ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: ABD MUKTADIR 107043202961
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2014 M
ABSTRAK Abd Muktadir. NIM 107043202961. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK. Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M. 78 halaman. Masalah utama dalam skripsi ini adalah kesesuaian hak-hak anak yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak dengan hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menjelaskan hak-hak anak dalam Keputusan Presiden nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak baik itu secara garis besar maupun secara terperinci berdasarkan isi kandungan yang kemudian ditinjau dengan analisis berdasarkan perspektif hukum Islam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pengaturan perlindungan hak-hak anak dalam Keptusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 memiliki banyak kesesuaian dengan hukum Islam baik itu secara general maupun secara terperinci berdasarkan pokok-pokok pembahasan diantaranya; seperti hak pendidikan, hak perlindungan tindak kekerasan, dan hak perlindungan keluarga. Kata kunci
: Landasan Hukum, Konvensi, Hak-Hak Anak, Hukum Islam
Pembimbing : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.A. Daftar Pustaka : Tahun 1970 s.d Tahun 2009.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamin, penulis ucapkan rasa syukur yang tiada terkira kepada Allah SWT, yang telah menerangi, menuntun, dan membukakan hati serta pikiran dalam menyelesaikan setiap tahapan proses penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Semoga kita mendapatkan syafa’at-nya kelak. Amin. Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir dari penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Bapak Dr. H. JM Muslimin, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA. dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA. selaku Ketua dan Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum. 3. Bapak Dr. A. Sudirman Abbas, MA. selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan hingga selesainya skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu, pengalaman dan mencurahkan tenaga serta pikirannya untuk mendidik kami. Sehingga menjadi insan yang bermanfaat. 5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini. 6. Ayahanda H. Umar Haris dan Ibunda tercinta Hj. Faridah sebagai tonggak semangat penulis, mereka yang tak kenal lelah terus memberikan doa, dukungan,
bimbingan serta motivasinya hingga penulis berhasil menyelesaikan studi di perkuliahan ini dari awal hingga akhir. 7. Buat kakak tercinta Nurul Inayah dan adik-adik yang selalu penulis banggakan, yaitu; Syamsul Mubarak, Nur Fahriani, Nur Sabriani, Nasrullah, Mansur Fahmi, Husnul Khatimah, dan Nurkhalisa Kurnia . 8. Buat para senior yang telah banyak mengajari bagaimana cara menghargai sebuah proses dan bimbingan mental sebagai anak rantau diantaranya; Taufiq Nur el Bugisi, Evan Prayudha, Abdullah, Alamsyah, Fadli, Burhanunddin Thomme, Rusydi Anwar, Andi Muslimin Alwi, Firmansyah, M. Nur, Sofyan MS, Ahmad Qomaeni, Tajuddin Kabbah, Zulkarnai Patunrangi, Rusmin Nuriadin, Faisal Muhclis, Nurhabibie Rifai, Ari, Fikri Syahril, Ust Syamsu, Azikin Nurdin, Ardiansyah Arsyad, Ardiansyah H. Manggawe, Shadikin Brek, Deni Arditya, Nandar CI, Bung Irwan, Ichsan, Yasir, Rio halide, bung Firmansyah, 9. Buat teman-teman yang banyak membantu penulis; M. Mashud Ali, Muhammad Hanafi, Muchibi, M. Novel, Hilman Shopi, Islah Farid, Ahmad Faqih, M. Helmi Fahkrazi, Rizki DP, Alfiah, Ade Yani, Miranda, Harun Mulawarman, A. Masnur, Munawir, Kahfi Solle, Ashari Alang Pabua, Darwis EB, A. Syafri, Abd Muaz. 10. Buat teman-teman IKAMI Sul-Sel, IAPIM, FriFor 206, Kelas PH 2007, KKN 80 Tahun 2010, Keluarga Besar Mahasiswa PMH, dan semua teman yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT sebagai bentuk amal kebaikan. Amin. Jakarta, 30 Desember 2014 M 8 Rabiul Awwal 1436 H
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………………. LEMBAR PERNYATAAN........................................................................................... ABSTRAK...................................................................................................................... KATA PENGANTAR................................................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................................................... . BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 7 D. Review Studi Terdahulu .............................................................. 8 E. Metode Penelitian ...................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ANAK A. Pengertian Hak-Hak Anak ......................................................... 14 B. Jenis-jenis Anak dan Hak-Haknya .............................................. 18 C. Penyebab Tidak Terpenuhinya Hak-Hak Anak .......................... 40 D. Bentuk Kekerasan Terhadap Anak………………………………. 45 E. Dampak-Dampak Tidak Terpenuhinya Hak-Hak Anak ............... 48
BAB III
KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK A. Latar Belakang Lahirnya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak ......................... 51 B. Isi Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak .................................................................. 56
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM PRESIDEN
NOMOR
36
TERHADAP KEPUTUSAN TAHUN
1990
TENTANG
PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK A. Hak Pendidikan bagi Anak ......................................................... 59 B. Hak Perlindungan Anak dari Tindak Kekerasan .......................... 63 C. Hak Perlindungan Anak Dalam Keluarga ................................... 67 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 73 B. Saran .......................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 76
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum Islam, secara naluriah setiap makhluk yang hidup di alam ini selalu berusaha untuk mendidik, membesarkan, dan melindungi anak-anaknya dengan rasa kasih sayang dan menerima anak sebagaimana mestinya. Karena setiap anak yang dilahirkan kedunia ini merupakan buah hati yang sangat dinantikan dan dirindukan oleh kedua orang tuanya, khususnya suami dan istri akan sebuah rumah tangga dan keluarga, tentunya harus melalui proses pernikahan yang sah menurut hukum yang berlaku.1 Setiap anak yang dilahirkan oleh seorang ibu merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Hal ini memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, selaras, dan seimbang. 2 Oleh karena itu terhadap anak perlu dilakukan pendidikan, pembinaan, dan upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya agar pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan
1
Muhammad Fuad abdul Baqi, Al-Lu’lu’ wa al-Marjan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1996), Juz II, 1010. 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.
1
2
sosial anak dapat
terjaga dari kemungkinan-kemungkinan
yang
akan
membahayakan mereka. Hukum mengenai perlindungan anak sebagai suatu kajian di Indonesia adalah relatif baru, sekalipun kelahiran perlindungan anak itu sendiri telah lahir bersama lahirnya hak-hak anak secara Universal yang diakui dalam Sidang Umum PBB tanggal 20 November 1959 (Declaration of The Right of The Child) yang di dalam mukadimahnya tersirat kewajiban memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak, dan dalam era pembangunan hukum yang mempunyai kaitan dengan kehidupan anak atau remaja, demi mencapai kesejahteraan bagi mereka.3 Dan berbicara mengenai perlindungan anak pada dasarnya tidak berarti baru ada setelah lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), sebelum lahirnya undang-undang ini, masalah perlindungan anak sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik secara umum atau secara khusus telah mengatur masalah anak. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang dan manusiawi. 4 Lebih jauh dari itu, setiap anak yang terlahir kedunia ini adalah terlahirkan dalam keadaan fitrah (suci), bahkan didalam segi ideologi atau paham kehidupannya semua akan terlindungi dengan jelas oleh orang tuanya.
3
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),
h. 5. 4
Linda Wati Ginting, Anak Dalam Perlindungan Bidang Hukum Perdata: Kumpulan Karya Tulis Bidang Hukum Tahun 2000, (Jakarta: BPHN, 2000), h. 165.
3
Masalah anak perlu mendapatkan perhatian serius baik oleh masyarakat luas maupun masyarakat ilmiah agar mereka mendapat perlindungan hukum yang layak. Memang harus diakui bahwa perlindungan hukum terhadap anak masih kurang jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pemerintah Indonesia untuk itu telah memberikan perhatian yang serius terhadap hak-hak anak, terbukti dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesejahteraan anak dan ditandatanganinya Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention of The Right of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan telah disahkan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa “Semua anak tanpa pengecualian apapun memiliki hak yang tercantum dalam deklarasi tanpa perbedaan atau diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, paham politik atau paham lainnya, asal kebangsaan atau asal sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya dan dirinya atau dari keluarganya. Disamping itu semua anak berhak dalam perlindungan khusus, kesempatan, dan fasilitas yang diperlukan bagi pertumbuhannya dengan cara yang sehat dan dalam suasana yang bebas dan terhormat”. Perlindungan anak adalah hasil interaksi karena adanya interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. 5
5
Arif Gosita, Kumpulan Karangan Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1998), Edisi ke-2, h. 220.
4
Dalam Islam, seorang anak mempunyai hak yang harus diakui, hak yang harus diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa, dan negara. Kemudian dari pada itu, berhubung Indonesia yang merupakan mayoritas muslim, maka hak-hak anak yang tertuang di dalam Keputusan Presiden Repulik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak perlu mendapatkan pengkajian dan analisis menurut pandangan hukum Islam. Sebagaimana yang diketahui, bahwa anak merupakan individu yang berada dalam satu rentan perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain atau oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada antara satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak yang berbeda. Pada anak terdapat rentang pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial. Ciri fisik semua anak tidak mungkin sama antara satu dan lainnya, begitupun perkembangan kognitif ada yang cepat ada pula yang lambat. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh latar belakang anak. Perkembangan konsep diri ini sudah ada sejak bayi, akan tetapi belum terbentuk secara sempurna
dan akan
pertambahan usia pada anak.
mengalami
perkembangan seiring dengan
5
Demikian juga pola koping yang dimiliki anak hampir sama dengan konsep diri yang dimiliki anak. Bahwa pola koping juga sudah terbentuk mulai bayi, hal ini dapat kita lihat saat anak bayi menangis. Salah satu pola koping yang dimiliki anak adalah menangis seperti bagaimana anak lapar, tidak sesuai dengan keinginannya, dan lain sebagainya. Kemudian perilaku sosial pada anak juga mengalami perkembangan mulai bayi. Pada masa bayi perilaku sosial pada anak sudah dapat dilihat seperti bagaimana anak tersebut mau diajak orang lain, dengan orang banyak dengan menunjukkan keceriaan. Hal tersebut sudah mulai menunjukkan terbentuknya perilaku sosial yang seiring dengan perkembangan usia. Perubahan perilaku sosial juga dapat berubah sesuai dengan lingkungan yang ada, seperti sebagaimana anak sudah mau bermain dengan kelompoknya yaitu anak-anak. Anak adalah individu yang rentan karena perkembangan kompleks yang terjadi disetiap tahap masa kanak-kanak dan masa remaja. Lebih jauh, anak juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan dengan orang dewasa, dan memiliki pengalaman yang terbatas, yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi mereka mengenai dunia. Oleh karena itu, berdasarkan kepada uraian di atas, maka penulis dalam penelitian skripsi ini akan melakukan penelitian mengenai Hak-Hak Anak yang tertuang di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia dan pandangan hukum Islam dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Keputusan Presiden
6
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Guna memudahkan pembahasan didalam penulisan skripsi ini agar tidak keluar dari koridor objek yang telah ditetapkan, maka penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut: 1. Keputusan Presiden dalam skripsi ini dibatasi pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak. 2. Hak anak dalam skripsi ini dibatasi pada hak pendidikan, hak perlindungan tindak kekerasan, dan
hak perlindungan keluarga
menurut hukum Islam. Dari pembatasan masalah di atas, secara lebih terperinci perumusan masalah dalam skripsi ini lebih memfokuskan pada beberapa pembahasan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk konsep Perlindungan hukum terhadap hak anak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak ? 2. Hak-Hak Anak apa sajakah yang dijamin di dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak ?
7
3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisa
dan
mendeskripsikan
bagaimanakah
bentuk
konsep
Perlindungan hukum terhadap hak anak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. 2. Menganalisa dan mendeskripsikan hak-hak anak yang dijamin didalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. 3. Menganalisa dan mendeskripsikan bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai aspirasi penulis kepada Pemerintah dan Lembaga yang berwenang untuk semakin baik dan adil dalam melaksanakannya. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat pada umumnya adalah untuk mengetahui bagaimana konsep dan aturan hukum Indonesia mengenai Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak serta Kesesuaian ataupun Perbedaan dengan Hukum Islam.
8
Secara akademis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi para akademisi Fakultas Syariah dan Hukum pada umumnya dan bagi Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum pada khususnya, sebagai tambahan referensi tentang studi analisis terhadap Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak dengan hukum Islam. 4.
Review Studi Terdahulu Sejauh ini penelitian mengenai topik yang membahas masalah perlindungan hak-hak anak yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 baik mengenai konsep, ketentuan-ketentuan, status maupun masalah lain yang berkaitan dengan hak-hak anak tersebut, baik yang mengkaji secara spesifik masalah tersebut maupun yang menyinggung secara umum. Penulis juga melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul proposal, di antaranya sebagai berikut: 1. Skripsi yang ditulis oleh Amelia (Tafsir Hadist 2008) dengan judul “Perlindungan Hak-Hak Anak dalam Perspektif Hadist dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003” Dalam skripsi ini penulis lebih menekankan perlindungan hak-hak anak yang dimana beberapa hadist telah banyak yang menjelaskan tentang pentingnya perlindungan terhadap hak-hak anak tersebut serta regulasi yang dituangkan di dalam undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan hak-hak anak.
9
2. Skripsi yang ditulis oleh Najjar Bani (ASS 2007) dengan judul “Perlindungan atas Tindak Kekerasan Terhadap Anak dalam Perspektif Konvensi Hak-Hak Anak dan Hukum Islam: Studi Komparatif“. Pada Sripsinya penulis menjelaskan bagaimana konsep perlindungan atas tindak kekerasan terhadap anak agar dapat mendapat perhatian hukum yang lebih pasti dan bersifat kuat secara hukum, baik itu hukum Islam maupun hukum positif. 3. Studi review selanjutnya yaitu skripsi yang ditulis oleh Deni Kurniawan (PMH 2006) dengan judul “Hukum Perlindungan Anak Terhadap Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif”. Pada skripsinya penulis membahas tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga, konsep perlindungan hukum bagi anak, dan bagaimana perlindungan hukum anak terhadap kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam dan hukum positif. Dari tiga skripsi yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan ketiganya membahas tentang apa sebenarnya definisi kekerasan terhadap anak dalam hal ini kekerasan terhadap anak di dalam rumah tangga, bagaimana konsep perlindungan anak yang sebenarnya, bagaimana perlindungan anak ketika mendapatkan kekerasan fisik, hukuman bagi pelaku kekerasan anak baik dalam hukum positif maupun hukum Islam. Sedangkan pada skripsi yang penulis akan tulis akan membahas tentang gambaran gambaran singkat tentang hak-hak anak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak, bagaimana hukum Islam membahas tentang hak-hak anak,
10
serta persamaan hukum Islam dan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi Hak Anak. 5.
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan data-data yang berasal dari berbagai macam literatur buku, artikel, makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat. 2. Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan, yaitu dengan membaca berbagai macam literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini yang meliputi semua referensi yang terdapat dalam bentuk buku dan sejenisnya yaitu karangan, laporan penelitian, mata pelajaran, majalah, brosur, surat kabar dll. 6 3. Sumber Data
6
Jaenal Aripin, Metode Dan Teknik Pengumpulan Data, Makalah disampaikan pada Pelatihan Metodologi Penelitian Mahasiswa FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 30 Oktober 2009, hlm. 1
11
a. Sumber data primer, sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.7 Dan yang menjadi sumber data primer dalam penulisan skripsi ini yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penelitian antara lain Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1990 tentang konvensi hak anak dan buku-buku lain yang berkaitan dengan pembahasan penulisan. b. Sumber data sekunder, sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. 8 Dan sumber data sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu arikel-artikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Teknik Analisis Data Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode dengan
menganalisis
dan
menjelaskan
suatu
permasalahan
dengan
memberikan suatu gambaran secara jelas hingga menemukan jawaban yang diharapkan. 7
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), Cet. Ke-2, hlm. 225 8 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), Cet. Ke-2, hlm. 225
12
5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dah Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. 6.
Sistematika Penulisan Agar lebih mendapatkan gambaran yang menyeluruh, skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Berisikan
pendahuluan
yang
meliputi
latar
belakang
masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan. alasan-alasan sub-sub bab tersebut diletakkan pada bab 1. adalah untuk lebih mengetahui alasan pokok mengapa penulisan ini dilakukan dan untuk lebih mengetahui batasan dan metode yang dilakukan sehingga maksud dari penulisan ini dapat dipahami. BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ANAK Tinjauan umum atau landasan teori mengenai hak-hak anak, yang dibagi dalam beberapa sub, yakni: pengertian hak-hak anak, jenis-jenis anak dan hak-haknya, penyebab tidak terpenuhinya hak-hak anak, serta dampakdampak tidak terpenuhinya hak-hak anak.
13
BAB III : KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK Membahas mengenai tinjauan terhadap Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak, yang dibagi dalam dua sub bab: latar belakang lahirnya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak, isi penetapan Keputusan presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak. BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG HAK-HAK ANAK Membahas mengenai hukum Islam dan hukum positif yang terkandung di dalam Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Hak-Hak Anak, yang dibagi kedalam tiga sub, yakni: hak pendidikan anak, hak perlindungan tindak kekerasan anak, dan hak perlindungan keluarga. BAB V : PENUTUP Merupakan bab terakhir yang menjadi penutup dengan berisikan kesimpulan dan saran-saran. bab ini bertujuan untuk memberikan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya mengenai apa dan bagaimana isi pokok bahasan tersebut dan selanjutnya memberikan saran mengenai isi dari penulisan ini.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ANAK A. Pengertian Hak-Hak Anak Kata “hak” secara bahasa adalah lawan dari kebatilan bentuk jamaknya adalah “hauqud” atau “hiqaq”, jika dikatakan “benarnya sesuatu dengan sebenarbenarnya” berarti tetap dan terjadinya sesuatu tampa keraguan di dalamnya. Kata “hak” juga berarti kebenaran atau ketetapan atau keadilan atau hakikat atau suatu hakikat yang sudah ditentukan. Lawan kata “hak” dari segi makna adalah kebathilan
yakni
kesalahan.
Selanjutnya
kata
“batil”
juga
bermakna
ketidakbenaran, ketidakadilan, atau bertentangan dengan kenyataan. 1 Kata “hak” secara terminologi merupakan ungkapan kebalikan dari kewajiban. Artinya sesuatu yang dianggap sebagai hak bagi sesorang maka merupakan kewajiban bagi orang lain. Misalnya hak rakyat adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah dan hak orang yang berhutang merupakan kewajiban bagi orang yang berpiutang. 2 Hak anak adalah bagian (hak) anak yang telah ditentukan untuknya dan segala sesuatu yang terkandung dalam syariat Islam berupa kebutuhan-kebutuhan pokok yang menjamin persamaan hak asasinya dan kebahagiaan hidupnya dalam kedamaian diantara masyarakat Islam lainnya. 3
1
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Yogyakarta; Pustaka Progresif, 1997), Jilid II, h. 942 Rafat Farid Swilam, Al- Islam wa Huquq Al- Thifli, (Kairo; Dar Mahasyin, 2002), h. 19 3 Rafat Farid Swilam, Al- Islam wa Huquq Al- Thifli, h. 19 2
14
15
Dengan demikian hak anak dapat dipahami sebagai milik atau kewenangan yang mutlak dimiliki oleh seorang anak yang harus diberikan secara adil dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara normal dalam kehidupannya. 4 Secara umum peraturan perundang-undangan di berbagai negara terutama pada pendekatan usia tidak ada keseragaman perumusan tentang anak. Kaitannya dengan itu maka Suryana Hamid (2004:21) menguraikan bahwa di Amerika, batas umur anak delapan sampai delapan belas tahun. Di Australia disebut anak apabila berumur minimal 8 tahun dan maksimal 16 tahun, di Inggris batas umur anak 12 tahun dan maksimal 16 tahun sedangkan di Belanda yang disebut anak adalah apabila umur antara 12 sampai 18 tahun, demikian juga di Srilangka, Jepang, Korea, Filipina, Malaysia dan Singapura. Selanjutnya Task Force on Juvenile Delinquency Prevention menentukan bahwa batas umur anak yang bisa dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana adalah berumur 10 sampai 18 tahun. Resolusi PBB Nomor 40/33 tentang Standard Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice, menentukan batas umur anak 7 sampai 18 tahun. Sedangkan bila bertitik tolak dari laporan penelitian Katayen H Cama (Lilik Mulyadi, 2005:16-17) batas umur minimal bervariasi dari umur 7 – 15 tahun. Hal ini dipertegas dengan redaksional sebagai berikut:
4
Siti Umrah, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam dan dalam Peraturan PerundangUndangan (Analisis Komparatif), (Ciputat: Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 17
16
Bahwa dalam tahun 1953 berdasarkan laporan Katayen H. Cama, Hakim Pengadilan Anak Bombay, India yang mengadakan research untuk Departemen Sosial dari Perserikatan Bangsa-bangsa atas permintaan Social Commison dari Economic and Social Council menyatakan, bahwa: 1.
Di Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak di bawah usia 7 tahun dianggap tidak melakukan kejahatan;
2.
Di Jepang, tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak kurang dari 14 tahun tidak dapat dihukum;
3.
Di Filipina, anak-anak di bawah 9 tahun, dan di Muangthai anak-anak di bawah 7 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara kriminal;
4.
Di Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak di antara umur 7 tahun dan di bawah 12 tahun dan Filipina seorang anak di antara umur 9 tahun dan di bawah 15 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, apabila ia pada waktu melakukannya belum dapat menghayati bahwa apa yang dilakukannya adalah salah. Sedangkan untuk batasan umur maksimum 18 tahun dirasakan cukup
representatif dengan kebanyakan hukum positif Indonesia (UU 1/1974, UU 12/1995, UU 3/1997) serta juga identik pada ketentuan umur di 27 Negara Bagian Amerika Serikat, kemudian Negara Kamboja, Taiwan, Iran serta sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) dari Sidang Majelis Umum PBB yang diterima tanggal
17
20 November 1989 dan di Indonesia disahkan dengan Keputusan Presiden RI Nomor: 36 Tahun 1990 (LNRI Tahun 1990 Nomor 57) tanggal 25 Agustus 1990. Berbagai batas umur seperti diuraikan di atas, nampak ada kesamaan antara negara-negara yakni disebut anak apabila batas minimal berumur 7 tahun dan batas maksimal 18 tahun, walaupun demikian ada juga negara yang mematok usia anak terendah 6 tahun dan tertinggi 20 tahun, seperti Iran dan Srilangka. Perbedaan ini dapat saja terjadi karena adanya perbedaan pandangan yang disebabkan oleh kondisi sosial budaya masyarakat dari negara tersebut. Di Indonesia ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak, misalnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan berbagai peraturan lain yang berkaitan dengan masalah anak. Menurut Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut: Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak nakal adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana, b. Anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
18
Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut: Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirumuskan sebagai berikut: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dengan demikian apabila ditinjau dari berbagai pengertian di atas, anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah termasuk yang masih dalam kandungan. B. Jenis-Jenis Anak dan Hak-Haknya 1. Jenis-jenis anak Berdasarkan tata bahasa menjelaskan bahwa anak adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Kata “anak” dipakai secara umum baik untuk manusia maupun binatang bahkan tumbuhtumbuhan. Dalam bahasa arab terdapat bermacam kata yang digunakan untuk arti “anak”. Umpamanya kata “walad” artinya secara umum adalah “anak” tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh manusia atau binatang yang bersangkutan. Disamping itu kata “ibnun” yang artinya “anak” juga, hanya ada perbedaan pemakaian keduanya. Kata yang terakhir ini dipakai dalam arti
19
yang luas yakni dipakai untuk anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri dan lainnya. 5 Masing-masing anak ini mendapat perhatian khas dalam Islam yang menetukan statusnya baik didalam keturunan, kewarisan, maupun dalam pandangan masyarakat. Adapun penjelasan dari masing-masing jenis anak tersebut adalah sebagai berikut: a. Anak Kandung Anak kandung berarti anak sendiri yakni anak yang dilahirkan dari seorang ibu dari suaminya yang sah berdasarakan perkawinan yang mempunyai syarat.6 Anak kandung mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarga, orang tua yang berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, pengawasan dalam ibadah dan budi pekerti anak dalam kehidupan sampai dewasa, anak harus dapat bediri sendiri. Sekiranya masih sekolah lagi, maka ia dibiayai oleh ibu bapaknya sampai selesai pendidikannya. Disamping itu sang anak mendapatkan warisan dari ibu bapaknya. b. Anak Susu Anak susu berarti sesorang anak yang menetek dari seorang wanita tertentu.7 Hal ini sudah menjadi satu kebiasaan yang dilakukan, bahkan Rasulullah SAW sendiri disusui oleh ibu susu. 5
Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Islam: Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), Cet. II, hlm. 24-26. 6 Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Islam, hlm. 35.
20
c. Anak Angkat Anak angkat ialah seorang anak dari seorang ibu dan bapak yang diambiloleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri. 8 d. Anak Pungut Anak pungut adalah anak yng didapatkan dimanapun dan dipelihara untuk menjauhkannya dari kesengsaraan dan kehancuran pribadinya.9 Kebanyakan mereka berkeliaran dijalan raya, dikolong jembatan dan tempat-tempat yang menjadi sarang penyakit moral. Kebanyakan anak-anak ini tidak mengetahui ibu bapaknya mereka dan dari mana asal mereka. Anak pungut sebenarnya adalah cabang dari anak angkat. Anak angkat mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi daripada anak pungut. Anak pungut tidak mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan anak angkat, ia hanya dapat pemeliharaan dari orang yang memungutnya. Kata “dipungut” sudah merupakan perbedaan, “dipungut” berarti sesuatu yang tidak berarti atau yang kurang artinya. Sedangkan “diangkat” berarti ditinggikan dari keadaan dimana ia berada. e. Anak Tiri
7
Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Islam, hlm. 59. Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Islam, hlm. 47. 9 Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Islam, hlm. 68.
8
21
Anak tiri adalah anak suami atau istri dari perkawinan dengan orang lain. Anak yang dibawa serta dalam perkawinan baru, maka ia menjadi anak tiri bagi sang suami atau sang istri. f. Anak Zina Anak zina adalah anak yang dilahirkan oleh ibunya dari hubungan yang tidak sah.10 Maka “zina” itu berarti bergaul antara pria dan wanita tidak menurut ajaran Islam.Kalau anak zina yang timbul dari perkawinan yang tidak sah antara pria adan wanita, hal ini berarti bahwa pergaulan itu tidak dapat terjadi antara siapa saja baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak maupun dengan yang lain. Anak ini adalah manusia biasa dan normal serta ia memiliki hak hidupnya yang sama dengan manusia lain, hanya ia kehilangan hak lainnya seperti hak warisan, sebab ia tidak mempunyai bapak yang sah. Dalam Islam juga dibedakan antara anak yang masih kecil (ghairu baligh) dan anak yang sudah baligh. Anak yang masih kecil ada yang mumayiz dan ada yang belum mumayiz (belum bisa membedakan yang hak dan batil). 11 Adapun tanda-tanda kebalighan seseorang dapat ditentukan dengan umur dan tanda-tanda tertentu seperti telah keluar mani, haid, dan lain10
Fathurrahman Djamil, "Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya", dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hnkum Islam Komtemporer, Buku Pertama, (Jakarta: Firdaus, 2002), hlm. 129. 11 A. Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. I, Jil. I, hlm. 112.
22
lain.Mengenai masalah umur seseorang dapat dikatakan baligh, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah mengatakan seseorang anak belum bisa dikatakan baligh kalau belum berumur 18 tahun bagi laki-laki dan umur 17 tahun bagi perempuan, karena perempuan pertumbuhannya lebih cepat daripada laki-laki. Imam Syafi’i dan Hambali serta jumhur ulama berpendapat bahwa anak disebut baligh baik laki-laki maupun perempuan adalah berumur 15 tahun. 12 Ada 3 (tiga) fase yang dilalui manusia sejak lahir sampai usia dewasa, yaitu sebagai berikut:13 1) Fase tidak adanya kemampuan berpikir Sesuai dengan kesepakatan fuqaha, fase ini dimulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia 7 tahun. Pada fase ini seseorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir, ia pun disebut anak yang belum mumayiz. Anak dapat dianggap belum mumayiz usianya belum sampai 7 tahun meskipun ada anak dibawah 7 tahun lebih cepat untuk dapat membedakan yang baik dan buruk dari pada anak lain seusianya. 2) Fase kemampuan berfikir lemah Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia 7 tahun sampai ia mencapai usia baligh. Mayoritas fuqaha membatasinya sampai usia 15
12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005), Cet. III, Jil. I, hlm.
394. 13
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islami, Terj. Tim Tsalisah, (T.tp: PT. Kharisma Ilmu, t.th), Jil. II, hlm. 256-257.
23
tahun. Apabila seseorang anak telah mencapai usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara hukum meskipun ia belum dewasa dalam arti sebenarnya. Imam Abu Hanifah membatasi kedewasaan pada usia 18 tahun. 3) Fase kekuatan berfikir penuh (sempurna) Menurut pendapat mayoritas fuqaha, fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia 15 tahun, atau 18 tahun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Mazhab Maliki. 2. Hak Anak Menurut Hukum Islam Dalam sistem seseorang anak mempunyai hak yang harus diakui, hak yang harus diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Hak-hak anak yang mutlak dalam pandangan kehidupan agama Islam terdiri dari: a. Hak nasab (keturunan) Yang dimaksud dengan hak nasab adalah hak anak atas kepastian status diri anak dan diri orang tuanya. Anak berhak memperoleh identitas pribadi, karena identitas pribadi berpengaruh kepada status dan kedudukan anak diman hal tersebut bertujuan untuk menjaga kehormatan anak. Seseorang anak berhak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Nasab berakibat timbulnya hubungan hukum antara anak dengan ayahnya dan menimbulkan adanya hak bagi anaknya, seperti hak waris, nafkah, wali, dan lainnya.
24
Agama Islam memelihara keturunan agar jangan didustakan dan jangan dipalsukan. Islam menetapkan bahwa ketentuan keturunan itu menjadi hak anak, anak dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar yang mungkin menimpa dirinya. Setiap ibu bertugas menolak hal-hal yang menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya. Demikian juga setiap ayah bertugas memelihara keturunannya dan keturunan cucu-cucunya agar jangan sampai tersia-sia atau dihubunghubungkan dengan orang lain. 14 b. Hak anak untuk tetap hidup Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an: Artinya:”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”(QS.Al-Isra/17:31) c. Hak anak untuk mendapat perlindungan dari ketika masih dalam kandungan Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: 14
Zakaria Ahmad Al-Barry, Ahkamul Auladi Fii al-Islam, Terj: Chadidjah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), Cet. I, hlm. 13.
25
Artinya:”Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS.Al-Ahqaaf/46:15)
d. Hak anak untuk disusui selama 2 (dua) tahun Setiap bayi berhak menyusu semata-mata dengan kelahirannya agar ia bertambah besar, tumbuh dan makan makanan yang wajar yaitu air susu ibunya. Ibu wajib menyusui anaknya, kalau memang ia ditentukan untuk itu; maksudnya tidak ada wanita lain yang akan mengambil alih tugas itu darinya atau bayi itu tidak mau menyusu kecuali kepada ibunya saja. 15 dan perintah penyusuan itu tercantum dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233; 15
Zakaria Ahmad Al-Barry, Ahkamul Auladi Fii al-Islam, hlm. 43.
26
Artinya:”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah/2: 233)
Mengenai keterangan diatas sudah jelas bahwa menyusukan anak itu adalah kewajiban menurut agama, bukan menurut agama, bukan menurut peradilan kecuali kalau si ibu itu satu-satunya yang akan menyusukan. Dalam Mazhab Hanafi maka dipihak lain kita tetapkan juga bahwa menyusukan itu adalah hak dari ibu, wajib diberikan kalau dimintanya dan selamanya ibu kandung lebih berhak dari wanita lain untuk menyusukan anaknya. e. Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang baik dan benar
27
Setiap anak membutuhkan orang lain yang akan menjaga dan memeliharanya serta mendidik dan mengajarinya bermacam-macam urusan
yang
berhubungan
dengan
jasmani
dan
pembentukan
kepribadiannya. Anak juga membutuhkan orang yang akan mengawasi urusan hak miliknya, supaya dipelihara dan dikembangkan. Anak berhak diasuh oleh ibunya; mendidik dan memelihara anak termasuk mengurus makanan, minuman, pakaian dan kebersihannya dalam periode umurnya yang pertama. Dalam hal ini ibu kandunglah yang berhak mengasuh anaknya daripada keluarga ibu atau laki-laki. Wanita lebih mampu daripada laki-laki untuk mengurus untuk mengurus anak kecil dan memeliharanya dalam usia sekian itu dan juga lebih lembut dan lebih sabar, lebih tekun dan banyak waktu.16 Artinya:”Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. AlMujadilah/58: 11)
16
Zakaria Ahmad Al-Barry, Ahkamul Auladi Fii al-Islam, hlm. 51.
28
f. Hak anak untuk mendapatkan nafkah dari kedua orang tuanya Ahli fuqaha menetapkan bahwa hubungan kekeluargaan yang menyebabkan wajib nafkah itu ialah keluarga dekan yang membutuhkan bantuan. Imam malik berpendapat bahwa nafkah wajib diberikan oleh ayah kepada anak kemudian anak kepada ayah dan ibunya dan terbatas hanya disitu saja. Imam Syafi’i berpendapat bahwa nafkah itu wajib diberikan kepada semua keluarga yang mempunyai hubungan vertikal keatas atau ke bawah tanpa membatasinya dengan anggota-anggota tertentu, seorang ayah wajib memberikah nafkah kepada anak dan cucunya sampai kebawah. Jadi, lingkungan wajib nafkah lebih luas dari pada pendapat Imam Malik. Menurut Imam Hanafi kewajiban memberi nafkah itu berlaku kepada semua anggota kaum keluarga yang muhrim dengan dia, dengan demikian lingkungan wajib nafkah bertambah luas lagi. Kewajiban ayah memberi nafkah tercantum dalam firman Allah SWT dalamsurat Al-Baqarahayat 233;
29
Artinya:” Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”(QS. Al-Baqarah/2: 233) g. Hak perwalian terhadap diri dan harta Perwalian berlaku pada setiap anak. Anak yang lahir kedunia ini pasti membutuhkan orang lain yang akan memeliharanya, baik dirinya maupun harta benda, hak miliknya; karena dia membutuhkan orang lain yang akan mengawasi penyusunan dan pengusahaannya, dalam periode kehidupannya yang pertama itu. Maka dari itu, perwalian yang berlaku terhadap anak, sesudah ia lahir ada 3 (tiga) macam yaitu, pertama, perwalian terhadap pengasuhan dan menyusukannya. Kedua, perwalian terhadap diri anak yang dilaksanakan untuk menjaga kesejahteraan anak itu sendiri, dan untuk mengawasi hal-hal yang berhubungan dengan dirinya dan segala macam kesejahteraan yang belum dapat dikelolahnya sendiri. Ketiga, perwalian
30
terhadap hak milik anak mencakup transaksi
dan ‘aqad
yang
berhubungan dengan hak anak yang diwalikan diantaranya menjual, membeli, mempersewakan, meminjamkan dan sebagainya; urusan itu semuanya dilaksanakan oleh wali karena anak belum sanggup mengurus hak miliknya itu sendiri. 17 3. Status Anak Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Positif Dalam hukum positif terdapat beberapa pengertian tentang anak. Pengertian anak dalam bidang keperdataan berhubungan erat dengan kedewasaan bagi anak tersebut. Terdapat perbedaan-perbedaan antara batas seorang anak yang belum dewasa dan yang sudah dewasa, terutama dalam segi pembatasan usia. a. Menurut kitab undang-undang hukum perdata (BW) pasal 330 berbunyi: “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”. b. Dalam undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, terdapat pasal-pasal khusus mengenai ketentuan seorang digolongkan sebagai anak, tetapi tidak tersurat secara tegas namun tersirat dalam beberapa pasal yang mengisyaratkan batas-batas dimana seseorang dinyatakan belum dewasa atau sudah dewasa. Pasal 7 ayat (1), memuat batasan minimal ketentuan kawin bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita adalah 16 tahun. 17
Ibid, hlm. 106-113
31
Pasal 47 ayat (1), memuat ketentuan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya. c. Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin (pasal 1 ayat (2) Undang-undang kesejahteraan anak). d. Anak adalah orang yang dalam perkara anak telah mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun (undang-undang Peradilan Anak). e. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan(pasal 1 Bab 1 undang-undang perlindungan Anak). Dari berbagai pengertian tentang anak, ada yang menyatakan batas umur kedewasaan seseorang anak adalah 18 tahun atau 21 tahun. Walaupun demikian jika berpatokan dengan batasan umur tersebut dalam hal-hal tertentu masih mengandung permasalah. Tetapi untuk hal perlindungan anak, hak anak dan kesejahteraannya sudah cukup jelas dan nyata mengenai kedewasaan anak, yaitu sesuai dan sebagaimana tertera dalam undangundang perlindungan anak. Batas usia 18 tahun ditetapkan berdasarkan dimana kematangan sosial, pribadi dan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Dalam
32
hal ini digunakan sepanajang memiliki keterkaitan dengan anak secara umum, kecuali untuk kepentingan tertentu.18 Ada 3 (tiga) proses perkembangan anak menurut Wagianti Soetedjo, yaitu: 1. Fase pertama adalah dimulai pada usia 0 sampai 7 tahun yang biasa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh. 2. Fase kedua adalah dimulai dari 7 sampai 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, dimana dapat digolongkan kedalam periode: a. Masa anak sekolah dasar dimulai dari 7 sampai 12 tahun adalah periode intelektual, yaitu masa belajar awal dimulai dengan memasuki masyarakat diluar keluarga b. Masa remaja atau pra pubertas atau pubertas awal. Pada periode ini, terdapat
kematangan
berkembangnya
tanda
fungsi fisik
jasmaniah yang
ditandai
dengan
melimpah-limpah
yang
menyebabkan tingkah laku anak menajadi kasar, brandal, kurang sopan, dan lain-lain 3. Fase ketiga adalah 14 sampai 21 tahun dinamakan masa remaja dalam arti sebenarnya yaitu masa pubertas dan adolescent, di mana terdapat masa penghubung dan peralihan dari anak menjadi orang dewasa.
18
Wagianti Soetedjo, Hukum Pidana Anak (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2006), Cet. II, hlm. 7-8.
33
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan. 19 Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas harus dipersiapkan sedini mungkin, bahkan semenjak masih berada didalam kandungan. Mereka sudah membutuhkan perlindungan agar dpat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosialnya, sehingga kelak menjadi pewaris masa depan yang berkualitas. Hal ini dapat terwujud apabila anak mendapatkan jaminan perlindungan dan kesejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya. Setiap manusia berhak atas perlindungan hak asai manusia dan kebebasan dasar manusia tampa diskriminasi. Maka dari itu, upaya penyelanggaraan hukum bagi anak harus selalu ditegakkan dan dilaksanakan dengan seksama demi terwujudnya sebuah keadilan terhadap anak. Dalam Bab
IX
Undang-undang
Perlindungan
disebutkan
bahwa
penyelenggaraan perlindungan hukum bagi anak meliputi:
Agama,
Kesehatan, Pendidikan, dan Sosial. 1. Agama
19
Anak
34
Dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 Bab XI Pasal 29 ayat (2) secara tegas Negara menjamin seseorang untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Termasuk seseorang anak pun
diberi
kebebasan
untuk
memilih
agama
sesuai
dengan
keinginananya. Namun kebebasan yang diberikan tersebut bukan berarti memberikan kebebasan yang penuh sehingga anak memeluk agama yang dapat menyesatkan dirinya. Dalam hal ini Negara, pemerintah, masyarkat dan orang tua pada khususnya wajib memberikan perlindungan bagi anak. Perlindungan yang dimaksud disini adalah upaya orang tua untuk memberikan pembinaan dan bimbingan sesuai dengan keinginan anak. Bahkan hal ini juga sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadaha menurut agamanya. (Pasal 42 ayat (1)). Dalam pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya, sebagaimana yang dimaksud dengan perlindungan anak dalam memeluk agamanya meliputi, pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak. Dalam Islam pun Allah SWT telah memeberikan suatu bentuk kebebasan tanpa adanya paksaan dalam memeluk dan memilih agama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 256:
35
Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/ 2:256) 2. Kesehatan Dalam upaya membentuk anak Indonesia yang berkuaitas, sehat, berakhlak mulia, dan sejahtera maka penyelenggaraan perlindungan bagi anak dalam hal kesehatan sangat diperlukan, bukan saja menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga tetapi juga kepada pemerintah dan negara. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pun sudah diatur mengenai perlindungan kesehatan bagi anak. Permerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komperhensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan (pasal 44 ayat (1)). Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan kesehatan didukung oleh peran serta masyarakat (pasal 44 ayat (2)).
36
Upaya kesehatan tersebut meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan dasar kesehatan maupun rujukan (pasal 44 ayat (3)). Dan diselenggarakan secara Cuma-Cuma bagi keluarga yang tidak mampu (pasal 44 ayat (4)). Orang tua dan keluarga bertanggungjawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan (pasal 45 ayat (1)). Tetapi ketika orang tua dan keluarga tidak memenuhinya maka pemerintah wajib memenuhinya (pasal 45 ayat (2)). Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan. (pasal 46). Penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan menimbulkan kecacatan misalnya HIV/AIDS, TBC, kusta, polio.Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain seperti: (pasal 47 ayat (1) dan (2)) a. Pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak; b. Jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan c. Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebgai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaikbagi anak.
37
3. Pendidikan Orang tua wajib memberikan pendidkan yang layak bagi anakanaknya, tetapi pendidkan yang diberikan orang tua kepada anak bukan saja sekedar kewajiban menyerahkan anak kepada lembaga pendidikan (sekolah) tetapi lebih jauh dari itu. Orang tua harus bisa menjadi guru yang paling utama untuk anak. Orang tua tidak hanya memberikan pengetahuan-pengetahuan yang mereka tahu kepada anak atau sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anak, tetapi orang tua harus menjadi suri teladan yang baik untuk anak-anaknya. Melalui keteladanan dan kebiasaan orang tua, anak-anak bisa meniru dan menarik pelajaran berharga sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. (pasal 48) Negara, pemeritah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. (pasal 49) Pendidikan sebagaimana dimaksud diatas diarahkan pada: (pasal 50) a. Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
38
b. Pengembangan pernghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi; c. Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa, dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri; d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjawaban; dan e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup. Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksebilitas untuk memperolehpendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. (pasal 51) Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksebilitas untuk memperoleh pendidikan khusus. (Pasal 52) Pemerintah
bertanggung
jawab
untuk
memberikan
biaya
pendidikan dan/atau bantuan Cuma-Cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. (pasal 53 ayat (1)) Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya. (pasal 54) 4. Sosial
39
Penyelenggaraan perlindungan anak dalam masalah sosial termuat dalam pasal 55-56 Undang-Undang Perlindungan Anak. Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga. (pasal 55 ayat (1)) Penyelenggaraan pemeliharaan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat. (pasal 55 ayat (2)) Untuk menyelenggarakan hal tersebut, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat dapat mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait. (pasal 55 ayat (3)) Dalam
hal
penyelenggaraan
dan
perawatan
tersebut
pengawasannya dilakukan oleh menteri sosial. (pasal 55 ayat (4)) Pemerintah
dalam
menyelenggarakan
pemeliharaan
dan
perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat: (pasal 56 ayat (1)) a. Berpartisipasi; b. Bebas menyatakan pendapat dan berfikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya; c. Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak; d. Bebas berserikat dan berkumpul;
40
e. Bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan f. Memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. Upaya yang dimaksud di atas dikembangkan dan disesuaikan dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungan agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan anak. (pasal 56 ayat (2). C. Penyebab Tidak Terpenuhinya Hak-Hak Anak Salah satu aspek tidak terpenuhinya hak-hak anak dikarenakan sering terjadi kekerasan yang menyebabkan perubahan secara fisik maupun mental. Pengertian kekerasan adalah suatu penggunaan fisik terhadap orang lain. Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: 1. Perihal yang bersifat, berciri keras 2. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain 3. Paksaan Sedangkan dalam Kamus Oxford kata kekerasan dipahami tidak hanya berkaitan dengan penggunaan fisik saja tetapi juga terkait dengan tekanan emosional psikis, seperti ulasan berikut ini, Violence is: 1. Using, showing or caused by physical force that is intended to hurt or kill; 2. Using, showing or caused by very strong emotion.
41
Melihat penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kekerasan disini tidak hanya menggunakan fisik tetapi juga kekerasan dengan verbal. Kemudian yang lebih jauh dari kekerasan psikis, karena selama ini orang lebih tertarik bahkan mengatakan bahwa yang disebut kekerasan itu adalah yang menggunakan fisik, sementara permasalahan psikis dapat dilihat dalam Pasal 7 "'Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga: "Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang." Penjelasan Pasal 7 tersebut tidak memberikan penjelasan lebih jauh mengenai disi seseorang yang mengalami kekerasan psikis berat. Sementara didalam usul perbaikanatas Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan Legislatif DPR tanggal 6 Mei 2003, penjelasan Pasal 4b tentang psikis berat adalah: "Kondisi yang menunjuk kepada terhambatnya kemampuan untuk menikmati hidup, mengembangkan konsepsi positif tentang diri orang lain, kegagalan menjalankan fungsi-fungsi manusiawi, sampai pada dihayatinya masalah-masalah psikis serius, misalnya depresi, gangguan trauma, destruksi diri, bahkan hilangnya kontak dengan realitas." Penjelasan ini penting karena untuk membuktikan kekerasan psikis termasuk mudah dan tidak setiap orang dapat menilai bahwa seseorang mengalami kekerasan psikis, termasuk hakim. Untuk mengatasi pembuktian ini Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memberikan
42
terobosan dengan cara mengajukan visum psikiatrium yang dilakukan oleh yang ahli di bidangnya. Kemudian pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Domestic Violence) adalah: "Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan (dalam hal ini adalah anak), yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk lakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga." Sedangkan ruang lingkup domestic/rumah tangga dalam Undang-Undang ini adalah: (Pasal 2) a. Suami, isteri, dan anak: b. Orang-orang
yang
mempunyai
hubungan
keluarga
dengan
orang
sebagaimana yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Adapun ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini adalah setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 5) dengan cara: a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis;
43
c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga. Berdasarkan beberapa rumusan pengertian tentang kekerasan diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang dapat berakibat terjadinya kerusakan pada orang lain yang tidak saja berupa halhal yang fisik, tetapi juga menyangkut psikis, ekonomi, seksual, dan sebagainya. Kekerasan tidak hanya terjadi pada ruang lingkup rumah tangga (keluarga) saja tetapi kekerasan juga dapat terjadi pada relasi personal dan relasi kerja, Dengan demikian dapat diketahui bahwa Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bertujuan untuk: (Pasal4) a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Kekerasan terhadap anak merupakan segala bentuk perbuatan dan tindakan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan psikis. Potret situasi dan ragam permasalahan anak-anak di Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan. Ragam penderitaan yang dialami anak-anak Indonesia tersebut telah menunjukan bahwa hak hidup anak sebagai bagian integral dari hak asasi manusia telah terbiarkan terancam tanpa penanganan dan solusi.
44
KOMNAS Perlindungan Anak sebagai lembaga yang didukung oleh masyarakat setiap tahun telah menerima pengaduan dan mencatat berbagai ragam kekerasan terhadap anak yang terjadi sekitar kita. Jumlah anak korban kekerasan yang dilaporkan dan ditangani KOMNAS Perlindungan Anak sepanjang tahun 2009 sebanyak 1.998 kasus.Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2008 yakni 1.736 kasus. 62,7% dari jumlah tersebut adalah kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan serta etnis atau ras. Pada jurnal kecil fakta dan data pelanggaran hak anak hasil laporan masyarakat kepada komisi nasional perlindungan anak periode Januari-Juni 2010 tercatat 1.649 kasus kekerasan yang diantaranya 453 kasus (27,47%) berupakekerasan fisik, 646 kasus (39,18%) berupa kekerasan seksual, dan 550 kasus(33,35%) berupa kekerasan psikis. Angka tersebut dihitung pada saat pertengahan tahun 2010 tetapi alangkah mencengangkan pada akhir tahun 2010 (21 Desember 2010) kasus kekerasan terhadap anak meningkat menjadi 2.335 kasus, Hal ini yang membuat tahun 2010 bisa jadi dinobatkan sebagai tahun kekerasan terhadap anak di Indonesia yang tertinggi. Kenaikannya sekitar 17% dibandingkan tahun laiu (tahun 2009) Selain jumlahnya meningkat, bentuk kekerasan terhadap anak pada tahun 2010 ini juga semakin kejam dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Jika pada tahun tahun yang lalu tidak ditemukan kekerasan terhadap anak dibawah usia
45
satu tahun, namun pada tahun 2010 Komnas Perlindungan Anak menemukan sejumlah kasus kekerasan pada anak yang masih berusia dibawah satu tahun. Angka ini adalah hasil laporan dan aduan, kemungkinan besar jumlah kekerasan anak sesungguhnya lebih besar dari pada ini karena banyak yang .tidak dilaporkan mengingat kebanyakan kasus yang terjadi dilingkungan keluarga (wilayah privat). D. Bentuk Kekerasan Terhadap Anak Untuk mengenali bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak sesungguhnya tidaklah jauh dari sekitar kita. Realitas kekerasan yang dialami anak-anak sampai saat ini masih menjadi masalah yang cukup besar di Indonesia. Lihat saja pemberitaan pada media masa seperti media cetak dan elektronik mengenai kekerasan terhadap anak dapat dijumpai setiap hari. Bentuk dan modusnya pun cukup beragam. Menurut Siti Musdah MuIia, dkk, membagi kekerasan dalam beberapa bentuk liputi: 1. Kekerasan fisik Bentuknya; memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ketubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau alat, atau senjata, membunuh. 2. Kekerasan psikologis Bentuknya; berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, menguntit dan memata-matai, tindakan lain yang menimbulkan
46
rasa takut (termasuk diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, teman terdekat, dan lain-lain). 3. Kekerasan seksual Melakukan tindakan yang mengarah kepada ajakan atau desakan seksual, seperti menyentuh,meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan lain yang tidak dikehendaki korban,memaksakorbanmenonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendakikorban, ucapanucapan yang merendahkandan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin atau seks korban, memaksa hubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan fisik ataupun tidak, pornografi. 4. Kekerasan finansial Mengambiluang korban, menahan atau tidak membcrikanpemenuhan kebutuhanfinansial korban, mengendalikan dan mengawasipengeluaranuang sampai sekecil-kecilnya dengan maksud untuk dapat mengendalikantindakan korban. 5. Kekerasan spiritual Merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk
meyakini
hal-hal
yang
tidak
diyakininya,memaksa
korban
mempraktikanritual dan keyakinan tertentu. Bentuk-bentuk
kekerasan
juga
diatur
Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu: 1. Kekerasan Fisik
dalam
Undang-undang
47
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang ditujukan terhadap fisik seseorang yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. 2. Kekerasan Psikis Kekerasan psikis adalah perbuatan yang tidak ditujukan kepada fisik seseorang, namun mengakibatkan ketakutan, hilangnya percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 3. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berkaitan dengan masalah seksual yang bersifat pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar, dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil, dan/atau tujuan tertentu. Apapun alasannya bahwa perlakuan salah diatas merupakan pelanggaran dan hak anak, berarti pelanggaran juga terhadap hak asasi manusia. Sebab berdasarkan ketentuan KHA, hak anak merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, semua orang diwajibkan untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak. Masyarakat
pada
umumnya
memandang
bahwa
apabila
orang
tua
memperlakukan kekerasan terhadap anak, hal itu dianggap sebagai hak orang tua dan masyarakat tidak diperkenankan ikut campur tangan. Sebab oleh sebagian
48
masyarakat kita, anak selalu ditempatkan bukan sebagai nomor satu, maksudnya, anak dapat diperlakukan apa saja oleh orang tuanya sendiri. Pandangan ini sesungguhnya adalah keliru. Sebab sesuai dengan pandangan theologis anak merupakan titipan dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, daIam ketentuan Konvensi Hak Anak (KHA) maupun ketentuan umum Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 menetapkan bahwa anak adalah seseorang berusia dibawah 18 tahun termasuk anak dalam kandungan, oleh karenanya setiap orang tua, masyarakat, pemerintah dan Negara mempunyai kewajiban melindungi anak agar terhindar dari segala bentuk kekerasan dan penyiksaan, Namun ironisnya, meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA pada tahun 1990 dan secara yuridis dan politis terikat dalam konvensi internasional tersebut, pada hakekatnya Negara kita belum mampu mencegah dan melindungi anak dari segala bentuk kejahatan, penyiksaan, diskriminasi, penelantaran dan eksploitasi. E. Dampak-Dampak Tidak Terpenuhinya Hak-Hak Anak Ketika hak anak tidak terpenuhi maka timbul dampak-dampak yang negative dikarenakan terjadinya kekerasan terhadap anak. Adapun usaha yang dilakukan
para
pakar
dalam
mempelajari
dan
meneliti
faktor
yang
mempengaruhi seseorang untuk melakukan kekerasan temyata sulit sekali menemukan faktor yang pasti mengenai penyebab seseorang melakukan kekerasan.
49
Adapun
penyebabkekerasandalam
rumah
tangga
biasanyadapat
diidentifikasikarena adanya faktor gender dan patriaki, relasi kuasa yang timpang, dan role modeling (perilaku hasil meniru). Sebagai korban kekerasan fisik, seksual, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual komersiI, secara psikologis dan sosial anak mengalami masalah yang sangat kompleks, serta membutuhkan perhatian dan perlindungan khusus yang berkesinambungan, Untuk itu, pendamping perlu mengetahui apa-apa saja yang dialami oleh si anak, khususnya anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual, karena secara fisik anak perempuan akan mengalami kehilangan virginitas dan dapat mengalami kehamilan dini. Secara umum anak yang mengalami kekerasan akan mengalami trauma dan stress, mengalami mimpi-mimpi buruk, merasa terasing dari lingkungannya, murung dan putus asa, tidak bisa konsentrasi, tidak bisa tidur, bahkan bunuh diri. Dampak kejahatan terhadap anak secara fisik, seksual, dan psikis dapat diklasifikasikan sebagai berikut; 1. Kejahatan seksual dapat menyebabkan kehilangan virginitas, kehamilan dini, pembengkakan dan pendarahan pada alat kelamin, memar pada payudara, infeksi pada alat kelamin, sakit perut dan kepala, hilangnya gairah seks, takut, rasa bersalah, kebingungan, mengalami stress berat, bahkan kematian. 2. Kekerasan secara fisik mengakibatkan rasa sakit, memar, lebam, luka berat, luka ringan juga kematian.
50
3. Kekerasan psikis mengakibatkan perasaan tertekan, shock, trauma, rasa takut, emosi, kuper, dan depresi mendalam. Dari penjelasan di atas, apapun betuk kekerasan terhadap anak terlihat adanya dampak saling berkaitan, yang mana anak yang mengalami kekerasan fisik sudah pasti mengalami kekerasan psikis. Kemudian anak yang mengalami kekerasan seksual berdampak pada fisik dan psikis anak tersebut. Begitupun dengan bentuk kejahatan penelantaran dan perlakuan buruk bagi anak serta bentuk kejahatan lainnya mempunyai dampak yang sama.
BAB III KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK A. Latar Belakang Lahirnya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak Sebagai perjanjian multilateral yang mengatur kepentingan umum (masyarakat internasional) dan bersifat terbuka, telah disahkan pada sidang Umum PBB tanggal 20 November 1989 Convention on the Rights of the Child guna mengatur secara khusus hak-hak anak yang bersifat asasi. Konvensi yang berisikan 54 pasal tentang hak-hak anak ,diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990 dan dinyatakan berlaku sejak 5 Oktober 1990.1 Secara filosofis, Konvensi hak anak berakar dari perubahan yang terjadi di dunia pada abad 19 ketika anak masih dipandang sebagai hak milik, anak masih dianggap sebagai urusan keluarga, komunitas lokal dan jauh dari urusan negara. kesadaran terhadap kehidupan dan nasib dunia anak-anak muncul setelah seorang aktifis perempuan berkebangsaan inggris bernama Eglantyne Jebb berkampanye kepada semua pihak agar memperhatikan nasib anak-anak yang menderita akibat perang dunia pertama. Sebagai langkah awal, Jebb mendirikan
1
Masyithah Umar, Hak Asasi Manusia tentang penghapusan diskriminasi terhadap anak dan perempuan; dalam majalah Khazanah, (Banjarmasin: IAIN Antasari, Vol. I, No. 06, 2002), h. 650
51
52
Save the Children International Union 1920, tiga tahun kemudian diikuti dengan penyusunan deklarasi hak anak. Pada 26 September 1926 liga bangsa-bangsa sebagai organisasi internasional multifungsi, turut serta menyediakan sarana bagi perlindungan anak secara internasional. Hal itu dibuktikan dengan mengadopsi Deklarasi Hak Anak yang disusun oleh Save The Children International Union yang terdiri atas 5 prinsip.2 Karena diadopsi di Jenewa, maka deklarasi itu dikenal sebagai deklarasi Jenewa. Lima prinsip tersebut adalah: 1) anak harus diberi alat yang berguna bagi perkembangan fisik dan mental mereka; 2) anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak yang terbelakang harus ditolong, anak yang anak yang nakal harus dididik kembali dan anak yatim piatu harus mendapatkan perhatian secara baik; 3) bila timbul bencana maka anak harus diselamatkan terlebihg dahulu; 5) anak harus dibesarkan dengan kesadaran bahwa bakat-bakat mereka sepenuhnya harus ditujukan demi melayani manusia. Deklarasi Jenewa sangat berarti sebagai awal dari munculnya instrumen yang mengikat secara yuridis. Tetapi karena liga bangsa-bangsa kemudian ambruk, maka untuk sementara upaya-upaya yang lebih konkrit terhenti dan baru muncul kembali pada 1946 dengan diprakarsai oleh PBB dengan membentuk tim komisi sosial yang bertugas untuk mengadopsi rancangan deklarasi tentang hak
2
Chandra Gautama, Konvensi Hak Anak, (Jakarta, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan LSPP, 2000), h. 13.
53
anak dan mengajukan kepada komisi hak asasi manusia untuk diteliti dan diperbaiki, selanjutnya diajukan hasilnya ke Majelis Umum PBB. Majelis Umum PBB kemudian memproklamirkan sebagai Deklarasi Hak Anak pada 20 November 1959. Pada tahun 1950-an, perhatian dunia untuk memenuhi hak anak sangat tinggi dan masyarakat pun memiliki kesadaran penuh bahwa kepentingan anak tidak sama dengan kepentingan pengasuhnya. Oleh karena itu, deklarasi hak anak 1959 muatannya lebih kaya dibandingkan Deklarasi Jenewa. Anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa serta sebagai sumber daya manusia di masa depan yang merupakan modal bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development). Berangkat dari pemikiran tersebut, kepentingan yang utama untuk tumbuh dan berkembang dalam kehidupan anak harus memperoleh prioritas yang sangat tinggi. Sayangnya, tidak semua anak mempunyai kesempatan yang sama dalam merealisasikan harapan dan aspirasinya. Banyak diantara mereka yang beresiko tinggi untuk tidak tumbuh dan berkembang secara sehat, mendapatkan pendidikan yang terbaik, karena keluarga yang miskin, orang tua bermasalah, diperlakukan salah, ditinggal orang tua, sehingga tidak dapat menikmati hidup secara layak. Setelah 12 tahun, Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keppres R.I. No. 36 tahun 1990.
54
Indonesia belum mempunyai kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan anak yang berorientasi pada Konvensi Hak-hak Anak. Berbagai konflik komunal di sebagian wilayah Indonesia disertai instabilitas di bidang politik dan pemerintahan telah memperberat upaya-upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Keadaan yang serba krisis dan kritis ini, telah mendesak pemerintah untuk menyelesaikan banyak prioritas-prioritas lain seperti politik, pemulihan ekonomi dan keamanan, ketimbang upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Akibatnya, berbagai permasalahan anak muncul ke permukaan karena jaminan negara terhadap pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan perlindungan anak tidak maksimal. Hal ini, juga terlihat pada alokasi anggaran untuk sektor pendidikan rata-rata hanya 6 persen, kesehatan hanya 3,9 persen dan berapa besarnya anggaran teralokasi untuk kebutuhan perlindungan anak tidak diketahui secara jelas. Akibatnya, sistem pelayanan pendidikan dan kesehatan selama ini belum dapat menggunakan sistem akses universal (Education for All dan Health for All), melainkan berdasarkan sistem target sesuai anggaran yang tersedia (narrow targeting). Kondisi tersebut di atas, juga menyebabkan pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak terdesak dari rumusan GBHN tahun 1999, yang sebelumnya tercantum dalam rumusan bidang tersendiri pada GBHN tahun 1997.
55
Padahal upaya–upaya kesejahteraan dan perlindungan anak menghendaki komitmen bangsa dan negara serta tindakan politik pada tingkat yang paling tinggi untuk memberikan prioritas dalam alokasi sumber daya pembangunan. Tugas ini, menghendaki upaya yang terus menerus dilakukan bersama dengan semua pihak melalui tindakan nasional dan kerjasama internasional. Komitmen bersama diperlukan untuk menempatkan anak pada arus utama pembangunan dan diarahkan pada investasi sumberdaya manusia (human investment). Keyakinan bahwa anak adalah generasi penerus dan harapan masa depan bangsa, akan mendorong semua tindakan yang menyangkut kepentingan anak, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif maupun masyarakat akan memberikan prioritas tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, demi kepentingan terbaik anak Indonesia. Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini, mencerminkan adanya penyalah gunaan anak (abuse), eksploitatif, diskriminatif dan mengalami berbagai tindakan kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak. Keadaan ini, tentunya sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara Indonesia, karena anak dari aspek agama merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan–Nya. Dari aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah generasi penerus perjuangan bangsa dan penentu masa depan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya yang
56
akan memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak Indonesia yang berada dalam keadaan sulit tersebut, ke dalam suatu Program Nasional Bagi Anak Indonesia sebagai tindak lanjut Sidang Umum PBB Untuk Anak yang melahirkan deklarasi “ A World Fit For Children “. B. Isi Keputusan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa anak merupakan potensi sumber daya insan bagi pembangunan nasional. Karena itu, pembinaan dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara, bahwa pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan untuk
mengembangkan
haknya,
pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga, bangsa dan negara melainkan diperlukan pula kerjasama internasional, di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember 1989, bahwa ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional mengenai anak, bahwa sehubungan dengan itu, dan sesuai Amanat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/ HK/ 1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian dengan Negara lain,
57
dipandang perlu mengesahkan konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak. Dalam konvensi hak anak dikenal ada empat kelompok hak anak yang secara hakiki perlu dihormati oleh semua pihak, yaitu; Hak untuk bertahan hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk memperoleh perlindungan dan hak-hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk berpartisipasi. Anak mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik, termasuk imunisasi dan berbagai pelayanan kesehatan primer yang terbaik yang dapat diupayakan oleh masyarakat atau negara.3 Selain pelayanan kesehatan, anak harus memperoleh pendidikan yang terbaik sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa yang berpengetahuan, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, serta bertanggung jawab baik pada dirinya sendiri maupun orang lain. 4 Karena posisinya yang lemah dalam keluarga maupun masyarakat dan dari sisi fisik pada usia-usia tertentu anak sangat tergantung pada oerang lain. oleh karena itu wajar jika anak mendapat perlindungan dari berbagai macam perlakuan diskriminatif, eksploitatif dan perlakuan menyimpang lainnya. 5 Perlindungan atas kesejahteraan jiwa dan fisik anak memang tanggung jawab semua pihak, termasuk anak itu sendiri sesuai dengan usianya. Anak harus 3 4
5
Irwanto, Anak Tampa Jaminan Dasar, (Jakarta, LPDS & Unicef, 2000), h. 11 Irwanto, Anak Tampa Jaminan Dasar, h. 12
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta, Akademika Presinda, 1985), h. 21
58
dijamin kebebasannya untuk membentuk pandangannya sendiri dan didengar serta dipertimbangkan oleh pengambil keputusan sesuai dengan kematangan usianya. Oleh karena itu, dalam berbagai keputusan yang menyangkut tentang anak, anak harus diberitahu dan dilibatkan (pasal 12). Untuk itu, konvensi hak anak menjamin hak anak untuk menggunakan informasi demi kepentingan perlindungan atas dirinya sendiri (pasal 13).
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG HAK-HAK ANAK A. Hak Pendidikan Bagi Anak Dalam Konvensi Hak-hak Anak yang diratifikasi dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-hak Anak, bahwa sesungguhnya seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan, hal tersebut tertuang dalam pasal 28 yang berbunyi: 1. Negara-negara peserta mengakui hak anak atas pendidikan dan untuk mewujudkan hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan yang sama mereka akan khususnya: a. Membuat pendidikan dasar suatu kewajiban dan tersedia secara cumacuma untuk semua; b. Mendorong pengembangan bentuk-bentuk yang berbeda dari pendidikan menengah, termasuk pendidikan umum dan kejuruan, menyediakannya untuk setiap anak, dan mengambil langkah-langkah yang tepat seperti memperkenalkan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan bantuan keuangan bila diperlukan; c. Membuat pendidikan yang lebih tinggi tersedia bagi semua berdasarkan kemanpuan dengan semua cara yang layak; d. Membuat informasi dan bimbingan pendidikan dan kejuruan tersedia untuk semua anak dan bisa diperoleh oleh semua anak; 59
60
e. Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah. 2. Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan martabat kemanusiaan anak dan sesuai dengan konvensi ini. 3. Negara-negara peserta akan meningkatkan dan mendorong kerjasama internasional dalam hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, khususnya untuk membantu menghapus kebodohan dan buta huruf di seluruh dunia dan mempermudah perolehan pengetahuan ilmiah dan teknis dan metode-metode pengajaran modern. Dalam hal ini, perhatian khusus akan diberikan kepada kebutuhan negara-negara berkembang. Adapun dalam hukum Islam pemberian hak untuk mendapatkan pendidikan kepada anak merupakan kewajiban orang tua karena pedidikan merupakan kunci dari proses pertumbuhan anak dan akan menunjang masa depan anak. Pendidikan juga merupakan suatu bentuk penghargaan tertinggi sebagaimana didasari oleh Firman Allah SWT yang telah memberikan penghargaan yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu yaitu:
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
61
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah/ 58:11)
Artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(QS. Al-Fathir/35:28) Ayat tersebut di atas menggambarkan bahwa keutamaan dan kemuliaan bagi orang-orang yang berilmu, karena ilmulah yang meningkatkan dan mengantarkan hati untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Adapun kewajiban menuntut ilmu telah diwariskan oleh Rasulullah SAW melalui hadist dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ٍﻃَﻠَﺐُ اﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓَﺮِﯾﻀَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞﱢ ﻣُﺴْﻠِﻢ Artinya: “menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”(HR.Bukhari) Berdasarkan hadist tersebut di atas bahwa Islam telah menekankan kewajiban untuk menuntut ilmu sejak dari lahir hingga akhir hayat dan kewajiban tersebut tidak terbatas pada laki-laki saja akan tetapi perempuan juga diwajibkan. Proses pendidikan anak dalam kandungan dilaksanakan secara tidak langsung oleh orang tuanya, terutama ibu. Minat intelektual dan semangat seorang
62
ibu sangat penting artinya bagi perkembangan kecerdasan anak. Semangat dan inilah yang akan mentransmisikan rangsangan-rangsangan intelektual dan pencerdasan bagi janin. 1 Salah satu tanggung jawab dan merupakan bentuk dari perlindungan hukum bagi anak adalah mendidik mereka dengan akhlak mulia yang jauh dari kejahatan dan kehinaan serta memberikan hak dan keadilan kepada mereka. Orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya, melindungi dan mendukung mereka, dan bersama jiwa mereka.2Adapun yang dimaksud dengan perkataan “mendidik” disini ialah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri. Apabila dua orang suami-istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum mumayyiz (belum mengerti akan kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengeri akan kemaslahatan dirinya. Apabila si anak sudah mengerti, hendaklah diselidiki oleh yang berwajib mengenai siapakah diantara keduanya (ibu dan bapaknya) yang lebih baik untuk dan lebih pandai untuk mendidik anak itu. Begitu juga kalau yang mendidik anak kecil itu bukan ibu atau bapaknya, maka lebih didahulukan perempuan dari pada laki-laki kalau derajat kekeluargaan keduanya dengan anak sama-sama jauh. 3
1
Suharsono, Membelajarkan Anak dengan Cinta, ( Depok; Inisiasi Press, 2003), h, 84 Ali Husain Muhammad Makki Al- Amili, Perceraian Salah Siapa? Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, (Bandung: PT. Triganda Karya, 1994), Cet. I, hlm. 148 3 Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 426. 2
63
Begitu besarnya perhatian Islam atas pentingnya hak pendidikan bagi seorang anak, selain itu juga seorang anak memerlukan pendalaman dan penanaman nilai-nilai norma dan menyatu bersama jiwa mereka. Sebagaimana orang tua harus terdidik dan berjiwa suci, berahlak mulia, dan jauh dari sifat hina dan keji, maka mereka juga dituntut menanamkan nilai-nilai mulia ini ke dalam jiwa anak-anak mereka dan menyucikan kalbu mereka dari kotoran.Islam melihat bahwa masalah penyucian jiwa merupakan kewajiban dan bahkan paling wajib.Shalat adalah kewajiban tetapi penyucian jiwa dan melengkapinya dengan akhlak mulia jauh lebih wajib. 4 Mengingat anak-anak yang sekarang masih kecil itu akan menjadi orangorang dewasa yang mempunyai peran penting di masa datang, bahkan dipundaknya tergantung nasib dunia ini karena memang mereka tumpuan harapan generasi tua sekarang, bahkan syariat pun menaruh perhatian yang banyak terhadap mereka.5 B. Hak Perlindungan Anak dari Tindak Kekerasan Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak yang kemudian diratifikasi dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-hak Anak,
bahwa
sesungguhnya seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan yang tertulis dalam pasal 37 yaitu: 4
Husain Mazhariri, Pintar Mendidik Anak, Panduan Lengkap Bagi Orang Tua, Guru, dan Masyarakat Berdasarkan Ajaran Islam, (Jakarta: Lentera, 1994), Cet. IV, hlm. 240 5 Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Anak Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta HukumHukum Yang Berkaitan dengan Aktifitas Anak, (Jakarta: Al-Mawarid, 2004), Cet. I, hlm. Cover belakang.
64
Negara-negara peserta akan memastikan bahwa: a. Tidak seorang anakpun akan mengalami siksaan, atau kekejaman-kekejaman lainnya, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau yang menurunkan martabat. Baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan dibebaskan tidak akan dikenakan untuk kejahatankejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia dibawah delapan belas tahun; b. Tidak seorang anakpun akan kehilangan kebebasannya secara tidak sah dan sewenang-sewenang. Penangkapan, penahanan atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan undang-undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak; c. Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat seorang manusia, dan dengan cara yang memberi perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Secara khusus, setiap anak yang dirampas kebebasannya akan dipisahkan dari orang dewasa kecuali bila tidak melakukannya dianggap sebagai kepentingan yang terbaik dari anak yang bersangkutan dan anak mempunyai hak untuk terus mengadakan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan, kecuali dalam keadaan luar biasa; d. Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan mempunyai hak untuk segara mendapat bantuan hukum dan bantuan-bantuan lain yang layak, dan mempunyai hak untuk menantang keabsahan perampasan kebebasan itu di
65
depan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, bebas dan tidak memihak, dan berhak atas keputusan yang cepat mengenai tindakan tersebut. Adapun dalam hukum Islam, diharamkan segala bentuk tindakan kekerasan, menyakiti, mencederai, melukai kepada diri sendiri atau kepada orang lain; baik secara verbal maupun tindakan nyata terhadap salah satu anggota tubuh. Secara konseptual, misi utama kenabian Muhammad saw adalah untuk kerahmatan bagi seluruh alam. Kekerasan, sekecil apapun bertentangan dengan kerahmatan dalam Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Anbiya’ ayat 107, yang berbunyi:
Artinya:”Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Hukum Islam secara jelas dan tegas mengajarkan perlindungan terhadap anak sejak masih janin sampai dewasa. Perlindungan ketika masih janin, bisa terlihat adanya rukhsah (keringanan) diperbolehkan tidak berpuasa bagi orang hamil. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Lukman ayat 14, yang berbunyi:
Artinya:”Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan
66
lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Lukman: 14)
Kemudian Islam mengajarkan bahwa anak mempunyai hak untuk lahir dengan selamat, untuk itu Islam melarang adanya aborsi maupun tindakan kekerasan yang dapat membahayakan bayi. Firman Allah SWT:
Artinya:”Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (QS. Al-An’am: 151)
Dalam hukum Islam hukuman bagi pelaku (orang tua) yang melakukan kekerasan terhadap anak yaitu sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf bin Muhammad dalam bukunya "Anak Bertanya Islam Menjawab" bahwa apabila
67
orang tua memukul anak secara berlebihan maka orang tua tidak dapat dihukum tetapi cukup dengan meminta ampun kepada Allah atas perbuatan yang dilakukannya. 6 Adanya larangan melakukan kekerasan terhadap anak sesuai dengan satu kaidah ushul fiqh yaitu:
درء اﻟﻤﻘﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻲ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﻨﺎﻓﻊ Artinya:"Menghindari masalah dan didahulukan dengan menarik manfaat"7
Oleh karena itu, secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga adalah kekerasan menyalahi hak individu lain dengan menyalahi hak individu lain dengan tanpa memperdulikan latar belakang ras, etnis, atau kelompok sosial dan ekonomi tertentu baik itu bersifat fisik, seksual psikologis, ekonomi ataupun lainnya yang masih tercakup dalam makna kekerasan. Anak sebagai generasi penerus masa depan harus dihindarkan dan dilindungi dari segala bentuk tindak kekerasan yang dapat berakibat buruk bagi masa depan anak. C. Hak Perlindungan Anak dalam Keluarga Dalam Konvensi Hak-hak Anak yang diratifikasi dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-hak Anak, bahwa sesungguhnya seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dalam keluarga, sebagaimana tercantum pada pasal 3, ayat (2) yaitu: 6
Yusuf bin Muhammad bin Al-Atiq, Anak Bertanya Islam Menjawab, (Yogyakarta: AlManar, 2004), Cet. 1, hlm. 164 7 Ibnu Abdi As-Salam, Qawa’id al-Ahkam Fii Mashah al- Anam, (Kairo: Al-Istiqamah, tth) Jilid. 1, hlm. 9
68
“Negara-negara peserta berusaha untuk menjamin bahwa anak akan mendapat
perlindungan
dan
perawatan
seperti
yang
diperlukan
bagi
kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan tanggung jawab orang tuanya, wali atau perorangan lainnya yang secara hukum bertanggung jawab atas anak itu, dan, untuk tujuan ini, akan mengambil semua langkah legislative dan administrasi yang tepat”. Berkaitan dengan posisi anak dalam hukum keluarga, tak dapat dilepaskan dengan tiga subsistem (perkawinan, perwalian, dan kewarisan) dalam ruang lingkup hukum keluarga itu sendiri, dimana satu sama lainnya mempunyai korelasi yang sangat erat. Ketiga subsistem itu satu sama lain memang bisa dibedakan terutama dari segi hukum yang dipelajarinya, namun dalam praktiknya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dalam hal kewarisan misalnya, tidak mungkin bisa dilepaskan dari perkawinan mengingat di antara faktor yang menyebabkan terjadi hak saling mewarisi adalah hubungan perkawinan di samping karena nasab (hubungan darah).Demikian pula antara perkawinan dengan perwalian. Dari perkawinan akan lahir seorang anak dan anak yang lahir dari perkawinan itu tentu memiliki sejumlah hak dan kewajiban dari dan kepada orangtuanya. Dari sini terbit apa yang kemudian disebut dengan istilah pemeliharaan
anak atau hadhanah. Keterlibatan orangtua terhadap pemeliharaan anak tidak hanya dilakukan di waktu kecil, akan tetapi berlanjut hingga mencapai usia dewasa (rusyd) terutama terhadap anak perempuan yang untuk melakukan pernikahannya masih tetap bergantung pada perwalian orangtuanya dalam hal ini
69
ayah atau keluarga dekat lainnya. 8 Dengan demikian, pada dasarnya anak merupakan titipan atau amanah Allah SWT yang harus dijaga dan dibina dengan sungguh-sungguh oleh kedua orangtuanya. Mendidik anak agar menjadi manusia yang berguna di dunia dan akhirat, memberi pelajaran dan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dalam ketentuan Pasal 106 ayat (1) dan (2) dan Pasal 104 dan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam secara lengkap diuraikan tentang hak dan kewajiban orangtua terhadap anaknya, bahkan sampai terjadi perceraian sekalipun. Hakekatnya perlindungan anak adalah penampakan kasih sayang diwujudkan pada pemenuhan hak dasar dan pemberian perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi. Jika demikian halnya, perlindungan anak dalam Islam berarti penampakan apa yang dianugerahkan Allah SWT di dalam hati kedua orang tua, yaitu berupa sentuhan cinta dan kasih sayang terhadap anak dengan memenuhi semua kebutuhan hak-hak dasarnya sehingga dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal. 9
ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ:ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﯿﺐ ﻋﻦ أﺑﯿﮫ ﻋﻦ ﺟﺪه ﻗﺎل اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻟﯿﺲ ﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﻟﻢ ﺣﻢ ﺻﻐﯿﺮﻧﺎ وﯾﻌﺮف ﺷﺮف ﻛﺒﯿﺮﻧﺎ ()رواه اﻟﺘﺮﻣﺬى Artinya:“Diriwayatkan dari Ibnu Umar bin Syuaib r.a. bahwa rasulullah SAW pernah bersabda: Tidaklah termasuk golongan kami, orang-orang yang 8
Muhammad Amin Summa, Ijtihad Ibnu Taymiyyah dalam Bidang Fiqih Islam, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002), h. 27. 9 Ibnu Anshori, Perlindungan Anak Dalam Ajaran Islam, (Jakarta: KPAI, 2006), h. 13.
70
tidak mengasihi anak kecil di antara kami dan tidak mengetahui hak orang besar di antara kami.” (HR. Tirmidzi)10 Setelah hadist Al-Bukhari dan Muslim menjelaskan sebuah langkah awal bagi setiap muslim dalam mengupayakan permulaan perlindungan anak.
ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻲ ﻋﻠﯿﮫ:ﻋﻦ إﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮭﻢ ﻗﺎل وﺳﻠﻢ )ﻟﻮ أن أﺣﺪﻛﻢ إذ أراد أن ﯾﺄﺗﻲ أھﻠﮫ ﻓﻘﺎل ﺑﺈﺳﻢ اﷲ اﻟﻠﮭﻢ ﺟﻨﺒﻨﺎ اﻟﺸﯿﻄﺎن وﺟﻨﺐ اﻟﺸﯿﻄﺎن ﻣﺎ رزﻗﺘﻨﺎ ﻓﺈﻧﮫ إن ﯾﻘﺪر ﺑﯿﻨﮭﻤﺎ وﻟﺪ ﻓﻲ (ذﻟﻚ ﻟﻢ ﯾﻀﺮه ﺷﯿﻄﺎن أﺑﺪا )رواه اﻟﺒﺨﺎري Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian hendak mendatangi (menyetubuhi) isterinya dan dia berkata: ”Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang engkau anugerahkan kepada kami”, maka jika ditetapkan ada anak diantara keduanya maka syaitan sama sekali tidak akan menimbulkan madharat kepadanya.” (HR. Bukhari)11
Sama halnya dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak yang mempunyai prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan perlindungan anak, dalam Islam pun terdapat prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan perlindungan anak antara lain: 1. Bersikap Adil (Non Diskriminasi) Fitrah bagi anak sebagai ciptaan Allah SWT, maka perlakukanlah secara adil.
10
Muhammad bin Isa al-Tarmidzi al-Salimi, Al-Jami al-Shahih Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al- Arabi, t.th) juz IV, hlm. 322 11 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhariy al-Ja’fi, Shahih Bukhariy, juz, I, hlm.65
71
Artinya:“(yaitu) ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata”. (QS. Yusuf/12:8) 2. Kepentingan terbaik bagi anak Prinsip kepentingan bagi anak berarti semua tindakan yang menyangkut anak harus menjadi pertimbangan utama.
أن اﷲ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم ﻗﺎل اﻧﻲ ﻷدﺧﻞ اﻟﺼﻼة:ﻋﻦ أﻧﺲ وأﻧﺎ أرﯾﺪ أن أﻃﯿﻠﮭﺎ ﻓﺈﺳﻤﻊ ﺑﻜﺎء اﻟﺼﺒﻲ ﻓﺄﺗﺠﺎوز ﻓﻲ ﺻﻼﺗﻲ ( ﻣﻤﺎ أﻋﻠﻢ ﻣﻦ ﺷﺪة وﺟﺪ أﻣﮫ ﻣﻦ ﺑﻜﺎﻧﮫ )رواه اﻟﺒﺨﺎري Artinya:"Sesungguhnya ketika aku melakukan shalat (menjadi imam) dan aku bermaksud untuk memanjangkan bacaanya, tiba-tiba aku mendengar tangisan anak kecil. Maka aku segera memperpendek (bacaan) shalatku. Karena aku memahami perasaan ibunya (yang menjadi makmum) yang tentu terganggu oleh tangisanya.."(HR. Bukhari dan Ahmad) 12 3. Penghargaan terhadap pendapat anak
أن رﺳﻮل اﷲ:ﻋﻦ ﺳﮭﻞ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ اﻟﺴﺎﻋﺪي رﺻﻲ اﷲ ﻋﻨﮭﺎ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ أﺗﻲ ﺑﺸﺮاب ﻓﺸﺮب ﻣﻨﮫ وﻋﻦ ﯾﻤﯿﻨﮫ ﻏﻼم اﻷﺳﯿﺎخ ﻓﻘﺎل ﻟﻠﻐﻼم )أﺗﺎذن ﻟﻲ أن أﻋﻄﻲ 12
250.
وﻋﻦ ﯾﺴﺎره
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhariy al-Ja’fi, Shahih Bukhariy, juz, I, hlm.
72
ﻓﻘﺎل اﻟﻐﻼم واﷲ ﯾﺎ رﺳﻮل اﷲ ﻻ أو ﺛﺮﺑﻨﺼﻲ ﻣﻨﻚ.(ھﺆﻻء ﻗﺎل ﻓﺘﻠﮫ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﯾﺪه )رواه.أﺣﺪا (اﻟﺒﺨﺎري Artinya:"Rasulullah SAW diberi minuman dan beliau minum sebagian. Di sebelahnya duduk seorang anak dan sebelah kirinya duduk beberapa orang tua. Rasulullah SAW bersabda kepada anak itu: "Apakah engkau mengizinkanku untuk memberi kepada mereka? "Maka anak itu menjawab: "Tidak, demi Allah, bagianku yang direlakan oleh engkau tidak akan saya berikan kepada siapapun" maka Rasulullah meletakan minuman di tangan anak itu, dan dia adalah Abdullah bin Abbas."(HR. Bukhari dan Ahmad).13
13
865.
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhariy al-Ja’fi, Shahih Bukhariy, juz, 2, hlm.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hak pendidikan bagi anak dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-hak Anak tidak bertentangan dengan hukum Islam yang menjadi kewajiban orang tua karena pedidikan merupakan kunci dari proses pertumbuhan anak dan akan menunjang masa depan anak, pendidikan juga merupakan suatu bentuk penghargaan tertinggi bagi anak. 2. Kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga merupakan kekerasan menyalahi hak individu lain dengan tanpa memperdulikan latar belakang ras, etnis, atau kelompok sosial dan ekonomi tertentu baik itu bersifat fisik, seksual psikologis, ekonomi ataupun lainnya yang masih tercakup dalam makna kekerasan. Baik hukum Islam maupun diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-hak Anak, bahwa anak sebagai generasi penerus masa depan harus dihindarkan dan dilindungi dari segala bentuk tindak kekerasan yang dapat berakibat buruk bagi masa depan anak. 3. Perlindungan terhadap hak-hak anak baik itu yang diatur menurut hukum Islam maupun yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak adalah sebuah kewajiban dan
73
74
tanggung jawab bagi seluruh ummat manusia, bukan hanya peran orang tua, keluarga, dan masyarakat. B. Saran-saran Setelah penulis membaca, meneliti, menganalisa dan menyimpulkan maka dengan ini penulis memberikan saran-saran sebagai berikut; 1. Perlindungan anak tidak dapat dilepaskan dari usaha peningkatan kesadaran hukum dari diri pribadi, para orang tua serta masyarakat pada umumnya agar terbentuk masyarakat yang sadar hukum, mengerti peraturan dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. 2. Adanya upaya pelaksanaan kewajiban perlindungan hak anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi anak terhadap tindak kekerasan maka sudah menjadi kewajiban yang mendasar untuk melaksanakannya, membantu merealisasikan undang-undang dan peraturan yang mengatur hal tersebut. Masyarakat tidak harus diam ketika mendengar, melihat bahkan menyaksikan suatu bentuk kekerasan terhadap anak. 3. Selain dari pihak orang tua, keluarga, masyarakat, perlu juga adanya peran aparat penegak hukum digalakkan dalam penghapusan kekerasan terhadap anak. Aparat penegak hukum harus benar-benar menindak tegas masalah yang menyangkut pelanggaran hak-hak anak.
75
4. Melakukan program penghapusan perlindungan menyeluruh terhadap anak. Seperti melakukan kebijakan pencegahan dengan cara penyadaran orang tua atau keluarga terhadap hak anak dengan melakukan pola pembinaan kesejahteraan anak serta memberdayakan komnas perlindungan anak.
DAFTAR PUSTAKA . Al- Amili, Ali Husain Muhammad Makki, Perceraian Salah Siapa? Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, (Bandung: PT. Triganda Karya, 1994), Cet. I. Al- Ja’fi, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhariy, ShahihBukhariy,juz, I. Al-Atiq, Yusuf bin Muhammad bin, Anak Bertanya Islam Menjawab, (Yogyakarta: Al-Manar, 2004), Cet. 1. Al-Barry Zakaria Ahmad, Ahkamul Auladi Fii al-Islam, Terj: Dra Chadidjah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), Cet. I. Al-Husaini, Al-Imam Taqyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Ilmu, 1997) Jilid. 3, cet. I. Anshori, Ibnu, Perlindungan Anak Dalam Ajaran Islam, (Jakarta: KPAI, 2006). Aripin, Jaenal, Metode Dan Teknik Pengumpulan Data, Makalah disampaikan pada Pelatihan Metodologi Penelitian Mahasiswa FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 30 Oktober 2009. Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islami, Terj. Tim Tsalisah, (T.tp: PT. Kharisma Ilmu, t.th), Jil. II. Baqi, Muhammad Fuad abdul, Al-Lu’lu’ wa al-marjan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1996), Juz II. Fachruddin, Dr. Fuad Mohd., Masalah Anak Dalam Islam: Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkatdan Anak Zina (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), Cet. II. Fizee, Asaf, Outline of Muhammad Law, Terj: Arifia Bey, MA., (Jakarta: Tirtamas, 1985) Gautama, Chandra, Konvensi Hak Anak, (Jakarta, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan LSPP, 2000) Ginting, Linda Wati, Anak Dalam Perlindungan Bidang Hukum Perdata: Kumpulan Karya Tulis Bidang Hukum Tahun 2000, (Jakarta: BPHN, 2000).
76
77
Gosita, Arif, Kumpulan Karangan Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1998), Edisi ke-2. Halimah, SH., Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahlusunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) Ibnu Abdi As-Salam, Qawa’id al-Ahkam Fii Mashah al- Anam, (Kairo: Al-Istiqamah, tth) Jilid. 1. Mandzur, Ibnu, Lisan al-Arab, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), Jilid II. Mazhariri, Husain, Pintar Mendidik Anak, Panduan Lengkap Bagi Orang Tua, Guru, dan Masyarakat Berdasarkan Ajaran Islam, (Jakarta: Lentera, 1994), Cet. IV. Muhammad bin Isa al-Tarmidzi al-Salimi, Al-Jami al-Shahih Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al- Arabi, t.th) juz IV. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhariy al-Ja’fi, Shahih Bukhariy,juz, I. Muslich, Drs. H. Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. I. Muslih, Ahmad Wardi, Op.Cet. Naibaho, Nathalina, SH., Hak-Hak Anak, (Depok: Sentra HAM Univ. Indonesia, 2003). Ritonga, A. Rahman, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. IchtiarBaru Van Hoeve, 1996), Cet. I, Jil. I. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’ruf, 1987) Jilid. X, cet. I. Soedy, Soleh, Dasar Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2001). Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: BumiAksara, 1990). Soetedjo, Wagianti, Hukum Pidana Anak (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2006), Cet. II. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), Cet. Ke-2. Sulaiman, Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994)
78
Suma,
Muhammad Amin, Ijtihad Ibnu Taymiyyah dalam Bidang Fiqih Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus)
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005), Cet. III, Jil. I. Swilam, Rafat Farid , Al- Islam wa Huquq Al- Thifli, (Kairo: Dar Mahasyin, 2002) Umrah, Siti, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam dan dalam Peraturan PerundangUndangan (Analisis Komparatif), (Ciputat: Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005) Umar, Masyithah, Hak Asasi Manusia tentang penghapusan diskriminasi terhadap anak dan perempuan; dalam majalah Khazanah, (Banjarmasin: IAIN Antasari, Vol. I, No. 06, 2002) Yanggo, Huzaemah Tahido, Fiqh Anak Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan dengan Aktifitas Anak, (Jakarta: Al-Mawarid, 2004), Cet. I.