perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TETUA DAN HASIL PERSILANGAN ANGGREK HITAM (Coelogyne pandurata Lindl.)
DISERTASI
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor Program Doktor Ilmu Pertanian
Oleh
SRI HARTATI NIM T. 651108006
PROGRAM DOKTOR ILMU PERTANIAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user
2015 i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TETUA DAN HASIL PERSILANGAN ANGGREK HITAM (Coelogyne pandurata Lindl) DISERTASI Oleh SRI HARTATI NIM T 651108006 Tim Penguji Jabatan Ketua Sekretaris Anggota Penguji
Nama
Tanda Tangan
Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. NIP 195707071981031006 Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS NIP 196107171986011001 Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS NIP 195602251986011001 Dr. Ir. Supriyadi, M.S. NIP 195813081985031003 Prof. Dr. Ir. Nandariyah, M.S. NIP 195408051981032002 Prof. Dr.Ir. Ahmad Yunus, M.S. NIP 196107171986011001 Dr. Ir. Djati Waluyo Djoar, M.S. NIP 195102021980031003 Dr. Ir. Parjanto, M.P. NIP 196203231988031001 Dr. Ir. Widyatmani Sih Dewi, M.P. NIP 196311231987032002 Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto, DEA NIP 196102181985031003
……………… ……………. …………… …………… …………… …………… …………… …………… ……………
Telah dipertahankan di depan penguji pada sidang Ujian Disertasi dan dinyatakan telah memenuhi syarat pada tanggal 26 Maret 2015 Mengetahui Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta commit userKarsidi, M.S. Prof. Dr. to Ravik NIP 195707071981031006 ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI DAN PUBLIKASI DISERTASI
Saya menyatakan sebenar-benarnya bahwa : Disertasi yang berjudul “Analisis Keragaman Genetik Tetua Dan Hasil Persilangan Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata Lindl.)” ini adalah karya ilmiah saya sendiri dan tidak terdapat isi karangan yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan yang disebutkan sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar pustaka. Apabila ternyata dalam naskah disertasi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, maka saya bersedia menerima sangsi dan diproses sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003 pasal 25 ayat 2 dan pasal 70). Publikasi sebagian atau keseluruhan isi disertasi pada Journal atau frum ilmiah harus menyertakan tim promotor sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sangsi akademik yang berlaku.
Surakarta,
Maret 2015
Mahasiswa,
Sri Hartati NIM T. 651108006
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan HidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TETUA DAN HASIL PERSILANGAN ANGGREK HITAM (Coelogyne pandurata Lindl.)”. Sejak dimulainya penelitian, hingga selesai penulisan disertasi ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik berupa bimbingan, bantuan moral material, gagasan yang kesemuanya sangat bermanfaat bagi penulis. Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret sekaligus sebagai ketua tim penguji ujian terbuka. 2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, Direktur Pascasarjana merangkap kopromotor yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran penelitian sampai penyelesaian disertasi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Bambang Puji Asmanto, MS, Dekan Fakultas Pertanian yang telah memberikan ijin belajar dan tim penguji. 4. Prof. Dr. Ir. Nandariyah, MS, selaku Promotor yang dengan penuh kearifan telah memberikan bimbingan, nasehat, petunjuk arahan sejak dari perencanaan dan selama pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian disertasi ini, 5. Dr. Ir. Djati Waluyo Djoar, MS, selaku ko-promotor yang dengan penuh kesabaran, pengertian dan ketulusan telah banyak memberikan bimbingan dan, dorongan moral yang sangat berguna dalam pelaksanaan penelitian sampai selesainya penulisan disertasi ini, 6. Dr. Ir. Supriyadi, MS selaku Ketua Program Studi S3 Ilmu Pertanian dan tim penguji. 7. Dr. Ir. Widyatmani Sih Dewi, M.P. selaku sekertaris Program Studi S3 Ilmu Pertanian dan tim commit penguji.to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. Prof (Riset) Dr. Ir. Y. Purwanto DEA, dari Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor selaku penguji yang banyak memberikan masukan berharga. 9. Dr. Ir. Parjanto MP selaku tim penilai dan penguji 10. Ir. Susilo Hambeg Poromarto MSi., PhD. selaku tim penilai 11. Prof. Dr. Ir. Edi Purwanto MSc selaku penilai seminar hasil. 12. Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor, 13. Koordinator Kebon Anggrek Kebon Raya LIPI Bogor Ir. Dwi Murti Puspitaningtyas, MSi dan Dr. Ir. Joko Ridho atas fasilitas kebun dan materi yang disediakan. Sdr. Ponco Yulianto, Bu Yuniar, Pak Supardi, Bu Yupi, Bu Liza, Bu Sutini yang telah banyak membantu pelaksanaan di lapang. 14. Kepala Laboratorium Genetika Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor Dr. Ir. Yuyu S. Poerba, Teknisi Lab Genetika LIPI Bogor: Bu Tri, Mbak Herlina, Bapak Fajar, dan Pak Hafid (Lab Sitologi –LIPI Bogor). 15. Prof. Sobir dan mbak Sulasih dari Pusat Kajian Hortikultura dan Tropika IPB Bogor atas ijin pemakaian Laboratorium Molekuler. 16. Teman-teman kuliah S3 Ilmu Pertanian angkatan 2011: Ir. Sukaya, MS., Ir. Edi Tri Haryanto, MP., Ir. Endang Setyo Mulyo, MSi., Ir. Dwi Harjoko, MP., Dra. Farida Yuliani, MS., Ir. Priyono, MP., Ir. Catur Sulistyorini, MM. yang telah memberi dukungan dan semangat untuk menyelesaikan disertasi ini. 17. Sdr. Thithin, Riya, Linda, Hespriawan mahasiswa Agroteknologi Fakultas Pertanian UNSyang telah ikut membantu pelaksanaan penelitian. 18. Penghormatan dan ucapan terima kasih yang khusus disampaikan kepada suami tercinta Prof. Dr. Ir. Ongko Cahyono, M.Sc dan semua anakku Doan Perdana ST, MT dan istrinya Imas Nurliah, dr. Febrian Dwi Cahyo Sp.An. M. Kes. dan istrinya dr. Hanindia Riani Prabaningtyas serta Adiptya Cahya Mahendra S. Ked. Atas semua pengorbanan dukungan moril dan matertiil serta kasih sayang yang tulus selama kuliah S3 Ilmu Pertanian di Pasca Sarjana UNS. user Penulis menyadaricommit bahwatodisertasi ini masih jauh dari sempurna,
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun dalam menyempurnakan disertasi ini sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap disertasi ini dapat dapat bermanfat untuk perkembangan anggrek di Indonesia.
(Sri Hartati)
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl.), merupakan salah satu anggrek langka Kalimantan Timur yang memiliki kekhasan bunga besar, berwarna hijau dengan lidah berwarna hitam. Anggrek ini perlu dilestarikan melalui persilangan dengan spesies lain. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendapatkan informasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp dan menentukan kedekatan genetik antara anggrek hitam dengan spesies lain dalam genus Coelogyne berdasarkan karakter morfologi dan molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DN. (2) mendapatkan metode persilangan yang kompatibel antara C. pandurata dengan tetua terpilih. (3) mendapatkan informasi karakter sitologi (kromosom) dan tingkat ploidi pada F1 hasil persilangan antara C. pandurata dengan tetua terpilih. (4) mendapatkan informasi besarnya keragaman baru pada F1 hasil persilangan C. pandurata berdasarkan penanda molekuler RAPD dan ISSR (InterSimple Sequence Repeats). Bahan yang digunakan adalah tanaman anggrek koleksi Pusat Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor yaitu Coelogyne spp. meliputi: C. pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis dan C. rumphii. Penelitian dilakukan dalam lima kajian yaitu: (1) Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan penanda morfologi. Identifikasi dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan 45 karakter; (2) Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan penanda molekuler RAPD. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan 11 macam primer; (3) Teknik hibridisasi untuk menambah ragam genetic anggrek hitam meliputi tiga metode: crossing (♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii), reciprocal (♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata) dan selfing yaitu polinia ditransfer ke dalam stigma pada satu bunga dalam satu tanaman; (4) Identifikasi hasil persilangan anggrek C. pandurata. dengan C. rumphii berdasarkan analisis sitologi menggunakan metode Squasing dan flow cytometry menggunakan alat Partec CyFlow space (Partec GmbH); (5) Identifikasi hasil persilangan anggrek C. pandurata dengan C. rumphii berdasarkan molekuler RAPD dan ISSR menggunakan 6 primer RAPD dan 4 primer ISSR Analisis data dilakukan sebagai berikut. skoring data morfologi dilakukan dari hasil deskripsi menjadi data biner. Data molekuler diamati dengan menentukan skor berdasarkan ada atau tidaknya pita DNA. Pita DNA diterjemahkan dalam data biner, jika ada nilai 1 dan jika tidak ada nilai 0. Analisis klaster/gerombol dilakukan dengan program NTSYSpc versi 2.02i dengan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method of Arithmatic Average) fungsi SimQual (Rohlf , 2000). Hasil penentuan keragaman baik secara morfologi maupun secara molekuler dari enam spesies anggrek commit to userdari genus Coelogyne spp diperoleh karakter yang beragam secara morfologi antara 2% – 22% dan secara vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
molekuler menggunakan 11 primer RAPD antara 45% – 69%. Dari enam spesies tersebut, C. rumphii merupakan spesies yang memiliki keragaman paling rendah atau memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan C. pandurata, yakni secara morfologi memiliki kemiripan 93% dan secara molekuler memiliki kemiripan berkisar 50%. Dengan demikian hasil penelitian ini merokemendasikan C. rumphii untuk dipilih menjadi tetua untuk disilangkan dengan C. pandurata. Persilangan antara C. pandurata dan C. rumphii adalah kompatibel penuh dengan tingkat keberhasilan persilangan mencapai 100% pada semua metode persilangan yang digunakan. Metode crossing memiliki resiko buah rontok tertinggi hingga 50%, dibanding metode yang lain yang hanya mencapai 25%. Namun metode crossing menghasilkan buah lebih cepat masak yakni 158 hari, sedangkan pada metode reciprocal mencapai 191 hari dan metode selfing mencapai kisaran antara 155 – 201 hari. Hasil analisis kromosom menunjukkan tetua C. pandurata memiliki jumlah kromosom 2n=36 dan tetua C. rumphii 2n=72 sedangkan F1 hasil persilangan memiliki jumlah kromosom 2n=54. Hasil analisis ploidi dengan flow cytometry diperoleh hasil keturunan F1 yang mempunyai susunan kromosom triploid 2n=3x dari persilangan C. pandurata diploid (2n=2x) dan C. rumphii tetraploid (2n=4x). Penelitian ini berhasil mendapatkan keragaman baru pada F1 hasil persilangan antara C. pandurata dan C. rumphii. F1 hasil persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii terdapat ragam baru sebesar 6% (RAPD) dan 11% (ISSR). Sedangkan untuk F1 dari persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii terdapat ragam baru sebesar 10% (RAPD dan 3% (ISSR). Kata kunci: Anggrek Hitam, Flow Cytometry, ISSR, morfologi, RAPD, Sitologi,
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Black orchid (Coelogyne pandurata Lindl.) is one of the endangered orchids from East Kalimantan hving very exciting large green flowers with a unique black tongue. This orchid should be conserved by crossing with other species. The research aims (1) to assess information of the genetic diversity of the members of Coelogyne genus based on morphological characters and molecular RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) and to select one species that having the closest genetic relationship to C, pandurata, (2) to assess the most compatible crossing method for crossing of C. pandurata, (3) to assess information of the cytology characters (chromosomes) and ploidy of the F1 hybrid (off springs of the cross) of C. pandurata and (4) to assess the genetic diversity of the F1 hybrids of C. pandurata based on molecular RAPD and ISSR (Inter Simple Sequence Repeats). The orchids used as experimental materials were six species of Coelogyne genus, C.pandurata, C.massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis and C. rumphii. Those species are taken from the collection of The Bogor Plant Conservation Centre (Kebun Raya Bogor). The research was done in five experiments: (1) Identification of genetic diversity of Coelogyne spp based on morphological markers. Identification was done descriptively using 45 characters; (2) Identification of the genetic diversity of Coelogyne spp based on molecular RAPD markers. Identification was carried out by in 11 different primers; (3) Hybridization methods to increase genetic diversity of C. pandurata.. The hybridization was conducted in three methods, which were: crossing (♀C. pandurata x ♂C. rumphii), reciprocal (♀C. rumphii x ♂C.pandurata) and selfing (pollinia transferred to the stigma of the one flower in one plant; (4) Identification of the F1 hybrids of C. pandurata. x C. rumphii based on cytology analized using squashing and flow cytometry using a Partec CyFlow space (Partec GmbH); (5) Identification of the F1 hybrids of C. pandurata. x C. rumphii based on molecular diversity using the 6 primers RAPD and 4 primers ISSR. Data analysis was done as follow: morphological data were converted from the descriptive data into binary data. Molecular data were determined using a score based on the presence or absence of DNA bands. The DNA bands were translated into binary data, which was 1 for a value and 0 for no value. The cluster analysis was done using the NTSYSpc program version 2.02i with UPGMA method (Unweighted Pair Group Method of arithmetic Average) function SimQual (Rohlf, 2000). Shape of chromosomes were analyzed further by the relative asymmetry index. Study on morphological identification as well as molecular identification found that there were diversity among the six members of the Coelogyne genus. The morphological characters varied from 2% to 22%, commit to user while molecular character showed wider diversity, which was from 45% to 69%. This study found that among the six members of Coelogyne genus, ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. rumphii performed the lowest diversity compared to C.pandurata. These two species showed closed genetic relationship which was 93% in morphological similarity and 50% in molecular similiratity. The result recommending that C. rumphii should be selected as a parent for crossing with C. pandurata. This study confirmed that the crossing of C. pandurata x C. rumphii was fully compatible with crossover success percentage was 100% for all crossing methods, crossing, resiprocal and selfing. Crossing method (♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii) performed better result compared to the other methods (reciprocal and selfing) in term of fruit rippening and protocorm emergence. Fruit of orchids rippened at 158 days after pollination (dap) using crossing method, 191 dap using reciprocal method, and 155 – 201 dap using selfing method. However crossing method had higher risk for fruit fall before rippening, 50%. The study showed that C. pandurata had a chromosome number of 2n=36, C. rumphii had a chromosome number of 2n=72 and the hybrid had a number of chromosomes of 2n=54. The flow cytrometry analysis found that the parent of C. pandurata had diploid (2n=2x), C. rumphii had tetraploid (2n=4x), and the F1 hybrids had triploid (2n=3x), The identification of the F1 hybrid based on the molecular RAPD showed that the crossing of ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii created the F1 hybrid having a new diversity of 6% (RAPD) and 11% (ISSR). While the crossing of ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii created the hybrid having new diversity of 10% (RAPD) and 3% (ISSR). Keyword: Black Orchid, Cytology, Flow Cytometry, ISSR, Morphology, RAPD,
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………..
i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………….
ii
PERNYATAAN KEASLIAN DESERTASI DAN PUBLIKASI DISERTASI .....................................................................
iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………
iv
ABSTRAK ….……………………………………………………….
vii
ABSTRACT …………………………………………………………
ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………..
xi
DAFTAR TABEL …………………………………………………..
xiii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….
xiv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….
xvi
BAB I.
PENDAHULUAN …………………………………….
1
A. Latar Belakang ……………………………………….
1
B. Perumusan Masalah …………………………………..
4
C. Tujuan Penelitian ……………………………………..
4
D. Manfaat Penelitian …………………………………..
5
BAB II. LANDASAN TEORI …………………………………..
6
A. Tinjauan Pustaka ……………………………………..
6
B. Kerangka Berpikir ……………………………………
13
C. Hipotesis ……………………………………………..
16
D. Kebaharuan (Novelty) ……………………………….
16
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ………………………..
17
A. Tempat Penelitian ……………………………………
17
B. Waktu Penelitian …………………………………….
17
C. Tatalaksana Penelitian ……………………………….
17
1. Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan penanda morfologi ….
17
2. Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spptoberdasarkan penanda commit user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
molekuler RAPD ………………………………….
18
3. Teknik Hibridisasi untuk menambah ragam genetik Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata) ......…......
20
4. Identifikasi hasil persilangan anggrek Coelogyne pandurata dengan Coelogyne rumphii berdasarkan sitologi dan flow cytometry ....................................
21
5. Identifikasi hasil persilangan anggrek hitam mengunakan marka molekuler RAPD dan ISSR ...
23
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………....
26
A. Hasil Penelitian .…………………………………..…
26
1. Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan penanda morfologi ....... 26 2. Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan marka molekuler RAPD ..………
31
3. Teknik Hibridisasi untuk menambah ragam genetik Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata ) ...
38
4. Identifikasi hasil persilangan anggrek Coelogyne pandurata secara sitologi dan flow cytometry ..…..
45
5. Identifikasi hasil persilangan anggrek hitam menggunakan marka molekuler RAPD dan ISSR ..
55
B. Pembahasan Umum …………………………………..
70
BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ………..……
80
A. Kesimpulan ..………………………………………...
80
B. Implikasi ………………………………..……………
81
C. Saran ………………………………………………….
82
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………..
83
LAMPIRAN ………………………………………………………..
94
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Jenis primer dan urutan nukleotida penyusunnya …………..........
19
2.
Bentuk kromosom berdasarkan rasio lengan kromosom ..............
22
3.
Bahan tanaman berdasarkan asal dan ketinggian tempat................ 27
4.
Matrik kemiripan berdasarkan penanda morfologi........................ 28
5.
Primer, pita polimorfisme dan persentase polimorfisme dengan RAPD.................................................................................
35
Matrik kemiripan Coelogyne spp berdasarkan RAPD dengan 11primer ...........................................................................
36
Rata-rata persentase keberhasilan persilangan, tingkat kompatibilitas dan saat buah terbentuk ........................................
40
Rata-rata persentase buah rontok, umur buah masak dan saat terbentuk protokorm ...............................................................
43
Jumlah, ukuran dan bentuk kromosom tetua dan hybrid anggrek Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii .............................
48
Urutan Primer, pita polimorfisme dan persentase polimorfisme pada analisis RAPD ......................................................................
59
Urutan Primer, pita polimorfisme dan persentase polimorfisme memenggunakan marka molekuler ISSR .....................................
66
6. 7. 8. 9. 10. 11.
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram alur penelitian ...................................................................
15
2. Bahan penelitian tanaman anggrek Coelogyne spp .........................
18
3. Dendogram pengelompokan Coelogyne spp berdasarkan penanda morfologi .........................................................................
29
4. Dendrogram pengelompokan Coelogyne spp berdasarkan penanda RAPD menggunakan 11 primer ......................................................
36
5. Metode Polinasi terhadap persentase buah rontok ..........................
42
6. Metode polinasi terhadap umur buah masak anggrek ....................
43
7. Metode polinasi terhadap saat terbentuk protokorm .......................
44
8. Jumlah kromosom a). Tetua Coelogyne pandurata 2n=36, b). Tetua Coelogyne rumphii 2n=72, c). hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua jantan 2n=54,serta d). hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua betina 2n=54 ..........................
49
9. Kariotipe a) Tetua Coelogyne pandurata, b) Tetua Coelogyne rumphii, c) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua jantan serta d) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua betina ..............
52
10. Histogram hasil flow cytometry A:C. pandurata, B:C. rumphii, C:♀C. pandurata x ♂C. rumphii, D:C. pandurata x ♀C. rumphii...
53
11. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPA 02 ..............................
60
12. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPA 07 ..............................
61
13. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 12...............................
61
14. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 17..............................
62
15. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 18 .............................
62
16. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPD 11..............................
63
17. Dendrogram hasil persilangan ♂ C. pandurata dan ♀ C. rumphii..
64
18. Dendrogram hasil persilangan ♀ C. pandurata dan ♂ C. rumphii...
64
19. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 814........................... commit to user 20. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 826.............................
67
xiv
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 807............................
68
22. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 810...........................
68
23. Dendrogram hasil persilangan ♂ C. pandurata dan♀ C. rumphii...
69
24. Dendrogram hasil persilangan ♀ C. pandurata dan ♂ C. rumphii...
69
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Study on Morphological Characteristics of Different Species of Coelogyne Orchid ………………………………………………… 94 2. Genetic Diversity of Orchid Coelogyne spp by Molecular RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Markers ………… 103 3. Hybridization Technique Of Black Orchid (Coelogyne pandurata) Toenrich The Genetic Diversity and To Rescue The Genetic Extinction …………………………………………… 113 4. Cytological Studies On Black Orchid Hybrid …………………… 123 5. Identification Hybrid Coelogyne pandurata Based On Molecular RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) and ISSR ………………………………………………………. … 132 6. Hasil pengamatan karakterisasi morfologi Coelogyne spp ................. 142 7. Hasil amplifikasi anggrek Coelogyne spp menggunakan 11 primer RAPD ................................................................................. 148 8. Interpretasi amplifikasi DNA anggrek Coelogyne spp dengan 11 primer................................................................................. 150 9. Ukuran dan bentuk kromosom C. pandurata...................................... 152 10. Ukuran dan bentuk kromosom tetua C. rumphii ................................. 153 11. Ukuran dan bentuk kromosom F1 ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii ... 154 12. Ukuran dan bentuk kromosom F1 ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii ... 155 13. Idiogram C. pandurata, C. rumphii dan F1 ........................................ 157 14. Matriks kemiripan F1 ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii berdasarkan RAPD .............................................................................. 158 15. Matriks kemiripan F1 ♀ C. pandurata dan ♂ C. rumphii berdasarkan RAPD .............................................................................. 160 16. Matriks kemiripan F1 ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii berdasarkan ISSR ................................................................................ 161 17. Matriks kemiripan F1 ♀ C. pandurata dan ♂ C. rumphii berdasarkan ISSR ................................................................................ 162
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang Indonesia memiliki sumber plasma nutfah tanaman anggrek dan lebih dari 5.000 spesies anggrek atau sekitar seperlima dari total anggrek yang ada di dunia terdapat di Indonesia (Handoyo dan Prasetya, 2006). Tanaman anggrek merupakan salah satu jenis tanaman hias yang dinikmati keindahan bunganya karena setiap jenis bunga anggrek memiliki bentuk, corak, warna dan wangi yang khas sehingga semua orang tidak jenuh untuk menikmatinya. Keunggulan tanaman anggrek ditentukan oleh warna, ukuran, bentuk, susunan, jumlah kuntum bunga pertangkai, panjang tangkai dan daya tahan kesegaran bunga (Widiastoety et al., 2010). Keragaman warna dan bentuk bunga anggrek merupakan faktor penting yang menentukan keindahannya. Anggrek merupakan tanaman hias yang sangat potensial sebagai penghasil devisa, semakin unik dan langka tanaman anggrek semakin tinggi nilai ekonominya (Handoyo dan Prasetya, 2006). Permasalahan yang ada selama ini produksi bunga anggrek masih jauh dari permintaan pasar, meskipun Indonesia merupakan sumber plasma nutfah anggrek. Bahkan kebutuhan dalam negeri masih banyak didatangkan dari luar negeri. Negara pensuplai anggrek antara lain dari Thailand. Data BPS 2012 menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan antara nilai ekspor dan impor anggrek di Indonesia. Produksi dan nilai impor anggrek Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Nilai ekspor anggrek tahun 2008 sebesar $ 740.751 Tahun 2009 nilai ekspor anggrek mengalami peningkatan menjadi $ 1.040.544, namun pada tahun 2010 hingga tahun 2012 mengalami penurunan hingga $ 668.956. Sedangkan nilai impor anggrek tahun 2008 sebesar $ 78.265. Tahun 2009 nilai impor anggrek mengalami peningkatan sebesar $ 434.071 dan tahun 2010 turun hingga mencapai 40.154, tahun 2011 dan tahun 2012 mengalami peningkatan hingga sebesar $ 49.272. commit to user Walaupun terjadi fluktuasi dari data ekspor impor dapat dikatakan terjadi 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
surplus bagi Indonesia. (Dirjen Hortikultura, 2012).
Hal inilah yang
mendorong penelitian-penelitian anggrek untuk peningkatan kualitas, meningkatkan ragam genetik dengan menambah jenis-jenis baru yang bernilai ekonomis, melakukan persilangan antara anggrek dan kuantitas anggrek. Salah satu genus anggrek yang terkenal adalah genus Coelogyne Lindl. Terdiri dari 200 spesies yang tersebar di seluruh Asia Tenggara dengan pusat keragaman utama di Kalimantan, Sumatra, dan Himalaya. Genus ini tumbuh epifit di daerah tropis dataran rendah dan pegunungan terutama di hutan-hutan. Anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl), merupakan salah satu jenis anggrek langka dari dari genus Coelogyne yang dilindungi pemerintah di Indonesia. Ciri khas dari C. pandurata adalah bunga besar berwarna hijau dengan lidah hitam. Warna hitam merupakan sifat langka yang dibutuhkan oleh para ahli pemuliaan tanaman untuk menghasilkan silangan baru dengan corak warna bunga yang lebih menarik. Anggrek Coelogyne yang lain antara lain C. rumphii yang mempunyai bunga kecil warna kuning dengan lidah coklat. Untuk
menambah
keragaman
genetik
baru
perlu
dilakukan
persilangan anggrek hitam dengan jenis lainnya. Dalam program persilangan anggrek tahap awal yang dilakukan adalah memilih tetua yang memiliki kedekatan hubungan genetik, sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan persilangan. Kedekatan genetik antara tetua dapat didekati dengan metode identifikasi dan pengelompokan anggrek Coelogyne baik secara morfologi dan secara molekuler. Setelah dapat diketahui kedekatan genetiknya maka dapat dilakukan persilangan. Dalam penelitian ini yang dimaksud identifikasi morfologi adalah proses yang digunakan untuk mengetahui karakter fenotip dari suatu tanaman, dengan mengamati daun, batang, bunga, buah, akar dan lain sebagainya yang mencakup seluruh morfologi tanaman dan mengetahui hubungan kekerabatan antara spesies. (Susantidiana et al., 2009; commit to user Purwantoro et al., 2005). Adanya kelemahan dalam identifikasi secara morfologi dapat diatasi dengan identifikasi molekuler.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Marka molekuler merupakan marka yang efektif dalam analisis genetik (Yunus, 2007) karena sifat genetik cenderung stabil pada perubahan lingkungan dan tidak dipengaruhi oleh umur sehingga marka genetik dapat memberikan informasi yang relatif lebih akurat (Julisaniah et al., 2008). Teknik identifikasi molekuler yang digunakan pada penelitian ini adalah penggunaan marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan marka ISSR (InterSimple Sequence Repeats). Teknik RAPD merupakan metode analisis pada tingkat DNA yang menggunakan primer acak yang dapat digunakan untuk menetapkan hubungan kekerabatan antar spesies tanaman (Arya et al., 2011; Vural et al., 2009; Das et al., 2009; Verma et al., 2009). Hasil pengelompokan didapatkan tetua-tetua yang dapat digunakan sebagai bahan persilangan. Intersimple
Sequence
Repeats
(ISSR)
banyak
digunakan
untuk
mengidentifikasi spesies, kultivar ataupun populasi suatu spesies dan sangat berguna sebagai alat pendeteksi keragaman genetik suatu spesies tanaman yang mempunyai variasi genetik yang sangat luas (Romeida et al., 2012). Perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan tetua yang mempunyai kedekatan genetik dengan anggrek hitam (C. pandurata Lindl.) dengan melakukan identifikasi anggrek Coelogyne spp. secara morfologi yang didukung penanda molekuler RAPD. Selanjutnya dilakukan penelitian persilangan anggrek hitam (C. pandurata Lindl.) dengan tetua terpilih. Persilangan dilakukan secara bolak-balik untuk mengetahui daya kompatibilitas dan daya fertilitasnya. Daya kompatibilitas adalah persentase
kemampuan
membentuk
buah.
Daya
fertilitas
adalah
kemampuan terjadinya fertilisasi/ pembuahan (Widiastoety, 2003). Selain identifikasi morfologi dan molekuler di atas juga diperlukan identifikasi hasil persilangan secara sitologi dengan mengamati kromosom meliputi jumlah, bentuk, ukuran dan susunan kromosom (kariotipe) serta identifikasi secara molekuler (RAPD, ISSR). Target dari penelitian ini adalah didapatkan varian baru hasil to userdengan tetua terpilih yang dapat persilangan Coelogyne commit pandurata.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
diidentifikasi berdasarkan analisis sitologi, flow cytometry dan molekuler (RAPD, ISSR).
B. Perumusan masalah Penggunaan karakter morfologi secara fenotipik merupakan metode yang mudah namun terkadang dapat berubah-ubah karena pengaruh faktor lingkungan dan membutuhkan sampel yang banyak. Oleh karena itu, perlu adanya proses penentuan hubungan kekerabatan berbagai spesies tanaman anggrek yang dapat dilakukan secara fenotipik dan genotipik. Hubungan kekerabatan secara fenotipik dilakukan berdasarkan pengamatan morfologi. Sedangkan secara genotipik dapat dilakukan secara sitologi dan molekuler. Persilangan dilakukan dengan berbagai metode persilangan yaitu crossing, reciprocal dan selfing. Untuk mendeteksi keturunan hasil persilangan dari tetua terpilih perlu dilakukan identifikasi yang dalam penelitian ini digunakan metode dengan analisis sitologi, flow cytometry dan molekuler (RAPD, ISSR). Dari uraian diatas perlu perumusan masalah sebagai berikut: 1. Belum diketahui keragaman dan kedekatan genetik (kekerabatan) antara anggrek hitam (Coelogyne pandurata) dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp yang dapat digunakan sebagai tetua persilangan. 2. Belum diketahui metode persilangan yang mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi dalam persilangan antara Coelogyne pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp. 3. Belum
diketahui
keragaman
hasil
persilangan
anggrek
hitam
berdasarkan sitologi (kromosom) dan flow cytometry (tingkat ploidi). 4. Belum diketahui besarnya keragaman baru hasil persilangan Coelogyne pandurata
berdasarkan
penanda
molekuler
RAPD
dan
ISSR
(InterSimple Sequence Repeats).
C. Tujuan penelitian commit to usergenetik anggrek Coelogyne spp dan 1. Mendapatkan informasi keragaman menentukan kedekatan genetik antara anggrek hitam (Coelogyne
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
pandurata) dengan spesies lain dalam genus Coelogyne yang dapat digunakan sebagai tetua berdasarkan karakter morfologi dan molekuler RAPD. 2. Mendapatkan metode persilangan yang kompatibel (crossing, reciprocal dan selfing) antara anggrek hitam dengan tetua terpilih. 3. Mendapatkan informasi karakter sitologi (kromosom) dan tingkat ploidi pada F1 hasil persilangan antara anggrek hitam dengan tetua terpilih. 4. Mendapatkan informasi besarnya keragaman baru pada individu F1 hasil persilangan anggrek hitam berdasarkan penanda molekuler RAPD dan ISSR (InterSimple Sequence Repeats).
D. Manfaat Penelitian 1. Diperoleh pengelompokan genus Coelogyne spp berdasarkan hubungan kekerabatan. 2. Diperoleh metode persilangan yang kompatibel antara anggrek hitam (Coelogyne pandurata ) dengan tetua terpilih. 3. Diperoleh varian anggrek baru hasil persilangan anggrek hitam.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Morfologi Tanaman Anggrek Anggrek genus Coelogyne spp, terdiri dari 200 spesies yang tersebar di seluruh Asia Tenggara dengan pusat keragaman utama di Kalimantan, Sumatera, dan Himalaya. Kebanyakan tumbuh di daerah tropis dataran rendah dan hutan. (Butzin, 1992 dalam Gravendeel et al., 2001). Klasifikasi anggrek Coelogyne sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Orchidales
Famili
: Orchidaceae
Genus
: Coelogyne
Anggrek Coelogyne spp mempunyai tipe pertumbuhan epifit, bentuk daun ellipticus, perbungaan muncul diantara 2 ketiak daun dengan bentuk daun lanseolatus (Musa et al., 2013). Empat tipe tanaman anggrek berdasarkan tempat tumbuhnya menurut Sumardi dan Prabowo (2010); Syukur et al., 2012 yaitu: (a). Anggrek epifit tumbuh menunpang pada batang atau cabang lain. Contoh: anggrek bulan, Dendrobium sp., Cattleya sp. (b). Anggrek terestrial juga disebut anggrek tanah adalah anggrek yang tumbuh di tanah dan membutuhkan cahaya matahari langsung. Contoh: Vanda sp., Arachnis sp. (c). Anggrek Litofit adalah anggrek yang tumbuh pada batu-batuan atau tanah berbatu dan tahan terhadap cahaya matahari penuh. Anggrek ini mengambil makanan dari air hujan, udara, humus. Contoh: Cytopedium, Paphiopedilum. (d). Anggrek saprofit tumbuh pada media yang mengandung humus atau daun-daun kering serta membutuhkan sedikit cahaya matahari. Contoh: Calanthe, Gooddyera sp. Tipe pertumbuhan tanaman anggrek epifit menurut Sutopo (2009) commit to useryang hanya memiliki satu batang dan yaitu (a). Monopodial, yakni anggrek satu titik tumbuh. Batang utama terus tumbuh dan tidak terbatas 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
panjangnya. Bentuk batangnya ramping dan tidak berumbi. Tangkai bunga akan keluar di antara dua ketiak daun. Anggrek jenis ini dapat diperbanyak dengan cara stek, batang dan biji. Contoh genus Aerides, Arachnis, Vanda, Phalaenopsis, Renanthera dan lain-lain. (b). Simpodial adalah anggrek yang memiliki batang utama yang tersusun oleh ruas-ruas tanaman. Batang utama berhenti tumbuh pada akhir musim, dan akan menghasilkan pertumbuhan baru pada musin berikutnya. Anggrek tipe simpodial mempunyai batang yang berumbi semu (pseudobulb) yang berfungsi sebagai cadangan makanan, yang tumbuh pada setiap akhir musim pertumbuhan, seringkali dilanjutkan dengan fase berbunga. Akar anggrek tumbuh dari risom, bentuknya silindris, menebal, berbentuk benang atau bercabang dan biasanya panjang seperti Aerides. Bunga anggrek berkelamin dua (hermaprodit), yaitu pollen dan putik terdapat di dalam satu bunga, sedangkan karakter kelaminnya adalah monoandrae yaitu kelamin jantan dan betina terletak pada satu tempat (Syukur et al., 2012). Pada umumnya bunga anggrek tersusun dalam bentuk lateral inflorescence seperti Cymbidium, Oncidium, Odontoglossum, Lycaste dan Phaius. Tetapi adapula bunga yang muncul dari bagian dasar atau samping pseudobulb, tumbuh pada pseudobulb pendek tanpa daundaun atau muncul langsung dari risom diantara pseudobulb (Sutopo, 2009). Bunga anggrek tersusun dalam karangan bunga. Jumlah kuntum bunga pada satu karangan dapat terdiri dari satu sampai banyak kuntum. Karangan bunga pada beberapa spesies letaknya terminal, sedangkan pada sebagian besar letaknya aksilar (Ayu et al., 2012). Menurut Comber (2001), bunga anggrek memiliki beberapa bagian utama yaitu sepal (daun kelopak), petal (daun mahkota), stamen (benang sari), pistil (putik) dan ovarium (bakal buah). Sepal anggrek berjumlah tiga buah. Sepal bagian atas disebut sepal dorsal, sedangkan dua lainnya disebut sepal lateral. Anggrek memiliki tiga buah petal. Petal pertama dan kedua letaknya berseling dengan sepal. Petal ketiga mengalami modifikasi menjadi to user labellum (bibir). Padacommit labellum terdapat gumpalan-gumpalan yang mengandung protein, minyak dan zat pewangi. Warna bunga tananan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
anggrek sangat bervariasi dan berfungsi untuk menarik serangga hingga pada bunga untuk mengadakan polinasi (penyerbukan). Colum (tugu) yang terdapat pada bagian tengah bunga merupakan tempat alat reproduksi jantan dan alat reproduksi betina. Pada ujung columnya terdapat anter atau kepala sari yang merupakan gumpalan serbuk sari atau polinia. Polinia tertutup dengan sebuah cap (anther cap). Stigma (kepala putik) terletak di bawah rostellum dan menghadap ke labellum. Ovarium bersatu dengan dasar bunga dan terletak di bawah colum, sepal, dan petal. Biji anggrek tidak mengandung endosperm. Oleh karena itu, perkecambahannya dilakukan menggunakan media kultur jaringan.Biji pada tanaman anggrek diperoleh melalui proses penyerbukan (polinasi) yang diikuti dengan pembuahan. Persilangan pada tanaman anggrek tidak bisa terjadi secara alami kecuali pada jenis anggrek tertentu, oleh karena anggrek memiliki struktur bunga yang khas dengan kepala putik yang terletak di dalam maka sulit terjangkau serangga. Penyerbukan alami dengan bantuan angin juga jarang terjadi. Salah satu cara adalah penyerbukan dengan bantuan manusia (Andayani, 2007). Bentuk dan ukuran buah anggrek yang disebut dengan capsule sangat bervariasi,
dari
yang berukuran
kecil
seperti
pada
Dendrobium
canaliculatum sampai berukuran besar pada Catlleya. Bentuk buah umumnya lonjong dengan sedikit variasi, ada yang bulat gemuk, dengan kulit buah licin, ada yang memiliki semacam rambut dan sebagainya (Sutopo, 2009)
2. Studi Keragaman DNA dengan Penanda RAPD dan ISSR Karakterisasi genotipik adalah karakterisasi dengan memperhatikan susunan gen atau DNA yang merupakan ciri khas dari masing-masing spesies (Jones et al., 1998). Karakterisasi bertujuan untuk mengetahui identitas satu spesies berdasarkan susuan gen atau DNA. Selain itu commit to user pengelompokan atau klaster. karakteristik genotipik juga didapatkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
Karakter genotipik dapat dilakukan secara sitologi dan molekuler (Fatchiyah et al., 2011). Seiring berkembangnya teknologi ada beberapa teknik dan penanda untuk menganalisis hubungan kekerabatan dengan penanda molekuler. Penanda molekuler tersebut antara lain RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length
Polymorphism),
RFLP
(Restriction
Fragment
Length
Polymorphism), SSR (Simple Sequence Repeat), ISSR (InterSimple Sequence Repeat). RAPD adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk mempelajari keragaman antar spesies, dalam satu spesies dan antar populasi. Profil konstruksi RAPD memiliki beberapa keunggulan, seperti kecepatan proses, biaya rendah dan penggunaan sejumlah kecil bahan tanaman antara lain pada tanaman Trichodesma indicum (Verma et al., 2009). RAPD merupakan dasar dari metoda pendeteksian aksesi-aksesi anggrek yang dijadikan tetua maupun hasil persilangannya, misalnya untuk identifikasi kultivar Dendrobium, penanda RAPD mampu membedakan tetua dalam persilangan antar atau intra-sectional dan diperoleh hibrida (Inthawong et al., 2006). Beberapa penelitian menggunakan teknik RAPD antara lain, keragaman genetik pada tanaman hias antara lain anggrek Doritis (Katengam dan Padcharee, 2008), pada tanaman anggrek Aerides (Sivanaswari et al., 2011), identifikasi analisis genetik pada anggrek Vanda (Tanee et al., 2012), karakterisasi anggrek Phalaenopsis (Niknejad et al., 2009), interspesifik hibridisasi Begonia (Chen dan Mii, 2012), variasi genetik spesies Iris (Azimi et al., 2012). Selain itu studi keragaman genetik pada tanaman pangan dan lainnya lainnya misalnya perbedaan genetik interspesifik dan analisis kekerabatan genus Jatropha (Sudheer, 2009), evaluasi keragaman genetik Pisum sativum (Gowhar et al., 2010) dan identifikasi keragaman genetik salak Jawa (Nandariyah, 2007). Metode RAPD dapat menunjukkan perbedaan dari masing-masing jenis anggrek yang diidentifikasi. Hal ini dapat dilihat dengan adanya polato user et al., 2010; Parab dan Krishnan, pola keragaman anggrekcommit (Sulistianingsih 2008; Susantidiana et al., 2009). Tanaman anggrek merupakan tanaman
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
hias yang memiliki pola keragaman yang tinggi (Maiti et al., 2009; Xue et al., 2010; Khosravi et al., 2009). Tanaman ketumbar (Coriandrum sativum) memiliki pola pita polimorfisme dengan persentase 43.24%, (Nisha et al., 2011) lebih tinggi dari Dacydium pierrei 33,3% dan Cathaya argrophylla (32%) (Wang et al., 2009). Marka ISSR dihasilkan oleh amplifikasi DNA dengan PCR yang menggunakan primer tunggal. Intersimple Sequence Repeats (ISSR) digunakan untuk membentuk hubungan kekerabatan Grevillea, tanaman asli Australia (Pharmawati et al., 2004), penentuan kekerabatan strawberry (Fragaria ananassa Duch) yang diambil dari Fruit Breeding Departmen’s, Research Institute of Pomologi and Floriculture, Polandia (Kuras et al., 2004), keragaman genetik gandum di Cina Barat (Hou et al., 2005). Intersimple Sequence Repeats (ISSR) memiliki reproduksibilitas tinggi dari pada RAPD pada beberapa tanaman (Guo et al., 2009), karena penggunaan primer yang lebih panjang (16-25) basa nukleotida) dibandingkan primer RAPD (10 basa nukleotida), yang menggunakan suhu annealing yang tinggi (45-600 C). Intersimple Sequence Repeats (ISSR) kebanyakan tersegregasi sebagai marka yang dominan mengikuti penurunan Hukum Mendel (Astarini, 2009). Penanda bersifat dominan, yaitu tidak dapat membedakan individu yang homozigot dan heterozigot, sedangkan penanda kodominan dapat membedakan individu yang homozigot dan heterozigot. Sampai saat ini informasi mengenai keragaman genetik hasil persilangan tanaman anggrek yang dapat digunakan untuk perbaikan karakter belum banyak tersedia.
3. Persilangan Anggrek Hibridisasi atau persilangan adalah metode dalam menghasilkan kultivar tanaman baru yaitu dengan cara menyilangkan dua atau lebih tanaman yang memiliki konstitusi genetik berbeda dengan tujuan untuk menggabungkan karekter-karakter baik dalam satu tanaman, menambah commit to user keragaman genetik, memperluas variabilitas genetik tanaman melalui rekombinasi gen, dan untuk mendapatkan hibrid vigor. Pemilihan tetua
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
atau
kombinasi
hibrid merupakan hal yang sangat penting dalam
pemuliaan tanaman dan hal tersebut sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan program pemuliaan (Poehlman dan
Quick 1983 dalam
Damayanti 2006). Persilangan
anggrek ditujukan untuk mendapatkan varietas baru
dengan warna dan bentuk yang menarik, mahkota bunga kompak dan bertekstur tebal sehingga dapat tahan lama sebagai bunga potong, jumlah kuntum banyak dan tidak ada kuntum bunga yang gugur dini akibat kelainan genetis serta produksi bunga tinggi (Hadi, 2005). Menurut Andayani (2007) persilangan pada anggrek dapat dilakukan melalui perlakuan penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang. Penyerbukan sendiri artinya putik satu bunga diserbuki dengan benangsari (polen) berasal dari bunga yang sama. Penyerbukan silang artinya putik pada satu bunga diserbuki dengan menggunakan serbuksari yang berasal dari bunga pada tanaman lain tetapi masih satu jenis tanaman. Pemilihan tetua merupakan tahap awal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu program hibridisasi. Menurut Widiastoety et al. (2010) dalam pemilihan induk jantan dan betina yang akan disilangkan harus disertai penguasaan sifat-sifat kedua induk tersebut, termasuk sifat dominan seperti ukuran bunga, warna dan bentuk bunga yang akan muncul pada turunannya. Agar persilangan berhasil, sebaiknya dipilih induk betina yang mempunyai kuntum bunga yang kuat, tidak cepat layu atau gugur, mempunyai tangkai putik dan bakal buah yang lebih pendek agar tabung polen dapat mudah mencapai kantong embrio yang terdapat pada bagian bawah bakal. Persilangan bisa dikatakan berhasil apabila 3-4 hari setelah persilangan tangkai kuntum bunga induk betina masih segar atau berwarna kehijauan. Beberapa hari kemudian kelopak dan mahkota bunganya layu, kering dan akhirnya rontok, kemudian muncul calon buah yang berbentuk bulat telur dan berwarna hijau (Iswanto, 2005). Setelah terjadi fertilisasi, commit to user tumbuh dan berkembang menjadi zigot akan terbentuk yang selanjutnya embrio di dalam biji. Setelah terbentuk, zigot dapat dikecambahkan atau
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
ditumbuhkan secara in vitro. Proses tersebut dapat berlangsung apabila ada kecocokan antara pollen dan ovum (Darmono, 2006). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyilangkan anggrek adalah persilangan sebaiknya dilakukan pada pagi hari. Persilangan akan berhasil bila dilakukan sehari atau dua hari setelah bunga mekar atau minggu pertama sampai minggu kelima sejak bunga mekar (Darmono, 2003 cit. Hartati, 2006). Mekarnya kuncup-kuncup bunga merupakan suatu tanda bahwa putik telah masak dan siap untuk menerima serbuk sari yang akan disilangkan (Darjanto dan Siti, 1990 dalam Hartati, 2008). Melalui persilangan menyebabkan munculnya genotip - genotip baru yang dapat menambah karakter tanaman. Menurut Chaudari (1971) dalam Rostini (2005), walaupun persilangan tidak menghasilkan gen-gen baru, namun rekombinasi
genetik
dari
gen-gen
yang
dimiliki
kedua
tetua
memungkinkan diperolehnya variasi atau kombinasi gen-gen baru. Penelitian Tanee et al. (2012) pada tanaman hybrid Vanda dibandingkan dengan tetuanya, dengan analisis RAPD dapat membedakan anggrek liar, hibrida, spesies pada tiga kelompok yang berbeda.
4. Sitologi Anggrek Sitologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang sel. Kromosom adalah bahan genetik yang terletak di dalam sel. Kromosom adalah suatu struktur makro molekul yang berisi DNA dimana informasi genetik dalam sel disimpan. Perbedaan kromosom menggambarkan perbedaan kandungan genetik pada suatu individu. Individu dalam satu spesies mempunyai jumlah kromosom sama tetapi spesies yang berbeda dalam satu genus mempunyai jumlah kromosom berbeda (Suliartini et al., 2004). Individu-individu dalam satu spesies biasanya mempunyai jumlah kromosom sama, tetapi spesies yang berbeda dalam satu genus sering mempunyai jumlah kromosom berbeda. Tipe dan jumlah kromosom setiap makhluk hidup berbeda-beda. Dengan mikroskop perbesaran 1000x commit to user satu dengan yang lain dari seluruh kromosom dapat dibedakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
penampilannya. Hal ini dikarenakan ukuran kromosom dan posisi sentromernya berbeda. Ramesh dan Renganathan (2013a) menyatakan bahwa
spesies
Coelogyne corymbosa memiliki kromosom 2n=26 dan Coelogyne fimbriata 2n=22, dan disebut sebagai diploid sedangkan pada penelitian sebelumnya menyatakan bahwa spesies tersebut memiliki kromosom 2n=44. Pada anggota Orchidaceae, menunjukkan variasi kromosom somatik yang dipelajari dari 2n=10 sampai 40. Spesies yang memiliki kromosom somatik 30 yaitu Coelogyne breviscapa 2n=32 dan Coelogyne cristata 2n=26 dianggap sebagai triploid. Anggrek yang memiliki jumlah kromosom n=19 lebih banyak dari pada yang memiliki jumlah kromosom n=20. Terdapat sekitar 280 spesies anggrek memiliki jumlah kromosom n=19, sedangkan yang memiliki jumlah kromosom n=20 sekitar 274 spesies. Anggrek Phalaenopsis pinlong cinderela dan Phalaenopsis Joane Killeup June memiliki jumlah kromosom 2n=40 (Hartati, 2010). Anggrek alam tetua Paraphalaeonopsis serpentilingua memiliki jumlah kromosom 2n=40, hasil persilangannya menunjukkan
jumlah kromosom 2n=38. Anggrek tetua Rhyncostiles
gigantea common memiliki jumlah kromosom 2n=40, hasil persilangannya 2n=40. Tetua Paraphalaeonopsis labukensis memiliki jumlah kromosom 2n=40, hasil persilangannya 2n=38 (Hartati, 2011). Penelitian Balanos et al. (2008), membuktikan bahwa kromosom induk Phalaenopsis sp mempunyai 2n=38 tetapi pada keturunannya Doritaenopsis memberikan hasil jumlah kromosom yang berbeda 2n=76.
B. Kerangka Berpikir Indonesia memiliki kekayaan ragam plasma nutfah anggrek yang bernilai ekonomis dan belum semua teridentifikasi. Salah satu anggrek yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah anggrek hitam (Coelogyne pandurata) yang berasal dari Provinsi Kalimantan Timur. Anggrek hitam commit to user mempunyai karakter bunga yang unik yakni berukuran besar, berwarna hijau dengan lidah hitam tersusun pada rangkaian tandan dengan panjang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
15-20 cm dan jumlah bunganya mencapai 14 kuntum per tandan. Warna hitam pada lidah bunga merupakan sifat yang langka, yang dibutuhkan oleh para ahli pemuliaan tanaman untuk menghasilkan silangan baru.. Oleh karena di habitat aslinya jenis ini sudah sukar ditemukan, maka usaha pembudidayaan dan peningkatan ragam genetik harus dilakukan, salah satunya adalah dengan melakukan persilangan dengan jenis lain. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan persilangan pada tanaman anggrek adalah kedekatan hubungan kekerabatan. Tanaman anggrek yang berkerabat dekat akan meningkatkan peluang keberhasilan. Oleh karena itu untuk melakukan persilangan pada Coelogyne pandurata perlu dilakukan seleksi tetua yakni spesies lain dari genus Coelogyne spp Untuk mengetahui keragaman dan hubungan kekerabatan pada tanaman anggrek dapat dilakukan dengan karakterisasi menggunakan penanda morfologi dan karakterisasi menggunakan penanda molekuler. Karakterisasi menggunakan penanda morfologi biasanya dipengaruhi lingkungan. Penanda molekuler dapat memberikan gambaran yang lebih akurat, karena analisis deoxyribo nucleid acid (DNA) sebagai materi genetik tidak dipengaruhi lingkungan. Penanda molekuler RAPD merupakan salah satu yang dimanfaatkan dalam kegiatan pemuliaan anggrek. Hasil karakterisasi menggunakan penanda morfologi dan molekuler RAPD digunakan untuk menyeleksi tetua yang mempunyai kedekatan genetik dengan anggrek hitam (Coelogyne pandurata). Tetua terpilih tersebut akan digunakan sebagai bahan persilangan. Metode persilangan yang digunakan juga dapat menentukan keberhasilan persilangan. Untuk itu persilangan antara Coelogyne pandurata dengan tetua terpilih perlu diuji dengan menggunakan metode crossing, reciprocal dan selfing. Keragaman pada hasil persilangan anggrek dapat diketahui dengan menggunakan analisis sitologi, flow cytometry, molekuler RAPD dan commit akan to user ISSR. Dengan analisis tersebut dapat diprediksi apakah F1 dari hasil persilangan anggrek menghasilkan karakter baru yang berbeda dari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
induknya. Upaya memecahkan permasalahan kelangkaan anggrek hitam Coelogyne pandurata di atas maka penelitian ini dilaksanakan melalui alur penelitian yang tersaji pada Gambar 1 berikut.
Keragaman anggrek Coelogyne spp. Kajian 1 dan 2 Identifikasi anggrek Coelogyne spp.berdasarkan karakter morfologi dan molekuler RAPD
Pemilihan ragam genetik/ seleksi berdasarkan karakter morfologi dan molekuler RAPD
Kajian 3 Hibridisasi: crossing, reciprocal dan selfing
Didapatkan tetua terpilih Coelogyne rumphii
Didapatkan biji hasil persilangan
Kajian 4 dan 5 Identifikasi hasil persilangan Coelogyne pandurata secara sitologi, flow cytometry, molekuler RAPD dan ISSR Teridentifikasi keragaman F1 hasil persilangan Didapatkan Varian baru Anggrek commit to user alur penelitian Gambar 1. Diagram
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
C. Hipotesis 1. Terdapat keragaman dan kedekatan genetik (kekerabatan) Coelogyne pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp. 2. Terdapat persilangan yang kompatibel antara Coelogyne pandurata dengan dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp. 3. Terdapat varian baru pada F1 hasil persilangan Coelogyne pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp. berdasarkan sitologi (kromosom dan tingkat ploidi) 4. Terdapat varian baru pada F1 hasil persilangan Coelogyne pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp. berdasarkan penanda molekuler RAPD dan ISSR (InterSimple Sequence Repeats).
D. Kebaharuan (Novelty) Kebaharuan (novelty) yang telah didapatkan dari beberapa kajian yang dilakukan adalah: 1. Metode persilangan yang kompatibel antara Coelogyne pandurata dengan Coelogyne rumphii. 2. Teridentifikasi susunan kromosom anggrek Coelogyne pandurata diploid (2n=2x=36) dan Coelogyne rumphii tetraploid (2n=4x=72) 3
Diperoleh varian baru F1 hasil persilangan Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii berdasarkan analisis sitologi yang mempunyai susunan kromosom triploid 2n=3x=54
4
Diperoleh varian baru F1 hasil persilangan Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii berdasarkan analisis molekuler.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Penelitian Karakterisasi morfologi dan persilangan dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor, Analisis flow cytrometry, Analisis molekuler dilakukan di Laboratorium Pusat Kajian Hortikultura dan Tropika IPB Bogor dan Laboratorium Genetika Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor, Analisis Sitologi dilakukan di Laboratorium Sitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor.
B. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan April 2012 sampai Nopember 2014 C. Tatalaksana Penelitian Tahap-tahap kegiatan penelitian meliputi lima kajian 1. Identifikasi keragaman anggrek Coelogyne spp berdasarkan karakter morfologi. Penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor Jawa Barat. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian merupakan koleksi tanaman di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor meliputi 6 spesies anggrek dari genus Coelogyne spp yaitu C. pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis dan C. rumphii. Identifikasi
karakter
morfologi
dilakukan
secara
deskriptif
berdasarkan pengamatan langsung dan pendokumentasian bagian-bagian tanaman anggrek Coelogyne spp, meliputi 45 karakter (Gravendeel and Voogel, 2000), terdapat pada lampiran 6. Analisis data dilakukan menggunakan skoring data morfologi dari data deskriptif ke dalam suatu bentuk skor secara biner. Besarnya kemiripan genetik antar individu diperoleh dari analisis klaster atau to user gerombol menggunakancommit program NTSYSpc versi 2.02i dengan metode
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
UPGMA (Unweighted Pair Group Method of Arithmatic Average) fungsi SimQual (Rohlf, 1998).
Coelogyne pandurata Kalimantan Timur
Coelogyne massangeana Sumatra Barat
Coelogyne mayeriana Kalimantan Barat
Coelogyne asperata Kalimantan
Coelogyne celebensis Sulawesi Selatan
Coelogyne rumphii Sulawesi Selatan
Gambar 2. Bahan penelitian tanaman anggrek Coelogyne spp.
2.
Identifikasi keragaman genetik anggrek Coelogyne spp berdasarkan penanda molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Kajian Hortikultura dan Tropika
(PKHT) IPB Bogor dan Laboratorium Genetika Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 6 spesies: Coelogyne pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis dan C. rumphii. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah: CTAB, H2O, HCl, NaCL, EDTA, PVPP, NaCl, merkaptoetanol, CIAA (kloroform isoamylalkohol), Na Asetat, primer, master mix untuk PCR, agarose, buffer TAE, dan buffer TE gel loading. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi timbangan analitik, mesin centrifuge, vortex, inkubator, gene quant,
asppirator, ,
mesin PCR, elektroforesis tank, cetakan agarose, biorad dan kamera digital. Tahapan penelitian meliputi ekstraksi DNA, uji kuantitas dan kualitas DNA, reaksi amplifikasi, dan elektroforesis. DNA genom diekstraksi dari daun muda menurut metode CTAB (Doyle dan Doyle, 1987), dengan beberapa modifikasi. Uji kualitas DNA, membuat elektroforesis agarosa dan dimasukkan ke dalam cetakan yang mengandung TAE penyangga. Mempersiapkan DNA lambda sebagai pembanding. Pencampuran setiap sampel DNA dengan pewarna pemuatan sebagai pemberat. Seleksi primer Operon Technology (Operon Almaeda, 2000) digunakan untuk mendapatkan produk amplifikasi dengan tingkat polimorfisme yang tinggi. Primer yang digunakan adalah 11 primer dari 15 primer yang diuji adalah OPA 02, OPA 07, OPA 09, OPA 13, OPA 16, OPB 12, OPB17, OPB 18, OPD 02, OPD 08 dan OPD11. Adapun jenis primer dan urutan nukleotida yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Jenis primer dan urutan nukleotida penyusunnya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Primer OPA-02 OPA-07 OPA-09 OPA-13 OPA-16 OPB-12 OPB-17 OPB-18 OPD-02 OPD-08 OPD-11
Sequence 5’ to 3’ TGCCGAGCTG GAAACGGGTG GGGTAACGCC CAGCACCCAC AGCCAGCGAA CCTTGACGCA AGGGAACGAG CCACAGCAGT GGACCCAACC commit to user GTGTGCCCCA AGCGCCATTG
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
Amplifikasi PCR dilakukan sebanyak 45 siklus yang terdiri dari beberapa tahap yaitu preheating 95oC selama 5 menit, denaturasi suhu 95oC selama 30 detik, annealing 36oC selama 30 detik, elongasi 72oC selama 1 menit dan elongasi akhir 72oC selama 5 menit. Proses elektroforesis dilakukan untuk mengetahui kenampakan pita DNA. Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) selama 30 menit. Hasil elektroforesis diamati di bawah UV transluminator kemudian difoto dengan kamera.
Analisis Data Keragaman genetik diamati dengan menentukan skor berdasarkan ada atau tidaknya pita DNA. Pita DNA diterjemahkan dalam data biner, jika ada nilai 1 dan jika tidak ada nilai 0. Analisis pengelompokan dilakukan secara cluster analysis menggunakan program NTSYSpc (Numerical Taxonomy and Multivariative Analysis System) versi 2.02 (Rolhf, 1998) dengan metode Unweight Pair Group Method Arithmetic (UPGMA) fungsi SIMQUAL (Similarity Qualitative). Matrik kemiripan menggunakan koefisien Dice (Rolhf, 1998), sehingga akan diperoleh dendrogram hubungan kekerabatan anggrek Coelogyne spp.
3.
Teknik Hibridisasi untuk menambah ragam genetik anggrek hitam (Coelogyne pandurata) Hasil kajian pertama dengan penanda morfologi dan kajian kedua
dengan penanda molekuler diperoleh tetua terpilih C. rumphii yang mempunyai kedekatan genetik dengan C. pandurata, yang akan digunakan sebagai bahan hibridisasi. Persilangan dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI Bogor, dilanjutkan penumbuhan biji secara invitro di laboratorium Kultur Jaringan Kebon Raya Bogor dan di Laboratorium Fisiologi dan Bioteknologi Fakultas Pertanian UNS. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tetua to user tanaman anggrek hitamcommit (C. pandurata) dan tetua tanaman anggrek C.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
rumphii. Alat yang digunakan adalah pinset, tusuk gigi, kertas label, benang, dan loupe. Persilangan dilakukan pada pagi hari pukul 07.00 – 10.00 pada tanaman yang telah mekar penuh dengan menyilangkan induk C. pandurata dan C. rumphii sebagai tetua jantan atau betina. Polinia ditransfer dari anther ke stigma dengan menggunakan tusuk gigi steril. Persilangan dilakukan pada 4 individu yang berbunga sebagai ulangan, dengan metode sebagai berikut: (i) crossing: C. pandurata sebagai induk betina yaitu polinia ditransfer ke dalam stigma antara dua bunga yang berbeda berasal dari dua individu tanaman, (ii) reciprocal: C. pandurata sebagai induk jantan, (iii) selfing yaitu polinia ditransfer ke dalam stigma pada satu bunga dalam satu tanaman. Setelah penyerbukan dilakukan pengamatan persentase keberhasilan persilangan, buah rontok dan kemasakan buah serta terbentuknya protokorm diamati secara teratur.
4. Identifikasi hasil persilangan Coelogyne pandurata dengan Coelogyne rumphii berdasarkan analisis sitologi dan flow cytometry. Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika dan Laboratorium Sitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tetua anggrek C. pandurata, tetua anggrek C. rumphii, F1 hasil persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii, F1 hasil persilangan ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata. Metode penelitian meliputi dua percobaan: Analisis Sitologi dan Flow Cytometry a. Analisis Sitologi Analisis sitologi ini dilakukan untuk mengetahui jumlah kromosom, bentuk kromosom dan ukuran kromosom tetua dan hasil silangannya. Cara kerja: ujung akar sepanjang 1 cm dimasukkan ke dalam botol berisi 8Hydroxyquinoline 0.002 M dan disimpan selama 24 jam pada suhu 200C, commit to user asam asetat 45% selama 10 menit, selanjutnya ujung akar difiksasi dengan akar dipindahkan ke dalam larutan HCL 1 N : asam asetat 45% (3:1) pada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
suhu 600C selama 2-2.5 menit (dipanaskan), pewarnaan akar menggunakan orcein 2%. Ujung akar dipotong sepanjang 1-2 mm, kemudian diletakkan diatas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup dengan media orcein 2%, selanjutnya ujung akar dipijit atau dipukul-pukul halus dengan pinset dan dipanaskan, preparat diamati dengan mikroskop Olympus CX31. Sel terpilih diamati dengan perbesaran 40 x 10, kromosom dihitung dengan perbesaran 1000 x. Dari tiap preparat yang berisi ujung akar, dipilih beberapa sel yang menunjukkan fase metaphase dan tidak terjadi tumpang tindih antar sel dan antar kromosom, pada fase tersebut kromosom tampak menyebar, sehingga memudahkan dalam pengamatan. Variabel pengamatan jumlah kromosom dilaksanakan dengan menggunakan metode squash menurut Darnaedi (1991) dan Manton (1950). Pengamatan meliputi jumlah kromosom, ukuran kromosom dan bentuk kromosom. Penentuan bentuk kromosom mengacu pada cara Ciupercescu et al. (1990) cit. Parjanto et al. (2003), dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Bentuk kromosom berdasarkan rasio lengan kromosom Bentuk kromosom Metasentrik (m) Submetasentrik (sm) Akrosentrik (a) Telosentrik (t)
Rasio lengan ( ⁄ ) 1,0 < r ≤ 1,7 1,7 < r ≤ 3,0 3,0 < r ≤ 7,0 ≥ 7,0
b. Analisis Flow Cytometry Analisis Flow Cytometry dilakukan untuk mengetahui tingkat ploidi tetua dan hasil silangannya. Cara kerja: Potongan daun (0.5 cm2) dicacah menggunakan silet di dalam cawan petri yang berisi 250 µl buffer ekstraksi. Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring menggunakan Partec 30 µl Cell Trics filter. Pewarnaan menggunakan buffer PI (Propidium Iodide) dan RNAse
(1 ml), selanjutnya diinkubasi selama 30 menit sebelum
dianalisis dalam flow cytometry. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
5. Identifikasi hasil persilangan Coelogyne pandurata dengan Coelogyne rumphii menggunakan marka molekuler RAPD dan ISSR. Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tetua tanaman anggrek C. pandurata, tetua anggrek C. rumphii, F1 hasil persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii, F1 hasil persilangan ♀ C. rumphi x ♂ C. pandurata. Metode penelitian meliputi ekstraksi DNA, genom DNA diekstraksi mengikuti metodologi yang dijelaskan oleh Doyle dan Doyle (1987), dengan beberapa modifikasi. Isolasi sampel daun segar + 0.4 g, daun segar digerus dengan pestle dalam tube 1.5 ml sampai halus, ditambah + 0.03 g PVP dan + 0.1 g pasir kuarsa (untuk membantu penggerusan), Memasukkan sampel yang sudah halus kedalam tube (1.5 ml) yang telah diisi dengan 800 ul buffer ekstraksi, kemudian diInkubasi dalam suhu 65oC selama 1 jam di waterbath. Ditambahkan 700 ul C:I (chloroform:isoamil alkohol, 24:1) dan di campur rata kemudian di sentrifuse dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit pada suhu kamar. Mengambil supernatan yang terbentuk 500 ul kemudian ditambahkan 500 ul Et-OH absolut kemudian diinkubasi dalam freezer -20oC selama 12 jam. Sentrifuse dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit, kemudian buang supernatan, kemudian dikeringanginkan 15 menit, pellet dilarutkan dengan 300 ul ddH2O kemudian ditambah 15 ul RNAse (200 ug/ ml). Diinkubasi dalam suhu 37oC selama 30 menit dan tambahkan 300 ul PCI (phenol chloroform isoamilalkohol, 24:1:1) lalu di campur. Sentrifuse dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit dan mengambil 500 ul supernatan dan ditambahkan dengan 500 ul CI (24:1), dicampur rata kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Mengambil supernatan yang terbentuk dan tambahkan Et-OH absolut dengan volume 1:1 dan diinkubasi dalam freezer -20oC selama 12 jam. Sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Buang supernatan dan cuci dengan alkohol 80 % dan commit to user dilakukan sentrifugasi lagi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
pelet dikeringkan dengan dikering anginkan. Pelet yang terbentuk diencerkan dengan 25 ul TE. Uji
kualitas
DNA
dilakukan
dengan
elektroforesis
dengan
membandingkan dengan DNA lamda. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kualitas DNA: a. Agarose dibuat dan diletakkan dalam cetakan elektroforesis dan dibiarkan sampai padat, b. Gel agarose dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE, sampai terendam, c. DNA lambda disiapkan sebagai pembanding. d. Masing-masing DNA sampel dicampur dengan loading dye sebagai pemberat, e. DNA lambda dan DNA sampel yang telah dicampur dengan loading dye dimasukkan pada sumuran gel elektroforesis, kemudian dilakukan elektroforesis selama 57 menit pada voltase 50 volt, f. Gel hasil eletroforesis direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) selama 30 menit, g. Hasil elektroforesis diamati di bawah UV transluminator kemudian difoto dengan kamera, h. Hasil foto dilihat dan dibandingkan antara DNA sampel dengan DNA lambda, dengan ditandai ada atau tidaknya pita DNA. Seleksi primer dari Operon Technology (Operon Almaeda, 2000) digunakan untuk mendapatkan produk amplifikasi dengan tingkat polimorfisme yang tinggi. Enam RAPD primer: OPA-02, OPA-07, OPB-12, OPB-17, OPB-18, OPD11 (Operon Technology Ltd) dan empat primer ISSR yang dipilih adalah primer yang digunakan pada anggrek Cattleya labiata (Lucas et al., 2012) yaitu UBC 814, UBC 826, UBC 807 dan UBC 810 dan pada anggrek Cymbidium sinense ( Jiang et al., 2011) yaitu UBC 826 dan UBC 807. Analisis data Analisis keragaman genetik berdasarkan data fragmen DNA yaitu ada atau tidaknya pita DNA. Profil pita DNA diterjemahkan dalam data biner dengan ketentuan nilai 0 untuk tidak ada pita dan nilai 1 untuk ada pita DNA pada satu posisi yang sama dari jenis anggrek yang dibandingkan. Untuk mengetahui besarnya keragaman maupun kemiripan genetik antar to user individu tetua dan hasilcommit persilangan dengan menggunakan analisis klaster atau gerombol. Analisis klaster dilakukan dengan program NTSYSpc versi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
2.02i dengan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method of Arithmatic Average) fungsi SimQual (Rohlf, 1998).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Identifikasi Keragaman Genetik Coelogyne spp berdasarkan Penanda Morfologi
a. Pendahuluan Family Orchidaceae, salah satu family tanaman bunga terbanyak, dengan keragaman spesies yang tinggi (Wallace, 2003; Niknejad et al., 2009). Karakterisasi tanaman merupakan kegiatan untuk menemukan deskripsi
masing-masing spesies digunakan
sebagai
bahan untuk
menentukan hubungan kekerabatan antar spesies. Hubungan kekerabatan berbagai jenis tanaman merupakan sumber informasi awal untuk hibridisasi untuk menghasilkan variasi. Xu et al. (2010) menyatakan bahwa semakin jauh hubungan genetik tanaman, semakin sulit untuk persilangan. Maka dibutuhkan untuk proses penentuan kekerabatan berbagai macam jenis anggrek. Penentuan kekerabatan dapat dilakukan fenotipe dengan pengamatan morfologis. Salah satu keberhasilan persilangan adalah hubungan erat antara kekerabatan genetik tetua. Oleh karena itu, perlu untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan menentukan kedekatan genetik antara C. pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne digunakan sebagai tetua dengan menggunakan penanda morfologi.
b. Bahan dan Metode Bahan tanaman koleksi dari Pusat Konservasi tumbuhan Kebun Raya LIPI Bogor beberapa spesies Coelogyne spp (Tabel 3)
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Tabel 3. Bahan tanaman berdasarkan asal dan ketinggian tempat No 1 2 3 4 5 6
Nama anggrek Coelogyne pandurata Coelogyne massangeana Coelogyne mayeriana Coelogyne asperata Coelogyne celebensis Coelogyne rumphii
Asal Kalimantan Timur Sumatra Barat Jambi Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan
Ketinggian tempat (m. dpl) 100 1150-2100 100 320/ 1000 826/ 220 100-2000
Metode penelitian: Penelitian dilakukan dengan cara pengamatan morfologi secara langsung dan mendokumentasikan bagian-bagian dari 6 spesies anggrek Coelogyne. Karakterisasi dilakukan terhadap batang, daun, bunga serta akar meliputi 45 karakter dengan menggunakan skoring menurut Gravendeel dan Vogel (2000), terdapat pada lampiran 6. Analisis data dilakukan menggunakan skoring data morfologi dari deskripsi menjadi data biner. Karakter morfologi dianalisis dengan menandai ada (1) atau tidak ada (0) untuk setiap karakter yang dihasilkan. Untuk mengetahui besarnya keragaman maupun kemiripan antar individu
menggunakan analisis klaster/ gerombol. Analysis klaster
dilakukan dengan program NTSYSpc versi 2.02i dengan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method of Arithmatic Average) fungsi SimQual (Rohlf, 1998).
c. Hasil dan Pembahasan Identifikasi morfologi dari enam spesies Coelogyne yaitu C. pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis dan C. rumphii meliputi 45 karakter (Gravendeel dan Vogel, 2000) seperti rimpang, umbi semu, tipe perbungaan, batang penumpu, tangkai majemuk, daun pelindung, bakal buah, mahkota, kelopak, bibir, kepingan ketiga pada bibir bunga, epichile, leher tugu, benang sari, tangkai memanjang alat kelamin jantan dan betina. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
Tabel 4. Matrik kemiripan berdasarkan penanda morfologi 1 1 1.00 2 0.93 3 0.93 4 0.95 5 0.78 6 0.80 Keterangan : 1= C. rumphii 2= C. pandurata 3= C. massangeana
2
3
4
5
6
1.00 0.91 0.93 0.75 0.78
1.00 0.93 0.80 0.82
1.00 0.73 0.75
1.00 0.98
1.00
4= C. mayeriana 5= C. asperata 6= C. celebensis
Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai kemiripan antar anggrek Coelogyne berkisar antara 0.73-0.98. Nilai kemiripan sifat morfologi antar spesies yang besar mencerminkan kemiripan atau dekatnya kekerabatan antara satu spesies dengan spesies lainnya. Nilai kemiripan 0.73 terdapat antara C. mayeriana dengan C. asperata. Nilai kemiripan paling dekat adalah 0.98 terdapat antara C. asperata dan C. celebensis. Karena dalam penelitian ini yang menjadi target untuk dilakukan peningkatan ragam genetik adalah C. pandurata maka akan dipilih sebagai tetua yang dimiliki kedekatan genetik adalah C. pandurata. C. pandurata. menunjukkan koefisien kemiripan 0.93 dengan C. rumphii dan C. mayeriana. Dari karakter yang diamati terdapat perbedaan sifat morfologi yaitu pada bunga C. pandurata warna hijau dengan lidah hitam bentuk petal (mahkota) bulat telur, jumlah daun pada bulb dua sedang C. rumphii warna kuning lidah coklat bentuk petal lurus, jumlah daun pada bulb satu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
Gambar 3. Dendrogram pengelompokan Coelogyne spp berdasarkan penanda morfologi Gambar 3 menunjukkan bahwa klasifikasi dari enam spesies Coelogyne berdasarkan morfologi dengan koefisien kemiripan 0.93 menghasilkan tiga kelompok yaitu kelompok pertama terdiri atas C. rumphii, C. mayeriana, dan C. pandurata, kelompok kedua C. massangeana, sedang kelompok ketiga terdiri atas C. asperata dan C. celebensis dengan perbedaan morfologi pada tangkai majemuk daun pelindung bawah, daun pelindung selaput bunga, mahkota, leher tugu. C. mayeriana tidak termasuk anggrek langka, mekar bunga tidak serentak serta jarang berbunga. Jika anggrek dalam kelompok yang sama dilakukan persilangan maka kemungkinan persilangan akan berhasil (Purwantoro et al. 2005). Dendrogram gambar 3 menunjukkan adanya kemiripan antara 78% - 98% atau keragaman genetik antar spesies berkisar 2% - 22%. Hal ini sesuai pendapat dari Maiti et al., 2009 dan Khosravi et al., 2009 yang mengatakan bahwa tanaman anggrek merupakan tanaman yang memiliki pola keragaman yang tinggi C. celebensis dan C. rumphii, terdapat di Semenanjung Malaysia, commit Sulawesi to user dan Maluku. Spesies ini semua Sumatera, Jawa, Kalimantan, memiliki pseudobulb unifoliate kecuali C. celebensis dan C.asperata, yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
juga dapat memiliki beberapa pseudobulbs berdaun dua, persamaan lain didukung dengan sub kelompok C. celebensis dan C. rumphii, yang keduanya memiliki daun pelindung bunga lonjong. Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan dengan hasil deskripsi yang dilakukan oleh Gravendeel dan Vogel, 2000 yaitu pada jumlah bunga pada setiap tangkai, batang penumpu pada bunga, daun pelindung bawah, mekarnya bunga, kelopak, bakal buah, bibir, kepingan ketiga pada bibir bunga, leher tugu, benang sari dan tangkai yang menunjang alat kelamin betina dan jantan. Perbedaan karakter dalam satu spesies anggrek dapat terjadi karena respon
anggrek
terhadap
lingkungan
tempat
tumbuhnya.
Cahaya
mempunyai pengaruh terhadap anggrek secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung yatiu pada proses fotosintesis dan pengaruh tidak langsung yaitu terhadap pertumbuhan, perkecambahan dan pembungaannya.
d. Kesimpulan Hasil penentuan keragaman secara morfologi dari enam spesies anggrek dari genus Coelogyne spp yaitu Coelogyne pandurata, Coelogyne massangeana, Coelogyne mayeriana, Coelogyne asperata, Coelogyne celebensis dan Coelogyne rumphii diperoleh karakter yang beragam antara 2% – 22%. Dari enam spesies tersebut, Coelogyne rumphii dan Coelogyne mayeriana merupakan spesies yang memiliki keragaman paling rendah atau memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan Coelogyne pandurata, yakni secara morfologi memiliki kemiripan 93%, sehingga berpeluang untuk dipilih menjadi tetua persilangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
2. Identifikasi Keragaman Genetik Coelogyne spp berdasarkan Marka Molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
a. Pendahuluan Dalam rangka untuk meningkatkan keragaman suatu spesies melalui persilangan maka dibutuhkan proses penentuan kekerabatan berbagai jenis anggrek. Penentuan kekerabatan dapat dilakukan secara genotipik adalah penentuan kekerabatan dengan memperhatikan susunan gen atau DNA (Jones et al., 1998). Hubungan kekerabatan berbagai jenis tanaman merupakan sumber informasi awal yang digunakan dalam program hibridisasi untuk menghasilkan variasi. Xue et al. (2010), menyatakan bahwa semakin jauh spesies hubungan genetik tanaman, semakin sulit untuk disilangkan. dengan memperhatikan susunan gen atau DNA (Jones et al., 1998). Analisis RAPD adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan hubungan kekerabatan antar spesies tanaman (Arya et al., 2011; Vural et al., 2009, Das et al., 2009, Verma et al., 2009). RAPD mendasarkan pada metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yaitu reaksi untuk memperbanyak fragmen DNA menggunakan primer oligonukleotida (Khosravi et al., 2009). Dalam RAPD ini digunakan primer tunggal dengan urutan nukleotida acak. Penggunaan primer pendek dengan 10 sekuen basa sekitar 10 mer memungkinkan dihasilkan potongan/ pita DNA (Parab dan Krishnan, 2008 dan Maiti et al., 2009). Riedy et al. (1992); Inthawong et al. (2006) dan Azzrai (2005) menyebutkan beberapa keuntungan RAPD yaitu (1) biaya murah, (2) jumlah sampel DNA yang digunakan sedikit (3) mudah pelaksanaan, (4) primer yang digunakan mudah diperoleh . Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi keragaman genetik dan menentukan tetua yang mempunyai kedekatan genetik antara anggrek hitam C. pandurata dengan spesies lain dalam genus Coelogyne spp berdasarkan marka molekuler RAPD. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
b. Bahan dan Metode Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian adalah beberapa spesies dari anggrek Genus Coelogyne spp koleksi dari Kebun Raya LIPI Bogor (Tabel 3). Bahan kimia yang diperlukan dalam analisis DNA total dengan metode RAPD-PCR adalah: CTAB, EDTA, Tris-HCL, PVPP, aquades steril, mercaptoethanol, NaCl, pasir kuarsa, kloroform, isoamil, alkohol, etanole absolut, alkohol 70 %, buffer PCR master mix yang berisi campuran dNTP, polimerase Taq DNA, MgCl2, dan primer. Primer yang digunakan adalah 11 primer dari 15 primer yang diuji yaitu OPA 02, OPA 07, OPA 09, OPA 13, OPA 16, OPB 12, OPB 17, OPB 18, OPD 02, OPD 08 dan OPD 11. Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a). Mengambil sampel masing-masing spesies diambil 1 gram daun muda, dicuci bersih dengan alkohol. b). Sampel dihaluskan dengan mortar dan ditambahkan sekitar 0,1 gram PVPP (polivinil poli pirilidon) digerus dalam Nitrogen cair sampai halus. c). Sampel dimasukkan kedalam tabung ependorf volume 1,5 ml, ditambahkan 5 ml buffer ekstraksi (2% CTAB, 100 nM Tris HCl pH 8, NaCl 1,4 M, EDTA 20 nM) dan ditambah merkaptoetanol 1 % sebanyak 5 µL.Campuran dikocok dengan vortex dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu 65oC, d). DNA dalam supernatan dimurnikan dengan CIAA (Chloroform Isoamyl alcohol) 24:1, dicampur dengan mengggunakan vortex, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 11.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC, e). Supernatan dipindahkan pada tabung baru dengan menggunakan pipet mikro dan ditambahkan 5 ml isopropanol dingin, diinkubasi selama 15 jam pada suhu 20oC di dalam freezer. h). Sampel dikeluarkan dari freezer dan disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 11.000 rpm, i). DNA dimurnikan dengan menambahkan alkohol 70% dan disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 8000 rpm, j).Cairan dibuang, endapan DNA dikeringkan dengan cara membalikkan commit toDNA user dilarutkan dalam 1 ml buffer TE, tabung eppendorf, k). Endapan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
ditambahkan Natrium Asetat 3 M pada pH 5,2 sebanyak 1/ 10 volume alkohol absolut sebanyak 2,5 volume. Uji Kualitas DNA Uji kualitas DNA hasil ekstraksi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a). Melarutkan 0,36 g bubuk agarose dalam 30 ml larutan TAE (Tris base, Asam asetat glasial, EDTA) dan dipanaskan dalam microwave selama dua menit. Larutan agarosa ditambah larutan etidium bromida sebanyak 1,5 dituang dalam cetakan elektroforesis dan dibiarkan sampai padat. b). Gel agarose dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE, sampai terendam. c). DNA lambda disiapkan sebagai pembanding, d). Masing-masing DNA sampel dicampur dengan loading dye sebagai pemberat, e). DNA lambda dan DNA sampel yang telah dicampur dengan loading dye dimasukkan pada sumuran gel elektroforesis, kemudian dielektroforesis selama 57 menit pada voltase 50 vol, f). Gel hasil eletroforesis direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) selama 30 menit, g). Hasil elektroforesis diamati di bawah UV transluminator kemudian difoto dengan kamera. h). Hasil foto dilihat dan dibandingkan antara DNA sampel dengan DNA lambda, dengan ditandai ada atau tidaknya pita DNA. Amplifikasi RAPD Lima belas primer RAPD dari Operon Technologies, USA diuji dengan DNA dari tanaman yang dipilih. Sebelas primer yang menunjukkan hasil jelas dan dipilih untuk amplifikasi DNA (PCR - RAPD). Sampel DNA dicampur dengan PCR master mix yang berisi MgCl, taq polimerase, dNTP dan memasukkan ke dalam mesin PCR selama 45 siklus yang terdiri dari beberapa tahap yaitu preheating 95oC selama 5 menit, denaturasi suhu 95oC selama 30 detik, annealing 36oC selama 30 detik, elongasi 72oC selama 1 menit dan elongasi akhir 72oC selama 5 menit. Visualisasi DNA hasil RAPD PCR menggunakan transluminnator UV dan dipotret dengan commit to user kamera.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
Analisis Data Analisis data yang diperoleh hasil elektroforesis berupa penampilan pola pita DNA dimulai dengan melakukan skor data. Untuk mengetahui besarnya keragaman maupun kemiripan antar individu menggunakan analisis klaster/ gerombol. Analysis klaster dilakukan dengan program NTSYSpc versi 2.02i dengan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method of Arithmatic Average) fungsi SimQual (Rohlf, 1998).
c. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelas primer yang digunakan mampu menunjukkan DNA genomik anggrek dengan jumlah dan ukuran pita DNA yang sangat beragam dengan pola polimorfisme. Pola pita DNA yang dihasilkan dari analisis dengan RAPD mempunyai ukuran fragmen berkisar antara 200 bp sampai 3500 bp (Tabel 5). Sebelas primer digunakan untuk menguji kemiripan dan hubungan kekerabatan antara enam spesies Coelogyne, yaitu C. pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis, C. rumphii.
Gambar 4. Hasil amplifikasi RAPD dari enam spesies Coelogyne dari primer OPA 7, OPB 12 dan OPB 17. 1. C.pandurata, 2. C. massangeana, 3. C. mayeriana, 4. C. asperata,5. C.celebensis, commit to user 6.C. rumphi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
Dari 11 primer RAPD yang digunakan pola pita DNA yang dihasilkan mempunyai ukuran fragmen berkisar antara 200 bp sampai 3500 bp (Tabel 2) Hasil amplifikasi pita dari primer yang digunakan primer OPB 17 menghasilkan pita terbanyak yaitu 26 pita pada ukuran 200 bp sampai 1500 bp. (Gambar 4) Tabel 5 menunjukkan bahwa total pita yang dihasilkan oleh sebelas primer adalah 79 dengan amplifikasi rata-rata 7,02 per pita primer, dimana 79 pita polimorfik. Jumlah pita polimorfik per rentang primer dari 5 sampai 10 dengan rata-rata persentase polimorfisme adalah 100 %. Tabel 5. Primer, pita polimorfisme dan persentase polimorfisme dengan analisis RAPD No
Primer
Sequence 5’ to 3’
Ukuran (bp)
Jumla pita
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
OPA-02 OPA-07 OPA-09 OPA-13 OPA-16 OPB-12 OPB-17 OPB-18 OPD-02 OPD-08 OPD-11
TGCCGAGCTG GAAACGGGTG GGGTAACGCC CAGCACCCAC AGCCAGCGAA CCTTGACGCA AGGGAACGAG CCACAGCAGT GGACCCAACC GTGTGCCCCA AGCGCCATTG
300-750 300-2000 250-1500 250-1000 250-2000 4001600 200-1500 600-1600 250-3500 750-3000 500-3500 Total Rata-rata
13 16 11 12 15 11 26 9 23 16 16 168 15.27
Pita Polimor fis 5 9 6 7 10 8 10 5 8 6 5 79 7.02
% Polimor fis 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Hasil amplifikasi pita dari primer yang digunakan primer OPB 17 menghasilkan pita terbanyak yaitu 26 pita pada ukuran 200 bp sampai 1500 bp. Primer yang menghasilkan pita paling sedikit yaitu OPB 18, dengan 9 pita dari ukuran 600 bp sampai 1600 bp ( Tabel 5 dan Lampiran 8).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
Tabel 6. Matrik kemiripan Coelogyne spp berdasarkan RAPD dengan 11 primer 1 1 1.00 2 0.33 3 0.42 4 0.38 5 0.44 6 0.50 Keterangan :
2
3
4
5
6
1.00 0.33 0.35 0.23 0.30
1.00 0.54 0.45 0.26
1.00 0.38 0.28
1.00 0.48
1.00
1= C. pandurata 2= C. massangeana 3= C. Mayeriana
4= C. asperata 5= C. celebensis 6= C. rumphii
Dari Tabel 6 terlihat yang paling besar kemiripannya adalah C. mayeriana dan C. asperata yaitu 0.54, dan yang paling kecil kemiripannya adalah antara C. massangeana dan C. celebensis yaitu 0.23. Pada penelitian ini untuk mendapatkan tetua yang mempunyai kedekatan dengan C. pandurata dengan spsies lain adalah C. rumphii memiliki koefisien kemiripan 0.50, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tetua dalam persilangan (Tabel 6).
Gambar 5. Dendrogram pengelompokan Coelogyne spp berdasarkan penanda RAPD menggunakan 11 primer commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
Hasil penelitian menunjukkan dari enam spesies membentuk empat kelompok pada tingkat kemiripan 0.50 (Gambar 5). Kelompok pertama terdiri dari spesies C. pandurata, C. rumphii, kelompok kedua C. celebensis, kelompok ketiga terdiri dari C. mayeriana dan C. asperata. Kelompok keempat terdiri dari C. massangeana. Dari Gambar 5 diatas terlihat bahwa kemiripan paling dekat adalah C. mayeriana dan C. asperata (0.55), diikuti C. pandurata dan C. rumphii (0.50). Karena dalam penelitian ini yang menjadi target untuk dilakukan peningkatan ragam genetik adalah C. pandurata maka akan dipilih sebagai tetua yang dimiliki kedekatan genetik adalah C. pandurata dan C. rumphii. Adanya kombinasi yang baik antara primer dan tingkat DNA anggrek menghasilkan pita DNA yang banyak sehingga dapat memberikan data yang baik untuk penentuan kekerabatan anggrek (Xu et al., 2010). Pada kemiripan 55% C. asperata terdapat satu kelompok dengan C. mayeriana. Berdasarkan hasil identifikasi molekuler menggunakan AFLP oleh Gravendel dan Vogel (2000) pada anggrek Coelogyne menunjukkan perbedaan. C. pandurata memiliki kemiripan 0.92 dengan C. asperata.
d. Kesimpulan Hasil penentuan keragaman secara molekuler dari enam spesies anggrek dari genus Coelogyne spp yaitu Coelogyne pandurata, Coelogyne massangeana, Coelogyne mayeriana, Coelogyne asperata, Coelogyne celebensis dan Coelogyne rumphii diperoleh karakter yang beragam secara molekuler antara 45% – 69%. Dari enam spesies tersebut, Coelogyne rumphii memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan Coelogyne pandurata, yakni berkisar 50%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
3. Teknik Hibridisasi Untuk Menambah Ragam Genetik Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata)
a. Pendahuluan Anggrek hitam (C. pandurata) merupakan anggrek endemik Kalimantan timur yang saat ini keberadaannya terancam punah. Ciri khas C. pandurata adalah dengan bunga berukuran besar berwarna hijau dengan lidah hitam. Disamping keindahannya, anggrek ini memilki nilai ekonomi yang tinggi karena berpotensi sebagai induk persilangan yang berharga. Di habitat aslinya jenis ini sudah sukar ditemukan sehingga usaha pembudidayaan dan peningkatan ragam genetik harus dilakukan sebelum kepunahan terjadi. Keluarga anggrek (Orchidaceae) merupakan salah satu familia tumbuhan berbunga terbanyak di dunia yang mencakup spesies alami dan spesies hasil persilangan (Xiang et al., 2003). Anggrek genus Coelogyne Lindl mempunyai lebih dari 200 spesies, dengan daerah penyebaran India, China, Indonesia dan Pulau Fuji, dengan pusat di Kalimantan, Sumatra dan Himalaya (Devi et al., 2012). Anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl) merupakan salah satu anggrek langka yang dilindungi pemerintah Indonesia dan endemik yang berasal dari Kalimantan timur dengan karakteristik bunga berukuran besar berwarna hijau dengan lidah hitam. Disamping keindahannya, anggrek ini memilki nilai ekonomi yang tinggi karena berpotensi sebagai induk persilangan yang berharga. Di habitat aslinya jenis ini sukar ditemukan sehingga usaha pembudidayaan dan peningkatan ragam genetik harus dilakukan sebelum kepunahan terjadi. Untuk
menambah
keragaman
genetik
baru
perlu
dilakukan
persilangan dengan jenis lain. Pemilihan tetua merupakan tahap awal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu program hibridisasi. Salah satu penentu keberhasilan persilangan adalah kedekatan hubungan kekerabatan genetik antar tetua. Untuk mendapatkan tetua yang mempunyai commit to user kedekatan genetik dengan anggrek Hitam (Coelogyne pandurata) dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
melakukan identifikasi anggrek Coelogyne spp secara morfologi (penelitian 1 dan molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) (penelitian 2). Hasil penelitian 1 dan 2 merekomendasikan Coelogyne rumphii untuk dipilih menjadi tetua persilangan karena memiliki morfologi dan molekuler paling rendah
keragaman secara
dengan kata lain memiliki
kemiripan paling besar dengan Coelogyne
pandurata. Selanjutnya
dilakukan persilangan anggrek hitam (Coelogyne pandurata) dengan tetua terpilih Coelogyne rumphii dan diperoleh biji hasil persilangan yang telah ditumbuhkan secara kultur invitro. Persilangan C. pandurata yang mempunyai bunga besar warna hijau dengan lidah hitam namun jarang berbunga (2-3 kali dalam setahun), serta pembungaan tidak serentak yang disilangkan dengan C. rumphii mempunyai bunga kecil warna bunga kuning yang dengan lidah coklat namun sering berbunga (hampir setiap bulan) serta pembungaan serentak, diharapkan dapat menambah ragam genetik dan mengevaluasi keberhasilan persilangan dari tiga macam metode persilangan.
b. Metode penelitian Bahan: C. rumphii sebagai tetua terpilih yang mempunyai kedekatan dengan C. pandurata yang merupakan hasil penelitian kajian pertama (penanda morfologi) dan kajian kedua (penanda molekuler RAPD). C. pandurata dan C. rumphii yang dipakai dalam penelitian adalah tanaman koleksi Kebun Raya LIPI Bogor. Tempat penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebon Raya LIPI Bogor. Persilangan dilakukan pada pagi hari pukul 07.00–10.00 dengan menyilangkan tetua terpilih sebagai tetua jantan atau betina. Persilangan dilakukan pada 4 individu sebagai ulangan, dengan metode sebagai berikut: (i) crossing (♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii), yaitu polinia ditransfer ke dalam stigma antara dua bunga yang berbeda dan berasal dari dua individu tanaman, (ii) reciprocal (♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata), yaitu persilangan kebalikan commit to ,user dari induk jantan dan induk betina (iii) selfing yaitu polinia ditransfer ke
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
dalam stigma pada satu bunga dalam satu tanaman. Setelah panen benih disterilkan dengan alkohol 70% selama 5 menit. Polong dibilas 4 kali dengan air suling steril sebelum dipindahkan ke kotak laminar. Benih ditanam secara kultur invitro pada media dasar Knudson C + air kelapa 150 ml/ l + ekstrak tauge 150 g/ l + agar 7 g/ l + arang aktif 1g/ l, pH 5,6. Pengamatan meliputi: persentase keberhasilan persilangan, saat buah terbentuk, persentase buah rontok, umur buah masak, saat terbentuk protokorm.
c. Hasil dan Pembahasan 1) Persentase keberhasilan persilangan Persilangan akan berhasil bila dilakukan sehari atau dua hari setelah bunga mekar atau minggu pertama sampai minggu kelima sejak bunga mekar (Darmono, 2003 dalam Hartati, 2006). Tabel No 1 2 3 4
7.
Rata-rata persentase keberhasilan persilangan, kompatibilitas dan saat buah terbentuk A
B
F1 ♀ C.pandurata x ♂C.rumphii F1 ♀ C.rumphii x ♂C pandurata Coelogyne pandurata Coelogyne rumphii
tingkat
C
D
E
F
crossing
4
100
kompatibel
4
reciprocal
4
100
kompatibel
4
selfing 1 selfing 2
4 4
100 100
kompatibel kompatibel
6 5
Keterangan : A. Jenis Anggrek B. Metode pollinasi C. Jumlah bunga disilangkan D. Keberhasilan persilangan (%) E. Tingkat kompatibilitas F. Saat terbentuk buah (hari)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
Pada Tabel 7 terlihat bahwa persilangan yang dilakukan menunjukkan tingkat kompatibilitas baik secara crossing, reciprocal maupun secara selfing dengan persentase keberhasilan persilangan 100%. Hal ini berbeda dengan penelitian Sivanaswari et al.(2011) menyatakan anggrek Aerides odorata sebagai betina keberhasilan persilangan 0-60%, secara resiprocal anggrek Aerides odorata sebagai jantan 25-62%. Pada hasil penelitian ini tingkat kompatibilitas dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu: kompatibel penuh (di atas 60%), inkompatibel sebagian 30% – 60% dan inkompatibel penuh (dibawah 30%). Persilangan dikatakan berhasil apabila 3-4 hari setelah persilangan tangkai kuntum bunga induk betina masih segar atau berwarna kehijauan, kelopak dan mahkota bunganya layu, kering dan akhirnya rontok, kemudian muncul calon buah yang berbentuk memanjang dan berwarna hijau (Iswanto, 2005). Persilangan membandingkan fertilitasnya.
dilakukan dan
Daya
secara
mengetahui kompatibilitas
bolak-balik daya
(resiprocal)
kompatibilitas
adalah
persentase
dan
untuk daya
kemampuan
membentuk buah, sedangkan daya fertilitas adalah kemampuan terjadinya fertilisasi
(pembuahan)
(Widiastoety,
2003).
Persilangan
antara
Phalaenopsis sp dan Vanda tricolor bersifat kompatibel, jika Vanda tricolor sebagai induk betina (Hartati, 2010). Metode pemuliaan konvensional dengan menggunakan persilangan, seperti intraspesifik dan interspesifik spesies anggrek, adalah cara umum untuk membuat varietas baru (Semiarti et al., 2007). 2) Persentase buah rontok Morfologi bunga anggrek sedikit rumit memiliki struktur batang yang disebut leher tugu, dibagian pangkal leher tugu memiliki anther didalamnya terdapat serbuksari disebut pollinarium. Stigma terletak sub apikal pada colum yang disebut rostellum. Keberhasilan penyerbukan terjadi ketika pollinarium dapat dimasukkan ke rostellum tersebut (Chaturvedi dan commit to user Shonali, 2010). Pada percobaan tahun 2005 Oleh Tremblay et al., 2005
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
dalam Cheng et al., 2009 menunjukkan kegagalan membentuk buah apabila penyerbukan dilakukan pada bunga yang sama (autogamy) maupun lain bunga pada tanaman yang sama (geitonogamy), hal ini karena adanya ketidak cocokan pada tanaman Orchidaceae. Hasil penelitian pada Tabel 7 menunjukkan bahwa semua metode persilangan bersifat kompatibel 100%.
Fruit fall (%)
100 75 50 25 0 Crossing
Resiprok
Selfing 1
Selfing 2
Metode polinasi
Gambar 6. Metode Polinasi terhadap persentase buah rontok
Kerontokan buah pada crossing, reciprocal maupun selfing (Gambar 6) dapat disebabkan faktor luar dan fisiologis. Menurut Darjanto dan Satifah (1990), embrio dan endosperm di dalam bakal biji tidak normal. Kandung embrio tersebut tidak dapat tumbuh terus hingga menjadi besar, hal ini mengakibatkan buah yang terbentuk akan gugur atau rontok sebelum matang. 3) Umur buah masak Persentase buah siap panen dan buah rontok ditentukan oleh banyaknya bakal buah yang siap panen atau buah rontok dari total bakal buah yang terbentuk. Tabel 8 menunjukkan bahwa pada persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii umur buah masak 158 hari dan secara reciprocal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
pada persilangan ♀ Coelogyne rumphii x ♂ Coelogyne pandurata umur buah masak (panen) 191 hari. Jika dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa penyerbukan sendiri (selfing) C pandurata menghasilkan umur buah masak lebih cepat dibanding dengan persilangan yang lain. Penelitian Sivanaswari et al. (2011) menunjukkan bahwa umur masak buah pada persilangan beberapa anggrek Aerides spp dengan secara crossing (persilangan) Aerides odorata sebagai induk betina menghasilkan umur masak buah berkisar 0179 hari, secara reciprocal Aerides odorata sebagai induk jantan umur masak buah berkisar antara 116 – 184 hari.
Tabel 8. Rata-rata persentase buah rontok, umur buah masak dan saat terbentuk protokorm. No
Anggrek
Metode polinasi
1
F1♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii F1 ♀ C.rumphii x ♂ C pandurata Coelogyne pandurata Coelogyne rumphii
crossing
3 4
Saat terbentuk protokorm (hari) 22
reciprocal 25
191
48
selfing 1 selfing 2
155 201
26 94
25 25
210 Fruit maturity (days)
2
Persentase Umur buah rontok buah (%) masak (hari) 50 158
190
170 150 130 Crossing
Resiprok
Selfing 1
Selfing 2
Metode polinasi
commit to user Gambar 7. Metode polinasi terhadap umur buah masak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
4) Saat terbentuk protokorm Menurut Teixeira et al. (2008) perkembangan planlet dari biji anggrek dapat menjadi langsung maupun tidak langsung melalui protokorm (PLB). Selain itu, PLB dibedakan embrio anggrek dapat menjadi dua
Saat terbentuk protokorm (hari)
struktur bipolar yang berbeda, yaitu tunas dan meristem akar.
90 70 50 30 10 crossing
resiprok
selfing 1
selfing 2
Metode Pollinasi
Gambar 8. Metode pollinasi terhadap saat terbentuk protokorm Dari Tabel 8 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa saat terbentuknya protokorm hasil persilangan secara crossing pada anggrek ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii adalah 22 hari, secara reciprocal ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata adalah 48 hari, sedang pada persilangan secara selfing pada C. pandurata adalah 26 hari dan C. rumphii adalah 94 hari.
d. Kesimpulan 1) Persentase keberhasilan persilangan 100% (kompatibel penuh) pada tiga metode persilangan: crossing, reciprocal maupun selfing. 2)
Umur masak buah hasil crossing adalah 158 hari, reciprocal 195 hari dan selfing 155-201 hari, sedangkan untuk waktu terbentuk protokorm pada crossing: 22 hari reciprocal: 48 hari dan selfing: 26-94 hari commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
4. Identifikasi Hasil Persilangan Anggrek Coelogyne pandurata dengan C. rumphii berdasarkan analisis Sitologi dan Flow Cytometry
a. Pendahuluan Karakter sitologi anggrek sangat penting dipelajari untuk mendukung keberhasilan pemuliaan anggrek. Tanaman anggrek adalah jenis tanaman yang mempunyai keragaman fenotipe yang sangat besar. Kekerabatan secara fenotipe merupakan kekerabatan yang didasarkan pada analisis sejumlah penampilan fenotipe dari suatu organisme. Hubungan kekerabatan antara dua individu atau populasi dapat diukur berdasarkan kesamaan sejumlah karakter dengan asumsi bahwa karakter-karakter berbeda disebabkan oleh adanya perbedaan susunan genetik. Bentuk, ukuran dan jumlah kromosom setiap spesies pada dasarnya selalu tetap, sehingga sangat bernilai untuk tujuan taksonomi, mengetahui keanekaragaman, hubungan kekerabatan dan evolusi, meskipun dalam keadaan tertentu dapat pula terjadi variasi ( Lindsey and Grell, 1967). Berdasarkan bentuk, jumlah dan ukuran kromosom dapat dibuat peta standard yang disebut kariotipe atau karyogram. Informasi sitologi tanaman anggrek di Indonesia belum banyak diketahui. Pengenalan tanaman anggrek berdasarkan karakter sitologi akan sangat mendukung keberhasilan pemuliaan tanaman anggrek. Oleh karena itu perlu dilakukan peneltian guna mempelajari keragaman kromosom, pola karyotipe serta tingkat ploidi tetua dan hasil persilangannya.
b. Bahan dan Metode Bahan penelitian adalah bagian ujung akar dari tetua anggrek dan F1 hasil persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii dan F1 hasil persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii. Pembuatan preparat kromosom dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor. Cara kerja analisis sitologi menggunakan metode squasing menurut Darnaedi (1991) dan Manton commit to user (1950). Potongan akar direndam dalam larutan 0,002 M 8-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
Hydroxyquinoline selama 3-5 jam pada suhu 4oC, kemudian dibilas dengan aquades, dan difiksasi dalam 45% asam asetat selama 10 menit. Potongan pucuk (meristem) dimasukkan kedalam tabung reaksi berisi campuran larutan1 N HCl dan 45% asam asetat dengan perbandingan 1:3, kemudian diinkubasi kedalam air dengan suhu 60oC selama 1- 5 menit, dan diwarnai dengan aceto-orcein 2%. Setelah itu potongan meristem ditekan pada object glass, kemudian diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 x 10 untuk perhitungan jumlah kromosom. Variabel
pengamatan
jumlah
kromosom
dilakukan
dengan
menggunakan metode squash menurut Darnaedi (1991) dan Manton (1950). Sel-sel metaphase awal yang menunjukkan penyebaran kromosom dipotret dan dibuat mikografnya. Pengamatan meliputi: a) Jumlah kromosom, pengamatan jumlah kromosom dapat dilakukan secara langsung waktu pengamatan, yaitu setelah kromosom tampak jelas pada mikroskop perbesaran 100 x 10, atau dapat menghitung pada hasil pemotretan (hasil cetak gambar), b) Ukuran kromosom, setelah didapat gambar kromosom yang diamati dengan mikroskop cahaya, maka ukuran kromosom yang diamati
adalah
panjang
kromosom.
Panjang
kromosom
diukur
menggunakan objek micrometer, meliputi panjang lengan panjang (q), panjang lengan pendek (p), dan panjang total, yaitu hasil penjumlahan panjang lengan panjang dan panjang lengan pendek (q+p), c). Bentuk kromosom, bentuk kromosom ditentukan berdasarkan rasio panjang lenganpanjang dan lengan pendek (
⁄ ). Penentuan bentuk kromosom
mengacu pada cara Ciupercescu et al. (1990) cit. Parjanto et al. (2003). Bentuk kromosom dapat dianalisis lebih lanjut dengan Analisis indeks asimetri relatif. Analisis indeks asimetri relatif (asimetry index = Asl %) (Ruas dkk, 1995) dengan rumus sebagai berikut :
AsI% =
total lengan panjang kromosom set total panjang kromosom set commit to user
x 100 %
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Analisis Data: Hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif berdasarkan pengamatan dari gambar kromosom hasil pemotretan dan data pengamatan ukuran dan bentuk kromosom. Selanjutnya hasil pengamatan digunakan untuk menentukan kariotipe. Variabel Pengamatan meliputi: jumlah, ukuran, bentuk, kromosom dan pola kariotipe. Selain mengamati jumlah kromosom, juga dilakukan analisis ploidi dengan flow cytometer. Analisis ploidi dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor, menggunakan alat Partec CyFlow space (Partec GmbH) yang dilengkapi dengan diode pumped solid-state laser 920 mW) pada panjang gelombang 488 nm dan laser diode pada panjang gelombang 638 nm (25 mW). Potongan daun (0.5 cm2) dicacah menggunakan silet di dalam cawan petriyang berisi 250 µl buffer ekstraksi. Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring menggunakan Partec 30 µl CellTrics filter. Pewarnaan menggunakan buffer PI (Propidium Iodide) dan Rnase (1 ml), selanjutnya diinkubasi selama 30 menit sebelum dianalisis dalam flow cytometri.
c. Hasil dan Pembahasan 1) Analisis Sitologi Dalam taksonomi tumbuhan pengamatan morfologi kromosom sangat penting. Menurut Ramesh dan Renganathan (2013a), kromosom dapat diklasifikasikan berdasarkan ukurannya, yaitu kromosom berukuran panjang, sedang dan pendek. Di bawah ini adalah kelompok ukuran kromosom yang telah diketahui: a) Kromosom berukuran panjang (lebih dari 5,0 μM) b) Kromosom berukuran sedang (3,0-4,9 μM) c) Kromosom berukuran pendek (0,1-2,9 μM) Ukuran kromosom dapat diketahui dengan melakukan pengukuran panjang lengan kromosom. Panjang lengan kromosom yang diamati meliputi panjang lengan panjang (q) dan panjang lengan pendek (p), userkromosom (q+p) dan nisbah lengan sehingga bisa diketahui commit panjangtototal (r=q/ p).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
Tabel 9. Jumlah, ukuran dan bentuk kromosom tetua dan hybrid anggrek Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii No
Anggrek
Ploidi
C. pandurata
Jumlah (2n) 36
2x
Total lengan 2.98 ± 0.15
1 2
C. rumphii
72
4x
2.24 ± 0.15
3
F1♀ C. rumphii x ♂C. pandurata F1 ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii
54
3x
2.85 ± 0.14
54
3x
2.50 ± 0.10
4
Nisbah lengan 1.26 ± 0.12 1.40 ± 0.13 1.08 ± 0.05 1.23 ± 0.07
AsI (%) 0.55
Bentuk
0.57
36 m
0.52
27 m
0.55
27 m
18 m
Berdasarkan Tabel 9 dan Gambar 9 dapat diketahui bahwa tetua dan hasil silangnya memiliki jumlah kromosom yang berbeda, tetua Coelogyne pandurata memiliki kromosom diploid (2n=36) dan Coelogyne rumphii memiliki kromosom tetraploid (2n=72) dan F1 baik dari hasil persilangan Coelogyne pandurata sebagai jantan dan betina memiliki kromosom triploid (2n=54). Jumlah kromosom merupakan karakteristik kromosom paling mudah diamati jika dibandingkan dengan karakteristik kromosom lainnya seperti bentuk kromosom dan kariotipe.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
A
b
C
d
Gambar 9. Jumlah kromosom a) Tetua Coelogyne pandurata 2n=36, b) Tetua Coelogyne rumphii 2n=72, c) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua jantan 2n=54, serta d) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua betina 2n=54. Penelitian membuktikan jumlah dan bentuk kromosom pada setiap sel spesies tumbuhan adalah tetap. Setiap sel mempunyai jumlah kromosom yang khas dan setiap kromosom dalam satu spesies mempunyai struktur yang khas pula. Konsistensi kromosom banyak dimanfaatkan oleh para ahli taksonomi untuk membantu memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan morfologi tumbuhan (Wulandari et al., 2006). Hasil peneltian Ramesh dan Renganathan (2013b) menunjukkan bahwa spesies Coelogyne corymbosa memiliki kromosom 2n=26 dan Coelogyne fimbriata 2n=22, sedangkan pada penelitian sebelumnya spesies tersebut memiliki kromosom 2n=44. Anggota Tamilnadu Orchidaceae, commit to user menunjukkan variasi kromosom somatik yang dipelajari dari 2n=10 sampai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
40. Spesies yang memiliki kromosom 2n=20 yaitu, Coelogyne corymbosa 2n=26 dan Coelogyne fimbriata 2n=22 diploid. Spesies memiliki kromosom somatik 30 yaitu Coelogyne breviscapa 2n=32 dan Coelogyne cristata 2n=26 dianggap sebagai triploid. Spesies diploid, triploid dan tetraploid adalah contoh untuk euploids dengan kromosom dasar n=10. Jenis anggrek yang memiliki jumlah kromosom n=19 lebih banyak dari pada yang memiliki jumlah kromosom n=20. Terdapat sekitar 280 spesies anggrek memiliki jumlah kromosom n=19, sedangkan yang memiliki jumlah kromosom n=20 sekitar 274 spesies. Menurut Utami dan Hartati (2012) Vanda tricolor termasuk salah satu spesies anggrek yang memiliki jumlah kromosom n=19. Hasil penelitian Hartati (2010) jumlah kromosom anggrek Phalaenopsis pinlong cinderela dan Phalaenopsis Joane Killeup June 2n=40, Selanjutnya penelitian Hartati (2011) menunjukkan jumlah kromosom anggrek alam tetua Paraphalaeonopsis serpentilingua 2n=40, sedang hasil persilangannya 2n=38. Anggrek alam tetua Rhyncostiles gigantea common 2n=40, hasil persilangannya 2n=40. Tetua Paraphalaeonopsis labukensis 2n=40, hasil persilangannya 2n=38. Berdasarkan Tabel 9 di atas dapat diketahui bentuk kromosom tetua dan hybridnya adalah metasentrik. Kromosom anggrek biasanya berbentuk metasentrik, bentuk kromosom diukur berdasarkan rasio panjang lengan kromosom (r = q/ p), penggolongan bentuk kromosom mengikuti cara Ciupercescu et al. (1990) cit Parjanto et al. (2003). Menurut Suminah et al. (2002) tumbuhan umumnya sering memiliki kromosom bentuk metasentrik. Diperjelas dengan pendapat Ramesh dan Renganathan (2013a) menyatakan bahwa umumnya tanaman anggrek memiliki kromosom berbentuk metasentrik. Indeks asimetris menuju angka 50% atau menunjukkan kecilnya tingkat ketidaksamaan, sehingga untuk tetua dan hybrid mempunyai bentuk kromosom metasentrik (Tabel 9). Hasil perhitungan dari Indek asimetris (AsI %) didapatkan bahwa Indek asimetris rata-rata dari C. pandurata userF1 hasil persilangan ♂ C. pandurata sebesar 55%, C. rumphiicommit sebesarto57%,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
x ♀ C. rumphii sebesar 52% dan F1 hasil persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii sebesar 55%. Menurut Ruas et al. (1995) Indek asimetris (AsI %) dihitung untuk keseluruhan kromosom set. Indek asimetri yang menuju angka 100% menunjukkan besarnya ketidaksamaan panjang kedua lengan kromosom, dimana bentuk metasentris menjadi minoritas dalam kromosom set. Sebaliknya indek asimetri yang mendekati angka 50% menunjukkan kecilnya keragaman panjang kedua lengan kromosom, dimana bentuk metasentris dominan. Berdasarkan letak sentromer, bentuk kromosom dibedakan menjadi 4 macam yaitu metasentrik, submetasentrik, akrosentrik dan telosentrik. Letak sentromer merupakan salah satu sifat morfologi kromosom yang penting dalam identifikasi kromosom. Antara kromosom yang berbentuk metasentrik dan submetasentrik terkadang tidak dapat dibedakan secara langsung satu dengan yang lainnya. Spesies dari keluarga anggrek memiliki kromosom 2n=20 yaitu, Gastrochilus indicus dan Liparis atropupuraea bersifat diploid, memiliki kromosom somatik 30 yaitu Eulphia epidendrea, Malaxis versicolor dan Oberonia verticillata sebagai triploid, kromosom somatik 40 Coelogyne ovalis, Eria reticosa dan Spathoglottis plicata sebagai tetraploids.spesies diploid, triploid dan spesies tetraploid adalah contoh untuk euploids. Eria pauciflora (2n=38), Habenaria grandifloriformis (2n=22), Habenaria rariflora, (2n=42), Habenaria viridiflora (2n = 22), Luisia birchea dan (2n=38), Nervilia plicata (2n =24) semua spesies ini sebagai aneuploids (Ramesh dan Renganathan, 2013b). Susunan kariotipe dapat digunakan untuk mengetahui penyimpangan kromosom baik dalam jumlah dan struktur kromosom yang terjadi pada waktu pembelahan sel dan dapat dicari hubungannya dengan kelainan yang terjadi pada anatomi, morfologi dan fisiologi suatu makhluk hidup. Hasil penelitian dengan analisis sitologi menunjukkan pada Tabel 9 dan Gambar 10 tetua anggrek Coelogyne pandurata memiliki jumlah kromosom 2n=36 commit to user jumlah kromosom 2n=72 dan hasil dan tetua Coelogyne rumphii memiliki persilangan hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua jantan dan hybrid
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
Coelogyne pandurata sebagai tetua betina memiliki jumlah kromosom sama yaitu 2n=54.
A
B
C
D
Gambar 10. Kariotipe a) Tetua Coelogyne pandurata, b) Tetua Coelogyne rumphii, c) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua jantan serta d) hybrid Coelogyne pandurata sebagai tetua betina Kromosom
yang
dipasangkan
dengan
homolognya
sering
mempunyai kemiripan bentuk dan ukuran sehingga menimbulkan kesulitan dalam penentuan pasangan homolog.
2) Analisis flow cytometry Selain mengamati jumlah, bentuk dan ukuran kromosom juga dilakukan analisis ploidi dengan flow cytometry untuk mendukung hasil analisis secara sitologi. Berdasarkan histogram (Gambar 11) C. pandurata mempunyai tingkat ploidi 2x (diploid) sehingga jumlah kromosom 2n=2x=36, C. rumphii mempunyai tingkat ploidi 4x (tetraploid) sehingga jumlah kromosom 2n=4x=72 dan hybrid mempunyai tingkat ploidi 3x (triploid) sehingga jumlah kromosomnya 2n=3x=54, maka hasil analisis commit to user flow cytometry untuk melengkapi hasil analisis sitologi.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
A
B
C
D
Gambar 11. Histrogram hasil flow cytometry , A: C. pandurata, B: C. rumphii, C: ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii, D: ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii
Hasil penelitian Aoyama et al. (2013) yang menyatakan bahwa hasil persilangan anggrek dari tetua C. crispa pada tingkat ploidi 2n=2x=44 dan C. Gavilu 2n=4x=88 didapatkan hybrid berada di tingkat ploidi 2n=3x=66.
d. Kesimpulan 1)
Terdapat perbedaan jumlah dan ukuran kromosom tetua anggrek Coelogyne pandurata dan tetua anggrek Coelogyne rumphii dengan hasil persilangannya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
2)
Pola kariotipe tetua dan hasil persilangannya mempunyai bentuk metasentrik.
3)
Diperoleh anggrek triploid (2n=2x=54) merupakan hasil persilangan C. pandurata diploid (2n=3x=36) dengan C. rumphii tetraploid (2n=4x=72).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
5. Identifikasi hasil persilangan Anggrek Coelogyne pandurata dengan Coelogyne rumphii berdasarkan Molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan ISSR (Intersimple Sequence Repeat) a. Pendahuluan Anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl.) merupakan salah satu anggrek langka yang dilindungi pemerintah Indonesia, dengan karakteristik bunga berukuran besar berwarna hijau dengan lidah hitam dengan daerah penyebaran India, China, Indonesia dan Pulau Fiji. Daerah pusat penyebarannya ada di Kalimantan, Sumatra dan Himalaya (Devi et al., 2012). Untuk menambah keragaman genetik baru perlu dilakukan persilangan dengan jenis lain. Pemilihan tetua merupakan tahap awal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu program hibridisasi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis hubungan kekerabatan antar spesies tanaman dan keragaman genetik adalah dengan menggunakan analisis RAPD (Arya et al., 2011; Das et al.,2009; Niknejad et al.,2009). Tanaman anggrek merupakan tanaman khas yang memiliki pola keragaman yang tinggi (Khosravi et al.,2009). Tanaman hybrid Vanda dibandingkan dengan tetuanya, dengan analisis RAPD telah berhasil digunakan untuk membedakan interspesies maupun antar spesies (Tanee et al., 2012). Dendrogram yang terbentuk dapat digunakan untuk membedakan anggrek liar, hibrida, spesies satu sama lain dengan pengelompokan yang berbeda. ISSR memiliki reproduksibilitas tinggi karena penggunaan primer yang lebih panjang (1625 basa nukleotida) dibandingkan primer RAPD (10 basa nukleotida), yang memungkinkan suhu annealing yang tinggi (45-600C).Marka ISSR merupakan metode yang cepat, sederhana, murah dan mempunyai reproduksibilitas tinggi dengan penggunaan primer yang panjang dan kekuatan yang tinggi dicapai dengan suhu annealing (Gurcan et al., 2009). Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi hasil persilangan anggrek hitam (Coelogyne pandurata) dengan tetua commit to user terpilih Coleogyne rumphii dengan menggunakan penanda molekuler
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan ISSR (Intersimple Sequence Repeat).
b. Bahan dan Metode Bahan tanaman anggrek Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii koleksi dari Kebon Raya LIPI Bogor, masing-masing dengan 3 sampel tetua yang sudah diekstraksi DNA tetua dan 10 sampel masingmasning F1 hasil persilangan C. pandurata sebagai tetua jantan dan C. pandurata sebagai tetua betina..Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah, CTAB (Cetyltrimethyl Ammonium Bromide) 10%, PVPP (polivinilpolipirilidon), buffer Tris-HCl 1M, EDTA 0,5 M, NaCl 5M, CIAA (Chloroform IsoamylAlcohol), isopropanol, etanol 70%, buffer ekstraksi, buffer TE (Tris HCl EDTA), buffer TAE, loading buffer, natrium asetat, primer, master mix PCR (H2O, stoffel buffer, dNTP, MgCl2, dan enzim Taq Polymerase), agarose, gel loading, dan EtBr (Etidium Bromida). Enam RAPD primer: OPA-02, OPA-07, OPB-12, OPB-17 OPB-18, OPD11 (Operon Technology Ltd) dan empat primer ISSR yaitu UBC 814, UBC 826, UBC 807, UBC 810. Alat yang digunakan adalah microtube (tabung eppendorf) ukuran 2 ml; 1,5 ml; 0,5 ml, mikropipet, rak, timbangan analitik, mesin sentrifus, vortex, mini beadbreater, rotator, inkubator, 96 well reaction plate, mesin PCR, eletroforesis tank, cetakan agarose (tray), biorad, kamera dan komputer. Penelitian dilaksanakan sebagai berikut: 1) Ekstraksi DNA DNA genom diisolasi dari daun muda menurut metode CTAB, cethyl trimethyl ammonium bromide (Doyle dan Doyle (1987), dengan beberapa modifikasi.a. Menimbang sampel daun segar + 0,4 g, daun digerus dengan mortar ditambah + 0.03 g PVP dan + 0.1 g pasir kuarsa (untuk membantu penggerusan), gerus daun segar dengan pestle dalam tube 1.5 ml, sampai commit to user halus, b. sampel yang sudah halus dimasukkan kedalam tube (1.5 ml) yang telah diisi dengan 800 ul buffer ekstraksi, kemudian diinkubasi dalam suhu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
65oC selama 1 jam di waterbath, c. 700 ul C:I (chloroform : :isoamil alkohol, 24:1) ditambahkan dan di campur rata kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit pada suhu kamar, d.Supernatan yang terbentuk diambil 500 ul ditambahkan 500 ul Et-OH absolut kemudian diinkubasi dalam freezer -20oC selama 12 jam, e. Supernatan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit, kemudian supernatan dibuang, dikeringanginkan 15 menit, pellet dilarutkan dengan 300 ul dH2O kemudian ditambah 15 ul RNAse (200 ug/ ml), f. pellet diinkubasi dalam suhu 37oC selama 30 menit dan tambahkan 300 ul PCI (phenol chloroform isoamilalkohol, 24:1:1) lalu di campur, g. Sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit dan mengambil 500 ul supernatan dan ditambahkan 500 ul CI (24:1), dicampur rata kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit, g. Supernatan yang terbentuk diambil, ditambahkan dengan Et-OH absolut dengan volume 1:1 dan diinkubasi dalam freezer -20oC selama 2 jam sampai semalaman, h. Supernatan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan dicuci dengan alkohol 80 % dan dilakukan sentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit, pelet dikering anginkan atau dengan vacum dryer, i. pelet yang terbentuk di encerkan dengan 25 ul TE. Uji
kualitas
DNA,
dilakukan
dengan
elektroforesis
dengan
membanding-kan dengan DNA lamda. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kualitas DNA: a. Agarose dibuat dan diletakkan dalam cetakan elektroforesis dan dibiarkan sampai padat, b. Gel agarose dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE, sampai terendam, c. DNA lambda disiapkan sebagai pembanding. d. Masing-masing DNA sampel dicampur dengan loading dye sebagai pemberat, e. DNA lambda dan DNA sampel yang telah dicampur dengan loading dye dimasukkan pada sumuran gel elektroforesis, kemudian dielektroforesis selama 57 menit pada voltase 50 volt, f. Gel hasil eletroforesis direndam dalam larutan Etidium Bromida commit to user (EtBr) selama 30 menit, g. Hasil elektroforesis diamati di bawah UV transluminator kemudian difoto dengan kamera, h. Hasil foto dilihat dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
dibandingkan antara DNA sampel dengan DNA lambda, dengan ditandai ada atau tidaknya pita DNA 2) Amplifikasi DNA Amplifikasi DNA pada Takara Thermocycler (Williams et al.,1990) dilakukan dengan jumlah volume reaksi PCR 15 ml terdiri dari 0,2 nM dNTP, 1X reaksi penyangga; 2ml MgCl; 10 ng DNA sampel, 0,5 pmole primer tunggal, dan 1 unit Taq DNA polimerase (Promega). Reaksi PCR dilakukan sebanyak 45 siklus yang terdiri dari beberapa tahap yaitu denaturasi suhu 94oC selama 30 detik , annealing 36oC selama 1menit, elongasi 72oC selama 2 menit dan elongasi akhir 72oC selama 7 menit. Produk PCR diamati dengan gel elektroforesis dengan menggunakan gel agarose atau gel poliakrilamida dan diamati dengan uv-transiluminator. Reaksi PCR dilakukan dua kali untuk memastikan reproduksibilitas RAPD dan ISSR. PCR produk divisualisasikan pada 2% gel agarosa elektroforesis selama 60 menit pada 50 Volt. Hal ini diikuti oleh EtBr pewarnaan (0,15 mL/ ml), sebelum difoto dalam gel dokumentasi sistem (Atto Bioinstruments) dan 100 bp tangga (Promega) digunakan sebagai penanda DNA. 3) Analisis Data Data RAPD dan ISSR diterjemahkan ke dalam data biner (ada pita = 1; tidak ada pita = 0). Analisis kemiripan genetik antar individu menggunakan analisis klaster, metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method of Aritmatic Average). Kemiripan antara asesi dihitung menggunakan soft-ware NTSYS version 2.20 pc (Rohlf, 1998).
c. Hasil dan Pembahasan 1) Analisis RAPD Intensitas pita DNA hasil amplifikasi pada setiap primer dipengaruhi oleh kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA. Cetakan DNA yang mengandung senyawa-senyawa seperti polisakarida dan senyawa fenolik commit userredup (Poerba dan Martanti, 2008). sering menghasilkan pita DNA toyang Hal tersebut yang memungkinkan tidak semua marka RAPD dapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
teramplifikasi pada tanaman hybrid maupun tanaman tetuanya. Hasil pita kemudian dianalisis, hanya pita yang menunjukkan amplifikasi yang digunakan untuk scoring dan untuk analisis lebih lanjut (Arya et al., 2011). Tabel 10. Urutan Primer, pita polimorfisme dan, persentase polimorfisme pada analisis RAPD No
Primer
Sequence 5’ to 3’
Ukuran (bp)
1 2 3 4 5 6
OPA-02 OPA-07 OPB-12 OPB-17 OPB-18 OPD-11
TGCCGAGCTG GAAACGGGTG CCTTGACGCA AGGGAACGAG CCACAGCAGT AGCGCCATTG
450-1900 350-1700 350-1400 200-2100 400-2200 500-1500 ∑ Rata-rata
Pita teramp lifikasi 10 8 7 10 8 7 50 8.3
Pita poly- % morfis polymorfis 10 100 8 100 7 100 10 100 8 100 7 100 50 8.3 100
Polimorfisme merupakan gambaran amplifikasi yang diperoleh dari perbedaan fragmen DNA yang diobservasi dan diskor sebagai ada atau tidaknya perbedaan sekuen sehingga menunjukkan ada tidaknya variasi (Gregor, 2000). Pada penelitian ini digunakan enam marka baik pada persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii maupun ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii 100% yang masuk ke dalam kriteria polimorfis (Tabel 10).
1500
150
1000 700 600
500 400
Gambar 12. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPA 02: 1-3: C.pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16 : hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 :hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii; Pita putatif; Pita spesifik pada C. rumphii Shasany (2005) menjelaskan bahwa identifikasi hibrid dapat ditegaskan dengan melihat pita-pita commit to userspesifik pada salah satu dari kedua jenis tetua yang diwarisi oleh individu turunannya. Dari gambar 12 terlihat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
C.pandurata berbeda pola pita dengan C. rumphii, pada 1500 bp C. pandurata tidak terlihat pita (kosong), sedangkan C. rumphii memiliki pita. Jadi pola pita Coelogyne pandurata berbeda dengan C. rumphii. Primer OPA 02 terdapat 1 pita yang hadir pada kedua tetuanya dan diturunkan pada semua F1 (600 bp). Juga terdapat pita yang hadir pada salah satu tetua tetapi tidak dijumpai pada F1 (450, 700 dan 1500 bp). 1 pita spesifik (1300 bp) dimana C. pandurata sebagai jantan menurunkan pada 60% individu hybrid. Pita putatif (500 bp), kedua tetua jenis tetua yang diwarisi oleh individu turunannya.
3000
1500 1000 800 700 600
500 400
Gambar 13. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPA 07: 1-3, C. pandurata, 4-6: C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26: hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii; Pita spesifik pada C. rumphii Primer OPA 07 menghasilkan 2 pita spesifik dari tetua C. rumphii yaitu pada 450 bp dan 700 bp, dimana pita yang hadir pada salah satu tetua yaitu C. rumphii diturunkan pada semua F1. Sementara C. pandurata tidak menurunkan pada F1 (350 bp dan 600 bp).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
3000
1500 1000 900 800
500 400 200
Gambar 14. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 17: 1-3 : C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26: hybrid ♀ C.pandurata x ♂ C.rumphii; Pita putatif, Pita spesifik pada C. rumphii
Primer OPB 17 pada 200 bp dan 1500 bp tidak menurunkan ke F1. Sementara pada 1000 bp kedua tetua menurunkan pada semua F1 atau yang biasa disebut hybrid putatif. Pada primer ini juga diketahui bahwa terdapat pita yang dihasilkan dari tetua tetapi tidak diturunkan pada F1 (200, 900 dan 1500 bp), juga sebaliknya pada tetua tidak hadir namun pada F1 hadir (700, 1200 dan 2100 bp).
3000
1500 \
1000 900 600
500 400 300
Gambar 15. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 12: 1-3 : C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 :hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii; Pita spesifik pada C. pandurata; Pita user spesifikcommit pada C.torumphii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
Primer OPB 12 menghasilkan 3 pita spesifik, satu pita pada 800 bp individu hybrid menghasilkan pita spesifik dari tetua ♂C. pandurata, sementara 2 pita pada 350 bp dan 1000 bp diturunkan oleh tetua C. rumphii.
3000 3000 3000 1500 1500 1500 1000 1000 1000
500 500
900 900 900 800 800 800 700 700 600 600 400 400 400 300 300 200 200 100 100
Gambar 16. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPB 18: 1-3 : C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 : hybrid♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii ; Pita spesifik pada C. pandurata; Pita spesifik pada C. rumphii Primer OPB 18 terdapat pita spesifik pada hybrid tetua C. pandurata (800 bp) dan 2 pita spesifik tetua dimana C. rumphii menurunkan pada individu hybrid terdapat pada 950 bp dan 1600 bp.
3000
1500 1000 900 800 700
500 400
Gambar 17. Hasil amplifikasi DNA dengan primer OPD 11: 1-3 : C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 :hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphi; Pita spesifik pada C. pandurata; Pita spesifikcommit pada C. rumphii to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
Primer OPD 11 terdapat 4 pita spesifik, 2 pita dari tetua C. pandurata yang menurunkan pada individu hybrid 800 bp dan pada 900 bp. Sementara 2 pita lainnya berasal dari tetua C. rumphii pada 700 bp dan 1200 bp menurunkan individu hybrid. Selain itu juga ditemukan tidak hadirnya pita pada kedua tetua tetapi hadir pada F1 (1500 bp) yang terlihat pada Gambar 16. Beberapa pita DNA yang muncul pada hybrid tapi tidak ditemukan pada tetua kemungkinan terjadi rekombinasi atau mutasi. Hasil penelitian ini 4 dari 6 marka menunjukkan hal tersebut pada gambar 11, 12, 13 dan 14 terdiri dari OPA 02, OPA 07, OPB 17 dan OPD 11dan gambar 11 dan 14 terdapat 2 marka yaitu OPA 02 dan OPB 17. Sebaliknya pindah silang kromosom selama miosis dapat menyebabkan hilangnya sisi primer sehingga primer teramplifikasi pada tetua tetapi tidak teramplifikasi pada F1 (Tiyagi et al., 1992). Setiap pita yang hadir pada hybrid tidak selalu hadir pada tetuanya, begitu pula sebaliknya. Hasil silang antara ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii juga menunjukkan adanya primer yang digunakan sebagai markah spesies.
Gambar 18. Dendrogram hasil persilangan ♂C. pandurata x ♀ C. rumphii analisis molekuler menggunakan marka RAPD pada individuindividu tetua (1-3 ♂ C. pandurata dan 4-6 ♀ C. rumphii) dan hybridnya (7-16) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
Pada Gambar 18 menunjukkan bahwa tetua memiliki keragaman genetik 40% dan dan hybrid dari ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii memiliki keragaman genetik 46%, sehingga terdapat ragam baru sebesar 6%.
Gambar 19. Dendrogram hasil persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii menggunakan marka RAPD pada individu-individu tetua (1-3 ♀ C. pandurata dan 4-6 ♂ C. rumphii) dan hybridnya (7-16) Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa tetua memiliki keragaman genetik 40% dan hybrid memiliki keragaman genetik 50%, sehingga terdapat varian baru 10% Tanaman hybrid Vanda dengan tetuanya, menggunakan analisis RAPD telah berhasil digunakan untuk persilangan antar tanaman dari dua spesies yang berbeda dan genus yang sama (Tanee et al., 2012). Hasil dendrogram dapat membedakan anggrek liar, hibrida, spesies dengan tiga kelompok yang berbeda. Informasi hubungan genetik diantara individu di dalam dan diantara spesies mempunyai kegunaan bagi perbaikan tanaman. Pendugaan hubungan genetik berguna mengelola plasma nutfah, identifikasi kultifar, seleksi tetua untuk persilangan, serta mengurangi jumlah individu yang dibutuhkan untuk pengambilan sampel dengan kisaran keragaman genetik yang luas (Julisaniah et al., 2008). Kombinasi hibrida dalam garis hibrida yang berbeda menunjukkan kompatibilitas yang berbeda (Yuping et al., commit to user 2012). Hubungan kekerabatan dari hasil analisis RAPD di atas masih perlu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
dilakukan pengujian ulang melalui persilangan. Ketika dilakukan persilangan balik dari semua yang kompatibel, ditemukan bahwa tidak satupun dapat menghasilkan hibrida (Inthawong et al., 2006). Hal ini menunjukkan bahwa spesies tertentu dapat digunakan sebagai satu-satunya tanaman tetua betina dan tidak bisa digunakan sebagai donor serbuk sari. Perbanyakan
Dendrobium
membutuhkan
waktu
untuk
menguji
kompatibilitas persilangan interspesifik dan studi tentang faktor-faktor persilangan tidak kompatibel (Gregor et al., 2000). 2) Analisis ISSR Identifikasi secara molekuler menggunakan ISSR sudah berhasil dan sangat efektif digunakan pada berbagai jenis tanaman, diantaranya sudah dilakukan untuk mendeteksi keragaman genetik 31 spesies Dendrobium (Wang et al, 2009). Pada penelitian ini digunakan empat marka ISSR baik pada persilangan dengan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii maupun ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii menunjukkan 91.32% yang masuk ke dalam kriteria polimorfis. Total pita yang dihasilkan dari empat primer adalah 30 dengan pita teramplifikasi rata-rata 7,5 pita per primer (Tabel 11). Sedang pada Tabel 10 pada hasil analisis menggunakan enam primer RAPD menunjukkan 100 % pita polimorfis, total pita yang dihasilkan 50 dengan pita teramplifikasi rata-rata 8.3 pita per primer. Perbedaan hasil pada analisis RAPD dengan ISSR pada penelitian ini juga dilakukan pada anggrek Rhynchostylis retusa penelitian Parab and Krishnan (2008) menggunakan analisis RAPD menghasilkan pita polimorfis 76.13% (4.38) dengan pita teramplifikasi 5.79 pita per primer, menggunakan analisis ISSR menghasilkan pita polimorfis 62.6% (3.2) dengan pita teramplifikasi 4.28 pita per primer. Penelitian lain Kusumadewi dan Mansur (2012) pada Hybrid Nepenthes hookeriana menggunakan 5 primer RAPD menghasilkan pita polimorfis 100% (10.6) dan 3 primer ISSR menghasilkan pita polimorfis 96.8 % (9.3)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
Tabel 11. Urutan Primer, pita polimorfisme dan persentase polimorfisme menggunakan marka molekuler ISSR No
Primer
Sequence 5’ to 3’
Ukuran (bp)
1
UBC 814
2
UBC826
3
UBC 807
4
UBC 810
5’CTC TCT CTC TCT CTC TA-3’ 5’ACA CAC ACA CAC ACA CC-3’ 5’AGA GAG AGA GAG AGA GT-3’ 5’GAG AGA GAG AGA GAG AT-3’
Pita polimorfisme
250-1100
Pita teram plifik asi 8
% polimorfisme
7
87.5%
400-1600
9
7
77.8%
600-1500
6
6
100%
300-1200
7
7
100%
∑ Rata-rata
30 7.5
27 6.75
91.32%
1000 900 800 700
500 400
Gambar 20. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 814: 1-3 : C.pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 : hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii ; Pita spesifik pada C. rumphii Berdasarkan Gambar 20 di atas dapat diketahui bahwa primer UBC 814 dapat mengamplifikasi pita pada 250 bp hingga 1100 bp.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
1000 900 800 700
500 400
Gambar 21. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 826: 1-3: C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 : hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii ; Pita putatif Berdasarkan Gambar 21 menunjukkan bahwa primer UBC 826 mampu mendeteksi adanya pita putatif pada 900 bp, kedua tetua menurunkan pada hybridnya.
1500
1000 900 800 700
500 400
Gambar 22. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 807: 1-3 : C. pandurata, 4-6 : C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26:hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii Berdasarkan Gambar 22 di atas dapat diketahui bahwa primer UBC user baru pada hybrid di 1300 dan 1500 807 mampu mendeteksi commit adanya to ragam bp.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
1500
1000 900 800 700
500 400
Gambar 23. Hasil amplifikasi DNA dengan primer UBC 810: 1-3: C. pandurata, 4-6: C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26: hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii ; Pita putatif. Berdasarkan Gambar 23 di atas dapat diketahui bahwa primer UBC 810 mampu mendeteksi adanya pita putatif pada 300 bp dan 400 bp, kedua tetua menurunkan pada hybridnya
Gambar 24. Dendrogram hasil persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii menggunakan marka ISSR pada individu-individu tetua (1-3 ♂ C. pandurata dan 4-6 ♀ C. rumphii) dan hybridnya (7-16) Pada Gambar 24 menunjukkan bahwa tetua memiliki keragaman genetik 32% dan hybrid dari ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii memiliki user kemiripan genetik 57%commit atau to keragaman genetik 43% sehingga dapat disimpulkan terdapat ragam baru dengan C. pandurata sebesar 11%.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
Gambar 25. Dendrogram hasil persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii analisis molekuler menggunakan marka ISSR pada individuindividu tetua (1- 3 ♀ C. pandurata dan 4-6 ♂ C. rumphii) dan hybridnya (7-16) Gambar 25 menunjukkan bahwa tetua memiliki ( keragaman genetik 32% dan hybrid dari ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii memiliki keragaman genetik 35%, sehingga terdapat ragam baru dengan sebesar 3%.
d. Kesimpulan 1) Pada analisis RAPD hybrid ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii terdapat ragam baru sebesar 6%. Sementara untuk hybrid dari ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii terdapat ragam baru sebesar 10%. 2) Pada analisis dengan ISSR hybrid dari ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii terdapat ragam baru sebesar 11%. Sementara untuk hybrid dari ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii terdapat ragam baru 3%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
B. PEMBAHASAN UMUM Penelitian yang dilakukan belum ada yang meneliti dan menghasilkan calon hibrida anggrek, metode dan menambah pengetahuan mengenai perkembangan anggrek secara lengkap keragaman morfologi dan sitologi serta keberhasilan persilangan. Anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl.) merupakan jenis anggrek epifit yang saat ini keberadaannya terancam punah. Disamping kelangkaannya, anggrek ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena berpotensi sebagai induk persilangan yang berharga. Informasi yang akurat mengenai masing-masing induk membantu pemulia untuk mendapatkan kombinasi gen secara tepat, selain itu informasi mengenai metode persilangan juga merupakan suatu hal yang penting. Program Pemuliaan Tanaman memerlukan informasi tentang keragaman dan klasifikasi yang dapat menunjukkan tingkat dan hubungan antara kultivar sebagai dasar untuk seleksi (Nandariyah, 2010). Hubungan kekerabatan atau jarak genetik membawa implikasi di bidang pemuliaan. Semakin tinggi nilai koefisien kemiripan maka kemiripan penampilan tanaman semakin tinggi, spesies-spesies yang terdapat pada satu kelompok menunjukkan dekatnya hubungan kekerabatan. Penelitian ini telah berhasil mengidentifikasi keragaman genetik tanaman anggrek Coelogyne spp menggunakan karakter morfologi maupun marka molekuler. Karakterisasi berdasarkan penanda morfologi biasanya dipengaruhi lingkungan, sementara karakterisasi menggunakan marka molekuler tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Perbedaan lain penggunaan penanda morfologi diamati semua bagian tanaman yaitu akar, batang, daun dan bunga pada semua fase pertumbuhan dan biasanya hanya diamati karakter
kualitatif
saja,
sedang
dengan
marka
molekuler
hanya
menggunakan 0.4 gram sampel daun muda sudah dapat memberikan gambaran yang akurat dan menyeluruh adanya perbedaan keragaman genetik. Susantidiana et al.(2009) menyatakan identifikasi morfologi suatu commit to userdaun, batang, bunga, buah, akar dan tanaman dilakukan dengan mengamati lain sebagainya yang mencakup seluruh morfologi tanaman.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan marka RAPD yaitu
ternyata
lebih
akurat
mengidentifikasi
keragaman
genetik
dibandingkan dengan menggunakan karakter morfologi. Pengamatan berdasarkan morfologi sudah diamati sebanyak 45 karakter yang setara dengan 79 lokus pada penanda molekuler RAPD. Setiap karakter diperoleh keragaman morfologi sebanyak 111 sub karakter yang setara dengan 168 pita yang muncul pada gel agarose hasil elektrofresis menggunakan marka molekuler RAPD. Terjadi perbedaan pengelompokan berdasarkan analisis kluster antara penanda morfologi dengan marka molekuler RAPD karena terdapat perbedaan koefisien kemiripan berdasarkan morfologi antara 0.780.98, sedang menggunakan marka molekuler antara 0.23-0.54. Susantidiana et al. (2009) mengatakan bahwa kemiripan antar aksesi yang besar menunjukkan
bahwa
aksesi-aksesi
tersebut
mempunyai
hubungan
kekerabatan yang dekat. Menurut Lu (2011) dan Yam (1994), semakin dekat koefisien kemiripan antara satu jenis anggrek akan semakin besar kemiripan dan jarak genetiknya, sehingga kemungkinan untuk dilakukan persilangan akan semakin besar dan tingkat keberhasilannya semakin tinggi. Penggunaan penanda morfologi terbentuk tiga kelompok, dengan koefisien kemiripan yang tinggi 0.92. Kelompok pertama terdiri dari C. rumphii, C. mayeriana, C. pandurata, kelompok kedua C. massangeana dan kelompok ketiga C. asperata dan C. celebensis. Hasil ini berbeda pada penelitian Kartikaningrum et al. (2004) melakukan karakterisasi anggrek Spathoglottis sp., terdapat keragaman karakter kualitatif pada bunga terutama bentuk sepal dan petalnya, sedangkan karakter-karakter pada daun tidak terdapat keragaman. Hasil analisis yang dilakukan pada beberapa aksesi Spathoglotis memperoleh koefisien kemiripan 74% atau tingkat keragaman karakter morfologi sebesar 26% . Hasil koefisien kemiripan menggunakan marka RAPD berkisar 0,230,54, pada kemiripan 0.50 membentuk empat kelompok yaitu kelompok to user C. rumphii, kelompok kedua C. pertama terdiri dari C.commit pandurata, celebensis, kelompok ketiga C. mayeriana dan C. asperata, kelompok
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
keempat C. massangeana. Menurut Juliansah et al. (2008), informasi hubungan genetik di antara individu di dalam dan di antara spesies mempunyai kegunaan penting bagi perbaikan tanaman. Dalam program pemuliaan tanaman, pendugaan hubungan sangat berguna untuk mengelola plasma nutfah, identifikasi kultivar, membantu seleksi tetua untuk persilangan. Perbedaan hasil pengelompokan karakter morfologi dan molekuler RAPD pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Kartikaningrum et al. (2004) yang menyatakan bahwa pengelompokan 13 anggrek subtribe Sarcanthinae karakter morfologi tidak konsisten dengan hasil pola pita DNA. Demikian juga penelitian Purwantoro et al. (2005) menjelaskan bahwa adanya perbedaan pada karakter bunga yang terlihat pada diameter bunga, panjang kelopak bunga, aroma bunga dan ada tidaknya sifat nobel juga dapat menyebabkan spesies-spesies Dendrobium berada pada empat klaster yang berbeda. Fenotipe suatu individu dapat dikendalikan lingkungan. Penggunaan karakter morfologi merupakan metode yang mudah dan cepat, namun terdapat kendala karena pengaruh faktor lingkungan (Khanuja et al., 2005 dalam Nandariyah, 2007). Oleh karena itu, perlu didukung secara molekuler RAPD untuk penentuan hubungan kekerabatan. Adanya kombinasi yang baik antara primer dan DNA menghasilkan produk amplifikasi berupa pita DNA yang banyak sehingga memberikan data yang baik untuk penentuan hubungan kekerabatan anggrek (Xu et al., 2010) Analisis RAPD adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatur dan melihat karakteristik yang digunakan untuk menganalisis hubungan kekerabatan antar spesies tanaman (Arya et al., 2011; Vural et al., 2009; Das et al., 2009; Verma et al., 2009). Riedy et al. (1992); Azzrai (2005) menyebutkan keuntungan RAPD meliputi (1) memerlukan biaya yang murah, (2) jumlah sampel DNA yang digunakan sedikit (Inthawong et al., 2006), (3) mudah pelaksanaan, (4) primer mudah diperoleh. commit to user Dari 16 primer yang diseleksi, sebanyak 11 primer menghasilkan 79 pita rata-rata 7,02 dengan pita 100% polimorfis. Menurut Nienhuis et al.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
(1994), jumlah pita DNA polimorfis dalam suatu analisis keragaman genetik menentukan tingkat keragaman suatu populasi sehingga banyaknya pita DNA polimorfis akan menggambarkan keadaan genom suatu tanaman. Berdasarkan dua dendrogram hasil analisis secara morfologi dan molekuler tersebut dapat diketahui bahwa dari keenam spesies yang digunakan Coelogyne pandurata memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan Coelogyne rumphii, sehingga pada penelitian ini C. rumphii untuk disilangkan dengan C. pandurata. Selanjutnya dilakukan penelitian dengan melakukan persilangan antara anggrek Coelogyne pandurata dengan Coelogyne rumphii. Hubungan kekerabatan atau jarak genetik membawa implikasi di bidang pemuliaan. Semakin tinggi nilai koefisien kemiripan maka kemiripan penampilan tanaman akan semakin tinggi. Hasil penelitian ini memberikan implikasi terhadap pemilihan kombinasi tetua untuk persilangan Hasil persilangan yang beragam dapat disarankan menggunakan tanaman-tanaman yang memiliki koefisien kemiripan yang rendah (Hartatik, 2000). Namun tingkat keberhasilan persilangan akan semakin rendah, karena kesesuaiannya semakin rendah, bila berhasil maka kemungkinan mendapatkan kombinasi baru yang sangat berbeda, keragamannya tinggi dalam jumlah yang besar menjadi sangat memungkinkan. Metode pemuliaan konvensional dengan menggunakan crossing, seperti intraspesifik dan hibridisasi interspesifik spesies anggrek adalah cara umum untuk membuat varietas baru (Semiarti et al., 2007). Dijelaskan oleh Chaturvedi dan Shonali (2010) bahwa morfologi bunga anggrek sedikit rumit memiliki struktur batang yang disebut colum, dibagian pangkal leher tugu memiliki anther yang didalamnya terdapat serbuksari yang disebut pollinarium. Stigma terletak sub apikal pada leher tugu yang disebut rostellum. Keberhasilan penyerbukan terjadi ketika pollinarium dapat dimasukkan ke rostellum tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua metode persilangan commit to user bersifat kompatibel (keberhasilan persilangan 100%) karena antar tetua yang disilangkan mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Hasil
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
penelitian
Nielsen,
1999
menyatakan
bahwa
keberhasilan
dalam
persilangan yang menghasilkan hybrid biasanya ditandai dengan hubungan kekerabatan yang dekat. Hasil penelitian keberhasilan persilangan menunjukkan 100% pada semua metode persilangan crossing : Coelogyne pandurata sebagai tetua betina dengan Coelogyne rumphii sebagai tetua jantan, reciprocal: menyilangkan Coelogyne rumphii sebagai betina dengan Coelogyne pandurata sebagai jantan dan selfing yaitu polinia ditransfer ke dalam stigma pada satu bunga dalam satu tanaman. Hasil penelitian ini sesuai penelitian Sasongko et al. (2010) melaporkan bahwa keberhasilan persilangan anggrek Vanda tricolor dan Vanda limbata pada semua metode persilangan baik secara selfing, crossing maupun reciprocal adalah sebesar 100%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sivanaswari et al. (2011) menyatakan bahwa pada anggrek Aerides odorata keberhasilan persilangan secara crossing adalah berkisar 0-60%, secara reciprocal berkisar 25-62%. Hasil berbeda juga pada penelitian Hartati et al. (2014) menyatakan bahwa keberhasilan persilangan ♀ Vanda celebica x ♂ Vanda insignis 100% sedang persilangan reciprocalnya 33%, persilangan ♀ Vanda celebica x ♂ Vanda tricolor keberhasilan persilangan adalah sebesar 67%, reciprocalnya adalah 0%. Keberhasilan persilangan anggrek ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain memiliki hubungan evolusi atau kekerabatan yang dekat (Topik dan Pancoro, 2008). Dalam persilangan anggrek, selain pemilihan tetua merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan suatu persilangan, sering menjadi kendala dalam hibridisasi adalah perbedaan waktu dalam pematangan bunga, kerusakan bagian bunga serta adanya inkompatibilitas dan sterilitas (Chaudhari 1971 dalam Damayanti, 2006). Penelitian Hartati (2010) pada persilangan antara Phalaenopsis sp dan Vanda tricolor bersifat kompatibel, namun untuk menghasilkan biji Vanda tricolor sebagai induk betina berpeluang lebih besar dari pada secara commit to user reciprocal (kebalikannya). Menurut Iswanto (2005) persilangan dikatakan berhasil apabila 3-4 hari setelah persilangan tangkai kuntum bunga induk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
betina masih segar atau berwarna kehijauan. Beberapa hari kemudian kelopak dan mahkota bunganya layu, kering dan akhirnya rontok, kemudian muncul calon buah yang berbentuk memanjang dan berwarna hijau. Hasil penelitian menunjukkan (Tabel 8) umur masak buah pada persilangan secara reciprocal 195 hari lebih lama dibanding secara crossing 158 hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hartati et al. (2014) menyatakan bahwa umur buah masak pada persilangan Vanda celebica secara crossing berkisar antara 122-154 hari sedangkan reciprocal adalah berkisar 186-262 hari. Demikian juga penelitian Sivanaswari et al. (2011) menunjukkan bahwa umur masak buah pada persilangan beberapa anggrek Aerides spp secara crossing (persilangan) Aerides odorata berkisar antara 0-179 hari sedangkan jika secara reciprocal Aerides odorata berkisar antara 116-184 hari. Pada penelitian ini dilakukan persilangan anggrek hitam (Coelogyne pandurata) dengan tetua terpilih Coelogyne rumphii dan diperoleh biji hasil persilangan yang telah ditumbuhkan secara kultur invitro. Dengan melakukan persilangan Coelogyne pandurata yang mempunyai bunga besar warna hijau dengan lidah hitam namun jarang berbunga (2-3 kali dalam setahun), serta pembungaannya tidak serentak disilangkan dengan Coelogyne rumphii yang mempunyai bunga kecil warna bunga kuning dengan lidah coklat namun sering berbunga (hampir setiap bulan) serta pembungaan serentak, diharapkan akan diperoleh varian baru yang menambah keragaman genetik. Dalam taksonomi tumbuhan pengamatan kromosom sangatlah penting. Jumlah kromosom merupakan karakteristik sitologi yang paling mudah diamati jika dibandingkan dengan karakteristik kromosom yang lainnya seperti bentuk kromosom dan kariotipe. Susunan kariotipe dapat digunakan untuk mengetahui penyimpangan kromosom baik dalam jumlah dan struktur kromosom yang terjadi pada waktu pembelahan sel dan dapat commit to useryang terjadi pada anatomi, morfologi dicari hubungannnya dengan kelainan dan fisiologi suatu makhluk hidup. Hasil penelitian menunjukkan jumlah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
kromosom tetua anggrek C. pandurata 2n=36, tetua C. rumphii memiliki jumlah kromosom 2n=72, hybrid C. pandurata sebagai induk jantan dan hybrid C. pandurata sebagai induk betina memiliki jumlah kromosom 2n=54. Jumlah kromosom anggrek adalah diploid, yaitu satu pasang kromosom terdiri atas dua set kromosom homolog. Oleh karena itu variasi jumlah set kromosom (ploidi) pada tanaman salak termasuk dalam kelompok euploidi, yaitu keadaan bahwa jumlah kromosom yang diamati dari suatu makluk hidup merupakan kelipatan dari jumlah kromosom dasarnya. Penelitian Balanos et al. (2008), membuktikan bahwa kromosom induk Phalaenopsis sp mempunyai 2n=38 tetapi pada keturunannya Doritaenopsis memberikan hasil jumlah kromosom yang berbeda 2n=72. Berdasarkan penelitian dari Davina (2009) pada anggrek di Argentina diketahui bahwa dari 19 anggrek yang diteliti jumlah kromosom paling sedikit adalah 2n=26 pada Eltroplectris schlechteriana dan paling banyak 2n=108 pada Catasetum fimbriatum. Penelitian Ramesh dan Renganathan (2013b) pada 5 spesies anggrek Coelogyne dapat diketahui bahwa jumlah kromosom paling sedikit adalah C. barbata Griff 2n=18 dan paling banyak C. breviscapa Lindl 2n=32. Analisis flow cytometry dapat diketahui berdasarkan tingkat ploidi dan jumlah kromosomnya yaitu C. pandurata mempunyai 2n=2x=36, C. rumphii mempunyai 2n=4x=72 dan hybrid 2n=3x=54. Perbedaan ukuran kromosom pada spesies tanaman yang sama dimungkinkan terjadi karena kromosom yang diukur berasal dari sel dan tanaman yang berbeda sehingga dimungkinkan ada selisih waktu pembelahan sel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Parjanto et al. (2003) bahwa pada sel yang berbeda dapat terjadi perbedaan ukuran panjang kromosom yang disebabkan oleh perbedaan tingkat kondensasi kromosom. Penelitian Aoyama et al. (2013) pada beberapa tanaman anggrek tanah yang menyatakan bahwa hasil persilangan dari tetua pada tingkat commit todidapatkan user ploidi 2n=2x=44 dan 2n=4x=88 hybrid berada di tingkat ploidi 2n=3x=66. Pada penelitian Lee et al. (2011) pada anggrek Paphiopedilum
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
dan hybridnya, pada tetua P. delenatii , P. micranthum, P. bellatulum, P. rothshildianum masing-masing mempunyai kromosom 2n=26, P. callosum mempunyai 2n=29 dan P. glaucophylum 2n=31, pada hybridnya P. delenatii x P. micanthum mempunyai 2n=26, P. delenatii x P. bellatulum 2n=26, P. delenatii x P. rothshildianum 2n=26, P.delenatii x P. callosum 2n=29, P. delenatii x glaucophylum 2n=31. Pada penelitian Cox et al., 1998 jumlah
kromosom
seksi
Barbata,
seksi
Cochlopetalum,
seksi
Paphiopedilum 2n=30-37. Balanos et al. (2008) juga menjelaskan bahwa pada hasil silang Doritaenopsis dan Phalaenopsis dihasilkan hybrid Doritaenopsis I-Hsin Purple Jewel dengan tingkat ploidi 2n=3x=57. Identifikasi hasil persilangan pada penelitian ini menggunakan enam primer RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) yaitu: OPA-02, OPA-07, OPB-12, OPB-17 OPB-18, OPD-11 menunjukkan 100% pita adalah polimorfis, total pita yang dihasilkan adalah 50 dengan pita teramplifikasi rata-rata 8.3 pita per primer. Pada ISSR (Intersimple Sequence Repeat) menggunakan empat primer ISSR yaitu UBC 814, UBC 826, UBC 807, UBC 810 menunjukkan 91.32% pita polimorfis. Total pita yang dihasilkan dari empat primer adalah 30 dengan pita teramplifikasi rata-rata 7.5 pita per primer. Perbedaan hasil analisis RAPD dengan ISSR pada penelitian ini juga dilakukan penelitian oleh Parab and Krishnan (2008) pada anggrek Rhynchostylis retusa dengan menggunakan analisis RAPD menghasilkan pita polimorfis 76.13% (4.38) dengan pita teramplifikasi 5.79 pita per primer, menggunakan analisis ISSR menghasilkan pita polimorfis lebih rendah yaitu 62.6% (3.2) dengan pita teramplifikasi 4.28 pita per primer. Demikian juga penelitian Poerba dan Ahmad (2010) menjelaskan bahwa penanda RAPD dan ISSR mampu mendeteksi DNA polymorfisme yang dapat menggambarkan hubungan kekerabatan kultivar pisang dengan menggunakan analisis RAPD menunjukkan bahwa 96.82% pita polimorfis yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil analisis dengan menggunakan commit to user ISSR adalah 92.86% polimorfis. Guo et al. (2009) menyatakan bahwa ISSR dapat menghasilkan pola polimorfisme lebih tinggi dari pada RAPD.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
Polimorfisme merupakan gambaran amplifikasi yang diperoleh dari perbedaan fragmen DNA yang diobservasi dan diskor sebagai ada atau tidaknya perbedaan sekuen sehingga menunjukkan ada tidaknya variasi (Gregor et al., (2000). Intensitas pita DNA hasil amplifikasi pada setiap primer dipengaruhi oleh kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA. Cetakan DNA yang mengandung senyawa-senyawa seperti polisakarida dan senyawa fenolik sering menghasilkan pita DNA yang redup (Poerba dan Martanti 2008). Hal tersebut memungkinkan tidak semua marka RAPD dapat teramplifikasi pada tanaman F1 hasil persilangan maupun tanaman tetuanya. Hasil pita kemudian dianalisis, hanya pita yang menunjukkan amplifikasi yang digunakan untuk scoring dan untuk analisis lebih lanjut (Arya et al., 2011). Dendrogram hasil analisis dengan RAPD (gambar 18 dan gambar 19) menunjukkan bahwa tetua memiliki keragaman genetik 40% dan hybrid dari persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii memiliki keragaman genetik 46%, sehingga terdapat ragam baru sebesar 6%. Sementara untuk hybrid dari persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii memiliki keragaman genetik 50%, hal ini menunjukkan adanya penambahan keragaman genetik tanaman sebesar 10%. Keragaman genetik merupakan variasi genetik yang dimiliki oleh individu dalam suatu populasi yang menempati suatu ekosistem. Suryanto (2008) menyatakan keragaman genetik dapat terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun DNA. Berdasarkan hasil dendrogram dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara hasil persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii serta ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii. Pada hasil persilangan ♂ C. pandurata dan ♀ C. rumphii sebagian hybrid mengikuti tetua betina atau C. rumphii. Pada hasil persilangan ♀ C. pandurata dan ♂ C. rumphii, hybrid mengikuti tetua betina C. pandurata. Sehingga dapat dikatakan bahwa tetua betina lebih dominan menurunkan sifatnya pada hybrid dibandingkan dengan tetua jantan. Penelitian Inthawong et al. (2006) yang menyatakan bahwa hasil commit to user analisis RAPD dengan menggunakan primer OPF 06, hybrid yang berada di 273 bp, 490 bp dan 564 bp mengikuti tetua betinanya yaitu Dendrobium
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
trigonopus. Inthawong et al. (2006) juga menjelaskan bahwa berdasarkan penanda RAPD dapat diketahui bahwa DNA dari hibrida Dendrobium merupakan hasil kombinasi dari ke dua tetuanya. Dendrogram hasil analisis dengan ISSR menggambarkan hubungan genetik antara semua aksesi yang diuji. Hasil dendrogram (gambar 24 dan 25) dapat memberikan informasi bahwa tetua memiliki keragaman genetik 32% sedangkan hybridnya dari persilangan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii memiliki keragaman genetik 43%, sehingga terdapat keragaman genetik baru sebesar 11%. Sementara untuk hybrid dari persilangan ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii memiliki keragaman genetik 35%, maka dapat diketahui terdapat ragam baru sebesar 3%. Secara umum keragaman genetik dari suatu populasi dapat terjadi karena adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari suatu tempat ke tempat lain. Zhang et al. (2012) menjelaskan dari hasil penelitian keragaman genetik hybrid interspesifik Aechma gomosepala dan A. recurvata var. recurvata menggunakan penanda SRAP diketahui bahwa dari ke 40 hybrid yang diteliti menunjukkan 37 hybrid terpisah pada kelompok yang berbeda sementara 3 hybrid lainnya menjadi satu kelompok dengan tetuanya. Kusumadewi dan Mansur (2012) menjelaskan bahwa penanda RAPD dan ISSR dapat digunakan untuk mendeteksi adanya hybrid Nepenthes hookeriana. Tanee et al. (2012) menjelaskan bahwa proses hibridisasi berpotensi dapat mendorong peningkatan keragaman genetik pada spesies Vanda. Penelitian plicata
Romeida et al. (2012) pada tanaman Spathoglottis
mengatakan
penanda
ISSR
banyak
digunakan
untuk
mengidentifikasi spesies, kultivar ataupun populasi suatu spesies yang mirip dengan level variasi genetik yang rendah dan sangat berguna sebagai alat pendeteksi keragaman genetik suatu spesies tanaman yang mempunyai variasi genetik yang sangat luas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan 1.
Hasil penentuan keragaman baik secara morfologi maupun secara molekuler dari enam spesies anggrek dari genus Coelogyne spp yaitu Coelogyne
pandurata,
Coelogyne
massangeana,
Coelogyne
mayeriana, Coelogyne asperata, Coelogyne celebensis dan Coelogyne rumphii diperoleh karakter yang beragam secara morfologi antara 2% – 22% dan secara molekuler antara 45% – 69%. Dari enam spesies tersebut, Coelogyne rumphii merupakan spesies yang memiliki keragaman paling rendah atau memiliki hubungan kekerabatan paling dekat dengan Coelogyne pandurata, yakni secara morfologi memiliki kemiripan 93% dan secara molekuler memiliki kemiripan berkisar 50%. Dengan demikian hasil penelitian ini merokemendasikan Coelogyne rumphii untuk dipilih menjadi tetua untuk disilangkan dengan Coelogyne pandurata. 2.
Persilangan antara Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii adalah kompatibel penuh dengan tingkat keberhasilan persilangan mencapai 100% pada semua metode persilangan yang digunakan, crossing, reciprocal dan selfing.
Metode crossing (♀ Coelogyne
pandurata x ♂ Coelogyne rumphii) memiliki resiko buah rontok tertinggi hingga 50%, dibanding metode yang lain yang hanya mencapai 25%. Namun metode crossing menghasilkan buah lebih cepat masak yakni 158 hari, sedangkan pada metode reciprocal mencapai 191 hari dan metode selfing mencapai kisaran antara 155 – 201 hari. Metode crossing juga menghasilkan saat terbentuk protokorm paling cepat, 22 hari dibanding metode reciprocal yang mencapai 48 hari dan metode selfing yang mencapai 26 – 94 hari.
3. Analisis kromosom menunjukkan persilangan antara Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii menghasilkan perbedaan jumlah kromosom antara tetua danto individu F1 hasil persilangannya. Tetua commit user Coelogyne pandurata memiliki jumlah kromosom 2n=36 dan tetua
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
Coelogyne rumphii memiliki jumlah kromosom 2n=72 sedangkan F1 hasil persilangan Coelogyne pandurata baik sebagai induk jantan maupun sebagai induk betina memiliki jumlah kromosom yang sama yaitu 2n=54. Hasil analisis ploidi dengan flow cytometry diperoleh hasil keturunan F1 yang mempunyai susunan kromosom 2n=3x= triploid dari persilangan Coelogyne pandurata (2n=2x=diploid) dan Coelogyne rumphii (2n=4x=tetraploid). Namun hasil persilangan ini memiliki pola kariotipe yang sama dengan tetuanya, yakni mempunyai bentuk metasentrik. 4.
Diperoleh keragaman baru pada individu F1 hasil persilangan antara Coelogyne pandurata dan Coelogyne rumphii. Pada analisis RAPD, F1 hasil persilangan ♂ Coelogyne pandurata x ♀ Coelogyne rumphii terdapat ragam baru sebesar 6%. Sementara untuk F1 dari ♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii terdapat ragam baru sebesar 10%. Pada analisis dengan ISSR, F1 dari ♂ Coelogyne pandurata x ♀ Coelogyne rumphii terdapat ragam baru sebesar 11%. Sementara untuk F1 dari ♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii terdapat ragam baru sebesar 3%.
B. Implikasi 1.
Penelitian ini memberikan sumbangan tentang teknik persilangan anggrek secara crossing, reciprocal dan selfing yang menunjukkan kompatibel penuh dan dapat mencegah kepunahan genetik.
2. Memberikan informasi tetua-tetua yang mempunyai kedekatan untuk disilangkan dan menambah keragaman genetik. 3. Untuk merakit varaian baru anggrek yang diinginkan konsumen antara lain pada karakter bunga: bentuk (keunikan), warna, ukuran, lama mekar, jumlah kuntum. 4. Metode identifikasi awal sebelum tanaman berbunga pada F1 hasil commit to user persilangan untuk membuktikan ada tidaknya keragaman baru.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
C. Saran 1.
Perlu kajian lebih lanjut terhadap anggrek F1 hasil persilangan Coelogyne pandurata x Coelogyne rumphii yang meliputi karakterisasi fenotip sampai tanaman berbunga.
2.
Perlu dilakukan persilangan antara Coelogyne pandurata dengan Coelogyne mayeriana dan persilangan antara Coelogyne asperata dengan Coelogyne celebensis untuk menambah keragaman anggrek Coelogyne spp.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
DAFTAR PUSTAKA
Andayani N. 2007. Pengaruh Waktu Poliinasi Terhadap Keberhasilan Persilangan Anggrek Dendrobium. Bulletin Ilmiah Instiper, 14(2): 14-21. Aoyama M, Claudia A and Ximena CB. 2013. Chromosome numbers of some terrestrial orchids in Chile. Chromosome Botany, 8: 23-27. Arditti J and Ernst R. 1993. Micropropagation of orchids, Pp 682. John Wiley & Sons, Inc. New York. Arya V, Yadav S, and Yadav JP. 2011. Intra Specific Genetic Diversity Of Different Accessions Of Cassia Occidentalis By RAPD Marker. Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 1(22): 1-8. Astarini, I. A. 2009. Aplikasi Marka Molekuler untuk Peningkatan Kualitas Produksi Kembang Kol (Brassica oleraceae var. botrytis). Editor : Wirawan, IGP, Supartana P, dan Juliasih, SM. Penerbit Universitas Udayana. Denpasar. Ayu APP, Ardhana IGP dan Pharmawati M. 2012. Keanekaragaman anggrek epifit di kawasan taman wisata alam danau buyantamblingan. Jurnal Metamorfosa, 1(1): 11-16. Azimi SY, Sadeghian V, Ahari R, Khazaei F, Hafashjani AF. 2012. Genetic Variation Of Iranian Iris Species Using Morphological Characteristics And RAPD Markers. International. Journal of Agriculture Science, 2(9): 875-889. Azrai M. 2005. Pemanfaatan markah molekuler dalam Proses Seleksi Pemuliaan Tanaman. Journal Agro- Biogen, 1(1): 26-37. Badan Pusat Statistik. 2012. Luas Panen, Produksi dan Produksivitas tanaman anggrek 2009-2012. Balanos P, ShihWC, Fure CC. 2008. Meiotic Chromosome Behavior and Capsule Setting in Doritaenopsis Hybrid. Journal America Society Horticulture Science, 133(1): 107-116. Brito L, Carvalho A, Martin A, Harrison JSH and Pinto G. 2006. Morphological, yield, cytological and molecular characterization of a Bread wheat × Tritordeum F1 hybrid. Indian Academy of Sciences, 85(2): 123-131.
Chaturvedi SK and Chaturvedi S. 2010. Biotic Pollination in Aerides odorata Lour (Orchidaceae). The International Journal of Plant Reproduction Biology, 2(1): 45-49. Chen YM and Mii M. 2012. Interspecific hybridization of Begonia commit to user semperflorens (section Begonia) with B. pearcei (section
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
Eupetalum) for introducingyellow flower color. Original paper. Plant Biotechnology, 29(1): 77-85. Cheng J, Shi J, Shangguan FZ, Dafni A, Deng ZH and Luo YB. 2009. The pollination of a self-incompatible, food-mimic orchid, Coelogyne fimbriata (Orchidaceae), by female Vespula wasps. Journal Annal of Botany, 104(3): 565–571. Chung SY dan Choi SH. 2012. Genetic variability and relationship among interspecific hybrid cultivar and parental species of Paphiopedilum via ribosom DNA sequence analysis. Plant Systematics Evolution, 298(10): 1897-1990. Cox AV, Abdelnour GJ, Bennet MD, and Leitch IJ. 1998. Genome size and karyotipe evolution in the slepper orchid (Cypripedioidene: Orchidaceae). American Journal of Botany, 85(5): 681-687. Damayanti F. 2006. Laporan Akhir Program Hibah Kompetisi (PHK) A3: Pembentukan Beberapa Hibrida Anggrek serta Pengaruh Beberapa Media Perkecambahan dan Media Perbanyakan Cepat secara In Vitro pada Beberapa Anggrek Hibrida. Bandung: Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Padjajaran. Darjanto dan Satifah, S. 1990. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. Gramedia. Jakarta. Darmono DW. 2006. Menghasilkan Anggrek Silangan. Penebar Swadaya. Jakarta Darnaedi D. 1991. Informasi Tentang Kromosom. Pelatihan Sitogenetika Tumbuhan PAU Ilmu Hayat IPB. 5 Nopember Desember 1991. IPB Bogor. Das BK, Jena RC and Samal KC. 2009. Optimization Of DNA Isolation And PCR Protocol For RAPD Analysis Of Banana/ Plantain (Musa Spp). Agriculture Science, 1(2): 21-25. Davina JR. 2009. Chromosome studies in Orchidaceae from Argentina. Genetics and Molecular Biology, 32(4): 811-821. Devi BC, Shibu BS and Wesly PS. 2012. In vitro Regeneration of Coelogyne stricta Direct Somatic Embryogenesis. Journal Tropical Medicine Plants, 13(2): 153-161. Dirjen Hortikultura Deptan. 2012. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Anggrek. http:// Agri-research.or.id/ special/ komoditas/ b3anggrek, diakses 12 Januari 2013. Donald J, Robinson, Carmel VH, Elizabeth G. 2011. Naturalization of The Nun’s Hood Orchid(Phaius Tankervilleae: Orchidaceae) In Central Florida. Journal Botany Research Institute Texas, 5(1): 337-339. user DNA Isolation procedure for small Doyle JJ and Doyle JL. commit 1987. AtoRapid quantities of fresh leaf tissue. Phytochemical Bulletin, 19: 11-15.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
Dwiatmini K, Mattjik NA, Aswidinnoor H dan Matius TNL. 2003. Analisis Pengelompokan dan Hubungan kekerabatan spesies Anggrek Phalaenopsis Berdasarkan Kunci Determinasi Fenotipik dan Marka Molekuler RAPD. Jurnal Hortikultura, 13(1): 16-23. Fatchiyah, Arumingtyas, Widyarti, Rahayu. 2011. Biologi Molekuler, Prinsip Dasar Analisis. Jakarta. Erlangga. Gowhar A, Mudasir, K. Rajdeep, Shikha M K, Srivastava. 2010. Evaluation Of Genetic Diversity In Pea (Pisum sativum L) Using RAPD Analysis.Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 16: 1-5. Gravendeel B and Vogel EF. 2000. Total Evidence Phylogeny of Coelogyne and Allied Genera (Coelogininae, Epidendrodidae, Orchidaceae) Based on Morphologycal, anatomical and Moleculer Characters. In Reorganising the Orchid genus Coelogyne Chapter 3. ISBN 90-71236-48-X. Gravendeel B, Chase MW, Vogel EF, Roos MC, Ted HM, and Bachmann K. 2001. Molecular phylogeny of Coelogyne (Epidendroideae; Orchidaceae) based on plastid RFLPS, matK, and nuclear ribosomal ITS sequences: evidence for polyphyly. American Journal of Botany, 88(10): 1915-1927. Gregor Mc CE, Lambert CA, Grylic MM, LouwJH and Warnich L. 2000. A comparison assessment of DNA finger printing technique (RAPD, ISSR, AFLP, and SSR) in tetraploid potato (Solanum tuberosum L.) germplasma. Euphytica, 113: 135-144. Guo HB, HuangKY, ZhouTS, Wu QH, ZhangYJ and Liang ZS. 2009. DNA Isolation, optimization of ISSR-PCR system and Primers screening of Scutellaria baicalensis. Journal Medicine Plant Research, 3(11): 898-901. Gurcan K, Mehlender SA dan Cristofori V. 2009. Inter Simple Sequence Repeats (ISSR) Markers in Hazelnut.Acta horticulturae, 845(1): 159-162. Hadi. 2005. Budidaya Tanaman Anggrek. www.deptan.go.id/ ditlinhorti/ . Diakses tanggal 14 Desember 2011. Handoyo F dan Prasetya R. 2006. Native Orchids of Indonesia. Indonesian Orchid Society of Jakarta (PAI Jakarta).ISBN. 9789799522511: 244 hal. Hartati S. 2006. Pengaruh Persilangan Intergenerik Dan Umur Mekar Bunga Terhadap Kemampuan Silang Anggrek Phalaenopsis sp. dan Doritis pulcherrima var. champornensis. Prosiding Simposium dan Konggres Nasional PERIPI ke VI September 2006. di Bogor. _
. 2008. Pengaruhcommit PersilanganIntergenerik dan Umur Mekar Bunga to user Terhadap Kemampuan Silang Anggrek Vanda sp. dan Phalaenopsis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
sp. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2008. LPPM. Dikti. Surakarta. ______. 2010. The intergeneric crossing of Phalaenopsis sp. and Vanda tricolor. Jurnal of Biotechnologi and Biodiversity, 1(1): 26-30. .
.2011. Identifikasi Keragaman Anggrek Alam Hasil Persilangan Internegerik Secara Morfologi dan Sitologi Dalam Mendukung Perkembangan Anggrek Di Indonesia. Laporan Peneltian Hibah Bersaing Tahun I.
Hartati S, Sumijati, Pardono dan Cahyono O. 2014. Perbaikan Genetik Anggrek Alam Vanda spp melalui persilangan Interspesifik dalam mendukung perkembangan anggrek di Indonesia. Caraka tani. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 29(1): 31-34. Hou C, Yong,Yan Z, Wei Y and Zheng Y. 2005. Genetic Diversity in Barley from West China Based on RAPD and ISSR Analysis. Barley Genetic Newsletter, 35: 9-22. Inthawong S, Weenun B, Nuttha K and Pimchai A. 2006. Analysis of Intersectional Hybrid of Dendrobium by RAPD Technique. Kasetsart Journal, 40(2): 456-461. Iswanto H. 2005. Merawat dan Membungakan Anggrek Phalaenopsis. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Jiang JL, Hu X., Liu J and Wang H. 2011. Genetic Diversity and Population structure of 151 Cymbidium sinense cultivars. Journal of Horticulture and Forestry, 3(4): 104-114. Jones, Kuenhle, and Arumuganathan 1998. Nuclear DNA content of 26 Orchid (Orchidaceae) genera with emphasis on Dendrobium.Annal of Botany, 82: 189-194. Julisanah NI, Sulistyowati L., dan Sugiharto, AN. 2008. Analisis Kekerabatan Mentimun (Cucumis sativus L.) menggunakan Metode RAPD-PCR dan Isozim. Jurnal Biodiversitas, 9(2): 99-102. Kartikaningrum S, Effendie K, Soedjono S, Widiastoety D, Hidayat NQ dan Prasetio RW. 2004. Koleksi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Anggrek Spathoglottis dan Pemanfaatannya. Prosiding Seminar Nasional Florikultura, Bogor, 4-5 Agustus: 104-110. Khoddamzadeh AA, Sinniah UR, Kadir MA, Kadzimin SB, Mahmood M and Sreeramana. 2010. Detection of Somaclonal Variation by Random Amplified Polymorphic DNA Analysis During Micropropagation of Phalaenopsis bellina (Rchb.f.) Christenson. Africa Journal of Biotechnology, 9(40): 6632-6639. Khosravi AR, Kadir MA, Kadzemin commit to userSB, Zaman FQ, and De Silva AE. 2009. RAPD Analysis Of Cholchicine Induced Variation Of The
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
Dendrobium Serdang Beauty. Africa Journal of Biotechnology, 8(8): 1455-1465. Kuras A, Korbin, M and Zueawicz E. 2004. Comparison of Suitability of RAPD and ISSR Techniques for Determination of Strawberry (Fragaria x ananassa Duch.) relationship. Biotechnologia, (2)79: 189-193. Kusumadewi SYdan Mansur M. 2012. The Occurrence of Hybrid in Nepenthes hookeriana Lindl. From Central Kalimantan can be Detected by RAPD and ISSR Markers, HAYATI Journal of Biosciences, 19(1): 18-24. Lee YI, Chang FC and Chung MC. 2011. Chromosome pairing affinities in interspecific hybrids reflect phylogenetic distances among lady’a slipper orchids (Paphiopedilum). Journal Annals of Botany, 108: 113-121. Lindsley, DC and Grell EH 1967. Genetics variation of Drosophilla melanogaster. Washington D.C.: Carnegie Institute of Washington. Liu LW, Zhao LP, Gong YQ, Wang MX, Chen LM, Yang JL, Wang Y, Yu FM, and Wang LZ. 2008. DNA fingerprinting and genetic diversity analysis of late-bolting radish cultivars with RAPD, ISSR and SRAP markers. Scientia, 116(3): 240–247. Lu J, Hu X, Liu J and Wang H. 2011. Genetic diversity and population structure of 151 Cymbidium sinense cultivars. Journal of Horticulture and Forestry, 3(4): 104-114. Lucas, RP, Allivia RCR, Ana VCS, Katily LGP. 2012. Genetic Diversity and Population structure in the Brazilian Cattleya labiata (Orchidaceae) using RAPD and ISSR markers. Plant Systematics and Evolution, 298(10) p. 1815. Maiti B, Shekar M, Khusiramani R., and Kasunasagar I. 2009. Evaluation Of RAPD-PCR And Protein Profile Analysis To Differentiate Vibrio harveyi Strains Prevalent Along The Southwest Coast Of India. Journal of Genetics, 88(3): 273-279. Manton I. 1950.Problems Cytology and Evolution in the Pteridophyta. New York : Cambridge Univ Pr.: 158-208. Meesawat U, SrisawatT, Eksomtramage L and KanchanapoomK. 2008. Nuclear DNA content of the pigeon orchid (Dendrobium crumenatum Sw.) with the analysis of flow cytometry. Songklanakarin Journal Science Technololgy, 30(3): 277-280. Mehetre SS, Aher AR, Shinde GC, Gomes M and Eapen S. 2004. RAPD analysis of interspesific hybrid commit to user between Gossypium arboreum and Gossypium stocksii. Caryologia, 57(2): 167-171.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
Musa FF, Syamsuardi, Arbain A. 2013. Keanekaragaman Jenis Orchidaceae (Anggrek-anggrekan)Di Kawasan Hutan Lindung Gunung Talang Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas, 2(2): 153-160. Nandariyah. 2007. Identifikasi Keragaman Genetik Kultivar Salak Jawa Berdasarkan Analisis RAPD. Agrosains, 9(2): 70-76. _________. 2010. Morphology and RAPD (Random Amplification of Polymorphic DNA) based classification of genetic variability of Java Salacca (Salacca zalacca Gaertner. Voss). Jurnal Biotechnology and Biodiversity, 1(1): 8-13. Nielsen LR, Siegismund HR. 1999. Interspecific differentiation and hybridization in Vanilla species (Orchidaceae). Heredity, 83(5): 560–567. Niknejad A, Kadir MA, Kadzimin SB, Abdullah NAP, Sorkheh K. 2009. Moleculer characterization and phylogenetic relationship among and within species of Phalaenopsis (Epdendroideae: Orchidaceae) base on RAPD analysis. African Journal of Biotechnology, 8(20): 5225-5240. Nisha P,Jakhar ML and Malik CP. 2011. Analysis of genetic diversity in coriander (Coriandrum sativum L.) varieties using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) markers. Journal Microbiology of Biotechnology Research, 1(4): 206-215. Nugraheni, YM . 2006. Studi Variasi Genetik Tanaman Uji Provenans Glirisidia sepium (Jacq.) steud di Wanagama I dengan Analisis Isozim. Skripsi S1. UGM. Yogyakarta. Operon almaeda USA. 2000. Operon RAPD primer Sequencer. USA. Pablo B, Chin SW and Chen FC. 2008. Meiotic Chromosome Behavior and Capsule Setting in Doritaenopsis Hybrid. Journal American Society Horticulture Sciences, 133(1): 107-116. Parab, G.V and Krishnan S. 2008. Assessment Of Genetic Variation Among Populations Of Rhynchostylis Retusa An Epiphytic Orchid From Goa, India Using ISSR And RAPD Marker. Journal of Biotechnology, 7(17): 313-319. Parjanto, Mulyopawiro S, Artama WT dan Purwantoro A. 2003. Kariotipe Kromosom Salak. Zuriat, 14(2): 21-28. Pharmawati M, Yan G and Mc Farlane IJ. 2004. Application of RAPD and ISSR Marker to Analyse Molecular Relationship in Grevillea (Proteace). Australian Systematic Botani, 17: 49-61. Pharmawati M. 2009. Optimalisasi Ekstraksi DNA dan PCR-RAPD pada commit to user Gravillea spp. (Proteaceae), Jurnal Biologi, 13(1): 12-16.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
Poerba YS dan Martanti D. 2008. Keragaman Genetik Berdasarkan Marka Random Amplified Polymorphic DNA pada Amorphopallus muelleri Blume di Jawa. Jurnal Biodiversitas, 9(4): 245-249. Poerba YS dan Ahmad F. 2010. Genetic variability among 18 cultivars of cooking bananas and plantains by RAPD and ISSR markers. Jurnal Biodiversitas, 11(3): 118-123. Pritam C, Banerjee N dan Chaudhary B. 2012. Genetic Characterization of Selected Medicinal Dendrobium (Orchidaceae) Species Using Molecular Markers. Research Journal of Biology, 2(4): 117-125. Purwantoro A, Ambarwati E dan Setyaningsih F. 2005. Kekerabatan antar anggrek spesies berdasarkan morfologi tanaman dan bunga. Jurnal Ilmu Pertanian, 1(1): 1-11. Ramesh T and Renganathan P. 2013. Genetic variation analyses on some Coelogyne species of Orchidaceae. International Journal of Current Tr Research, 2(1): 126-131. Ramesh, T and Renganathan P. 2013 a. Chromosome analyses on different species of orchidaceae. International Journal Research Institute, 1(1): 1-9. Ramesh, T and Renganathan P. 2013 b. Chromosome studies on some Tainia and Epidendrum species of Orchidaceae. International Journal of Current Tr. Research, 2(1): 108-114. Riedy MF, Hamilton WJ, Aquadro CF. 1992. Excess of non parental band in offspring from know pedigrees assayed using RAPD PCR. Nucleic Acid Research, 20(4): 918. Rohlf. 1998. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariative Analysis Syersion Version 2,02. Exerter sorfware. New York. Romeida, A, Surjono HS, Agus Purwito, Dewi S, Rustikawati. 2012. Variasi Genetik Mutan Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Berdasarkan Marker ISSR. Jurnal Agronomi Indonesia, 40(3): 218224 Ruas CF, RuasPM, MatzenbacherNI, Ross G, Bernini Cand VanzelaALL. 1995. Cytogenetic Studies of Some Hypochoeris Spesies (Compositae) from Brazil. American Journal of Botany, 82(3): 369-375. Sasongko AB, Indrianto A, Semiarti E. 2010. Identifikasi Genotip Hibrida Hasil Persilangan Anggrek Lokal Vanda tricolor Lindl var suavis asal Merapi dan Vanda limbata Blume dengan PCR-RFLP pada daerah intergenik Tml-F DNA kloroplas. Prosiding Seminar Nasional Biologi Fakultas commit to userBiologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010. Hal. 754-757.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
Semiarti E, Indrianto A, Purwantoro A, Isminingsih S, Suseno N, Ishikawa T, Yoshioka Y, Machida Y, Machida C. 2007. Agrobacteriummediated transformation of the wild orchid spesies Phalaenopsis amabilis. Plant Biotechnology, 24(2): 265-272. Shasany AK, Darokar MP, Dhawan S,. Gupta AK, Gupta S, Shukla AK, Patra N Kand Khanuja SPS. 2005. Use RAPD and AFLP Markers to Identify Inter- and Intraspesific Hybrids of Mentha. Journal of Heredity, 96(5): 542-549. Sik L, Kesercioglu T and Candan F. 2009. Chromosome numbers of two Colchicum L. species, C.burttii and C. balansae, from Turkey. African Journal of Biotechnology, 8(18): 4358-4362. Sivanaswari, Chalaparmal, Thohirah, LA , Fadelah, AA , dan Abdullah, NAP. 2011. Hybridization of several Aerides species and in vitro germination of its hybrid. African Journal of Biotechnology, 10(53): 10864-10870. Srivastava R, Shukla S, Soni A, dan Kumar A, 2009. RAPD-based genetic relationships in different Bougainvillea cultivars. Crop Breeding and Applied Biotechnology, 9: 154-163. Sudheer PDVN, Meenakshi, Sarkar R, Boricha G, Reddy MP. 2009. A simplifies method for extraction of high quality genomic DNA from Jatropha curcas for genetic diversity and moleculer marker studies. Indian Journal of Biotechnology, 8(2): 187-192. Suliartini N, Purwantoro A dan Sulistyaningsih E. 2004. Keragaman Genetik dalam Spesies Caladium bicolor Berdasarkan Analisis Kariotipe. Agrosains, 17(2): 235-244. Sulistianingsih R, Semiarti E, Purwantoro A., Mangoendidjojo. 2010. Analisis keragaman genetic mutan anggrek Phalaenopsis amabilis L, blume dengan RAPD. Seminar Nasional Biologi UGM Jogyakarta. Sumardi KN dan Prabowo G. 2010. Asyiknya Memelihara Anggrek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sungkumlong &Deb CR. 2008. Effect of different factors on immature embryo culture PLBs differentiation and RAPID mass multiplication of Coelogyne suaveolens (lindl) Hook. India Journal of Experimental Biology, 46(4): 243-248. Susantidiana, Wijaya A, Lakitan B dan Surahman M. 2009. The Identification of Some Accessions of Jatropha curcas L.Using Morphological and RAPD Analysis. Jurnal Agronomi Indonesia, 37(2): 167-173. commit to user Sutopo L. 2009. Pemuliaan tanaman Anggrek. Penerbit CV Asrori Malang. 143 hal.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
Tanee T,Chadmuk P, Sudmoon R, Chaveerach A, and Noikotr K. 2012. Genetic analysis for identification, genomic template stability in hybrids and barcodes of the Vanda species (Orchidaceae) of Thailand. African Journal of Biotechnology, 11(55): 11772-11781. Teixeira daSilva JA, Kauth PJ, Dutra D, Johnson TR, Stewart SL, Kane ME, and Vendrame W. 2008. Techniques and applications of in vitro orchid seed germination. 1st edn. Teixeira da Silva JA, editor. Isleworth, UK: Global Science Books Ltd.Floriculture, ornamental and plant biotechnology, 5: 375-391. Tiyagi BR, Ahmad T and Bahl JR.1992. Cytology, genetics and breeding of commercially important Mentha species. Curr. Research Medicinal. Arom. Plant Sciences (now Journal Medicinal Arom. Plant Sciences), 14: 51-56. Topik H dan Pancoro A. 2008. Kajian Filogeenetika Molekuler dan Peranannya dalam mnyediakan Informasi Dasar untuk meningkatkan Kualitas Sumber Genetik Anggrek. Jurnal AgroBiogen, 4(1): 35-40. Truta G, Vochitha CM, Rosu MM and Zamfirache. 2013. Karyotype traits in Romania selection of edible blue honeysuckle. Turky Journal Biology, 37(1): 60-68. Utami DS dan Hartati S. 2012. Perbaikan Genetik Anggrek melalui Persilangan Intergenerik dan Perbanyakan Secara In Vitro dalam Mendukung Perkembangan Anggrek di Indonesia. Agrineça, 12(2): 104-116. Verma N, Koche V, Tiwari KL and Mishra SK. 2009. RAPD analysis reveal genetic variation in difeerent population of Trichodesma indicum – A perennial medicinal herb. Journal of Biotechnology, 8(18): 4333-4338. Vural, Cingili and Dageri. 2009. Optimization Of DNA Isolation For RAPD-PCR Analisys Of Selected (Echinaceae purpurea L. Moench) Medicinal Plant Of Conservation Concern From Turkey. Journal Of Medicinal Plants Research 3(1): 16-19. Wallace LE. 2003. Moleculer evidence for allopolyploid speciation and recurrent origins in Platanthera huronensis (Orchidaceae ). International Journal Plant Science, 164(6): 907-916. Wang HZ. 1963. A study on The Self and Cross Incompatibility in The Sweet Potato in Taiwan. Proceeding American Society of Horticultural Science, 84: 424-430. ------------. 2008. DNA fingerprinting commit to userand genetic diversity analysis of latebolting radish cultivars with RAPD, ISSR and SRAP markers. Scientia, 116(3): 240–247.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
Wang HZ, Feng SG, LU JJ, Shi NN, Liu JJ. 2009. Phylogenetic study and molekculer identification of 31 Dendrobium species using intersimple sequent repeat (ISSR) markers. Scientia Horticulturae, 122(3): 140-447. Widiastoety D. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Penebar Swadaya. Jakarta. Widiastoety D, Solvia N, Soedarjo M.2010. Potensi Anggrek Dendrobium dalam meningkatkan variasi dan Kualitas Anggrek Bunga Potong. Jurnal Litbang Pertanian, 29(3): 101-106. Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalsky JA, Tingley SV. 1990. DNA plolymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acid Research, 18(22): 6531-6535. Xiang N and Hong Y. 2003. Genetic Analysis Of Tropical Orchid Hybrid (Dendrobium) With Flourescence Amplified Fragment Length Polymorphisme (AFLP). Journal American Society Hortikultura Science,128(5): 731-735. Xu, Yu and Kumar. 2010. Characterization of floral organ identity genes of Orchid Dendrobium crumenantum. Journal Moleculer Biology Biotechnology, 8(1): 185-187. Xue D, Feng S, Zhao H, Jiang H, Shen B, Shi N, Lu J, Liu J and Wang H. 2010. The Linkage Maps Of Dendrobium Species Based On RAPD And SRAP Marker. Journal of Genetic and Genomic, 37(3): 197204. Yam TW. 1994. Breeding with Paraphlaenopsis. American Orchid Society. Bulletin, 63(12): 1359-1365 Yih CNg and Saleh NM. 2011. In vitro propagation of Paphiopedilum orchid through formation of protocorm-like bodies. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 105: 193-202. Yulia ND dan Russeani NS. 2008. Studi Habitat Dan Inventarisasi Dendrobium capra J.J Smith Di Kabupaten Madiun Dan Bojonegoro. Jurnal Biodiversitas, 9(3): 190-193. Yunus, A. 2007. Identifikasi Keragaman Genetik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Berdasarkan Penanda Isozim. Jurnal Biodiversitas, 8(3): 249-252. Yuping Z, Wang W, Li X and Zhao X. 2012. Study on Interspecific Compatibility of Different Combinations Inner (Inter) Lily Hybrids. Journal of Scientific Research, 11(5): 567-574. Zha, Luo, Wang, Wei and Jiang. 2009. Genetic Characterization Of Nine Medical Dendrobium commitSpecies to user Using RAPD. African Journal Of Biotechnology, 8 (10): 2054-2058.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
Zhang F, Ge YY, Wang WY, Shen XL and YuXY. 2012. Assessing genetic divergence in interspecific hybrid of Aechmea gomosepala and A. recurvata var. recurvata using inflorescence characteristic and sequence-related amplified polymorphism markers. Genetic and Molecular research, 11(4): 4169-4178. Zietkiewict E, Rafalski A and Labuda D. 1994. Genome fingerprinting by Simple Sequence Repeat (SSR) Anchored Polymerase Chain Reaction Amplification. Genome, 20(2): 176-183.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
Lampiran 1 Paper Accepted for”Indian Journal of Agricultural Research” . (Scopus ) STUDY ON MORPHOLOGICAL CHARACTERISTICS OF DIFFERENT SPECIES OF Coelogyne ORCHID Sri Hartati1 Nandariyah2 Ahmad Yunus3 Djati W.Djoar 4 1
Departement of Agrotechnology Faculty of AgricultureUniversity of Sebelas Maret and Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia 57126 2,3,4 Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret Surakarta, Indonesia 57126 Corresponding author: Sri Hartati, M.Agr., research Plant breeding, Email:
[email protected] ABSTRACT In plant breeding programs need in formation about the diversity, classification to demonstrate the level and the relationship between the cultivars as the basisfor selection.One barrier crossing success is the close relationship between parental genetic kinship. The study was aimed to classify the orchid species and relationship between the different 6 spesies of genus Coelogyne spp was determined using Characterization of morphology. The research use genus Coelogyne taken from region in Indonesia were collected from Bogor botanical garden Indonesia. Dice similarity coefficient ranged from 0.73 – 0.98. A dendrogram contructed based on the UPGMA clustering method revealed three clusters 0,93 similirity level. First cluster was C. rumphii, C.mayeriana and C. pandurata The second clusters C.massangeana. The three clusters was C. asperata and C. celebensis. Key words: Orchid,Coelogyne, charactertization,diversity, morphology INTRODUCTION The family Orchidaceae, one of the largest families of Flowering plants, is characterized by its high species diversity and wide range of reproduction and distribution strategies, which have resulted in a variety of patterns of genetic commit to user differentiation among populations (Wallace, 2003; Niknejad et al., 2009).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
Inplant breeding programs need information about the diversity and classification to demonstrate the level and the relationship between the
cultivars
as
the
basisfor
selection
(Nandariyah,
2010).
Characterization of the plantis an activity to find the description of each species were used as materials to determine the phylogenetic relationship between species. Phylogenetic relationship of various species of plants are a source of initial information to hybridization to produce variations. Xue et al., (2010) states that the farther a species of plant genetic relationship, the more difficult also to be crossed. Hence the need for the process of determining kinship various species of orchids. Determination of kinship can be performed phenotypic and genotypic. Phenotypically kinship performed by morphological observation. One barrier crossing success is the close relationship between parental genetic kinship. Therefore, in this study attempted to classify the orchid species based on morphological characteristics.
MATERIALS AND METHODS Plant material Six species from genus Coelogyne were collected from a collection of Bogor botanical garden Indonesia, as well as their corresponding
names
in
the
collection,
general
geographical
distribution and specific origin (Table 1) Table 1. Plant material according to origin and altitude No 1 2 3 4 5 6
Name of Orchid Coelogyne pandurata Coelogyne massangeana Coelogyne mayeriana Coelogyne asperata Coelogyne celebensis Coelogyne rumphii
Locality and Habitat East Kalimantan West Sumatra Kalimantan Wesr Kalimantan South Sulawesi South Sulawesi
commit to user
Altitude 100 1150-2100 100 320-1000 826-220 100-2000
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
Morphology characters Morphological characterization was conducted by applying the Desriptor and Characterization list Gravendeel and Vogel (2000) with 45 characters. Morphological data of six spesies Coelogyne i.e, C. pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C.celebensis and C. rumphii was observed. The data was transformed into numeral form and was analyzed by NTSYS. While studying Coelogyne genus, 45 characters (Gravendeel and Vogel, 2000) were taken under consideration in which the characters like rhizome, pseudobulbs, inflorescens, scape, rhachis, floral bract flowers, ovary, petal, sepal, lip, hypochile, epichile, column, pollinia, stipes, trichomes on leaf surface, stomata.
a
b
c
d
e
f
Fig. 1. Morphological orchid Coelogyne spp : a. C. pandurata b.C. massangeana c. C. mayeriana d. C. asperata e. C. celebensis f. C. rumphii (Bogor botanical garden Indonesia, 2012) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
Statistical analysis Descriptive data observations in the transfer into a binary form of a score, a score of zero (0) if the trait is not found in a plant and a score of one (1) if the nature of the plants owned by the observed.The data obtained were analyzed with the NTSYS-PC (Numerical Taxonomy and Multivariative Analysis System) version 2:02 Unweight pair group method with arithmetic method (UPGMA) function SIMQUAL (Qualitative Similarity) and utilized to obtain the genetic similarity matrix using Dice coefficient (Rohlf (1998), the UPGMA (Unweighted Pair Group Method using Arithmetic Average) clustering method was used to contruct a dendrogram. RESULTS AND DISCUSSION Xue et al. (2010) stated that the more distant phylogenetic relationship of a plant species, the success of the smaller crosses. Then needed for the process of determining kinship various types of orchids. Phenotypically kinship based on observations conducted morphological and phenotypic appearance of a species Table 1. Matrix similrity based on morphological character 1 1 1.00 2 0.93 3 0.93 4 0.95 5 0.78 6 0.80 Explanation
2
3
4
5
6
1.00 0.91 0.93 0.75 0.78
1.00 0.93 0.80 0.82
1.00 0.73 0.75
1.00 0.98
1.00
1 : C. rumphii 2 : C. pandurata 3 : C. massangeana
4 : C. mayeriana 5 : C. asperata 6 : C. celebensis
The dendrogram could be arranged used to Un-weight Pair Group Method Using Arithmatic Average (UPGMA) The NTSYS analysis showed that UPGMA cluster can be divides into three cluster 0,93 commit to user similirity level (Fig. 2). First cluster, Coelogyne rumphii, Coelogyne
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
mayeriana and Coelogyne pandurata (Black Orchid). The second cluster Coelogyne massangeana and three clusters, C. asperata and C. celebensis with different at pseudobulb number of leaves, rhachis sterile bracts on base, rhachis internodes, floral bract, petals, column length, column wing, column apex. C. rumphii. C. pandurata and different at pseudobulb number of leaves, rhachis sterile bracts on base, rhachis internodes, floral bract, petals, column length, column wing and column apex.
Fig 2. Dendrogram of Coelogyne spp based on Morphological characters The plants of six Coelogyne showed slight morphological differences such as variation in pseudobolb, rachis, Flowers, petals, lip, and column, as like:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
B
A
C
Fig 3. Morphological differences such as variation in Flower : A = Coelogyne pandurata (opening in succession), B = Coelogyne mayeriana (opening (almost) simultaneously) C = Coelogyne asperata (opening in succession)
b
a
Fig 4. Morphological differences such as variation in Petals : a = Coelogyne pandurata (ovate-oblong) (Sierra et al., 2000), b = Coelogyne rumphii (linear) (Gravendeel and De Vogel, 2000)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 100
Fig 5. Morphological differences such as variation in column : a = Coelogyne asperata (Short, Column 8 –17 by 3–4.5 mm; column foot small) (Sierra et al., 2000), b = Coelogyne celebensis (Long, Column 36 –37 by 9 –11 mm) (Gravendeel and De Vogel, 2000) These species all have not hypochile, epichile, trichomes on leaf surface, stomata and epidermal crystals. Another well supported subclade unites C. celebensis and C. rumphii, which both have not rhachis sterile bracts, rhachis internodes, hypochile, epichile, trichomes on leaf surface and stomata.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 101
CONCLUSIONS The
dendrogram
result
indicated
a
considerable
level
of
morphological into three cluster with 0,93 similirity level. First cluster are Coelogyne rumphii, C. mayeriana and C. pandurata. Two clusters C. massangeana. C. rumphii and C. pandurata different at pseudobulb number of leaves, rhachis sterile bracts on base, rhachis internodes, floral bract, petals, column length, column wing and column apex. The three clusters consist of C. asperata and C. celebensis with different at pseudobulb number of leaves, rhachis sterile bracts on base, rhachis internodes, floral bract, petals, column length, column wing, column apex.
REFERENCES Gravendeel B and. DE VogelEF. 2000. Total Evidence Phylogeny of Coelogyne and Allied Genera (Coelogininae, Epidendrodidae, Orchidaceae) Based on Morphologycal, anatomical and Moleculer Characters. In Reorganising the Orchid genus Coelogyne Chapter 3. ISBN 90-71236-48-X Gravendeel B and DE VogelEF. 2000. Revision of Coelogyne Section Speciosae (Orchidaceae). Chapter 4. ISBN 90-71236-48-X Nandariyah. 2010. Morphology and RAPD (Random Amplification of Polymorphic DNA) based classification of genetic variability of Java Salacca (Salacca zalacca Gaertner. Voss). Journal Biotechnology and Biodiversity 1(1): 8-13 Niknejad A, Kadir MA, Kadzimin SB, Abdullah NAP, Sorkheh K. 2009. Moleculer characterization and phylogenetic relationship among and within species of Phalaenopsis (Epdendroideae: Orchidaceae) base on RAPD analysis. Africa Journal Biotechnology 8(20): 5225-5240 Rohlf. 1998. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariative Analysis Version 2,02. Exerter sorfware. New York. Sierra SEC, B. Gravendeel and EF De Vogel. 2000. Revision Of Coelogyne Section Verrucosae (Orchidaceae): A New Sectional Delimitation Based On Morphological And Molecular Evidence. Chapter 6. ISBN 90-71236-48-X Wallace LE (2003) Moleculer evidence for allopolyploid speciation and recurrent origins in Platanthera huronensis (Orchidaceae ). commit user 164(6): 907-916 International Journal PlanttoScience,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 102
Xue D, Feng S, Zhao H, Jiang H, Shen B, Shi N, Lu J, Liu J and Wang H. 2010. The Linkage Maps Of Dendrobium Species Based On RAPD And SRAP Marker. Journal of Genetic and Genomic, 37(3): 197-204.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 103
Lampiran 2 International Journal of Applied Agricultural Research ISSN 0973-2683 Volume 9, Number 2 (2014) pp. 147-154 © Research India Publications http:// www.ripublication.com
Genetic Diversity of Orchid Coelogyne spp by Molecular RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Markers Sri Hartati1 Nandariyah2 Ahmad Yunus3 Djati W.Djoar 4
1
Departement of Agrotechnology Faculty of AgricultureUniversity of Sebelas Maret and Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia 57126 2,3,4 Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret Surakarta, Indonesia 57126 Corresponding author: Sri Hartati, M.Agr., research Plant breeding, Email:
[email protected]
ABSTRACT The study was aimed to investigate the genetic diversity species of genus Coelogyne spp was determined using Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Fifteen RAPD markers were used and only eleven of the give reproducible result primer used OPA 02, OPA 07, OPA 09, OPA 13,OPA 16, OPB 12, OPB 17, OPB 18, OPD 02, OPD 08 and OPD 11. RAPD primers produced 79 amplified fragments varying from 200 bp to 3500 bp in size. 100 % of the amplification bands were polymorphic. At a size of 250 bp to 3000 bp band amplified so that most of the possible is also a ribbon depicting distinctive character. The dendrogram result indicated a considerable level of the molecular RAPD analysis showed six species forming three clusters with 46% similarity level. First cluster are C. pandurata, C. rumphii and C. celebensis. The second clusters are C. mayeriana and C. asperata the other three is C. massangeana. The range of genetic distance of six species from genus Coelogyne was from 0.23-0.54. Key words : Coelogyne, Genetic, Moleculer,Orchid, RAPD commit to user INTRODUCTION Group of orchid (Orchidaceae) is one of the largest families of
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 104
flowering plants in the world that includes natural species and species from crosses (Xiang and Hong, 2003).In plant breeding programs need information about the variety and classification to demonstrate the level and the relationship between the cultivars as the basis for selection (Nandariyah, 2010) Characterization of the plant is an activity to find a description of each species were used as materials to determine the phylogenetic relationship between species. Phylogenetic relationship of different/ several species of plantsis a source of initial information to hybrid is to produce variations. Xue et al. 2010), states that the farther a species of plant genetic relationship, the more difficult also to be crossed. Hence the need for the process of determining kinship several species of orchids. Determination of kinship can be performed phenotypic and genotypic. Phenotypically kinship performed by morphological observation. While genotypic characterization is the characterization with attention to the arrangement of genes or DNA that are characteristic of each species (Jones et al., 1998). RAPD fundamental to the Polymerase Chain Reaction ( PCR ) reaction is to amplify the DNA fragments using an oligonucleotide primer (Khosravi et al., 2009). Technique was using a single primer DNA with random nucleotide sequences. One barrier crossing success is the close relationship between parental genetic kinship. Therefore, this research is used to investigate the genetic diversity orchid species of genus Coelogyne spp based on molecular RAPD.
MATERIAL AND METHODS Plant material Six species from genus Coelogyne were collected from a collection of Bogor Botanical garden Indonesia, as well as their corresponding names in the collection, general geographical distribution and specific origin (Table commit to user 1).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 105
Some required ingredients in the total DNA analysis with RAPD-PCR method
are:
CTAB,
EDTA,
Tris-HCL,
PVPP,
aquades
sterile,
mercaptoethanol, NaCl, quartz sands, chloroform, isoamyl, alcohol, ethanol absolute, alcohol 70%, PCR buffer reaction, dNTP mix, Taq DNA polymerase, MgCl2, and primer. There were 11 from 15 tested primer used, which are OPA 02, OPA 07, OPA 09, OPA 13,OPA 16, OPB 12, OPB 17, OPB 18, OPD 02, OPD 08 and OPD 11. Table 1. Plant material according to origin and altitude No 1 2 3 4 5 6
Name of Orchid Coelogyne pandurata Coelogyne massangeana Coelogyne mayeriana Coelogyne asperata Coelogyne celebensis Coelogyne rumphii
Altitude (m) 100 1150-2100 100 320/ 1000 826/ 220 100-2000
b
a
c
e
Locality and Habitat East Kalimantan West Sumatra Kalimantan Wesr Kalimantan South Sulawesi South Sulawesi
d
f
Fig. 1. a. C. pandurata b. C. massangeana c. C. mayeriana d. C. asperata e. C. celebensis f. C. rumphii commit user (Bogor botanical gardentoIndonesia, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 106
DNA extraction Genomic DNA was extracted following the methodology described by Doyle and Doyle (1987), with some modifications. DNA Isolation was conducted from 1 g of young leaves then suspended in 20 ml, of Extraction buffer (20 nM EDTA at pH 8.0, 100 M Tris-HCl at pH 8.0, 1.5 M Nacl, 2% CTAB and 1% merkaptoethanol 1% 5 µL. The suspension was mixed well, incubates at 60 0C for 45 min, followed by chloroform isoamyl alcohol (24:1) extraction and precipitation with 0.6 volume of isopropanol at 200C for 1 h. The DNA was pelleted down by centrifugation at 12.000 rpm for 10 min andwas then suspended in TE buffer (10 M Tris-HCl and 1M EDTA pH 8.0). The DNA was purifed from RNA and protein by standart procedures 15 and its concentration was estimated by agarose and electrophoresis and staining with ethidium bromibe. Isolated DNA was visualized for its quantity and quality by running them in 1% Agarose gel electrophoresis. RAPD Amplification DNA amplification was performed in Takara Thermocycler according to Williams et al. (1990) in Poerba and Ahmad (2010) with total volume of PCR reaction of 15 µl consisting of 0.2 nMdNTPs; 1X reaction buffer; 2mM MgCl2; 10 ng of DNA sample; 0.5 pmole of single primer; and 1 unit of Taq DNA polymerase (Promega). Fifteen RAPD primers obtained from Operon Technologies, USA were tested initially with randomly selected individuals from populations. Eleven primers that showed clear and reproducible result were use in the analyses. PCR reaction was conducted twice to ensure the reproducibility of RAPD. PCR products were visualized in 2% agarose gel electrophoresis for 60 min at 50 Volt. This was followed by EtBr staining (0.15 µl mL-1) before photographed in gel documentation system (Atto Bio instruments) and 100 bp ladder (Promega) was used as DNA marker. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 107
Statistical analysis The amplification products were analysed by marking their presence (1) or absence (0) for each DNA fragment generated. The data obtained were analyzed with the NTSYS-PC (Numerical Taxonomy and Multivariative Analysis System) version 2:02 Unweight pair group method with arithmetic method (UPGMA) function SIMQUAL (Qualitative Similarity) and utilized to obtain the genetic similarity matrix using Dice coefficient (Rohlf (1998), The UPGMA (Unweighted Pair Group Method using Arithmetic Average) clustering method was used to construct a dendrogram. RESULTS AND DISCUSSION RAPD analysis of one of the methods that can be used to set and see the features that are used to analyze the phylogenetic relationship between species of plants (Arya et al., 2011; Vural et al., 2009; Das et al., 2009; Verma et al., 2009). The results showed that the elevent primers used were able to amplify orchid genomic DNA with the number and size of DNA bands were very diverse, showing a pattern of polymorphism. Population genetics of large number of plant species were studied using RAPD (Carlos, et al., 2006)) Table 2. Primer, sequences, polymorphic bands and percentage polymorphism in RAPD analysis No
Primer
Sequence 5’ to 3’
Size (bp)
Amplified bands
Polymorphic bands
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
OPA-02 OPA-07 OPA-09 OPA-13 OPA-16 OPB-12 OPB-17 OPB-18 OPD-02 OPD-08 OPD-11
TGCCGAGCTG GAAACGGGTG GGGTAACGCC CAGCACCCAC AGCCAGCGAA CCTTGACGCA AGGGAACGAG CCACAGCAGT GGACCCAACC GTGTGCCCCA AGCGCCATTG
300-750 300-2000 250-1500 250-1000 250-2000 400-1600 200-1500 600-1600 250-3500 750-3000 500-3500
5 9 6 7 10 8 10 5 8 6 5 79 7.02
5 9 6 7 10 8 10 5 8 6 5 79 7.02
commit to user
% polyMorphis m 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 108
In the present study, we used eleven primer of RAPD to examine the relationship between the six species of Coelogyne, ie. C. pandurata, C. massangeana, C. mayeriana, C. asperata, C. celebensis, C. rumphii. The result presented to describe the use of this phylogenetically confirmative DNA based method to address the interspecific genetic relationships. Eleven primers were used for the present study and all of them successfully amplified polymorphic DNA bands (Table 2). The total amplified band generated by eleven amplifying primers was 79 with an average amplification of 7.02 bands per primer, of which 79 bands were polymorphic. The number of polymorphic bands per primer range from five to ten with average percentage polymorphism generated by these bands was 100%. The size of amplified products from all the primers varied between 200 bp and 3500 bp. The minimum size of 200 bp amplification product was generated from primer OPB 17, while the maximum size of 3500 bp was generated with primer OPD11. Table 3. Matrix similarity Coelogyne spp base on RAPD 11 primers 1 2 3 4 5 6
1 1.00 0.33 0.42 0.38 0.44 0.50
2
3
4
5
6
1.00 0.33 0.35 0.23 0.30
1.00 0.54 0.45 0.26
1.00 0.38 0.28
1.00 0.48
1.00
Note : 1= C. pandurata 2= C. massangeana 3= C. Mayeriana
4= C. asperata 5= C. celebensis 6= C. rumphii
The matrix similarity coefficient range from 0.23 to 0.54. The highest similarity coefficient (0.54) was observed between C. mayeriana and C. asperata. The results of DNA amplification using four primer orchid does not always produce the band with the same intensity. The difference in the intensity of each band can not be used to estimate copy number of base pairs in each RAPD bands. The intensity of DNA amplification on any commit to user primary outcome is strongly influenced by the purity and concentration of
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 109
the template DNA and the distribution of the site template DNA primer. Population genetic of large number of plant species were studied using RAPD (Parab and Krishnan, 2008).
Fig. 2. Dendrogram of Coelogyne spp based on the RAPD result 11 primers 1. C. pandurata, 2. C. massangeana, 3. C. mayeriana, 4. C. asperata, 5. C. celebensis, 6. C. rumphii The dendrogram was constructed based on simple matching coefficients taking into account the presence or absence of bands. The NTSYS analysis showed that UPGMA cluster can be divided into three clusters 0.46 similarity level (Fig. 3). First cluster C. pandurata, C. rumphii and C. celebensis. The second cluster consists of C. mayeriana and C. asperata. However, the other three C. massangeana.The existence of a good combination between the primer and DNA amplification orchids produce a DNA band that much so as to provide good data for the determination of kinship orchid (Xue et al., 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 110
M D1 D2 D3 D4 D5 D6 DDDDD6D6 D6
M
OPA 07
D1 D2 D3 D4 D5 D6
M D1 D2 D3 D4 D5D6
OPA 13
M D1 D2 D3 D4 D5 D6
OPA 02
OPA 09
Fig. 3 RAPD amplification profile of spesies Coelogyne with different primers. Line (1-6): 1. C.pandurata, 2. C. massangeana, 3. C. mayeriana, 4. C. asperata,5. C.celebensis, 6.C. rumphi CONCLUSIONS 1. The moleculer RAPD analysis showed three clusters with 46 % similirity level. First cluster Coelogyne pandurata, Coelogyne rumphii and Coelogyne celebensis. The second cluster consists of Coelogyne mayeriana and Coelogyne asperata. However, the other three Coelogyne massangeana 2.
RAPD primers produced 79 amplified fragments varying from 200 bp to 3500 bp in size 100 % of the amplification bands were polymorphic.
ACKNOWLEDGEMENT This
work
was
financially
supported
by
Penelitian
Unggulan
PerguruanTinggi from Directorate Generale of Higher Education (DGHE), Indonesian Ministry of Education, No.3385a/ UN27.16/ PN/ 2014 for Sri Hartati, Agriculture Faculty of Sebelas Maret University. We appreciate Yuyu S. Poerba and Herlina of Genetic Laboratory Biological Research Centre LIPI Bogor. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 111
REFERENCES [1]
[2]
[3]
[4] [5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10] [11]
[12]
[13]
[14]
Arya V, Yadav S and Yadav JP. 2011. Intra Specific Genetic Diversity Of Different Accessions Of Cassia Occidentalis by RAPD Marker. Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 1(22): 1-8 Carlos F V, Victor P, Peter F and Jorge L. 2006. Genetic diversity and structure in fragmented populations of the tropical orchid Myrmecophila christinae var. christinae. Biotropica, 38: 754-763 Das BK, Jena RC and Samal KC. 2009. Optimization of DNA Isolation and PCR protocol for RAPD Analysis Of Banana/ Plantain (Musaspp). Agriculture Science, 1(2): 21-25 Doyle, J.J., Doyle J.L.,1987. A Rapid DNA Isolation procedure for small quantities of fresh leaf tissue. Phytochem. Bull. 19: 11-15 Jones, Kuenhle and Arumuganathan 1998. Nuclear DNA content of 26 Orchid (Orchidaceae) genera with emphasis on Dendrobium.Annal of Botany, 82: 189-194 Khosravi AR, Kadir MA, Kadzemin, SB, Zaman FQ and De Silva AE. 2009. RAPD Analysis of Cholchicine Induced Variation of the Dendrobium Serdang Beauty. African Journal of Biotechnology, 8(8): 1455-1465 Nandariyah. 2010. Morphology and RAPD (Random Amplification of Polymorphic DNA) based classification of genetic variability of Java Salacca (Salacca zalacca Gaertner.Voss). Journal Biotechnology and Biodiversity, 1(1): 8-13 Parab GVand Krishnan S. 2008. Assessment Of Genetic Variation Among Populations Of Rhynchostylis retusaan Epiphytic Orchid from Goa, India Using ISSR And RAPD Marker. Journal of Biotechnology, 7(17): 313-319 Poerba YS. and Ahmad F. 2010. Genetic variability among 18 cultivars of cooking bananas and plantains by RAPD and ISSR markers. Journal Biodiversitas, 11(3): 118-123 Rohlf. 1998. NTSYS-pc Numerical Taxonomy and Multivariative Analysis Syersion Version 2,02. Exertersorfware. New York. Verma neelambra, Koche V, Tiwari KL and Mishra SK. 2009. RAPD analysis reveal genetic variation in difeerent population of Trichodesma indicum – A perennial medicinal herb. Journal of Biotechnology, 8(18): 4333-4338 Vural, Cingili and Dageri. 2009. Optimization Of DNA Isolation For RAPD-PCR Analisys Of Selected (Echinaceae purpurea L. Moench) Medicinal Plant Of Conservation Concern From Turkey. Journal of Medicinal Plants Research, 3(1): 16-19 Wallace LE. (2003) Moleculer evidence for allopolyploid speciation and recurrent origins in Platanthe rahuronensis (Orchidaceae). International Journal Plant Science, 164(6): 907-916 to userGenetic Analysis Of Tropical Orchid Xiang, N. and Y.commit Hong, 2003. Hybrid (Dendrobium) With Flourescence Amplified Fragment
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 112
[15]
Length Polymorphisme (AFLP). American Society Horticultura Science,128(5): 731-735 Xue Dawei, Feng.S., Zhao, H., Jiang H., Shen, B., Shi N., Lu J., Liu J., Wang H, 2010. The Linkage Maps of Dendrobium Species Based on RAPD and SRAP Marker. Journal of Genetic and Genomic, 37(3): 197-204
commit to user
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 3
Hybridization Technique of Black Orchid (Coelogyne pandurata LINDL) Toenrich the Genetic Diversity and to Rescue the Genetic Extinction Sri Hartati1 Nandariyah2 Ahmad Yunus3 Djati W.Djoar 4 1
Departement of Agrotechnology Faculty of AgricultureUniversity of Sebelas Maret and Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia 57126 2,3,4 Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret Surakarta, Indonesia 57126 Corresponding author: Sri Hartati, M.Agr., research Plant breeding, Email:
[email protected]
ABSTRACT
Coelogyne pandurata Lindl,an exotic and valuable orchid species from eastern Kalimantan is currently endangered existence. The objectives of this study were to rescue the genetic extinction of the Coelogyne pandurata Lindl as well as to create new genetics through crossbreeding with other species. Crosses were performed at 4 to 6 flowering individuals. Pollens were transferred from the anther to the stigma by using sterile toothpicks, with the following methods: (i) selfing, (ii) crossing, (iii) reciprocal. The parameters observed included: percentage of success in crossing, the percentage of fallen fruit, age of ripening fruit, time of protocorm formation. The results showed that the ability of crossing for each intersection were as follows: crossing (♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii) was 100%, reciprocal: (♀ Coelogyne rumphii x ♂ Coelogyne pandurata) was 100% and selfing was 100%. The percentage of fallen fruit commit to userreciprocal was 25% and selfing was were as follows: crossing was 50%, 25%. Age of ripening fruit are as follows: crossing was 158 days,
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
reciprocal was 191 days and selfing pollination was 195-201 days. Time of protocorm formation were as follows: crossing was 22 days reciprocal was 48 days and selfing was 26-94 days. Keywords : crossing, extinction, protocorm, reciprocal, selfing INTRODUCTION Group of orchid (Orchidaceae) is one of the largest families of floweringplants in the world that includes natural species and species from crosses (Xiang et al., 2003). The genus of Coelogyne Lindl is one of more than 200 sympodial epiphytes with the deployment area of India, China, Indonesia and Fiji Island centering in Kalimantan, Sumatra and the Himalaya (Devi et al., 2012). One of the rare species of Coelogyne Lindl protected by the government of Indonesia is black orchid (Coelogyne pandurata Lindl.), This spesies of orchid, naturally found in eastern Kalimantan, is very exciting with the characters of large green flowers with a black tongue protruding from its centre. Therefore this orchid has high economic value. However the existence of black orchid is currently being endangered and now hard to find even in its native habitat, so the saving cultivation should be done before extinction occurs. One of the possible action to save the genetic extinction is by crossing it to the other species. Selection of the elders having high compatibility to be crossed is very important in determining the success of a hybridization program One barrier in crossing success is that between the crossed parents should have a close genetic kinship. The previous research has been conducted in 2012 to select elders that have a genetic proximity to the Black
Orchid
(Coelogyne pandurata
Lindl) using
morphological
characterization and molecular characterization of RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). The study found that Coleogyne rumphii commit to user was the selected parent to be crossed with Black Orchid.
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
The cross of Coelogyne pandurata Lindl and Coleogyne rumphii was done in the present research. The seeds obtained from the crosses were grown in vitro using tissue culture. By crossing of Coelogyne pandurata having big green flower and black tongue and rarely flowering (2-3 times a year) and Coelogyne rumphii having small yellow flower with brown tongue but simultaneous and almost every months flowering, was expected to obtain new variants having combination characters and to enrich genetic diversity. MATERIALS AND METHODS 1. Materials: Coelogyne pandurata and Coelogyne rumphii (collection of Bogor Botanical Garden Indonesia). 2. Place of experiment:
Center Bogor Botanical Garden plant
conservation 3. Methods : There were three kinds of crosses: (i) Selfing: pollen transfer to the stigma of a flower on one plant, (ii) Crossing: ♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii, (iii) Reciprocal : ♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii. Crossing was conducted in the morning (07:00 to 10:00 am) and performed at 4-6 flowering orchids. Pollens are transferred from the anther to the stigma by using sterile toothpicks. After harvesting the seeds sterilized with 70 % alcohol for 5 minutes . The pods were rinsed 4 times with sterile distilled water before being transferred to a laminar box. Seeds were cultured in medium with basic media of Knudson C + coconut milk (150 ml/ l) + bean extract (150 g/ l) + gelatin (7 g/ l) + activated charcoal (1g/ l), pH 5.6 4. Observed parameter: percentage of crossing success, age of ripen fruit, the percentage of fruit loss, and time of protocorm (seed germination). commit to user
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
RESULTS AND DISCUSSION Based on the study of Hartati et al. (2013), morphological characters of Black orchids (Coelogyne pandurata Lindl.) are epiphytic with simpodial growth type, lanceolate breech- shape leaf, star-shape flower. The positions of the flower is at the basal, its color ispale green with black tongue, about 9.1 cm long and 10.35 width, the dorsal sepalis5.37 cmlong and 2cmwidth, the lateral sepals is 4.38 cm long and 1.46 cm width, the petal is 5.1 cm long and 1.3 cm width. The curve of the lip is at the threshold and the cross section flipped into the transverse lip. Each node contains big pseudobulb, 11.4 cm long, 2.78 cm width and 4,5 cm thick. The numbers of pollinia are 4, number of florets per stem are 78, length of blooming duration is 6 days, the number of flower stalks is 1 2, not simultaneous flowering and only 2-3 times flowering season per year .Coelogyne rumphii orchids are epiphytic orchids with the type of growth: simpodial , lanceolate breech shape leaf, star-shape flower, light yellow flowers with brown tongue, flowering position in tip, flower stalk length of 30 cm, length of flowers is 4.4 cm, width of 5.1 cm, dorsal sepals is 4.36 cm x 1.42 cm, lateral sepals of 4.44 cm x1,1cm, petal of 4.2 cm x 3.5 cm, the location of the curve of the lips is at the basal, reverse lip cross section is very deep, large pseudobulb size, 10.5 cm long, 3.9 cm width, and 3.1 cm thick. The number of polliniais 4, number of florets per stem is 1, length of blooming duration is 8 days, the number flower stalks is 3-5, flowering simultaneously and almost every month.
Figure 1. C.commit pandurata to user Figure 2. C. rumphii
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Percentage of Crosses Success Several days after that petal and crown of the female flower will withered, dry and fallen, then emerge the small
length
wise
fruit.Sivanaswari et al. (2011) also stated that if crosses was made less than a week after flower bloom, the surface of the stigma is receptive to pollen. After 2 weeks, the flower closes and pollen becomes brownish and receptive. It is important to reach flowering in different individuals at the same time for pollination through artificial hybridization. This study showed that whatever the method of pollination, it succeeds to form fruit (Table 1). Selection of elders to be crossed is very important in determining the success of a cross breeding program. Table 1 . Percentage of successful crosses, level of compatibility and time of fruit emergence No
Parental crosses
Pollination method
Number flower of crossed
Success ful crosses (%)
Compatibil ity level
1
♀ C. pandurata x ♂C. rumphii ♀ C. rumphii x ♂C pandurata C. pandurata C. rumphii
Crossing
4
100
Compatible
Time of fruit emergen ce (days) 4
Reciprocal
6
100
Compatible
4
Selfing Selfing
4 4
100 100
Compatible Compatible
6 5
2 3 4
Study of Sivanaswari et al. (2011) showed that Aerides odorata as female resulted successful crosses of 0-60 %, while in the reciprocal cross of Aerides odorata as males resulted 25-62 %. Described by Chaturvedi and Shonali (2010) that the morphology of the orchid flower is slightly complicated by stem structure called column, and at the apical section of the column whose anther which has pollen inside called pollinarium. The stigma lies in the sub-apical column called rostellum. The success of pollination occurs when pollinarium can be incorporated into the rostellum. Percentage of fruit loss The orchid pollination commit usually to user takes place with an assistance of insects/ bees.The flower of Coelogyne species isdominated by yellow-green
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Clayton, 2002 in Cheng et al,. 2009). The study of Tremblay et al., (2005) in Cheng et al., (2009) showed a failure to form fruit if the pollination is done on the same flower (autogamy) or another flower on the same plant (geitonogamy). This is due to a mismatch in the Orchidaceae plants. Semiarti et al., (2007) stated that the conventional breeding methods through crossing, such as interspecific hybridization is a common way to create new varieties. Based on the classification of Wang (1963) are generally grouped three groups, namely compatibility which are: compatible (above 20 % success), incompatible majority (10-20 %) and fully incompatible (below 10 %). Research results in Table 1 show that all methods are compatible crosses (50 % -100 %). The study done by Hartati (2010) in a cross between Phalaenopsis and Vanda tricolor sp are compatible, but to produce seeds Phalaenopsis sp as a male parent and a female parent Vanda tricolor as likely to be greater than the reciprocal.
Fruit fall (%)
100 75 50 25 0 Crossing
Reciprok
Selfing 1
Selfing 2
Pollination method
Figure 3. Effect of pollination method to the percentage offruit fall Time of fruit maturity The percentage of harvested fruit set is determined by the number of total fruit and fall fruit. On cross of ♀Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii fruit ripening took place at 158 days and the reciprocal crosses of commit to user
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
♀Coelogyne rumphii x ♂ Coelogyne pandurata took place longer time, 191 days (Table 2). Data in Table 2 indicated that time of fruit maturity in selfpollination (selfing) was longer than if the plant crosses in the crossing or in the reciprocal. Compared to the study by Sivanaswari et al., (2011) showed that the time of fruit maturity on the crossing of Aerides odorata as the female parent ranged from 0-179 days and the reciprocal cross, Aerides odorata as the male parent, ranged from 116-184 days. Tabel 2. Mean time of fruit matirity and time of protocorm emergence No Parental crosses
2 3 4
♀ C. pandurata x ♂C. rumphii ♀ C.rumphii x ♂C pandurata Coelogyne pandurata Coelogyne rumphii
Percentage of fallen fruit (%) 50
Time of fruit maturity (days) 158
Time of protocorm emergence (days) 22
Crossing Reciprocal
25
191
48
Selfing
25
155
26
Selfing
25
201
94
210 Fruit maturity (days)
1
Pollination method
190 170
150 130 Crossing
Reciprocal
Selfing 1
Selfing 2
Pollination method
commit to user Figure 4. Effect of pollination methods to the time of fruit maturity
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Time of protocorm emergence (days)
Protocorm Emergence
90 70 50 30 10 crossing
resiprok
selfing 1
selfing 2
Pollination method
Figure 5. Effect of pollination method to the protocorm emergence
Protocorm Emergence The study showed that the crossing methods affected the protocorm emergence. The crossing of ♀Coelogyne pandurata x ♂Coelogyne rumphii protocorm emerged at 22 days, the reciprocal cross of ♀Coelogyne rumphii x ♂ Coelogyne pandurata emerged at 48 days, while the selfing in Coelogyne pandurata emerged at 26 days and Coelogyne rumphii at 94 days (Table 2) Invitro orchid seed germination is influenced by several factors such as the age of the seeds, nutrient media and sources of organic carbon (Mohanty et al., 2012). Further more Arditti and Emst (1993) mentions that incertain or chid species, after 20 days on germination medium, the cells in the basal part of the embryo will divide and accumulate tannins. According to Teixeira et al., (2008) development of orchid plant lets from the seeds could be directly or indirectly through secondary protocorm (PLBs). In addition, PLBs differentiated embryonic tissue that can develop bipolar two different structures, namely, the shoot and root meristems. Thus this structure can grow into plant lets when grown on appropriate commit to user nutrient medium (Yih and Saleh, 2011).
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
CONCLUSION A cross of ♀Coelogyne pandurata x ♂Coelogyne rumphii in the methods of crossing, selfing and reciprocal cross are compatible and 100% successful. Time of fruit maturity at the cross of ♀ Coelogyne pandurata x ♂ Coelogyne rumphii is 158 days, at the reciprocal cross of ♀ Coelogyne rumphii x ♂ Coelogyne pandurata is 191 days and at the selfing is 155201days. Time of protocorm at the cross of ♀Coelogyne pandurata x ♂Coelogyne rumphii is 22 days and at the reciprocal cross of ♀Coelogyne pandurata x ♂Coelogyne rumphii is 48 days while at the selfing of Coelogyne pandurata and on Coelogyne rumphii ranged from 26-94 days. REFERENCE Arditti J and Ernst R. 1993. Micropropagation of orchids, pp 682. John Wiley & Sons, Inc. New York. Chaturvedi SK and Chaturvedi S. 2010. Biotic Pollination in Aerides odorata Lour (Orchidaceae). The International Journal of Plant Reproductive Biology, 2(1): 45-49. Cheng J, Shi J, Shangguan FZ, Dafni A, Deng ZH andLuo YB, 2009. The pollination of a self-incompatible, food-mimic orchid, Coelogyne fimbriata (Orchidaceae), by female Vespula wasps. Journal Annal of Botany, 104(3): 565–571. Devi BC, Shibu BS and Wesly PS. 2012. In vitro Regeneration of Coelogyne stricta Direct Somatic Embryogenesis. Journal Tropical Medicine Plants, 13(2): 153-161 Hartati S. 2010. The intergeneric crossing of Phalaenopsis sp. and Vanda tricolor. Jurnal of Biotechnologi and Biodiversity, 1(1): 26-30 Hartati S, Nandariyah, Yunus A, Djoar JW. 2014. Kekerabatan Anggrek Coelogyne spp Secara Morfologi Dalam Rangka Pelestarian Plasma Nutfah. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Science 18 Januari 2014 hal.361-366 to user Semiarti E, Indrianto A, commit Purwantoro A, Isminingsih S, Suseno N, Ishikawa T, Yoshioka Y, Machida Y, Machida C. 2007. Agrobacterium-
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mediated transformation of the wild orchid spesies Phalaenopsis amabilis. Plant Biotechnology, 24 (2): 265-272. Sivanaswari, Chalaparmal, Thohirah, LA , Fadelah, AA , dan Abdullah, NAP. 2011. Hybridization of several Aerides species and in vitro germination of its hybrid. African Journal of Biotecnology, 10(53): 10864-10870. Teixeira da Silva JA, Kauth PJ, Dutra D, Johnson TR, Stewart SL, Kane ME, Vendrame W, 2008. Techniques and applications of in vitro orchid seed germination. 1st edn. Teixeira da Silva JA, editor. Isleworth, UK: Global Science Books Ltd; p. 375-391. Vol. V, Floriculture, ornamental and plant biotechnology: advances and topical issues. Wang H. 1963. A study on The Self and Cross Incompatibility in The Sweet Potato in Taiwan. Proceeding American Society of Horticultural Science. 84: 424-430. Xiang. 2003. Genetic Analysis Of Tropical Orchid Hybrid (Dendrobium) With Flourosece Amplified Fragment Length Polymorphisme (AFLP). Journal American Society Hortikultura Science, 128(5): 731735 Yih CNg and Saleh NM. 2011. In vitro propagation of Paphiopedilum orchid through formation of protocorm-like bodies. Plant Cell, Tissue and Organ Culture105: 193-202.
commit to user
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 4
Botanical Journal of the Linnean Society (Scopus)
CYTOLOGICAL STUDIES ON BLACK ORCHID HYBRID Sri Hartati1 Nandariyah2 Ahmad Yunus3 Djati W.Djoar 4
1
Departement of Agrotechnology Faculty of AgricultureUniversity of Sebelas Maret and Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia 57126 2,3,4 Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret Surakarta, Indonesia 57126 Corresponding author: Sri Hartati, M.Agr., research Plant breeding, Email:
[email protected] Absract Cytological character of orchid is very important to study to support the success of breeding. The study aimed to assess the chromosomal number, karyotype pattern and ploidy level of F1 hybrid of Black Orchid (Coelogyne pandurata). This study shows that the chromosomal number of the F1 hybrid of Coelogyne pandurata (2n=36) >< Coelogyne rumphii (2n=72) is 2n=54. Ploidy analysis by flow cytometry shows that F1 hybrid shows triploid (2n=2x=54) different from the parent Coelogyne pandurata which is diploid (2n=2x=36) and the parent Coelogyne rumphii which is tetraploid (2n=2x=72). However both parents and their F1 hybrid performed the same karyotype pattern, which is metacentric. Keywords: Chromosome, Cytologi, Coelogyne, flow cytometry, ploidy
Introduction Group of orchid (Orchidaceae) is one of the largest families of flowering plants in the world that includes natural species and species from crosses (Xiang et al., 2003). The genus of Coelogyne Lindl is one of more than 200 sympodial epiphytes with the deployment area of India, China, Indonesia and Fiji Island centering in Kalimantan, Sumatra and the Himalaya (Devi et al., 2012). One of the rare species of Coelogyne Lindl protected by the government of Indonesia is black orchid (Coelogyne pandurata Lindl.), This spesies of orchid, naturally found in eastern commit to user
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kalimantan, is very exciting with the characters of large green flowers with a black tongue protruding from its centre. Therefore this orchid has high economic value. However the existence of black orchid is currently being endangered and now hard to find even in its native habitat, so the saving cultivation should be done before extinction occurs. Orchid plants are plant species that have a very large diversity of phenotypes. Kinship was based phenotypic analysis of a number of appearances on the phenotype of an organism. Phylogenetic relationship between two individuals or populations can be measured by the number of characters in common with the assumption that different characters are caused by differences in genetic make up. The introduction of natural orchid character based on cytology would strongly support the success of plant breeding orchids. However, research on natural orchid plant cytology is very rarely done. Based on the above the writer is interested in conducting research on identification of Black Orchid (Coelogyne pandurata) and Coelogyne rumphii as the parents and their F1 hybrid.based on cytological characters in Laboratory Research Center for Biology LIPI, Bogor Indonesia.
MATERIALS AND METHODS Plant material: Coelogyne pandurata and Coelogyne rumphii were taken from the living a collection of Bogor Botanical Garden LIPI Indonesia and hybrid from Coelogyne pandurata >< Coelogyne rumphii
A
B
Figure 1. The flower of C. pandurata commit to user (A) and C. rumphii (B) (Bogor Botanical Garden Indonesia , 2012)
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
Chromosome preparation Chromosome analysis of the parent orchid and their hybrid was taken using the root tips. Calculation of the number of chromosomes, carried out at the Research Center for Biology LIPI Bogor Indonesia, was done based on the method of Manton (1950). Pieces of roots are soaked in a solution of 0.002 M 8 – Hydroxyquinoline at ca 4°C for 3-5 hours and then fixed in 45 % acetic acid for 10 minutes. They were macerated in a mixture of 1 N HCl and 45 % acetic acid (1:3) at 60°C for 1-5 minutes and then stained with 2 % aceto-orcein. After that piece meristem pressed on object glass, and then observed under a microscope with a magnification x 1000 for the calculation of the number of chromosomes. Ploidy analysis was conducted using a space CyFlow ® (Partec GmbH) equipped with a diode pumped solid - state laser 920 mW) at a wave length of 488 nm and a laser diode at a wavelength of 638 nm (25 mW). Leaf pieces (0.5 cm2) chopped using a razor blade in a petri dish containing 250 mL of extraction buffer. After 30-90 seconds of extraction buffer was filtered using a Partec 30 mL Cell Trics filters. Using PI staining buffer (propidium Iodide) and RNase (1 ml), incubated for 30 min and then analyzed in a flow cytometry before. As used control Coelogyne 2n = 36. The observed variables include: the number of chromosome, karyotype pattern and the ploidy level. The data were analyzed descriptively.
RESULTS AND DISCUSSION In plant taxonomy, chromosome observation is very important. The number of chromosomes is cytological characters most easily observed when compared to other chromosomal characteristics such as size and shape of chromosomes. This study shows that the parent Coelogyne pandurata has a chromosomal number of 2n = 36 and the parent Coelogyne rumphii has a chromosomal number of 2n = 72. The F1 hybrid of the cross commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
of Coelogyne pandurata >< Coelogyne rumphii has a chromosomal number of 2n = 54 (Table 1). This study is in line with the previous research done by Balanos et al. (2008). They found that the hybrid Doritaenopsis had different number of chromosome (2n=72) with the parent of Phalaenopsis sp (2n=38). Davina (2009) also reported that the chromosomal number of 19 orchids being studied varied from the lowest of 2n=26 Eltroplectris schlechteriana to the highest of 2n=108 Catasetum fimbriatum. Furthermore, Ramesh and Renganathan (2013a) reported that from five species of Coelogyne spp. The chromosome number ranged from the lowest of 2n=18 Coelogyne barbata Griff and the highest of 2n=32 Coelogyne breviscapa Lindl.
Table 1. Chromosome number, karyotype and ploidy Coelogyne pandurata and Coelogyne rumphii No
Orchid
Ploidy Level 2x
Karyotype
C. pandurata
Chromosome (2n) 36
1 2
C. rumphii
72
4x
metacentric
3
F1 Hybrid (♀C. rumphii x ♂C. pandurata)
54
3x
metacentric
4
F1 Hybrid (♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii)
54
3x
metacentric
metacentric
Genome analysis provides valuable information about species relationship and therefore, plays an important role in plant breeding program.
The
genome
affinities
between
parental
species
were
conventionally appraised according to the chromosome pairing behavior observed at meiotic MI in F1 hybrids (Singh, 2003 cit Lee et al., 2011). The number and form of chromosomes in each cell plant species are fixed. Each cell has a characteristic number of chromosomes and each chromosome in one species also has a distinctive structure. Consistency commit to user to help solve problems related to chromosome widely used by taxonomists plant morphology. As reported by Persson (1993) cit Sik et al. (2009) that
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
reported 75% Colchicum species examined had 90% and 67% polyploidy chromosomes of species with a basic chromosome number polyploidy based of n=7 and n=9. Levels can ploidy affect the size of the growth rate, plant, stress tolerance and other important agronomic characteristics (Walker et al, 2005; Ferchichi et al., 2006 cit Kahlaoui et al. (2009). Begum and Alam (2005) showed that of the seven species of orchids being observed, four species had the chromosome number of 2n = 38 karyotype patterns in species Peristylus constrictus, Luisia grovesii, Sarcanthus appendiculatus and Rhyncostylis retusa. Meanwhile, three other species had the number of chromosomes with different patterns of karyotype is Iridifolia oberonia 2n = 30, Pholidota pallid 2n = 40 and Phaius tankervilliae 2n = 52. Therefore, it can be concluded that along with changes in chromosome karyotype also ensures important role in evolution. Orchids usually have metacentric shaped chromosomes. The shape is determined by the ratio of the length of chromosome arm chromosome (r=q/ p). Ramesh and Renganathan (2013b) states that orchids generally have shaped metacentric chromosomes. The results of this study confirmed that, all observed orchids have metacentric chromosome (Figure 2). Truta et al. (2013), states that the karyotype with metacentric and submetacentric chromosome types are considered primitive and least developed, because they are not supported restructuration and significant genetic rearrangements during evolution. The trend toward karyotype asymmetrization by increasing the number of telocentric chromosome is a progressive step in the evolution of karyotype and have an impact on the evolution of species.
commit to user
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a
b
c
d
Figure 4 Karyotype a) Parent C. pandurata (2n=36), b) Parent C. rumphii (2n=72), c) Hybrid C. pandurata as male parent (2n=54) and d) Hybrid C. pandurata as female parent (2n=54) This study showed the change in ploidy level of the hybrid from the parents. The parent C. pandurata was diploid and the parent C. rumphii was tetraploid and the cross of both parents generated the hybrid which was a triploid. This result indicate that there may appear new character in the hybrid. According to research Tra'vnı'cek et al (2012) of the species Gymnadenia among this sample was found five different ploidies (2x, 3x, 4x, 5x, and 6x) and (Tra'vnı'cek et al., 2011) notice in the previous note that these cytotypes known as tetraploid, hexaploid, octoploid, etc.This result also in line with the research of Aoyama et al. (2013) which states that the results of a cross from the parent in the ploidy level 2n = 2x = 44 and 2n = 4x = 88 obtained the hybrid of the ploidy level 2n = 3x = 66. Moreover, in the study by Lee et al. (2011) on Paphiopedilum orchids and hybrid, the parents P. delenatii, P. micranthum P.bellatulum, P. rothshildianum which all had 2n = 26, P. callosum had 2n=29 and P. glaucophylum had 2n=1, the hybrid of P..delenatii >< P. micanthum had 2n =26, P. delenatii >< P. commit to user bellatulum 2n=26, P. delenatii >< P. rothshildianum had 2n=26,
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
P..delenatii >< P. callosum had 2n= 29, P. delenatii >< P. glaucophylum had 2n = 31. Balanos et al. (2008) also explains that the cross of Doritaenopsis sp. and Phalaenopsis sp. Generated the hybrid Hsin Doritaenopsis I Purple Jewel with 2n = 3x ploidy level = 57.
a
b
c
d
Figure 5. Result from Flow Cytometry (a) C. pandurata, (b) C. rumphii, (c) ♀C. pandurata x ♂C. rumphii, (d) ♂C. pandurata x ♀C. rumphii
commit to user
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Conclusion a. Chromosomal number of black orchid (Coelogyne pandurata) is 2n=36, Coelogyne rumphii is 2n=72 and the hybrid is 2n=54. b. Karyotype patterns of black orchid C. rumphii, C. pandurata and the hybrid is metacentric. c. Ploidy level of hybrid from the cross of diploid C. pandurata and tetraploid C. rumphii is triploid.
REFERENCES Aoyama M, Claudia A and Ximena CB. 2013. Chromosome numbers of some terrestrial orchids in Chile. Chromosome Botany, 8: 23-27. Balanos P, Shih-Wen C, Fure-Chyi C. 2008. Meiotic Chromosome Behavior and Capsule Setting in Doritaenopsis Hybrid. Journal American Society Horticulture Science, 133(1): 107-116. Begum dan Alam SS. 2005. Karyotype Analysis Of Seven Orchid Species From Bangladesh. Bangladesh Journal of Botany, 34(1): 31-36 Davina , JR, Mauro G, Juan CC, Diego HH, Ruben DA, Irma SI and Ana IH. 2009. Chromosome studies in Orchidaceae from Argentina. Genetics and Molecular Biology, 32(4): 811-821. Devi BC, Shibu BS and Wesly PS. 2012. In vitro Regeneration of Coelogyne stricta Direct Somatic Embryogenesis. Journal Tropical Medicine Plants,13(2): 153-16.1 Kahlaoui K, David JW, E. Correal, P. Martínez-Gómez, H. Hassenand S. Bouzid. 2009. The morphology, chromosome number and nuclearDNA content of Tunisian populations of three Vicia pecies. African Journal of Biotechnology, 8(14): 3184-3191 Lee YI, Chang FC, Chung MC. 2011. Chromosome pairing affinities in interspecific hybrids reflect phylogenetic distances among lady’a slipper orchids (Paphiopedilum). Jourmal Annals of Botany, 108: 113-121 Manton I. 1950. Problems Cytology and Evolution in the Pteridophyta. New York : Cambridge Univ Pr.: 158-208. Ramesh, T dan P. Renganathan. 2013 a. Chromosome studies on some Tainia and Epidendrum species of Orchidaceae. International Journal Research Institute, (1): 108-114 commit to2 user
131 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ramesh, T dan P. Renganathan. 2013 b. Chromosome analyses on different species of orchidaceae. International Journal Research Institute, 1 (1): 1-9 Sik, L., Teoman K and Feyza C. 2009. Chromosome numbers of two Colchicum L. species, C.burttii and C. balansae, from Turkey. .African Journal of Biotechnology, 8(18): 4358-4362 Tiryaki,I. and M. Tuna. 2012. Determination of intraspecific nuclear DNA content variationin common vetch (Vicia sativa L.) lines and cultivars based ontwo distinct internal reference standards. Turky Journal of Agricicultural, 36: 645-653 Tra´vnı´cˇek P, J. Jersa´kova´, Kuba´tova´, J. Krejcˇı´kova´, Richard M.B,M. Lucˇanova´, E. Krajnı´kova´, T. Teˇsˇitelova´, Z. S ˇ tı´pkova´, Jean-Pierre A,Emilia B, E. Jermakowicz, O. Cabanne, W. Durka, P. Efimov, M. Hedre´n, Carlos E.H, K. Kreutz, T. Kull, K. Tali, O. Marchand, M. Rey, Florian P.S, V. C ˇ urn and J. Suda, 2012. Minority cytotypes in European populations of the Gymnadenia conopsea complex (Orchidaceae) greatly increase intraspecific and intrapopulation diversity. Annals of Botany, 110: 977–986. Tra´vnı´cˇek P, Kuba´tova´ B, C ˇ urn V, et al. 2011. Remarkable coexistence of multiple cytotypes of the Gymnadenia conopsea aggregate (the fragrant orchid): evidence from flow cytometry. Annals of Botany 107:77–87. Truta, G. Vochitha, C.M. Rosu, M.M. Zamfirache. 2013. Karyotype traits in Romania selection of edible blue honeysuckle. Turky Journal of Biology 37: 60-68 Turpeinen T, Kulmala J, Nevo E. 1999. Genome size variation in Hordeum spontaneum populations. Genome, 42: 1094-1099. Walker DJ, Monino I, Correal E. 2006. Genome size in Bituminaria bituminosa (L) C.H. Stirton (Fabaceae) populations: separation of true differences from environmental effects on DNA determination. Environ. Exp. Bot. 55: 258-265. Xiang. 2003. Genetic Analysis Of Tropical Orchid Hybrid (Dendrobium) With Flourosece Amplified Fragment Length Polymorphisme (AFLP). Journal American Society Hortikultura Science 128(5): 731-735
commit to user
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 5 IDENTIFICATION HYBRID Coelogyne pandurata BASED ON MOLECULAR RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) AND ISSR (Inter Simple Sequence Repeat). Sri Hartati1 Nandariyah2 Ahmad Yunus3 Djati W.Djoar 4
1
Departement of Agrotechnology Faculty of AgricultureUniversity of Sebelas Maret and Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia 57126 2,3,4 Graduate School of Agricultural Science, University of Sebelas Maret Surakarta, Indonesia 57126 Corresponding author: Sri Hartati, M.Agr., research Plant breeding, Email:
[email protected] Abstract Black orchid (Coelogyne pandurata Lindl.) is a natural orchid endemic to eastern Kalimantan existence is currently threatened with extinction. Tujuan Objective: to determine the genetic diversity among parent orchids and Hybrid black orchid Coelogyne pandurata with Coelogyne rumphii based on molecular markers RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) and ISSR (Intersimple Sequence Repeat).Molecular analysis using RAPD molecular markers with 6 primary and ISSR using 4 primary.Crossover study conducted in Genetics Biological Research Center of LIPI Bogor Indonesia. Isolasi DNA menggunakan metode CTAB dan diamplifikasi dengan PCR. Analisys with RAPD to be present variation between parents of hybrid with range of genetic. If parents of C. pandurata has range of genetic 0.60 and then hybrid from ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii has range of genetic 0.54, can to conclude present a new variation 6%. Hybrid from ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii has range of genetic 0.50, can to conclude present a new variation 10%. Analisys with ISSR also to be present variation between parents of hybrid with range of genetic. If parents of C. pandurata has range of genetic 0.32 and then hybrid from ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii has range of genetic 0.43, can to conclude present a new variation 11%. Hybrid from ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii has range of genetic 0.35 can to conclude present a new variation 3%. Keywords: Orchid, Coelogyne, RAPD, parent, the results of crossing INTRODUCTION commit to user Black orchid (Coelogyne pandurata Lindl.) is one endangered orchids Indonesian government, with the characteristics of large green
perpustakaan.uns.ac.id
133 digilib.uns.ac.id
flowers with a black tongue the distribution area of India, China, Indonesia and Fiji Island. Regional distribution center in Borneo, Sumatra and Himalaya (Devi et al,. 2012). To save the genetic extinction of black orchids and to add new genetic diversity necessary to cross to the other types. Election of parent is an early stage is very important in determining the success of a hybridization program. One method that can be used to analyze the phylogenetic relationship between plant species and genetic diversity is to use RAPD analysis (Arya et al,.2011; Das et al,. 2009; Niknejad et al,. 2009). Orchid plant is a plant that has a pattern typical more diversity (Khosravi et al.,2009). ISSR has high reproducibility due to the use of longer primers (1625 nucleotide) compared RAPD primers (10 nucleotide bases), which allows the use of high annealing temperature (45-60oC). ISSR most segregated as dominant markers to follow the inheritance Mendel (Astarini, 2009). Vanda hybrid plants compared with the parent, the RAPD analysis has been successfully used to distinguish between interspesies or spesies(Tanee et al,. 2012). Dendrogram formed can be used to distinguish wild orchids, hybrids, species from each other with different patterns. Therefore it is necessary to investigate the genetic diversity and similarity of parent and the F1 results of cross than black orchid (Coelogyne pandurata Lindl.) with elected parent Coleogyne rumphii using molecular markers RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) and ISSR (Inter Simple Sequence Repeat).
METHODS The plant material Materials orchids Coelogyne pandurata and Coelogyne rumphii collection of Bogor botanical garden LIPI, each with 3 samples as parent commit to user and 10 samples Hybrid from crosses include replicates one and two). The
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
chemicals used in this study is, CTAB (Cetyltrimethyl Ammonium Bromide) 10%, PVPP (polivinilpolipirilidon), Tris-HCl buffer 1 M, 0.5 M EDTA, 5 M NaCl, CIAA (Chloroform Isoamyl Alcohol), isopropanol, ethanol 70%, the extraction buffer, TE buffer (Tris HCl EDTA), TAE buffer, loading buffer, sodium acetate, primers, PCR master mix (H2O, Stoffel buffer, dNTPs, MgCl2, and Taq polymerase enzyme), agarose, gel loading, and EtBr (ethidium bromide). Extraction of DNA Total genomic DNA was isolated from dried silica leaves according to (Delaporta et al., 1983) with the addition of RNAse treatment (100 mg/ l). Isolation of DNA visualized in quantity and quality in a 1% Agarose gel electrophoresis. Data Analysis Each RAPD and ISSR bands pattern will be considered as a separate putative locus. Only distinct, reproducible, fragments were resolved selected and scored for presence (1) and absence (0) of a band. binary matrix of RAPD phenotypes would then be assembled for analysis. A similarity matrix was built and subjected to cluster analysis after the group method with arithmetic mean (UPGMA) of NTSYS-pc computer program version 2.20.
RESULTS AND DISCUSSION The intensity of DNA bands in each primary amplification product is affected by the purity and concentration of DNA template. DNA template containing compounds such as polysaccharides and phenolic compounds often produce DNA bands faint (Poerba and Martanti 2008). It allows not all that RAPD markers can be amplified in plants and the hybrid parent plant. All loci in parent can be found in hybrid , except in a few individual markers hybrid OPA 07 with ♀C. pandurata. The results are then analyzed the tape, the tape showed only amplification used for scoring commit and for analysis further (Arya et to al,.user 2011).
135 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Table 1. Primer sequence, polymorphic bands and percentage of polymorphism in RAPD analysis No
Primer
Sequence 5’ to 3’
Size (bp)
Amplified Bands
1 2 3 4 5 6
OPA-02 OPA-07 OPB-12 OPB-17 OPB-18 OPD-11
TGCCGAGCTG GAAACGGGTG CCTTGACGCA AGGGAACGAG CCACAGCAGT AGCGCCATTG
450-1900 350-1700 350-1400 200-2100 400-2200 500-1500 ∑ Rata-rata
10 8 7 10 8 7 50 8.3
polymor phic bands 10 8 7 10 8 7 50 8.3
% polymorp hism 100 100 100 100 100 100 100
Polymorphism exhibited by RAPD markers due to various things such as deletions that eliminate the primary binding, which makes insertion of DNA fragments become too big for polymerase, nucleotide substitution at the primary cause of attachment failure or additions or deletions polymerase that causes small DNA fragments become smaller and enlarged. Polymorphism is a picture obtained by amplification of the DNA fragment differences were observed and scored as the presence or absence of sequence differences that indicate the presence or absence variation (Gregor et al.,2000). Pada penelitian ini digunakan enam marka baik pada persilangan dengan ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii and ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii 100% yang masuk ke dalam kriteria polimorfis. Tabel 2. Primer sequence, polymorphic bands and percentage of polymorphism in ISSR analysis No
Primer
Sequence 5’ to 3’
size (bp)
Amplified Bands
polymorphic bands
1
UBC 814
250-1100
8
7
2
UBC826
400-1600
9
7
77.8%
3
UBC 807
600-1500
6
6
100%
4
UBC 810
5’CTC TCT CTC TCT CTC TA-3’ 5’ACA CAC ACA CAC ACA CC-3’ 5’AGA GAG AGA GAG AGA GT-3’ 5’GAG AGA GAG AGA GAG AT-3’
% polymorph ism 87.5%
300-1200
7
7
100%
30 7.5
27 6.75
commit to ∑ user Rata-rata
91.32%
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
RAPD produce bands polymorphic 100% and ISSR 91.32%. This matter as wel asstatement of Metais et al. (2000) about ISSR and RAPD bot marker can producebands polymorphic from Phaseolus vulgaris.
Figure 1. The results of DNA amplification with primers OPB 12: 1-3 : C. pandurata, 4-6: C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 :hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii;
3000
1500 1000 900 800
500 400
Figure 2. The results of DNA amplification with primers OPB 18: 1-3 : C. pandurata, 4-6: C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 : hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii 3000
1500 1000 700 600
500 400
Figure 3. The results of DNA amplification with primers UBC 814 : 1-3 : commit C. pandurata, 4-6 : to C. user rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 : hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3000
1500 1000 700 600
500 400
Figure 4. The results of DNA amplification with primers UBC 826 : 1-3 : C.pandurata, 4-6: C. rumphii, 7-16: hybrid ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata, 17-26 :hybrid ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii
a
b
Figur 5. Dendrogram a. Results of a cross ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii b.Results of a cross ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii analysis using RAPD markers in individuals parent (1-3 C. pandurata and 4-6 C. rumphii) and hybrid crosses of the two parent (7-16) UPGMA cluster analysis resulted in a dendrogram depicting the genetic relationship between all accessions tested. RAPD Analisys. Result of cross ♂ C. pandurata and ♀ C. rumphii at similarities 33% showed all hybrid individuals gathered together with parent ♀ C. rumphii. While the result of cross ♀ C. pandurata and ♂ C. rumphii at commit to user similarities 26% showed of all hybrid individuals gathered together with
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
parent ♀ C. pandurata. Vanda hybrid plants with a parent, RAPD analysis has been successfully used to interspesies and between spesies (Tanee et al., 2012). a
b
Figur 6. Dendrogram a. Results of a cross ♂C. pandurata x ♀ C. rumphii b. Results of a cross♀ C. pandurata x ♂C. rumphii analysis using ISSR markers in individuals parent (1-3 C. pandurata and 4-6 C. rumphii) and hybrid crosses of the two parent (7-16) ISSR analysis results from crosses of ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii on the similarity of 54% indicates frist cluster is ♂ C. pandurata and hybrid 9, 10 and 11.Second cluster is ♀C. rumphii parent and another hybrid. While the results of a cross ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii on the similarity of 52% indicates frist cluster is ♂ C. rumphii and individual hybrid number 9 and second cluster is ♀ C. pandurata with another hybrid. Results dendrogram can distinguish wild orchids, hybrids, species from one another by three different levels. Success in interspecific hybrid crosses produce typically characterized by close kinship (Nielsen, 1999). Information on the genetic relationships among individuals within and between species have utility for crop improvement. Estimation of useful genetic relationship manage germplasm, kultifar identification, selection parent to cross, as well as reducing the number of individuals needed for sampling with a wide range of genetic diversity (Julisaniah et al.., 2008). Hybrid combinations commit to userin different hybrid lines indicate compatibility different (Yuping et al., 2012). Phylogenetic relationship of
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
the results of RAPD analysis above still needs to be done through cross retesting. When do the reverse of all cross-compatible, it was found that none could produce hybrids (Inthawong et al., 2006). This suggests that certain species may be used as a sole mother plant and can not be used as the pollen donor. Propagation of Dendrobium takes time to test the compatibility of interspecific crosses and study of the factors compatible not cross (Gregor et al., 2000). Based dendogram images either using RAPD and ISSR markers can be seen that there is a difference between the results of a cross ♂ C. pandurata and ♀ C. rumphii and ♀ C. pandurata and ♂ C. rumphii. In the results of a cross ♂ C. pandurata and ♀ C. rumphii, hybrid follow female parents or C. rumphii. In the results of a cross ♀ C. pandurata and ♂ C. rumphii, hybrid follow female parents or C. pandurata.
CONCLUTION 1. Analisys with RAPD to be present variation between parents of hybrid with range of genetic. If parents of C. pandurata has range of genetic 0.60 and then hybrid from ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii has range of genetic 0.54, can to conclude present a new variation 6%. Hybrid from ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii has range of genetic 0.50, can to conclude present a new variation 10%. 2. Analisys with ISSR also to be present variation between parents of hybrid with range of genetic. If parents of C. pandurata has range of genetic 0.32 and then hybrid from ♂ C. pandurata x ♀ C. rumphii has range of genetic 0.43, can to conclude present a new variation 11%. Hybrid from ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii has range of genetic 0.35 can to conclude present a new variation 3%.
commit to user
140 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
REFERENCES Arya V, Yadav S, and Yadav JP. 2011. Intra Specific Genetic Diversity Of Different Accessions of Cassia occidentalis By RAPD Marker. Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 1(22): 1-8 Astarini IA. 2009. Aplikasi Marka Molekuler untuk Peningkatan Kualitas Produksi Kembang Kol (Brassica oleraceae var. botrytis). Editor : Wirawan, I.G.P., Supartana, P., dan Juliasih, S. M. Denpasar : Universitas Udayana. Das BK, Jena RC and Samal KC. 2009. Optimization Of DNA Isolation And PCR Protocol For RAPD Analysis Of Banana/ Plantain (Musa Spp). Agriculture Science, 1(2): 21-25 Devi BC, ShibuBS and Wesly PS. 2012. In vitro Regeneration of Coelogyne stricta Direct Somatic Embryogenesis . Journal Tropical Medicine Plants, 13(2): 153-161 Gregor Mc, CE, LambertCA, GrylicMM, LouwJH, and Warnich L. 2000. A comparison assessment of DNA finger printing technique (RAPD, ISSR, AFLP, and SSR) in tetraploid potato (Solanum tuberosum L.) germplasm. Euphytica 113: 135 – 144. Inthawong, Budinthya, Kuanprasert, and Apavatjrut. 2006. Analysis of intersectional hybrid of Dendrobium by RAPD technique. Kasetsart Journal (Nat. Sci), 40(2): 456-461 Julisaniah NI, Sulistyowati L, dan Sugiharto AN. 2008. Analisis Kekerabatan Mentimun (Cucumis sativus L.) menggunakan Metode RAPD-PCR dan Isozim. Jurnal Biodiversitas, 9(2): 99-102. Khosravi AR, Kadir MA, Kadzemin SB, Zaman FQ, and De Silva AE. 2009. RAPD Analysis Of Cholchicine Induced Variation Of The Dendrobium Serdang Beauty. African Journal Of Biotechnology, 8 (8): 1455-1465 Metais I, Aubry C, Hamon B, Jalouzot R & Peltier D.2000. Description and analysis of genetic diversity between commercial bean lines (Phaseolus vulgaris,L.). Theory Applied Genetic 101: 1207-1214. Nielsen LR, Siegismund HR . 1999. Interspecific differentiation and hybridization in Vanilla species (Orchidaceae). Heredity 83(5): 560567 Niknejad A, Kadir MA, Kadzimin SB, Abdullah NAP, Sorkheh K. 2009. Moleculer characterization and phylogenetic relationship among and within species of Phalaenopsis (Epdendroideae: Orchidaceae) base on RAPD analysis. Africa Journal Biotechnology, 8: 52255240 commit to user
141 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Poerba, YS dan Martanti D. 2008. Keragaman Genetik Berdasarkan Marka Random Amplified Polymorphic DNA pada Amorphopallus muelleri Blume di Jawa. Jurnal Biodiversitas, 9(4): 245 – 249. Rohlf, FJ 2000. NT SYS-pc: Numeral Taxonomy and Multivariate Analysis System Version 2.1. User Guide. Departement of Ecology and Evolution State University of New York. Tanee T, Chadmuk P, Sudmoon R, Chaveerach A, and Noikotr K. 2012. Genetic analysis for identification, genomic template stability in hybrids and barcodes of the Vanda species (Orchidaceae) of Thailand. African Journal of Biotechnology, 11(55): 11772-11781. Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalsky JA, Tingley SV. 1990. DNA plolymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acid Research,18(22): 6531-6535. Yuping Z, Wang W, Li X dan Zhao X. 2012. Study on Interspecific Compatibility of Different Combinations Inner (Inter) Lily Hybrids. Journal of Scientific Research 11(5): 567-574
commit to user
142
Lampiran 6. Hasil Pengamatan karakterisasi Morfologi Coelogyne spp
Characters No 1 2 3
4
5
Characters Rhizome/ Rizoma Pseudobulbs/ batang semu(umbi semu) Pseudobulbs, lifetime/ daya tahan batang semu Pseudobulb, number of internodes/ jumlah ruas pada bulb Pseudobulb, number of leaves/ jumlah daun pada bulb
6
Inflorescens, type/ tipe perbungaan
7
Inflorescens, position/ posisi perbungaan
8
Inflorescens, number of flowers/ jumlah bunga pada tangkai
9
Scape, sterile bracts on
C. pandurata
C. massangeana
C. mayeriana
C. asperata
C. celebensis
C. rumphii
1. Present/ ada
1. Present/ ada
1. Present/ ada
1. Present/ ada
1. Present/ ada
1. Present/ ada
1. Present/ ada
1. Present/ ada
1. Present/ ada
1. Present/ ada
1. Present/ ada
1. Present/ ada
2. More than one year/ lebih dari satu tahun 1. One/ satu
2. More than one year/ lebih dari satu tahun 1. One/ satu
2. More than one year/ lebih dari satu tahun 1. One/ satu
2. More than one year/ lebih dari satu tahun 1. One/ satu
2. More than one year/ lebih dari satu tahun 1. One/ satu
2. More than one year/ lebih dari satu tahun 1. One/ satu
2. Two or more/ dua atau lebih
2. Two or more/ dua atau lebih
2. Two or more/ dua atau lebih
2. Two or more/ dua atau lebih
1. One/ satu
1. One/ satu
2. Proteranthous/ bunga muncul sebelum daun
2. Proteranthous/ bunga muncul sebelum daun
2. Proteranthous/ bunga muncul sebelum daun
2. Proteranthous/ bunga muncul sebelum daun
2. Proteranthous/ bunga muncul sebelum daun
2. Proteranthous/ bunga muncul sebelum daun
1. (sub) erect/ tegak
1. (sub) erect/ tegak
1. (sub) erect/ tegak
1. (sub) erect/ tegak
1. (sub) erect/ tegak
1. (sub) erect/ tegak
1. up to 15/ sampai dengan 15
1. up to 15/ sampai dengan 15
1. up to 15/ sampai dengan 15
1. up to 15/ sampai dengan 15
1. up to 15/ sampai dengan 15
1. up to 15/ sampai dengan 15
1. present/ ada
1. present/ ada
1. present/ ada
1. present/ ada
1. present/ ada
1. present/ ada
143
10
11
12
base/ batang penumpu pada bunga, Scape, shape in cross section/ batang penumpu pada bunga, bentuk pada bagian melintang Rhachis, sterile bracts on base/ tangkai majemuk, daun pelindung bawah (selaput) Rhachis, sterile bracts on base
2. terete/ silinder
2. terete/ silinder
2. terete/ silinder
2. terete/ silinder
2. terete/ silinder
2. terete/ silinder
1. present/ ada
1. present/ ada
1. present/ ada
1. present/ ada
2. absent/ tidak ada
2. absent/ tidak ada
2. non imbricate/ tidak bersusun
2. non imbricate/ tidak bersusun
2. non imbricate/ tidak bersusun
2. non imbricate/ tidak bersusun
1. extremely swollen/ sangat membengkak
1. extremely swollen/ sangat membengkak
1. extremely swollen/ sangat membengkak
1. extremely swollen/ sangat membengkak
1. imbricate/ bersusun genteng 2. non imbricate/ tidak bersusun 1. extremely swollen/ sangat membengkak 2. not swollen/ tidak membengkak 1. caducous/ cepat luruh
1. imbricate/ bersusun genteng 2. non imbricate/ tidak bersusun 1. extremely swollen/ sangat membengkak 2. not swollen/ tidak membengkak 1. caducous/ cepat luruh
13
Rhachis, internodes/ ruas
14
Floral bract/ daun pelindung (selaput bunga)
2. persistent/ tidak luruh (bertahan)
2. persistent/ tidak luruh (bertahan)
2. persistent/ tidak luruh (bertahan)
2. persistent/ tidak luruh (bertahan)
15
Flowers/ bunga
1. opening in succession
1. opening in succession
1. opening in succession
1. opening in succession
1. opening in succession
16
Ovary/ bakal buah
1. glabrous/ gundul
1. glabrous/ gundul
2. opening (almost) simultaneously 1. glabrous/ gundul
1. glabrous/ gundul
1. glabrous/ gundul
1. glabrous/ gundul
144
17
Petals/ mahkota
18
Sepals, base/ kelopak, dasar
19
Sepals, indumentum/ kelopak,
20
Lateral sepals/ kelopak bawah
21
22
Lip, base/ bibir, dasar
Lip, length/ bibir, panjang
23
Hypochile, base/ kepingan ketiga pada bibir bunga, pangkal
24
Hypochile, lateral lobes size/ ukuran keping
2. ovate-oblong/ bulat telurlonjong 1. saccate/ seperti kantong (melengkung)
2. ovate-oblong/ bulat telurlonjong 1. saccate/ seperti kantong (melengkung)
2. ovate-oblong/ bulat telurlonjong 1. saccate/ seperti kantong (melengkung)
2. ovate-oblong/ bulat telurlonjong 1. saccate/ seperti kantong (melengkung)
1. linear/ lurus
1. linear/ lurus
1. saccate/ seperti kantong (melengkung)
1. saccate/ seperti kantong (melengkung)
1. glabrous/ gundul
1. glabrous/ gundul
1. glabrous/ gundul
1. glabrous/ gundul
1. glabrous/ gundul
1. glabrous/ gundul
1. free/ bebas
1. free/ bebas
1. free/ bebas
1. free/ bebas
1. free/ bebas
1. free/ bebas
1. sigmoid/ berombakombak
1. sigmoid/ berombakombak
1. sigmoid/ berombakombak
1. sigmoid/ berombakombak
1. sigmoid/ berombakombak
1. sigmoid/ berombak-ombak
3. larger than 30 mm/ lebih besar dari 30 mm
1. between 10 and 30 mm/ antara 10 dan 30 mm 1. rounded/ membulat 2. saccate/ seperti kantong (melengkung) 3. spurred/ memacu 1. narrow/ sempit
2. larger than 30 mm/ lebih besar dari 30 mm
3. larger than 30 mm/ lebih besar dari 30 mm
3. larger than 30 mm/ lebih besar dari 30 mm
3. larger than 30 mm/ lebih besar dari 30 mm
1. rounded/ membulat 2. saccate/ seperti kantong (melengkung) 3. spurred/ memacu 1. narrow/ sempit
1. rounded/ membulat 2. saccate/ seperti kantong (melengkung) 3. spurred/ memacu 1. narrow/ sempit
1. rounded/ membulat 2. saccate/ seperti kantong (melengkung) 3. spurred/ memacu 1. narrow/ sempit
1. rounded/ membulat 2. saccate/ seperti kantong (melengkung) 3. spurred/ memacu 1. narrow/ sempit 2. broad/ luas
1. rounded/ membulat 2. saccate/ seperti kantong (melengkung) 3. spurred/ memacu 1. narrow/ sempit
145
bibir bunga bawah
25
Hypochile, lateral lobes
26
Hypochile, lateral lobes position
27
Hypochile, keels number (jumlah tunasbag tanaman seperti biduk)
28
Hypochile, keels shape (bentuk tunas)
2. broad/ luas 3. absent/ tidak ada 1. continuing towards tha base/ menjulang dari dasar 2. not continuing towards the base 1. erect/ tegak 2. spreading/ menyebar 1. 0 2. 2-3 3. More than 3
2. broad/ luas 3. absent/ tidak ada 1. continuing towards tha base/ menjulang dari dasar 2. not continuing towards the base 1. erect/ tegak 2. spreading/ menyebar 1. 0 2. 2-3 3. More than 3
2. broad/ luas 3. absent/ tidak ada 1. continuing towards tha base/ menjulang dari dasar 2. not continuing towards the base 1. erect/ tegak 2. spreading/ menyebar 1. 0 2. 2-3 3. More than 3
2. broad/ luas 3. absent/ tidak ada 1. continuing towards tha base/ menjulang dari dasar 2. not continuing towards the base 1. erect/ tegak 2. spreading/ menyebar 1. 0 2. 2-3 3. More than 3
2. broad/ luas 3. absent/ tidak ada 1. continuing towards tha base/ menjulang dari dasar 2. not continuing towards the base 1. erect/ tegak 2. spreading/ menyebar 1. 0 2. 2-3 3. More than 3
3. absent/ tidak ada
1. Decurrent plate-like projections with undulating crest 2. More or less fused irregular rounded warts 3. Elongate plate-like projections with glabrous apices 4. Decurrent plate-like projections with
1. Decurrent plate-like projections with undulating crest 2. More or less fused irregular rounded warts 3. Elongate plate-like projections with glabrous apices 4. Decurrent plate-like projections with
1. Decurrent plate-like projections with undulating crest 2. More or less fused irregular rounded warts 3. Elongate plate-like projections with glabrous apices 4. Decurrent plate-like projections with
1. Decurrent plate-like projections with undulating crest 2. More or less fused irregular rounded warts 3. Elongate plate-like projections with glabrous apices 4. Decurrent plate-like projections with
1. Decurrent plate-like projections with undulating crest 2. More or less fused irregular rounded warts 3. Elongate plate-like projections with glabrous apices 4. Decurrent plate-like projections with
1. Decurrent plate-like projections with undulating crest 2. More or less fused irregular rounded warts 3. Elongate platelike projections with glabrous apices 4. Decurrent plate-like projections with
1. continuing towards tha base/ menjulang dari dasar 2. not continuing towards the base 1. erect/ tegak 2. spreading/ menyebar 1. 0 2. 2-3 3. More than 3
146
29
Hypochile, callus/ belulang pada bibir
30
Epichile, lateral lobes
31
Epichile, lateral lobes shape
32 33 34 35 36 37
Epichile, number of keels Epichile, apex margin Column, length/ leher tugu, panjang Column, connected to lip/ leher tugu, terhubung dengan bibir Column, stelidia/ leher tugu, gigi tugu Column, wing
fimbriate margin 5. Elongate plate-like projections with stellately arranged hairs at the apices 1. Present 2. Absen 1. Absen 2. Present 1. semiorbicular, widely retuse 2. not orbicular only slightly retuse 1. absent
fimbriate margin 5. Elongate plate-like projections with stellately arranged hairs at the apices 1. Present 2. Absen 1. Absen 2. Present 1. semiorbicular, widely retuse 2. not orbicular only slightly retuse 1. absent
fimbriate margin 5. Elongate plate-like projections with stellately arranged hairs at the apices 1. Present 2. Absen 1. Absen 2. Present 1. semiorbicular, widely retuse 2. not orbicular only slightly retuse 1. absent
fimbriate margin 5. Elongate plate-like projections with stellately arranged hairs at the apices 1. Present 2. Absen 1. Absen 2. Present 1. semiorbicular, widely retuse 2. not orbicular only slightly retuse 1. absent
fimbriate margin 5. Elongate plate-like projections with stellately arranged hairs at the apices 1. Present 2. Absen 1. Absen 2. Present 1. semiorbicular, widely retuse 2. not orbicular only slightly retuse 1. absent
fimbriate margin 5. Elongate platelike projections with stellately arranged hairs at the apices
1. absent 1. Short
1. absent 2. Long
1. absent 2. Long
1. absent 1. Short
1. absent 2. Long
1. absent 2. Long
1. up to middle/ sampai ke tengah
1. up to middle/ sampai ke tengah
1. up to middle/ sampai ke tengah
1. up to middle/ sampai ke tengah
1. up to middle/ sampai ke tengah
1. up to middle/ sampai ke tengah
1. Present
2. Absen
1. Present
1. Present
1. Present
1. Present
2. present only at the apex
2. present only at the apex
2. present only at the apex
2. present only at the apex
1. present over total length
1. present over total length
1. Present 2. Absen 1. Absen 2. Present 1. semi-orbicular, widely retuse 2. not orbicular only slightly retuse 1. absent
147
38 39 40
41
42 43 44 45
Column, apex Pollinia, number/ benang sari, jumlah Stipes/ tangkai yang menunjang alat kelamin betina&jantan Pollinia, caudicle/ benang sari , ekor serbuk sari Trichomes on leaf surface/ bulu pada permukaan daun Stomata/ mulut daun Epidermal crystals/ kristal kulit ari Stegmata in sclerenchymatous tissues
1. with small wings 1. 4
1. with small wings 1. 4
1. with small wings 1. 4
1. with small wings 1. 4
2. with large wings 1. 4
2. with large wings 1. 4
2. Present
2. Present
2. Present
2. Present
2. Present
2. Present
1. small
1. small
1. small
1. small
1. small
1. small
1. absent
1. absent
1. absent
1. absent
1. absent
1. absent
1. absent 1. absent
1. absent 1. absent
1. absent 1. absent
1. absent 1. absent
1. absent 1. absent
1. absent 1. absent
1. absent
1. absent
1. absent
1. absent
1. absent
1. absent
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 7. Hasil Amplifikasi anggrek Ceologyne spp menggunakan 11 primer RAPD M D1 D2 D3 D4 D55555D4DdD5D5D6
OPA 02
OPA 07
M D1 D2 D3 D4 D5 D6D666D6
OPA 09
OPA 13
commit to user
M D1 D2 D3 D4 D5 D6
OPA 16
OPB 12
149 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
OPB 17
OPB 18
M D1 D2 D3 D4 D5 D6
OPD 02
M D1 D2 D3 D4 D5 D6
Keterangan: D1= C. pandurata D2= C. massangeana D3= C. mayeriana D4= C. asperata D5= C. celebensis D6= C. rumphii
OPD 08
OPD 11
commit to user
150 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 8. Interpretasi Amplifikasi DNA Anggrek Coelogynespp dengan 11 primer Primer Ukuran OPA 300 02 400 500 550 750 OPA 300 07 400 500 600 700 800 1200 1700 2000 OPA 250 09 300 350 550 750 1500 OPA 250 13 300 400 550 600 800 1000 OPA 250 16 300 350 500 600 800 900 1000 1500 2000 OPB 400
D1
D2
commit to user
D3
D4
D5
D6
151 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
12
OPB 17
OPB 18
OPD 02
OPD 08
OPD 11
500 600 800 900 1100 1200 1600 200 300 400 500 600 800 900 1000 1200 1500 600 800 900 1200 1600 250 750 1000 1500 2000 2500 3000 3500 750 1000 1500 2000 2500 3000 500 1500 2500 3000 3500
commit to user
152 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 9. Ukuran dan Bentuk kromosom Coelogyne pandurata Pasangan Krom. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Total Rerata
Panjang Kromosom (x ± SD, µm) Lengan Lengan Lengan Panjang (q) Pendek (p) Total (q + p) 2.56 ± 0.12 2.39 ± 0.10 4.94 ± 0.21 2.39 ± 0.25 2.25 ± 0.46 4.64 ± 0.71 2.04 ± 0.17 1.60 ± 0.02 3.64 ± 0.16 1.79 ± 0.07 1.63 ± 0.12 3.42 ± 0.05 1.89 ± 0.05 1.46 ± 0.06 3.35 ± 0.11 1.82 ± 0.04 1.38 ± 0.02 3.20 ± 0.01 1.77 ± 0.12 1.41 ± 0.02 3.18 ± 0.15 1.60 ± 0.01 1.38 ± 0.11 2.97 ± 0.12 1.58 ± 0.04 1.22 ± 0.01 2.80 ± 0.06 1.52 ± 0.04 1.20 ± 0.06 2.72 ± 0.02 1.58 ± 0.09 1.11 ± 0.08 2.68 ± 0.01 1.45 ± 0.05 1.22 ± 0.05 2.67 ± 0.01 1.52 ± 0.11 1.15 ± 0.05 2.66 ± 0.16 1.37 ± 0.08 1.07 ± 0.01 2.44 ± 0.09 1.25 ± 0.14 1.06 ± 0.13 2.31 ± 0.01 1.45 ± 0.10 0.87 ± 0.08 2.32 ± 0.11 1.19 ± 0.20 0.98 ± 0.18 2.17 ± 0.38 0.91 ± 0.27 0.72 ± 0.03 1.63 ± 0.08 53.71 ± 2.72 2.98 ± 0.15
AsI = 0,55
commit to user
Nisbah lengan (r=q/ p) 1.07 ± 0.01 1.06 ± 0.15 1.27 ± 0.12 1.10 ± 0.14 1.29 ± 0.02 1.32 ± 0.05 1.26 ± 0.07 1.16 ± 0.10 1.30 ± 0.02 1.27 ± 0.11 1.43 ± 0.17 1.19 ± 0.10 1.32 ± 0.03 1.28 ± 0.07 1.18 ± 0.34 1.67 ± 0.32 1.21 ± 0.04 1.26 ± 0.03 22.65 ± 2.09 1.26 ± 0.12
Bentuk Kromosom metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik
153 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 10. Ukuran dan Bentuk kromosom Coelogyna rumphii Pasanga n Krom. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 total rerata
Panjang Kromosom (x ± SD, µm) Lengan Lengan Lengan Panjang (q) Pendek (p) Total (q + p) 2.68 ± 0.39 2.25 ± 0.16 4.93 ± 0.55 2.14 ± 0.19 2.02 ± 0.37 4.16 ± 0.57 1.87 ± 0.24 1.49 ± 0.31 3.36 ± 0.07 1.99 ± 0.21 1.26 ± 0.08 3.25 ± 0.12 1.70 ± 0.04 1.38 ± 0.11 3.08 ± 0.06 1.76 ± 0.02 1.23 ± 0.01 2.99 ± 0.03 1.73 ± 0.17 1.21 ± 0.13 2.94 ± 0.04 1.49 ± 0.02 1.40 ± 0.18 2.89 ± 0.16 1.52 ± 0.05 1.15 ± 0.06 2.67 ± 0.27 1.45 ± 0.08 1.06 ± 0.05 2.50 ± 0.03 1.33 ± 0.01 1.13 ± 0.04 2.46 ± 0.05 1.31 ± 0.08 1.08 ± 0.07 2.39 ± 0.15 1.20 ± 0.05 0.98 ± 0.06 2.18 ± 0.01 1.27 ± 0.07 0.90 ± 0.01 2.17 ± 0.08 1.17 ± 0.04 0.89 ± 0.06 2.05 ± 0.02 1.11 ± 0.08 0.97 ± 0.10 2.08 ± 0.18 0.99 ± 0.09 0.83 ± 0.04 1.82 ± 0.13 0.87 ± 0.12 0.77 ± 0.18 1.64 ± 0.36 0.61 ± 0.19 0.52 ± 0.16 1.13 ± 0.36 0.90 ± 0.16 0.76 ± 0.14 1.66 ± 0.30 1.18 ± 0.28 0.82 ± 0.16 2.00 ± 0.44 1.09 ± 0.14 0.75 ± 0.04 1.84 ± 0.17 1.10 ± 0.05 0.74 ± 0.05 1.84 ± 0.09 1.20 ± 0.06 0.81 ± 0.04 2.01 ± 0.10 1.15 ± 0.05 0.74 ± 0.04 1.89 ± 0.09 1.11 ± 0.04 0.83 ± 0.05 1.94 ± 0.06 1.14 ± 0.02 0.60 ± 0.12 1.74 ± 0.10 1.11 ± 0.02 0.73 ± 0.12 1.84 ± 0.10 1.05 ± 0.05 0.58 ± 0.08 1.63 ± 0.11 1.11 ± 0.03 0.76 ± 0.09 1.87 ± 0.13 1.07 ± 0.03 0.64 ± 0.09 1.71 ± 0.12 1.13 ± 0.03 0.64 ± 0.07 1.77 ± 0.08 1.06 ± 0.04 0.55 ± 0.05 1.61 ± 0.08 0.99 ± 0.07 0.55 ± 0.05 1.54 ± 0.12 0.85 ± 0.12 0.65 ± 0.10 1.50 ± 0.06 0.90 ± 0.12 0.71 ± 0.13 1.61 ± 0.06 80.66 ± 5.28 2.24 ± 0.15
commit to user AsI = 0,57
Nisbah lengan (r=q/ p) 1.19 ± 0.09 1.06 ± 0.14 1.25 ± 0.61 1.58 ± 0.24 1.24 ± 0.14 1.42 ± 0.01 1.43 ± 0.26 1.06 ± 0.19 1.33 ± 0.03 1.37 ± 0.13 1.18 ± 0.02 1.21 ± 0.01 1.22 ± 0.14 1.42 ± 0.07 1.32 ± 0.13 1.14 ± 0.04 1.20 ± 0.05 1.12 ± 0.04 1.17 ± 0.04 1.18 ± 0.03 1.44 ± 0.15 1.45 ± 0.15 1.49 ± 0.02 1.48 ± 0.02 1.55 ± 0.04 1.34 ± 0.11 1.90 ± 0.28 1.52 ± 0.29 1.81 ± 0.20 1.46 ± 0.19 1.67 ± 0.18 1.77 ± 0.16 1.93 ± 0.13 1.80 ± 0.09 1.31 ± 0.52 1.27 ± 0.61 50.27 ± 4.64 1.40 ± 0.13
Bentuk Kromosom metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik
154 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 11. Ukuran dan bentuk kromosom F1 ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata Pasangan Krom. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Total Rerata
Panjang Kromosom (x ± SD, µm) lengan lengan lengan total panjang(q) pendek (p) (q + p) 1.73 ± 0,09 1.65 ± 0,12 3.38 ± 0,21 1.72± 0,09 1.57 ± 0,13 3.29 ± 0,19 1.70 ± 0,21 1.66 ± 0,14 3.36 ± 0,07 1.68 ± 0,21 1.57 ± 0,15 3.35 ± 0,30 1.69 ± 0,40 1.47 ± 0,16 3.16 ± 0,35 1.66 ± 0,19 1.63 ± 0,17 3.29 ± 0,05 1.39 ± 0,02 1.28 ± 0,18 2.67 ± 0,17 1.61 ± 0,02 1.38 ± 0,19 2.99 ± 0,11 1.49 ± 0,01 1.34 ± 0,20 2.83 ± 0,29 1.81 ± 0,04 1.49 ± 0,21 3.30 ± 0,04 1.51 ± 0,02 1.47 ± 0,22 2.98 ± 0,02 1.46 ± 0,03 1.35 ± 0,23 2.81 ± 0,13 1.47 ± 0,14 1.37 ± 0,24 2.84 ± 0,11 1.44 ± 0,09 1.35 ± 0,25 2.79 ± 0,09 1,39 ± 0,19 1.27 ± 0,26 2,66 ± 0,07 1,44 ± 0,12 1.32 ± 0,27 2,76± 0,02 1.33 ± 0,05 1.26 ± 0,28 2,59 ± 0,12 1,49 ± 0,05 1.44 ± 0,29 2,93 ± 0,14 1.35 ± 0,09 1.29 ± 0,30 2,64 ± 0,16 1.27± 0,09 1.15± 0,04 2.42 ± 0,09 1.49± 0,19 1.24± 0,22 2.73 ± 0,19 1.32± 0,22 1.26 ± 0,14 2.58± 0,22 1.23 ± 0,14 1.2 ± 0,07 2.43± 0,12 1.46± 0,24 1,23± 0,19 2.69 ± 0,19 1.33 ± 0,07 1.31± 0,24 2.64± 0,22 1.26± 0,19 1.23 ± 0,14 2.49± 0,21 1.21 ± 0,14 1.12± 0,22 2.33± 0,29 76.83 ± 3.65 2.85 ± 0.14
AsI = 0,52
commit to user
Nisbah lengan (r=q/ p)
Bentuk Kromosom
1.05 ± 0.03 1.10 ± 0.05 1.02 ± 0.03 1.07 ± 0.06 1.15 ± 0.09 1.02 ± 0.05 1.09 ± 0.06 1.17 ± 0.04 1.11 ± 0.07 1.21 ± 0.13 1.03 ± 0.04 1,08 ± 0.01 1.07 ± 0.00 0.07 ± 0.01 1.09 ± 0.01 1.09 ± 0.02 1.06 ± 0.02 1.03 ± 0.03 1.05 ± 0.01 1.10 ± 0.04 1.20 ± 0.08 1.05 ± 0.08 1.03 ± 0.10 1.19 ± 0.09 1.02 ± 0.10 1.02 ± 0.10 1.08 ± 0.04 29.24 ± 1.37 1.08 ± 0.05
metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik
155 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 12. Ukuran dan bentuk kromosom F1 ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii Pasangan Krom. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Total Rerata
Panjang Kromosom (x ± SD, µm) Lengan Lengan Lengan Panjang (q) Pendek (p) Total (q + p) 2.05 ± 0.17 1.84 ± 0.16 3.90 ± 0.35 1.79 ± 0.04 1.62 ± 0.13 3.40 ± 0.10 1.84 ± 0.03 1.43 ± 0.04 3.27 ± 0.01 1.88 ± 0.04 1.38 ± 0.07 3.26 ± 0.03 1.93 ± 0.16 1.29 ± 0.01 3.21 ± 0.15 1.70 ± 0.13 1.31 ± 0.01 3.00 ± 0.14 1.51 ± 0.05 1.29 ± 0.02 2.80 ± 0.07 1.44 ± 0.04 1.26 ± 0.01 2.70 ± 0.05 1.38 ± 0.04 1.25 ± 0.13 2.63 ± 0.10 1.43 ± 0.07 1.06 ± 0.05 2.49 ± 0.02 1.34 ± 0.03 1.13 ± 0.01 2.47 ± 0.02 1.29 ± 0.07 1.15 ± 0.06 2.44 ± 0.13 1.19 ± 0.02 1.07 ± 0.11 2.26 ± 0.13 1.16 ± 0.07 0.92 ± 0.12 2.08 ± 0.13 1.33 ± 0.09 1.19 ± 0.14 2.52 ± 0.31 1.21 ± 0.09 1.00 ± 0.14 2.21 ± 0.22 1.29 ± 0.06 1.01 ± 0.11 2.30 ± 0.06 1.19 ± 0.05 1.08 ± 0.05 2.27 ± 0.02 1.23 ± 0.05 1.01 ± 0.04 2.24 ± 0.02 1.20 ± 0.02 0.97 ± 0.06 2.17 ± 0.05 1.13 ± 0.05 0.98 ± 0.02 2.11 ± 0.04 1.22 ± 0.05 0.97 ± 0.07 2.19 ± 0.06 1.13 ± 0.05 0.87 ± 0.06 2.00 ± 0.13 1.10 ± 0.07 0.83 ± 0.07 1.93 ± 0.05 1.15 ± 0.03 0.91 ± 0.04 2.06± 0.09 1.10 ± 0.03 0.84 ± 0.04 1.94 ± 0.08 1.03 ± 0.06 0.74 ± 0.09 1.77 ± 0.12 67.58 ± 2.68 2.50 ± 0.10
AsI = 0,55
commit to user
Nisbah lengan (r=q/ p)
Bentuk Kromosom
1.12 ± 0.01 1.11 ± 0.13 1.28 ± 0.05 1.36 ± 0.10 1.50 ± 0.14 1.30 ± 0.09 1.17 ± 0.02 1.14 ± 0.02 1.11 ± 0.17 1.35 ± 0.12 1.18 ± 0.04 1.13 ± 0.01 1.12 ± 0.11 1.27 ± 0.08 1.12 ± 0.09 1.21 ± 0.08 1.28 ± 0.08 1.10b± 0.09 1.22 ± 0.09 1.24 ± 0.07 1.15 ± 0.04 1.26 ± 0.06 1.30 ± 0.08 1.33 ± 0.03 1.26 ± 0.03 1.31 ± 0.03 1.39 ± 0.06 33.29 ± 1.92 1.23 ± 0.07
metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik metasentrik
156 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 13. Idiogram C. pandurata, C. rumphii dan F1 Idiogram Coelogyne pandurata
Lengan pendek
4 3 2 1 0 0
Lengan panjang
1 2 3 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
16
17 18
4
Idiogram Coelogyne rumphii
Lengan pendek
4 3 2 1 0 0
Lengan panjang
1 2 3 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
4
commit to user
29
30 31 32 33 34 35 36
157 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Idiogram F1 ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata
Lengan pendek
4 3 2 1 0 0
Lengan panjang
1 2 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18
19 20 21 22 23 24 25 26 27
3 4
Idiogram F1 ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii
Lengan pendek
4 3 2 1 0 0
Lengan panjang
1 2 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18
19 20 21 22 23 24 25 26 27
3 4
commit to user
158 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 14. Matrix kemiripan F1 ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata berdasarkan RAPD 1 1.00 0.85 0.60 0.09 0.09 0.12 0.26 0.25 0.25 0.18 0.19 0.10 0.10 0.10 0.10 0.11
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1.00 0.60 0.09 0.09 0.12 0.32 0.30 0.30 0.18 0.24 0.10 0.10 0.10 0.10 0.11
1.00 0.04 0.09 0.08 0.26 0.25 0.30 0.14 0.19 0.10 0.10 0.10 0.10 0.11
1.00 0.86 0.81 0.25 0.24 0.29 0.27 0.23 0.37 0.43 0.43 0.43 0.48
1.00 0.81 0.25 0.24 0.29 0.22 0.23 0.37 0.43 0.43 0.43 0.48
1.00 0.22 0.22 0.26 0.24 0.21 0.38 0.44 0.44 0.44 0.48
1.00 0.74 0.59 0.68 0.64 0.37 0.37 0.37 0.37 0.35
1.00 0.52 0.65 0.68 0.39 0.39 0.39 0.39 0.37
1.00 0.52 0.54 0.27 0.31 0.31 0.31 0.33
1.00 0.69 0.43 0.43 0.43 0.48 0.46
1.00 0.39 0.39 0.39 0.44 0.42
1.00 0.90 0.90 0.82 0.73
13
14
15
16
1.00 1.00 1.00 0.82 0.82 1.00 0.73 0.73 0.90 1.00
Keterangan : 1-3 : C. pandurata sebagai jantan, 4-6 : C. rumphii sebagai betina, 7-16 : Hybrid
commit to user
159 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 15. Matrix kemiripan F1 ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii berdasarkan RAPD 1 1.00 0.85 0.60 0.09 0.09 0.12 0.25 0.26 0.26 0.29 0.24 0.19 0.32 0.26 0.27 0.22
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1.00 0.60 0.09 0.09 0.12 0.25 0.31 0.26 0.29 0.24 0.19 0.32 0.26 0.33 0.27
1.00 0.04 0.09 0.08 0.20 0.31 0.21 0.29 0.18 0.19 0.21 0.26 0.27 0.27
1.00 0.86 0.81 0.11 0.06 0.03 0.07 0.04 0.10 0.11 0.07 0.11 0.13
1.00 0.81 0.11 0.09 0.03 0.10 0.04 0.14 0.11 0.11 0.11 0.17
1.00 0.09 0.08 0.03 0.09 0.03 0.13 0.14 0.10 0.10 0.16
1.00 0.67 0.75 0.68 0.78 0.61 0.52 0.59 0.54 0.62
1.00 0.69 0.78 0.56 0.52 0.44 0.56 0.58 0.65
1.00 0.71 0.72 0.56 0.48 0.62 0.65 0.73
1.00 0.65 0.58 0.50 0.64 0.59 0.60
1.00 0.57 0.55 0.55 0.50 0.52
1.00 0.64 0.64 0.52 0.54
13
14
15
16
1.00 0.42 1.00 0.43 0.57 1.00 0.41 0.58 0.76 1.00
Keterangan : 1-3 : C. pandurata sebagai betina, 4-6 : C. rumphii sebagai jantan, 17-26 : Hybrid
commit to user
160 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 16. Matrix kemiripan F1 ♀ C. rumphii x ♂ C. pandurata berdasarkan ISSR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
1 1.00 0.89 0.63 0.43 0.42 0.43 0.48 0.56 0.70 0.57 0.57 0.37 0.33 0.33 0.33 0.37
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1.00 0.76 0.52 0.50 0.52 0.56 0.63 0.63 0.59 0.59 0.40 0.41 0.41 0.41 0.44
1.00 0.52 0.50 0.52 0.50 0.52 0.40 0.45 0.39 0.39 0.40 0.40 0.40 0.44
1.00 0.94 0.89 0.64 0.53 0.36 0.48 0.36 0.70 0.76 0.76 0.76 0.81
1.00 0.94 0.68 0.57 0.35 0.52 0.40 0.75 0.81 0.81 0.81 0.86
1.00 0.64 0.59 0.36 0.54 0.42 0.79 0.76 0.76 0.76 0.81
1.00 0.78 0.37 0.58 0.52 0.64 0.76 0.76 0.76 0.80
1.00 0.44 0.65 0.65 0.59 0.64 0.64 0.64 0.68
1.00 0.67 0.50 0.36 0.32 0.32 0.32 0.31
1.00 0.70 0.62 0.54 0.54 0.54 0.52
1.00 0.54 0.48 0.48 0.48 0.46
1.00 0.85 0.85 0.85 0.81
commit to user
13
14
15
16
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.95 0.95 0.95 1.00
161 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lampiran 17. Matrix kemiripan F1 ♀ C. pandurata x ♂ C. rumphii berdasarkan ISSR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
1 1.00 0.89 0.63 0.43 0.42 0.43 0.48 0.48 0.70 0.56 0.50 0.48 0.33 0.41 0.30 0.50
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1.00 0.74 0.52 0.50 0.52 0.56 0.56 0.71 0.65 0.58 0.56 0.36 0.50 0.39 0.58
1.00 0.52 0.50 0.52 0.50 0.43 0.50 0.52 0.40 0.50 0.35 0.50 0.45 0.52
1.00 0.94 0.89 0.52 0.46 0.46 0.54 0.48 0.52 0.53 0.60 0.55 0.61
1.00 0.94 0.56 0.50 0.50 0.58 0.52 0.56 0.58 0.65 0.60 0.65
1.00 0.52 0.46 0.52 0.54 0.48 0.52 0.53 0.60 0.55 0.61
1.00 0.69 0.50 0.64 0.64 0.62 0.50 0.56 0.59 0.71
1.00 0.50 0.65 0.73 0.50 0.50 0.65 0.52 0.58
1.00 0.73 0.65 0.64 0.43 0.50 0.45 0.58
1.00 0.82 0.65 0.45 0.67 0.62 0.67
1.00 0.58 0.39 0.52 0.62 0.60
1.00 0.58 0.65 0.60 0.90
commit to user
13
14
15
16
1.00 0.68 1.00 0.53 0.70 1.00 0.60 0.75 0.70 1.00