ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI (SUATU STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : SASONGKO ADHI NUGROHO NIM. E 0006221
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI (SUATU STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)
Oleh : SASONGKO ADHI NUGROHO E0006221 Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dosen Pembimbing
Kristiyadi, S.H., M.Hum NIP. 195812251986011001
2
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI (SUATU STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)
Oleh : SASONGKO ADHI NUGROHO E0006221 Telah disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada
: Hari Tanggal
: Selasa : 20 Juli 2010 DEWAN PENGUJI
(1).
Edy Herdyanto, S.H., M.H. NIP. 195706291985031002
(
)
(2).
Bambang Santoso, S.H., M.Hum. NIP. 196202091989031001
(
)
(
)
(3).
Kristiyadi, S.H., M.Hum NIP. 195812251986011001 Mengetahui : Dekan
(Mohammad Jamin, S.H., M.Hum) NIP. 196109301986011001
3
HALAMAN PERNYATAAN
Nama
: Sasongko Adhi Nugroho
NIM
: E 0006221
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI (SUATU STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pancabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 18 Juni 2010 Yang menyatakan
(Sasongko Adhi Nugroho) NIM. E 0006221
4
ABSTRAK Sasongko Adhi Nugroho, 2010, ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI (SUATU STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI). Fakultas Hukum UNS. Penelitian ini mengkaji mengenai kedudukan serta kekuatan pembuktian digital evidence dalam pembuktian perlara korupsi ditinjau dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik serta Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi hukum. Dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik serta Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi . Sedangkan bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu Kedudukan alat bukti digital dalam pembuktian perkara korupsi adalah sebagai bukti petunjuk. KUHAP tidak mengatur mengenai keberadaan alat bukti digital, pengaturan mengenai alat bukti digital dalam pembuktian perkara korupsi diatur secara Lex Specialist di dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 26 A UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi memperluas cakupan alat bukti petunjuk dalam KUHAP, sehingga alat bukti digital juga termasuk di dalam alat bukti petunjuk. Kedua, pada dasarnya semua alat bukti dalam acara pidana mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas serta tidak mengikat hakim, begitu pula dengan alat bukti digital, alat bukti digital juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas serta tidak mengikat hakim. Kata Kunci : Pembuktian, alat bukti digital, korupsi.
5
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
My special thanks to ……..
Karya ini kupersembahkan kepada: ·
Kedua orang tuaku, bapak sri utomo dan ibu darwati, yang tidak pernah lepas tetes demi tetes air mata mendo’akanku. Terimakasih.
·
Kakak kakakku, agung & sari terimakasih untuk semua kebersamaan dan kebanggaannya…………(tunggu aku menyusul kalian)
·
My twins…………………………………………………………………..
·
Sahabat sahabatku mcc fh uns (bang ody, bang fadli, bang juned, mba veri, mba daning, desy, nia, yaya, ari, nonie, mega, nanang, anis, ratna, qomar, raharjo, eky, tata,)………..terimakasih atas semua keceriaan dan kesempatan jadi bagian dari kalian selama ini……….(kalian bener bener keluarga bagiku) -----Bandung – Surabaya – Semarang – Jakarta----(bener bener perjalanan yg luar biasa) buat adek – adekku mcc fh uns kibarkan terus panji panji mcc fh uns.…………. --------BANGGALAH MENJADI BAGIAN MCC FH UNS-------(PROUD TO BE A PART OF MCC FH UNS)
·
Temen temen anggota tim bola basket fh uns (puput, pekik, angga, gembong, vincent, sidiq, bagus, frida, ndaru, dhani), thanks guys atas kenangan and keringatnya................
·
Temen temen green house community <denny, hanung, kris, toni, budi>........................thanks banget atas semua keceriaan and tumpangannya selama ini ( ga tau deh kalo ga ada kalian & sory dah ngrepotin kalian selama ini)………………………………..
·
Buat fajar makasih buat pinjeman printernya, pokoknya thanks banget kapten.
·
Buat andri, aji, yuda mksh bwt tumpangannya waktu awal kuliah.................
6
·
Sahabat-sahabatku,
angkatan
’06.
(pokoknya
buat
semua
aja…………..thanks) ·
For someone thanks banget..........................................................................
· Yang tak tersebut..........................................................................................
7
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan segala rahmad dan hidayah-Nya. Yang selalu memberikan jalan dan kemudahan kepada penulis sehingga Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul, “ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE DALAM
PEMBUKTIAN
PERKARA
KORUPSI
(SUATU
STUDI
TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)” dapat terselesaikan tepat waktu. Banyak hambatan dan permasalahan yang dihadapi penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ini tidak bisa terlepas dari bantuan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, secara materiil maupun non materiil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya, terutama kepada : 1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya. 2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalanNya hingga akhir jaman. 3. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, ynag telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini. 4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini. 5. Bapak Edy Herdyanto S.H. M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum UNS. 6. Bapak Bambang Santoso, S.H.,M.Hum., selaku Ketua Laboratorium Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS yang telah membantu penulis dalam menyusun judul penulisan hukum ini.
8
7. Bapak Kristiyadi, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Penulisan Hukum ini, yang telah memberikan masukan serta bimbingannya. Terima kasih atas segala kemudahan dan bantuan yang sangat penulis butuhkan 8. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H, M.H selaku Dosen Acara Pidana dan Pembimbing MCC Fakultas Hukum UNS. 9. Ibu Sasmini S.H., L.LM. selaku Pembimbing Akademik penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada terkira berharganya bagi hidup dan kehidupan penilis. 11. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatankesempatan yang telah diberikan. 12. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS 13. Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang dan tetes air mata yang diberikan. 14. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas semua bantuan baik materiil maupun imateriil. Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari para pembaca yang budiman. Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Surakarta,
Juni 2010
Sasongko Adhi Nugroho NIM. E 0006221
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………......
i
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………...
iii
HALAMAN PERNYATAAN………………………………………………...
iv
ABSTRAK …………………………….............................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN..............................................……………...... vii KATA PENGANTAR………………………………………………………...
ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………....... xi DAFTAR TABEL……………………………………………………………... xii BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………….
1
A. Latar Belakang………………………………………………….. 1 B. Rumusan Masalah………………………………………………. 8 C. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 8 D. Manfaat Penelitian……………………………………………… 9 E. Metode Penelitian……………………………………………….
9
F. Sistematika Penulisan Hukum…………………………………. 12 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….
15
A. Kerangka Teori………………………………………………… 15 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian………….................. 15 a). Pengertian Pembuktian…………………………...........
15
b). Sistem Pembuktian……..…………………………….... 16 c). Sistem Pembuktian Yang Dianut KUHAP ..................... 18 d). Prinsip Minimum Pembuktian ……………………….
19
e). Asas Asas dalam Pembuktian………………………....
19
2. Tinjauan Umum Tentang Korupsi………………………… 20 a). Pengertian Korupsi…..………………………………...
20
b). Sifat Korupsi…………………………………….…….
21
c). Ciri Ciri Korupsi……………….……………………..
22
d). Faktor Faktor Penyebab Korupsi……………………… 22
10
3. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti………..…………….. 24 a). Pengertian Alat Bukti………………………………….. 24 b). Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP ..……………… 24 4. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti Digital / Elektronik….. 29 a). Pengertian Alat Bukti Digital / Elektronik……………... 29 b). Macam Macam Alat Bukti Digital……………………... 29 b). Pengaturan Alat Bukti Digital / Elektronik……………. 30 B. Kerangka Pemikiran…………………………………………… 34 BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………
36
A. Kedudukan Alat Bukti Digital dalam Pembuktian Perkara Korupsi.. 36 B. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Digital dalam Pembuktian Perkara Korupsi................................................................................. 43 BAB IV A.
PENUTUP……………………………………………………….
Kesimpulan……………………………………………….…… ….. 47
B.
47
SaranSaran………………………………………………….…….. 48
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
11
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Skor CPI (Cooruption Perception Index) Negara Asia Tenggara. Table 2. Rekap Perkara Korupsi yang Diputus di Pengadilan Umum Semester I 2009 Tabel 3. Contoh Kasus Korupsi Yang Pembuktiannya Menggunakan Alat Bukti Digital
12
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan UUD RI Tahun 1945
adalah pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya, implementasinya adalah pembangunan di segala bidang dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun, upaya menuju ke arah tersebut bukan perkara mudah, prakteknya di lapangan banyak rintangan yang harus dihadapi oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan cita cita tersebut.
Pembangunan nasional selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga menyebabkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang berdampak negatif. Dampak perubahan tersebut diantaranya adalah meningkatnya kecenderungan terjadinya tindak pidana yang dapat meresahkan kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah meningkatnya tindak pidana korupsi, peningkatan tindak pidana korupsi terjadi karena sifat dasar manusia yang selalu merasa kurang atas apa yang ia peroleh, sifat dasar tersebut memicu perilaku perilaku korup di masyarakat.
Korupsi merupakan kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa / Extraordinary Crime. Kejahatan ini telah menggerogoti hampir semua sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga Usaha penanggulangan bentuk kejahatan tersebut sangat diprioritaskan karena korupsi dipandang dapat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional, merintangi tercapainya tujuan nasional, mengancam keseluruhan sosial, merusak citra aparatur yang bersih dan berwibawa yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia dan lingkungannya (Widodo T Novianto, 2007:1).
Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu
13
masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut) (H.M. Arsyad Sanusi. 2009:83).
Denny Indrayana (2008:4) menganggap korupsi sebagai sumber segala bencana dan kejahatan, the root of all evils. Koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dari teroris. Uang yang telah ”dimakan” koruptor adalah hidup mati bagi ribuan rakyat, dalam konteks inilah koruptor adalah the real terrorist. Sebuah mimpi belaka pemberantasan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat dapat tercapai, bila korupsi masih merajalela.
Korupsi di Indonesia dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, hasil survey terbaru yang dirilis oleh Transparency International Indonesia, sebuah organisasi yang concern terhadap pemberantasan korupsi yang berpusat di Berlin Jerman dan telah mempunyai 99 chapter di seluruh dunia, menunjukkan bahwa skor Indonesia dalam Corruption Perception Index (CPI) tahun 2009 adalah 2,8. Skor tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan negara dengan tingkat kerawanan terjadinya korupsi tinggi. Skor tersebut menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih serta bebas dari KKN masih perlu dipertanyakan.
Lebih jauh Transparency Internasional Indonesia menyebutkan bahwa hampir separuh negara negara yang disurvey memiliki CPI dibawah 5, semakin rendah CPI yang diperoleh suatu negara maka semakin rendah pula instabilitas negara tersebut. Sebagai contoh negara negara yang menduduki posisi terbawah dalam indeks, seperti Somalia dengan nilai 1.1, Afghanistan dengan nilai 1.3, Myanmar dengan nilai 1.4 dan Sudan bersama Irak mendapat nilai 1.5, stabilitas
14
ekonomi serta politik negara tersebut saat ini berada di titik terendah. Asumsi tersebut menjadi legitimasi bahwa korupsi berkorelasi dengan konflik dan perang. Hasil survey yang dikeluarkan tanggal 17 November 2009 yang lalu tersebut menempatkan Indonesia di posisi 114 dari keseluruhan 180 negara yang disurvey. Dengan skor 2,8, Indonesia tertinggal jauh dari negara negara di kawasan lain. Bahkan, dengan negara negara kawasan Asia Tenggara pun Indonesia masih tertinggal. (lihat tabel). Tabel 1. TABEL SKOR CPI NEGARA ASIA TENGGARA NO
NEGARA
SKOR CPI
1
Singapura
9,2
2
Brunei Darrusalam
5,5
3
Malaysia
4,5
4
Thailand
3,3
5
Indonesia
2,8
6
Vietnam
2,7
7
Filipina
2,4
8
Timor Leste
2,2
9.
Kamboja
2,0
10.
Laos
2,0
11.
Myanmar
1,4
Sumber : Transparency Internasional Indonesia
Dari survey tersebut, partai politik, parlemen, polisi dan lembaga peradilan dianggap sebagai pihak yang sangat rawan dari pengaruh korupsi. Khusus Mengenai korupsi yang terjadi di lembaga peradilan, hal ini disebut sebagai Judicial Corruption. Saat ini prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi adalah menyesatkan. Prinsip independensi demikian memang diakui namun hanya berlaku bagi sistem peradilan yang bersih. Di dalam sistem
15
peradilan yang kotor, dimana putusan dapat dipesan dan diperjual belikan, maka intervensi menjadi wajib hukumnya (Denny Indrayana, 2008:11).
Hasil survey tersebut setidaknya membuktikan bagaimana korupsi telah merasuk ke dalam seluruh sistem hukum dan kehidupan bermasyarakat. Lembaga peradilan yang diharapkan menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi justru menjadi satu dari empat lembaga yang sangat rentan terhadap korupsi. Tidak jarang perkara korupsi yang justru mental ketika sampai di pengadilan.
Data yang dirilis oleh Indonesian Corruption Watch berdasarkan pemantauan selama semester I tahun 2009 terdapat 119 perkara korupsi dengan 222 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan diseluruh Indonesia mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri =82 perkara), banding (Pengadilan Tinggi= 12 perkara), kasasi / peninjauan kembali (MA=15 perkara).. Sedangkan nilai kerugian negara dari perkara yang diperiksa dan diputus pengadilan diperkirakan mencapai Rp 1,662 triliun. Dari 222 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus, sebanyak 153 terdakwa (68,92 %) divonis bebas / lepas oleh pengadilan. Hanya 69 terdakwa (31,08 %) yang akhirnya divonis bersalah, (Lihat Tabel). Namun dari yang akhirnya diputuskan bersalah tersebut, dapat dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi, karena secara rata rata hukuman penjara yang dijatuhkan adalah 6,2 bulan http://www.antikorupsi.org/docs/bahanrilisputusanbebaspengadilanumumsemester I20095agustus2009.pdf) diakses tanggal 18 Desember 2009.
Tabel 2. Rekap Perkara Korupsi yang Diputus di Pengadilan Umum Semester I 2009 TERDAKWA TERDAKWA (%)
Vonis Bebas
–1 Th
1,1-2
2,1-5
5,1- 10
>10
Percobaan
222
153
28
17
11
3
1
9
100
68,92
12,61
7,66
4,95
1,35
0,45
4,05
Sumber : penelitian ICW Semester I 2009
16
Banyaknya terdakwa perkara korupsi yang diputus bebas oleh pengadilan umum atau pengadilan negeri didasari berbagai alasan, salah satunya adalah tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti. Harus diakui, korupsi adalah delik yang pembuktiannya dapat dikatakan sangat sulit. Banyak aspek yang harus dipenuhi untuk benar benar dapat membuktikan bahwa seorang terdakwa tersebut telah melakukan tindak pidana korupsi. Sebagai salah satu white collar crime / kejahatan kerah putih, korupsi biasanya dilakukan oleh orang orang yang mempunyai kedudukan secara hierarki dan dilakukan dengan cara cara yang sistematis serta rapi. Pola pola yang dilakukan oleh para koruptor dapat dikatakan sangat terencana dan bersih, korupsi biasanya dilakukan oleh birokrat yang mempunyai dukungan kuat secara politis dan ekonomi serta telah mengetahui celah celah hukum agar korupsi yang mereka lakukan tidak dapat terlacak.
Sebagai suatu kejahatan luar biasa / Extraordinary crrime, pembuktian dalam tindak pidana korupsi dianggap lebih sulit dibanding dengan tindak pidana yang lain. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang luar biasa pula dalam pembuktiannya. Untuk membuktikan bahwa terdakwa memang benar benar telah melakukan tindak pidana korupsi tidak cukup dengan pembuktian konvensional seperti halnya dalam tindak pidana umum lainnya. Kesulitan ini terjadi lantaran umumnya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang diperolehnya. Dengan demikian pada sebagian besar kasus korupsi dilakukan oleh pembuat keputusan bukan pada tingkat bawah. Dalam posisi semacam ini, apabila seseorang --yang katakanlah pegawai bawahan-- mengetahui bahwa atasannya melakukan tindak pidana korupsi, kemungkinan besar ia enggan melaporkan kasus tersebut karena khawatir akan mengancam pekerjaannya yang sudah jelas berada di bawah si pelaku tersebut. Tanpa adanya perlindungan hukum terhadap orangorang seperti ini, kemungkinan besar kasus-kasus korupsi yang besar tidak akan pernah terungkap (Naskah Akademik RUU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)
17
Pembentuk undang undang menyadari betul mengenai kesulitan yang mungkin dihadapi oleh para penegak hukum dalam upaya pembuktian tindak pidana korupsi, maka disamping tetap mengacu pada segi segi hukum pembuktian umum yang diatur dalam KUHAP,
pembentuk undang undang memberikan
pengecualian pembuktian perkara korupsi. Salah satunya adalah penggunaan alat bukti digital / elektronik, baik itu melalui penggunaan email, telegram, penyadapan telepon, teleconference, televideoconferene ataupun rekaman CCTV dll. Banyak contoh kasus korupsi yang dalam pembuktiannya menggunakan alat bukti elektronik, contohnya adalah penggunaan bukti penyadapan telepon dan rekaman CCTV pada kasus jaksa Urip Tri Gunawan dan Arthalita Suryani. Selain itu, ada pula penggunaan teleconference pada saat pemeriksaan saksi mantan Presiden B.J. Habibie pada sidang kasus korupsi Bulloggate II dengan terdakwa Akbar Tanjung.
Penggunaan alat bukti elektronik dalam pembuktian perkara korupsi digunakan oleh para penegak hukum dalam upaya mengungkap tindak pidana korupsi. Penggunaan alat bukti elektronik sendiri diakomodir dalam beberapa peraturan perundangan. Diantaranya, Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk merumuskannya menjadi sebuah judul penelitian, yaitu: ”ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN PERKARA KORUPSI (SUATU STUDI TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK KORUPSI) ”
PIDANA
18
B.
RUMUSAN MASALAH Masalah dapat diartikan sebagai suatu informasi yang mengandung
pertanyaan atau yang dapat dipertanyakan, mengandung ketidakjelasan atau ketidakpastian.
Setiap penelitian yang akan dilakukan selalu berangkat dari
masalah. Perumusan masalah ini di maksudkan untuk lebih memfokuskan hal hal yang akan di teliti, sehingga dapat dicapai tujuan penelitian. Berdasarkan hal tersebut diatas, permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah kedudukan alat bukti digital / elektronik
dalam
pembutkian perkara korupsi ? 2.
Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti digital / elektronik dalam pembuktian perkara korupsi?
C.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian meupakan hal- hal apakah yang hendak dicapai dalam suatu penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah : 1.
Tujuan Objektif a.
Untuk mengetahui kedudukan alat bukti digital / elektronik dalam pembuktian korupsi.
b.
Untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti digital / elektronik dalam pembuktian perkara korupsi
2.
Tujuan Subjektif a.
Mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran dan pengetahuan serta untuk lebih meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang penulis dapatkan selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum Sebelas Maret.
b.
Untuk mengumpulkan data penelitian guna penyusunan penulisan hukum sebagai persyaratan dalam pencapaian gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
19
c.
Memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran bagi Ilmu pengetahuan Hukum Acara, khususnya Hukum Acara Pidana.
D.
MANFAAT PENELITIAN Suatu penelitian akan bernilai apabila dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat dai penelitian ini adalah : 1.
Manfaat Teoritis a.
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya, serta Hukum Acara Pidana pada khususnya, utamanya berkaitan dengan penggunaan alat bukti digital / elektronik dalam pembuktian tindak pidana korupsi
b.
Penelitian ini di harapkan dapat menyumbangkan pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum acara pidana.
2.
Manfaat Praktis a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran dan pola kritis bagi pihak- pihak terkait, berkenaan dengan pembuktian perkara korupsi khususnya penggunaan alat bukti digital / elektronik.
b.
Hasil
penulisan
ini
diharapkan
mampu
membantu
dan
memberikan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang sedang di teliti.
E.
METODE PENELITIAN Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian antara lain sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki,
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin
20
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 35). Penelitian hukum menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu: a. Doctrinal Research; b.Reform-Oriented Research; c. Theoretical Research; d.Fundamental Research (Hutchison dalam Peter Mahmud Marzuki, 2007: 32-33).
Ketiga tipe penelitian hukum yang dikemukakan Hutchinson yaitu Doctrinal Research, Reform-Oriented Research, dan Reform-Oriented Research menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doktrinal sedangkan penelitian sosiolegal termasuk dalam tipe keempat yaitu Fundamental Research (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 33). Penelitian hukum ini masuk kedalam penelitian doktrinal karena keilmuan hukum memang bersifat preskriptif yaitu melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial.
2. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini dalah penelitian yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai suatu ilmu yang bersifat preskriptuf, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep konsep hukum dan norma norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan ketentuan, rambu rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki. 2005:22)
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan memberikan preskriptif mengenai kedudukan dan kekuatan pembuktian digital evidence dalam pembuktian perkara korupsi yang ditinjau dari preskiptif UU Nomor
21
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya: a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). b. Pendekatan kasus (Case Approach). c. Pendekatan historis (Historical Approach). d. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach). e. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2007:93-94).
Peneliti dalam hal ini menggunakan pendekatan perundangundangan (Statute Approach) yaitu pendekatan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Pengumpulan Bahan Hukum Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang dihadapi. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Sumber Penelitian Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yaitu berupa:
22
a. Bahan hukum primer yang terdiri dari perundang-undangan, catatancatatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Penelitian Hukum ini bahan hukum primernya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.. b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Dalam hal ini peneliti menggunakan bahan hukum sekunder berupa jurnal-jurnal hukum dari dalam dan luar negeri, hasil-hasil penelitian hukum serta hasil karya dari kalangan hukum termasuk artikel-artikel hukum di internet (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 141).
6. Pengolahan Hasil dan Analisis Bahan Hukum Setelah peneliti mengumpulkan bahan-bahan hukum, diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, peneliti akan menarik kesimpulan yang menjawab isu yang diajukan atau permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya bahan hukum dianalisis untuk melihat Bagaimana kedudukan dan kekuatan pembuktian Digital Evidence dalam pembuktian perkara korupsi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM Sistematika penulisan hukum terdiri dari 4 (empat) Bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan dan penutup ditambah lampiranlampiran dan daftar pustaka. Penyusunan penulisan hukum tersebut dengan sistematika sebagai berikut : BAB I
:
PENDAHULUAN
23
Pada Bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan hukum.
BAB II
:
TINJAUAN PUSTAKA a.
Dalam bab ini diuraikan beberapa pemaparan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, dan dijelaskan dari literatur- literatur sehingga pembaca dapat
memahami
kedudukan
dan
kekuatan
pembuktian alat bukti digital evidence dalam pembuktian perkara korupsi. Secara umum dibagi manjadi kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam
pemaparan
kerangka
teori
diuraikan
mengenai Tinjauan Umum Tentang pembuktian, Tinjauan Umum tentang korupsi, Tinjauan Umum Tentang Alat bukti serta Tinjauan umum tentang alat bukti digital / elektronik. b.
Dalam kerangka pemikiran, memberikan gambaran hubungan antara konsep- konsep khusus yang ingin dan akan di teliti.
BAB III
:
PEMBAHASAN A.
Dalam Bab ini penulis menjelaskan mengenai kedudukan alat bukti digital evidence dalam pembuktian perkara korupsi ditinjau dari UU Nomor 11 tahun 2008 dan UU Nomor 20 tahun 2001. Secara umum dijelaskan mengenai kedudukan alat bukti digital / elektronik dalam upaya pembuktian perkara korupsi.
24
B.
Selain itu di jelaskan pula mengenai kekuatan pembuktian
penggunaan
alat
bukti
digital
/
elektronik dalam upaya pembuktian perkara korupsi. BAB IV
:
PENUTUP Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan yang di peroleh dari penelitian yang telah dilakukan, serta dikemukakan saran yang relevan dari peneliti.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN – LAMPIRAN
25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis 1. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian. a) Pengetian Pembuktian KUHAP memberikan ruang bagi pembuktian, tetapi tidak memberikan definisi yang secara khusus mengenai pembuktian. Sehingga muncul beberapa definisi dari beberapa ahli yang mencoba memberikan definisi mengenai pembuktian, diantaranya : 1. M. Yahya Harahap. M. Yahya Harahap (2000: 252) memberikan definisi pembuktian yaitu: Sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undangundang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada seorang terdakwa.
2. Hari Sasangka. Merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syaratsyarat dan tata cara mengajukan bukti-bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.
26
Dari pengertian pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan inti dari hukum pembuktian adalah : 1.
Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan membuktikan
pedoman
mengenai
kesalahan
yang
cara-cara
didakwakan
untuk kepada
terdakwa yang dibenarkan oleh undang-undang 2.
Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh digunakan hakim dan diakui undangundang yang digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa
3.
Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.
b) Sistem Pembuktian. Yahya
Harahap
(2000:256)
menjelaskan
beberapa
sistem
Pembuktian yang dikenal adalah : a). Conviction- in time. Penilaian tentang bersalah atau tidaknya terdakwa hanya bergantung kepada penilaian “keyakinan” hakim. Fokus dalam sistem ini adalah penilaian keyakinan hakim, tidak bergantung kepada hal hal yang lain.
Dalam sistem Conviction- in time, dari mana hakim menarik dan menyimpulkan
keyakinannya tidak menjadi masalah.
Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat alat bukti yang diperiksanya di pengadilan, bisa juga hasil alat alat bukti yang diabaikan oleh hakim, dan langsung menraik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
27
b). Conviction-Raisonee. Dalam sistem pembuktian ini “keyakinan hakim” tetap mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Berbeda dengan sistem Conviction- in time. Dimana
“keyakinan hakim”
sangat leluasa, dalam sistem pembuktian ini
“keyakinan hakim” harus lah disertai dengan “alasan alasan yang jelas”.
Tegasnya dalam sistem pembuktian ini alasan alasan yang digunakan hakim sebagai dasar dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus lah logis dan benar benar dapat diterima akal.
c). Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Positif.
(Positief
Wettelijke Bewijstheorie) Pembuktian menururt undang undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian conviction- in time.
Pembuktian menururt undang undang secara positif, ”keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat alat bukti yang ditentukan oleh undang undang. Untuk membuktikan bersalah atau tidaknya terdakwa semata mata ”digantungkan pada alat alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa menentukan keyakinan hakim.
28
d). Pembuktian Menurut Undang Undang Secara
Negatif.
(Negatief
Wettelijke Bewijstheorie). Sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction- in time.
Sistem pembuktian ini merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif mengkombinasikan secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang undang secara positif.
Menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa tidak cukup hanya berdasar keyakinan hakim semata mata atau pun berdasar pada cara dan ketentuan pembuktian dengan alat alat bukti yang ditentukan undang undang. Seorang terdakwa baru dpat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat alat bukti yang sah sekaligus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa memang benar benar telah terjadi.
Dalam sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif terdapat dua komponen untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa : a). Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat alat bukti yang sah menurut undang undang, b). Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat alat bukti yang sah menurut undang undang.
c). Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP. Untuk mengkaji sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, dapat kita lihat rumusan Pasal 183 KUHAP.
29
Pasal 183 KUHAP. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya Dari rumusan pasal tersebut telah menunjukkan bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian Menurut Undang Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie), dimana dua komponen utama pembuktian menurut undang undang, yaitu alat bukti yang sah dan keyakinan hakim harus terpenuhi untuk menentukan seorang terdakwa tersebut bersalah atau tidak.
d) Prinsip minimum pembuktian. Prinsip minimum pembuktian adalah prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya terdakwa. (M. Yahya Harahap 2000: 262). Dalam menentukan minimum pembuktian tersebut tetap harus berpegang pada Pasal 183 serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dari rumusan Pasal 183 serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP maka prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup. a). sekurang kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. b). Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup kesalahan terdaka jika hanya dengan satu alat bukti saja. Pasal 183 tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa hanya dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri.
e) Asas Asas dalam Pembuktian. Dalam pembuktian dikenal adanya asas asas
sebagai
pedoman yang harus dipatuhi dalam pembuktian, diantaranya :
30
a). Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian, pengakuan
terdakwa
tidak
menghilangkan
syarat
karena minimum
pembuktian, jadi, meskipun terdakwa mengaku, penuntut umum dan persidangan tetap wajib membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain, karena yang dikejar adalah kebenaran material (Pasal 189 ayat (4) KUHAP). b). Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan / notoire feiten (Pasal 184 ayat (2) KUHAP) c). Menjadi saksi adalah kewajiban (Pasal 159 ayat (2) KUHAP). d). Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri, sehingga hanya mengikat dirinya sendiri (Pasal 189 ayat (3) KUHAP). e). Satu saksi bukan saksi / unus testis nullus testis (Pasal 185 ayat (2) KUHAP).
2. Tinjauan Umum tentang korupsi a) Pengertian korupsi Dalam ensiklopedia Indonesia, Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok
(http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi)
diakses 28 November 2009. Menurut Anne van Aaken, Lars P. Feld, Stefan Voigt : “Corruption is defined as the misuse of public office for private benefit. Private benefit need not be confined to individual benefit but can include benefits to political parties and other associations” (Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Keuntungan tersebut tidak terbatas pada keuntungan individu tetapi juga termasuk keuntungan kepada partai politik dan asosiasi lainnya).
31
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi berarti perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dsb. (Poerwadarminta, 1984:524). Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan
menyalahgunakan
kekuasaan
publik
yang
dipercayakan kepada mereka. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum, curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan negara. Secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi memiliki arti yang sangat luas. 1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan sebaginya ) untuk kepentingan pribadi dan orang lain. 2. Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). (Evi Hartanti:, 2007:9)
b). Sifat Korupsi Baharuddin Lopa membagi korupsi menurut sifatnya ke dalam 2 (dua) bentuk, yaitu sebagai berikut : a. Korupsi yang bermotif terselubung. Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.
b. Korupsi yang bermotif ganda.
32
Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingaan politik. (Evi Hartanti, 2007:10).
`
c) Ciri Ciri Korupsi. Dijelaskan oleh Shed Husein Alatas, korupsi mempunyai ciri ciri sebagai berikut : a). Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. b). Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia. c). Korupsi
melibatkan
elemen
kewajiban
dan
keuntungan timbal balik. d). Mereka yang mempraktekkan korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum. e). Mereka yang terlihat korupsi menginginkan keputusan yang tegas
dan
mampu
untuk
mempengaruhi
keputusan
keputusan itu. f). Setiap korupsi mengandung perbuatan yang menipu. g). Setiap perbuatan korupsi adalah suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan. h). Setiap perilaku korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindak pidana tersebut. i).
Korupsi
melanggar
norma
norma
tugas
dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat. (Evi Hartanti, 2007:10-11).
d) Faktor Faktor Penyebab. a). Selo Soemardjan. Faktor Faktor sosial yang mendukung terjadinya tindak pidana korupsi adalah :
33
1. Desintegarsai (anomie) sosial karena perubahan sosial terlalu cepat sejak revoluisi sosial dan melemahnya batas milik negara dan milik pribadi. 2. Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial beralih menjadi orientasi harta. Kaya tanpa harta menjadi kaya dengan harta. 3. Pembangunan ekonomi menjadi panglima bukan pembangunan sosial atau budaya. 4. Penyalahgunaan
kekuasaan
negara
sebagai
short
cut
mengumpulkan harta. 5. Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, menurun, menyebar, meresap dalam kehidupan masyarakat. 6. Pranata Pranata kontrol sosial tidak efektif lagi.
b). Masyarakat Transparansi Internasional. Masyarakat Transparansi Internasional menemukan ada sembilan faktor penyebab korupsi, yaitu: 1.
Absennya kemauan politik pemerintah.
2. Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan pemerintah. 3. Dominannya militer dalam bidang politik. 4. Politisasi birokrasi. 5. Tidak independennya lembaga pengawas. 6. Kurang berfungsinya parlemen. 7. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil. 8. Kurang bebasya media massa. 9. Oportunisme sektor swasta.
c).
Andi Hamzah. Andi Hamzah (2005:13) menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya korupsi:
34
1. Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandinkan dengan kebutuhan sehari hari yang semakin meningkat. 2. Kultur kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber meluasnya korupsi. 3. Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif dan efisien. 4. Modernisasi.
3. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti a) Pengertian Alat Bukti. Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.
b) Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP. Ketentuan hukum acara pidana telah mengatur mengenai beberapa alat bukti yang Sedangkan Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan “Alat bukti yang sah ialah : (a). Keterangan saksi (b). Keterangan ahli (c). Surat (d). Petunjuk (e). Keterangan terdakwa” Berikut ini adalah uraian mengenai alat bukti yang diatur dalam KUHAP : (a). Keterangan saksi
35
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP).
Pengertian keterangan saksi terdapat pada Pasal 1 angka 27 KUHAP disebutkan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP maka yang harus diterangkan dalam sidang adalah : -
apa yang saksi lihat sendiri;
-
apa yang saksi dengar sendiri
-
apa yang saksi alami sendiri
Keterangan saksi di depan penyidik, bukan keterangan saksi, jadi bukan merupakan alat bukti. Keterangan saksi di depan penyidik hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara dalam sidang. Apabila berbeda antara keterangan yang diberikan di depan penyidik dengan yang diberikan di muka sidang, hakim wajib menanyakan dengan sungguh-sungguh dan dicatat (Pasal 163 KUHAP).
Menurut Pasal 186 KUHAP ada Kekecualian untuk menjadi saksi, yaitu sebagai berikut : 1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
36
2)
Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
3) Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai atau yang bersama sama sebagai terdakwa.
Disamping karena hubungan keluarga atau semenda, juga ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Contoh orang yang harus menyimpan rahasia jabatannya misalnya seorang dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri adalah mengenai hal yang dipercayakan kepada mereka, misalnya pastor agama Katolik Roma yang berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut. Menurut Pasal 170 KUHAP di atas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi…” maka berarti apabila mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. “Oleh karena itu, kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif”. Kekecualian menjadi saksi dibawah sumpah juga ditambahkan dalam Pasal 171 KUHAP, yaitu : 1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; 2) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
(b) Keterangan Ahli Pasal 1 angka 27 disebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
37
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Perlu diperhatikan bahwa KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di pengadilan sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “ surat”. Apabila keterangan diberikan pada waktu pemerikaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan, dan dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan , maka keterangan ahli tersebut sebagai alat bukti surat. Contoh mengenai kedua hal tersebut diatas adalah visum et repertum yang dibuat oleh seorang dokter.
(c). Surat Pasal 187 mengatakan surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: - berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dan yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri - surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya - surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya - surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
(d). Petunjuk Pasal 188 (1) KUHAP mengatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
38
siapa pelakunya. Dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa. Apabila alat bukti yang menjadi sumber dari petunjuk tidak ada dalam persidangan pengadilan, maka dengan sendirinya tidak akan ada alat bukti petunjuk.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.. Pada akhirnya persoalan diserahkan pada hakim, dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. (e)
Keterangan Terdakwa Dalam Pasal 1 butir 15 terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan di adili di sidang pengadilan. Sedangkan keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di depan sidang pengadilan tentang perbuatan yang telah ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 183 ayat (3) dan (4) KUHAP. Keterangan terdakwa tidak dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan orang lain, kecuali disertai oleh alat bukti lain. Hal ini mengingatkan bahwa terdakwa dalam memberikan keterangannya, tidak perlu mengucapkan sumpah atau janji. Karena keterangan terdakwa bukanlah pengakuan terdakwa, maka ia boleh menyangkal segala tuduhan karena ia tidak disumpah. Penyangkalan terdakwa adalah hak terdakwa dan harus dihormati. Oleh sebab itu, suatu penyangkalan
39
terhadap suatu perbuatan mengenai suatu keadaan tidak dapat dijadikan alat bukti.
4. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti Digital / Elektronik. a)
Pengertian Bukti digital. Alat Bukti digital didefinisikan sebagai fisik atau informasi elektronik yang dikumpulkan selama investigasi komputer yang dapat digunakan untuk bukti dalam persidangan, namun tidak terbatas pada komputer file (seperti file log atau dihasilkan laporan) dan file yang dihasilkan manusia (seperti spreadsheet, dokumen, atau pesan email) (http://yogapw.wordpress.com/2009/11/13/pengertianbukti-digitaldigital-evidence/).
b) Macam Macam Alat Bukti Digital Macam Macam Alat bukti Digital diantaranya : *
Email. Adalah singkatan dari Electronic Mail, yaitu surat yang baik berupa teks maupun gabungan dengan gambar, yang dikirimkan dari satu alamat email ke alamat lain di jaringan internet.
*
SMS (Short Message Service) Short Message Service (SMS) adalah suatu fasilitas untuk mengirim dan menerima suatu pesan singkat berupa teks melalui perangkat nirkabel, yaitu perangkat komunikasi teleon selular, dalam hal ini perangkat nirkabel yang digunakan adalah telepon selular
*
File berbentuk (J.PG, T.IF, G.IF dll) . File
dengan Extension J.PG, T.IF, G.IF, yang biasanya
berupa gambar. *
Rekaman penyadapan.
40
Yaitu rekaman yang didapat dari penyadapan pembicaraan seseorang dengan orang lain yang diduga kuat berhubungan secara langsung ataupun tidak langsung dengan tindak pidana korupsi. *
CCTV (Closed Circuit Television) Yaitu perangkat kamera video digital yang digunakan untuk mengirim sinyal ke layar monitor di suatu ruang atau tempat tertentu. Hal tersebut memiliki tujuan untuk dapat memantau situasi dan kondisi tempat tertentu, sehingga dapat mencegah terjadinya kejahatan atau dapat dijadikan sebagai bukti tindak kejahatan yang telah terjadi.
*
Teleconference, Televideoconference. dll Yaitu hubungan jarak jauh antara orang satu dengan yang lain, dimana kita dapat mendengar suara dan gambar lawan bicara kita secara real time
c) Pengaturan Alat Bukti Digital. Penggunaan alat bukti elektronik di negara negara maju sudah diakui sebagai alat bukti yang sah serta dipertimbangkan hakim dalam memutus perkara baik pidana atau perdata. Di negara negara lain terdapat peraturan yang mengatur alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Sebagai contoh negara Malaysia, di Malaysia alat bukti diatur dalam Evidence Act 1950 atau UU tentang Alat Bukti 1950. Dalam UU tersebut alat bukti dibagi atas dua macam, yaitu alat bukti primer dan alat bukti sekunder. Yang dimaksud alat bukti primer berdasarkan Pasal 62 evidence act adalah alat bukti berupa dokumen yang original yang dihadirkan dipengadilan. Dalam evidence act 1950 yang dimaknai sebagai dokumen adalah seluruh dokumen yang dibuat secara tertulis, maupun terekam pada pita foto, baik berupa surat, buku, jurnal, film, video dan lain sebagainya. Bagian-bagian dari
41
dokumen tersebut sepanjang itu original dianggap sebagai alat bukti primer. Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti sekunder ialah alat bukti yang tidak original. Ketidak originalan alat bukti tersebut bisa dikarenakan ia merupakan copy-an, rekaman yang merupakan duplikasi dari alat bukti primer. Masuknya alat bukti elektronik dalam evidence act 1950 yaitu adanya perubahan atau lebih tepatnya penambahan pada Pasal 62 tentang alat bukti primer. Dalam klausul terakhir pasal tersebut dinyatakan bahwa dokumen yang dikeluarkan dari komputer merupakan alat bukti primer.
Dalam Undang Undang tersebut memberikan
definisi
komputer tidak tersekat oleh penamaan benda, tetapi lebih kepada prosesnya,
apapun
nama
benda
tersebut.
(http://rifq1.wordpress.com/2008/04/21/alat-bukti-elektronikcatatan-singkat-mengenai-keberadaannya/) diakses 28 November 2009.
Di
Indonesia
diperkenankan
alat dalam
bukti
elektronik
rumusan
sesungguhnya
beberapa
undang
juga
undang,
diantaranya : a. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan. Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan). Pengaturan tersebut diatur dalam Pasal 12 UU tentang Dokumen Perusahaan tersebut sebagai alat bukti yang sah”
42
b.
Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, adanya perluasan
mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Tetapi, menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (email), telegram, teleks, faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
c. Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Pencucian Uang. Kejahatan pencucuian uang / money laundering merupakan kejahatan
yang
biasanya
melibatkan
antar
negara,
untuk
menyamarkan tindak pidana pencucian uang biasanya uang hasil kejahatan disimpan di luar negeri. Pasal 2 angka (1q) Undang-undang pencucian uang mengatur juga mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf (b), yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
43
d. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak pidana perdagangan orang Pasal 29 Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Perdagangan Orang ini mengatur mengenai alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa” : 1) Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 2) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada : a) tulisan, suara atau gambar; b) peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
Kendati telah diatur dalam beberapa UU, namun alat bukti elektronik sifatnya masih parsial dan limitatif, sebab ia hanya dapat dipergunakan terbatas dalam tindakan hukum serta kasus kasus tertentu. KUHAP sebagai sumber hukum acara pidana sendiri tidak mengatur mengenai alat bukti digital.
44
2. Kerangka Pemikiran
Extraordinary Crime
Tindak Pidana Korupsi
Pembuktian Perkara Korupsi
PENGGUNAAN ALAT BUKTI DIGITAL / ELEKTRONIK
KEKUATAN PEMBUKTIAN
KEDUDUKAN
UU No 11 Tahun 2008 Dan UU No 20 Tahun 2001
45
Penjelasan : Berdasarkan kerangka berpikir di atas,
salah satu contoh
Extraordinary Crime / Kejahatan luar biasa adalah Tindak pidana korupsi. Sebagai suatu kejahatan luar biasa maka
dalam proses
pembuktian nya harus dilakukan dengan upaya luar biasa pula. Salah satu upaya pembuktian yang luar biasa tersebut adalah diadopsinya penggunaan alat bukti digital / elektronik dalam rangka pembuktian tindak pidana korupsi. KUHAP sebagai dasar hukum acara di Indonesia tidak mengatur mengenai keberadaan alat bukti digital / elektronik. Pengaturan mengenai kedudukan alat bukti digital
elektronik
ditemukan di Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
46
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Alat Bukti Digital / Elektronik Dalam
Pembutkian Perkara
Korupsi Berdasar penelitian yang penulis lakukan, alat bukti elektronik diatur secara lex Specialist. Alat bukti digital / elektronik diatur di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua undang undang tersebut walaupun merupakan produk politik dari DPR dan Pemerintah, sejatinya merupakan aturan yang secara sosilogis dimaksudkan agar dapat menjadi payung hukum bagi penggunaan alat bukti digital serta pemberantasan tindak pidana korupsi yang saat ini memerlukan penanganan yang luar biasa. Pengaturan alat bukti digital terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1), (2), (3), undang undang nomor 11 tahun 2008, yang menyebutkan bahwa : (1) (2)
(3)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Selanjutnya, Pasal 44 menyebutkan bahwa : Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangundangan; dan b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)”.
47
Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 menyebutkan alat informasi elektronik merupakan alat bukti yang sah untuk digunakan sebagai alat bukti. informasi elektronik dapat berupa catatan elektronik, dokumen elektronik, kontrak elektronik, surat elektronik, atau tanda tangan elektronik. Juga meliputi informasi elektronik tertentu yang merupakan rujukan dari suatu informasi elektronik. Lebih lanjut ayat
2 menyebutkan alat bukti digital merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah yang diatur dalam KUHAP khususnya Pasal 184. Penggunaan alat bukti digital sebagaimana diatur dalam undang undang ini dinyatakan sah jika penggunaan alat bukti digital tersebut menggunakan sistem elektronik yang diatur dalam undang undang tersebut. Sistem elektronik sesuai dengan Pasal 1 ayat (5) undang undang tersebut diartikan sebagai : “Serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik” Pengaturan dalam Pasal 1 ayat (5) tersebut dimaksudkan sebagai kontrol agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak hak setiap warga negara untuk melakukan komunikasi serta mendapatkan informasi. Harus diakui bahwa Amandemen Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas telah menyatakan hak setiap warga negara untuk mendapat informasi, dengan adanya rumuan tersebut mencegah para pihak yang berwajib untuk sewenang wenang dalam memeroleh informasi dan dokumen yang menyangkut dengan privasi seseorang. Berdasarkan uraian Pasal 5 ayat (1) dan (3) tersebut diatas, maka Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah., apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Bahkan secara tegas, Pasal 6 UU ITE menentukan bahwa : “Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
48
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”. Selanjutnya Pasal 44 menyebutkan bahwa penggunaan alat bukti digital / Elektronik dapat digunakan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di pengadilan. Rumusan pasal tersebut secara jelas menyatakan bahwa alat bukti digital / elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti, penggunaan alat bukti tersebut sudah dapat dimulai dari tingkat penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di persidangan. Dengan adanya ketentuan Pasal 44 ini diharapkan mempermudah aparat penegak hukum untuk mendapat alat bukti, karena penggunaan alat bukti tersebut telah dibenarkan untuk digunakan mulai dari tingkat penyidikan. Dalam perkara korupsi secara lebih tegas kedudukan alat bukti digital diatur di dalam Pasal 26 A Undang Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 26 A menyebutkan bahwa : ”Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna”. Dari rumusan Pasal 26 A Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut secara jelas menyebutkan bahwa kedudukan alat bukti digital dalam pembuktian suatu perkara korupsi adalah sebagai alat bukti petunjuk. Sehingga secara formal tidak perlu diragukan lagi bahwa kedudukan alat bukti digital adalah sebagai petunjuk. Pasal 26 A UU tersebut memperluas bukti petunjuk, termasuk alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
49
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Alat bukti digital yang dimaksud dalam Pasal 26 A tersebut sangat luas. Sesuai penjelasan pasal tersebut, Yang dimaksud dengan "alat optik atau yang serupa dengan itu" tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili. Dengan adanya ketentuan ini, maka hampir tidak ada bagian informasi dan atau dokumen yang dengan menggunakan alat atau yang ada hubungannya dengan alat alat elektronik atau optik yang tidak termasuk di dalamnya. Perluasan alat bukti petunjuk tersebut dapat dimaklumi berdasarkan pertimbangan : 1. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah dapat digolongkan pada tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime). Kriteria kejahatan luar biasa adalah meluas dan sukar pemberantasannya, persis korupsi di Indonesia. Oleh karena itu harus dihadapi dengan upaya yang luar biasa pula. Perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk ini adalah salah satu upaya yang luar biasa tersebut. 2. Pembuktian kasus tindak pidana korupsi tergolong sukar, berhubung dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum berpendidikan (terutama birokrat) dan pengusaha yang amat kuat secara politik dan ekonomi, yang dapat mempengaruhi jalannya proses peradilan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, selain sistem beban pembuktian terbalik, juga dengan upaya memperluas bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk (Adami Chazawi.2008:108). Adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 26 A tersebut diatas maka secara formal tidak diragukan lagi bahwa informasi dan dokumen kedudukannya sejajar atau sama dengan 3 (tiga) alat bukti lain yang digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk yaitu : keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa yang disebut dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP.
50
Pertanyaan logis kemudian muncul, berkaitan dengan apakah alat bukti petunjuk sudah dapat dibentuk hanya dengan alat bukti digital saja atau kah masih memerlukan alat bukti bukti keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 188 ayat 2 KUHAP. Mengenai hal tersebut dalam rumusan Pasal 26 A huruf a secara tegas disebutkan “alat bukti lain”. Diksi “alat bukti lain” dalam Pasal 26 A huruf a tersebut artinya adalah kedudukan informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah dan sama dengan alat bukti pembentuk alat bukti petunjuk yaitu keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa. Dengan alasan tersebut, maka alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi sudah dapat dibentuk berdasarkan informasi dan dokumen
saja, tanpa
menggunakan alat bukti pembentuk alat bukti petunjuk : keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Perlu diingat, bahwa berdasar Pasal 183 KUHAP alat bukti petunjuk yang didapat melalui rekaman tidak dapat berdiri sendiri, dengan kata lain digunakan sebagai satu satu nya alat bukti. Pembentuk Undang Undang memasukkan ketentuan Pasal 188 ayat (3) karena alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang masih memerlukan alat bukti lain untuk kesempurnaan pembuktian. Fungsi dokumen dan informasi disini sebagai alat bukti hanya bernilai sebagai bahan membentuk alat bukti petunjuk saja, tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain. Banyak kasus korupsi yang dalam upaya pembuktiannya menggunakan alat bukti digital (Lihat Tabel 3). Penggunaan alat bukti digital tersebut bertujuan agar tindak pidana korupsi yang didakwakan terhadap terdakwa dapat terbukti, karena salah satu ciri tindak pidana korupsi adalah umumnya perbuatan tersebut dilakukan secara rahasia. Untuk itu alat bukti digital berperan untuk mengungkap kerahasiaan tersebut. Contoh konkret adalah rekaman pembicaraan serta antara Arthalita Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan, rekaman penyadapan tersebut akhirnya mampu mengungkap skenario rahasia antara keduanya mengenai uang suap yang diterima Jaksa Urip Tri Gunawan yang didalilkan sebagai uang yang pinjaman yang akan digunakan untuk bisnis. Selain itu ada pula rekaman video yang menunjukkan bahwa jaksa urip Tri Gunawan membawa uang yang diduga hasil dari Gratifikasi tersebut. Dengan adanya rekaman penyadapan serta video
51
tersebut telah menunjukkan mengenai tindak pidana yang dilakukan serta siapa yang melakukan, yang akan memberi petunjuk kepada hakim kebenaran dari suatu peristiwa. Tabel 3 KASUS KORUPSI YANG PEMBUKTIANNYA MENGGUNAKAN ALAT BUKTI DIGITAL NO KASUS KORUPSI 1. Kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan 2. Gratifikasi Anggota DPR Al Amin Nasution 3. Korupsi Bulloggate II 4. Suap oleh Arthalita Suryani 5. Dugaan Kasus suap dan Gratifikasi Hakim PTUN Ibrahim
BUKTI DIGITAL YANG DIGUNAKAN 1. Rekaman Penyadapan. 2. Rekaman Video. Rekaman Penyadapan dan Video. Teleconference saksi B.J. Habibie. Rekaman Penyadapan dan video Rekaman Video
Penggunaan alat bukti digital dewasa ini sudah dianggap bagian dari proses penegakkan hukum, harus diakui penggunaan alat bukti digital sangat membantu bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi. Mengingat KUHAP sebagai dasar dalam hukum acara pidana tidak menyebut alat bukti digital sebagai alat bukti yang sah. KUHAP secara limitatif dalam Pasal 184 hanya menyebut alat bukti yang sah adalah : 1. Keterangan Saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan Terdakwa.
Di luar alat alat bukti tersebut diatas tidak dibenarkan dipergunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Para pihak dalam persidangan mulai Hakim, Penuntut Umum, Penasihat Hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat alat bukti ini saja. Mereka
52
tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendaki diluar alat bukti yang disebut dalalm Pasal 184 ayat 1 KUHAP. Dengan adanya ketentuan secara lex specialist mengenai penggunaan alat bukti digital di Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 serta Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 maka sekiranya alat bukti digital sudah dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi, yang merupakan perluasan alat bukti petunjuk.
B. Kekuatan Alat Bukti Digital / Elektronik Dalam
Pembuktian Perkara
Korupsi Berbicara mengenai kekuatan pembuktian tidak bisa lepas dari sistem pembuktian. Sistem hukum pembuktian sampai saat ini masih menggunakan ketentuan hukum yang lama, yang belum mampu menjangkau pembuktian atas kejahatan-kejahatan yang menggunakan perangkat digital. Hukum pembuktian dalam proses peradilan baik dalam perkara pidana maupun perdata, akibat kemajuan Teknologi Informasi, ada suatu persoalan mengenai bagaimana kedudukan produk teknologi sebagai alat bukti. Bertolak dari ketentuan tersebut, jelaslah pengajuan alat bukti digital di muka pengadilan sebagai alat bukti akan menemukan hambatan dan mengalami proses pembuktian yang rumit, bahkan terdakwa dan penasihat hukum kemungkinan besar akan menolaknya karena memang dalam KUHAP tidak mengatur. Akibatnya, timbul ketidakpastian hukum terhadap alat bukti digital, yang ironisnya, berbanding terbalik dengan semakin meluasnya perkembangan teknologi digital baik dalam negeri maupun dengan luar negeri. Padahal dengan adanya pengajuan perkara di pengadilan, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa atau mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) atau lebih tegas dengan adanya asas “ius curia novit” sesuai Penjelasan UU No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, yang menyatakan bahwa “hukum merupakan urusan
53
hakim dan apabila ada perkara, maka hakim tidak boleh menolak dengan alasan tidak ada hukumnya, tapi disini hakim harus melakukan penemuan hukum karena asas hukum acara menyatakan hakim dianggap mengetahui hukumnya”. Hukum pidana menganggap bahwa pembuktian merupakan bagian yang sangat esensial untuk menentukan nasib seseorang terdakwa. Bersalah atau tidaknya terdakwa sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan ditentukan pada proses pembuktiannya. Dengan kata lain, pembuktian merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran dari isi surat dakwaan yang disampaikan oleh para jaksa penuntut umum yang kegunaannya untuk memperoleh kebenaran materiil terhadap : 1. Perbuatan perbuatan manakah yang dianggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan. 2. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan perbuatan yang didakwakan kepadanya. 3. Tindak pidana apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan perbuatan itu. 4. Hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa bukan pekerjaan mudah (Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, 2005:107). Sementara M. Yahya Harahap menyatakan bahwa : “Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “bersalah” dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai di mana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs karcht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP” (M. Yahya Harahap, 2000 : 273). Pernyataan diatas menunjukkan betapa alat bukti beserta kekuatan pembuktiannya memegang peranan yang sangat penting dalam pembuktian perkara pidana. Sebelum menjawab mengenai kekuatan pembuktian alat bukti digital dalam proses pembuktian perkara korupsi, yang notabene berada di ranah pidana. Ada baiknya kita melihat mengenai macam alat bukti dalam
54
hukum perdata. Karena, nilai kekuatan pembuktian alat bukti dalam hukum acara perdata sedikit berbeda dengan nilai kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana. Di dalam hukum acara pidana semua alat bukti bernilai sama, artinya kedudukan suatu alat bukti tidak lebih kuat dibandingkan alat bukti yang lain, tidak ada alat bukti yang bersifat menentukan. Didalam hukum acara pidana pada dasarnya semua alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP bersifat bebas dan tidak mengikat hakim. Sedangkan di hukum perdata ada alat bukti yang lebih kuat kedudukannya dibanding alat bukti lain dan lebih menentukan, sebagai contoh adalah pengakuan dari pihak yang bersengketa yang diucapkan di dalam persidangan mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap dan menentukan. Artinya hakim sudah dapat memutus suatu perkara dengan adanya alat bukti pengakuan.
Ketentuan
tersebut tidak berlaku di dalam pembuktian hukum pidana, semua alat bukti mempunyai nilai yang sama. Tidak ada alat bukti yang lebih menentukan dibanding alat bukti lain. Lalu bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti digital? Mengenai kekuatan pembuktian Alat bukti digital, uraian hasil penelitian pada rumusan masalah pertama secara jelas telah menyebutkan mengenai kedudukan alat bukti digital adalah sebagai alat bukti petunjuk, hal tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (1), (2), (3) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 26 A Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi yang mana merupakan perluasan alat bukti petunjuk dalam Pasal 184 KUHAP. Sebagai alat bukti petunjuk maka kekuatan pembuktian alat bukti digital sesuai dengan uraian diatas adalah sebagai adalah sebagai “bukti bebas”, sama hal nya dengan kekuatan pembuktian alat bukti yang lain yang juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas. “Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa, sifat dan kekuatannya dengan alat bukti lain : 1. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.
55
2. Petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa (terikat pada prinsip batas minimum pembuktian ). Oleh karena itu petunjuk mempunyai nilai pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya alat bukti lain”. (M. Yahya Harahap, 2000 : 317) Sebagai alat bukti “yang bebas” maka alat bukti digital tidak mengikat hakim atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas menilainya dan menggunakan sebagai upaya pembuktian. Lebih lebih kalau diperhatikan bunyi Pasal 188 ayat 3 KUHAP yang mengatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktin dari suatu petunjuk dalam keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasar hati nuraninya. Pernyataan diatas menunjukkan bahwa penilaian sebuah alat bukti petunjuk menjadi kewenangan hakim untuk menilainya. Hakim bebas untuk melakukan penilaian terhadap alat bukti petunjuk tersebut. Penilaian antara hakim yang satu dengan hakim yang lain akan berbeda berkaitan dengan alat bukti petunjuk, penilaian tersebut sepenuhnya menjadi kebebasan dari hakim yang memeriksa suatu perkara. Tetapi yang perlu diingat penilaian tersebut tetap harus memperhatikan kesesuaian alat bukti petunjuk tersebut. Kata persesuaian (Pasal 188 ayat 1 KUHAP), merupakan kekuatan utama petunjuk sebagai alat bukti, karena persesuaian tersebut antara satu dengan yang lain dalam hal perbuatan, kejadian atau keadaan maka hakim menjadi yakin akan perbuatan yang dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita.2003:233). Pasal 26 A huruf (b) Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga telah memberikan rambu berkaitan dengan penggunaan alat bukti digital dalam pembuktian perkara korupsi. Alat bukti digital yang dapat digunakan sesuai dengan Pasal 26 A tersebut adalah alat butki digital yang mempunyai makna. Hal tersebut semakin menguatkan bahwa penggunaan alat bukti petunjuk harus ada persesuaian dengan perbuatan, kejadian atau keadaan. Persesuaian yang diwujudkan alat bukti petunjuk harus mampu mewujudkan suatu petunjuk
56
yang “Nyata dan Utuh” yang bermuara pada keyakinan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukannya. Keyakinan yang dibentuk hakim sesungguhnya harus berpijak pada keadaan (obyektif) dari isi setidak tidaknya dua alat bukti yang dapat membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi. Alat bukti digital tidak dapat digunakan sebagai satu satunya alat bukti. Sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie) yang menuntut adanya 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim, hal ini terlihat dari rumusan Pasal 183 KUHAP. “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Rumusan Pasal 183 KUHAP tersebut secara jelas telah mensyaratkan adanya 2 (dua) alat bukti yang sah untuk membuktikan bersalah atau tidaknya terdakwa. Alat bukti tersebut masih harus ditambah dengan adanya keyakinan hakim bahwa memang benar terdakwalah yang telah melakukan tindak pidana tersebut. Berdasar Pasal 183 KUHAP tersebut penggunaan alat bukti petunjuk tetap terikat kepada prinsip minimum pembuktian yang dianut oleh KUHAP. Alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri, oleh karena itu agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup haruslah didukung dengan sekurang kurangnya satu alat bukti lain yang sah. Adanya ketentuan minimal dua (2) alat bukti yang sah serta keyakinan hakim sejatinya bertujuan untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Sehingga, proses peradilan yang berjalan diharapkan dapat menjadi proses untuk mencari keadilan yang didasarkan pada alat bukti yang sah. Sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif (Negatief Wettelijke
Bewijstheorie)
dianggap
paling
tepat
serta
pantas
untuk
57
dipertahankan(Wirjono Projodikoro dalam Andi Hamzah.1996:265) dengan alasan : 1. Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang padahal dia tidak yakin atas kesalahan terdakwa. 2. Berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya agar ada patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
58
BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN 1. Kedudukan alat bukti digital dalam pembuktian perkara korupsi adalah sebagai bukti petunjuk. KUHAP tidak mengatur mengenai keberadaan alat bukti digital, pengaturan mengenai alat bukti digital
dalam
pembuktian perkara korupsi diatur secara Lex Specialist di dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 26 A UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi memperluas cakupan alat bukti petunjuk dalam KUHAP, sehingga alat bukti digital juga termasuk di dalam alat bukti petunjuk. 2. Semua alat bukti pada Hukum Acara Pidana memiliki kekuatan pembuktian yang sama. Atas dasar kesamaan tersebut hakim bebas serta tidak terikat untuk memakai alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan, manakala menurut
hakim alat bukti tersebt tidak mempunyai nilai
pembuktian. Begitu pula dengan alat bukti digital / elektronik, hakim bebas serta tidak terikat untuk menggunakannya di dalam pembuktian di persidangan.
B. SARAN 1. Perlu segera adanya penyempurnaan pada KUHAP yang mengakomodir mengenai penggunaan alat bukti digital. Mengingat, seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang membawa dampak pada banyaknya kejahatan kejahatan yang menggunakan media komputer dan elektronik yang dalam pembuktiannya pasti memerlukan adanya pembuktian menggunakan alat bukti digital. 2. Perlu adanya keseriusan dari seluruh aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi, mengingat modus serta motif tindak
59
pidana korupsi dari waktu ke waktu semakin berkembang yang pasti akan semakin sulit dalam upaya pembuktiannya. 3. Perlunya peningkatan dan keahlian para aparat penegak hukum di bidang Teknologi Informasi untuk mengantisipasi kejahatan yang menggunakan peralatan digital / elektronik di masa mendatang. Karena perkembangan zaman dipastikan membawa dampak terhadap perkembangan kejahatan di semua bidang, termasuk tindak pidana korupsi.
60
DAFTAR PUSTAKA
Adami
Chazawi. 2008. Bandung:Alumni.
Hukum
Pembuktian
Tindak
Pidana
Korupsi.
. 2005. Hukum Pidana Materiil Dan Formil Korupsi Di Indonesia. Malang:Bayumedia Publishing. Andi Hamzah. 2005. Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta:PT Raja Grafindo. . 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi.Jakarta:CV. Sapta Artha Jaya. Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:PT. Sinar Grafika Anne van Aaken, Lars P. Feld, Stefan Voigt. 2010. “Independent prosecutors deter political corruption? An empirical evaluation across seventy-eight countries”. American Law and Economics Association Anonim. http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
diakses 28 november 2009.
Anonim.http://www.antikorupsi.org/docs/bahanrilisputusanbebaspengadilanumum semesterI20095agustus2009.pdf diakses 18 Desember 2009. Denny Indrayana. 2008. Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor. Jakarta:Kompas. Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom. 2005. Cyberlaw aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung:PT Refika Aditama. Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi edisi kedua. Jakarta:PT Sinar Grafika. Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Buku Pedoman Mahasiswa dan Praktisi. Bandung:CV. Mandar Maju. H.M. Arsyad Sanusi. 2009. ”Relasi antara Korupsi dan Kekuasaan”. Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 2, Juli 2009. Jakarta:Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
61
M. Rifqinizamy Karsayuda. http://rifq1.wordpress.com/2008/04/21/alat-buktielektronik-catatan-singkat-mengenai-keberadaannya/ diakses 28 november 2009. M.Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua. Jakarta:Sinar Grafika. Naskah Akademik RUU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana Prenada Media Group. Subekti dan Tjitrosoedibio. 1973. Kamus Hukum. Jakarta:Pradnya Paramita. Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Widodo Tresno Novianto. 2007. ” Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Korupsi Dan Prospeknya Bagi Penanggulangan Korupsi Di Indonesia”. Jurnal Yustisia Edisi Nomor 70 Januari - April 2007. Surakarta:FH UNS. W.J.S. Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:PN Balai Pustaka. Yoga Permana Wijaya. (http://yogapw.wordpress.com/2009/11/13/pengertianbukti-digital-digital evidence/).