EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN COINTEGRATION ..………………………………...(Sri Fatmawati dan Algifari)
EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN CO-INTEGRATION DAN ERROR CORRECTION MODEL (ECM) Sri Fatmawati Algifari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta Jalan Seturan, Yogyakarta, 55281 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The aim of this research is to examine the existence of Fisher Effect for Indonesian Economy, by regressing interest rate on rate of inflation in period 1980-2011. With co-integration and error correction technique, the results indicate that an increases of one percent in inflation rate lead to increase in interest rate at 0,13 percent in short-run and at 0,95 percent in longrun. This research can’t confirm the existence of Fisher Effect in Indonesian Economy in short-run, but this effect exists in long-run. Keywords: Fisher Effect, Interest Rate, Inflation Rate, Co-integration, Error Correction Model
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji keberadaan efek Fisher pada perekonomian Indonesia, dengan melakukan regresi laju inflasi terhadap suku bunga pada tahun periode 1980-2011. Dengan menggunakan teknik co-integration dan error correction, hasil penelitian membuktikan bahwa kenaikan satu persen laju inflasi mengakibatkan kenaikan suku bunga sebesar 0,13 persen dalam jangka pendek dan kenaikan suku bunga sebesar 0,95 persen dalam jangka panjang. Riset ini tidak dapat mengkonfirmasi keberadaan efek Fisher pada perekonomian Indonesia dalam jangka pendek, tetapi efek Fisher tersebut terbukti keberadaannya pada perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Kata Kunci: Efek Fisher, Tingkat Bunga, Laju Inflasi, Ko-integrasi, Model Koreksi Kesalahan
PENDAHULUAN Laju inflasi dan tingkat bunga merupakan dua indikator ekonomi makro yang penting dalam perekonomian.Laju inflasi merupakan gambaran pergerakan harga barang
dan jasa secara umum dalam satu periode.Harga yang membumbung tinggi tergambar dalam inflasi yang tinggi, sedangkan harga yang relatif stabil tergambar dalam angka inflasi yang rendah.
51
JRMB, Volume 9, No.1 Juni 2014
Laju inflasi yang tinggi dan tidak terkendali dapat berdampak negatif bagi perekonomian. Dalam periode laju inflasi tinggi akan menganggu upaya perbankan dalam pengerahan dana masyarakat. Laju inflasi yang tinggi menyebabkan tingkat suku bunga riil menjadi turun. Fakta demikian akan mengurangi hasrat masyarakat untuk menabung sehingga pertumbuhan dana perbankan yang bersumber dari masyarakat akan menurun. Di samping itu, suku bunga riil yang relatif rendah dibandingkan dengan suku bunga riil di luar negeri dapat menimbulkan pengaliran modal ke luar negeri. Inflasi yang sangat tinggi (hyperinflation) akan menimbulkan ketidakpastian dalam berusaha sehingga akan mengganggu kegiatan operasional perbankan seperti penyusunan anggaran belanja dan perencanaan kredit yang akan mempengaruhi keadaan keuangan bank. Keterkaitan antara tingginya laju inflasi dengan pengerahan dana perbankan dapat digambarkan dengan perkembangan yang terjadi pada tahun 1960-an. Seperti diketahui, laju inflasi pada tahun 1966 mencapai tingkat yang sangat tinggi yakni 650%, yang terutama bersumber dari pengeluaran pemerintah yang cukup besar dibiayai oleh bank sentral. Laju inflasi juga dapat berdampak buruk terhadap kesejahteraan sebagian masyarakat, terutama bagi rumah tangga (penduduk) yang berpenghasilan tetap. Jika terjadi inflasi (kenaikan harga), penghasilan riil akan turun dan mengakibatkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup akan menurun. Harga-harga yang tidak stabil akan dapat menciptakan suatu lingkungan yang tidak stabil bagi pengambil keputusan ekonomi. Jika konsumen memperkirakan laju inflasi di masa akan datang lebih tinggi, maka akan mendorong mereka untuk melakukan pembelian barang dan jasa secara besar-besaran di saat sekarang daripada menunggu ketika harga sudah 52
meningkat lagi. Begitu pula halnya dengan pihak perbankan atau lembaga peminjaman lainnya. Jika mereka menduga bahwa tingkat inflasi akan naik di masa mendatang, mereka akan mengenakan tingkat bunga yang tinggi atas pinjaman yang diberikan sebagai langkah proteksi dalam menghadapi penurunan pendapatan riil dan kekayaan (losses of real income and wealth) (Bradley, 1985). Terkait dengan dampak atau akibat inflasi ini, McKinnon (1973) mengemukakan bahwa inflasi cenderung memperendah tingkat bunga riil, menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan di pasar modal. Hal ini akan menyebabkan penawaran dana untuk investasi menurun dan akibatnya investasi sektor swasta tertekan sampai ke bawah tingkat keseimbangan yang disebabkan karena terbatasnya penawaran dana yang dapat dipinjamkan (loanable funds). Oleh karena itu, selama inflasi berpengaruh ke arah tingkat bunga riil yang rendah serta terjadi ketidakseimbangan di pasar modal, maka inflasi berdampak buruk terhadap penurunan investasi dan juga pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga-harga (inflasi) dapat terjadi melalui tiga sebab, yaitu kenaikan/ dorongan biaya (cost-push), kenaikan/ tarikan permintaan (demand-pull) dan kekakuan struktural (structural inflation) (Nanga, 2001). Jika terjadi kenaikan biaya produksi yang pesat melebihi produktifitas dan efisiensi maka perusahaan akan mengurangi supply barang dan jasa mereka ke pasar. Kenaikan harga bahan bakar minyak dan kenaikan tarif listrik merupakan contoh peristiwa yang dapat meningkatkan biaya produksi. Inflasi tarikan permintaan dapat terjadi karena permintaan agregat yang terlalu besar dibandingkan dengan penawaran atau produksi agregat. Barang-barang menjadi berkurang karena pemanfaatan sumber daya yang telah mencapai tingkat maksimum. Kenaikan gaji pegawai negeri
EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN COINTEGRATION ..………………………………...(Sri Fatmawati dan Algifari)
merupakan contoh peristiwa yang dapat meningkatkan permintaan (daya beli) agregat. Jika penawaran tidak dapat mengimbangi kenaikan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa maka hargaharga akan naik. Tingkat bunga merupakan variabel makro ekonomi yang dapat menjelaskan adanya keterkaitan antara pasar barang (sektor riil) dengan pasar uang (sektor moneter). Pada pasar barang, tingkat bunga memiliki pengaruh terhadap investasi perusahaan. Tingkat bunga yang tinggi mencerminkan adanya biaya meminjam yang tinggi dan berakibat menurunnya minat perusahaan untuk meminjam uang dengan tujuan untuk investasi. Dengan kata lain, jika terjadi kenaikan tingkat bunga maka minat perusahaan untuk berinvestasi akan berkurang. Sedangkan di pasar uang, tingkat bunga memiliki pengaruh terhadap permintaan uang kas oleh masyarakat. Tingkat bunga yang tinggi menyebabkan permintaan uang kas rendah, sebaliknya tingkat bunga yang rendah menyebabkan permintaan uang kas oleh masyarakat adalah tinggi. Perkembangan tingkat bunga yang tidak wajar secara langsung dapat mengganggu perkembangan perbankan. Suku bunga yang tinggi di satu sisi dapat meningkatkan keinginan masyarakat untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan bertambah. Sementara itu, di sisi lain suku bunga yang tinggi berakibat penurunan kegiatan produksi di dalam negeri. Hal ini berakibat munculnya masalah tentang kemana dana tersebut akan disalurkan. Di pihak perbankan, dengan tingginya tingkat bunga, bank mampu menghimpun dana untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada dunia usaha. Sebaliknya jika terjadi penurunan tingkat bunga, yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga luar negeri, akan menurunkan keinginan masyarakat untuk menabung dan mendorong
pengalihan dana ke luar negeri. Sehingga bank akan kesulitan dalam menghimpun dana. Namun di lain pihak kondisi ini dapat memicu kegiatan produksi dan investasi sebagai akibat rendahnya biaya kredit bagi perusahaan. Dengan demikian, untuk mengatasi permasalahan tersebut, kebijakan moneter harus dapat mengatur sedemikian rupa agar suku bunga dapat dijaga pada tingkat yang ideal sehingga masih cukup menarik bagi masyarakat untuk menyimpan dananya di bank dan tidak memberatkan dunia usaha. Juga suku bunga harus berada pada tingkat yang kompetitif dibandingkan suku bunga di luar negeri. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa laju inflasi dan tingkat bunga merupakan indikator makro penting dalam suatu perekonomian. Seberapa besar eksistensi tingkat inflasi berpengaruh terhadap tingkat bunga? Keterkaitan antara tingkat bunga dengan laju inflasi dirumuskan oleh Fisher yang disebut dengan istilah efek Fisher (Fisher Effect). Efek Fisher menyatakan bahwa jika terjadi kenaikan satu persen tingkat inflasi yang diharapkan maka suku bunga nominal akan meningkat satu persen juga. Apakah pengaruh tingkat inflasi terhadap tingkat bunga di Indonesia sejalan dengan efek Fisher tersebut? Mengingat tingginya tingkat inflasi disertai dengan tingkat bunga dapat menimbulkan masalah makro bagi pemerintah maupun pengambil kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adanya efek Fisher pada perekonomian Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan Co-Integration dan Error Correction Model. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adanya Efek Fisher pada perekonomian Indonesia. Efek Fisher menyatakan bahwa terdapat hubungan pengaruh antara tingkat 53
JRMB, Volume 9, No.1 Juni 2014
bunga dengan laju inflasi. Kenaikan satu persen laju inflasi menyebabkan kenaikan tingkat suku bunga sebesar satu persen. Untuk membuktikan adanya Efek Fisher pada perekonomian Indonesia digunakan model regresi dengan tingkat bunga sebagai variabel dependen dan laju inflasi, jumlah uang beredar, dan defisit anggaran belanja pemerintah sebagai variabel independen. Inflasi berpengaruh terhadap tingkat bunga. Almelia dan Utomo (2006) melakukan penelitian tentang pengaruh laju inflasi terhadap tingkat bunga deposito di Indonesia menggunakan data triwulanan periode tahun 1999-2003. Hasil penelitian tersebut memperoleh bukti empiris bahwa laju inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat bunga deposito. Hasil penelitian Kandel et. al. (1996) menunjukkan adanya hubungan positif antara laju inflasi dan tingkat bunga nominal. Berument dan Malatyali (1999) menganalisis tentang perilaku tingkat bunga terkait dengan kerangka hipotesis Fisher di negara Turki. Penelitian tersebut memperoleh bukti empiris perubahan inflasi yang diharapkan dapat memicu peningkatan tingkat bunga. Setelah mempertimbangkan faktor resiko, hasil analisis menyatakan bahwa terjadi penurunan tingkat bunga sebagai akibat semakin tingginya tingkat inflasi. Studi Fahmy dan Kandil (2003) tidak mendukung adanya efek Fisher dalam jangka pendek karena besarnya inflasi yang diharapkan tidak berpengaruh terhadap tingkat bunga jangka pendek. Di sisi lain, korelasi antara kedua variabel makro ini ternyata sangat tinggi jika dianalisis dalam jangka panjang. Pelaez (1995) melakukan analisis co-integration terhadap data tingkat inflasi kuartalan dan tingkat inflasi yang diharapkan, yang dikaji dari tingkat bunga treasury bill tiga bulanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua variabel, tingkat inflasi dan 54
tingkat bunga, adalah bersifat cointegration. Kolluri dan Ganti (1982) menggunakan beberapa metodologi pendekatan untuk data di USA pada tahun 1953-1978. Mereka menyimpulkan bahwa pada kurun waktu tersebut, terdapat hubungan yang kuat antara tingkat bunga nominal dengan tingkat inflasi yang diharapkan. Sebaliknya, korelasi ini adalah lemah saat menggunakan periode waktu tahun 1953-1960. Coppock dan Poitras (2000) melakukan pengkajian tentang adanya efek Fisher di Brazil dan Peru. Hasil penelitian mereka tidak sepenuhnya mendukung keberadaan hipotesis (efek) Fisher. Setelah mempertimbangkan faktor resiko, mereka berkesimpulan bahwa tingkat bunga tidaklah selalu berubah akibat adanya perubahan inflasi. Choudry et. al. (1991) menyatakan bahwa Efek Fisher adalah demikian besar dengan memantau perkembangan ekonomi di awal tahun 1980-an. Mitchell-Innes (2008) melakukan pengkajian apakah Efek Fisher terjadi di masa periode inflation targeting di Afrika Selatan tahun 2000-2005. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam jangka pendek efek Fisher tidak menunjukkan eksistensinya selama periode inflation targeting. Peneliti beranggapan terdapat ketidakefektifan kebijakan yang ditetapkan oleh bank sentral Afrika Selatan (SARB) dalam pengendalian tingkat bunga jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, efek ini secara parsial memiliki pengaruh. Beberapa hasil penelitian lainya adalah oleh Lee (2007), Fama dan Gibson (1982), Hizing dan Mishkin (1986), dan Kandel et.al. (1996) menemukan adanya efek Fisher secara parsial antara tingkat inflasi dan tingkat bunga namun tidaklah berbasis one-for-one analysis. Panpoulou (2005) menggunakan 14 negara OECD utntuk meneliti efek Fisher tersebut dan menemukan bahwa efek ini ada antara tingkat bunga dan inflasi dengan berbasis one-to-one. Westerlund (2008)
EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN COINTEGRATION ..………………………………...(Sri Fatmawati dan Algifari)
menggunakan data panel co-integration untuk menguji adanya efek Fisher di beberapa negara OECD. Hasil penelitian adanya pengaruh efek tersebut dalam analisisnya. Johnson (2005) menyimpulkan bahwa antara tingkat inflasi dan tingkat bunga adalah bersifat co-integrated walaupun efek Fisher tidaklah sepenuhnya memiliki pengaruh. Lungu (1998) menggunakan model error-correction untuk mendeteksi pengaruh efek Fisher di negara Inggris. Analisis akhir menunjukkan bahwa efek tersebut terjadi dalam jangka panjang. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini merumuskan hipotesis pertama tentang pengaruh laju inflasi terhadap tingkat bunga adalah sebagai berikut: H1: Laju inflasi berpengaruh positif terhadap tingkat bunga Jumlah uang beredar di masyarakat berpengaruh terhadap tingkat bunga. Hasil penelitian Noegroho (2002) tentang pengaruh jumlah uang beredar terhadap tingkat bungan deposito di Indonesia menggunakan data dalam periode tahun 1999-2001 menunjukkan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat bunga deposito. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Almelia dan Utomo (2006) tentang pengaruh jumlah uang beredar terhadap tingkat bunga deposito di Indonesia menggunakan data triwulanan periode tahun 1999-2003. Penelitian tersebut berhasil memperoleh bukti empiris bahwa jumlah uang beredar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat bunga deposito. Penelitian yang dilakukan oleh Noviari (2008) tentang pengaruh jumlah uang beredar terhadap tingkat bunga tabungan menggunakan data bulanan dalam periode tahun 2003-2007 menghasilkan bukti empiris bahwa jumlah yang beredar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat bunga tabungan.
Obi et. al. (2009) meneliti tentang efek Fisher pada perekonomian Nigeria menggunakan data dalam periode waktu 1970-2007. Salah satu variabel yang diduga berpengaruh terhadap tingkat bunga adalah jumlah uang beredar. Hasil penelitian tersebut memperoleh bukti empiris bahwa jumlah uang beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat bunga. Berdasarkan uraian di atas dirumuskan hipotesis kedua penelitian ini tentang pengaruh jumlah uang beredar terhadap tingkat bunga adalah sebagai berikut: H2: Jumlah uang beredar berpengaruh negatif terhadap tingkat bunga Pengelolaan anggaran pemerintah yang diselenggarakan di banyak negara maju maupun di negara sedang berkembang adalah dengan menerapkan kebijakan anggaran belanja defisit. Kebijakan anggaran defisit artinya pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaan pemerintah. Menurut Hyman (2005) defisit anggaran pemerintah adalah kelebihan pengeluaran pemerintah dari penerimaan pemerintah dari pajak, fee, dan pungutan retribusi yang diperoleh pemerintah. Besarnya defisit ditentukan dalam persentase terhadap Produksi Domestik Bruto pada tahun anggaran yang bersangkutan. Dengan menggunakan cara tersebut dapat diperoleh gambaran beban utang yang dimiliki pemerintah terhadap pendapatan nasional. Pandangan konvensional tentang pengaruh defisit anggaran belanja pemerintah menyatakan bahwa jika pemerintah menutupi defisit anggaran belanjanya melalui penerbitan surat utang, maka akan berdampak terhadap kenaikan tingkat bunga. Kebutuhan dana oleh pemerintah untuk menutupi defisit anggaran belanja pe-merintah menyebabkan permintaan terha-dap dana (uang) di masyarakat meningkat. Tingkat bunga merupakan 55
JRMB, Volume 9, No.1 Juni 2014
biaya (harga) meminjam dana. Jika permintaan dana di masyarakat meningkat, maka akan terjadi kenaikan tingkat bunga (Kunarjo, 2001). Hasil penelitian Maryatmo (2004) menunjukkan bahwa kebijakan defisit anggaran pemerintah yang bersifat ekspansif dapat menaikkan tingkat bunga. Burney dan Yasmeen (1998) dalam penelitiannya tentang pengaruh defisit anggaran belanja pemerintah terhadap tingkat bunga menemukan bukti empiris bahwa defisit anggaran belanja pemerintah yang dibiayai melalui pinjaman pada sistem perbankan nasional berdampak positif dan signifikan terhadap tingkat bunga nominal. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian lain, seperti Cebula (1998), Hoelscher (1986), dan Khan (1988) dalam penelitian mereka yang juga menemukan bukti empiris keterkaitan defi-sit anggaran belanja pemerintah dengan tingkat bunga yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas dirumuskan hipotesis ketiga penelitian ini tentang pengaruh defisit anggaran belanja pemerintah terhadap tingkat bunga adalah sebagai berikut: H3: Defisit anggaran belanja pemerintah berpengaruh positif terhadap tingkat bunga METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data tingkat bunga, laju inflasi, jumlah uang beredar, dan defisit anggaran belanja pemerintah tahun 1980-2011. Data tingkat bunga yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat bunga investasi yang dihitung dari nilai rata-ratanya dalam satu tahun. Laju inflasi dihitung dari persentase perubahan indeks harga konsumen. Jumlah uang beredar yang digunakan adalah jumlah uang beredar dalam arti sempit, yaitu penjumlahan antara uang kartal dan uang giral. Defisit anggaran belanja pemerintah adahah persentase defisit anggaran belanja 56
pemerintah terhadap produksi domestik bruto. Data tentang tingkat bunga, laju inflasi, jumlah uang beredar, dan defisit anggaran belanja pemerintah bersumber dari Statistik Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik, Laporan Bank Indonesia, dan Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan Tahun 1980-2011. Model hubungan fungsional antara tingkat bunga dengan faktor-faktor yang diduga mempengaruhinya kemudian ditransformasi ke dalam bentuk ekonometrika seperti pada persamaan (1) berikut: TBt = β0 + β1INFt + β 2JUBt + β 3DEFt + ............................................ (1) TBt adalah tingkat bunga pada tahun t, β0 adalah konstanta dan β1adalah koefisien regresi laju inflasi pada tahun t (INFt), β2 adalah koefisien regresi jumlah uang beredar pada tahun t (JUBt), β 3 adalah koefisien regresi defisit anggaran belanja pemerintah pada tahun t (DEFt), dan ε adalah error terms. Data observasi diolah untuk memperoleh persamaan regresi estimasi menggunakan model ordinary least square (OLS). Tingkat Bunga (TB) sebagai variabel dependen, sedangkan laju inflasi (INF), jumlah uang beredar (JUB), dan Defisit anggaran belanja pemerintah (DEF) sebagai variabel independen seperti pada persamaan (2) berikut ini: = b0 + b1INFt + b2JUBt + b3DEFt + ............................................ (2) di mana adalah estimasi tingkat bunga pada tahun t, 0 adalah konstanta, dan 1, 2, 3: koefisien regresi estimasi INFt , JUBt, DEFt, dan : residual.
EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN COINTEGRATION ..………………………………...(Sri Fatmawati dan Algifari)
Penelitian ini menggunakan data time series tahun 1980-2011. Data time series yang digunakan dalam penelitian dapat bersifat stasioner dan tidak stasioner. Model estimsi yang baik adalah model regresi estimasi yang baik adalah model regresi estimasi yang diperoleh dari data yang bersifat stasioner. Model regresi estimasi yang diperoleh dari data yang tidak stasioner dapat menghasilkan model regresi estimasi lancung (spurious regression). Model regresi lancung biasanya ditandai dengan terpenuhinya persyaratan model regresi yang baik, yaitu variabel independen yang digunakan sebagian besar signifikan secara statistk, koefisien determinasi yang tinggi, dan uji F yang signifikan secara statistik. Namun, nilai statistik Durbin-Watson rendah dan
biasanya lebih rendah daripada koefisien determinasi persamaan tersebut. (Nuchrowi dan Usman, 2006). HASIL PENELITIAN Analisis terhadap data penelitian dimulai dari uji stasioneritas, uji derajat kointegrasi, membuat model koreksi kesalahan, dan kemudian menguji asumsi klasik, yaitu uji normalitas, uji masalah multikolinearitas, uji masalah heteroskedastisitas, dan uji masalah otokorelasi. Uji stasineritas data dilakukan menggunakan uji akar-akar unit. Tabel 1 berikut ini menyajikan hasil uji akar-akar unit untuk mengetahui sifat stasioneritas data penelitian.
Tabel 1 Hasil Uji Akar-akar Unit pada Level
Variabel
δ
TB -0,561024 INF -0,881633 JUB -0,521702 DEF -0,150670 Sumber: Data diolah
Nilai Hitung t
Prob.
-3,296291 -4,782845 -3,053658 -1,185608
0,0238 0,0006 0,0409 0,6673
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa seri data tingkat bunga (TB), laju inflasi (INF), dan jumlah uang beredar (JUB) bersifat stasioner pada derajat level. Hal ini ditunjukkan oleh nilai hitung t absolut untuk koefisien regresi TBt-1 (δ) = |-3,296291| lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon absolut pada tingkat signifikasi (α) 5% = |-2,963972|, nilai hitung t absolut untuk koefisien regresi INFt-1 (δ) = |-4,782845| lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon absolut pada tingkat signifikasi (α) 5% = |2,963972|, dan nilai hitung t absolut untuk
Nilai Kritis MacKinnon 5% -2,963972 -2,963972 -2,963972 -2,963972
Kesimpulan Stasioner Stasioner Stationer Tidak Stasioner
koefisien regresi JUBt-1 (δ) = |-3,053658| lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon absolut pada tingkat signifikasi (α) 5% = |2,963972|. Namun demikian, untuk seri data defisit anggaran belanja pemerintah (DEF) bersifat tidak stasioner pada derajat level. Hal ini ditunjukkan oleh nilai hitung t absolut untuk koefisien regresi DEFt-1 (δ) = |-1,185608| lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon absolut pada tingkat signifikasi (α) 5% = |-2,963972|. Uji stasioneritas data pada derajat level menghasilkan kesimpulan bahwa tingkat bunga (TB), laju inflasi (INF), 57
JRMB, Volume 9, No.1 Juni 2014
jumlah uang beredar (JUB) pada periode penelitian bersifat stasioner. Sementara data seri untuk defisit anggaran belanja pemerintah tidak stasioner pada derajat level. Oleh karena itu pengujian dilanjut-
kan dengan melakukan uji derajat kointegrasi untuk seri data defisit anggaran pemerintah Tabel 2 berikut ini disajikan hasil uji derajat integrasi.
Tabel 2 Hasil Uji Akar-akar Unit pada First Difference
Variabel
δ
Nilai Hitung t
DEF
-1,378296
-7,756403
Prob.
Nilai Kritis MacKinnon 5%
Kesimpulan
0,0000
-2,963972
Statsioner
Sumber: Data diolah Nilai statistik untuk uji derajat disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan nilai statistik tersebut dapat disimpulkan bahwa seri data variabel defisit anggaran pemerintah (DEF) bersifat stasioner pada derajat satu (first difference). Ini ditunjukkan oleh nilai hitung t absolut untuk koefisien regresi DEFt-1 (δ) = |7,756403| lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon absolut pada tingkat signifikasi (α) 5% = |-2,963972|. Demikian juga dengan nilai probabilitas (Prob.) variabel DEF = 0,0000 lebih kecil daripada α = 5%. Hasil stasioneritas terhadap seri data semua variabel yang diamati dan terbukti bahwa tingkat bunga (TB), laju inflasi (INF), dan jumlah uang beredar (JUB) stasioner pada derajat level, sedangkan seri data untuk variabel DEF stasioner pada derajat satu (first difference). Data penelitian yang tidak stasioner pada derajat yang sama menunjukkan bahwa model estimasi yang
58
dihasilkan bukanlah model estimasi yang baik. Untuk keperluan analisis perlu dilakukan pengujian terhadap kemungkinan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang dari variabel yang diamati. Untuk melakukan pengujian terhadap keseimbangan jangka panjang dilakukan melalui uji kointegrasi. Uji kointegrasi dilakukan dengan cara menguji stasioneritas residual. Jika residual dari suatu model regresi estimasi bersifat stasioner menunjukkan bahwa model regresi tersebut merupakan model regresi jangka panjang, yaitu suatu model yang menggambarkan keterkaitan (kointegrasi) antara tingkat bunga (TB), laju inflasi (INF), dan jumlah uang beredar (JUB) dalam jangka panjang. Pengujian stasioneritas residual model regresi estimasi menggunakan Augmented DickeyFuller Test. Tabel 3 menyajikan nilai statistik yang diperlukan untuk melakukan uji kointegrasi.
EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN COINTEGRATION ..………………………………...(Sri Fatmawati dan Algifari)
Tabel 3 Hasil Uji Akar-akar Unit Residual Level
Variabel
δ
Nilai Hitung t
Prob.
Nilai Kritis MacKinnon 5%
Kesimpulan
Resid01
-0,861069
-4,811065
0,0005
-2,960411
Statsioner
Sumber: Data diolah
Hasil perhitungan terhadap seri data residual dari model regresi estimasi diperoleh nilai hitung t absolut untuk koefisien regresi lag residual = |-4,811065| lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon absolut pada tingkat signifikasi (α) 5% = |2,960411|. Nilai probabilitas (Prob.) = 0,0005 lebih kecil daripada α = 5%. Hasil pengujian menolak hipotesis nol yang menyatakan bahwa residual model regresi estimasi memiliki akar-akar unit. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa residual model regresi estimasi bersifat stasioner. Dengan demikian model regresi estimasi yang diperoleh merupakan model keseimbangan jangka panjang. Hasil uji kointegrasi menunjukkan bahwa model regresi estimasi yang dihasilkan merupakan model regresi jangka panjang. Untuk memperoleh model keseimbangan jangka pendek diperlukan suatu koefisien yang mengoreksi parameter dalam model estimasi jangka pangjang, yaitu error correction coefficient. Koefisien koreksi kesalahan diperoleh dari
model koreksi kesalahan (error correction model/ECM). Dengan kata lain, ketidaksesuaian antara keseimbangan jangka pendek dan keseimbangan jangka panjang dikoreksi melalui mekanisme koreksi kesalahan. Jadi error correction mechanism merupakan alat untuk merekonsiliasi perilaku jangka pendek suatu variabel ekonomi dengan perilaku jangka panjangnya. (Gudjarati, 2003). Model koreksi kesalahan (ECM) yang menggambarkan hubungan pengaruh antara tingkat bunga (TB) dengan laju inflasi (INF), jumlah uang beredar (JUB), dan defisit anggaran pemerintah (DEF) digunakan persamaan berikut ini: D(TB)t = 0 + 1D(INF)t + 2D(JUB)t + D(DEF)t + 4(INF)t-1 + 5(JUB)t-1 + (DEF)t-1 + 7 ECT
3 6
Tabel 4 berikut ini disajikan ringkasan hasil perhitungan terhadap data penelitian dengan ECM.
Tabel 4 Hasil Estimasi ECM dengan Variabel Dependen: D(TB) Variabel
Coefficient
C D(INF) D(JUB) D(DEF) INF(-1)
-2,924755 0,155309 0,612713 1,191390 -0,040175
t-Statistic -0,295407 2,716391 0,907735 3,149473 -0,525993
Prob. 0,7703 0,0123 0,3734 0,0045 0,6039
Keterangan (α = 5%) Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan 59
JRMB, Volume 9, No.1 Juni 2014
Variabel
Coefficient
t-Statistic
JUB(-1) DEF(-1) ECT
0,221048 0,175440 0,946950 2 R 0,557664 2 Adj. R 0,423040 F-statistic 4,142383 Prob. F-Stat 0,004405 Sumber: Data diolah Besarnya koefisien regresi error correction term (ECT) = 0,946950 sesuai dengan yang disyaratkan, yaitu bertanda positif terletak di antara 0 dan 1. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model regresi estimasi yang dihasilkan adalah sahih, sehingga dapat dijadikan sebagai petunjuk adanya hubungan (kointegrasi) jangka panjang dan jangka pendek antara tingkat bunga (TB) dengan laju inflasi (INF), jumlah uang beredar (JUB), dan defisit anggaran pemerintah (DEF).
0,291419 0,664331 4,048627
Prob. 0,7733 0,5131 0,0005
Keterangan (α = 5%) Tidak Signifikan Tidak Signifikan Signifikan
Model kuadrat terkecil biaya yang digunakan dalam menganalisis hubungan pengaruh antarvariabel yang diamati untuk memperoleh model estimasi yang baik membutuhkan pemenuhan terhadap asumsi normalitas data, non multikolinearitas, homoskedastisitas, dan non otokorelasi. Oleh karena itu, ECM yang dihasilkan perlu dilakukan uji normalitas terhadap residual yang diperoleh dari model tersebut. Tabel 5 berikut ini disajikan hasil perhitungan uji normalitas.
Tabel 5 Hasil Uji Normalitas(Jarque-Bera Test) Skewness 0,460245 Jarque-Bera Kurtosis 3,225848 Probability Sumber: Data diolah. Nilai hitung Jarque-Bera = 1,160315 lebih kecil daripada nilai kritis χ2 (pada α = 5% dan df = 2) = 5,991. Nilai probabilitas (Probability) hasil perhitungan sebesar 0,559810 lebih besar daripada α = 5%. Hasil ini menunjukkan bahwa residual dari ECM yang diperoleh memenuhi asumsi distrbusi normal. Langkah berikutnya adalah melaku-
60
1,160315 0,559810
kan pengujian terhadap kemungkinan adanya masalah multikolinearitas. Masalah multikolineartitas muncul ketika antara variabel independen satu dengan varaibel independen yang lain memiliki korelasi linear yang kuat. Tabel 6 berikut ini menyajikan nilai statistik untuk uji multikolinearitas menggunakan auxiliary regression.
EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN COINTEGRATION ..………………………………...(Sri Fatmawati dan Algifari)
Tabel 6 Hasil Uji Akar-akar Unit pada First Difference Variabel Variabel Independen Dependen D(INF), D(JUB), D(TB) D(DEF), INFt-1, JUBt-1, DEFt-1, ECT D(JUB), D(DEF), INFtD(INF) 1, JUBt-1, DEFt-1, ECT D(INF), D(DEF), INFt-1, D(JUB) JUBt-1, EFt-1, ECT D(INF), D(JUB), INFt-1, D(DEF) JUBt-1, DEFt-1, ECT Sumber: Data diolah. Hasil perhitungan menunjukkan nilai probablitas F semua persamaan regresi auxiliary lebih kecil daripada α = 5%. Ini menunjukkan adanya masalah multikolinearitas dalam ECM. Klien’s rule of thumb menyatakan bahwa jika R2auxiliary regression lebih kecil daripada R2 total pada model regresi estimasi yang mempunyai masalah multikolinearitas, maka masalah multikolinearitas tersebut dapat diabaikan. Hasil perhitungan menunjukkan R2 regresi auxiliary2 (AUX2) dan 3 (AUX3) lebih rendah daripada R2 total = 0,557664. Namun, R2 regresi auxiliary1 (AUX1) lebih tinggi daripada R2 total. Dengan demikian masalah multikolinearitas dalam ECM tidak dapat diabaikan. Persamaan regresi estimasi yang mengandung masalah multikolinearitas mengakibatkan persamaan regresi tersebut menjadi tidak valid. Oleh karena itu perlu dilakukan pengobatan. Salah satu yang dianjurkan untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah dengan membuang salah satu variabel yang memiliki masalah
R2
Prob (F statistic)
Keterangan
0,557664
0,004405
Model ECM
0,586775
0,000865
AUX1
0,532721
0,003200
AUX2
0,435440
0,022032
AUX3
multikolinearitas. Untuk itu perlu dilakuakan pengujian terhadap korelasi antarvariabel independen. Tabel 7 berikut ini menyajikan nilai statistik yang diperlukan untuk uji korelasi antarvariabel independen. Hasil uji korelasi antarvariabel independen menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara laju inflasi (INF) dan jumlah uang beredar (JUB). Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas (Prob.) 0,0031 lebih kecil daripada tingkat signifikansi 5%. Sementara antara variabel laju inflasi (INF) dan defisit anggaran belanja pemerintah (DEF) dan antara jumlah uang beredar (JUB) dengan defisit anggaran belanja pemerintah (DEF) tidak berkorelasi secara signifikan. Dengan demikian untuk menghilangkan masalah multikolinearitas dalam ECM harus menghilangkan salah satu variabel yang berkorelasi. Penelitian ini akan menghilangkan variabel jumlah uang beredar (JUB), karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efek Fisher, yaitu hubungan pengaruh antara tingkat bunga (TB) dan laju inflasi (INF).
61
JRMB, Volume 9, No.1 Juni 2014
Tabel 7 Hasil Uji Korelasi antara INF, JUB, dan DEF Variabel
Koefisien Korelasi -0,513317 -0,119442
INF dan JUB INF dan DEF JUB dan DEF -0,208920 Sumber:Data diolah.
-3,221043 -0,647855
Keterangan (α = 5%) 0,0031 Signifikan 0,5222 Tidak Signifikan
-1,150456
0,2594 Tidak Signifikan
t-Statistic
Prob.
Tabel 8 bertikut ini menyajikan ECM dengan menghilangkan variabel jumlah uang beredar (JUB). Tabel 8 Hasil Estimasi ECMTanpa JUB dengan Variabel Dependen D(TB) Variabel C D(INF) D(DEF) INF(-1) DEF(-1) ECT
Coefficient
-0,100027 0,128947 1,056873 -0,046063 0,142399 0,913891 2 R 0,540953 2 Adj. R 0,449143 F-statistic 5,892121 Prob. F-Stat 0,000993 Sumber:Data diolah
t-Statistic -0,086830 2,659131 3,220279 -0,647627 0,707095 4,051402
Untuk memastikan bahwa ECM yang dihasilkan merupakan model estimasi yang baik, perlu dilakukan uji normalitas
Prob. 0,9315 0,0135 0,0035 0,5231 0,4860 0,0004
Keterangan (α = 5%) Tidak Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Signifikan
terhadap residual yang diperoleh dari model tersebut. Tabel 9 berikut ini disajikan hasil perhitungan uji normalitas.
Tabel 9 Hasil Uji Normalitas(Jarque-Bera Test) Tanpa JUB Skewness 0,268529 Jarque-Bera Kurtosis 3,038593 Probability Sumber: Data diolah 62
0,374482 0,829244
EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN COINTEGRATION ..………………………………...(Sri Fatmawati dan Algifari)
Nilai hitung Jarque-Bera = 0,374482 lebih kecil daripada nilai kritis χ2 (pada α = 5% dan df = 2) = 5,991. Nilai probabilitas (Probability) hasil perhitungan sebesar 0,829244 lebih besar daripada α = 5%. Hasil ini menunjukkan bahwa residual dari ECM tanpa JUB yang diperoleh memenuhi asumsi distribusi normal.
Model koreksi kesalahan yang sudah tidak melibatkan jumlah uang beredar (JUB) diuji kemungkinan adanya masalah multikolinearitas. Tabel 10 berikut ini menyajikan nilai statistik untuk uji multikolinearitas menggunakan auxiliary regression.
Tabel 10 Hasil Uji Akar-akar Unit Model Tanpa JUBpada First Difference Dependen Variable
Independent Variable
D(INF), D(DEF), INFt1,, DEFt-1, ECT D(DEF), INFt-1, DEFt-1, D(INF) ECT Sumber: Data diolah. D(TB)
Hasil perhitungan menunjukkan nilai probablitas F semua persamaan regresi auxiliary lebih kecil daripada α = 5%. Ini menunjukkan adanya masalah multikolinearitas dalam ECM. Klien’s rule of thumb menyatakan bahwa jika R2auxiliary regression lebih kecil daripada R2 total pada model regresi estimasi yang mempunyai masalah multikolinearitas, maka masalah multikolinearitas tersebut dapat diabaikan. Hasil perhitungan menunjukkan R2 regresi auxiliary= 0,451541 lebih
R2
Prob (F statistic)
Keterangan
0,540953
0,000993
Model ECM
0,451541
0,002791
AUX1
rendah daripada R2 total = 0,540953. Dengan demikian masalah multikolinearitas dalam ECM dapat diabaikan. Pengujian terhadap masalah heteroskedastisitas dalam ECM menggunakan Breusch-Pagan-Godfrey Test. Hipotesis nol pada pengujian ini menyatakan bahwa model regresi estimasi tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Tabel 11 berikut ini menyajikan nilai statistik untuk Breusch-Pagan-GodfreyTest.
Tabel 11: Hasil Uji Heteroskedastisitas(Breusch-Pagan-GodfreyTest) F-statistic 0,321936 Prob. F(5,25) 2 n*R 1,875258 Prob. Chi-Square (5) Sumber: Data diolah. Hasil perhitungan terhadap data pengamatan diperoleh n*R2 = 1,875258 dengan nilai probabilitas 0,8661. Dengan α = 5% dan degree of freedom5, nilai kritis χ2 = 11,07. Nilai n*R2 = 1,875258 lebih kecil daripada nilai kritis χ2 = 11,07,
0,8950 0,8661
sehingga keputusan pengujian adalah menerima hipotesis nol yang menyatakan di dalam model regresi tidak mengandung masalah heteroskedastisitas. Pengujian ini juga dapat dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas dengan α yang 63
JRMB, Volume 9, No.1 Juni 2014
digunakan. Hasil perhitungan menunjukkan nilai probabilitas (Prob. Chi-Square) = 0,8661 lebih besar daripada tingkat signifikansi yang digunakan, yaitu 5%. Hasil pengujian menerima hipotesis nol yang menyatakan bahwa dalam model regresi estimasi tidak mengandung masalah heteroskedastisitas. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model regresi estimasi (ECM) yang diperoleh tanpa
variabel jumlah uang beredar (JUB) bebas dari masalah heteroskedastisitas. Pengujian masalah otokorelasi dalam model regresi estimasi dilakukan dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis nol pada pengujian ini menyatakan bahwa model regresi estimasi tidak terdapat masalah otokorelasi. Tabel 12 berikut ini menyajikan hasil Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test.
Tabel 12 Hasil Uji Otokorelasi(Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test) F-statistic 0,385726 Prob. F(2,23) 2 n*R 1,006038 Prob. Chi-Square (2) Sumber: Data diolah. Hasil perhitungan terhadap data pengamatan diperoleh n*R2 = 1,006038 dengan nilai probabilitas adalah 0,6843. Dengan α = 5% dan degree of freedom , nilai kritis χ2 = 3,841. Nilai n*R2 = 1,006038 lebih kecil daripada nilai kritis χ2 = 5,991, sehingga keputusan pengujian adalah menerima hipotesis nol yang menyatakan di dalam model regresi tidak mengandung masalah otokorelasi. Pengujian ini juga dapat dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas dengan α yang digunakan. Hasil perhitungan menunjukkan nilai probabilitas (Prob. ChiSquare) = 0,6843 lebih besar daripada tingkat signifikansi yang digunakan, yaitu 5%. Hasil pengujian menerima hipotesis nol yang menyatakan bahwa dalam model regresi estimasi tidak mengandung masalah otokorelasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model regresi estimasi (ECM) yang diperoleh bebas dari masalah otokorelasi.
64
0,6843 0,6047
Hasil pengujian terhadap asumsi klasik dari model regresi estimasi memperoleh kesimpulan bahwa model regresi estimasi memenuhi asumsi klasik, yaitu model tersebut non multikolinearitas, homoskedastisitas, dan non otokorelasi. Dengan demikian model regresi estimasi (ECM) yang diperoleh sahih digunakan untuk analisis. Kegiatan analisis berikutnya adalah pengujian terhadap model estimasi (ECM) yang diperoleh, yaitu uji pengaruh masingmasing variabel independen terhadap variabel dependen (uji t), uji kemampuan semua variabel independen menjelaskan variasi nilai variabel dependen (uji F), dan mengukur kemampuan variasi nilai variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh semua variabel independen dalam model regresi estimasi. Tabel 13 berikut ini menyajikan nilai statistik yang diperlukan untuk analisis.
EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN COINTEGRATION ..………………………………...(Sri Fatmawati dan Algifari)
Tabel 13 ECM dengan Variabel Dependen TB Variabel
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
-0,100027 0,128947 1,056873 -0,046063 0,142399 0,913891 2 R 0,540953 2 Adj. R 0,449143 F-statistic 5,892121 Prob. F-Stat 0,000993 Sumber: Data diolah.
1,151990 0,048492 0,328193 0,071125 0,201386 0,225574
-0,086830 2,659131 3,220279 -0,647627 0,707095 4,051402
0,9315 0,0135 0,0035 0,5231 0,4860 0,0004
C D(INF) D(DEF) INF(-1) DEF(-1) ECT
Uji terhadap signifikansi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dalam ECM dilakukan menggunakan uji t. Berdasarkan hasil uji t akan dapat diketahui apakah konstanta dan
koefisien regresi masing-masing variabel independen dalam ECM secara statistik berbeda dengan nol (signifikan). Tabel 14 berikut ini menyajikan hasil uji t.
Tabel 14 Hasil Uji t ECM dengan Variabel DependenTB Variabel
t-Statistic
C -0,086830 D(INF) 2,659131 D(DEF) 3,220279 INF(-1) -0,647627 DEF(-1) 0,707095 ECT 4,051402 Sumber: Data diolah.
Prob. 0,9315 0,0135 0,0035 0,5231 0,4860 0,0004
Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa hasil uji t menunjukkan koefisien regresi ECM untuk variabel independen perubahan laju inflasi (INF) dan perubahan defisit anggaran pemerintah (DEF) berbeda secara signifikan dengan nol. Hal ini ditunjukkan oleh nilai t-Statistic untuk koefisien regresi D(INF) = 2,659131 dan D(DEF) = 3,220279 lebih besar daripada nilai t-Tabel
t-Tabel (5%) Keterangan - 1,645 Tidak Signifikan + 1,645 Signifikan + 1,645 Signifikan - 1,645 Tidak Signifikan + 1,645 Tidak Signifikan + 1,645 Signifikan
(5%) = 1,645. Oleh karena itu hasil pengujian ini menolak hipotesis nol yang menyatakan perubahan inflasi dan perubahan defisit anggaran pemerintah tidak berpengaruh terhadap tingkat bunga. Dengan kata lain, pengujian tersebut mampu membuktikan bahwa laju inflasi (INF) dan defisit anggaran pemerintah 65
JRMB, Volume 9, No.1 Juni 2014
(DEF) berpengaruh terhadap tingkat bungan (TB). Model koreksi kesalahan (ECM) yang baik ditunjukkan oleh koefisien error correction term (ECT) antara 0 dan 1 dan ECT berpengaruh terhadap tingkat bunga (TB). Hasil pengujian terhadap koefisien regresi error correction term (ECT) menunjukkan besarnya koefisien regresi ECT adalah 0,913891 sesuai dengan yang disyaratkan, yaitu bertanda positif terletak di antara 0 dan 1 dan signifikan pada α = 5%. Karena nilai t-Statistic = 4,051402 lebih besar daripada t-Tabel = 1,645. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa model regresi estimasi yang dihasilkan adalah sahih untuk digunakan estimasi. Dalam model koreksi kesalahan (ECM) terdapat lebih dari satu variabel independen, yaitu laju inflasi, defisit anggaran pemerintah, lag laju inflasi, lag defisit anggaran pemerintah, dan error correction terms. Model koreksi kesalahan yang baik ditunjukkan oleh kemampuan semua variabel independen dalam menjelaskan perubahan nilai variabel dependen. Untuk tujuan tersebut dilakukan uji F, Hipotesis nol dalam pengujian ini menyatakan bahwa semua variabel independen dalam model regresi estimasi (ECM) tidak mampu menjelaskan variasi nilai variabel dependen. Hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 13 menunjukkan nilai hitung F (F-statistic) = 5,892121 dengan nilai probabilitas (Prob. F) = 0,000993. Nilai F tabel untuk α = 5% adalah 2,21. Nilai hitung F (F-statistic) = 5,892121 lebih besar daripada nilai F tabel (α = 5%) = 2,21. Hasil pengujian memutuskan menolak hipotesis nol menyatakan bahwa semua variabel independen dalam model regresi estimasi (ECM) tidak mampu menjelaskan variasi nilai variabel dependen. Artinya, hasil pengujian memperoleh bukti bahwa perubahan perubahan laju inflasi (INF), perubahan defisit anggaran pemerintah (DEF), lag 66
laju inflasi (INFt-1), lag defisit anggaran pemerintah (DEFt-1), dan error correction term (ECT) secara bersama-sama mempu menjelaskan perubahan tingkat bunga (TB). Jika pengujian dilakukan dengan cara membandingkan antara nilai probabilitas F statistik dengan α akan memperoleh hasil yang sama. Nilai probabilitas (Prob. F) = 0,000993 lebih kecil daripada α = 5%, sehingga keputusan dalam pengujian ini adalah menolak hipotesis nol. Variabel independen yang digunakan dalam ECM perlu diukur berapa kemampuannya menjelaskan variasi perubahan nilai variabel dependen. Koefisien determinasi menunjukkan persentase variasi perubahan nilai variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh semua variabel independen dalam model regresi. Hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 13 menunjukkan besarnya koefisien determinasi (R2) adalah 0,540953. Ini menunjukkan bahwa variasi tingkat bunga yang dapat dijelaskan oleh perubahan perubahan laju inflasi (INF), perubahan defisit anggaran pemerintah (DEF), lag laju inflasi (INFt-1), lag defisit anggaran pemerintah (DEFt-1), dan error correction term (ECT) adalah 54,0953 persen. Sedangkan yang tidak dapat dijelaskan oleh semua variabel independen tersebut adalah sebesar 45,9047 persen. PEMBAHASAN Perilaku hubungan antara konstanta dan variabel independen dengan variabel dependen jangka pendek dan perilaku jangka panjang dapat dijelaskan oleh ECM. Perilaku jangka pendek hubungan antara konstanta dan variabel indepeden dengan variabel dependen dapat ketahui dari konstanta dan koefisien regresi estimasinya, yaitu 0, 1, 2, dan 3. Dalam model estimasi ECM, besarnya konstanta ( 0) = -0,100027 dan nilai probabilitasnya
EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN COINTEGRATION ..………………………………...(Sri Fatmawati dan Algifari)
adalah 0,9315. Pada α = 5%, konstanta tidak signifikan secara statistik. Besarnya koefisien regresi perubahan laju inflasi ( 1) = 0,128947dan nilai probabilitas sebesar 0,0135. Pada α = 5%, dalam jangka pendek laju inflasi (INF) berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat bunga (TB). Kenaikan laju inflasi sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan menaikkan tingkat bunga sebesar 0,13 persen. Sebaliknya, penurunan laju inflasi sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan menurunkan tingkat bunga sebesar 0,13 persen. Besarnya koefisien regresi perubahan defisit anggaran pemerintah ( 2) =1,056873 dan nilai probabilitas sebesar 0,0035. Pada α = 5%, dalam jangka pendek defisit anggaran belanja pemerintah (DEF) berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat bunga (TB). Berdasar nilai koefisien regresi perubahan defisit anggaran pemerintah ( 2) = 1,056873menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan 1 persen defisit anggaran pemerintah akan mengakibatkan terjadinya kenaikan perubahan tingkat bungasebesar 1,06 persen.
Nilai koefisien regresi error correction term (ECT) menunjukkan kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan jangka panjang. Besarnya koefisien regresi ECT adalah 0,913891 dengan nilai probabilitas sebasar 0,0004. Pada α = 5% koefisien regresi ECT pada ECM signifikan secara statistik. Koefisien regresi ECT sebesar 0,913891 menunjukkan bahwa sekitar 91 persen ketidaksesuaian pada perubahan tingkat bunga suatu periode telah dikorelasi pada periode berikutnya oleh equilibrium term, sehingga arah pengaruh dari variabel independen dalam jangka pendek diharapkan dapat konsisten dengan arah pengaruh variabel independen dalam jangka panjang. Keseimbangan jangka panjang hubungan antara konstanta dan variabel indepeden dengan variabel dependen dikoreksi menggunakan koefisien error term. Tabel 15 berikut ini menyajikan hasil koreksi untuk memperoleh keseimbangan jangka panjang antara tingkat bunga (TB), laju inflasi (INF), dan defisit anggaran pemerintah (DEF).
Tabel 15 Hasil Analisis Jangka Panjang Variabel
Rumus 0/ 6 C ( 3+ 6)/ 6 INFt-1 ( 4+ 6)/ 6 DEFt-1 Sumber: Data diolah.
Hasil -0,10945 0,94960 1,15582
Koefisien regresi dari model regresi estimasi jangka panjang memiliki nilai hitung t rendah, yaitu -0,647627 untuk laju inflasi dan 0,707095 untuk defisit anggaran belanja pemerintah. Dengan α = 5%, semua variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. Artinya, dalam jangka panjang, lag laju
t-Statistic -0,086830 -0,647627 0,707095
Prob. 0,9315 0,5231 0,4860
inflasi (INFt-1) dan lag defisit anggaran pemerintah (DEFt-1) tidak berpengaruh terhadap tingkat bunga. Koefisien regresi jangka panjang lag laju inflasi (INFt-1) sebesar 0,94960 menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikan 1 persen laju inflasi, maka dalam jangka panjang akan menaikan tingkat bunga sebesar 0,95 67
JRMB, Volume 9, No.1 Juni 2014
persen. Koefisien regresi jangka panjang lag defisit anggaran pemerintah (DEFt-1) sebesar 1,15582 menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikan sebesar 1 persen defisit anggaran pemerintah, maka dalam jangka panjang akan menaikkan tingkat bunga sebesar 1,16 persen. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris adanya efek Fisher pada perekonomian Indonesia. Efek Fisher menyatakan bahwa laju inflasi berpengaruh positif terhadap tingkat bunga. Kenaikan laju inflasi sebesar 1 persen akan mengakibatkan terjadinya kenaikan tingkat bunga sebesar 1 persen. Model yang digunakan untuk menganalisis pengaruh laju inflasi terhadap tingkat bunga adalah model regresi berganda dengan variabel dependen adalah tingkat bunga dan variabel independen adalah laju inflasi, jumlah uang beredar, dan defisit anggaran belanja pemerintah. Hasil analisis terhadap model estimasi yang diperoleh menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara variabel independen laju inflasi dan variabel jumlah uang beredar. Dalam suatu model regresi estimasi di mana dua variabel independen memiliki korelasi linear yang kuat menunjukkan pada model regresi estimasi tersebut memiliki masalah multikolinearitas. Untuk memperoleh model regresi estimasi yang baik, salah satu variabel tersebut harus dikeluarkan dalam model regresi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh laju inflasi terhadap tingkat bunga. Oleh karena itu dalam analisis berikutnya variabel independen dalam model regresi hanya terdiri dari dua, yaitu laju inflasi dan defisit anggaran belanja pemerintah.Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut: 68
Pertama, dalam jangka pendek, penelitian ini tidak berhasil menemukan efek Fisher pada perekonomian Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan dalam jangka pendek, kenaikan laju inflasi sebesar 1 persen, ceteris paribus, menyebabkan terjadi kenaikan tingkat bunga sebesar 0,13 persen. Sebaliknya, penurunan laju inflasi sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan menurunkan tingkat bunga sebesar 0,13 persen. Sedangkan efek Fisher menyatakan bahwa kenaikan 1 persen laju inflasi akan menaikkan tingkat bunga sebesar 1 persen juga. Kedua, dalam jangka panjang, penelitian ini berhasil menemukan efek Fisher pada perekonomian Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan dalam jangka panjang, kenaikan laju inflasi sebesar 1 persen, ceteris paribus, menyebabkan terjadi kenaikan tingkat bunga sebesar 0,95 persen (mendekati 1 persen). Sebaliknya, penurunan laju inflasi sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan menurunkan tingkat bunga sebesar 0,95 persen (mendekati 1 persen).Efek Fisher menyatakan bahwa kenaikan 1 persen laju inflasi akan menaikkan tingkat bunga sebesar 1 persen. Saran Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa laju inflasi dan defisit anggaran belanja pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat bunga. Artinya kenaikan laju inflasi akan berdampak terhadap kenaikan tingkat bunga. Demikian juga dengan meningkatnya defisit anggaran belanja pemerintah akan berdampak terhadap kenaikan tingkat bunga. Tingkat bunga sangat menentukan investasi nasional dan investasi diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada pemerintah agar mengendalikan laju inflasi yang rendah dan mengurangi defisit anggaran belanja pemerintah. Dengan laju inflasi dan defisit anggaran
EFEK FISHER DI INDONESIA: PENDEKATAN COINTEGRATION ..………………………………...(Sri Fatmawati dan Algifari)
belanja pemerintah yang rendah maka tingkat bunga juga akan rendah. Tingkat bunga rendah sangat diperlukan oleh perekonomian untuk menggerakkan investasi.
Coppock, L. and Marc Poitras, M. 2000. Evaluating the Fisher Effect in Long-term Cross-Country Averages. International Review of Economics and Finance, 9 (2): 181- 192 Departemen Keuangan RI, Nota Keuangan dan RAPBN, 1990-2012.
DAFTAR REFERENSI Abimanyu, A. 2005. Kebijakan Fiskal dan Efektivitas Stimulus Fiskal di Indonesia: Aplikasi Model MakroMODFI dan CGE-INDORANI. Jurnal Ekonomi Indonesia, 1. Almelia L. S. dan Utomo. A.W. (2006), Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Suku Bunga Deposito Berjangka pada Bank Umum di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis ANTISIPASI, 10 (1): 1 – 27. Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, 2000-2011. Bank Indonesia, Laporan Tahunan, 19902012. Berument, H. and Malatyali, K. 1999. Determinant of Short-term Interest Rates in Turkey. Paper No. 9902, The Central Bank of Turkey Discussion. Burney, N. A and Yasmeen A. 1998. Government Budget Deficit and Interest Rate: An Empirical Analysis for Pakistan. The Pakistan Depelopment Reviews, 28 (4): 971980. Cebula, J. R. 1988. Federal Government Budget Deficit and Interest Rate: An Empirical Analysis for the United States. Public Finance, 43 (3): 337347.
Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. 2nd Edition, New York: John Wiley and Sons, Inc. Fahmy, Y.A.F. dan Kandil, M. 2003. The Fisher Effect: New Evidence and Implications. International Review of Economics and Finance, 12 (4):297324 Fama, E. and M.R. Gibson 1982. Inflation, Real Return, and Capital Investment. Journal of Monetary Economics, 9: 297 - 324 Gujarati, D., 2003. Basic Econometrics, Fourth Edition. New York: Mc.Grow-Hill,. Hoelscher, G. 1986. New Evidence on Deficit and Interest Rate. Journal of Money, Credit and Banking, 18 (1): 1-17. Hyman, David N. 2005. Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy. South-Western Ohio: International Student Edition. Insukindro, Maryatmo, dan Aliman 2001. Ekonometrika Dasar dan Penyusunan Indikator Unggulan Ekonomi. Modul, Lokakarya (Workshop) Ekonometrika dalam rangka Penjajakan Leading Indicator Export di KTI, (tidak dipublikasikan).
69
JRMB, Volume 9, No.1 Juni 2014
Kandel S., Ofer, A.R. dan Sarig, O. 1996. Real Interest Rate and Inflation: An Ex-Ante Empirical Analysis. Journal of Finance, 51(1):1-21. Khan, Z. H. 1988. Government Budget Deficit and Interest Rates: The Evidence since 1971. Southern Economic Journal, 54 (3): 725-731. Kunarjo 2001. Defisit Anggaran Negara. Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi 23 Tahun 2001. Lee, K. F. 2007 An Empirical Study of the Fisher Effect and the Dinamic Relation between Nominal Interest Rate and Inflation in Singapore, MRPA Paper No.12383 Lungu, L. 1998. Is There Evidence of the Fisher Effect? Dissertation, The Department of Economics and Accounting, University of Liverpool. Mankiw, N, G. 2007. Macroeconomics, Sixth Edition, New York: Worth Publishers. Maryatmo 2004. Dampak Moneter Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah dan Peranan Asa Nalar dalam Simulasi Model MakroEkonomi Indonesia, 1983:1-2002:4. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2004:297-322. Noegroho, W. 2002. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Bunga Deposito di Indonesia (Periode 19992001), Tesis, Magister Manajemen Universitas Diponegoro. Noviari, S. 2008. Analisis Pengaruh Faktor Eksternal dan Faktor Internal terhadap Perkembangan Tingkat Suku Bunga Tabungan pada Bank 70
Umum Pemerintah (Pesero) di Indonesia, http://papers.gunadarma.ac.id/index. php/ management/search/titles, Program Magister Manajemen Perbankan Universitas Gunadarma, Jakarta, didownload tanggal 20 Mei 2012. Obi, B., Nurudeen, A. and Wafure, O. G. 2009. An Empirical Investigation of The Fisher Effect in Nigeria: A CoIntegration and Error Correction Approach. International Review of Business Research Papers, 5 (5): 96109. Panopoulou, E. 2005. A Resolution of the Fisher Effect Puzzle: A Comparison of Estimators, Cited http://economics.nuim.ie/research/wo rkingpapers/documents Westerlund, J 2008. Panel Co-integration Tests of the Fisher Effect. Journal of Applied Economics, 23: 193-233