ANALISIS HUBUNGAN INFLASI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA PERIODE 1985-2008: PENDEKATAN KURVA PHILIPS
Oleh: SRI MULYATI H14050975
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
SRI MULYATI. Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985-2008: Pendekatan Kurva Phillips (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI)
Teori kurva Phillips menunjukkan hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran. Penerapan teori kurva Phillips ini di Indonesia diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia. Namun, adanya penerapan inflation targeting dengan tujuan mencapai tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada kebijakan RAPBN 2009 yang salah satu tujuannya adalah mengurangi tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3,3 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi 8,09 persen. Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua kali lipatnya. Rata-rata tingkat inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985-1996 relatif rendah yaitu masih berkisar satu digit sebesar 7,9 persen per tahun. Namun, ketika terjadi krisis, tahun 1998 tingkat inflasi mencapai 58,3 persen dan setelah tahun 1998 tingkat inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia melalui pendekatan kurva Phillips mulai dari tahun 1985 hingga tahun 2008. Penelitian ini menggunakan metode regresi berganda Ordinary Least Square (OLS) dan Granger Causality Test. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 dengan menggunakan Chow Breakpoint Test. Hasil estimasi menunjukkan bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien inflasi yang positif dan tidak signifikan. Jumlah angkatan kerja signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Peningkatan angkatan kerja sebesar 1 persen menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 7.79 persen dari jumlah pengangguran sebelumnya, asumsi ceteris paribus. Tingkat pengangguran tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran saat ini. Jika tingkat pengangguran tahun lalu meningkat sebesar 1 persen, maka tingkat pengangguran tahun sekarang bertambah 0.57 persen dari jumlah tahun sebelumnya, asumsi ceteris paribus. Uji kausalitas Granger menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan kausalitas antara pengangguran dan inflasi. Selain itu, Uji Chow breakpoint menunjukkan bahwa krisis ekonomi 1997-1998 tidak berpengaruh pada tingkat pengangguran walaupun tingkat inflasi meningkat tajam. Hal ini juga dapat diamati dari tren tingkat pengangguran yang cenderung positif baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi 1997-1998. Selain itu, keberadaan sektor
pertanian dan sektor informal yang menyerap tenaga kerja saat krisis membuat tingkat pengangguran tidak meningkat tajam setajam peningkatan inflasi. Pengangguran dan inflasi yang tidak memiliki hubungan kausalitas ini memberikan kesimpulan bahwa pelaksanaan inflation targeting tidak memberikan trade off pada RAPBN 2009. Selain itu, pemerintah perlu memperlambat laju pertumbuhan penduduk salah satunya dengan cara menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB) karena hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah angkatan kerja berpengaruh terhadap naiknya tingkat pengangguran. Peningkatan sektor-sektor potensial seperti misalnya sektor pertanian dan peningkatan infrastruktur yang bersifat padat karya perlu dikembangkan karena mampu mengurangi jumlah pengangguran. Pengangguran sebaiknya tidak digunakan sebagai satu-satunya indikator untuk melihat dinamika pasar tenaga kerja karena pengangguran di Indonesia yang bersifat persisten. Penelitian selanjutnya dianjurkan untuk memperhitungkan penentuan tingkat pengangguran alamiah dan ekspektasi rasional dalam mencari hubungan antara inflasi dan pengangguran di Indonesia
ANALISIS HUBUNGAN INFLASI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA PERIODE 1985-2008: PENDEKATAN KURVA PHILLIPS
Oleh: SRI MULYATI H14050975
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
: Sri Mulyati
Nomor Registrasi Pokok : H14050975 Departemen/Mayor
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985-2008: Pendekatan Kurva Phillips
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Tanti Novianti, SP, M.Si. NIP. 19721117 199802 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Sri Mulyati H14050975
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sri Mulyati lahir pada tanggal 9 Januari 1988 di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan H. Nanda Suwanda, SE dan Hj. Rahayu Ningsih. Penulis memulai sekolah pendidikan di SDN Balonggandu 3 pada tahun 1993. Pendidikan formal kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Jatisari dan SMA Negeri 1 Cikampek. Kemudian, penulis melanjutkan studi pada tahun 2005 di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama kuliah penulis memperoleh berbagai prestasi baik di bidang akademis maupun non akademis. Beberapa prestasi akademis yang pernah diraih adalah menjadi peringkat 3 Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Ekonomi tahun 2008, peringkat 1 Young Economist Icon Hipotex-R 2008, dan merupakan peraih beasiswa Women‟s International Club (WIC Scholarship). Penulis juga aktif
mengajar
dan
merupakan
Asisten
Praktikum
Ekonomi
Umum,
Makroekonomi 1, dan Mikroekonomi 1. Prestasi non akademis yang pernah diraih adalah Juara 3 Teater Monolog Art IPB Day’s 2007, Best Script Writer Film Independen Art IPB Day’s, dan Juara 2 Tulis Cerpen Sportakuler 2007. Selain itu, penulis juga aktif di berbagai organisasi kampus sebagai Ketua Divisi Research dan Development HIPOTESA 2008 dan Ketua FEMous Theatre FEM IPB 2008.
Untuk seorang Ayah pekerja keras… Untuk seorang Ibu penuh kasih sayang… Menyertakan setiap ketulusan dan kebanggaan…
(Nchie – 11 Agustus 2009)
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985 – 2008 : Pendekatan Kurva Phillips”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada: 1.
Tanti Novianti, SP, MSi sebagai Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar dan baik memberikan bimbingan baik secara materi maupun moril.
2.
M.P. Hutagaol, Ph.D sebagai Dosen Penguji Utama, serta Jaenal Effendi, MA sebagai Dosen Penguji Komdik yang telah memberikan berbagai masukan dan saran dalam perbaikan skripsi ini.
3.
H. Nanda Suwanda, SE dan Hj. Rahayu Ningsih sebagai orang tua serta seluruh keluarga penulis atas kesabaran, perhatian dan kasih sayang yang tak terhingga bagi penulis.
4.
Kakak kelas dan semua staf Dept. Ilmu Ekonomi: teh Dian V., teh Heni, Teh Diyaniati, Teh Lea, A Dado, dan A Irwan, A Heri, Bu Astrid, Bu Tini, Mbak Ati, Mas Anto, Mas Dede, Mas Ryan, dan Mas Anwar.
5.
Keluarga „kedua‟: Rizki Wijaya, Tia, Sahata, Erwin, Yuda, Ilham, Wahyu, Maria, Aji, Ema, Rini, Tami, Tanjung, Merlynda, Ristia, Rian, Niar, Salam dan semua sahabat IE 42, Hipotesa 2008 dan FEMous Theatre. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Sri Mulyati H14050975
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xiii
I.
II.
III.
IV.
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian...........................................................................
6
1.4. Manfaat Penelitian.........................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ..............
8
2.1. Pengangguran ................................................................................
8
2.2. Inflasi .............................................................................................
9
2.3. Kurva Phillips ................................................................................
12
2.4. Inflation Targeting Framework .....................................................
14
2.5. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ...................
16
2.6. Penelitian Terdahulu .....................................................................
18
2.7. Kerangka Pemikiran ......................................................................
19
2.8. Hipotesis Penelitian .......................................................................
21
METODE PENELITIAN .....................................................................
22
3.1. Jenis dan Sumber Data ..................................................................
22
3.2. Metode Analisis.............................................................................
22
3.2.1. Ordinary Least Square (OLS) ............................................
22
3.2.2. Uji Asumsi OLS .................................................................
24
3.2.3. Uji Stabilitas Parameter ......................................................
29
3.2.4. Uji Kausalitas Granger .......................................................
30
GAMBARAN UMUM PENGANGGURAN DAN INFLASI DI INDONESIA ...................................................................................
32
4.1. Gambaran Pengangguran di Indonesia ..........................................
32
4.2. Gambaran Inflasi di Indonesia ......................................................
35
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
38
5.1.Uji Ekonometrika dengan OLS ......................................................
38
5.1.1. Hasil Estimasi dan Pembahasan .........................................
36
5.1.2. Uji Asumsi OLS .................................................................
39
5.1.3. Uji Stabilitas Parameter ......................................................
43
5.1.4. Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) ..............
44
5.2. Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia ..........
44
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
52
6.1. Kesimpulan....................................................................................
52
6.2. Saran ..............................................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
54
LAMPIRAN .....................................................................................................
56
VI.
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
4.1. Pengangguran dan Rata-rata Pertumbuhan Periode Sebelum dan Sesudah Krisis ...........................................................................................
33
5.1. Hasil Regresi Model ..................................................................................
38
5.2. Uji Heteroskedastisitas ..............................................................................
40
5.3. Uji Autokorelasi ........................................................................................
40
5.4. Matriks Korelasi ........................................................................................
41
5.5. Hasil Uji Klein ..........................................................................................
42
5.6. Uji Bias Spesifikasi Model .......................................................................
42
5.7. Hasil Uji Stabilitas Parameter ...................................................................
43
5.8. Hasil Uji Kausalitas Granger ....................................................................
44
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Tingkat Pengangguran di Indonesia ..........................................................
2
1.2. Inflation Targeting di Indonesia................................................................
4
1.3. Inflasi dan Tingkat Pengangguran di Indonesia ........................................
6
2.1. Cost Push Inflation....................................................................................
10
2.2. Demand Pull Inflation ...............................................................................
11
2.3. Kurva Phillips ...........................................................................................
13
2.4. Bagan Kerangka Pemikiran.......................................................................
18
4.1. Pekerja Berdasarkan Sektor dalam Persen (2004-2008) ...........................
34
4.2. Perkembangan Inflasi 1985-2008 .............................................................
36
5.1. Hasil Uji Normalitas .................................................................................
41
5.2. Sebaran Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia 1985-2008 ...
45
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Variabel yang Digunakan ...................................................................
57
2. Hasil Regresi Model ....................................................................................
59
3. Hasil Uji Heteroskedastisitas.......................................................................
59
4. Hasil Uji Autokorelasi .................................................................................
61
5. Hasil Uji Normalitas ....................................................................................
61
6. Hasil Uji Multikolinearitas ..........................................................................
62
7. Hasil Uji Klein.............................................................................................
62
8. Hasil Uji Ramsey RESET ...........................................................................
64
9. Hasil Uji Chow Breakpoint .........................................................................
65
10. Hasil Uji Granger Causality .......................................................................
65
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penggangguran merupakan masalah yang cukup fundamental dalam
perekonomian suatu negara, baik negara berkembang atau negara maju sekalipun. Ketika krisis global yang melanda sejak awal 2008, negara adidaya seperti Amerika Serikat menghadapi kesulitan dalam mengatasi pengangguran akibat resesi ekonomi terutama dari sektor-sektor industri utama. Menurut data yang diperoleh dari Bureau of Labor Statistics USA (2009), hingga
Juli 2009
pengangguran di Amerika Serikat telah mencapai 14.5 juta jiwa dengan tingkat pengangguran sebesar 9.4 persen dan diduga akan terus meningkat. Pada saat terjadi depresi ekonomi Amerika Serikat tahun 1929, terjadi inflasi yang tinggi dan diikuti dengan pengangguran yang tinggi pula. Berdasarkan pada fakta itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Inggris. Dari hasil pengamatannya, ternyata ada hubungan yang erat antara inflasi dengan tingkat pengangguran, dalam arti jika inflasi tinggi, maka pengangguran akan rendah. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan Kurva Phillips. Penerapan teori kurva Phillips di Indonesia diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia. Namun, adanya penerapan inflation targeting dengan tujuan mencapai tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada kebijakan RAPBN 2009 pengangguran.
yang salah satu
tujuannya adalah mengurangi
tingkat
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009 memiliki tujuan salah satunya adalah meningkatkan penyerapan tenaga kerja atau pengurangan tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3.32 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi 8.09 persen (ILO, 2009). Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua kali lipatnya.
12 10 8 6 4 2 0 1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
Sumber: ILO, 2009 (diolah)
Gambar 1.1. Tingkat Pengangguran di Indonesia 1985-2008 (persen)
Sementara apabila dilihat dari jumlah pengangguran dan angkatan kerja, jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2008 mencapai 9.3 juta jiwa dari 112 juta jiwa angkatan kerja atau sekitar 8.3 persen dari total angkatan kerja. Selain itu, angka pengangguran di Indonesia adalah terbesar di ASEAN, yakni menyumbang 60 persen dari total pengangguran di ASEAN (Menkokesra, 2007)
Tingkat pengangguran yang cenderung meningkat sewajarnya perlu mendapat perhatian yang lebih serius dari para pengambil kebijakan, karena masalah pengangguran ini merupakan masalah fundamental yang cukup serius bagi perekonomian baik dari segi makro maupun mikro. Terlebih lagi dengan adanya krisis finansial global sejak awal 2008 yang dapat mengakibatkan kenaikan jumlah pengangguran terutama di sektor industri manufaktur dan perdagangan orientasi ekspor. Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite Countries".
Sumber: Depkeu, 2008
Gambar 1.2. Inflation Targeting di Indonesia
Pemerintah
berkoordinasi
dengan
BI
telah
menetapkan
dan
mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008 masingmasing sebesar 8 persen, 6 persen, dan 5 persen dengan deviasi masing-masing 1 persen. Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3
persen agar
Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya. Pemerintah dan Bank Indonesia telah sepakat menetapkan sasaran inflasi 2008-2010 sebesar 5 persen untuk 2008; 4.5 persen (2009); dan 4 persen (2010) dengan deviasi 1 persen. Target inflasi 2008 yakni 5 persen dengan deviasi 1 persen tersebut sesuai dengan target APBN 2008 yakni 6 persen. Gambar 1.1. menunjukkan bahwa sejak awal ditetapkannya Inflation Targeting Framework
pada tahun 2005 sebesar 6
persen dengan deviasi 1
persen, inflation targeting baru dapat berjalan secara efektif pada kuartal IV tahun 2006, yaitu sebesar 5.5 persen dengan deviasi 1 persen. Hal ini dibuktikan bahwa pada bulan Oktober 2006 tingkat inflasi mencapai 6.29
persen dan
November 2006 mencapai 5.27 persen. Dalam teori kurva Phillips, inflasi yang rendah ternyata berkontribusi terhadap tingkat pengangguran yang tinggi, dan sebaliknya. Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis hubungan antara inflasi dengan tingkat pengangguran sesuai dengan pendekatan Kurva Phillips serta bagaimana pengaruh krisis ekonomi 1997 terhadap tingkat pengangguran di Indonesia.
1.2.
Perumusan Masalah Penerapan teori kurva Phillips di Indonesia diharapkan dapat memberikan
penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia. Hal ini diperlukan karena adanya hubungan yang terjadi antara inflasi dan pengangguran dapat berimplikasi terhadap kebijakan yang dapat dijalankan baik oleh otoritas fiskal maupun moneter. Penerapan inflation targeting dengan tujuan pencapaian tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada kebijakan RAPBN 2009 yang salah satu tujuannya adalah mengurangi tingkat pengangguran. Jika hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran yang dinyatakan dalam kurva Phillips memang terjadi, adanya hubungan negative tersebut dapat menjadikan kedua kebijakan di atas tidak efektif, sehingga dampak kebijakan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian yang dilakukan oleh
Bhanthumnavin (2002)
ternyata
menunjukkan bahwa hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran di Thailand baru berlaku setelah terjadi krisis ekonomi 1997-1998. Kondisi perekonomian Indonesia yang tidak jauh berbeda dengan Thailand pada masa krisis ekonomi tersebut membuat kita perlu untuk meninjau ulang pemberlakuan teori kurva Phillips di Indonesia. Dari Gambar 1.3. tampak bahwa ada kalanya kenaikan inflasi tidak mengakibatkan penurunan tingkat pengangguran. Fluktuasi ini tampak lebih nyata pada periode sesudah krisis.
60 50
inflasi pengangguran
40 30 20 10
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0
Sumber: ILO (2009) dan IFS (2009), diolah
Gambar 1.3. Inflasi dan Tingkat Pengangguran di Indonesia (persen)
Dari pemaparan sebelumnya, maka dirumuskanlah beberapa permasalahan yang akan diteliti, yaitu: 1) Apakah teori kurva Phillips memang berlaku di Indonesia dan bagaimana pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia? 2) Bagaimana pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 terhadap tingkat pengangguran di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian Dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1) Menganalisis apakah teori kurva Phillips memang berlaku di Indonesia dan bagaimana pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia. 2) Menganalisis bagaimana pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 terhadap tingkat pengangguran di Indonesia
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu menambah pengetahuan
mengenai teori kurva Phillips lebih dalam, terutama penerapannya terhadap Indonesia, serta pengaruh inflasi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah kajian ilmiah mengenai teori kurva Phillips khususnya dan kajian teoritis lainnya. Selanjutnya, interpretasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan tambahan mengenai kebijakan makroekonomi Indonesia, terutama dalam menganalisis hubungan inflasi dan pengangguran.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini akan mencoba memberikan uraian teori-teori yang berhubungan dengan studi secara umum
yang dapat memberikan pemahaman tentang
hubungan pengangguran dan inflasi di Indonesia. Selain itu, ditambahkan juga beberapa kajian terdahulu, kerangka pemikiran konseptual serta hipotesis yang berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
2.1.
Pengangguran Penduduk usia kerja adalah penduduk berusia di atas 15 tahun. Penduduk
usia kerja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Tenaga kerja atau man power terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja atau labor force terdiri dari (1) golongan yang bekerja, dan (2) golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan (Belante, 1990). Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga
macam
yaitu
pengangguran
siklis,
pengangguran
friksional,
dan
pengangguran struktural. Pengangguran siklis adalah penganggur yang terjadi karena permintaan yang tidak memadai untuk membeli semua potensi output ekonomi, sehingga mengakibatkan senjang resesi di mana output aktual lebih kecil dari keluaran potensial. Kelompok penganggur ini juga dikatakan sebagai orang yang menganggur dengan terpaksa, dengan kata lain mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan yang mereka inginkan tidak tersedia. Pengangguran struktural mengacu pada pengangguran yang disebabkan
akibat ketidaksesuaian antar struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan strutur permintaan tenaga kerja. Mankiw (2000) menyatakan bahwa pengangguran struktural merupakan pengangguran yang disebabkan oleh kekakuan upah dan penjatahan pekerjaan. Para pekerja yang tidak dipekerjakan bukan karena mereka aktif untuk mencari pekerjaan yang cocok untuk mereka, namun pada tingkat upah yang berlaku, penawaran tenaga kerja melebihi permintaannya. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan (Lipsey, et al., 1997). Mankiw (2000) menyatakan bahwa pengangguran akan selalu muncul dalam suatu perekonomian karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah adanya proses pencarian kerja, yaitu dibutuhkannya waktu untuk mencocokkan para pekerja dan pekerjaan. Alasan kedua adalah adanya kekakuan upah. Kekakuan upah ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya kebijakan upah minimum, daya tawar kolektif dari serikat pekerja, dan upah efisiensi.
2.2.
Inflasi Menurut Lipsey, et al. (1997), inflasi adalah kenaikan rata-rata semua
tingkat harga. Kadang-kadang kenaikannya terus-menerus dan berkepanjangan. Menurut Friedman dalam Mishkin (2001), inflasi adalah suatu fenomena moneter yang selalu terjadi di mana pun.
Inflasi dapat terjadi melalui dua sisi yaitu dari sisi penawaran (cost-push inflation) dan sisi permintaan (demand-pull inflation). Pada Gambar 2.1. tampak bahwa inflasi dari sisi penawaran terjadi apabila terdapat penurunan penawaran terhadap barang-barang dan jasa karena adanya kenaikan dalam biaya produksi yang diakibatkan oleh keinginan meningkatnya tingkat upah riil pekerja karena adanya ekspektasi inflasi dimasa depan akan meningkat. Peningkatan upah ini akan membuat produsen untuk menurunkan tingkat produksinya dibawah tingkat produksi optimal sehingga penawaran agregat menurun, maka tingkat harga dan pengangguran akan meningkat.
Sumber: Lipsey, et al. (1997)
Gambar 2.1. Cost Push Inflation
Jika pemerintah memiliki target untuk menurunkan tingkat pengangguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka kegiatan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan output sampai tingkat optimal (full employment) sehingga akan meningkatkan tingkat permintaan secara agregat dan akan meningkatkan
harga, apabila proses tersebut terus menerus berlangsung dan akan mengakibatkan kenaikan dalam tingkat harga tanpa mengubah output dalam jangka panjang, maka kondisi ini disebut sebagai cost-push inflation. Sementara itu, pada Gambar 2.2. tampak bahwa inflasi dari sisi permintaan (demand-pull inflation) terjadi apabila secara agregat terjadi peningkatan terhadap barang-barang dan jasa dalam memenuhi permintaan yang mendorong produsen untuk menambah dana produksi dan menyebabkan pergeseran kurva permintaan agregat. Kondisi ini secara langsung dapat mengakibatkan inflasi karena menyebabkan naiknya harga output. Peristiwa ini dinamakan demand-pull inflation (Lipsey, et al., 1997).
Sumber: Lipsey, et al. (1997)
Gambar 2.2. Demand Pull Inflation
Pengukuran inflasi dapat dilakukan melalui pendekatan Consumer Price Index (CPI) atau dapat disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK). Menurut Lipsey, et al. (1997), CPI adalah suatu ukuran harga rata-rata berbagai komoditi
yang biasanya dibeli rumah tangga. IHK paling banyak digunakan untuk menghitung laju inflasi, termasuk Indonesia. IHK dapat digunakan untuk menghitung laju inflasi bulanan, triwulan, semesteran dan tahunan. Perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
LIt =
IHK t IHK t IHK t 1
dimana: LIt IHK IHKt-1
1
X 100
persen
................................................................(2.1)
: Laju inflasi pada tahun atau periode t, : Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t, : Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t-1,
Ramakrishnan dan Vamvakidis (2002) dalam penelitiannya mengenai peramalan inflasi di Indonesia, menyatakan bahwa fenomena inflasi lebih cenderung merupakan fenomena moneter dan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah nilai tukar, inflasi luar negeri dan pertumbuhan money supply.
2.3.
Kurva Phillips Pada tahun 1958, ekonom A.W. Phillips menerbitkan sebuah artikel
berjudul “The Relationship between Unemployment and the Rate of Change of Money Wages in United Kingdom, 1861-1957”. Pada artikel tersebut Phillips memperlihatkan korelasi negatif antara tingkat pengangguran dan inflasi (tingkat perubahan upah). Phillips memperlihatkan bahwa tahun-tahun dengan tingkat pengangguran yang rendah cenderung disertai oleh inflasi yang tinggi, dan tahun-
tahun dengan tingkat pengangguran tinggi cenderung disertai dengan inflasi yang rendah (Samuelson, 1985). A.W. Phillips (1958) dalam Mankiw (2000) menggambarkan bagaimana sebaran hubungan antara inflasi dengan tingkat pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, maka sesuai dengan teori permintaan yaitu jika permintaan naik maka harga akan naik. Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja maka dengan naiknya harga-harga (inflasi) maka pengangguran berkurang.
Inflasi,
n
+v
Un
Pengangguran, U
Sumber: Mankiw, 2000
Gambar 2.3. Kurva Phillips
Tiga komponen pembentuk kurva Phillips adalah: a) Ekspektasi inflasi ( e)
b) Pengangguran siklis (U-Un) c) Guncangan penawaran (v) Persamaan kurva Phillips adalah:
=
e
-
(U-Un) + v ………………………………………………(2.1)
Di mana
adalah inflasi,
e
adalah ekspektasi inflasi, U adalah tingkat
pengangguran dan Un adalah tingkat pengangguran alamiah (NAIRU – NonAccelerating Inflation Rate of Unemployment).
menunjukkan besarnya respon
tingkat inflasi terhadap perubahan tingkat pengangguran siklis.
dapat
menunjukkan besarnya rasio pengorbanan (sacrifice ratio) yang terjadi. Tanda negatif sebelum parameter
menunjukkan hubungan negatif antara inflasi dengan
tingkat pengangguran.
2.4.
Inflation Targeting Framework Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja kebijkan
moneter Bank Indonesia yang tercermin pada penetapan dan pengumuman sasaran inflasi sebagai tujuan utama kebijakan moneter, penjelasan periodik kepada masyarakat mengenai pelaksanaan kebijkan moneter yang ditempuh, maupun pemberian independensi kepada Bank Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Secara umum, kerangka kerja ini diyakini dapat membantu bank sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan berdasarkan pada proyeksi dan target inflasi tertentu ke depan (BI, 2008).
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite Countries". Kebijakan ini dipilih dengan beberapa alasan yaitu (BI, 2008) : 1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter Inflation Targeting didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut : a. Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat. b. Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004. c. Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter. d. Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output. e. Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target. 2. Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja
menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus terhadap inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation). 3. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang justru akan mendukung pertumbuhan
ekonomi
Penyebabnya
karena
yang tingkat
berkelanjutan inflasi
(suistanable
berkorelasi
growth).
positif
dengan
fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi resiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi aset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro growth.
2.5.
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Sejalan dengan
tema
pembangunan
nasional
yaitu “Peningkatan
Kesejahteraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan”, kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun 2009 diarahkan kepada upaya mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengurangi kemiskinan.
Sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009, Pemerintah telah menetapkan sasaran-sasaran indikatif penurunan tingkat pengangguran menjadi 7 persen hingga 8 persen. Tantangan yang dihadapi pada tahun 2009 dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama, penciptaan kesempatan kerja terutama lapangan kerja formal seluas-luasnya. Tantangan ini tidak mudah untuk diatasi karena beberapa tahun terakhir ini, lapangan kerja informal masih dominan dalam menyerap tenaga kerja yang jumlahnya terus meningkat. Kedua, perpindahan pekerja dari pekerjaan yang memiliki tingkat produktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi. Ketiga, peningkatan kesejahteraan para pekerja informal yang mencakup 70 persen dari seluruh pekerja (Depkeu, 2009) Untuk
mengatasi
masalah
ketenagakerjaan
tersebut,
Pemerintah
menempuh beberapa kebijakan sebagai berikut. Pertama, menciptakan lapangan kerja formal seluasluasnya, mengingat lapangan kerja formal lebih produktif dan lebih memberikan perlindungan social kepada pekerja dibandingkan sektor informal. Dengan kualifikasi angkatan kerja yang tersedia, lapangan kerja formal yang diciptakan didorong ke arah industri padat karya, industri menengah dan kecil, serta industri yang berorientasi ekspor. Kedua, mendorong perpindahan pekerja dari pekerjaan yang berproduktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi pekerja. Peningkatan kualifikasi dan kompetensi pekerja dapat dilaksanakan antara lain dengan pelatihan berbasis kompetensi dan pelatihan melalui pemagangan di tempat kerja. Upaya-upaya pelatihan tenaga kerja perlu terus ditingkatkan dan
disempurnakan agar peralihan tersebut dapat terjadi. Ketiga, mendorong sektor informal melalui fasilitas kredit UMKM sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerja informal. Peningkatan ini dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan tingkat kesejahteraan antara pekerja informal dengan bekerja formal.
2.6.
Penelitian Terdahulu Bhanthumnavin (2002) menganalisis kurva Phillips untuk negara Thailand
dengan metode OLS menggunakan dua definisi inflasi (kuartalan dan tahunan). Estimasinya menyatakan bahwa teori Kurva Phillips di Thailand baru berlaku setelah Krisis Asia tahun 1997. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa sebelum terjadinya krisis ekonomi 1997 tidak terdapat hubungan antara inflasi dan pengangguran seperti yang diungkapkan dalam Kurva Phillips. Hubungan ini negative antara inflasi dan pengangguran ini baru tejadi setelah terjadinya krisis ekonomi 1997 yang telah memberikan guncangan struktural yang kuat terhadap kapasitas perekonomian dan sektor finansial. Amir (2003) menganalisis pengaruh inflasi dan pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran di Indonesia pada periode 1980-2005 dengan mengunakan analisis grafis dan metode ANOVA. Variabel dependennya adalah tingkat pengangguran dan variabel independennya adalah inflasi. Hasilnya adalah terdapat hubungan negatif namun tidak signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran baik secara statistik maupun grafis. Hal ini diduga karena inflasi di Indonesia lebih cenderung disebabkan oleh adanya
kenaikan biaya produksi, seperti misalnya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), bukan karena kenaikan permintaan. Simamare (2006) menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran menggunakan aplikasi Hukum Okun. Metode yang digunakan adalah metode OLS untuk estimasi kuantitatifnya dengan pengangguran sebagai variabel dependen, pertumbuhan ekonomi dan angkatan kerja serta jumlah pengangguran periode sebelumnya sebagai variabel independen. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran sesuai dengan Hukum Okun. Model yang digunakan Simamare (2006) kemudian digunakan untuk mengestimasi hubungan inflasi dan pengangguran di Indonesia dengan mengganti variabel pertumbuhan ekonomi dengan inflasi, mengubah jumlah pengangguran sebagai persentase, serta mengubah jumlah angkatan kerja sebagai bentuk logaritma naturalnya. Selain itu, penulis juga menggunakan analisis uji kausalitas Granger untuk melihat hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran.
2.7.
Kerangka Pemikiran Adanya kebijakan inflation targeting dengan tujuan pencapaian tingkat
inflasi rendah dan RAPBN 2009 yang salah satunya bertujuan untuk mengurangi tingkat pengangguran menjadi latar belakang permasalahan penelitian ini. Penerapan teori kurva Phillips digunakan untuk menganalisis hubungan inflasi dan pengangguran, yaitu pengaruh tingkat inflasi terhadap tingkat pengangguran,
telah dilakukan banyak peneliti untuk berbagai negara. Persentase peningkatan pada inflasi seharusnya mampu mengurangi tingkat pengangguran. Analisis yang dilakukan untuk Indonesia berdasarkan pada teori kurva Phillips dan permasalahan penelitian, yaitu bagaimana pengaruh inflasi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Pengujian secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan uji kausalitas Granger, dengan asumsi-asumsi tertentu. Tingkat pengangguran diperlakukan sebagai variabel dependen dan inflasi sebagai variabel independen. Gambar 2.4. merupakan bagan kerangka pemikiran sebagai gambaran penelitian.
Gambar 2.4. Bagan Kerangka Pemikiran
2.8. Hipotesis Penelitian Dari tinjauan teori dan penelitian terdahulu di atas disusunlah beberapa hipotesis sementara, yaitu: 1) Sesuai dengan teori kurva Phillips, terdapat hubungan yang negatif antara pengangguran dan inflasi 2) Krisis ekonomi 1997 berpengaruh signifikan pada tingkat pengangguran. tidak mempengaruhi tingkat pengangguran.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber, yaitu data tingkat pengangguran (UN) dan Angkatan Kerja (AK) yang berasal dari ILO (International Labor Organization), serta data inflasi (INF) yang diperoleh dari IFS (IMF, International Financial Statistic). Data yang digunakan adalah data time series tahunan dari tahun 1985 sampai tahun 2008. Semua data yang diestimasi adalah dalam bentuk logaritma natural kecuali data yang sudah dalam bentuk persen.
3.2.
Metode Analisis data Tahap pengolahan data dilakukan dengan alat bantu perangkat lunak atau
software untuk membantu
proses penelitian. Software KILM 5th Edition
digunakan untuk pencarian data dari ILO, software IFS-CD room untuk pencarian data inflasi dari IMF, serta untuk pengolahan datanya dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Eviews 5.1. Metode analisis yang digunakan adalah dengan Ordinary Least Square (OLS) dan Granger Causality Test.
3.2.1. Ordinary Least Square (OLS) Metode OLS digunakan untuk memperoleh estimasi parameter dalam menganalisis pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen. Penelitian ini menggunakan OLS untuk memperoleh estimasi pengaruh tingkat inflasi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Metode OLS dipilih karena
merupakan salah satu metode sederhana dengan analisis regresi yang kuat dan populer, dengan asumsi-asumsi tertentu (Gujarati, 1997). Model yang digunakan merupakan hasil modifikasi dari model yang digunakan oleh Simamare (2006) dengan mengganti variabel pertumbuhan ekonomi dengan inflasi, mengubah jumlah pengangguran sebagai persentase, serta mengubah jumlah angkatan kerja sebagai bentuk logaritma naturalnya. UNt = λ1 INFt + λ2 LNAKt + λ 3 UNt-1 + et …………………………………. (3.1) Di mana: UN = Tingkat pengangguran tahun t (dalam persen), t
INF
= Tingkat Inflasi per tahun t (persen),
t
LNAK = Jumlah angkatan kerja tahun t (dalam persen), t
UN λ
t-1
1,2,3
et
= Jumlah pengangguran tahun t-1 (persen), = Slope atau kemiringan, = Residual Jumlah
pengangguran
tahun
tertentu
merupakan
jumlah
dari
pengangguran tahun sebelumnya dan angkatan kerja baru yang menjadi pengangguran. Kedua variabel tersebut diduga berpengaruh positif terhadap tingkat pengangguran, sehingga digunakan dalam model sebagai variabel independen. Karena UN
t-1
merupakan lag dari UN maka jumlah observasi dalam t
OLS berkurang satu, dari 24 untuk periode 1985-2008 menjadi 23 untuk periode 1986-2008. Seberapa baik garis regresi mencocokkan data (Goodness of fit) dapat 2
diukur melalui koefisien determinasi R . Jika seluruh data berada pada garis 2
regresi, maka terjadi kecocokan sempurna dan R bernilai satu. Semakin besar
2
nilai R , maka semakin baik variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen.
3.2.2. Uji Asumsi OLS Tujuan dari analisis regresi bukan hanya mendapatkan parameter atau penaksir, tetapi juga membuktikan apakah penaksir tersebut sesuai dengan nilai sebenarnya. Dengan asumsi-asumsi dapat dilihat bahwa penaksir OLS adalah penaksir tak bias linear terbaik. Manurung, Manurung, dan Saragih (2005) dalam Simamare (2006) menyebutkan asumsi-asumsi yang digunakan yaitu: 1) Nilai rata-rata bersyarat dari unsur gangguan populasi e , tergantung t
kepada nilai-nilai tertentu variabel yang menjelaskan X adalah nol. t
Asumsi ini menyatakan bahwa tiap nilai variabel dependen Y yang t
berhubungan dengan suatu X tertentu didistribusikan di sekitar nilai ratat
rata, sehingga nilai e yang berhubungan dengan setiap X , memiliki ratat
t
rata nol. Asumsi ini merupakan salah satu sifat dari fungsi regresi dan dapat diabaikan karena penyimpangan yang terjadi hanya berdampak pada koefisien intersep yang bias. 2) Varians bersyarat dari e adalah konstan atau homoskedastik. Asumsi t
homoskedastisitas dari disturbance term error adalah selisih atau spread (scedasticity) bernilai sama atau equal (homo). Heteroskedastisitas, yaitu varians Y yang tidak sama, memberikan konsekuensi varians tidak t
minimum dan penggunaan selang keyakinan atau tingkat signifikansi
yang semakin besar, yang sebenarnya tidak perlu, sehingga penaksir OLS kurang efisien. Pendeteksian ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan White’s General Heteroskedasticity Test (cross term). Pengujian dilaksanakan dengan melihat nilai Probability (Obs*Rsquared) yang dihasilkan. Tolak H maka regresi model tersebut 0
mengalami gejala heteroskedastisitas. Begitu pula sebaliknya, jika terima H
0
maka
regresi
model
tidak
tersebut
mengalami
gejala
heteroskedastisitas. Kriteria uji: Hipotesis nol H : θ = 0 0
i
Hipotesis alternatif H : θ ≠ 0 1
i
Kaidah menolak hipotesis nol: Probability (Obs*R-squared) < taraf nyata (α) 3) Tidak ada autokorelasi dalam gangguan. Masalah autokorelasi yang timbul juga tidak menunjukkan varians minimum walaupun BLUE sehingga tidak efisien, selang keyakinan menjadi lebar secara tak perlu, dan pengujian arti (signifikan) kurang kuat. Uji autokorelasi dilakukan dengan melihat probability (Obs*R-squared) pada Breusch-Godfrey (BG) Test. Apabila nilai probability (Obs*R-squared) lebih besar dari taraf nyata tertentu, maka regresi model tidak mengalami autokorelasi. Bila nilai probability (Obs*R-squared) lebih kecil dari taraf nyata tertentu, maka regresi model mengalami autokorelasi. Kriteria uji: Hipotesis nol H : ρ = 0 0
i
Hipotesis alternatif H : ρ ≠ 0 1
i
Kaidah menolak hipotesis nol: Probability (Obs*R-squared) < taraf nyata (α) 4) Variabel yang menjelaskan adalah nonstokastik (yaitu, tetap dalam penyampelan berulang) atau, jika stokastik, didistribusikan secara independen dari gangguan e . Analisis regresi merupakan penaksiran nilai t
rata-rata satu variabel dependen atas dasar nilai yang tetap variabelvariabel independen. Maka variabel-variabel yang menjelaskan ini diasumsikan mempunyai nilai yang tetap atau nonstokastik. Sekalipun variabel eksplanatoris mungkin sebenarnya stokastik, namun dapat diasumsikan bahwa variabel yang menjelaskan tersebut adalah tertentu dan hasil analisis regresi adalah tergantung pada nilai tertentu ini. Jika variabel explanatory ini bersifat random, maka setidaknya didistribusikan secara independen dari faktor gangguan e . Asumsi ini dapat dianggap t
terpenuhi karena salah satu sifat fungsi regresi menujukkan bahwa residual tidak berkorelasi dengan variabel eksplanatoris. 5) Tidak ada multikolinearitas di antara variabel yang menjelaskan. Asumsi ini mensyaratkan tidak ada hubungan linear di antara variabel yang menjelaskan. Pelanggaran asumsi ini, adanya multikolinearitas sempurna, koefisien regresi dari variabel eksplanatoris tidak dapat ditentukan dan variansnya tak berhingga. Jika multikolinearitas kurang dari sempurna, koefisien regresi dapat ditentukan tetapi variansnya sangat besar
sehingga tidak dapat menaksir koefisien secara akurat. Pendeteksian multikolinearitas, dilakukan mengikuti kaidah umum, yaitu: a. Koefisien determinasi rendah dan probabilitas dari nilai statistik t tinggi. b. Koefisien korelasi antara variabel eksplanatoris tinggi, yaitu │0.8│atau lebih. 6) e didistribusikan secara normal. Untuk ukuran sampel meningkat sampai t
tak terbatas, penaksir OLS didistribusikan secara normal, sehingga penggunakan asumsi kenormalan tidak harus digunakan. Namun untuk ukuran sampel kecil, asumsi kenormalan menjadi penting untuk maksud pengujian hipotesis dan peramalan. Uji normalitas dapat dilakukan dengan Jarque-Berra (JB) test. Jika probabilitas yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata (α), maka asumsi residual terdistribusi dengan normal diterima. Jika probabilitas yang diperoleh lebih kecil dari taraf nyata (α), maka asumsi residual terdistribusi dengan normal ditolak. Kriteria uji: Hipotesis nol H : residual terdistribusi normal 0
Hipotesis alternatif H : residual tidak terdistribusi normal 1
Kaidah menolak hipotesis nol: Probability (JB test) < taraf nyata (α) 7) Model regresi linear dalam parameter. Parameter yang digunakan yaitu dalam bentuk pangkat satu. 8) Jumlah observasi N harus lebih besar dari jumlah parameter yang akan ditaksir atau jumlah observasi N harus lebih besar dari jumlah variabel eksplanatoris.
9) Variabilitas dalam variabel eksplanatoris. Nilai variabel eksplanatoris untuk sejumlah observasi N tidak sama. 10) Model regresi dispesifikasikan dengan benar. Penetuan model dalam OLS lebih mengacu kepada landasan teori yang digunakan. Uji bias spesifikasi
model
dapat
dilakukan
dengan
Ramsey
Regression
Specification Error Test (RAMSEY RESET). Jika probabilitas dari nilai statistik F signifikan secara statistik pada tingkat signifikansi α, maka kesimpulan yang diperoleh yaitu model mengalami kesalahan spesifikasi. Sebaliknya, model regresi dispesifikasikan dengan benar jika probabilitas dari nilai statistik F tidak signifikan secara statistik pada tingkat signifikansi α.
Asumsi pertama dan keempat dianggap telah terpenuhi. Asumsi ketujuh, kedelapan, dan kesembilan terpenuhi tanpa perlu menggunakan uji secara statistik. Parameter yang diestimasi (λ
1,2,3
) berpangkat satu, jumlah observasi yang
digunakan (N=23) lebih besar dari jumlah parameter yang diestimasi (λ =3), dan i
variabel independen (INF , LNAK , UN ) memiliki variabilitas dalam data. Uji t
t
t-1
asumsi OLS secara statistik diterapkan terhadap lima asumsi lainnya, yaitu homoskedastisitas, non-autokorelasi, non-multikolinearitas, normalitas, dan nonbias spesifikasi model.
3.2.3. Uji Stabilitas Parameter Metode yang digunakan untuk menguji stabilitas parameter regresi adalah chow breakpoint test (Gujarati, 1997). Dasar dari uji ini adalah untuk melihat apakah terdapat perbedaan hasil regresi atau perubahan struktural dari dua periode waktu, yaitu periode 1985-1996 dan periode 1997-2008. Langkah yang dilakukan yaitu dengan menghitung statistik F dengan formula:
.................................................................(3.2) Di mana: RSS
= residual sum squares dari hasil regresi untuk periode 1986-2008,
RSS
= residual sum squares dari hasil regresi untuk periode 1986-1996
K N
ditambah residual sum squares dari hasil regresi untuk periode 19972008, = jumlah parameter, yaitu tiga, = jumlah observasi untuk periode 1986-1996, yaitu sebelas,
T P
N
1 2
= jumlah observasi untuk periode 1997-2008, yaitu dua belas.
Asumsi yang digunakan yaitu tidak ada perubahan struktural akibat krisis ekonomi pada tahun 1997. Apabila nilai probabilitas dari statistik F lebih besar dari tingkat signifikansi α, maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa parameter stabil diterima. Kelemahan dari metode ini adalah tidak diketahuinya letak perbedaan dari hasil regresi pada kedua periode, apakah pada intersep atau pada koefisien parameter.
3.2.4. Uji Kausalitas Granger Granger (1969) dalam Gujarati (1997) mempostulasikan bahwa suatu variabel X dikatakan menyebabkan variabel lain, Y, apabila Y saat ini dapat diprediksi lebih baik dengan menggunakan nilai-nilai masa lalu X. Uji ini secara umum digunakan untuk menguji hubungan kausalitas antara 2 variabel. Uji kausalitas Granger menyatakan bahwa jika nilai masa lalu dari variabel Y secara signifikan memberikan pengaruh peramalan pada nilai variabel lainnya; Xt+1, maka Y dikatakan Granger cause X dan begitu pula sebaliknya. Pengujian tersebut didasarkan pada regresi berikut ini:
………………....………….. (3.3)
………………………..……. (3.4)
Di mana Yt dan Xt adalah variabel yang akan diuji, dan ut dan vt adalah white noise errors yang tidak berkorelasi satu sama lain, dan t menunjukkan periode waktu dan k an l adalah jumlah lag. Hipotesis nol (HO) adalah αl = δl = 0 untuk seluruh l dengan hipotesis alternatif (H1) adalah selain HO. Bila koefisien αl secara statistik signifikan tetapi δl tidak signifikan, maka X menyebabkan Y dan demikian sebaliknya. Tetapi bila αl dan δl keduanya signifikan maka terdapat kausalitas dua arah.
Dalam perkembangan analisis time series telah disarankan sejumlah perbaikan dalam uji standar Granger. Salah satunya disebabkan karena kausalitas Granger sangat sensitif pada dapat menjadi bias. Jika lag length yang dipilih lebih besar, maka lag yang tidak relevan pada suatu persamaan dapat menyebabkan estimasi yang tidak efisien.
IV. GAMBARAN UMUM PENGANGGURAN DAN INFLASI DI INDONESIA
4.1.
Gambaran Pengangguran di Indonesia Negara berkembang seperti Indonesia selalu dihadapkan oleh masalah
besarnya jumlah penduduk, terutama penduduk berusia muda. Hal ini menjadi salah satu faktor utama besarnya jumlah angkatan kerja di Indonesia. Jumlah angkatan kerja (labor force) di Indonesia setiap tahun bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dumairy (1996) mengungkapkan bahwa pertumbuhan angkatan
kerja
yang cepat
akan membawa
beban bagi
perekonomian, yakni penciptaan lapangan kerja. Jika lapangan pekerjaan baru tidak dapat menampung angkatan kerja baru, maka sebagian angkatan baru yang tidak tertampung tersebut menjadi pengangguran baru. Jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2008 mencapai 9.3 juta jiwa dari 112 juta jiwa angkatan kerja atau sekitar 8.3 persen dari total angkatan kerja (ILO, 2009). Selain itu, angka pengangguran di Indonesia adalah terbesar di ASEAN, yakni menyumbang 60 persen dari total pengangguran di ASEAN (Menkokesra, 2007). Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3.32 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi 8.09 persen (ILO, 2009). Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua kali lipatnya. Selain itu, tingkat pengangguran di Indonesia juga memiliki tren yang meningkat.
Tabel 4.1. Pengangguran dan Rata-Rata Tingkat Pengangguran Periode Sebelum dan Sesudah Krisis
Tahun
Pengangguran (persen)
1985 1987 1988 1990 1992 1994 1996 1997 1998 2000 2002 2004 2006 2008
2.1 2.5 2.8 2.5 2.7 4.3 4.7 4.6 5.5 6.1 9.1 9.8 10.3 8.4
Periode
Rata-rata tingkat pengangguran (persen)
Sebelum krisis
3.32
Sesudah krisis
8.09
Sumber: ILO, 2009 (diolah)
Pengangguran di Indonesia menjadi masalah yang terus menerus membesar. Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, tingkat pengangguran di Indonesia pada umumnya di bawah 5 persen dan pada tahun 1997 sebesar 5.7 persen. Tingkat pengangguran sebesar 5.7 persen masih merupakan pengangguran alamiah. Amir (2006) menyatakan bahwa tingkat pengangguran alamiah adalah suatu tingkat pengangguran yang alamiah dan tak mungkin dihilangkan. Tingkat pengangguran alamiah ini sekitar 5 hingga 6 persen atau kurang. Artinya jika tingkat pengangguran paling tinggi 5 persen itu berarti bahwa perekonomian dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment). Berdasarkan data BPS (2009), angkatan kerja Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh pekerja di sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan
perikanan yaitu sekitar lebih dari 40 persen dari jumlah pekerja keseluruhan. Sektor kedua yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah perdagangan, restoran dan hotel yaitu sekitar 20 persen. Sedangkan, industri manufaktur yang diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja justru hanya menyerap tenaga kerja sekitar 11 sampai 12 persen.
jasa-jasa 2008 keuangan, real estate dan jasa perusahaan transportasi, komunikasi
2007
perdagangan, restoran,hotel 2006
konstruksi listrik, gas,air
2005 industri manufaktur pertambangan dan penggalian 2004 pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan -5
5
15
25
35
45
Sumber: BPS, 2009 (diolah)
Gambar 4.1. Pekerja Berdasarkan Sektor dalam Persen (2004-2008)
Selain itu, Rahman (2008) menyatakan bahwa karakteristik pengangguran di Indonesia di antaranya adalah: a) Tingkat pengangguran berpendidikan rendah lebih tinggi b) Tingkat pengangguran laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan.
c) Tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi. Peningkatan angkatan kerja baru yang lebih besar dibandingkan dengan lapangan kerja yang tersedia terus menunjukkan jurang (gap) yang terus membesar. Kondisi tersebut semakin membesar setelah krisis ekonomi. Dengan adanya krisis ekonomi terutama krisis global baru-baru ini tidak saja membuat jurang antara peningkatan angkatan kerja baru dengan penyediaan lapangan kerja yang rendah terus makin dalam, tetapi juga merangsang tingginya pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga tingkat pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun terus semakin tinggi.
4.2.
Gambaran Inflasi di Indonesia Perkembangan inflasi di Indonesia menunjukkan fluktusi yang bervariasi
dari waktu ke waktu. Inflasi mulai menjadi perhatian ketika adanya krisis pada tahun 1960-an dimana Indonesia mengalami hiperinflasi sebesar 650 persen sehingga perekonomian terguncang dengan hebat, tetapi tekanan tersebut dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan anti-inflasi, sehingga pada Repelita II, III, dan IV inflasi menurun menjadi sebesar 14.77 persen, 13.6 persen dan 6.9 persen. Kemudian krisis kembali menghantam negeri ini pada tahun 1997-1998 yang berdampak pada semua aspek kehidupan, salah satunya adalah inflasi yang mencapai 58.4 persen.
inflasi
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
Sumber: IFS, 2009
Gambar 4.2. Perkembangan Inflasi 1985-2008
Inflasi kembali mulai menjadi perhatian sejak dikeluarkannya kebijakan UU No. 23/1999 yang sebenarnya dapat mengkategorikan Indonesia sebagai "Inflation Targeting Lite Countries". Sejak awal ditetapkannya pada tahun 2005 sebesar 6 persen dengan deviasi 1 persen, inflation targeting baru dapat berjalan secara efektif pada kuartal IV tahun 2006, yaitu sebesar 5,5 persen dengan deviasi sebesar 1 persen. Pemerintah
berkoordinasi
dengan
BI
telah
menetapkan
dan
mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008 masingmasing sebesar 8 persen, 6 persen, dan 5 persen dengan standar deviasi masingmasing adalah 1 persen. Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3 persen agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya. Pemerintah dan Bank Indonesia telah sepakat menetapkan sasaran inflasi 2008-2010 sebesar 5 persen untuk 2008; 4.5 persen (2009); dan 4 persen (2010)
dengan deviasi 1 persen. Target inflasi 2008 yakni 5 persen dengan deviasi 1 persen tersebut sesuai dengan target APBN 2008 yakni 6 persen. Rata-rata tingkat inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985 hingga tahun 1996 relatif rendah yaitu masih berkisar satu digit sebesar 7.9 persen per tahun. Namun, ketika terjadi krisis, tahun 1998 tingkat inflasi mencapai 58.3 persen dan setelah tahun 1998 tingkat inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen. Pada tahun 2008 terdapat beberapa resiko yang dapat memberikan tekanan pada inflasi sehingga berpotensi mengganggu pencapaian sasaran inflasi tersebut. Risiko tersebut di antaranya adalah (i) proses konsolidasi pasar finansial global terkait dampak krisis subprime mortgage masih belum reda, (ii) resiko terkait kenaikan harga minyak dunia di awal tahun 2008, (iii) potensi peningkatan permintaan konsumsi minyak domestik di atas asumsi terutama yang dipicu oleh tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi maupun harga BBM di negara tetangga, (iv) kemampuan produksi minyak domestik yang tidak sesuai target dan (v) persepsi pelaku ekonomi terhadap prospek kesinambungan fiskal dan prospek perekonomian secara keseluruhan terkait dampak kenaikan harga minyak dunia.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Uji Ekonometrika dengan Ordinary Least Square (OLS)
5.1.1. Hasil Estimasi dan Pembahasan Tabel 5.1. menunjukkan bahwa hasil regresi memiliki koefisien 2
determinasi R sebesar 0.897 menunjukkan bahwa 89.7 persen variabel penjelas dapat menjelaskan variabel dependen, sedangkan sisanya 10.3 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model (Lampiran 2).
Tabel 5.1. Hasil Regresi Model Variabel dependen: UN Sample: 1986- 2008 (N=23) Variabel Coefficient INF 0.004659 LNAK 7.799990 UN(-1) 0.573346 C -86.36316 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.897328 0.881117 1.012382 19.47341 -30.72148 1.736499
Std. Error 0.021618 4.460189 0.213248 49.66218
t-Statistic 0.215503 1.748802 2.688629 -1.739013
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.8317 0.0965 0.0145 0.0982 5.862816 2.936190 3.019259 3.216736 55.35193 0.000000
Uji statistik t pada tingkat signifikansi α = 0.10 menunjukkan bahwa tingkat inflasi tidak signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Hipotesis pertama yang diterapkan, yaitu tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran, ditolak. Variabel jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran tahun sebelumnya signifikan berpengaruh terhadap tingkat
pengangguran.
Pengaruh
positif
dari
kedua
variabel
terhadap
tingkat
pengangguran sesuai dengan dugaan yang digunakan. Koefisien inflasi yang diperoleh bernilai 0.004659. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran. Uji hipotesis menunjukkan bahwa parameter yang diperoleh tidak berpengaruh nyata. Jumlah
angkatan
kerja
signifikan
berpengaruh
terhadap
tingkat
pengangguran. Peningkatan angkatan kerja sebesar 1 persen menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 7.79 persen dari jumlah pengangguran tahun sebelumnya, asumsi ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa pertambahan angkatan kerja mengakibatkan pengangguran meningkat. Tingkat pengangguran tahun sebelumnya signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran saat ini. Jika tingkat pengangguran tahun lalu meningkat sebesar 1 persen, maka tingkat pengangguran tahun sekarang bertambah 0.57 persen dari jumlah pengangguran tahun sebelumnya, asumsi ceteris paribus.
5.1.2. Uji Asumsi OLS Interpretasi hasil estimasi dilakukan apabila asumsi-asumsi OLS yang ada telah terpenuhi, sehingga hasil estimasi merupakan BLUE (Best Liniear Unbiased Estimator). Uji asumsi OLS secara statistik yang diterapkan memberikan kesimpulan bahwa keseluruhan asumsi terpenuhi. Taraf nyata atau tingkat signifikansi yang digunakan adalah α = 0.10 atau sebesar 10 persen.
Asumsi
homoskedastisitas
diuji
dengan
White’s
General
Heteroskedasticity test. Tabel 5.2. menunjukkan nilai probability (Obs*Rsquared) sebesar 0.59. Pada tingkat signifikansi α = 0.10, H
0
diterima.
Kesimpulan yang diperoleh yaitu regresi model tidak mengalami gejala heteroskedastisitas (Lampiran 3).
Tabel 5.2. Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.682627 Probability 6.454101 Probability
0.700483 0.596503
Asumsi tidak adanya autokorelasi diuji dengan Breusch-Godfrey (BG) Test. Tabel 5.3. menunjukkan nilai probability (Obs*R-squared) sebesar 0.512343. Pada tingkat signifikansi α = 0.10, H
0
diterima. Kesimpulan yang
diperoleh yaitu regresi model tidak mengalami autokorelasi (Lampiran 4).
Tabel 5.3. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.342347 Probability Obs*R-squared 0.429279 Probability
0.565741 0.512343
Asumsi normalitas diuji dengan JB test. Hasil uji, dapat dilihat pada Gambar 5.1., menunjukkan probabilitas sebesar 0.75 yang lebih besar dari tingkat signifikansi α = 0.10. Kesimpulan yang diperoleh yaitu residual terdistribusi normal (Lampiran 5).
Gambar 5.1. Hasil Uji Normalitas
Asumsi tidak adanya multikolinearitas diuji dengan menggunakan matriks korelasi. Tabel 5.4. menunjukkan terdapat koefisien korelasi yang bernilai lebih besar dari│0.8│(Lampiran 6).
Tabel 5.4. Matriks Korelasi INF
LNAK
1.000000
-0.000211
-0.030270
0.113954
1.000000
0.930502
-0.030270
0.930502
1.000000
t
INF
t
LNAK
t
U
t-1
t
UN
t-1
Dari Tabel 5.4. bisa kita temukan adanya multikolinearitas. Untuk itu, akan kita lakukan uji Klein yang meliputi langkah langkah-langkah sebagai berikut (Arief, 1993): 1) Regresikan model lengkap, dan akan diperoleh nilai R2 UNt = C+ λ1 INFt + λ2 LNAKt + λ 3 UNt-1 + et
2) Regresikan masing-masing variabel independen terhadap seluruh variabel independen lainnya, dapatkan nilai Ri2. Regresi ini disebut auxiliary regression, yang pada kasus ini meliputi: INFt
= α0 + α1 LNAKt + α2 UNt-1
LNAKt = α0 + α1 INFt + α2 UNt-1 UNt-1 = α0 + α1 INFt + α2 LNAKt 3) Apabila terdapat Ri2 > R2 berarti terdapat masalah multikolinieritas yang serius, dan sebaliknya.
Tabel 5.5. Hasil Uji Klein Variabel dependen
Variabel independen
Ri-squared
INFt
LNAKt, UNt-1
0.151463
NAKt
INFt, UNt-1
0.886051
UNt-1
INFt, LNAKt
0.884658
Tabel 5.5. menunjukkan hasil uji Klein. Ri-squared yang dihasilkan ternyata lebih kecil dari R-squared persamaan (5.1) yakni sebesar 0.89. Sehingga dapat disimpulkan bahwa multikolinearitas yang muncul pada uji melalui matriks korelasi dapat diabaikan (Lampiran 7).
Tabel 5.6. Uji Bias Spesifikasi Model Ramsey RESET Test: F-statistic Log likelihood ratio
0.352310 Probability 0.934083 Probability
0.708075 0.626854
Uji asumsi spesifikasi model tidak bias diterapkan dengan menggunakan uji Ramsey RESET. Tabel 5.6. menunjukkan probabilitas dari statistik F bernilai 0.71 tidak signifikan pada tingkat signifikansi α = 0.10. Kesimpulan yang diperoleh yaitu model tidak mengalami kesalahan spesifikasi (Lampiran 8).
5.1.3. Uji Stabilitas Parameter Chow breakpoint test memberikan hasil nilai statistik F sebesar 0.69 dengan probabilitas 0.61 (Tabel 5.7.). Kesimpulan yang diperoleh yaitu menolak hipotesis yang menyatakan bahwa parameter tidak stabil untuk kedua periode 1986-1996 dan 1997-2008 pada tingkat signifikansi α = 0.10 (Lampiran 9). Hasil ini menunjukkan bahwa untuk kedua periode parameter tidak berubah signifikan atau krisis ekonomi tidak mempengaruhi tingkat pengangguran.
Tabel 5.7. Hasil Uji Stabilitas Parameter Chow Breakpoint Test: 1997 F-statistic Log likelihood ratio
0.688316 Probability 3.875943 Probability
0.611198 0.423055
Hipotesis kedua yang diterapkan, yaitu krisis ekonomi pada tahun 1997 tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran, diterima. Penggunaan variabel dummy ke dalam model untuk mengetahui estimasi besaran pengaruh krisis ekonomi terhadap tingkat pengangguran tidak dilakukan. Hasil regresi yang diperoleh tidak memenuhi asumsi OLS, yaitu normalitas.
5.1.3.
Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) Tabel 5.8. menunjukkan hasil uji kausalitas Granger. Dari hasil tersebut
tampak bahwa pada taraf kepercayaan
= 0.10, inflasi dan pengangguran tidak
memiliki hubungan sebab-akibat (Lampiran 10). Artinya, inflasi tidak bisa menyebabkan pengangguran dan pengangguran juga tidak bisa menyebabkan inflasi. Hal ini bisa dilihat dari nilai probabilitasnya yang lebih dari 0.10 sehingga kita harus menerima hipotesis nolnya yang berupa inflasi tidak menyebabkan pengangguran dan pengangguran tidak menyebabkan inflasi.
Tabel 5.8. Hasil Uji kausalitas Granger Hipotesis nol INF does not Granger Cause UN UN does not Granger Cause INF
5.2.
Obs
F-Statistic
Probability
23
0.10097
0.75396
0.03010
0.86400
Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Pada Gambar 5.2 tampak bahwa sebaran data inflasi dan pengangguran
yang diplotkan tidak membentuk suatu pola yang jelas seperti yang pernah diplotkan oleh A.W. Phillips untuk menganalisis hubungan inflasi dan pengangguran di Inggris untuk tahun 1861-1957 yang menunjukkan adanya korelasi negatif antara pengangguran dan inflasi. Gambar 5.2 menunjukkan bahwa antara inflasi dan pengangguran di Indonesia pada periode 1985-2008 tidak terdapat hubungan yang signifikan seperti juga yang ditunjukkan oleh hasil regresi pada Tabel 5.1.
20
15
10
5
0 1
3
5
7
9
11
Gambar 5.2. Sebaran Hubungan Inflasi dan Penganggguran di Indonesia 19852008
Kritik terhadap teori kurva Phillips dimulai dengan tanggapan Milton Friedman pada tahun 1976 yang mengatakan bahwa teori dasar dari kurva Phillips ini hanya terjadi pada jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang, karena pada jangka pendek masih berlaku harga kaku (sticky price), sedangkan pada jangka panjang berlaku harga fleksibel. Dengan kata lain, tingkat pengangguran bagaimanapun juga akan kembali pada tingkat alamiahnya, sehingga hubungan yang terjadi antara inflasi dan pengangguran ini menjadi positif. Tanggapan ini juga dikenal dengan Natural Rate Hypothesis atau Accelerationist Hypothesis (Samuelson, 1985). Penerapan teori kurva Phillips ini ternyata bisa berubah jika periode penelitiannya juga berubah. Hal ini juga tampak pada hasil penelitian Banthumnavin (2002) yang mengaplikasikan kurva Phillips di Thailand. Hasilnya
menunjukkan bahwa pada periode sebelum krisis 1997 hubungan inflasi dan pengangguran di Thailand adalah positif, namun setelah terjadi krisis 1997 ternyata hubungannya adalah negatif. Dua (2006) juga menemukan fenomena yang menarik dalam menganalisis kurva Phillips di negara-negara Asia. Hubungan positif namun tidak signifikan antara inflasi dan pengangguran ditemukan di negara Philipina, China, India, dan Thailand. Hubungan positif ini terutama terjadi pada negara-negara dengan pertumbuhan populasi yang tinggi. Hal ini karena pertumbuhan populasi yang tinggi dapat mengakibatkan pertumbuhan yang tinggi pula terhadap angkatan kerja, sehingga jika lapangan kerja tidak mampu menyerap semua perubahan tersebut, pengangguran akan meningkat. Hubungan inflasi dan pengangguran yang positif dalam kurva Phillips ini bisa saja menunjukkan bahwa fenomena inflasi lebih cenderung merupakan fenomena cost push inflation atau dorongan penawaran. Inflasi dari sisi penawaran terjadi apabila terdapat penurunan penawaran terhadap barang-barang dan jasa karena adanya kenaikan dalam biaya produksi yang diakibatkan oleh keinginan meningkatnya tingkat upah riil pekerja karena adanya ekspektasi inflasi dimasa depan akan meningkat. Peningkatan upah ini akan membuat produsen untuk menurunkan tingkat produksinya dibawah tingkat produksi optimal sehingga akan meningkatkan harga dan akan meningkatkan tingkat pengangguran. Namun, jika kita mengamati fenomena di Indonesia, kondisi upah di Indonesia cenderung sulit untuk meningkat, sehingga inflasi tidak berpengaruh signifikan pada kenaikan upah. Sulitnya upah untuk naik juga dapat disebabkan
oleh masih relatif lemahnya serikat buruh di Indonesia, sehingga negosiasi upah pekerja terhadap perusahaan juga masih relatif lemah. Tingkat inflasi yang tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran diduga juga dapat disebabkan oleh pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi dan adanya kekakuan harga dan upah. Jumlah lapangan kerja yang dibutuhkan lebih besar dari lapangan kerja yang tersedia setiap tahunnya. Hasil regresi model menunjukkan bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh, sedangkan jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran tahun sebelumnya berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Pada Tabel 5.1. ditemukan hubungan yang positif dan signifikan dari jumlah angkatan kerja. Hubungan ini disebabkan oleh pertambahan angkatan tidak terserap seluruhnya oleh lapangan kerja yang ada, sehingga sisa angkatan kerja baru yang tidak tertampung tersebut menjadi tambahan pengangguran yang baru. Jika lapangan kerja yang tersedia tidak mampu menyerap seluruh angkatan kerja, maka sebagian pengangguran tahun lalu akan kembali menjadi pengangguran tahun sekarang. Uji kausalitas Granger ini menunjukkan bahwa parameter yang diperoleh tidak signifikan. Kesimpulan yang diperoleh adalah inflasi tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Hal ini sesuai dengan gambaran tingkat pengangguran dan inflasi di Indonesia dimana ada kalanya pengangguran meningkat saat inflasi rendah seperti tahun 2001 ke tahun 2003 dan ada kalanya pengangguran turun saat inflasi turun seperti tahun 2005 ke tahun 2007.
Berdasarkan hasil Chow Breakpoint Test
pada Tabel 5.7 dapat
disimpulkan bahwa krisis ekonomi 1997-1998 tidak berpengaruh pada tingkat pengangguran. Tren tingkat pengangguran yang meningkat pada kedua periode diduga menyebabkan tidak ada perubahan parameter dari periode 1985-1996 ke periode 1997-2008
yang signifikan secara
statistik. Perbedaan
tingkat
pengangguran pada kedua periode terlihat pada periode 1985-1996 tingkat pengangguran stabil di bawah 4 persen sedangkan pada periode 1997-2005 tingkat pengangguran berada di kisaran 8 persen dan terus meningkat hingga lebih dari 10 persen pada tahun 2005 dan tahun 2006, namun kembali turun menjadi 9 persen hingga 8 persen pada tahun 2007 dan 2008. Sebuah hasil studi BPS dan UNDP (1999) dalam Irawan, et. al. (2000) menunjukkan bahwa selama periode 1997-1998 sektor pertanian menyerap banyak tenaga kerja dan menyangga tekanan tenaga kerja sebagai akibat kontraksi ekonomi yang menuju kepada rasionalisasi tenaga kerja di sektor non-pertanian. Hal tersebut memberikan dugaan bahwa pada tahun 1997 dan 1998 tingkat pengangguran tidak meningkat tajam karena adanya peranan sektor pertanian yang tumbuh pada saat krisis ekonomi dan mampu menyerap angkatan kerja. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Priyono (2002) yang menyatakan bahwa krisis ekonomi 1997 tidak berimplikasi pada tingkat pengangguran, namun berpengaruh terhadap turunnya pendapatan riil terutama bagi mereka yang berstatus sebagai karyawan, yang merupakan akibat tingginya inflasi. Tingkat pengangguran yang tidak meningkat secara drastis ini juga diduga sebagai akibat adanya sektor informal sebagai buffer perekonomian.
Adanya sektor informal juga berperan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para pengangguran yang beralih dari sektor formal akibat krisis 1997-1998. Sehingga tingkat pengangguran tidak meningkat terlalu tajam, tapi juga tidak turun walaupun tingkat inflasi meningkat hingga mencapai lebih dari 50 persen pada tahun 1998. Hal ini juga menguatkan argumen bahwa tingginya inflasi tidak menyebabkan tingkat pengangguran turun, sehingga hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran seperti yang diungkapkan oleh A.W.Phillips (1958) tidak berlaku di Indonesia. Hubungan inflasi dan pengangguran yang tidak signifikan serta krisis 1997-1998 yang tidak bepengaruh pada tingkat pengangguran ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, terutama mengenai struktul pasar tenaga kerja di Indonesia yang relatif khas. Rahman (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pengangguran di Indonesia termasuk kategori disequilibrium persistent unemployment without self correcting mechanism, yaitu pengangguran yang bersifat persisten dan tidak dapat melakukan perbaikan sendiri ke arah keseimbangan atau cenderung meningkat setiap waktunya atau dengan kata lain tingkat pengangguran lebih tinggi daripada tingkat partisipasi kerja. Persistensi pengangguran tersebut dapat disebabkan oleh: a) Kekakuan upah nominal, yang dapat disebabkan oleh adanya kebijakan upah minimum dan sulitnya penyesuaian upah terhadap inflasi. b) Kekakuan upah riil, yang dapat disebabkan olej kegagalan upah riil menyesuaikan dengan Marginal Productivity of Labour (MPL).
c) Sumber persistensi lain: waktu pencarian pekerja oleh perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu, pergeseran sektoral, ketidaksempurnaan informasi lowongan kerja, mobilitas geografis, peran serikat pekerja, dan aturan pemerintah. Aturan pemerintah ini di antaranya mengenai adanya jamsostek, pesangon, upah skorsing, serta kebebasan tenaga kerja luar negeri untuk bekerja di Indonesia (Amarullah, 2008).
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan salah satu bentuk anticipated inflation. Ketika target inflasi tahun depan diumumkan, adanya penetapan inflasi ini seharusnya dapat diantisipasi oleh para pengguna tenaga kerja dengan cara menaikkan upah nominal sehingga upah riil tetap. Namun pada kenyataannya adanya pengumuman tingkat inflasi dari ITF tidak serta merta diantisipasi oleh pelaku ekonomi di Indonesia. Namun, fenomena yang terjadi di Indonesia adalah sulitnya upah nominal untuk naik, sehingga adanya peningkatan inflasi mengakibatkan upah riil turun. Sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009, Pemerintah telah menetapkan sasaran-sasaran indikatif penurunan tingkat pengangguran menjadi 7 persen hingga 8 persen. Untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan, menempuh beberapa kebijakan yaitu: Pertama, menciptakan lapangan kerja formal seluasluasnya, mengingat lapangan kerja formal lebih produktif dan lebih memberikan perlindungan sosial kepada pekerja dibandingkan sektor informal. Kedua, mendorong perpindahan pekerja dari pekerjaan yang berproduktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi pekerja. Ketiga, mendorong sektor informal melalui
fasilitas kredit UMKM sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerja informal. Salah satu kebijakan operasional yang digunakan adalah adanya rencana Stimulus Fiskal 2009 senilai Rp. 73, 3 triliun. Muatan alokasi anggarannya adalah untuk proyek infrastruktur (belanja pemerintah) dan target terbukanya 2,4 juta lapangan kerja baru. Hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya hubungan negatif antara pengangguran dan inflasi dapat memberikan pengertian bahwa kebijakan Inflation Targeting Framework dan RAPBN 2009 yang masing-masing untuk mencapai inflasi pengangguran yang rendah dalam jangka panjang dapat dilaksanakan secara bersamaan. Agar hasilnya efektif, tentunya diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah dan Bank Indonesia baik dalam hal pelaksaanaan maupun pengawasannya.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Teori kurva Philips, hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran,
tidak berlaku di Indonesia untuk periode tahun 1985 hingga 2008. Hal ini dapat dilihat dari hasil regresi model yang menunjukkan koefisien inflasi bernilai positif dan tidak signifikan. Uji kausalitas Granger juga menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran. Tingkat pengangguran ternyata dipengaruhi oleh pertumbuhan angkatan kerja dan pengangguran tahun sebelumnya. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran, ditolak. Krisis ekonomi 1997-1998 ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Uji Chow breakpoint menunjukkan bahwa krisis ekonomi 1997-1998 tidak berpengaruh
pada tingkat pengangguran
walaupun tingkat inflasi meningkat tajam. Hal ini juga dapat diamati dari tren tingkat pengangguran yang cenderung positif baik sebelum maupun sesudah krisis ekonomi 1997-1998. Selain itu, keberadaan sektor pertanian dan sektor informal yang menyerap tenaga kerja saat krisis membuat tingkat pengangguran tidak meningkat tajam setajam peningkatan inflasi. Dari hasil empiris tersebut, pengangguran dan inflasi yang tidak memiliki hubungan kausalitas ini memberikan kesimpulan bahwa pelaksanaan inflation targeting tidak memberikan trade off pada RAPBN 2009, sehingga dapat dilaksanakan guna mencapai kesejahteraan ekonomi dengan efektif.
6.2.
Saran Adapun saran yang bisa disampaikan adalah: 1. Pemerintah sebaiknya mengefektifkan kembali kebijakan yang bertujuan untuk
mengurangi
laju
pertumbuhan
penduduk
sehingga
dapat
menurunkan laju pertumbuhan angkatan kerja yang ternyata berpengaruh signifikan secara statistik terhadap tingkat pengangguran. Misalkan, Keluarga Berencana (KB). 2. Pemerintah sebaiknya menetapkan kebijakan makro dan mikro yang terpadu. Misalnya, menstimulus pembangunan sektor-sektor potensial yang dapat menyerap angkatan kerja dengan cepat seperti sektor pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Selain itu, sektor ekonomi kreatif juga dapat dijadikan alternatif potensial dalam penyerapan tenaga kerja. 3. Pembangunan infrastruktur guna meningkatkan penyerapan tenaga kerja terutama dengan pola padat karya serta pemanfaatan produk dalam negeri. 4. Sebaiknya tidak hanya angka pengangguran yang digunakan sebagai indikator untuk melihat dinamika pasar tenaga kerja di negara sedang berkembang (termasuk Indonesia) di mana peranan sektor informal sangat besar, khususnya jika dikaitkan dengan krisis ekonomi. 5. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya memperhitungkan penentuan tingkat pengangguran alamiah dan ekspektasi rasional dalam mencari hubungan antara inflasi dan pengangguran di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amarullah, I. 2008. Analisis Faktor-faktor Penyebab Persistensi Pengangguran di Indonesia. [Skripsi]. IPB, Bogor. Amri, A. 2007. “Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengangguran di Indonesia” [www.amriamir.wordpress.com]. http://www.ziddu.com/download/4822588/inflasi dan pengangguran di indonesia.pdf.html [10 Juni 2009]. Arief, S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. UI PRESS, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2009. Population 15 Years of Age and Over Who Worked by Main Industry 2004-2008. BPS, Jakarta. Bank Indonesia. 2008. Bank Indonesia Suatu Pengantar. BI, Jakarta Banthumnavin, K. 2002. “The Phillips Curve‟s in Thailand”. http://www.ecomod.net/conferences/ecomod2002/papers/bhanthumnavin.p df [10 Juni 2009]. Belante, D. dan M. Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Wimandjaja dan Yasin [Penerjemah]. LPFEUI, Jakarta. Bureau of Labor Statistics. 2009. “The Employment Situation – July 2009”. [Bureau of Labor Statistics]. http://www.bls.gov/news.realease/empsit.nr0.htm [7agustus2009] Departemen Keuangan RI. 2009. Nota Keuangan dan RAPBN 2009. Depkeu, Jakarta Dua, P. 2006. “Inflation-Unemployment Trade-Off in Asia”. [United Nation]. http://www.chass.utoronto.ca/link/meeting/papers/1030_pm_dua.pdf [10 Juni 2009]. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. International Labor Organization. 2009. Key Indicators of Labor Market of Indonesia 1985-2008. KILM 5th Edition Software. International Monetary Fund. 2009. Change of CPI of Indonesia 1985-2008: International Financial Statistics. IMF CD room.
Irawan, P. B., I. Ahmed, dan I. Islam. 2000. ”Labour Market Dynamics in Indonesia” [International Labor organization]. www.ilo.org/public/english/region/asro/jakarta/download/kilm.pdf [4 Maret 2009]. Lipsey, R. G., P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. O. Steiner. 1997. Pengantar Makroekonomi Jilid 1. Edisi ke-10. Wasana, Kirbrandoko, dan Budijanto [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Menkokesra. 2007. “Pengangguran Indonesia Menjadi Ancaman ASEAN”. http://www.menkokesra.go.id/content/view/5062/39/ [3 Agustus 2009]. Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Columbia University, Columbia. Priyono, E. 2002. “Mengapa Angka Pengangguran Rendah di Masa Krisis?: Menguak Sektor Informal sebagai Buffer dalam Perekonomian”. [Akademika]. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol 1, No. 2, Juli 2002. www.akademika.or.id/arsip/Pengangguran-Edy.pdf [10 Juni 2009]. Rahman, A. 2008. Analisis Eksistensi Persistensi Pengangguran di Indonesia. [Skripsi]. IPB, Bogor. Ramanakrishnan, U. dan A.Vamvakidis. 2002. “Forecasting Inflation in Indonesia”. IMF Working Papers. [International Monetary Fund]. http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2002/wp02111.pdf [7 Agustus 2009]. Samuelson, P. A. 1985. Economics: Eleventh edition. McGraw-Hill, Boston. Simamare, R. J. 2006. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Tingkat Pengangguran di Indonesia: Aplikasi Hukum Okun. [Skripsi]. IPB, Bogor.
Lampiran 1. Data Variabel yang Digunakan tahun
Angkatan kerja (ribu)
Pengangguran (ribu)
Pekerja (ribu)
1985
63,825.62
1,368.479
62,457.14
1986 1987
70,192.93 72,245.31
1,854.722 1,842.87
68,338.20 70,402.44
1988 1989
74,623.90 75,508.09
2,105.797 2,083.2
72,518.10 73,424.89
1990 1991
77,802.20 78,455.60
1,951.598 2,032.4
75,850.60 76,423.20
1992 1993
80,302.90 81,446.54
2,198.798 2,245.538
78,104.10 79,201.00
1994 1995 1996 1997 1998 1999
85,774.52 86,361.20 89,988.45 91,247.31 92,736.08 94,847.18
3,737.522 6,251.204 4,286.636 4,197.303 5,062.481 6,030.317
82,037.00 80,110.00 85,701.81 87,050.00 87,673.60 88,816.86
2000 2001
95,650.96 98,812.45
5,813.235 8,005.034
89,837.73 90,807.41
2002 2003
100,779.27 102,630.80
9,132.103 9,820.013
91,647.17 92,810.79
2004 2005 2006 2007 2008
103,973.39 105,857.65 106,388.94 109,941.36 111,947.27
10,251.35 10,859.93 1,0932 10,011.14 9,394.515
93,722.04 94,997.73 95,456.94 99,930.22 102,552.75
Sumber: ILO (1985-2009)
Lampiran 1. (Lanjutan) Tingkat Pengangguran (persen)*
Tahun
Inflasi (persen)**
1985
2.14409
4.7294
1986
2.64232
5.8272
1987
2.55085
9.27549
1988
2.82188
8.04317
1989
2.75891
6.41766
1990
2.50841
7.81268
1991
2.59051
9.41054
1992
2.73813
7.53123
1993
2.75707
9.68274
1994
4.35738
8.52061
1995
7.23844
9.43336
1996
4.76354
7.97005
1997
4.59992
6.2299
1998
5.45902
58.3871
1999
6.35793
20.4891
2000
6.07755
3.71838
2001
8.10124
11.5039
2002
9.06149
11.8788
2003
9.56829
6.58572
2004
9.85959
6.24352
2005
10.25899
10.452
2006
10.2755
13.11
2007
9.105893
6.41
2008 8.391911 Sumber: * ILO, 2009 ** IMF, International Financial Statistic, 2009
10.28
Lampiran 2. Hasil Regresi Model Dependent Variable: UN Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 17:40 Sample (adjusted): 1986 2008 Included observations: 23 after adjustments Variable INF LNAK UN(-1) C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficie nt
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.004659 7.799990 0.573346 86.36316
0.021618 4.460189 0.213248
0.215503 1.748802 2.688629
0.8317 0.0965 0.0145
49.66218
-1.739013
0.0982
0.897328 0.881117 1.012382 19.47341 30.72148 1.736499
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion
5.862816 2.936190 3.019259 3.216736
F-statistic Prob(F-statistic)
55.35193 0.000000
Lampiran 3. Hasil Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.564523 6.463033
Prob. F(9,13) Prob. Chi-Square(9)
0.803116 0.692829
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 19:03 Sample: 1986 2008 Included observations: 23 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNAK LNAK^2 LNAK*INF LNAK*UN(-1) INF INF^2 INF*UN(-1) UN(-1) UN(-1)^2
1551.351 -283.2506 12.89270 -0.553556 -2.417993 6.279375 -0.000259 0.009013 28.60598 -0.053595
19016.70 3421.088 153.8602 3.297659 14.61734 37.01395 0.004014 0.130814 162.5603 0.370066
0.081578 -0.082795 0.083795 -0.167863 -0.165420 0.169649 -0.064424 0.068896 0.175972 -0.144826
0.9362 0.9353 0.9345 0.8693 0.8712 0.8679 0.9496 0.9461 0.8630 0.8871
0.281001 -0.216767 1.525329 30.24615 -35.78515 1.318264
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.846670 1.382801 3.981317 4.475010 0.564523 0.803116
Lampiran 4. Hasil Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.342347 0.429279
Prob. F(1,18) Prob. Chi-Square(1)
0.565741 0.512343
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 19:06 Sample: 1986 2008 Included observations: 23 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNAK INF UN(-1) C RESID(-1)
2.737278 -0.001202 -0.149168 -30.38650 0.227050
6.518647 0.022098 0.334814 72.46960 0.388050
0.419915 -0.054394 -0.445523 -0.419300 0.585105
0.6795 0.9572 0.6613 0.6800 0.5657
0.018664 -0.199410 1.030371 19.10995 -30.50481 1.914436
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
4.28E-15 0.940827 3.087375 3.334221 0.085587 0.985810
Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas 7 Series: Residuals Sample 1986 2008 Observations 23
6 5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -2
-1
0
1
2
4.28e-15 0.090916 2.402412 -2.038443 0.940827 0.268693 3.551443 0.568170 0.752703
Lampiran 6. Hasil Uji Multikolinearitas
INF LNAK UN(-1)
INF 1.000000 0.113954 -0.030270
LNAK 0.113954 1.000000 0.930502
UN(-1) -0.030270 0.930502 1.000000
Lampiran 7. Hasil Uji Klein 1) INF sebagai Variabel Dependen Dependent Variable: INF Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 19:12 Sample (adjusted): 1986 2008 Included observations: 23 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNAK UN(-1) C
80.08939 -3.694881 -881.7646
42.51673 2.045179 474.3397
1.883715 -1.806630 -1.858931
0.0742 0.0859 0.0778
0.151463 0.066609 10.47168 2193.122 -85.04784 2.067900
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
11.09609 10.83888 7.656334 7.804442 1.784989 0.193512
2) LNAK sebagai Variabel Dependen Dependent Variable: LNAK Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 19:13 Sample (adjusted): 1986 2008 Included observations: 23 after adjustments Variable
Coefficie nt
Std. Error
t-Statistic
Prob.
INF UN(-1) C
0.001881 0.044967 11.13395
0.000999 0.003633 0.025709
1.883715 12.37894 433.0739
0.0742 0.0000 0.0000
0.886051 0.874656 0.050755 0.051521 37.52897 1.082254
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
11.40625 0.143359 -3.002519 -2.854411 77.75871 0.000000
3) UN(-1) sebagai Variabel Dependen Dependent Variable: UN(-1) Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 19:14 Sample (adjusted): 1986 2008 Included observations: 23 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNAK INF C
19.67114 -0.037971 -218.3613
1.589080 0.021018 18.10170
12.37894 -1.806630 -12.06303
0.0000 0.0859 0.0000
0.884658 0.873124 1.061558 22.53810 -32.40229 1.158247
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
5.591172 2.980254 3.078460 3.226568 76.69856 0.000000
Lampiran 8. Hasil Uji Ramsey RESET
Ramsey RESET Test: F-statistic Log likelihood ratio
0.352310 0.934083
Prob. F(2,17) Prob. Chi-Square(2)
0.708075 0.626854
Test Equation: Dependent Variable: UN Method: Least Squares Date: 24/06/09 Time: 22:53 Sample: 1986 2008 Included observations: 23 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
INF LNAK UN(-1) C FITTED^2 FITTED^3
-0.007001 -7.383865 -0.867228 85.35311 0.399787 -0.021009
0.026353 18.76497 1.804531 212.1063 0.479267 0.025029
-0.265680 -0.393492 -0.480584 0.402407 0.834163 -0.839406
0.7937 0.6988 0.6369 0.6924 0.4158 0.4129
0.901414 0.872419 1.048764 18.69840 -30.25444 1.867030
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
5.862816 2.936190 3.152560 3.448776 31.08782 0.000000
Lampiran 9. Hasil Uji Chow Breakpoint
Chow Breakpoint Test: 1997 F-statistic Log likelihood ratio
0.688316 3.875943
Prob. F(4,15) Prob. Chi-Square(4)
0.611198 0.423055
Lampiran 10. Hasil Uji Granger Causality
Pairwise Granger Causality Tests Date: 24/06/09 Time: 19:22 Sample: 1985 2008 Lags: 1 Null Hypothesis: INF does not Granger Cause UN UN does not Granger Cause INF
Obs
F-Statistic
Probability
23
0.10097 0.03010
0.75396 0.86400