Analisis GIS Terhadap Gerakan Tanah di Girimulyo, Kulonprogo, D.I. Yogyakarta, dan Kajian Faktor – Faktor Pengontrolnya Yogi Saktyan Respati1, Asnanto Multa Putranto1, Azim Suwardi1, Irien Akinina Fatkhiandari1, dan Salahuddin Husein2 1) Student at Geological Engineering Department Gadjah Mada University, corresponding email:
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected] 2) Lecturer at Geological Engineering Department, Gadjah Mada University
[email protected]
Abstract There were several landslides had occurred at Girimulyo District, Kulonprogo Regency, Yogyakarta Special Province. These suggest that this area exhibits high potential of mass movement. This research is intended to map and analyze the mass movement potentail by using two methods, i.e. qualitative and quantitative, respectively. Direct observation is on site study for internal factors (e.g. lithologies and geologic structure) and external factors (e.g slope, vegetation, and landuses). Quantitative method utilizes Geographic Information System (GIS) spatial analysis on weighted parameters, i.e. slope, lithologies, geologic structures, and landuses. The research area is mainly composed of weathered lithologies of andesit breccia and breccia tuff covering steep slopes, whilst the rainfall rate reaches up to 2205 mm/y. Both factors are presumed to be the main trigger of mass movement. Result of this research is landslide susceptibility zonation which consist of four levels which can be used as a basic information for hazard mitigation and regional planning. There were two types of mass movement exist at this area, fall movement were predominant in andesitic intrusion, whereas flow movement mainly took place in andesitic breccias, coralline limestones, and tuffaceous siltstones. This study suggests that more attention and awareness should be paid for areas with high and very high susceptibility levels such as Tanggulangin, Talunombo, and Giripurwo, particularly during high rainy season. Keywords: Landslide, GIS, Types of Mass Movement, Internal Factors, External Factors, Girimulyo Yogyakarta. Sari Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo, Propinsi D.I.Yogyakarta dikenal sebagai salah satu lokasi yang berpotensi cukup tinggi dalam terjadinya gerakan tanah. Hal ini terbukti dari banyaknya lokasi gerakan tanah yang ditemukan dan telah menimbulkan kerugian. Penelitian ini ditujukan untuk memetakan dan menganalisis potensi gerakan massa dengan 2 metode yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Pengamatan langsung di lapangan dilakukan dengan memperhitungkan faktor internal (litologi dan struktur geologi) dan faktor eksternal (kemiringan lereng, vegetasi, dan tataguna lahan). Metode kuantitatif dengan menggunakan analisa keruangan Sistem Informasi Geografi (SIG) pada parameter yang telah diberi bobot. Terdapat empat parameter yang diberi bobot yaitu litologi, struktur geologi, tata guna lahan, dan kemiringan lereng. Litologi pada lokasi penelitian terutama tersusun oleh breksi andesit dan breksi tuff yang telah mengalami pelapukan cukup tinggi, sedangkan curah hujan secara umum sebesar 2205 mm/tahun. Kedua faktor diatas diduga menjadi salah satu penyebab utama terjadinya gerakan tanah. Penelitian ini menghasilkan peta kerentanan tanah dan terbagi menjadi empat zona yang digunakan sebagai informasi dasar untuk melakukan mitigasi bencana dan pengembangan area yang lebih baik dan terencana. Terdapat dua jenis longsoran yaitu tipe aliran dan tipe jatuhan. Tipe aliran mendominasi jenis tanah longsor yang ada di daerah ini. Hasil penelitian juga
menunjukan perlunya peningkatan kewaspadaan terhadap daerah yang termasuk zona tinggi dan sangat tinggi seperti Desa Tanggulangin, Tanulombo, dan Giripurwo terutama pada saat musim penghujan. Kata kunci: Gerakan Massa, SIG, Jenis longsor, Faktor Internal, dan Eksternal, Girimulyo Yogyakarta.
I. Pendahuluan Daerah penelitian terletak di daerah Kecamatan Girimulyo dan sekitarnya, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 4). Secara fisiografi daerah penelitian merupakan bagian dari Plato Jonggrangan yang terekspresikan dengan pegunungan dan dataran – dataran tinggi. Penelitian ini didasari adanya ketertarikan pada morfologi daerah penelitian yang sangat berpotensi untuk terjadi tanah longsor. Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya tanah longsor yang terjadi pada daerah penelitian yang menimbulkan cukup banyak kerugian hingga memakan korban jiwa. Didasari oleh keadaan itu maka perlu dilakukan adanya tindakan pencegahan dan perencanaan yang baik untuk menghindari atau mengurangi kerugian yang timbul akibat bencana tersebut. Penelitian ini berfungsi sebagai salah satu pendukung untuk membantu membuat perencanaan mitigasi bencana yang baik dan terpadu sehingga mitigasi bencana ini dapat dilakukan secara efisien dan maksimal. Penelitian ini secara khusus mengkaji dan menganalisis mengenai potensi terjadinya gerakan tanah serta faktor – faktor yang mempengaruhinya, untuk kemudian dapat memberikan informasi kepada masyarakat daerah penelitian tentang zona - zona yang rentan terjadi gerakan tanah. Nilai penting dari penelitian ini adalah dapat memberikan hasil akhir berupa analisis kuantitatif yang merupakan data dari kombinasi nilai – nilai parameter dengan pembobotan secara khusus dari setiap parameternya. Hasil yang diperoleh adalah berupa zonasi daerah yang rentan oleh gerakan tanah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, dimana menggunakan analisis zonasi kerentanan gerakan tanah melalui prosedur analisis dengan bantuan software Geographic Information System (GIS) berupa tumpang tindih faktor – faktor yang berpengaruh terhadap sebaran gerakan tanah. Muara dari penelitian ini adalah dapat memberikan suatu zonasi kerentanan gerakan tanah pada daerah Girimulyo dan sekitarnya, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintahdan masyarakat dalam menanggulangi dan mengantisipasi adanya bahaya dari gerakan tanah tersebut.
II. Pengertian Tanah Longsor Tanah longsor atau gerakan tanah adalah perpindahan material pembentuk lereng, dapat berupa batuan asli, tanah pelapukan, bahan timbunan atau kombinasi dari material – material tersebut yang bergerak ke arah bawah dan keluar lereng (Varnes, 1978). Berdasarkan dari klasifikasi tersebut (Tabel 1), jenis gerakan tanah yang ada pada daerah penelitian adalah jenis aliran dan jatuhan.
III. Geologi Umum Morfologi Secara umum morfologi daerah Kecamatan Girimulyo dan sekitarnya dapat dibagi menjadi 4 satuan berdasarkan Klasifikasi Van Zuidam 1979 (Tabel 2), yaitu: 1. Satuan perbukitan kars bergelombang lemah sampai kuat Satuan ini terdapat pada bagian tenggara dengan luas 4,6 km2 atau 19,1% dari seluruh area penelitian. Lokasi satuan ini terletak pada Desa Jatimulyo, sebelah barat dibatasi oleh Dusun Kalilu dan sebelah timur oleh Dusun Beteng. Batas utara dibatasi oleh Dusun Sibolong dan batas selatan dibatasi oleh Dusun Ngesong. Satuan ini
memiliki kelerengan antara15o-20o dengan besar nilai lereng yang dipengaruhi oleh topografi masing-masing daerah yang berbeda. Beda tinggi yang ada hingga 123 m, antara elevasi 616 m dan 739 m. 2. Satuan kerucut kars berlereng curam Satuan ini tersusun atas kerucut karst berlereng curam dengan ujung yang relatif runcing, terdapat pada daerah tengah dan utara dari satuan ini dengan luas 0,6 km2 atau 2,9% dari seluruh area penelitian. Lokasi satuan ini terletak pada Gunung Ngesong, Gunung Krengseng, Gunung Sibolong dan Gunung Kedung. Satuan ini memiliki kelerengan 30o-50o dengan besar nilai lereng yang dipengaruhi oleh topografi masingmasing daerah yang sedikit berbeda. Beda tinggi yang ada mencapai 162,5 m, antara elevasi 650 m dan 812,5 m. 3. Satuan perbukitan struktural berlereng sedang sampai terjal Satuan ini tersusun atas perbukitan struktural berlereng sedang sampai terjal yang melampar pada daerah tengah dan timur dari satuan ini dengan luas 10,8 km2 atau 50,9% dari seluruh area penelitian. Lokasi satuan ini sebelah barat dibatasi oleh Dusun Banyunganti, sebelah utara oleh Dusun Seblereng, timur oleh Dusun Karanggede dan selatan oleh Tanggulangin. Satuan ini memiliki kelerengan rerata 15o-50o dengan besar nilai lereng yang dipengaruhi oleh topografi masing-masing daerah yang sedikit berbeda. Beda tinggi yang ada mencapai 450 m antara elevasi 650 m dan 200 m. 4. Satuan lembah struktural berlereng terjal Satuan ini tersusun atas lembah struktural berlereng terjal yang terdapat pada daerah tengah dan timur dari satuan ini dengan luas 5,75 km2 atau 27,1% dari seluruh area penelitian. Lokasi satuan ini sebelah baratnya dibatasi oleh Dusun Banyunganti, sebelah utara oleh DusunTompak, timur oleh Dusun Karanggede dan selatan oleh Tanggulangin. Satuan ini memiliki kelerengan rerata 20o-600 dengan besar nilai lereng yang dipengaruhi oleh topografi masing-masing daerah yang sedikit berbeda. Beda tinggi yang ada mencapai 250 m antara elevasi 450 m dan 200 m. Litologi Secara umum daerah pemetaan terbagi ke dalam dua formasi yaitu Formasi Jonggrangan dan Formasi Andesit Tua. Litologi daerah penelitian terbagi menjadi 4 satuan yaitu Satuan Breksi Andesit, Satuan Breksi Tuff, Satuan Intrusi Andesit, dan Satuan Batugamping Terumbu. Satuan Breksi Andesit mempunyai persebaran paling luas dan terdapat pada daerah Tanggulangin, Jatimulyo, Giripurwo, Sumberejo, dan sekitarnya. Satuan Breksi Tuff tersebar di daerah Banyunganti, Seblereng, Kargayam, dan sekitarnya. Satuan Intrusi Andesit tersebar di Sekidang, Lendah, Tumpak, dan sekitarnya. Satuan Batugamping Terumbu tersebar di daerah Kalilu, Sibolong, Blumbang, dan sekitarnya. Kondisi litologi secara keseluruhan mengalami tingkat pelapukan dari sedang – tinggi. Tingkat pelapukan tinggi terdapat pada Satuan Breksi Andesit, Satuan Breksi Tuff, dan Satuan Batugamping Terumbu, sedangkan tingkat pelapukan sedang terutama terdapat pada Satuan Intrusi Andesit. Secara umum litologi pada lokasi penelitian termasuk ke dalam Formasi OAF (Old Andesite Formation) dan Formasi Jongrangan. Dimana Formasi Andesit Tua tersusun oleh breksi vulkanik dengan fragmen andesit, lapili tuff, tuff, breksi lapili, aglomerat, aliran lava, serta batupasir vulkanik, berumur Oligosen-Miosen. Sedangkan Formasi Jonggrangan diendapkan secara tidak selaras dengan Formasi Andesit Tua. Formasi ini berumur Miosen
Bawah – Miosen Tengah. Litologinya berupa kumpulan dari konglomerat, napal pasiran, napal tufaan, batugamping dengan struktur lapisan dan batugamping koral dengan sisipan lignit. Dari kedua formasi tersebut, pemetaan detail di daerah penelitian menghasilkan 3 satuan litologi, yaitu: 1. Satuan batugamping koral Satuan ini termasuk dalam Formasi Jonggrangan dengan pelamparan 30% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Satuan batugamping koral terdiri atas dominansi fasies batugamping koral sebagai batuan sedimen karbonat dengan fragmen koral dominan, moluska, alga dan matriks material karbonatan. Secara petrografis, dominansi batugamping bernama wackestone. Ciri litologi berdasar atas kenampakan fisiknya menunjukkan karakter batuan sedimen dengan tekstur bioklastik, dengan fragmen skeletal moluska, foraminifera besar, alga, dan koral silindris dengan matriks mud (mikrit yang cukup melimpah). Berdasarkan ciri fisik serta dominansi fasies yang didominasi oleh litologi batugamping koral, maka satuan ini dinamakan satuan batugamping koral (Kusuma, 2009). 2. Satuan breksi andesit Satuan ini termasuk ke dalam Formasi Andesit Tua dengan pelamparan 60 % dari luas total. Breksi andesit terdiri atas dominansi fasies breksi andesit dengan fragmen andesit dominan serta matriks batupasir tuffan. Ciri litologi berdasar atas kenampakan fisiknya menunjukkan karakter batuan dengan pemilahan yang sangat buruk, masif dan tebal-sangat tebal. Berdasarkan ciri fisik serta dominansi fasies yang didominasi oleh litologi breksi andesit, maka satuan ini dinamakan satuan breksi andesit (Kusuma, 2009). 3. Satuan andesit piroksen Satuan ini termasuk ke dalam formasi andesit tua dengan pelamparan 10 % dari luas total. Satuan andesit terdiri atas dominansi fasies andesit sebagai batuan beku vulkanik sebagai batuan intrusif diskordan (dike) dengan fenokris plagioklas dan piroksen serta massadasar mineral mafik dan plagioklas. Jenis andesit berupa andesit piroksen. Ciri litologi berdasar atas kenampakan fisiknya menunjukkan karakter batuan masif dengan tekstur porfiroafanitik, dan mineral aksesori piroksen (Kusuma, 2009).
Struktur Struktur geologi yang ada di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh adanya proses – proses yang terjadi pada Kala Oligosen – Miosen. Struktur yang ada berupa kekar dan sesar. Struktur kekar pada daerah penelitian terdiri dari dua jenis yaitu kekar gerus dan kekar tarik. Sedangkan sesar yang terdapat pada daerah penelitian adalah sesar normal yang relatif berarah barat laut – tenggara. Struktur – struktur tersebut bekerja cukup efektif. Salah satu indikasinya adalah adanya pelarutan yang efektif yang terdapat pada zona lemah yang terbentuk akibat adanya struktur – struktur tersebut. IV. Faktor Internal dan Eksternal yang Berpengaruh Terhadap Gerakan Tanah 1. Faktor Internal a. Litologi Litologi dapat tersusun oleh batuan atau soil yang merupakan hasil dari lapukan batuan tersebut. Litologi merupakan faktor yang penting dalam terjadinya gerakan
tanah. Litologi dengan tingkat resistensi yang tinggi seperti batuan beku mempunyai kemungkinan yang kecil untuk terjadi gerakan tanah. Sedangkan litologi dengan resistensi yang rendah seperti soil lebih berpotensi untuk terjadi gerakan tanah. Proses erosi dan pelapukan juga sangat berperan dalam mengontrol tingkat resistensi suatu litologi. b. Struktur Geologi Struktur geologi merupakan zona lemah pada suatu batuan atau litologi. Rekahan yang terjadi mengurangi daya ikat batuan sehingga mengurangi tingkat resistensi batuan tersebut. Selain itu rekahaan yang terbentuk juga menjadi jalan tempat masuknya air sehingga pelapukan dan erosi berjalan dengan lebih intensif. Batuan yang terkena struktur cukup intensif mempunyai potensi yang lebih besar untuk terjadinya gerakan tanah. 2. Faktor Eksternal a. Kelerengan Kelerengan merupakan tingkat kemiringan yang tercermin dalam morfologi. Semakin besar tingkat kelerengan pada umumnya akan semakin menambah kemungkinan terjadinya gerakan tanah pada suatu daerah. Hal ini juga berhubungan dengan adanya gaya gravitasi yang menarik massa batuan dari atas ke bawah. Semakin tinggi tingkat kelerengan maka batuan akan semakin mudah tertarik ke bawah sehingga mengakibatkan terjadinya gerakan tanah b. Tata Guna Lahan dan Vegetasi Tata guna lahan adalah hasil budaya yang dihasilkan oleh manusia. Beberapa diantaranya adalah pemukiman, jalan, sawah dan sebagainya. Tataguna lahan juga berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah. Tataguna lahan dapat menambah beban yang harus ditanggung suatu litologi. Apaila beban yang ditanggung lebih besar dari kekuatan litologi untuk menahan beban, maka akan terjadi pergerakan. Vegetasi adalah segala jenis tumbuhan yang ada di wilayah terebut. Contohnya adalah rumput dan semak belukar. Vegetasi juga berpengaruh terhadap tingkat ketabilan lerang. Beberapa vegetasi dapat meningkatkan kestabilan lereng karena akarnya dapat mengikat massa batuan sehingga lebih kompak. Namun sebaliknya beberapa jenis vegetasi yang mempunyai akar yang lemah justru dapat mengurangi tingkat kestabilan dari suatu lereng yang dapat berdampak pada terjadinya gerakan tanah. V. Metode Penelitian Merupakan metode yang menggunakan analisa zonasi kerentanan gerakan tanah melalui prosedur analisa Geographic Information System (GIS) berupa tumpang tindih faktor – faktor yang berpengaruh terhadap sebaran (distribusi) gerakan tanah. Penggunaan metode kuantitatif ini didukung oleh parameter – parameter pengontrol terjadinya suatu gerakan tanah. Parameter pendukungnya antara lain; lereng, litologi, struktur geologi, dan tata guna lahan dan vegetasi (Tabel 4). Pada setiap parameter yang berperan diberikan suatu nilai (score) yang memiliki hubungan langsung dalam memberikan suatu pembobotan (Tabel 5, 6 , 7, dan 8). Hasil akhirnya diperoleh suatu data zonasi kerentanan gerakan tanah daerah penelitian dalam bentuk kelas.
VI. Hasil dan Diskusi Hasil pengamatan di lapangan disajikan pada Tabel 1. Titik Longsor 1 Titik longsor 1 berada pada daerah dengan litologi andesit yang menerobos breksi andesit. Diperkirakan andesit ini merupakan suatu tubuh batuan intrusi dangkal, dicirikan dengan tekstur afanitik. Pada peta geologi intrusi ini tidak terpetakan. Sifat keteknikan andesit ini yang teridentifikasi di lapangan meliputi tingkat pelapukan yaitu lapuk sedang, tingkat kekerasan keras, dan kekompakan agak kompak. Struktur geologi pada titik longsor ini sangat intensif, berupa kekar lembaran (sheeting joint) yang terbentuk akibat intrusi andesit ini kehilangan beban diatasnya,sehingga terjadi gaya release. Kekar lembaran ini diduga juga merupakan faktor penyebab terjadinya longsor. Selain kekar lembaran, ditemukan juga kekar gerus dengan arah N130oE/65o dan N348oE/44o. Kelerengan yang terukur di lapangan bervariasi dari 37o hingga 50o. Vegetasi yang ditemukan pada titik longsor berupa tumbuh-tumbuhan dengan akar tunggang dan akar serabut, seperti pohon kelapa, dan pohon petai cina. Tataguna lahan terutama digunakan untuk pertambangan andesit, selain itu pada lereng-lereng bukitnya dimanfaatkan sebagai perkebunan cengkeh. Berdasarkan data yang diperoleh dari keterangan oleh warga, terjadinya longsor ini sangat dipengaruhi oleh kesalahan penambangan. Dari hasil pengamatan di lapangan teridentifikasi bahwa tipe longsor pada daerah adalah tipe jatuhan (fall) (Foto 1). Dari hasil penelitian diperoleh suatu pemahaman bahwa jenis longsor pada tempat ini dipengaruhi oleh jenis litologi dan sifat keteknikan batuan. Andesit cenderung mengalami longsor tipe jatuhan (fall), selain itu data sifat keteknikan batuan juga mendukung terjadinya rock fall, yaitu tingkat pelapukan batuan sedang, dan tingkat kekerasan keras. Batuan yang keras dan lapuk sedang lebih cenderung mengalami jatuhan dibanding dengan flow maupun rayapan (creeping). Batuan pada titik longsor ini mengalami jatuhan terutama akibat kesalahan penambangan. Titik Longsor 2 Litologi pada titik longsor 2 berupa breksi andesit, sama dengan jenis litologi yang diterobos oleh intrusi andesit pada titik longsor 1. Sifat keteknikan breksi andesit pada titik longsor 2 yaitu; tingkat pelapukan lapuk tinggi, tingkat kekerasan lunak, dan tingkat kekompakan agak lepas. Pada titik longsor 2 ini struktur geologi tidak teridentifikasi dengan jelas, karena sebagaian besar batuan sudah berubah menjadi regolith, sehingga data-data struktur yang terekam sebagian besar sudah terombak dan hilang. Kelerengan yang terukur di lapangan berkisar antara 56o sampai 66o . Vegetasi yang teramati pada titik longsor 2 cukup bervariasi, seperti tumbuhan papaya, kelapa, jati, bambu, petai cina hingga rerumputan. Teramati bahwa vegetasi yang menyusun daerah ini bervariasi antara tanaman berakar tunggang dan berakar serabut. Tataguna lahan berupa perkebunan jati, tetapi pada daerah yang terkena longsor vegetasi lebih didominasi oleh rerumputan. Tipe longsor yang teramati di lapangan adalah tipe debris flow. Titik longsor 2 ini mengalami longsor disebabkan oleh sifat keteknikan batuannnya. Tingkat pelapukan lapuk tinggi, tingkat kekerasan lunak dan tingkat kekompakan yang agak lepas sangat mendukung terjadinya longsor tipe flow. Karena material yang longsor sudah bercampur dengan air serta vegetasi yang ikut longsor maka jenis longsor pada titik longsor 2 ini disebut tipe debris flow (Foto 2).
Berdasarkan keterangan dari warga longsor terjadi pada waktu musim hujan. Hal ini sangat logis, karena teramati di lapangan bahwa longsor terjadi hanya pada batuan yang lapuk dan bersifat permeable, artinya batuan dasar yang kedap air pada bagian bawahnya tidak ikut longsor. Air yang masuk ke dalam batuan yang permeable kemudian tertahan pada batas antara batuan yang permeable dengan yang unpermeable, dan menjadi bidang gelincir material yang ada diatasnya (Gambar 3).
Titik Longsor 3 Titik longsor 3 tersusun atas litologi berupa breksi andesit sampai breksi tuff dengan sifat keteknikan berupa tingkat pelapukan lapuk tinggi, tingkat kekerasan sangat lunak, dan tingkat kekompakan lepas. Struktur geologi pda titik longsor 3 ini juga sulit terindentifikasi karena secara keseluruhan daerah ini litologi sudah menjadi tanah. Kelerengan yang terukur di lapangan berkisar antara 65o – 70o . Vegetasi yang teramati di lapangan berupa tumbuhan bambu, pisang, dan singkong. Tataguna lahan berupa pemukiman dan irigasi. Dari hasil pengamatan di lokasi pengamatan, diperkirakan bahwa longsor pada daerah ini sangat dipengaruhi oleh infiltrasi air melalui irigasi yang terdapat di atasnya. Irigasi ini justru menjadi pemicu terjadinya longsor karena tidak di semen. Kasusnya hampir sama dengan yang terjadi pada titik longsor 2, air yang masuk melalui selokan pada bagian dekat mahkota longsor meresap dan dan terakumulasi pada batas antara batuan permeable dan unpermeable, dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya longsor (Gambar 4). Inilah yang menyebabakan longsor sering terjadi pada musim hujan (berdasarkan keterangan warga longsor pada titik longsor 3 ini terjadi pada musim hujan). Tipe longsor yang teramati di lapangan earth flow, dimana material yang longsor berupa soil (lapukan batuan) (Foto 3). Titik Longsor 4 Litologi pada titik longsor 4 berupa lanau tuffan. Sifat keteknikan batuan pada titik longsor 4 ini meliputi; tingkat pelapukan lapuk tinggi, tingkat kekerasan lunak, dan tingkat kekompakan agak lepas. Pada lokasi penelitian ini, struktur geologi tidak dapat teridentifkasi dengan jelas karena tingginya tingkat pelapukan. Tetapi perlapisan batuan dapat terukur yaitu N250o E/16o perlapisan batuan terukur pada batuan yang unpermeable yang tersingkap setelah batuan lapuk di atasnya (batuan permeable) longsor. Seperti pada titik longsor 2 dan 3, terjadinya longsor pada titik longsor 4 ini juga terjadi dipicu oleh air hujan karena berdasarkan keterangan warga sekitar titik longsor, longsor terjadi pada saat musim hujan. Air hujan yang meresap ke dalam lapisan batuan permeable kemudian terakumulasi pada batas batuan permeable dan unpermeable, sehingga batas batuan ini menjadi bidang gelincir material yang longsor dan dipicu oleh adanya infiltrasi air pada batas batuan ini (Gambar 3). Vegetasi di lokasi pengamatan berupa kakao, pisang dan singkong. Disekitar lokasi pengamatan ini lahan dimanfaatkan sebagai lokasi pemukiman. Jenis longsor yang teridentifikasi di lapangan yaitu tipe earth flow, material yang longsor berupa lapukan batuan (soil) (Foto 4).
Titik Longsor 5 Titik longsor ini berada pada litologi breksi andesit dengan sifat keteknikan lapuk tinggi, lunak, dan lepas. Tipe longsor yang terjadi pada daerah ini adalah tipe earth flow (Foto 5). Kelerengan mencapai 65° dengan vegetasi berupa pohon bambu, pohon pisang, dan pepohonan berakar berserabut, namun vegetasi tidak terlalu berperan disini. Area pada titik longsor ini digunakan warga sebagai lahan pemukiman. Pada titik ini tidak dilewati oleh suatu struktur geologi, sehingga diperkirakan bahwa longsor disebabkan oleh sifat keteknikan batuannya yang sudah lapuk tinggi ditambah dengan kelerengan yang cukup terjal. Sedangkan faktor yang menyebabkan tipe longsornya adalah sifat keteknikan batuan dilihat dari kesamaan yang terdapat pada titik – titik sebelumnya yang memliki jenis longsor yang sama pula. Titik Longsor 6 Pada titik ini, jenis longsor yang terjadi adalah earth flow (Foto 6), dimana peran air cukup berpengaruh. Litologi masih sama dengan titik sebelumnya, namun sifat keteknikannya sedikit berbeda, yaitu lapuk sedang, lunak, dan agak lepas. Hal tersebut menyebabkan material yang mengalami longsome adalah material regolith nya sehingga disebut jenis longsoran earth flow. Kelerengan pada daerah ini mencapai 55° dengan vegetasi yang berkembang adalah jenis tumbuhan singkong, kelapa, dan rerumputan. Titik ini juga dilewati oleh struktur geologi berupa sesar turun. Warga setempat memanfaatkan lahan ini sebagai area pemukiman dan pengairan. Pengairan inilah yang diperkirakan menyebabkan adanya infiltrasi air yang menyerang scarp, scarp ini berupa lapisan impermeable yang kemudian menjadi bidang gelincir. Akibat adanya lapisan impermeable tersebut, maka air tidak dapat masuk sehingga akan mengalir turun membawa material, regolith menjadi longsor (Gambar 4). Maka pada titik ini yang menjadi penyebab terjadinya longsor adalah air dan struktur geologi, sedangkan tipe longsornya dipengaruhi oleh sifat keteknikan batuan dilihat dari kesamaan dengan tipe earth flow sebelumnya. Titik Longsor 7 Titik longsor ini terjadi pada litologi breksi andesit dengan sifat lapuk tinggi, lunak, dan lepas. Sebenarnya longsor pada titik ini sudah terjadi bertahu – tahun yang lalu sehingga sulit untuk dilakukan deskripsi, namun dari jejak vegetasinya masih dapat dilihat bekas longsoran yang terjadi. Dari informasi yang diperoleh, diketahui bahwa longsor pada titik ini dipicu oleh hujan. Struktur geologi tidak berpengaruh pada longsor yang terjadi. Kelerengan mencapai 60° dengan vegetasi berupa rerumputan, singkong, petai cina, dan bambu. Area ini digunakan oleh warga sebagai daerah pemukiman. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya longsor diperkirakan adalah litologi dan kelerengan (Foto 7). Titik Longsor 8 Jenis longsor pada titik ini adalah jenis flow dan terjadi pada daerah dengan litologi batugamping. Titik ini sebenarnya berada di luar daerah pemetaan, namun memiliki karakteristik litologi yang sama dengan daerah pemetaan. Batugamping ini memiliki sifat lapuk sedang, keras, dan agak kompak dengan kelerengan 60°. Vegetasi yang tumbuh di daerah ini antara lain pohon pisang, petai cina, bamboo, dan rerumputan. Daerah ini digunakan sebagai area pemukiman. Longsor pada daerah ini disebabkan oleh litologi dan kelerengannya. Karena lerengnya yang
relative curam, maka batuan tidak mampu menahan beban di atasnya sehingga terjadi longsor (Foto 8).
Zonasi yang dilakukan pada daerah ini didasarkan pada empat paremeter utama yaitu yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah yaitu kelerengan, litologi, struktur geologi, dan tataguna lahan. Perhitungan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap faktor – faktor tersebut setelah sebelumnya dilakukan sampling data dengan melakukan pemetaan lapangan secara langsung (Tabel 8). Pemetaan lapangan dilakukan untuk melakukan pengambilan titik acuan termasuk didalamnya pengambilan sampel untuk mendapatkan data – data tentang faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah Pembobotan dilakukan dengan memberi nilai pada setiap faktor – faktor tersebut dengan skala 1 – 4. Kemudian dilakukan metode kuantitatif dengan menggunakan bantuan program Geographic Information System (GIS). Kemudian dilakukan perhitungan dengan menggunakan formula tertentu. Rumus: H (Bobot) = (3xA) + (2xB) + (1xC) + (1xD) Keterangan : A = lereng B = litologi C = struktur D = tataguna lahan Setelah dilakukan penilaian, dilakukan zonasi pada daerah tersebut yang menjadi empat zona yaitu zona sangat tingi, zona tinggi, zona sedang, dan zona rendah (Gambar 7). 1. Zona rendah mempunyai skor 6 – 12. Litologi sebagian besar didominasi oleh batugamping terumbu dan intrusi andesit dengan kemiringan yang landai dan morfologi yang relatif datar.Tataguna lahan yang ada pada daerah ini adalah pemukiman, sawah tadah hujan, rumput, semak belukar, dan sedikit kebun. Secara relatif tidak ditemukan titik longsor pada daerah ini. Pada daerah ini relatif tidak terdapat gerakan tanah sehingga pembangunan sarana publik dan pemukiman disarankan dilakukan di daerah ini. 2. Zona sedang mempunyai skor 13 – 18. Litologi pada breksi serta batugamping terumbu. Pada zona ini didapatkan beberapa titik longsor. Kemiringan lereng masih relatif landai denagn morfologi yang masih relatif dataran dan perbukitan kecil.Tataguna lahan pada daerah ini terutama adalah semak belukar, kebun, dan ladang. Pada daerah ini juga hampir tidak terdapat gerakan tanah sehingga disarankan untuk membangun perumahan dan fasilitas publik di zona ini. 3. Zona tinggi mempunyai skor 19 – 23. Litologi sebagian besar dijumpai pada breksi andesit dan breksi tuff. Pada daerah ini cukup terdapat beberapa titik longsor . Tataguna lahan pada zona ini terutama adalah kebun dan ladang. Hampir sebagian besar kondisi batuan pada daerah ini lapuk sedang dan tingkat kekerasan yang lunak. Akibatnya litologi menjadi tidak resisten. Gerakan tanah yang ada adalah jenis flow. Disarankan penggunaan lahan untuk ladang dan perkebunan dengan memakai sistem terasering seingga dapat mengurangi resiko terjadinya gerakan tanah 4. Zona sangat tinggi mempunyai skor 24 – 29. Litologi sebagian besar dijumpai pada breksi andesit dan breksi tuff yang mempunyai tingkat pelapukan yang cukup tinggi. Sebagian besar pelapukan yang cukup tinggi ini manghasilkan lempung yang bersifat impermeable. Zona impermeable yang tidak dapat ditembus air ini kemudian menjadi bidang gelincir yang baik untuk mendukung teradinya gerakan tanah. Selain itu
kemiringan lereng yang cukup besar menjadi salah satu faktor pendorong utama terjadinya gerakan tanah tersebut. Terdapat beberapa titik longsor dengan skala yang cukup besar. Sehingga daerah ini tidak disarankan untuk dilakukan pembangunan. Selain faktor – faktor tersebut terdapat faktor lain yang berperan sebagai pemicu dari gerakan tanah yaitu iklim. Iklim bersifat global dan menyeluruh. Keberadaan iklim sangat berpengaruh pada tingkat curah hujan yang ada. Sebagian besar longsor yang terjadi di daerah tersebut terjadi pada saat hujan atau sesaat setelah hujan berhenti. Hal ini menunjukan penambahan air yang infiltrasi ke dalam tanah menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya gerakan tanah. Selain itu iklim juga berpengaruh kepada tingkat pelapukan dari litologi yang ada di daerah tersebut. Iklim tropis yang ada cukup berperan dalam proses pelapukan yang terjadi sehingga litologi yang ada di daerah tersebut mempunyai tingkat pelapukan yang cukup tinggi.
VII.
Sintesis Hasil analisis data pengamatan lapangan yang terdiri dari beberapa contoh titik longsor di atas (titik longsor 1 – 8) menunjukkan bahwa longsor terjadi karena beberapa faktor. Secara garis besar faktor ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari jenis litologi dan struktur geologi, sedangkan yang termasuk ke dalam faktor eksternal yaitu kelerengan, tataguna lahan dan vegetasi. Jenis litologi sangat berpengaruh terhadap tingkat pelapukan yang dialami suatu batuan. Semakin resistan suatu tubuh batuan, maka semakin rendah tingkat pelapukan yang bakal dialami batuan tersebut. Artinya batuan cenderung lebih kokoh sehingga sulit terjadi longsor. Selain mempengaruhi tingkat pelapukan, jenis litologi juga sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat keteknikan lainnya seperti tingkat kekerasan, dan tingkat kekompakan. Semakin keras dan kompak suatu tubuh batuan, maka akan semakin kecil kemungkinan terjadinya longsor. Pada kasus ini batuaan andesit cenderung lebih resistan dibanding dengan batuan breksi andesit. Hal ini terbukti setelah dilakukan pengamatan lapangan. Hasil pengamatan lapangan dapat dilihat pada tabel 2. Hasil analisis dan diskusi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal pada titik-titik longsor di lapangan menunjukkan bahwa jenis longsor yang terjadi terutama dipengaruhi oleh jenis litologi dan sifat keteknikan batuan pada titik longsor. Batuan yang keras, seperti andesit, dengan tingkat pelapukan sedang, cenderung menghasilkan longsor dengan tipe fall Sedangkan pada litologi lainnya, yaitu breksi andesit, batugamping terumbu, dan lanau tuffan, dengan tingkat pelapukan lapuk tinggi cenderung menghasilkan longsor dengan tipe flow, meliputi earth flow dan debris flow. Perbedaan earth flow dan debris flow yaitu pada material yang bergerak, jika material yang longsor sudah bercampur dengan air serta material lainnya, maka dikenal sebagai debris flow, sedangkan pada earth flow jenis material yang longsor lebih homogen, yaitu berupa soil.
VIII. Kesimpulan dan Rekomendasi
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadapat terjadinya longsor dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan fakor eksternal. Faktor internal terdiri dari
litologi dan struktur geologi, sedangkan faktor eksternal terdiri dari kelerengan, tataguana lahan dan vegetasi. Batuan penyusun daerah penelitian terdiri dari; intrusi andesit, breksi andesit, breksi tuff, dan lanau tufaan yang merupakan anggota Formasi OAF, dan batugamping terumbu yang termasuk ke dalam Formasi Jongrangan. Struktur geologi yang berkembang pada lokasi penlitian berupa; sesar normal, sesar naik, kekar lembaran, dan kekar gerus. Kelerengan yang dapat menyebabkan terjadinya longsor berkisar antara 37o – 70o . Daerah disekitar titik longsor pada umumnya merupakan pemukiman penduduk dan juga dimanfaatkan sebagai perkebunan, diantaranya cengkeh, jati, kelapa, bambu, dll. Pada titik longsor 3 terdapat pengairan dengan sistem yang salah, sehingga dianggap juga menjadi penyebab terjadinya longsor. Tipe longsor pada daerah ini adalah rock fall, earth flow, dan debris flow. Perbedaan tipe longsor ini disebabakan oleh perbedaan jenis litologi dan sifat keteknikan batuan.
Daftar Pustaka BAKOSURTANAL, 2001, Peta Rupabumi Digital Indonesia, Lembar Wates 1408 – 214 & Lembar Sendangagung 1408 – 232 skala 1:25.000, edisi I-1999,Bogor. Darsoatmodjo, A., 2006, Metodologi 2 Pembuatan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah, Katalog Metodologi Pembuatan Peta Geo-Hazard, Workshop Kompilasi Metodologi dan Berbagi Pengalaman Dalam Pembuatan Peta Rawan Bencana Alam Berbasis SIG, Banda Aceh, hal. 4 – 9. Karnawati,D., 2003, The New Approach for Landslide Susceptibility Mapping In Indonesia, Proseeding PIT XXXII Ikatan Ahli Geologi Indonesia & PIT Himpunan Ahli Geofisika Indonesia XXVII, Jakarta. Kusuma, P.G., 2009, Pemetaan Mandiri Kuliah Kerja Lapangan Geologi Daerah Girimulyo dan Sekitarnya, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulonprogo, DIY., Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjahmada. Nurwadjedi, 2006, Metodologi 3 Pemetaan Bahaya Erosi dan Longsor, Katalog Metodologi Pembuatan Peta Geo-Hazard, Workshop Kompilasi Metodologi dan Berbagi Pengalaman Dalam Pembuatan Peta Rawan Bencana Alam Berbasis SIG, Banda Aceh, hal. 4 – 9. Soebowo, E., Anwar,H.Z., Suwijanto., & Karnawati,D.,2002, Penentuan daerah rawan bencana longsoran berdasarkan data citra Landsat (Studi Kasus di daerah Cianjur Selatan, Jawa Barat), Proseeding PIT XXXI Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Surabaya, pp 502 – 515. Theml, S.,2006, Metodologi 1 Pemetaan Potensi Tanah Longsor, Katalog Metodologi Pembuatan Peta Geo-Hazard, Workshop Kompilasi Metodologi dan Berbagi Pengalaman Dalam Pembuatan Peta Rawan Bencana Alam Berbasis SIG, Banda Aceh, hal. 3 – 4. Van Bemmelen,R.W.,1949, The Geology of Indonesia, vol. I.A. General Geology. Martinus Nyhoff, The Hague, pp 594 – 603 Varnes, D.J. (1978) Procidding IAGI XXXI. Van Zuidam, R.A, and F.I. Van Zuidam Cancelado, 1979. Terrain Analysis and Classification Using Aerial Photographs, International Institute for Aerial Survey and Earth Science (ITC) 350, Boulevard Al Enschede, The Netherlands
Lokasi Pengamatan
Litologi
TL 1
Andesit
404797
9142193
TL 2 405265 9141653
Lapuk Sedang Keras Agak Kompak
Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapangan Struktur Kelerengan Vegetasi Geologi Kekar Lembaran
50° (barat)
N130°E/65° X N348°E/44° N117°E/77° X N31°E/ 15° N85°E/10° X N180°E/65° Intensif
37°- 40° (timur)
Breksi Andesit
Lapuk Tinggi Lunak Agak Lepas
56°- 66° ____
TL 3
Andesit - Tuff
404830
Lapuk Tinggi Sangat Lunak Lepas Lanau Tufan
____
Lapuk Tinggi Lunak Agak Lepas Breksi Andesit
Perlapisan
9143019
TL 4 404607 9143369
TL 5 406667 9142409 TL 6
Lapuk Tinggi Lunak Lepas Breksi Andesit
65°- 70°
44°
9142141
TL 7
9142868 TL 8
Penam-
Fall
bangan
DebrisFl ow ____
Pemuki-
Earth Flow
man
Kokoa Pisang Singkong
Pemuki-
Pohon Bambu Pohon Pisang Berakar Serabut Pohon Kelapa Pohon Singkong Rerumputa n
Pemukiman
Earth Flow
Pemukiman,Jalan
Earth Flow
Pemukiman
Earth Flow
Bambu Rerumputa n Singkong Petai Cina
Petai Cina Pisang
Pemuki-
Debris
Earth Flow
man
N250°E/16°
____
65°
Lapuk Sedang Lunak Agak Lepas Breksi Andesit
55°
____ 406131
Pohon Pepaya Pohon Kelapa Jati Bambu Rerumput an Petai Cina Bambu Pisang Singkong
Jenis Longsor
____ 406299
Pohon Kelapa Pohon Petai Cina Berakar Tunggang
Tataguna Lahan
Lapuk Tinggi Lunak Lepas Batu
60°
____
401459
gamping
9142836
Lapuk Sedang Keras Agak Kompak
60°
Pohon Bambu Rerumputa n
man
Gambar 1. Sketsa Gerakan Massa Tipe Jatuhan di Titik Pengamatan 1
Gambar 2. Sketsa Gerakan Massa di Titik Pengamatan 2, 4, 5, 7, dan 8
Flow
Gambar 3. Sketsa Gerakan Massa di Titik Pengamatan 3 dan 6
Foto 1. Gerakan Massa Tipe Jatuhan di Titik Pengamatan
1
Foto 2. Gerakan Massa Tipe Aliran di Titik Pengamatan 2
Foto 3. Gerakan Massa Tipe Aliran di Titik Pengamatan 3
Foto 4. Gerakan Massa Tipe Aliran di Titik Pengamatan 4
Foto 5. Gerakan Massa Tipe Aliran di Titik Pengamatan 5
Foto 6. Gerakan Massa Tipe Aliran di Titik Pengamatan 6
Foto 7. Gerakan Massa Tipe Aliran di Titik Pengamatan 7
Foto 8. Gerakan Massa Tipe Aliran di Titik Pengamatan 8
No. 1. 2. 3.
4. 5. 6.
Tabel 2. Klasifikasi Jenis Gerakan Tanah (disederhanakan dari Varnes, 1978). JENIS MATERIAL JENIS GERAKAN TANAH BATUAN TANAH Jatuhan Jatuhan Batuan Jatuhan Tanah Robohan Robohan Batuan Robohan Tanah Longsoran a. Melengkung Nendatan Batuan Nendatan Tanah b. Lurus Longsoran Batuan Longsoran Tanah Pancaran Lateral Pancaran Lateral Pancaran Lateral Aliran Aliran Batuan Aliran Tanah Kombinasi
Tabel 3. Klasifikasi morfometri (Van Zuidam, 1979) Satuan Relief Sudut Lereng (%) Datar / hampir datar 0–2 Bergelombang lemah / miring landai 3–7 Bergelombang lemah – kuat / berlereng landai 8 – 13 Bergelombang kuat – berbukit / berlereng sedang 14 – 20 Berbukit – tersayat curam / berlereng curam 21 - 55 Tersayat curam – bergunung / berlereng sangat 56 - 140 curam Bergunung / berlereng ekstra curam >140
Lereng
Tabel 4. Parameter Pengontrol Gerakan Tanah PARAMETER Litologi Struktur Geologi
Beda Tinggi (m) <5 5 – 50 25 – 75 50 – 200 200 – 500 500 – 1000 >1000
Tata Guna Lahan & Vegetasi
Tabel 5. Parameter Lereng Parameter Lereng 56 – 140% 21 – 55% 14– 20% 0 – 13%
Intensitas Kepentingan Derajat Nilai Skor Sangat Tinggi 4 Tinggi 3 Cukup Tinggi 2 Rendah 1 Tabel 6. Parameter Litologi
Parameter Litologi Breksi Andesit Breksi Tuff Batugamping Intrusi Andesit
Intensitas Kepentingan Derajat Nilai Skor Sangat Tinggi 4 Tinggi 3 Cukup Tinggi 2 Rendah 1
Tabel 7. Parameter Struktur Geologi Parameter Struktur Geologi Intensitas Kepentingan Derajat Nilai Skor <100 m Sangat Tinggi 4 100 – 200 m Tinggi 3 200 – 300 m Cukup Tinggi 2 300 – 400 m Rendah 1 Tabel 8. Parameter Tataguna Lahan Parameter Tata Guna Lahan & Vegetasi Intensitas Kepentingan Derajat Nilai Skor Ladang dan Kebun Sangat Tinggi 4 Pemukiman Tinggi 3 Semak Belukar Cukup Tinggi 2
Rumput dan Sawah Tadah Hujan
Litologi
nilai
Breksi Andesit Breksi Tuff Batugamping Intrusi Andesit
4 3 2 1
Rendah
Tabel 9. Penilaian Parameter PENILAIAN (SCORING) Struktur nilai Tataguna lahan geologi <100 m 4 Ladang dan kebun 100 – 200 m 3 Pemukiman 200 – 300 m 2 Semak belukar 300 – 400 m 1 Rumput dan sawah tadah hujan
1
nilai
Gambar 4. Peta Topografi Daerah Penelitian
4 3 2 1
Kelerengan
nilai
56 – 140% 21 – 55% 14– 20% 0 – 13%
4 3 2 1
Gambar 5. Titik Longsor 3
Gambar 6. Peta Geologi
Gambar 7. Peta Kelerengan
Gambar 8. Peta Buffer Struktur Geologi
Gambar 9. Peta Penggunaan Lahan
Gambar 10. Peta Zonasi Kerentanan Gerakan Tanah