ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM PASAL 78 KUHP
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: AGUS MUHAMMAD ALI MAQFUR NIM: 042211038
JURUSAN SIYASAH JINAYAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG
2011
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 5 (lima) eksemplar Hal : Naskah Skripsi a.n. Sdr. Agus Muhammad Ali Maqfur
Kepada Yth Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamua’alaikum Wr.Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara: Nama
:
Agus Muhammad Ali Maqfur
Nomor Induk
:
042211038
Jurusan
: SJ
Judul Skripsi
: ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM PASAL 78 KUHP
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang,
ii
Mei 2010
iii
MOTTO
(151 :) اﻷﻧﻌﺎم...ﻖ ﺤﱢ َ ﻻ ﺑِﺎ ْﻟ ﺣ ﱠﺮ َم اﻟّﻠ ُﻪ ِإ ﱠ َ ﺲ اﱠﻟﺘِﻲ َ ﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮ ْا اﻟ ﱠﻨ ْﻔ َ َو... Artinya: ... Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang ∗ benar .... (QS. Al-An'aam: 151).
∗
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 214. .
iv
PERSEMBAHAN Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat: o Orang tuaku tercinta yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam menjalani hidup ini. o Kakak dan Adikku Tercinta yang kusayangi yang selalu memberi motivasi dalam menyelesaikan studi. o Teman-Temanku jurusan SJ, angkatan 2004 Fak Syariah yang selalu bersamasama dalam meraih cita dan asa.
Penulis
v
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiranpemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam
daftar
kepustakaan
yang
dijadikan bahan rujukan. Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka penulis bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar menurut peraturan yang berlaku
Semarang, 17 Mei 2010
AGUS MUHAMMAD ALI MAQFUR NIM: 042211038
vi
ABSTRAK Dalam hukum pidana Islam, di kalangan fuqaha masih diperselisihkan, apakah daluwarsa dapat menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan fuqaha, tidak menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip daluwarsa tersebut tidak menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman bagi seluruh jarimah. Yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana daluwarsa penuntutan dalam KUHP? Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Pasal 78 KUHP? Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data Primer, yaitu buku KUHP. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun metode analisisnya adalah metode deskriptif analitis dan metode eksplanatory. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa penerapan daluwarsa penuntutan dalam KUHP, bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana hapus karena daluwarsa. Selain alasan untuk kepastian hukum, prinsip lewatnya waktu ini, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materiele waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. .Pengungkapan peristiwa itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan, bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan. Ditinjau dari hukum Islam terhadap penerapan daluwarsa penuntutan dalam KUHP tidak sejalan dengan prinsip hukum Islam. Dalam hukum Islam, daluwarsa hanya masuk dalam bagian yang menghapuskan hak untuk melaksanakan hukuman. Dengan demikian dalam perspektif hukum pidana Islam, setiap orang yang telah melakukan tindak pidana dan terhadap perbuatan pidana itu belum sampai dijatuhi hukuman, maka meskipun sudah daluwarsa, pidana tidak menjadi hapus. Ini berarti orang yang melakukan tindak pidana kapan waktu saja dapat dituntut atau perkaranya dapat diadili. Sedangkan daluwarsa hanya berlaku manakala tindak pidana yang telah dilakukan seseorang itu telah mendapat putusan hakim sehingga orang tersebut harus menjalani hukuman sebagai maha yang telah dijatuhkan hakim.
vii
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: “ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM PASAL 78 KUHP” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Imam Yahya M.A selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 2. Ibu Hj. Rr. Sugiharti, SH, MH selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak H.A. Furqon, Lc, MA selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan 5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi ABSTRAK ................................................................................................... vii KATA PENGANTAR................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................. ix BAB I :
BAB II :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
.................................................... 1
B. Perumusan Masalah
.................................................... 6
C. Tujuan Penelitian
.................................................... 6
D. Telaah Pustaka
.................................................... 6
E. Metode Penelitian
.................................................... 9
F. Sistematika Penulisan
.................................................... 10
HAPUSNYA
HAK
MENUNTUT
PIDANA
KARENA
DALUWARSA DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Daluwarsa dalam Hukum Islam........................... 12 B. Macam-Macam Tindak Pidana .............................................. 13 C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana Karena Daluwarsa........... 15 D. Akibat-Akibat Hukum dari Daluwarsa Penuntutan ............... 35 BAB III : HAPUSNYA
HAK
MENUNTUT
PIDANA
KARENA
DALUWARSA DALAM KUHP A. Daluwarsa dan Dasar Hukum
..................................... 39
B. Macam-Macam Tindak Pidana
..................................... 41
C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana
..................................... 47
ix
D. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana karena Daluwarsa ........... 49 E. Dampak dari Daluwarsa Penuntutan ..................................... 57 BAB IV : ANALISIS
HUKUM
ISLAM
TERHADAP
PENERAPAN
PENENTUAN HAPUSNYA PENUNTUTAN PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM KUHP A. Konsep Penentuan Daluwarsa Penuntutan dalam KUHP ...... 59 B. Analisis Hukum Islam terhadap Penerapan Penentuan Daluwarsa Penuntutan dalam KUHP ..................................... 62 BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan
.................................................... 69
B. Saran-saran
.................................................... 71
C. Penutup
.................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap orang bisa saja melakukan kesalahan. apalagi jika ia kepepet atau terjepit maka sangat dimungkinkan niat dan kesempatan yang ada membuka peluang melakukan tindak pidana. Untuk menghindari kejaran polisi. ia melarikan diri untuk bersembunyi dalam sekian tahun. Kasus faktual telah terjadi pada orang yang bernama Heri Iskandar, yang menggelapkan sebuah kendaraan roda empat milik pamannya yang bernama Bukhori. Berdasarkan laporan korban pemilik mobil kijang pada suatu malam kedatangan ponakannya yang bernama Heri Iskandar. la meminjam mobil pamannya yang berdomisili di Jakarta Timur dengan alasan mobil pribadinya mogok di jalan tol Cikampek Jawa Barat.1 Ia meminjam mobil pamannya tersebut untuk melihat apakah mobil pribadinya sudah bisa jalan kembali atau tidak. Pamannya dengan percaya memberi STNK dan kunci kontak. Dengan mulus Heri Iskandar membawa mobil tersebut. Namun ditunggu beberapa hari Heri Iskandar belum mengembalikan mobil pamannya itu dan pamannya sudah berupaya menghubungi HP Heri Iskandar namun tidak diangkat. Seminggu kemudian pamannya melaporkan pada polisi Jakarta Timur. Polisi dengan sejumlah alat bukti melacak ke semua tempat yang diperkirakan. Telah dikejar dan dicari 1
http:www.klik/bloc.com.Pid/2009/Daluwarsa diakses pada tanggal 4 Januari 2010
1
2
keberadaan Heri Iskandar tidak ditemukan. Pencarian mulai dari keluarga Heri Iskandar sampai kerabat terdekat namun hasilnya berdasarkan laporan dari sanak saudaranya ternyata tidak jelas kemana larinya Heri Iskandar. Sembilan belas tahun kemudian Heri Iskandar pulang ke rumah orang tuanya dan polisi dengan mudah menangkap Heri Iskandar. Dua hari kemudian Heri Iskandar telah dibebaskan polisi Jakarta Timur dengan alasan kasus Heri Iskandar telah daluwarsa berdasarkan Pasal 78 ayat 1 butir 3 KUHP yang menyatakan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus karena lewat waktu: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, maka daluwarsanya sesudah dua belas tahun. Dalam kasus ini polisi Jakarta Timur menjerat Heri Iskandar dengan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan yang ancaman pidananya maksimal empat tahun2 Daluwarsa adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam perspektif KUHP bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa.3 Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana hapus karena daluwarsa…4
2
Ibid., E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 426. 4 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 33. 3
3
Hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewatnya waktu (78 ayat 1). Dasar dari ketentuan ini sama dengan dasar dari ketentuan pasal 76 ayat (1) tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi setiap kasus pidana, agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman hidupnya diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara, pada suatu waktu gangguan seperti itu harus diakhiri. Orang yang berdosa karena melakukan tindak pidana, untuk menghindari penuntutan oleh negara, mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang, bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat ketidaktenangan hidupnya. Ketidaktenangan hidup yang sekian lama sebelum masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa, yang tidak berbeda dengan penderitaan akibat menjalani suatu pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.5 Pertama, selain alasan untuk kepastian hukum, maka yang kedua, prinsip lewatnya waktu, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materiele waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. .Pengungkapan peristiwa itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan 5
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 173.
4
semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan.6 Satu hal lagi yang penting, ialah dengan lewatnya waktu, penderitaan batin, baik bagi korban dan keluarganya maupun masyarakat sebagai akibat dari suatu tindak pidana akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan lenyap atau lupa dari ingatan. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak penting lagi untuk mengungkap suatu kasus yang sudah dilupakan oleh masyarakat. Walaupun zaman modern sekarang teori pembalasan dinilai oleh banyak kalangan sudah kuno, namun pada kenyataannya kepuasan korban dan masyarakat atas pidana yang-dijatuhkan pengadilan tidak dapat terlepas dari berat ringannya (setimpal) dari kesalahan dan berat ringannya tindak pidana yang dilakukannya.7 Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu seseorang pembuat tindak pidana untuk menjadi tidak dapat dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini bergantung dari berat ringannya pidana yang diancamkan pada tindak pidana yang diperbuat. Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), yang menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi gugur dalam tenggang waktu, yakni:
6 7
Ibid., hlm. 174. Ibid
5
a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun; b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggitingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.
Dalam hukum pidana Islam, di kalangan fuqaha masih diperselisihkan, apakah daluwarsa dapat menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan fuqaha, tidak menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip daluwarsa tersebut tidak menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman bagi seluruh jarimah. Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, dari Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad. Menurut ketiga imam tersebut sesuatu hukuman atau jarimah tidak gugur, bagaimanapun juga lamanya hukuman atau jarimah tersebut tanpa dilaksanakan atau diadili, selama bukan berupa hukuman atau jarimah ta'zir. Pendapat kedua, berasal dari Imam Abu Hanifah beserta murid-muridnya. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan pendapat pertama, yaitu mengakui adanya prinsip daluwarsa untuk jarimahjarimah ta'zir, jarimah-jarimah qisas-diyat dan satu jarimah hudud, yaitu memfitnah (qadzaf).8 Berdasarkan keterangan tersebut menarik untuk dianalisis lebih lanjut terhadap kedua sistem hukum tersebut dalam menyikapi adanya daluwarsa dalam penuntutan pidana. Menyikapi masalah atas, peneliti terdorong
8
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm. 349.
6
mengangkat tema ini dengan judul: Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 78 KUHP tentang Hapusnya Hak Menuntut Pidana karena Daluwarsa B. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya,9 maka yang menjadi rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ketentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Pasal 78 KUHP? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah 1. Untuk mengetahui ketentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP 2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap Pasal 78 KUHP D. Telaah Pustaka Berdasarkan penelitian di perpustakaan, belum ditemukan skripsi yang membahas hapusnya hak menuntut pidana karena daluwarsa. Meskipun demikian ada beberapa yang membicarakan masalah tersebut di antaranya: Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan daluwarsa ialah berlakunya sesuatu waktu tertentu atas keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut. Dengan berlakunya masa tersebut maka pelaksanaan hukuman menjadi terhalang. Di
9
Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993, hlm. 112
7
kalangan
fuqaha
masih
diperselisihkan,
apakah
daluwarsa
dapat
menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan fuqaha, tidak menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip daluwarsa tersebut tidak menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman bagi seluruh jarimah.10 Dalam hal ini ada dua teori. Teori pertama, dari Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad. Menurut teori tersebut sesuatu hukuman atau jarimah tidak gugur. bagaimanapun juga lamanya hukuman atau jarimah tersebut tanpa dilaksanakan atau diadili, selama bukan berupa hukuman atau jarimah ta'zir. sebab terhadap hukuman dan jarimah tersebut berlaku prinsip dalu\varsa apabila dipandang perlu oleh penguasa negara untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Teori kedua, berasal dari Imam Abu Hanifah beserta murid-muridnya. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan pendapat teori pertama. yaitu mengakui adanya prinsip daluwarsa untuk jarimah-jarimah ta'zir, jarimah-jarimah qisas-diyat dan satu jarimah hudud, yaitu memfitnah (qadzaf). Menurut Zufar, murid Imam Abu Hanifah, untuk semua hukuman hudud juga tidak berlaku prinsip tersebut, yang berarti sama dengan teori pertama.11 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). dalam buku tersebut dijelaskan bahwa terhapusnya hukuman berbeda dengan pembatalan hukuman. Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu putusan pengadilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab. Baik sebab itu pada diri terhukum maupun usaha-usaha terhukum. atau berkaitan 10
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm.
349. 11
Ibid.,
8
dengan masalah waktu hukuman. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara terhapusnya hukuman dengan pembatalan hukuman. Pada terhapusnya hukuman, tidak terdapat pertanggung jawaban pidana, karena perkaranya tidak diproses sehingga tidak ada keputusan hakim. Adapun pada pembatalan hukuman, pertanggungjawaban pidana itu ada dan telah diproses di pengadilan sehingga terdapat keputusan hakim. Namun karena sebab-sebab seperti tersebut di atas, keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan kepada terhukum.12 Dari beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan saat ini karena penelitian terdahulu belum mengungkapkan persoalan tentang hapusnya hak menuntut pidana karena daluwarsa dalam Pasal 78 KUHP. E. Metode Penelitian 1. Jenis Data Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumbersumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library Research menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau penelitian murni.13 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, dan lain-lain.
12
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia. 2000,
hlm. 192. 13
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, 1981, hlm. 9.
9
2. Sumber Data Data primer yaitu KUHP Pasal 78. Adapun data sekunder, yaitu data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya. Data-data ini diperoleh dari buku-buku bacaan dan literature-literatur lain yang membahas tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana karena daluwarsa di antaranya E. Utrecht, Hukum Pidana I; R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana; Satochid Kartanegara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah; Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya; Lamintang, Dasar-Dasar hukum Pidana Indonesia. 3. Metode Analisis Data Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka penulis akan menggunakan beberapa metode deskriptif analitis yaitu cara penulisan dengan mengutamakan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang.14 Skripsi ini merupakan kajian konsep hapusnya kewenangan menuntut pidana karena daluwarsa. Berdasarkan hal itu, aplikasi metode ini adalah dengan mendeskripsikan fakta-fakta itu, pada tahap permulaan tertuju pada usaha mengemukakan gejala-gejala secara lengkap di dalam aspek yang diselidiki, agar jelas keadaan atau kondisinya yaitu kondisi pelaku tindak pidana dengan persoalan hapusnya kewenangan negara menuntut pidana karena daluwarsa.
14
Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000, hlm. 17.
10
F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi penulis membaginya dalam lima bab dan diuraikan dalam sub-sub bab, sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan. Dalam bab ini akan dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, sistematika penelitian. Bab kedua berisi hapusnya hak menuntut pidana karena daluwarsa dalam hukum Islam yang meliputi: pengertian daluwarsa dalam hukum Islam, macam-macam tindak pidana, hapusnya hak penuntutan pidana, akibat-akibat hukum dari daluwarsa Bab ketiga berisi daluwarsa penuntutan dalam KUHP yang meliputi: pengertian daluwarsa dan dasar hukum, macam-macam tindak pidana, hapusnya hak penuntutan pidana, hapusnya hak penuntutan pidana karena daluwarsa, dampak dari daluwarsa penuntutan Bab keempat berisi analisis hukum Islam terhadap penerapan penentuan hapusnya penuntutan pidana karena daluwarsa dalam KUHP yang meliputi: penerapan penentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP, analisis Hukum Islam terhadap penerapan penentuan daluwarsa penuntutan dalam KUHP Bab kelima merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian pembahasan skripsi ini yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.
BAB II HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Daluwarsa dalam Hukum Islam Daluwarsa ialah berlakunya sesuatu waktu tertentu atas keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut.1 Dalam pengertian ini, daluwarsa mempunyai akibat hukum yaitu tidak dapat dilaksanakannya suatu hukuman karena lewatnya waktu. Sebagaimana diketahui bahwa tidak semua perbuatan dapat dikenakan hukuman pada seseorang, demikian pula tidak semua perbuatan dianggap berdosa:
" ! # $ % & ' 21 & ' ( ) * ' ' + , -&. ' ' /+% ' ( % 0, + % = 7>
57 * & ' 8 / 0 ' 0 &. 9 : ; 04, < 3 0' 340& 5406 I<;) ? @ < A 57 B C
% &. ' < D. 57 E F G & ' < (3J$ 2
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Ya'qub bin Ibrahim dari Abdurrahman bin Mahdiy dari Hammad bin Salamah dari Hammad dari Ibrahim dari al-Aswad dari Aisyah dari Nabi Saw bersabda: yang terlepas dari hukum ada tiga macam: (1). orang tidur hingga ia bangun, (2). Kanak-kanak hingga ia dewasa, (3). orang gila hingga ia berakal dan sembuh". (HR. Ibnu Majah).
1
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 349. Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah al-Qazwini, hadis No. 2817 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company). 2
12
13
Hadis di atas menjadi indikator pula bahwa tidak ditulis berdosa suatu perbuatan karena keliru, lupa dan terpaksa. Masalahnya bagaimana dengan suatu perbuatan pidana yang sudah daluwarsa. B. Macam-Macam Tindak Pidana Kata "tindak pidana", dalam hukum pidana Islam sama dengan kata "jarimah". Yang dimaksud dengan kata-kata "jarimah" ialah, laranganlarangan syara' yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta'zir. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan kata-kata "syara'" pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara'. Juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancamkan hukuman terhadapnya. Di kalangan fuqaha, hukuman biasa disebut dengan kata-kata "ajziyah" dan mufradnya, "jaza". Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak-pidana, (peristiwa pidana, delik) pada hukum-pidana positif.3 Dalam
hukum
pidana
Islam
(fiqh
jinayah),
tindak
pidana
(jarimah/delik) jika dilihat dari berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga macam : 1) tindak pidana yang sanksinya dominan ditentukan oleh Allah, disebut jarimah hudud, 2) tindak pidana yang sanksinya dominan ditentukan oleh Allah, tetapi haknya lebih ditekankan kepada manusia, disebut jarimah
3
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 1
14
qishas-diyat, dan 3) tindak pidana yang sanksinya merupakan kompetensi pemerintah untuk menentukannya, disebut jarimah ta'zir.4 Jarimah hudud adalah suatu jarimah (tindak pidana) yang diancam padanya hukuman hadd, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya yang menjadi hak Allah. jarimah hudud ada 7 (tujuh) macam, yaitu: zina, qadzaf (menuduh berzina), sukr (minum-minuman keras), sariqah (pencurian), hirabah (perampokan), riddah (keluar dari Islam) dan bughah (pemberontakan).5 Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat adalah hak manusia (individu).6 Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah yang ada hubungannya dengan kepentingan pribadi seseorang dan dinamakan begitu karena kepentingannya khusus untuk mereka.7 Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diat maka pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya. Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qishash dan diat itu adalah 4 Rokhmadi, Jurnal al-Ahkam, Volume XVIII/Edisi 1/April 2006, Semarang: Fakultas Syariah IAIN Walisongo, hlm. 70 5 Ibid. 6 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 18. 7 Syeikh Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syariah, Alihbahasa, Fachruddin HS, Akidah dan Syariah Islam, 2, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 14.
15
1) Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal atau maksimal; 2) hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku. Jarimah qishash dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu a. pembunuhan sengaja (ُ % &.
A 7 &.L),
b. pembunuhan menyerupai sengaja ( % &. c. d. e.
3 M A 7 &.L), pembunuhan karena kesalahan (أN O &. A 7 &.L ), penganiayaan sengaja ( % &. P C &.), dan penganiayaan tidak sengaja (أN O &. P C &. ).8
C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana Karena Daluwarsa Hal-hal yang menyebabkan hapusnya hukuman itu ada empat,9 yaitu 1) paksaan, 2) mabuk, 3) gila, dan 4) di bawah umur. Di bawah akan dijelaskan keempat sebab tersebut satu per satu. 1) Paksaan
8
Ibid., hlm. 18. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 117. 9
16
Hukum paksaan dapat berbeda-beda menurut perbedaan perbuatan yang terjadi. Dalam konteks ini perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. a) Perbuatan yang tidak dapat dipengaruhi oleh paksaan sama sekali, artinya perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai jarimah. b) Perbuatan yang diperbolehkan sama sekali karena adanya paksaan, artinya perbuatan tidak dianggap sebagai jarimah. c)
Perbuatan
yang
diperbolehkan
sebagai
pengecualian,
artinya
perbuatannya tetap dianggap sebagai jarimah, tetapi pelakunya tidak dikenakan hukuman. a) Perbuatan yang tidak dipengaruhi oleh paksaan Perbuatan yang tidak bisa dipengaruhi oleh paksaan sama sekali, meskipun paksaan absolut adalah pembunuhan dan penganiayaan berat (pemotongan anggota badan, pukulan yang berat, dan sebagainya). Alasannya adalah sebagai berikut. 1) Firman Allah dalam Surah Al-An'aam ayat 151:
(Z[Z :UX )...?1 R &. S4 3 0T& U 2 7&4 V @. & .07. W S < ... Artinya: ... Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar .... (QS. Al-An'aam: 151).
2) Surah Al-Ahzab ayat 58:
: > 7\. $ F ] $ ^ % &.< _ $ ^ % &. B <`^ a&4< ([e :d X) b $c b%. < 7# 0% 7
17
Artinya: Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58). b) Perbuatan yang diperbolehkan karena adanya paksaan Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini hanya berhubungan dengan masalah makanan dan minuman yang diharamkan, seperti makan bangkai, makan daging babi, minum darah, dan barangbarang yang najis, sedangkan paksaannya bersifat absolut. Makananmakanan yang telah disebutkan semuanya diharamkan, tetapi kalau keadaannya terpaksa atau dipaksa maka hukumnya dibolehkan. Alasannya adalah firman Allah SWT sebagai berikut. 1) Surah Al-An'aam ayat 119
:UX) 3 & W; f g
$ S4 D 0' U $ D& A G : < (ZZh Artinya: ... Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya .... (QS. Al-An'aam: 119).
2). Surah Al-Baqarah ayat 173
3 0T& F & 3 A4 $< iO &. R
&< U &< ( 7 % &. D 0' U % j ; ;j @k 3 0T& B4 3 0' . l: +/ ' S < m / k f g
% : (Zop :n &) Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya.
18
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 173).
Dari ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa makanan yang semula diharamkan dalam keadaan terpaksa hukumnya dibolehkan. Demikian pula halnya orang yang dipaksa. Dengan demikian, baik orang yang terpaksa maupun orang yang dipaksa memakan makanan yang diharamkan, ia tidak dibebani pertanggung-jawaban pidana dan perdata. Untuk mengetahui secara rinci tentang perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam kelompok ini, perlu dilakukan penelitian terhadap nas-nas yang melarang perbuatan-perbuatan tersebut. Kalau perbuatan-perbuatan tersebut dibolehkan dalam keadaan terpaksa (darurat) atau dipaksa, perbuatan tersebut termasuk dalam kelompok ini. Akan tetapi, apabila tidak dibolehkan maka tidak termasuk dalam kelompok ini. c) Perbuatan yang diperbolehkan sebagai pengecualian Selain perbuatan-perbuatan yang disebutkan pada bagian pertama dan kedua, paksaan absolut dapat menghapuskan hukuman, baik paksaan materiil maupun paksaan moril {ma'na\vi\ walaupun perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dipaksa tetap dilarang. Alasan pembebasan hukuman dalam perbuatan-perbuatan tersebut adalah bahwa pelaku ketika melakukan perbuatannya tidak mempunyai kehendak (iradah) dan pilihan (ikhtiar) yang sebenarnya, sedangkan dasar pertanggung jawaban itu adalah adanya kehendak (iradah) dan pilihan (ikhtiar). Dengan demikian, sebab dari pembebasan hukuman tersebut
19
berkaitan dengan pribadi orang yang melakukannya, bukan dengan perbuatannya itu sendiri. Itulah sebabnya maka pelaku dibebaskan dari hukuman sedangkan perbuatannya tetap dilarang. Mengenai pertanggungjawaban perdata yang timbul akibat perbuatan tersebut tetap dikenakan kepada pelaku perbuatan tersebut, meskipun ia dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana, karena menurut aturan dan kaidah pokok dalam syariat Islam, jiwa dan harta itu dilindungi (ma'shum) oleh negara. Oleh karena itu, penyerangan terhadapnya dilarang dan alasan-alasan dari syara' tidak dapat menghapuskan hak perlindungan tersebut. Jarimah-jarimah yang termasuk dalam kelompok ketiga ini, antara lain seperti qazdaf (penuduhan zina), penghinaan, pencurian, merusak harta milik orang lain, zina, dan sebagainya. Muhammad Al-Khudhari Byk memberikan definisi paksaan sebagai berikut. 10
l b : < Sb I g S $ 50' I k B > q A % I .\S
Artinya: Paksaan adalah mendorong orang lain atas sesuatu yang tidak diridainya, baik berupa ucapan atau perbuatan.
Sebagian fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah, memberikan definisi sebagai berikut. "Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain, dan oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul
10
Muhammad Khudhari Byk, Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Fikri, cetakan VII, 1981, hlm. 105.
20
dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang kerelaannya.11 Sebagian fuqaha yang lain mengemukakan definisi sebagai berikut: paksaan adalah sesuatu yang ditimpakan kepada orang lain yang membahayakannya atau menyakitinya". Sebagian lagi berpendapat bahwa definisi paksaan, adalah paksaan adalah ancaman berupa hukuman segera dari orang yang memaksa yang mampu untuk melaksanakan paksaannya dan karenanya mempengaruhi orang berakal sehat untuk mengerjakan apa yang dipaksakan padanya serta timbul dugaan kuat pada dirinya bahwa ancaman tersebut akan benar-benar dikenakan padanya, apabila ia menolak apa yang dipaksakan kepadanya.12 Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa paksaan adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar ia melakukan apa yang diinginkan olehnya (pemaksa) dengan menggunakan ancaman. Sebagai akibat dari adanya ancaman tersebut, pihak yang dipaksa tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengerjakan apa yang diinginkan oleh pihak yang memaksa. Itulah sebabnya orang yang dipaksa kehilangan kerelaan (rida) dan pilihan (ikhtiar). 11 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islamy, Juz I, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, tth, hlm. 563. 12 Ibid., hlm. 563.
21
Tampaknya para fuqaha sama pandangannya bahwa semua jarimah dapat dipengaruhi oleh paksaan, kecuali jarimah pembunuhan dan penganiayaan berat. Kedua jarimah tersebut sangat berbahaya dan menyangkut keselamatan manusia, sedangkan memperlunak hukuman akan menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi masyarakat. Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jenis hukuman yang harus dijatuhkan kepada pelaku (orang yang dipaksa). Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad hukumannya adalah sama dengan pembunuhan sengaja, yaitu qishash, karena sudah cukup jelas dan tidak ada syubhat. Sedangkan menurut
ulama
Syafi'iyah
dan
Hanafiah,
sebagian
menyatakan
hukumannya adalah qishash dan sebagian lagi menyatakan hukumannya adalah diat. Alasan golongan kedua ini adalah karena adanya paksaan itu dianggap sebagai syubhat yang dapat menghapuskan hukuman qishash. Imam Abu Hanifah sendiri dan muridnya Imam Muhammad ibn Hasan, hanya menetapkan hukuman ta'zir.13 2). Mabuk Syariat
Islam
melarang
minuman
keras,
baik
sampai
mengakibatkan mabuk maupun tidak. Dalam kelompok jarimah, minuman keras (syurbul khamar) termasuk jarimah hudud yang ancamannya adalah delapan puluh kali cambukan. Kecuali Imam Abu Hanifah dan muridmuridnya, para ulama telah sepakat semua jenis minuman yang memabukkan, baik disebut khamar atau bukan, sedikit atau banyak, 13
Abd. Al-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'ala Al-Mazahib Al-Arba'ah, Juz V, Beirut: Dar AlFikr, hlm. 288-292.
22
hukumnya tetap dilarang dan peminumnya dikenakan hukuman. Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dalam hal ini harus dibedakan antara khamar dengan minuman keras yang lain. Untuk minuman khamar, sedikit atau banyak, baik mabuk atau tidak, tetap dihukum, sedangkan untuk minuman
keras
selain
khamar,
baru
dihukum
apabila
sampai
memabukkan. Bahan minuman khamar itu adalah perasan anggur yang direbus sampai kemudian hilang kurang dua pertiganya. Secara umum yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya. Menurut Imam Abu Hanifah, seorang dikatakan mabuk, apabila ia telah kehilangan akal pikirannya, baik banyak atau sedikit, ia tidak dapat membedakan antara langit dengan bumi, dan antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa orang mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau pada pembicaraannya. Pendapat ini juga merupakan pendapat imam-imam yang lain. Alasan mereka ini adalah firman Allah dalam Surah An-Nisaa' ayat 43.
$ .%0 W 5 7 r;D, 7< n l G & . . W S .$ s a&4 #c (up :t>&) B &W Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…(QS.An-Nisaa': 43).
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa orang yang tidak mengetahui apa yang dikatakannya berarti ia sedang mabuk. Adapun pertanggung jawaban
23
pidana bagi orang yang mabuk, menurut pendapat yang kuat (rajih) dari ulama mazhab yang empat, ia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang dilakukannya, apabila ia dipaksa atau terpaksa untuk minum atau ia meminumnya atas kehendak sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa yang diminumnya itu adalah khamar atau ia meminum-minuman keras untuk berobat, lalu ia mabuk. Orang yang sedang mabuk tersebut ketika ia melakukan perbuatannya, sedang hilang akal pikiran dan kesadarannya, sehingga dengan demikian maka hukumnya sama dengan orang gila. Akan tetapi, jika seseorang minum minuman keras karena kemauan sendiri dengan sengaja tanpa alasan, atau ia meminumnya sebagai obat yang sebenarnya tidak diperlukan kemudian ia mabuk, dalam hal ini ia harus bertanggung jawab atas setiap jarimah yang dilakukannya ketika ia mabuk. Hukuman tersebut diberikan kepadanya sebagai pengajaran, karena ia telah menghilangkan akalnya sendiri secara sengaja.14 Di samping pendapat yang kuat (rajih) tersebut, di kalangan ulama mazhab yang empat ada pendapat yang tidak kuat (marjuh) yaitu bahwa orang yang mabuk tidak dibebani pertanggungjawaban atas semua perbuatan jarimah yang dilakukannya, bagaimanapun terjadinya dan apa pun sebab mabuknya itu, karena pada saat itu akal pikirannya sedang hilang. Ini berarti orang yang mabuk tersebut tidak menyadari
14
A., Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 373
24
perbuatannya,
sedang
kesadaran
merupakan
dasar
adanya
pertanggungjawaban pidana.15 Mengenai pertanggungjawaban perdata orang yang mabuk tetap dikenakan, sebab jiwa dan harta orang lain tetap harus dijamin keselamatannya
dan
pembebasan
dari
hukuman
pidana
tidak
mempengaruhi hukuman perdata.
3). Gila Syariat Islam memandang seseorang sebagai orang mukallaf yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, apabila ia memiliki kemampuan berpikir dan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara ini tidak ada maka pertanggungjawaban menjadi terhapus. Kemampuan berpikir seseorang itu dapat hilang karena faktor bawaan sejak lahir atau karena adanya gangguan seperti sakit atau cacat fisik. Hilangnya kemampuan berpikir tersebut dalam bahasa sehari-hari disebut gila. Abdul Qadir Audah memberikan definisi gila sebagai berikut. "Gila adalah hilangnya akal, rusak, atau lemah".16 Definisi tersebut merupakan definisi yang umum dan luas, sehingga mencakup gila (junun), dungu (al-'ithu), dan semua jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan berpikir). Di bawah ini akan dijelaskan jenis-jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berpikir maupun sebagiannya. 15 16
Ibid., Abd al-Qadir Audah, op.cit, hlm. 564
25
1) Gila dan Keadaan-Keadaan Lain yang Sejenis a) Gila terus-menerus Gila terus-menerus adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat berpikir sama sekali, baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang datang kemudian. Di kalangan fuqaha gila semacam ini disebut dengan al-junun al-muthbaq. b) Gila berselang Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berpikir, tetapi tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya maka ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan apabila keadaan tersebut telah berlalu (hilang) maka ia dapat berpikir kembali seperti biasa. Pertanggungjawaban pidana pada gila terus-menerus hilang sama sekali, sedangkan pada gila berselang ia tetap dibebani pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat. c) Gila sebagian Gila sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap dapat berpikir. Dalam kondisi di mana ia masih dapat berpikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi
ketika
ia
tidak
pertanggungjawaban pidana. d) Dungu (Al-'Ithu)
dapat
berpikir,
ia
bebas
dari
26
Para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan definisi orang dungu (ma'tuh') sebagai berikut. "Orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian karena suatu penyakit".17 Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa dungu merupakan tingkatan gila yang paling rendah. Dengan demikian, dungu berbeda dengan gila, karena dungu hanya mengakibatkan lemahnya berpikir bukan menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan berpikir, sesuai dengan tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak sama kemampuan berpikirnya dengan orang biasa (normal). Menurut sebagian fuqaha kekuatan berpikir orang dungu sama dengan orang yang sudah mumayyiz. (lebih kurang berumur antara tujuh sampai lima belas tahun), sedang menurut sebagian yang lain sama dengan anak yang belum mumayyiz. Karena pemikirannya yang tidak stabil itu,
secara
umum
orang
yang
dungu
tidak
dibebani
pertanggungjawaban pidana. 2) Hukum Gila Pengaruh gila terhadap pertanggungjawaban pidana tidak sama, tergantung apakah gilanya itu menyertai jarimah atau sesudahnya. a) Hukum gila yang menyertai jarimah
17
Ibid.,
27
Apabila gila menyertai perbuatan jarimah (yaitu ketika melakukan jarimah pelaku sudah gila), maka pelakunya dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana, karena pada saat melakukan jarimah ia tidak mempunyai kekuatan berpikir. Keadaan gila ini tidak menjadikan suatu jarimah dibolehkan, melainkan hanya menghapuskan hukuman dari pelakunya. Ketentuan ini sudah merupakan kesepakatan para fuqaha dan juga para sarjana hukum positif. Dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan: (1) Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal. (2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.18 Akan tetapi pembebasan orang gila dari hukuman, tidak berarti ia dibebaskan juga dari pertanggungjawaban perdata, sebab harta benda dan jiwa orang lain dijamin keselamatannya oleh syara' dan alasan-alasan yang sah tidak dapat menghilangkan jaminan tersebut. Sebagaimana orang gila masih tetap memiliki harta benda, ia juga dapat dibebani pertanggungjawaban perdata, yaitu pertanggungjawaban yang berkaitan dengan harta. Meskipun para fuqaha sepakat mengenai adanya pertanggungjawaban perdata yang penuh atas orang gila sebagai akibat perbuatannya, namun mereka berbeda pendapat mengenai sejauh mana besarnya pertanggungjawaban tersebut dalam jarimah pembunuhan dan penganiayaan. Perbedaan tersebut berpangkal pada perbedaan pendapat mereka tentang kesengajaan orang gila, apakah dianggap sengaja dalam arti yang sesungguhnya atau dianggap sebagai kekeliruan semata-mata. Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad perbuatan sengaja dari orang gila itu termasuk tidak sengaja (khatha'), karena ia tidak mungkin melakukan perbuatan itu dengan niat yang sesungguhnya. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, perbuatan sengaja dari orang 18
M. Boediarto-K. Wantjik Saleh, op. cit., hlm. 23.
28
gila termasuk kesengajaan dan bukan kesalahan, karena gila itu hanya membebaskan hukuman, tetapi tidak mengubah sifat perbuatannya.19 Perbedaan pendapat tentang status perbuatan orang gila tersebut berpengaruh terhadap penggantian kerugian yang harus dipikulnya. Hal ini oleh karena diat pada jarimah sengaja adalah diat mughallazah (yang diperberat) dan harus ditanggung sendiri oleh pelaku, sedangkan diat pada jarimah tidak sengaja (khatha') adalah diat mukhaffafah (yang diperingan) dan ditanggung oleh keluarga ('aqilah) dan pelaku bersama-sama. b) Hukum gila yang datang kemudian Gila yang timbul setelah dilakukannya jarimah, adakalanya sebelum ada keputusan hakim dan adakalanya sesudahnya. (1) Gila sebelum keputusan hakim Menurut ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, gila yang timbul sebelum ada keputusan hakim tidak dapat menghalangi dan menghentikan pelaksanaan pemeriksaan pengadilan. Alasannya adalah karena adanya taklif (kecakapan bertindak) hanya disyaratkan pada waktu melakukan jarimah. Pandangan tersebut tidak berarti menghina atau meremehkan kedudukan orang gila, karena pemeriksaan pengadilan terhadap mereka yang melakukan jarimah disertai dengan jaminan-jaminan keadilan yang kuat. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh mereka barangkali lebih kuat jika dilihat dari segi logika dan kenyataan, karena seseorang yang telah melakukan suatu jarimah sudah sepantasnya dijatuhi hukuman. Kalau ia kemudian menjadi gila, hal itu tidak usah mencegah pemeriksaannya di pengadilan, selama masih ada jalan untuk mengadilinya. Hal ini oleh karena pengaruh gila hanya terbatas kepada ketidak-mampuannya sebagai tertuduh untuk membela dirinya, sedangkan menurut aturan hukum, ketidakmampuan tertuduh untuk membela diri tidak mengurangi atau mencegah pemeriksaan hakim. Orang bisu dan orang yang kehilangan suaranya setelah melakukan jarimah adalah juga orang-orang yang tidak mampu membela diri, akan tetapi mereka tetap dihadapkan ke muka pengadilan. Oleh karena itu, tidak perlu untuk membedakan orang-orang gila dengan orang-orang yang bisu. Akan tetapi ulama-ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat, bahwa kondisi gila yang terjadi sebelum ada keputusan hakim dapat menghentikan proses pemeriksaan pengadilan dan menundanya sampai keadaan gilanya itu hilang. Alasan mereka adalah bahwa untuk dijatuhkannya hukuman disyaratkan adanya taklif. Syarat ini harus terdapat 19
A., Hanafi, op.cit., hlm. 383.
29
pada waktu dilakukannya pemeriksaan. Dengan perkataan lain pada waktu diadili pelaku harus tetap menjadi orang mukallaf. Pendirian hukum pidana Mesir dan Perancis sama dengan pendirian fuqaha Malikiyah dan Hanafiyah, hanya saja alasannya yang berbeda. Menurut kedua hukum positif tersebut alasan dihentikannya peradilan orang gila adalah karena ketidakmampuannya untuk membela diri. Sedangkan alasan Malikiyah dan Hanafiyah adalah karena tidak adanya syarat untuk penjatuhan hukuman, yaitu taklif. Dalam Pasal 247 Undang-Undang Hukum Acara Pidana Mesir disebutkan: "Apabila tersangka tidak sanggup membela diri karena ada cacat pada akalnya maka ia tidak boleh diadili sampai kecerdasannya kembali kepada kondisi yang cukup untuk membela diri. Apabila ternyata dengan jelas ketidakmampuannya untuk membela diri di depan pengadilan maka pemeriksaan terhadap dirinya harus dihentikan, sesuai dengan alasan tersebut di atas. (2) Gila sesudah adanya keputusan hakim Apabila sesudah ada keputusan hakim orang yang terhukum menjadi gila maka menurut Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, pelaksanaan hukuman tidak dapat dihentikan, kecuali apabila jarimah adalah jarimah hudud, sedang pembuktiannya hanya dengan pengakuan terhukum semata-mata. Hal ini oleh karena dalam jarimah hudud terhukum (terdakwa) bisa menarik kembali pengakuannya, baik sebelum dilaksanakannya hukuman maupun sesudahnya. Apabila ia menarik kembali pengakuannya, pelaksanaan hukuman harus dihentikan, karena ada kemungkinan penarikan kembali pengakuannya itu benar-benar keluar dari hatinya dengan tulus. Bagi orang gila, karena ia telah terhalang oleh penyakitnya, sedang ia berhak untuk menarik kembali pengakuannya maka pelaksanaan hukuman harus dihentikan atau ditunda sampai sembuh. Apabila keputusan hakim didasarkan kepada bukti-bukti lain selain pengakuan seperti saksi maka pelaksanaan hukuman tetap harus dijalankan. Dasar pendapat ini adalah bahwa pertanggungjawaban pidana dan hukuman dikaitkan dengan waktu dilakukannya jarimah, bukan dengan keadaan sesudahnya atau sebelumnya. Imam Malik berpendapat bahwa keadaan gila dapat menunda pelaksanaan hukuman sampai terhukum sembuh dari gilanya, kecuali apabila hukumannya berupa qishash. Menurut sebagian Malikiyah, hukuman qishash menjadi gugur dan diganti dengan diat. Akan tetapi menurut sebagian yang lain, dalam keadaan harapan sembuh sangat kecil, keputusan terakhir diserahkan kepada keluarga korban. Apabila mereka
30
mengambil (melaksanakan) qishash, dan kalau tidak maka mereka boleh mengambil diat. Imam Abu Hanifah berpendapat apabila keadaan gila timbul setelah terhukum diserahkan untuk dilaksanakan hukumannya maka hukuman tersebut tidak boleh ditunda. Apabila hukumannya berupa qishash dan terhukum menjadi gila setelah diserahkan untuk dieksekusi, hukuman qishash diganti dengan diat dengan menggunakan istihsan. Pendirian tentang ditundanya hukuman untuk orang gila, didasarkan atas dua alasan. 1) Penjatuhan hukuman harus didasarkan atas adanya taklif pada diri terhukum dan hukuman tidak akan terjadi kecuali dengan proses pemeriksaan. Dengan demikian, syarat taklif (kecakapan) harus ada pada waktu pemeriksaan dan keputusan hukuman. 2) Pelaksanaan hukuman atau eksekusi termasuk kelanjutan dari proses peradilan. Apabila syarat taklif harus terdapat pada waktu dilakukannya pemeriksaan oleh hakim, syarat ini juga harus terdapat pada saat dilaksanakannya keputusan hakim, sedang dengan adanya gila maka taklif tersebut menjadi hapus.20
4). Di bawah umur Konsep
yang
dikemukakan
oleh
syari'at
Islam
tentang
pertanggungjawaban anak di bawah umur merupakan konsep yang sangat baik. Meskipun konsep tersebut telah lama usianya, namun konsep tersebut menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif. Hukum Romawi sebagai bentuk hukum positif yang paling maju pada masa turunnya syariat Islam dan yang menjadi dasar hukum-hukum Eropa modern, mengadakan pemisahan antara pertanggungjawaban anak di bawah umur dengan pertanggungjawaban orang dewasa dalam batas yang sangat sempit, yaitu usia tujuh tahun. Dengan demikian menurut hukum Romawi, apabila anak-anak telah mencapai umur tujuh tahun ke atas 20
Ibid., hlm. 387.
31
maka ia dibebani pertanggungjawaban pidana. Akan tetapi apabila seorang anak belum mencapai usia tersebut (tujuh tahun), ia tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana, kecuali kalau ketika melakukan jarimah ia mempunyai niatan untuk merugikan orang lain. Dalam hal yang terakhir ini, meskipun ia belum mencapai usia tujuh tahun, tetap dikenakan pertanggungjawaban pidana. Pandangan hukum Romawi mi tentu saja sangat jauh berbeda dengan konsep yang dibawa oleh syariat Islam. Menurut syariat Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Sehubungan dengan kedua dasar tersebut, maka kedudukan anak di bawah umur berbeda-beda sesuai dengan perbedaan masa yang dilaluinya dalam kehidupannya, semenjak ia dilahirkan sampai ia memiliki kedua perkara tersebut. Secara alamiah terdapat tiga masa yang dialami oleh setiap orang sejak ia dilahirkan sampai ia dewasa. 1) Masa Tidak Adanya Kemampuan Berpikir (Idrak) Masa ini dimulai sejak seseorang dilahirkan dan berakhir pada usia tujuh tahun. Pada masa tersebut seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan berpikir, dan ia disebut anak yang belum tamyiz. Sebenarnya tamyiz atau masa seseorang mulai bisa membedakan antara benar dan salah, tidak dibatasi dengan usia tertentu, karena tamyiz tersebut kadang-kadang bisa timbul sebelum
32
usia tujuh tahun dan kadang-kadang terlambat sesuai dengan perbedaan orang, lingkungan, kondisi kesehatan akal, dan mentalnya. Akan tetapi, para fuqaha berpedoman kepada usia dalam menentukan batas-batas tamyiz dan kemampuan berpikir, agar ketentuan tersebut bisa berlaku untuk semua orang, dengan berpegang kepada keadaan yang umum dan biasa terjadi pada anak. Pembatasan tersebut diperlukan untuk menghindari kekacauan hukum. Di
samping
itu
pembatasan
tamyiz
dengan
umur
memungkinkan kepada seorang hakim untuk mengetahui dengan mudah apakah syarat tersebut (kemampuan berpikir) sudah terdapat atau
belum,
sebab
dengan
usia
anak
lebih
mudah
untuk
mengetahuinya. Meskipun anak yang belum berusia tujuh tahun sudah menunjukkan kemampuan berpikir, bahkan mungkin melebihi anak yang sudah berumur tujuh tahun, namun ia tetap dianggap belum tamyiz, karena yang menjadi ukuran adalah kebanyakan orang dan bukan perorangan. Dengan demikian, seorang anak yang belum tamyiz, karena belum mencapai usia tujuh tahun, apabila ia melakukan suatu jarimah tidak dijatuhi hukuman, baik yang bersifat pidana maupun pendidikan. la tidak dikenakan hukuman had apabila ia melakukan" jarimah hudud dan tidak diqishash apabila ia melakukan jarimah qishash. Akan tetapi, pembebasan anak tersebut dari pertanggungjawaban pidana tidak menyebabkan ia dibebaskan dari pertanggungjawaban perdata
33
dari setiap jarimah yang dilakukannya. la tetap diwajibkan membayar ganti rugi yang dibebankan kepada harta miliknya, apabila tindakannya menimbulkan kerugian kepada orang lain, baik pada hartanya maupun jiwanya. 2) Masa Kemampuan Berpikir yang Lemah Masa ini dimulai sejak seorang anak memasuki usia tujuh tahun dan berakhir pada usia dewasa (balig). Kebanyakan fuqaha membatasi usia balig ini dengan lima belas tahun. Apabila seorang anak telah mencapai usia lima belas tahun maka ia sudah dianggap dewasa menurut ukuran hukum, meskipun mungkin saja ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya. Imam Abu Hanifah menetapkan usia dewasa dengan delapan belas tahun. Menurut satu riwayat sembilan belas tahun untuk laki-laki dan tujuh belas tahun untuk perempuan. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah.21 Pada periode yang kedua ini, seorang anak tidak dikenakan pertanggung-jawaban pidana atas jarimah-jarimah yang dilakukan baik jarimah hudud, qishash, maupun ta'zir. Akan tetapi, ia dapat dikenakan hukuman pengajaran (ta'dibiyah). Pengajaran ini meskipun sebenarnya berupa hukuman juga, akan tetapi tetap dianggap sebagai hukuman pengajaran dan bukan hukuman pidana. Oleh karena itu, apabila anak tersebut berkali-kali melakukan jarimah dan berkali-kali
21
Ibid., hlm. 370.
34
pula dijatuhi pengajaran, namun ia tidak dianggap sebagai recidivis atau pengulang kejahatan. Untuk pertanggungjawaban perdata ia tetap dikenakan, meskipun ia dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana, apabila perbuatannya merugikan orang lain, baik hartanya maupun jiwanya. Karena harta dan jiwa dijamin keselamatannya oleh syara' dan alasan-alasan yang sah tidak dapat menghapuskan jaminan tersebut. 3) Masa Kemampuan Berpikir Penuh Masa ini dimulai sejak seorang anak mencapai usia dewasa, yaitu usia lima belas tahun menurut kebanyakan fuqaha atau delapan belas tahun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari mazhab Maliki. Pada periode ini seorang anak dikenakan pertanggungjawaban pidana atas semua jarimah yang dilakukannya, apapun jenis dan macamnya. Pada umumnya hukum positif sama pendiriannya dengan syariat Islam, yaitu mengadakan perbedaan pertanggungjawaban pidana menurut perbedaan umur anak-anak di bawah umur. Di samping itu dalam hukum positif, juga anak-anak di bawah umur dikenakan pertanggungjawaban perdata, baik dijatuhi hukuman pidana atau tidak. Hal itu disebabkan karena tidak ada pertentangan antara dibebaskannya dari hukuman karena belum mencapai usia tertentu dengan keharusan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat perbuatannya.
35
D. Akibat-Akibat Hukum dari Daluwarsa Penuntutan Yang dimaksud dengan daluwarsa ialah berlakunya sesuatu waktu tertentu atas keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut. Dengan berlakunya masa tersebut maka pelaksanaan hukuman menjadi terhalang. Di kalangan fuqaha masih diperselisihkan, apakah daluwarsa dapat menghapuskan hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan fuqaha, tidak menghapuskan. Bagi fuqaha yang memakai prinsip daluwarsa tersebut tidak menganggapnya sebagai faktor pembatalan hukuman bagi seluruh jarimah. 22 Dalam hal ini ada dua teori. Teori pertama, dari Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad. Menurut teori tersebut sesuatu hukuman atau jarimah tidak gugur,
bagaimanapun juga
lamanya hukuman atau jarimah tersebut tanpa dilaksanakan atau diadili, selama bukan berupa hukuman atau jarimah ta'zir, sebab terhadap hukuman dan jarimah tersebut berlaku prinsip daluwarsa apabila dipandang perlu oleh penguasa negara untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dasar teori tersebut ialah bahwa pada aturan-aturan dan nas-nas syari'at Islam tidak ada hal-hal yang menunjukkan hapusnya hukuman jarimah-jarimah hudud dan qisas-diyat dengan berlakunya masa tertentu. Penguasa negara juga tidak bisa mengampuni atau menggugatkan hukuman tersebut. Kalau tidak ada nas yang menghapuskan, maka artinya tidak bisa hapus dengan adanya daluwarsa.
22
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm.
349.
36
Mengenai jarimah-jarimah ta'zir, maka penerapan aturan-aturannya yang umum mengharuskan berlakunya prinsip daluwarsa, karena penguasa negara
bisa
memaafkan
jarimah
ta'zir
dan
hukumannya,
artinya
memaafkannya dengan segera. Kalau ia bisa memaafkan dengan segera, maka ia juga bisa menggantungkan gugurnya hukuman kepada berlakunya masa tertentu, kalau dengan tindakannya itu bisa diwujudkan kepentingan umum. Teori kedua, berasal dari Imam Abu Hanifah beserta murid-muridnya. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan pendapat teori pertama, yaitu mengakui adanya prinsip daluwarsa untuk jarimah-jarimah ta'zir, jarimahjarimah qisas-diyat dan satu jarimah hudud, yaitu memfitnah (qadzaf). Menurut Zufar, murid Imam Abu Hanifah, untuk semua hukuman hudud juga tidak berlaku prinsip tersebut, yang berarti sama dengan teori pertama.23 Akan tetapi imam Abu Hanifah sendiri mengakui adanya prinsip daluwarsa untuk jarimah-jarimah hudud selain jarimah memfitnah. Meskipun demikian, ia mengadakan pemisahan, apakah bukti-bukti penetapan jarimahjarimah hudud tersebut berupa saksi-saksi ataukah berupa pengakuan pembuat. Kalau alat-alat bukti berupa saksi-saksi, maka hukuman bisa hapus dengan daluwarsa. Tetapi kalau alat-alat bukti berupa pengakuan pembuat, maka daluwarsa tidak berlaku, kecuali untuk jarimah minum-minuman keras. Pemisahan tersebut didasarkan atas pendapatnya tentang persaksian dalam hudud dan pengaduan korban dalam jarimah qadzaf. Jarimah hudud yang ditetapkan berdasarkan persaksian mengalami daluwarsa, karena
23
Ibid.
37
persaksian itu bisa mengalami daluwarsa, artinya kalau persaksian itu diberikan sesudah lewat masa tertentu, maka persaksian tersebut, tidak dapat diterima. Pada dasarnya setiap orang bisa memberikan persaksiannya seketika mengenai terjadinya jarimah hudud. Akan tetapi kalau ia tidak memberikan persaksiannya pada saat itu, maka ada kalanya karena ia tidak ingin mengorek-ngorek keburukan orang lain, kecuali kalau ada halangan benarbenar. Kalau sesudah itu ia memberikan persaksian, maka hal ini menimbulkan dugaan bahwa ia mempunyai kebencian terhadap orang lain tersebut. Oleh karena kebencian itu adalah sesuatu yang tidak nampak dan sukar dibuktikan dalam semua keadaan, maka daluwarsa ditempatkan sebagai gantinya. Berdasarkan ini maka semua persaksian tidak dapat diterima dengan adanya daluwarsa, meskipun boleh jadi tidak ada perasaan terhadap diri saksi itu. Mengenai jarimah memfitnah (qadzaf) maka tidak ada daluwarsa, karena dalam jarimah ini pengaduan korban menjadi syarat adanya tuntutan fihak penguasa. Jadi saksi tidak dapat memberikan keterangannya sebelum ada pengaduan tersebut, sedang untuk jarimah lain tidak diperlukan. Kalau imam Abu Hanifah sudah mengakui adanya daluwarsa untuk jarimah (dituntutnya jarimah), maka ia menerapkan pula prinsip tersebut untuk hukumannya, karena menurut mereka pelaksanaan hukuman termasuk dalam pemeriksaan pengadilan, artinya pelaksanaan hukuman menjadi
38
penyempurna pengadilan. Jadi pada jarimah disyaratkan tidak boleh daluwarsa, maka syarat ini juga berlaku pada pelaksanaan hukumannya. Imam Abu Hanifah sendiri tidak menentukan batas masa daluwarsa dan hal ini diserahkan kepada hakim dengan menimbang pada keadaan yang berbeda-beda. Menurut Muhammad, murid imam Abu Hanifah, masa tersebut adalah enam bulan. Menurut pendapat lain, adalah sebulan. Dengan demikian maka penguasa negara bisa membuat batas masa daluwarsa dan menolak setiap keterangan (persaksian) yang diberikan sesudah lewat masa tersebut, jika alat-alat buktinya berupa persaksian. Ringkasnya, menurut imam Abu Hanifah hukuman jarimah ta'zir bisa hapus dengan daluwarsa, bagaimanapun juga alat buktinya. Hukuman jarimah hudud selain jarimah memfitnah bisa hapus dengan daluwarsa apabila alat buktinya berupa persaksian. Jika alat buktinya berupa pengakuan maka hukuman tersebut tidak hapus, kecuali minum-minuman keras maka bisa hapus.
BAB III HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM KUHP
A. Pengertian Daluwarsa dan Dasar Hukum Daluwarsa adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam perspektif KUHP bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa.1 Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana hapus karena daluwarsa…2 Dasar dari ketentuan tersebut sama dengan dasar dari ketentuan pasal 76 ayat (1) tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi setiap kasus pidana, agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman hidupnya diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara, pada suatu waktu gangguan seperti itu harus diakhiri. Orang yang berdosa karena melakukan tindak pidana, untuk menghindari penuntutan oleh negara, mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang,
1 E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 426. 2 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 33.
39
40
bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat ketidaktenangan hidupnya. Ketidaktenangan hidup yang sekian lama sebelum masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa, yang tidak berbeda dengan penderitaan akibat menjalani suatu pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.3 Selain alasan untuk kepastian hukum, prinsip lewatnya waktu ini, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materiele waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. .Pengungkapan peristiwa itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan.4 Satu hal lagi yang penting, ialah dengan lewatnya waktu penderitaan batin, baik bagi korban dan keluarganya maupun masyarakat sebagai akibat dari suatu tindak pidana akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan 3 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 173. 4 Ibid., hlm. 174.
41
lenyap atau lupa dari ingatan. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak penting lagi untuk mengungkap suatu kasus yang sudah dilupakan oleh masyarakat. Walaupun zaman modern sekarang teori pembalasan dinilai oleh banyak kalangan sudah kuno, namun masih menjadi bahan pertimbangan hukum.5 Dasar hukum hapusnya hak menuntut pidana karena daluwarsa diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 81 KUHP. B. Macam-Macam Tindak Pidana Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut. 1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III. Penggolongan jenis-jenis delik di dalam KUHP, terdiri atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Penggolongan untuk kejahatan disusun di dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun di dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas. Risalah penjelasan undang-undang (Mvt) yang terdapat di negeri Belanda membuat ukuran kejahatan dan pelanggaran itu atas dasar teoritis bahwa kejahatan adalah "rechtdelicten", sedangkan pelanggaran adalah "wetsdelicten." Ilmu pengetahuan kemudian menjelaskan bahwa
5
E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 427.
42
rechtsdelicten merupakan perbuatan dalam keinsyafan batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan tidak adil dan di samping itu juga sebagai perbuatan tidak adil menurut undang-undang, sedangkan wetsdelicten merupakan perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia tidak dirasakan sebagai perbuatan tidak adil, tetapi baru dirasakan sebagai perbuatan terlarang karena undang-undang mengancam dengan pidana.6 Andaikata belum dilarang oleh Undang-undang, akan tetapi oleh masyarakat telah dirasakan sebagai suatu perbuatan yang "onrecht" maka di situ terdapat rechtdelicten sebagai kejahatan, misalnya pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya. Sebaliknya bagi perbuatan yang oleh karena dilarang dan diancam dengan pidana menurut ketentuan undangundang itu, barulah perbuatan itu bertentangan dengan "wet", karena masyarakat sebelumnya tidak menganggap demikian, misalnya larangan dengan rambu-rambu lalu lintas, peraturan lalu lintas untuk memakai jalan di jalur sebelah kiri bagi pengendara dan lain sebagainya.7 2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten); 3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten); 4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif
dapat
juga
disebut
tindak
pidana
komisi
(delicta
6
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1983,
7
Ibid., hlm. 96.
hlm. 95
43
commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis); 5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus; 6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus; 7. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu); 8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten); 9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten); 10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya;
44
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten);8 Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan (Pasal 160 KUHP), dimuka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan terhadap kepada satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (Pasal 156 KUHP); penyuapan (Pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (Pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP); pencurian (Pasal 362 KUHP). Delik materiil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (Pasal 187 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan delik materiil tidak tajam misalnya Pasal 362. Delik Commissioms, delik omissionis dan delik comnussionis peromissionem commissa. Delik commissionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan. penipuan. Delik omissionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan yang
8
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, op.cit., hlm. 121
45
diharuskan, misal: tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal 22 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531). Delik commissionis per omissionen commissa: delik yang berupa pelanggaran larangan (dus delik commissionisl, akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194 KUHP). Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten). Delik dolus ; delik yang memuat unsur kesengajaan. misal: Pasal-Pasal 187, 197, 245, 263,310,338 KUHP. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : Pasal-Pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan Pasal 359, 360 KUHP. Delik tunggal dan delik berganda (enkelvoudige en samengestelde delicten). Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali. Delik berganda : delik yang bani merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : Pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan).9 Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus (voordurende en niet voortdurende/ aflopende delicten). Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal; merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP). Delik aduan dan, bukan delik aduan : (klachtdelicten en niet klacht delicten). Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila
9
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 57
46
ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij). Misal penghinaan (Pasal 310 dst. yo. 319 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP yo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya sebagai: delik aduan yang absolut, ialah mis: Pasal 284, 310, 332. Delik.-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasar kan pengaduan. Delik aduan yang relatif ialah mis. : Pasal 367. Disebut relatif, karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena. Catatan : perlu dibedakan antara aduan dan gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal. : A menggugat B di muka Pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada polisi atau Jaksa. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya (eenvoudige dan gequalificeerde delicten). Delik yang ada pemberatannya, misal. : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (Pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal. : pembunuhan kanak-kanak (Pasal 341 KUHP) Delik ini disebut "geprivilegeerd delict". Delik sederhana; misal. : penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP).10
10
Ibid., hlm. 58.
47
C. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana Kata "tindak pidana" merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda "straafbaarfeit", namun pembentuk undang-undang di Indonesia tidak menjelaskan secara rinci mengenai "straafbaarfeit".11 Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.12 Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang ia maksud dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut., misalnya perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatanperbuatan yang dapat dihukum, hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman serta tindak pidana.13
11
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 5. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984,
12
hlm. 172. 13
K. Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007,
hlm. 15.
48
Dalam
hubungan
ini,
Satochid
Kartanegara
lebih
condong
menggunakan istilah “delict” yang telah lazim dipakai.14 R. Tresna menggunakan istilah "peristiwa pidana".15 Sudarto menggunakan istilah "tindak pidana",16 demikian pula Wirjono Projodikoro menggunakan istilah "tindak pidana" yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.17 Akan tetapi Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.18 Dalam hubungannya dengan hapusnya hak penuntutan pidana, bahwa KUHP memuat 4 (empat) hal yang menyebabkan negara kehilangan hak untuk menuntut pidana terhadap si pembuat tindak pidana, yaitu: 1. Sebab perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 76); 2. Sebab meninggalnya si pembuat (pasal 77); 3. Sebab telah lampau waktu atau kadaluwarsa (pasal 78-80); 4. Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda maksimum dan biaya-biaya bila penuntutan telah dimulai (pasal 82: bagi pelanggaran yang hanya diancam pidana denda).
14 Satochid Kartanegara, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 74. 15 R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara Limit, t.th, hlm. 27. 16 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990, hlm. 38. 17 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT Eresco, 1986, hlm. 55. 18 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 54.
49
D. Hapusnya Hak Penuntutan Pidana karena Daluwarsa Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu pelaku tindak pidana untuk menjadi tidak dapat dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini bergantung dari berat ringannya pidana yang diancamkan pada tindak pidana yang diperbuat. Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), yang menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewat waktu, yakni: a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun; b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggitingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.
Sedangkan untuk pelaku anak-anak yang pada saat melakukan tindak pidana umurnya belum delapan belas tahun, menurut ayat (2) maka tenggang daluwarsa hapusnya penuntutan pidana adalah dikurangi sepertiga dari ketentuan pada ayat pertamanya. Menetapkan lamanya tenggang daluwarsa untuk peniadaan penuntutan pidana yang didasarkan pada berat ringannya ancaman pidana atau berat ringannya tindak pidana yang diperbuat, adalah bertitik tolak dari pandangan bahwa semakin berat atau besar tindak pidana yang diperbuat akan semakin lama ingatan orang atau masyarakat terhadap kejadian itu, yang juga artinya ialah lamanya penderitaan yang dirasakan orang dan atau masyarakat sebagai akibat dari diperbuatnya tindak pidana bergantung dari berat ringannya macam dan jenis tindak pidana yang diperbuat orang. Semakin berat tindak
50
pidana diperbuat akan semakin lama rasa penderitaan yang dibawa oleh orang atau masyarakat sebagai akibat dari diperbuatnya tindak pidana.19 Apabila tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana diperbandingkan
dengan
tenggang
daluwarsa
hapusnya
kewenangan
menjalankan pidana (pasal 84), maka jelas lamanya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana ini lebih pendek. Perbedaan itu adalah wajar dan logis, sebab pada lamanya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menjalankan pidana si pembuat telah secara pasti (kepastian hukum) bersalah dan telah dijatuhinya pidana oleh pengadilan. Sedangkan pada tenggang daluwarsa hapusnya hak penuntutan pidana, si pembuat belum dinyatakan bersalah dengan jatuhnya suatu putusan pemidanaan oleh pengadilan. Berhubung adanya pemberatan pidana (misalnya pengulangan) maupun pengurangan pidana (misalnya pembuat belum berumur 18 tahun), maka timbul kesulitan untuk menentukan apakah suatu kejahatan itu diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau lebih dari 3 tahun. Dengan kata lain dalam hal untuk menentukan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun atau lebih dari 3 tahun, apakah pemberatan pidana maupun pengurangan pidana ikut diperhitungkan ataukah tidak perlu diperhitungkan? Misalnya kejahatan pasal 380 KUHP yang diancam pidana penjara 2 tahun 8 bulan, yang apabila terjadi pengulangan maka ancaman pidananya ditambah dengan sepertiganya atau menjadi 3 tahun 6 bulan dan 19 hari. Kesulitannya ialah 19
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 173, hlm. 176.
51
untuk menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana pada pengulangan pasal 380 ini, apakah berpedoman pada ancaman pidana tanpa memperhatikan pemberatan karena pengulangan (2 tahun 8 bulan) ataukah memperhitungkan juga pemberatan pada pengulangannya (ditambah sepertiganya) sehingga ancaman pidananya menjadi 3 tahun 6 bulan dan 19 hari? Dengan demikian tenggang daluwarsanya tidak sesudah 6 tahun, tetapi sesudah 12 tahun. Undang-undang tidak memberikan petunjuk mengenai persoalan ini. Mengenai persoalan ini ada 2 pendapat yang saling bertentangan, yaitu: a. Pendapat pertama, Noyon, Van Hattum dan Hazewinkel Suringa menyatakan bahwa dalam hal menentukan suatu kejahatan diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau lebih dari tiga tahun, tidaklah perlu memperhatikan pemberatan pidana ataupun pengurangan pidana, yang harus diperhatikan hanyalah sanksi pidana yang diancamkan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan b. Pendapat kedua, sebaliknya seperti Jonkers menyatakan bahwa tenggang daluwarsa itu adalah didasarkan pada ancaman pidana maksimum tindak pidana yang pada kenyataannya diperbuat, oleh karena itu keadaan obyektif maupun subyektif yang memberatkan pidana atau meringankan pidana juga harus diperhitungkan dalam hal menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana.20
20
Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, Terj. Tim Penerjemah Bina Aksara, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987, hlm. 238
52
Adami Chazawi lebih condong pada pendapat kedua, dengan alasan berikut. Berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada penjelasan ataupun keterangan dalam Undang-undang dalam hal memperhitungkan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana terhadap pemberatan ataupun peringanan pidana pada kejahatan. Sedangkan menurut pasal 86 KUHP di mana menyatakan bahwa apabila disebut kejahatan maka disitu termasuk percobaannya dan pembantuan, kecuali ditentukan lain, yang artinya Undang-undang hanya memberi penjelasan tentang memperhitungkan tenggang
daluwarsa
hapusnya
kewenangan
penuntutan
pidana
bagi
pembantuan kejahatan dan percobaan kejahatan adalah disamakan dengan si pembuat dan si pembuat kejahatan selesai. Oleh karena itu di luar apa yang diterangkan oleh pasal 86 KUHP (in casu pemberat pidana dan peringan pidana pada kejahatan) tetap diperhitungkan dalam hal menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana. Sebab apabila maksud pembentuk Undang-undang agar tidak diperhitungkan terhadap pemberatan dan atau peringanan pidana, tentulah diberikan keterangan sebagaimana halnya bagi pembantuan kejahatan dan percobaan kejahatan seperti pada pasal 86 KUHP tersebut.21 Sedangkan sejak kapan berlakunya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana itu, ditetapkan secara umum (pasal 79 KUHP), yaitu pada hari sesudah dilakukannya perbuatan, kecuali dalam tiga hal, yaitu:
21
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 176
53
a. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, adalah pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak itu digunakan; b. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal: 328, 329, 330 dan 333 KUHP, dimulainya adalah pada hari sesudah orang yang langsung terkena kejahatan (korban) dibebaskan atau meninggal dunia; c. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 KUHP sampai dengan pasal 558a KUHP, adalah dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu telah disampaikan/diserahkan pada Panitera Pengadilan yang bersangkutan.22 Berjalannya waktu penghitungan lamanya tenggang daluwarsa, dapat dihentikan oleh adanya tindakan penuntutan, asalkan penuntutan ini diketahui oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan Undang-undang. Setelah jalannya tenggang daluwarsa dihentikan oleh adanya penuntutan ini, maka dimulainya lagi tenggang daluwarsa yang baru (pasal 80 KUHP). Yang dimaksud dengan tindakan penuntutan adalah tindakan Pejabat Penuntut Umum yang menyerahkan berkas perkara Pidana ke Pengadilan yang disertai dengan permintaan agar perkara itu diperiksa dan diputus (pasal 1 ayat 7 KUHAP). Jadi terbitnya hitungan hari penuntutan ialah pada hari di mana Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyerahkan (berkas) perkara yang bersangkutan ke Pengadilan yang berkompetensi. Tindakan Penyidik melakukan penyidikan tidak termasuk pengertian penuntutan, dan oleh karenanya tindakan penyidikan tidak menghentikan berjalannya proses tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana. Disamping proses berjalannya tenggang daluwarsa dapat dihentikan (dengan tindakan penuntutan), berjalannya tenggang daluwarsa dapat pula
22
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, hlm.35
54
tertunda berhubung dengan adanya penundaan (schorsing) penuntutan, yakni apabila terjadi "perselisihan yang harus diputuskan lebih dahulu"/pra-yudisial (pasal 81 KUHP). Tertundanya proses berjalannya tenggang daluwarsa karena adanya penundaan penuntutan berhubung adanya perselisihan pra-yudisial (perselisihan yang harus diputuskan lebih dahulu) berbeda dengan penghentian berjalannya tenggang daluwarsa karena penuntutan pidana.23 Perbedaan itu ialah, pada penghentian tenggang daluwarsa karena adanya penuntutan, maka setelah tenggang waktu itu dihentikan akan dimulai penghitungan yang baru lagi, tanpa memperhitungkan lamanya waktu sebelum tenggang daluwarsa dihentikan, artinya waktu yang berjalan sebelum penuntutan dihentikan tidak diperhitungkan lagi. Misalnya A melakukan pencurian tanggal 1 Januari 2001, pada tanggal 2 Januari mulai berjalan hari pertama penghitungan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana. Pada tanggal 30 Juni 2001 (berkas) perkara yang bersangkutan oleh Jaksa P.U dilimpahkan ke Pengadilan yang berwenang, maka terhentilah penghitungan tenggang daluwarsa pada tanggal 30 Juni 2001. Penghitungan tenggang daluwarsanya mulai hari pertama lagi pada keesokan harinya tanggal 1 Juli 2001. Tetapi pada tertundanya jalan tenggang daluwarsa karena schorsing penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, jalan proses tenggang daluwarsa tersebut dihentikan sementara yang setelah perselisihan pra-yudisial itu diselesaikan, maka penghitungan tenggang daluwarsa 23
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 177.
55
dilanjutkan lagi, yang artinya lamanya tenggang daluwarsa sebelum terhenti juga turut dihitung. Misalnya pada contoh diatas tadi, berhubung adanya perselisihan pra-yudisial di mana terdakwa mendalilkan barang yang diambilnya itu adalah miliknya sendiri karena telah dibelinya dari si pelapor, maka Majelis Hakim melakukan tindakan schorsing penuntutan pada tanggal 1 Qktober 2001 (sebelumnya tenggang daluwarsa telah berjalan sejak tanggal 1 Juli = 3 bulan). Kemudian, berhubung telah adanya putusan perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap tentang kepemilikan obyek barang yang dalam dakwaan telah dicuri oleh A, maka schorsing penuntutan dicabut dengan dibukanya persidangan kembali pada tanggal 30 Desember 2001. Dengan demikian penghitungan pada tanggal 30 Desember 2001 jalannya tenggang daluwarsa dilanjutkan lagi dengan tetap menghitung masa 3 bulan tenggang daluwarsa yang tertunda dahulu.24 Penundaan penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, maksudnya adalah tindakan penghentian sementara pemeriksaan suatu perkara pidana oleh Majelis Hakim yang memeriksa berhubung diperlukan adanya putusan Majelis perkara yang lain yang sangat penting dan menentukan dalam hal memutus perkara yang dischorsing tersebut. Jonkers memberi contoh seorang dituntut (diajukan ke sidang pengadilan) dengan didakwa melakukan pencurian suatu barang milik orang lain. Tetapi di persidangan dia memberikan keterangan bahwa barang itu adalah miliknya sendiri.25
24
Ibid., hlm. 177. Jonkers, op.cit., hlm. 243.
25
56
Apabila tentang kepemilikan ini terdapat kesukaran dalam hal pembuktiannya, karena Majelis Hakim pidana tidak dibenarkan menetapkan tentang kepemilikan dari barang ini, maka Majelis melakukan tindakan penghentian sementara penuntutan, dan meminta pada orang itu mengajukan gugatan perdata untuk menentukan milik siapa barang yang menurut dakwaan diambil oleh Terdakwa tersebut. Disini telah terjadi keadaan yang disebut perselisihan pra-yudisial sebagaimana contoh tersebut diatas. Penghitungan tenggang daluwarsa schorsing oleh sebab adanya perselisihan pra-yudisial, tidak saja disebabkan oleh pentingnya suatu putusan perkara perdata yang menentukan terhadap putusan perkara pidana yang dischorsing, tetapi juga dapat terjadi dalam hal diperlukannya putusan lain dari hakim perkara pidana. Misalnya Jaksa P.U telah membawa seseorang ke Pengadilan dengan mendakwanya "telah menggunakan surat palsu atau dipalsu" (263 ayat 2), sementara ternyata bahwa terhadap orang yang diduga membuat surat palsu atau memalsu surat itu diperiksa oleh Majelis Hakim yang lain, dengan maksud menghindari adanya dua putusan yang saling bertentangan dalam hal pokok perkaranya ada hubungan yang sangat erat, maka Majelis Hakim yang memeriksa dakwaan menggunakan surat palsu atau dipalsu tadi, perlu mengambil tindakan schorsing penuntutan pidana, dengan menghentikan pemeriksaan perkara itu sampai adanya putusan perkara dengan dakwaan membuat surat palsu atau memalsu surat tadi mempunyai kekuatan hukum tetap.
57
Contoh lainnya ialah pasal 314 ayat (3), yang menyatakan bahwa: "Jika terhadap yang dihina telah dimulai penuntutan pidana karena hal yang dituduhkan padanya, maka penuntutan karena fitnah dihentikan sampai mendapat putusan yang menjadi tetap tentang hal yang dituduhkan". Konkritnya pada contoh demikian, A menuduh B telah melakukan perzinaan (284) dengan istrinya, dan untuk itu A telah mengajukan pengaduan atas kasus itu pada Polisi. Dengan pengaduan yang dilakukan oleh A itu, B merasa terhina dan juga melakukan laporan pada Polisi bahwa dia difitnah (311 jo 310) oleh A. Ketika A dituntut dengan didakwa memfitnah (311 jo 310) ke pengadilan, yang ternyata B telah dituntut pula dengan didakwa melakukan zina (284), maka Majelis Hakim perkara A melakukan schorsing penuntutan pidana, menunggu perkara B diputus dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan telah mendapatkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Majelis Hakim perkara A mencabut schorsing penuntutan dengan membuka sidang kembali. Apabila isi putusan perkara B dia dipidana karena salahnya melakukan tindak pidana zina (284), maka putusan itu dijadikan dasar oleh Majelis Hakim perkara A untuk membebaskan A, dan sebaliknya apabila B dibebaskan - artinya apa yang dituduhkan oleh A tidak terbukti, maka dengan putusan pembebasan itu akan digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana terhadap A. E. Dampak dari Daluwarsa Penuntutan Dampak dari lewatnya suatu waktu, maka suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang tidak bisa dituntut. Dengan demikian pelaku tindak
58
pidana tidak bisa seret ke meja hijau sehingga pelaku sudah dapat bergerak bebas. Tindak pidana yang telah dilakukan tidak lagi diusut atau diproses. Dampak hapusnya penuntutan ini didasari atas pertimbangan bahwa pelaku selama hidupnya yang ada dalam persembunyian dengan keterbatasan ruang gerak dan kemerdekaan, sudah menjadi indikasi hukuman atas perbuatannya. Pertimbangan lain bahwa jika tindak pidana itu dituntut maka para penegak hukuman akan mengalami kesulitan dalam mencari dan merekam keseluruhan alat bukti. Pelaku pun sudah sulit dimintai keterangan secara jelas dan benar karena boleh jadi sudah banyak lupa dengan peristiwa itu.26 Tindak pidana yang telah dilakukan seseorang menjadi tidak dapat dituntut karena daluwarsa sudah tentu ada ukuran waktunya. Dalam ketentuan pasal 78 ayat (1), yang menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewat waktu, yakni: untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun. Sedangkan untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun. Untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.
26
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 173, hlm. 176.
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PENENTUAN HAPUSNYA PENUNTUTAN PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM KUHP
A. Konsep Penentuan Daluwarsa Penuntutan dalam KUHP Meskipun setiap orang yang melakukan tindak pidana harus dituntut, namun jika orang yang melakukan tindak pidana misalnya melarikan diri dan polisi belum mampu melacak keberadaan orang itu sehingga dalam sekian tahun orang itu tidak dapat ditangkap, selama itu jika sudah daluwarsa menuntut pidana, maka hapusnya hak penuntutan pidana terhadap orang itu. Dengan kata lain menurut E.Y. Kanter dan Sianturi bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa.1 Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana hapus karena daluwarsa…2 Hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewatnya waktu (78 ayat 1). Dasar dari ketentuan ini sama dengan dasar dari ketentuan pasal 76 ayat (1) tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi setiap kasus pidana, agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman hidupnya 1 E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 426. 2 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 33.
59
60
diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara, pada suatu waktu gangguan seperti itu harus diakhiri. Orang yang berdosa karena melakukan tindak pidana, untuk menghindari penuntutan oleh negara, mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang, bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat ketidaktenangan hidupnya. Ketidaktenangan hidup yang sekian lama sebelum masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa, yang tidak berbeda dengan pënderitaan akibat menjalani suatu pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.3 Selain alasan untuk kepastian hukum, prinsip lewatnya waktu ini, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materiele waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. Pengungkapan peristiwa itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan Undang-undang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak
3
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 173.
61
ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan.4 Satu hal lagi yang penting, ialah dengan lewatnya waktu penderitaan batin, baik bagi korban dan keluarganya maupun masyarakat sebagai akibat dari suatu tindak pidana akan semakin berkurang yang pada akhirnya akan lenyap atau lupa dari ingatan. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak penting lagi untuk mengungkap suatu kasus yang sudah dilupa oleh masyarakat. Walaupun zaman modern sekarang teori pembalasan dinilai oleh banyak kalangan sudah kuno, namun pada kenyataannya kepuasan korban dan masyarakat atas pidana yang-dijatuhkan pengadilan tidak dapat terlepas dari berat ringannya (setimpal) dari kesalahan dan berat ringannya tindak pidana yang dilakukannya.5 Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu seseorang pembuat tindak pidana untuk menjadi tidak dapat dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini bergantung dari berat ringannya pidana yang diancamkan pada tindak pidana yang diperbuat. Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), yang menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi gugur dalam tenggang waktu, yakni: a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun; b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan 4
Ibid., hlm. 174. E.Y. Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni, 1982, hlm. 427. 5
62
d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggitingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.
B. Analisis Hukum Islam terhadap Penerapan Penentuan Daluwarsa Penuntutan dalam KUHP Dilihat dari hukuman yang telah ditetapkan atau tidak oleh syara', jarimah dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, jarimah hudud yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan baik bentuk maupun jumlahnya oleh syara'. la menjadi hak Tuhan; hakim tidak mempunyai kewenangan untuk mempertinggi atau memperendah hukuman bila si pelaku telah terbukti melakukan jarimah tersebut. Jarimah yang termasuk jarimah hudud adalah jarimah zina, menuduh zina, minum-minuman keras, mencuri, merampok, keluar dari Islam dan memberontak. Kedua, jarimah qisas yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan oleh syara', namun ada perbedaan dengan jarimah hudud dalam hal pengampunan. Pada jarimah qisas, hukuman bisa berpindah kepada al-diyat (denda) atau bahkan bebas dari hukuman, apabila korban atau wali korban memaafkan pelaku. Perbuatan yang termasuk dalam jarimah qisas adalah pembunuhan dan pelukaan. Pembunuhan terbagi kepada tiga, yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan kekeliruan. Sedangkan pelukaan terbagi menjadi dua, yaitu: pelukaan sengaja dan kekeliruan. Ketiga, jarimah ta'zir yaitu jarimah yang hukuman-nya tidak ditetapkan baik bentuk maupun
63
jumlahnya oleh syara', melainkan diberikan kepada negara kewenangannya untuk menetapkannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.6 Pembagian jarimah seperti tersebut di atas tentunya mempunyai tujuan. Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari syariat sebagai berikut.7 1. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syariat. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban di manamana. Kelima kebutuhan hidup yang primer ini (dharuriyat), dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-maqasid al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik. Syariat telah menetapkan pemenuhan, kemajuan, dan perlindungan tiap kebutuhan itu, serta menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan yang esensial. 2. Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyat. Ini mencakup hal-hal penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-
6 7
Ibid., hlm. vii. Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 19
64
keperluan ini terdiri dari berbagai hal yang menyingkirkan kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup menjadi mudah bagi mereka. 3. Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuat berbagai perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikanperbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam hal ini, perbaikan mencakup arti kebajikan (virtues), cara-cara yang baik (good manner), dan setiap hal yang melengkapi peningkatan cara hidup.8 Menurut Abd al-Wahhâb Khalâf, tujuan pemberian hukuman dalam Islam sesuai dengan konsep tujuan umum disyariatkannya hukum, yaitu untuk merealisasi kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.9 Hukum pidana Islam secara implisit menetapkan adanya tujuan pemidanaan seperti diungkapkan dalam ayat berikut ini:
!" #!$ %&'( )% * ,+ ) (78 :3"4 5) .- /0 - !1 Artinya: "Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka 8
Ibid., hlm. 20. Abd al-Wahhâb Khalâf, ‘Ilm usûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978, hlm. 198. Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 351. 9
65
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah swt. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana". (QS. al-Maidah: 38).10
,? *$% .+@% A B% C 3; " % , D :# "; 0 =< + "# * > +,/ ,? E4 F @1 "# G # /% HA I% J /% < K &: L# C .# M:+ KN < !O >* (Q : &:) P : L# % Artinya: "Pezina perempuan dan laki hendaklah dicambuk seratus kali dan janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga mencegah kamu dalam menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman". (QS. an-Nur: 2).11 Ayat di atas secara substansial menunjukkan adanya unsur pembalasan yang dikehendaki oleh syara bagi pelanggar undang-undang. Di satu sisi ketika menerapkan sanksi (balasan) harus diumumkan atau dilakukan di muka umum. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan dalam Islam sebagai berikut: 1. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pembalasan (retribution) 2. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif atau general prevention 3. Pemidanaan dimaksudkan sebagai special prevention (pencegahan khusus).12 Atas dasar apakah KUHP mencantumkan tentang hapusnya hak menuntut pidana karena daluawarsa? Vos mengemukakan 3 alasan, yaitu (1) 10
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 158. 11 Ibid., hlm. 543. 12 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: TERAS, 2009, hlm. 288
66
Semakin lama waktu berlalu semakin terlupakan suatu peristiwa, sehingga tak ada gunanya lagi melakukan penuntutan atas dasar apapun, baik menurut prevensi umum/khusus maupun menurut teori pembalasan sekalipun, (2) Individu yang bersangkutan harus bisa menikmati kepastian hukum maupun keamanan menurut hukum, dan (3) Sukarlah bagi penuntut umum untuk mengumpulkan bukti-bukti yang telah larut dalam waktu.13 Suatu kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai suatu tindak pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memvonis pelaku tindak kriminalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan bukti-bukti obyektif yang meyakinkan. Pada dasarnya setiap manusia terbebas dari tanggungan yang berupa kewajiban melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya bila seseorang memiliki tanggungan, maka ia telah berada dalam posisi yang tidak sesuai kondisi asal.14 Dalam hukum pidana Islam, daluwarsa hanya masuk dalam bagian yang menghapuskan hak untuk melaksanakan hukuman. Dengan demikian dalam perspektif hukum pidana Islam, setiap orang yang telah melakukan tindak pidana dan terhadap perbuatan pidana itu belum sampai dijatuhi hukuman, maka meskipun sudah daluwarsa, pidana tidak menjadi hapus. Ini berarti orang yang melakukan tindak pidana kapan waktu saja dapat dituntut atau perkaranya dapat diadili. Sedangkan daluwarsa hanya berlaku manakala tindak pidana yang telah dilakukan seseorang itu telah mendapat putusan hakim sehingga orang tersebut harus menjalani hukuman sebagai mana yang 13
Nico Ngani, Sinerama Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1984, hlm. 37 Abdul Haq, et al, Formulasi Nalar Fiqh, Buku Satu, Surabaya: Khalista, 2006, hlm.
14
161.
67
telah dijatuhkan hakim. Namun berhubung daluwarsa maka pelaksanaan hukuman menjadi hapus. Dengan demikian orang yang telah dijatuhi hukuman itu bebas dari menjalankan hukuman yang telah dijatuhkan. Dasarnya adalah karena daluwarsa dalam hukum pidana Islam yaitu berlakunya sesuatu waktu tertentu atas keputusan adanya hukuman tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut. Dengan berlakunya masa tersebut maka pelaksanaan hukuman menjadi terhalang.15 Pada aturan-aturan dan nas-nas syari'at Islam tidak ada hal-hal yang menunjukkan hapusnya hukuman jarimah-jarimah hudud dan qisas-diyat dengan berlakunya masa tertentu. Penguasa negara juga tidak bisa mengampuni atau menggugurkan hukuman tersebut. Kalau tidak ada nas yang menghapuskan, maka artinya tidak bisa hapus dengan adanya daluwarsa.16 Pengertian daluwarsa tersebut tidak menunjuk pada hapusnya hak penuntutan negara terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana. Namun menunjuk pada hapusnya pelaksanaan hukuman yang berarti sudah lebih dahulu adanya putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana terhadap orang tersebut. Berbeda halnya dengan KUHP, jika seseorang melakukan tindak pidana dan tindak pidana itu belum dituntut dan dalam waktu tertentu dinyatakan sudah daluwarsa, maka hak penuntutan menjadi hapus. Demikian pula apabila orang yang melakukan tindak pidana itu diadili dan sempat dijatuhi hukuman, namun kemudian waktunya sudah lewat atau daluwarsa 15
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm.
349 16
Ibid., hlm. 350.
68
maka orang yang telah dijatuhi vonis, hukuman itu harus dijalani. Hal itu karena daluwarsa maka hapuslah hak negara untuk mengeksekusi orang yang melakukan tindak pidana itu. Dengan demikian, dalam hukum pidana Islam, daluwarsa hanya bermata satu karena daluwarsa hanya berfungsi menghapuskan pelaksanaan hukuman namun tidak menghapuskan penuntutan pidana. Sedangkan dalam KUHP, daluwarsa bermata dua yaitu dapat menghapuskan hak untuk menuntut pidana juga dapat menghapuskan hak negara mengeksekusi orang yang telah dijatuhi hukuman tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, menurut penulis bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Jika perbuatannya itu mengandung dan memenuhi unsur tindak pidana dan sudah cukup atau ada bukti permulaan yang menguatkan perbuatan tindak pidana itu maka pelaku harus bertanggung jawab. Tanggung jawab tersebut tidak boleh gugur hanya karena daluwarsa. Hal ini menyangkut rasa keadilan masyarakat dan kepastian hukum. Akan tetapi jika perbuatan itu tidak ada bukti yang menguatkan, maka pelaku harus dibebaskan. Karena tuduhan yang terus berlangsung dan penuntutan yang selalu menghantui pelaku berarti perampasan kemerdekaan orang yang tidak bersalah. Pepatah menyatakan: "masih lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah".
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Penerapan daluwarsa penuntutan dalam KUHP, bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana hapus karena daluwarsa. Selain alasan untuk kepastian hukum, prinsip lewatnya waktu ini, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara. Mengajukan tuntutan pidana pada dasarnya
adalah
berupa
pekerjaan
mengungkap
suatu
peristiwa
sebagaimana kejadian senyatanya (materiele waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. .Pengungkapan peristiwa itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan Undangundang, baik mengenai macam-macamnya maupun cara dan sistem penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama ingatan seorang saksi akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, 69
70
dengan waktu yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang dan tidak ada lagi. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan, bahkan dapat. menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan. 2. Ditinjau dari hukum Islam terhadap penerapan daluwarsa penuntutan dalam KUHP tidak sejalan dengan prinsip hukum Islam. Dalam hukum Islam, daluwarsa hanya masuk dalam bagian yang menghapuskan hak untuk melaksanakan hukuman. Dengan demikian dalam perspektif hukum pidana Islam, setiap orang yang telah melakukan tindak pidana dan terhadap perbuatan pidana itu belum sampai dijatuhi hukuman, maka meskipun sudah daluwarsa, pidana tidak menjadi hapus. Ini berarti orang yang melakukan tindak pidana kapan waktu saja dapat dituntut atau perkaranya dapat diadili. Sedangkan daluwarsa hanya berlaku manakala tindak pidana yang telah dilakukan seseorang itu telah mendapat putusan hakim sehingga orang tersebut harus menjalani hukuman sebagai maha yang telah dijatuhkan hakim. Namun berhubung daluwarsa maka pelaksanaan hukuman menjadi hapus. Dengan demikian orang yang telah dijatuhi hukuman itu bebas dari menjalankan hukuman yang telah dijatuhkan. Dalam hukum pidana Islam, daluwarsa hanya bermata satu karena daluwarsa hanya berfungsi menghapuskan pelaksanaan hukuman namun tidak menghapuskan penuntutan pidana. Sedangkan dalam KUHP, daluwarsa bermata dua yaitu dapat menghapuskan hak untuk menuntut
71
pidana juga dapat menghapuskan hak negara mengeksekusi orang yang telah dijatuhi hukuman tersebut. B. Saran-Saran Dalam pembentukan hukum nasional yang akan datang, ada baiknya pembentuk undang-undang meninjau kembali penerapan tentang daluwarsa dengan membanding pada konsep daluwarsa dalam hukum pidana Islam. C. Penutup Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan ridha-Nya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Penulis menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca menjadi harapan penulis. Semoga Allah SWT meridhai.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002. Audah, Abd al-Qadir, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islamy, Juz I, Mesir: Dar al-Fikr alAraby, tth. Byk, Muhammad Khudhari, Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Fikri, cetakan VII, 1981. Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2002. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, 1981. Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000. Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986. Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. http:www.klik/bloc.com.Pid/2009/Daluwarsa Jaziri, Abd. Al-Rahman, Al-Fiqh 'ala Al-Mazahib Al-Arba'ah, Juz V, Beirut: Dar Al-Fikr. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, Terj. Tim Penerjemah Bina Aksara, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987. Kanter, E.Y., dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni, 1982. Kartanegara, Satochid, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai Lektur Mahasiswa. Khalâf, Abd al-Wahhâb, ‘Ilm usûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978. Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984. Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: PT Melton Putra, 1990. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002. --------, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Mubarok, Jaih dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, Jakarta: Anggota IKAPI, 2004. Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh ( al-Qowaidul Fiqhiyyah), cet 4, Jakarta: Kalam Mulia, 2001. Munajat, Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: TERAS, 2009. Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat, Jakarta: sinar Grafika, 2004. Ngani, Nico, Sinerama Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1984. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT Eresco, 1986. Qazwini, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah hadis No. 2817 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company). Rokhmadi, Jurnal al-Ahkam, Volume XVIII/Edisi 1/April 2006, Semarang: Fakultas Syariah IAIN Walisongo. Saleh, K. Wancik, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007. Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003. Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990. Sumantri, Jujun S. Suria, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993. Syaltut, Syeikh Mahmud, al-Islam Aqidah wa Syariah, Alihbahasa, Fachruddin HS, Akidah dan Syariah Islam, 2, Jakarta: Bina Aksara, 1985 Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000. Tirmizi, Abu Isa Muhammad ibn Isa bin Surah hadis No. 1140 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company) Tresna, R., Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara Limit, t.th.
Usman, Hasan, Metode Penelitian Sejarah, Terj. Muin Umar, et. al, Departemen Agama, 1986. Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Surabaya: DEPAG RI, 1978.
Al-Qur’an
dan
Terjemahnya,
Zahrah, Muhammad Abu, Usûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Agus Muhammad Ali Maqfur
Tempat/Tanggal Lahir
: Demak, 14 Januari 1984
Alamat Asal
: Sodong RT 03 RW 03 Sidogemah Sayung Demak
Pendidikan
: - SDN 03 Sidogemah Sayung Demak lulus th 1998 - SLTP Ibrohimy Sukorejo Asembagus Situbondo lulus tahun 2001 - MA Nahdhotusy Syubban Demak lulus th 2004 - Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2004
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Agus Muhammad Ali Maqfur
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA Nama
: Agus Muhammad Ali Maqfur
NIM
: 042211038
Alamat
: Sodong RT 03 RW 03 Sidogemah Sayung Demak.
Nama orang tua
: Bapak Masruri Muhsin dan Ibu Masrifah
Alamat
: Sodong RT 03 RW 03 Sidogemah Sayung Demak