Analisis, Juni 2014, Vol.3 No.1 : 60 – 67
ISSN 2252-7230
EUTANASIA PASIF DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERNYATAAN PULANG PAKSA DI RUMAH SAKIT Passive Eutanasia in Conjuction with the Record Return Statement in the Hospital Dewi Liana, Musakkir, Hasbir Paserangi Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK Kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik, dalam dunia kedokteran yang mengarah pada konteks kesehatan modern, kematian tidak selalu menjadi sesuatu yang datang dengan tiba-tiba atau secara alamiah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana pemahaman pihak rumah sakit, dokter, paramedis dan pasien (keluarga pasien) terhadap eutanasia pasif ditinjau dari aspek hukum dan Mengetahui serta memahami bagaimana tanggung jawab rumah sakit, dokter, paramedis dan pasien (keluarga pasien) terhadap terjadinya eutanasia pasif. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Tenriawaru Bone, adalah untuk melihat persepsi para pihak terkait dalam hal ini dokter, paramedis, pasien dan keluarga pasien dalam pengambilan suatu keputusan pulang paksa di rumah sakit tersebut dan selanjutnya untuk melengkapi data dan agar bisa mewakili populasi, akan dilakukan pula pengumpulan data daerah pihak keluarga pasein di beberapa wilayah di Kabupaten Bone. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris/sosiologis. Tujuan dari penelitian ini sebagai pembelajaran terhadap tindakan-tindakan apa yang boleh dan tidak dilakukan oleh manusia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan referensi dalam bidang hukum terkait dengan tindakan eutanasia pasif di Indonesia dan memberikan pijakan bagi tenaga kesehatan, institusi kesehatan, para penegak hukum serta masyarakat dalam hal pemberhentian pengobatan bagi pasien di rumah sakit (pulang paksa) sebagai suatu tindakan eutanasia pasif yang mempunyai aspek hukum. Kata Kunci: Eutanasia Pasif, Rumah Sakit
ABSTRACT Death is a topic that is feared by the public, death may not always be something that comes with a sudden or naturally. This study aims to determine and understand how understanding the hospitals, doctors, paramedics and the patient (patient's family) against passive euthanasia in terms of legal aspects and Know and understand how responsibilities hospitals, doctors, paramedics and the patient (patient's family) against the passive euthanasia. This research was conducted at the General Hospital Tenriawaru Bone, is to look at the perception of the parties in this case doctors, paramedics, patients and their families in making a decision on the forced return of the hospital and then to complete the data and to be representative of the population. Data collection will be done anyway pasein family party area in some regions of Bone. The method used in this study is empirical legal research/sociological. The purpose of this study as learning to what actions are allowed and are not made by humans. This research is expected to contribute ideas or provide references to laws relating to the action of passive euthanasia in Indonesia and provide a foundation for health professionals, health institutions, law enforcement and the community in terms of stopping the treatment for patients in the hospital (forced return) as a actions that have passive euthanasia legal aspects. Keywords: Passive Euthanasia, Understanding Hospital
60
Eutanasia Pasif, Rumah Sakit
ISSN 2252-7230
kesehatan modern, kematian tidak selalu menjadi sesuatu yang datang dengan tibatiba atau secara alamiah. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya, eutanasia memungkinkan hal tersebut terjadi. Dalam bahasa Yunani, eutanasia disebut euthanatos, dari kata “eu” yang berarti baik dan “thanatos” yang berarti mati, sehingga kadang didefinisikan sebagai “good death” atau “mercy killing”, atau “easy death”. Secara singkat pengertian eutanasia adalah dapat diartikan sebagai tindakan agar penderitaan yang dialami seseorang yang menjelang kematiannya dapat diperingan. Berdasarkan cara pelaksanaannya, ada dua jenis tindakan eutanasia, yaitu, Eutanasia Aktif dan Eutanasia Pasif. Pertama, Eutanasia Aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan obat/suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai stadium akhir yang menurut para dokter sudah tidak mungkin lagi sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003). Adapun jenis yang kedua disebut Eutanasia Pasif adalah tindakan menghentikan pengobatan pada pasien yang sakit parah, yang secara medis sudah tidak mungkin dapat lagi disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan adalah karena keadaan ekonomi dibarengi dengan rasa putus asa, baik dari pasien itu sendiri dan ataupun dari keluarga pasien (Guwandi, 2007). Sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan medis sudah tidak efektif lagi dan jika meninggalpun pasien diharapkan mati secara alamiah.
PENDAHULUAN Seiring dengan pesatnya perkembangan penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahanperubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Hampir semua problema, ruang gerak dan waktu telah dapat terpecahkan oleh teknologi dan modernitas. Di samping manusia menjadi semakin cakap menyelenggarakan hidupnya, meningkat pula kemakmuran hidup materilnya, berkat makin cepatnya penerapanpenerapan teknologi modern itu. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut, diagnosa mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan. Pengobatan penyakitpun dapat berlangsung secara efektif. Dengan peralatan kedokteran yang modern itu, rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup seseorangpun dapat di perpanjang untuk beberapa jangka waktu tertentu, dengan memasang sebuah respirator dan peralatan medis lainnnya. Bahkan perhitungan saat kematian seorang penderita penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih tepat, di samping itu di beberapa negara maju bahkan sudah dapat melakukan apa yang disebut dengan istilah birth technology dan biological engineering. Dengan demikian masalah cepat atau lambatnya proses kematian seseorang penderita suatu penyakit, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi yang modern tersebut. Lahir dan mati adalah takdir, tidak ada seorangpun yang dapat menghindari atau menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Kelahiran dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, begitu pula kematian dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, apakah karena uzur, penyakit, kecelakaan, bunuh diri, bahkan dibunuh orang lain. Kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik, dalam dunia kedokteran yang mengarah pada konteks 61
Dewi Liana
ISSN 2252-7230
Eutanasia pasif juga biasa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Eutanasia pasif biasa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusan keluarga karena alasan seperti yang telah disebutkan di atas. Pasien sendiri atau keluarga pasien menolak atau memutuskan untuk menghentikan perawatan medis dan pihak rumah sakit akan mengajukan atau meminta pasien/keluarga pasien untuk membuat surat “pernyataan pulang paksa”. Ketika seorang pasien menderita suatu penyakit yang sangat parah atau tidak dapat disembuhkan, pasien dan atau keluarga pasien dihadapkan pada dua pilihan yaitu, meneruskan perawatan namun mengalami penderitaan dan menghabiskan biaya besar atau menghentikan perawatan tetapi beresiko mengakibatkan kematian. Dokter sebagai pihak yang bertugas untuk menjaga hidup tiap pasiennya, juga akan mengalami konflik batin ketika dihadapkan pada situasi yang sama. Apakah meneruskan tindakan medis atau menghentikan tindakan medis. Apabila seorang tenaga kesehatan melakukan penghentian medis, maka dia telah dianggap melakukan tindakan eutanasia pasif. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui dan memahami bagaimana tanggung jawab rumah sakit, dokter, paramedis dan pasien (keluarga pasien) terhadap terjadinya eutanasia pasif.
yang banyak terjadi dalam masyarakat dan masih terselubung karena belum dipahami oleh masyarakat terutama para pihak terkait. Tehnik analisis penelitian ini melalui pendekatan induktif, untuk melihat sinkronisasi masalah eutanasia dengan hukum yang berlaku, serta melihat apakah jenis eutanasia pasif ini telah diatur dalam sistem hukum di Indonesia. Hasil penelitian diuraikan secara deskriptif, untuk menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat, kemudian dilakukan kajian normatif analitik terhadap aturan hukum yang terkait. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Tenriawaru Kabupaten Bone dan beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Adapun lokasi penelitian diadakan di Rumah Sakit Umum Daerah Tenriawaru Bone, adalah untuk melihat persepsi para pihak terkait dalam hal ini dokter, paramedis, pasien dan keluarga pasien dalam pengambilan suatu keputusan pulang paksa di rumah sakit tersebut dan selanjutnya untuk melengkapi data dan agar bisa mewakili populasi, akan dilakukan pula pengumpulan data daerah pihak keluarga pasein di beberapa wilayah di Kabupaten Bone. Populasi dan sampel penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2006). Populasi pada penelitian ini adalah dokter dan perawat yang bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Kelas B Tenriawaru Bone, serta keluarga dari pasien yang pernah dirawat di rumah sakit tersebut. Sampel adalah sebagian objek yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
BAHAN DAN METODE Pendekatan dan jenis penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris/sosiologis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana aturan hukum tentang eutanasia pasif 62
Eutanasia Pasif, Rumah Sakit
ISSN 2252-7230
populasi (Notoatmojo, 2005). Dalam penelitian ini terdiri dari 3 populasi, yaitu: kalangan dokter, paramedis dan keluarga pasien. Dari kalangan dokter akan diambil sampel 20 orang, kalangan paramedis 40 orang terdiri dari paramedis senior dan yunior, serta dari keluarga pasien sebanyak 30 orang yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu pasien pulang paksa dengan penyakit terminal tidak menular dan penyakit terminal menular.
sikap/keputusan menolak tindakan medis tersebut. Terlebih lagi istilah serta dampak eutanasia pasif yang secara moral dan hukum belum diketahui oleh tenaga kesehatan di rumah sakit terlebih lagi pihak pasien dan keluarganya. Praktek kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang berkompetensi dan memenuhi standar tertentu dan telah mendapat izin dari institusi yang berwenang, serta bekerja sesuai dengan standard dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesi. Dalam KODEKI Pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran muktahir, hukum dan agama. Berkaitan dengan kasus eutanasia pasif, American Medical Association pada tahun 1986 telah memberikan suatu policy, bahwa seorang dokter secara etis dapat menghentikan semua tindakan terapi yang diberikan unutk menyambung, termasuk makanan dan minuman terhadap pasien yang berada dalam vegetative state. Akan tetapi policy ini bersifat ambigu, karena dikatakan pula bahwa“seorang dokter tidak boleh dengan sengaja menyebabkan kematian”. Perawat menjalankan fungsinya dalam kaitannya dengan berbagai peran, yaitu perawat sebagai pelaksana, perawat sebagai pendidik, perawat sebagai pengelola, perawat sebagai peneliti. Perawat baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan asuhan kepada pasien individu, keluarga dan masyarakat. Dalam menjalankan peran sebagai care giver, perawat menggunakan metode pemecahan masalah dalam membantu pasien mengatasi masalah kesehatannya. Perawat bertindak sebagai
Teknik pengumpulan data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian maka digunakan metode Dokumentasi, Kuesioner, Wawancara. Dari hasil pengumpulan data akan didapatkan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-fakta empiris sebagai perilaku maupun hasil perilaku manusia. Baik dalam bentuk perilaku verbal, perilaku nyata, maupun perilaku yang terdorong dalam barbagai hasil perilaku atau catatan-catatan/ arsip. Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang di ambil dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Analisis Data Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan analisis kualiitatif kemudian dideskripsikan. HASIL Mengacu pada perkembangan untuk mutu pelayanan kesehatan tersebut, maka manajemen rumah sakit sejak tahun 1976 harus melaksanakan dasar filosofi hukum dan doktrin pengembangan “Standar Profesi dan akreditasi pelayanan kesehatan”. Namun yang sering terjadi kesalahan atau kelalaian adalah pihak rumah sakit kurang memberikan informasi yang komprehensif kepada pasien atau keluarganya yang membuat pasien atau keluarganya mengambil 63
Dewi Liana
ISSN 2252-7230
comforter, protector dan advocate, commucator serta rehabilitator. Dalam setiap masyarakat, keluarga merupakan pranata sosial yang sangat penting artinya bagi kehidupan sosial. Seseorang menghabiskan paling banyak waktunya dalam keluarga dibandingkan dengan di tempat bekerja misalnya, dan keluarga adalah wadah di mana sejak dini seseorang dikondisikan dan dipersiapkan untuk kelak dapat melakukan perananperanannya dalam dunia orang dewasa. Melalui pelaksanaan peranan-peranan itu pelestarian berbagai lembaga dan nilainilai budayapun akan dapat tercapai dalam masyarakat bersangkutan. Keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial, di samping agama, yang secara resmi telah berkembang di semua masyarakat. Tugas-tugas kekeluargaan merupakan tanggungjawab langsung setiap pribadi dalam masyarakat, dengan satu dua pengecualian. Hampir setiap orang dilahirkan dalam keluarga dan juga membentuk keluarganya sendiri. Setiap orang merupakan sanak keluarga dari banyak orang. Hampir tidak ada peran tanggungjawab keluarga yang dapat diwakilkan kepada orang lain, seperti halnya tugas khusus dalam pekerjaan dapat diwakilkan kepada orang lain. Fungsi keluarga adalah untuk menciptakan anggota masyarakat yang baru yang sesuai dengan norma-norma atau ukuran pada masyarakat tersebut. Perubahan yang ada pada masyarakat mempengaruhi suatu keluarga dalam memberikan pengajaran pada anakanaknya. Secara umum fungsi keluarga adalah untuk sosialisasi, reproduksi, dan legalitas status. Fungsi keluarga sangat bervariasi tergantung darimana titik pandang kita melihat, jenis keluarga (inti atau luas), demikian juga sistem sosial dimana keluarga tinggal. Namun demikian fungsi dasar keluarga paling tidak mencakup: (1) penguatan ikatan ekonomi, sosial, dan emosional diantara pasangan suami-istri, (2) hubungan seksual dan procreasi diantara pasangan, (3) pemberian nama
dan status, khususnya kepada anak, (4) perawatan dan perhatian kepada anak, (5) sosialisasi dan pendidikan anak, (6) perlindungan anggota keluarga, (7) rekreasi dan perhatian emosional anggota keluarga, dan (8) pertukaran barang dan jasa. Fungsi keluarga yang penting lainnya adalah menjaga dan merawat anggota yang sakit, tua, atau tidak bernasib baik. Fungsi ini, seperti fungsi yang lain, berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain, tetapi kebanyakan masyarakat menentukan keluarga dengan tanggungjawab khusus kepada para anggotanya apabila ia membutuhkan bantuan keluarga. PEMBAHASAN Pada penelitian ini terlihat bahwa Guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif diperlukan suatu institusi internasional yang bergerak di dalam mutu pelayanan kesehatan “the professional standards review organization”, yang dilengkapi dengan suatu badan “join commission on hereditation of health care”. Mutu pelayanan kesehatan yang berdasarkan deklarasi internasional tentang “human right” dan “social welfare” (Piagam PBB 1945 dan Deklarasi UDHR 1948) dan dikembangkan dalam “Declaration of Helsinki 1964”, yang kemudian disempurnakan dan diperbarui oleh hasil kongres “The 29th of World Medical Assembly, Tokyo 1975” dan yang lebih dikenal dengan nama Helsinki Baru 1976”. Menurut Kartono, (1984), pengertian tanggung jawab adalah “ Keadaan cakap menurut hukum baik orang atau badan hukum, serta mampu menanggung kewajiban terhadap segala sesuatu yang dilakuakan”. Dokter, perawat, rumah sakit dan pasien (keluaraga pasien) adalah subyek hukum yang terkait dalam pelayanan kesehatan. Semuanya membentuk baik hubungan medik maupun hubungan hukum. Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang unik, karena berbaur antara padat teknologi, 64
Eutanasia Pasif, Rumah Sakit
ISSN 2252-7230
padat karya dan padat modal, sehingga pengelolaan rumah sakit menjadi disiplin ilmu tersendiri yang mengedepankan dua hal sekaligus, yaitu teknologi dan perilaku manusia di dalam organisasi. Menurut Soekanto (1987), keperawatan yaitu “Suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat, baik sakit maupun sehat, yang mengcakup seluruh proses kehidupan manusia”. Di Indonesia terdapat pelbagai kategori tenaga keperawatan, yaitu lulusan juru kesehatan, pejuang kesehatan, pengatur rawat, perawat kesehatan, bidan, dan sarjana muda ilmu keperawatan sampai lulusan program magister. Tanggung jawab perawat haruslah dilihat dari peran perawat. Peran perawatan dan peran koordinatif adalah tanggung jawab yang mandiri, sementara tanggung jawab terapeutik adalah mendampingi atau membantu dokter dalam pelaksanaan tugas kedokteran, yaitu diagnosis, terapi, maupun tindakan-tindakan medis (Soekamto, 1987). Menurut Ali, (2009), Etika berbicara tentang aturan-aturan, norma serta tata cara dalam berbuat sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang tergantung jenis profesi, dalam hal ini berkaitan dengan orang-orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Hukum adalah peraturan perundangundangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat agar masyarakat bisa teratur. Jika ditinjau dari etika profesi, dengan memilih profesi di bidang kesehatan, berarti sudah diisyaratkan adanya kecermatan yang tinggi, demikian juga dengan berbagai ketentuan khusus yang berlaku bagi seorang tenaga kesehatan, khususnya bagi seorang tenaga kesehatan. Berarti dengan tidak
mematuhi peraturan itu saja sudah dianggap telah berbuat kesalahan. Di samping itu dalam melaksanakan tugasnya tenaga kesehatan harus senantiasa mengutamakan dan mendahulukan kepentingan pasien, memperhatikan dengan sungguh-sungguh semua obyek pelayanan kesehatan, serta berusaha menjadi pengabdi masyarakat yang baik. Tanggung jawab ini timbul bila karena ada kesalahan profesional yaitu kesalahan baik dalam diagnosa dan terapi maupun tindakan medik tertentu yang harus memenuhi 4 syarat, yaitu Duty of Care (kewajiban perawatan), Dereliction of That Duty (penyimpangan kewajiban), Damage (kerugian), Direct Causal Relationship (ada kaitannya dengan penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang timbul) yang terdiri dari baik kesengajaan maupun kealpaan. Untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus memuat dua unsur (Triana, Y.A, 2008), yaitu 1) kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hokum, 2) kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Dokter dan paramedis dapat dikatakan melakukan kesalahan profesional, apabila dia tidak memeriksa, tidak menilai dan tidak berbuat sebagaimana yang dilakukan oleh para dokter dan perawat pada umumnya, dalam kasus yang sama. Dalam berbagai yurispudensi ditentukan bahwa unsur kehati-hatian merupakan dasar untuk menentukan terjadinya kesalahan dokter, begitu juga dengan perawat. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dengan kepentingan individu. Sehingga kepentingan yang diaturpun aspek individu. Aspek keperdataan pada hukum kesehatan bertumpu pada salah satu asas dalam hukum kesehatan yaitu Hak Asasi Manusia untuk menentukan nasibnya sendiri, (Sabian, 2009). Pada awalnya persoalan kesehatan merupakan masalah individual/pribadi, namun 65
Dewi Liana
ISSN 2252-7230
karakter individual ini mulai luntur, dikarenakan karena persoalan kesehatan bukan masalah pribadi, masyarakat ikut didalamnya, seperti misalnya penyakit menular. Masalah yang masih bersifat individual adalah Perjanjian Teraupetik seperti yang telah di uraikan di atas. yaitu perjanjian antara dokter dengan pasien ataupun sarana pelayanan kesehatan dengan pasien serta akibat hukum yang timbul jika perjanjian teraupetik tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Aspek keperdataan dalam hukum kesehatan sifatnya terbatas, tidak seperti aspek hukum administrasi negara. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan secara sengaja memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, (Haryadi, 2007). Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi atau tindakan cuci darah yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga menolak perawatan medis dan meminta pulang paksa oleh karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan, berkeinginan mencari pengobatan alternative (pengobatan tradisional) atau rasa putus asa dan memilih pulang ke rumah meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah. Eutanasia pasif alamiah sama dengan pembunuhan sebab dengan sengaja membiarkan si sakit mati tanpa
makan-minum (membunuh pelan-pelan), (Nasution, 2005). Sedangkan mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi memperpanjang ‘penderitaan’ tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak sengaja dimatikan melainkan dibiarkan mati secara alamiah. Leenen (Komalawati, 1989) menyebutkan eutanasia pasif sebagai pseudo euthanasia, yaitu bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan eutanasia, tapi mirip dengan eutanasia, yang termasuk dalam penggolongan ini adalah pengakhiran perawatan pasien karena gejala brainstamdeath (mati batang otak), keadaan yang bersifat emergensi, perawatan medis yang tidak berguna lagi, dan pasien menolak perawatan medis. KESIMPULAN DAN SARAN Guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif diperlukan suatu institusi internasional yang bergerak di dalam mutu pelayanan kesehatan “the professional standards review organization”, yang dilengkapi dengan suatu badan “join commission on hereditation of health care”. Mutu pelayanan kesehatan yang berdasarkan deklarasi internasional tentang “human right” dan “social welfare” (Piagam PBB 1945 dan Deklarasi UDHR 1948) dan dikembangkan dalam “Declaration of Helsinki 1964”, yang kemudian disempurnakan dan diperbarui oleh hasil kongres “The 29th of World Medical Assembly, Tokyo 1975” dan yang lebih dikenal dengan nama Helsinki Baru 1976”. Mengacu pada perkembangan untuk mutu pelayanan kesehatan tersebut, maka manajemen rumah sakit sejak tahun 1976 harus melaksanakan dasar filosofi hukum dan doktrin pengembangan “Standar Profesi dan akreditasi pelayanan kesehatan”. DAFTAR PUSTAKA Ali Achmad, (2009), Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori 66
Eutanasia Pasif, Rumah Sakit
ISSN 2252-7230
Peradilan (Judicial prudence): Termasuk Interpretasi UndangUndang (Legisprudence), Jakarta: Kencana. Guwandi, (2007), Dokter, Pasien, dan Hukum, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Haryadi, (2007), Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana, Majalah Hukum Forum Akademika, Vol 16 No. 2 Oktober 2007 dalam esei , Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi. Kartono, Mohammad, (1984), Euthanasia Dipandang dari Etika Kedokteran, Jakarta: Sinar Harapan. Komalawati Veronica, (1989), Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter, Jakarta: Sinar Harapan.
Nasution, Bahder Johan, (2005), Hukum Kesehatan, Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005), Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Sabian Utsman, (2009), Dasar-dasar Sosiologi Hukum: Makan Dialog anatara Hukum dan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Soekanto Soerjono, (1987), Pengantar Hukum Kesehatan, Bandung: Remaja Karya. Sugiyono, (2006), Metode Penelitian Kuntitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta. Triana Ohoiwutun, Y. A, (2008), Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang: Bayumedia Publishing.
67