ANALISIS JARINGAN JALAN DAN PRIORITAS PENANGANANNYA UNTUK PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN TANA TORAJA
GERSONY MIRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Jaringan Jalan dan Prioritas Penanganannya Untuk Pengembangan Wilayah di Kabupaten Tana Toraja adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Gersony Miri NRP A156120344
RINGKASAN GERSONY MIRI. Analisis Jaringan Jalan dan Prioritas Penanganannya Untuk Pengembangan Wilayah di Kabupaten Tana Toraja. Dibimbing oleh BABA BARUS dan SOEKMANA SOMA. Tersedianya jaringan prasarana transportasi yang menghubungkan ke seluruh kota dan pusat produksi di seluruh wilayah memberikan kesempatan dan mendorong pengembangan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat lebih dipacu peningkatannya bila didukung oleh pelayanan transportasi yang lancar, berkapasitas, dan tersedia ke seluruh wilayah. Kabupaten Tana Toraja dengan indeks mobilitas yang telah melampaui standar pelayanan minimal bidang pekerjaan umum dan penataan ruang sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.14/PRT/M/2010, hendaknya lebih memfokuskan pelayanan transportasi jalan melalui peningkatan jaringan jalan yang telah ada, bukan dengan membangun jaringan jalan yang baru. Dengan telah banyaknya ruas jalan yang ada dan harus ditangani oleh pemerintah daerah Kabupaten Tana Toraja sementara dana penanganan jalan sangat terbatas, maka diperlukan prioritas perencanaan jaringan jalan agar alokasi dan penggunaan dana yang terbatas menjadi efektif bagi pembangunan dan pengembangan wilayah Kabupaten Tana Toraja, khususnya pada subsektor jaringan jalan. Penelitian ini mencoba memberikan solusi alternatif bagi pemerintah daerah Kabupaten Tana Toraja dalam merencanakan jaringan jalan yang dapat dijadikan prioritas untuk pengembangan wilayahnya ke depan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mendapatkan kesesuaian antara jaringan jalan dengan potensipotensi wilayah Kabupaten Tana Toraja, (2) Mengetahui tingkat perkembangan wilayah dalam lingkup Kabupaten Tana Toraja, (3) Mengkonstruksikan persepsi stakeholders terhadap penanganan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja, (4) Menyusun dan menentukan prioritas penanganan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, analisis Skalogram, analytical hierarchy process (AHP), dan sintesis logika. Hasil penelitian menunjukkan, potensi wilayah berdasarkan kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Makale dan Makale Utara, sedangkan untuk potensi wilayah berdasarkan produksi pertanian adalah Kecamatan Mengkendek sebagai wilayah produksi padi terbesar dan Kecamatan Bonggakaradeng sebagai wilayah produksi tanaman palawija terbesar. Untuk tingkat perkembangan wilayah diperoleh wilayah hirarki I sebagai pusat pelayanan yaitu Kecamatan Makale dan Kecamatan Makale Utara, wilayah hirarki II sebagai subpusat pelayanan yaitu Kecamatan Gandangbatu Sillanan, Kecamatan Sangalla, Kecamatan Kurra, Kecamatan Bonggakaradeng, dan Kecamatan Mappak, serta wilayah hirarki III sebagai daerah hinterland yaitu Kecamatan Makale Selatan, Kecamatan Sangalla Selatan, Kecamatan Sangalla Utara, Kecamatan Mengkendek, Kecamatan Rano, Kecamatan Simbuang, Kecamatan Rembon, Kecamatan Rantetayo, Kecamatan Saluputti, Kecamatan Malimbong Balepe, Kecamatan Bittuang, dan Kecamatan Masanda. Sementara untuk berdasarkan persepsi stakeholders, diperoleh potensi wilayah berdasarkan obyek wisata menjadi prioritas tertinggi dalam menentukan jaringan jalan prioritas di Kabupaten Tana Toraja.
Jaringan jalan yang menjadi prioritas dalam perencanaan pengembangan wilayah Kabupaten Tana Toraja terdiri atas 2 alternatif, yaitu: (1) Jaringan jalan yang terdiri atas: Batupapan – Rantekurra, Passobo – Kondodewata, Kokkang – Buakayu, Tetebassi – Kondoran, dan jalan lingkar wisata, (2) Jaringan jalan yang terdiri atas: Makale – Kaduaja, Batupapan – Rantekurra, Passobo – Kondodewata, Kokkang – Buakayu, Tetebassi – Kondoran, dan jalan lingkar wisata. Dengan terwujudnya salah satu alternatif prioritas jaringan jalan tersebut, maka akan mempermudah arus keluar masuk orang, barang, dan jasa sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Pertumbuhan ekonomi wilayah yang meningkat akan mendorong peningkatan di sektor-sektor lainnya. Dengan demikian, hubungan fungsi antara pusat wilayah dan daerah hinterland tercipta dan terlaksana dengan baik sehingga akan saling mendukung dalam pertumbuhan wilayahnya. Kata kunci: Jaringan Jalan, Pengembangan Wilayah, Prioritas, Tana Toraja
SUMMARY GERSONY MIRI. Road Network Analysis and Handling Priority for Regional Development in Tana Toraja District. Under supervision of BABA BARUS and SOEKMANA SOMA. The availability of transportation infrastructure connecting cities with production centers provides opportunities and stimulates regional growth and economic development. Regional economic growth can be further accelerated if supported by transportation services that run smoothly, of adequate capacity, and accessible to the entire region. Tana Toraja District has a mobility index that exceeds the minimum standard for services in public works and spatial planning based on Regulation of Minister of Public Works No.14/PRT/M/2010, and therefore should focus its road transportation services through improving existing road networks, not through construction of new roads. With the multitude existing roads that the Tana Toraja District Government must manage with limited budget, a road network planning priority is needed to ensure effective allocation and use of the limited budget for Tana Toraja District development, especially in the road network sub-sector. This study attempts to provide an alternative solution for the Tana Toraja District Government in planning priority road networks for future regional development. This study aims to: (1) Obtain conformance between road networks and potential roads in Tana Toraja District, (2) Obtain regional growth level in Tana Toraja District, (3) Construct stakeholders’ perception of road network handling in Tana Toraja District, and (4) Compile and determine road network handling priority in Tana Toraja District. The methods employed in the study are descriptive analysis, Scalogram analysis, Analytical Hierarchy Process (AHP), and logical synthesis. Results show that the highest regional potential based on population density are Makale and North Makale Sub-Districts, while the highest regional potential based on agriculture production are Mengkendek Sub-District as the greatest rice producer and Bonggakaradeng Sub-District as the greatest non-rice crops (palawija) producer. For regional development, Makale and North Makale SubDistricts are ranked as hierarchy I areas as center of services; Gandangbatu Sillanan, Sangalla, Kurra, Bonggakaradeng, and Mappak Sub-Districts are ranked as hierarchy II area as sub-center of services; and South Makale, South Sangalla, North Sangalla, Mengkendek, Rano, Simbuang, Rembon, Rantetayo, Saluputti, Malimbong Balepe, Bittuang, and Masanda Sub-Disctricts are ranked as hierarchy III as hinterlands. Based on stakeholder perception, regional potential based on tourism objects are the priorities in determining road network priority in Tana Toraja District. Road networks that are priorities in regional development planning in Tana Toraja District are divided into two alternatives: (1) Batupapan – Rantekurra, Passobo – Kondodewata, Kokkang – Buakayu, Tetebassi – Kondoran, and tourism ring road network; and (2) Makale – Kaduaja, Batupapan – Rantekurra, Passobo – Kondodewata, Kokkang – Buakayu, Tetebassi – Kondoran, , and tourism ring road network.
The construction of one of these alternative road networks will facilitate the flow of people, goods, and services which will accelerate regional economic growth. Accelerated regional economic growth will stimulate the growth of other sectors. In turn, a good, functional relationship between regional center and hinterlands will be created and will mutually support the development of these areas. Keywords: priority, regional development, road network, Tana Toraja
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, Penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, Penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS JARINGAN JALAN DAN PRIORITAS PENANGANANNYA UNTUK PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN TANA TORAJA
GERSONY MIRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Setia Hadi, MS.
Judul Tesis : Analisis Jaringan Jalan dan Prioritas Penanganannya untuk Pengembangan Wilayah di Kabupaten Tana Toraja Nama : Gersony Miri NRP : A156120344 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Baba Barus, MSc. Ketua
Dr Ir Soekmana Soma, MSP, MEng. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.
Tanggal Ujian: 4 Maret 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis : Analisis Jaringan Jalan dan Prioritas Penanganannya untuk Pengembangan Wilayah di Kabupaten Tana Toraja Nama : Gersony Miri : A156120344 NRP
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Baba Barus, MSc. Ketua
Dr Ir Soekrnana Soma, MSP, :MEng. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
~.--
-----
Prof. Dr Ir Santun RP. Sitorus
Tanggal Ujian: 4 Maret 2014
Tanggal Lulus:
17 MAR 2014
PRAKATA Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Analisis Jaringan Jalan dan Prioritas Penanganannya untuk Pengembangan Wilayah di Kabupaten Tana Toraja” ini telah diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga dan dengan setulus hati kepada : 1.
2.
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kedua Komisi Pembimbing penulis. Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing yang di tengah kesibukannya selalu dapat meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan arahan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi Penulis, dan Bapak Dr. Ir. Soekmana Soma, MSP, M.Eng. selaku anggota komisi pembimbing yang juga selalu dapat meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing Penulis, Penguji luar komisi, Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS dan Ketua Program Studi Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, serta segenap dosen pengajar, asisten dan staff pengelola pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB, Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas) sebagai sponsor dalam menempuh pendidikan hingga penyelesaian karya ilmiah ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja, khususnya Dinas Pekerjaan Umum yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada Penulis, Rekan-rekan PWL angkatan 2012 kelas khusus Bappenas atas kebersamaan berbagi ilmu dan dukungan yang selalu menyemangati Penulis, Isteri tercinta dan anak terkasih atas pengertian dan dukungan moriil yang selalu memberikan semangat selama menempuh pendidikan hingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini, Kedua Orangtua dan saudara-saudara penulis atas segala dukungan doa, kasih sayang, dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini, Semua pihak yang berperan dalam proses penulisan karya ilmiah ini yang tak dapat Penulis sebut namanya satu per satu. Kepada mereka, Penulis mempersembahkan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor,
Maret 2014 Gersony Miri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Jalan Pengertian dan Peranan Jalan Sistem Jaringan Jalan Pengembangan Wilayah Teori Kutub Pertumbuhan Teori Sistem Lokasi Pusat Konsep Wilayah Nodal
5 5 5 5 7 8 8 11
3 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Analisis dan Pengolahan Data Analisis Deskriptif Analisis Skalogram Analytical Hierarchy Process (AHP) Sintesis Logika
12 12 13 13 14 14 14 16 20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis Kondisi Topografi Kondisi Demografi Potensi Sumber Daya Alam Tanaman Pangan Pariwisata Sistem Jaringan Jalan Pola Pergerakan Struktur Ruang Wilayah Kabupaten Sistem Perkotaan Wilayah Kabupaten Sistem Jaringan Prasarana Jalan Identifikasi Pusat-pusat Pertumbuhan Wilayah Analytical Hierarchy Process (AHP)
24 24 24 25 27 28 28 30 32 33 34 34 37 41 43
DAFTAR ISI (lanjutan) Struktur Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jaringan Jalan di Kabupaten Tana Toraja Jawaban Terhadap Penilaian Pada Level 2 Jawaban Terhadap Penilaian Pada Level 3 Bobot Penilaian Kriteria Bobot Penilaian Subkriteria Sintesis Prioritas Jaringan Jalan
43 43 45 46 49 51
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
56 56 56
DAFTAR PUSTAKA
57
LAMPIRAN
59
RIWAYAT HIDUP
69
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jenis Data yang Digunakan dan Sumber Data Variabel untuk Analisis Skalogram Penentuan Nilai Selang Kelas Hirarki Skala Dasar Tingkat Kepentingan Indeks Konsistensi Acak Berdasarkan Orde Matriks Nilai Rentang Penerimaan Bagi CR Matriks Analisis Penelitian Luas Kecamatan dan Jumlah Desa di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2011 Tinggi Rata-rata di Atas Permukaan Laut Menurut Kecamatan di Kabupaten Tana Toraja Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Pada per Kecamatan Tahun 2011 Produksi Tanaman Palawija per Kecamatan di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2011 Jenis Permukaan dan Kondisi Jalan Kabupaten Tana Toraja Jumlah Angkutan Umum Berdasarkan Jaringan Trayek di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2009 - 2011 Hasil Analisis Skalogram Menurut Kecamatan Tahun 2011 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Penilaian Kriteria Level 2 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Penilaian Subkriteria dari Aksesibilitas Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Penilaian Subkriteria dari Potensi Wilayah Matriks Perbandingan Terbalik Terhadap Penilaian Kriteria Matriks Eigen Vektor Terhadap Penilaian Kriteria Bobot Kriteria Bobot Subkriteria dari Aksesibilitas Bobot Subkriteria dari Potensi Wilayah
13 15 16 18 19 19 22 25 26 27 29 30 33 34 42 45 45 46 47 48 49 49 49
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Bagan Kerangka Pikir Cakupan Model Proses Hirarki Analitik Sintesis Prioritas Jaringan Jalan Diagram Alir Penelitian Peta Wilayah Administrasi Kecamatan Diagram Proporsi Luas Wilayah Kabupaten Tana Toraja Terhadap Ketinggian di Atas Permukaan Laut Diagram Kepadatan Penduduk Tahun 2011 Jumlah Produksi Padi per Kecamatan di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2011 Peta Potensi Wilayah Kabupaten Tana Toraja Tahun 2011 Tren Kunjungan Wisata Domestik dan Mancanegara di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2007 – 2011 Peta Lokasi Obyek Wisata Kabupaten Tana Toraja Peta Sistem Jaringan Jalan Kabupaten Peta Rencana Struktur Ruang Kabupaten Tana Toraja Peta Hirarki Wilayah Struktur Hirarki Penentuan Skala Prioritas Jaringan Jalan Bobot Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jaringan Jalan di Kabupaten Tana Toraja Peta Prioritas Jaringan Jalan Alternatif I Peta Prioritas Jaringan Jalan Alternatif II
12 17 21 23 24 26 28 29 31 32 32 35 40 42 44 50 53 55
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Daftar Status Jalan Kabupaten Tana Toraja Matriks Sistem Pengambilan Keputusan
59 64
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Transportasi merupakan kegiatan memindahkan atau mengangkut barang dan atau manusia dari suatu tempat asal (origin) ke tempat tujuan (destination). Selain itu, transportasi merupakan sektor tersier, yaitu sektor yang menyediakan jasa pelayanan pada sektor-sektor lain karena sektor-sektor lain tersebut membutuhkan jasa transportasi untuk mengangkut barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Adanya permintaan jasa transportasi dari sektor-sektor lain menyebabkan timbulnya penyediaan jasa transportasi. Jadi kapasitas transportasi harus disediakan secara seimbang dengan permintaan, agar mampu melayani pengembangan kegiatan sektor lain. Penyediaan kapasitas transportasi harus berorientasi kepada kebutuhan masa depan sehingga bersifat dinamis dan antisipatif. Selain sebagai sektor pelayanan, transportasi berfungsi pula sebagai sektor pendorong yang menyediakan fasilitas transportasi (prasarana dan sarana) untuk membuka daerah-daerah terisolasi, terpencil, tertinggal, dan perbatasan. Dengan menghubungkan pelayanan transportasi dari pusat pelayanan yang terletak tidak jauh ke daerah-daerah terisolasi, terpencil, tertinggal, dan perbatasan, maka interaksi antara keduanya menjadi lebih terjalin dan bertambah ramai, dampak positifnya adalah meningkatkan produksi dan produktivitas sektor-sektor potensial yang dimilikinya, meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, serta diharapkan akan mengurangi tingkat kesenjangan antara daerah yang maju dengan daerah yang kurang maju. Tersedianya jaringan prasarana transportasi yang menghubungkan ke seluruh kota dan pusat produksi di seluruh wilayah memberikan kesempatan dan mendorong pengembangan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat lebih dipacu peningkatannya bila didukung oleh pelayanan transportasi yang lancar, berkapasitas, dan tersedia ke seluruh wilayah. Untuk mencapai hal yang dimaksud, perencanaan pembangunan membutuhkan dukungan dilakukannya perencanaan sektor transportasi yang salah satu aspeknya adalah perencanaan jaringan transportasi. Perencanaan jaringan transportasi meliputi banyak jalan yang membentuk sistem jaringan prasarana jalan yang menjangkau ke seluruh kota dan pusat produksi yang tersebar di seluruh wilayah. Perencanaan jaringan jalan harus didasarkan pada distribusi penduduk dan kegiatan sektor di berbagai wilayah, serta rencana pemanfaatan ruang wilayah. Jaringan jalan dapat disusun secara sederhana yaitu menghubungkan pusat besar dengan pusat-pusat sedang, dan selanjutnya antara pusat sedang dengan pusat-pusat kecil. Sehubungan dengan adanya otonomi daerah, maka berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Tana Toraja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan salah satunya mendorong pertumbuhan sektor ekonomi melalui peningkatan layanan transportasi darat yang meliputi penanganan jaringan prasarana jalan kabupaten. Hal ini juga disebabkan oleh karena kondisi topografi dari Kabupaten Tana Toraja itu sendiri yang berada pada dataran tinggi yang dikelilingi oleh pegunungan dengan lereng curam yakni rata-rata kemiringan diatas
2 25%, sehingga layanan transportasi darat lebih mendapat prioritas dalam pengembangan kewilayahan. Kabupaten Tana Toraja yang memiliki luas wilayah ± 2.054,3 km2 dengan kepadatan penduduk mencapai 108 jiwa/km2 (BPS 2011) merupakan wilayah yang sangat berpotensi dalam pengembangan wilayahnya ke depan. Berdasarkan Permen PU No.14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, maka indeks mobilitas pelayanan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja masuk pada kategori II yaitu minimal 11,0 km/10.000 jiwa. Kabupaten Tana Toraja sendiri memiliki 166 ruas jalan kabupaten dengan panjang total 1.252,0 km yang tersebar di 19 kecamatan, sehingga angka mobilitas Kabupaten Tana Toraja pada tahun 2011 sudah mencapai 22,03 km/10.000 jiwa. Berdasarkan kenyataan tersebut, pembangunan jalan baru di Kabupaten Tana Toraja sebenarnya kurang begitu diperlukan. Namun kenyataannya, pemerintah daerah masih saja terus melakukan pembukaan ruas jalan baru, sementara ruas jalan yang sudah ada kurang mendapat perhatian yang ditandai dengan kondisi ruas-ruas jalan tersebut banyak dalam keadaan rusak. Pemerintah daerah seharusnya meningkatkan dan memelihara jaringan jalan yang sudah ada untuk kelancaran aksesibilitas agar lebih mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Juga dengan terlalu banyaknya jaringan jalan yang ada, dengan sendirinya akan membutuhkan biaya pemeliharaan yang cukup besar, sementara pemerintah daerah masih terkendala oleh keterbatasan dana penanganan jalan. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan prioritas jaringan jalan agar penanganannya menjadi lebih efektif dan efisien. Rumusan Masalah Dalam latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, perencanaan jaringan jalan sangat menentukan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah, yang mana dapat dipacu peningkatannya bila didukung oleh pelayanan transportasi yang lancar, berkapasitas, dan tersedia ke seluruh wilayah. Prasarana jaringan jalan yang baik akan dapat meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas, sehingga jangkauan terhadap berbagai kebutuhan ekonomi maupun sosial dapat dipenuhi. Jaringan jalan merupakan faktor terpenting dalam membentuk struktur tata ruang wilayah. Semua elemen pembentukan tata ruang wilayah secara langsung berkaitan dengan jaringan jalan. Setiap potensi yang ada dalam wilayah Kabupaten Tana Toraja, baik itu potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya buatan, hendaknya terhubungkan oleh suatu jaringan jalan, sehingga kemudahan aksesibilitas dan mobilitas antar wilayah dapat tercapai, yang pada gilirannya akan membuat wilayah dapat berkembang secara ekonomis. Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hirarki. Oleh karena itu, perencanaan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja sangat penting untuk mempertimbangkan tingkat perkembangan wilayah yang akan dilayani. Kabupaten Tana Toraja dengan indeks mobilitas yang telah melampaui standar pelayanan minimal bidang pekerjaan umum dan penataan ruang sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.14/PRT/M/2010, hendaknya lebih
3 memfokuskan pelayanan transportasi jalan melalui peningkatan jaringan jalan yang telah ada, bukan dengan membangun jaringan jalan yang baru. Dengan telah banyaknya ruas jalan yang ada dan harus ditangani oleh pemerintah daerah Kabupaten Tana Toraja sementara dana penanganan jalan sangat terbatas, maka diperlukan prioritas penanganan jaringan jalan agar alokasi dan penggunaan dana yang terbatas menjadi efektif bagi pembangunan dan pengembangan wilayah Kabupaten Tana Toraja, khususnya pada subsektor jaringan jalan. Dalam merencanakan jaringan jalan pada suatu wilayah, perlu mempertimbangkan potensi-potensi wilayah yang ada, keinginan/persepsi dari masyarakat, serta peraturan/kebijakan yang ada dari pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang menjadi permasalahan sebagai dasar penelitian ini adalah : 1. Apakah jaringan jalan yang telah berkembang saat ini telah sesuai dengan potensi wilayah yang ada dalam lingkup Kabupaten Tana Toraja? 2. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah dalam lingkup Kabupaten Tana Toraja? 3. Bagaimana persepsi stakeholder terhadap pengembangan jaringan jalan yang ada di Kabupaten Tana Toraja? 4. Bagaimana menentukan prioritas penanganan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja untuk pengembangan wilayahnya? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis kesesuaian antara jaringan jalan dengan potensi-potensi wilayah Kabupaten Tana Toraja. 2. Mengetahui tingkat perkembangan wilayah dalam lingkup Kabupaten Tana Toraja. 3. Mengkonstruksikan persepsi stakeholder terhadap perencanaan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja. 4. Menyusun dan menentukan prioritas penanganan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja untuk pengembangan wilayahnya. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi lembaga instansi terkait dan Pemerintah Daerah dalam merencanakan jaringan jalan untuk pengembangan wilayah di Kabupaten Tana Toraja. Penelitian ini juga dapat menjadi referensi bagi penelitian berikutnya terutama yang berkaitan dengan bidang perencanaan pembangunan wilayah. Ruang Lingkup Penelitian Obyek penelitian ini dibatasi hanya pada jaringan jalan kabupaten, dimana untuk jaringan jalan propinsi dan nasional diasumsikan dalam keadaan baik. Untuk
4 kajian potensi wilayah dilihat melalui obyek wisata, potensi pertanian, fasilitas umum yang terbangun, dan potensi lain yang direncanakan dalam RTRW kabupaten.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Jalan Pengertian dan Peranan Jalan Dalam Undang-Undang Jalan (No. 38 tahun 2004) menyatakan bahwa jalan mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga akan mendorong pengembangan semua sarana wilayah, pengembangan dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin merata. Artinya infrastruktur jalan merupakan urat nadi perekonomian suatu wilayah. Hal ini disebabkan perannya dalam menghubungkan serta meningkatkan pergerakan manusia, dan barang. Menurut Djakapermana (2010), sebagai komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah, sistem jaringan jalan berperan memperlancar kegiatan aliran orang, barang dan jasa, sehingga secara langsung akan menurunkan biaya produksi yang pada gilirannya membuat wilayah yang bersangkutan akan berkembang secara ekonomis. Keberadaan infrastruktur jalan yang baik dan lancar untuk dilalui, sangat penting peranannya dalam mengalirkan pergerakan komoditas yang selanjutnya akan mampu menggerakkan perkembangan peri kehidupan sosial dan meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat. Sementara menurut Hotrin (2011), jalan mempunyai peranan untuk mendorong pengembangan dan pertumbuhan suatu daerah. Artinya, infrastruktur jalan merupakan urat nadi perekonomian suatu wilayah karena perannya dalam menghubungkan antar lokasi aktivitas penduduk. Keberadaan infrastruktur jalan yang lancar penting perannya untuk mengalirkan pergerakan komoditas dan orang, selanjutnya dapat menggerakkan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Pengadaan jalan tersebut dilaksanakan dengan mengutamakan pembangunan jaringan jalan di pusat-pusat produksi serta jalan yang menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasaran. Oleh karena itu pengadaan jalan sangat penting dilakukan untuk menunjang pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dan perekonomian. Sistem Jaringan Jalan Dalam Peraturan Pemerintah (Nomor 34 Tahun 2006) tentang Jalan, menyebutkan bahwa jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu-lintas. Bangunan pelengkap jalan adalah bangunan yang tidak bisa dipisahkan dari jalan, antara lain: jembatan, ponton, lintas atas (overpass), lintas bawah (underpass), tempat parkir, goronggorong, tembok penahan, saluran air, dan sebagainya. Perlengkapan jalan adalah rambu-rambu, marka jalan, pagar pengaman lalu-lintas, lampu jalan, dan lain-lain. Menurut Adisasmita (2011), jalan diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan status kewenangannya, yaitu: a). Klasifikasi jalan berdasarkan fungsi, terdiri atas :
6 1. Sistem Jaringan Jalan Primer, yaitu jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. Sistem jaringan jalan primer ini terdiri atas: (i). Jalan arteri primer, yaitu ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu (pusat kegiatan nasional) dengan kota jenjang kesatu yang berdampingan atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua (pusat kegiatan wilayah). (ii). Jalan kolektor primer, yaitu ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua lainnya atau yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga (pusat kegiatan lokal). (iii). Jalan lokal primer, yaitu ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya atau yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang yang ada di bawah pengaruhnya (pusat kegiatan lokal pedesaan). 2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder, yaitu jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Sistem jaringan jalan sekunder ini terdiri atas : (i). Jalan arteri sekunder, yaitu ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, antar kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. (ii). Jalan kolektor sekunder, yaitu ruas jalan yang menghubungkan antar kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. (iii). Jalan lokal sekunder, yaitu ruas jalan yang menghubungkan kawasankawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. b). Klasifikasi jalan berdasarkan status kewenangan, terdiri atas : 1. Jalan Nasional, yaitu ruas jalan yang karena tingkat kepentingan dan kewenangan pembinaannya berada pada pemerintah pusat. Ruas jalan yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : (i). Jalan arteri primer (ii). Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi (iii). Jalan lainnya yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional. 2. Jalan Propinsi, yaitu ruas jalan yang berdasarkan tingkat kepentingan dan kewenangan pembinaannya diserahkan pada Pemerintah Daerah Propinsi. Ruas jalan yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : (i). Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota kabupaten, propinsi dengan ibukota kabupaten/kota. (ii). Jalan lainnya yang mempunyai nilai strategis ditinjau dari segi kepentingan propinsi. (iii). Jalan yang ada di dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali yang ditetapkan sebagai jalan nasional.
7 3. Jalan Kota/Kabupaten, yaitu ruas jalan yang berdasarkan tingkat kepentingan dan kewenangan pembinaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Ruas jalan yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : (i). Jalan kolektor primer yang tidak masuk ke dalam baik jalan nasional maupun jalan propinsi. (ii). Jalan lokal primer. (iii). Jalan sekunder yang tidak masuk ke dalam baik jalan nasional maupun jalan propinsi. (iv). Jalan sekunder yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan Pusat Kegiatan Lokal (PKL), atau antar PKL. (v). Jalan lainnya yang mempunyai nilai strategis ditinjau dari segi kepentingan kabupaten/kota. (vi). Jalan khusus, yaitu jalan yang berdasarkan tingkat kepentingannya bersifat khusus, maka kewenangannya diserahkan kepada instansi/badan hukum/perseorangan yang membangun dan mengelola jalan tersebut. 4. Jalan Desa, yaitu jalan umum yang menghubungkan kawasan dan atau antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan yang wewenangnya diserahkan kepada pemerintah desa. Pengembangan Wilayah Pada hakekatnya pengembangan (development) dapat diartikan sebagai upaya untuk memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup. Mengacu pada filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stakeholders (masyarakat, pemerintah, pengusaha) di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah tersebut dengan instrumen yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi (Hotrin 2011). Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa tujuan utama dari pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumber daya yang ada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan dalam alam lingkungan yang berkelanjutan. Menurut Undang-Undang Penataan Ruang (No.26 tahun 2007), konsep pengembangan wilayah disusun atas dasar keinginan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan untuk menyejahterakan rakyat dengan mempertimbangkan prinsip keberlanjutan, menjaga keserasian, dan mencegah adanya kesenjangan baik antar pusat dan daerah, antar desa dan kota, maupun antar wilayah/kawasan, menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, serta berbasis mitigasi bencana untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan.
8 Pembangunan jaringan infrastruktur wilayah harus menunjang dan mendorong pembangunan wilayah, maka harus direncanakan secara tepat dan menjangkau ke seluruh bagian wilayah. Untuk itu harus diketahui tentang potensi, kondisi dan karakteristik wilayahnya, yang dilakukan melalui kegiatan identifikasi data penduduk dan berbagai kegiatan sektoral serta distribusinya secara spasial serta data ketataruangan, yang diperkuat lagi tentang struktur dasar pengembangan wilayah yang menjelaskan tentang susunan pusat-pusat secara hierarkis yang dihubungkan oleh jaringan infrastruktur transportasi (Oktaviana et al. 2011). Menurut Rustian dalam Septiana dan Hendarto (2012), transportasi mempunyai peran yang sangat penting bagi berkembangnya suatu kota karena dinilai sebagai pendukung kegiatan ekonomi suatu kota yang berfungsi menyediakan jasa pelayanan bagi pergerakan manusia maupun barang/jasa untuk sampai pada lokasi pemasarannya. Teori Kutub Pertumbuhan Teori kutub pertumbuhan yang dikembangkan oleh Francois Perraoux seorang ahli ekonomi Perancis berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri, adalah bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah dan perkembangan itu menyebar sepanjang saluransaluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Adisasmita 2005). Menurut Tarigan (2007), suatu wilayah atau kawasan dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan apabila memenuhi kriteria sebagai pusat pertumbuhan baik secara fungsional maupun secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan merupakan lokasi dengan fasilitas dan kemudahan yang mampu menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) serta menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi dan masyarakat pun memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut, sehingga wilayah sebagai pusat pertumbuhan pada dasarnya harus mampu mencirikan antara lain: hubungan internal dari berbagai kegiatan atau adanya keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya, keberadaan sektor-sektor yang saling terkait menciptakan efek pengganda yang mampu mendorong pertumbuhan daerah belakangnya, adanya konsentrasi geografis berbagai sektor atau fasilitas yang menciptakan efisiensi, serta terdapat hubungan yang harmonis antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya. Dalam penerapannya, teori kutub pertumbuhan digunakan sebagai alat kebijakan dalam perencanaan pembangunan daerah. Banyak negara telah menerima konsep kutub pertumbuhan sebagai alat transformasi ekonomi dan sosial pada skala regional (Rustiadi et al. 2011). Teori Sistem Lokasi Pusat Teori lokasi pusat pertama kali diperkenalkan oleh Walter Christaller seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman. Teori ini timbul dari perhatian Christaller
9 terhadap penyebaran permukiman, desa, dan kota-kota yang berbeda-beda ukuran luasnya di Jerman Selatan. Penyebaran tersebut kadang bergerombol atau berkelompok, kadang juga terpisah jauh antara satu dengan yang lainnya. Menurut Christaller dalam Jayadinata (1999), pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terjadi secara jelas di wilayah yang mempunyai syarat: (1) topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2) kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batubara. Menurut proses yang sama, jika perkembangan wilayah meningkat akan berkembang hierarki jenjang ketiga, yaitu salah satu kampung akan tumbuh menjadi kota yang dikelilingi oleh enam kampung yang dilayaninya. Pada hierarki jenjang keempat terdapat kota besar yang dikelilingi oleh enam kota yang dilayaninya. Karena perkembangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kota-kota umumnya timbul sebagai akibat perkembangan potensi wilayah (alam dan manusia), dan kemudian kota sebagai pusat pelayanan berperan dalam mengembangkan wilayah. Sementara itu, ide dasar yang dikemukakan oleh Losch (1954) adalah bahwa ukuran relatif wilayah pemasaran suatu perusahaan, digambarkan sebagai tempat penjualan produk perusahaan dipengaruhi oleh biaya-biaya transportasi dan skala ekonomi. Jika pengaruh skala ekonomi relatif lebih besar dari biaya transportasi maka seluruh produksi akan terkumpul pada satu tempat. Jika pengaruh biaya transportasi relatif lebih besar dari skala ekonomi maka perusahaan akan menyebar ke seluruh wilayah. Tarigan (2005) menyatakan pembagian hierarki pusat-pusat pelayanan di suatu wilayah sering tidak merata sehingga mengakibatkan ketidakmerataan di dalam pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, kadang akses untuk mencapai pusat pelayanan sulit, sehingga mengakibatkan wilayah belakang (hinterland) menjadi terbelakang karena tidak ditunjang dengan jumlah fasilitas yang memadai untuk dapat meningkatkan produktivitasnya maupun pelayanannya kepada masyarakat. Lebih jauh Tarigan (2005) mengatakan untuk mengatasi hal tersebut maka dibutuhkan suatu usaha untuk meningkatkan peran pusat-pusat pelayanan, termasuk dengan meningkatkan akses kemudahan pencapaian dari wilayah belakang menuju pusat pelayanan yang terdekat. Dalam sistem pelayanan yang baik harus memiliki keseimbangan antara pola kebutuhan dan jasa pelayanan sehingga dalam peningkatan kebutuhan akan diikuti dengan jasa pelayanan yang semakin besar. Apabila jumlah penduduk di suatu wilayah dengan satu pusat telah melebihi ambang batas dan terus meningkat hingga mencapai jumlah tertentu, kemungkinan penduduk yang berada jauh dari pusat telah melebihi jarak ekonomi, sehingga mereka akan mencari pelayanan di pusat-pusat lainnya yang terdekat. Menurut Hotrin (2011), dalam melakukan strategi pengembangan wilayah di pusat-pusat pelayanan memiliki beberapa keuntungan, antara lain : a). Adanya penghematan terhadap investasi yang dikeluarkan, karena strategi yang bersifat desentralisasi konsentrasi sehingga tidak semua wilayah mendapatkan investasi tetapi hanya wilayah yang berpotensi saja.
10 b) Adanya perkembangan pusat-pusat pelayanan hingga ke wilayah belakang (hinterland) melalui akses pencapaian yang memadai untuk mengatasi kesenjangan wilayah. c) Terselenggaranya pengembangan antara kota dan desa dengan baik karena saling menguntungkan. Fisher dan Rushton dalam Rezeki (2007) menyatakan bahwa jaringan pusatpusat pelayanan yang memiliki hierarki akan menguntungkan penduduk di sekitar pusat tersebut karena: a) Membuat efisiensi bagi konsumen karena pemenuhan terhadap kebutuhan yang berbeda-beda akan didapatkan dengan sekali bepergian keluar dari desa. b) Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan antar desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai cara alternatif terhadap jalur hubungan sehingga jalur yang paling penting dan kemampuan pemenuhan kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat dimanfaatkan secara optimal. c) Mengurangi panjang jalan yang harus ditingkatkan karena sudah diketahui jalur yang paling penting bagi setiap desa sehingga dapat ditentukan prioritas dalam pengembangan jalan. d) Mengurangi biaya untuk penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan bagi fasilitas-fasilitas yang ada, karena biaya tersebut ditanggung secara bersamasama. e) Pengawasan lebih efektif dan ekonomis karena berbagai aktivitas bergabung menjadi satu di pusat pelayanan. f) Memudahkan adanya pertukaran informasi antar berbagai aktivitas yang saling berhubungan. g) Lokasi-lokasi dengan keunggulan lokasi sumberdaya akan berkembang secara spontan sebagai respon terhadap kebutuhan di wilayah belakangnya (hinterland). Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa wilayah dalam perkembanganya memiliki pusat dan subpusat sebagai wilayah pengaruhnya. Pusat dapat diartikan sebagai kota yang menjadi pusat pelayanan dan terkonsentrasinya kegiatan. Besarnya wilayah kota dipengaruhi oleh jarak pelayanan bagi penduduknya, sehingga dalam satu pusat dapat memberikan pelayanan maksimalnya. Penduduk yang belum menerima pelayanan, akan dilayani oleh pusat lainnya sehingga hubungan antar pusat tersebut akan membentuk pola heksagonal dimana masingmasing wilayah pengaruh memiliki pusat sendiri. Lebih jauh Hotrin (2011), menyatakan bahwa pembangunan jaringan jalan dalam hubungannya dengan pengembangan wilayah dapat dilihat berdasarkan indikator: 1. Kelancaran aksesibilitas antar daerah, dimana dengan pembangunan dan penanganan jaringan jalan maka aksesibilitas antar daerah akan semakin lancar. 2. Peningkatan hubungan antar daerah, dengan kelancaran aksesibilitas maka hubungan antar daerah juga akan semakin berkembang. 3. Kelancaran transportasi barang dan manusia, infrastruktur jalan sangat dibutuhkan dalam transportasi barang dan manusia, termasuk transportasi hasil-hasil pertanian ke daerah-daerah pemasaran. Kelancaran transportasi akan mengurangi biaya transportasi hasil-hasil produksi pertanian.
11 4.
Penghematan waktu tempuh, kondisi jalan yang lancar akan menghemat waktu tempuh, yang kemudian akan mengurangi biaya transportasi hasil-hasil produksi, khususnya produksi pertanian.
Konsep Wilayah Nodal Rustiadi et al. (2011) menggambarkan konsep wilayah nodal sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai inti dan plasma, dimana inti merupakan pusat-pusat pelayanan dan atau pemukiman, sedangkan plasma merupakan daerah belakang/hinterland yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional. Konsep wilayah nodal lebih berfokus pada peran pengendalian / pengaruh pusat serta hubungan ketergantungan pusat dan elemen-elemen sekelilingnya. Lebih jauh Rustiadi et al. (2011) menjelaskan pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas pertanian maupun industri; (4) lokasi pemusatan industri manufaktur. Sementara hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting (menglaju); (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur; (4) penjaga keseimbangan ekologis. Secara operasional, pusat-pusat wilayah mempunyai hirarki yang ditentukan oleh kapasitas pelayanannya, yaitu kapasitas sumberdaya suatu wilayah yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Kapasitas sumberdaya buatan meliputi kapasitas pelayanan infrastuktur wilayah yang dapat diukur dari: (1) jumlah sarana pelayanan; (2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada; (3) kualitas sarana pelayanan. Semakin banyak jumlah dan jumlah jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi aktivitas sosial ekonomi mencerminkan kapasitas pusat wilayah yang tinggi, yang berarti juga menunjukkan hirarki pusat yang tinggi. Pusat-pusat yang berhirarki tinggi melayani pusat-pusat dengan hirarki yang lebih rendah disamping juga melayani hinterland di sekitarnya. Menurut Panuju (2012), pusat yang merupakan inti sel mengatur proses berjalannya interaksi dari setiap komponen sel, sementara hinterland yang merupakan plasma mendukung keberlangsungan hidup sel dan mengikuti pengaturan yang dibangun oleh inti. Suatu wilayah yang dianalogikan sebagai satu sel, maka kota utama yang menjadi inti dari wilayah memiliki fungsi penting dan berperan besar dalam mempengaruhi jalannya interaksi antar berbagai hinterland karena pusat memiliki daya tarik kuat bagi hinterland. Daya tarik tersebut berupa berbagai layanan yang didukung fasilitas dan infrastruktur yang lengkap. Hinterland mendukung berjalannya proses penting yang dilakukan di pusat, yaitu proses-proses transaksi dan peningkatan nilai tambah produksi. Industri dan jasa sebagai aktifitas yang berperan besar dalam peningkatan nilai tambah akan berkembang pesat di wilayah kota dengan fasilitas yang lengkap tersebut. Sebaliknya, hinterland sebagai pendukung berlangsungnya proses di pusat memiliki keunggulan sumberdaya dasar untuk mendukung proses peningkatan nilai tambah di pusat.
12
3 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Tersedianya jaringan prasarana transportasi yang menghubungkan ke seluruh kota dan pusat produksi di seluruh wilayah memberikan kesempatan dan mendorong pengembangan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat lebih dipacu peningkatannya bila didukung oleh pelayanan transportasi yang lancar, berkapasitas, dan tersedia ke seluruh wilayah. Untuk mencapai hal yang dimaksud, perencanaan pembangunan membutuhkan dukungan dilakukannya perencanaan sektor transportasi yang salah satu aspeknya adalah perencanaan jaringan transportasi. Perencanaan jaringan transportasi meliputi banyak jalan yang membentuk sistem jaringan prasarana jalan yang menjangkau ke seluruh kota dan pusat produksi yang tersebar di seluruh wilayah. Perencanaan jaringan jalan harus didasarkan pada distribusi penduduk dan kegiatan sektor di berbagai wilayah, serta rencana pemanfaatan ruang wilayah. Jaringan jalan dapat disusun secara sederhana yaitu menghubungkan pusat besar dengan pusat-pusat sedang, dan selanjutnya antara pusat sedang dengan pusat-pusat kecil. Kabupaten Tana Toraja dengan indeks mobilitas yang telah melampaui standar pelayanan minimal bidang pekerjaan umum dan penataan ruang sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.14/PRT/M/2010, hendaknya lebih memfokuskan pelayanan transportasi jalan melalui peningkatan jaringan jalan yang telah ada, bukan dengan membangun jaringan jalan yang baru. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh jaringan jalan yang dapat diprioritaskan penanganannya untuk pengembangan wilayah di Kabupaten Tana Toraja dengan melihat dari tiga sisi yaitu potensi wilayah sebagai fakta yang ada, persepsi/keinginan stakeholder, dan kebijakan/peraturan pemerintah yang berlaku dalam hal ini yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten. Secara diagramatis, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. PRIORITAS PENANGANAN JARINGAN JALAN
POTENSI WILAYAH
PERSEPSI STAKEHOLDER
KEBIJAKAN PEMERINTAH
JARINGAN JALAN PRIORITAS UNTUK PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN TANA TORAJA
Gambar 1 Bagan Kerangka Pikir
13 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Tana Toraja meliputi 19 Kecamatan yang secara geografis terletak di bagian Utara Propinsi Sulawesi Selatan yaitu antara 2° - 3° Lintang Selatan dan 119° - 120° Bujur Timur, dengan luas wilayah tercatat 2.054,30 km2. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan Oktober 2013. Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan bahan/data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dilapang (wawancara), penyebaran kuesioner, observasi dan dokumentasi. Data sekunder diperoleh melalui metode riset pustaka dan dari data-data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait antara lain BPS Kab. Tana Toraja, Bapedda Kab. Tana Toraja, Dinas Perhubungan Kab. Tana Toraja, Dinas Pekerjaan Umum Kab. Tana Toraja, serta Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kab. Tana Toraja. Untuk lebih jelasnya data yang digunakan dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis Data yang Digunakan dan Sumber Data No 1. 2.
Jenis Data Data Primer 1. Wawancara 2. Kuisioner Data Sekunder 1. Data Ruas Jalan Kabupaten 2. Data Jumlah Penduduk 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sumber Stakeholder Stakeholder
Dinas PU Kab. Tana Toraja Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Tana Toraja Data Potensi Desa BPS Kab. Tana Toraja Data Potensi Pertanian BPS Kab. Tana Toraja Data Potensi Pariwisata Dinas Pariwisata Kab. Tana Toraja RTRW Kab. Tana Toraja Bappeda Kab. Tana Toraja Data Jumlah Kendaraan Angkutan Umum Dinas Perhubungan Kab. Tana Toraja Data Anggaran Penanganan Jalan DPPKAD Kab. Tana Toraja
Pengambilan data primer dikumpulkan melalui hasil wawancara dan pengumpulan kuesioner dari responden yang mempunyai informasi yang cukup dan ahli pada bidang transportasi. Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa responden adalah aktor dan pengguna jalan yang dianggap mempunyai kemampuan berperanserta dan mengerti permasalahan terkait dengan pengembangan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja. Oleh karena itu, maka yang menjadi responden penelitian ini adalah dari para pimpinan daerah, pimpinan instansi terkait, akademisi, konsultan, dan tokoh masyarakat dengan total jumlah responden 12 orang.
14 Adapun alat yang digunakan berupa seperangkat komputer yang dilengkapi perangkat lunak ArcGIS 9.3, Microsoft Word, dan Microsoft Excell. Serta peralatan penunjang berupa printer, kamera digital, tape recorder, dan peralatan menulis. Analisis dan Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan baik berupa data primer dan sekunder kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian. Adapun metode analisis data yang digunakan yaitu: Analisis Deskriptif Metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole 1992). Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan, yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Pada penelitian ini analisis deskriptif digunakan untuk mengungkapkan atau menggambarkan mengenai keadaan atau fakta-fakta yang akurat dari obyek yang diamati, yaitu: data ruas jalan kabupaten, data potensi sumberdaya alam (tanaman pangan dan pariwisata), data potensi sumberdaya manusia (kepadatan penduduk), dan data-data dalam RTRW kabupaten yang disesuaikan dengan teori atau dalil yang berlaku dan diakui. Analisis Skalogram Suatu wilayah yang berkembang secara ekonomi dicirikan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana serta tingkat aksesibilitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Salah satu cara untuk mengukur hirarki wilayah adalah dengan analisis skalogram. Asumsi yang digunakan adalah bahwa wilayah yang memiliki ranking tertinggi adalah lokasi yang menjadi pusat layanan. Berdasarkan analisis ini, dapat ditentukan prioritas infrastruktur jaringan jalan di setiap unit wilayah yang dianalisis dan tingkat perkembangan wilayahnya. Data yang digunakan dalam analisis skalogram meliputi data umum wilayah, aksesibilitas ke pusat layanan, keadaan perekonomian wilayah yang ditunjukkan oleh aktifitas masyarakat yang ada di wilayah tersebut, dan data tentang fasilitas umum yang meliputi data jumlah fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, komunikasi, dan data penunjang lainnya. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel-variabel yang telah dimodifikasi dengan mempertimbangkan tujuan penelitian yang berkaitan dengan perencanaan prioritas jaringan jalan. Variabel yang digunakan dalam analisis skalogram ini disajikan dalam Tabel 2. Selanjutnya terhadap masing-masing data atau variabel dilakukan pembobotan dan standarisasi. Secara terinci, prosedur kerja penyusunan hirarki wilayah menggunakan Skalogram berbobot adalah sebagai berikut : a. Dilakukan pemilihan terhadap data Potensi Desa di seluruh kecamatan, sehingga yang tinggal hanya data yang bersifat kuantitatif, yang kemudian diseleksi berdasarkan parameter yang relevan untuk digunakan.
15 Tabel 2 Variabel untuk Analisis Skalogram No. Variabel 1. Jumlah Penduduk 2. Luas Kecamatan 3. Jarak dari ibukota kecamatan ke ibukota kabupaten 4. Jumlah TK 5. Jumlah SD 6. Jumlah SLTP 7. Jumlah SMU / SMK 8. Jumlah Perguruan Tinggi 9. Jumlah Pendidikan Keterampilan 10. Jumlah Rumah Sakit Umum 11. Jumlah Rumah Sakit Bersalin 12. Jumlah Puskesmas Pembantu (Pustu) 13. Jumlah Posyandu 14. Jumlah Pondok Bersalin Desa (Polindes) 15. Jumlah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) 16. Jumlah Puskesmas 17. Jumlah Tempat Praktek Dokter 18. Jumlah Apotek 19. Jumlah Terminal Penumpang Kendaraan Bermotor Roda 4 atau lebih 20. Jumlah Kios Sarana Produksi Pertanian 21. Jumlah Industri UKM 22. Jumlah Supermaket / pasar swalayan / toserba / minimarket 23. Jumlah Restoran / Rumah Makan 24. Jumlah Toko / Warung Kelontong 25. Jumlah Kedai Makanan 26. Jumlah Hotel 27. Jumlah Wisma 28. Jumlah Bank Umum (Kantor Pusat / Cabang / Capem) 29. Jumlah Bank Perkreditan Rakyat 30. Jumlah Koperasi Aktif 31. Jumlah Pasar 32. Jumlah Lapangan Olahraga (Sepak bola, Bulutangkis, Tenis, Volley) 33. Jumlah Sarana Ibadah 34. Jumlah Obyek Wisata b. c.
Memisahkan antara data jarak dengan data jumlah fasilitas, hal ini karena antara data jarak dengan jumlah fasilitas bersifat berbanding terbalik. Rasionalisasi data dilakukan terhadap data jarak dan fasilitas. Data jarak diinverskan dengan rumus : y = 1/xij, dimana y adalah variabel baru dan xij adalah data jarak j di wilayah i. Untuk nilai y yang tidak terdefinisi (xij = 0), maka nilai y dicari dengan rumus : y = xij(max) + simpangan baku jarakj.
16
d. e.
Selanjutnya data fasilitas diubah menjadi data kapasitas dengan cara jumlah fasilitas j di wilayah i dibagi dengan jumlah penduduk di wilayah i. Pembobotan dilakukan terhadap data kapasitas dengan cara data kapasitas j dibagi dengan bobot fasilitas j, dimana bobot fasilitas j = jumlah total kapasitas j dibagi dengan jumlah wilayah yang memiliki fasilitas j. Standarisasi data dilakukan terhadap variabel-variabel baru dari data jarak dan fasilitas (berbobot) dengan menggunakan persamaan : − = dimana :
f.
g.
= variabel baru untuk wilayah ke-i dan jenis fasilitas atau jarak ke-j. = jumlah sarana untuk wilayah ke-i dan jenis sarana atau jarak ke-j. = nilai minimum untuk jenis sarana atau jarak ke-j. = simpangan baku untuk jenis sarana atau jarak ke-j. Indeks Perkembangan Kecamatan / Desa (IPK / IPD) ditentukan dengan cara menghitung jumlah hasil standarisasi sarana dan aksesibilitas pada suatu wilayah. Kemudian nilai IPK / IPD diurutkan nilainya dari yang terbesar sampai terkecil untuk ditentukan kelas hirarkinya. Pada penelitian ini, IPK dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelas hirarki, yaitu hirarki I (tinggi), hirarki II (sedang), hirarki III (rendah). Penentuan kelas hirarki didasarkan pada nilai standar deviasi (Stdev) IPK / IPD dan nilai rataannya, seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Penentuan Nilai Selang Kelas Hirarki No. Kelas Nilai Selang 1. Hirarki I IPD > (rataan + Stdev) 2. Hirarki II Rataan < IPD < Stdev 3. Hirarki III IPD < rataan
Tingkat Hirarki Tinggi Sedang Rendah
Beberapa keunggulan dari penggunaan metode analisis ini yaitu antara lain: (1) Memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk dan tersedianya fasilitas pelayanan; (2) Secara cepat dapat mengorganisasikan data dan mengenal wilayah; (3) Membandingkan pemukiman-pemukiman dan wilayah-wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas pelayanan; (4) Memperlihatkan hirarki pemukiman/wilayah; (5) Secara potensial dapat digunakan untuk merancang fasilitas baru dan memantaunya (Budiharsono 2001). Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hirarki Analitik (PHA) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari University of Pittsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Menurut Saaty (2000), PHA adalah suatu pendekatan pengambilan keputusan yang dirancang untuk membantu pencarian solusi dari berbagai permasalahan multikriteria yang kompleks dalam sejumlah ranah aplikasi. Metode ini telah didapati sebagai pendekatan yang praktis dan efektif yang dapat mempertimbangkan keputusan yang tidak tersusun dan rumit (Partovi 1994). Hasil akhir PHA adalah suatu ranking atau pembobotan prioritas dari tiap alternatif keputusan atau disebut elemen. Secara
17 mendasar, ada tiga langkah dalam pengambilan keputusan dengan PHA, yaitu: membangun hirarki, penilaian, dan sintesis prioritas (Gambar 2). Analytic Hierarchy Process
Pembentukan Hirarki
Penilaian Kriteria
Sintesis Prioritas
Gambar 2 Cakupan Model Proses Hirarki Analitik Pembentukan Hirarki Struktural Langkah ini bertujuan memecah suatu masalah yang kompleks disusun menjadi suatu bentuk hirarki. Suatu struktur hirarki sendiri terdiri dari elemenlemen yang dikelompokan dalam tingkatan-tingkatan (level). Dimulai dari suatu sasaran pada tingkatan puncak, selanjutnya dibangun tingkatan yang lebih rendah yang mencakup kriteria, subkriteria dan seterusnya sampai pada tingkatan yang paling rendah. Sasaran atau keseluruhan tujuan keputusan merupakan puncak dari tingkat hirarki. Kriteria dan subkriteria yang menunjang sasaran berada di tingkatan tengah. Alternatif atau pilihan yang hendak dipilih berada pada level paling bawah dari struktur hirarki yang ada. Menurut Saaty (2000), suatu struktur hirarki dapat dibentuk dengan menggunakan kombinasi antara ide, pengalaman dan pandangan orang lain. Karenanya, tidak ada suatu kumpulan prosedur baku yang berlaku secara umum dan absolut untuk pembentukan hirarki. Struktur hirarki tergantung pada kondisi dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi serta detail penyelesaian yang dikehendaki. Karenanya struktur hirarki kemungkinan berbeda antara satu kasus dengan kasus yang lainnya. Dalam penelitian ini, struktur hirarki yang digunakan terdiri atas 3 tingkatan, dimana pada tingkat 1 merupakan tujuan analisis, yaitu untuk menentukan skala prioritas penanganan jaringan jalan berdasarkan faktor-faktor pada tingkatan di bawahnya. Pada tingkat 2 merupakan kriteria yang terdiri atas faktor aksesibilitas dan faktor potensi wilayah. Pada tingkat 3 merupakan subkriteria dari tingkat 2 yang masing-masing terdiri atas: (i) untuk kriteria aksesibilitas terdiri atas faktor kondisi jalan, penghematan waktu tempuh, dan volume lalu lintas; (ii) untuk kriteria potensi wilayah terdiri atas faktor obyek wisata, pusat pemerintahan, pusat perdagangan (pasar), pusat pertanian, dan padat penduduk. Penilaian Kriteria Apabila hirarki telah terbentuk, langkah selanjutnya adalah menentukan penilaian prioritas elemen-elemen pada tiap level. Untuk itu dibutuhkan suatu matriks perbandingan yang berisi tentang kondisi tiap elemen yang digambarkan dalam bentuk kuantitaif berupa angka-angka yang menunjukan skala penilaian (1 – 9). Tiap angka skala mempunyai arti tersendiri seperti yang ditunjukan dalam Tabel 4. Penentuan nilai bagi tiap elemen dengan menggunakan angka skala bisa sangat
18 subyektif, tergantung pada pengambil keputusan. Karena itu, penilaian tiap elemen hendaknya dilakukan oleh para ahli atau orang yang berpengalaman terhadap masalah yang ditinjau sehingga mengurangi tingkat subyektifitasnya dan meningkatkan unsur obyektifitasnya. Tabel 4 Skala Dasar Tingkat Kepentingan Bobot/Tingkat Pengertian Penjelasan Kepentingan 1 Sama penting Dua faktor memiliki pengaruh yang sama terhadap sasaran 3 Sedikit lebih Salah satu faktor sedikit lebih penting berpengaruh dibanding faktor lainnya 5 Lebih penting Salah satu faktor lebih berpengaruh dibanding faktor lainnya 7 Sangat lebih Salah satu faktor sangat lebih penting berpengaruh dibanding faktor lainnya 9 Jauh lebih Salah satu faktor jauh lebih berpengaruh penting dibanding faktor lainnya 2,4,6,8 Antara nilai Diantara kondisi di atas yang di atas Sumber : Saaty (2000)
Sintesis Prioritas Perbandingan antar pasangan elemen membentuk suatu matriks perankingan relatif untuk tiap elemen pada tiap level dalam hirarki. Jumlah matriks akan tergantung pada jumlah tingkatan pada hirarki. Ukuran matriks tergantung pada jumlah elemen pada level bersangkutan. Setelah semua matriks terbentuk dan semua perbandingan tiap pasangan elemen didapat, selanjutnya dapat dihitung matriks eigen (eigenvector), pembobotan, dan nilai eigen maksimum. Nilai eigen maksimum merupakan nilai parameter validasi yang sangat penting dalam teori PHA. Nilai ini digunakan sebagai indeks acuan (reference index) untuk memayar (screening) informasi melalui perhitungan rasio konsistensi (Consistency Ratio (CR)) dari matriks estimasi dengan tujuan untuk memvalidasi apakah matriks perbandingan telah memadai dalam memberikan penilaian secara konsisten atau belum (Saaty 2000). Nilai rasio konsistensi (CR) sendiri dihitung dengan urutan sebagai berikut: 1) Vektor eigen dan nilai eigen maksimum dihitung pada tiap matriks pada tiap level hirarki 2) Selanjutnya dihitung indeks konsistensi untuk tiap matriks pada tiap level hirarki dengan menggunakan rumus: CI = (emaks – n) / (n – 1) 3) Nilai rasio konsistensi (CR) selanjutnya dihitung dengan rumus: CR = CI/RI, dimana RI merupakan indeks konsistensi acak yang didapat dari simulasi dan nilainya tergantung pada orde matriks. Tabel 5 menampilkan nilai RI untuk berbagai ukuran matriks dari orde 1 sampai 10. Nilai rentang CR yang dapat diterima tergantung pada ukuran matriks-nya, sebagai contoh, untuk ukuran matriks 3 x 3, nilai CR = 0,03; matriks 4 x 4, CR =
19 0,08 dan untuk matriks ukuran besar, nilai CR = 0,1 (Saaty, 2000). Jika nilai CR lebih rendah atau sama dengan nilai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penilaian dalam matriks cukup dapat diterima atau matriks memiliki konsistensi yang baik. Sebaliknya jika CR lebih besar dari nilai yang dapat diterima, maka dikatakan evaluasi dalam matriks kurang konsisten dan karenanya proses PHA perlu diulang kembali. Nilai CR berdasarkan ukuran matriks ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 5 Indeks Konsistensi Acak Berdasarkan Orde Matriks Orde Indeks Konsistensi Acak Matriks (RI) 1 0 2 0 3 0,52 4 0,89 5 1,11 6 1,25 7 1,35 8 1,40 9 1,45 10 1,49 Sumber : Saaty (2000)
Tabel 6 Nilai Rentang Penerimaan Bagi CR Ukuran Matriks Rasio Konsistensi (CR) ≤3x3 0,03 4x4 0,08 >4x4 0,1 Sumber : Saaty (2000)
Tahapan Analisis Data Untuk mendapatkan prioritas jaringan jalan berdasarkan persepsi stakeholder, maka dilakukan dengan metode AHP, sehingga akan diperoleh ranking (urutan) prioritas perencanaan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja. Adapun tahapan analisisnya adalah sebagai berikut: 1. Persiapan data yaitu pengumpulan data primer, kemudian dianalisis sehingga dapat menentukan kriteria dan sub kriteria dari model hirarki dengan tujuan (fokus) adalah penentuan prioritas perencanaan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja yang berguna untuk mengetahui urutan-urutan data yang akan dinilai. Tahapan ini merupakan tahapan Pembentukan Hirarki. 2. Untuk mendapatkan skor penilaian terhadap ruas jalan terpilih terhadap tiap subkriteria dan kriteria, dilakukan penyebaran kuesioner terhadap responden ahli dengan cara angket. Angket yang diperoleh merupakan jawaban tertulis dari responden ahli atas daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disebar. Responden ahli pada penelitian ini adalah responden yang bekerja pada bidang perencanaan, pengawasan, dan pelaksana proyek jalan.
20 3.
4.
5.
Selanjutnya adalah membuat matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparation matrix) untuk seluruh kriteria dan sub-kriteria dengan angkaangka yang telah didapat dari data responden. Di dalam proses matriks perbandingan berpasangan dinilai tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Tahapan ini merupakan tahapan Penilaian Kriteria. Langkah berikutnya adalah melakukan proses sintesa, dimana setiap matriks perbandingan berpasangan untuk setiap tingkat dicari eigen vektornya untuk mendapatkan local priority dan akhirnya didapatkan persentase prioritas menyeluruh. Tahapan ini merupakan tahapan Sintesis Prioritas. Selanjutnya adalah uji konsistensi yaitu hasil dari setiap local priority untuk setiap kriteria dan sub-kriteria diuji dengan cara sebagai berikut: a. Mengalikan matriks perbandingan berpasangan dengan vektor preferensi (local priority) untuk setiap kriteria dan sub kriteria sehingga diperoleh suatu matriks kolom. b. Kemudian mencari λmax yaitu dari pembagian hasil matriks kolom dengan matriks kolom local priority untuk setiap kriteria dan sub kriteria lalu dijumlahkan dan dicari rata-ratanya. c. Kemudian mencari Indeks Konsistensi (Consistency index, CI) yang dihitung dengan rumus seperti berikut: CI =
d.
n-1 dimana n = jumlah item yang dibandingkan. Kemudian mencari Consistency Ratio (CR) dengan rumus: CR =
6.
λmax - n
CI
Random Consistency Index (RI) dimana RI = indeks konsistensi dari matriks komparasi pasangan yang degenerate secara acak. CR = harganya tidak boleh lebih dari 10 %, jika perlu maka matriksnya harus direvisi. Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan prioritas-prioritas jaringan jalan yang berkenaan dengan setiap kriteria dan sub-kriteria prioritas tertinggi.
Sintesis Logika Menurut Kattsoff (1989) bahwa sintesis logika adalah kegiatan berpikir logis yang melakukan penggabungan semua pengetahuan yang diperoleh untuk menyusun suatu pandangan atau konsep. Sementara sintesis sendiri merupakan kombinasi bagian/elemen untuk menghasilkan pandangan yang lebih lengkap/sempurna. Dalam penelitian ini, metode ini digunakan untuk mengambil keputusan berdasarkan logika dari hasil ketiga analisis sebelumnya, yaitu analisis deskriptif, analisis skalogram, dan AHP. Dengan menggunakan beberapa kriteria berdasarkan pendekatan yang diperoleh dari ketiga hasil analisis tersebut, maka ditentukan jaringan jalan yang menjadi prioritas untuk pengembangan wilayah di Kabupaten Tana Toraja. Kriteria yang ditetapkan adalah sebagai berikut: (i) Ruas jalan yang umumnya dilalui oleh trayek angkutan umum; (ii) Ruas jalan yang memiliki
21 klasifikasi fungsi yang lebih tinggi; (iii) Ruas jalan yang direncanakan dalam RTRW kabupaten. Gambar 3 menunjukkan kriteria-kriteria yang digunakan dan faktor-faktornya dalam memilih jaringan jalan prioritas, dimana untuk kriteria (i) terdiri atas faktor: kepadatan penduduk, potensi pertanian, dan potensi obyek wisata, untuk kriteria (ii) terdiri atas faktor: pusat administrasi pemerintahan (ibukota kecamatan), dan hirarki wilayah, untuk kriteria (iii) terdiri atas faktor: kebijakan pemerintah dan persepsi stakeholder. Padat Penduduk
Umumnya dilalui oleh trayek angkutan umum
Persepsi Stakeholder
Potensi Pertanian Obyek Wisata
Kriteria Jaringan Jalan Prioritas
Kebijakan Pemerintah
Pusat Adm. Pemerintahan
Bagian dalam RTRW Kabupaten
Hirarki Wilayah
Memiliki klasifikasi fungsi yang lebih tinggi
Gambar 3 Sintesis Prioritas Jaringan Jalan Dalam mengambil keputusan untuk menentukan jaringan jalan prioritas, maka kriteria ruas jalan yang dilalui oleh trayek angkutan umum menjadi mutlak. Artinya setiap ruas jalan yang dilalui trayek angkutan umum harus terpilih untuk menjadi jaringan jalan prioritas. Hal ini disebabkan karena ruas yang menjadi trayek angkutan umum mencerminkan daerah/wilayah yang dihubungkan memiliki potensi yang besar baik dalam hal kepadatan penduduk, potensi pertanian, dan potensi wisata. Di samping kriteria ruas jalan yang dilalui oleh trayek angkutan umum, pengambilan keputusan untuk menentukan jaringan jalan prioritas juga berdasarkan terpenuhinya atau mewakili minimal 5 faktor dari 7 faktor yang ada, yaitu: kepadatan penduduk, potensi pertanian, potensi wisata, pusat administrasi pemerintahan, hirarki wilayah, persepsi stakeholder, dan kebijakan pemerintah. Jika memenuhi atau dapat mewakili minimal 5 faktor yang ada, maka ruas jalan tersebut dapat diprioritaskan penanganannya. Sementara untuk ruas jalan yang diprioritaskan penanganannya namun bukan merupakan jalur angkutan umum atau tidak memenuhi minimal 5 faktor yang ada, adalah karena pertimbangan untuk menciptakan satu kesatuan jaringan jalan yang
22 terpadu dan saling terkoneksi. Sebaliknya, jika memenuhi minimal 5 faktor yang ada namun tidak diprioritaskan penanganannya, karena pertimbangan bahwa telah ada ruas jalan lain yang menjadi prioritas dalam wilayah itu untuk mengefisienkan biaya penanganan. Metodologi penelitian ini dirangkum dalam suatu matriks analisis penelitian seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 7. Secara skematis, diagram alir penelitian ini digambarkan dalam Gambar 4. Tabel 7
Matriks Analisis Penelitian Teknik Analisis Data
No.
Tujuan
Jenis Data
Hasil
1.
Mendapatkan kesesuaian antara jaringan jalan dengan potensi-potensi wilayah Kabupaten Tana Toraja
Data ruas-ruas jalan kabupaten Data potensi SDA (wisata, pasar, pusat pertanian) dan SDM (kepadatan penduduk). Data RTRW Kabupaten
Analisis Deskriptif
Diperolehnya ruas/jaringan jalan yang melalui /menuju potensi-potensi wilayah yang ada.
2.
Mengetahui tingkat perkembangan wilayah dalam lingkup Kabupaten Tana Toraja
Data Podes
Analisis Skalogram
Diperolehnya pusat-pusat pertumbuhan dan hirarki wilayah.
3.
Mengkonstruksikan persepsi stakeholder terhadap perencanaan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja
Data Kuesioner
Proses Hirarki Analitis (AHP)
Diperolehnya pandangan dan masukan terhadap perencanaan jaringan jalan Kabupaten Tana Toraja.
4.
Menyusun dan menentukan perencanaan prioritas jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja terhadap pengembangan wilayahnya.
Data ruas/jaringan jalan yang diperoleh dari hasil analisis ketiga tujuan sebelumnya.
Sintesis Logika
Diperolehnya ruas-ruas / jaringan jalan yang menjadi prioritas perencanaan untuk pengembangan wilayah Kabupaten Tana Toraja.
Analisis Skalogram
Data Podes
Sintesis Logika
Analisis Deskriptif
Data Potensi Pertanian, Wisata dan Kepadatan Penduduk
Data RTRW
Gambar 4 Diagram alir penelitian
Selesai
Jaringan jalan yang menjadi prioritas penanganan untuk pengembangan wilayah di Kabupaten Tana Toraja
Data Ruas Jalan
Mulai
AHP
Data Kuisioner
23
24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis Kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Makale terletak antara 119022”14,3’ 0 – 120 2”37,6’ Bujur Timur dan 2044”21,3’ – 3023”23,5’ Lintang Selatan di bagian Utara Propinsi Sulawesi Selatan dengan batas-batas administratif wilayahnya sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan KabupatenToraja Utara. - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang. - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu. Jarak ibukota Kabupaten Tana Toraja dengan kota Makassar, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan, mencapai ± 329 km yang melalui beberapa kabupaten, yaitu: Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap, Kota Pare-pare, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkep, dan Kabupaten Maros.
Gambar 5 Peta Wilayah Administrasi Kecamatan Dalam Gambar 5 dapat dilihat peta administrasi wilayah Kabupaten Tana Toraja berdasarkan wilayah kecamatan. Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 2.054,30 km2 yang terdiri atas 19 kecamatan dan 159 desa. Berdasarkan
25 data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tana Toraja (2012), Kecamatan Bonggakaradeng dan Kecamatan Malimbong Balepe merupakan kecamatan yang memiliki wilayah terluas dengan masing-masing ± 10% dari luas wilayah Kabupaten Tana Toraja secara keseluruhan. Jumlah desa dan luas masing-masing kecamatan di wilayah Kabupaten Tana Toraja lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Luas Kecamatan dan Jumlah Desa di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2011 Jumlah Luas No. Kecamatan % Desa (Km2) 1. Bonggakaradeng 6 206,76 10,06 2. Simbuang 6 194,82 9,48 3. Rano 5 89,43 4,35 4. Mappak 6 166,02 8,08 5. Mengkendek 17 196,74 9,58 6. Gandangbatu Sillanan 12 108,63 5,29 7. Sangalla 5 36,24 1,76 8. Sangalla Selatan 5 47,80 2,33 9. Sangalla Utara 6 27,96 1,36 10. Makale 15 39,75 1,93 11. Makale Selatan 8 61,70 3,00 12. Makale Utara 5 26,08 1,27 13. Saluputti 9 87,54 4,26 14. Bittuang 15 163,27 7,95 15. Rembon 13 134,47 6,55 16. Masanda 8 134,77 6,56 17. Malimbong Balepe 6 211,47 10,29 18. Rantetayo 6 60,35 2,94 19. Kurra 6 60,50 2,94 Jumlah
159
2.054,30
100,00
Sumber : BPS (2012)
Dari Tabel 8 terlihat proporsi terluas terdapat pada Kecamatan Malimbong Balepe dan Kecamatan Bonggakaradeng dengan persentase luas 10,29% dan 10,06%. Kecamatan dengan luas wilayah yang terkecil adalah Kecamatan Makale Utara dan Kecamatan Sangala Utara dengan persentase luas berkisar 1,27% dan 1,36%. Kecamatan Makale yang merupakan wilayah ibukota kabupaten memiliki luas sebesar 1,93 % dari luas total wilayah Kabupaten Tana Toraja. Kondisi Topografi Kabupaten Tana Toraja mempunyai topografi yang relatif bergelombang dan berbukit, sedangkan topografi datar relatif sedikit. Kawasan yang mempunyai kemiringan lahan datar (0-8%) pada umumnya berada di daerah di sebelah timur
26 dan lahan-lahan sepanjang jalan poros. Kawasan yang mempunyai kemiringan lahan 8-15% tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Tana Toraja, sedangkan kemiringan lahan di atas 40% pada umumnya berada di sebelah barat (Kecamatan Simbuang, Kecamatan Bonggakaradeng, Kecamatan Masanda) dan beberapa Kecamatan lainnya yang merupakan kawasan lindung. Tabel 9 menunjukkan ketinggian rata-rata tiap wilayah kecamatan di atas permukaan laut. Pada Gambar 6 dapat dilihat prosentase luas wilayah terbanyak berada pada ketinggian antara 500 – 1000 meter di atas permukaan laut. Tabel 9
Tinggi rata-rata di atas permukaan laut (dpl) menurut Kecamatan di Kabupaten Tana Toraja Tinggi dpl No. Kecamatan (m) 920 1. Bonggakaradeng 1.378 2. Simbuang 700 3. Rano 1.088 4. Mappak 974 5. Mengkendek 980 6. Gandangbatu Sillanan 817 7. Sangalla 781 8. Sangalla Selatan 781 9. Sangalla Utara 760 10. Makale 736 11. Makale Selatan 820 12. Makale Utara 853 13. Saluputti 1.425 14. Bittuang 762 15. Rembon 864 16. Masanda 859 17. Malimbong Balepe 884 18. Rantetayo 882 19. Kurra Sumber : BPS (2012) 2.44
Prosentase Luas Wilayah 8.46 14.28 33.41
0.60
5.69 35.12
pada ketinggian < 300 m pada ketinggian 300 m – 500 m pada ketinggian > 500 m – 1000 m pada ketinggian > 1000 m – 1500 m pada ketinggian > 1500 m – 2000 m pada ketinggian > 2000 m – 2500 m
Gambar 6 Diagram Proporsi Luas Wilayah Kabupaten Tana Toraja terhadap Ketinggian di atas permukaan laut
27 Kondisi Demografi Penduduk Kabupaten Tana Toraja tahun 2011 berjumlah 223.306 jiwa yang tersebar di 19 kecamatan, dimana kecamatan Makale sebagai lokasi ibukota kabupaten memiliki jumlah penduduk yang terbesar yaitu 34.070 jiwa. Secara keseluruhan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yakni masing-masing 113.760 jiwa penduduk laki-laki dan 109.546 jiwa penduduk perempuan. Hal ini juga tercermin pada angka rasio jenis kelamin yang lebih besar dari 100, yaitu 103,85. Ini berarti dari setiap 100 orang perempuan terdapat 103 laki-laki. Tabel 10 menunjukkan luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk tiap kecamatan di Kabupaten Tana Toraja. Tabel 10 Luas wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Kecamatan Bonggakaradeng Simbuang Rano Mappak Mengkendek Gandasil Sangalla Sangalla Selatan Sangalla Utara Makale Makale Selatan Makale Utara Saluputti Bittuang Rembon Masanda Malimbong Balepe Rantetayo Kurra Jumlah
Luas (Km2) 206.76 194.82 89.43 166.02 196.74 108.63 36.24 47.80 27.96 39.75 61.70 26.08 87.54 163.27 134.47 134.77 211.47 60.35 60.50 2054.3
Penduduk %
Jiwa
%
10.06 9.48 4.35 8.08 9.58 5.29 1.76 2.33 1.36 1.93 3.00 1.27 4.26 7.95 6.55 6.56 10.29 2.94 2.95 100.00
6,952 6,144 6,100 5,642 27,480 19,428 6,666 7,435 7,396 34,070 12,518 11,881 7,514 14,632 18,270 6,238 9,015 10,733 5,192 223.306
3.11 2.75 2.73 2.53 12.31 8.70 2.99 3.33 3.31 15.26 5.61 5.32 3.36 6.55 8.18 2.79 4.04 4.81 2.33 100.00
Kepadatan Penduduk (jiwa/Km2) 34 32 68 34 140 179 184 156 265 857 203 456 86 90 136 46 43 178 86 109
Sumber : BPS (2012)
Kepadatan penduduk di Kabupaten Tana Toraja pada tahun 2011 mencapai 109 jiwa/km2, dimana kecamatan Makale merupakan wilayah yang paling padat dengan tingkat kepadatan mencapai 857 jiwa/km2. Sementara kecamatan Simbuang merupakan kecamatan yang paling rendah tingkat kepadatannya, yaitu 32 jiwa/km2. Gambar 7 menunjukkan tingkat kepadatan penduduk pada tiap kecamatan pada tahun 2011. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa penyebaran penduduk di Kabupaten Tana Toraja relatif tidak merata.
28 Penduduk berperan penting dalam perkembangan suatu kota karena perkembangan penduduk kota baik secara kuantitas maupun kualitas merupakan faktor utama dari eksistensi kota itu sendiri (Septiana dan Hendarto 2012).
900 800 700 600 500 400 300 200
Kurra
Rantetayo
Malimbong Balepe
Kepadatan Penduduk (jiwa/Km2)
Masanda
Rembon
Bittuang
Saluputti
Makale Utara
Makale Selatan
Makale
Sangalla Utara
Sangalla Selatan
Sangalla
Gandasil
Mengkendek
Mappak
Simbuang
Bonggakaradeng
-
Rano
100
Gambar 7 Diagram Kepadatan Penduduk Tahun 2011 Potensi Sumber Daya Alam Tanaman Pangan Produksi padi di Kabupaten Tana Toraja tahun 2011 sebesar 110.456 ton yang dipanen dari areal seluas 21.223 ha, atau menghasilkan rata-rata 5,2 ton/ha. Wilayah kecamatan yang memiliki produksi tertinggi adalah kecamatan Mengkendek dengan jumlah produksi mencapai 15.734 ton. Wilayah kecamatan yang paling rendah produksinya adalah kecamatan Mappak dengan total produksi 1.234 ton. Tabel 11 menunjukkan luas panen dan jumlah produksi padi per kecamatan pada tahun 2011. Pada Gambar 8 dapat dilihat jumlah produksi padi untuk masingmasing kecamatan di wilayah Kabupaten Tana Toraja pada tahun 2011. Selain tanaman padi, di Kabupaten Tana Toraja juga terdapat beberapa tanaman palawija seperti: jagung, kacang tanah, kacang kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar. Produksi jagung di Kabupaten Tana Toraja pada tahun 2011 sebesar 238.304,70 ton dengan luas panen 5.254 ha, atau rata-rata menghasilkan 45,35 ton/ha. Produksi tanaman palawija ini meningkat dibandingkan tahun 2010 yang berproduksi rata-rata 5,04 ton/ha. Secara keseluruhan, produksi tanaman palawija per kecamatan di Kabupaten Tana Toraja pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 12.
29 Tabel 11 Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi per Kecamatan Tahun 2011 No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Bonggakaradeng Simbuang Rano Mappak Mengkendek Gandasil Sangalla Sangalla Selatan Sangalla Utara Makale Makale Selatan Makale Utara Saluputti Bittuang Rembon Masanda Malimbong Balepe Rantetayo Kurra Jumlah
Luas Panen (ha) 1,573 805 502 287 2,936 1,227 1,263 1,590 1,136 916 432 938 537 1,117 1,388 1,237 566 1,318 1,455
Produksi (ton) 7,440 3,462 2,334 1,234 15,734 6,724 6,694 8,443 5,987 4,690 2,294 4,943 2,900 5,898 7,315 6,519 2,898 7,249 7,698
Produktivitas (ton/ha) 4.73 4.30 4.65 4.30 5.36 5.48 5.30 5.31 5.27 5.12 5.31 5.27 5.40 5.28 5.27 5.27 5.12 5.50 5.29
21,223
110,456
5.20
16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 -
Bonggakaradeng Simbuang Rano Mappak Mengkendek Gandasil Sangalla Sangalla Selatan Sangalla Utara Makale Makale Selatan Makale Utara Saluputti Bittuang Rembon Masanda Malimbong Balepe Rantetayo Kurra
Sumber : BPS (2012)
Gambar 8 Jumlah Produksi Padi per Kecamatan di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2011
30 Tabel 12 Produksi Tanaman Palawija per Kecamatan di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2011 Jenis Produksi (ton) No.
Kecamatan
Jagung
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Kacang Tanah
Kacang Kedelai
1
Bonggakaradeng
59,408.8
2,387.5
550.0
123.2
750.4
2
Simbuang
24,354.0
87.5
110.0
9.0
-
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Rano Mappak Mengkendek Gandasil Sangalla Sangalla Selatan Sangalla Utara Makale Makale Selatan Makale Utara Saluputti Bittuang Rembon Masanda Malimbong Balepe Rantetayo Kurra
35,352.8 13,081.5 6,282.8 8,955.0 10,995.6 5,961.6 5,475.2 10,764.6 4,136.0 2,980.8 10,991.5 3,248.5 8,491.2 10,449.0 4,253.9 7,621.9 5,500.0
80.5 850.0 96.0 126.5 204.0 69.0 50.0 112.5 87.5 12.0 48.0 312.0 264.0 216.0
33.0 704.0 69.0 209.0 132.0 33.0 55.0 66.0 33.0 46.0 22.0 275.0 207.0 143.0
7.5 1.0 2.4 6.5 1.8 19.3 6.2 -
-
5,003.0 2,687.0
176.8
750.4
Jumlah
238,304.7
Modifikasi Sumber : BPS (2012)
Pada Gambar 9 dapat dilihat peta potensi wilayah secara keseluruhan di Kabupaten Tana Toraja untuk kepadatan penduduk, produksi padi, dan produksi palawija pada masing-masing kecamatan. Pariwisata Pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Tana Toraja ditujukan pada peningkatan kemampuan untuk menggalakkan kegiatan ekonomi yang melibatkan berbagai sektor. Kegiatan pariwisata diharapkan mampu membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan bagi pemerintah dan masyarakat di daerah wisata serta penerimaan devisa bagi negara. Pariwisata Tana Toraja memang memiliki daya tarik yang unik. Peninggalan budaya yang sudah ada sejak jaman megalitikum, memberikan warna dan makna tersendiri bagi siapa saja yang mengunjungi daerah ini. Penduduk yang ramah, budaya yang asli dan lestari menjadikan Tana Toraja menjadi salah satu daerah tujuan wisata Indonesia sekaligus menjadi salah satu ikon Pariwisata Indonesia.
31
Gambar 9 Peta Potensi Wilayah Kab. Tana Toraja Tahun 2011 Pengelolaan potensi pariwisata di daerah ini menjadi perhatian khusus pemerintah daerah. Hal ini tercermin dalam arah kebijakan (visi) pemerintah bahwa tujuan utama pembangunan pariwisata adalah menjadikan Tana Toraja sebagai destinasi kedua setelah Bali. Di sisi lain, dukungan masyarakat Tana Toraja sangat positif memberikan respon pengembangan pariwisata. Banyak masyarakat yang tergantung dari hasil penjualan hasil karya budaya (kain tenun, ukiran). Sebagai daerah wisata yang cukup terkenal, Kabupaten Tana Toraja memiliki sedikitnya 9 objek wisata unggulan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Masing-masing obyek wisata memiliki ciri khas dan daya tarik tersendiri. Kesembilan obyek wisata unggulan tersebut adalah Museum Buntu Kalando, desa wisata Tumbang Datu-Bebo, Agrowisata Pango-Pango, air terjun Sarambu Assing, dinding pahat/kuburan batu Lemo, Tongkonan Tumakke, permandian air panas Makula, panorama Buntu Burake, dan perkampungan adat Sillanan. Sebagian besar objek wisata tersebut adalah objek wisata alam, dan beberapa di antaranya sudah dikenal oleh wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Selain kesembilan obyek wisata unggulan yang sangat potensial dikembangkan tersebut, masih ada beberapa tradisi, adat dan budaya yang merupakan ikon pariwisata di daerah ini yang sudah dikenal hingga ke mancanegara. Oleh karena potensi ini, Kabupaten Tana Toraja ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Nasional dan masuk dalam daftar World Heritage Culture oleh UNESCO. Jumlah wisatawan domestik pada tahun 2010 tercatat 12.631, dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 15.867. Jumlah wisatawan mancanegara menunjukkan kecenderungan menurun, yaitu dari tahun 2010 tercatat 5.627 orang menjadi 3.624 orang pada tahun 2011. Gambar 10 menunjukkan tren kunjungan wisatawan dari
32 tahun 2007 – 2011. Pada Gambar 11 menunjukkan lokasi obyek-obyek wisata unggulan di Kabupaten Tana Toraja. 20,000 15,000 Domestik
10,000 5,000
Mancanegara
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 10 Tren Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2007 – 2011
Gambar 11 Peta Lokasi Obyek Wisata Kabupaten Tana Toraja Sistem Jaringan Jalan Prasarana jalan di Kabupaten Tana Toraja terdiri dari jalan nasional 43 km, jalan propinsi 40 km, dan jalan kabupaten 1.252 km. Khusus untuk jalan kabupaten, berdasarkan jenis permukaan jalannya sebagian besar masih berupa jalan tanah, yaitu sebanyak 43,69% dari total seluruh panjang jalan kabupaten. Sementara berdasarkan kondisi permukaan jalan sebagian besar dalam kondisi rusak yakni sekitar 74,24%. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13 yang menunjukkan panjang jalan kabupaten berdasarkan jenis permukaan dan kondisi jalannya. Kondisi tersebut diatas memperlihatkan bahwa tingkat kemampuan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja masih di bawah rata-rata untuk memenuhi
33 pergerakan kendaraan secara cepat dan lancar. Hal ini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah karena akan meningkatkan biaya transportasi terhadap nilai ekonomi suatu produksi barang/jasa (Taiwo dan Francis 2013). Tabel 13 Jenis Permukaan dan Kondisi Jalan Kabupaten Tana Toraja Keadaan Panjang (km) Proporsi (%) I. Jenis Permukaan : a. Aspal 290,90 23,23 b. Beton 103,20 8,24 c. Kerikil/Pengerasan 310,95 24,84 d. Tanah 546,95 43,69 II. Kondisi Jalan : a. Baik 146,95 11,74 b. Sedang 175,50 14,02 c. Rusak Ringan 295,75 23,62 d. Rusak Berat 633,80 50,62 Sumber : Dinas PU (2011)
Pola Pergerakan Pola pergerakan meliputi jumlah bangkitan dan tarikan serta sebaran pergerakan di wilayah Kabupaten Tana Toraja. Pola pergerakan orang di Tana Toraja diperoleh, baik melalui pengamatan langsung maupun informasi dari masyarakat tentang potensi pergerakan yang terjadi secara internal. Pergerakan internal meliputi pergerakan antar kecamatan di Tana Toraja dimana pergerakan ini dilakukan oleh penduduk setempat berdasarkan jenis aktivitasnya. Potensi pergerakan antar kecamatan dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu; i). kegiatan pasar pada hari pasar besar, ii). upacara perkawinan, dan iii). upacara kematian. Hari pasar besar di Tana Toraja berlangsung tiap hari selama seminggu yang terlaksana secara bergiliran. Kondisi ini akan mempengaruhi pola pergerakan orang tiap harinya. Untuk acara kematian dan perkawinan yang waktunya tidak menentu, sangat mempengaruhi pola pergerakan orang di Tana Toraja, dimana pergerakan orang yang dilakukan pada penyambutan kedua acara tersebut dilakukan secara berkelompok dengan menggunakan kendaraan truk dengan muatan sekitar 25-35 orang/truk. Keluarga yang bertempat tinggal di wilayah kecamatan lain akan bepergian menuju ke wilayah kecamatan dimana tempat kegiatan perkawinan dan kematian berlangsung. Jumlah angkutan umum berdasarkan jaringan trayek yang ada, sebagian besar masih didominasi oleh rute/trayek dalam kota/Kecamatan Makale dan trayek yang menghubungkan dengan kabupaten tetangga. Hal ini dapat menggambarkan bahwa pola pergerakan umum di Kabupaten Tana Toraja masih terpusat pada sekitar ibukota kabupaten (Kecamatan Makale). Sementara pergerakan dalam kabupaten sendiri (antar kecamatan) belum begitu signifikan. Beberapa trayek antar kecamatan yang cukup banyak jumlah angkutan umumnya adalah dari terminal Makale menuju : Sangalla-Batualu, Rantetayo-Kurra, Ulusalu-Bittuang, BatusuraBuakayu, dan Mebali-Buntu. Tabel 14 menunjukkan banyaknya jumlah angkutan umum berdasarkan jaringan trayek yang ada di Kabupaten Tana Toraja dari tahun 2009 sampai 2011. Sementara Gambar 12 menunjukkan peta jalur angkutan umum dalam sistem jaringan jalan kabupaten.
34 Tabel 14
Jumlah Angkutan Umum Berdasarkan Jaringan Trayek di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2009 - 2011 Jumlah Kendaraan No. Jaringan Trayek 2009 2010 2011 Terminal Makale - Terminal Bolu (Toraja 1 191 185 231 Utara) 2 Terminal Makale - Sangalla - Batualu 51 67 52 3
Terminal Makale - Rantetayo - Kurra
38
35
35
4
Terminal Makale - Ulusalu - Bittuang
65
79
73
5
Terminal Makale - Malimbong
5
7
13
6
Terminal Makale - Batusura - Buakayu
42
35
40
7
Terminal Makale - Turunan
2
0
0
8
Terminal Makale - Mebali - Buntu
21
16
17
9
Terminal Makale - Marinding
2
5
0
10
Terminal Makale - Palipu
2
0
0
11
Terminal Makale - Tampo Terminal Makale - Salubarani - Sudu (Enrekang) Terminal Makale - Dalam Kota/Kecamatan Makale Jumlah
13
13
11
61
91
100
165
230
294
658
763
866
12 13
Sumber : Dinas Perhubungan (2012)
Struktur Ruang Wilayah Kabupaten Sistem Perkotaan Wilayah Kabupaten Pengembangan sistem kota-kota secara umum diarahkan untuk mencapai keseimbangan perkembangan ruang antara pusat-pusat pemukiman dan/atau pusat pertumbuhan. Adanya peningkatan hirarki serta pengembangan fungsi memberikan implikasi terhadap kebutuhan penyediaan sarana dan prasarana perkotaan yang mendukungnya. Pusat Kegiatan Lokal (PKL) Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2009 tentang RTRW Sulawesi Selatan, kawasan perkotaan Makale Ibukota Kabupaten Tana Toraja merupakan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang diarahkan pada : Penataan ruang kota melalui perencanaan detail tata ruang kota (RDTRK dan Zoning Regulation), pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang kota.
Gambar 12 Peta Sistem Jaringan Jalan Kabupaten
35
36 Penyediaan sarana perkotaan sesuai dengan fungsi kota, serta peningkataan ketersediaan sarana dan prasarana produksi bagi kawasan pertanian, perkebunan, dan perikanan. Peningkatan prasarana komunikasi antar wilayah pengembangan yang ada di Kabupaten Tana Toraja. Peningkatan aksesibilitas ke wilayah belakang yang dilayaninya melalui pengembangan sistem transportasi yang memadai. Peningkatan fungsi kota sebagai penyangga fungsi ibukota kabupaten. Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) Berdasarkan kondisi dan potensi yang ada, beberapa kawasan perkotaan yang menjadi Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) oleh Pemerintah Kabupaten Tana Toraja meliputi Kota Bituang yang potensil dikembangkan sebagai gerbang wisata penghubung kawasan wisata Budaya di Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat dengan kawasan wisata Tana Toraja dan kawasan perkotaan sekitar bandara baru Buntu Kuni’ Kecamatan Mengkendek, yang potensil dikembangkan menjadi kota simpul transportasi udara. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) adalah kawasan perkotaan Kabupaten Tana Toraja yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. PPK sebagaimana ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tana Toraja terdiri atas ibukota-ibukota kecamatan yang tidak termasuk PKL atau PKLp, meliputi: a. Kawasan Perkotaan Rante Kurra di Kecamatan Kurra b. Kawasan Perkotaan Padang Iring di Kecamatan Rantetayo c. Kawasan Perkotaan Pattan Ulu Salu di Kecamatan Saluputti d. Kawasan Perkotaan Leatung di Kecamatan Sangalla’ Utara e. Kawasan Perkotaan Bullian Massa’bu di Kecamatan Sangalla’ f. Kawasan Perkotaan Malolin di Kecamatan Rano g. Kawasan Perkotaan Ratte Buttu di Kecamatan Bonggakaradeng h. Kawasan Perkotaan Kondo Dewata di Kecamatan Mappak i. Kawasan Perkotaan Buntu Benteng Ambeso di Kecamatan Gandang Batu Sillanan j. Kawasan Perkotaan Batualu di Kecamatan Sangalla’ Selatan k. Kawasan Perkotaan Tiromanda di Kecamatan Makale Selatan l. Kawasan Perkotaan Lion Tondok Iring di Kecamatan Makale Utara m. Kawasan Perkotaan Talion di Kecamatan Rembon n. Kawasan Perkotaan Malimbong di Kecamatan Malimbong Balepe; o. Kawasan Perkotaan Pondingao’ di Kecamatan Masanda; dan p. Kawasan Perkotaan Lekke’ di Kecamatan Simbuang. PPK-PPK di Kabupaten Tana Toraja diarahkan pada: Peningkatan aksesibilitas ke PKL dan Ibukota Kabupaten. Peningkatan aksesibilitas ke wilayah belakang yang dilayaninya melalui pengembangan jaringan jalan. Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana produksi bagi kawasan pertanian, perkebunan, dan perikanan. Peningkatan prasarana komunikasi antar sentra produksi.
37 Pusat Pelayanan Lokal (PPL) Pusat Pelayanan Lokal (PPL) adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. PPL sebagaimana ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tana Toraja terdiri atas: a. Bau dan Buntu Limbong di Kecamatan Bittuang; b. Poton, Bau Bonggakaradeng di Kecamatan Bonggakaradeng; c. Salubarani, Gandangbatu, Mebali, Tangatondok, Perindingan di Kecamatan Gandangbatu Sillanan; d. Tabang di Kecamatan Kurra; e. Pantan, Kamali Pentalluan di Kecamatan Makale; f. Pa’tekke, di Kecamatan Makale Selatan ; g. Rantelemo dan Mandetek di Kecamatan Makale Utara; h. Balepe’ di Kecamatan Malimbong Balepe’; i. Tondok Banga di Kecamatan Mappak, j. Sangratte dan belau di Kec. Masanda; k. Uluway, Marinding, Tampo di Kecamatan Mengkendek; l. Pangalloan di Kecamatan Rano m. Madandan di Kecamatan Rantetayo; n. Batusura', Palesan di Kecamatan Rembon; o. Tolange di Kecamatan Saluputti; p. Kaero di Kecamatan Sangalla’; q. Kandeapi di Kecamatan Sangalla’ Selatan; r. Saluallo di Kecamatan Sangalla’ Utara; s. Makkodo di Kecamatan Simbuang. Sistem Jaringan Prasarana Jalan Rencana jaringan lalu lintas angkutan jalan di Kabupaten Tata Toraja, terdiri atas : a. Jaringan jalan kolektor primer yang merupakan sistem jaringan jalan nasional yang ada di Kabupaten Tana Toraja, terdiri atas : Makale - Batas Kab.Toraja Utara; Batas Kota Makale - Batas Kab. Luwu; Makale – Se’seng – Batas Kab.Mamasa; Makale – Batas Kab. Enrekang. b. Jaringan jalan propinsi adalah jalan kolektor primer yang meliputi: Makale - perbatasan Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat. Pa’tengko – Kondoran – Sandale – Buntao’ (Toraja Utara) Kokkang – Buakayu – Bau – Batas Pinrang c. Jaringan jalan kabupaten, meliputi : jalan kolektor primer penghubung Kota Makale dengan ibukota kabupaten tetangga yang tidak termasuk jalan nasional atau jalan provinsi; - ruas jalan penghubung jalan kolektor primer Rembon – Kab. Mamasa, Propinsi Sulawesi barat, dari Rembon - Matangli – Masuppu – Simbuang - Saruran ( batas Kab. Mamasa); - ruas jalan penghubung jalan kolektor primer Makale –Rembon – Buakayu -Bau – Batas Kab. Enrekang.
38 - ruas jalan penghubung jalan kolektor primer Makale – Kab. Luwu, dari Tete Bassi – Kondoran – Makula – Batualu – batas Kab. Luwu. jalan lokal primer lingkar wisata Tana Toraja; - Bittuang – Balla – Tiroan – batas Kab. Toraja Utara; - Kondoran – La’bo – perbatasan Kab. Toraja Utara; - Batualu – Tampo – Pa’tengko; - Mebali – Gandang Batu – Benteng Ambeso (Buntu) – Rano – Bua Kayu – Poton – Mappa’ – Kole Barebatu; - Tilanga’ – Lemo – Lion Tondok Iring; - Botang – Buntu Burake – Pangleon; - Botang – Manggau – Santung – Pasang – Tiromanda; dan - Bambalu – Maroson – Salu Mai’ting jalan lokal primer penghubung ke pusat-pusat produksi pertanian; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer dengan pusatpusat produksi pertanian unggulan di PPK Pondingao; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer dengan pusatpusat produksi pertanian unggual di PPK Lekke’; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer dengan pusatpusat produksi pertanian unggulan di PPK Kondo Dewata; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer maupun lokal primer dengan pusat-pusat produksi pertanian unggulan di PPK Ratte Kurra; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer dengan pusatpusat produksi pertanian unggulan di PPK Rantetayo; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer dengan pusatpusat produksi pertanian unggulan di PPK Pattan Ulu Salu; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer dengan pusatpusat produksi pertanian unggulan di PPK Malimbong; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer dengan pusatpusat produksi pertanian unggulan di PPK Talion Rembon; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer maupun lokal primer dengan pusat-pusat produksi pertanian unggulan di PPK Tiromanda; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer maupun lokal primer dengan pusat-pusat produksi pertanian unggulan di PPK Ratte Buttu; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer maupun lokal primer dengan pusat-pusat produksi pertanian unggulan di PPK Malolin; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer maupun lokal primer dengan pusat-pusat produksi pertanian unggulan di PPK Leatung; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer maupun lokal primer dengan pusat-pusat produksi pertanian unggulan di PPK Bullian Massa’bu; - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer maupun lokal primer dengan pusat-pusat produksi pertanian unggulan di PPK Batu Alu;
39 - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer maupun lokal primer dengan pusat-pusat produksi pertanian unggulan di PPK Buttu Benteng Ambeso. - ruas jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer maupun lokal primer dengan pusat-pusat produksi pertanian unggulan di PPK Lion Tondok Iring jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer ke obyek wisata; - ruas jalan penghubung jalan Kolektor Primer Makale-Rantepao ke Obyek Wisata (OW) Makam Adat Lemo; - jalan penghubung jalan kolektor sekunder Tambunan – Makula yang meliputi ruas jalan lokal sekunder dari Makula – Tongkonan Layuk Kaero – Tongkonan Salembe dan Mapissa di Galingtua – Rante Tongko Sarapung – Tongkonan Solo – Tongkonan Buntu Tongko, ruas jalan Suaya – Rante di Tongko Sarapung – jalan penghubung Leatung Tumbang Datu– Makula; - ruas jalan penghubung jalan lingkar Wisata – OW Lembang Adat Sillanan; - ruas jalan penghubung jalan kolektor primer Makale – Mamasa dengan OW lembang dan kuburan adat Pattan; - ruas jalan penghubung jalan kolektor primer Makale – Mamasa dengan OW air terjun Patongloan dan agrowisata Bolokan. - ruas jalan yang menghubungkan ke seluruh objek-objek wisata lainnya yang ada di Kabupaten Tana Toraja. jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer ke pusat-pusat permukiman meliputi seluruh jalan lokal primer penghubung jalan kolektor primer maupun lokal primer ke pusat-pusat permukiman di seluruh wilayah Kabupaten. Gambar 13 menunjukkan peta rencana struktur ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tana Toraja 2011 – 2031.
Gambar 13 Peta Rencana Struktur Ruang Kabupaten Tana Toraja
40
41 Identifikasi Pusat-Pusat Pertumbuhan Wilayah Dalam teori kutub pertumbuhan yang dikembangkan oleh Francois Perraoux (Christofakis dan Athanasios 2011) bahwa pertumbuhan suatu wilayah terjadi pada titik-titik tertentu atau kutub wilayah sehingga akan menyebabkan adanya pusatpusat pelayanan terhadap wilayah-wilayah yang kurang berkembang (hinterland). Untuk mengidentifikasi pusat-pusat pertumbuhan wilayah digunakan analisis skalogram yang dapat menentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas pelayanan suatu wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang lengkap merupakan daerah hinterland. Hasil analisis skalogram menunjukkan tingkat perkembangan wilayah yang dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK). Semakin tinggi IPK maka semakin berkembang atau maju kecamatan tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan analisis skalogram yang telah dilakukan dengan menggunakan 34 variabel jumlah dan jenis fasilitas pelayanan/infrastruktur yang terdiri dari variabel kategori aksesibilitas, sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, perniagaan, pariwisata, dan perindustrian, diperoleh tiga hirarki wilayah, yaitu hirarki I (wilayah dengan asumsi memiliki tingkat perkembangan maju), hirarki II (wilayah dengan asumsi memiliki tingkat perkembangan sedang), dan hirarki III (wilayah dengan asumsi memiliki tingkat perkembangan rendah/hinterland ). Wilayah yang memiliki nilai IPK tinggi (hirarki I) dapat menjadi pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya atau bagi wilayah yang memiliki nilai IPK yang lebih rendah. Analisis skalogram berdasarkan data potensi desa (Podes) tahun 2011 di Kabupaten Tana Toraja menunjukkan adanya 2 kecamatan yang masuk dalam hirarki I (sebagai pusat pelayanan), 5 kecamatan yang masuk dalam hirarki II, dan 12 kecamatan yang masuk dalam hirarki III (hinterland). Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 15, dengan penjelasan sebagai berikut : Hirarki I dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) > 41,57 (IP rataan ditambah 2 kali standar deviasi IP). Kecamatan yang tergolong dalam hirarki I ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Kecamatan yang masuk dalam hirarki I ini adalah : Kecamatan Makale dan Makale Utara. Hirarki II dicirikan dengan IP antara 26,12 (IP rataan) – 41,57, yang ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding hirarki I. Kecamatan yang masuk dalam hirarki II ini adalah : Kecamatan Bonggakaradeng, Mappak, Gandangbatu Sillanan, Sangalla, dan Kurra. Hirarki III dicirikan dengan IP < 26,12, yang ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hirarki I dan II. Kecamatan yang masuk dalam hirarki III ini adalah : Kecamatan Simbuang, Rano, Mengkendek, Sangalla Selatan, Sangalla Utara, Makale Selatan, Saluputti, Bittuang, Rembon, Masanda, Malimbong Balepe, dan Rantetayo. Gambar 14 menunjukkan peta tingkat perkembangan wilayah berdasarkan hasil analisis skalogram.
42 Tabel 15 Hasil Analisis Skalogram Menurut Kecamatan Tahun 2011 No.
Nama Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Bonggakaradeng Simbuang Rano Mappak Mengkendek Gandangbatu Sillanan Sangalla Sangalla Selatan Sangalla Utara Makale Makale Selatan Makale Utara Saluputti Bittuang Rembon Masanda Malimbong Balepe Rantetayo Kurra
Jumlah Jenis Fasilitas 17 14 13 12 22 22 15 10 13 27 19 26 16 18 21 17 12 18 17
IPK 30,70 26,02 18,15 29,45 25,96 30,15 30,25 19,29 19,71 41,61 25,74 45,09 21,28 22,98 19,93 22,90 16,17 19,27 31,60
Gambar 14 Peta Hirarki Wilayah
Hirarki Wilayah II III III II III II II III III I III I III III III III III III II
43 Analytical Hierarchy Process (AHP) Dalam metode analisis proses hirarki (AHP), diawali dengan penyebaran kuisioner kepada beberapa responden yang dipilih secara purposive sebanyak 12 responden, yang terdiri atas : Pemerintah Kabupaten Tana Toraja (3 orang), yaitu : Kepala Bappeda, Kepala Dinas PU, dan Kepala Dinas Perhubungan. Anggota DPRD Kab. Tana Toraja (3 orang), yaitu : Ketua Fraksi PDIP, Ketua Fraksi Kebangsaan, dan Ketua Fraksi Demokrat. Pemerintah kecamatan (2 orang), yaitu : Camat Sangalla Utara dan Camat Malimbong Balepe. Pihak swasta (2 orang), yaitu : Konsultan Perencana, dan Pengusaha. Kalangan akademisi (1 orang), yaitu : Dosen Jurusan Teknik Sipil UKI Toraja. Tokoh masyarakat (1 orang). Penyebaran kuesioner sebanyak 12 eksemplar dilakukan dengan memberikan langsung kepada responden. Responden membuat jawaban langsung dan sekaligus melakukan diskusi dengan penulis. Angka-angka yang diberikan pada persepsi responden merupakan skala perbandingan dari masing-masing faktor kriteria dan subkriteria. Struktur Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jaringan Jalan di Kabupaten Tana Toraja Hirarki penentuan skala prioritas perencanaan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja terdiri atas 3 level, yaitu : 1. Level 1 merupakan tujuan analisis, yaitu: menentukan skala prioritas penanganan jaringan jalan. 2. Level 2, merupakan kriteria yang terdiri atas 2 faktor untuk mencapai tujuan dari level 1, yaitu: faktor aksesibilitas, dan faktor potensi wilayah. 3. Level 3, merupakan subkriteria dari level 2, dimana untuk kriteria aksesibilitas terdiri atas 3 subkriteria, yaitu: faktor kondisi jalan, faktor penghematan waktu tempuh, dan faktor volume lalu lintas, dan untuk kriteria potensi wilayah terdiri atas 5 subkriteria, yaitu : faktor obyek wisata, faktor pusat pemerintahan, faktor pusat perdagangan (pasar), faktor pusat pertanian, dan faktor kepadatan penduduk. Dalam penentuan subkriteria dari aksesibilitas yang terdiri atas: faktor kondisi jalan, faktor penghematan waktu tempuh, dan faktor volume lalu lintas, tidak lagi mempertimbangkan frekwensi moda transportasi, karena faktor tersebut telah terwakili dalam kriteria penentuan prioritas penanganan jaringan jalan yaitu berdasarkan ruas jalan yang dilalui oleh trayek angkutan umum, dimana ruas jalan yang dilalui oleh angkutan umum dalam jumlah yang signifikan dan merupakan ruas jalan kabupaten akan menjadi prioritas dalam penanganannya. Selanjutnya, struktur hirarki penentuan skala prioritas penanganan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja diperlihatkan pada Gambar 15. Jawaban Terhadap Penilaian Pada Level 2 Dari hasil wawancara terhadap responden dengan cara melakukan kuisioner dalam menentukan tingkat kepentingan/prioritas terhadap kriteria, diperoleh
44 jawaban berdasarkan skala penilaian yang diberikan pada lembar kuisioner. Adapun jawaban persepsi masing-masing responden terhadap kriteria level 2 seperti diperlihatkan dalam Tabel 16. Level 1
Level 3
Level 2
Kondisi Jalan a1 Aksesibilitas A
Penghematan WaktuTempuh a2 Volume Lalu Lintas a3
Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jaringan Jalan
Obyek Wisata b1 Pusat Pemerintahan b2 Potensi Wilayah B
Pasar b3 Pertanian b4 Kepadatan Penduduk b5
Gambar 15 Struktur Hirarki Penentuan Skala Prioritas Jaringan Jalan
45 Jawaban Terhadap Penilaian Pada Level 3 Jawaban dari 12 responden berdasarkan skala penilaian yang diberikan pada lembar kuisioner terhadap subkriteria dari aksesibilitas dan potensi wilayah, masing-masing diperlihatkan dalam Tabel 17 dan Tabel 18. Tabel 16 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Penilaian Kriteria Level 2 Persepsi Responden Responden Aksesibilitas Potensi (A) Wilayah (B) R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 Tabel 17
5 5 5 6 6 4 2 4 4 5 4 4
9 7 7 9 8 7 5 7 6 4 5 2
Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Penilaian Subkriteria dari Aksesibilitas Persepsi Responden Responden Kondisi Jalan Waktu Tempuh Volume Lalu (a1) (a2) Lintas (a3) R1 5 4 7 R2 4 5 7 R3 7 3 5 R4 6 5 7 R5 7 4 6 R6 4 2 6 R7 7 3 4 R8 7 4 5 R9 7 4 6 R10 8 4 6 R11 5 4 7 R12 7 4 5
46 Tabel 18
Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Penilaian Subkriteria dari Potensi Wilayah Persepsi Responden Pusat Padat Responden Obyek Pasar Pertanian Pemerintahan Penduduk Wisata (b1) (b3) (b4) (b2) (b5) R1 7 8 5 5 4 R2 8 7 5 4 4 R3 9 7 5 5 6 R4 8 6 4 4 7 R5 9 7 6 5 6 R6 7 5 4 4 6 R7 9 7 5 5 6 R8 8 6 4 5 7 R9 9 5 3 4 7 R10 6 7 3 4 5 R11 9 8 4 5 6 R12 9 7 4 5 6
Bobot Penilaian Kriteria Bobot dari masing-masing kriteria, yaitu aksesibilitas dan potensi wilayah, dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Perhitungan matriks perbandingan terbalik 2. Perhitungan Eigen vektor 3. Perhitungan Eigen maksimum (λmaks.) 4. Kontrol indeks konsistensi (CI) 5. Pembobotan kriteria Perhitungan Matriks Perbandingan Terbalik Diawali dengan menganalisis data pada Tabel 16 dengan perhitungan kebalikan sesuai matriks perbandingan berpasangan terhadap masing-masing penilaian responden, sehingga pada tahap awal perhitungan matriks ini diperoleh 12 matriks. Selanjutnya, dari kedua belas matriks tersebut dicari matriks rataan geometriknya. Contoh : Untuk responden 1 (R1), diperoleh matriks perbandingan berpasangan :
dimana :
A
B
A
1.00
5/9
B
9/5
1.00
A adalah faktor aksesibilitas B adalah faktor potensi wilayah XAB = 5/9, yaitu penilaian responden untuk faktor A terhadap faktor B XBA = 9/5, yaitu penilaian responden untuk faktor B terhadap faktor A
47 Selanjutnya menghitung matriks rataan geometrik dari kedua belas matriks responden, sehingga diperoleh : A
B
A
1.00
0.73
B
1.36
1.00
Σ
2.36
1.73
dimana : A adalah faktor aksesibilitas B adalah faktor potensi wilayah XAB = (XAB-R1*XAB-R2*…*XAB-R12)1/12 XBA = (XBA-R1*XBA-R2*…*XBA-R12)1/12 Dari hasil perhitungan pada tahap ini, diperoleh matriks perbandingan terbalik seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 19. Tabel 19 Matriks Perbandingan Terbalik Terhadap Penilaian Kriteria Aksesibilitas Potensi Wilayah (A) (B) Aksesibilitas 1.00 0.73 (A) Potensi Wilayah 1.36 1.00 (B) Σ 2.36 1.73 Perhitungan Eigen Vektor Nilai eigen vektor diperoleh dari matriks perbandingan terbalik pada Tabel 19 dengan membandingkan setiap komponen matriks terhadap jumlah masingmasing kolomnya, sehingga diperoleh : A
B
A
0.42
0.42
B
0.58
0.58
Σ
1.00
1.00
dimana : XAA = perbandingan masing-masing komponen pada matriks perbandingan terbalik dengan total nilai kolomnya = 1.00/2.36 = 0.42 XAB = 0.73/1.73 = 0.42 XBA = 1.36/2.36 = 0.58 XBB = 1.00/1.73 = 0.58
48 Dari hasil perhitungan pada tahap ini, diperoleh nilai eigen vektor dari ratarata penjumlahan tiap baris seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 20. Tabel 20 Matriks Eigen Vektor Terhadap Penilaian Kriteria Aksesibilitas Potensi Wilayah Eigen Vektor (A) (B) Aksesibilitas 0.42 0.42 0.42 (A) Potensi Wilayah 0.58 0.58 0.58 (B) Σ 1.00 1.00 1.00 Perhitungan Eigen Maksimum (λmaks.) Nilai eigen maksimum diperoleh dari penjumlahan hasil perkalian antara matriks perbandingan terbalik pada Tabel 19 dengan nilai eigen vektor pada Tabel 20, sehingga diperoleh : 1.00 0.73 x 1.36 1.00
0.42 0.85 = 0.58 1.15
Nilai eigen maksimum (λmaks.) = 0.85 + 1.15 = 2.00 Kontrol Indeks Konsistensi (CI) Dikatakan memenuhi syarat konsistensi apabila nilai rasio konsistensi (CR) kurang dari 0.1, sehingga untuk menghitung nilai CR, perlu terlebih dahulu menghitung nilai indeks konsistensi (CI), yaitu : ( – ) CI = , dimana n = ordo matriks = 2 ( ) ( – ) CI = = 0 ( ) Maka diperoleh :
CR = CI/RI, dimana RI = 0 untuk n=2 = 0/0 = 0 < 0,1 ……konsisten!
Dengan diperolehnya nilai rasio konsistensi yang kurang dari 0,1 (CR<0,1) maka dapat disimpulkan bahwa derajat konsistensinya memuaskan, artinya metode AHP ini menghasilkan solusi yang optimal. Sebaliknya, jika > 0,1 maka terdapat ketidakkonsistenan dalam mengambil keputusan yang memungkinkan metode AHP ini tidak menghasilkan solusi yang berarti. Pembobotan Kriteria Bobot elemen diperoleh dari nilai eigen vektor yang dinyatakan dalam prosentase seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 21.
49 Tabel 21 Bobot Kriteria Kriteria Aksesibilitas Potensi Wilayah Σ
Bobot 0.42 0.58 1.00
Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa penilaian responden terhadap kriteria skala prioritas perencanaan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja, potensi wilayah memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi (58%) dari aksesibilitas (42%). Dapat dikatakan bahwa responden lebih memilih faktor potensi wilayah sebagai prioritas dalam menentukan prioritas perencanaan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja. Bobot Penilaian Subkriteria Dengan menggunakan data pada Tabel 17 dan 18, penilaian bobot subkriteria pada level 3 dapat menggunakan langkah-langkah yang sama dengan perhitungan bobot kriteria, maka diperoleh bobot masing-masing subkriteria dari kriteria aksesibilitas dan potensi wilayah seperti ditunjukkan dalam Tabel 22 dan Table 23. Tabel 22 Bobot Sub Kriteria dari Aksesibilitas Sub Kriteria Bobot Kondisi Jalan 0.39 Penghematan Waktu Tempuh 0.24 Volume Lalu lintas 0.37 Σ 1.00 Tabel 23 Bobot Sub Kriteria dari Potensi Wilayah Sub Kriteria Bobot Obyek Wisata 0.28 Pusat Pemerintahan 0.23 Pasar 0.15 Pertanian 0.16 Padat Penduduk 0.20 Σ 1.00 Tabel 22 menunjukkan bahwa kondisi jalan memiliki bobot prioritas yang lebih tinggi (39%) dibandingkan dengan volume lalu lintas (37%) dan penghematan waktu tempuh (24%). Hal ini berarti bahwa responden lebih mengutamakan faktor kondisi jalan dalam menentukan prioritas perencanaan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja jika ditinjau dari kriteria aksesibilitas. Sementara Tabel 23 menunjukkan bahwa obyek wisata memiliki bobot prioritas yang lebih tinggi (28%) dibanding dengan pusat pemerintahan (23%), kepadatan penduduk (20%), pusat pertanian (16%), dan pasar (15%). Hal ini berarti bahwa responden lebih mengutamakan potensi obyek wisata dalam menentukan prioritas perencanaan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja jika ditinjau dari kriteria potensi wilayah.
50
Level 1 (Tujuan)
Level 2 (Kriteria)
Level 3 (Subkriteria) Kondisi Jalan (0,39)
Aksesibilitas (0,42)
Penghematan WaktuTempuh (0,24) Volume Lalu Lintas (0,37)
Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jaringan Jalan
Obyek Wisata (0,28)
Pusat Pemerintahan (0,23) Potensi Wilayah (0,58)
Pasar (0,15)
Pertanian (0,16)
Kepadatan Penduduk (0,20) Gambar 16. Bobot Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jaringan Jalan di Kabupaten Tana Toraja Secara keseluruhan dari hasil analisis proses hirarki ini terhadap penilaian responden dalam menentukan skala prioritas penanganan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja, yaitu pada level 2 potensi wilayah memiliki bobot yang lebih tinggi, dan selanjutnya pada level 3 obyek wisata merupakan prioritas yang
51 lebih diutamakan. Selanjutnya hasil analisis proses hirarki ini secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 16. Sintesis Prioritas Jaringan Jalan Menurut teori sistem lokasi pusat (Christaller dalam Tarigan 2009), bahwa dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa konsumen bergerak menuju pusat terdekat. Pusat wilayah berfungsi sebagai: (i) tempat terkonsentrasinya penduduk, (ii) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland, (iii) pasar bagi komoditas pertanian maupun industri, (iv) lokasi pemusatan industri manufaktur. Sementara hinterland, berfungsi sebagai: (i) pemasok bahan-bahan mentah/baku, (ii) pemasok tenaga kerja melalui urbanisasi dan commuting, (iii) daerah pemasaran barang dan jasa, (iv) penjaga keseimbangan ekologis (Rustiadi et al. 2011). Dari hasil analisis skalogram, diperoleh wilayah berhirarki I yang berfungsi sebagai pusat pelayanan, sehingga akan melayani wilayah-wilayah yang memiliki hirarki lebih rendah. Dimana Kecamatan Makale dan Makale Utara yang berhirarki I berfungsi sebagai pusat pelayanan. Sementara Kecamatan Gandasil, Sangalla, Mappak, Bonggakaradeng, dan Kurra yang berhirarki II berfungsi sebagai sub pusat pelayanan terhadap kecamatan-kecamatan lainnya yang berhirarki III (hinterland). Oleh karena itu, dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Tana Toraja, untuk meningkatkan peran pusat-pusat pelayanan diperlukan akses jaringan jalan untuk memudahkan pencapaian dari wilayah belakang menuju pusat pelayanan yang terdekat. Ruas-ruas jalan yang dapat menjadi prioritas dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Tana Toraja adalah ruas-ruas jalan yang menghubungkan pusat-pusat pelayanan dengan sub-sub pusat pelayanan, atau wilayah yang berhirarki I dengan wilayah yang berhirarki II. Dengan asumsi bahwa dengan lancarnya akses hubungan antar pusat dan sub pusat, maka dengan sendirinya akan mendorong perkembangan wilayah belakang yang berada di sekitarnya. Sementara itu, dari hasil AHP terhadap hasil penilaian para stakeholder (responden), diperoleh prioritas penanganan jaringan jalan untuk pengembangan wilayah Kabupaten Tana Toraja yaitu ruas-ruas jalan yang menghubungkan obyekobyek wisata. Dengan menggunakan kriteria berdasarkan pendekatan dari hasil analisis sebelumnya, maka ditentukan jaringan jalan yang menjadi prioritas seperti yang tercantum dalam matriks pengambilan keputusan (lihat lampiran 2). Dimana untuk jaringan jalan Batupapan – Rantekurra yang terdiri atas ruas Batupapan – Rantetayo (ruas no.19), Rantetayo – Rantekurra (ruas no.12), dan Rantekurra – Salukanan (ruas no.34) adalah merupakan jalur angkutan umum (trayek Makale – Rantetayo – Kurra). Di samping itu juga merupakan ruas jalan dengan fungsi lokal primer 1 yang menghubungkan antar ibukota kecamatan, serta juga merupakan ruas yang masuk dalam perencanaan RTRW kabupaten, sehingga jaringan jalan Batupapan – Rantekurra dipilih sebagai jaringan jalan prioritas. Sementara untuk jaringan jalan lingkar wisata, yang terdiri atas ruas Bittuang – Bolokan (ruas no.114), Sipe – Sandangan (ruas no.143), Lebannu – Batutu (ruas no.152), Pattawanan – Batutu (ruas no.151), Mebali – Kaduaja (ruas no.57), Pa’tengko – Batualu (ruas no.56), Makula – Batualu (ruas no.55), Kondoran – Makula (ruas no.53), Sandale – Kanan Dena (ruas no.52), dan Leatung – Kapa (ruas
52 no.66) adalah merupakan ruas yang mewakili persepsi stakeholders yaitu memprioritaskan hubungan antarlokasi obyek wisata, dan juga telah ditetapkan sebagai jalan lingkar wisata dalam perencanaan RTRW kabupaten, serta merupakan ruas-ruas jalan dengan fungsi lokal primer 1, sehingga jaringan jalan lingkar wisata dipilih sebagai jaringan jalan prioritas. Untuk beberapa ruas jalan seperti: Rantelemo – Tilangnga (ruas no.4), Paku – Pangleon (ruas no.8), To’kalimbuang – Tilangnga (ruas no.40), Lemo – Rorre (ruas no.41), dan Makale – Kondoran (ruas no.65) merupakan ruas jalan yang memenuhi minimal 5 pendekatan kriteria tetapi tidak terpilih, karena ruas tersebut tidak dilalui oleh trayek angkutan umum, dan untuk menghubungkan dengan ruas lain disekitarnya dalam membentuk suatu jaringan jalan terpadu yang efektif telah terwakili oleh jaringan jalan Tetebassi – Kondoran yang merupakan jaringan jalan terpilih dan dilalui oleh trayek angkutan umum. Untuk ruas Sillanan – Pa’buaran (ruas no.84) yang merupakan ruas jalan yang memenuhi 5 pendekatan kriteria tetapi tidak terpilih, karena ruas tersebut telah terwakili oleh jaringan jalan lingkar wisata dan jaringan jalan Makale – Kaduaja dalam menghubungkan Kecamatan Makale sebagai pusat wilayah (Hirarki I) dengan Kecamatan Gandangbatu Sillanan sebagai subpusat pelayanan (Hirarki II). Sementara untuk ruas jalan Masuppu – Lekke (ruas no.146) dan Lekke – Buangin (ruas no.147) merupakan ruas jalan yang tidak memenuhi minimal 5 pendekatan kriteria dan tidak dilalui oleh trayek angkutan umum tetapi terpilih, karena ruas tersebut merupakan satu-satunya jaringan jalan yang menghubungkan antara Kecamatan Makale sebagai pusat wilayah (Hirarki I) dengan Kecamatan Mappak sebagai subpusat pelayanan (Hirarki II) dan merupakan jaringan jalan yang termasuk dalam salah satu kebijakan pemerintah daerah dalam RTRW kabupaten. Berdasarkan kriteria dan pendekatan tersebut, diperoleh jaringan jalan yang menjadi prioritas untuk pengembangan wilayah di Kabupaten Tana Toraja, yaitu: 1. Alternatif I dengan total panjang jalan 224,1 km, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 17, terdiri atas: (i). Batupapan – Rantekurra dengan panjang 16,9 km; (ii). Kokkang – Buakayu dengan panjang 25,4 km; (iii). Pasobo – Kondodewata dengan panjang 73,5 km; (iv). Tetebassi – Kondoran dengan panjang 8,6 km; (v). Jalan lingkar wisata dengan panjang 99,7 km. Jika pemerintah daerah melaksanakan alternatif I ini dengan asumsi bahwa pemerintah konsisten mengalokasikan anggaran penanganan jalan yang ada untuk ruas-ruas jalan pada pilihan ini, maka dengan rata-rata anggaran peningkatan jalan yaitu sebesar Rp 50 Miliar/tahun (Pemda Tana Toraja 2010, 2011, 2012) dan biaya peningkatan jalan sebesar rata-rata Rp 1 Miliar/km (Dinas PU 2012), akan tuntas dalam jangka waktu lebih kurang 4,5 tahun.
Gambar 17 Peta Prioritas Jaringan Jalan Alternatif I
53
54 2.
Alternatif II dengan total panjang jalan 255,4 km, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 18, terdiri atas: (i). Batupapan – Rantekurra dengan panjang 16,9 km; (ii). Kokkang – Buakayu dengan panjang 25,4 km; (iii). Pasobo – Kondodewata dengan panjang 73,5 km; (iv). Makale – Kaduaja dengan panjang 31,3 km; (v). Tetebassi – Kondoran dengan panjang 8,6 km; (vi). Jalan lingkar wisata dengan panjang 99,7 km. Untuk alternatif II ini meliputi seluruh ruas pada alternatif I ditambah ruas Makale – Kaduaja. Pertimbangan memilih penambahan ruas tersebut adalah karena adanya salah satu obyek wisata yang dapat dilalui yaitu agrowisata pango-pango untuk menghubungkan Kecamatan Makale sebagai pusat pelayanan (hirarki I) dengan Kecamatan Gandangbatu Sillanan sebagai subpusat pelayanan (hirarki II). Jika pemerintah daerah melaksanakan alternatif II ini dengan asumsi bahwa pemerintah konsisten mengalokasikan anggaran penanganan jalan yang ada untuk ruas-ruas jalan pada pilihan ini, maka dengan rata-rata anggaran peningkatan jalan yaitu sebesar Rp 50 Miliar/tahun (Pemda Tana Toraja 2010, 2011, 2012) dan biaya peningkatan jalan sebesar rata-rata Rp 1 Miliar/km (Dinas PU 2012), akan tuntas dalam jangka waktu lebih kurang 5,2 tahun.
Dengan terwujudnya salah satu alternatif prioritas jaringan jalan tersebut, maka akan mempermudah arus keluar masuk orang, barang, dan jasa sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Pertumbuhan ekonomi wilayah yang meningkat akan mendorong peningkatan di sektor-sektor lainnya. Dengan demikian, hubungan fungsi antara pusat wilayah dan daerah hinterland tercipta dan terlaksana dengan baik sehingga akan saling mendukung dalam pengembangan wilayah. Peran pemerintah memberikan dampak yang sangat besar dalam mencegah disparitas yang mungkin ditimbulkan oleh pengembangan suatu wilayah. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai kebijakan yang dapat mendukung perkembangan wilayah belakang, antara lain: (i) pembangunan infrastruktur yang menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat di wilayah tersebut, seperti: air minum, sanitasi, listrik, angkutan umum, kesehatan, dan pendidikan; (ii) penggunaan sumberdaya alam di perdesaan dilakukan tanpa mengurangi daya dukung dan kualitas lingkungan, misalnya dengan melakukan rehabilitasi lingkungan; (iii) mengupayakan peningkatan penggunaan barang-barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal, sehingga akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian yang akan mendorong peningkatan sektor industri dan jasa; (iv) mengupayakan kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar (ekspor) dengan penggunaan komoditas lokal, sehingga akan mendorong investasi di wilayah tersebut. Dalam perkembangannya, wilayah-wilayah yang lebih maju (pusat wilayah) diharapkan dapat mendorong perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (hinterland). Dengan penanganan jaringan jalan yang menjadi prioritas di Kabupaten Tana Toraja, akan menjadi trickle down effect bagi wilayah belakang, sehingga akan mendorong peningkatan perkembangan wilayahnya dan akan mengurangi disparitas antara pusat dan hinterland.
Gambar 18 Peta Prioritas Jaringan Jalan Alternatif II
55
56
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Jaringan jalan yang ada di Kabupaten Tana Toraja pada umumnya telah sesuai dengan potensi-potensi wilayah yang ada, namun jumlah jaringan jalan tersebut tidak proporsional dengan potensi dan pengembangan yang ada. 2. Berdasarkan indeks perkembangan wilayah, Kecamatan Makale dan Makale Utara berada pada hirarki I yang menjadi pusat pelayanan; Kecamatan Gandasil, Mappak, Bonggakaradeng, Kurra, dan Sangalla berada pada hirarki II yang menjadi sub pusat pelayanan; Kecamatan Simbuang, Rano, Rembon, Masanda, Bittuang, Saluputti, Malimbong Balepe, Makale Selatan, Mengkendek, Sangalla Selatan, Sangalla Utara, dan Rantetayo berada pada hirarki III yang merupakan daerah hinterland. 3. Hasil persepsi stakeholders menunjukkan prioritas penanganan jaringan jalan di Kabupaten Tana Toraja lebih diutamakan berdasarkan potensi wilayah yaitu obyek wisata, sementara berdasarkan aksesibilitas yaitu kondisi jalan. 4. Untuk pengembangan wilayah Kabupaten Tana Toraja, maka jaringan jalan yang dapat diprioritaskan adalah : i). Alternatif I dengan total panjang jalan 224,1 km, yang terdiri atas: (i). Batupapan – Rantekurra dengan panjang 16,9 km; (ii). Kokkang – Buakayu dengan panjang 25,4 km; (iii). Pasobo – Kondodewata dengan panjang 73,5 km; (iv). Tetebassi – Kondoran dengan panjang 8,6 km; (v). Jalan lingkar wisata dengan panjang 99,7 km. ii). Alternatif II dengan total panjang jalan 255,4 km, yang terdiri atas: (i). Batupapan – Rantekurra dengan panjang 16,9 km; (ii). Kokkang – Buakayu dengan panjang 25,4 km; (iii). Pasobo – Kondodewata dengan panjang 73,5 km; (iv). Makale – Kaduaja dengan panjang 31,3 km; (v). Tetebassi – Kondoran dengan panjang 8,6 km; (vi). Jalan lingkar wisata dengan panjang 99,7 km. Saran 1. Hasil penelitian ini hendaknya digunakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja dalam merencanakan jaringan jalan untuk pengembangan wilayahnya. 2. Dalam penelitian ini, penghitungan nilai potensi wilayah hanya berdasarkan potensi aktual yang ada, belum memasukkan komponen/data lain yang mungkin dapat menambah kapasitas potensi wilayah itu sendiri. Oleh sebab itu, disarankan dilakukan penelitian lanjutan untuk memperhitungkan komponen-komponen yang masih dapat dikembangkan guna mengetahui kapasitas potensi wilayah yang bersangkutan secara lebih nyata.
57
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita R. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Adisasmita SA. 2011. Jaringan Transportasi: Teori dan Analisis. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tana Toraja Dalam Angka. Tana Toraja (ID): BPS Kabupaten Tana Toraja. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Tana Toraja Dalam Angka. Tana Toraja (ID): BPS Kabupaten Tana Toraja. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta (ID): Pradnya Paramita. Christofakis M, Athanasios P. 2011. The growth poles strategy in regional planning: the recent experience of Greece. Econ Papers. 6(2): 5 – 20. [Dinas PU] Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tana Toraja. 2011. Daftar Status Jalan Kabupaten. Tana Toraja (ID): Dinas PU Kabupaten Tana Toraja. [Dinas PU] Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tana Toraja. 2012. Data Anggaran Proyek Jalan Tahun Anggaran 2011. Tana Toraja (ID): Dinas PU Kabupaten Tana Toraja. [Dishub] Dinas Perhubungan Kabupaten Tana Toraja. 2012. Data Jumlah Angkutan Umum di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2009 – 2011. Tana Toraja (ID): Dinas Perhubungan Kabupaten Tana Toraja. Djakapermana RD. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. Bogor (ID): IPB Press. Hotrin R. 2011. Analisis prioritas penanganan jaringan jalan strategis terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Humbang Hasundutan [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Jayadinata JT. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan, Perkotaan dan Wilayah. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Kattsoff LO. 1989. Pengantar Filsafat. Soemargono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Tiara Wacana. Terjemahan dari: Elements of Philosophy. Losch A. 1954, The Economics of Location. New Haven (US): Yale University Press. Masrianto, Soegiono S, Poernomosidhi P, Bambang R. 2012. Pembangunan jaringan jalan perkotaan berdasarkan kajian struktur ruang dan aksesibilitas kota. Jurnal Transportasi. 12(2): 153 – 164. Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Jakarta (ID): Kementerian Pekerjaan Umum Oktaviana MG, Silistio H, Wicaksono A. 2011. Strategi pengembangan transportasi antar wilayah di Provinsi Papua Barat. J Rekayasa Sipil. 5(3): 180 – 190. Panuju DR. 2012. Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan Wilayah [modul kuliah]. Bogor (ID): Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor. Partovi FY. 1994. Determining What to Benchmark: An Analytical Hierarchy Process Approach. International Journal of Operations and Production Management. 14 (6): 25 – 39.
58 [Pemda] Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja. 2010. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Tana Toraja (ID): Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja. [Pemda] Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja. 2011. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Tana Toraja (ID): Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja. [Pemda] Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja. 2012. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Tana Toraja (ID): Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Rachmadita SO. 2012. Pembiayaan pengelolaan prasarana jalan dalam era desentralisasi di Indonesia. Jurnal Tataloka. 14(2): 113 – 130. Rezeki R. 2007. Disparitas sub wilayah: Kasus Perkembangan Antar Kecamatan di Kabupaten Tanah Datar [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Rizal A, Achmad W, Ludfi D. 2012. Penentuan prioritas pengembangan jaringan jalan pendukung kawasan strategis di pulau Sumbawa. J Rekayasa Sipil. 6(3): 214 – 225 Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Press dan Pustaka Obor Indonesia. Saaty TL. 2000. Fundamentals of Decision Making and Priority Theory, 2nd ed, Pittsburgh (US): RWS Publication Saaty TL, Mariya S. 2008. Making decisions in hierarchic and network systems. IJADS. 1(1): 24 – 79. Samani MK, Hosseiny SA, Lotfalian M, Najafi A. 2010. Planning Road Network in Mountain Forests Using GIS and AHP. Caspian Journal of Environmental Sciences. 8(2): 151 – 162 . Septiana A, Hendarto RM. 2012. Analisis usulan kebijakan solusi kemacetan lalulintas di kawasan tembalang Semarang. Diponegoro Journal of Economics. 1(1): 1 – 10. Taiwo A, Francis K. 2013. An Appraisal of Road Condition Effect on Rural Transportation in Sekyere Central District of the Ashanti Region of Ghana. J Transportation Technology. 3(4):266-271.doi:10.4236/jtts.2013.34028 Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Ed ke-2. Jakarta (ID): Bumi Aksara Tarigan R. 2007. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Ed ke-2. Jakarta (ID): Bumi Aksara Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika. Bambang S, penerjemah. Jakarta (ID): Gramedia. Terjemahan dari: Introduction to Statistic.
59
LAMPIRAN
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Ujungpandang (sekarang bernama Makassar) Propinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 21 Juli 1978. Menempuh pendidikan dasar hingga S1 di kota Makassar. Lulus sarjana (S1) pada Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jurusan Teknik Sipil pada tahun 2004. Setelah menyelesaikan studi S1, langsung bekerja sebagai konsultan pengawas jalan dan jembatan pada PT. Wesitan Konsultan Pembangunan. Pada tahun 2008 diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja Propinsi Sulawesi Selatan dan ditempatkan di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tana Toraja hingga saat ini. Tahun 2012 Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan beasiswa dari Pusbindiklatren Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas).