UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS FAKTOR RISIKO MALARIA SECARA SPESIFIK LOKAL DI INDONESIA (ANALISIS HASIL RISKESDAS 2007 DAN RISKESDAS 2010)
SKRIPSI
VERONIKA DWI UTAMI 0806337245
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT DEPARTEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN DEPOK JULI 2012
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS FAKTOR RISIKO MALARIA SECARA SPESIFIK LOKAL DI INDONESIA (ANALISIS HASIL RISKESDAS 2007 DAN RISKESDAS 2010)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
VERONIKA DWI UTAMI 0806337245
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT DEPARTEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN DEPOK JULI 2012
ii Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
iii Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
PERNYATAAN ORISINALITAS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama
: Veronika Dwi Utami
NPM
: 0806337245
Mahasiswa Program : Strata Satu (S1) Reguler Kesehatan Masyarakat Tahun Akademik
: 2008
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi/ tesis/disertasi saya yang berjudul: “Analisis Faktor Risiko Malaria di Indonesia (Analisis Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010)” Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat maka saya akan menerima sanksi yang telah ditetapkan. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Depok, Juli 2012
Veronika Dwi Utami
iv Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
:
Nama
: Veronika Dwi Utami
NPM
: 0806337245
Program Studi
: Strata Satu (S1)
Judul Skripsi
: Analisis Faktor Risiko Malaria Secara Spesifik Lokal di Indonesia (Analisis Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Program Studi Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Prof. dr. Umar Fahmi Achmadi MPH, PhD (………………………..)
Penguji Dalam : Laila Fitria, SKM, MKM
(………………………)
Penguji Luar : Dr. Riris Nainggolan, SKM, M.Si
(……………………….)
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 10 Juli 2012
v Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmatNya dan kasihNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Maayarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Saya menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: (1) Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, M.P.H., Ph.D. selaku dosen pembimbing akademi saya yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing saya dalam penulisan skripsi ini; (2) Dr. Riris Nainggolan selaku penguji skripsi saya, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjadi dewan penguji. (3) Laila Fitria, S.K.M, M.K.M selaku dosen penguji, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjadi dewan penguji. (4) Randy, Fernia, dan Erna yang menjadi teman seperjuangan selama menjalani bimbingan skripsi (5) Orang tua saya yang selalu setia mendukung dan mendoakan saya, kakak dan adik saya sebagai orang-orang yang tidak pernah lelah memberikan dukungan dan motivasi ketika kuliah dan mengerjakan skripsi (6) Teman-teman Kesehatan Lingkungan 2008 yang telah bersama selama 3 tahun menjalani perkuliahan. Terima kasih untuk canda, tawa, dan berbagai pengalaman yang sudah kalian berikan. (7) Keluarga POSA FKM UI, Pengurus POSA FKM 2010, Pengurus POSA FKM UI 2011 untuk persekutuan yang indah selama di FKM. Terima kasih untuk setiap doa dan dukungan yang kalian berikan (8) Adik-adik ku Hana, Natalina, Twina, Stela, Suti, Putri yang telah terus memberikan senyum dan doa kepadaku
vi Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
(9) Sahabat, teman dan orang-orang yang saya kasihi yang telah banyak memberikan dukungan, menguatkan dan mendoakan dalam menyelesaikan skripsi saya (10) Seluruh pihak yang telah membantu saya baik secara langsung maupun tidak langsung Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Skrpsi ini dapat membawa manfaat bagi perbaikan dan pengembangan ilmu. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat Penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Bekasi, Juli 2012
Penulis
vii Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Veronika Dwi Utami
NPM
: 0806337245
Program Studi
: Strata Satu (S1)
Departemen
: Kesehatan Lingkungan
Fakultas
: Kesehatan Masyarakat
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Analisis Faktor Risiko Malaria di Indonesia (Analisis Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di: Depok Pada tanggal : Juli 2012 Yang menyatakan
(Veronika Dwi Utami)
viii Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
ABSTRAK Nama
: Veronika Dwi Utami
Program Studi : S1 Reguler Kesehatan Masyarakat Judul : Analisis Faktor Risiko Malaria Secara Spesifik Lokal di Indonesia (Analisis Hasil Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010) Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan RI
mengadakan riset kesehatan dasar (Riskesdas)
berbasis kesehatan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah melihat faktor risiko secara spesifik lokal yang paling dominan di Indonesia pada Riskesdas 2007 dan 2010, mengetahui manfaat Riskesdas sebagai indikator pengendalian malaria. Penelitian ini menggunakan studi ekologi berbasis populasi yang dilaksanakan pada tahun 2011 dengan sumber data dari Laporan Riskesdas. Hasil penelitian didapatkan bahwa faktor risiko kepadatan hunian ≥8m2 adalah faktor risiko yang paling berisiko pada Riskesdas 2007 dan pemakaian repellent adalah faktor risiko yang paling berisiko pada Riskesdas 2010. Propinsi Papua, Papua barat, dan NTT adalah propinsi yang paling berisiko terhadap kejadian malaria. Hasil Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuat kebijakan kesehatan suatu daerah sesuai dengan tujuan Riskesdas akan tetapi perlu dilakukan pendekatan secara spesifik lokal pada setiap faktor risiko
Kata kunci: malaria, faktor risiko malaria, spesifik lokal, Riskesdas
ix Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS………………………………. Iii SURAT PERNYATAAN……………………………………………………… iv LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………… v KATA PENGANTAR…………………………………………………………. vi LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………………… vii ABSTRAK……………………………………………………………………. viii DAFTAR ISI …………………………………………………………………. ix DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… xi DAFTAR TABEL……………………………………………………………. xii DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xiii 1. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang………………………………………………………......... 1 1.2 Perumusan Masalah……………………………………………………… 5 1.3 Pertanyaan Penelitian…………………………………………………… 6 1.4 Tujuan Penelitian………………………………………………………… 6 1.5 Manfaat Penelitian………………………………………………………… 7 1.6 Ruang Lingkup Penelitian………………………………………………… 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Riset Kesehatan Dasar…………………………………………………… 2.1.1 Latar Belakang…………………………………………………… 2.1.2 Metode Penelitian………………………………………………… 2.2 Konsep Terjadinya Penyakit……………………………………………… 2.3 Faktor Risiko Terjadinya Malaria………………………………………… 2.3.1 Lingkungan Fisik………………………………………………… 2.3.2 Lingkungan Kimia……………………………………………… 2.3.3 Lingkungan Biologi……………………………………………… 2.3.4 Lingkungan Sosial Ekonomi……………………………………… 2.3.5 Faktor Nyamuk…………………………………………………… 2.3.6 Faktor Parasit……………………………………………………. 2.4 Epidemiologi Lokal……………………………………………………… 2.5 Permasalahan Spesifik Lokal…………………………………………… 2.6 Pengendalian Malaria……………………………………………………
8 8 9 10 14 14 16 16 17 18 22 23 25 26
3. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Teori ………………………………………………………….. 27 3.2 Kerangka Konsep..……………………………………………………….. 28 3.3 Definisi Operasional……….…………………………………………… 29 x Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
4. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Rancangan Studi………………………………………………………… 4.2 Rancangan Sampel….…………………………………………………… 4.3 Pengumpulan Data……………………………………………………… 4.4 Analisis Data 4.4.1 Manajemen Data……………………………………………… 4.4.2 Analisis Data…………………………………………………
31 31 31 32 32
5. HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Situasi Malaria di Indonesia………………………………… 35 5.2 Analisis Univariat ……………………………………..………………… 36 5.2.1 Kejadian malaria………………………………………………… 36 5.3 Analisis Bivariat………………………………………………………… 37 5.3.1 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas 2007 ……………………………………………………………………..38 5.3.2 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas 2010………………………………………………………………..41 5.4 Analisis Multivariat……………………..………………………………… 44 6. PEMBAHASAN 6.1 Malaria di Indonesia…………………………..………………………… 53 6.2 Faktor Risiko Malaria di Indonesia…………..…………………………… 54 6.2.1 Lama Waktu Ambil Air……………………………………… 54 6.2.2 Lingkungan Luar Rumah……………………………………… 55 6.2.3 Lingkungan Fisik Rumah………………………………………58 6.2.4 Pemeliharaan Ternak………………………………………… 59 6.2.5 Penggunaan Repelent………………………………………… 60 60 6.2.6 Penggunaan Kelambu……………………………………… 6.2.7 Penggunaan Kasa Nyamuk pada ventilasi…………………… 61 6.2.8 Perilaku Buang Air Besar Sembaranga……………………… 62 6.3 Konsistensi Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko Malaria…… 63 6.4 Malaria Sebagai Masalah Lokal Spesifik…………………………….. … 64 6.5 Pengendalian Malaria secara Lokal Spesifik…………………………… 68 6.6 Keterbatasan Penelitian…………………………………………………… 70 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ……………………………………………………………… 71 7.2 Saran…………………….………………………………………………… 72 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………… 73 LAMPIRAN
xi Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Diagram Skematik Patogenesis Penyakit…………………………… 11 Gambar 5.1 Grafik prevalensi malaria per propinsi di Indonesia………………… 36 Gambar 5.2 Peta faktor risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2007)…………… 40 Gmabar 5.3 Peta faktor risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2010)…………… 43 Gambar 5.4 Peta risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2007)…………………
48
Gambar 5.5 Peta risiko malaria di Indonesia (Riskesdas 2010)……………………52
xii Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Perbedaan Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010…………………………10 Tabel 2.2 Karakteristik spesies plasmodium di Indonesia………………………… 23 Tabel 5.1 Distribusi frekuensi prevalensi malaria ………………………………… 37 Tabel 5.3 Hubungan kejadian malaria dan faktor risiko malaria………………… 37 Tabel 5.4 Analisis multivariat kejadian malaria dan faktor risiko malaria pada Riskesdas 2007......................................................................................
46
Tabel 5.5 Analisis multivariat kejadian malaria dan faktor risiko malaria pada Riskesdas 2010……………………………………………………….
xiii Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
49
DAFTAR LAMPIRAN 1. DATA RISKESDAS 2007 2. DATA RISKESDAS 2010 3. OUTPUT SPSS
xiv Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan pembangunan kesehatan di Indonesia merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan nasional bangsa. Untuk mewujudkan tercapainya tujuan nasional, maka diperlukan pembangunan berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian menyeluruh, terarah, dan terpadu. Pembangunan kesehatan merupakan kegiatan atau upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang nantinya akan berdampak kepada kualitas sumber daya manusia di Indonesia, peningkatan ketahanan, dan daya saing bangsa serta ketahanan nasional (UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan). Pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan harus berdasarkan kepada data atau evidence base. Dengan berbasis data maka pembangunan kesehatan akan tepat sasaran sehingga peningkatan derajat kesehatan masyarakat akan tercapai. Diperlukan survey atau penelitian baik tingkat nasional maupun daerah mengenai situasi kesehatan di masyarakat. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kesehatan menyadari bahwa perlunya informasi kesehatan berbasis bukti. Oleh karena itu Kementerian Kesehatan RI membuat riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang berfungsi sebagai dasar dalam membuat kebijakan kesehatan diberbagai jenjang administrasi. Informasi yang valid, reliable, dan comparable dari proses pemantauan penilaian sesungguhnya dapat berkontribusi bagi ketersediaan evidence pada skala nasional, propinsi, dan kabupaten/kota. Pelaksanaan riset kesehatan dasar telah dilaksanakan dua kali yaitu pada tahun 2007 dan 2010. Hasil riset kesehatan dasar ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk perencanaan pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan yang tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah.
1
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
Universitas Indonesia
2
Riset kesehatan dasar yang telah dilakukan mencakup beberapa masalah kesehatan, salah satunya adalah penyakit menular. Penyakit menular yang masuk dalam survey ini antara lain malaria, demam berdarah dengue, dan tuberkolosis. Penyakit tersebut masih menjadi masalah dan memiliki angka kesakitan dan kematian yang tinggi menurut Riskesdas 2007. Penyakit malaria masih menjadi sepuluh penyakit menular yang terjadi pada semua kelompok umur di Indonesia (Riskesdas, 2007). Selain itu, malaria juga merupakan penyakit yang masuk kedalam 10 besar penyebab kematian penduduk
di
daerah
pedesaan
dibandingkan
dengan
daerah
pada
perkotaan
(Riskesdas,2007). Malaria tidak dapat dipisahkan dari masalah sosial, budaya, dan ekonomi yang berakibat kepada kemiskinan. Malaria selalu dihubungkan dengan kemiskinan yang mempengaruhi perkembangan dari suatu negara dan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan. Kejadian malaria di daerah hutan dan area dekat hutan menyumbang 40% dari total angka kejadian malaria (WHO,2012). Malaria yang terjadi di hutan dan area dekat hutan merupakan masalah yang serius yang berhubungan dengan tingginya penularan dari vektor, multi transmisi, waktu transmisi yang panjang, dan adanya resistensi vektor terhadap obat (WHO,2012). Hutan yang semakin dieksploitasi untuk diambil sumber daya alamnya, membuat masyarakat semakin dekat dengan wilayah epidemic malaria(Saputra,2011). Penelitian yang dilakukan di Malawi menunjukkan kelompok penghasilan terendah menghabiskan 32% dari pendapatan mereka untuk mengobati penyakit malaria sedangkan pada kelompok penghasilan dari rendah ke tinggi hanya menghabiskan 4% pendapatan mereka(www.news-medical). Dampak ekonomi mencakup biaya perawatan kesehatan, hari kerja yang hilang karena sakit, hari hilang dalam pendidikan, penurunan produktivitas akibat anemia dan kerusakan otak dan kehilangan investasi dan pariwisata (http://www.news-medical.net/MalariadanBudaya).
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
3
Populasi yang berisiko terinfeksi malaria adalah populasi yang umumnya tinggal di daerah-daerah terpencil atau penduduk dengan mobilitas tinggi dan pergi mengunjungi daerah endemis malaria. Penduduk yang tinggal di daerah endemis diperkirakan ada 85,1 juta dengan tingkat endemisitas rendah hingga tinggi (Achmadi,2008). Akibat mobilitas arus barang, jasa, dan manusia terjadi persebaran nyamuk vektor penular malaria dan juga plasmodiumnya. Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae yang semula hanya ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua, pada akhir tahun 1990 ditemukan juga di Lampung dan Pulau Nias (Achmadi,2008). Di Indonesia, penderita malaria umumnya merupakan penduduk wilayah terpencil,
sulit
dijangkau
dan
berada
pada
kantong-kantong
kemiskinan
(Achmadi,2008). Data Situasi Angka Kesakitan Malaria selama tahun 2000-2006 menunjukkan penurunan dan bila dibandingkan dengan target yang diinginkan yaitu pada tahun 2000 angka kesakitan malaria sebesar 51,6 per 1000 dan menurun menjadi 19,6 per 1000 pada tahun 2006. Berdasarkan data dari P2PL Kemenkes kecenderungan penurunan adalah kontribusi dari wilayah Jawa-Bali, sedangkan untuk wilayah luar Jawa-Bali penurunannya sangat lamban. Untuk wilayah Jawa-Bali angka kasus malaria yang sudah dikonfirmasi per seribu penduduk atau yang dikenal dengan Annual Parasite Incidence (API) selama tahun 2006 sebesar 0,19%. Sedangkan untuk wilayah luar Jawa-Bali angka klinis malaria per seribu penduduk atau yang dikenal dengan Annual Malaria Incidence (AMI) selama tahun 2006 sebesar 23,98% (Harijanto,2009). Kejadian malaria dipengaruhi oleh faktor risiko yang ada di lingkungan tempat tinggal penduduk. Faktor risiko penyakit malaria adalah berbagai faktor yang memiliki peran dalam kejadian atau timbulnya penyakit malaria. Faktor risiko malaria dibagi dalam 2 kelompok besar, yakni faktor yang memengaruhi siklus hidup Plasmodium dalam tubuh nyamuk dan siklus hidup Plasmodium dalam tubuh manusia.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
4
Dalam perspektif faktor risiko, kejadian malaria bersifat sangat spesifik lokal, karena disamping tergantung pada ekosistem juga tergantung pada faktor kependudukan yang beraneka ragam(Achmadi,2008). Faktor risiko malaria selalu berbeda pada setiap populasi, Populasi yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko yang berbeda dengan populasi yang tinggal di daerah pedesaan. Penduduk di pedesaan lebih berisiko karena disana terdapat sawah, rawa-rawa, sungai yang merupakan habitat dari nyamuk Anopheles. Pekerjaan penduduk pedesaan juga lebih berisiko dibandingkan penduduk perkotaan (Riskesdas,2007). Jenis nyamuk pada setiap daerah berbeda dan setiap nyamuk memiliki sifat dan habitat yang berbeda satu sama lain. Pemerintah dan penduduk yang berada di daerah yang berisiko tinggi terhadap penularan malaria perlu mengetahui jenis nyamuk dan bionomiknya. Nyamuk Anopheles sundaicus adalah nyamuk yang banyak ditemukan di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Di Mandailing jentik nyamuk ini ditemukan pada air tawar dengan ketinggian 210 meter sedangkan di Danau Toba ditemukan pada ketinggian 1000 meter (Elyazar et al,2011). Identifikasi nyamuk pada masing-masing daerah perlu dilakukan sehingga pengendalian yang dilakukan dapat sesuai dengan bionomik nyamuk dan intervensi terhadap perilaku penduduk setempat dapat ebih efektif. Berdasarkan Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, pemerintah daerah berhak membuat kebijakan otonom terkait permasalahan kesehatan yang ada di daerahnya. Untuk membuat kebijakan ini diperlukan data atau bukti mengenai masalah kesehatan yang paling banyak didaerahnya, karakteristik penduduk dan juga faktor risiko terjadinya masalah kesehatan. Desentralisasi adalah pemberian kewenangan kepada wilayah otonom yang juga merupakan strategi untuk lebih menampung aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Desentralisasi telah digunakan sebagai alat untuk mencapai pemerataan kesehatan melalui reformasi kesehatan atau
merupakan alat untuk
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
5
meningkatkan kualitas pemerataan kesehatan menjadi lebih efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal (Achmadi,2008). Sejak diberlakukannya sistem desentralisasi pada negara Indonesia, belum ada studi yang membuktikan apakah desentralisasi telah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada tingkat kabupaten secara merata atau belum. Beberapa data menunjukkan telah terjadi kesenjangan pencapaian angka malaria. Selama 6 tahun desentralisasi, terjadi kesenjangan angka Annual Malaria Incidence (15‰) di pulau Jawa dan Bali dengan angka Annual Malaria Incidence (30‰) di luar pulau Jawa dan Bali (Achmadi,2008). Program elliminasi malaria di Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No 293/MENKES/SK/IV/2009. Pelaksanaan pengendalian malaria di Indonesia dilakukan secara bertahap dari satu pulau ke pulau lain sampai seluruh pulau tercakup hingga terwujud masyarakat yang terbebas dari malaria dan penularan malaria sampai tahun 2030. Pembangunan kesehatan yang sesungguhnya ada pada tingkat kabupaten atau kota (Achmadi,2008). Pengendalian malaria memerlukan informasi yang bersifat lokal spesifik sehingga pengendalian dapat efektif dan efisien. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjang informasi yang berbasis lokal spesifik seperti penelitian di Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Maluku dimana keberadaan kandang ternak mampu menurunkan risiko 3,2 kali untuk terkena malaria (Erdinal dkk,2010), dan perilaku masyarakat di Kabupaten Bangka Tengah yang memiliki kebiasaan mandi di sungai dan tidak memakai baju saat masuk ke dalam hutan (P2PM Dinkes Bangka Tengah dalam vivanews.com).
1.2 Rumusan Masalah Penyakit menular salah satunya malaria merupakan penyakit yang bersifat spesifik lokal. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan secara nasional
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
6
tidak didisain untuk melihat masalah kesehatan secara spesifik lokal. Padahal pengendalian dan pemberantasan malaria harus dilakukan secara spesifik lokal agar program tersebut efektif. Selain itu hasil Riskesdas melihat faktor risiko secara nasional dan belum secara spesifik lokal sehingga intervensi yang dilakukan belum sesuai dengan kondisi lingkungan dan kependudukan di daerah tersebut. Oleh karena hal itu, peneliti ingin melihat faktor risiko kejadian malaria secara spesifik lokal di Indonesia (Analisis Hasil Riskesdas 2007 dan 2010). 1.3 Pertanyaan penelitian 1. Apakah Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat menggambarkan kejadian malaria secara spesifik lokal? 2. Seberapa jauh hubungan kejadian malaria dan faktor risiko malaria di Indonesia baik pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010? 3. Apakah ada konsistensi hubungan variabel terkait kejadian malaria di Indonesia pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010? 4. Apakah Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat dijadikan indikator untuk pengendalian malaria pada tingkat kabupaten/kota? 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1
Tujuan Umum Mengetahui faktor risiko kejadian malaria secara spesifik lokal di Indonesia (Analisis Laporan Riskesdas 2007 dan 2010)
1.4.2
Tujuan Khusus 1. Mengetahui gambaran kejadian malaria secara spesifik lokal berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010 di Indonesia 2. Mengetahui hubungan antara kejadian malaria dengan faktor risiko malaria di Indonesia pada Riskesdas 2007 dann 2010 3. Mengetahui konsistensi hubungan antara faktor risiko malaria dan kejadian malaria di Indonesia pada Riskesdas 2007 dan 2010 4. Mengetahui manfaat Riskesdas 2007 dan 2010 sebagai indikator dalam upaya mengendalikan malaria pada tingkat kabupaten/kota di Indonesia
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
7
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1
Bagi Tempat Penelitian Penelitian ini
dapat memberikan gambaran
bagi
pemerintah pusat
(Kementrian Kesehatan) dan pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) terkait faktor risiko malaria di Indonesia dan perlunya pendekatan secara spesifik lokal terkait pengendalian dan pemberantasan malaria sehingga dapat memutus rantai dinamika penularan malaria di Indonesia pada umumnya dan di daerah pada khususnya. 1.5.2
Bagi Perkembangan Keilmuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran dan juga dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam menganalisis faktor risiko malaria di daerah-daerah di Indonesia
1.5.3
Bagi Peneliti Penelitian ini merupakan ajang pembelajaran bagi peneliti karena dapat mengaplikasikan serta mengembangkan ilmu yang telah didapat selama kuliah serta mampu melakukan analisis mengenai masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Dan juga untuk mengetahui faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan kejadian malaria di Indonesia.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor risiko malaria di Indonesia dengan menganalisis laporan Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Faktor risiko yang dimaksud adalah faktor kependudukan, faktor lingkungan fisik rumah, dan faktor lingkungan luar rumah. Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita malaria yang terdiagnosis saat Riskesdas berlangsung. Penelitian ini dilakukan karena prevalensi malaria di Indonesia masih tinggi dan cenderung meningkat dan akan berpengaruh kepada kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Riset Kesehatan Dasar 2.1.1 Latar Belakang Visi Kementrian Kesehatan adalah “masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan”. Sedangkan misi Kementerian Kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang parpurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik”. Salah satu strateginya adalah “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Oleh karena itu diperlukan data kesehatan dasar yang dapat dikumpulkan secara berkesinambungan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) merupakan riset kesehatan berbasis komunitas beskala nasional sampai tingkat kabupaten. Riskesdas ini direncanakan secara periodic dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan yang telah dilaksanakan, sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Data kesehatan dasar yang dikumpulkan meliputi semua indikator kesehatan yang utama tentang status kesehatan , kesehatan lingkungan, pengetahuan-sikapperilaku kesehatan dan beberapa aspek mengenai pelayanan kesehatan. Data kesehatan tersebut bukan saja berskala nasional tetapi juga dapat menggambarkan indicator kesehatan minimal sampai tingkat kabupaten.
8
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
Universitas Indonesia
9
Indikator Riskesdas berdasarkan atas kebutuhan untuk pencapaian indicator pembangunan kesehatan seperti Milenium Development Goal’s (MDG’s), Rencana dan strategis (Renstra) Kemenkes, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Riskesdas didisain untuk mendukung pengembangan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah. Riskesdas 2007 didisain dengan memperhatikan teori dasar tentang hubungan antara berbagai penentu yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Riskesdas menyediakan data dasar yang dikumpulkan secara nasional sehingga hasilnya dapat digunakan untuk penyusunan kebijakan kesehatan bahkan sampai ke tingkat kabupaten/kota. Riskesdas
2010
merupakan
riset
kedua
yang
memfokuskan
pada
pengumpulan data untuk mengevaluasi keberhasilan pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs). Hasil dari Riskesdas yang kedua ini adalah untuk penyusunan strategi 5 tahun mendatang dalam percepatan pencapaian target MDGs dan juga untuk melaporkan situasi pencapaian target MDGs yang berbasis masyarakat. 2.1.2 Metode Penelitian Metode penelitian dari Riskesdas adalah desain study cross sectional deskriptif. Disain Riskesdas terutama untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok di Indonesia, secara menyeluruh, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan di berbagai tingkat administratif. Riset kesehatan dasar didisain untuk mendukung pengembangan kebijakan kesehatan berbasis
bukti
ilmiah. Disain Riskesdas
dikembangkan
dengan
memperhatikan teori dasar tentang hubungan antara berbagai penentu yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Riskesdas menyediakan data dasar yang dikumpulkan melalui survey berskala nasional sehingga hasilnya dapat digunakan untuk penyusunan kebijakan kesehatan bahkan sampai ke tingkat kabupaten/kota.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
10
Tabel 2.1 Perbedaan Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010
Variabel
Riskesdas 2007
Riskesdas 2010
Sampel rumah tangga
280.000
70.000
Representasi
Kabupaten,
propinsi, Propinsi dan nasional
nasional Unit sampel
Blok Sensus
Blok sensus
Jumlah Blok Sampel (BS)
18000
2800
Pemilihan sampel BS
Sama dengan Blok Sensus Independen Susenas
Susenas
Jumlah RT per BS
16
25
Data yang dikumpulkan
Perilaku, gizi, PM, PTM, Gizi, kesehatan lingkungan
KIA,
dengan
PM
(TB,
Malaria,HIV/AIDS), sanitasi
Biomedis
Lengkap
Malaria dan TB
2.2 Konsep Terjadinya Penyakit Ilmu kesehatan lingkungan adalah ilmu yang mempelajari hubungan interaktif antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan berbagai variabel kependudukan seperti perilaku, pendidikan, dan umur (Achmadi,2008). Dalam hubungan interaksi, faktor komponen lingkungan seringkali mengandung atau memiliki potensi timbulnya penyakit. Misalnya ketika menghirup udara, manusia berinterkasi dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya. Interaksi ini kemudian dikenal sebagai proses perpindahan agent penyakit atau proses kejadian penyakit. Proses kejadian penyakit atau pathogenesis penyakit pada setiap penyakit berbeda-beda. Dengan mengetahui pathogenesis penyakit, maka dapat menentukan pada titik mana atau disimpul mana dapat dilakukan pencegahan.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
11
Kejadian penyakit merupakan hasil interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang memiliki potensi penyakit. Manusia dalam lingkungannya memiliki perilaku yang berkaitan dengan budaya yang telah berakar. Perilaku penduduk yang telah membudaya ini merupakan salah satu variabel kependudukan. Pathogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan dapat digambarkan dalam teori simpul, sebagai berikut:
Sumber Penyakit
Komponen Lingkungan (media transisi)
Penduduk
Sakit/sehat
Variabel lain yang berpengaruh
Sumber: Achmadi, 2008 Gambar 2.1 Diagram Skematik Patogenesis Penyakit
Dengan mengacu kepada diagram diatas, maka proses pathogenesis penyakit dapat diuraikan kedalam empat simpul. Simpul pertama disebut sebagai sumber penyakit, simpul kedua disebut sebagai komponen lingkungan yang merupakan media transmisi, simpul ketiga disebut sebagai variabel kependudukan, dan simpul keempat adalah hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan apakah menjadi sehat atau sakit. Teori Simpul Kejadian Penyakit menurut Achmadi (2003): 1. Simpul 1: Sumber Penyakit Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agent penyakit. Agent merupakan faktor yang harus ada pada sebab penyakit dan merupakan substansi yang ada atau tidaknya, bila diikuti dengan kontak baik secara langsung maupun melalui media perantara yang efektif pada manusia yang rentan, akan menjadi rangsangan atau stimulasi bagi terjadinya suatu penyakit.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
12
Agent suatu penyakit dapat dikelompokkan menjadi menjadi 3 kelompok besar yaitu a. Kelompok agent biologi seperti protozoa, bakteri, virus, jamur, parasit, dan lain-lain b. Kelompok agent fisik, misalnya radiasi, intensitas suara, panas, terang cahaya dan lain-lain c. Kelompok agent kimia, misalnya logam berat (merkuri, cadmium, timbal), asbes, minuman keras, dan lain-lain. Setiap kelompok agent memiliki karakteristik, terutama agent biologi. Karakteristik agen biologi adalah -
inheren (morfologi, fisiologi, reproduksi, toksin,dll),
-
viabilitas adalah kemampuan hidup di alam bebas
-
infektifitas adalah kemampuan menginfeksi pejamu
-
patogenisitas adalah kemampuan menimbulkan reaksi pada pejamu
-
virulensi adalah derajat berat ringannya reaksi yang ditimbulkan oleh agen
Sumber penyakit adalah titik yang secara konstan maupun kadang-kadang mengeluarkan satu atau lebih agen penyakit. Berdasarkan sumbernya, sumber penyakit dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu a. sumber penyakit alami, misalnya gunung berapi yang mengeluarkan gasgas beracun dan debu beracun, proses pembusukan yang terjadi secara alamiah. b. hasil kegiatan manusia misalnya industry, rumah tangga, transportasi. Sumber penyakit pada kejadian penyakit menular dapat berasal dari penderita penyakit menular itu sendiri atau juga dapat berasal dari binatang yang merupakan reservoir yaitu binatang yang menularkan penyakit tetapi binatang tersebut tidak mengalami sakit. Sedangkan pada kejadian penyakit tidak menular, sumber penyakit bukanlah dari kelompok agent biologi.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
13
2. Simpul 2: Media Transmisi Penyakit Komponen lingkungan yang dapat menjadi media transmisi dari agen penyakit terdapat 5 komponen, yaitu air, udara, tanah,/pangan, binatang/serangga, dan manusia. Media tersebut tidak akan menjadi transmisi penyakit jika tidak terdapat agen didalamnya. 3. Simpul 3: Variabel kependudukan/Perilaku Pemajanan Agent penyakit dengan atau tanpa melalui media transmisi masuk ke dalam tubuh melalui suatu proses yang dikenal sebagai hubungan interaktif. Hubungan interaktif ini dipengaruhi juga oleh faktor intrinsik dari manusia. Faktor intrinsik dari variabel kependudukan antara lain umur, ras, jenis kelamin, status sosioekonomi, perilaku,dll. Hubungan
interaktif
antara
komponen
lingkungan
dengan
variabel
kependudukan dapat diukur dalam konsep yang disebut perilaku pemajanan atau behavioural exposure (Achmadi dalam Achmadi,2008). Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang berrisiko menyebabkan suatu penyakit. Jumlah kontak antar individu berbeda satu dengan lainnya karena dipengaruhi oleh perilakunya. Perilaku seseorang antara lain dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan, pengalaman, budaya, dan lainnya. Agent penyakit masuk ke dalam tubuh manusia melalui route of entry, yaitu sistem pencernaan, sistem pernapasan, sistem reproduksi, dan melalui permukaan kulit. 4. Simpul 4: Kejadian Penyakit Kejadian penyakit adalah outcome dari hubungan interaksi antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi menimbulkan penyakit. Seseorang dikatakan sakit jika memiliki kelainan dibandingkan dengan penduduk yang
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
14
lainnya. Jika interaksi yang terjadi antara penduduk dan lingkungan tidak menimbulkan kelainan maka outcome adalah sehat. Untuk menetapkan seseorang sakit atau tidak diperlukan adanya indicator yang normal dalam tubuh, misalnya kandungan timbal dalam darah, ditemukannya basil tahan asam (BTA) dalam sputum atau bisa menggunakan gejala klinis dari suatu penyakit. 2.3 Faktor Risiko terjadinya Malaria Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang ditularkan melalui perantara gigitan nyamuk Anopheles betina. Interaksi antara agent dan host terkait malaria dipengaruhi oleh faktor lain yang mendukung. Berbagai faktor yang memiliki peran dalam kejadian penyakit malaria disebut faktor risiko. 2.3.1 Lingkungan Fisik a. Suhu Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam tubuh nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20-300C. Makin tinggi suhu makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) begitu juga sebaliknya semakin rendah suhu semakin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Suhu dipengaruhi oleh iklim, didaerah beriklim tropis transmisi malaria dapat berlangsung sepanjang tahun (Parasitologi Kedokteran, 1998). Suhu ruangan dalam rumah dipengaruhi oleh dinding, lantai, atap, dan permukaan jendela. Agar suhu ruangan berada pada suhu ideal maka tidak boleh ada perbedaan suhu yang terlalu tinggi antara dinding, lantai, atap, dan jendela (Saputra, 2011). b. Kelembaban Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh terhadap parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan nyamuk hidup.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
15
Kelembaban yang tinggi membuat nyamuk lebih agresif dan lebih sering mengigit, sehingga akan meningkatkan penularan malaria. Apabila kondisi dalam rumah memiliki kelembaban yang tinggi, maka akan mempengaruhi kebiasaan mangigit dan istiahat nyamuk (Nugroho dalam Yawan,2010). Kelembaban dalam rumah dipengaruhi oleh keberadaan ventilasi, jendela, jenis lantai, jenis dinding , jenis atap, dan juga kepadatan hunian. Apabila suatu rumah memiliki kriteria rumah sehat maka rumah tersebut memiliki kelembaban udara dalam ruang yang berada pada batas normal tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Rumah dengan jenis lantai tanah dan kepadatan hunian tinggi akan meningkatkan kelembaban dalam ruang yang akan mempengaruhi kebiasaan mengigit dan istirahat nyamuk (Saputra, 2011). c. Hujan Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangbiakan nyamuk dan memicu terjadinya epidemic malaria. Penularan malaria lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau (Kemenkes, 2008) Besar kecilnya pengaruh hujan, tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor, dan jenis tempat perindukan. Dengan bertambahnya tempat perindukan nyamuk maka populasi nyamuk malaria juga bertambah dan akan meningkatkan risiko penularan (Kemenkes,2008). Hujan yang diselingi dengan panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.. Hujan juga akan mempengaruhi tingkat kelembaban dan suhu dalam ruangan akibat kondisi fisik rumah yang tidak baik d. Ketinggian Malaria semakin berkurang dengan semakin bertambahnya ketinggian. Pada ketinggian 2000 m jarang terjadi transmisi malaria. Hal ini bisa berubah bila terjadi pemanasan bumi dan dampak El-Nino. Ketinggian yang paling tinggi masih memungkinkan transmisi malaria adalah 2500 m diatas permukaan laut.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
16
e. Angin Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut mempengaruhi terjadinya kontak antara nyamuk dan manusia. f. Sinar matahari Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang teduh. Anopheles hyrcanus sp dan Anopheles pinculatus sp lebih menyukai tempat yang terbuka dan Anopheles barbirostris dapat hidup di tempat yang teduh maupun terang. g. Arus air Setiap nyamuk memiliki tempat perindukan yang berbeda-beda. Anopheles barbirostrosis menyukai tempat perindukan yang airnya mengalir lambat, sedangkan Anopheles minimus menyukai aliran air yang deras dan Anopheles letifer menyukai air tergenang. 2.3.2 Lingkungan Kimiawi Lingkungan kimiawi yang berisiko terhadap kejadian malaria adalah salinitas. Anopheles sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam lebih dari 40% (Harijanto,2009). 2.3.3 Lingkungan Biologi Keberadaan vegetasi seperti bakau, lumut, ganggang dapat mempengaruhi kehidupan larva karena dapat menghalangi sinar matahari atau juga untuk melindungi diri dari serangan pemangsa. Keberadaan predator alami dari larva nyamuk seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, dan mujair akan mempengaruhi populasi nyamuk (P2PL Kemenkes RI,2009). Adanya ternak seperti sapi, kerbau, dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, Apabila kandang ternak berada tidak jauh dari rumah. Keberadaan ternak ini menjadi barrier bagi penghuni rumah. Jarak kandang ternak dengan tempat tinggal harus disesuaikan dengan jarak terbang nyamuk Anopheles yaitu 20 meter. Jadi keberadaan kandang ternak harus berada pada jarak lebih dari 20 meter.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
17
2.3.4 Lingkungan Sosial Ekonomi 1. Budaya Perilaku penduduk merupakan bagian dari sebuah kebudayaan. Setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing yang juga akan membentuk perilaku dari penduduk di sana. Kebiasaan berkumpul dengan tetangga pada malam hari di balai desa, kebiasaan menonton wayang atau layar tancap, pesta adat, dan lainnya merupakan perilaku yang berisiko. Hal ini berkenaan dengan bionomik nyamuk Anopheles yang memiliki kebiasaan mengigit dari sore hingga pagi dini hari. Karakteristik mengigit dari nyamuk berbeda pada setiap spesies Anopheles. Selain kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari, kebiasaan buang air besar diluar rumah dan mengambil air dari sumber mata air yang jauh juga berisiko terinfeksi malaria. Kebiasaan buang air besar sembarangan dan aktifitas mengambil air menjadi berisiko karena penduduk berisiko kontak dengan nyamuk Anopheles saat berada di ruang terbuka dan dalam waktu yang lama terutama pada saat nyamuk berada pada aktifitas mengigit (Achmadi,2008). Kebiasaan tersebut juga berkenaan dengan terbatasnya akses sanitasi dan air bersih sehingga memaksa penduduk disana untuk pergi ke daerah yang merupakan tempat perindukan nyamuk. Jika akses sanitasi dan air bersih sudah baik maka akan mengurangi risiko penduduk setempat untuk terinfeksi malaria. 2. Pendidikan Pendidikan berhubungan dengan pengetahuan penduduk setempat. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan yang baik akan berpengaruh kepada sikap dan perilakunya. Jika pengetahuan tentang malaria sudah baik maka diharapkan penduduk dapat melakukan pencegahan atau mengurangi perilaku berisiko untuk terinfeksi malaria.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
18
3. Pekerjaan Pekerjaan penduduk berhubungan dengan risiko kontak dengan malaria di dalam atau di luar rumah. Jenis pekerjaan juga mempengaruhi intensitas seseorang untuk berada di dalam atau di luar rumah. Pekerjaan yang setiap harinya kontak dengan lingkungan luar akan memiliki risiko yang berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan di dalam ruangan. 4. Kemiskinan Hubungan malaria dan kemiskinan, bersifat timbal balik (Achmadi,2008). Malaria pada individu menyebabkan penderita tidak dapat bekerja, tidak bisa belajar. Produktivitas wilayah akan terganggu baik langsung maupun tidak langsung. Penderita akan kehilangan peluang untuk mendapatkan upah, kerugian ekonomi dikarenakan biaya pengobatan. Selain itu pengobatan yang tidak efektif dapat menyebabkan anemia berkepanjangan, dan memerlukan makanan dengan gizi yang baik. Apabila dijumlahkan secara kolektif, maka wilayah kabupaten akan kehilangan peluang membangun sumber daya manusia dan peluang ekonomi (Achmadi dalam Achmadi 2008). 2.3.5 Faktor Nyamuk 1 Jenis Nyamuk Malaria ditularkan kepada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk betina Anopheles. Nyamuk betina memerlukan darah manusia untuk mematangkan telur. Terdapat 3500 spesies nyamuk yang digolongkan menjadi 41 genus, dan terdapat 430 spesies Anopheles dan hanya 30-40 spesies yang menularkan malaria. Malaria ditularkan oleh nyamuk yang berbeda untuk setiap parasit yang dibawa, hal ini tergantung dari wilayah dan lingkungan.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
19
Nyamuk Anopheles terutama hidup di daerah tropis dan subtropics dan banyak ditemukan di dataran rendah. Nyamuk Anopheles betina mengigit antara waktu senja dan subuh. Jarak terbang dari nyamuk ini terbatas, biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari tempat perindukkan. Namun, nyamuk ini bisa terbawa angin sampai 30 km. Kebiasaan makan dan istirahat nyamuk Anopheles dapat dikelompokkan sebagai berikut: - endofili: suka tinggal dalam rumah/bangunan - eksofili: suka tinggal diluar rumah - endofagi: mengigit dalam rumah/bangunan - eksofagi: mengigit diluar rumah/bangunan -antropofili: suka menggigit manusia -zoofili: suka menggigit binatang Vektor utama malaria di Pulau Jawa dan Sumatera adalah An. sundaicus, An. maculates, An. aconitus, dan An. balabacensis. Sedangkan diluar kedua pulau tersebut khususnya Indonesia bagian tengah dan timur adalah An. barbirostris, An. farauti, An. koliensis, An. punculatus, An. subpictus, dan An. balabacencis. Berikut ini adalah contoh bionomik dari beberapa spesies tersebut(. 1. Anopheles aconitus Nyamuk ini memiliki karakteristik mengigit antara pukul 18.00 sampai 22.00. Jarak terbang nyamuk ini antara 1-2 km. Nyamuk ini lebih senang beristirahat di luar rumah seperti di tebing sungai, pada cekungan tanah, maupun ditempat basah dan lembab. Tempat perindukan utama nyamuk ini adalah sawah berteras dan saluran irigasi. Selain itu tempat perindukan nyamuk dapat ditemukan di tepi sungai dengan aliran lambat atau kolam yang bersifat alkalis. 2. Anopheles balabacencis Spesies ini merupakan spesies yang antropofilik yang memiliki kebiasaan mengigit pada tengah malam hingga menjelang fajar sekitar pukul 4 pagi. Habitat nyamuk ini adalah di hutan dan berkembang biak di genangan air tawar.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
20
3. Anopheles barbirostris Waktu mengigit dari nyamuk spesies ini antara pukul 23.00 sampai 05.00 pagi dan setelah menggigit nyamuk ini akan beristirahat di kebun. Tempat perindukannya di genangan air tawar yang banyak ditumbuhi tumbuhan air antara lain rawa, sawah, kolam darat. 4. Anopheles subpictus Spesies nyamuk ini umumnya ditemukan di daerah pantai dan memiliki tempat perindukan di air payau yang terdapat tanaman air dan hutan bakau yang terkena sinar matahari. Nyamuk ini aktif sepanjang malan dan beristirahat di dinding rumah. 5. Anopheles maculates Anopheles maculates lebih menyukai darah binatang ternak, memiliki kebiasaan mengigit antara pukul 23.00 sampai 03.00 pagi. Nyamuk ini lebih sering mengigit manusai di luar rumah serta suka beristirahat di luar rumah seperti di kebun, rumput-rumput. Sedangkan untuk tempat perindukan nyamuk ini menyukai sungai kecil, air jernih, dan mata air yang langsung kena cahaya matahari. 2 Siklus Hidup Nyamuk Nyamuk Anopheles memiliki siklus hidup seperti pada nyamuk lainnya yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Tiga fase hidup pertama dari nyamuk ini membutuhkan air sebagai media dan selanjutnya hidup 5-14 hari tergantung dari spesies nyamuk itu sendiri dan juga kondisi lingkungan. Nyamuk betina Anopheles mampu menghasilkan telur sebanyak 50-200 telur setiap bertelur. Telur dari nyamuk ini memiliki ciri yang khas yaitu memiliki sepasang pelampung di kedua sisi telur dan diletakkan secara single. Telur Anopheles tidak tahan terhadap kondisi kering dan hanya mampu bertahan selama 2-3 hari Larva nyamuk Anopheles tidak memiliki siphon sehingga posisi dari larva ini sejajar dengan permukaan air. Larva nyamuk bernafas melalui spirakel yang berlokasi
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
21
di segmen delapan dari perut. Makanan dari larva nyamuk adalah alga, bakteri, dan mikroorganisme yang ada pada permukaan air. Larva nyamuk ini berkembang melalui 4 tahap atau instars, setelah itu larva nyamuk akan berubah menjadi pupa. Nyamuk Anopheles senang meletakkan telurnya di air yang bersih dan tidak tercemar. Oleh karena itu, larva nyamuk Anopheles sering ditemukan di air payau, hutan bakau, sawah, sungai. Sebagian besar spesies nyamuk Anopheles memilih perairan yang ditumbuhi oleh tanaman Setelah melewati masa larva, maka akan berubah menjadi pupa. Pupa nyamuk ini berbentuk seperti koma. Sama seperti fase larva, fase pupa dari nyamuk ini juga berada di permukaan air untuk memudahkan proses pernapasan. Setelah b
eberapa
hari menjadi pupa, nyamuk dewasa baru pun keluar. Waktu yang dibutuhkan nyamuk Anopheles dari fase telur menjadi nyamuk dewasa tergantung dari spesiesa dan juga sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Secara keseluruhan, waktu yang diperlukan dari fase telur menjadi nyamuk sekitar 5 hari dan jika pada daerah tropis membutuhkan waktu 10-14 hari. Nyamuk Anopheles memiliki ciri khusus yang dapat membedakannya dengan nyamuk lain. Perbedaan itu terletak pada panjang probosis yang sama dengan palpi dan juga keberadaan bintik-bintik hitam dan putih pada sayap. Hal yang membedakan lainnya adalah posisi nyamuk saat mengigit mangsanya yaitu tegak lurus atau membentuk sudut 900 dengan tubuh mangsanya. Nyamuk betina yang sudah kenyang akan mencari tempat istirahat untuk mematangkan telur-telurnya. Proses pematangan ini tergantung dari suhu lingkungan tetapi biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari pada kondisi tropis. Setelah telur-telur matang maka nyamuk betina akan mencari area untuk bertelur. Siklus ini akan berlangsung terus menerus sampai nyamuk betina mati. Umur nyamuk betina Anopheles dapat mencapai satu bulan tetapi kebanyakan berumur tidak lebih dari 1-2
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
22
minggu. Kemampuan bertahan dari nyamuk ini tergantung dari suhu dan kelembaban disamping terpenuhinya kebutuhan asupan darah dari mangsanya. 2.3.6 Faktor Parasit Parasit malaria berada pada dua tipe host untuk menunjang siklus hidupnya yaitu pada manusia dan pada nyamuk Anopheles betina. Pada tubuh manusia parasit malaria membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan gametosit jantan dan betina pada saat yang sesuai untuk penularan. Pada tubuh nyamuk parasit harus menyesuaikan diri dengan sifat-sifat spesies nyamuk Anopheles yang antropofilik agar sporogoni dapat menghasilkan sporozoit yang infektif. Genus Parasit malaria terbagi menjadi 3 sub-genus yaitu subgenus plasmodium P.vivax, P.ovale, P.malariae, subgenus Laverania P. falciparum, dan subgenus Vinckeia yang tidak menginfeksi manusia. Sifat-sifat spesifik dari parasit malaria berbeda untuk setiap parasit dan juga akan mempengaruhi terjadinya manifestasi klinik. Daur hidup parasit malaria terjadi dalam hospes perantara (manusia) dan hospes definitive (nyamuk). Proses ini terdiri dari fase aseksual eksogen (sprogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes perantara. Fase aseksual mempunyai 2 daur, yaitu: 1) daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit) dan 2) daur dalam parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit)natau stadium jaringan dengan a) skizogoni praeritrosit (skizogoni eksoertirosit primer) setelah sporozoit masuk dalam kati dan b) skizogoni eksoeritrosit sekunder yang berlangsung dalam hati. Pada infeksi P.falciparum dan P.malariae hanya terdapat satu generasi aseksual dalam hati sebelum daur dalam darah dimulai, sesudah itu daur dalam hati tidak dilanjutkan lagi. Pada infeksi P.vivax dan P.ovale daur eksoeritrosit berlangsung terus sampai bertahun-tahun melengkapi perjalanan penyakit yang dapat berlangsung lama (bila tidak diobati) disertai banyak relaps.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
23
Karakteristik berbagai spesies plasmodium pada manusiadapat dilihat dalam tabel 2.2 Tabel 2.2 Karakteristik Spesies Plasmodium di Indonesia Karakteristik
P. falciparum
Siklus eksoeritrositik
P. vivax
P. ovale
P.malariae
5-7
8
9
14-15
48
48
50
72
Masa prepaten (hari)
6-25
8-27
12-20
18-59
Masa inkubasi (hari)
7-27
13-17
14
23-69
Keluarnya gametosit
8-15
5
5
5-23
30-40.000
10.000
15.000
15.000
9-22
8-16
12-14
16-35
Nyeri kepala,
Demam
Demam
Demam
pegal linu,
terjadi setiap
setiap 48
setiap 72
demam tidak
48 jam pada
jam
jam
begitu nyata,
waktu siang
gagal ginjal
atau sore,
primer (hari) Siklus
aseksual
dalam darah (jam)
(hari) Jumlah merozoit per sizon jaringan Siklus
sporogoni
dalam nyamuk (hari) Gejala
Pembengkak an limpa Sumber: Bruce Chwatt dalam Harijanto
2.4 Epidemiologi Lokal Indonesia sebagai negara tropis meupakan kawasan endemic berbagai penyakit menular, seperti malaria, TBC, filariasis, diare, dan lainnya. Disamping itu, di era globalisasi seperti saat ini maka Indonesia juga ikut berperan dalam era ini
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
24
yang tak bisa menghindari masuknya berbagai penyakit lain seperti SARS, avian influenza, flu babi dan lainnya. Permasalahan kesehatan yang sudah menjadi masalah global perlu ditangani secara global dan juga terintegrasi. Badan kesehatan dunia (WHO) memiliki komitmen untuk mengatasi masalah kesehatan dunia dengan membuat program pengendalian atau pemberantasan seperti program tuberkolosis, malaria, kusta, dan HIV/AIDS. Program-program yang ada harus juga menjadi komitmen pada setiap negara.
Komitmen
nasional
juga
menjadi
komitmen
provinsi,
komitmen
kabupaten/kota. Apabila diwilayahnya terdapat prioritas local yang dianggap perlu maka dapat ditambahkan. Strategi pengendalian penyakit menular pada dasarnya adalah untuk menghilangkan sumber penyakit dengan cara menemukan dan mencari kasus secara aktif, kemudian memastikan lalu memberikan pengobatan yang efektif. Manajemen pemberantasan dan pengendalian penyakit menular memiliki dua perspektif: a. Epidemiologi global yakni perjalanan penyakit antar benua, antar negara b. Epidemiologi local yang intinya dinamika transmisi penyakit tertentu pada wilayah tertentu Penyakit menular bersifat global. Misalnya malaria yang terbentang pada wilayah yang beriklim tropis yang memiliki karakteristik ekosistem yang sama. Peta endemisitas malaria secara gobal terbentang dari Afrika sampai Amerika Latin. Dalam perspektif global, setiap daerah di Indonesia dianggap sebagai bagian dari komunitas dunia dimana setiap daerah adalah wilayah yang terkena risiko yang sama terkait malaria. Epidemiologi global harus mempelajari kejadian, perjalanan penyakit dan penyebaran pada tingkat global. Wilayah yang menjadi jalur transmisi sebaiknya memiliki kapasitas dan akses untuk memperoleh informasi terkait transmisi penyakit yang paling berisiko terjadi di daerahnya.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
25
Epidemiologi local berkaitan dengan dinamika transmisi local, misalnya malaria, dan filariasis. Pemerintah daerah terutama Dinas Kesehatan seharusnya mampu memetakan atau menggambarkan model dinamika transmisi penyakit yang khas didaerahnya. Sebagai contoh, penyakit malaria setiap daerah yang berbeda memerlukan pemetaan dan penggambaran yang berbeda pula. Jenis nyamuk pada satu daerah berbeda dengan daerah lain. Perbedaan jenis nyamuk maka bionomik nyamuk akan berbeda dan pola perilaku penduduk yang berisiko pun tidak sama. Semua komponen variabel yang berperan harus diidetifikasi dan dipelajari. 2.5 Permasalahan Spesifik Lokal Permasalahan kesehatan di Indonesia banyak yang bersifat spesifik local. Permasalahan spesifik local pada dasarnya ditentukan oleh: a. berbagai variabel iklim, topografi, serta kondisi lingkungan b. variabel social budaya ekonomi c. ekosistem dan habitat binatang penular penyakit Ketiga variabel pada daerah tersebut harus selalu diperhatikan, setiap daerah berbeda satu dengan lainnya. Untuk itu diperlukan penggambaran dari masingmasing variabel yang akan memberikan pola penularan penyakit yang berbeda walaupun penyakitnya sama pada daerah yang berbeda. Penggambaran dinamika transmisi penyakit pada suatu daerah akan membantu dalam perencanaan dan pelaksanaan program pengendalian dan pemberantasan penyakit tersebut. Dengan mengetahui dinamika trasnmisi maka setiap program dapat memutus rantai penularan dengan lebih efektif, apakah pada variabel kependudukan atau ekosistem daerah.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
26
2.6 Pengendalian Malaria Pemberantasan malaria harus dilaksanakan berbasis wilayah, setiap wilayah administrasi pembangunan menggunakan strategi sebagai berikut: 1. Intensifikasi Pencarian dan Pengobatan Kasus Melakukan pencarian dan pengobatan kasus secara komprehensif yang merupakan upaya pokok menghilangkan sumber penularan malaria. Dapat dilakukan dengan memperluas jangkauan pelayanan, seperti pemberdayaan Juru Malaria Desa. 2. Pemberantasan Penyakit Bebasis Lingkungan dan Perilaku Sehat Penyakit menular seperti malaria memiliki basis lingkungan dan perilaku penduduk setempat dan keduanya sulit dipisahkan. oleh karena itu, upaya perbaikan saniasi lingkungan harus diikuti atau diintegrasikan dengan upaya perbaikan perilaku penduduk setempat untuk hidup bersih dan sehat 3. Penggalangan Upaya kemitraan Masalah kesehatan khususnya faktor risiko penyakit menular berkaitan erat dengan unit, sektor, individu, hal dimana di luar kewenangan administrasi bidang kesehatan. Jadi permasalahan kesehatan harus diselesaika secara bersama-sama. Untuk itu diperlukan upaya bersama yang bersifat kemitraan dengan pihak-pihak yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dihadapi.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Teori
Manajemen
Sumber Penyakit Penderita Malaria (parasit malaria)
Program Pemberantasan Malaria Jumlah Tenaga Kesehatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Media
Variabel
Transmisi
Kependudukan
Kejadian
Penyakit
-
Malaria
Nyamuk Anopheles penular malaria
Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Tempat tinggal Pengetahuan terkait Malaria - Perilaku terkait pencegahan malaria - Perilaku berisiko malaria
Topografi Kelembaban udara Suhu udara Lingkungan tempat tinggal Rumah sehat
(Achmadi, 2003 dalam Achmadi, 2008 dengan modifikasi)
Menurut Achmadi 2003 terjadinya suatu penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Dapat disimpulkan gangguan kesehatan
27 Universitas Indonesia Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
28
merupakan resultan dari hubungan interaktif antara lingkungan dan variabel kependudukan. Demikian juga penyakit malaria, akan terjadi jika komponen-komponen itu ada dan saling berinteraksi. Sumber dari penyakit malaria adalah plasmodium yang berada pada penderita malaria. Plasmodium ini akan menimbulkan penyakit malaria jika penderita malaria digigit oleh nyamuk Anopheles yang kemudian mengigit penduduk yang beresiko. Kejadian malaria juga dipengaruhi oleh faktor lain yang mempengaruhi siklus hidup Plasmodium serta siklus kehidupan Plasmodium dalam tubuh penderita beserta perilaku kependudukannya. Faktor lain ini antara lain adanya manajemen malaria dan faktor lingkungan seperti topografi, suhu, kelembaban dan kondisi fisik rumah. 3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori yang telah ditampilkan sebelumnya, penyederhanaan bentuk menjadi kerangka konsep dibuat untuk menggambarkan arah penelitian yang akan dilakukan. Kerangka konsep penelitian ini adalah Faktor Risiko Malaria Riskesdas 2007 -
Faktor perilaku berisiko dan pencegahan malaria Faktor lingkungan fisik rumah Faktor lingkungan luar rumah
Faktor risiko Malaria Riskesdas 2010 -
Kejadian Malaria
Faktor perilaku berisiko dan pencegahan malaria Faktor lingkungan fisik rumah Faktor lingkungan luar rumah
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
Universitas Indonesia
29
Kejadian Malaria di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor risiko, penelitian ini melihat faktor risiko apa sajakah yang mempengaruhi kejadian malaria pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Faktor risiko yang dilihat adalah faktor risiko perilaku penduduk, faktor lingkungan fisik rumah, dan faktor risiko lingkungan luar rumah. 3.3 Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi Operasional
1.
Kejadian Malaria
2.
3
Pengukuran
Skala
Sumber data
Jumlah responden di proporsi propinsi yang memiliki gejala klinis malaria saat wawancara dibagi jumlah responden per propinsi
Rasio
Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010
Lingkungan fisik rumah
Lingkungan sehat yang menggambarkan kondisi rumah secara fisik (lantai, atap, dinding, pencahayaa, ventilasi, kepadatan hunian) dibagi jumlah responden per propinsi
proporsi
Rasio
Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010
Lingkungan luar rumah
Lingkungan yang menggambarkan kondisi lingkungan yang buruk sekitar tempat tinggal (keberadaan ternak dan jarak sumber air bersih) dibagi jumlah responden per propinsi
Proporsi
Rasio
Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
Universitas Indonesia
30
Lanjutan Definisi Operasional No
Variabel
Definisi Operasional
Pengukuran Skala
4
P erilaku berisiko
Perilaku berisiko Proporsi yang biasa dilakukan oleh responden (perilaku BAB sembarangan, perilaku pencegahan malaria, perilaku memelihara ternak) dibagi jumlah responden per propinsi
Rasio
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
Sumber Data Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010
Universitas Indonesia
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Rancangan Studi Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi ekologi. Desain studi ekologi adalah studi epidemiologi yang bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan korelatif antara penyakit dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit (Muthi,1997) Desain studi ekologi memiliki tujuan untuk melihat hubungan karakteristik umum suatu populasi dengan suatu masalah kesehatan dalam kurun waktu yang sama pada beberapa populasi atau pada populasi yang sama dalam kurun waktu yang berbeda. Studi ekologi mengacu kepada populasi, sehingga tidak bisa menghubungkan antara pemajanan dan penyakit terhadap individu. Unit analisis dari desain studi ini adalah kelompok individu, komunitas ataupun populasi yang lebih besar. Rancangan studi ini tepat digunakan untuk penyelidikan awal hubungan paparan faktor dan penyakit (Murthi,1997). Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui apakah suatu faktor risiko malaria yaitu faktor perilaku berisiko dan pencegahan, faktor lingkungan fisik rumah, dan faktor lingkungan luar rumah berhubungan dengan kejadian malaria di Indonesia.
4.2 Rancangan Sampel 4.2.1
Populasi Populasi penelitian ini adalah penduduk yang tercatat dalam Badan Pusat Statistik
4.2.2
Sampel Sampel penelitian ini adalah semua sampel Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Pada penelitian ini melihat malaria pada 33 propinsi di Indonesia.
4.3 Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari laporan Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 yang dikeluarkan
31
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
Universitas Indonesia
32
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI. Pelaksanaan Riskesdas 2007 dan 2010 menggunakan alat dan cara pengumpulan data, pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner, untuk pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner, untuk data tinggi badan diukur dengan alat ukur 4.4 Analisis Data 4.4.1
Manajemen Data
1) Editing Merupakan kegiatan penyuntingan data yang telah terkumpul, yaitu cara pengisian dan kesalahan pengisian. 2) Entry Memasukkan data yang telah diperoleh ke dalam komputer 3) Cleaning Mengecek apakah data yang sudah di entry ke komputer benar atau tidak. 4.4.2
Analisis Data 1. Analisis Univariat Analisis yang dipakai dalam penelitian adalah analisis univariat yang bertujuan menampilkan distribusi frekuensi dari variabel yang ada. Pada penelitian ini analisis univariat untuk melihat gambaran kejadian malaria. 2. Analisis Bivariat Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu dependen dan independen. Menggunakan uji korelasi dan regresi linier yang menguji variabel numeric dan numeric. Uji korelasi untuk menentukan koefisien korelasi, yang dapat diperoleh dari formulasi:
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
33
r=
∑ √
∑
∑
∑ ]
∑ ∑
∑
]
Nilai korelasi r berkisaar 0 sd 1 dengan disertai arah nilainya 1- s.d +1. r=0 tidak ada hubungan r=-1 hubungan linier negative r= +1 hubungan linier positif Selain untuk mengetahui derajat hubungan, uji korelasi juga dapat mengetahui arah hubungan dua variabel. Kekuatan hubungan dua variabel dapat dibagi dalam 4 (Sutanto, 2007) yaitu: r= 0,00-0,25 tidak ada hubungan/hubungan lemah r= 0,26 -0,50 hubungan sedang r= 0,51-0,75 hubungan kuat r= 0,76-1,00 hubungan sangat kuat Analisis ini digunakan untuk melihat seberapa jauh hubungan faktor risiko malaria yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan fisik rumah, dan faktor lingkungan luar rumah dengan kejadian malaria. 3. Analisis Multivariat Setelah memperoleh variabel predictor penting melalui korelasi, langkah selanjutnya adalah memasukkan variabel-variabel itu ke dalam model multivariate. Syarat suatu variabel masuk ke dalam model adalah memiliki nilai p<0,25. Variabel-variabel di dalam model kalau perlu dikeluarkan lagi jika tidak memiliki cukup kemaknaan statistik dalam model multivariat. Teknik yang dipakai pada penelitian ini adalah seleksi mundur. Prinsipnya adalah memasukkan semua variabel ke dalam model, tetapi kemudian dikeluarkan satu per satu dari model berdasarkan kriteria kemaknaan statistic tertentu, sampai tidak ada lagi variabel dalam model yang tidak sapat disingkirkan oleh kriteria eliminasi itu.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
34
Variabel yang dikeluarkan pertama kali adalah variabel yang mempunyai korelasi parsial terkecil dengan variabel respons. Variabel yang memiliki p<0,05 adalah variabel yang merupakan faktor predictor terjadinya malaria.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Situasi Malaria di Indonesia Situasi malaria terkini dapat dilihat dari hasil laporan Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, prevalensi malaria tersebar merata di semua kelompok umur. Prevalensi malaria terendah pada kelompok umur <1 tahun dan tertinggi pada kelompok umur 25-34 tahun. Pada Riskesdas 2010 distribusi prevalensi malaria tersebar merata pada semua kelompok umur. Prevalensi malaria terendah sama dengan kelompok umur pada Riskesdas 2007 yaitu umur <1 tahun dan untuk prevalensi malaria tertinggi pada kelompok umur ≥ 15 tahun. Situasi malaria dapat juga dilihat dari perbedaan prevalensi malaria dengan jenis kelamin. Baik pada Riskesdas 2007 maupun Riskesdas 2010 terlihat bahwa prevalensi malaria pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan Prevalensi malaria di Indonesia juga terdapat perbedaan pada tingkat pendidikan. Prevalensi malaria terendah pada tingkat pendidikan tamat Perguruan Tinggi dan prevalensi malaria tertinggi pada tingkat pendidikan tidak sekolah. Prevalensi malaria baik pada Riskesdas 2007 dan 2010 pada tingkat pekerjaan terdapat perbedaan. Pada kelompok petani/nelayan/buruh prevalensi malaria memiliki angka tertinggi dan pada kelompok pegawai/TNI/POLRI memiliki prevalensi malaria terendah. Pada Riskesdas 2007 terlihat perbedaan angka prevalensi malaria di pedesaan dan di perkotaan. Prevalensi malaria di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan.Prevalensi malaria pada tingkat pengeluaran per kapita memperlihatkan prevalensi malaria tinggi pada tingkat pengeluaran per kapita rendah dan terendah pada tingkat pengeluaran per kapita tinggi. Berdasarkan hasil test Rapid Diagnostic Test Riskesdas 2010, terlihat proporsi jenis parasit terbesar adalah Plasmodium falciparum diikuti Plasmodium vivax.
36
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
Universitas Indonesia
36
5.2 Analisis Univariat 5.2.1 Kejadian Malaria
Prevalensi Malaria per Propinsi di Indonesia PAPUA IRIAN JAYA BARAT MALUKU UTARA MALUKU SULAWESI BARAT GORONTALO SULAWESI TENGGARA SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH SULAWESI UTARA KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN BARAT NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR BALI BANTEN JAWA TIMUR DI YOGYAKARTA JAWA TENGAH JAWA BARAT DKI JAKARTA KEPULAUAN RIAU KEP. BANGKA BELITUNG LAMPUNG BENGKULU SUMATERA SELATAN JAMBI RIAU SUMATERA BARAT SUMATERA UTARA NAD
0,00
Prevalensi 2010 Prevalensi 2007
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
Gambar 5.1 Grafik Prevalensi Malaria per Propinsi di Indonesia (2007 dan 2010)
Grafik diatas memperlihatkan Propinsi Papua Barat dan Papua baik pada tahun 2007 maupun 2010 memiliki prevalensi yang tinggi. Sedangkan pada propinsi Gorontalo terjadi peningkatan prevalensi yang cukup tinggi. Dari grafik dapat terlihat rata-rata prevalensi malaria per propinsi mengalami peningkatan.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
37
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Prevalensi Malaria pada Riskesdas 2007 dan 2010
Prevalensi Malaria
Mean
SD
Min-Max
2007
4,11
5,48
0,18-26,14
2,17-6,06
2010
12,66
5,93
4,50-28,00
10,55-14,76
95% CI
Hasil analisis distribusi frekuensi prevalensi malaria memperlihatkan rata-rata prevalensi malaria pada tahun 2007 sebesar 4,11% (95%CI: 2,17-6,06), dengan standar deviasi 5,48%. Prevalensi malaria terrendah 0,18% dan prevalensi tertinggi 26,14%. Untuk prevalensi malaria 4,11% diyakini bahwa rata-rata prevalensi malaria di Indonesia berada pada selang 0,18% sampai 26,14%. Prevalensi malaria tahun 2010, rata-rata prevalensi malaria 12,66% (95%CI: 4,50-28,00) dan standar deviasi 5,93%. Prevalensi malaria terendah 4,5% dan prevalensi tertinggi 28,00%. Untuk prevalensi malaria 12,66% diyakini bahwa ratarata prevalensi malaria di Indonesia berada pada selang 10,55% sampai 14,76%. 5.3 Analisis Bivariat Tabel 5.3 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko Malaria pada Riskesdas 2007 dan 2010
Tahun Variabel 2007 Proporsi Waktu ambil air (30-60 menit) Proporsi Jarak Sumber air >1km Rumah Sehat - Proporsi Lantai Bukan Tanah - Proporsi ≥8m2 Proporsi pemeliharaan ternak sedang Proporsi pemeliharaan ternak besar Buang Air besar sembarangan 2010 Proporsi Waktu ambil air (30-60 menit) Proporsi Jarak Sumber air Proporsi Rumah Sehat Proporsi pemakaian repellent Proporsi pemakaian kelambu Proporsi pemakaian kassa nyamuk Proporsi Buang Air besar sembarangan
r 0,366 0,315
R2 0,134 0,1
nilai p 0,036 0,074
-0,374 -0,646 0,315 -0,117 0,291 0,401 0,041 -0,184 -0,485 0,079 -0,306 0,378
0,14 0,417 0,099 0,014 0,085 0,16 0,002 0,034 0,235 0,006 0,093 0,143
0,032 0,001 0,074 0,518 0,1 0,021 0,882 0,304 0,004 0,661 0,084 0,030
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
38
5.3.1 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas 2007 1. Proporsi Lama Waktu Mengambil Air Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi lama waktu mengambil air (30-60 menit) menunjukkan hubungan sedang (r= 0.366) dan berpola positif artinya semakin tinggi proporsi lama waktu mengambil air (>30 menit) semakin tinggi angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 134 artinya variabel proporsi lama waktu mengambil air mempengaruhi kejadian malaria sebesar 13,4%. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi lama waktu mengambil air (p=0.036). 2. Proporsi Jarak Sumber air Lebih dari 1 km Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi jarak sumber air >1km menunjukkan hubungan sedang (r= 0.315) dan berpola positif artinya semakin tinggi proporsi jarak sumber air >1km semakin tinggi angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0,1 artinya variabel proporsi jarak sumber air >1km mempengaruhi kejadian malaria sebesar 10%. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kejadian malaria dengan proprosi jarak sumber air >1km (p=0.074). 3. Proporsi Rumah Sehat Indikator Rumah Sehat pada Riskesdas 2007 hanya melihat 2 karakteristik yaitu lantai bukan tanah dan kepadatan hunian ≥8m2. Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi lantai rumah bukan tanah menunjukkan hubungan sedang (r= 0.374) dan berpola negatif artinya semakin tinggi proporsi lantai rumah bukan tanah semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 14 artinya variabel proporsi lantai rumah bukan tanah mempengaruhi kejadian malaria sebesar 14%. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi lantai rumah bukan tanah (p=0.032). Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi kepadatan hunian ≥ 8m2 menunjukkan hubungan kuat (r= -0.646) dan berpola negatif artinya semakin tinggi
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
39
proporsi kepadatan hunian ≥ 8m2 semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 41 artinya variabel proporsi kepadatan hunian ≥ 8m2 mempengaruhi kejadian malaria sebesar 41%. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi kepadatan hunian ≥ 8m2 (p=0.001). 4. Proporsi Memelihara Ternak Sedang Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memelihara ternak sedang (kambing, babi) menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= 0,315) dan berpola positif artinya semakin tinggi proporsi memelihara ternak sedang semakin tinggi angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 9 artinya variabel proporsi memelihara ternak sedang mempengaruhi kejadian malaria sebesar 9%. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi memelihara ternak sedang (p=0.074). 5. Proporsi Memelihara Ternak Besar Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memelihara ternak besar (sapi, kerbau, kuda) menunjukkan hubungan lemah (r= -0.117) dan berpola negatif artinya semakin tinggi proporsi memelihara ternak besar semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 014 artinya variabel proporsi memelihara ternak besar mempengaruhi kejadian malaria sebesar 1,4%. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi memelihara ternak besar (p=0.518). 6. Proporsi Buang Air Besar (BAB) Sembarangan Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi buang air besar sembarangan menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= 0,291) dan berpola positif artinya semakin tinggi proporsi buang air besar sembarangan semakin tinggi angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 085 artinya variabel proporsi buang air besar sembarangan mempengaruhi kejadian malaria sebesar 8,5%.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
40
Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi buang air besar sembarangan (p=0.100). 7. Peta Risiko Malaria dengan Faktor Risiko yang Berhubungan
Gambar 5.2 Peta Risiko Malaria di Indonesia (Riskesdas 2007)
Variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria pada Riskesdas dituangkan dalam sebuah peta. Propinsi yang berisiko terhadap malaria dengan faktor risiko rumah sehat berwarna merah tua sedangkan propinsi yang berisiko terhadap malaria dengan faktor risiko lama waktu mengambil berwarna merah terang. Pembuatan peta menggunakan software Arcview version 3.1 Gambar 5.2 menunjukkan propinsi di Indonesia yang berisiko terhadap malaria berdasarkan keberadaan faktor risiko rumah sehat dan lama waktu mengambil air. Propinsi yang berisiko terhadap malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko rumah sehat adalah Papua, Papua Barat, dan NTT. Sedangkan Propinsi
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
41
yang berisiko terhadap malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko lama waktu mengambil air adalah Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Propinsi yang berisiko terhadap kedua faktor risiko tersebut adalah Papua, Papua Barat, dan NTT. 5.3.2 Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko pada Riskesdas 2010 1. Proporsi Lama Waktu Mengambil Air Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi lama waktu mengambil air (30-60 menit) menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= 0,401) dan berpola positif artinya semakin tinggi proporsi lama waktu mengambil air >30 menit semakin tinggi angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 16 artinya variabel proporsi lama waktu mengambil air >30 menit mempengaruhi kejadian malaria sebesar 16%. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi lama waktu mengambil air >30 menit (p=0.021). 2. Proporsi Jarak Sumber Air >1km Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi jarak sumber air >1km menunjukkan hubungan lemah (r=0,041) dan berpola positif artinya semakin tinggi proporsi jarak sumber air >1km semakin tinggi angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 114 artinya variabel proporsi jarak sumber air >1km mempengaruhi kejadian malaria sebesar 11,4%. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi jarak sumber air >1km (p=0.518). 3. Proporsi Rumah Sehat Pada Riskesdas 2010 kriteria rumah sehat yang digunakan berdasarkan Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Kesehatan Perumahan. Kriteria rumah sehat bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, vantilasi cukup, pencahayaan alami cukup dan tidak padat huni (lebih dari 8m2).
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
42
Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi rumah sehat menunjukkan hubungan lemah (r= -0.184) dan berpola negatif artinya semakin tinggi proporsi rumah sehat semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 034 artinya variabel proporsi memelihara ternak besar mempengaruhi kejadian malaria sebesar 3,4%. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi rumah sehat (p=0.304). 4. Proporsi Memakai Repelent Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memakai repelent menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= -0.485) dan berpola negatif artinya semakin tinggi proporsi memakai repelent semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 23 artinya variabel proporsi memakai repelent mempengaruhi kejadian malaria sebesar 23%. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi memakai repellent (p=0,004). 5. Proporsi Memakai Kelambu Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memakai kelambu menunjukkan hubungan lemah (r= 0,079) dan berpola negatif artinya semakin tinggi proporsi memelihara ternak besar semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0,006 artinya variabel proporsi memakain kelambu mempengaruhi kejadian malaria sebesar 0,6%. Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi memakai kelambu (p=0,661). 6. Proporsi Memakai Kasa pada Ventilasi Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi mamakai kasa pada ventilasi menunjukkan kekuatan hubungan sedang (r= -0.306) dan berpola negatif artinya semakin tinggi proporsi memakai kasa pada ventilasi semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0,093 artinya variabel proporsi memakai kasa pada ventilasi mempengaruhi kejadian malaria sebesar 9,3%.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
43
Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi memakai kasa pada ventilasi (p=0.084). 7. Proporsi Buang Air Besar (BAB) Sembarangan Hubungan antara kejadian malaria dan proporsi memelihara buang air besar sembarangan menunjukkan hubungan lemah (r=0,378) dan berpola positif artinya semakin tinggi proporsi buang air besar sembarangan semakin rendah angka prevalensi malaria. Nilai koefisensi dengan determinasi 0, 143 artinya variabel proporsi memelihara ternak besar mempengaruhi kejadian malaria sebesar 14,3%. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara kejadian malaria dengan proprosi buang air besar sembarangan (p=0.030). 8. Peta Faktor Risiko Malaria dengan Faktor Risiko yang Berhubungan
Gambar 5.3 Peta Faktor Risiko Malaria di Indonesia (Riskesdas 2010)
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
44
Variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria pada Riskesdas 2010 dituangkan dalam sebuah peta. Propinsi yang berisiko terhadap malaria dengan faktor risiko buang air besar (BAB) sembarangan
berwarna merah tua, propinsi yang
berisiko terhadap malaria dengan faktor risiko lama waktu mengambil air berwarna merah terang sedangkan propinsi yang berisiko terhadap malaria dengan faktor risiko memakai repellent berwarna merah muda. Pembuatan peta menggunakan software Arcview version 3.1 Gambar 5.3 menunjukkan propinsi di Indonesia yang berisiko terhadap malaria berdasarkan keberadaan faktor risiko buang air besar (BAB) sembarangan, lama waktu mengambil air, dan pemakaian repelent. Propinsi yang berisiko terhadap malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko BAB sembarangan adalah Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan NTT. Propinsi yang berisiko terhadap malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko lama waktu mengambil air adalah Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Sedangkan Propinsi yang berisiko terhadap malaria yang dihubungkan dengan faktor risiko pemakaian repellent adalah Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Dan terdapat empat propinsi yang berisiko terhadap ketiga faktor risiko yaitu Papua, Sulawesi Utara, NTT, dan Maluku Utara. 5.4 Analisis Multivariat Hasil analisis bivariat yang memiliki nilai p kurang dari 0,25 dilanjutkan analisis dengan menggunakan analisis regresi linier dengan metode backward (mundur). Semua variabel yang merupakan faktor risiko dimasukkan ke dalam model selanjutnya variabel yang tidak berpengaruh dikeluarkan satu per satu sampai diperoleh variabel yang diperkirakan berperan penting dalam kejadian malaria. Variabel yang dilanjutkan ke analisis statistik multivariat untuk Riskesdas 2007 adalah lama waktu mengambil air, jarak sumber air, lantai bukan tanah, kepadatan hunian, memelihara ternak sedang, dan buang air besar sembarangan. Untuk Riskesdas 2010 variabel yang dilanjutkan ke dalam analisis multivariat adalah
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
45
lama waktu ambil air, memakai repellent, memakai kasa pada ventilasi, dan buang air besar sembarangan. Analisis ini dimaksudkan untuk menentukan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian malaria di Indonesia berdasarkan Riksesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Hasil analisis multivariat Riskesdas 2007 disajikan pada tabel 5.4 Hasil permodelan multivariat didapatkan ada satu variabel yang memiliki nilai p<0,05. Namun,prinsip permodelan mulitvariat harus yang sederhana sehingga masing-masing variabel perlu dicek p valuenya, variabel yang memiliki nilai p>0,05 dikeluarkan dari model secara bertahap dan dimulai dengan nilai p yang paling besar. Perubahan nilai koefisien B tidak boleh lebih dari 10% setelah variabel tersebut dikeluarkan. Dari 6 variabel, ternyata variabel proporsi memelihara ternak memiliki nilai p yang tertinggi (p=0,855). Maka variabel proporsi memelihara ternak adalah variabel yang pertama dikeluarkan. Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi memelihara ternak dapat dikeluarkan dari model. Selanjutnya pada model masih ada variabel yang nilai p>0,05, maka variabel proporsi lama waktu mengambil air (p=0,831) dikeluarkan dari model. Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi lama waktu mengambil air dapat dikeluarkan dari model. Permodelan multivariat selanjutnya mengeluarkan variabel dengan nilai p tertinggi yaitu variabel proposi buang air besar sembarangan (p=0,428). Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi buang air besar sembarangan dapat dikeluarkan dari model.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
46
Tabel 5.4 Analisis Multivariat Faktor Risiko dan Kejadian Malaria di Indonesia Riskesdas 2007 unstandardized coefficient B Std. Error 36,261 15,109
standardized coefficients Beta
Model t (constant) 2,400 Proporsi lama waktu mengambil air 0,128 0,476 0,078 0,269 Proporsi jarak sumber air 0,080 0,342 0,065 0,234 Proporsi lantai rumah bukan tanah -0,137 0,125 -0,232 -1,103 Proporsi kepadatan hunian -0,283 0,086 -0,526 -3,277 Proporsi memelihara ternak -0,020 0,111 -0,043 -0,184 Proporsi Buang air besar sembarangan 0,061 0,076 0,132 0,809 Mengeluarkan Proporsi Memelihara Ternak (constant) 34,461 11,308 3,048 Proporsi lama waktu mengambil air 0,092 0,427 0,056 0,216 Proporsi jarak sumber air 0,11 0,297 0,089 0,370 Proporsi lantai rumah bukan tanah -0,122 0,090 -0,205 -1,353 Proporsi kepadatan hunian -0,281 0,084 -0,522 -3,344 Proporsi Buang air besar sembarangan 0,059 0,073 0,127 0,805 Mengeluarkan Proporsi Lama Waktu Mengambil Air (constant) 35,680 9,627 3,706 Proporsi jarak sumber air 0,161 0,174 0,130 0,925 Proporsi lantai rumah bukan tanah -0,129 0,083 -0,217 -1,543 Proporsi kepadatan hunian -0,286 0,078 -0,532 -3,651 Proporsi Buang air besar sembarangan 0,052 0,065 0,113 0,804 Mengeluarkan Proporsi BAB sembarangan (constant) 38,937 8,680 4,486 Proporsi jarak sumber air 0,166 0,173 0,134 0,962 Proporsi lantai rumah bukan tanah -0,142 0,081 -0,239 -1,748 Proporsi kepadatan hunian -0,296 0,077 -0,550 -3,840 Mengeluarkan Proporsi Jarak Sumber Air (constant) 41,727 8,171 5,107 Proporsi lantai rumah bukan tanah -0,141 0,081 -0,238 -1,742 Proporsi kepadatan hunian -0,318 0,073 -0,591 -4,325 Mengeluarkan Proporsi Lantai Bukan Tanah (constant) 31,492 5,864 5,370 Proporsi kepadatan hunian -0,347 0,074 -0,646 -4,706
Sig 0,024 0,790 0,817 0,280 0,003 0,855 0,426 0,005 0,831 0,714 0,187 0,002 0,428 0,001 0,363 0,134 0,001 0,428 0,000 0,344 0,091 0,001 0,000 0,092 0,000 0,000 0,000
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
47
Selanjutnya pada model ternyata masih ada variabel yang memiliki nilai p>0,05, maka variabel dengan nilai p terbesar yaitu proporsi jarak sumber air (p=0,344) dikeluarkan dari model. Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi jarak sumber air dapat dikeluarkan dari model. Pada model mulitivariat ternyata masih ada variabel yang memiliki nilai p>0,05 yaitu proporsi lantai bukan tanah (p=0,092). Maka variabel ini dikeluarkan dari model. Setelah dikeluarkan dari model ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi lantai bukan tanah dapat dikeluarkan dari model. Hasil akhir dari model analisis multivariate didapat variabel proporsi kepadatan hunian memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05). Dari hasil uji regresi linier didapat sebuah persamaan: Prevalensi malaria = -0,347 proporsi Kepadatan hunian Dengan model persamaan ini, maka kita dapat memperkirakan prevalensi malaria menggunakan variabel proporsi kepadatan hunian. Arti dari persamaan tersebut adalah setiap kenaikan satu persen proporsi kepadatan hunian akan mengurangi prevalensi malaria sebesar 0,347 persen. Kolom beta dapat digunakan untuk melihat variabel yang paling besar perananannya, semakin besar nilai Beta semakin besar peranannya. Pada hasil di atas berarti variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap prevalensi malaria adalah proporsi kepadatan hunian yaitu sebesar 64,6%. %. Dengan hasil tersebut variabel proporsi kepadatan hunian adalah faktor yang paling berisiko dengan kejadian malaria di Indonesia pada Riskesdas 2007. Selanjutnya setelah mendapatkan faktor risiko yang paling berisiko, maka variabel proporsi kepadatan hunian ≥8m2 dan kejadian malaria digambarkan dalam sebuah peta. Variabel kejadian malaria dan variabel proporsi kepadatan hunian
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
48
memiliki hubungan negatif, sehingga penentuan nilai prioritas menjadi berbeda. Kedua variabel di bagi menjadi tiga tingkat faktor risiko, berisiko tinggi diberi prioritas pertama, risiko sedang prioritas kedua dan risiko rendah prioritas ketiga. Setelah masing-masing variabel di bagi menjadi tiga, nilai kedua variabel dijumlahkan pada setiap propinsi. Propinsi yang memiliki nilai yang paling kecil adalah propinsi yang memiliki risiko tinggi sedangkan propinsi yang memiliki nilai tertinggi merupakan propinsi dengan risiko rendah. Peta propinsi di Indonesia yang paling berisiko terhadap malaria berdasarkan faktor risiko kepadatan hunian dapat dilihat pada gambar 5.4.
Gambar 5.4 Peta Risiko Malaria di Indonesia (Riskesdas 2007)
Pada gambar 5.4, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga kategori yaitu berisiko tinggi, berisiko sedang, dan berisiko rendah. Propinsi yang masuk kedalam wilayah berisiko tinggi terhadap malaria adalah NTT, Papua Barat, dan Papua. Ketiga
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
49
wilayah ini memiliki prevalensi malaria yang tinggi sedangkan proporsi kepadatan hunian ≥8m2 masih rendah. Hal ini sesuai dengan uji statistic yang menunjukkan bahwa proporsi kepadatan hunian memiliki hubungan yang negative dengan prevalensi malaria. Analisis multivariat faktor risiko malaria pada Riskesdas 2010 memasukan empat variabel yang memiliki nilai p>0,25 Hasil analisis multivariat faktor risiko malaria di Indonesia berdasarkan Riksesdas 2010 disajikan pada tabel 5.5.
Tabel 5.5 Analisis Multivariat Faktor Risiko dan Kejadian Malaria di Indonesia Riskesdas 2010 unstandardized coefficient Std. B Error 14,05 4,906
standardized coefficients
Model Beta t (constant) 2,864 Proporsi lama waktu mengambil air 0,592 0,416 0,245 1,423 Proporsi memakai repelent -0,185 0,131 -0,302 -1,417 Proporsi memakai kasa -0,047 0,153 -0,058 -0,305 Proporsi buang air besar sembarangan 0,059 0,118 0,102 0,502 Mengeluarkan proporsi memakai kasa (constant) 13,380 4,318 3,099 Proporsi lama waktu mengambil air 0,587 0,409 0,243 1,434 Proporsi memakai repellent -0,198 0,122 -0,322 -1,615 Proporsi buang air besar sembarangan 0,069 0,112 0,119 0,621 Mengeluarkan proporsi BAB sembarangan (constant) 15,515 2,587 5,998 Proporsi lama waktu mengambil air 0,609 0,403 0,25 1,510 Proporsi memakai repellent -0,238 0,102 -0,38 -2,327 Mengeluarkan Proporsi Lama waktu mengambil air (constant) 18,093 1,984 9,121 Proporsi memakai repellent -0,298 0,096 -0,485 -3,089
Sig 0,008 0,166 0,168 0,762 0,620 0,004 0,162 0,117 0,539 0,000 0,141 0,027 0,000 0,004
Hasil permodelan multivariat didapatkan tidak ada satupun variabel yang memiliki nilai p<0,05. Sehingga satu per satu variabel yang memiliki nilai p>0,05
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
50
dikeluarkan dari model dan dimulai dari nilai p terbesar. Perubahan nilai koefisien B tidak boleh lebih dari 10% setelah variabel tersebut dikeluarkan. Dari 4 variabel yang masuk ke dalam model, ternyata variabel proporsi memakai kasa memiliki nilai p tertinggi (p=0,762) sehingga dikeluarkan dari model. Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi memakai kasa dapat dikeluarkan dari model. Selanjutnya pada model masih terdapat variabel yang memiliki nilai p>0,05, maka variabel proporsi buang air besar (BAB) sembarangan dikeluarkan dari model (p=0,539). Setelah variabel ini dikeluarkan ternyata perubahan koefisisen B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi BAB sembarangan dapat dikeluarkan dari model. Pada model masih terdapat dua variabel dan hanya variabel proporsi lama waktu mengambil air yang memiliki nilai p<0,05 maka variabel ini dikeluarkan dari model. Setelah variabel dikeluarkan ternyata perubahan nilai koefisien B tidak lebih dari 10%, dengan demikian variabel proporsi BAB sembarangan dapat dikeluarkan dari model. Hasil akhir dari model analisis multivariate didapat variabel proporsi memakai repellent memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05). Dari hasil uji regresi linier didapat sebuah persamaan: Prevalensi malaria = -0,298 Proporsi pemakaian repellent Dengan model persamaan ini, maka kita dapat memperkirakan prevalensi malaria menggunakan variabel proporsi pemakaian repellent . Arti dari persamaan tersebut adalah setiap kenaikan satu persen proporsi pemakaian repelent akan mengurangi prevalensi malaria sebesar 0,298 persen. Kolom beta dapat digunakan untuk melihat variabel yang paling besar perananannya, semakin besar nilai Beta semakin besar peranannya. Pada hasil di atas berarti variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap prevalensi malaria adalah proporsi kepadatan hunian yaitu
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
51
sebesar 48,5%. Dengan hasil tersebut variabel proporsi memakai repellent adalah faktor yang paling berisiko dengan kejadian malaria di Indonesia pada Riskesdas 2010. Selanjutnya setelah mendapatkan faktor risiko yang paling berisiko, maka variabel proporsi memakai repellent dan kejadian malaria digambarkan dalam sebuah peta. Variabel kejadian malaria dan variabel proporsi memakai repellent memiliki hubungan negatif, sehingga penentuan nilai prioritas menjadi berbeda. Kedua variabel di bagi menjadi tiga tingkat faktor risiko, berisiko tinggi diberi prioritas pertama, risiko sedang prioritas kedua dan risiko rendah prioritas ketiga. Setelah masingmasing variabel di bagi menjadi tiga, nilai kedua variabel dijumlahkan pada setiap propinsi. Propinsi yang memiliki nilai yang paling kecil adalah propinsi yang memiliki risiko tinggi sedangkan propinsi yang memiliki nilai tertinggi merupakan propinsi dengan risiko rendah. Peta propinsi di Indonesia yang paling berisiko terhadap malaria berdasarkan faktor risiko memakai repelent dapat dilihat pada gambar 5.5. Pada peta , wilayah Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori yaitu wilyah yang berisiko tinggi, berisiko sedang, dan berisiko rendah. Propinsi yang masuk dalam kategori risiko tinggi yaitu Sumatera Barat, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Propinsi yang berisiko tinggi adalah propinsi yang memiliki angka prevalensi malaria yang tinggi dan memiliki proporsi pemakaian repellent yang masih rendah. Hal ini sesuai dengan uji statistic yang menunjukkan bahwa proporsi pemakaian repellent memiliki hubungan yang negative dengan prevalensi malaria.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
52
Gambar 5.5 Peta Risiko Malaria di Indonesia (Riskesdas 2010)
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Malaria di Indonesia Prevalensi malaria di Indonesia yang didapat dari Riskesdas 2007 dan 2010 mengalami peningkatan. Angka prevalensi malaria didapat dari hasil diagnosa berdasarkan gejala klinis malaria. Angka prevalensi malaria tiap daerahnya tidak cukup menggambarkan kejadian malaria. Prevalensi adalah proporsi individu-individu yang berpenyakit dari suatu populasi pada satu titik waktu atau periode waktu (Murti,1997). Prevalensi berhubungan dengan insiden. Prevalensi merupakan fungsi laju insidensi dan durasi dari fase klinik sampai fase akhir penyakit. Jika suatu insidensi penyakit rendah tetapi durasi penyakit panjang, maka prevalensi akan tinggi dibandingkan dengan laju insiden. Prevalensi malaria mengalami peningkatan pada setiap daerah di Indonesia. Peningkatan
prevalensi
ini
dapat
disebabkan meningkatkanya
pengetahuan
masyarakat mengenai gejala klinis malaria dan juga pengobatan yang tidak tuntas sehingga sumber penular malaria masih ada di daerah tersebut. Peningkatan juga terjadi pada daerah yang bukan wilayah endemis malaria seperti DKI Jakarta. Meningkatnya prevalensi malaria bisa dikarenakan adanya kasus impor yang dibawa oleh masyarakat setelah berkunjung ke wilayah endemis malaria. Kejadian malaria seharusnya tidak lagi hanya mengandalkan diagnosa berdasarkan gejala klinis tetapi juga pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah yang dilakukan bagi suspect penderita yang mengalami gejala klinis untuk menguatkan diagnosa dan juga untuk melihat jenis parasitnya. Untuk pelayanan pemeriksaan darah parasit malaria belum tersedia di semua pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan primer. Pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas seharusnya menjadi ujung tombak dalam melakukan surveilans malaria dengan
53
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
Universitas Indonesia
54
menemukan kasus melalui pengambilan sediaan darah untuk pemeriksaan parasitologi serta pengobatan sampai sembuh. 6.2 Faktor Risiko Malaria di Indonesia 6.2.1. Lama Waktu Ambil Air Pada Riskesdas 2007 dan 2 010, lama waktu mengambil air masuk ke dalam variabel sanitasi lingkungan. Hasil analisis antara kejadian malaria dengan lama waktu ambil air >30 menit menunjukkan hubungan yang lemah dengan korelasi positif dan memiliki hubungan yang bermakna baik Riskesdas 2007 maupun 2010. Akses sanitasi dapat menggambarkan apakah penduduk termasuk masyarakat miskin atau tidak. Yang dimaksud dengan akses air bersih adalah jika kebutuhan air per orang per hari terpenuhi 20 l/org/hari yang berasal dari sumber mata air terlindung dan berjarak tidak lebih dari 1 km (Riskesdas 2007). Menurut laporan Riskesdas 2007 wilayah pedesaan lebih banyak yang memerlukan waktu lebih dari 30 menit untuk akses air bersih dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Akses air bersih yang buruk pada daerah pedesaan membuat masyarakat harus menghabiskan waktu berada di lingkungan yang berisiko yaitu lingkungan yang menjadi tempat perindukan nyamuk Anopheles lebih lama dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Lama waktu pengambilan air semakin berisiko jika waktu pengambilan air bersamaan dengan waktu nyamuk Anopheles mengigit (18.00 sampai dini hari). Studi mengenai lama waktu mengambil air dan waktu saat mengambil air pada sumber air yang >1 km masih jarang. Oleh karena itu perlu adanya penggalian lebih dalam mengenai informasi yang didapat dari Riskesdas sehingga didapatkan evidence base yang bersifat local specific.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
55
6.2.2. Lingkungan Luar Rumah Pada Riskesdas 2010, ditanyakan kepada responden lingkungan di sekitar rumahnya. Apakah dekat dengan sawah,pantai, rawa-rawa, kandang ternak. Lingkungan yang ditanyakan merupakan lingkungan yang berisiko menjadi tempat perindukan nyamuk. Akan tetapi pada laporan Riskesdas 2010, hasil ini tidak dicantumkan. Padahal hasil dari pertanyaan mengenai lokasi tempat tinggal yang menjadi responden pada Riskesdas dapat memberi gambaran secara nasional maupun daerah mengenai faktor risiko lingkungan yang berada pada daerah tempat tinggal mereka. Sehingga pemerintah pusat maupun daerah dapat memberikan intervensi yang sesuai dengan faktor risiko lingkungan yang ada. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Maluku, keberadaan tempat perindukan nyamuk pada lingkungan sekitar rumah responden berisiko 2,8 untuk terserang malaria dibandingkan dengan lingkungan yang tidak terdapat tempat perindukan nyamuk (Ernawati dkk,2006). Penelitian yang dilakukan pada daerah endemis malaria di Lampung menyatakan bahwa tiga kecamatan endemis malaria banyak ditemukan genangan yang menjadi tempat perindukan nyamuk Anopheles yaitu genangan air tawar dan genangan air payau. Adanya krisis ekonomi pada tahun 1997, membuat banyak tambak terlantar yang menambah tempat perindukan nyamuk. Keadaan geografis ini terbukti berisiko meningkatkan risiko terkena malaria 1,10 kali dibanding dengan daerah yang tidak terdapat tempat perindukan nyamuk (2011). Hasil pada penelitian di Lampung ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Papua bahwa faktor risiko keberadaan genangan air merupakan salah satu faktor risiko penularan malaria. Orang yang memiliki rumah dekat dengan genangan air memiliki risiko terkena malaria sebesar 3,683 kali dibandingkan dengan orang yang rumahnya tidak terdapat genangan air. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang panjang. Kondisi geografis berpengaruh terhadap kejadian malaria (Achmadi,2008).
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
56
Penelitian yang dilakukan secara nasional belum dapat menggambarkan secara spesifik dari setiap daerah (spesifik lokal) terutama terkait penularan malaria. Setiap daerah memiliki kondisi ekosistem yang berbeda dan perlu diperhatikan bahwa malaria pada umumnya berbasis ekosistem. Apabila wilayah malaria itu bersifat lintas wilayah administrasi kecamatan bahkan lintas batas kabupaten maka upaya pengendalian harus dilakukan secara terpadu antar wilayah tersebut. Faktor risiko penularan malaria bersifat spesifik lokal maka masing-masing daerah seharusnya menggambarkan model transmisi malaria berdasarkan studi dinamika penularan pada daerah tersebut. Daerah di Indonesia yang memiliki banyak daerah tambang adalah Kalimantan, Sumatera. Seperti di Kalimantan daerah bekas penambangan emas yang sudah tidak digunakan lagi menyisakan lubang-lubang bekas galian yang jika hujan terisi air dan menimbulkan genangan air yang dapat menjadi tempat perindukan baru nyamuk Anopheles. Pengendalian malaria yang dapat dilakukan adalah dengan menutup lubang-lubang galian atau dengan cara memberi ikan pemakan jentik (Depkes RI,2006). Penelitian yang dilakukan di Sibolga (1990) menunjukan hubungan antara sanitasi yang baik dengan penuruan angka kejadian malaria. Terjadi penurunan kepadatan nyamuk An. sundaicus di Sibolga dari 80% menjadi 2% diikuti penurunan angka kematian malaria dari 80 per 1000 menjadi 18 per 1000. Modifikasi yang dilakukan di Sibolga adalah memperbaiki drainase muara sungai yang menggenang akibat tertutup oleh sampah kelapa. Intervensi sanitasi yang spesifik, efektif untuk memerangi malaria dengan target utama yaitu tempat perindukan nyamuk dimana nyamuk secara aktif menularkan malaria (Takken et al,1990). Faktor risiko lingkungan pada dasarnya adalah faktor-faktor yang membentuk ekosistem seperti topografi, suhu lingkungan, dan musim. Topografi akan mempengaruhi suhu, kelembaban, vegetasi suatu daerah. Kondisi lingkungan jika sesuai dengan habitat dari vektor malaria maka lingkungan akan menjadi faktor risiko. Penelitian mengenai jenis vektor dan topografi akan sangat berguna sebagai dasar melakukan pengendalian malaria. Vektor malaria yang hidup di daerah pantai
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
57
maupun daratan tinggi terdiri dari berbagai jenis dan bionomik. Vektor yang hanya hidup di daerah pantai, cara mengendalikannya dapat dilakukan dengan focus kepada tempat perindukannya seperti memberi predator alami. Lingkungan luar rumah dapat menandakan tingkat kemisikinan di daerah tersebut. Karena miskin, maka penduduk di daerah tersebut harus terpaksa menuruni tebing untuk mencari air yang berjarak jauh dari rumah. Di tempat sumber mata air telah menunggu nyamuk Anopheles dan terjadilah penularan malaria. Dengan jarak waktu yang jauh maka penduduk menghabiskan banyak waktu untuk sampai ke sumber mata air. Pada Riskesdas 2007 dan 2010, jarak sumber mata air masuk ke dalam sanitasi lingkungan. Hasil analisis antara kejadian malaria dengan jarak sumber air >1000 meter menunjukkan hubungan yang lemah dengan korelasi positif dan untuk Riskesdas 2007 secara statistik ada hubungan yang bermakna sedangkan untuk Riskesdas 2010 tidak terdapat hubungan yang bermakna. Perbedaan hasil ini dimungkinkan karena adanya perbedaan presentase antara hasil Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Terjadi penurunan dari 2007 ke 2010 pada setiap propinsi terkait jarak sumber air >1000 meter dan peningkatan prevalensi malaria. Padahal korelasi antara jarak sumber air dan malaria bernilai positif. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti pada responden Riskesdas 2010 yang telah sadar untuk menggunakan pakaian yang tertutup saat mengambil air atau menggunakan repellent. Pengendalian yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko tertular malaria adalah membawa sumber air dekat ke pemukiman penduduk dan bukan lagi penduduk yang mencari air ke sumber air yang berada jauh. Sumber air yang ada bisa disalurkan melalui pipa ataupun membuat penampungan air yang jaraknya lebih dekat <1000 meter. Hubungan variabel jarak sumber air ini dapat semakin diperlengkapi dengan pertanyaan waktu mengambil air, memakai pakaian tertutup, memakai repelent. Apakah penduduk mengambil air pada waktu nyamuk Anopheles berada pada waktu mengigit atau tidak. Dengan mengetahui waktu mengambil air
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
58
maka pada setiap daerah di Indonesia dapat memberi edukasi kepada penduduk setempat mengenai risiko tertular malaria saat mengambil air. Intervensi lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberi informasi mengenai risiko terinfeki saat mengambil air sehingga penduduk setempat dapat mengubah waktu ambil air dari waktu yang berisiko (dini hari) ke waktu yang tidak berisiko (siang hari) atau dengan membuat tempat penampungan air sehingga tidak perlu setiap hari mengambil air dari sumber air. 6.2.3. Lingkungan Fisik Rumah Lingkungan fisik rumah yang disurvey pada Riset Kesehatan Dasar 2007 adalah jenis lantai bukan tanah dan kepadatan hunian sedangkan pada Riset Kesehatan Dasar 2010 adalah 7 kriteria rumah sehat yaitu atap berplafon, jenis lantai bukan tanah, terdapat ventilasi, pencahayaan cukup, dinding permanen, dan kepadatan hunian. Hasil analisis antara kejadian malaria dan lingkungan fisik rumah pada Riskesdas 2007 menunjukkan hasil bahwa ada hubungan lemah sampai kuat (0,374 - -0.646). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Konradsen et al bahwa konstruksi rumah yang buruk memiliki risiko sebesar 30% sebagai tempat tinggal nyamuk Anopheles (Konradsen et al dalam Ernawati 2011). Kondisi fisik rumah yang berupa kayu atau bambu yang tidak memiliki jendela secara signifikan berisiko terhadap kejadian malaria dan untuk rumah yang memiliki kaca jendela mengurangi 1,8 kali risiko dibandingkan dengan rumah yang tidak memiliki kaca jendela. (Sanjana dkk,2006). Sedangkan hasil analisis Riskesdas 2010 antara kejadian malaria dan keberadaan rumah sehat menunjukkan hubungan yang sangat lemah dan secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hasil ini tidak sama dengan penelitian yang dilakukan di Purworejo dimana penghuni yang dinding rumah yang berupa bilik memiliki risiko 5,62 kali untuk terkena malaria dibandingkan dengan penghuni yang rumahnya kayu dan kondisi rumah yang bersih memiliki hubungan yang bermakna dalam menurunkan risiko malaria (p<0,05) (Sanjana dkk,2006).
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
59
Hal ini dapat juga disebabkan oleh faktor lainnya seperti faktor perilaku dari penduduk yang memiliki lingkungan rumah yang sehat. Kebiasaan keluar rumah di malam hari, kebiasaan nongkrong diluar rumah juga ikut berpengaruh terhadap kejadian malaria (Achmadi,2008). Hasil studi yang dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi kejadian malaria pada responden yang memiliki kebiasaan keluar malam hari 1,04 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki aktivitas keluar pada malam hari. Jika aktifitas keluar pada malam hari merupakan kebiasaan maka cara pencegahan yang dapat dilakukan untuk kelompok yang berisiko ini adalah dengan memberikan tanaman pengusir nyamuk seperti lavender pada tempat berisiko. Hal ini dapat memperkecil risiko digigit nyamuk Anopheles saat berada di luar rumah pada waktu aktifitas menggigit nyamuk. 6.2.4. Pemeliharaan Ternak Perilaku memelihara ternak menjadi variabel yang menentukan terjadi malaria atau tidak dikarenakan bionomik nyamuk Anopheles itu sendiri. Nyamuk Anopheles memiliki kebiasaan mengigit yang berbeda antara spesies satu dan lainnya. Pemahaman tentang bionomik nyamuk dapat digunakan sebagai landasan untuk melakukan pemutusan dinamika penularan malaria. Nyamuk Anopheles yang memiliki sifat zoofilik (suka menghisap darah binatang) dengan adanya ternak disekitar rumah memberikan perlindungan seseorang dari gigitan nyamuk. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang sangat lemah dan berkorelasi negatif antara kejadian malaria dengan pemeliharaan ternak dan secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Palupi di Kabupaten Pesawaran (2009) dan Kusumajaya yang menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara memelihara ternak dan malaria (Kusumajaya dalam Palupi, 2009). Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan di Purworejo, dimana 91% responden yang memelihara ternak, kandangnya terletak 20 meter dari tempat tinggal tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria (Sanjana dkk, 2006).
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
60
Pengetahuan masyarakat mengenai memelihara ternak dapat mengurangi risiko terkena malaria masih rendah sehingga masyarakat Indonesia masih jarang untuk memelihara ternak besar terutama di daerah pedesaan. Penyampaian informasi mengenai ternak sebagai cattle barier gigitan nyamuk Anopheles pada manusia dapat mendorong masyarakat terutama di daerah endemis malaria untuk memelihara ternak. 6.2.5. Penggunaan Repellent Hasil penelitian secara statistik menunjukkan hubungan yang lemah dengan korelasi negatif dan memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Susana dkk (2006) karena didapatkan penggunaan repelent hanya dilakukan jika pergi keluar rumah pada malam hari sedangkan responden yang memiliki kebiasaan keluar pada malam hari sedikit. Penelitian yang dilakukan di Kamper (Susana dkk,2006) menunjukkan hasil bahwa responden yang tidak memakai obat anti nyamuk pada waktu tidur berisiko 2,3 kali. Obat anti nyamuk yang dimaksud antara lain obat nyamuk bakar, obat nyamuk semprot, ataupun obat anti nyamuk oles (repelent). Penggunaan repelent juga merupakan salah satu rekomendasi dari WHO untuk mengurangi angka kesakitan malaria. Kebiasaan keluar rumah pada malam hari memiliki hubungan yang bermakna terutama kebiasaan pergi ke danau dikarenakan tempat berisitirahat nyamuk berada di luar rumah (Sansana,2006). Walaupun penggunaan repellent tinggi pada daerah tersebut tetapi setiap malam masyarakat berada di luar rumah maka risiko tertular malaria tetap tinggi. Penggunaan repellent sebagai cara untuk mencegah malaria sangat efektif terutama untuk daerah dengan vektor malaria yang tersebar secara merata di seluruh wilayah(Ndoen et al ,2010). 6.2.6. Penggunaan Kelambu Penggunaan kelambu merupakan salah satu cara mencegah penularan malaria. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang sangat lemah dan tidak bermakna secara statistik (r=0,07 dan p>0,05) antara penggunaan kelambu dengan kejadian
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
61
malaria. Penggunaan kelambu pada hasil Riskesdas 2010 tidak menampilkan konsistensi pemakaian kelambu setiap malamnya secara nasional sehingga hasil penelitian ini tidak ada hubungan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kamper (Susana dkk,2006) yang menyatakan responden yang tidak memakai kelambu pada malam hari lebih berisiko 2,4 kali. Hal ini berarti program pemakaian kelambu yang dilakukan oleh Depkes dapat mencegah infeksi malaria. Riskesdas 2010 yang merupakan penelitian secara nasional tidak dapat menggambarkan secara spesfik daerah yang memang memerlukan kelambu untuk mencegah terinfeksi malaria. daerah perkotaan seperti DKI Jakarta perlu intervensi yang berbeda terkait pencegahan malaria dibandingkan dengan daerah NTT yang merupakan daerah endemis malaria. Informasi mengenai pentingnya menggunakan kelambu pada malam hari juga perlu disampaikan secara baik,sehingga masyarakat di daerah endemis malaria mengetahui pentingnya dan manfaat penggunaan kelambu bagi penularan malaria. Pengetahuan yang tidak baik mengenai malaria (penyebab, cara penularan, gejala, dan cara pencegahan)
akan mempunyai risiko terinfeksi malaria 1,77 kali
dibandigkan dengan penduduk yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang malaria (Hasan dalam Palupi, 2010). Penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat yang memiliki kelambu di dalam rumahnya, pemakaian kelambu tidak mencakup semua anggota keluarga (Sansana dkk,2006). Hal ini dapat meningkatkan risiko penularan malaria di dalam rumah antar anggota keluarga. 6.2.7. Penggunaan Kasa Nyamuk Pada Ventilasi Hasil penelitian secara statistik antara kejadian malaria dengan penggunaan kasa nyamuk menunjukkan hubungan yang lemah dengan korelasi negatif dan tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hal ini sejalan dengan penelitian Palupi (2010)
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
62
dan Hidayat (2010) yang menyatakan tidak ada hubungan antara penggunaan kasa nyamuk pada ventilasi dengan kejadian malaria. Malaria merupakan penyakit yang tidak hanya disebabkan oleh satu faktor penentu saja, penggunaan kasa nyamuk adalah salah satu cara mencegah nyamuk malaria masuk ke dalam rumah yang membuat penghuni rumah berisiko terinfeksi malaria. Perilaku pencegahan lainnya juga
harus dilakukan sehingga dapat
mengurangi risiko terinfeksi malaria. 6.2.8. Perilaku BAB sembarangan Hasil penelitian secara statistik antara kejadian malaria dengan perilaku BAB sembarangan menunjukkan hubungan yang lemah dengan korelasi positif. Pada Riskesdas 2007 tidak ada hubungan yang bermakna antara malaria dengan perilaku BAB sembarangan sedangkan pada Riskesdas 2010 ada hubungan bermakna. Faktor kependudukan seperti perilaku dan kebiasaan merupakan faktor risiko malaria. Perilaku BAB sembarangan menjadi perilaku yang berisiko karena dilakukan di tempat terbuka seperti di pantai, rawa-rawa, sungai (Riskesdas 2007) yang merupakan
tempat
perindukan
nyamuk
Anopheles.
Faktor
perilaku
BAB
sembarangan yang berisiko jika waktu BAB dilakukan pada saat nyamuk malaria sedang aktif mengigit. Perilaku BAB sembarangan di tempat perindukan nyamuk dengan waktu yang berisiko akan meningkatkan risiko untuk terinfeksi malaria. Pengendalian yang dapat dilakukan bagi penduduk yang tidak memiliki jamban untuk buang air besar salah satunya dengan membuat jamban bersama yang letaknya tidak jauh dari pemukiman dan jauh dari tempat perindukan nyamuk. Penggalian lebih dalam terkait perilaku BAB sembarangan pada penduduk terutama didaerah endemis malaria dapat memberi gambaran secara lokal specific mengenai dinamika penularan malaria.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
63
6.3 Konsistensi Hubungan Kejadian Malaria dan Faktor Risiko Malaria Pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010, hanya faktor risiko proporsi lama waktu mengambil air saja yang sama-sama memberikan hubungan yang bermakna terhadap kejadian malaria. Sedangkan lima variabel lainnya tidak menunjukkan hubungan yang konsisten baik pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Variabel yang menunjukkan hasil yang sama adalah variabel lama waktu mengambil air >30 menit yaitu menunjukkan hubungan yang lemah dan secara statistik memiliki hubungan yang bermakna (p>0,05). Hal ini berarti terjadi konsistensi hubungan antara Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Perlu adanya upaya dari pemerintah terutama pemerintah daerah untuk mengadakan program sanitasi yaitu akses air bersih sampai kepada permukiman penduduk. Tidak semua daerah memerlukan waktu yang lama untuk mengakses air bersih, untuk itu perlu adanya survey kesehatan berbasis daerah. Perbedaan hasil yang diperoleh pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat menjadi dasar untuk melakukan intervensi pada faktor risiko. Selain itu, perbedaan hasil juga dapat dijadikan sebagai evaluasi dalam melakukan penelitian kedepannya, apakah penelitian yang telah dilakukan sebanyak dua kali ini dan akan dilakukan secara berkesinambungan benar-benar telah menjadi dasar pemerintah untuk membuat kebijakan kesehatan terutama pengendalian malaria baik di tingkat nasional maupun daerah. Konsistensi variabel faktor risiko malaria perlu diterapkan, sehingga dapat dilihat tren dari faktor risiko dan juga kejadian malaria. Terjadi inkonsistensi hubungan antara Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010. Ketidaksamaan hasil ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor perilaku dari responden pada masing-masing daerah, perbedaan waktu penelitian dan adanya daerah yang tidak menjadi sampel pada Riskesdas 2010 tetapi ada pada sampel Riskesdas 2007. Selain itu dapat juga terjadi kesalahan pada saat pengumpulan data dilapangan. Perbedaan hasil pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 juga dapat disebabkan oleh perbedaan sample dan perbedaan unit analisis.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
64
6.4 Malaria sebagai Masalah Spesifik Lokal Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa malaria masih merupakan masalah di Indonesia terutama di daerah Indonesia bagian timur. Tingginya prevalensi malaria di Indonesia masih didominasi oleh daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Bali. Target yang ingin dicapai pemerintah Indonesia dalam menurunkan angka kesakitan malaria dapat tercapai jika malaria dilihat sebagai masalah spesifik lokal. Penularan malaria di daerah Banjarnegara dan penularan malaria di daerah NTT, sama sekali berbeda. Oleh karena itu setiap Kepala Dinas harus melakukan serangkaian kajian dan pendekatan khas daerahnya. Prosedur yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat sebaiknya disesuaikan dengan kondisi didaerah. Pencegahan yang dilakukan dengan memakai kelambu akan sia-sia apabila masyarakat sudah tertular malaria ketika berada di luar rumah atau ketika buang air besar di luar rumah pada pagi-pagi buta(Achmadi,2008). Malaria adalah penyakit yang berkaitan erat dengan ekosistem dan juga perilaku dari manusia itu sendiri. Malaria di daerah pesisir pantai berbeda dengan malaria di daerah hutan dikarenakan jenis nyamuk Anopheles yang berbeda dan bionomik nyamuk yang berbeda pula. Pengetahuan tentang jenis vektor, penyebarannya, dan habitatnya adalah informasi yang dapat digunakan untuk manajemen malaria dan prioritas pengendaliannya. Faktor risiko malaria di Indonesia tidak dapat digeneralisasikan ke semua daerah di Indonesia. Pada peta faktor risiko malaria baik pada Riskesdas 2007 maupun Riskesdas 2010 terlihat perbedaan pada setiap propinsi. pada Riskesdas 2007, Propinsi yang berisiko terhadap kedua faktor risiko yaitu rumah sehat dan lama waktu mengambil air perlu diprioritaskan dalam pengendaliannya. Hal ini karena propinsi tersebut semakin berisiko terhadap malaria. Penemuan faktor risiko yang bersifat lokal dapat secara efektif mengendalikan malaria.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
65
Pada Riskesdas 2010, terdapat empat propinsi yang berisiko terhadap tiga faktor risiko yaitu Papua, Sulawesi Utara, NTT, dan Maluku Utara. Empat propinsi ini perlu diprioritaskan dalam upaya pengendaliannya terutama pengendalian faktor risiko lama waktu ambil air, BAB sembarangan, dan pemakaian repellent. Penemuan faktor risiko yang bersifat lokal ini diharapkan dapat menurunkan risiko penularan malaria di empat propinsi tersebut. Contohnya, faktor risiko malaria di Mandailing lebih dikarenakan merupakan eksosistem persawahan yang pada musim menanam menjadi tempat yang berpotensi menjadi tempat perindukan nyamuk. Sedangkan faktor risiko malaria di Sibolga adalah kondisi ekosistem pantai yang derajat salinitas perairannya sesuai dengan habitat nyamuk Anopheles. Pada peta risiko malaria baik pada Riskesdas 2007 maupun Riskesdas 2010 terlihat propinsi yang memiliki risiko yang berbeda. Pada Riskesdas 2007, 3 propinsi yaitu Papua, Papua Barat, dan NTT berisiko tinggi terhadap malaria dikarenakan masih tingginya rumah dengan kepadatan hunian yang tinggi. Pemerintah daerah dari ketiga
propinsi
tersebut
dapat
melakukan
intervensi
dengan
memberikan
perlindungan khusus yaitu dengan penggunaan kelambu saat tidur dan juga pencarian kasus baru pada setiap rumah. Penemuan kasus baru pada setiap rumah dapat menurunkan risiko penularan malaria dalam rumah yang kemudian didukung dengan pengobatan malaria sampai tuntas. Pada peta risiko Riskesdas 2010, masih ada 13 propinsi yang memiliki risiko tinggi terhadap malaria dikarenakan masih rendahnya penggunaan repellent sebagai salah satu pencegahan malaria. Pemerintah daerah dari ke 13 propinsi ini dapat melakukan intervensi dengan memberikan pengetahuan terkait manfaat pernggunaan repellent dan juga intervensi mengenai kebiasaan keluar rumah pada malam hari. dengan mengetahui faktor risiko di daerahnya, maka pemerintah dapat menyusun program pengendalian yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
66
Pada peta risiko Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 terdapat 3 propinsi yang selalu menjadi daerah yang berisiko tinggi yaitu Papua dan Papua Barat. Berikut ini adalah uraian mengenai masalah malaria secara spesifik lokal pada ketiga propinsi tersebut: 1. Papua Malaria merupakan masalah kesehatan utama di propinsi Papua(Sorontou et al,2007). Meluasnya penyebaran malaria dan penanganan program malaria yang tidak teratur telah mengakibatkan situasi malaria di Papua semakin buruk. Suhu rata-rata di Papua 250-350C, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Suhu tersebut merupakan suhu yang optimal untuk kehidupan nyamuk Anopheles. Penduduk Papua mayoritas bekerja sebagai nelayan. Nelayan merupakan pekerjaan yang berisiko terekspos oleh nyamuk Anopheles karena nelayan berada di pantai pada waktu nyamuk Anopheles memasuki waktu menggigit. Studi yang dilakukan di Papua menunjukkan infeksi Plasmodium falciparum lebih banyak pada laki-laki dan juga pada usia muda (Sorontuo et al,2007). Walaupun anak-anak memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena malaria tetapi pada kelompok dewasa memiliki risiko yang lebih tinggi untuk meninggal akibat malaria (Barcus et al,2007). 2. Papua Barat Papua Barat merupakan salah satu propinsi yang memiliki kasus malaria klinis yang tinggi. Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan untuk menurunkan kasus malaria, namun sampai saat ini hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu spesies nyamuk Anopheles yang di Papua Barat adalah A.punculatus. Spesies ini ditemukan mengigit manusia di dalam dan di luar rumah secara fluktuatif dengan kecenderungan lebih bersifat exophilic, menyukai darah manusia dan juga darah hewan terutama babi dan anjing (Bangs 1995 dalam Nugraha dkk,2010). Informasi mengenai kondisi fisik lingkungan seperti suhu, kelembaban udara,dan curah hujan, membantu dalam mengetahui tingkat kepadatan nyamuk. Pada studi yang dilakukan didapatkan kelembaban udara memiliki hubungan yang
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
67
bermakna dengan kejadian malaria dan memiliki hubungan yang kuat ke arah negatif (r= -0,981) (Nugraha,2010). Proprosi kepadatan hunian ≥8m2 di Papua barat masih rendah. Hal ini berarti kelembaban udara dalam ruangan juga menjadi tinggi dan meningktkan risiko unutk terigigit nyamuk Anopheles. Pada Riskesdas 2010, pemakaian repellent merupakan faktor paling mempengaruhi kejadian malaria. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan bahwa sebagian besar penduduk tidur tidak menggunakan kelambu dan masih banyak penduduk yang melakukan kegiatan malam hari di luar rumah tanpa melindungi diri dari gigitan nyamuk (Nugraha,2010). Berdasarkan studi yang dilakukan, peran dan anggaran (APBD)
pemerintah
Propinsis Papua Barat untuk program pemberantasan malaria masih rendah. Pemerintah lebih mengandalkan dana bantuan dari Global Fund (GFATM) (KPMAK, 2012). Propinsi yang memiliki risiko yang rendah terhadap penularan malaria dapat terus meningkatkan pengawasan faktor risiko sehingga daerah tersebut dapat terbebas dari malaria. Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan harus mampu menemukan dan mengobati sumber penularan penyakit secara aktif yaitu penderita penyakit tersebut. Oleh karena itu, memerlukan manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah dalam perspektif yang komprehensif. Otonomi daerah atau desentralisasi memudahkan identifikasi faktor risiko yang bersifat lokal. Sehingga intervensi faktor risiko yang bersifat lokal bisa lebih mudah dikendalikan. Dengan memahami faktor-faktor yang berperan timbulnya malaria di daerahnya, maka diperlukan kerja sama antar sektor sebagai upaya pengendalian malaria. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah seharusnya bekerja sama dalam mengidentifikasi faktor risiko yang ada di setiap daerah. Riset kesehatan yang bersifat nasional dapat dijadikan dasar untuk melakukan riset kesehatan daerah yang disesuaikan dengan kondisi lokal daerah. Dengan menerapkan prinsip malaria sebagai
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
68
masalah spesifik lokal maka pengendalian dan intervensi yang dilakukan dapat lebih efektif untuk mengurangi angka kesakitan tingkat daerah maupun tingkat nasional. 6.5 Pengendalian Malaria secara Lokal Spesifik Hasil Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 belum dapat menggambarkan malaria sebagai masalah yang perlu ditangani secara spesifik lokal. Malaria yang merupakan salah satu target MDG’s sebaiknya upaya pengendaliannya dikembalikan lagi ke Pemerintah daerah. Kepala daerah harus menjadi penggerak bagi pengendalian malaria dengan menggandeng semua sektor. Hasil Riskesdas 2007 dan 2010 sebaiknya tidak diterima secara menyeluruh tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi dari setiap daerah. Penerapan hasil Riskesdas secara menyeluruh akan berdampak kepada tidak efektifnya penanganan masalah kesehatan yang memang menjadi masalah utama di daerahnya sedangkan secara nasional masalah kesehatan tersebut bukanlah masalah yang perlu diutamakan. Riskesdas tidak dirancang untuk melihat masalah secara spesifik lokal akan tetapi hasil dari Riskesdas dapat dijadikan indikator dalam membuat kebijakan untuk mengendalikan malariasecara spesifik lokal. Diseminasi hasil Riskesdas seharusnya tidak hanya pada tingkat provinsi tetapi juga tingkat kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota dengan hasil Riskesdas tersebut sebagai dasar untuk menyusun kebijakan berdasar fakta. Dengan mengacu kepada hasil Riskesdas, pemerintah daerah dapat melakukan identifikasi lebih lanjut mengenai faktor risiko yang paling mempengaruhi kejadian malaria di daerahnya. Propinsi Papua dan NTT merupakan dua propinsi yang masih berisiko tinggi terhadap malaria, hal ini dapat dilihat dari peta risiko malaria yang memperlihatkan kedua propinsi ini selalu masuk menjadi daerah yang berisiko tinggi. Pengendalian malaria yang dilakukan pada kedua Propinsi ini harus sesuai dengan faktor risiko yang ada di daerah tersebut. Intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
69
adalah menyosialisasikan manfaat penggunaan repellent yang efektif sehingga dapat menurunkan risiko tergigit nyamuk Anopheles dan juga membangun sarana air bersih yang terjangkau. Penggunaan repellent tidak hanya saat di dalam rumah tetapi juga pada saat keluar rumah di jam nyamuk Anopheles mengigit. Membangun sarana air bersih yang terjangkau dari tempat tinggal dapat menurunkan risiko penduduk untuk terekspos nyamuk Anopheles. Studi yang dilakukan di Papua Barat menunjukkan bahwa peran pemerintah daerah dalam menangani malaria masih rendah hal ini dibuktikan dengan anggaran kesehatan untuk program pengendalian malaria masih jauh dari yang dibutuhkan. Rata-rata kebutuhan dana satu tahun anggaran sebesar sekitar 600 juta sedangkan dana yang tersedia pada tahun 2008 hanya sebesar 340 juta(KPMAK,2010). Keterbatasan dana akan berdampak pada sasaran kegiatan pemberantasan malaria yang tidak bisa terjangkau seluruhnya terutama pada daerah yang sulit dijangkau dan terpencil (KPMAK,2010). Selain melakukan intervensi terhadap faktor risiko tersebut, diperlukan juga promosi kesehatan mengenai malaria yaitu penyebab malaria, jenis nyamuk Anopheles yang terdapat di daerah tersebut beserta bionomiknya, gejala malaria, pengobatan malaria, dan juga pencegahannya. Studi yang dilakukan di Sumbawa membuktikan bahwa promosi kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan atau mengubah perilaku memberi pengaruh terhadap angka kesakitan malaria(Yoda et al,2007). Pengendalian malaria dapat lebih efektif jika didukung oleh pengetahuan penduduk mengenai hubungan antara malaria dan faktor lingkungan( Dale et al,2005 dalam Yoda et al,2007). Merubah perilaku seseorang bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan kesungguhan dan kekonsistenan pemerintah untuk terus memberikan pengetahuan mengenai malaria (Yoda et al,2007). Strategi yang dapat dilakukan untuk mengendalikan malaria secara spesifik lokal antara lain dengan melakukan pencarian dan pengobatan kasus sebagai upaya menghilangkan sumber penularan, pemberantasan penyakit berbasis lingkungan dan
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
70
perilaku yang merupakan faktor risiko malaria dan juga penggalangan upaya kemitraan. Studi yang dilakukan di Lombok dan Sumbawa menunjukkan bahwa program pengendalian malaria berupa penemuan kasus dan pemberian kelambu berinsektisida secara signifikan menurunkan insiden dan prevalensi malaria di Pulau Lombok(Yoda et al,2007). Tenaga kesehatan di wilayah kabupaten/kota harus mencari upaya pengendalian malaria dengan cara perbaikan lingkungan tempat tinggal penderita, tempat penderita bekerja, bahkan perjalanan yang akan dilakukan oleh penderita. Tenaga kesehatan harus menguasai epidemiologi lingkungan, yaitu mencari faktor risiko lingkungan yang berperan terhadap kejadian malaria di daerah tersebut kemudian mencari upaya pengendalian dari aspek lingkungan. Malaria merupakan penyakit menular yang berbasis lingkungan dan perilaku. Perubahan perilaku adalah komponen yang penting dalam pengendalian malaria. Oleh karena itu, upaya perbaikan lingkungan harus sejalan dengan upaya perbaikan perilaku hidup sehat. Pengendalian malaria yang terfokus akan memberikan keuntungan secara langsung tidak hanya kepada setiap individu tetapi juga kepada komunitas. 6.6 Keterbatasan Penelitian Desain studi yang dilakukan adalah desain studi ekologi dimana tidak dapat menganalisis hubungan sebab akibat pada tingkat populasi. Karena populasi sebagai unit analisis untuk memberi inferensi kausal individu, maka pada saat itulah kita melakukan kekeliruan yang dikenal sebagai kesalahan ekologi (Murty dalam Santoso, 2006). Meski lemah untuk pengujian hipotesis etiologi penyakit, tetapi studi korelasi populasi cocok untuk menilai efektifitas program intervensi kesehatan pada populasi sasaran. Jika determinan penyakit sudah ditentukan maka efektifitas pengendalian penyakit pada populasi dapat dievaluasi dengan menggunakan studi ini (Murty dalam Santoso,2006)
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Prevalensi malaria di Indonesia mengalami kenaikan dari 4,11% (Riskesdas 2007) menjadi 12,66% (Riskesdas 2010). 2. Terdapat hubungan bermakna antara variabel rumah sehat yaitu lantai bukan tanah (r= -0,374)dan kepadatan ≥8m2 (r= -0,646), jarak sumber air >1000 meter (r=0,315) dan lama waktu mengambil air >30 menit (r=0,366) terhadap prevalensi malaria di Indonesia pada hasil Riskesdas 2007. 3. Terdapat hubungan bermakna antara perilaku BAB sembarangan (r=0.378), lama waktu mengambil air >30 menit (r=0.401) dan pemakaian repelent (r=-0.485) terhadap prevalensi malaria di Indonesia pada hasil laporan Riskesdas 2010. 4. Kepadatan hunian ≥8m2 adalah faktor risiko yang paling dominan pada Riskesdas 2007 dan pemakaian repellent adalah faktor risiko paling dominan pada Riskesdas 2010. 5. Konsistensi hubungan antara faktor risiko malaria dan kejadian malaria pada Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 hanya pada variabel proporsi lama waktu mengambil air >30 menit yaitu memiliki hubungan yang bermakna (p<0,05) 6. Propinsi Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur merupakan propinsi yang memiliki risiko tinggi terhadap malaria baik berdasarkan Riskesdas 2007 maupun Riskesdas 2010. 7. Hasil Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuat kebijakan kesehatan suatu daerah sesuai dengan tujuan Riskesdas akan tetapi perlu dilakukan pendekatan secara spesifik lokal pada setiap faktor risiko.
71
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
Universitas Indonesia
72
7.2 Saran 1. Perlu adanya penelitian secara spesifik terkait malaria di Indonesia sehingga menjadi evidence base bagi program pengendalian malaria yang berbasis masyarakat lokal. 2. Perlu adanya diseminasi hasil laporan Riskesdas sampai ke tingkat daerah sehingga pemerintah daerah dapat membuat program pengendalian malaria ataupun melakukan studi lanjutan terkait hasil Riskesdas di daerah pada masing-masing propinsi di Indonesia. 3. Perlu adanya penyuluhan kepada penduduk terutama penduduk beresiko tinggi mengenai malaria (gejala klinis, penularan, pencegahan, pengobatan) dan manfaat yang didapat jika melakukan perilaku pencegahan. Dan memberikan edukasi terkait perilaku beresiko sehingga dapat dilakukan modifikasi terkait perilaku beresiko. 4.
Perlu diadakan riset kesehatan daerah yang disesuaikan dengan kriteria masyarakat dan lingkungan yang spesifik lokal terutama menyangkut malaria.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi.(2008). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Achmadi, Umar Fahmi.(2008).Horison Baru Kesehatan Masyarakat Indonesia. Jakarta:Penerbit Rineka Cipta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2010. Barcus, Mazie J et al. (2007).Demographic Risk Factors for Severe and Fatal Vivax and Falciparum Malaria Among Hospital Admissions in Northeastern Indonesian Papua. American Journal Society of Tropical Medicine and Hygiene, Volume 77 No.5.Page :984-991. Erdina, Susanna, Dewi., & Wulandari, Ririn Arminsih. (2006). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Kabupaten Kampar, 2005/2006. Makara Kesehatan, 10(2), 64-70. Desember. Ernawati, Kholis,dkk. (2011). Hubungan Faktor Risiko Individu dan Lingkungan Rumah dengan Malaria di Punduh Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung Indonesia 2010.Makara, Kesehatan, 15(2), 52-57.Desember 2011 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.(1998). Parasitologi Kedokteran (edisi ketiga). Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Gobel, Fatmah Afrianty (penulis).(2010, Desember 28) Kebijakan Pelayanan Kesehatan Kepulauan (Kompasiana.com). Jakarta. Harijanto, P.N. (2001). Malaria : Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Hidayat, Ahmad. (2010). Hubungan Aktifitas Keluar Rumah Pada Malam hari dan Penggunaan Kelambu dengan Kejadian Malaria di Kecamatan
73
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
74
Nongso dan Galang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau Tahun 2009. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Iqbal R.F. Elyazar et al. (2011). Malaria Distribution, Prevalence, Drug Resistance and Control in Indonesia. Adv Parasitol. 2011 ; 74: 41–175. Lokollo, Daniel Marinus (1993). Penanggulangan Malaria untuk Menyehatkan Masyarakat dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Pidato Pengukuhan: Universitas Diponegoro. Mahkota, Renti. (2010). Rancangan Studi Epidemiologi Deskriptif. Bahan Ajar Epidemiologi Dasar. Depok: Departemen Epidemiologi FKM UI. Markani.(2004). Dinamika Penularan dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria di Kecamatan Dusun Hilir Kabupaten Barito Selatan Tahun 2004. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Murthi, Bhisma.(1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ndoen et al.(2010). Relationships Between Anopheline Mosquitoes And Topography in West Timor and Java, Indonesia. Malaria Journal 2010, 9:242 Palupi, Niken Wastu.(2010). Hubungan Keberadaan Tempat Perindukan Nyamuk dengan Kejadian Malaria di Puskesmas Hanura Kabupaten Pesawaran Tahun 2010. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Pelayanan
Kefarmasian
Untuk
Penyakit
Malaria.(2008).Direktorat
Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Lingkungan. Priyo Hastono, Sutanto& Sabri, Luknis.(2008).Statistik Kesehatan.Jakarta: Rajawali Press. Roosihermiatie, Betty et al. (2000). The Human Behavioral and Socioeconomic Determinants of Malaria in Bacan Island, North Maluku, Indonesia. Journal of Epidemiology, 10 (4), 280-289.July,2000. Sanjana, Parsa et al. (2006).Survey Of Community Knowledge, Attitudes, And Practices During A Malaria Epidemic In Central Java, Indonesia. American Journal Tropical Medicine Hygiene. 75(5), 2006, pp. 783–789. Saputra, Eko.(2011). Pengaruh Lingkungan Terhadap Nyamuk Anopheles pada Proses Transmisi Malaria. uripsantoso.wordpress.com/2011/01/13.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
75
Saputro,G., Hadi, U. Kusumawati., & FX. Koesharto.(2010). Perilaku Nyamuk Anopheles punctulatus dan Kaitannya dengan Epidemiologi Malaria di Desa Dulanpokpok Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Indonesian Journal of Veterinary Science and Medicine.II(1),2010,pp 25-33. Santoso, Arif. (2006). Faktor Pelayanan Kesehatan, Perilaku, dan Lingkungan Yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria di Indonesia Tahun 20002004. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Syafruddin, Din et al (2008). Seasonal Prevalence of Malaria in West Sumba district, Indonesia. Malaria Journal 8(8),2009,pp 1-8. Wijaya, Awi Muliadi.(2006). Pola Penularan Malaria di Daerah Ekosistem Pantai, Wilayah Kerja Puskesmas dengan Tempat Perawatan Bayah Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2005-2006. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Yawan, Samuel Franklyn. (2006). Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak – Numfor Papua. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Yoda et al.(2007). Evaluation of Malaria Control Project on Lombok and Sumbawa Islands. Southeast Asian Journal Tropical Medical Public Health,38(2), 213-222. March 2007.
Universitas Indonesia
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
2. Bivariat riskesdas 2007 Correlations prevmal prevmal
Pearson Correlation
TS 1
Sig. (2-tailed) N TS
Pearson Correlation
.315
Sig. (2-tailed)
.074
N TB
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
kepadatan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
bkntnh
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
waktu
kepadatan
bkntnh
.315
.032
.036
.100
.074
33
33
33
33
33
-.293
**
.237
.161
-.080
.098
.000
.184
.372
.657
33
33
33
33
33
.200
-.355
*
-.197
.155
-.346
.263
.043
.271
.390
.048
33
33
33
33
33
.231
-.398
*
-.215
-.302
.196
.022
.230
.087
-.117
.074
.518
.000
33
33
1
**
.001 33
33
33
-.117
**
.551
.518
.001
33
33
.551
1
33
-.374
-.731
.366
*
**
-.293
.200
.000
.098
.263
33
33
33
33
33
33
33
33
*
**
*
.231
1
-.224
-.238
-.062
.209
.183
.730 33
-.646
-.374
-.731
-.355
1
.032
.000
.043
.196
33
33
33
33
33
33
33
*
-.224
1
-.106
Pearson Correlation
.366
.237
-.197
-.398
Sig. (2-tailed)
.036
.184
.271
.022
.209
33
33
33
33
33
Pearson Correlation
.291
.161
.155
-.215
Sig. (2-tailed)
.100
.372
.390
33
33
33
N
jarak .291
.315
*
op *
-.646
**
waktu
*
N op
33
TB
.782
**
.556
.000
33
33
33
-.238
-.106
1
.098
.230
.183
.556
33
33
33
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
.586 33
33
jarak
Pearson Correlation
.315
-.080
-.346
*
-.302
-.062
Sig. (2-tailed)
.074
.657
.048
.087
33
33
33
33
N
**
.098
.730
.000
.586
33
33
33
.782
1
33
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Bivariat riskesdas 2010 Correlations prevmal prevmal
Pearson Correlation
rmhsehat 1
Sig. (2-tailed) N rmhsehat
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
kelambu
.005
.030
33
33
33
33
33
33
33
-.291
**
.238
-.404
*
-.138
-.438
.100
.000
.183
.020
.443
.011
33
33
33
33
33
33
.149
-.368
*
.324
.305
.305
.408
.035
.066
.084
.084
33
33
33
33
33
1
**
-.183
-.050
.003
.308
.784
.004
33
33
33
33
1
*
*
.661
.100
33
33
-.306
**
.149
.084
.000
.408
33
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
waktuair
.021
Pearson Correlation
.625
1
33
.506
33
33
33
**
.238
-.368
*
**
.004
.183
.035
.003
33
33
33
33
33
*
*
-.183
*
-.485
.401
-.404
.324
.506
-.385
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
-.385
-.425
.378
*
.004
33
.477
**
.084
.625
.401
*
.661
Sig. (2-tailed)
N
**
bab
.304
1
-.485
jarakair
-.306
-.291
Pearson Correlation
waktuair
.079
.304 33
repelen
-.184
.079
Sig. (2-tailed)
repelen
-.184
kasa
Pearson Correlation
N kasa
33
kelambu
-.489
-.584
*
**
**
.027
.014
.000
33
33
33
1
**
.291
.874
Sig. (2-tailed) N jarakair
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
bab
.021
.020
.066
.308
.027
33
33
33
33
33
**
-.138
.305
-.050
-.425
.005
.443
.084
.784
.014
.000
33
33
33
33
33
33
33
33
*
.305
**
.291
.220
1
.477
*
-.489
**
-.584
.101
33
33
33
**
1
.220
.874
.218
Pearson Correlation
.378
Sig. (2-tailed)
.030
.011
.084
.004
.000
.101
.218
33
33
33
33
33
33
33
N
-.438
*
.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
33
3. multivariate riskesdas 2007
f
Model Summary
Model
R
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square
Durbin-Watson
1
.707
a
.500
.384
4.30476
2
.707
b
.499
.406
4.22704
c
.498
.427
4.15445
3
.706
4
.698
d
.487
.434
4.12906
5
.686
e
.470
.435
4.12397
1.516
a. Predictors: (Constant), jarak, bkntnh, op, kepadatan, TS, waktu b. Predictors: (Constant), jarak, bkntnh, op, kepadatan, waktu c. Predictors: (Constant), jarak, bkntnh, op, kepadatan d. Predictors: (Constant), jarak, bkntnh, kepadatan e. Predictors: (Constant), bkntnh, kepadatan f. Dependent Variable: prevmal
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
2
B (Constant)
Std. Error 36.261
15.109
TS
-.020
.111
kepadatan
-.283
bkntnh
Coefficients Beta
t
Sig. 2.400
.024
-.043
-.184
.855
.086
-.526
-3.277
.003
-.137
.125
-.232
-1.103
.280
op
.061
.076
.132
.809
.426
waktu
.128
.476
.078
.269
.790
jarak
.080
.342
.065
.234
.817
34.461
11.308
3.048
.005
(Constant)
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
3
4
kepadatan
-.281
.084
-.522
-3.344
.002
bkntnh
-.122
.090
-.205
-1.353
.187
op
.059
.073
.127
.805
.428
waktu
.092
.427
.056
.216
.831
jarak
.110
.297
.089
.370
.714
(Constant)
35.680
9.627
3.706
.001
kepadatan
-.286
.078
-.532
-3.651
.001
bkntnh
-.129
.083
-.217
-1.543
.134
op
.052
.065
.113
.804
.428
jarak
.161
.174
.130
.925
.363
(Constant)
38.937
8.680
4.486
.000
kepadatan
-.296
.077
-.550
-3.840
.001
bkntnh
-.142
.081
-.239
-1.748
.091
.166
.173
.134
.962
.344
(Constant)
41.727
8.171
5.107
.000
kepadatan
-.318
.073
-.591
-4.325
.000
bkntnh
-.141
.081
-.238
-1.742
.092
jarak 5
a. Dependent Variable: prevmal
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error 14.050
4.906
waktuair
.592
.416
repelen
-.185
.131
Coefficients Beta
t
Sig. 2.864
.008
.245
1.423
.166
-.302
-1.417
.168
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
2
kasa
-.047
.153
-.058
-.305
.762
bab
.059
.118
.102
.502
.620
13.380
4.318
3.099
.004
waktuair
.587
.409
.243
1.434
.162
repelen
-.198
.122
-.322
-1.615
.117
.069
.112
.119
.621
.539
15.515
2.587
5.998
.000
waktuair
.609
.403
.252
1.510
.141
repelen
-.238
.102
-.388
-2.327
.027
18.093
1.984
9.121
.000
-.298
.096
-3.089
.004
(Constant)
bab 3
4
(Constant)
(Constant) repelen
-.485
a. Dependent Variable: prevmal
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
Malaria 2007
Descriptives Statistic prevmal
Mean
12.6606
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
10.5567
Upper Bound
14.7645
5% Trimmed Mean
12.2749
Median
11.5000
Variance
Std. Error 1.03286
35.204
Std. Deviation
5.93332
Minimum
4.50
Maximum
28.00
Range
23.50
Interquartile Range
8.15
Skewness Kurtosis
1.036
.409
.719
.798
Analisis univariat malaria 2010
Descriptives Statistic
Std. Error
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
prevmal
Mean
12.6606
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
10.5567
Upper Bound
14.7645
5% Trimmed Mean
12.2749
Median
11.5000
Variance
35.204
Std. Deviation
5.93332
Minimum
4.50
Maximum
28.00
Range
23.50
Interquartile Range Skewness Kurtosis
1.03286
8.15 1.036
.409
.719
.798
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
DATA LAPORAN RISKESDAS 2010 (Sumber Laporan Riskesdas 2010)
PROPINSI prevmal rmhsehat kelambu kasa repelen waktuair jarakair bab NAD 11.5 29.8 73.3 27.5 17.3 3.3 7.3 22.2 SUMATERA UTARA 9.6 37.4 51.2 24.5 21 1.1 3.5 19.9 SUMATERA BARAT 11.9 26 17 8.6 14.1 0.8 2.9 28.9 RIAU 6 41.1 46.2 25.2 23.6 2.3 4.5 7.6 JAMBI 9.5 22.2 50.6 9.7 8.9 0 1.4 20.3 SUMATERA SELATAN 8.4 28.6 55.5 15.5 14.4 0.8 4.5 26.3 BENGKULU 11.6 31.7 42.2 15.2 6.7 1.2 4.2 21 LAMPUNG 9.1 14.1 71.2 16.2 18.7 0.4 1 11.7 KEP. BANGKA BELITUNG 17.9 34.5 38.6 14.8 14.5 2.3 8.7 29 KEP. RIAU 8.2 42.7 23.9 24.3 23 1.5 6.8 4.4 DKI JAKARTA 8.3 33.2 10.3 26 43.3 0.5 2 0.3 JAWA BARAT 10.6 24.4 11.6 12.6 31.2 0.5 2.1 9.5 JAWA TENGAH 7.6 18.8 25.7 8.9 25.9 0.9 1.9 17.2 DI YOGYAKARTA 4.6 27 19.5 14.2 35.7 0.7 1.5 5.2 JAWA TIMUR 7.2 24.6 22.6 7.5 26.1 1.1 2.6 19.9 BANTEN 10.5 22.4 15.1 20.3 42.4 1.2 3.3 23.1 BALI 4.5 32.6 9.9 15 18.6 1.5 7.9 13.5 NUSA TENGGARA TIMUR 13 17.1 40.3 10.8 18.2 1.2 1.8 34.8 NUSA TENGGARA BARAT 22.2 7.5 58.7 8.5 12.1 11.2 16.8 21.6 KALIMANTAN 11.2 28.1 65.7 12 12.9 2.7 5.9 34
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALMINATAN TIMUR SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA GORONTALO SULAWESI BARAT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA
15
23.5
85.5
15.9
18.2
6.7
13.7
27.8
14
28.1
75.9
24.3
26.4
0.2
2
17
8.6 20.1 18.2
43.6 36 16.2
43.2 8.1 47.6
31.4 4.4 5
24.2 8.5 9.8
2 2.5 4.2
5.1 7.2 8.4
16.3 13.6 38.8
15.1
17.6
67.4
8.2
13.5
1.5
2.8
19.9
6.8 28 12.5 11.5 18.1 27.3 19.2
19.2 25.8 17.9 16.7 21.7 33.8 24
66.6 9.6 82 45.9 36.6 54.1 50.3
16.5 6.8 6.7 13.4 4.9 23.7 15.9
12.7 7.3 7.6 9.7 7 15.8 12.6
4.5 2.6 2.8 6.8 3.3 1.2 7.3
10.5 5.1 5.8 9.1 6.9 10 11
24.6 41.7 39.5 29.8 20 12.6 17.9
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
DATA LAPORAN RISKESDAS 2007 (Sumber Laporan Nasioanal Riskesdas 2007)
PROPINSI NAD SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEP. BANGKA BELITUNG KEP. RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI NUSA TENGGARA TIMUR
Lantai Prevalensi Ternak Ternak Kepadatan bukan BAB malaria sedang Besar hunian tanah waktu sembarangan jarak 3.66 13.9 12.1 79.5 86.7 2.2 32.2 7.4 2.86 1.65 2.03 3.23
11.4 4.7 3 5.9
3.7 11.3 2.4 6
80.7 82.2 83.3 86.1
94.5 96.7 96 94.9
4.7 2.2 10.4 0.4
17.4 31.2 9.9 23.1
7.4 5.8 18.5 1.3
1.63 7.14 1.42
4.9 6.3 15.3
3.2 5.9 12.6
76.1 79.6 89.1
89.7 90.2 80.3
1.5 5.2 1.9
19.1 28.2 23
6.2 10.2 3
7.09 1.41 0.51 0.42 0.41 0.3 0.18 0.32 0.31
0.6 0.9 0.3 7.6 15 17.4 14.3 7.5 32.1
0.2 0.7 0.1 1.5 10.9 18.9 20.4 1.4 28.7
89.1 78.8 62.3 84.6 95.8 93.2 92.6 80.1 82.5
97.7 94.8 97.5 93.2 71.6 88.3 78.9 89.3 93.7
4.1 14.9 0.3 1.3 2.4 2.2 0.6 2.2 1.4
32.3 6 0.7 16.9 25.4 8.2 25.8 32.8 20.2
10.1 16.3 2.2 3.4 3.6 2.3 2.4 5.2 2.5
3.75
5.6
9.4
73.6
88.4
0.6
49.1
3.3
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012
NUSA TENGGARA BARAT KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALMINATAN TIMUR SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGGARA GORONTALO SULAWESI BARAT MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA
12.04
59.6
16.3
63.5
55.6
10.7
25.5
6.8
3.26
14.2
4.3
79.3
96.4
3.8
32.2
5.5
3.37
8.4
3.3
82.2
96.1
1.2
26.1
2.8
1.41
1.3
4.1
84.7
97.7
1.3
18.4
2.4
1.67 2.12
6.2 8.4
2.9 2.2
83.8 74.1
95.8 91.2
4.5 4.1
8.9 16.4
4.4 5.1
7.36
16.7
8
78.9
90.3
3.3
42.8
4.4
1.37
10.6
11
84.4
96
0.7
27.4
2.8
2.16 2.87 2.02 6.06 7.23 26.14 18.41
3.7 6 19.7 9 8.3 7.8 33.4
5.5 16.8 6.9 4.9 7 4.3 5.5
78 69.8 72.1 66.7 87.4 59 49
88.9 92.1 91.7 81.4 79.4 88.6 72.1
5 5.4 6.2 5.1 1.8 6.6 7.8
31.2 42.2 47.9 38.9 36.9 27.5 36.3
14.5 6.7 11.6 9.7 11 9.2 12.6
Analisis faktor..., Veronika Dwi Utami, FKM UI, 2012