ANALISIS KETERKAITAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN BURSA EFEK JAKARTA DENGAN INDEKS BURSA SAHAM REGIONAL
OLEH ANNA MUSTIKAATI H14103095
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN ANNA MUSTIKAATI. Analisis Keterkaitan Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta Dengan Indeks Bursa Saham Regional (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Pasar modal memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia, dimana pasar modal berperan sebagai lembaga intermediasi dana dari pihak pemilik dana kepada pihak yang membutuhkan dana. Intermediasi tersebut dapat meningkatkan produktivitas perekonomian melalui aktivitas investasi. Pasar modal merupakan bagian dari perekonomian di banyak negara. Dengan diberlakukannya kebijakan perekonomian terbuka, pasar bebas dan perkembangan teknologi yang pesat, investor akan menjadi mudah mengakses pasar modal di seluruh dunia. Fakta menunjukkan bahwa pasar modal merupakan salah satu indikasi perkembangan perekonomian suatu negara sehingga mengisyaratkan betapa pentingnya pasar modal di suatu negara (Setyastuti, 2004). Sejak dimulainya liberalisasi pasar modal pada tahun 1989 di Indonesia, pasar modal mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada saat pertengahan tahun 1997 terjadi krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia dan telah memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia pada umumnya dan pasar modal pada khususnya. Krisis ekonomi juga menimbulkan contagion effect (efek penularan) terhadap kawasan lain. Adanya efek penularan tersebut menyebabkan terjadinya hubungan atau interaksi pasar modal yang akan membentuk suatu integrasi pasar modal. Pengintegrasian pasar modal menunjukkan bahwa pasar dapat berinteraksi dengan pasar di negara lain. Perkembangan pasar modal dapat dilihat dari salah satu indikator pasar modal yaitu instrumen saham. Perkembangan transaksi harga saham dari tahun ke tahun cenderung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk menanamkan investasi di pasar modal semakin besar. Pergerakan saham di Indonesia yaitu IHSG mempunyai keterkaitan dengan pergerakan saham di negara lain. Indonesia dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Hongkong dengan Indeks Hangseng dan Singapura dengan STI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional dan menganalisis besaran faktor-faktor ekonomi tersebut dalam mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional. Dalam penelitian ini variabel makroekonomi yang digunakan adalah Money Market Rate (MMR) yang merefleksikan tingkat suku bunga dan Consumer Price Index (CPI) yang merefleksikan tingkat inflasi. Untuk melihat keterkaitan bursa saham Indonesia (IHSG) dengan Indeks Bursa Saham Regional penulis hanya menggunakan bursa saham Singapura (STI) dan bursa saham Hongkong (Hangseng) sebagai variabel yang mewakili bursa saham regional. Bursa saham Singapura dan Hongkong adalah bursa saham terdekat dan berpengaruh terhadap bursa saham Indonesia (IHSG). Data penelitian dibatasi mulai Januari tahun 2000 sampai dengan Juni tahun 2006.
Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan, maka metode yang digunakan adalah metode Vector Autoregression (VAR) yang dilanjutkan dengan metode analisis Vector Error Correction Model (VECM). Hasil estimasi VECM menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, Hangseng, STI, MMR Indonesia dan CPI Singapura signifikan mempengaruhi IHSG. Hal ini mengindikasikan relatif terintegrasinya IHSG dalam jangka pendek dengan Indeks Bursa Saham dan perekonomian Regional. Dalam jangka panjang, Hangseng, STI, MMR Indonesia dan CPI Hongkong signifikan mempengaruhi IHSG, yang mengindikasikan relatif terintegrasinya IHSG dengan Indeks Bursa Saham dan perekonomian Regional. Bursa saham terdekat yang paling besar pengaruhnya terhadap Bursa Efek Jakarta adalah bursa saham Singapura (STI) dan bursa saham Hongkong (Hangseng). Oleh karena itu faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap IHSG adalah STI dan Hangseng. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa fluktuasi IHSG sangat dipengaruhi oleh Hangseng, STI, MMR Indonesia, CPI Singapura dan CPI Hongkong. Oleh karena itu faktor yang paling mungkin dijaga oleh pemerintah Indonesia adalah MMR Indonesia atau tingkat suku bunga Indonesia agar pergerakannya tetap konstan dan tidak berfluktuatif, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor dan pemilik modal terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Untuk pemerintah Indonesia menjaga tingkat suku bunga dengan cara mengendalikan jumlah uang beredar, mengendalikan tingkat inflasi, melakukan koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang jauh lebih baik dengan mengurangi utang luar negeri dan mendorong masuknya FDI. Untuk penelitian lanjutan sebaiknya dimasukkan faktor lain yang dapat mempengaruhi IHSG seperti Foreign Direct Investment (FDI) dan Exchange Rate (Nilai Tukar) sehingga hasil yang didapat lebih baik.
ANALISIS KETERKAITAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN BURSA EFEK JAKARTA DENGAN INDEKS BURSA SAHAM REGIONAL
Oleh ANNA MUSTIKAATI H14103095
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Anna Mustikaati
Nomor Register Pokok
: H14103095
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul
: Analisis Keterkaitan Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta Dengan Indeks Bursa Saham Regional
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec NIP. 131 803 656
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Juli 2007
Anna Mustikaati H14103095
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Anna Mustikaati lahir pada tanggal 3 Mei 1985 di Bogor, sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Penulis anak tunggal dari pasangan Atjeng Mukhlis Syarief dan Nanan Nurdjannah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Bina Insani, kemudian melanjutkan ke SLTP Bina Insani dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 2 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir penulis. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai salah satu mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Keterkaitan Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta Dengan Indeks Bursa Saham Regional”. Saham adalah salah satu instrumen pasar modal yang penting bagi perekonomian Indonesia. Pergerakan saham di Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan saham di luar negeri dilihat dari faktor-faktor ekonomi. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Adapun skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr.Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Bapak Dr.Ir. Noer Azam Achsani, M.S dan Bapak Syamsul H. Pasaribu, SE, M.Si selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan, yang telah memberi saran-saran dan ilmu yang bermanfaat. 3. Bapak Andriansyah, M.Sc yang telah memberikan izin pengambilan data melalui Bloomberg di BAPEPAM Departemen Keuangan. 4. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, MSAE dan Ibunda Ir. Nanan Nurdjannah, APU atas cinta kasih, kesabaran dan dorongan serta dukungannya. Terima kasih juga kepada Aji Setyo Nugroho sekeluarga atas doa dan perhatian yang diberikan selama ini.
5. Sahabat-sahabat tercinta Ionk, D’Dj “Wida, Weni, Ratih, Abah, Yogie, Wiwit, Mimi, Kakek”, temen seperjuangan PS “Girie, Nur, Rico, Aga”, teman-teman Undip (Dena, Bowo, Hexos, dll), Dewi, teman-teman KPM “Tika, Tiwie, dll”, Echa, Ka Fikri, Mas Suhendy, Mbill, Anita, Beby, Onye, Amel, Abank, Heny, Bety, Ria, Dp, Lea, Maiva, Jo, Spog, Ao, Ryan, Nie..(thanx 4 all...), Gilman, Rizal, Dio, Hilman, Gala, Meta, Budie, dan seluruh teman-teman angkatan 40. 6. Untuk semua keluarga besar Sutakaria, keluarga besar Syarief serta seluruh keponakanku tercinta. 7. Untuk seluruh anggota tata usaha Departemen Ilmu Ekonomi. 8. Dan yang terakhir untuk anggota keluarga dirumah yang selalu setia “ Nyi, Mang Enda, Passha.” Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih banyak kekurangan. Dengan kerendahan hati, penulis meminta maaf dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi perbaikan penulis. Semoga hasil dari skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan. Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Bogor, Juli 2007
Anna Mustikaati H14103095
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL....…………………….....................……..……......…...............v DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….....................vi DAFTAR LAMPIRAN….............................................................................. ........vii I.
PENDAHULUAN.......................................................................................1 1.1 Latar Belakang.......................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah.............................................................................. 9 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................10 1.4 Kegunaan Penelitian............................................................................10 1.5 Ruang Lingkup Penelitian...................................................................11
II.
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................12 2.1 Teori Investasi.....................................................................................12 2.2 Pasar Modal.........................................................................................13 2.2.1 Definisi Pasar Modal.................................................................13 2.2.2 Instrumen Pasar Modal............................................................. 16 2.3 Bursa Efek............................................................................................18 2.4 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)..............................................19 2.5 Teori Tingkat Suku Bunga...................................................................21 2.6 Teori Inflasi..........................................................................................21 2.7 Indeks Harga Konsumen (IHK)...........................................................23 2.8 Hubungan Inflasi, Suku Bunga dengan Harga Saham.........................23 2.9 Globalisasi Ekonomi............................................................................25 2.10 Integrasi Ekonomi..............................................................................26 2.11 Hubungan IHSG dengan Indeks Regional.........................................28 2.12 Tinjauan Penelitian Terdahulu...........................................................30 2.13 Kerangka Pemikiran...........................................................................33 2.14 Hipotesis.............................................................................................35
III. METODE PENELITIAN.................................................................................36 3.1 Jenis dan Sumber Data.........................................................................36
3.2 Metode Analisis Data...........................................................................36 3.2.1 Model Umum Vector Autoregression.......................................39 3.2.2 Uji Stasioneritas........................................................................40 3.2.3 Penetapan Lag Optimum………………………………...........41 3.2.4 Uji Kointegrasi…………………………………………..........41 3.2.5 Model Umum Vector Error Correction………………............42 3.2.6 Variance Decomposition (VD)……………………………… 43 3.2.7 Impulse Response Function (IRF)…………………………….44 3.3 Model Penelitian……………………………………………………..44 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………............46 4.1 Hasil Estimasi VAR….............………………………………………46 4.1.1 Kestasioneran Data…………………………….…….……….46 4.1.2 Penentuan Lag Optimum Menggunakan Akaike Information Criteria (AIC).......................................................48 4.1.3 Kointegrasi...............................................................................48 4.2 Integrasi Indeks Harga Saham Gabungan Dengan Indeks Bursa Saham Regional........................................………………………….. 50 4.3 Hasil Estimasi Model Vector Error Correction...................................52 V. KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................66 5.1. Kesimpulan........................................................................................ 66 5.2. Saran....................................................................................................66 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................68 LAMPIRAN...........................................................................................................71
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Indikator Pasar Modal (Tahun 1995-2003)........................................................ 4 2. Indeks Harga Saham (Tahun 1996-2006)……………………………………... 7 3. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data…...…………………………………. 36 4. Uji Stasioneritas.................................................................................................47 5. Perhitungan Akaike Information Criteria..........................................................48 6. Johansen Cointegration Test ........................................................................... 49 7. Hasil Estimasi ECM pada variabel saham (IHSG, Hangseng, STI), tingkat suku bunga (MMRI, MMRH, MMRS) dan tingkat inflasi (CPII, CPIH, CPIS) dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang........................................................54 8. Hasil Variance Decomposition (VD) .........................………………………...62
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Grafik Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan Periode Januari 2000 – Januari 2006................................................................................2 2. Kerangka Pemikiran ..........................................................................................34 3. Grafik Impulse Response Function (IRF)..........................................................65
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Uji Stasioneritas pada Level ..............................................................................71 2. Uji Stasioneritas pada First Difference ............................................................ 72 3. Penentuan Lag Optimum ...................................................................................74 4. Uji Kestabilan VAR ………………………………………………………......75 5. Johansen Cointegration Test Summary …………………………………….....75 6. Johansen Cointegration Test ……………………………………………….....76 7. Correlation Matrix …………………………………………………………....77 8. Estimasi Model Vector Error Correction ………………………………….....78 9. Variance Decomposition (VD) …………………………………………….....81 10. Impulse Response Function (IRF) ……………….…………………………..83
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia cukup pesat dan telah mengubah pola pikir masyarakat di bidang ekonomi umumnya dan bidang investasi pada khususnya. Investasi merupakan salah satu indikator yang dapat mempengaruhi perekonomian di suatu negara. Investasi dapat dikatakan mempengaruhi perekonomian apabila investasi tersebut digunakan untuk melakukan pembiayaan pada sektor riil sehingga apabila sektor riil telah berkembang dengan baik maka output nasional akan meningkat. Pembiayaan sektor riil dapat dilakukan melalui sektor perbankan dan sektor keuangan lainnya seperti pasar modal. Pasar modal memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia, dimana pasar modal berperan sebagai lembaga intermediasi dana dari pihak pemilik dana kepada pihak yang membutuhkan dana. Intermediasi tersebut dapat meningkatkan produktivitas perekonomian melalui aktivitas investasi. Pasar modal merupakan bagian dari perekonomian di banyak negara. Dengan diberlakukannya kebijakan perekonomian terbuka, pasar bebas dan perkembangan teknologi yang pesat, investor akan menjadi mudah mengakses pasar modal di seluruh dunia. Fakta menunjukkan bahwa pasar modal merupakan salah satu indikasi perkembangan perekonomian suatu negara sehingga mengisyaratkan betapa pentingnya pasar modal di suatu negara (Setyastuti, 2004).
Sejak dimulainya liberalisasi pasar modal pada tahun 1989 di Indonesia, pasar modal mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan pasar modal dapat dilihat dari salah satu indikator pasar modal yaitu instrumen saham. Apabila harga saham meningkat maka mengindikasikan terjadinya pertumbuhan yang positif dari pasar modal. Perkembangan positif dari pasar modal akan meningkatkan sumber modal dalam negeri. Apabila sumber modal dalam negeri meningkat maka diharapkan tersedia dana untuk melakukan pembangunan ekonomi sehingga perekonomian dapat berkembang ke arah yang positif. Perkembangan transaksi saham dari tahun ke tahun cenderung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk menanamkan investasi di pasar modal semakin besar. Perkembangan IHSG menunjukkan peningkatan jumlah pemegang saham, nilai perdagangan saham dan dana yang dihimpun dari saham. Perkembangan IHSG dari tahun 2000 hingga tahun 2006 dapat dilihat pada (Gambar 1).
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Ja n0 6
Ja n0 5
Ja n0 4
Ja n0 3
Ja n0 2
IHSG
Ja n0 1
Ja n0 0
IHSG
Grafik Pe rk e m bangan IHSG
Pe riode 2000 - 2006
Sumber: Bloomberg (2000-2006)
Gambar 1. Grafik Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan Periode Januari 2000 – Januari 2006
Saat ini Indonesia mempunyai berbagai hubungan kerjasama baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, kebudayaan dan keamanan dengan beberapa negara yang berada di kawasan Asia. Negara Indonesia termasuk ke dalam anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Pada saat pertengahan tahun 1997 terjadi krisis ekonomi mata uang yang melanda kawasan Asia dan telah memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia pada umumnya dan pasar modal pada khususnya. Krisis ekonomi mata uang yang melanda kawasan Asia Tenggara menimbulkan contagion effect (efek penularan) terhadap kawasan lain. Ketika mata uang bath Thailand jatuh pada 2 Juli 1997, tidak ada yang menyangka bahwa peristiwa ini merupakan awal dari terjadinya krisis ekonomi yang terhebat sejak era Great Depression. Krisis ini menyebar tidak hanya wilayah Asia tapi juga ke Rusia dan Amerika Latin dan mengancam seluruh dunia. Selama sepuluh tahun belakangan mata uang bath diperdagangkan di kisaran 25 per dollar, tapi dalam satu malam merosot tajam kira-kira 25 persen. Currency speculators pun akhirnya menyebar dan menghantam Malaysia, Korea, Filipina dan Indonesia. Secara teoritis karakter penyebaran krisis Asia ini dapat dijelaskan karena adanya dampak spillover sebagai akibat dari keterkaitan perdagangan (trade linkages), di mana devaluasi di suatu negara akan berimbas kepada partner dagangnya. Indonesia sendiri negara yang paling parah terkena dampak krisis. Pasar modal jatuh dari 80 persen dan nilai tukar rupiah terhadap dollar jatuh 75 persen (Hadi, 2004). Selanjutnya, gejolak di kawasan Asia ini menimbulkan
goncangan di bursa saham Wall Street, New York, AS. Jadi, memang tampak seperti rentetan persoalan yang meledak secara berurutan dari satu kawasan menjalar ke kawasan lain. Di Indonesia, kondisi pasar modal yang sempat mengalami peningkatan yang pesat juga mengalami penurunan yang diakibatkan oleh krisis tersebut. Memburuknya kondisi perekonomian pada tahun 1997 dan 1998 telah membawa dampak berupa penurunan kinerja pada pasar modal Indonesia. Penurunan kinerja emiten telah membawa akibat berupa kerugian yang dialami oleh sejumlah investor, sehingga banyak investor yang menarik kembali dananya dari pasar modal Indonesia. Berdasarkan data pada Tabel 1., dapat dilihat kinerja pasar modal Indonesia beserta beberapa indikator yang mempengaruhinya. Tabel 1. Indikator Pasar Modal (Tahun 1995-2003) Tahun IHSG (poin) Nilai Kapitalisasi Pasar Rp (Milyar) 1995 513.84 152246.46 1996 637.43 215026.08 1997 401.71 159929.86 1998 398.03 175728.98 1999 676.91 451814.92 2000 416.32 259620.96 2001 392.03 239258.73 2002 424.94 268422.78 2003 691.89 460365.96
Nilai Perdagangan Saham Rp (Milyar) 32357.50 75729.89 120385.17 99684.70 147879.99 122774.76 97522.82 120762.78 125437.61
Sumber : Bursa Efek Jakarta (BEJ)
Tabel 1. menunjukkan nilai kapitalisasi pasar yang mengalami kenaikan drastis pada tahun 1999 sebesar 157.1 persen dan menghasilkan nilai perdagangan saham sebesar Rp 147879.99 Milyar. Nilai perdagangan saham dari hasil transaksi di bursa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tetapi pada tahun 1997 terjadi penurunan sebesar 9.4 persen dari nilai volume perdagangan sebelumnya.
Hal ini disebabkan pada pertengahan tahun 1997, Indonesia dilanda krisis moneter sebagai akibat dari krisis keuangan yang terjadi di Thailand. Selain itu pula, terjadi penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 45.77 persen atau penurunan poin dari 401.71 poin menjadi 398.03 poin. Tetapi setelah itu aktivitas perdagangan di pasar bursa berangsur-angsur membaik, terlihat dari tahun 1998 nilai volume perdagangan mengalami peningkatan kembali. Di negara-negara ASEAN (Indonesia dan Singapura) dan negara Asia (Hongkong) sistem keuangan didasarkan pada sektor perbankan, adanya krisis ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang cukup rumit. Para pemimpin ASEAN menempatkan perubahan keuangan sebagai kebijakan ekonomi yang paling utama dimana yang terjadi di Thailand dengan cepat menularkan kepada negara tetangga (Hongkong dan Singapura) yang memiliki karakteristik dalam hal pokok makroekonomi. Penularan tersebut menyebabkan terjadinya hubungan antar pasar modal dan dapat mengembangkan pasar obligasi ASEAN (Indonesia dan Singapura) dan pasar obligasi negara Asia (Hongkong). Adanya pengembangan pasar obligasi negara-negara tersebut dalam pasar uang mengakibatkan besarnya jumlah aliran modal yang masuk pada wilayah ini. Pasar uang dengan aliran modal yang besar akan membiayai penanaman modal dalam negeri dalam rangka menaikkan pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut. Krisis
ekonomi
mulai
terjadi
di
dalam
negeri
dan
kemudian
membentangkan ke negeri lainnya melalui keuangan dan pasar modal. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi interaksi dinamis di antara pasar modal ASEAN (Indonesia dan Singapura) dan pasar modal negara Asia (Hongkong). Secara
operasional, pengintegrasian pasar modal mengacu pada tingkat bahwa pasar memungkinkan dan mewajibkan untuk berinteraksi dengan pasar di negara lain dengan menggunakan semua peluang dan informasi yang tersedia. Integrasi pasar keuangan global yang terjadi sangat rentan dan mengandung ketidakpastian yang tinggi. Dengan adanya suatu informasi yang tersedia dan cukup mengenai kondisi dan pergerakan pasar maka dapat membuat suatu keputusan yang tepat untuk pasar berintegrasi, sedangkan pengintegrasian pasar uang digambarkan dengan kaitan dengan saling ketergantungan harga antar pasar. Di negara-negara maju, pasar modal demikian terintegrasi sehingga para investor dapat melakukan investasi maupun diversifikasi internasional. Pasar modal Singapura mempunyai derajat integrasi yang tinggi. Para peneliti menggolongkan negara tersebut sebagai pasar obligasi kelas dunia. Singapura memiliki bank investasi, korporasi multinasional dan bank pembangunan regional yang secara konsisten menaikkan modal dalam mata uang lokal. Beberapa hambatan (barriers) tetap berlaku untuk meningkatkan likuiditas dalam pasar sekunder. Sebelum pasar regional diguncang krisis, harus dilakukan penyelarasan agar tercapai pengintegrasian atau penyatuan yang sepadan. Pasar obligasi regional perlu dikembangkan untuk meningkatkan pasar modal. Sektor perbankan menjadi tiang yang paling utama didalam sistem keuangan ASEAN, sehingga perubahan perbankan sangat perlu agar tujuan kebijakan perekonomian tercapai. Pergerakan transaksi saham dapat saling berkaitan antar negara. Terlebih dengan adanya pasar obligasi ASEAN (Indonesia dan Singapura) dan pasar obligasi negara Asia (Hongkong) maka pergerakan saham di Indonesia yaitu
IHSG mempunyai keterkaitan dengan pergerakan di negara lainnya. Negara Indonesia dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta, Hong Kong dengan Hangseng dan Singapura dengan STI. Ada kalanya kenaikan pada bursa regional diikuti penurunan IHSG dan pelemahan pada bursa regional justru direspons dengan penguatan IHSG. Sementara, pada bursa regional yang tidak bergerak tetapi IHSG pergerakannya luar biasa. Pergerakan saham tersebut akan ditunjukkan pada (Tabel 2). Pergerakan
IHSG
dapat
diamati
melalui
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya, diantaranya adalah kondisi makroekonomi, politik, keamanan dan globalisasi. Kondisi makroekonomi semakin kondusif, dimana semakin banyak investor yang percaya untuk investasi di Indonesia, baik melalui investasi langsung maupun investasi portofolio. Tabel 2. Indeks Harga Saham (Tahun 1996-2006) Tahun IHSG Hangseng 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
637.43 401.71 398.03 676.91 416.32 392.03 424.94 691.89 822.11 1111.11 1493.34
11832.99 13375.79 9498.45 13542.42 16076.70 11787.77 10006.24 10504.34 13079.39 14505.72 17395.10
STI 1982.96 1796.25 1206.49 2046.88 2023.60 1585.95 1512.39 1527.76 1936.95 2251.64 2630.87
Sumber : Bursa Efek Jakarta (BEJ)
Dana yang mengalir ke BEJ dapat mengakibatkan meningkatnya IHSG. Dan jika kondisi makroekonomi mengkhawatirkan, banyak investor yang meninggalkan pasar modal dengan
menarik modalnya dari BEJ yang
mengakibatkan penurunan pada IHSG. Selain faktor ekonomi dan keuangan, ada faktor lain yang dapat mempengaruhi pergerakan IHSG faktor tersebut adalah politik dan keamanan. Pada bulan Agustus 2000 terjadi ledakan bom di BEJ dan mengakibatkan penurunan IHSG yang sangat tajam. IHSG meningkat secara tajam pada saat Presiden SBY dilantik pada Oktober 2004. Hal ini menandakan bahwa faktor politik dapat mempengaruhi pergerakan IHSG (Nachrowi, 2006). Adanya globalisasi telah mengubah dunia menjadi tanpa batas. Karena yang terjadi di suatu tempat akan cepat diketahui di tempat lain yang jaraknya beribu-ribu mil. Aktivitas ekonomi tentunya tidak akan terlepas dari pengaruh globalisasi. Perubahan kondisi di Timur Tengah dapat dengan cepat mengubah harga minyak dunia dan meledaknya bom di suatu tempat akan mengancam pariwisata di tempat tersebut dengan cepat. Situasi ini akan terjadi dalam pasar modal. Pasar modal merupakan salah satu cermin kondisi perekonomian suatu negara. Akibat globalisasi, kondisi perekonomian dunia akan mempengaruhi perekonomian negara. Lebih dari itu bursa saham pengintegrasian dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti
:
1)
Pengintegrasian
ekonomi
yang
berarti
semakin
mengintegrasikan ekonomi suatu negara, dimana dapat mengintegrasikan kekayaan pasar obligasi mereka, 2) Berbagai daftar bursa saham yang menyiratkan bahwa suatu goncangan di dalam bursa saham tertentu akan mengakibatkan menularnya pada bursa saham negara lainnya, 3) Adanya regulasi dan penghalang informasi, 4) Institusionalisasi, dimana memindahkan dana luar
negeri maka pengintegrasian akan dipromosikan, 5) Adanya contagion effect, dimana harga antar bursa saham dapat bergerak bersama-sama dalam kaitan dengan efek penularan dan efek ini menentukan hubungan yang dinamis antara bursa saham internasional. Sehubungan dengan adanya pengintegrasian pasar modal, dalam penelitian ini akan dilihat faktor ekonomi apa yang mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional dan seberapa besar faktor tersebut mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional. Indikator yang akan digunakan sebagai cermin kondisi perekonomian makro negara adalah indeks harga saham, tingkat suku bunga dan tingkat inflasi. 1.2 Perumusan Masalah Pergerakan saham pada bursa regional akan memberikan pengaruh pada setiap negara. Penguatan indeks pada bursa regional memberikan sentimen positif dan negatif di pasar saham PT. Bursa Efek Jakarta (BEJ). Demikian pula sebaliknya, pergerakan bursa saham Indonesia akan memberikan pengaruh terhadap pergerakan bursa saham regional (Singapura dan Hongkong). Naik turunnya IHSG dan bursa saham lainnya disebabkan oleh beberapa faktor ekonomi dan non ekonomi. Melalui analisis ini akan diketahui faktor ekonomi apa yang berpengaruh terhadap integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional dan seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh faktor ekonomi tersebut. Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia sejak pertengahan tahun 1997 telah membuat pasar modal dan perekonomian di setiap negara mengalami goncangan khususnya di Indonesia dan kawasan Asia lainnya. Adanya krisis
ekonomi akan menimbulkan contagion effect terhadap kawasan lain. Dengan adanya efek penularan maka negara-negara berinteraksi dan akan menciptakan suatu integrasi pasar di kawasan Asia. Integrasi pasar akan meningkatkan kinerja pasar modal dan meningkatkan perekonomian di masing-masing negara. Indonesia memiliki hubungan keterkaitan pergerakan harga saham dengan negaranegara kawasan Asia (Hongkong dan Singapura). Oleh karena itu, hal-hal yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Faktor ekonomi apa yang mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional ? 2. Seberapa besar faktor ekonomi tersebut berpengaruh terhadap integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional. 2. Menganalisis
besaran
faktor-faktor
ekonomi
tersebut
dalam
mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian tentang analisis keterkaitan IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional berguna untuk mengetahui faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional. Setelah itu mengetahui
besaran faktor-faktor ekonomi tersebut dalam mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional. Hasil penelitian ini dapat memberikan suatu ilmu yang berharga khususnya tentang bursa saham yang sangat menarik untuk dipelajari. Terakhir, penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi penelitian selanjutnya sebagai salah satu literatur untuk penelitian yang bertemakan pasar modal.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini variabel makroekonomi yang digunakan adalah Money Market Rate (MMR) yang merefleksikan tingkat suku bunga dan Consumer Price Index (CPI) yang merefleksikan tingkat inflasi. Untuk melihat keterkaitan bursa saham Indonesia (IHSG) dengan Indeks Bursa Saham Regional penulis hanya menggunakan bursa saham Singapura (STI) dan bursa saham Hongkong (Hangseng) sebagai variabel yang mewakili bursa saham regional. Bursa saham Singapura dan Hongkong adalah bursa saham terdekat dan berpengaruh terhadap bursa saham Indonesia. Data penelitian dibatasi mulai Januari tahun 2000 sampai dengan Juni tahun 2006.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Investasi Menurut Mankiw (2003), investasi adalah barang-barang yang dibeli oleh individu dan perusahaan untuk menambah persediaan modal mereka. Menurut Lipsey, Courant, Purvis dan Steiner (1997) investasi adalah pengeluaran barang yang tidak dikonsumsi saat ini dimana berdasarkan periode waktunya, investasi dapat terbagi menjadi tiga diantaranya: investasi jangka pendek, investasi jangka menengah dan investasi jangka panjang. Investasi merupakan komitmen sejumlah dana suatu periode untuk mendapatkan pendapatan yang diharapkan di masa yang akan datang sebagai kompensasi unit yang diinvestasikan, mencakup waktu yang digunakan, tingkat inflasi yang diharapkan dan ketidakpastian masa mendatang (Sumanto, 2006). Pada dasarnya setiap orang atau perusahaan yang melakukan investasi akan mempunyai tujuan yang sama, yaitu memperoleh kesejahteraan bagi dirinya atau perusahaan tersebut. Hal ini juga berlaku sama bagi perusahaan emiten yang berinvestasi di pasar modal. Perusahaan yang berinvestasi di pasar modal berharap dapat memperoleh keuntungan dalam bentuk capital gain yang pada akhirnya dapat digunakan untuk meningkatkan investasi perusahaannya sehingga pendapatan perusahaan akan meningkat.
2.2 Pasar Modal 2.2.1 Definisi Pasar Modal Pasar modal adalah tempat bertemunya pihak yang membutuhkan dana (borrower) dengan pihak yang kelebihan dana (lender). Dalam hal ini lenders akan memberikan dananya pada borrower, sedangkan lenders akan memperoleh surat bukti (sekuritas) yang memiliki klaim atas aset-aset perusahaan. Umumnya produk-produk (sekuritas) yang ditawarkan di pasar modal adalah saham biasa, saham preferen, dan berbagai jenis obligasi, serta produk-produk derivatif. Pasar modal menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1995 adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, yaitu perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga atau profesi yang berkaitan dengan efek. Adapun efek yang dimaksud disini adalah surat berharga atau saham. Sedangkan menurut Usman dalam Anoraga dan Pakarti (2006), pasar modal adalah pelengkap sektor keuangan terhadap dua lembaga lainnya yaitu bank dan lembaga pembiayaan. Pasar modal memberikan jasanya yaitu menjembatani hubungan antara pemilik modal dalam hal ini disebut sebagai pemodal (investor) dengan peminjam dana dalam hal ini disebut dengan emiten (perusahaan yang go public). Sebagaimana fungsinya yang menjembatani hubungan antara pemilik dana dan pengguna dana, maka tujuan pasar modal adalah mengadakan alokasi tabungan secara efisien dari pemilik dana (saver) kepada pemakai dana terakhir (ultimate user). Dengan adanya pasar modal maka perusahaan yang membutuhkan
dana akan memperoleh dana yang mereka butuhkan untuk meningkatkan investasinya sehingga kapasitas produksinya akan bertambah dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi barang dan jasa serta memperluas lapangan kerja (Anwar, 2005). Pasar modal dibedakan menjadi pasar perdana dan pasar sekunder. Pasar perdana adalah pasar bagi sekuritas atau efek yang pertama kali diterbitkan atau diumumkan dalam pasar modal. Sedangkan pasar sekunder adalah pasar bagi efek yang sudah ada, dan sudah diperdagangkan dalam pasar modal. Pada pasar sekunder harga efek ditentukan oleh mekanisme pasar. Perkembangan pasar modal secara langsung dipengaruhi oleh banyaknya jumlah perusahaan yang menjual saham atau obligasi melalui pasar modal, jumlah emisi, perkembangan perusahaan-perusahaan yang telah memasyarakatkan saham, serta kegiatan jual beli saham atau obligasi antar anggota masyarakat yang dilakukan setiap hari di pasar sekunder. Pada pasar sekunder ini harga saham akan terbentuk
atas
dasar
kekuatan
permintaan
dan
penawaran,
sehingga
mencerminkan bagaimana penilaian investor atau calon investor terhadap pendapatan dan risiko dari masing-masing saham yang diperdagangkan. Hal ini secara tidak langsung mencerminkan penilaian investor terhadap perusahaan emiten. Menurut Haditomo (2005), perkembangan pasar modal juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian secara umum, karena keadaan ekonomi secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan dunia usaha. Situasi ekonomi yang lesu berakibat banyak perusahaan yang menderita rugi,
sehingga pendapatan bagi pemegang saham menurun atau bahkan perusahaan tidak mampu membayar deviden. Kondisi yang demikian akan menurunkan minat masyarakat untuk melakukan investasi dalam bentuk saham, karena pendapatan saham berupa deviden sangat tergantung pada kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Keadaan yang sebaliknya akan terjadi apabila situasi ekonomi akan membaik. Suta (1996) mengatakan bahwa pasar modal di Indonesia mempunyai jangkauan dan misi yang lebih luas. Jangkauan yang hendak dirangkum adalah mencakup tiga aspek mendasar. Ketiga aspek tersebut adalah : 1. Mempercepat proses perluasan pengikutsertaan masyarakat dalam pemilikan saham perusahaan, 2. Aspek pemerataan pemilikan saham perusahaan dan 3. Menggairahkan partisipasi masyarakat dalam penghimpunan dana untuk digunakan secara produktif. Kehadiran pasar modal di Indonesia harus dapat didayagunakan untuk memberikan manfaat bagi pemerintah, perusahaan dan masyarakat. Bagi pemerintah dampak positifnya adalah adanya pemupukan modal dalam negeri. Selain memperkecil pelarian modal keluar negeri, pasar modal bermanfaat dalam hubungan dengan perbankan dengan mengendalikan ekspansi kredit yang selalu meningkat. Dengan adanya pasar modal minimal ekspansi kredit dapat diperkecil sehingga perusahaan yang memerlukan dana dapat mencarinya melalui penjualan saham dan pengeluaran obligasi.
Sedang untuk masyarakat, daya tarik dan manfaat yang diperoleh adalah upaya untuk menambah nilai uang. Oleh karenanya, pasar modal di Indonesia merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan disamping sumbersumber lain seperti tabungan pemerintah, kredit perbankan, PMA, PMDN, bantuan luar negeri dan investasi dalam perusahaan. Dengan pemindahan modal dari pihak asing menjadi milik Indonesia, melalui pemilikan saham diharapkan sebagian laba yang mengalir keluar negeri dapat disedot dan dinikmati oleh Indonesia. Meskipun pasar modal di Indonesia berbeda mekanismenya, tapi fungsinya tetap sama dengan pasar modal di luar negeri. Ciri pasar modal di Indonesia seperti proses Indonesianisasi pemilikan saham, tidak terdapat dalam pasar modal di luar negeri. Sebagai contoh pasar modal di Jepang, Hongkong dan London (Inggris) tidak terdapat prinsip dan misi demikian. Negara Jepang tidak merasa perlu adanya misi Jepangnisasi. Ini tidak lain sebagai akibat dari ciri negara yang sudah maju, karena dalam negara maju jarang terdapat perusahaan asing (PMA).
2.2.2 Instrumen Pasar Modal Menurut Anoraga dan Pakarti (2006), pasar modal memperdagangkan instrumen pasar modal, yaitu semua surat-surat berharga (securities) yang diperdagangkan di bursa. Instrumen pasar modal tersebut antara lain saham, obligasi dan lain-lain.
a. Saham Menurut Anoraga dan Pakarti (2006), saham dapat didefinisikan sebagai surat berharga bukti penyertaan atau pemilikan individu maupun institusi dalam suatu perusahaan. Dengan memiliki saham di suatu perusahaan maka manfaat yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Deviden, adalah bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada pemilik saham. 2. Capital gain, adalah keuntungan yang diperoleh dari selisih jual dengan harga belinya. 3. Manfaat non-finansial yaitu timbulnya kebanggaan dan kekuasaan memperoleh hak suara dalam menentukan jalannya perusahaan. Dari berbagai saham yang dikenal di bursa, maka saham dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu saham biasa (common stock) dan saham preferen (preferred stock). Saham biasa merupakan saham yang tidak memperoleh hak istimewa. Pemegang saham biasa mempunyai hak untuk memperoleh deviden sepanjang perseroan memperoleh keuntungan, sedangkan saham preferen merupakan saham yang diberikan atas hak untuk mendapatkan deviden atau bagian kekayaan pada saat perusahaan dilikuidasi terlebih dahulu dari saham biasa, disamping itu mempunyai preferensi untuk mengajukan usul pencalonan direksi atau komisaris (Anoraga dan Pakarti, 2006). b. Obligasi Obligasi merupakan bukti pengakuan utang dari perusahaan. Obligasi mengandung suatu perjanjian atau kontrak yang melibatkan kedua belah pihak,
antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Penerbit obligasi menerima pinjaman dari pemegang obligasi dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur, baik mengenai jatuh tempo pelunasan utang, bunga yang dibayarkan, besarnya pelunasan dan ketentuan-ketentuan tambahan lainnya (Anoraga dan Pakarti, 2006).
2.3 Bursa Efek Bursa efek adalah lembaga atau perusahaan yang menyelenggarakan atau menyediakan fasilitas sistem (pasar) untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek antar berbagai perusahaan atau perorangan yang terlibat dalam tujuan perdagangan efek perusahaan-perusahaan yang telah tercatat di Bursa Efek. Menurut Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 menjelaskan bahwa bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek kepada pihakpihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek diantara mereka (Darmadji dan Fakhruddin, 2006). Di Indonesia, saat ini terdapat dua Bursa Efek, yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES). Pemegang saham Bursa Efek adalah perusahaan efek yang telah memperoleh izin usaha sebagai perantara pedagang efek (Darmadji dan Fakhruddin, 2006). Sebagai fasilitator, menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006), bursa efek mempunyai tugas yang harus dilakukan kepada calon investor agar dapat menjadikan bursa efek lebih dikenal oleh publik, yaitu :
1. Menyediakan sarana perdagangan efek, 2. Mengupayakan likuiditas instrumen yaitu mengalirnya dana secara cepat pada efek-efek yang dijual, 3. Menyebarluaskan informasi bursa ke seluruh lapisan masyarakat, 4. Memasyarakatkan pasar modal untuk menarik investor dan perusahaan yang go public dan 5. Menciptakan instrumen dan jasa baru. Sedangkan sebagai Self Regulatory Organization (SRO), menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006), bursa efek memiliki tugas sebagai berikut: 1. Membuat peraturan yang berkaitan dengan kegiatan bursa, 2. Mencegah praktek transaksi yang dilarang melalui pelaksanaan fungsi pengawasan dan 3. Ketentuan bursa efek mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi pelaku pasar modal.
2.4 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Berbicara tentang kegiatan pasar modal saat ini tidak terlepas dari apa yang disebut Indeks Harga Saham. Untuk mengetahui bagaimana kegiatan ekonomi bergerak, naik dan turun, banyak orang akan melihatnya dari sisi indeks yang dicapai pada saat itu. Secara sederhana, indeks harga adalah suatu angka yang digunakan untuk membandingkan suatu peristiwa dengan suatu peristiwa lainnya (Anoraga dan Pakarti, 2006). Demikian juga dengan indeks harga saham, indeks di sini akan
membandingkan perubahan harga saham dari waktu ke waktu. Apakah suatu harga saham mengalami penurunan atau kenaikan dibandingkan dengan suatu waktu tertentu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan pergerakan harga saham secara umum yang tercatat di bursa efek. Indeks inilah yang paling banyak digunakan dan dipakai sebagai acuan tentang perkembangan kegiatan di pasar modal. IHSG bisa dipakai untuk menilai situasi pasar secara umum atau mengukur apakah harga saham mengalami kenaikan atau penurunan. IHSG melibatkan seluruh harga saham yang tercatat di bursa (Anoraga dan Pakarti, 2006). Untuk perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan ini kita harus menjumlahkan seluruh harga saham yang tercatat. Rumus untuk menghitung Indeks Harga Saham Gabungan adalah sebagai berikut: IHSG =
∑ Ht ∑ H0
X 100%
(1)
dimana: ∑ Ht = Total harga semua saham pada waktu yang berlaku ∑ H0 = Total harga semua saham pada waktu dasar Dari angka indeks inilah kita bisa melihat apakah kondisi pasar sedang ramai, lesu atau dalam keadaan stabil. Jika angka IHSG menunjukkan diatas 100 berarti kondisi pasar sedang ramai, sedangkan pada saat IHSG menunjukkan dibawah 100 berarti pasar sedang lesu. Dan jika IHSG menunjukkan angka 100 maka pasar dikatakan stabil (Anoraga dan Pakarti, 2006).
2.5 Teori Tingkat Suku Bunga Para ekonom menyebutkan tingkat suku bunga yang dibayar bank sebagai tingkat suku bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan dalam daya beli masyarakat sebagai tingkat suku bunga riil (real interest rate) (Mankiw, 2003). Jika i menyatakan tingkat suku bunga nominal, r tingkat suku bunga riil dan πe tingkat inflasi harapan, maka hubungan di antara ketiga variabel ini dapat ditulis sebagai berikut : r = i – πe
(2)
Tingkat suku bunga riil adalah perbedaan di antara tingkat suku bunga nominal dan tingkat inflasi harapan. Tingkat suku bunga adalah tingkat bunga deposito bank-bank pemerintah bulanan. Dimana hubungan negatif antara tingkat suku bunga dan harga saham adalah semakin tinggi tingkat suku bunga maka semakin rendah investasi (biaya modal yang semakin tinggi) yang pada akhirnya berdampak semakin turunnya harga-harga saham.
2.6 Teori Inflasi Definisi inflasi banyak ragamnya. Keanekaragaman definisi (pengertian) tersebut terjadi karena luasnya pengaruh inflasi terhadap berbagai sektor perekonomian. Hubungan yang erat dan luas antara inflasi dan berbagai sektor perekonomian tersebut melahirkan berbagai perbedaan pengertian dan persepsi kita tentang inflasi. Demikian pula dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan untuk solusinya. Inflasi adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin
melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara (Permana, 2004). Menurut Friedman dalam Mankiw (2003) inflasi selalu dan dimanapun merupakan suatu fenomena moneter dan terjadi apabila kenaikan jumlah uang yang beredar lebih cepat daripada output. Menurut Lipsey et al., (1997) inflasi adalah kenaikan rata-rata semua tingkat harga. Kadang-kadang, kenaikannya terus-menerus dan berkepanjangan sehingga harus dibatasi. Naiknya harga-harga secara umum ini mengakibatkan nilai riil dari suatu mata uang terhadap barang dan jasa atau yang lebih dikenal dengan istilah daya beli menurun. Inflasi adalah kecenderungan barang-barang naik secara umum dan dalam jangka waktu yang tertentu. Hubungan positif antara inflasi dan harga saham adalah semakin tinggi inflasi maka semakin tinggi barang dan jasa yang pada akhirnya meningkatkan profit perusahaan dan harga sahamnya (Marciano, 2004). Sementara tingkat harga merupakan rata-rata tertimbang harga barang dan jasa di perekonomian yang diperoleh dengan bantuan indeks harga. Indeks harga yang banyak digunakan adalah indeks harga konsumen (IHK) atau Consumer
Price Index (CPI), PDB deflator dan Whole Price Index (WPI). Namun hampir semua negara dalam perhitungan inflasi menggunakan IHK. Inflasi dapat dibedakan antara inflasi yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter, yaitu inflasi inti (core inflation) dan inflasi yang tidak dipengaruhi oleh kebijakan moneter, yaitu inflasi sesaat (noise). Adapun indikator inflasi yaitu: 1. Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK
dari waktu ke waktu menunjukkan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. 2. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) merupakan indikator yang menggambarkan
pergerakan
harga
dari
suatu
komoditi yang
diperdagangkan di suatu daerah.
2.7 Indeks Harga Konsumen (IHK) Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI), sering digunakan untuk menentukan biaya hidup dan dahulu disebut cost-of-living index, mengukur perubahan harga untuk suatu kombinasi belanja barang dan jasa. Jika GDP mengubah jumlah berbagai barang dan jasa menjadi sebuah angka tunggal yang mengukur nilai produksi, maka IHK mengubah harga berbagai barang dan jasa menjadi sebuah indeks tunggal yang mengukur seluruh tingkat harga. IHK juga dapat didefinisikan sebagai harga sekelompok barang dan jasa relatif terhadap harga sekelompok barang dan jasa yang sama pada tahun dasar (Mankiw, 2003).
2.8 Hubungan Inflasi, Suku Bunga dengan Harga Saham Variabel yang berhubungan dengan harga saham adalah tingkat inflasi. Besar kecilnya laju inflasi akan mempengaruhi suku bunga riil. Hal ini cukup berpengaruh bagi instrumen-instrumen pasar modal. Bila inflasi mengalami kenaikan maka pemerintah akan berusaha untuk menurunkannya dengan cara mengendalikan jumlah uang beredar. Hal ini menyebabkan meningkatnya tingkat
suku bunga riil. Dengan meningkatnya tingkat suku bunga riil maka akan menyebabkan investor cenderung untuk mengurangi kegiatan investasinya. Dana investasi akan cenderung untuk diendapkan dalam bentuk deposito karena return yang ditawarkan deposito lebih besar dibandingkan dengan return yang ditawarkan pasar saham. Dengan berkurangnya transaksi di pasar saham tersebut maka akan menyebabkan turunnya harga saham (Vimala, 2005). Inflasi ↑→ pemerintah
mengendalikan
JUB → tingkat
suku
bunga
riil ↑→ investasi ↓→ IHSG ↓ Hubungan antara suku bunga dengan harga saham dapat dilihat dari hubungan antara suku bunga dengan investasi. Investasi sangatlah dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Bila suku bunga mengalami kenaikan maka masyarakat cenderung untuk tidak berinvestasi karena memilih untuk menanamkan modalnya dalam tabungan atau deposito. Hal ini dikarenakan dengan tingkat suku bunga yang tinggi maka return yang akan diterima akan lebih tinggi dibandingkan dengan berinvestasi dalam pasar modal. Ini menyebabkan berkurangnya transaksi di pasar modal terutama pasar saham sehingga akan menyebabkan penurunan harga saham. Bila hal sebaliknya yang terjadi, dengan menurunnya tingkat suku bunga maka akan menyebabkan masyarakat tidak menanamkan modalnya dalam tabungan atau deposito. Masyarakat akan menginvestasikan modalnya pada instrumen investasi dengan imbalan hasil yang lebih tinggi dan salah satu pilihan adalah dengan berinvestasi dalam pasar modal. Hal ini menyebabkan transaksi
pasar modal akan meningkat dan menyebabkan harga saham ikut mengalami peningkatan.
2.9 Globalisasi Ekonomi Globalisasi secara sederhana diartikan sebagai integrasi perekonomian suatu negara ke dalam perekonomian dunia (global). Proses integrasi perekonomian global itu sendiri, antara lain dicerminkan oleh adanya liberalisasi perdagangan dan investasi (ekonomi) (Darwin, 2005). Gejala globalisasi terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, investasi dan perdagangan yang kemudian mempengaruhi tata hubungan ekonomi antarbangsa. Proses globalisasi itu telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antarnegara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antarnegara dalam berbagai praktik dunia usaha atau bisnis seakanakan dianggap tidak berlaku lagi (Halwani, 2005). Lebih lanjut Halwani (2005) menjelaskan bahwa globalisasi ekonomi ditandai dengan makin menipisnya batas-batas investasi atau pasar secara nasional, regional ataupun internasional. Hal itu disebabkan oleh adanya hal-hal berikut ini: 1. Komunikasi dan transportasi yang semakin canggih. 2. Lalu lintas devisa yang semakin bebas. 3. Ekonomi negara yang makin terbuka. 4. Penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara.
5. Metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang makin efisien. 6. Semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seluruh dunia. Dua kata kunci di dalam globalisasi adalah interaksi dan integrasi, yakni interaksi ekonomi antar negara dan tingkat integrasinya. Interaksi ekonomi antar negara mencakup arus perdagangan, produksi dan keuangan, sedangkan integrasi berarti bahwa perekonomian lokal atau nasional setiap negara secara efektif merupakan bagian yang tidak otonom dari satu perekonomian tunggal dunia. Jadi pengertian integrasi lebih keras atau tegas dibandingkan interaksi. Berdasarkan kedua kata kunci tersebut pengertian globalisasi ekonomi adalah bahwa suatu kondisi dimana perekonomian nasional dan lokal terintegrasi kedalam satu perekonomian tunggal yang bersifat global (Thoha, 2001).
2.10 Integrasi Ekonomi Integrasi ekonomi adalah kebijakan komersial atau perdagangan yang secara diskriminatif mengurangi atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya di antara pihak tertentu saja, yakni di negara-negara yang memutuskan untuk bersatu membentuk integrasi ekonomi tersebut. Menurut Djamalius dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua pembatasan-pembatasan (barriers) yang dibuat terhadap bekerjanya perdagangan bebas dan dengan jalan memasukkan semua bentuk-
bentuk kerja sama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih besar, menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nasional. Menurut Zarwin dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi internasional didefinisikan sebagai proses dan alat yang dipakai oleh sebuah kelompok negara untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Integrasi ini dapat terwujud apabila kerja sama antar negara, baik itu negara lemah maupun kuat, dapat mencapai tujuan yang dikehendaki dengan lebih efisien dibandingkan dengan kebijakan lainnya. Integrasi membutuhkan pembagian buruh dan kebebasan pergerakan barang dan jasa antar negara anggota, lebih lanjut integrasi memerlukan kebebasan mobilitas faktor-faktor produksi antar negara anggota dan penerapan proteksi terhadap faktor-faktor ini dengan negara di luar negara anggota. Dalam penelitian ini integrasi IHSG dengan indeks bursa saham regional mempunyai arti sebagai penyatuan bursa-bursa saham dengan menganalisis keterkaitan atau hubungannya dilihat dari harga saham, suku bunga dan tingkat inflasi. Adapun negara-negara yang akan diteliti adalah Indonesia, Hongkong dan Singapura. Suku bunga, tingkat inflasi dan harga saham Indonesia memiliki keterkaitan dengan suku bunga, tingkat inflasi, harga saham Hongkong dan Singapura. Indeks Bursa Saham (IHSG) berkorelasi positif dan negatif dengan Indeks Bursa Regional (Hangseng dan STI). Adanya penyatuan atau integrasi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan pasar modal di masing-masing negara.
Saham di bursa-bursa Asia melemah terpengaruh anjloknya saham Wall Street. Di Hong Kong, indeks Hangseng turun dan indeks STI mengalami penurunan terendah dalam dua tahun terakhir mengikuti penurunan indeks Dow Jones. Menurut para investor, penurunan tingkat suku bunga bisa mengangkat ekonomi karena bisa menurunkan harga barang konsumen (Hariyanto, 2001). Contoh lain, menjelang akhir tahun 2006 lalu, dapat dilihat bahwa Bursa Efek Jakarta bersama dengan bursa Shanghai China dan Mumbai India merupakan trio bursa di Asia dengan kinerja paling baik. Ketiganya bersama-sama memecahkan rekor indeksnya masing-masing. Diketahui bahwa pertumbuhan indeks sebesar 57.25 persen dicapai bursa Jakarta, 65.05 persen oleh bursa Shanghai dan 48.64 persen oleh bursa Mumbai. Memasuki masa peralihan semester pertama dan kedua sempat terjadi penurunan indeks akibat ketidakpastian tingkat suku bunga global. Tetapi, setelah itu indeks di BEJ terus melaju dan sempat mencapai level 1.800. Inflasi yang terkendali dan tingkat suku bunga yang terus menurun membuat optimisme ke lantai bursa. Dimana para investor tertarik untuk membeli saham di bursa.
2.11 Hubungan IHSG dengan Indeks Regional Globalisasi adalah salah satu penyebab dari korelasi antara IHSG dengan berbagai indeks yang ada di berbagai belahan dunia. Investor, baik perseorangan maupun yang tergabung dalam sebuah fund yang dikelola oleh seorang fund manager, bisa dengan bebas melakukan alokasi aset tanpa melihat batas-batas
negara. Secara khusus, fund manager ini membuat IHSG berhubungan dengan
bursa yang lain. Maraknya pembentukan fund regional yang menggunakan indeks yang terdiri dari saham-saham yang ada dalam satu regional sebagai benchmark, adalah penyebab dari semakin besarnya korelasi antara IHSG dengan berbagai indeks regional. Fund manager regional bisa dengan bebas memasukkan portofolio
regionalnya dari satu negara ke negara yang lain. Fund manager bisa saja keluar dari suatu negara untuk menginvestasikan dana yang dimilikinya selama kedua bursa tersebut masih berada dalam satu regional. Sebagai contoh, untuk 2006, arus dana asing memang cenderung untuk keluar dari bursa Korea dan Taiwan, tapi masih masuk untuk bursa Indonesia dan India. Beberapa fund manager menggunakan indeks regional sebagai benchmark dari prestasinya dalam melakukan investasi. Indeks regional ini adalah indeks yang komponennya terdiri dari saham-saham yang listed di beberapa negara. Fund manager yang menggunakan indeks regional sebagai benchmark bisa jadi
cenderung untuk keluar dari seluruh region apabila terjadi guncangan di satu negara yang menjadi tujuan investasinya (Utomo, 2007). Contoh indeks regional ini adalah MSCI Asia Ex Japan yang berisi sahamsaham yang diperdagangkan di bursa-bursa utama Asia di luar Jepang, atau FTSE atau ASEAN 40 Index yang berisi saham-saham yang ada di bursa ASEAN. Selain itu Nikkei 225 Bursa Saham Jepang, Hangseng Bursa Saham Hongkong, Strait Times Bursa Saham Singapura, SET Bursa Saham Thailand dan lain-lain.
2.12 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang telah dilakukan oleh Atmadja (2005) tentang ”Are The Five ASEAN Stock Price Indices Dynamically Interacted ?“, bertujuan meneliti
interaksi dinamis antara indeks harga saham yang terdapat di lima negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand yang terjadi selama masa krisis finansial Asia tahun 1997 dan periode sesudahnya. Dengan menggunakan data time series bulanan indeks harga saham dari kelima negara tersebut selama periode penelitian, suatu Vector Error Correction Model (VECM) diaplikasikan untuk meneliti secara empiris interaksi dinamis yang terjadi diantara berbagai variabel yang dipergunakan dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian ditemukan dua vektor kointegrasi selama masa penelitian, dan analisa inovasi akuntansi menunjukkan adanya interaksi dinamis jangka pendek diantara pasar saham tersebut. Implikasi penting yang mungkin perlu diperhatikan dari penemuan ini adalah bahwa diversifikasi portofolio saham pada lima pasar saham tersebut agaknya tidak akan signifikan mengurangi tingkat resiko investasi. Hal ini dikarenakan oleh tingginya tingkat integrasi diantara pasar saham tersebut. Selain itu, Vimala (2005) menganalisis hubungan antara pasar modal dengan variabel makroekonomi yang terdiri dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), uang beredar, inflasi, suku bunga deposito, suku bunga SBI dan nilai tukar. Dalam penelitian ini, digunakan model ekonometrika yang dianalisis dengan menggunakan alat analisis Vector Autoregression (VAR).
Setelah dilakukan pengolahan diperoleh adanya hubungan antara pasar modal yang diasumsikan dengan menggunakan IHSG dengan variabel makroekonomi yang terdiri dari jumlah uang beredar, inflasi, suku bunga deposito, nilai tukar dan suku bunga SBI. Hubungan yang signifikan terjadi antara IHSG dengan jumlah uang beredar, inflasi dan nilai tukar. Penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) periode setelah krisis antara tahun 2000-2004 dilakukan oleh Goerdie (2005). Penelitian ini menggunakan variabel IHSG dan variabel-variabel ekonomi seperti jumlah uang beredar, nilai tukar, suku bunga SBI dan GDP. Penelitian ini diolah dengan menggunakan software E-views dengan alat analisis Ordinary Least Square (OLS). Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa jumlah uang beredar dan GDP mempunyai hubungan positif terhadap IHSG. Sedangkan nilai tukar dan suku bunga SBI mempunyai hubungan yang negatif terhadap IHSG. Eprianti (2005), melakukan penelitian tentang ”Integrasi Pasar Modal dengan Perbankan Dalam Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”. Metode yang digunakan adalah metode Vector Autoregression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM) , dengan menggunakan variabel nilai volume perdagangan saham, Gross Domestic Product (GDP), suku bunga deposito, IHSG dan NPL. Penelitian ini menganalisis integrasi pasar modal dan perbankan di Indonesia dilihat dari sudut pandang sebagai lembaga pembiayaan sektor riil, kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Hasil penelitian bahwa berdasarkan hasil uji kointegrasi, terdapat satu persamaan kointegrasi. Mengindikasikan adanya hubungan jangka panjang dalam model. Dari hasil estimasi VECM, indikator pasar modal signifikan terhadap indikator perbankan. Pengujian estimasi VECM juga memperlihatkan signifikansi dari indikator perbankan dalam mempengaruhi nilai indikator pasar modal. Hasil uji kausalitas multivariat menunjukkan bahwa semua variabel dalam model mempunyai hubungan dengan pertumbuhan ekonomi pada taraf satu persen. Adanya hubungan kausalitas tersebut mengindikasikan bahwa terintegrasinya pasar modal dengan perbankan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini dapat dibedakan dengan penelitian sebelumnya dalam pembuktian
tentang
integrasi
pasar
modal
dengan
perbankan
dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dapat dilihat dari variabel yang digunakan. Pengertian integrasi indeks harga saham gabungan dengan indeks bursa saham regional dalam penelitian ini adalah penyatuan IHSG tersebut dengan Indeks Bursa Saham Regional. Sedangkan bursa saham regional yang dimaksud adalah bursa saham Hangseng (Hongkong) dan bursa saham Strait Times (Singapura). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vector Autoregression (VAR) dilanjutkan dengan estimasi Vector Error Corection Model (VECM). Analisis data menggunakan software eviews versi 4.1.
2.13 Kerangka Pemikiran Pada saat terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, perekonomian Indonesia benar-benar mengalami keterpurukan. Krisis moneter tersebut ditandai dengan adanya depresiasi mata uang rupiah yang berlangsung secara terus-menerus. Depresiasi mata uang rupiah tersebut mengakibatkan tingkat inflasi mengalami kenaikan dan semakin memperburuk perekonomian Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melakukan pengetatan uang beredar dengan mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat. Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar, salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan meningkatkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dengan meningkatnya tingkat suku bunga SBI menyebabkan tingkat suku bunga deposito juga mengalami kenaikan. Selain faktor ekonomi makro juga ada beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi saham yaitu faktor politik, faktor keamanan dan arus globalisasi. Adanya krisis moneter dapat menimbulkan contagion effect (efek penularan), pada saat kondisi perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan, kondisi pasar modal juga mengalami penurunan yang ditandai dengan melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan. Begitu juga dengan pergerakan saham di negara lain (Hongkong dan Singapura) yang akan terpengaruh karena adanya krisis moneter tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis integrasi Indeks Harga Saham Gabungan dengan Indeks Bursa Saham Regional. Dengan menggunakan faktor-faktor ekonomi akan diketahui faktor ekonomi apa yang mempengaruhi
integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional dan seberapa besar faktor ekonomi tersebut mempengaruhi integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional. Dari penjelasan di atas, dapat dibuat skema secara sistematis kerangka pemikiran pada (Gambar 2). Pasar Modal 1. Inflasi (CPI) 2. Suku Bunga (MMR) IHSG
Indeks Saham
3. Faktor politik 4. Faktor keamanan 5. Globalisasi
Bursa Saham Regional (Hangseng dan STI)
• Integrasi
•
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Metode VAR/ VECM Deskriptif
2.14 Hipotesis Penelitian mengenai Analisis Keterkaitan Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta Dengan Indeks Bursa Saham Regional ini memiliki empat hipotesis, yaitu : 1a. Tingkat inflasi (consumer price index) memiliki hubungan negatif dengan harga saham. 1b. Tingkat suku bunga (money market rate) memiliki hubungan negatif dengan harga saham. 1c. Pergerakan bursa saham IHSG dipengaruhi oleh pergerakan bursa saham regional (Bursa saham Singapura dan bursa saham Hongkong). 2. Diduga bahwa besaran faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi integrasi IHSG dengan bursa regional berbeda-beda.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series dari bulan Januari 2000 sampai Juni 2006. Data yang digunakan adalah data Indeks Harga Saham (IHSG, Hangseng dan STI), data consumer price index (CPI Indonesia, CPI Hongkong dan CPI Singapura) yang
merefleksikan tingkat inflasi dan data money market rate ( MMR Indonesia, MMR Hongkong dan MMR Singapura) yang merefleksikan tingkat suku bunga. Data-data tersebut diperoleh dari Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Tabel 3. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data No Jenis Data Satuan Simbol 1. Indeks harga saham IHSG, Hangseng,STI 2. Consumer price index CPII, CPIH, CPIS 3. Money market rate persen MMRI, MMRH, MMRS
Sumber BAPEPAM BI BI
Sumber: BI dan BAPEPAM (2007)
3.2 Metode Analisis Data Penelitian ini akan menggunakan alat analisis Vector Autoregression (VAR). Jika data yang digunakan stasioner dan tidak terkointegrasi atau dengan menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model (VECM) jika data yang digunakan tidak stasioner namun terkointegrasi. Vector
Autoregression
(VAR) adalah salah satu
bentuk
model
ekonometrika yang menjadikan suatu peubah sebagai fungsi linear dari konstanta
dan lag dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang terdapat dalam suatu sistem persamaan tertentu. Keunggulan metode VAR dibandingkan dengan metode ekonometri konvensional adalah : 1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks keseluruhan
(multivariat),
sehingga
dapat
menangkap
hubungan
variabel di dalam persamaan itu.
2. Uji VAR yang multivariat bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan. 3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogenous. 4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable endogenty and exogenty) di dalam model ekonometri konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah. Namun model VAR juga memiliki banyak kritik sehingga terdapat banyak beberapa kelemahan. Menurut Gujarati (1978), kelemahan VAR antara lain: 1. Model VAR lebih bersifat teori karena tidak memanfaatkan informasi dari teori-teori terdahulu; 2. Karena lebih menitikberatkan pada peramalan (forecasting), maka model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan;
3. Tantangan terberat dalam VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat; 4. Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner; 5. Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan. Secara keseluruhan, metode yang akan digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam empat tahap: 1. Pengujian nonstasioneritas data dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF).
2. Apabila hasil uji ADF mengandung akar unit, maka dilakukan penarikan differensial sampai data stasioner. Jika variabel dalam analisis tidak stasioner pada level, maka pendekatan VAR harus dikombinasikan dengan VECM. 3. Menentukan lag optimal dengan menggunakan kriteria Akaike Information
Criteria
Johansen untuk
(AIC).
Kemudian
digunakan
pendekatan
memperoleh rank kointegrasi dengan tujuan
mendapatkan persamaan kointegrasi jangka panjang. Setelah jumlah rank ditentukan maka dapat dilakukan pendekatan VECM untuk
memperoleh persamaan jangka pendek dan jangka panjang. 4. Perilaku guncangan suatu variabel dan peran masing-masing guncangan terhadap variabel tertentu dengan menggunakan Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD).
3.2.1 Model Umum Vector Autoregression Hubungan kausalitas antar variabel di dalam sistem persamaan multivariat lebih rumit dibandingkan dengan bivariat. Persamaan VAR yang dapat dibentuk adalah sebagai berikut: ⎡ Yt ⎤ ⎡ a11 ( L) a12 ( L) a13 ( L) ⎤ ⎡ Yt ⎤ ⎢ Xt ⎥ = ⎢a ( L) a ( L) a ( L)⎥ ⎢ Xt ⎥ + 22 23 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ 21 ⎢⎣ Zt ⎥⎦ ⎢⎣ a31 ( L) a32 ( L) a33 ( L) ⎥⎦ ⎢⎣ Zt ⎥⎦
⎡ ut ⎤ ⎢ vt ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ wt ⎥⎦
(3)
Hsiao dalam Natassyari (2006) secara terperinci telah membuat teorema pola hubungan antara variabel dalam sistem variabel berdasarkan nilai dalam aij sebagai berikut : 1. Bila variabel X tidak mempengaruhi Z, syaratnya adalah : a32(L) = 0 2. Bila variabel X mempengaruhi Z, syaratnya adalah : a32(L) ≠ 0 3. Hubungan timbal balik antara variabel X dan Z, bila : a32(L) ≠ 0 dan a23 (L) ≠ 0 4. Hubungan tidak langsung dari variabel X dan Z melalui Y, syaratnya : a32 (L) = 0 ; a31 (L) ≠ 0 ; a12 (L) ≠ 0 Hubungan palsu jenis I dari variabel X terhadap Z jika dan hanya jika terdapat
kondisi :
a21 (L) = 0 ; a32 (L) ≠ 0, untuk semua panjang lag 5. Hubungan palsu jenis II dari variabel X terhadap Z jika dan hanya jika terdapat kondisi : a32 (L) = 0 ; a12 (L) = 0, untuk semua panjang lag k dan
a31 (L) ≠ 0 ; a21 (L) ≠ 0, untuk semua panjang lag k
3.2.2 Uji Stasioneritas Banyak studi empiris yang menunjukkan bahwa variabel time series tidak stasioner. Sehingga salah satu hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian yang menggunakan data time series adalah uji stasioneritas. Data time series dikatakan stasioner jika secara stokastik data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu, atau dengan kata lain, tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data, secara kasarnya data harus horizontal sepanjang sumbu waktu. Data time series yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga saham dan dua variabel makroekonomi yaitu tingkat inflasi dan tingkat suku bunga. Uji stasioneritas dapat dilakukan dalam beberapa metode. Metode yang paling banyak digunakan adalah menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Berdasarkan ADF test, jika didapat nilai ADF statistik lebih kecil daripada nilai kritis McKinnon maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. Namun jika uji ADF dilakukan dan data time series tersebut diketahui tidak stasioner maka perlu dilakukan difference non stasionary processes atau uji stasioneritas pada tingkat difference.
3.2.3 Penetapan Lag Optimum Penetapan lag optimum merupakan bagian penting dalam VAR. Untuk memperoleh lag optimum yang tepat dapat dilakukan dalam beberapa bentuk pengujian. Pada tahap pertama dapat dilihat selang maksimal dari model VAR
yang stabil. Untuk memperoleh selang maksimal dapat dilakukan dengan mengestimasi model VAR pada tingkat lag yang berbeda-beda sampai ditemukan selang maksimum yang stabil. Selanjutnya lag optimum dapat dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kriteria informasi yang biasa digunakan dalam penentuan lag optimum adalah Akaike Information Criteria (AIC) dan Schwarz Information Criteria (SIC). Lag optimum dapat diperoleh dengan membandingkan nilai AIC dan SIC. Nilai AIC dan SIC yang terkecil yang dipakai sebagai patokan nilai lag optimum karena AIC dan SIC minimum menggambarkan residual (error) yang paling kecil.
3.2.4 Uji Kointegrasi Dalam VAR semua variabel yang digunakan harus stasioner. Apabila variabel tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi. Kointegrasi menggambarkan kombinasi linier dari variabel-variabel yang tidak stasioner. Jika variabel yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh persamaan yang stabil (Enders, 2004). Pengujian hubungan kointegrasi dilakukan dengan menggunakan lag optimum sesuai dengan pengujian sebelumnya. Sementara penentuan asumsi deterministik yang melandasi pembentukan persamaan kointegrasi didasarkan pada nilai kriteria informasi AIC dan SIC. Berdasarkan asumsi deterministik
tersebut akan diperoleh informasi mengenai banyaknya hubungan kointegrasi antar variabel sesuai metode Trace dan Max. Dari uji Johansen akan didapat rank kointegrasi (r). Rank kointegrasi dari vektor yt adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Untuk itu akan diuji hipotesis sebagai berikut:
H 0 : rank ≤ r H 1 : rank > r Jika rank kointegrasi yang didapat lebih besar dari nol, maka model yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Jika rank kointegrasi sama dengan nol maka model yang digunakan adalah VAR dengan pendifferensian sampai lag ke-d.
3.2.5 Model Umum Vector Error Correction
Model VECM dapat dilakukan apabila rank kointegrasi yang didapat lebih besar dari nol. Model VECM ordo p dan rank kointegrasi r ditulis sebagai: p −1
Δy t = A0 + πy t −1 + ∑ Φ ∗i Δy t −1 + ε t i =1
dimana:
π = αβ β = vektor kointegrasi berukuran r x 1 α = vektor kointegrasi berukuran r x 2 Φ ∗i = -
p
∑A
j =i +1
j
(4)
3.2.6 Variance Decomposition (VD)
Metode Variance Decomposition (VD) dapat menjelaskan seberapa jauh peranan suatu variabel ekonomi dalam menjelaskan guncangan variabel ekonomi lainnya. Metode ini dapat pula digunakan untuk melihat kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang. Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Dengan menghitung persentase squared prediction error dari sebuah variabel akibat guncangan dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya.
3.2.7 Impulse Response Function (IRF)
Pengaruh dinamis dari adanya suatu guncangan dapat dianalisis melalui Impulse Response Function (IRF) secara ortogonal. Analisis ini menunjukkan respon dinamis jangka panjang setiap variabel apabila ada suatu guncangan (shock) tertentu sebesar satu standar deviasi pada setiap persamaan. Respon dinamis yang dihasilkan tidak hanya dalam jangka pendek tetapi dapat juga melihat respon beberapa bulan ke depan sebagai informasi jangka panjang.
3.3 Model Penelitian
Dalam penelitian ini, analisis hubungan antara bursa saham Indonesia dengan bursa saham regional (Hongkong dan Singapura) dilihat dengan menggunakan indeks harga saham, tingkat inflasi (consumer price index) dan tingkat suku bunga (money market rate). Berdasarkan hal tersebut model penelitian dapat ditulis sebagai berikut: ⎡ ln_ ihsg ⎤ ⎡ a 0 ⎤ ⎡ a11 ⎢ ln_ cpis ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎢ ⎥ ⎢ b0 ⎥ ⎢a 21 ⎢ ln_ cpii ⎥ ⎢ c 0 ⎥ ⎢a31 ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎢ ln_ sti ⎥ = ⎢ d 0 ⎥ + ⎢a 41 ⎢ln_ hangseng ⎥ ⎢ e ⎥ ⎢a ⎢ ⎥ ⎢ 0 ⎥ ⎢ 51 mmrs ⎢ ⎥ ⎢ f 0 ⎥ ⎢a61 ⎢ ⎥ ⎢ g ⎥ ⎢a mmrh ⎢ ⎥ ⎢ 0 ⎥ ⎢ 71 ⎢ ln_ cpih ⎥ ⎢ h0 ⎥ ⎢ a81 ⎢ ⎥ ⎢ i ⎥ ⎢a mmri ⎣ ⎦ ⎣ 0 ⎦ ⎣ 91
a12 a 22
a13 a 23
a14 a 24
a15 a 25
a16 a 26
a17 a 27
a18 a 28
a32 a 42 a52 a 62
a33 a 43 a53 a 63
a34 a 44 a54 a64
a35 a 45 a55 a 65
a36 a 46 a56 a 66
a37 a 47 a57 a 67
a38 a 48 a58 a 68
a 72 a82 a92
a 73 a83 a93
a74 a84 a94
a 75 a85 a95
a 76 a86 a 96
a 77 a87 a97
a 78 a88 a98
a19 ⎤ a 29 ⎥⎥ a39 ⎥ ⎥ a 49 ⎥ a59 ⎥ ⎥ a 69 ⎥ a 79 ⎥ ⎥ a89 ⎥ a99 ⎥⎦
⎡ ln_ ihsg t −i ⎤ ⎡ e 1 t ⎤ ⎢ ln_ cpis ⎥ ⎢e ⎥ t −i ⎢ ⎥ ⎢ 2t ⎥ ⎢ ln_ cpii t −i ⎥ ⎢ e 3 t ⎥ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ln_ sti t −i ⎢ ⎥ + ⎢ e 4 t ⎥ (5) ⎢ln_ hangseng t − i ⎥ ⎢ e 5 t ⎥ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ mmrs t −i ⎢ ⎥ ⎢ e6t ⎥ ⎢ ⎥ ⎢e ⎥ mmrh t −i ⎢ ⎥ ⎢ 7t ⎥ ⎢ ln_ cpih t −i ⎥ ⎢ e 8 t ⎥ ⎢ ⎥ ⎢e ⎥ mmri t − i ⎣ ⎦ ⎣ 9t ⎦
dimana: ln_ihsg
: indeks harga saham gabungan Indonesia
ln_cpis
: consumer price index Singapura
ln_cpii
: consumer price index Indonesia
ln_sti
: indeks strait times Singapura
ln_hangseng : indeks hangseng Hongkong mmrs
: money market rate Singapura(%)
mmrh
: money market rate Hongkong (%)
ln_cpih
: consumer price index Hongkong
mmri
: money maket rate Indonesia (%) Dalam metode yang digunakan pada penelitian ini, semua data yang
diestimasi adalah dalam bentuk logaritma natural kecuali variabel-variabel yang
sudah dalam persen. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam menganalisis Variance Decomposition maupun Impulse Respon Function. Dengan demikian semua data dalam penelitian ini diubah dalam bentuk logaritma natural.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Estimasi VAR 4.1.1 Kestasioneran Data
Uji kestasioneran data merupakan tahap yang penting dalam menganalisis data time series untuk melihat ada tidaknya unit root yang terkandung diantara variabel sehingga hubungan antara variabel dalam persamaan menjadi valid dan tidak spurious atau menghasilkan regresi palsu. Dalam banyak kasus ditemukan jika data time series yang tidak stasioner dapat menghasilkan pola hubungan regresi palsu (Gujarati, 1978). Menurut Irawan dalam Natassyari (2006), regresi palsu (Spurious Regression) adalah regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik, padahal kenyataannya tidak atau tidak sebesar sebagaimana yang nampak dari regresi yang dihasilkan tersebut, sehingga dapat mengakibatkan misleading dalam penelitian terhadap suatu fenomena ekonomi yang sedang terjadi. Salah satu cara untuk menghindari regresi palsu pada variabel adalah dengan memastikan bahwa variabel tersebut stasioner, dengan melakukan uji unit root pada tingkat first difference. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur keberadaan stasioneritas, salah satunya adalah dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF). Berdasarkan uji tersebut, jika nilai ADF statistik dari masing-masing variabel lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner.
Tabel 4. Uji Stasioneritas Variabel Level Nilai ADF Keterangan Ln_IHSG -2.991245 Tidak stasioner Ln_CPIS -2.317714 Tidak stasioner Ln_CPII -1.761000 Tidak stasioner Ln_STI -1.901858 Tidak stasioner Ln_HANGSENG -1.317138 Tidak stasioner MMRS -0.186148 Tidak stasioner MMRH -0.407040 Tidak stasioner Ln_CPIH 0.111940 Tidak stasioner MMRI -2.009372 Tidak stasioner
First Difference Nilai ADF Keterangan -7.464644 Stasioner -11.50991
Stasioner
-5.479503
Stasioner
-9.128501
Stasioner
-7.627125
Stasioner
-7.736863
Stasioner
-4.069578
Stasioner
-7.408636
Stasioner
-14.68338
Stasioner
Sumber: Lampiran 1 dan Lampiran 2 Keterangan: Uji akar unit dilakukan dengan menggunakan E-views 4.1, nilai kritis MacKinnon pada level adalah 1%, 5%, 10% adalah -4.081666;-3.469235;-3.161518, nilai kritis Mackinnon pada first difference adalah 1%, 5%, 10% adalah -2.595745;-1.945139;-1.613983.
Berdasarkan hasil pengujian, semua variabel mengandung unit root (tidak stasioner pada level). Hal ini dapat dilihat dari nilai statistik ADF kesembilan variabel tersebut lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon. Sehingga untuk mencegah adanya regresi palsu perlu dilakukan uji unit root pada tingkat first difference. Berdasarkan hasil pengujian pada tingkat first difference diperoleh hasil bahwa semua variabel stasioner pada tingkat ini. Hal ini karena nilai statistik ADF semua variabel lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon (lampiran 2). Sehingga diketahui bahwa semua variabel stasioner pada hasil uji derajat integrasi satu I(1).
4.1.2 Penentuan Lag Optimum Menggunakan Akaike Information Criteria (AIC)
Penentuan lag optimum sangat diperlukan karena variabel eksogen yang digunakan tidak lain adalah lag dari variabel endogen dan juga variabel eksogennya. Untuk menetapkan lag optimum digunakan nilai Akaike Information Criteria (AIC). Hasil dari perhitungan Akaike Information Criteria (AIC) pada Tabel 5. diperoleh lag optimum adalah lag 2. Hal ini terjadi karena pada perhitungan nilai AIC yang didapat memperlihatkan nilai minimum AIC berada pada saat lag 2 yaitu pada saat nilai AIC sebesar -26.02879. Maka dapat disimpulkan bahwa lag optimum yang digunakan pada model VECM adalah lag 2. Tabel 5. Perhitungan Akaike Information Criteria AIC lag 0 -25.98179 1 -26.02567 2 -26.02879* 3 -25.34881 4 -25.50490 Sumber: Lampiran 3 * merupakan lag optimum
4.1.3 Kointegrasi
Keberadaan variabel yang tidak stasioner meningkatkan kemungkinan adanya hubungan kointegrasi antar variabel. Untuk itu perlu dilakukan uji kointegrasi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan kointegrasi tersebut dan memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel harga saham, tingkat suku bunga dan tingkat inflasi.
Semua variabel stasioner pada derajat yang sama, yaitu derajat satu (lampiran 2). Oleh karena itu uji kointegrasi dapat dilakukan melalui uji Johansen Cointegration Test dengan menggunakan panjang lag optimum 2. Tabel 6. Johansen Cointegration Test Hypothesized Eigenvalue Trace Statistic Critical Value No. of CE(s) 5% None** 0.619113 243.4015 192.89 At most 1** 0.473803 171.0075 156.00 At most 2 0.357543 122.8515 124.24 At most 3 0.300267 89.66737 94.15 At most 4 0.272321 62.88810 68.52 At most 5 0.230248 39.04598 47.21 At most 6 0.141412 19.41949 29.68 At most 7 0.099644 7.984564 15.41 At most 8 0.001494 0.112156 3.76
Critical value 1% 204.95 168.36 133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
Sumber: Lampiran 6 Catatan :**signifikan pada taraf nyata 5% dan 1%
Tabel 6. menunjukkan hasil Johansen Cointegration Test yang digunakan untuk mengetahui jumlah persamaan kointegrasi yang terdapat di dalam sistem. Jika Trace Statistic > Critical Value maka persamaan tersebut terkointegrasi. Dengan demikian Ho = non kointegrasi dengan hipotesis alternatifnya H = kointegrasi. Jika Trace Statistic > Critical Value maka kita tolak Ho atau terima H yang artinya terjadi kointegrasi. Hasil uji Johansen menunjukkan terdapat dua persamaan kointegrasi (r = 2) yaitu saat nilai Trace Statistic lebih besar daripada nilai kritisnya. Diketahui r = 2 maka model yang digunakan adalah VECM.
4.2 Integrasi Indeks Harga Saham Gabungan Dengan Indeks Bursa Saham Regional
Integrasi
ekonomi
merupakan
penciptaan
struktur
perekonomian
internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua pembatasan-
pembatasan yang dibuat terhadap bekerjanya perdagangan bebas dengan jalan memasukkan semua bentuk-bentuk kerja sama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai sebagai alat untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nasional (Djamalius dalam Hanie (2006)), sedangkan menurut Zarwin dalam Hanie (2006), integrasi adalah sebagai proses dan alat yang dipakai oleh sebuah kelompok negara untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Integrasi ini dapat terwujud apabila ada kerja sama antar negara, baik itu negara lemah maupun kuat. Selain itu menurut Atmadja (2005) dalam jurnalnya berjudul “Are The Five Asean Stock Price Indices Dynamically Interacted ? ” yang meneliti interaksi dinamis antara indeks harga saham yang terdapat di lima negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand menunjukkan adanya interaksi dinamis jangka pendek diantara pasar saham tersebut. Implikasi penting yang mungkin perlu diperhatikan dari penemuan ini adalah bahwa diversifikasi portofolio saham pada lima pasar saham tersebut agaknya tidak akan secara signifikan mengurangi tingkat resiko investasi. Hal ini dikarenakan oleh tingginya tingkat integrasi diantara pasar saham tersebut. Menurut Oemar (2007), persaingan di tingkat ASEAN juga didasari oleh suatu kepastian hukum dan persaingan yang sehat di antara pelaku bisnis di kawasan ASEAN. Perlunya dikembangkan sistem hukum yang efektif untuk mendorong peningkatan persaingan kegiatan bisnis di kawasan tersebut. Dalam pasar yang terintegrasi, menurut Oemar (2007) seperti AFTA (Asean Free Trade Area) memerlukan hukum khusus persaingan yang mengatur
perjanjian horizontal dan vertikal, posisi dominan serta penyalahgunaan posisi dominan di kawasan ASEAN. Melalui hukum persaingan Asean akan bisa mendorong perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik, menjamin kepastian hukum dan memberikan persaingan sehat bagi semua pelaku bisnis. Pendirian Asean antara lain bertujuan untuk memperkuat integrasi ekonomi ditingkat regional. Dalam kondisi seperti itu, diperlukan satu sistem hukum untuk mendorong pelaksanaan liberalisasi investasi dan perdagangan di kawasan Asean. Singapura dan Vietnam merupakan negara yang telah mengembangkan hukum persaingan di negara mereka masing-masing sejak tahun 2004 dan mulai berlaku efektif pada bulan Juli 2005. Beberapa negara anggota Asean seperti Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar yang selama ini menganut sistem ekonomi tertutup sudah mulai masuk ke ekonomi pasar. Dalam sistem ekonomi pasar, maka diperlukan kepastian hukum persaingan supaya tidak ada diskriminasi terhadap pelaku usaha yang akan melakukan kegiatan bisnis di kawasan Asean (Oemar, 2007). Dari penelitian ini menunjukkan bahwa pasar saham Indonesia, Singapura memiliki tingkat integrasi yang tinggi. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan yang menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan atau hubungan integrasi yang tinggi antara pasar saham Indonesia dan Singapura. Integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional dalam penelitian ini adalah penyatuan bursa-bursa saham. Selain dilihat dari faktor harga saham juga dilihat dari faktor tingkat inflasi dan faktor tingkat suku bunga. Negara yang dianalisis selain Indonesia dan Singapura adalah Hongkong. Adanya penyatuan
atau integrasi ini dapat mempengaruhi perkembangan pasar modal di masingmasing negara. Harga saham, tingkat suku bunga dan tingkat inflasi di Indonesia berpengaruh terhadap ketiga faktor tersebut di negara lainnya. Misalnya harga saham di Hongkong (Hangseng) mengalami penurunan, begitupun dengan harga saham di Singapura (STI) yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga saham di Indonesia (IHSG).
4.3 Hasil Estimasi Model Vector Error Correction
Dari hasil estimasi VECM didapat koefisien regresi jangka pendek dan jangka panjang antara harga saham Indonesia (IHSG) dengan harga saham bursa regional (Hangseng dan STI)1, tingkat suku bunga (MMRI, MMRH, MMRS) dan tingkat inflasi (CPII, CPIH, CPIS). Sehingga pada estimasi ini variabel dependen adalah IHSG sedangkan yang menjadi variabel independennya adalah harga saham (Hangseng dan STI), tingkat suku bunga (MMRI, MMRH, MMRS) dan tingkat inflasi (CPII, CPIH, CPIS) (lampiran 8). Pada analisis jangka pendek untuk IHSG, terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi pertama (IHSG) sebesar -0.10 persen yang secara statistik signifikan (Tabel 7). Sedangkan pada persamaan kointegrasi kedua (CPIS) terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan yang secara statistik tidak signifikan.
1
Indeks Harga Saham Nikkei 225 sudah dicoba dimasukkan kedalam model, tapi hasil estimasinya tidak signifikan.
Hasil estimasi VECM jangka pendek menunjukkan bahwa CPI Indonesia tidak signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen. MMR Indonesia pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen secara negatif sebesar -0.01, artinya jika MMR Indonesia mengalami peningkatan sebesar satu persen, maka IHSG akan mengalami penurunan sebesar -0.01 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis yaitu tingkat suku bunga yang direfleksikan dengan MMRI berhubungan negatif dengan harga saham. Kenaikan tingkat suku bunga mengakibatkan orang lebih memilih untuk menyimpan dananya di perbankan dengan return yang lebih tinggi dibanding dengan menginvestasikan dananya di pasar modal, sehingga menyebabkan investasi pasar modal dan harga saham menurun. Selain itu suku bunga sebagai salah satu instrumen moneter sering digunakan oleh bank sentral sebagai sarana pengendalian moneter, yang terlihat bahwa variabel tingkat suku bunga sangat signifikan. Peningkatan tingkat suku bunga akan menggeser kuva LM kekiri sehingga terjadi kontraksi moneter, selain itu naiknya tingkat suku bunga juga menurunkan investasi yang dalam jangka panjang akan menurunkan pendapatan nasional dan produksi barang dan jasa. Sehingga dampak meningkatnya suku bunga bagi perusahaan selain mengalami penurunan dalam penjualan, juga menanggung biaya modal yang meningkat sehingga membuat laba perusahaan dan harga saham akan menurun (Marciano, 2004).
Tabel 7.
Hasil Estimasi ECM pada variabel saham (IHSG, Hangseng, STI), tingkat suku bunga (MMRI, MMRH, MMRS) dan tingkat inflasi (CPII, CPIH, CPIS) dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang Variabel Koefisien T-statistik Jangka Pendek D(LNIHSG(-1)) D(LNIHSG(-2)) D(LNCPIS(-1)) D(LNCPIS(-2)) D(LNCPII(-1)) D(LNCPII(-2)) D(LNSTI(-1)) D(LNSTI(-2)) D(LNHANGSENG(-1)) D(LNHANGSENG(-2)) D(MMRS(-1)) D(MMRS(-2)) D(MMRH(-1)) D(MMRH(-2)) D(LNCPIH(-1)) D(LNCPIH(-2)) D(MMRI(-1)) D(MMRI(-2)) C CointEq1 CointEq2
0.083014 -0.143220 -6.690040 -0.156788 0.237555 0.297340 0.042488 0.702315 0.255870 -0.549398 -0.009827 0.050608 -0.006500 0.011800 1.267315 2.147385 -0.007674 -0.007201 0.012857 -0.104329 0.030980
0.55993 -1.15072 -3.04263* -0.07012 0.33647 0.39221 0.18091 3.00178 * 1.22698 -2.74927 * -0.21455 1.12513 -0.37352 0.75672 0.66986 1.09998 -1.77789* -1.76617* 1.16412 -1.84888* 0.03415
0.857031 -1.584456 3.826286 -0.014410 0.010423 -18.59412 0.067592 62.06178
1.31186 -2.29039 * 4.91780 * -0.12131 0.24413 -3.65019 * 4.46275 * -
Jangka Panjang LNCPII(-1) LNSTI(-1) LNHANGSENG(-1) MMRS(-1) MMRH(-1) LNCPIH(-1) MMRI(-1) C Sumber: Lampiran 8 Keterangan: * Signifikan pada taraf nyata 10 %
Hangseng pada lag kedua signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen secara negatif sebesar -0.55, artinya jika Hangseng mengalami peningkatan sebesar satu persen, maka IHSG akan mengalami penurunan sebesar -0.55 persen. Hal ini terjadi karena perekonomian Hongkong lebih kuat dibandingkan dengan perekonomian Indonesia. Para investor lebih memilih untuk menanamkan
modalnya di Hongkong dengan resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan berinvestasi di Indonesia. Oleh karena itu investasi di Indonesia menurun sehingga harga saham di Indonesia ikut menurun. Selain itu juga indeks Hangseng lebih fleksibel dan berpengaruh terhadap pergerakan saham global dibandingkan dengan IHSG. Bursa saham Hongkong juga menempati posisi sebagai bursa saham terbesar kedua di Asia oleh karena itu bursa saham Hongkong lebih banyak diminati oleh para investor (Bloomberg, 2007). CPI Hongkong tidak signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen. MMR Hongkong tidak signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen. STI pada lag kedua signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen secara positif sebesar 0.70, artinya jika terjadi peningkatan pada STI sebesar satu persen, akan menyebabkan peningkatan pada IHSG sebesar 0.70 persen. Hal ini terjadi karena Indonesia dan Singapura adalah dua negara yang saling mempengaruhi, dilihat dari letak kedua negara yang berada pada satu regional atau satu kawasan. Selain itu bursa saham Singapura adalah bursa saham terdekat yang paling besar pengaruhnya terhadap bursa saham Indonesia. CPI Singapura pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen secara negatif sebesar -6.69, artinya jika CPI Singapura mengalami kenaikan sebesar satu persen, maka IHSG akan mengalami penurunan sebesar -6.69 persen. Adanya kenaikan harga di Singapura akan menyebabkan pemerintah Singapura menurunkannya dengan cara mengendalikan jumlah uang beredar, sehingga terjadi peningkatan tingkat suku bunga. Dengan meningkatnya tingkat suku bunga maka terjadi penurunan pada investasi, dengan menurunnya
tingkat investasi di Singapura maka akan berpengaruh langsung terhadap investasi di Indonesia. Dengan demikian akan mengakibatkan menurunnya harga saham di Indonesia. MMR Singapura tidak signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen. Pada hasil estimasi VECM jangka panjang menunjukkan bahwa CPI Indonesia tidak signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen. MMR Indonesia pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen secara positif sebesar 0.07, artinya setiap terjadi peningkatan pada MMR Indonesia sebesar satu persen maka akan menyebabkan peningkatan pada IHSG sebesar 0.07 persen. Hal ini tidak sesuai dengan teori, dimana tingkat suku bunga yang direfleksikan dengan MMRI seharusnya berhubungan negatif dengan harga saham. Namun pada kurun waktu tahun 2000 hingga 2006, terdapat faktor-faktor lain yang membuat harga saham mengalami peningkatan. Pada saat itu para investor tetap menginvestasikan dananya di Indonesia karena faktor kondisi keamanan negara yang cukup kondusif. Juga meskipun tingkat suku bunga meningkat, pada saat itu para investor tetap menerima return, sehingga mereka tetap menginvestasikan dananya di Indonesia. Selain itu adanya faktor jaminan hukum bagi para investor untuk berinvestasi di Indonesia, yang membuat para investor tersebut merasa aman dan nyaman untuk menanamkan modalnya dan adanya faktor birokrasi yang tidak berbelit-belit dan tidak membutuhkan waktu lama dalam hal perizinan berinvestasi. Hal-hal tersebut yang membuat investor tetap menanamkan modalnya di Indonesia.
Hangseng pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen secara positif sebesar 3.83, artinya jika Hangseng mengalami peningkatan sebesar satu persen, maka akan menyebabkan peningkatan pada IHSG sebesar 3.83 persen. Hal ini disebabkan perekonomian Hongkong mempengaruhi perekonomian Indonesia. Apabila terjadi peningkatan pada indeks saham Hongkong maka indeks saham Indonesia pun akan ikut meningkat. Selain itu, perekonomian Hongkong merupakan perekonomian yang berorientasi keluar atau outward-oriented dengan ekspor barang dan jasanya berjumlah satu setengah kali PDB-nya. Pertumbuhan ekonominya rata-rata sebesar 8 persen selama dua puluh lima tahun yang lalu. Dan pendapatan per kapita negara itu dewasa ini sebesar US$ 12.000, yaitu merupakan yang kedua tertinggi di Asia sesudah Jepang. Oleh karena itu, perekonomian Hongkong kuat dan mempengaruhi perekonomian Indonesia (Kamaluddin, 1992). CPI Hongkong pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen secara negatif sebesar -18.59, artinya setiap terjadi peningkatan pada CPI Hongkong sebesar satu persen maka akan menyebabkan penurunan pada IHSG sebesar -18.59 persen. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan harga di Hongkong akan menyebabkan pemerintah Hongkong mengendalikan jumlah uang beredar, sehingga tingkat suku bunga di Hongkong meningkat dan menyebabkan investasi Hongkong menurun. Karena perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh perekonomian Hongkong, maka investasi Indonesia pun akan ikut turun dan pada akhirnya IHSG pun menurun. MMR Hongkong tidak signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen.
STI pada lag pertama signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen secara negatif sebesar -1.58, artinya setiap terjadi kenaikan pada STI akan menyebabkan penurunan pada IHSG sebesar -1.58 persen. Hal ini karena para investor lebih memilih untuk menginvestasikan dana dalam jangka panjang di Singapura. Adanya return yang lebih tinggi dan resiko lebih kecil merupakan salah satu alasan para investor untuk menanamkan modalnya di Singapura. Oleh karenanya banyak para investor yang menanamkan modal di Indonesia kemudian beralih ke Singapura sehingga menyebabkan penurunan investasi di Indonesia dan mengakibatkan harga saham Indonesia pun ikut menurun. MMR Singapura tidak signifikan mempengaruhi IHSG pada taraf 10 persen (Tabel 7). Integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional dapat dilihat melalui analisis Variance Decomposition (VD). Analisis ini dapat menjelaskan seberapa jauh peranan suatu variabel ekonomi dalam menjelaskan guncangan variabel ekonomi lainnya. Analisis Variance Decomposition (VD) dapat pula dipakai untuk melihat kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang. Hasil VD menunjukkan bahwa Varians CPI Indonesia tidak dominan mempengaruhi varians IHSG. Pada periode 7 sampai periode terakhir varians CPI Indonesia terus menurun hingga sebesar 0.02 persen pada periode 65. Varians MMR Indonesia mempengaruhi varians IHSG sebesar 0.40 persen hingga 0.10 persen pada periode 25 dan pada periode selanjutnya varians MMR Indonesia menurun dan pada periode 65 varians MMR Indonesia sebesar 0.04 persen.
Varians STI dapat menjelaskan variasi IHSG pada urutan kedua sebesar 17.18 persen hingga 19.39 persen pada periode 65. Varians CPI Singapura mempengaruhi variasi IHSG sebesar 4.68 persen hingga 4.98 persen pada periode 13. Lalu pada periode selanjutnya sampai periode terakhir varians CPI Singapura mempengaruhi variasi IHSG sebesar 5.14 persen hingga 5.33 persen. Varians MMR Singapura mempengaruhi varians IHSG sebesar 1.36 persen hingga 1.59 persen pada periode 20. Lalu pada periode selanjutnya varians MMR Singapura meningkat dan pada periode 65 varians MMR Singapura sebesar 1.71 persen. Varians Hangseng dapat menjelaskan variasi IHSG pada urutan ketiga sebesar 10.06 persen hingga 13.05 persen pada periode 20. Lalu pada periode selanjutnya sampai periode terakhir varians Hangseng meningkat sampai sebesar 13.95 persen pada periode 65. Varians CPI Hongkong mempengaruhi variasi IHSG sebesar 0.11 persen hingga 0.28 persen pada periode 30. Lalu pada periode selanjutnya sampai periode terakhir varians CPI Hongkong meningkat sampai sebesar 0.30 persen pada periode 65. Varians MMR Hongkong mempengaruhi varians IHSG sebesar 0.21 persen hingga 0.30 persen pada periode 20. Lalu pada periode selanjutnya varians MMR Hongkong meningkat dan pada periode 65 varians MMR Hongkong sebesar 0.33 persen. Dari hasil analisis Variance Decomposition (VD) diatas dapat dilihat bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap IHSG adalah STI. Hal ini terjadi karena perekonomian Singapura sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Bursa saham Singapura adalah bursa saham terdekat yang paling berpengaruh terhadap Bursa Efek Jakarta. Selain itu juga dilihat dari letak kedua negara,
memungkinkan untuk terjadinya kerjasama baik dalam bidang ekonomi, politik, keamanan, sosial dan budaya. Lalu diurutan kedua adalah Hangseng. Hal ini mengindikasikan bahwa bursa saham Hongkong dan Singapura mempengaruhi bursa saham Indonesia. Dengan demikian jika terjadi integrasi antara IHSG, STI dan Hangseng maka perkembangan
pasar
modal
di
Singapura dan Hongkong akan
mempengaruhi kegiatan pasar modal di Indonesia, dimana pengaruh kegiatan pasar modal di Singapura akan lebih besar dari pada pasar modal di Hongkong (Tabel 8). Selain analisis Variance Decomposition, ada analisis lain yang dapat menunjukkan pengaruh masing-masing variabel terhadap integrasi IHSG dengan Indeks Bursa Saham Regional yaitu analisis Impulse Response Function. Analisis ini menunjukkan respon dinamis jangka panjang setiap variabel apabila ada suatu guncangan (shock) tertentu sebesar satu standar deviasi pada setiap persamaan. Hasil IRF menunjukkan bahwa Inovasi (guncangan) dari CPI Indonesia pengaruhnya terhadap IHSG pada awal periode mengalami peningkatan sampai dengan periode 15 dan selanjutnya pada periode 31 pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode inovasi (periode 65). Inovasi (guncangan) dari MMR Indonesia pengaruhnya terhadap IHSG pada awal periode mengalami penurunan sampai pada periode 4 dan selanjutnya meningkat sampai periode 8 dan setelah itu pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai pada akhir periode inovasi (periode 65).
Inovasi (guncangan) dari Hangseng pengaruhnya terhadap IHSG pada awal periode mengalami peningkatan sampai periode 15 dan selanjutnya pada periode 20 pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode inovasi (periode 65).
Tabel 8. Hasil Variance Decomposition (%) Variance Decomposition of LNIHSG Period 1
S.E. 0.060271
LNIHSG 100.0000
LNCPIS 0.000000
LNCPI 0.000000
LNSTI 0.000000
LNHANGSENG 0.000000
MMRS 0.000000
MMRH 0.000000
LNCPIH 0.000000
MMRI 0.000000
7
0.226025
68.17676
4.677690
0.098237
14.90535
10.05825
1.365988
0.207925
0.111876
0.397919
13
0.325263
63.27744
4.978312
0.058268
17.18345
12.29907
1.491611
0.277601
0.230838
0.203414
20
0.413457
61.29035
5.136975
0.041734
18.19067
13.05508
1.590606
0.301870
0.262606
0.130109
25
0.466482
60.57788
5.196089
0.035891
18.55031
13.32448
1.626631
0.310013
0.274181
0.104528
30
0.514068
60.11581
5.234025
0.032102
18.78412
13.49852
1.650446
0.315347
0.281664
0.087958
35
0.557608
59.79236
5.260696
0.029443
18.94774
13.62024
1.667147
0.319102
0.286905
0.076362
40
0.597987
59.55328
5.280407
0.027478
19.06870
13.71017
1.679513
0.321875
0.290781
0.067792
50
0.671500
59.22354
5.307609
0.024767
19.23553
13.83419
1.696567
0.325699
0.296125
0.055973
60
0.737723
59.00688
5.325481
0.022986
19.34514
13.91567
1.707774
0.328211
0.299637
0.048207
65
0.768698
58.92422
5.332301
0.022307
19.38697
13.94677
1.712050
0.329170
0.300976
0.045244
Sumber: Lampiran 9
Inovasi (guncangan) dari CPI Hongkong pengaruhnya terhadap IHSG pada awal periode mengalami penurunan sampai dengan periode 10 dan pada periode selanjutnya pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode inovasi (periode 65). Inovasi (guncangan) dari MMR Hongkong pengaruhnya terhadap IHSG pada awal periode mengalami penurunan sampai pada periode 20 dan selanjutnya pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai pada akhir periode inovasi (periode 65). Inovasi (guncangan) dari STI pengaruhnya terhadap IHSG pada awal periode mengalami peningkatan sampai periode 15 dan selanjutnya pada periode 20 pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode inovasi (periode 65). Inovasi (guncangan) dari CPI Singapura pengaruhnya terhadap IHSG pada awal periode mengalami penurunan sampai dengan periode 10 dan pada periode selanjutnya pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode inovasi (periode 65). Inovasi (guncangan) dari MMR Singapura pengaruhnya terhadap IHSG pada awal periode mengalami peningkatan sampai periode 10 setelah itu pada periode 22 pergerakan cenderung persistent (tetap) sampai akhir periode inovasi (periode 65). Dari hasil Impulse Response Function dapat dilihat bahwa inovasi atau guncangan dari STI pengaruhnya terhadap IHSG mengalami peningkatan dan sangat besar, selanjutnya inovasi atau guncangan dari Hangseng mengalami peningkatan namun tidak sebesar STI. Hal ini mengindikasikan bahwa IHSG memiliki respon dinamis yang kuat apabila kedua bursa saham (STI dan Hangseng) diguncang atau mengalami shock. Hal ini dapat terjadi karena kedua
bursa ini merupakan bursa saham terdekat yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap IHSG. Dengan adanya integrasi bursa-bursa saham tersebut setiap guncangan pada tiap bursa saham akan mempengaruhi perkembangan pasar modal di masing-masing negara (Gambar 3). Dari studi yang telah dilakukan oleh Maysami dan Sim Koh dalam Marciano (2004), Model Vektor Koreksi Kesalahan Johansen (Johansen’s Vector Error Correction Model-VECM) digunakan sebagai model ekuilibrium jangka panjang untuk menganalisis hubungan variabel-variabel makroekonomi ( inflasi, tingkat suku bunga ) terhadap pasar modal di Singapura. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa variabel-variabel makroekonomi (inflasi, tingkat suku bunga) merupakan variabel yang dapat menggerakkan harga saham. Anggapan tersebut adalah sesuai dengan teori yang dapat diterima secara umum. Studi tentang hubungan variabel yang sama juga pernah dilakukan oleh Mukherjee dan Naka dalam Marciano (2004) untuk kasus Jepang.
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNIHSG to LNIHSG .08
Response of LNIHSG to LNHANGSENG
Response of LNIHSG to LNSTI
.08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.06 .04 .02 .00 .00
.00
-.02
-.02
-.02 -.04 10
20
30
40
50
60
-.04 10
Response of LNIHSG to LNCPI .08 .06 .04 .02 .00 -.02 -.04 10
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRI .08 .06 .04 .02 .00 -.02 -.04 10
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to LNCPIH
-.04 10
30
40
50
60
Response of LNIHSG to LNCPIS
.08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
-.04
20
-.04 10
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRH
10
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
10
20
30
40
50
60
Sumber: Lampiran 10
Gambar 3. Grafik Impulse Response Function (IRF)
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRS
.08
-.04
20
-.04 10
20
30
40
50
60
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1.
Hasil estimasi VECM menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, Hangseng,
STI, MMR Indonesia dan CPI Singapura signifikan
mempengaruhi IHSG. Hal
ini mengindikasikan relatif terintegrasinya
IHSG dengan Indeks Bursa Saham dan perekonomian Regional. Dalam jangka panjang, Hangseng, STI,
MMR Indonesia dan CPI Hongkong
signifikan mempengaruhi IHSG. Hasil-
hasil
estimasi
tersebut
mengindikasikan relatif terintegrasinya IHSG dengan
Indeks
Saham dan perekonomian Regional dalam jangka pendek
maupun
Bursa
jangka panjang. 2.
Bursa saham terdekat yang paling besar pengaruhnya terhadap Bursa Efek Jakarta adalah bursa saham Singapura (STI) dan bursa saham Hongkong (Hangseng). Oleh karena itu faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap IHSG adalah STI dan Hangseng.
5.2 Saran
1.
Berdasarkan
penelitian,
diketahui
bahwa
fluktuasi
IHSG
sangat
dipengaruhi
oleh Hangseng, STI, MMR Indonesia, CPI Singapura dan
CPI Hongkong. Oleh karena itu faktor yang paling mungkin dijaga oleh pemerintah Indonesia adalah MMR Indonesia atau tingkat suku bunga Indonesia agar pergerakannya tetap konstan dan tidak berfluktuatif, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor dan
pemilik
modal
terhadap kondisi ekonomi Indonesia. 2.
Untuk pemerintah Indonesia menjaga tingkat suku bunga dengan cara mengendalikan jumlah uang beredar, mengendalikan tingkat inflasi, melakukan koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang jauh lebih baik dengan mengurangi utang luar negeri dan mendorong masuknya FDI.
3.
Untuk penelitian lanjutan sebaiknya dimasukkan faktor lain yang dapat mempengaruhi IHSG seperti Foreign Direct Investment (FDI) dan Exchange Rate (Nilai Tukar) sehingga hasil yang didapat lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, P. dan P. Pakarti. 2006. Pengantar Pasar Modal. Rineka Cipta, Jakarta. Anwar, J. 2005. Pasar Modal Sebagai Sarana Pembiayaan dan Investasi. PT. Alumni, Bandung. Atmadja, A.S. 2005. ”Are The Five ASEAN Stock Price Indices Dynamically Interacted”. Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol.7, No.1, Mei 2005: 43-60. Bank Indonesia. Beberapa Edisi. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Bloomberg, 2007. Bursa Hongkong akan ekspansi ke produk komoditas. Bisnis Indonesia, Jakarta. Darwin , 2005. ” Posisi Indonesia Dan Negara-Negara APEC Dalam Globalisasi : Analisis Perkembangan Perdagangan Luar Negeri Dan Investasi”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP), XIII (1) 2005. Darmadji, T dan H. M. Fakhruddin. 2006. Pasar Modal di Indonesia Pendekatan Tanya Jawab. Salemba Empat, Jakarta. Enders, W. 2004. Applied Economic Time Series. Second Edition. Jhon Wiley and Sons, Canada. Eprianti, F. 2005. Analisis Integrasi Pasar Modal Dengan Perbankan Dalam Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Goerdie, A. P. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Indeks Harga Saham Gabungan Pasca Krisis Tahun 2000-2004 [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Hadi, S. 2004. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF: Edisi 1. Granit, Jakarta. Haditomo, H.A. 2005. Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Kinerja Pasar Modal Pada Bursa Efek Jakarta [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Halwani, H. 2005. Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi. Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor. Hanie. 2006. Analisis Konvergensi Nominal Dan Riil Diantara Negara-Negara ASEAN-5, Jepang Dan Korea Selatan [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hariyanto, S. 2001. Bursa Regional Bursa Asia terpengaruh Wall Street. Bisnis Indonesia, Jakarta. Kamaluddin, R. 1992. Perekonomian Dunia dan Pembangunan di Luar Negeri. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. Lipsey R.G, P.N. Courant, D.D. Purvis dan P.O. Steiner. 1997. Pengantar Makroekonomi. Bina Rupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N.G. 2003. Teori Makro Ekonomi Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta. Marciano, D. Suyanto. 2004. ” Hubungan Jangka Panjang dan Jangka Pendek Ekonomi Makro dan Pasar Modal di Indonesia : Error Correction Model (ECM)”. Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen – November 2004. Nachrowi, N.D. 2006. Pendekatan Popular dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Natassyari, M. 2006. Analisis Hubungan Antara Pasar Modal Dengan Nilai Tukar, Cadangan Devisa, Dan Ekspor Bersih [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Oemar, S. 2007. Hukum persaingan Asean, mungkinkah ?. Bisnis Indonesia, Jakarta. Permana, D. 2004. Analisis Faktor-faktor Penentu Laju Inflasi Dilihat Dari Sisi Penawaran dan Ekspektasi dalam Rezim Nilai Tukar Mengambang Bebas [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Plummer, M.G, dan R.W.Click. 2005. ”Bond Market Development And Integration In Asean”. International Journal Of Finance And Economics. Republik Indonesia. 1995. Undang-Undang Tentang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995.
Setyastuti, R. 2004. Krisis Ekonomi dan Kausalitas antara Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah, Tingkat Suku Bunga dan Indeks Harga Saham di Indonesia. Parallel Session 1A Pelajaran dari Krisis Moneter Indonesia, Yogyakarta. Sumanto, E. 2006. Analisis Pengaruh Perkembangan Pasar Modal Terhadap Perekonomian Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suta, I.P.G.A. 1996. Menuju Pasar Modal Modern. Yayasan SAD Satria Bhakti, Jakarta. Thoha, M. 2001. Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. P2E-LIPI, Jakarta. Utomo, S. 2007. Mengamati korelasi IHSG dengan indeks regional. Bisnis Indonesia, Jakarta. Vimala, A. 2005. Analisis Hubungan Antara Variabel Makroekonomi Dengan Harga Saham Di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 1. Uji Stasioneritas pada Level Null Hypothesis: LNIHSG has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.991245 -4.081666 -3.469235 -3.161518
0.1414
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LNCPIS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.317714 -4.083355 -3.470032 -3.161982
0.4193
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LNCPI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.761000 -4.081666 -3.469235 -3.161518
0.7140
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LNSTI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.901858 -4.081666 -3.469235 -3.161518
0.6440
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LNHANGSENG has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.317138 -4.081666 -3.469235 -3.161518
0.8763
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: MMRS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.186148 -4.081666 -3.469235 -3.161518
0.9923
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: MMRH has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.407040 -4.086877 -3.471693 -3.162948
0.9856
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LNCPIH has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
0.111940 -4.081666 -3.469235 -3.161518
0.9969
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: MMRI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.009372 -4.083355 -3.470032 -3.161982
0.5867
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2. Uji Stasioneritas pada First Difference Null Hypothesis: D(LNIHSG) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.464644 -2.595745 -1.945139 -1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LNCPIS) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level
t-Statistic
Prob.*
-11.50991 -2.595745
0.0000
5% level 10% level
-1.945139 -1.613983
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LNCPI) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.479503 -2.595745 -1.945139 -1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LNSTI) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.128501 -2.595745 -1.945139 -1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LNHANGSENG) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.627125 -2.595745 -1.945139 -1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(MMRS) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.736863 -2.595745 -1.945139 -1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(MMRH) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LNCPIH) has a unit root
t-Statistic
Prob.*
-4.069578 -2.596586 -1.945260 -1.613912
0.0001
Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.408636 -2.595745 -1.945139 -1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(MMRI) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-14.68338 -2.595745 -1.945139 -1.613983
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 3. Penentuan Lag Optimum VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: D(LNIHSG) D(LNCPIS) D(LNCPI) D(LNSTI) D(LNHANGSENG) D(MMRS) D(MMRH) D(LNCPIH) D(MMRI) Exogenous variables: C Date: 01/06/02 Time: 23:01 Sample: 2000:01 2006:06 Included observations: 73 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 957.3354 NA 4.21E-23 -25.98179 -25.69941* -25.86926* 1 1039.937 142.5724 4.09E-23* -26.02567 -23.20181 -24.90031 2 1121.051 120.0044* 4.48E-23 -26.02879* -20.66347 -23.89062 3 1177.231 69.26366 1.15E-22 -25.34881 -17.44202 -22.19781 4 1263.929 85.50973 1.72E-22 -25.50490 -15.05664 -21.34109 * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 4. Uji Kestabilan VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LNIHSG) D(LNCPIS) D(LNCPI) D(LNSTI) D(LNHANGSENG) D(MMRS) D(MMRH) D(LNCPIH) D(MMRI) Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 01/06/02 Time: 23:00 Root Modulus 0.704922 0.704922 -0.235851 + 0.662165i 0.702914 -0.235851 - 0.662165i 0.702914 0.104296 + 0.674950i 0.682960 0.104296 - 0.674950i 0.682960 -0.405047 - 0.543010i 0.677439 -0.405047 + 0.543010i 0.677439 -0.564976 - 0.271372i 0.626770
-0.564976 + 0.271372i 0.378050 + 0.486462i 0.378050 - 0.486462i -0.506895 + 0.132453i -0.506895 - 0.132453i 0.044951 + 0.467799i 0.044951 - 0.467799i 0.460418 0.161731 - 0.397668i 0.161731 + 0.397668i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
0.626770 0.616090 0.616090 0.523914 0.523914 0.469954 0.469954 0.460418 0.429298 0.429298
Lampiran 5. Johansen Cointegration Test Summary Date: 01/06/02 Time: 23:03 Sample: 2000:01 2006:06 Included observations: 75 Series: LNIHSG LNCPIS LNCPI LNSTI LNHANGSENG MMRS MMRH LNCPIH MMRI Lags interval: 1 to 2 Data Trend: None None Linear Linear Quadratic Rank or No Intercept Intercept Intercept Intercept Intercept No. of CEs No Trend No Trend No Trend Trend Trend Selected (5% level) Number of Cointegrating Relations by Model (columns) Trace 5 5 2 4 3 Max-Eig 1 1 1 1 1 Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 0 1123.642 1123.642 1139.622 1139.622 1149.957 1 1154.007 1160.955 1175.819 1176.039 1184.098 2 1177.845 1186.511 1199.897 1200.287 1208.205 3 1196.674 1207.775 1216.489 1218.933 1226.660 4 1210.779 1223.166 1229.879 1234.171 1241.134 5 1222.071 1235.152 1241.800 1247.136 1254.044 6 1229.673 1245.357 1251.613 1258.447 1264.143 7 1235.895 1252.610 1257.331 1268.108 1272.287 8 1240.562 1257.909 1261.267 1273.157 1276.262 9 1240.657 1261.323 1261.323 1276.987 1276.987 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 -25.64377 -25.64377 -25.82993 -25.82993 -25.86551 1 -25.97352 -26.13213 -26.31518 -26.29438 -26.29595 2 -26.12921 -26.30697 -26.47726* -26.43432 -26.45880 3 -26.15130 -26.36735 -26.43971 -26.42487 -26.47093 4 -26.04743 -26.27110 -26.31677 -26.32456 -26.37691 5 -25.86855 -26.08405 -26.15467 -26.16364 -26.24118 6 -25.59127 -25.84951 -25.93635 -25.95859 -26.03049 7 -25.27721 -25.53628 -25.60882 -25.70955 -25.76765 8 -24.92166 -25.17091 -25.23378 -25.33753 -25.39366 9 -24.44420 -24.75528 -24.75528 -24.93300 -24.93300
Lampiran 6. Johansen Cointegration Test Date: 01/06/02 Time: 23:03 Sample(adjusted): 2000:04 2006:06 Included observations: 75 after adjusting endpoints Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LNIHSG LNCPIS LNCPI LNSTI LNHANGSENG MMRS MMRH LNCPIH MMRI Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test
Hypothesized Trace 5 Percent 1 Percent No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical Value None ** 0.619113 243.4015 192.89 204.95 At most 1 ** 0.473803 171.0075 156.00 168.36 At most 2 0.357543 122.8515 124.24 133.57 At most 3 0.300267 89.66737 94.15 103.18 At most 4 0.272321 62.88810 68.52 76.07 At most 5 0.230248 39.04598 47.21 54.46 At most 6 0.141412 19.41949 29.68 35.65 At most 7 0.099644 7.984564 15.41 20.04 At most 8 0.001494 0.112156 3.76 6.65 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
Lampiran 7. Correlation Matrix LNIHSG
LNHANGSENG
LNSTI
LNCPI
LNCPIH
LNCPIS
MMRI
MMRH
MMRS
LNIHSG
1.000000
0.536282
0.773277
0.814645
-0.522272
0.841374
-0.563474
-0.141748
0.380680
LNHANGSENG
0.536282
1.000000
0.914131
0.033085
0.307755
0.310761
-0.191230
0.584043
0.779022
LNSTI
0.773277
0.914131
1.000000
0.347063
0.026461
0.544496
-0.286342
0.385491
0.722616
LNCPI
0.814645
0.033085
0.347063
1.000000
-0.793562
0.885402
-0.464007
-0.457379
0.060447
LNCPIH
-0.522272
0.307755
0.026461 -0.793562
1.000000
-0.605236
0.624186
0.834247
0.474686
LNCPIS
0.841374
0.310761
0.544496
0.885402
-0.605236
1.000000
-0.462843
-0.246675
0.291559
MMRI
-0.563474
-0.191230
-0.286342 -0.464007
0.624186
-0.462843
1.000000
0.421194
0.116556
MMRH
-0.141748
0.584043
0.385491 -0.457379
0.834247
-0.246675
0.421194
1.000000
0.793143
MMRS
0.380680
0.779022
0.722616
0.474686
0.291559
0.116556
0.793143
1.000000
0.060447
Lampiran 8. Estimasi Model Vector Error Correction Vector Error Correction Estimates Date: 01/06/02 Time: 23:04 Sample(adjusted): 2000:04 2006:06 Included observations: 75 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
LNIHSG(-1) LNCPIS(-1) LNCPI(-1)
C
1.000000 0.000000 -0.857031 (0.65329) [-1.31186] 1.584456 (0.69178) [ 2.29039] -3.826286 (0.77805) [-4.91780] 0.014410 (0.11879) [ 0.12131] -0.010423 (0.04269) [-0.24413] 18.59412 (5.09402) [ 3.65019] -0.067592 (0.01515) [-4.46275] -62.06178
0.000000 1.000000 0.051371 (0.03160) [ 1.62583] -0.208533 (0.03346) [-6.23262] 0.209351 (0.03763) [ 5.56333] -0.021789 (0.00575) [-3.79251] 0.002955 (0.00206) [ 1.43097] 0.272314 (0.24637) [ 1.10529] 0.002436 (0.00073) [ 3.32570] -6.519117
Error Correction:
D(LNIHSG)
D(LNCPIS)
CointEq1
-0.104329 (0.05643) [-1.84888] 0.030980 (0.90716) [ 0.03415] 0.083014 (0.14826) [ 0.55993] -0.143220 (0.12446) [-1.15072] -6.690040 (2.19877) [-3.04263] -0.156788 (2.23586) [-0.07012] 0.237555 (0.70602) [ 0.33647]
-0.003003 (0.00344) [-0.87294] -0.084174 (0.05531) [-1.52198] -0.001966 (0.00904) [-0.21752] 0.001428 (0.00759) [ 0.18814] -0.300447 (0.13405) [-2.24133] -0.061320 (0.13631) [-0.44986] 0.045321 (0.04304) [ 1.05294]
LNSTI(-1)
LNHANGSENG(-1)
MMRS(-1)
MMRH(-1)
LNCPIH(-1)
MMRI(-1)
CointEq2
D(LNIHSG(-1))
D(LNIHSG(-2))
D(LNCPIS(-1))
D(LNCPIS(-2))
D(LNCPI(-1))
D(LNCPI(-2))
D(LNSTI(-1))
D(LNSTI(-2))
D(LNHANGSENG(-1))
D(LNHANGSENG(-2))
D(MMRS(-1))
D(MMRS(-2))
D(MMRH(-1))
D(MMRH(-2))
D(LNCPIH(-1))
D(LNCPIH(-2))
D(MMRI(-1))
D(MMRI(-2))
C
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent Determinant Residual Covariance Log Likelihood Log Likelihood (d.f. adjusted)
0.297340 (0.75812) [ 0.39221] 0.042488 (0.23485) [ 0.18091] 0.702315 (0.23397) [ 3.00178] 0.255870 (0.20854) [ 1.22698] -0.549398 (0.19983) [-2.74927] -0.009827 (0.04580) [-0.21455] 0.050608 (0.04498) [ 1.12513] -0.006500 (0.01740) [-0.37352] 0.011800 (0.01559) [ 0.75672] 1.267315 (1.89190) [ 0.66986] 2.147385 (1.95221) [ 1.09998] -0.007674 (0.00432) [-1.77789] -0.007201 (0.00408) [-1.76617] 0.012857 (0.01104) [ 1.16412]
-0.041558 (0.04622) [-0.89914] 0.000944 (0.01432) [ 0.06595] -0.014248 (0.01426) [-0.99892] 0.009291 (0.01271) [ 0.73083] 0.002551 (0.01218) [ 0.20940] 0.001743 (0.00279) [ 0.62407] -0.003797 (0.00274) [-1.38460] -3.77E-05 (0.00106) [-0.03553] 0.001243 (0.00095) [ 1.30724] 0.155706 (0.11534) [ 1.34997] -0.231362 (0.11902) [-1.94395] 0.000524 (0.00026) [ 1.99056] 0.000589 (0.00025) [ 2.36894] 0.000732 (0.00067) [ 1.08659]
0.450571 0.247079 0.196163 0.060271 2.214191 116.5658 -2.548420 -1.899523 0.010791 0.069460
0.391109 0.165594 0.000729 0.003674 1.734290 326.3745 -8.143321 -7.494424 0.000532 0.004023 1.97E-24 1199.897 1089.027
Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
-23.52072 -17.12446
Lampiran 9. Variance Decomposition (%) S.E.
LNIHSG
LNCPIS
0.060271 0.101909 0.131876 0.157886 0.181794 0.205014 0.226025 0.244445 0.261696 0.278644 0.295234 0.310754 0.325263 0.339163 0.352602 0.365587 0.378137 0.390261 0.402012 0.413457 0.424602 0.435450 0.446032 0.456371 0.466482 0.476380 0.486077 0.495582 0.504909
100.0000 88.61062 81.73262 78.03639 74.06312 70.17482 68.17676 67.20450 66.11008 65.18266 64.41725 63.76088 63.27744 62.89551 62.52945 62.20642 61.93643 61.69680 61.48216 61.29035 61.11794 60.96273 60.82260 60.69506 60.57788 60.47002 60.37108 60.27969 60.19470
0.000000 3.630154 4.131931 4.749896 4.917515 4.756858 4.677690 4.704271 4.811677 4.832979 4.876102 4.945185 4.978312 5.009510 5.046380 5.065387 5.083616 5.106420 5.122597 5.136975 5.151978 5.164425 5.175717 5.186577 5.196089 5.204816 5.213020 5.220538 5.227531
Variance Decomposition of LNIHSG: LNCPI LNSTI LNHANGSENG
MMRS
MMRH
LNCPIH
MMRI
0.000000 0.070189 0.486823 1.343205 1.365078 1.396334 1.365988 1.325131 1.357079 1.423908 1.443780 1.459602 1.491611 1.514766 1.530309 1.545883 1.558524 1.569134 1.580491 1.590606 1.598876 1.606660 1.614071 1.620666 1.626631 1.632179 1.637269 1.641961 1.646359
0.000000 0.049382 0.078020 0.175293 0.209718 0.184967 0.207925 0.262070 0.253543 0.255598 0.270266 0.271988 0.277601 0.285703 0.287830 0.290606 0.294826 0.297257 0.299540 0.301870 0.303734 0.305531 0.307197 0.308652 0.310013 0.311243 0.312389 0.313469 0.314437
0.000000 0.033530 0.046507 0.039817 0.075578 0.094259 0.111876 0.138070 0.182697 0.205812 0.211410 0.221778 0.230838 0.236148 0.242419 0.247789 0.251464 0.255717 0.259666 0.262606 0.265358 0.267939 0.270185 0.272267 0.274181 0.275909 0.277513 0.279004 0.280385
0.000000 0.009497 0.989470 0.733593 0.591085 0.471107 0.397919 0.350055 0.308386 0.272743 0.245007 0.222258 0.203414 0.187795 0.174763 0.163328 0.153355 0.144741 0.137032 0.130109 0.123952 0.118386 0.113316 0.108725 0.104528 0.100664 0.097113 0.093832 0.090787
Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
0.000000 0.001972 0.023262 0.106219 0.089022 0.077648 0.098237 0.088100 0.076914 0.070423 0.067796 0.062851 0.058268 0.054861 0.051744 0.049083 0.047101 0.045137 0.043250 0.041734 0.040371 0.039062 0.037909 0.036865 0.035891 0.035011 0.034204 0.033447 0.032748
0.000000 2.080087 7.773766 9.888990 12.09687 13.90308 14.90535 15.16644 15.64582 16.21110 16.62875 16.93582 17.18345 17.38319 17.56069 17.72877 17.86630 17.98284 18.09154 18.19067 18.27729 18.35541 18.42663 18.49106 18.55031 18.60498 18.65500 18.70115 18.74416
0.000000 5.514572 4.737599 4.926602 6.592018 8.940925 10.05825 10.76136 11.25381 11.54478 11.83964 12.11963 12.29907 12.43252 12.57642 12.70273 12.80838 12.90196 12.98373 13.05508 13.12051 13.17986 13.23238 13.28013 13.32448 13.36519 13.40241 13.43691 13.46889
30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63
0.514068 0.523066 0.531912 0.540613 0.549176 0.557608 0.565915 0.574101 0.582172 0.590132 0.597987 0.605740 0.613395 0.620955 0.628425 0.635807 0.643104 0.650319 0.657455 0.664514 0.671500 0.678413 0.685257 0.692032 0.698743 0.705389 0.711973 0.718497 0.724962 0.731370 0.737723 0.744021 0.750266 0.756460
60.11581 60.04234 59.97363 59.90936 59.84908 59.79236 59.73897 59.68862 59.64102 59.59597 59.55328 59.51276 59.47425 59.43760 59.40268 59.36938 59.33758 59.30718 59.27810 59.25024 59.22354 59.19792 59.17332 59.14968 59.12694 59.10505 59.08397 59.06366 59.04406 59.02515 59.00688 58.98924 58.97217 58.95567
5.234025 5.240070 5.245748 5.251043 5.256010 5.260696 5.265093 5.269243 5.273175 5.276888 5.280407 5.283752 5.286928 5.289950 5.292832 5.295579 5.298201 5.300709 5.303108 5.305406 5.307609 5.309722 5.311752 5.313702 5.315578 5.317383 5.319122 5.320798 5.322415 5.323975 5.325481 5.326937 5.328345 5.329706
0.032102 0.031498 0.030933 0.030404 0.029909 0.029443 0.029004 0.028590 0.028199 0.027828 0.027478 0.027145 0.026828 0.026527 0.026240 0.025966 0.025705 0.025455 0.025216 0.024987 0.024767 0.024557 0.024354 0.024160 0.023973 0.023793 0.023620 0.023453 0.023292 0.023137 0.022986 0.022841 0.022701 0.022565
18.78412 18.82128 18.85602 18.88855 18.91905 18.94774 18.97476 19.00024 19.02431 19.04710 19.06870 19.08920 19.10869 19.12723 19.14489 19.16174 19.17783 19.19321 19.20793 19.22202 19.23553 19.24849 19.26094 19.27290 19.28440 19.29548 19.30614 19.31642 19.32634 19.33590 19.34514 19.35407 19.36271 19.37106
13.49852 13.52620 13.55207 13.57623 13.59890 13.62024 13.64033 13.65927 13.67717 13.69411 13.71017 13.72541 13.73990 13.75368 13.76681 13.77934 13.79130 13.80273 13.81367 13.82415 13.83419 13.84382 13.85308 13.86197 13.87052 13.87875 13.88668 13.89432 13.90169 13.90881 13.91567 13.92231 13.92873 13.93494
1.650446 1.654225 1.657770 1.661104 1.664219 1.667147 1.669910 1.672514 1.674974 1.677305 1.679513 1.681608 1.683600 1.685496 1.687301 1.689024 1.690669 1.692241 1.693745 1.695186 1.696567 1.697893 1.699165 1.700388 1.701564 1.702696 1.703787 1.704838 1.705851 1.706829 1.707774 1.708687 1.709570 1.710423
0.315347 0.316210 0.316999 0.317744 0.318448 0.319102 0.319720 0.320307 0.320857 0.321379 0.321875 0.322345 0.322791 0.323216 0.323621 0.324007 0.324376 0.324729 0.325066 0.325389 0.325699 0.325996 0.326281 0.326555 0.326819 0.327073 0.327317 0.327553 0.327780 0.328000 0.328211 0.328416 0.328614 0.328805
0.281664 0.282852 0.283967 0.285010 0.285986 0.286905 0.287771 0.288587 0.289359 0.290089 0.290781 0.291437 0.292062 0.292656 0.293222 0.293761 0.294277 0.294769 0.295241 0.295692 0.296125 0.296540 0.296939 0.297322 0.297691 0.298045 0.298387 0.298716 0.299034 0.299341 0.299637 0.299923 0.300199 0.300467
0.087958 0.085324 0.082861 0.080557 0.078395 0.076362 0.074449 0.072643 0.070937 0.069323 0.067792 0.066340 0.064959 0.063646 0.062394 0.061200 0.060060 0.058971 0.057928 0.056930 0.055973 0.055055 0.054173 0.053325 0.052510 0.051726 0.050970 0.050242 0.049539 0.048862 0.048207 0.047574 0.046963 0.046371
64 65
0.762604 0.768698
58.93969 58.92422
5.331024 5.332301
0.022434 0.022307
19.37914 19.38697
13.94095 13.94677
1.711250 1.712050
0.328991 0.329170
0.300726 0.300976
0.045798 0.045244
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LNIHSG to LNIHSG .08
Response of LNIHSG to LNHANGSENG
Response of LNIHSG to LNSTI
.08
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.06 .04 .02 .00 .00
.00
-.02
-.02
-.02 -.04 10
20
30
40
50
60
-.04 10
Response of LNIHSG to LNCPI .08 .06 .04 .02 .00 -.02 -.04 10
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRI .08 .06 .04 .02 .00 -.02 -.04 10
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to LNCPIH
-.04 10
.08
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
10
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRH
10
.06
.06
.04
.04
.02
.02
.00
.00
-.02
-.02
Lampiran 10. Impulse Response Function (IRF)
20
30
40
50
60
50
60
20
30
40
50
60
Response of LNIHSG to MMRS .08
10
40
-.04
.08
-.04
30
Response of LNIHSG to LNCPIS
.08
-.04
20
-.04 10
20
30
40
50
60