Analisis Kasus Terhadap Perubahan Harga: Kritik terhadap Error Correction Model (ECM) Freddy Rangkuti
[email protected] or www.fraimarketing.com Abstract This paper reviews the empirical research on price changing and critics on error correction models. We offer a framework for discussing forecast in the area of marketing using Augmented Dickey Fuller Test, Cointegration Test and Error Correction Model Test, and the review the literature in light of that framework. The results from the fitted Autoregressive models indicate that both price series are generated by autoregressive processes and there is no influence of external exogeneous shocks. The results provide some indirect evidence supporting the secular deterioration of the commodity terms of trade for oil prices. Further research is necessary to examine conditions where econometric methods are likely to perform well. Kata Kunci: Error Correction Model (ECM), Cointegration, Unit Root Testing, Autocorrelation, Model Autoregressive
1
Pendahuluan Error correction model (ECM) dikembangkan oleh Engle – Grager, tujuannya untuk melakukan estimasi suatu obyek yang terjadi akibat berubahnya faktor – faktor yang mempengaruhi obyek tersebut (misalnya estimasi terhadap perubahan harga) akibat berubahnya dua variabel yang bersifat non stationary 1 , masing – masing cointegrated di dalam order yang sama. Meskipun terdapat kelemahan, salah satu keunggulan model ECM adalah, model ini dapat mengakomodasi informasi, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Contohnya, seandainya dalam satu model. Terdapatnya error correction term (cointegration vector), maka model ini dapat memperbaiki semua penyimpangan yang akan terjadi, sehingga menjadi suatu keseimbangan di masa yang akan datang. Pertanyaan yang perlu dijawab dari penelitian ini adalah: 1. Apakah cointegration test merupakan alat ukur yang lebih baik untuk mengukur persistence dibandingkan dengan autocorrelation coefficient? 2. Apakah cointegration test dapat mengukur pengaruh dari regime switching? (pengaruh regime switching terhadap pengujian unit root dan cointegration dapat menghasilkan spekulatif bubbles 2 ). Pendapat ini dikemukakan oleh Niklas Ahlgren dan menyarankan menggunakan metode Monte Carlo 3 untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis error correction model yang terdapat dalam forecasting perubahan data harga minas dan WTI spot price. Tujuan lain adalah untuk mengetahui prospek resiko apabila dilakukan hedging untuk minas (Indonesia crude oil) yaitu dengan cara mengembangkan scenario untuk hedging dan menggunakan model ini untuk mengevaluasi cost dan benefit dari strategi hedging yang berbeda.
1
Nonstationary terjadi apabila proses stochastic berubah terus setiap saat. Sebaliknya stationary terjadi apabila proses stochastic tetap. Dengan demikian apabila terjadi perubahan hubungan secara structural setiap saat, maka kita tidak dapat menggunakan metode regresi untuk membuat forecasting. Untuk memudahkan forecasting, sebaiknya data time series yang bersifat nonstationary harus ditransform dalam bentuk stationary 2 Spekulatif bubbles artinya adalah regime switching cenderung membuat explosive series bisa seolah – olah tampak stationary dan non – cointegrated series juga tampak seolah – olah cointegrated. 3 Niklas Ahlgren, 2000, Bootstrapping the error correction model cointegration test, Finland: Swedish school of economics and business administration.
2
Cointegration pada data spot WTI dan Minas Cointegration terjadi apabila kombinasi linear dari variabel – variabel non stationary menjadi stationary. Contohnya data individual harga spot minasn dan future price WTI adalah bersifat non – stationary. Data yang bersifat non – stationary sangat sulit dipakai sebagai alat prediksi karena data ini mencerminkan tidak ada harga yang normal untuk minas maupun WTI. Meskipun demikian, ada beberapa kombinasi harga spot minas dan WTI, sehingga menjadi harga normal. Contohnya harga spot normal minas = $1 $1.5 (lebih rendah dibandingkan dengan harga spot WTI). Penggunaan metode basket price terhadap peraturan harga minas mengindikasikan adanya hubungan yang sangat kuat antara minas dan WTI. Artinya harga minas dan WTI saling ber cointegrasi. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari harga market bulanan dari minas spot, WTI spot dan future untuk periode 10 tahun dari November 1983 sampai dengan November 1999. Data time series ini akan diuji menggunakan stationary test (ADF = Augmented Dickey Fuller), cointegration test (Johannsen test) dan ECM test. 1. Unit Root Testing Langkah pertama analisis data time series yang bercointegration adalah masing – masing data series tersebut harus ber cointegrasi dalam order yang sama. Pengujian unit root ini bertujuan untuk mengetahui pada order mana, masing – masing variabel dapat stationer. Karenanya digunakan prosedur unit root dengan ADF yaitu: k
ΔX t = β 0 + β 1 X t −1 + ∑ α i Δxt −i + et i +t
Apabila psedudo t – statistik memiliki tanda negatif dan signifikan, maka Ho (tentang unit root bersifat non stationary) di tolak. Artinya apabila Ho tidak ditolak, maka data series tersebut bersifat stationary. Data untuk periode November 1983 sampai dengan November 1998 dipecah menjadi 6 bagian yaitu:
3
• • • • • •
Periode Nov 83 – Nov 93 Periode Nov 84 – Nov 94 Periode Nov 85 – Nov 95 Periode Nov 86 – Nov 96 Periode Nov 87 – Nov 97 Periode Nov 88 – Nov 98
Mengingat Ho untuk ke enam periode tersebut di atas, tidak dapat ditolak, maka kesimpulannya adalah spot price untuk minas (SSLC) dan WTI (SWTI) adalah terintegrasi dalam order satu. Begitu juga SWTI dan future price untuk WTI terintegrasi dalam order satu. 2. Cointegration Test Tahap berikutnya dari cointegration adalah mengetahui apakah terdapat kombinasi linear dari dua spot price tersebut (minas dan WTI) yang bersifat stationary. Johannsen mengembangkan prosedur untuk menguji cointegration berdasarkan data time series. Asumsi yang digunakan oleh Johannsen adalah digunakannya lag akan menyebabkan error term white noise. Tahap pertama untuk mengetahui lag total yang terdapat dalam model adalah menggunakan loglikehood ratio (LR = Lt-1 – Lt). Tahap kedua adalah mengetahui bentuk dari persamaan cointegration (asumsi yang digunakan adalah persamaan cointegration tidak mengandung intercept dan deterministic trend). 3. Error Correction Forecasting Model Apabila kelompok data time series telah ber cointegrasi, maka masing – masing data series pada masing – masing kelompok, dapat dijelaskan dengan menggunakan error correction model. Pada error correction model, perubahan pada data series tertentu sangat tergantung pada perubahan yang terjadi dimasa lalu untuk data series tersebut, serta deviasi yang terjadi dari hubungan yang bersifat cointegrasi. Bentuk umum dari error correction model adalah sebagai berikut: 4
L
L
i =1
i =1
ΔSSLC = γ .spread t −1 + ∑ α i ΔSSLC t −1 + ∑ bi ΔWTI t −i L
L
i =1
i =1
ΔWTI = γ .spread t −1 + ∑ α i ΔWTI t −1 + ∑ bi ΔSSLC t −i
Kritik terhadap Error Correction Model (ECM) Asumsi utama yang dipakai dalam cointegration adalah adanya stationary linear combination pada masing – masing variabel yang memiliki unit root. Estimasi cointegrating regressor menggunakan estimator seperti Pseudo Gaussian Maximum Likeli Hood dalam Vector Error Correction Model atau Dynamic OLS. Kesemuanya ini berasumsi bahwa regressor memiliki exact unit root, estimator bersifat asymptotically efficient dan asymptotically equivalent serta asosiasi t dan F statistik untuk uji hipotesis pada cointegration vector bersifat normal. Masalahnya adalah apabila regressor dalam cointegrating regression memiliki root yang nilainya kurang dari 1, maka pengujian berdasarkan t dan F statistik dengan estimator konvensional yang normal misalnya dengan Chi – Square critical value, akan dapat mengakibatkan nilainya jauh di atas nominal level. Dengan demikian, sangat disarankan melakukan pengujian unit root pada masing – masing variabel sebelum melakukan cointegration analysis. Tetapi pengujian unit root ini harus hati – hati, karena akan memiliki kelemahan (poor power) apabila digunakan dengan sampel kecil sehingga menjadi tidak konsisten. Selanjutnya, setelah sekelompok data series diasumsikan telah ber cointegrated, maka masing – masing data tersebut dianalisis dengan error correction model (ECM). Namun demikian penerapan ECM juga harus hati – hati, karena model ini memiliki kelemahan yaitu tidak memiliki alat pengujian yang standar. Hal ini terbukti dengan tidak adanya Tabel critical value yang digunakan untuk error correction model. Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan ini menurut Mantalos dan Shukur (1998) 4 adalah dengan menggunakan metode bootstrap. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Mantalos dan Shukur terhadap ketiga model yaitu ECM cointegration test dengan bootstrap, Dickey – Fuller 4
Mantalos, P and Shukur, G, 1998. Size and Power of the error correction model cointegration test, a bootstrap approach, Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 60, 249 – 255.
5
(DF) dan Gaussian Critical value, ditemukan bahwa ECM cointegration test dengan bootstrap critical value lebih baik dibandingkan dengan ECM cointegration test dengan Dickey – Fuller atau Gaussian critical value. Alasan yang utama adalah, penggunaan bootstrap dapat memperbaiki critical value untuk ECM cointegration test dalam model dynamic. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam penggunaan data time series untuk forecasting adalah pola data time series perlu terlebih dahulu dianalisis secara mendalam. Alasannya adalah dalam data time series mengandung perilaku random yang sangat spesifik (true random behavior). Dengan kata lain, apabila kita ingin membuat forecasting berdasarkan data time series harus hati – hati, karena penggunaan model Error correction selalu tidak tepat sesuai dengan actual past behavior dari data time series tersebut. Apalagi data time series pada umumnya bersifat stochastic, mengandung autocorrelation dan bersifat non – stationary. Penelitian ini memang tidak secara mendalam membahas pola data time series minas dan WTI. Menurut Pindyck 5 , untuk mengetahui karakteristik pola data time series dapat digunakan fungsi autocorrelation. Kesalahan yang sering terjadi dalam data time series adalah data series berasal dari stochastic process. Artinya masing – masing nilai y1 , y 2 ... yt diambil dari data – data yang bersifat random dari distribusi yang bersifat probability. Atau dapat diasumsikan bahwa data series y1 , y 2 ... yt diambil dari sekumpulan jointly distributed random variables. Sayangnya spesifikasi yang lengkap dari probability distribution function untuk data time series, pada umumnya jarang ditemukan (atau jarang sekali terjadi). Sehingga kita perlu membangun model yang lebih sederhana untuk data yang bersifat time series, yaitu model yang dapat menjelaskan sifat randomness yang sesuai. Contohnya, kita dapat mempelajari bahwa nilai y1 , y 2 ... yt berdistribusi normal dan berkorelasi satu dengan yang lain menurut proses simple first – order autoregressive. Syaratnya adalah: model ini sangat tergantung dari seberapa dekat data dengan true probability distribution, sehingga dapat mencerminkan true random behavior dari data series yang bersangkutan.
5
Pindyck Robert S and Rubinfeld Daniel L, 1998, Econometric Models and Economic Forecasts, Fourth Edition, Singapore: McGraw – Hill. p.465.
6
Analisis Data Time series plot untuk data minas Time Series Plot for minas
20
15
6
12
18
24
30
36
42
48
Time
Time series plot untuk data WTI
25
wti
minas
25
20
15 Index
10
20
30
40
50
7
Pengujian Autocorrelation Autocorrelation perlu diuji dalam rangka melihat seberapa jauh terjadi interdependensi diantara data series. Nilainya berada pada –1 sampai dengan +1. Tergantung dari pola hubungan data yang bersangkutan. Misalkan, apabila kita memiliki data time series yang nilainya berada di atas rata – rata, kemudian secara langsung diikuti oleh nilai yang berada di bawah rata – rata, maka koefisien autocorrelationnya akan bertanda negatif. Sebaliknya, apabila terdapat nilai di atas rata – rata yang kemudian diikuti oleh nilai di atas rata – rata atau nilai di bawah rata – rata, diikuti oleh nilai di bawah rata – rata, maka koefisien autocorrelationnya akan bertanda positip. Pada umumnya koefisien autocorrelation (AC) akan diikuti oleh koefisien partial autocorrelation (PAC). Koefisen partial autocorrelation ini merupakan pelengkap dari koefisien autocorrelation (AC). Nilai AC dan PAC dapat dihitung dengan berbagai lag period (tergantung dari data yang digunakan apakah bersifat harian, mingguan atau bulanan). Pengujian autocorrelation dapat dilakukan dengan menggunakan software minitab yaitu caranya adalah: Stat> time series>autocorrelation Selanjutnya dilayar monitor akan tampak sebagai berikut:
8
>klik OK, hasilnya adalah sebagai berikut:
Autocorrelation
Autocorrelation Function for minas 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0
2
7
12
Lag
Corr
T
LBQ
Lag
Corr
T
LBQ
1
0.90
6.43
43.81
8
0.23
0.68
136.90
2
0.78
3.43
77.08
9
0.21
0.61
139.67
3 4
0.65 0.50
2.39 1.66
101.15 115.74
10 11
0.15 0.08
0.44 0.24
141.15 141.62
5
0.38
1.18
124.07
12
0.01
0.04
141.64
6
0.30
0.92
129.53
7
0.26
0.77
133.56
9
Keterangan: Corr = correlation T = uji t statistik LBQ = Ljung – Box Q Statistics
Partial Autocorrelation
Partial Autocorrelation Function for minas 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0
2
7
Lag
PAC
1
T
Lag
PAC
8
12
T
0.90
6.43
0.00
0.01
2 -0.18
-1.28
9 -0.11
-0.77
3 -0.05 4 -0.23
-0.36 -1.62
10 -0.24 11 -0.02
-1.72 -0.15
12 -0.00
-0.02
5
0.06
0.46
6
0.16
1.17
7
0.08
0.57
Berdasarkan diagram autocorrelation tersebut di atas, dapat diketahui bahwa semakin meningkat jumlah lag, maka nilai correlation akan semakin menurun. Contohnya: Nilai correlation lag 1 = 0.90, lag 2 = 0.78, lag 3= 0.65 sampai dengan lag 12 = 0.01. Untuk melakukan uji hipotesis apakah koefisien autocorrelation lag tertentu secara signifikan berbeda dengan nol, maka dapat di notasikan sebagai berikut: Ho: ρ1 = 0 (tidak ada autocorrelation) Ha: ρ1 ≠ 0 (ada autocorrelation) Nilai t statistik, masing – masing lag sebagaimana dapat dilihat pada diagram di atas adalah lag 1 = 6.43. Apabila kita menggunakan asumsi significance level sebesar 0.05 untuk 2 tail 0.05/2=0.025, df = 51 –1 =50, maka t tabel = ± 1.96.
10
Mengingat t hitung = 6.43 > dari t tabel = 1.96, maka Ho di tolak. Artinya koefisien korelasi lag 1, secara signifikan tidak sama dengan nol. Dengan kata lain terdapat bukti yang cukup signifikan adanya autocorrelation. Terdapatnya autocorrelation, semakin jelas apabila kita melakukan uji Durbin – Watson dengan melakukan regresi antara variabel time sebagai predictor dan variabel minas sebagai dependen variabel. Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Model Summaryb
Model 1
R R Square .643a .414
Adjusted R Square .402
Std. Error of the Estimate 1.6848
Durbin-W atson .341
a. Predictors: (Constant), TIME b. Dependent Variable: MINAS
Nilai D-W sebesar 0.341 dan dengan asumsi significance level sebesar 0.05, n = 50 dan jumlah independen variabel =1, maka diperoleh nilai dL sebesar 1.50 dan dU sebesar 1.59. Selanjutnya mengingat nilai DW terletak pada 0< 0.341< 1.50 atau nilai 0< DW < nilai dl. Kesimpulannya Ho ditolak. Hal ini menunjukkan terdapat positip autocorrelation. Untuk detailnya dapat dilihat pada diagram di bawah ini: Diagram: Batas Pengujian Durbin Watson
Tolak H0 Bukti adanya positive autocorrelation
0
dL
Zone of indecision
Zone of indecision
Tolak H0 Bukti adanya negative autocorrelation
Terima H0 atau H0* atau keduanya
dU
2
4 - dU
4 - dL
4
H0 : No Positive autocorrelation H0* : No Negative autocorrelation B
B
B
PB
P
11
Dengan cara yang sama, kita juga dapat melakukan pengujian autocorrelation untuk data time series WTI.
Autocorrelation
Autocorrelation Function for wti 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0
2
7
12
Lag
Corr
T
LBQ
Lag
Corr
T
LBQ
1
0.88
6.30
42.12
8
0.30
0.87
148.86
2
0.74
3.29
72.07
9
0.26
0.73
153.14
3 4
0.67 0.56
2.49 1.89
97.00 115.16
10 11
0.21 0.15
0.59 0.42
156.02 157.52
5
0.45
1.40
126.82
12
0.08
0.22
157.97
6
0.39
1.18
135.87
7
0.35
1.02
143.23
Partial Autocorrelation
Partial Autocorrelation Function for wti 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0
2
7
Lag
PAC
1
T
Lag
PAC
8
12
T
0.88
6.30
0.07
0.50
2 -0.19
-1.37
9 -0.10
-0.73
3 0.28 4 -0.32
2.00 -2.27
10 -0.04 11 -0.07
-0.29 -0.51
12 -0.10
-0.69
5
0.09
0.65
6
0.06
0.44
7 -0.01
-0.07
12
Nilai t statistik, masing – masing lag sebagaimana dapat dilihat pada diagram di atas adalah lag 1 = 6.30. Apabila kita menggunakan asumsi significance level sebesar 0.05 untuk 2 tail 0.05/2=0.025, df = 50 – 1 =49, maka t tabel = ± 1.96. Mengingat t hitung = 6.30 > dari t tabel = 1.96, maka Ho di tolak. Artinya koefisien korelasi lag 1, secara signifikan tidak sama dengan nol. Dengan kata lain terdapat bukti yang cukup signifikan adanya autocorrelation. Agar kita dapat lebih yakin, terdapatnya autocorrelation pada data time series WTI, maka dapat dilakukan pengujian Durbin – Watson, hasilnya diperoleh: Model Summaryb
Model 1
R R Square .717a .514
Adjusted R Square .504
Std. Error of the Estimate 1.8425
Durbin-W atson .471
a. Predictors: (Constant), TIME b. Dependent Variable: WTI
Nilai D-W sebesar 0.471 dan dengan asumsi significance level sebesar 0.05, n = 50 dan jumlah independen variabel =1, maka diperoleh nilai dL sebesar 1.50 dan dU sebesar 1.59. Selanjutnya mengingat nilai DW terletak pada 0< 0.471< 1.50 atau nilai 0< DW < nilai dL. Kesimpulannya Ho ditolak. Hal ini menunjukkan terdapat positip autocorrelation. Analisis Stationary dalam time series Ciri – ciri stationary dalam time series apabila nilai rata – rata (mean) dan variance selalu constant untuk setiap periode. Data time series yang tidak memiliki trend disebut dengan stationary. Sebaliknya data time series yang memiliki trend, disebut dengan nonstationary. Indikasi terdapatnya nonstationary pada data time series ditunjukkan dengan semakin menurunnya koefisien autocorrelation mendekati nol setelah lag 2 atau lag 3. Contoh pada data minas tersebut di atas, nilai koefisien autocorrelation lag 1=0.90, lag 2 = 0.78, lag 3 = 0.65, lag 4 = 0.50. lag 5 = 0.38 begitu seterusnya sampai mendekati nol. Artinya pada data time series ini terdapat trend.
13
Untuk sifat data time series nonstationary, trend harus dihilangkan terlebih dahulu misalnya dengan menggunakan metode differencing. Metode differencing, bertujuan untuk menghilangkan trend dari data time series yang nonstationary, atau dapat juga digunakan metode Box – Jenkins. Cara melakukan differencing Tabel berikut ini adalah hasil differencing dengan menggunakan Minitab dari data minas, yaitu dengan melakukan Y lagged 1 period ( Yt −1 ) dari data awal Yt Stat>time series>differences
Setelah kita klik OK hasilnya adalah:
14
Pada kolom C4, baris ke 2, nilai difference lag 1 = 0.12, diperoleh dari 17.56 – 17.44. Baris ke 3, nilai difference = -0.55, diperoleh dari 17.01 – 17.56, begitu seterusnya.
15
Diagram first difference data minas
3 2
d(minas)
1 0 -1 -2 -3 Index
10
20
30
40
50
Setelah dilakukan first difference untuk membebaskan pengaruh trend, kemudian data first difference tersebut di analisis dengan menggunakan metode autocorrelation (AC) dan partial autocorrelation (PAC), hasil nya dapat dilihat pada diagram di bawah ini:
16
Autocorrelation
Autocorrelation Function for d(minas) 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0
2
7
Lag
Corr
12
T
LBQ
Lag
Corr
T
LBQ
1
0.12
0.88
0.81
8
-0.01
-0.04
8.98
2
-0.01
-0.09
0.82
9
0.18
1.08
10.93
3 4
0.14 -0.12
0.98 -0.84
1.92 2.78
10 11
0.05 0.04
0.28 0.22
11.07 11.16
5
-0.28
-1.90
7.39
12
0.05
0.33
11.36
6
-0.14
-0.88
8.54
7
-0.08
-0.53
8.98
Partial Autocorrelation
Partial Autocorrelation Function for d(minas) 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0
2
7
Lag
PAC
1
12
T
Lag
PAC
T 0.53
0.12
0.88
8
0.08
2 -0.03
-0.20
9
0.17
1.17
3 0.15 4 -0.17
1.05 -1.18
10 -0.07 11 -0.06
-0.47 -0.40
5 -0.25
-1.76
12 -0.06
-0.39
6 -0.12
-0.82
7 -0.03
-0.24
17
Model Autoregressive Cara mengatasi masalah autocorrelation atau serial correlation antara lain dengan menggunakan model autoregressive. Model ini dapat melakukan forecasting dengan menggunakan fungsi dari nilai sebelumnya ( Yt −1 ) sebagai predictor, sehingga modelnya dapat ditulis sebagai berikut: ) Yt = bo + Yt −1
Untuk data minas dan WTI tersebut di atas, dapat digunakan model autoregressive dengan menggunakan Minitab caranya adalah sebagai berikut: Stat > Regression > Regression Setelah muncul kotak dialog regression, ketik: Response : minas Predictors: Yt −1 - Klik OK Data yang digunakan adalah data menggunakan Yt − 1 sebagai predictor: time_1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
minas 17.44 17.56 17.01 17.13 16.07 14.5 15.04 15.2 14.46 15.04 15.76 16.58 17.56 17.63 16.38 16.35 16.42 16.27 17.17
yt-1 * 17.44 17.56 17.01 17.13 16.07 14.5 15.04 15.2 14.46 15.04 15.76 16.58 17.56 17.63 16.38 16.35 16.42 16.27
18
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
18.16 18.2 18.41 18.5 17.42 16.21 16.48 16.58 16.38 16.96 16.34 19.35 18.87 19.19 19.33 18.94 19.28 19.71 19.49 21.02 23.12 22.6 23.11 24.13 21.36 19.24 18.28 18.77 17.77 17.56 17.9 17.67
17.17 18.16 18.2 18.41 18.5 17.42 16.21 16.48 16.58 16.38 16.96 16.34 19.35 18.87 19.19 19.33 18.94 19.28 19.71 19.49 21.02 23.12 22.6 23.11 24.13 21.36 19.24 18.28 18.77 17.77 17.56 17.9
Hasilnya adalah sebagai berikut: Persamaan regresinya menjadi:
Y = 1.79 + 0.901 Yt-1 Predictor Constant yt-1
Coef 1.791 0.90058
SE Coef 1.133 0.06261
T 1.58 14.38
P 0.121 0.000
19
S = 0.9641
R-Sq = 81.2%
R-Sq(adj) = 80.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 48 49
Unusual Observations Obs yt-1 minas 31 16.3 19.350 40 21.0 23.120 41 23.1 22.600 43 23.1 24.130 44 24.1 21.360
SS 192.32 44.62 236.93 Fit 16.506 20.721 22.612 22.603 23.522
MS F P 192.32 206.89 0.000 0.93
SE Fit Residual 0.170 2.844 0.235 2.399 0.350 -0.012 0.350 1.527 0.409 -2.162
St Resid 3.00R 2.57R -0.01 X 1.70 X -2.48RX
R denotes an observation with a large standardized residual X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 1.67 Analisis Nilai Durbin – Watson Statistic Berdasarkan model autoregressive tersebut di atas, diperoleh nilai DurbinWatson statistic sebesar 1.67. Apabila nilai ini diuji menggunakan Tabel D-W dan asumsi alpha sebesar 5% dengan jumlah sampel sebanyak 50 bulan, serta satu variabel independen, maka berdasarkan Tabel D-W akan diperoleh nilai critis (critical value) dL dan dU sebesar: dL = 1.50 dan dU = 1.59 Positive Negative autocorrelation autocorrelation
0
dL
Inconclusive
dU
No evidence of autocorrelation
2
4-dU
Inconclusive
4-dL
4
20
Berdasarkan kriteria tersebut di atas, nilai D-W = 1.67 berada pada daerah positive autocorrelation. Artinya dalam data time series minas yang kita miliki, setelah dilakukan autoregressive tidak lagi mengandung autocorrelation. Namun demikian, dalam model autoregressive pengujian D – W dengan cara tersebut di atas, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan. Untuk itu disarankan menggunakan pengujian Uji Durbin h . Yaitu pengujian autocorrelation derajat pertama (first order autocorrelation) dalam model autoregressive. Pengujian ini disebut dengan statistik h , rumusnya adalah:
h=ρ
n 1 − n. var(β 2 )
dimana, n = besarnya ukuran sampel var(β 2 ) = varian koefisien dari lag Yt −1 . Dihitung dari standard error koefisien
β 2 pangkat 2. ρ = taksiran koefisien autocorrelation derajat pertama, dari persamaan p =
Selanjutnya,
untuk
mempermudah
mengetahui
nilai
ρ,
∑e e ∑e
Gujarati d menyarankan menggunakan rumus d ≈ 2(1 − ρ ) . Sehingga p = 1 − 2
t t −1 2
t
(1999:388)
untuk kasus di atas, nilai ρ dapat diketahui yaitu: p = 1−
1.67 = 0.165 2
Setelah nilai ρ diketahui, kita dapat menghitung nilai h yaitu:
h = 0.165
50 1 − 50(var β 2 )
var(β 2 ) = 0.062612 = 0.00392
21
jadi, h = 0.165
50 1 − 50(0.00392)
h = 0.165
50 0.804
h = 0.165
62.1890547
h = 1.301
Dengan menggunakan two tails 0.05/2=0.025. Nilai Ho harus berada pada – 1.96 sampai dengan + 1.96. Mengingat h (1.301) < 1.96, maka ho tidak dapat ditolak dengan menggunakan level of significance sebesar 5% (2 tail). Artinya tidak terdapat autocorrelation. Residuals vs Fits for minas Residuals Versus the Order of the Data (response is minas) 6 5 4
Residual
3 2 1 0 -1 -2 -3 10
20
30
40
50
Observation Order
22
Simpulan dan Rekomendasi Penggunaan error correction model (ECM) dengan menggunakan data series MINAS dan WTI yang dibahas dalam kasus ini memiliki asumsi bahwa perubahan yang terjadi pada spot price MINAS dimasa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh spot price WTI. Berdasarkan berbagai pengujian yang telah dilakukan di atas, data series MINAS maupun WTI memiliki sifat non – stationary dan kedua data series tersebut bersifat cointegrated. Kasus ini juga membahas kelemahan – kelemahan penggunaan error correction model dalam melakukan forecasting antara lain ECM tidak standar. Hal ini terbukti tidak adanya tabel critical value yang digunakan untuk pengujian ECM. Namun demikian, apabila model ECM ini digunakan secara hati – hati, maka ECM akan memiliki keunggulan, karena model ini dapat mengakomodasi informasi baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang dalam satu model. Terdapatnya error correction term (cointegration vector) dalam suatu model dapat memperbaiki semua penyimpangan yang akan terjadi menjadi suatu keseimbangan di masa yang akan datang. Kehati-hatian terhadap analisis data time series disebabkan karena, data ini pada umumnya bersifat nonstationary akibat terjadinya proses eksternal stochastic yang berubah terus setiap saat sehingga terjadi perubahan hubungan secara structural. Karenanya kita tidak dapat menggunakan metode regresi untuk membuat forecasting. Untuk memudahkan forecasting, sebaiknya data time series yang bersifat nonstationary ditransform kedalam bentuk stationary. Apabila residual dari suatu data time series memiliki autocorrelation, maka sebaiknya tidak digunakan fitted least square model untuk melakukan forecasting. Sebab, pada saat itu independen error dari suatu regresi akan menjadi berfluktuasi. Kejadian ini akan mengakibatkan akan terjadi kesalahan (error) yang semakin besar, melebihi error yang diharapkan. Untuk mengatasi masalah ini disarankan menggunakan model time series dengan menggunakan autoregressive error, rumusnya adalah sebagai berikut: yt = E ( yt ) + Rt
dimana, E ( yt ) adalah komponen deterministic Rt adalah komponen residual
23
Dalam analisis time series, Rt diasumsikan berautocorrelation, sehingga model yang dapat dipakai adalah model first – order autoregressive, rumusnya adalah: Rt = φRt −1 + ε t
dimana, φ (phi) adalah koefisien yang konstan. Nilainya antara –1 sampai dengan 1. Sedangkan ε adalah random error yang nilainya 0, constant variance berdistribusi normal dan independen. Model ini mencerminkan bahwa nilai Rt adalah berautocorrelasi dengan constant φ (sebagai koefisien korelasi). Apabila φ positip, maka residual menunjukkan positip autocorrelation. Sedangkan apabila φ negatif, maka residual menunjukkan negatif autocorrelation. Apabila φ =0, maka residual tidak berkorelasi (uncorrelated). Semakin φ mendekati 1 atau –1, maka semakin kuat adanya autocorrelation (baik autocorrelation positip atau negatif). Cara yang paling baik dalam melakukan forecasing adalah perlu dilakukan analisis pola data time series misalnya dengan melakukan pengujian autocorrelation, baik menggunakan koefisien autocorrelation dan partial autocorrelation, pengujian Durbin – Watson, analisis stationary, melakukan differencing (apabila terdapat kecenderungan trend) dan sebagainya. Salah satu metode yang paling baik di dalam memecahkan masalah autocorrelation adalah dengan menggunakan model autoregressive. Untuk menghindari terjadinya kesalahan sebaiknya dalam pengujiannya digunakan uji Durbin – Watson h , yaitu pengujian autocorrelation derajat pertama (first order autocorrelation). Daftar Pustaka Charles Hallahan, 1999, Point and Click Forecasting with the Time Series Forecasting System, Washington DC: USDA. Clements Michael P, 2000, Review of Forecasting Non – Stationary Economic Time Series, Cambridge, MA: The MIT Press. Dale G. Bails dan Larry C. Peppers, 1993, Business Fluctuations: Forecasting Techniques and Aplications, Second Edition, New Jersey: Prentice Hall International Edition.
24
Godbout Marie Josee dan Simon Van Norden, 1996, Unit Root Tests and Excess Returns, Canada: Research Department Bank of Canada. Gujarati Damodar, 1999, Essentials of Econometrics, Second Edition, Singapore: McGraw – Hill International Editions. Hanke John E dan Arthur G Reitsch, 1998, Business Forecasting, Sixth Edition, New Jersey: Prentice – Hall, Inc. Mantalos, P and Shukur, G, 1998. Size and Power of the Error Correction Model Cointegration Test, a Bootstrap Approach, Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 60, 249 – 255. Niklas Ahlgren, 2000, Bootstrapping the Error Correction Model Cointegration Test, Finland: Swedish school of economics and business administration. Nuzulul Haq, 2001, An Error Correction Model for Forecasting Changes in MINAS Spot Price and Its Application in Cross Hedging Strategy on Futures Contract, Usahawan, No. 11. Tahun XXX Nopember 2001, 15 – 23. Oyvind Eitrheim, 1998, Error Correction Versus Differencing in Macro Econometric Forecasting, Norway: University of Oslo. Pindyck Robert S dan Rubinfeld Daniel L, 1998, Econometric Model and Economic Forecast, Fourt Edition, Singapore: McGraw – Hill International Editions. Wright Jonathan H, 1999, A Simple Approach to Robust Inference in a Cointegrating System, Board of Gov’ of the Federal Reserve System.
25