan (NPF/NPL) ............................................................................ 48 4.1.4. Analisis Rasio Return on Asset (ROA) ................................. 50 4.1.5. Analisis Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) ............................................................. 51 4.2. Data Envelopment Analysis (DEA) ................................................... 53 4.2.1. Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011 .... 53 4.2.2. Efisiensi BUK dan BUS Setelah Krisis Global 2008 ........... 59 4.3. Perbandingan Kinerja Keuangan dan Efisiensi BUK dan BUS ........ 61 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 63 5.2. Saran .................................................................................................. 64
ii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 65 LAMPIRAN ....................................................................................................... 69
iii
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1.
Halaman Perkembangan Jumlah Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia Tahun 2006-2011 .................
2
2.1.
Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah .................................. 11
2.2.
Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil ............................................................ 12
3.1.
Rasio Keuangan Perbankan ..................................................................... 38
4.1.
Perkembangan Rasio Keuangan CAR, LDR dan FDR, NPL dan NPF, ROA, dan BOPO Bank Umum Syariah dengan Bank Umum Konvensional di Indonesia ...................................................................... 43
4.2.
Jumlah Kredit dan DPK BUK Tahun 2008-2011 ................................... 46
4.3.
Jumlah Kredit dan DPK BUS Tahun 2008-2011 .................................... 47
4.4.
Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011 .......... 54
4.5.
Perkembangan Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011................................................................................................ 55
4.6.
Inefisiensi BUK Tahun 2008................................................................... 56
4.7.
Inefisiensi BUK Tahun 2009................................................................... 56
4.8.
Inefisiensi BUS Tahun 2009 ................................................................... 57
4.9.
Inefisiensi BUS Tahun 2010 ................................................................... 58
4.10. Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2009 ................... 59 4.11. Perbandingan Rata-Rata Kinerja Keuangan dan Analisis Efisiensi BUK dan BUS Tahun 2006-2011 ........................................................... 62
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Skema Kerja Prinsip Wadi’ah Yad Dhamanah ......................................... 13 2.2. Skema Kerja Prinsip Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet.......... 14 2.3. Skema Kerja Prinsip Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet ......... 15 2.4. Skema Kerja Prinsip Mudharabah Mutlaqah ............................................ 16 2.5. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 35 4.1. Perkembangan CAR BUS dan Bank BUS 2006-2011 .............................. 44 4.2. Perkembangan FDR BUS dan LDR BUK 2006-2011 .............................. 46 4.3. Perkembangan NPF BUS dan NPL BUK 2006-2011 ............................... 48 4.4. Perkembangan ROA BUS dan BUK 2006-2011 ...................................... 50 4.5. Perkembangan BOPO BUS dan BUK 2006-2011 .................................... 52
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Efisiensi Perbankan Setelah Krisis............................................................... 69 2. Uji Beda Data Berpasangan ......................................................................... 73
vi
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pembangunan ekonomi tidak lepas dari peranan sektor perbankan
sebagai lembaga pembiayaan bagi sektor riil. Pembiayaan yang diberikan sektor perbankan
kepada
sektor
riil
berperan
meningkatkan
produktivitasnya.
Meningkatnya produktivitas sektor riil dapat meningkatkan iklim dunia usaha dan investasi yang kemudian akan meningkatkan pendapatan nasional. Sebagai lembaga intermediasi, sektor perbankan menghubungkan pihak surplus dengan pihak defisit. Pihak surplus atau deposan menyimpan uang di bank dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito. Sedangkan pihak defisit atau debitur meminjam uang dari bank dalam bentuk kredit konvensional dan pembiayaan syariah. Pinjaman tersebut menjadi sarana intermediasi bagi perbankan. Kepercayaan terhadap lembaga perbankan menjadi sangat penting agar fungsi intermediasi dapat berjalan dengan baik. Fungsi intermediasi yang berjalan dengan baik menciptakan penggunaan dana yang optimal dan efisien. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya aktivitas produktif dari dana yang dipinjamkan sehingga output aktivitas produksi akan meningkat dan lapangan kerja baru yang banyak bermunculan menambah taraf kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat (Muharam dan Pusvitasari, 2007). Sejak dikeluarkannya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Indonesia menerapkan sistem perbankan ganda yaitu bank konvensional dan bank syariah. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999, Bank Indonesia memiliki tugas baru sebagai otoritas moneter ganda yang dapat menjalankan kebijakan moneter konvensional dan syariah. Amandemen UU tersebut meresmikan berlakunya sistem perbankan ganda atau dual banking system di Indonesia. Dunia perbankan baik konvensional maupun syariah semakin berkembang di bawah pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Bank Indonesia. Jumlah perbankan di Indonesia mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut secara umum disebabkan oleh krisis global yang terjadi di tahun 2008. Krisis menyebabkan banyak bank mengalami kesulitan dalam hal
2
likuidasi. Krisis membuat jumlah BUK mengalami penurunan di tahun 2008 hingga 2011 tetapi jumlah BUK kembali mengalami peningkatan di tahun 2011. Kondisi ini berbeda dengan jumlah BUS yang selalu mengalami peningkatan walaupun di saat krisis. Hal ini dapat membuktikan daya tahan BUS dalam menghadapi masalah krisis. Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia Tahun 2006-2011 Tahun 2006
2007
2008
2009
2010
2011
BUK
127
127
119
115
111
120
BUS
3
3
5
6
11
11
Total
130
130
124
121
122
131
Jenis
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 2006-2011 Dalam sistem konvensional, intermediasi perbankan terjadi melalui sistem kredit. Sebagai intermediator, bank berperan dalam mendorong perekonomian nasional melalui kredit tersebut. Deposan menyimpan uang di bank dan debitur meminjam uang dari bank dengan tingkat bunga yang berlaku. Di sisi lain, bank juga mencari keuntungan melalui selisih antara suku bunga simpanan dan suku bunga kredit setelah diperhitungkan juga biaya overhead dalam proses pemberian kredit. Sistem tersebut juga menempatkan bank konvensional sebagai lembaga yang berorientasi pada profit. Perbankan konvensional sering kali berada di posisi dilema akibat tingkat bunga yang harus ditetapkan. Deposan sebagai penyedia dana tentunya menginginkan tingkat bunga simpanan yang tinggi atas modal yang mereka simpan sedangkan debitur menginginkan tingkat bunga pinjaman yang rendah agar biaya mereka juga ringan. Hal ini bertolak belakang dengan keinginan bank konvensional yang lebih menyukai membayar bunga simpanan dalam jumlah kecil dan menerima pembayaran bunga kredit dalam jumlah besar. Kondisi tersebut membuat kinerja kredit menjadi kurang efisien sebagai saluran intermediasi dan pendorong perekonomian nasional.
3
Krisis moneter yang dimulai tahun 1997 merupakan salah satu dampak tidak bekerjanya sistem bunga dengan baik. Tingkat bunga yang tinggi mengakibatkan bank khususnya bank konvensional tidak mampu menyediakan dana likuid untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Selain itu, nasabah peminjam tidak mampu mengembalikan dana yang telah dipinjam karena tingkat bunga yang terlalu tinggi. Tingkat bunga yang tinggi juga mengakibatkan tingginya biaya modal bagi sektor usaha. Tingginya tingkat suku bunga mengakibatkan fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan optimal. Kondisi tersebut menyebabkan jatuhnya perbankan nasional dan perekonomian Indonesia. Perbankan dianggap memiliki peran besar dalam memicu krisis moneter saat itu (Abdurohman, 2003). Pada masa krisis tersebut, sektor moneter tidak berjalan beriringan dengan sektor riil. Sektor moneter berkembang melampaui sektor riil karena uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar tetapi juga sebagai komoditas akibat adanya para spekulan. Hal ini berbeda dengan prinsip syariah yang menggunakan uang hanya sebagai alat tukar. Dengan prinsip syariah, bank umum syariah masih dapat bertahan dan menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan perbankan konvensional. Berdasakan data Bank Indonesia tahun 2002, penyaluran pembiayaan yang bermasalah (non performing financing) pada bank syariah lebih rendah dibandingkan bank konvensional. Sistem profit and lost sharing atau bagi hasil yang diterapkan oleh bank syariah berbeda dengan sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional. Bank konvensional sangat responsif terhadap perubahan tingkat bunga yang memungkinkan terjadinya negative spread sehingga sangat rentan terhadap resiko krisis. Di sisi lain, bank syariah dapat mengurangi resiko krisis melalui sistem bagi hasil yang ditetapkan secara adil. Tidak berlakunya sistem bunga bagi perbankan syariah membuat bank tersebut terhindar dari masalah negative spread, yaitu masalah selisih tingkat bunga simpanan dan pinjaman yang tidak dapat disesuaikan sepenuhnya. Sistem bagi hasil menempatkan debitur sebagai mitra sehingga intermediasi yang terjadi menciptakan ikatan emosional antara pemegang saham, pengelola bank, dan nasabahnya. Setiap individu terlibat dalam
4
pemanfaatan dana tersebut sehingga proyek yang didanai merupakan usaha sektor riil yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Perkembangan
perekonomian
nasional
juga
dipengaruhi
oleh
perkembangan perbankan nasional. Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah yang semakin berkembang di Indonesia baik secara jumlah, kualitas, maupun produk yang ditawarkan akan berdampak terhadap perekonomian. Selain itu, perbedaan sistem operasional kedua bank tersebut juga memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif yang diberikan yaitu masyarakat semakin mudah dalam melakukan transaksi keuangan sehingga produktivitas sektor keuangan Indonesia semakin meningkat. Di sisi lain, lembaga keuangan yang rentan terhadap resiko dapat mendatangkan permasalah terhadap perekonomian. Permasalahan penting lembaga keuangan yaitu mengenai kualitas kinerja dan kesehatan BUK dan BUS. Informasi mengenai kualitas perbankan diperlukan oleh masyarakat dan pihak terkait untuk mengevaluasi kinerja bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen resiko. Kinerja perbankan dapat dilihat melalui rasio keuangan perbankan. Analisis rasio keuangan dapat membantu manajemen dalam memahami apa yang terjadi pada perbankan berdasarkan suatu informasi laporan keuangan baik dengan perbandingan rasio-rasio sekarang dengan yang lalu dan yang akan datang pada internal perbankan maupun perbandingan rasio perbankan dengan perbankan yang lainnya atau dengan rata-rata industri pada saat titik yang sama/perbandingan eksternal (Munawir dalam Isna Rahmawati, 2008). Beberapa rasio keuangan yang dapat diamati dalam menilai kinerja perbankan adalah Capital Adequacy Ratio (CAR), Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Financing to Deposit Ratio (FDR), Non Performing Loan (NPL) dan Non Performing Financing (NPF), Return on Asset (ROA), dan rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). Selain menggunakan rasio keuangan, pengukuran efisiensi perbankan juga dapat dilakukan dengan metode statistik non parametrik yaitu Data Envelopment Analysis (DEA). Metode ini dianggap lebih baik dalam mengukur efisiensi perbankan karena penilaian dilakukan dengan mengukur input dan output
5
kegiatan operasional perbankan. DEA mampu mengukur berbagai macam input dan output dengan satuan variabel yang berbeda. Dengan demikian, metode ini lebih fleksibel dan mudah digunakan dibanding alat analisis lainnya. Efisiensi dalam dunia perbankan adalah salah satu parameter kinerja yang penting untuk diperhatikan dalam mengukur kemampuan perbankan sebagai lembaga keuangan yang sehat dan berkelanjutan (sustainable). Efisiensi industri perbankan dapat ditinjau dari sudut mikro maupun makro (Berger dan Mester, 1997). Secara mikro, efisiensi perbankan dapat diketahui melalui persaingan yang terjadi di industri perbankan. Bagi pihak bank, efisiensi merupakan gambaran kinerja yang harus diperhatikan agar bank dapat bertindak rasional dalam memanfaatkan faktor produksi dan meminimumkan tingkat risiko yang dihadapi dalam menghadapi kegiatan operasinya. Efisiensi perbankan akan mempengaruhi profitabilitas bank yang bersangkutan (Muharam dan Pusvitasari, 2007). Dari perspektif makro, bank yang efisien mampu menjalankan fungsi intermediasinya secara optimal melalui penyaluran kredit dengan biaya murah. Bank yang efisien akan dapat mempertahankan keberadaanya dan kesetiaan nasabahnya. Bagi masyarakat, bank yang efisien berarti bank tersebut telah berhasil melaksanakan perannya sebagai lembaga keuangan yang dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi. Perbandingan efisiensi antar bank juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja perbankan. Hasil perbandingan tersebut akan menjadi stimulus untuk saling berkompetisi dalam mencapai kinerja yang optimal. Bagi masyarakat, perbandingan tingkat efisiensi perbankan akan mempermudah dalam memilih bank mana yang akan dituju. Penelitian efisiensi intermediasi perbankan dengan menggunakan DEA pernah dilakukan oleh Rakhmat Purwanto. Penelitian yang dilakukan mengenai efisiensi BUK dan BUS selama periode 2006-2010 dengan metode DEA. Penelitian tersebut menyatakan dari 21 BUK dan BUS yang diteliti hanya terdapat satu bank umum yang mencapai tingkat efisiensi 100% secara terus menerus yaitu Bank Mestika Dharma (BUK) sedangkan bank lain mengalami fluktuasi atau bahkan tidak pernah mencapai tingkat yang efisien. Penelitian Tessa Magrianti (2011) menyatakan hasil yang sedikit berbeda. Berdasarkan perhitungan DEA dengan pendekatan intermediasi, BUS
6
berada di atas rata-rata nilai efisiensi. Sedangkan pada pendekatan aset dan pendekatan produksi, BUS berada di bawah rata-rata nilai efisiensi bank umum. Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan perbedaan hasil dari penelitian sebelumnya, maka penelitian ini akan menganalisis efisiensi Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Umum Syariah (BUS) di Iindonesia tahun 2006 sampai 2011. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis kondisi intermediasi perbankan pasca krisis tahun 2008.
1.2.
Perumusan Masalah Intermediasi yang dilakukan oleh perbankan merupakan salah satu faktor
pendorong tumbuhnya sektor riil di Indonesia. Perbankan memberikan tambahan modal bagi sektor ekonomi untuk mengembangkan produksinya. Sebagai lembaga intermediasi yang mempertemukan deposan dan kreditur, diperlukan bank dengan kinerja keuangan yang sehat. Efisiensi merupakan salah satu pengukuran kinerja perbankan yang dapat menjadi akar permasalahan atau sumber pertumbuhan perbankan. Efisiensi menjadi aspek yang paling penting untuk mewujudkan suatu kinerja keuangan yang sehat dan berkelanjutan. Bank konvensional dan bank syariah memiliki perbedaan sistem dalam menjalankan kegiatan operasinya. Bank konvensional didasarkan pada tingkat bunga yang berlaku sedangkan bank syariah menggunakan sistem bagi hasil. Perbedaan sistem konvensional dan syariah dapat mempengaruhi kinerja dan tingkat efisiensi perbankan sebagai lembaga intermediasi yang menghimpun dan menyalurkan dana ke sektor riil. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana kinerja keuangan Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah selama periode 2006-2011 dalam perekonomian nasional?
2.
Bagaimana tingkat efisiensi Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah selama periode 2006-2011 dalam perekonomian nasional?
3.
Bagaimana kondisi efisiensi Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah setelah krisis global tahun 2008?
7
4.
Apakah terdapat perbedaan nyata rasio keuangan perbankan dan nilai efisiensi antara Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Menganalisis kinerja keuangan Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah selama periode 2006-2011 dalam perekonomian nasional.
2.
Menganalisis tingkat efisiensi Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah selama periode 2006-2011 dalam perekonomian nasional.
3.
Menganalisis kondisi efisiensi Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah setelah krisis global tahun 2008.
4.
Menganalisis terdapat perbedaan nyata rasio keuangan perbankan dan nilai efisiensi antara Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan informasi serta
bukti empiris mengenai kondisi perbankan di Indonesia yaitu Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah. Kegunaan penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut: 1.
Bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta menjadi bahan masukan dalam merumuskan berbagai kebijakan yang dapat memajukan perbankan nasional.
2.
Bagi para pelaku perbankan, penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi BUK maupun BUS untuk menjaga dan meningkatkan efisiensinya.
3.
Bagi penulis, penelitian ini sebagai sarana pembelajaran dalam memahami kinerja perbankan nasional secara lebih mendalam. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai sarana proses belajar agar lebih kritis dalam mengamati keadaan perekonomian serta membuka wawasan dan pemahaman untuk mencari jawaban atas permasalahan yang di atas.
4.
Sebagai bahan referensi bagi pembaca dan informasi bagi peneliti lainnya untuk penelitian yang lebih lanjut.
II.
2.1.
Bank
2.1.1.
Definisi Bank Bank
merupakan
TINJAUAN PUSTAKA
lembaga
keuangan
yang
kegiatan
usahanya
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Bank menjadi lembaga intermediasi keuangan, penghubung antara orang yang kelebihan modal dengan orang yang memerlukan modal. Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Pasal 1 ayat (2) tentang Perbankan menyatakan yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Selain itu, menurut Judisseno (2005) hakikat bank adalah suatu lembaga yang lahir karena fungsinya sebagai agent of trust dan agent of development. Definisi dari agent of trust adalah suatu lembaga perantara (intermediacy) yang dipercaya untuk melayani segala kebutuhan keuangan dari dan untuk masyarakat. Sedangkan sebagai agent of development, bank adalah suatu lembaga perantara yang dapat mendorong kemajuan pembangunan melalui fasilitas kredit dan kemudahan-kemudahan pembayaran dan penarikan dalam proses transaksi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatannya adalah (Kasmir, 2010): 1.
Menghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Bank bertindak sebagai tempat menyimpan uang atau berinvestasi bagi masyarakat. Tujuan utama masyarakat menyimpan uang di bank untuk menjaga keamanan uang mereka. Sedangkan tujuan kedua untuk melakukan investasi dengan harapan memperoleh bunga dari hasil investasinya.
2.
Menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit) kepada masyarakat yang mengajukan permohonan.
9
3.
Memberikan jasa-jasa bank lainnya, seperti pengiriman uang (transfer), penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam kota (clearing), penagihan surat-surat berharga yang berasal dari luar kota dan luar negeri (inkaso), letter of credit (L/C), safe deposit box, bank garansi, bank notes, travellers cheque, dan jasa lainnya. Bank di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis bank
berdasarkan pembayaran bunga atau bagi hasil usaha: 1.
Bank yang melakukan usaha secara konvensional.
2.
Bank yang melakukan usaha secara syariah.
2.1.2.
Perbankan Konvensional Bank konvensional yaitu bank yang melakukan kegiatan usaha
perbankan berdasarkan prinsip konvensional. Dalam mencari keuntungan dan menentukan harga kepada para nasabahnya, bank yang berdasarkan prinsip konvensional menggunakan dua metode yaitu. •
Menetapkan bunga sebagai harga, untuk produk simpanan (giro, tabungan, dan deposito). Demikian pula harga untuk produk pinjamannya ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. Penentuan harga seperti ini dikenal dengan istilah spread based.
•
Untuk jasa-jasa lainnya, perbankan konvensional menerapkan berbagai biaya dalam nominal atau persentase tertentu yang dikenal dengan istilah fee based. Berdasarkan laporan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) bulan Desember
2011, jumlah perbankan konvensional sebanyak 120 dengan rincian sebagai berikut. 1.
Bank Persero sebanyak 4 buah.
2.
Bank Umum Swasta Nasional Devisa sebanyak 36 buah.
3.
Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa sebanyak 30 buah.
4.
Bank Pembangunan Daerah sebanyak 26 buah.
5.
Bank Campuran sebanyak 14 buah.
6.
Bank Asing sebanyak 10 buah.
10
2.1.3.
Perbankan Syari’ah Bank Syari’ah merupakan bank yang beroperasi sesuai dengan ketentuan
syariat Islam. Beberapa ahli ekonomi memberikan pengertian yang lebih luas mengenai Bank Syariah antara lain. 1.
Antonio (2002) menyatakan Bank Syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam. Selain itu, bank syariah juga didefinisikan sebai bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Hadist.
2.
Ascarya dan Yuanita (2005) menyatakan Bank Syari’ah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah. Perkembangan industri keuangan syari’ah di Indonesia telah dimulai
sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syari’ah. Perbankan syariah hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang menginginkan bank bebas bunga. Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan secara implisit membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil. Keberadaan Bank Syari’ah di Indonesia telah diatur dalam UndangUndang yaitu UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Statistik Perbankan Indonesia melaporkan bahwa hingga bulan Desember 2011 sudah terdapat 11 Bank Umum Syariah dan 23 Unit Usaha Syariah. Sebagai lembaga keuangan yang baru berdiri di Indonesia, bank syariah sudah cukup banyak berkembang yaitu 11 bank pada Desember 2011.
2.1.4.
Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah Bank konvensional dan bank syariah merupakan bank yang tumbuh dan
berkembang dalam perekonomian masyarakat saat ini. Bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam menjalankan perannya sebagai intermediator yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman.
11
Persamaan lain yang dimiliki oleh perbankan adalah mekanisme transfer, teknologi komputer, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan. Akan tetapi, bank syariah dan bank konvensional memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan ini menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja. Perbedaan mendasar antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional terletak pada dua konsep yaitu konsep sistem perbankan dan konsep imbalan. Perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut. Tabel 2.1. Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah Bank Syariah
Bank Konvensional
- Melakukan investasi-investasi yang - Investasi yang halal dan haram halal saja. - Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual- - Memakai perangkat bunga beli, atau sewa - Profit dan falah oriented.
- Profit oriented.
- Hubungan dengan nasabah dalam - Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan.
bentuk hubungan debitur-kreditur.
- Penghimpunan dana dan penyaluran - Tidak terdapat dewan sejenis. dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah Sumber: Antonio, 2001.
2.1.5.
Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Sistem perbankan memberikan pilihan kepada nasabah melalui bank
konvensional dan bank syariah. Kedua jenis bank ini menawarkan sistem yang berbeda sehingga masyarakat memiliki pertimbangan-pertimbangan dalam memanfaatkan jasa perbankan. Masyarakat yang memilih sistem bunga lebih bertujuan untuk mengoptimalkan pemenuhan keuntungan pribadi. Berbeda dengan sistem bagi hasil, sistem ini berorientasi pemenuhan kemaslahatan hidup umat manusia (Sudarsono, 2008). Perbedaan bunga dan bagi hasil dapat dijelaskan lebih jauh dalam Tabel 2.2 berikut:
12
Tabel 2.2. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Bunga
Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu Penentuan besarnya rasio/nisab bagi akad
dengan
asumsi
harus
untung.
selalu hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
Besarnya persentase berdasarkan pada Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. pada
jumlah
keuntungan
yang
diperoleh. Pembayaran bunga tetap seperti yang Bagi hasil bergantung pada keuntungan dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan. Bila usaha proyek yang dijalankan pihak nasabah merugi, untung atau rugi. Jumlah
akan
ditanggung
bersama oleh kedua belah pihak.
pembayaran
meningkat,
kerugian
bunga
sekalipun
keuntungan naik berlipat.
tidak Jumlah pembagian laba meningkat jumlah sesuai
dengan
peningkatan
jumlah
pendapatan.
Eksistensi bunga diragukan oleh semua Tidak ada yang meragukan keabsahan agama termasuk Islam.
bagi hasil.
Sumber: Syafi’i Antonio, 2001
2.1.6.
Sistem dan Produk Penghimpunan Dana Bank Konvensional dan Bank Syariah Bank konvensional memiliki sistem penghimpunan dana dari masyarakat
dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito. Dalam operasinya, bank konvensional menggunakan prinsip bunga. Pengertian produk-produk bank menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 adalah sebagai berikut: 1.
Giro adalah simpanan dari pihak ketiga atau nasabah kepada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.
2.
Tabungan adalah simpanan pihak ketiga atau nasabah kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang
13
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. 3.
Deposito adalah simpanan pihak ketiga atau nasabah kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara pihak ketiga dengan bank yang bersangkutan. Deposito dibedakan menjadi deposito berjangka, sertifikat deposito, dan deposits on call. Penghimpunan dana yang dilakukan bank syariah berbentuk giro, tabu-
ngan, dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah (Karim, 2004). 1.
Prinsip Wadi’ah Prinsip ini mempunyai implikasi hukum di mana nasabah bertindak sebagai pihak yang menitipkan uang dan bank bertindak sebagai pihak pengelola. Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah seperti pada produk rekening giro. Berbeda dengan wadi’ah amanah yang mempunyai prinsip harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi, pada wadi’ah dhamanah pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga boleh memanfaatkan harta titipan tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2.1.
1. Titipan Barang
Bank Syariah
Investor 4. Beri Bonus 3. Bagi Hasil
2. Pemanfaatan Dana
Nasabah
Sumber: Muhammad, 2005 Gambar 2.1. Skema Kerja Prinsip Wadi’ah Yad Dhamanah
14
2.
Prinsip Mudharabah Penyimpan atau deposan dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan untuk melakukan murabahah, ijarah, atau untuk melakukan mudharabah kedua oleh bank dimana dalam hal ini bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi. Prinsip ini dalam aplikasinya seperti tabungan berjangka dan deposito berjangka. Prinsip mudharabah dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: mudharabah muqayyadah on balance sheet dan off balance sheet serta mudharabah mutlaqah. Bank syariah pada mudharabah muqayyadah off balance sheet juga berperan memberikan modal untuk dikelola mudharib dan bank syariah akan mendapatkan kembali modalnya dan bagi hasil dari proyek yang dikerjakan. Perbedaan antara mudharabah muqayyadah on balance sheet dengan off balance sheet dapat dilihat pada gambar 2.2 dan 2.3.
Nasabah
Bank Syariah
Perjanjian Bagi Hasil
Perantara
Mudharib
Proyek
Bagi Hasil
Modal Sumber: Muhammad, 2005 Gambar 2.2. Skema Kerja Prinsip Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
15
Bank Syariah Perjanjian Bagi Hasil
Nasabah
Perantara + Modal
Mudharib
Proyek
Bagi Hasil
Modal Sumber: Muhammad, 2005 Gambar 2.3. Skema Kerja Prinsip Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet Mudharabah muqayyadah merupakan penyaluran dana langsung kepada pelaksana usahanya, di mana bank bertindak sebagai perantara yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah (Muhammad, 2005). Skema kerja prinsip mudharabah mutlaqah dijelaskan seperti pada Gambar 2.4.
16
1. Titipan Barang
Bank Syariah
Investor 4. Bagi Hasil 3. Bagi Hasil
2. Pemanfaatan Dana
Nasabah Sumber: Muhammad, 2005 Gambar 2.4. Skema Kerja Prinsip Mudharabah Mutlaqah
2.1.7.
Sistem dan Produk Penyaluran Dana Bank Konvensional dan Bank Syariah Penyaluran dana dalam bank konvensional dikenal dengan nama kredit.
Pengertian kredit menurut UU Perbankan No. 10 tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit dalam bank konvensional dilihat dari segi jangka waktu penggunaanya dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1.
Kredit jangka pendek Kredit ini merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari satu tahun atau paling lama satu tahun dan biasanya digunakan untuk modal kerja.
2.
Kredit jangka menengah Merupakan kredit yang berkisar antara satu tahun sampai dengan tiga tahun, kredit jenis ini dapat diberikan untuk modal kerja.
3.
Kredit jangka panjang Merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang yaitu di atas tiga tahun atau lima tahun, biasanya digunakan untuk investasi jangka panjang.
17
Penyaluran dana dalam bank syariah dikenal dengan nama pembiayaan. Pengertian pembiayaan menurut UU perbankan No. 10 tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Secara garis besar produk pembiayaan bank syariah terbagi ke dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya (Karim, 2004), yaitu: 1.
Pembiayaan dengan prinsip jual-beli (Ba’i) Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di awal dan menjadi bagian harga jual barang kepada nasabah. Prinsip jual-beli dikembangkan menjadi tiga bentuk prinsip pembiayaan, yaitu: a.
Pembiayaan Murabahah Transaksi jual beli dimana bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Barang diserahkan segera dan pembayaran dilakukan secara tangguh.
b.
Pembiayaan Salam Pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Bank sebagai pembeli, nasabah sebagai penjual. Transaksi ini ada kepastian tentang kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan.
c.
Pembiayaan Istishna Jual beli seperti akad salam, namun pembayarannya dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Istishna diterapkan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
2.
Pembiayaan dengan prinsip sewa (Ijarah) a.
Ijarah Transaksi jual beli yang dilandasi perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ini sama saja dengan prinsip jual beli, tetapi
18
perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Apabila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa (Karim, 2004). b.
Ijarah Muntahiya Bittamlik Perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya prinsip sewa yang diakhiri dengan opsi kepemilikan objek sewa di akhir masa sewa. Pada umumnya bank lebih banyak menggunakan prinsip ini karena sifatnya yang lebih sederhana dari sisi pembukuan dan tidak direpotkan oleh urusan pemeliharaan aset (Antonio, 2001).
3.
Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil (Syirkah) Produk pembiayaan syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil (syirkah) terdiri dari: a.
Pembiayaan Musyarakah Musyarakah adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih atas suatu usaha tertentu dimana kedua belah pihak memberikan kontribusi dengan keuntungan dan risiko ditanggung bersama sesuai kesepakatan (Antonio, 2001).
b.
Pembiayaan Mudharabah Mudharabah adalah bentuk kerjasama atas dua pihak atau lebih dimana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu akad perjanjian pembagian keuntungan (Karim, 2004). Bentuk pembiayaan ini menegaskan kerjasama dalam paduan kontribusi 100% modal dari shahib al-maal dan keahlian dari mudharib.
4.
Akad Pelengkap Jenis-jenis produk pembiayaan bank syariah yang menggunakan akad pelengkap terdiri dari: a.
Hiwalah (Alih Utang-Piutang) Hiwalah adalah bentuk pengalihan utang dari pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggungnya (Antonio, 2001). Pada bank konvensional prinsipnya sama dengan anjak piutang.
19
b.
Rahn (Gadai) Rahn adalah menahan salah satu harta si peminjam yang memiliki nilai ekonomis sebagai jaminan atas sejumlah pinjaman yang diterimanya.
c.
Qardh Qardh adalah pinjaman utang dan akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian. Aplikasinya dalam perbankan antara lain yaitu: (1) sebagai pinjaman talangan haji; (2) sebagai pinjaman tunai; (3) sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil; dan (4) sebagai pinjaman kepada pengurus bank (Karim, 2004).
d.
Wakalah (Perwakilan) Wakalah adalah bentuk perwakilan atau pemberian kuasa kepada pihak tertentu untuk melakukan pekerjaan atau hal tertentu. Prinsip ini diterapkan pada pengiriman uang atau transfer, penagihan (collection payment), dan lainnya. Bank syariah menerima imbalan fee atas jasanya terhadap nasabah (Antonio, 2002).
e.
Kafalah (Garansi Bank) Kafalah adalah jaminan yang diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran atas suatu kewajiban pembayaran. Bank syariah bertindak sebagai pihak penjamin, sedangkan nasabah sebagai pihak yang dijamin. Untuk jasa ini, bank memperoleh pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
2.2.
Rasio Keuangan
2.2.1.
Rasio Permodalan (Solvabilitas) Pengertian modal bank berdasar ketentuan Bank Indonesia dibedakan
antara bank yang didirikan dan berkantor pusat di Indonesia dan kantor cabang bank asing yang beroperasi di Indonesia. Modal bank yang didirikan dan berkantor pusat di Indonesia terdiri atas modal inti atau primary capital dan modal pelengkap atau secondary capital. Komponen modal inti pada prinsipnya terdiri atas modal disetor dan cadangan-cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak (Siamat, 2005), dengan perincian sebagai berikut:
20
1. Modal disetor Modal disetor adalah modal yang telah disetor secara efektif oleh pemiliknya. Bank yang berbadan hukum koperasi, modal disetor terdiri atas simpanan pokok dan simpanan wajib para anggotanya. 2. Agio saham Agio saham adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh bank sebagai akibat dari harga saham yang melebihi nilai nominalnya. 3. Cadangan umum Cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba ditahan atau laba bersih setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sesuai anggaran dasar masing- masing. 4. Cadangan tujuan Cadangan tujuan adalah bagian laba setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. 5. Laba ditahan Laba ditahan adalah saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota diputuskan untuk tidak dibagikan. 6. Laba tahun lalu Laba tahun lalu adalah laba bersih tahun-tahun lalu setelah dikurangi pajak dan belum ditentukan penggunaannya oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. Jumlah laba tahun lalu yang diperhitungkan sebagai modal hanya sebesar 50%. Jika bank mempunyai saldo rugi pada tahun-tahun lalu, seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti. 7. Laba tahun berjalan Laba tahun berjalan adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran utang pajak. Jumlah laba tahun buku berjalan yang diperhitungkan sebagai modal inti hanya sebesar 50%. Jika bank mengalami kerugian pada tahun berjalan, seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti.
21
8. Bagian kekayaan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan. Bagian kekayaan bersih tersebut adalah modal inti anak perusahaan setelah dikompensasikan nilai penyertaan bank pada anak perusahaan tersebut. Anak perusahaan adalah bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) lain yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh bank. Modal pelengkap terdiri atas cadangan-cadangan yang tidak dibentuk dari laba setelah pajak dan pinjaman yang sifatnya dapat dipersamakan dengan modal, dengan perincian sebagai berikut: a. Cadangan revaluasi aktiva tetap Cadangan revaluasi aktiva tetap adalah cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian kembali aktiva tetap yang telah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak. b. Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan adalah cadangan yang dibentuk dengan cara membebani laba rugi tahun berjalan. Hal ini dimaksudkan untuk menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat tidak diterimanya kembali sebagian atau seluruh aktiva produktif. c. Modal kuasi Modal kuasi adalah modal yang didukung oleh instrumen atau warkat yang sifatnya seperti modal. d. Pinjaman subordinasi Pinjaman subordinasi adalah pinjaman yang harus memenuhi berbagai syarat, seperti ada perjanjian tertulis antara bank dan pemberi pinjaman, mendapat persetujuan dari bank Indonesia, minimal berjangka 5 tahun, dan pelunasan sebelum jatuh tempo harus atas persetujuan Bank Indonesia. Bank Indonesia mewajibkan setiap bank umum menyediakan modal minimum sebesar 8% dari total Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Presentase kebutuhan modal minimum ini disebut Capital Adequacy Ratio (CAR). Perhitungan penyediaan modal minimum atau kecukupan modal bank (capital adequacy) didasarkan kepada rasio atau perbandingan antara modal yang dimiliki bank dan jumlah Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Aktiva dalam
22
perhitungan ini mencakup aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administratif sebagaimana tercermin dalam kewajiban yang masih bersifat kontingen dan atau komitmen yang disediakan bagi pihak ketiga. Langkah-langkah perhitungan penyediaan modal minimum bank adalah sebagai berikut: 1. ATMR aktiva neraca dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal masingmasing aktiva yang bersangkutan dengan bobot risiko dari masing-masing pos aktiva neraca tersebut. 2. ATMR aktiva administratif dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal rekening administratif yang bersangkutan dengan bobot risiko dari masingmasing pos rekening tersebut. 3. Total ATMR = ATMR aktiva neraca + ATMR aktiva administratif. 4. Rasio modal bank dihitung dengan cara membandingkan antara modal bank (modal inti + modal pelengkap) dan total ATMR. Rasio tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
5. Hasil perhitungan rasio di atas kemudian dibandingkan dengan kewajiban penyediaan modal minimum (yakni sebesar 8%). Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, dapatlah diketahui apakah bank yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan CAR (kecukupan modal) atau tidak. Jika hasil perbandingan antara perhitungan rasio modal dan kewajiban penyediaan modal minimum sama dengan 100% atau lebih, modal bank yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan CAR (kecukupan modal). Sebaliknya, bila hasilnya kurang dari 100%, modal bank tersebut tidak memenuhi ketentuan CAR.
2.2.2.
Rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP) Pengertian aktiva produktif dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 31/147/KEP/DIR Tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif adalah penanaman dana bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, penyertaan, komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif. Kualitas aktiva produktif dinilai berdasarkan:
23
1. Prospek usaha 2. Kondisi keuangan dengan penekanan pada arus kas debitur 3. Kemampuan membayar Berdasarkan analisisis dan penilaian terhadap faktor penilaian mengenai prospek
usaha,
kinerja
debitur,
kemampuan
membayar
dengan
mempertimbangkan komponen-komponen yang tidak disebutkan, kualitas kredit ditetapkan menjadi: a. Lancar b. Dalam perhatian khusus c. Kurang lancar d. Diragukan e. Macet Aktiva produktif bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) untuk BUK dan Non Performing Financing (NPF) untuk BUS merupakan aktiva produktif dengan kualitas aktiva kurang lancar, diragukan, dan macet. Besarnya NPL dan NPF dapat dirumuskan sebagai berikut: ,
2.2.3.
Rasio Rentabilitas Analisis rasio rentabilitas bank adalah alat untuk menganalisis atau
mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan. Rasio rentabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Return on Asset (ROA). Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset (Siamat, 2005). Rumus yang digunakan adalah:
24
2.2.4.
Rasio Likuiditas Rasio likuiditas merupakan rasio untuk mengukur kemampuan bank
dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya pada saat ditagih. Dengan kata lain, dapat membayar kembali pencairan dana deposannya pada saat ditagih serta dapat mencukupi permintaan kredit yang telah diajukan. Semakin besar rasio ini semakin likuid. Dalam penelitian ini, rasio likuiditas yang digunakan adalah Loan to Deposit Ratio (LDR) untuk BUK dan Financing to Deposit Ratio (FDR) untuk BUS. FDR dan LDR adalah rasio untuk mengukur komposisi jumlah pinjaman yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana dari masyarakat. Rasio ini digunakan untuk mengetahui kemampuan bank dalam membayar kembali kewajiban kepada para nasabah yang telah menanamkan dananya dengan kreditkredit yang telah diberikan kepada para debiturnya. Semakin tinggi rasionya semakin tinggi tingkat likuiditasnya. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut: ,
2.2.5.
Rasio Efisiensi Rasio biaya efisiensi adalah perbandingan antara biaya operasional dan
pendapatan operasional. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya (Siamat, 2005).Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
2.3.
Efisiensi Perbankan
2.3.1.
Definisi dan Konsep Efisiensi Perbankan Efisiensi merupakan tolak ukur kinerja sebuah perusahaan. Dalam dunia
perbankan, efisiensi juga diperlukan untuk menjawab kesulitan-kesulitan dalam menghitung ukuran-ukuran kinerja seperti tingkat alokasi, teknis, maupun total efisiensi (Hadad, dkk, 2003). Efisiensi juga merupakan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan benar atau dalam pandangan matematika didefinisikan sebagai perhitungan rasio output (keluaran) dan input (masukan) atau jumlah keluaran yang dihasilkan dari suatu input yang digunakan.
25
Efisiensi perbankan secara keseluruhan dapat didekomposisikan dalam efisiensi skala (scale efficiency), efisiensi cakupan (scope efficiency), efisiensi teknik (technical efficiency), dan efisiensi alokasi (allocative efficiency) (Kurnia, 2004). Efisiensi skala merupakan efisiensi yang dicapai oleh bank ketika bank tersebut mampu beroperasi dalam skala hasil yang konstan (constant return to scale), sedangkan efisiensi cakupan tercapai ketika bank mampu beroperasi pada diversivikasi lokasi. Efisiensi alokasi tercapai ketika bank mampu menentukan berbagai output yang memaksimumkan keuntungan, sedangkan efisiensi teknik pada dasarnya menyatakan hubungan antara input dengan output dalam suatu proses produksi. Suatu proses produksi dikatakan efisien apabila pada penggunaan input sejumlah tertentu dapat dihasilkan output yang maksimum atau untuk menghasilkan output sejumlah tertentu digunakan input yang paling minimum. Paul Bauer, et al. (1998) membedakan efisiensi menjadi dua tipe, yaitu efisiensi teknis dan efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis dipandang dari mikroekonomi sedangkan efisiensi ekonomi dilahat dari makroekonomi. Efisiensi teknis pada dasarnya menyatakan hubungan antara input dan output dalam suatu proses produksi. Suatu proses produksi dikatakan efisien jika pada penggunaan input sejumlah tertentu dapat dihasilkan output maksimal, atau untuk menghasilkan output tertentu digunakan input yang paling minimal. Efisiensi ekonomi mempunyai konsep yang lebih luas daripada efisiensi teknik. Dalam efisiensi ekonomi perusahaan harus memilih tingkatan input ataupun output dan kombinasinya untuk mengoptimalkan tujuan ekonomi. Biasanya dengan minimalisasi biaya atau maksimalisasi keuntungan.
2.3.2.
Hubungan Input dan Output dalam Pengukuran Efisiensi Bank Terdapat tiga pendekatan yang lazim digunakan dalam metode
parametrik dan non-parametrik untuk mendefinisikan hubungan input dan output dalam kegiatan financial suatu lembaga keuangan, yaitu: (Hadad, dkk, 2003) a.
Pendekatan Aset (Asset Approach) Produksi aset mencerminkan fungsi primer sebuah lembaga keuangan sebagai pencipta kredit pinjaman (loans). Pendekatan ini, output benar-benar didefinisikan ke dalam bentuk aset.
26
b.
Pendekatan Produksi (Production Approuch) Pendekatan ini menganggap lembaga keuangan sebagai produsen dari akun deposito (deposit account) dan kredit pinjaman (credit accout), kemudian output didefinisikan sebagai jumlah tenaga, pengeluaran modal pada aset-aset tetap dan material lainnya.
c.
Pendekatan Intermediasi (Intermediation Approuch) Pendekatan ini memandang sebuah lembaga keuangan sebagai intermediator, yaitu merubah dan mentransfer aset-aset keuangan dari surplus unit kepada defisit unit. Input-input lembaga keuangan tersebut meliputi: biaya tenaga kerja, modal dan pembayaran bunga pada deposito , kemudian output yang diukur dalam bentuk kredit pinjaman (loans) dan investasi keuangan (financial investment). Pendekatan ini melihat fungsi primer sebuah institusi keuangan sebagai pencipta kredit pinjaman (loans). Sebagai contoh, simpanan merupakan salah satu variabel yang dapat
dijadikan sebagai input atau output. Pada pendekatan produksi, simpanan merupakan output karena simpanan merupakan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan bank sedangkan pendekatan intermediasi menganggap simpanan sebagai input karena simpanan yang dihimpun bank akan ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk aset yang menghasilkan terutama pinjaman yang diberikan (Muliaman D. Hadad, Wimboh S., Dhaniel I. dan Eugenia M., 2003). Penelitian ini menggunakan pendekatan intermediasi untuk menghitung efisiensi perbankan konvensional dan syariah. Menurut Ahmad Syakir Kurnia (2004) pendekatan intermediasi digunakan karena mempertimbangkan fungsi vital bank sebagai financial intermediation yang menghimpun dana dari surplus unit dan menyalurkannya kepada deficit unit. Pertimbangan lainnya adalah karakteristik dan sifat dasar bank yang melakukan transformasi aset yang berkualitas (qualitative asset transformer) dari simpanan yang dihimpun, meskipun tidak ada kesepakatan umum dalam pendekatan yang digunakan serta dalam hal menentukan input dan output. Iqbal dan Molyneux 1998 dalam S. Mohamad, T. Hassan and M. Khaled I. B. (2003) menambahkan bahwa pendekatan intermediasi merupakan pendekatan terbaik untuk mengevaluasi keseluruhan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi.
27
2.4.
Konsep Data Envelopment Analysis (DEA) DEA dikembangkan pertama kali oleh Farrel (1957) yang mengukur
efisiensi teknik satu input dan satu output menjadi multi input dan multi output, menggunakan kerangka nilai efisiensi relatif sebagai rasio input dengan output (Giuffrida dan Gravelle, 2001; Lewis et, al. 1999; Post dan Spronk, 1999 dalam Sutawijaya dan Lestari, 2009). Charnes-Cooper-Rhodes menemukan model DEA CCR (CharnesCooper-Rhodes) pada tahun 1978. Menurut Muharam dan Pusvitasari(2007), model ini mengasumsikan adanya Constant Return to Scale (CRS). CRS adalah perubahan proporsional yang sama pada tingkat input akan menghasilkan perubahan proporsional yang sama pada tingkat output (misalnya: penambahan 1 persen input akan menghasilkan penambahan 1 persen output). Bankers, Charnes dan Cooper (1984) mengembangkan model DEA CCR lebih lanjut dan menemukan model DEA BCC. Model ini mengasumsikan adanya Variable Return to Scale (VRS). VRS adalah semua unit yang diukur akan menghasilkan perubahan pada berbagai tingkat output dan adanya anggapan bahwa skala produksi dapat memengaruhi efisiensi. Hal inilah yang membedakan dengan asumsi CRS yang menyatakan bahwa skala produksi tidak mempengaruhi efisiensi. Teknologi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi VRS, sehingga membuka kemungkinan skala produksi mempengaruhi efisiensi. Kurnia (2004) menyatakan DEA termasuk salah satu alat analisis non parametrik yang digunakan untuk mengukur efisiensi secara relatif baik antar organisasi bisnis yang berorientasi laba (profit oriented) maupun antar organisasi atau pelaku kegiatan ekonomi yang tidak berorientasi laba (non-profit oriented) yang dalam proses produksi atau aktivitasnya melibatkan penggunaan input-input tertentu untuk menghasilkan output-output tertentu. DEA juga dapat mengukur efisiensi basis dan alat pengambil kebijakan dalam peningkatan efisiensi. DEA bertujuan mengevaluasi kinerja suatu unit sebagai contoh Unit Kegiatan Ekonomi (UKE). Suatu UKE dikatakan efisien secara relatif apabila nilai dualnya sama dengan 1 (nilai efisiensi 100 persen), sebaliknya apabila nilai dualnya kurang dari 1 maka UKE bersangkutan dianggap tidak efisien secara relatif (Silkman, 1986; Nugroho, 1995 dalam Huri dan Susilowati, 2004). Analisis
28
yang dilakukan berdasarkan evaluasi terhadap efisiensi relatif dari UKE yang sebanding, selanjutnya UKE-UKE yang efisien tersebut akan membentuk garis frontier. Apabila UKE berada dalam garis frontier, UKE tersebut dapat dikatakan efisien relatif dibandingkan dengan UKE lainnya dalam sampel. DEA juga dapat menunjukkan UKE-UKE yang menjadi referensi bagi UKE-UKE yang tidak efisien (Ascarya dan Guruh, 2008). Ada tiga manfaat yang diperoleh dari pengukuran efisiensi DEA, yaitu: a.
Sebagai tolak ukur untuk memperoleh efisiensi relatif yang berguna untuk mempermudah perbandingan antara unit ekonomi yang sama.
b.
Mengukur
berbagai
variasi
efisiensi
antar
unit
ekonomi
untuk
mengindentifikasi faktor-faktor penyebabnya. c.
Menentukan implikasi kebijakan, sehingga dapat meningkatkan nilai efisiensinya. Adapun kelebihan DEA antara lain:
a.
Dapat menangani banyak input dan output.
b.
Tidak perlu asumsi hubungan fungsional antara variabel input dan output.
c.
UKE dibandingkan secara langsung dengan sesamanya.
d.
Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda. Beberapa kelemahan DEA, yaitu:
a.
Bersifat sample specific (DEA berasumsi bahwa setiap input atau output identik dengan unit lain dalam tipe yang sama).
b.
Merupakan extreme point technique.
c.
Kesalahan pengukuran dapat berakibat fatal.
d.
Hanya untuk mengukur produktivitas relatif dari UKE bukan produktivitas absolut.
e.
Uji hipotesis secara statistik atas hasil DEA sulit dilakukan.
2.4.1.
Model Constant Return to Scale (CRS) atau Model Charnes Cooper dan Rhodes (CCR) Nurul
Komaryatin
(2006)
melakukan
pembahasan
dengan
mendefinisikan beberapa notasi. Dengan asumsi bahwa K adalah input dan M adalah output untuk setiap perusahaan atau seringkali disebut dengan (unit
29
kegiatan ekonomi) UKE dalam literatur DEA. Untuk UKE ke-i diwakili secara berturut – turut oleh vektor x1 dan y1. Dalam hal, X adalah matrik input K x n, dan Y adalah matriks output M x n, maka representasi tersebut merupakan cara merumuskan data dalam bentuk matriks dari semua n UKE. Tujuan dari DEA adalah untuk membentuk sebuah frontier nonparametric envelopment terhadap suatu data dari titik pengamatan yang berada di bawah frontier. Salah satu kasus sederhana yang bisa dibuat contoh disini adalah; kasus sebuah industri perbankan yang memproduksi satu output dengan menggunakan dua buah input, dimana hal tersebut dapat digambarkan dalam sebuah grafik sebagai jumlah pertemuan garis atau bidang yang menyelubungi sebaran titik–titik yang berjarak rapat dalam ruang tiga dimensi. Asumsi CRS ini juga dapat diwakili oleh unit isokuan dalam input space. Cara terbaik untuk memperkenalkan DEA adalah dengan melalui bentuk rasio. Untuk setiap UKE, kita akan mendapatkan ukuran rasio dari semua output terhadap semua inputnya, seperti ujyj / v’xi, dimana u adalah merupakan vektor M x 1 dari output tertimbang (weight output) dan v adalah vektor K x 1 dari input tertimbang (weigh input). Untuk memilih penimbang (weights) yang optimal kita harus menspesifikasikan
problema
programasi
matematis
(the
mathematical
programming problem), sebagai berikut: ∑ ∑ dimana : hs = efisiensi teknis bank s uis = bobot output i yang dihasilkan oleh bank s yis = jumlah output i, yang diproduksi oleh bank s vjs = bobot input j yang digunakan oleh bank s xjs = jumlah input j, yang diberikan oleh bank s Dalam hal ini, termasuk juga menemukan nilai untuk u dan v, sebagai sebuah pengukuran efisiensi hs yang maksimal. Dengan tujuan untuk kendala bahwa semua ukuran efisiensi haruslah kurang dari atau sama dengan satu, salah satu masalah dengan formulasi atau rumusan rasio ini adalah bahwa ia memiliki
30
sejumlah solusi yang tidak terbatas ( infinite) Untuk menghindari hal ini, maka kita dapat menentukan kendala sebagai berikut: ∑ ∑
1
ui dan vj ≥ 0 Dimana N menunjukkan jumlah bank dalam sampel. Pertidaksamaan pertama menunjukkan adanya efisiensi rasio untuk perusahaan lain tidak lebih dari 1, sementara pertidaksamaan kedua berbobot positi f. Angka rasio akan bervariasi antara 0 sampai dengan 1. Bank dikatakan efisien apabila memiliki angka rasio mendekati 1 atau 100 persen, sebaliknya jika mendekati 0 menunjukkan efisiensi bank yang semakin rendah. Pada DEA, setiap bank dapat menentukan pembobotnya masing-masing dan menjamin bahwa pembobot yang dipilih akan menghasilkan ukuran kinerja yang terbaik. Berapa bagian program linear ditransformasikan sebagai berikut : Maksimisasi hs = ∑ Kendala ∑
0,
1, …
1 dan ui dan vj ≥ 0
∑ Efisiensi
∑
pada
masing-masing
bank
dihitung
menggunakan
programasilinier dengan memaksimumkan jumlah output yang dibobot dari bank s. Kendala jumlah input yang dibobot harus sama dengan satu untuk semua bank, yaitu jumlah output yang dikurangi jumlah input yang dibobot harus kurang atau sama dengan 0. Hal ini berarti semua bank akan berada atau dibawah referensi kinerja frontier yang merupakan garis lurus yang memotong sumbu origin.
2.5.
Uji T Data Berpasangan (Paired Sample T Test) Uji t data berpasangan (Paired sample t test) merupakan salah satu dari
metode statistik yang digunakan untuk membandingkan mean dari suatu sampel yang berpasangan. Sampel berpasangan merupakan subjek yang sama namun mengalami perlakuan yang berbeda. Hipotesis pada uji-t data berpasangan yang digunakan adalah sebagai berikut: H0 : D = 0, tidak terdapat perbedaan nyata antara dua pengamatan
31
H1 : D ≠ 0, terdapat perbedaan nyata antara dua pengamatan 2.6.
Penelitian Terdahulu Berikut ini adalah penelitian mengenai efisiensi bank yang dilakukan
pada bank-bank syariah maupun bank-bank konvensional baik domestik maupun luar negeri: 1.
Ema Rindawati (2007) Penelitian ini menganalisis perbandingan kinerja keuangan perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Hasil penelitian menyatakan rata-rata rasio keuangan perbankan syariah lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan perbankan konvensional.
2.
Imam Subaweh (2008) Penelitian yang dilakukan yaitu menganalisis perbandingan kinerja keuangan bank
syariah
dan
konvensional
periode
2003-2007.
Penelitian
ini
menghasilkan kesimpulan kinerja keuangan bank syariah pada tahun 20032007 lebih baik dari kinerja bank konvensional. Berdasarkan analisis regresi berganda disimpulkan bahwa rasio pinjaman terhadap tabungan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengembalian ekuitas, baik pada bank syariah maupun bank konvensional. Selain itu, penelitian ini berkesimpulan tidak terdapat perbedaan kinerja yang signifikan antara bank syariah dengan bank konvensional. 3.
Agung M. Noor (2009) Penelitian ini membandingkan kinerja bank umum syariah dengan perbankan konvensional. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan kinerja perbankan syariah setelah fatwa MUI menjadi lebih baik. Bank syariah mencapai LDR dan ROE lebih tinggi dan rasio NPL yang lebih rendah.
4.
Barr, Richard S, dkk (1999) Penelitian dilakukan terhadap bank-bank komersial di Amerika Serikat dengan menggunakan metode analisis DEA. Variabel input yang digunakan antara lain salary expense, premises & fixedassets, other noninterest expense, interest expense, dan purchased funds. Variabel output yang digunakan yaitu earning assets, interest income, dan noninterest income.
32
5.
Donsyah Yudistira (2003) Penelitian ini menganalisis tingkat efisiensi pada bank Islam dengan melakukan analisis empirik terhadap 18 bank berbeda yang tersebar di seluruh dunia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Data Envelopment Analysis (DEA) dengan variabel input berupa staff costs, fixed assets, total deposits dan variabel output berupa total loans, other income, liquid assets. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tingkat inefisiensi pada bank Islam tergolong rendah yaitu sekitar 10% jika dibandingkan bank-bank konvensional. Pada periode 1998-1999 kinerja bank Islam terkena imbas krisis global tetapi kemudian berjalan sangat baik setelah masa sulit.
6.
Harjum Muharam dan Pusvitasari (2007) Penelitian ini berjudul “Analisis Perbandingan Efisiensi Bank Syariah di Indonesia“ dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Variabel input yang digunakan dalam penelitian ini adalah simpanan dan biaya operasional lain, sedangkan variabel output yang digunakan adalah pembiayaan, aktiva lancar, dan pendapatan operasional lain. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah bank-bank syariah di Indonesia periode periode 2005. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa tidak ada perbedaan nilai efisiensi antara BUS dan UUS, tidak ada perbedaan efisiensi antara bank syariah BUMN dan bank syariah Non BUMN, tidak ada perbedaan nilai efisiensi bank syariah swasta non devisa dan bank syariah devisa. Hanya Bank BTN syariah, Niaga Syariah, dan Permata Syariah selalu mencapai nilai efisien 100% selama periode pengamatan.
7.
Muhammad Afif Amirillah (2010) Penelitian yang dilakukan menghitung efisiensi perbankan syariah di Indonesia tahun 2005-2009. Penelitian ini menggunakan pengolahan data DEA-CRS, input-inputnya terdiri dari: Giro iB, Tabungan iB, Deposito iB dan Modal disetor; sedangkan output-outputnya terdiri dari: penempatan pada Bank Indonesia, Penempatan pada bank lain, Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Istishna, Ijarah dan Qardh. Unit analisis yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data keuangan perbankan syariah (tidak termasuk BPRS) di Indonesia periode Januari 2005 sampai dengan November 2009.
33
Analisis DEA penelitian ini membandingkan secara relatif periode perbankan syariah terhadap periode perbankan syariah yang lain sehingga menghasilkan periode yang paling efisien. 8.
Rakhmat Purwanto (2011) Penelitian ini mengukur efesiensi intermediasi 21 bank konvensional dan bank syariah di Indonesia dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Variabel input yang digunakan antara lain yaitu jumlah simpanan, jumlah aset dan jumlah biaya tenaga kerja serta variabel outputnya yaitu total kredit/pembiayaan dan laba operasional. Hasil dari penelitian ini menyatakan dari 21 BUK dan BUS yang diteliti hanya terdapat satu bank umum yang mencapai tingkat efisiensi 100% secara terus menerus yaitu Bank Mestika Dharma (BUK). Selain Bank Mestika Dharma terdapat BUS yang mencapai tingkat efisiensi 100% sejak awal kemunculannya sedangkan bank lain mengalami fluktuasi atau bahkan tidak pernah mencapai tingkat yang efisien.
9.
Tessa Magrianti (2011) Penelitian yang berjudul “Analisis Perbandingan Efisiensi Bank Umum Syariah dengan Bank Umum Konvensional di Indonesia” menggunakan data laporan keuangan bank tahunan dari tahun 2004 sampai 2009. Data bank yang digunakan adalah lima BUS dan lima BUK yang memiliki nilai aset setara. Berdasarkan perhitungan DEA dengan pendekatan intermediasi, BUS berada di atas rata-rata nilai efisiensi. Sedangkan pada pendekatan aset dan pendekatan produksi, BUS berada di bawah rata-rata nilai efisiensi bank umum.
2.7.
Kerangka Pemikiran Perbankan di Indonesia terbagi menjadi dua sistem dengan dasar yang
berbeda. Kedua perbankan tersebut adalah bank konvensional yang berdasarkan pada sistem bunga dan bank syariah yang berdasarkan pada sistem bagi hasil. Penelitian yang dilakukan akan membandingkan kinerja keuangan dan efisiensi kedua perbankan tersebut pada periode waktu 2006-2011. Analisis kinerja keuangan perbankan dilakukan dengan mengamati rasio keuangan perbankan
34
yaitu CAR, NPL dan NPF, LDR dan LDF, ROA, dan BOPO. Selain itu, dilakukan analisis efisiensi dengan metode DEA. Variabel input yang diduga memengaruhi variabel output ditentukan dengan mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu dan beberapa literatur mengenai efisiensi perbankan. Dalam penelitian ini menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dengan pendekatan intermediasi mengingat peranan vital bank sebagai lembaga intermediasi. Pengukuran dalam efisiensi ini menghubungkan efisiensi terhadap tingkat produksi. Analisis ini kemudian akan menghasilkan perumusan frontier interaksi antar input dalam mempengaruhi jumlah output yang dihasilkan. Hubungan input dan output tersebutlah yang kemudian akan menentukan nilai efisiensi, sehingga akan dapat dilihat perbedaan antara efisiensi BUK dan BUS.
35
Bank Umum Syariah
Bank Umum Konvensional 1. Analisis Rasio Keuangan
CAR
LDR/FDR
NPL/NPF
ROA
BOPO
2. Analisis Efisiensi Perbankan
Variabel Output
Variabel Input
- Total Simpanan
- Kredit/ Pembiayaan
- Total Aset
- Pendapatan Operasional
- Biaya Operasional
Perbandingan Efisiensi denga metode Data Envelopment Analysis (DEA)
Nilai efisiensi Bank Umum Konvensional 2006 -2011
Uji Beda Paired sampel t-test
Efisiensi BUK dan BUS di Indonesia setelah krisis Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran
Nilai efisiensi Bank Umum syariah 2006 2011
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang merupakan data tahunan dari tahun 2006 sampai 2011. Sumber data berasal dari Bank Indonesia. Metode yang dilakukan adalah library research, dimana peneliti memperoleh data sekunder dengan membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian di Perpustakaan Bank Indonesia. Selain itu, penulis juga menggunakan data-data yang tersedia di media cetak dan internet.
3.2.
Populasi dan Sampel Objek penelitian dibagi menjadi tiga yaitu untuk meneliti perkembangan
rasio keuangan perbankan, efisiensi tahunan, dan meneliti efisiensi bank-bank pasca krisis global. Pada analisis pertama akan diteliti rasio keuangan BUK dan BUS periode 2006-2011. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh BUS dan BUK yang laporan keuangannya tergabung dalam Statistik Perbankan Syariah Indonesia dan Statistik Perbankan Indonesia. Data rasio keuangan BUS yang tersedia merupakan data gabungan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah kecuali untuk data ROA menggunakan data Bank Umum Syariah saja. Analisis kedua akan meneliti perkembangan efisiensi BUK dan BUS pada periode 2006-2011 dan analisis ketiga akan meneliti tingkat efisiensi bankbank pasca krisis global pada saat kondisi perbankan nasional mengalami inefisiensi. Populasi dalam penelitian ini adalah BUS dan BUK yang terdaftar di Bank Indonesia pada periode 2006-2011. Pengambilan sampel dalam analisis ketiga dilakukan secara purposive sampling artinya metode pemilihan sampel dipilih berdasarkan pertimbangan (judgement sampling) yang berarti pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh dengan pertimbangan tertentu. Sampel dalam penelitian ini diambil berdasarkan ketentuan sebagai berikut:
37
1.
BUS dan BUK yang beroperasi di Indonesia selama periode pengamatan 2006-2011.
2.
Sampel bukan termasuk Bank Pembangunan Daerah tertentu (BPD).
3.
Diketahui mempunyai jumlah asset dari tahun 2006-2011 dalam kisaran antara Rp 4.000.000,00 - 33.000.000.
4.
Secara konsisten tidak mengalami perubahan bentuk badan usaha pada periode pengamatan 2006-2011
5.
Menyajikan laporan keuangan yang lengkap pada periode pengamatan 20062011 dan telah dipublikasikan di Bank Indonesia. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka terpilih 12 sampel
penelitian yang dapat mewakili perbankan nasional yaitu 8 Bank Umum Konvensional (BUK) dan 4 Bank Umum Syariah (BUS). Sampel penelitian tersebut, yaitu: -
Bank Umum Konvensional: Bank Artha Graha Internasional, Bank Ekonomi Raharja, Bank ICBI BumiPutera, Bank Mayapada Internasional, Bank Mestika Dharma, Bank Mutiara, Bank Nusantara Parahyangan, dan Bank Sinarmas.
-
Bank Umum Syariah: Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Syariah Mega Mandiri, dan BRI Syariah.
3.3.
Metode Analisis Analisis kinerja bank konvensional dan bank syariah di Indonesia
dilakukan dengan analisis deskriptif, analisis non parametrik, dan analisis parametrik
induktif.
Analisis
deskriptif
dilakukan
dengan
mengamati
perkembangan kinerja keuangan perbankan dari tahun 2006 hingga 2011. Analisis non parametrik dilakukan untuk mengamati efisiensi perbankan. Analisis ini menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA). Analisis pertama akan dilakukan terhadap BUK dan BUS dengan unit analisis tahun 2006 sampai 2011. Penelitian juga akan menganalisis efisiensi bank-bank sebagai unit analisis pasca krisis global. Analisis parametrik induktif dilakukan dengan Uji t untuk dua sampel berpasangan (paired samples t-test). Analisis tersebut digunakan untuk
38
melihat apakah terdapat perbedaan nyata rasio keuangan perbankan dan nilai efisiensi antara BUK dan BUS.
3.3.1.
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan
mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan membaca tabel dan gambar. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk melihat kinerja keuangan Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional. Analisis disajikan dalam bentuk uraian, tabel, dan gambar agar pembaca mudah membandingkan kinerja keuangan BUS dan BUK. Rasio Keuangan yang akan diteliti anatara lain: Tabel 3.1. Rasio Keuangan Perbankan Rasio Keuangan
BUK
Rasio Permodalan Capital (Solvabilitas)
Adequacy
BUS Ratio Capital
(CAR)
Rasio
Kualitas Non
Aktiva
Produktif (NPL)
Adequacy
Ratio
(CAR) Performing
Loan Non Performing Financing (NPF)
(KAP) Rasio Rentabilitas
Return on Asset (ROA)
Rasio Likuiditas
Loan
Rasio Efisiensi
3.3.2.
to
Deposit
Return on Asset (ROA) Ratio Financing to Deposit Ratio
(LDR)
(FDR)
Biaya Operasional terhadap
Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional
Pendapatan Operasional
(BOPO)
(BOPO)
Metode Data Envelopment Analysis (DEA) Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini ialah non parametrik,
dengan metode yang dikenal dengan istilah Data Envelopment Analysis (DEA). DEA menghitung efisiensi teknis untuk seluruh unit. Skor efisiensi untuk setiap unit adalah relatif, tergantung pada tingkat efisiensi dari unit - unit lainnya di dalam sample. Efisiensi yang dihitung dengan asumsi bank memaksimalkan tingkat output yang dihasilkan.
39
Variabel yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu variabel input dan variabel output. Variabel yang dipilih berdasarkan pendekatan intermediasi. Variabel input dalam penelitian ini meliputi: 1.
Total DPK DPK atau simpanan merupakan titipan murni dari nasabah kepada bank, yang untuk kemudian dipergunakan oleh bank dalam aktivitas kegiatan ekonomi tertentu dengan catatan bank menjamin akan mengembalikannya secara utuh kepada nasabah (Antonio, 2002). Nasabah memberikan kepercayaan kepada bank untuk menyimpan dananya berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, yang merupakan kewajiban bank kepada masyarakat dimana dana/simpanan tersebut dapat ditarik/dicairkan oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku (PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/19/PBI/2000). Pratin dan Akhyar (2005) menyatakan DPK mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap total kredit atau pembiayaan. Semakin besar jumlah dana DPK akan meningkatkan kemampuan bank untuk melaksanakan kegiatan pembiayaan ke masyarakat melalui berbagai produk yang dihasilkannya. Menurut Merindawati (2006), DPK mempunyai hubungan yang positif terhadap laba operasional. Semakin besar DPK yang dihimpun, semakin besar kemampuan bank untuk melaksanakan kegiatannya sehingga menghasilkan laba yang besar pula dari berbagai produk yang dihasilkan.
2.
Total Aset Aset merupakan manfaat ekonomis yang akan diterima pada masa mendatang atau akan dikuasai oleh bank sebagai hasil dari transaksi atau kejadian. Semakin tinggi nilai total aset yang dimiliki oleh bank, semakin tinggi pula kredit/pembiayaan yang bisa diberikan (Hanafi dan Halim, 2003). Dengan tingginya nilai aset bank akan semakin mampu memperbaiki struktur modal yang cukup untuk menjamin risiko dari penempatan aset-aset produktif, salah satunya adalah pemberian kredit/pembiayaan, dengan tujuan menghasilkan laba dari kegiatan investasi tersebut.
40
3.
Biaya Operasional/ Biaya Tenaga Kerja Biaya operasional/ biaya tenaga kerja adalah biaya yang timbul dalam rangka kegiatan pokok perusahaan. Biaya operasional digunakan dalam perhitungan efisiensi perbankan nasional sedangkan biaya tenaga kerja digunakan untuk menghitung efisiensi 12 bank pada saat krisis. Biaya operasional terdiri dari biaya bunga, biaya valuta asing, biaya tenaga kerja, dan biaya administrasi umum. Tingginya biaya operasional dan biaya tenaga kerja menyebabkan turunnya laba operasional yang diperoleh bank. Dengan berkurangnya laba operasional bank, maka alokasi dari laba yang disetorkan untuk modal tambahan yang kemudian disalurkan dalam bentuk kredit atau pembiayaan menjadi berkurang. Variabel output dalam penelitian ini mencakup:
1.
Penyaluran kredit/pembiayaan Kredit dan pembiayaan merupakan produk penyaluran dana perbankan kepada masyarakat, baik individu maupun badan hukum yang digunakan untuk investasi, perdagangan ataupun konsumsi, yang dapat memberikan keuntungan bagi bank dengan adanya bunga ataupun bagi hasil.
2.
Pendapatan Operasional Pendapatan operasional terdiri dari hasil bunga yang diperoleh dari penempatan dana pada ektiva produktif, provisi, komisi, dan fee, serta pendapatan valuta asing yang diperoleh dari transaksi valas yang dilakukan bank. Tujuan dari DEA adalah untuk membentuk sebuah frontier non-
parametric envelopment terhadap suatu data dari titik pengamatan yang berada di bawah frontier. Salah satu kasus sederhana yang bisa dibuat contoh disini adalah; kasus sebuah industri perbankan yang memproduksi satu output dengan menggunakan dua buah input, dimana hal tersebut dapat digambarkan dalam sebuah grafik sebagai jumlah pertemuan garis atau bidang yang menyelubungi sebaran titik–titik yang berjarak rapat dalam ruang tiga dimensi. Asumsi CRS ini juga dapat diwakili oleh unit isokuan dalam input space. Cara terbaik untuk memperkenalkan DEA adalah dengan melalui bentuk rasio. Untuk setiap UKE, kita akan mendapatkan ukuran rasio dari semua output terhadap semua inputnya,
41
seperti ujyj / v’xi, dimana u adalah merupakan vektor M x 1 dari output tertimbang (weight output) dan v adalah vektor K x 1 dari input tertimbang (weigh input). Untuk memilih penimbang (weights) yang optimal kita harus menspesifikasikan
problema
programasi
matematis
(the
mathematical
programming problem), sebagai berikut: ∑ ∑ dimana : hs = efisiensi teknis bank s uis = bobot output i yang dihasilkan oleh bank s yis = jumlah output i, yang diproduksi oleh bank s vjs = bobot input j yang digunakan oleh bank s xjs = jumlah input j, yang diberikan oleh bank s dalam hal ini, termasuk juga menemukan nilai untuk u dan v, sebagai sebuah pengukuran efisiensi hs yang maksimal. Dengan tujuan untuk kendala bahwa semua ukuran efisiensi haruslah kurang dari atau sama dengan satu, salah satu masalah dengan formulasi atau rumusan rasio ini adalah bahwa ia memiliki sejumlah solusi yang tidak terbatas ( infinite) Untuk menghindari hal ini, maka kita dapat menentukan kendala sebagai berikut: ∑ ∑
1
ui dan vj ≥ 0 dimana N menunjukkan jumlah bank dalam sampel. Pertidaksamaan pertama menunjukkan adanya efisiensi rasio untuk perusahaan lain tidak lebih dari 1, sementara pertidaksamaan kedua berbobot positi f. Angka rasio akan bervariasi antara 0 sampai dengan 1. Bank dikatakan efisien apabila memiliki angka rasio mendekati 1 atau 100 persen, sebaliknya jika mendekati 0 menunjukkan efisiensi bank yang semakin rendah. Pada DEA, setiap bank dapat menentukan pembobotnya masing-masing dan menjamin bahwa pembobot yang dipilih akan menghasilkan ukuran kinerja yang terbaik. Berapa bagian program linear ditransformasikan sebagai berikut : Maksimisasi hs = ∑
42
Kendala ∑
0,
1, …
1 dan ui dan vj ≥ 0
∑ Efisiensi
∑
pada
masing-masing
bank
dihitung
menggunakan
programasilinier dengan memaksimumkan jumlah output yang dibobot dari bank s. Kendala jumlah input yang dibobot harus sama dengan satu untuk semua bank, yaitu jumlah output yang dikurangi jumlah input yang dibobot harus kurang atau sama dengan 0. Hal ini berarti semua bank akan berada atau dibawah referensi kinerja frontier yang merupakan garis lurus yang memotong sumbu origin.
3.4.
Uji T Data Berpasangan (Paired Sample T Test) Uji t data berpasangan akan menguji apakah terdapat perbedaan kinerja
keuangan dan efisiensi dengan sampel periode waktu pengamatan yaitu 2006 sampai 2011. Perbedaan yang akan diuji yaitu perlakukan terhadap perbankan pada tahun bersangkutan. Terdapat dua perlakuan yaitu bank dengan metode konvensional (BUK) dan bank dengan metode syariah (BUS). Hipotesis uji-t data berpasangan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: H0 : D = 0, tidak terdapat perbedaan nyata antara kinerja
BUK dan BUS pada
periode 2006 sampai 2011. H1 : D ≠ 0, terdapat perbedaan nyata antara kinerja BUK dan BUS pada periode 2006 sampai 2011.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Deskripsi Data Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat
diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian. Kegiatan bank memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusikonsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat. Sebagai lembaga keuangan yang berperan dalam proses intermediasi, perbankan menunjukkan kinerjanya melalui nilai CAR, LDR dan FDR, NPL dan NPF, ROA, dan BOPO. Perkembangan rasio kinerja perbankan secara umum ditunjukkan oleh tabel di bawah ini. Tabel 4.1. Perkembangan Rasio Keuangan CAR, LDR dan FDR, NPL dan NPF, ROA, dan BOPO Bank Umum Syariah dengan Bank Umum Konvensional di Indonesia Bank Umum Syariah
Rasio
Bank Umum Konvensional
(%)
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2006
2007
2008
2009
2010
2011
CAR
13,73
10,67
12,81
10,77
16,25
16,63
21,27
19,30
16,76
17,42
17,18
16,05
98,90
99,76
103,65
89,70
89,67
88,94
61,56
66,32
74,58
72,88
75,21
78,77
4,75
4,05
3,95
4,01
3,02
2,52
6,07
4,07
3,20
3,31
2,56
2,17
LDR, FDR NPL, NPF ROA
1,55
2,07
1,42
1,48
1,67
1,79
2,64
2,78
2,33
2,60
2,86
3,03
BOPO
76,77
76,54
81,75
84,39
80,54
78,41
86,98
84,05
88,59
86,63
86,14
85,42
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 2006-2011 4.1.1.
Analisis Rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) CAR adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang
dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko. Aturan dari Bank Indonesia CAR minimum bagi setiap perbankan nasional adalah 8%. (Bank Indonesia, 2011).
44
25 21.27
20
19.3
15
16.76
16.05
17.18 16.25
13.73
16.63
12.81
BUS 10.77
10.67
10
17.42
BUK
5 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.1. Perkembangan CAR BUS dan BUK 2006-2011 Gambar 4.1. menunjukkan perkembangan CAR BUS dan konvensional dari tahun 2006 sampai 2011. Perkembangan CAR kedua perbankan tersebut selalu berada di atas 8%. Artinya, BUS dan BUK berada pada posisi yang baik dalam memenuhi kecukupan modal. Posisi CAR perbankan nasional selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. BUS mengalami penurunan rasio CAR di tahun 2007 dan 2009. Rasio tersebut kembali naik di tahun 2008, 2010, dan 2011. Kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan BUK. BUK cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Peningkatan CAR BUK hanya terjadi di tahun 2009. CAR BUK cenderung turun dibandingkan CAR BUS disebabkan oleh ATMR konvensional yang lebih bervariasi. ATMR BUK terdiri dari ATMR untuk risiko pasar, ATMR untuk risiko kredit dan ATMR untuk risiko operasional yang baru ditambah pada tahun 2010. Penetapan ATMR tersebut dikarenakan sifat BUK yang rentan terhadap gejolak ekonomi. Suku bunga dalam BUK merupakan salah satu perangkat operasional yang rentan terhadap krisis. ATMR yang semakin tinggi setiap tahun menyebabkan rasio CAR BUK cenderung mengalami penurunan. Di sisi lain, BUS dapat membagi risiko yang terkandung di dalam aktiva yang mereka miliki dengan sistem bagi hasil. ATMR pada bank syariah berdasarkan aktiva bank syariah dapat dibagi atas (Zainul Arifin, 2009):
45
1. Aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan/atau kewajiban atau hutang (wadi'ah atau qard dan sejenisnya). 2. Aktiva yang didanai oleh rekening bagi hasil (Profit and loss Sharing Investment
Account)
yaitu
mudharabah
(baik
General
Investment
Account/mudharabah mutlaqah yang tercatat pada neraca/on balance sheet maupun Restricted Investment Account/mudharabah muqayyadah yang dicatat pada rekening administratif/off balance sheet). Sistem tersebut membuat semua pengguna jasa perbankan termasuk bank itu sendiri menanggung risiko sehingga risiko yang diperhingkan dalam ATMR dan CAR lebih kecil. Dari hasil uji beda data berpasangan yang dilakukan terhadap BUK dan BUS pada tahun 2006 sampai 2011 didapat nilai rata-rata CAR BUK (17,997) lebih besar dibandingkan rata-rata CAR BUS (13,477). Artinya, pada periode 2006-2011 rata-rata kinerja CAR BUK lebih baik dibandingkan rata-rata kinerja CAR BUS. Selain itu, didapatkan adanya perbedaan antara CAR BUK dan BUS. Angka probabilitas dalam uji-t adalah 0,031 lebih kecil dari taraf nyata yang ditetapkan yaitu 0,05. 4.1.2.
Analisis Rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Financing to Deposit Ratio (FDR) LDR dan FDR mengukur seberapa besar persentase dari aset yang
dimiliki bank digunakan untuk membiayai kredit. Ratio ini mampu menunjukkan kemampuan perbankan menghubungkan deposan dengan debitur.
46
120 100
98.9
99.76
80 60
103.65
74.58 61.56
66.32
89.7
89.67
72.88
75.21
88.94 78.77 BUS BUK
40 20 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.2. Perkembangan FDR BUS dan LDR BUK 2006-2011 LDR BUK mengalami kenaikan dari tahun 2006 sampai 2011 kecuali di tahun 2008 yaitu 74,58 yang turun menjadi 72,88 di tahun 2009. Penurunan LDR tersebut terjadi akibat dampak dari krisis global yang juga dialami oleh Indonesia di tahun 2008. Krisis tersebut berdampak pada suku bunga kredit konvensional yang mengalami kenaikan dari 13,00 menjadi 15,22 di tahun 2008. Kondisi krisis dan kenaikan suku bunga kredit tersebut membuat masyarakat menurunkan investasi dan lebih memilih untuk menyimpan uangnya di bank. Tabel 4.2. Jumlah Kredit dan DPK BUK Tahun 2008--2011 Tahun
Kredit (Miliar Rp)
DPK (Miliar Rp)
2008
1.307.688
1.753.292
2009
1.437.930
1.973.042
2010
1.765.845
2.338.824
2011
2.200.094 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia 2008-2011
2.784.912
Pada saat krisis fungsi intermediasi BUK mengalami penurunan. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal yang mempengaruhi DPK dan kredit BUK. Dana Pihak Ketiga (DPK) BUK tahun 2008 dan 2009 mengalami peningkatan sebesar 12,53%. Akan tetapi jika dilihat dari komposisi DPK pada periode tersebut, terjadi
47
penurunan jumlah rekening giro dan deposito yaitu sebesar 2,26%. Jumlah tabungan BUK mengalami kenaikan sebesar 2,25%. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa pada saat krisis nasabah cenderung menarik dana mereka dari simpanan yang bersifat jangka panjang untuk menghindari risiko likuiditas di kemudian hari. Nasabah lebih memilih memindahkan dana ke bentuk simpanan jangka pendek atau tabungan. Selain itu, nasabah juga mungkin memindahkan simpanan jangka panjang mereka ke perbankan syariah. FDR syariah mengalami kenaikan dari tahun 2006 hingga tahun 2008 tetapi dari tahun 2008 hingga 2009 mengalami penurunan yang cukup jauh. Penurunan tersebut juga merupakan dampak dari krisis ekonomi global yang terjadi tahun 2008. Akan tetapi, dampak krisis yang dialami oleh perbankan syariah berbeda dengan konvensional. Kenaikan DPK BUS lebih besar dibandingkan BUK. Dana Pihak Ketiga (DPK) BUS pada periode tersebut mengalami kenaikan yaitu sebesar 41,84% tahun 2009, 45,46% tahun 2010, dan 51,79% tahun 2011. Hal ini menunjukkan nasabah mempercayai BUS untuk menyimpan dana mereka saat krisis dan setelah krisis. Pembiayaan yang disalurkan BUS dari tahun 2006 sampai 2011 mengalami kenaikan. Akan tetapi, laju kenaikan tersebut belum sebesar laju kenaikan DPK yang dapat dihimpun BUS. Oleh karena itu, nilai FDR perbankan syariah dari 2008 sampai 2009 mengalami penurunan. Rendahnya laju kenaikan pembiayaan syariah disebabkan oleh beberapa hal seperti persyaratan-persyaratan pembiayaan yang harus sesuai dengan syariat Islam yang tidak ditetapkan oleh BUK. Tabel 4.3. Jumlah Kredit dan DPK BUS Tahun 2008--2011 Tahun
Pembiayaan (Miliar Rp)
DPK (Miliar Rp)
2008
38.199
36.852
2009
46.886
52.271
2010
68.181
76.036
2011
101.689 Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2008 - 2011
115.415
48
Nilai rata-rata LDR BUK pada periode pengamatan adalah 71,55%. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan rata-rata FDR BUS yaitu 95,10%. Artinya, pada periode tersebut BUS memiliki rata-rata kinerja yang lebih baik dalam menyalurkan DPK dalam bentuk pembiayaan kepada masyarakat. Uji beda data berpasangan menunjukkan probabilitas sebesar 0,004 lebih kecil dibandingkan taraf nyata 0,05 artinya nilai FDR BUS dan LDR BUK memiliki perbedaan pada taraf nyata 5%. 4.1.3.
Analisis Rasio Non Performing Loan (NPL) dan Non Performing Financing (NPF) Rasio NPF dan NPL merupakan rasio yang menunjukkan kualitas
pembayaran (collectibility) pembiayaan atau kredit yang kurang lancar, diragukan, dan macet. Data non performing loan/ financing yang digunakan merupakan non performing loan/ financing gross, yakni tanpa memperhitungkan penyisihan yang dibentuk untuk mengantisipasi risiko kerugian. Semakin tinggi nilai NPF dan NPL maka semakin tinggi pula tingkat risiko yang harus ditanggung oleh bank tersebut.
7 6 5
6.07 4.75
4
4.05
4.07
3
3.95
4.01
3.2
3.31
BUS 3.02 2.56
2
2.52 2.17
BUK
1 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.3. Perkembangan NPF BUS dan NPL BUK 2006-2011 Rasio NPL dan NPF cenderung mengalami penurunan. Dari Gambar 4.3. dapat dilihat pergerakan NPL sebagian besar negatif atau menurun kecuali di
49
tahun 2009. Rasio NPL dan NPF mengalami penurunan dari tahun 2006 hingga 2008 tetapi rasio itu naik di tahun 2009. Penyebabnya adalah krisis global yang menyebabkan kemunduran ekonomi nasional. Krisis menyebabkan banyak debitur menunggak pembayaran kredit dan pembiayaan syariah. Menurut Latif Adam (2009), Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) LIPI, penunggakan pinjaman yang menyebabkan peningkatan NPL merupakan akumulasi dari beberapa permasalahan. Pertama, imbas negatif krisis keuangan global tidak hanya menurunkan aggregate demand, tetapi juga memaksa perusahaan masuk ke iklim persaingan yang semakin ketat. Kondisi ini membuat pendapatan perusahaan menurun sehingga membuat perusahaan mengalami penurunan kemampuan dalam membayar angsuran pinjaman ke perbankan. Kedua, kebijakan perbankan mempertahankan suku bunga kredit tinggi di tengah-tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil juga berkontribusi terhadap naiknya NPL. Tingginya suku bunga kredit pada saat pendapatan dan neraca keuangan perusahaan mengalami penurunan membuat beban angsuran pinjaman perusahaan ke perbankan mengalami peningkatan. Ketiga, ketidakhati-hatian perbankan dalam menyalurkan kreditnya kemungkinan juga mendorong naiknya NPL. Ketika perbankan tetap mempertahankan suku bunga kredit tinggi, secara tidak langsung perbankan sebenarnya bermain dengan kemungkinan meningkatnya risiko kredit bermasalah. Pada saat suku bunga kredit tetap tinggi,maka hanya perusahaan risk taker(pengambil risiko) saja yang akan mengajukan permintaan kredit ke perbankan. Pergerakan rasio NPL dan NPF tahun 2006 hingga 2011 memiliki tren yang sama. Akan tetapi, Rasio NPL BUK relatif lebih rendah dibandingkan NPF BUS. Rasio NPL BUK mulai berada di bawah NPF BUS sejak tahun 2008 atau pada saat krisis. Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Bank Islam Indonesia (Ashisindo), Bambang Sutrisno, BUK bisa mengendalikan tingkat NPL karena adanya kebijakan relaksasi dari BI yang memungkinkan BUK dapat melakukan restrukturisasi kredit yang mengkhawatirkan. Berbeda dengan BUS yang baru bisa melakukan restrukturisasi kredit jika masuk dalam kolektibilitas tiga. Hal tersebut menyebabkan jumlah NPL BUK lebih rendah dibandingkan dengan NPF BUS.
50
Nilai rata-rata NPL BUK (3,56%) lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata NPF BUS (3,72%). BUK memiliki rata-rata rasio kualitas aktiva produktif yang lebih baik dibandingkan BUS karena semakin kecil nilai rasio NPL maka semakin baik kinerja kredit suatu perbankan. Akan tetapi, nilai NPL BUK dan NPF BUS relatif sama. Hal ini berdasarkan uji beda berpasangan yang menunjukkan tingkat signifikan sebesar 0,648 atau lebih besar dari taraf nyata 0,05. 4.1.4.
Analisis Rasio Return on Asset (ROA) ROA merupakan rasio yang menunjukkan bagaimana sebuah bank dapat
melakukan konversi aset men jadi pendapatan bersih. Semakin tinggi rasio ROA maka semakin baik kinerja keuangan bank tersebut. 3.5 3 2.5
2.64
3.03
2.6 2.33
2.07
2 1.5
2.86
2.78
1.55
1.42
1.48
1.67
1.79
BUS BUK
1 0.5 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.4. Perkembangan ROA BUS dan BUK 2006-2011 Gambar 4.4. menunjukkan perkembangan ROA BUS dan BUK dari tahun 2006 sampai 2011. BUK selalu memiliki nilai ROA lebih tinggi dibandingkan BUS pada periode tersebut. Tingginya nilai ROA BUK disebabkan oleh nilai laba sebelum pajak BUK yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laba BUS. Suku bunga BUK yang cukup tinggi dan relatif tetap (12%-15%) memberikan pendapatan yang besar bagi BUK. Di lain sisi, sistem bagi hasil pembiayaan syariah memiliki tingkat yang berbeda-beda atau berubah sesuai dengan kesepakatan. Bagi hasil BUS biasanya tidak melebihi suku bunga
51
pinjaman BUK. Selain itu, BUS juga turut menanggung kerugian atas pembiayaan tidak lancar. Sifat tersebut menyebabkan laba sebelum pajak BUS lebih kecil dibandingkan dengan BUK. Pergerakan rasio ROA BUS dan BUK menunjukkan tren yang sama dari tahun 2006 hingga 2011 BUS dan BUK sama-sama mengalami penurunan ROA pada saat krisis tahun 2008 dan kembali naik pada periode setelah krisis. Krisis menyebabkan kinerja perbankan nasional menurun. Laba tahunan BUS dan konvensional menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini disebabkan oleh kenaikan beban-beban dan kerugian transaksi valas/derivatif yang cukup tinggi (Bank Indonesia, 2009). Selain itu, meningkatnya rasio pinjaman yang bermasalah juga berdampak pada penurunan ROA. Krisis keuangan menyebabkan ekspor menurun dan daya beli masyarakat menurun sehingga pendapatan pengusaha turun. Turunnya pendapatan pengusaha menyebabkan turunnya kemampuan dalam membayar kewajiban kepada bank. Kondisi ini berdampak pada ROA perbankan (Heri Sudarsono, 2009). Perbandingan nilai rata-rata ROA BUK (2,71%) dan BUS (1,66%) menunjukkan BUK memiliki ROA yang lebih tinggi dibandingkan dengan BUS. Nilai ini menunjukkan BUK lebih baik dalam memperoleh keuntungan dari aset yang dimiliki. BUK memiliki keungulan dalam menggunakan aset mereka dibandingkan dengan BUS karena BUS memiliki aturan-aturan syariah yang membatasi
kegiatan
operasional
mereka.
Uji
beda
data
berpasangan
memperlihatkan terdapat perbedaan nyata antara ROA BUK dan BUS. Nilai signifikan 0,00 lebih kecil dari taraf nyata 0,05 menunjukkan hal tersebut. 4.1.5.
Analisis Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) Rasio BOPO merupakan rasio yang membandingkan biaya operasional
terhadap pendapatan operasional. Bank yang bekerja secara efisien yaitu bank yang memiliki rasio BOPO yang rendah.
52
90 88 86
88.59 86.98
84
86.63 84.05
82
86.14
84.39 81.75 80.54
80
BUS 78.41
78 76
85.42
76.77
BUK
76.54
74 72 70 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.5. Perkembangan BOPO BUS dan BUK 2006-2011 Gambar 4.5. menunjukkan bahwa selama tahun 2006 hingga 2011 rasio BOPO BUS berada di bawah BUK artinya BUS memiliki efisiensi yang lebih baik dibandingkan BUK. Akan tetapi, nilai BOPO BUK dan BUS masih cukup tinggi dan berfluktuasi karena rasio tersebut masih di atas 75%. Rasio BOPO tertinggi terjadi di tahun 2008. Pada periode tersebut perekonomian nasional terkena dampak krisis global. Peningkatan yang tinggi tersebut disebabkan oleh meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh perbankan akibat krisis global. Tingginya biaya pada bank konvensional menunjukkan target pendapatan bank konvesional yang tidak terpenuhi. Apalagi pada saat krisis keuangan berlangsung, beban cost of fund semakin tinggi dan menurunnya kemampuan peminjam untuk mengembalikan pinjamannya (Heri Sudarsono, 2009). Rasio BOPO memiliki komponen akun perbankan yang sama dengan rasio ROA. Perbedaan BOPO dengan ROA yaitu penggunaan akun laba non operasional pada ROA. Jika perbankan dapat bekerja dengan baik seharusnya hasil analisis ROA dan BOPO memiliki kesimpulan yang sama. Akan tetapi, analisis menunjukkan hal yang berbeda dimana BUS dapat bekerja lebih baik pada rasio BOPO tetapi BUK dapat bekerja lebih baik pada rasio ROA. Kondisi ini menunjukkan BUS dapat bekerja lebih baik secara operasional sedangkan BUK dapat bekerja lebih baik dalam mengkonversi aset mereka menjadi
53
pendapatan non operasional seperti sewa, keuntungan penjualan aktiva tetap dan inventaris, selisih kurs, serta usaha lainnya. BUS memiliki rata-rata BOPO lebih kecil dibandingkan dengan BUK. Pada periode pengamatan BUS memiliki rata-rata BOPO sebesar 79,73% lebih kecil dibandingkan BUK yang memiliki rata-rata BOPO 86,30%. Nilai tersebut menunjukkan selama periode pengamatan BUS memiliki rasio efisiensi beban operasional terhadap pendapatan operasional yang lebih baik. BUS dapat memperkecil beban yang dikeluarkan untuk menghasilkan pendapatan. Uji beda data berpasangan menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara BOPO BUS dan BUK. Nilai signifikansi antara BUS dan BUK yaitu 0,002 lebih kecil dibandingkan taraf nyata 0,05.
4.2.
Data Envelopment Analysis (DEA) Suatu bank dikatakan memiliki kinerja yang tinggi apabila dapat
meningkatkan efisiensi dengan menggunakan input untuk memberikan hasil yang maksimal. Metode DEA merupakan ukuran efisiensi relatif yang mengukur efisiensi suatu unit pengambil keputusan (DMU) yang tidak efisien dibandingkan dengan DMU lain yang paling efisien. Dalam analisis DEA dimungkinkan ada beberapa DMU yang mempunyai tingkat efisiensi 100%. DEA juga dapat melihat sumber ketidakefisienan dengan ukuran peningkatan potensial (potential improvement) dari masing-masing input dan output. 4.2.1.
Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011 Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam variabel input
dan output yang diformulasikan dengan asumsi constant return to scale (CRS). Variabel input yang digunakan dalam mengukur efisiensi yaitu total DPK, total aset, dan biaya operasional. Variabel output yang digunakan yaitu kredit konvensional atau pembiayaan syariah ke semua sektor ekonomi dan pendapatan operasional. Pada analisis DEA periode yang paling efisien dapat lebih dari satu dengan skor efisiensi 100% pada periode waktu pengamatan.
54
Tabel 4.4. Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011 Tahun
Efisiensi (%) BUK
BUS
2006
100
100
2007
90,37
100
2008
93,87
100
2009
96,76
96,85
2010
100
98,73
2011
98,47
100
Keterangan: Analisis efisiensi dilakukan bersama
Tabel 4.4. menunjukkan perbandingan efisiensi tahunan BUK dan BUS dari tahun 2006 hingga 2011. Perhitungan tingkat efisiensi dilakukan bersamasama untuk melihat perbankan mana yang lebih efisien pada periode pengamatan. Hasil analisis menunjukkan BUS dapat bekerja lebih efisien dibandingkan BUK pada tahun 2006 hingga 2011. BUS dapat mencapai tingkat efisiensi 100% pada empat tahun periode pengamatan yaitu tahun 2006, 2007, 2008, dan 2011 sedangkan BUK dapat mencapai tingkat efisiensi 100% hanya pada dua tahun pengamatan yaitu 2006 dan 2010. Hasil analisis efisiensi menggunakan DEA sama dengan hasil analisis efisiensi BOPO yang menyatakan BUS dapat bekerja lebih efisien dibandingkan BUK. Tabel 4.5. menunjukkan perkembangan tingkat efisiensi masing-masing bank selama periode 2006-2011. Tingkat efisiensi BUK mencapai angka 100% pada tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011 sedangkan tahun 2008 dan 2009 BUK mengalami infisiensi. BUS mencapai tingkat efisien pada tahun 2006, 2007, 2008, dan 2011 sedangkan tahun 2009 dan 2010 tidak efisien.
55
Tabel 4.5. Perkembangan Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2006-2011 Efisiensi (%)
Tahun
BUK
BUS
2006
100
100
2007
100
100
2008
97,27
100
2009
99,76
96,85
2010
100
98,73
2011
100
100
Keterangan: Analisis efisiensi dilakukan pada masing-masing bank
Inefisiensi yang dialami perbankan pada tahun 2008-2010 merupakan dampak dari krisis global yang terjadi tahun 2008. Krisis global akan memengaruhi
operasional
perbankan
dan
pertimbangan
nasabah
dalam
menggunakan jasa perbankan. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja perbankan yang menentukan efisiensi intermediasi lembaga tersebut. Bank-bank yang inefisien, dapat dikatakan bahwa bank tersebut belum dapat memaksimalkan nilai input dan output yang dimilikinya. Hal ini berarti nilai input dan output yang dicapai oleh bank yang inefisien belum dapat meraih target yang sebenarnya (Muharam dan Pusvitasari, 2007). Analisis
efisiensi
BUK
menggunakan
DEA
menunjukan
BUK
mengalami inefisiensi pada tahun 2008 (97,27%) dan 2009 (99,76%). Tahun 2008 inefisiensi terjadi pada variabel input dan output. Input yang mengalami inefisiensi yaitu DPK. Input aktual DPK tahun 2008 yaitu sebesar 1.753.292 miliar rupiah. Jumlah tersebut melebihi target yaitu sebesar 1.497.535,3 miliar rupiah atau dengan kata lain terjadi pemborosan input sebesar 14,59% dalam kegiatan operasional BUK tahun 2008. Inefisiensi juga terjadi pada variabel output penyaluran kredit aktual yang disalurkan oleh BUK yaitu sebesar 1.307.668 miliar rupiah sedangkan target penyaluran kredit yaitu 1.344.397,23 miliar rupiah. Penyaluran kredit belum dilakukan secara optimal. Peningkatan potensial penyaluran kredit yang dapat dilakukan agar BUK menjadi efisien yaitu sebesar 2,81% dari output sekarang. Inefisiensi juga terjadi pada variabel output
56
pendapatan operasional. Pendapatan operasional aktual yang dihasilkan oleh BUK pada periode tersebut yaitu sebesar 262.061 miliar rupiah. Angka tersebut lebih kecil dari target efisien BUK yaitu 269.421,66 miliar rupiah. Peningkatan potensial output tersebut yaitu sebesar 4,44%. Tabel 4.6. Inefisiensi BUK Tahun 2008 Variabel Input
Output
Beban Operasional
Aktual
Target
Potensial Improvement
232.170
232.170
0
Aset
2.310.557
2.310.557
0
DPK
1.753.292
1.497.535,3
-14,59
Kredit
1.307.668
1.344.397,23
2,81
262.061
269.421,66
2,81
Pendapatan Operasional
Pada tahun 2009 inefisiensi juga terjadi pada variabel input dan output. Variabel input yang mengalami inefisiensi yaitu beban operasional dan DPK. Beban operasional aktual pada periode tersebut yaitu 258.311 miliar rupiah. Jumlah tersebut masih dapat ditekan 0,13% menjadi 257.980 miliar rupiah. Pada periode ini juga masih terjadi pemborosan DPK sebesar 14,28%. DPK aktual yang digunakan BUK yaitu 1.950.712 sedangkan targetnya adalah 1.672.159,54 miliar rupiah. Inefisiensi output terjadi pada kredit dan pendapatan operasional yang masih dapat ditingkatkan sebesar 0,24% untuk mencapai efisiensi. Tabel 4.7. Inefisiensi BUK Tahun 2009 Variabel Input
Output
Beban Operasional
Aktual
Target
Potensial Improvement
258.311
257.980
-0,13
Aset
2.534.106
2.534.106
0
DPK
1.950.712
1.672.159,54
-14,28
Kredit
1.437.930
1.441.441,34
0,24
298.180
298.908,14
0,24
Pendapatan Operasional
BUS mencapai efisiensi 100% di tahun 2006, 2007, 2008 dan 2011 sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 terjadi inefisiensi. Pada tahun 2009
57
inefisiensi terjadi pada DPK, aset, pembiayaan, dan pendapatan operasional. Input DPK aktual yang diterima pada tahun 2009 yaitu sebesar 52.271 miliar rupiah sedangkan target DPK agar kinerja menjadi efisien yaitu sebesar 48.947,67 miliar rupiah. Variabel DPK dapat ditekan 6,36% untuk mencapai tingkat efisiensi 100%. Pada periode tersebut BUS terkena dampak krisis global yang terjadi di tahun 2008 yaitu terjadi peningkatan DPK sebesar 41,84%. Peningkatan DPK tersebut merupakan salah satu bukti kepercayaan nasabah terhadap kinerja BUS yang masih dapat beroperasi dengan baik pada saat krisis. Tabel 4.8.
Inefisiensi BUS Tahun 2009 Variabel
Input
Output
Aktual
Beban Operasional
Potensial
Target
Improvement
3.135
3.135
0
Aset
66.090
63.273,01
-4,26
DPK
52.271
48.947,67
-6,36
Pembiayaan
46.886
48.410,18
3,25
6.620
7.304,74
10,34
Pendapatan Operasional
Input aset juga mengalami inefisiensi sebesar 4,26%. Jumlah aset aktual pada periode tersebut adalah 66.090 miliar rupiah sedangkan targetnya adalah 63.273,01 miliar rupiah. Output pembiayaan aktual periode tersebut yaitu 46.886 miliar rupiah sedangkan target pembiayaan sebesar 48.410,18 miliar rupiah . Pembiayaan memiliki potensi pengembangan sebesar 3,25 % artinya pada periode tersebut masih terdapat input yang berpotensi untuk disalurkan kepada masyarakat.
Variabel
pendapatan
operasional
juga
memiliki
potensi
pengembangan yaitu sebesar 10,34% artinya pada periode tersebut BUS dapat menghasilkan pendapatan operasional yang lebih besar dari 6.620 miliar rupiah menjadi 7.304,74 miliar rupiah agar mencapai kinerja yang efisien.
58
Tabel 4.9. Inefisiensi BUS Tahun 2010 Variabel Input
Output
Beban Operasional
Aktual
Target
Potensial Improvement
4.472
4.472
0
Aset
97.519
90.257,39
-7,45
DPK
76.036
69.822,65
-8,17
Pembiayaan
68.181
69.055,92
1,28
8.757
10.420,03
18,99
Pendapatan Operasional
Pada tahun 2010 BUS mengalami inefisiensi pada variabel DPK, aset, pembiayaan, dan beban operasinal. BUS masih mengalami kelebihan input DPK yaitu sebesar 8,17%. DPK aktual pada periode tersebut sebesar 76.036 miliar rupiah sedangkan target DPK sebesar 69.822,65 miliar rupiah. Peningkatan DPK yang terjadi di tahun 2010 sebesar 45,46% atau lebih besar dibandingkan peningkatan di tahun sebelumnya. Akan tetapi, peningkatan tersebut belum diikutsertai dengan penningkatan penyaluran pembiayaaan sehingga dana yang tersedia belum tersalurkan secara optimal. Variabel aset juga masih mengalami inefisiensi pada periode tersebut. Jumlah aset aktual yaitu sebesar 97.519 miliar rupiah sedangkan targetnya adalah 90.257,39 miliar rupiah atau terjadi pemborosan sebesar 7,45%. Inefisiensi pada variabel output pembiayaan aktual tahun 2010 yaitu sebesar1,28%. Pembiayaan aktual sebesar 68.181 miliar rupiah. Jumlah tersebut dapat ditingkatkan menjadi 69.055,92 miliar rupiah atau agar mencapai kinerja yang efisien. Pendapatan operasional juga mengalami inefisiensi dengan potensi pengembangan 18,99% artinya pendapatan operasional aktual periode tersebut masih dapat ditingkatkan dari 8.757 miliar rupiah menjadi 10.420,03 miliar rupiah. Nilai rata-rata efisiensi BUK lebih besar dibandingkan rata-rata efisiensi BUS. Rata-rata efisiensi BUK pada periode pengamatan yaitu sebaesar 99,56% sedangkan rata-rata efisiensi BUS sebesar 99,26%. Akan tetapi, hasil uji beda data berpasangan menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara efisiensi BUK dan BUS dari tahun 2006-2011.
59
4.2.2.
Efisiensi BUK dan BUS Setelah Krisis Global 2008 Intermediasi perbankan nasional mengalami gangguan akibat krisis
global yang terjadi tahun 2008. Bank mengalami peningkatan biaya dan ketidakpastian pengembalian kredit. Kondisi tersebut menghambat kinerja perbankan dan menurunkan tingkat efisiensi perbankan. Berdasarkan analisis DEA, BUK dan BUS mengalami inefisiensi pasca krisis global yaitu berada di bawah 100%. Tabel 4.10.
Tingkat Efisiensi Intermediasi BUK dan BUS Tahun 2009 Bank
Efisiensi (%) 2009
Bank Konvensional Mestika Dharma Bank Sinarmas Bank ICB BumiPutera Bank Mutiara Bank ArthaGraha Bank Mayapada Internasional Bank Nusantara Bank Ekonomi Raharja Bank Syariah Bank Muamalat Indonesia Bank Syariah Mega Indonesia Bank Syariah Mandiri BRI Syariah
2010 100 100 100 100 98,54 92,69 91,72 75,04
100 100 100 97,25 97,54 94,36 100 77,65
100 100 92,65 72,68
100 100 100 85,24
Pada periode setelah krisis yaitu tahun 2009 terdapat 4 BUK dan 2 BUS yang mengalami inefisiensi. BUK yang belum mencapai tingkat efisiensi 100% pada tahun 2009 antara lain Bank Artha Graha (98,54%), Bank Maspada Internasional (92,69%), Bank Nusantara (91,72%), dan Bank Ekonomi Raharja (75,04%). Sedangkan BUS yang mengalami inefisiensi yaitu Bank Syariah Mandiri (92,65%) dan BRI Syariah (72,68%). Pada tahun 2010 masih terdapat bank yang bekerja dengan tidak efisien. Terdapat 4 BUK yang mengalami inefisiensi yaitu Bank Artha Graha (97,54%), Bank Mutiara (97,25%), Bank Maspada Internasinal (94,36%), dan Bank Ekonomi Raharja (77,65%). Selain itu, BUS yang mengalami inefisiensi adalah BRI syariah.
60
Inefisiensi yang dialami oleh BUK dan BUS disebabkan oleh belum optimalnya input dan output pada periode tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan DEA (lampiran), inefisiensi bersumber pada variabel input (simpanan dan beban tenaga kerja) serta output (kredit atau pembiayaan dan pendapatan operasional). Inefisiensi penggunaan input pertama yaitu simpanan di hampir seluruh BUK yang tidak efisien. Input simpanan aktual yang dialokasikan jumlahnya melebihi target sehingga terjadi input excess. Kondisi ini menandakan terjadi pemborosan penggunaan input simpanan sehingga intermedisi perbankan tidak bekerja
secara
optimal.
Upaya
yang
dapat
dilakukan
adalah
dengan
mengalokasikan kelebihan penggunaan input simpanan ke bagian input aset sehingga bisa menjadi aset yang lebih produktif. Naiknya jumlah aset produktif dapat meningkatkan jumlah kredit atau pembiayaan kepada masyarakat. Inefisiensi penggunaan input juga terjadi pada variabel biaya tenaga kerja. BRI syariah mengalami inefisiensi penggunaan input ini pada dua tahun pasca krisis global. Selain BRI Syariah, Bank Maspada Internasional juga mengalami inefisiensi penggunaan biaya tenaga kerja di tahun 2009. Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan yang dibutuhkan bank untuk membayar tenaga kerja. Biaya tenaga kerja dapat dipengaruhi oleh biaya pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia, khususnya bagi BUS karena jumlah SDM yang paham tentang ekonomi syariah masih di bawah dari kebutuhan yang ada (secara kualitas maupun kuantitas). Ketidakefisienan output dalam penelitian ini terjadi pada kredit atau pembiayaan dan pendapatan operasional. Output yang pertama, baik kredit dari BUK maupun pembiayaan dari BUS jumlahnya belum sesuai atau lebih kecil dari target yang telah ditentukan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menawarkan bentuk kredit/pembiayaan yang lebih bervariasi sesuai dengan keinginan masyarakat sehingga output kredit atau pembiayaan dapat lebih optimal. Output kedua yang pencapaiannya masih belum optimal yaitu pendapatan operasional. Jumlah yang dapat dicapai oleh BUK dan BUS seharusnya lebih besar dari pada jumlah aktual. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menaikkan biaya administrasi pada dana simpanan, sehingga
61
pendapatan operasional bank umum bertambah. Beberapa perbaikan dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah penyaluran kredit atau pembiayaan dan biaya-biaya yang terkait dengan input simpanan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rakhmat Purwanto. Pada penelitian tersebut terdapat bank-bank yang mengalami inefisiensi pada saat krisis. Bank yang selalu efisien pada periode pengamatan yaitu Bank Mestika Dharma, Bank ISB Bumiputera, Bank Sinarmas, Bank Muamalat Indonesia, dan Bank Syariah Mega Indonesia.
4.3.
Perbandingan Kinerja Keuangan dan Efisiensi BUK dan BUS Hasil analisis uji beda data berpasangan menyatakan rata-rata rasio CAR
BUK lebih tinggi dibandingkan rasio CAR BUS. Artinya, BUK memiliki rasio kecukupan modal lebih baik dibandingkan BUS pada periode tersebut. Akan tetapi, berdasarkan analisis deskriptif BUK memiliki rasio CAR yang cenderung turun setiap tahunnya. Kondisi ini disebabkan oleh sifat BUK yang rentan terhadap resiko sehingga jumlah ATMR BUK setiap tahun semakin meningkat. Semakin tinggi ATMR maka akan semakin rendah nilai CAR perbankan. Rasio likuiditas BUS lebih baik dibandingkan BUK. Hal ini dapat dilihat dari nilai FDR BUS yang lebih tinggi dibanding LDR BUK. Akan tetapi, analisis deskriptif menunjukkan rasio FDR yang menurun lebih besar jika dibanding rasio LDR. Kondisi ini disebabkan oleh laju peningkatan pembiayaan BUS yang tidak secepat laju dengan peningkatan DPK BUS. Tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas BUK dan BUS dibandingkan berdasarkan rasio ROA. Hasil uji data berpasangan menunjukkan rasio ROA BUK lebih baik dibandingkan rasio BUS karena rata-rata rasio ROA BUK lebih tinggi dibandingkan BUS. Kondisi ini disebabkan oleh keunggulan BUK dalam mengubah aset yang dimiliki menjadi aktiva yang menghasilkan laba usaha. Rasio BOPO BUS lebih baik dibandingkan dengan BUK. Rata-rata rasio BOPO BUS dibandingkan dengan BUK. Artinya, BUS dapat lebih menekan biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan operasionalnya. Dari analisis deskriptif kinerja keuangan dan analisis efisiensi BUK BUS maka didapatkan hasil sebagai berikut.
62
Tabel 4.11. Perbandingan Rata-Rata Kinerja Keuangan dan Analisis Efisiensi BUK dan BUS Tahun 2006-2011 Rasio
BUK
BUS
Keterangan
CAR
17,997
13,48
Terdapat perbedaan yang nyata. Kinerja BUK lebih baik
dalam
rasio
permodalan. FDR dan LDR
71,64
95,10
Terdapat perbedaan yang nyata. Kinerja BUS lebih baik dalam rasio likuiditas.
NPF dan NPL
3,56
3,77
Rasio
kualitas
aktiva
produktif relatif sama. ROA
2,71
1,66
Terdapat perbedaan yang nyata. Kinerja BUK lebih baik
dalam
rasio
rentabilitas. BOPO
86,30
79,73
Terdapat perbedaan yang nyata. Kinerja BUS lebih baik dalam rasio efisiensi.
EFISIENSI
99,51
99,26
Nilai efisiensi intermediasi BUK sama.
dan
BUS
relatif
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Hasil analisis kinerja keuangan dan efisiensi perbankan pada periode
pengamatan 2006 sampai 2011 dan setelah krisis global tahun 2008 memberikan beberapa kesimpulan. Rasio CAR BUS dan BUK berada di atas ketentuan Bank Indonesia (8%) artinya BUK dan BUS berada pada posisi yang baik dalam memenuhi kecukupan modal. CAR BUK cenderung turun dibandingkan CAR BUS disebabkan oleh ATMR konvensional yang lebih bervariasi. LDR BUK mengalami kenaikan dari tahun 2006 sampai 2011 kecuali di tahun 2008. Penurunan LDR tersebut terjadi akibat dampak dari krisis global yang juga dialami oleh Indonesia. FDR BUS mengalami kenaikan dari tahun 2006 hingga tahun 2008 tetapi dari tahun 2008 hingga 2009 mengalami penurunan yang cukup jauh karena semakin banyak nasabah menyimpan dana di bank syariah. Rasio NPL BUK cenderung mengalami penurunan. Penurunan NPL tersebut disebabkan oleh adanya usaha BUK untuk memitigasi risiko kredit dengan membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPAP) kredit. Pertumbuhan NPF BUS lebih tinggi pada periode setelah krisis karena bank syariah baru bisa melakukan
restrukturisasi
kredit
jika
masuk
dalam
kolektibilitas
tiga.
Pergerakan rasio ROA BUS dan BUK menunjukkan tren yang sama dari tahun 2006 hingga 2011. Krisis menyebabkan ROA menurun karena kenaikan beban-beban dan kerugian transaksi valas/derivatif yang cukup tinggi. Nilai BOPO BUK dan BUS masih cukup tinggi dan berfluktuasi karena rasio tersebut masih di atas 75%. Rasio BOPO tertinggi terjadi pada saat krisis 2008. Krisis menyebabkan peningkatan biaya operasional perbankan. BUK mencapai kinerja yang efisien di tahun 2006,2007, 2010, dan 2011. Inefisiensi terjadi di tahun 2008 (97,27%), dan 2009 (99,76%). Inefisiensi terjadi pada variabel output yaitu DPK, pendapatan operasional, dan kredit yang belum maksimal. BUS mencapai kinerja yang efisien di tahun 2006 sampai 2008 serta 2011. Inefisiensi terjadi di tahun 2009 (96,85%) dan 2010 (98,73%). Inefisiensi terjadi pada variabel input yaitu DPK dan beban operasional serta variabel output yaitu pendapatan operasional dan pembiayaan.
64
Pada periode setelah krisis (2009) terdapat 4 BUK dan 2 BUS yang mengalami inefisiensi. Bank yang mengalami inefisiensi adalah Bank Artha Graha (98,54%), Bank Maspada Internasional (92,69), Bank Syariah Mandiri (92,65%), Bank Nusantara (91,72%), Bank Ekonomi Raharja (75,04%), dan BRI Syariah (72,68%). Pada periode setelah krisis (2010) terdapat 4 BUK dan 1 BUS yang mengalami inefisiensi. Bank yang mengalami inefisiensi adalah Bank Mutiara (97,25%), Bank Artha Graha (97,54%), Bank Maspada Internasional (94,36), Bank Ekonomi Raharja (77,65%), dan BRI Syariah (85,24%). Bedasarkan uji t data berpasangan terdapat perbedaan nyata pada rasio CAR, FDR/LDR, ROA, dan BOPO. BUK memiliki keunggulan pada rasio CAR dan ROA sedangkan BUS memiliki keunggulan pada rasio FDR dan BOPO.
5.2.
Saran Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut. 1.
Analisis kinerja keuangan perbankan perlu dilakukan setiap periode dengan mengamati perekonomian nasional.
2.
Hasil perhitungan tingkat efisiensi menggunakan metode DEA dapat dijadikan sebagai alternatif atau pembanding dalam menilai kinerja operasional perbankan.
3.
Perlu dilakukan penelitian serupa dengan menggunakan variabel input dan output yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurohman. 2003. The Role of Financial Development in Promoting Economic Growth: Empirical Evidence of Indonesian Economic. Jurnal Keuangan dan Moneter, Vol. 6, No.2. Abidin, Zainal. 2007. Kinerja Efisiensi pada Bank Umum. Paper dalam Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek dan Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma tanggal 21-22 Agustus 2007, Vol. 2, Jakarta. Adam, Latif. 22 April 2009. Kredit Bermasalah, Penyebab dan Dampaknya. Harian Seputar Indonesia. Amirillah, Muhammad Afif. 2010. Efisiensi Perbankan Syariah di Indonesia Tahun 2005-2009. [tesis]. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Ascarya, Diana Yumanita, dan Guruh S. Rokhimah. 2008. Analisis Efisiensi Perbankan Konvensional dan Perbankan Syariah di Indonesia dengan Data Envelopment Analysis (DEA). Paper dalam Buku Current Issues Lembaga Keuangan Syariah Tahun 2009, TIM IAEI, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Astiyah, Siti dan Jardine A. Husman. 2006. Fungsi Intermediasi dalam Efisiensi Perbankan di Indonesia: Derivasi Fungsi Profit. Paper dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan pada bulan Maret 2006, Jakarta: Bank Indonesia. Almilia, Luciana Spica dan Winny Herdiningtyas. 2005. Analisis Rasio Camel terhadap Prediksi Kondisi Bermasalah Pada Lembaga Perbankan Perioda 2000- 2002. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Volume 7. No.2 November, Jakarta. Antonio, M. Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press. Arifin, Zainul. 2009. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Pustaka Alvabeth. Bank Indonesia. 2006-2011. Direktori Perbankan Indonesia. Jakarta.
66
Bank Indonesia. 2006-20101. Statistik Perbankan Indonesia. Jakarta. Bank Indonesia. 2006-2011. Statistik Perbankan Indonesia Syariah. Jakarta. Banker, R. D., Charmes, A., dan Cooper, W. W. 1984.
Some Models for
Estimating Technical and Scale Inefficiencies in Data Envelopment Analysis. Management Science, 30, 1078-1092. Barr, Richard. S., Killgo, Kory. A. , Siems, Thomas. F. and Zimmel, Sheri. 1999. Evaluating the Productive Efficiency dan Performance of U.S. Commercial Banks. Managerial Finance. Bauer, P. W., Berger, A. N. and Ferrier, G. D. 1998. Consistency Condition for Regulatory Analysis of Financial Institutions: A Comparison of Frontier Approuch Methods. Journal of Economics and Bussines. USA. Berger, A. N. dan Mester, L. J. 1997. Inside the Black Box: What explains diffeerences in the efficiency of financial institutions?. Journal of Banking and Finance, 21, 895-947. Farrell, M.J. 1957. The measurement of Productive Efficiency. Journal of the Royal Statistical Society, Vol 120 No. 3, pp.253-281. Febryani, Anita dan Rahadian Zulfadin. 2002. Analisis Perbandingan Bank Devisa dan Non Devisa Dengan Menggunakan rasio ROA, ROE, dan LDR. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Hanafi, Mamduh dan Abdul Halim. 2003. Analisis Laporan Keuangan. AMPYKPN. Yogyakarta. Huri, Mumu Daman dan Indah Susilowati. 2004. Pengukuran Efisiensi Relatif Emiten Perbankan dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA). (Studi Kasus: Bank-Bank yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta Tahun 2002). Dinamika Pembangunan,Vol. 1. No. 2. Isna, Rahmawati. 2008. Analisis Komparasi Kinerja Keuangan Antara PT. Bank Syariah Mandiri Dan PT. Bank Rakyat Indonesia. Skripsi Program Sarjana. Jurusan Ekonomi Islam. Program Studi Keuangan Dan Perbankan. Judisseno, Rimsky K. 2005. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
67
Kasmir. 2010. Pemasaran Bank. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Kasmir. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Kuncoro, Mudradjat. (2002). Manajemen Perbankan. Yogyakarta. BPFE. Kurnia, Akhmad Syakir. 2004. Mengukur Efisiensi Intermediasi Sebelas Bank Terbesar Indonesia dengan Pendekatan Data Envelopment Analysis/ DEA. Jurnal Bisnis Strategi, Vol. 13. Jurnal Penelitian Ekonomi Universitas Dipenogoro, Jawa Tengah. Magrianti, Tessa. 2011. Analisis Perbandingan Efisiensi Bank Umum Syariah dengan Bank Umum Konvensional di Indonesia. [tesis]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Merindawati, Rinda. 2006. Pengaruh Simpanan Dana Pihak Ketiga Terhadap Perolehan Laba Operasional Bank Jabar. Bandung: Universitas Padjajaran. Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso, Dhaniel Ilyas dan Eugenia Mardanugraha. 2003. Analisis Efisiensi Industri Perbankan Indonesia: Penggunaan Metode Non-Parametrik Data Envelopment Analysis (DEA). Bank Indonesia Research Paper, Jakarta: Bank Indonesia. Muharram, H. dan Pusvitasari, R. 2007. Analisis Perbandingan Efisiensi Bank Syariah di Indonesia dengan Metode Data Envelopmet Analysis (Periode Tahun 2005). Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol II, No. 3, Yogyakarta. M. Noor Agung. 2005. Perbandingan Kinerja Bank Umum Syariah dengan Bank Umum Konvensional: Indonesia . Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Nurul Komaryatin. 2006. Analisis Efisiensi Teknis Industri BPR di Eks Karesidenan Pati. Semarang : Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Prasetyo, Indra. 2008. Analisis Kinerja Keuangan Bank Syariah dan Bank Konvensional di Indonesia. Jurnal Aplikasi Manajemen Volume 6. No. 2. Agustus. FE Ubiversitas Brawijaya: Malang. Pratin, Akhyar Adnan. 2005. Analisis Hubungan Simpanan, Modal Sendiri, NPL, Prosentase Bagi Hasil dan Markup Keuntungan Terhadap Pembiayaan Pada Perbankan Syariah: Studi Kasus Pada Bank Muamalat Indonesia (BMI).
68
Jurnal Sinergi, Kajian Bisnis dan Manajemen, Edisi Khusus on Finance, Hal. 35-52. Purwanto, Rakhmat. 2011. Analisis Perbandingan Efisiensi Bank Umum Konvensional (Buk) Dan Bank Umum Syariah (Bus) Di Indonesia Dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA) (Periode 2006-2010). [skripsi]. Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro. Ramanathan, R. 2003. An Introdustion to Data Envelopment Analysis. London : Sage Publications. Rindawati, Erna. 2007. Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Perbankan Syariah dengan Perbankan Konvensional. [skripsi]. Universitas Ialam Indonesia. Siamat, Dahlan, 2005, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Keempat, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Subaweh, Imam. 2008. Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Bank Syariah dan Bank Konvensional Periode 2003-2007. Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis.Vol.13, No.2. Sudarsono, Heri. 2009. Dampak Krisis Keuangan Global terhadap Perbankan di Indonesia: Perbandingan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah. Jurnal Ekonomi Islam. Vol III, No. 1. Sutawijaya, Adrian dan Etty Puji Lestari. 2009. Efisiensi Teknik Perbankan Indonesia Pascakrisis Ekonomi: Sebuah Studi Empiris Penerapan Model DEA. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 10, No.1. Yudhistira, Donsyah. 2003. Efficiency in Islamic Banking an Empirical Analysis of 18 Banks.” Proceeding of Islamic Conference on Islamic Banking. Jakarta.
69
Lampiran 1. Efisiensi Perbankan Setelah Krisis BANK ARTHA GRAHA 2009 Variabel Input
Output
Aktual
Beban Tenaga Kerja
Target
Potensial Improvement
212.584
212.584
0
Aset
15.432.309
15.432.309
0
Simpanan
12.443.300
12.260.796,07
-1,47
Kredit
11.016.610
11.179.459,28
1,48
1.675.291
1.857.155,61
10,86
Pendapatan Operasional
BANK MASPADA INTERNASIONAL 2009 Variabel Input
Output
Aktual
Beban Tenaga Kerja
Target
Potensial Improvement
142.123
121.615,2
-14,43
Aset
7.629.928
7.629.928
0
Simpanan
6.040.576
6.040.576
0
Kredit
5.060.228
5.459.060
7,88
933.800
1.007.399,41
7,88
Pendapatan Operasional
BANK NUSANTARA 2009 Variabel Input
Output
Beban Tenaga Kerja
Aktual
Target
Potensial Improvement
50.239
50.239
0
Aset
3.896.393
3.896.393
0
Simpanan
3.473.107
3.052.726,01
-12,1
Kredit
2.562.718
2.793.931,33
9,02
415.390
471.945,86
13,62
Pendapatan Operasional
70
BANK EKONOMI RAHARJA 2009 Variabel Input
Output
Aktual
Beban Tenaga Kerja
Target
Potensial Improvement
211.468
211.468
0
Aset
21.591.830
21.591.830
0
Simpanan
19.011.840
13.282.418,55
-30,14
Kredit
8.658.770
14.469.247,24
67,11
Pendapatan Operasional
1.861.462
2.480.778,23
33,27
BANK SYARIAH MANDIRI 2009 Variabel Input
Aktual
Beban Tenaga Kerja
Potensial Improvement
395.188
395.188
0
22.036.535
22.036.535
0
Simpanan
2.681.018
2.681.018
0
Pembiayaan
6.519.744
7.108.083,17
9,02
Pendapatan Operasional
2.490,814
2.688.358,81
7,93
Aset
Output
Target
BRI SYARIAH 2009 Variabel Input
Beban Tenaga Kerja
Target
Potensial Improvement
90.176
56.122,01
-37,76
3.178.386
3.178.386
0
Simpanan
443.097
443.097
0
Pembiayaan
771.230
1.061.142,98
37,59
Pendapatan Operasional
284.529
391.486,26
37,59
Aset
Output
Aktual
71
BANK ARTHA GRAHA 2010 Variabel Input
Output
Aktual
Beban Tenaga Kerja
Target
Potensial Improvement
217.608
217.608
0
Aset
17.063.094
17.063.094
0
Simpanan
14.683.981
14.026.032,4
-4,48
Kredit
11.211.984
11.494.804,34
2,52
1.581.837
1.621.841,08
2,52
Pendapatan Operasional
BANK MUTIARA 2010 Variabel Input
Beban Tenaga Kerja
Target
Potensial Improvement
150.121
150.121
0
10.783.886
10.783.886
0
Simpanan
8.900.801
7.803.689,65
-12,33
Kredit
6.302.264
6.480.204,55
2,82
Pendapatan Operasional
1.219.907
1.254.350,30
2,82
Aset
Output
Aktual
BANK MASPADA INTERNASIONAL 2010 Variabel Input
Beban Tenaga Kerja
Target
Potensial Improvement
170.356
170.356
0
10.102.288
10.102.288
0
Simpanan
7.796.431
7.739.962,39
-0,72
Kredit
6.110.988
6.476.137,96
5,98
Pendapatan Operasional
1.071.350
1.135.366,39
5,98
Aset
Output
Aktual
72
BANK EKONOMI RAHARJA 2010 Variabel Input
Output
Aktual
Target
Potensial Improvement
332.967
332.967
0
Aset
21.522.321
21.522.321
0
Simpanan
18.396.436 17.743.207,86
-3,55
Kredit
11.486.021 14.792.696,41
28,79
Beban Tenaga Kerja
Pendapatan Operasional
1.668.332
2.148.622,99
28,79
BRI SYARIAH 2010 Variabel Input
Output
Beban Tenaga Kerja
Aktual
Target
Potensial Improvement
189.999
188.856,39
-0,6
Aset
6.856.386
6.856.386
0
Simpanan
1.054.006
1.054.006
0
Pembiayaan
1.328.992
1.559.199,92
17,32
734.301
861.496,58
17,32
Pendapatan Operasional
73
Lampiran 2. Uji Beda Data Berpasangan Capital Adequacy Ratio (CAR) Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
N
Std. Deviation Std. Error Mean
BUK
17.9967
6
1.93555
.79018
BUS
13.4767
6
2.58252
1.05431
Paired Samples Correlations N Pair 1 BUK & BUS
Correlation 6
Sig.
-.354
.491
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Std. Mean
Difference
Deviation Lower
Upper
Sig. (2t
df
tailed)
5
.031
Pair 1 BUK BUS
4.52000
3.73557
.59976 8.44024 2.964
74
Loan/Financing to Deposit Ratio (LDR/FDR)
Paired Samples Statistics Mean
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Pair 1 BUK
71.5533
6
6.38164
2.60529
BUS
95.1033
6
6.41636
2.61947
Paired Samples Correlations N Pair 1 BUK & BUS
Correlation 6
Sig.
-.527
.282
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Std. Mean Pair 1
Difference
Deviation Lower
Upper
Sig. (2t
df tailed)
BUK BUS
-2.355E1 11.18385 -35.28673 -11.81327 -5.158
5
.004
75
Non Performing Financing/Loan (NPF/NPL)
Paired Samples Statistics Mean
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Pair 1 BUK
3.5633
6
1.39171
.56816
BUS
3.7167
6
.80458
.32847
Paired Samples Correlations N Pair 1 BUK & BUS
Correlation Sig. 6
.887
.018
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Std. Mean Pair 1
Difference
Deviation Lower
Upper
Sig. (2t
df
tailed)
BUK BUS
-.15333
.77309 -.96464
.65797 -.486
5
.648
76
Return on Asset (ROA)
Paired Samples Statistics Mean
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Pair 1 BUK
2.7067
6
.24130
.09851
BUS
1.6633
6
.23964
.09783
Paired Samples Correlations N Pair 1 BUK &
Correlation 6
BUS
.659
Sig. .155
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Std. Mean Pair 1
Difference
Deviation Lower
Upper
Sig. (2t
df
tailed)
BUK BUS
1.04333
.19856 .83496 1.25171 12.871
5
.000
77
Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
Paired Samples Statistics Mean
N
Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 BUK
86.3017
6
1.52826
.62391
BUS
79.7333
6
3.07025
1.25342
Paired Samples Correlations N Pair 1
BUK & BUS
Correlation 6
Sig.
.527
.283
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Std. Mean Pair 1
Deviation
Difference Lower
Upper
Sig. (2t
df
tailed)
BUK BUS
6.56833
2.61111 3.82814 9.30853 6.162
5
.002
78
Tingkat Efisiensi Perbankan Berdasarkan DEA
Paired Samples Statistics Mean
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Pair 1 BUK
99.5050
6
1.09912
.44871
BUS
99.2633
6
1.28680
.52534
Paired Samples Correlations N Pair 1 BUK & BUS
Correlation 6
-.202
Sig. .700
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
BUK .24167 BUS
Std. Deviation
Lower
Upper
1.85383 -1.70381 2.18715
t .319
Sig. (2tailed)
df 5
.762