FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA PADA BALITA USIA 12-59 BULAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA RISKESDAS 2013)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh: ANJAR NOFIANI 1111101000052
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1463 H/ 2015 M
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI Skripsi, Juni 2015 Anjar Nofiani, NIM : 1111101000052 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Balita Usia 12-59 Bulan di Indonesia (Analisis data Riskesdas 2013) xvi + 122 halaman, 9 tabel, 2 bagan, 3 lampiran ABSTRAK Prevalensi anemia pada balita di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2006 sebesar 26,3% menjadi 28,1% pada tahun 2013. Diketahui bahwa anemia dapat berdampak pada perkembangan dan fungsi kognitif yang terhambat serta menurunkan fungsi imun. Hasil penelitian menunjukkan anemia balita dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik disebabkan karena karakteristik balita itu sendiri, faktor maternal, maupun sosiodemografi. Namun masih terdapat hasil penelitian yang kontradiktif sehingga penelitian ini perlu dilakukan agar dapat diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia balita di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan faktor yang berhubungan dengan anemia pada balita. Penelitian ini merupakan analisis lanjut dari Riskesdas tahun 2013. Desain yang digunakan adalah cross-sectional dengan jumlah responden 884 ibu balita. Kemaknaan hubungan dilihat menggunakan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) yang diperoleh dari uji chi square. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa prevalensi anemia balita mencapai 31,56%. Umur balita kurang dari 36 bulan [OR 2,62 (1,96-3,50)], BBLR [OR 2,62 (1,96-3,50)], sunting [OR 1,36 (1, 01-1,85)], dan tidak Imunisasi DPT [OR 1,80 (1,15-2,84)] berhubungan signifikan dengan kejadian anemia balita. Oleh karena itu disarankan kepada Dinas Kesehatan di kabupaten/kota untuk melakukan pemeriksaan anemia usia 9-12 bulan dan usia 15-18 bulan atau pemeriksaan tambahan setiap 1 tahun sekali pada usia 2-5 tahun sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan Kesehatan Ibu dan Anak. Daftar Bacaan :64 (1997 – 2015) Kata Kunci : Anemia, balita, prevalensi, faktor yang berhubungan
ii
ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM SPECIALIZATION OF EPIDEMIOLOGY Undergraduate Thesis, June 2015 Anjar Nofiani, NIM : 1111101000052 Associated Factors with Anemia Among Toddler 12–59 Months Old In Indonesia (Basic Health Survey 2013) xvi+ 122 pages, 9 tables, 2 chart,3 attachments ABSTRACT The prevalence with Anemia in Indonesia has increased from 26,3% in 2006 to 28,1% in 2013. It is well known that anemia leads to damaging consequences such as hindered physical and cognitive development and weakened immune system. The results showed anemic children can be affected by various factors caused both children characteristic, maternal and sociodemographic factors. Previous study showed contadictive result, so that this research needs to be done in order to know the associated factors of anemia among toddler in Indonesia. The purpose of this study were to determine the prevalence and associated factors with anemia among toddler. This study is a further analysis of basic health survey 2013. The design was cross-sectional with a number of respondents was 884 mothers. Significance relationship seen using 95% Confidence Interval (CI) were obtained from the chi square test. Based on the result, prevalence of anemia was 31,56%. Aged less than 36 months [OR 2.62 (1.96 to 3.50)], LBW [OR 2.62 (1.96 to 3.50)], stunting [OR 1.36 (1, 01- 1.85)], and no Immunization DPT [OR 1.80 (1.15 to 2.84)] were significantly associated with anemia. It is recommended to the Health Department in the district to check hemoglobin initially between the ages of 9 to 12 months and 15-18 months or screening between the ages of 1 and 5 years to effort implementation of Maternal and Child Health Care. References : 64 (1997 – 2015) Keywords : Anemia, toddlers, prevalence, associated factors
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA PADA BALITA USIA 12-59 BULAN DI INDONESIA TAHUN 2013 (ANALISIS DATA RISKESDAS 2013)
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta,
Juli 2015
Mengetahui
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Pribadi Nama
: Anjar Nofiani
TTL
: Bogor, 22 November 1992
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Direktorat Polisi Satwa RT 02/ RW 14 No. 32 Depok
No.Tlp
: 081806215939
Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan 2011-sekarang
: S1- Peminatan Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
2008-2011
: SMK Analis Kesehatan DITKESAD, Jakarta Timur
2005-2008
: SMPN 103 Jakarta Timur
1999-2005
: SDN Tugu 5 Kota Depok
Publikasi Jurnal 2015
: Pengetauan, Sikap dan Perilaku Ibu Terkait Pemberian Imunisasi pada anak 12-48 bulan di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 (Presentasi oral di Bangkok, Thailand)
vi
Pengalaman Penelitian 2015 2014 2014
2014
2014 2013 2013
: Faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada balita usia 12-59 bulan di Indonesia (Analisis data Riskesdas 2013) : Masalah kesehatan perempuan dan pencarian pengobatan pada mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2014 Penyusunan Rencana Program Penanggulangan Status Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Pada Balita Di Kelurahan Bakti Jaya, Muncul Keranggan Kecamatan Setu, Kota Tanggerang Selatan Tahun 2014 (pendekatan one health) Cakupan Layanan Posyandu Terkait Gizi dan Analisis Spasial Luas Jangkauan Layanan Posyandu Pada Kasus Gizi Kurang dan Gizi Buruk Balita (Studi Ekologi Di Kelurahan Keranggan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan Tahun 2014) : Peran Pusat Penanggulangan Krisis Regional Jakarta dalam Manajemen Bencara tahun 2013 : Pelaksanaan Surveilans Kanker Payudara di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan Tahun 2013 : Pengetauan, Sikap dan Perilaku Ibu Terkait Pemberian Imunisasi pada anak 12-48 bulan di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
Pengalaman Organisasi 2013-2014
: Anggota Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia Epidemiologi Student Assosiation (ESA)
Pengalaman Kepanitiaan 2014
: Anggota tim riset Seminar Profesi Kesehatan Masyarakat Peminatan Epidemiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Kerja 2015
: Praktik Kerja Lapangan di Dinas Kesehatan Kota Depok
2014
: Pengalaman Belajar Lapangan di Puskesmas Ciputat Timur, Kota Tanggerang Selatan
vii
2014
: Orientasi Kerja di Suku Dinas Kesehatan Kota Jakarta Selatan
2011
: Freelancer tenaga analis kesehatan di Tirta Medical Center Laboratorium Kuningan
2011
: Freelancer tenaga pengajar di Rumah Baca Panter, Depok
2010
: Praktik Kerja Lapangan di Laboratorium Rumah Sakit Haji Jakarta
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT. atas rahmat dan karuniaNya sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan skripsi dengan judul ―Faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada balita usia 12-59 bulan di Indonesia tahun 2013” ditujukan untuk menjelaskan secara ilmiah faktorfaktor apa saja yang berhubungan dengan anemia pada balita di Indonesia, sehingga kedepannya diharapkan dapat dilaksanakan penanggulangan dan pengendalian yang tepat. Penulis sangat menyadari bahwa laporan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Orangtua yang senantiasa memberikan dukukungan moral, materi dan doa yang tiada henti sehingga penulis menjadi lebih bersemangat dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.
2.
Ibu Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D dan Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran, arahan dan motivasi.
3.
Laboratorium data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia yang telah memenuhi permintaan data Riskesdas tahun 2013 sebagai bahan penelitian.
4.
Ibu Febrianti , M.Si, ibu Catur Rosidati, MKM, dan Ibu Farihah Sulasiah, MKes, selaku dosen penguji sisang skripsi yang telah memberikan saran dan arahan untuk perbaikan.
ix
5.
Ibu Iting Shofwati, MKKK selaku dosen penasihat akademik yang telah memberikan saran dan motivasi selama proses perkuliahan.
6.
Seluruh teman-teman kesmas angakatan 2011 khususnya untuk peminatan epidemiologi yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.
7.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan skripsi ini, dimana tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Dalam pembuatan skripsi ini tentu masih memiliki keterbatasan dan perlu
perbaikan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kemajuan penelitian selanjutnya.
Ciputat, Juni 2015
Anjar Nofiani
x
LEMBAR PERSEMBAHAN
Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT sang pencipta alam semesta kupersembahkan tulisan ini untuk setiap tetes keringat dan letih bapak yang tiada terhitung untukku dan untuk setiap doa dan pelukan hangat dari mama. Terimakasih atas kasih sayang yang selalu kalian berikan untukku, tiada kata yang mampu menggambarkan rasa
syukurku
memiliki
orangtua
seperti
kalian.
Tak
mungkin dapat terbalaskan hanya dengan selembar kertas ini.
Namun
semoga
ini
menjadi
membuat kalian bangga…
xi
langkah
awal
untuk
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................. Error! Bookmark not defined. ABSTRAK .......................................................................................................... ii PERNYATAAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix LEMBAR PERSEMBAHAN .............................................................................. xi DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii DAFTAR BAGAN ............................................................................................ xv DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 17 A. Latar Belakang ........................................................................................ 17 B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 3 C. Pertanyaan Penelitian ................................................................................ 4 D. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5 1.
Tujuan Umum ........................................................................................ 5
2.
Tujuan Khusus ....................................................................................... 5
E. Manfaat Penelitian .................................................................................... 6 1.
Manfaat bagi Kementrian Kesehatan ...................................................... 6
2.
Manfaat bagi Dinas Kesehatan di Indonesia ........................................... 6
3.
Manfaat bagi Peneliti Selanjutnya .......................................................... 6
F.
Ruang lingkup ........................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 7 A. Anemia ..................................................................................................... 7 1.
Definisi Anemia ..................................................................................... 7
2.
Etiologi Anemia ..................................................................................... 7
B. Karakteristik Balita ................................................................................. 10 1.
Umur Balita ......................................................................................... 10
2.
Jenis Kelamin ...................................................................................... 11
3.
Berat Badan Lahir ................................................................................ 12
xii
4.
Riwayat Penyakit Malaria .................................................................... 12
5.
Status Gizi ........................................................................................... 14
6.
Status Pemberian Vitamin A ................................................................ 16
7.
Status Imunisasi DPT ........................................................................... 17
C. Faktor Maternal ....................................................................................... 17 1.
Pendidikan Ibu ..................................................................................... 17
2.
Pekerjaan Ibu ....................................................................................... 19
3.
Umur Ibu ............................................................................................. 20
D. Sosiodemografi ....................................................................................... 21 1.
Jumlah Keluarga .................................................................................. 21
2.
Tempat Tinggal ................................................................................... 22
E. Kerangka Teori ....................................................................................... 24 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPRASIONAL DAN HIPOTESIS .......................................................................................................................... 25 A. Kerangka Konsep .................................................................................... 25 B. Definisi Oprasional ................................................................................. 26 C. Hipotesis ................................................................................................. 30 BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 31 A. Desain penelitian ..................................................................................... 31 B. Waktu dan lokasi penelitian ..................................................................... 31 C. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................... 31 D. Metode Pengumpulan Data...................................................................... 35 E. Pengukuran Variabel Penelitian ............................................................... 36 F.
Manajemen Data ..................................................................................... 39
G. Analisis Data ........................................................................................... 44 BAB V HASIL .................................................................................................. 46 A. Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013 .......... 46 B. Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 .................................................................................................... 46 C. Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Faktor Maternal dan Faktor Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ............................... 48 D. Hubungan Kejadian Anemia dengan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 .................................................................................................... 50
xiii
E. Hubungan Kejadian Anemia dengan Faktor Maternal dan Faktor Sosiodemografi pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ..................................... 52 BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................. 55 F.
Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 55
G. Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013 .......... 56 H. Gambaran Kejadian Anemia Berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 .................................................................................................... 59 D. Gambaran Kejadian Anemia Berdasarkan Faktor Maternal dan Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ............................... 64 E. Hubungan Kejadian Anemia Berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 .................................................................................................... 68 F. Hubungan Kejadian Anemia Berdasarkan Faktor Maternal dan Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ............................... 81 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 89 A. Simpulan ................................................................................................. 89 B. Saran ....................................................................................................... 90 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 92 LAMPIRAN ...................................................................................................... 97
xiv
DAFTAR BAGAN Bagan 2. 1 Kaerangka Teori ............................................................................... 24 Bagan 3. 1 Kerangka Konsep ............................................................................. 25
xv
DAFTAR TABEL Tabel 4. 1 Jumlah Sampel Penelitian ................................................................. 34 Tabel 4. 2 Variabel dan Kuesioner .................................................................... 40 Tabel 4. 3 Pengkodean Ulang Data Penelitian ................................................... 41 Tabel 4. 4 Variabel Baru dalam Data Penelitian ................................................ 43 Tabel 5. 1 Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ... 46 Tabel 5. 2 Distribusi Kejadian Anemia berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013....................................................................... 46 Tabel 5. 3 Distribusi Kejadian Anemia berdasarkan Faktor Maternal dan Faktor Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ................. 49 Tabel 5. 4 Hubungan Kejadian Anemia dengan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 ...................................................................................... 50 Tabel 5. 5 Hubungan Kejadian Anemia dengan Faktor Maternal dan Faktor Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ................. 53
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Secara global, prevalensi anemia pada anak-anak usia pra-sekolah berdasarkan laporan WHO tahun 1993-2005 mencapai 47,4% (WHO,2008), sedangkan di Indonesia berdasarkan survei masalah gizi mikro di 10 provinsi pada tahun 2006 menemukan 26,3% balita mengalami anemia (Kemenkes, 2013). Prevalensi anemia balita di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi 28,1% berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (Kemenkes RI, 2013). Selain itu hasil South East Asian Nutritional Survey (SEANUTS) pada tahun 2011 menemukan angka prevalensi anemia di Indonesia pada anak berusia < 2 tahun sebesar 55% (Sandjaja dkk, 2013). Penelitian Santos (2011) menjelaskan bahwa anemia mengakibatkan kurangnya asupan oksigen ke jaringan tubuh terutama jaringan otak. Pada anak-anak di bawah usia lima tahun kekurangan oksigen ke jaringan otak dapat mengakibatkan menurunnya fungsi kognitif, menghambat pertumbuhan dan perkembangan psikomotorik. Hal ini juga telah dibuktikan dengan eksperimen pada hewan percobaan, hasilnya menunjukkan bahwa hewan yang anemia mengalami penurunan aktivitas spontan (Booth dan Auket, 1997). Anemia pada balita juga dapat menganggu sistem imun sehingga mudah terserang penyakit infeksi (Sanou dan Ngnie-Teta, 2012).
1
2
Anemia pada balita dipengaruhi oleh berbagai faktor. Fakor yang dapat mempengaruhi terjadinya anemia yaitu karakteristik balita itu sendiri seperti usia (Ayoya dkk, 2013; Leite dkk, 2013; Ewusie dkk, 2014; Santos dkk, 2011) jenis kelamin (Habte dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014), berat badan lahir (Leite dkk, 2013), riwayat penyakit malaria (Ewusie dkk, 2014; Green dkk, 2011), status gizi balita berdasarkan indikator berat badan per usia (BB/U) (Leite dkk, 2013), tinggi badan per usia (TB/U) (Ayoya dkk, 2013), berat badan per tinggi badan (BB/TB) (Leite dkk, 2013), vitamin A (Semba dkk, 2002; Habte dkk, 2013; Amati dkk, 2013) dan imunisasi DPT (Habte dkk, 2013). Namun, beberapa penelitian tidak menemukan hubungan antara usia balita (Habte dkk, 2013), jenis kelamin (Kumar dkk, 2014; Ewusie dkk, 2014), berat badan lahir (Ewusie dkk, 2014), riwayat penyakit malaria (Kounnavong dkk, 2011; Leite dkk, 2013), BB/U (Ayoya dkk, 2013), TB/U (Leite dkk, 2013) BB/TB (Ayoya dkk, 2013) dan vitamin A (Woodruff dkk, 2005). Selain karakteristik balita, faktor maternal dapat menjadi fakor risiko anemia balita. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa prevalensi anemia balita ditemukan lebih besar pada ibu yang tidak sekolah (Leite dkk, 2013; Habte dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014). Pada penelitian di populasi lain, anakanak akan semakin berisiko tinggi mengalami anemia apabila memiliki ibu yang buta huruf (Assefa dkk, 2014; Guatema dkk, 2014). Selain itu, anemia balita ditemukan lebih tinggi pada ibu yang bekerja (Baranwal dkk, 2014). Akan tetapi tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara anemia balita dengan status pekerjaan ibu (Kounnavong dkk, 2011). Anemia pada balita juga ditemukan lebih besar pada kelompok usia ibu yang lebih muda,
3
yaitu 15-19 tahun (Habte dkk, 2013). Namun, berdasarkan penelitian di Brazil dan Kuwait tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anemia pada balita dengan usia ibu (Konstantyner dkk, 2011; Al-Qaoud dkk, 2014). Selain faktor maternal, status sosial dan demografi juga dapat mempengaruhi anemia pada balita. Jumlah keluarga 5 juga memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia pada balita (Leite dkk, 2013) anak-anak yang berasal dari jumlah keluarga <5 memiliki efek proteksi terhadap anemia (Guatema dkk, 2014). Prevalensi anemia di Indonesia pada wilayah perkotaan ditemukan lebih tinggi yaitu 30,3% dibandingan dengan wilayah pedesaan yaitu sebesar 25,8% (Kemenkes RI, 2013). Akan tetapi penelitian di negara Malaysia, India dan Kenya menemukan bahwa wilayah pedesaan lebih berisiko untuk menimbulkan anemia (Ngui dkk, 2012; Foote dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014). Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, masih terdapat hasil yang kontradiktif, sehingga penelitian ini perlu dilakukan agar dapat diketahui dengan jelas faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia balita di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data survei Riskesdas tahun 2013 yang dapat mencakup seluruh wilayah di Indonesia sebagai bahan analisis. Analisis ini dapat memberikan gambaran awal faktor yang dapat mempengaruhi anemia pada balita di Indonesia.
B. Rumusan Masalah Prevalensi anemia pada balita di Indonesia mengalami peningkatan berdasarkan survei dari tahun 2006 dan tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan anemia balita dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik
4
disebabkan karena karakteristik balita itu sendiri, faktor maternal, maupun sosiodemografi. Walaupun begitu beberapa peneilitian justru menunjukkan hasil yang kontradiktif terhadap hal tersebut sehingga belum ada konsistensi terkait faktor risiko anemia balita, sehingga penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia balita di Indonesia dirasa penting untuk dilakukan.
C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimankah prevalensi kejadian anemia balita di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013? 2. Bagaimanakah distribusi kejadian anemia balita berdasarkan karakteristik balita (jenis kelamin, usia, berat badan lahir, riwayat penyakit malaria, status gizi, status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013? 3. Bagaimanakah distribusi kejadian anemia balita berdasarkan faktor maternal (pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan usia ibu) dan faktor sosiodemografi (jumlah keluarga dan tempat tinggal) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013? 4. Bagaimanakah
hubungan
antara
kejadian
anemia
balita
dengan
karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat penyakit malaria, status gizi, status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013? 5. Bagaimanakah hubungan antara kejadian anemia balita dengan faktor maternal (pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan usia ibu) dan faktor
5
sosiodemografi (status ekonomi, jumlah keluarga, tempat tinggal) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada balita usia 12-59 bulan di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya
prevalensi kejadian anemia
balita di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 b. Diketahuinya
distribusi
kejadian
anemia
balita
berdasarkan
karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat penyakit malaria, status gizi, status status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 c. Diketahuinya distribusi kejadian anemia balita berdasarkan faktor maternal (pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan usia ibu) dan faktor sosiodemografi (jumlah keluarga dan tempat tinggal) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 d. Diketahuinya hubungan antara kejadian anemia balita dengan karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat penyakit malaria, status gizi, status status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013
6
e. Diketahuinya hubungan antara kejadian anemia balita dengan faktor maternal (pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan usia ibu) dan faktor sosiodemografi (jumlah keluarga dan tempat tinggal) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi Kementrian Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pembuatan program pencegahan dan penanggulangan masalah anemia di Indonesia, khususnya dalam menentukan program yang tepat untuk kesehatan balita. 2. Manfaat bagi Dinas Kesehatan di Indonesia Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam memberikan intervensi yang tepat dalam menyelesaikan masalah anemia pada balita di masing-masing wilayah otoritas dinas kesehatan. 3. Manfaat bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan referensi terkait faktor risiko kejadian anemia pada balita sebagai dasar pengembangan penelitian lebih lanjut.
F. Ruang lingkup Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain cross sectional. Penelitian ini dan menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 sebagai bahan analisis lanjut untuk menjawab pertanyaan penelitian dan dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2015.
7
Responden dalam penelitian ini adalah wanita usia 10-54 tahun dan unit analisisnya
adalah
balita
usia
12-59
bulan
yang
berjumlah
884.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anemia 1. Definisi Anemia Menurut WHO, anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau kapasitas oksigen tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, yang bervariasi menurut umur, jenis kelamin, ketinggian, merokok, dan status kehamilan (WHO, 2014). Anemia adalah penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan konsentrasi hemoglobin di dalam sirkulasi darah. Anemia dapat terjadi pada semua tahap kehidupan, tetapi lebih umum terjadi pada anak-anak dan wanita hamil. Berikut adalah kategori status anemia berdasarkan kadar hemoglobin pada balita usia 6-59 bulan (WHO, 2008): a. Normal
: 11 gr/dl
b. Anemia ringan
: 10-10,9 gr/dl
c. Anemia sedang
: 7-9,9 gr/dl
d. Anemia berat
: < 7 gr/dl
2. Etiologi Anemia Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu gangguan pembentukan eritrosit, perdarahan dan hemolisis. Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (A, B12, asam folat), asam amino, serta gangguan pada sumsum tulang. Kemudian perdarahan baik akut maupun kronis
8
9
mengakibatkan penurunan total sel darah merah dalam sirkulasi darah yang menyebabkan anemia serta hemolisis yaitu proses penghancuran eritrosit (Hensbroek dkk, 2010). Pendapat lain mengatakan bahwa anemia dapat diklasifikasikan menurut produksi eritrosit (eritropoiesis) yaitu sebagai akibat gangguan proliferasi prekursor-sel darah merah atau saat pematangan eritrosit, meningkatnya proses
penghancuran sel darah merah (hemolisis) atau
kehilangan darah atau keduanya. Proses ini secara umum ditentukan oleh gizi, penyakit menular, dan genetik. Meskipun defisiensi besi diduga menjadi penyebab utama anemia, namun keterbatasan indikator dalam mengukur status zat besi pada tingkat populasi dan keterbatasan data yang ada, sehingga defisiensi besi hanya diperkirakan saja (Balarajan, 2011). Sembulingan dkk (2011) juga berpendapat bahwa secara umum anemia disebabkan karena penurunan produksi sel darah merah, peningkatan hemolisis dan perdatahan. Klasifikasi anemia dapat dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan morfolgi dan etiologinya. Morfologi klasifikasi yaitu berdasarkan ukuran dan warna sel darah merah. Sedangkan berdasarkan etiologinya anemia dibagi menjadi anemia hemoragik, anemia hemoloitk, anemia defisiensi zat gizi, anemia aplastik dan anemia akibat penyakit kronis.
10
B. Karakteristik Balita 1. Umur Balita Umur balita memiliki keterikatan dengan kejadian anemia. Balita yang memiliki usia lebih tua dapat memiliki tingkat toleransi yang lebih baik terhadap makanan yang mengandung besi serta peningkatan kekebalan tubuh sehingga terlindungi dari penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia (Habte dkk, 2013). Beberapa penelitian menemukan hubungan yang signifikan dengan umur balita (Leal dkk, 2011; Ayoya dkk, 2013; Ewusie dkk, 2014; Santos dkk, 2011) dan balita yang berumur <24 bulan lebih berisiko menderita anemia (Foote dkk, 2013). Pada hasil penelitian di kota Gaza, Palestina, rata-rata anak-anak dalam komunitas ini adalah 1,75 tahun, penjelasan mengenai penurunan kadar hemoglobin pada anak-anak ini yaitu anak-anak sedang berada pada periode ledakan pertumbuhan yang cepat tetapi kebutuhan gizi untuk pembentukan sel darah merah tidak terpenuhi (Alzain, 2012). Kelompok umur dibawah 24 bulan berisiko 2,6 kali lebih besar mengalami anemia (p : 0,000 CI 1,7-3,8) (Assefa dkk, 2014). Berdasarkan hasil penelitian, semakin tua umur anak maka akan memiliki efek proteksi terhadap anemia (Leite dkk, 2013). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Shinoda (2012), semakin muda umur anak maka semakin tinggi risikonya mengalami anemia. Anemia juga lebih banyak ditemukan pada anak-anak usia 12-17 bulan dibandingkan dengan anak-anak usia 36-59 bulan (Singh dan Patra, 2014).
11
Namun penelitian di Ethiopia tidak menemukan hubungan yang signifikan antara umur balita dengan anemia (Habte dkk, 2013). Penelitian di Kuwait juga menemukan bahwa kelompok umur 5 tahun secara statistik lebih tinggi di bandingkan dengan kelompok umur 4 tahun (p:0,038) (AlQaoud dkk, 2014). 2. Jenis Kelamin Salah satu faktor risiko anemia yaitu anak yang berjenis kelamin laki-laki memiliki peningkatan risiko anemia dibandingkan dengan anak perempuan. Seorang anak laki-laki ditemukan memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita anemia dari anak perempuan (OR: 1,215 (1,083, 1,362) pvalue <0.001) (Ngesa dan Mwambi, 2014). Penelitian lain juga menemukan hubungan yang signifikan antara anemia dengan jenis kelamin balita (Habte dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014). Anak-anak lakilaki lebih rentan terhadap anemia (Alzain, 2012). Pada anak laki-laki rentan mengalami defisiensi zat besi dibanding anak perempuan karena pertumbuhan yang lebih cepat pada bulan-bulan pertama kehidupan (Pita dkk, 2014). Namun beberapa penelitian tidak menemukan hubungan antara anemia dan jenis kelamin (Kumar dkk, 2014; Ewusie dkk, 2014). Penelitian di Haiti menemukan bahwa anemia terjadi sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki di bandingkan dengan anak perempuan (Ayoya dkk, 2013). Meskipun hasil penelitian tidak menemukan hubungan yang signifikan, Penelitian Santos dkk (2011) juga menemukan prevalensi anemia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Pada anak-anak kebutuhan terhadap besi cukup tinggi, tetapi mereka tidak dapat
12
mengatur pola makannya sendiri. Begitupun dengan penelitian di Papua New Ginea tidak menemukan hubungan secara statistik antar jenis kelamin balita dengan anemia (Shinoda dkk, 2012).
3. Berat Badan Lahir Berat badan lahir berhubungan dengan faktor maternal, ibu yang mengalami anemia selama kehamilan cenderung untuk melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (Leite dkk, 2013). Pada periode posnatal, zat besi digunakan untuk pertumbuhan, proses konsumsi dan penyerapan besi pada periode ini sangat cepat. Semakin cepat pertumbuhan, semakin berisiko mengalami defisiensi zat besi. Anak-anak dengan berat lahir rendah memiliki risiko lebih banyak. Pada kondisi ini mereka mulai tumbuh dengan cadangan besi
yang
rendah,
sedangkan terjadi
pertumbuhan posnatal yang cepat. Hubungan yang diamati antara berat badan lahir rendah dan anemia pada anak usia 6-23 bulan menunjukkan bahwa pencegahan berat bayi lahir rendah dapat mengurangi risiko kematian dan anemia (Pita dkk, 2014). Namun penelitian lain tidak menemukan hubungan antara anemia dan berat badan lahir rendah (Konstantyner dkk, 2012).
4. Riwayat Penyakit Malaria Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara anemia dan riwayat penyakit malaria (Green dkk, 2011; Ewusie dkk, 2014). Malaria merupakan penyumbang utama anemia di dunia. Meskipun penyebab utama anemia dalam konteks malaria adalah hemolitik,
13
penelitian telah menunjukkan bahwa anemia akibat peradangan memiliki peran penting dalam menimbulkan perubahan dalam distribusi dan penyerapan zat besi (Shaw dan Frieman, 2011). Malaria memiliki hubungan yang kuat dengan peningkatan prevalensi anemia karena mekanisme penghancuran sel darah merah oleh parasit plasmodium. Akan tetapi penelitian di Ethiopia tidak menemukan hubungan antara anemia dan infeksi malaria. Hal ini dikarenakan rendahnya prevalensi malaria di area penelitian. Meskipun begitu, anak yang menderita malaria 4,02 lebih berisiko mengalami anemia (Gutema dkk, 2014). Infeksi Plasmodium sp. menjadi infeksi yang dominan secara signifikan menurunkan kadar hemogoblin dan meningkatkan risiko anemia terlepas dari infeksi lain, umur dan jenis kelamin. Hasil analisis regresi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan ketika anak-anak terinfeksi > 5000 parasit/mikro liter darah. Semakin berat infeksinya semakin berdampak pada rendahnya level hemoglobin. Siklus hidup parasit plasmodium meningkatkan hemolisis sel darah merah secara langsung atau pada proses inflamasi cytokine sehingga pada individu yang terinfeksi, proses produksi sel darah merah yang baru tidak akan mencukupi untuk mengganti sel darah yang rusak. Hasil penelitian lainnya juga menemukan hubungan yang signifikan antara malaria dan anemia 0,001 di Lake Albert dan 0,004 di Lake Victoria.(Green dkk, 2011). Pada penelitian di Sudan, sebagian besar anak-anak terinfeksi lebih dari satu jenis malaria dalam periode satu tahun. Meskipun begitu, hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antar malaria
14
dan anemia. Malaria dapat menyebabkan anemia karena membuat sel darah merah lisis atau hancur (Hussein dan Mohamed, 2014).
5. Status Gizi Status gizi seorang anak dapat dilakukan melalui pengukuran berdasarkan umur, berat badan dan tinggi badan. Balita yang kerdil atau pendek cenderung mengalami anemia lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak yang normal, tinggi, atau kelebihan berat badan. Pada masa balita, asupan nutrisi yang tepat dibutuhkan untuk menghambat perkembangan anemia. Secara keseluruhan, kekurangan gizi anak-anak terutama mereka yang termasuk dalam kelompok usia yang lebih rendah, beresiko terhadap anemia (Gorospe dkk, 2014). Stunting juga dapat dikaitkan dengan fraksi besar kasus anemia ringan hingga anemia berat, stunting juga dapat terjadi karena adanya infeksi di usus pada anak-anak (Foote dkk, 2013). Kemudian dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa anemia dengan tinggi rata-rata di semua kelompok umur berhubungan secara signifikan (p <0,05). Begitupun antara anemia dengan berat rata-rata di semua kelompok umur (p <0,05) (Alzain, 2012). Hasil penelitian di Papua New Ginea, balita yang kurus dan memiliki berat kurang berhubungan dengan anemia (Shinoda dkk, 2012). Hasil penelitian lain juga menemukan hubungan yang signifikan antara anemia dengan indikator BB/U Leite dkk, 2013), TB/U (Ayoya dkk, 2013) BB/TB (Leite dkk, 2013). Risiko anemia pada balita yang kerdil dan kurus dengan kemungkinan 1,39 dan 1,23 (Gorospe dkk, 2014).
15
Anemia dan malnutisi biasanya muncul bersamaan, satu individu dapat mengalami masalah gizi yang kompleks. Risiko balita stunting mengalami anemia adalah 2,3 kali dibandingkan dengan balita yang normal. Kemudian balita yang memiliki kelebihan berat badan (z score> 2,0) cenderung tidak mengalami anemia (Al-Qaoud dkk, 2014). Peningkatan obesitas merupakan hasil dari transisi status gizi dan epidemiologi. Meskipun anemia lebih dominan ditemukan pada anak yang memiliki berat kurang, tetapi anemia juga ditemukan pada anak yang memiliki berat lebih. Pola diet anak-anak yang memiliki berat lebih biasanya cenderung mengkonsumsi kalori berlebihan dan kekurangan asupan vitamin dan mineral. Penelitian di Brazil menemukan bahwa anak yang menderita anemia juga memiliki tinggi badan yang pendek dan berat kurang, meskipun hasil penelitian tidak menemukan hubungan yang signifikan (Oliveira dkk, 2010). Penelitian lainnya di Brazil juga tidak menemukan hubungan yang signifikan antara status gizi dengan anemia. Konstantinyer dkk (2012) menjelaskan studi antara anemia dan berat lebih/obesitas juga telah dilaporkan di Brazil. Tingginya konsumsi makanan yang berlebihan mengakibatkan kekurangan penyerapan dan penyimpanan besi. Akan tetapi, pengukuran antropometri untuk indikator obesitas yang digunakan dalam studi ini juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap risiko anemia.
16
6. Status Pemberian Vitamin A Kekurangan vitamin
A pada anak
juga
memiliki risiko
kemungkinan yang lebih tinggi untuk menderita anemia. Selain itu, asupan riboflavin yang cukup dapat mencegah infeksi saluran pernapasan atas serta faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko anemia (Gorospe dkk, 2014). Hasil penelitian lainnya juga mengatakan hal yang sama (Semba dan Bloem, 2002; Konstantinyer dkk, 2011; Habte dkk, 2013; Amati dkk, 2013). Penelitian lainnya menyebutkan bahwa kekurangan vitamin A tidak berhubungan dengan anemia (Woodruff dkk, 2005; Foote dkk, 2013) Survei gizi menunjukkan bahwa tingginya prevalensi defisiensi vitamin A dan anemia biasanya terjadi bersama-sama dalam populasi yang sama. Pada populasi berisiko kekurangan vitamin A, ada kemungkinan mengalami kekurangan vitamin lainnya yang dapat menyebabkan anemia. Bukti bahwa kekurangan vitamin A menyebabkan anemia yaitu melalui modulasi metabolisme besi yang kuat dan didukung dengan pengamatan dari hewan percobaan dan studi pada manusia. Defisiensi vitamin A berkontribusi menimbulkan anemia melalui kekebalan tubuh terhadap infeksi dan peningkatan anemia kronis. Namun indeks sel darah merah mungkin tidak konsisten selama anemia defisiensi vitamin A karena faktor lain, termasuk kekurangan zat besi, malaria, infeksi dan obat-obatan lainnya (Semba dan Bloem, 2002). Kekurangan vitamin A dan anemia berhubungan dengan angka kematian yang tinggi terutama pada balita (Amati dkk, 2013).
17
7. Status Imunisasi DPT Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit saluran pernapasan yang sangat menular. Bordetella pertussis adalah agen penyebab batuk rejan yang terjadi pada balita. Bakteri ini menempel pada selaput lendir di saluran pernapasan dan menyebabkan peradangan dalam tubuh. B. pertussis menghasilkan toksin pertusis dan endotoksin, pada kasus yang parah komplikasi seperti demam tinggi, radang otak, kejang, pneumonia dan kematian dapat terjadi (WHO, 2010). Hasil penelitian menemukan bahwa toksin yang ditimbulkan oleh B. pertussis dapat meningkatkan aktifitas hemolitik pada sel darah merah manusia (Bodade dkk, 2009). Pemberian imunisasi DPT dapat menurunkan risiko penyakit menular sehingga dapat menurunkan risiko anemia (Habte dkk, 2013).
C. Faktor Maternal 1. Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan ibu secara bermakna dikaitkan dengan risiko anemia pada anak-anak (p-value, 0,001). Ibu dengan pendidikan menengah memiliki efek proteksi terhadap risiko anemia pada anak-anak mereka. Anemia berisiko 1,5 kali lebih besar pada anak-anak yang ibunya tidak sekolah dibandingkan dengan anak yang ibunya memiliki tingkat pendidikan menengah. Kemudian terjadi pengurangan risiko anemia pada anak yang ibunya telah menyelesaikan pendidikan menengah menjadi 1,2 kali pada ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dibanding tingkat pendidikan menengah (Ngesa dan Mwambi, 2014).
18
Hasil penelitian di Ethiopia menemukan bahwa pendidikan ibu yang tinggi memiliki efek protektif terhadap anemia balita. Hal ini disebabkan karena praktek pemberian makan dan perawatan anak yang baik oleh ibu yang berpendidikan (Habte dkk, 2013). Berbagai penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa prevalensi anemia balita ditemukan lebih besar pada ibu yang tidak sekolah (Leite dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014) dan semakin tinggi risikonya apabila memiliki ibu yang buta huruf (Assefa dkk, 2014; Guatema dkk, 2014). Ibu dengan pendidikan rendah akan berpengaruh pada status gizi anak, kurangnya kesadaran ibu tentang pemberian nutrisi dan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak sehat. (Assefa dkk, 2014). Penelitian di daerah pedesaan Malaysia juga menemukan bahwa pendidikan formal ibu yang kurang dari 6 tahun berhubungan signifikan (p: 0,002) dengan anemia balita dan meningkatkan risiko sebesar 2,52 kali. Dalam kondisi ini pendidikan orangtua khususnya ibu memiliki peranan penting dalam kesehatan seorang anak, hasil penelitian menemukan bahwa anak-anak yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah cenderung mengalami anemia defisisensi besi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki ibu dengan latar pendidikan yang tinggi.(Ngui dkk, 2012) Meskipun begitu ada hasil penelitian yang menemukan antara anemia pada anak-anak secara statistik tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat melek huruf (Hussein dan Mohamed, 2014). Penelitian di daerah pedesaan Lao juga tidak menemukan hubungan yang signifikan dengan anemia. Kemungkinan hal ini disebabkan karena variasi
19
pendidikan yang sedikit, dalam populasi studi tingkat angka melek hurufnya rendah (Kounnavong dkk, 2011). Begitupun penelitian di Brazil juga tidak menemukan hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian anemia (Konstantyner dkk, 2012). 2. Pekerjaan Ibu Pekerjaan yang sering disebut sebagai profesi adalah sesuatu yang dilakukan manusia yang dilakukan dengan cara yang baik dan benar dengan tujuan mendapatkan imbalan berbentuk uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berdasarkan hasil penelitian, anemia balita ditemukan lebih tinggi pada ibu yang bekerja (Baranwal dkk, 2014). Ibu yang bekerja memiliki efek negatif pada status gizi dan kesehatan anak-anak mereka. Beban kerja dapat mempengaruhi gizi ibu itu sendiri dan kesehatannya, akibatnya terjadi penurunan kapasitas untuk melakukan kegiatan lain seperti mengasuh anak. Kemudian karena keterbatasan waktu untuk bekerja, kebutuhan gizi anak-anaknya kurang diperhatikan. Selain itu ada kemungkinan untuk ibu yang bekerja, anak-anak mereka akan diasuh oleh orang lain yang mungkin kurang baik dalam mengasuh anak (Abbie dkk, 2014). Akan tetapi tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara anemia balita dengan status pekerjaan ibu (Kounnavong dkk, 2011). Begitupun dengan hasil penelitian di Cuba menemukan bahwa balita yang ibunya tidak bekerja memiliki pola makan tidak teratur. Akibatnya balita tersebut
tidak
mendapatkan
nutrisi
yang
dibutuhkan
untuk
pertumbuhannya. Pada penelitian ini, tempat penitipan anak memiliki efek
20
proteksi terhadap kejadian anemia balita. Tempat penitipan anak biasanya akan memberikan pengasuhan yang baik dan pola makan yang seimbang (Pita dkk, 2014). 3. Umur Ibu Keterkaitan antara anemia dan umur ibu yaitu apabila seorang perempuan menikah dan hamil di usia remaja akan meningkatkan kebutuhan besi. Hal ini disebabkan karena besi diperlukan untuk perkembangan janin dan untuk pertumbuhan ibu itu sendiri yang masih dalam usia remaja. Apabila kebutuhan besi yang tinggi ini tidak terpenuhi maka dapat
meningkatkan risiko anemia pada ibu muda dan bayinya
sebesar 68% (Unniceff, 2007). Berdasarkan hasil penlitian, anemia pada balita ditemukan lebih besar pada kelompok usia ibu yang lebih muda, yaitu 15-19 tahun (Habte dkk, 2013). Ibu yang berusia < 20 tahun memiliki hubungan yang signifikan baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan dengan kejadian anemia pada balita (Leal dkk, 2011). Al-Qaoud dkk (2014) menemukan bahwa umur ibu yang kurang dari 30 tahun cenderung memiliki anak yang anemia dibandingkan dengan ibu yang lebih tua. Hasil penelitian ini juga berkorelasi dengan pengalaman ibu serta kualitas pengasuhan anak. Namun, berdasarkan penelitian di Brazil, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anemia pada balita dengan usia ibu (Konstantyner dkk, 2012)
21
D. Sosiodemografi 1. Jumlah Keluarga Berdasarkan hasil penelitian, balita dengan jumlah keluarga yang besar 1,96 kali berisiko mengalami anemia. Jumlah keluarga secara bermakna dikaitkan dengan tingginya prevalensi anemia adalah ukuran keluarga besar (> 6 anggota). Pada penelitian ini, setengah dari subjek anemia memiliki saudara kandung yang usianya tidak jauh berbeda dalam satu rumah. Makanan pokok di lokasi penelitian ini adalah beras, sedangkan makanan yang memiliki kandungan besi lebih tinggi seperti kacang-kacangan dan produk daging dikonsumsi lebih sedikit serta biasanya tidak tersedia. Meskipun distribusi pangan dalam rumah tangga tampaknya sama, laki-laki dewasa dari keluarga cenderung untuk mendapatkan lebih banyak manfaat daripada anak-anak karena normanorma budaya. Penduduk disini menganggap makanan selain nasi adalah lauk, dan mereka tidak mempertimbangkan jumlah tertentu yang diperlukan untuk setiap anggota keluarga (Kounnavong dkk, 2011). Hal ini didukung oleh hasil berbagai penelitian lainnya yaitu jumlah keluarga > 5 juga memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia (Leite dkk, 2013; Guatema dkk, 2014). Penelitian di India juga menemukan bahwa prevalensi anemia berhubungan signifikan dengan jumlah keluarga yang besar. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dari anggota keluarga pada anakanak karena kesibukan mereka. Akibatnya anak-anak tidak mendapatkan perhatian untuk makanan dan nutrisi yang tepat (Baranwal dkk, 2014).
22
Jumlah anggota keluarga yang besar dan banyaknya anak-anak (lebih dari 3) memiliki hubungan yang positif terhadap anemia. Pada negara berkembang hal ini dapat dihubungkan dengan buruknya akses ke perawatan antenatal dan nutisi saat kehamilan (Al-Qaoud dkk, 2014). 2. Tempat Tinggal Wilayah tempat tinggal merupakan penggolongan unit wilayah administrasi yang terkecil yaitu desa/kelurahan dimana seseorang bertempat tinggal dan dibedakan menjadi wilayah perkotaan dan perdesaan. Perkotaan adalah suatu wilayah administrasi setingkat desa/ kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Perdesaan
adalah
status
suatu
wilayah
administrasi
setingkat
desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan (BPS, 2010). Hasil penelitian mengatakan bahwa wilayah pedesaan/rural lebih berisiko untuk menimbulkan anemia (Foote dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014). Penelitian di Lao menemukan tingginya prevalensi anemia khususnya pada anak-anak yang jumlah anggota keluarganya banyak dan tinggal di desa terpencil dimana prevalensi stunting juga tinggi, kemiskinan, sulitnya akses ke sumber pangan dan rendahnya pengetahuan tentang sumber pangan gizi yang baik (Kounnavong dkk, 2011). Menurut Ngui dkk (2012) status sosioekonomi memiliki dampak terhadap status gizi anak-anak di daerah pedesaan. Penelitian di Brazil menemukan bahwa tempat tinggal memiliki hubungan yang signifikan terhadap anemia (p: 0,004) (Konstantiyer dkk,
23
2012). Konstantiyer dkk (2012) menjelaskan meskipun berbeda dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, anak-anak yang berusia kurang dari 24 bulan yang tinggal di daerah perkotaan berisiko tinggi mengalami anemia. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh migrasi penduduk dari desa ke kota dalam dekade baru-baru ini. Akibatnya penduduk hidup dalam kondisi miskin di kota besar dan juga terjadi perubahan gaya hidup di daerah perkotaan seperti moderenisasi, banyaknya industri makanan, menurunnya kesadaran dan pengetahuan kebutuhan makanan balita serta ketiadaan pengasuhan yang diberikan orang dewasa.
Hal ini
mengakibatkan kualitas hidup dan kesehatan populasi di wilayah perkotaan khususnya di kota bersiko karena adanya perubahan gaya hidup dan mudahnya akses terhadap makanan hasil olahan indutri. Namun penelitian di Papua New Ginea tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dengan kejadian anemia (Shinoda dkk, 2012).
E. Kerangka Teori Bagan 2. 1 Kaerangka Teori Jumlah keluarga
Ketahanan Pangan
Pendidikan Ibu
Jenis makanan
Status gizi
Praktik pemberian makan
Pekerjaan Ibu
Praktik mengasuh balita
Imunisasi DPT Infeksi Pemberian Vitamin A
Defisiensi besi
Eritropoesis Mobilisasi besi
Kekurangan nutrisi
Tempat tinggal
Hemolisis
Anemia Berat badan lahir rendah
Anemia maternal
Perdarahan
Pertumbuhan yang cepat
Umur balita
Jenis kelamin Umur ibu
Malaria
Sumber : (Hensbroek dkk, 2010; Habte dkk, 2013; Abbie dkk, 2013; Uniceff, 2007; Kounnavong dkk, 2011; Pita dk, 2014; Alzain, 2012; Shaw dan Friedman, 2011; Semba dan Bloem, 2013) 24
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPRASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep Penelitian ini akan meneliti karakteristik balita dan faktor maternas serta sosiodemografi dengan anemia. Bagan 3. 1 Kerangka Konsep Karakteristik Balita 1. Jenis kelamin 2. Umur balita 3. Berat badan lahir 4. Riwayat malaria 5. Status gizi a. BB/U b. TB/U c. BB/TB 6. Status pemberian vitamin A 7. Status imunisasi DPT
Status Anemia
Faktor Maternal 1. Pendidikan ibu 2. Pekerjaan ibu 3. Umur ibu Sosiodemografi 1. Jumlah keluarga 2. Tempat tinggal
25
B. Definisi Oprasional
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara dan Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
1
Status anemia
Hasil pengukuran kadar hemoglobin dengan menggunakan darah kapiler, cutof point anemia mengacu pada standar kadar hemoglobin balita usia 6-59 bulan (WHO,2008)
Pengukuran menggunakan alat Hemocue
1. Tidak anemia : hb 11 gr/dL 2. Anemia : <11 gr/dL
Ordinal
2
Jenis Kelamin
Jenis kelamin anak berdasarkan pengakuan dari pendamping saat wawancara
Wawancara menggunakan kuesioner
1. Perempuan 2. Laki-laki
Nominal
3
Umur balita
Jumlah bulan kehidupan balita terhitung Wawancara sejak tanggal lahir hingga kegiatan menggunakan kuesioner wawancara dilakukan berdasarkan atau observasi dokumen kalender Masehi dengan pembulatan ke bawah
4
Berat badan lahir
Berat badan yang ditimbang dalam kurun Observasi dengan waktu 24 jam setelah bayi lahir melihat catatan/dokumen berat badan lahir
1. Tidak BBLR : ≥2500 gram 2. BBLR : <2500 gram
Ordinal
5
Riwayat penyakit malaria
Pernah didiagnosis menderita Malaria yang sudah dipastikan dengan pemeriksaan darah oleh tenaga kesehatan
1. Tidak 2. Ya, < 12 bulan saat wawancara
Ordinal
Wawancara menggunakan kuesioner
Usia dalam Bulan
Rasio
26
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara dan Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
(dokter/ perawat/ bidan) 6
Status gizi balita berdasark an indikator BB/U
Status gizi pada balita yang diukur berdasarkan berat badan dan umur kemudian angka berat badan setiap balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO tahun 2005
Wawancara menggunakan kuesioner dan timbangan digital merek Fesco
1. Gizi buruk : Zscore <-3,0 2. Gizi kurang : Zscore -3,0 s/d Zscore < -2,0 3. Gizi baik : Zscore -2,0 s/d 2,0 4. Gizi Lebih : Zscore >2,0
Ordinal
7
Status gizi balita berdasark an indikator BB/U
Status gizi pada balita yang diukur berdasarkan tinggi badan dan umur kemudian tinggi berat badan setiap balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO tahun 2005
Wawancara menggunakan kuesioner dan alat pengukur tinggi/panjang badan multifungsi
1. Sangat pendek : Zscore <3,0 2. Pendek : Zscore -3,0 s/d Zscore < -2,0 3. Normal : Zscore -2,0 s/d 2,0 4. Tinggi : Zscore >2,0
Ordinal
8
Status gizi balita berdasark an indikator BB/U
Status gizi pada Balita yang diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badan kemudian angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO tahun 2005
Timbangan digital merek 1. Sangat kurus : Zscore <-3,0 Fesco dan alat pengukur 2. Kurus : Zscore ≥-3,0 s/d tinggi/panjang badan Zscore <-2,0 multifungsi 3. Normal : Zscore ≥-2,0 s/d Zscore ≤ 2,0 4. Gemuk : Zscore >2,0
Ordinal
27
Cara dan Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
No
Variabel
Definisi Operasional
9
Status pemberian vitamin A
Status pemberian kapsul vitamin A pada anak dalam 6 bulan terakhir saat wawancara dilakukan
Wawancara menggunakan kuesioner
1. Ya 2. Tidak
Ordinal
10
Status imunisasi DPT
Status pemberian imunisasi DPT 1, DPT 2, dan DPT 3
Observasi cacatan imunisasi atau Wawancara menggunakan kuesioner
1. Lengkap : 3 kali imunisasi DPT 2. Tidak lengkap : <3 kali imunisasi DPT 3. Tidak diberikan imunisasi DPT
Ordinal
11
Pendidika n ibu
Status pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh ibu dari balita
Wawancara menggunakan kuesioner
1. 2. 3. 4. 5.
Ordinal
12
Pekerjaan ibu
Status pekerjaan ibu balita atau kegiatan terbanyak yang dilakukan ibu balita baik di rumah maupun di luar rumah dan memperoleh penghasilan/imbalan.
Wawancara menggunakan kuesioner
1. Bekerja 2. Tidak bekerja
13
Umur ibu
Jumlah tahun yang dihitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir berdasarkan
Wawancara menggunakan kuesioner
Tamat perguruan tinggi Tamat SMA/Sederajat Tamat SMP Tamat SD Tidak memiliki ijazah
Usia dalam tahun
Nominal
Rasio
28
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara dan Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
kalender Masehi dengan pembulatan ke bawah 14
Jumlah keluarga
Jumlah semua orang yang bertempat tinggal di suatu rumah tangga sudah ≥6 bulan atau < 6 bulan, tetapi berniat tinggal hingga ≥6 bulan termasuk pembantu rumah tangga, sopir, tukang kebun yang tinggal dan makan di rumah majikannya
Wawancara menggunakan kuesioner
15
Tempat tinggal
Klasifikasi tempat tinggal anak saat Wawancara wawancara dilakukan sudah ≥6 bulan menggunakan kuesioner atau < 6 bulan, tetapi berniat tinggal hingga ≥6 bulan. Penetuan daerah perkotaan atau perkotaan sesuai dengan catatan penggolongan kota/desa pada form RKD13.BANGSEN
1. <5 anggota keluarga 2. 5 anggota keluarga
Ordinal
1. Desa 2. Kota
Ordinal
29
30
C. Hipotesis 1. Adanya hubungan antara kejadian anemia balita dengan karakteristik balita (umur balita, jenis kelamin balita, berat bayi lahir, status gizi, status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013. 2. Adanya hubungan antara kejadian anemia balita dengan faktor maternal (pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan usia ibu) dan faktor sosiodemografi (jumlah keluarga dan tempat tinggal) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013.
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Desain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain cross sectional. Desain penelitian ini mengikuti desain penelitian Riskesdas. Penelitian ini merupakan analisis lanjutan dengan memanfaatkan data Riskesdas tahun 2013 untuk meperoleh penjelasan awal mengenai faktorfaktor yang berhubungan dengan anemia pada Balita di Indonesia tahun 2013.
B. Waktu dan lokasi penelitian Riskesdas 2013 dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2013. Selanjutnya, data Riskesdas yang dimanfaatkan peneliti akan dianalisis pada bulan April hingga Juni 2015.
C. Populasi dan Sampel Penelitian 1.
Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang berusia 1259 bulan dari setiap rumah tangga di Indonesia yang terpilih sebagai responden Riskesdas tahun 2013 tingkat nasional. Adapun jumlah balita tersebut adalah 986 balita sebagai unit analisis. Sedangkan responden dalam penelitian ini adalah wanita berusia 10-54 tahun yang berjumlah 884
31
32
2. Sampel a. Sampel Riskesdas Pada survei Riskesdas tahun 2013, pengukuran kadar hemoglobin merukapan data biomedis sehingga untuk perhitungan sampel menggunakan estimasi nasional dengan melakukan penarikan sampel dua tahap berstrata dan subsampel dari estimasi provinsi. Tahapan dari metode ini diuraikan sebagai berikut (Kemenkes RI, 2013) : 1) Tahap pertama, memilih 250 kabupaten/kota secara probability proportional to size with replacement (PPS WR). Metode ini memanfaatkan
informasi
jumlah
rumah
tangga
perkabupaten/kota hasil SP 2010 sebagai ukuran (size) yang dijadikan sebagai dasar peluang dalam pemilihan sampel. Dari hasil penarikan sampel, jumlah realisasi sampel yang efektif (effective sample size) sebanyak 177 kabupaten/kota. 2) Tahap kedua, dari setiap kabupaten/kota terpilih, dilakukan pemilihan blok sensus (BS) secara systematic sampling dari daftar BS sampel Riskesdas Modul MDG’s. Dengan demikian, BS terpilih Modul Biomedis merupakan subsampel dari BS yang digunakan dalam Modul Provinsi sejumlah 1000 BS. Rumah tangga yang menjadi sampel dalam Riskesdas Modul Biomedis adalah sebanyak 25 rumah tangga yang terpilih pada Modul Provinsi di BS sampel Modul Biomedis.
33
b. Sampel penelitian Jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah semua sampel penelitian yang terkumpul dalam Riskesdas 2013, yaitu balita yang berusia 12-59. Akan tetapi, balita sebagai unit analisis belum memiliki pemahaman yang cukup untuk menjawab pertanyaan di lembar kuesioner, maka ibu dari setiap balita tersebut yang menjadi responden dalam penelitian ini. Untuk keperluan analisis dalam penelitian ini, peneliti hanya menganalisis balita termuda yang dimiliki oleh responden. Berikut adalah kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini : 1) Kriteria inklusi Wanita 10-54 tahun yang memiliki balita termuda berusia 12-59 bulan. 2) Kriteria eksklusi a) Responden tidak melengkapi jawaban kuesioner atau terdapat data variabel yang diteliti pada balita dalam dataset tidak lengkap (missing) maka akan dikeluarkan (drop out). b) Terdapat nilai ekstrimitas yang tinggi pada variabel numerik. Variabel yang kemungkinan terdapat nilai ekstrimitas yaitu variabel status anemia dengan standar dari WHO tahun 2008 dan variabel status gizi dengan standar buku saku antropometri tahun 2010.
34
Setelah menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi, jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 4. 1 Jumlah Sampel Penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16
Variabel Status Anemia Jenis Kelamin Balita Usia Balita Berat Badan Lahir Riwayat Malaria Status gizi BB/U Status gizi BB/U Status gizi BB/U Pemberian vitamin A Imunisasi DPT Pendidikan Ibu Pekerjaan Ibu Usia Ibu Jumlah Keluarga Tempat Tinggal
Jumlah (n) 884 884 884 842 883 868 848 841 852 836 884 884 884 884 884
Missing 0 0 0 42 1 16 36 43 32 48 0 0 0 0 0
Perhitungan sampel dilakukan kembali untuk memperoleh nilai kekuatan uji dan derajat kemaknaan yang sesuai dengan besar sampel penelitan ini. Hal ini karena penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis. Oleh karena itu, rumus perhitungan besar sampel minimal yang digunakan adalah uji beda dua proporsi, pada data survei maka harus dikalikan dengan efek desain (design effect/deff). Efek desain merupakan perbandingan (rasio) antara varians yang diperoleh pada pengambilan sampel secara kompleks dengan varians yang diperoleh jika pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Oleh karena itu, rumus perhitungan besar sampel sebagai berikut:
35
Z1-α/2 2P(1-P)+Z1-β P1 (1-P1 )+ P2 (1-P2 ) n= P1 - P 2 2
2
x 𝑑𝑒𝑓𝑓
Keterangan: N
: Jumlah sampel minimal
Zα
: Nilai Z pada derajat kemakanaan α Digunakan nilai Z pada derajat kemakanaan α sebesar 5% (Zα=1,96)
Zβ
: Nilai Z pada kekuatan uji 1-β Digunakan nilai Z pada kekuatan uji 1-β dengan β sebesar 80% (0,84)
P1
:Proporsi anemia pada
kelompok 1 yang bersumber dari
kepustakaan/ penelitian sebelumnya P2
:Proporsi
anemia
pada
kelompok
2
yang
bersumber
dari
kepustakaan/ penelitian sebelumnya P
: Proporsi total = (P1+P2)/2
deff : 2 Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus tersebut diketahui bahwa dengan jumlah sampel sebesar 884, proporsi anemia pada laki-laki dan perempuan secara berturut-turut sebesar 0,65 dan 0,35 (Habte dkk, 2013) sehingga derajat kemaknaan yang diperoleh adalah sebesar 5% dengan kekuatan uji sebesar 96%.
D. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Riskesdas tahun 2013. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara observasi data yang
36
diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Indonesia. E. Pengukuran Variabel Penelitian 1. Variabel status anemia Pengukuran kadar Hemoglobin dalam Riskesdas tahun 2013 dilakukan di lapangan dengan menggunakan alat Hemocue dan dilakukan oleh tenaga analis/perawat serta didampingi oleh dokter pendamping. Penggunaan instumen ini telah dilakukan uji validitas terlebih dahulu. 2. Variabel jenis kelamin balita Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok IV dengan kode B4K4. Enumerator Riskesdas tahun 2013 menentukan jenis kelamin berdasarkan observasi langsung dan kartu keluarga serta bertanya langsung pada responden. 3. Variabel usia balita Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok IV dengan kode B4K7BLN Riskesdas 2013. Usia ditanyakan langsung pada responden dan dihitung dengan pembulatan ke bawah berdasarkan kalender masehi. . Enumerator Riskesdas 2013 melakukan probing melalui dokumen atau catatan kelahiran/akte kelahiran dan kartu pengenal seperti KTP, SIM, dan sebagainya ketika responden tidak mengetahui usianya dengan pasti atau lupa.
37
4. Variabel berat badan lahir Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas 2013 dengan melihat catatan atau dokumen berat lahir anak dengan menanyakan pada responden. 5. Variabel riwayat malaria Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas 2013 dengan kode A09 dan A10. Pertanyaan A09 adalah apakah anak anda pernah di diagnosis malaria oleh tenaga medis dengan pilian dalam satu bulan terakhir, dua belas bulan terakhir atau tidak pernah. Kemudian kode A10 merupakan pertanyaan jenis malaria yang ditemukan apabila pernah terdiagnosis malaria yaitu malaria tropicana (P. falciparum), malaria tertiana (P. vivax) dan malaria lainnya. 6. Variabel Status gizi Untuk pengukuran berat badan Riskesdas 2013 menggunakan timbangan digital merek Fesco dengan ketepatan 0,1 kg. Tinggi badan diukur menggunakan alat ukur tinggi badan multifungsi dengan kapasitas ukur dua meter dan ketelitian 0,1 cm. Alat ukur tersebut dikalibrasi setiap hari. Kemudian untuk menentukan status gizi berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005. 7. Varibel status pemberian vitamin A Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas 2013 dengan kode Ja27. Pertanyaan yang ditanyakan pada responden
38
adalah apakah anak anda mendapat kapsul vitamin A dengan menunjukkan kartu peraga. 8. Variabel status imunisasi DPT Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas 2013 dengan cara observasi dokumen imunisasi kemudian mencatat tanggal imunisasi DPT 1 sampai 3. 9. Variabel pendidikan ibu Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok IV dengan kode B4K8. Enumerator Riskesdas menanyakan langsung pada responden terkait pendidikan apa yang terakhir kali ditamatkan responden. 10. Variabel pekerjaan ibu Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga Riskesdas 2013 pada blok 4 dengan kode B4K9 dan B4K10. B4K9 memuat pertanyaan terkait status pekerjaan responden yang ditujukan pada responden yang berusia ≥10. Sedangkan, B4K10 memuat pertanyaan tentang status pekerjaan utama bagi yang menjawab ―bekerja‖ pada B4K9. Jenis pekerjaan yang diukur adalah PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD, pegawai swasta, wiraswasta, petani, nelayan, buruh, dan lainnya, apabila tidak termasuk dalam kode 1 s/d 6. 11. Variabel usia ibu Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga Riskesdas 2013 pada blok IV dengan kode B4K7THN. Usia ditanyakan langsung pada responden dan dihitung dengan pembulatan ke bawah atau
39
ulang tahun yang terakhir berdasarkan kalender masehi. . Enumerator Riskesdas 2013 melakukan probing melalui dokumen atau catatan kelahiran/akte kelahiran dan kartu pengenal seperti KTP, SIM, dan sebagainya ketika responden tidak mengetahui usianya dengan pasti atau lupa 12. Variabel jumlah keluarga Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga Riskesdas 2013 pada blok IV pertanyaan BR2R. jumlah anggota rumah tangga ditanyakan langsung pada responden. 13. Variabel tempat tinggal Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga Riskesdas 2013 pada blok I dengan kode B1R5. Penentuan desa atau kotamengikuti dari hasil sensus penduduk tahun 2010 (SP2010). F. Manajemen Data Berikut beberapa kegiatan manajemem data yang dilakukan peneliti setelah menerima dataset Riskesdas tahun 2013 sebelum data dianalisis lebih lanjut: 1. Filter (menyaring data) Peneliti menyaring data yang tidak dibutuhkan dalam penelitian. Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi pertanyaan pada kuesioner Riskesdas 2013 yang berkaitan dengan kejadian anemia Balita berdasarkan hasil penelitian-peelitian sebelumnya. Berikut adalah variabel yang dibutuhkan dalam penelitian ini :
40
Tabel 4. 2 Variabel dan Kuesioner No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Variabel Status Anemia Pendidikan Ibu Pekerjaan Ibu Usia Ibu Jumlah Keluarga Tempat Tinggal Jenis Kelamin Balita Usia Balita Berat Badan Lahir Riwayat Malaria Status gizi
12 13
Pemberian vitamin A Imunisasi DPT
Kode Variabel O01-02 B4K8 B4K9, B4K10 B4K7THN BR2R B1R5 B4K4 B4K7BLN JA01,JA02 A09,A10 K01A, K01B, K02A, K02B JA27 JA20C_K2, JA20D_K2, JA20E_K2, JA21H
Kuesioner RKD13.IND RKD13.RT RKD13.RT RKD13.RT RKD13.RT RKD13.RT RKD13.RT RKD13.RT RKD13.IND RKD13.IND RKD13.IND RKD13.IND RKD13.IND
2. Cleaning (pembersihan data) Peneliti memeriksa data dengan cara dilakukan tabulasi frekuensi dari masing-masing variabel independen (faktor maternal, sosiodemografi, dan karakteristik Balita,) dan variabel dependen (status anemia). Kemudian, secara otomatis software pengolah data akan menampilkan nilai missing. Setiap variabel yang memiliki nilai missing akan ditinjau kembali untuk kemudian dihilangkan missing data dengan memanfaatkan menu select data pada software sehingga dapat terseleksi secara otomatis. Setelah dilakukan tabulasi frekuensi faktor maternal dan sosiodemografi tidak ditemukan missing data. Namun, pada faktor karakteristik Balita ditemukan missing data pada variabel berat badan lahir, riwayat penyakit malaria, status gizi, status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT. Setelah itu, penghilangan dilakukan pada masing-masing variabel yang
41
ditemukan missing data sehingga ketika melakukan analisis, jumlah sampel pada tiap variabel berbeda. Jumlah sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1. 3. Recoding (Pengkodean ulang) Peneliti membuat kode baru atau pengkodean ulang pada beberapa variabel yang membutuhkan perubahan tetentu sesuai kebutuhan penelitian. Beberapa variabel numerik yang dikategorikan membutuhkan kode baru yaitu variabel status anemia, jumlah keluarga, usia ibu, usia Balita dan berat badan lahir. Kemudian variabel lainnya yang membutuhkan pengkodean ulang yaitu pekerjaan ibu dan pendidikan ibu. Pengkodean ulang disesuaikan dengan definisi oprasional penelitian agar memudahkan dalam analisis data. Tabel 4.5 menjelaskan pengkodean yang dilakukan peneliti. Tabel 4. 3 Pengkodean Ulang Data Penelitian No. 1
2
Variabel Status Anemia
Kode Awal Data Numerik (gram/dL)
Pendidikan 1. Tidak Ibu sekolah/belum pernah sekolah 2. Tidak tamat SD/MI 3. Tamat SD/MI 4. Tamat SLTP/MTs 5. Tamat SLTA/MA 6. Tamat D1, D2, D3 7. Tamat
1. 2. 1. 2. 3. 4. 5.
Kode Akhir Tidak anemia : hb 11 gr/dL Anemia : <11 gr/dL Tamat perguruan tinggi Tamat SMA/Sederajat Tamat SMP Tamat SD Tidak memiliki ijazah
Keterangan Kategorisasi data numeric Penggabungan kategori tidak sekolah (5) dan tidak tamat SD/MI (2) menjadi satu kategori, yaitu ―tidak memiliki ijazah‖ (5) Penggabungan kategori tamat D1, D2, D3 (6) dengan kategori tamat perguruan tinggi (7) menjadi ―tamat perguruan tinggi‖ (1)
42
No.
Variabel
3
Usia Ibu
4
Jumlah Keluarga Usia Balita
5
6
Berat badan lahir
7
Riwayat penyakit malaria
Kode Awal Kode Akhir perguruan tinggi Data numerik 1. 45-54 tahun (tahun) 2. 35-44 tahun 3. 25-34 tahun 4. 15-24 tahun Data Numerik 1. <5 anggota keluarga 2. 5 anggota keluarga (individu) Data Numerik 1. 47-59 (bulan) 2. 36-47 3. 24-35 4. 12-23 Data Numerik 1. Tidak BBLR : ≥2500 gram (gram) 2. BBLR : <2500 gram 1. Ya, dalam ≤ 1 bulan saat wawancara dilakukan 2. Ya, dalam > 1 bulan sampai < 12 bulan saat wawancara 3. Tidak
1. Tidak 2. Ya, < 12 bulan saat wawancara
Keterangan Kategorisasi data numerik
Kategorisasi data numeric Kategorisasi data numerik
Kategorisasi data numeric
Penggabungan kategori Ya, dalam ≤ 1 bulan saat wawancara dilakukan (1) dan Ya, dalam > 1 bulan sampai < 12 bulan saat wawancara (2) menjadi ―ya, , < 12 bulan saat wawancara (1). Perubahan kategori tidak (3) menjadi ―tidak (2)‖.
4. Compute Peneliti membuat variabel baru dari beberapa variabel yang ada pada data sesuai dengan kebutuhan penelitian yaitu variabel indikator status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) yang terdiri dari variabel berat badan, tinggi badan dan usia balita serta variabel. Variabel status imunisasi DPT dengan mengobservasi catatan tanggal imunisasi DPT 1 sampai 3
43
kemudian membuat variabel baru jumlah sampel melakukan imunisasi DPT. Tabel 4. 4 Variabel Baru dalam Data Penelitian No. 1
2
Variabel Status gizi balita
Imunisasi DPT 1, 2, 3
Data Awal Data numerik BB : kilogram TB : sentimeter Usia : bulan
Variabel Baru A. Indikator BB/U 1. Gizi buruk : Zscore <-3,0 2. Gizi kurang : Zscore -3,0 s/d Zscore < -2,0 3. Gizi baik : Zscore -2,0 s/d 2,0 4. Gizi Lebih : Zscore >2,0
Keterangan A. Status gizi berdasarkan berat badan dan usia setiap balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005
B. Status gizi berdasarkan Tinggi badan dan usia setiap balita dikonversikan ke dalam nilai B. Indikator TB/U terstandar (Zscore) 1. Sangat pendek : menggunakan baku Zscore <-3,0 antropometri anak balita 2. Pendek : Zscore WHO 2005 3,0 s/d Zscore < 2,0 C. Status gizi berdasarkan berat 3. Normal : Zscore badan dan tinggi badan setiap 2,0 s/d 2,0 balita dikonversikan ke dalam 4. Tinggi : Zscore nilai terstandar (Zscore) >2,0 menggunakan baku antropometri anak balita C. Indikator BB/TB WHO 2005 1. Sangat kurus : Zscore <-3,0 2. Kurus : Zscore ≥3,0 s/d Zscore <2,0 3. Normal : Zscore ≥2,0 s/d Zscore ≤ 2,0 4. Gemuk : Zscore >2,0 Tanggal Status imunisasi DPT Ketegori tidak lengkap apabila imunisasi DPT 1. Lengkap : 3 kali balita tidak diberikan imunisasi 1, 2, 3 imunisasi DPT DPT, kategori tidak lengkap 2. Tidak lengkap : <3 apabila balita hanya diberikan 1 kali imunisasi DPT sampai 2 kali imunisasi DPT dan 3. Tidak diberikan ketegori lengkap apabila balita imunisasi DPT diberikan 3 kali imunisasi DPT
44
G. Analisis Data Data penelitian yang sudah dikumpulkan dan diolah kemudian dianalisis. Analisis yang dilakukan ada dua macam, yaitu analisis univariat dan bivariat. Analisis
data
dilakukan
dengan
mengggunakan
program
komputer,
yaitu software komputer khusus untuk uji statistik. 1. Univariat Analisis
univariat
digunakan
untuk
menyajikan
dan
mendeskripsikan karakteristik dari setiap variabel dependen yaitu prevalensi anemia dengan variabel independen seperti karakterisrik balita yaitu berat badan lahir, riwayat malaria dan jenis malaria yang diderita, status gizi (berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB), status pemberian vitamin A serta Status imunisasi DPT. Faktor maternal yaitu pendidikan ibu, pekerjaan ibu (status dan jenis pekerjaan) dan rata-rata usia ibu. Kemudian faktor sosiodemografi yaitu jumlah keluarga, dan tempat tinggal. Hasil analisis univariat berupa distribusi frekuensi atau persentase dan disajikan dalam bentuk tabel. 2. Bivariat Analisis
bivariat
digunakan
untuk
membuktikan
hipotesis
penelitian. Semua variabel dependen dan independen pada penelitian ini berbentuk kategorik, maka analisis bivariat yang digunakan adalah dengan membuat tabel silang antara variabel dependen (status anemia) dan variabel independen seperti karakterisrik balita yaitu berat badan lahir, status gizi (berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB), status pemberian vitamin A serta Status imunisasi DPT. Faktor maternal yaitu
45
pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan kategori usia ibu. Kemudian faktor sosiodemografi yaitu jumlah keluarga dan tempat tinggal. Pada variabel usia balita dikelompokan kembali menjadi 2 kategori yaitu usia 12-35 bulan dan usia 36-59 bulan. Kemudian variabel status gizi dikelompokan
menjadi
underweight,
stunting
dan
wasting.
Pengelompokan status gizi tersebut berdasarkan nilai zscore <-2 pada masing-masing indikator. Untuk mengetahui adanya kemaknaan hubungan antara dua variabel maka dilihat berdasarkan odds ratio (OR) dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) yang diperoleh dari uji chi square. Hasil analisis akan disajikan dalam bentuk tabel yang memuat persentase, nilai OR dan 95% CI.
46
BAB V HASIL
A. Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013 Hasil penelitan menemukan bahwa prevalensi anemia pada balita di Indonesia mencapai 31,56% dan disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5. 1 Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013 Status Anemia Anemia Tidak Anemia Jumlah
Frekuensi (n) 279 605 884
Persentase (%) 31,56 68,44 100
B. Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 Karakteristik balita yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu jenis kelamin, umur balita, status berat badan lahir, riwayat penyakit malaria, status gizi, status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui
distribusi kejadian anemia
berdasarkan
karakteristik balita dan dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5. 2 Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 Variabel Jenis Kelamin 1. Perempuan 2. Laki-laki Jumlah
Anemia n (%)
Status Anemia Tidak Anemia n (%)
132 (47,31) 147 (52,69) 279 (100,00)
312 (51,57) 293 (48,43) 605 (100,00)
47
Variabel
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n (%) n (%)
Umur Balita 1. 48-59 Bulan 2. 36-47 Bulan 3. 24-35 Bulan 4. 12-23 Bulan Jumlah
69 (24,73) 50 (17,92) 81 (29,03) 79 (28,32) 279 (100,00)
220 (36,36) 180 (29,75) 124 (20,49) 81 (13,40) 605 (100,00)
Status Berat Badan Lahir 1. Tidak BBLR 2. BBLR Jumlah
211 (79,62) 54 (20,38) 265 (100,00)
545 (94,45) 32 (5,55) 577 (100,00)
Riwayat Penyakit Malaria 1. Tidak 2. Ya Jumlah
276 (98,92) 3 (1,08) 279(100,00)
598 (99,00) 6 (1,00) 604 (100,00)
0 (0,00) 2 ( 66,67) 1 (33,33) 0 (0,0) 3 (100,00)
2 (33,33) 2 (33,33) 1 (16,67) 1 (16,67) 6 (100,00)
Status Gizi Balita (BB/U) 1. Gizi Lebih 2. Gizi Baik 3. Gizi Kurang 4. Gizi buruk Jumlah
1 (0,37) 221 (80,07) 44 (15,94) 10 (3,62) 276 (100,00)
14 (2,36) 440 (74,32) 112 (18,93) 26 (4,39) 592 (100,00)
Status Gizi Balita (TB/U) 1. Tinggi 2. Normal 3. Pendek 4. Sangat pendek Jumlah
6 (2,25) 158 (59,18) 70 (26,22) 33 (12,35) 267(100,00)
9 (1,55) 389 (66,95) 108 (18,59) 75 (12,91) 581 (100,00)
Status Gizi Balita (BB/TB) 1. Gemuk 2. Normal 3. Kurus 4. Sangat kurus Jumlah
8 (3,01) 235 (88,68) 16 (6,01) 6 (2,30) 265 (100,00)
36 (6,25) 487 (84,55) 37 (6,42) 16 (2,78) 576 (100,00)
Status Pemberian Vitamin A 1. Ya 2. Tidak pernah Jumlah
199 (73,70) 71 (26,30) 270 (100,00)
438 (75,26) 144 (24,74) 582 (100,00)
Jenis Malaria 1. Vivax 2. Falcifarum 3. Falcifarum dan Vivax 4. Lainnya Jumlah
48
Variabel Status Imunisasi DPT 1. Lengkap 2. Tidak lengkap 3. Tidak Diberikan Jumlah
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n (%) n (%) 198 (73,06) 34 (12,55) 39 (14,39) 271 (100,00)
449 (79,47) 67 (11,86) 49 (8,67) 565 (100,00)
Berdasarkan Tabel 5.2, anemia lebih banyak terjadi pada anak laki-laki (52,7%) dan paling banyak terjadi pada kelompok umur 24-35 bulan (29%). Meskipun begitu, proporsi pada masing-masing kelompok umur hampir terdistribusi sama besar. Kemudian sebagian besar balita dengan anemia tidak memiliki riwayat BBLR (79,6%) dan riwayat penyakit malaria (98,9%). Berdasarkan status gizi BB/U, anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan gizi baik (80%) hanya 3,6% yang memiliki status gizi buruk. Begitupun dengan status gizi berdasrkan TB/U dan BB/TB, anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan tinggi normal (59,2%) dan berat normal (88,7%). Selain itu, anemia juga lebih banyak terjadi pada balita yang diberikan vitamin A setiap 6 bulan sekali ( 73,7%) dan memiliki status imunisasi DPT lengkap (73%). C. Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Faktor Maternal dan Faktor Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 Tabel 5.3 menjelaskan distribusi kejadian anemia berdasarkan faktor maternal dan sosiodemografi ibu. Faktor maternal yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu pendidikan, pekerjaan, jenis pekerjaan dan umur ibu sedangkan sosiodemografi yang dianalisis yaitu jumlah keluarga, serta tempat tinggal.
49
Tabel 5. 3 Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Faktor Maternal dan Faktor Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 Variabel
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n (%) n (%)
Pendidikan Ibu 1. Tamat perguruan tinggi 2. Tamat SMA/Sederajat 3. Tamat SMP 4. Tamat SD 5. Tidak memiliki ijazah Jumlah
11 (3,94) 72 (25,81) 72 (25,81) 87 (31,18) 37 (13,26) 279 (100,00)
36 (5,95) 178 (29,42) 136 (22,48) 177 (29,26) 78 12,89) 605 (100,00)
Pekerjaan Ibu 1. Bekerja 2. Tidak bekerja Jumlah
105 (37,64) 174 (62,36) 279 (100,00)
209 (34,55) 396 (65,45) 605 (100,00)
Jenis Pekerjaan Ibu 1. PNS/TNI/Polri/BUMD/ BUMN 2. Pegawai swasta 3. Wiraswasta 4. Petani/nelayan/buruh 5. Lainnya Jumlah
3 (2,81) 14 (13,08) 23 (21,49) 58 (54,21) 9 (8,41) 107 (100,00)
9 (4,31) 28 (13,40) 56 (26,79) 91 (43,54) 25 (11,96) 209 (100,00)
Umur Ibu 1. 45-54 tahun 2. 35-44 tahun 3. 25-34 tahun 4. 15-24 tahun Jumlah
7 (2,51) 85 (30,46) 136 (84,75) 51 (18,27) 279 (100,00)
19 (3,14) 189 (31,24) 325 (53,71) 72 (11,91) 605 (100,00)
2. 5 anggota keluarga Jumlah
222 (79,57) 57 (20,43) 279 (100,00)
472 (78,02) 133 (21,98) 605 (100,00)
Tempat Tinggal 1. Desa 2. Kota Jumlah
139 (49,82) 140 (50,18) 279 (100,00)
262 (43,30) 343 (56,70) 605 (100,00)
Jumlah Keluarga 1. <5 anggota keluarga
50
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa hanya 4% balita anemia yang memiiki ibu dengan pendidikan tamat perguruan tinggi. Meskipun begitu, proporsi balita yang anemia hampir terdistribusi sama besar pada tiap jenjang pendidikan yang ditamatkan ibu. Selain itu, 37,64% ibu yang bekerja memiliki balita yang mengalami anemia dan sebagain besar bekerja sebagai petani/nelayan/buruh (54,2%). Kemudian anemia balita lebih banyak terjadi pada ibu dengan kelompok umur 25-34 tahun (84,7%) dan pada jumlah anggota keluarga <5 (79,5%). Begitupun berdasarkan tempat tinggal, sebanyak 50,18% balita anemia tinggal di kota. D. Hubungan Kejadian Anemia dengan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 Tabel 5.4 menunjukkan hubungan antara kejadian anemia dengan karakteristik balita. Pada variabel riwayat penyakit malaria tidak dilakukan analisis bivariat karena hampir seluruh balita tidak memiliki riwayat malaria (homogen). Kemudian pada variabel status gizi BB/U dikelompokan menjadi normal dan berat kurang, dan pada variabel status gizi TB/U juga dikelompokan menjadi normal dan stunting. Begitu juga pada variabel status gizi BB/TB dikolpokan menjadi normal dan kurus. Tabel 5. 4 Hubungan Kejadian Anemia dengan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 Variabel Jenis Kelamin 1. Perempuan 2. Laki-laki Jumlah
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n (%) n (%) 132 (47,31) 147 (52,69) 279 (100,00)
312 (51,57) 293 (48,43) 605 (100,00)
OR (95% CI)
1,00 (Reference) 1,18 (0,89 - 1,57)
51
Variabel
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n (%) n (%)
OR (95% CI)
Umur Balita 1. 36-59 Bulan 2. 12-35 Bulan Jumlah
119 (42,63) 160 (57,37) 279 (100,00)
400 (66,10) 205 (33,90) 605 (100,00)
1,00 (Reference) 2,62 (1,96-3,50)
Status Berat Badan Lahir 1. Tidak BBLR 2. BBLR Jumlah
211 (79,62) 54 (20,38) 265 (100,00)
545 (94,45) 32 (5,55) 577 (100,00)
1,00 (Reference) 4,36 (2,74 -6,94)
Status Gizi Balita (BB/U) 1. Normal 2. Berat kurang Jumlah
222 (80,47) 54 (19,53) 276 (100,00)
454 (76,76) 138 (23,24) 592 (100,00)
1,00 (Reference) 0,80 (0,56- 1,14)
Status Gizi Balita (TB/U) 1. Normal 2. Stunting Jumlah
164 (61,38) 103 (38,72) 267(100,00)
389 (68,50) 183 (31,50) 581 (100,00)
1,00 (Reference) 1,36 (1, 01-1,85)
Status Gizi Balita (BB/TB) 1. Normal 2. Kurus Jumlah
243 (91,66) 22 (8,34) 265 (100,00)
523 (90,79) 53 (9,21) 576 (100,00)
1,00 (Reference) 0,89 (0,53-1,50)
Status Pemberian Vitamin A 1. Ya 2. Tidak pernah Jumlah
199 (73,70) 71 (26,30) 270 (100,00)
438 (75,26) 144 (24,74) 582 (100,00)
1,00 (Reference) 0,92 (0,66-1,28)
Status Imunisasi DPT 1. Lengkap 2. Tidak lengkap 3. Tidak Diberikan Jumlah
198 (73,06) 34 (12,55) 39 (14,39) 271 (100,00)
449 (79,47) 67 (11,86) 49 (8,67) 565 (100,00)
1,00 (Reference) 1,15 (0,74-1,79) 1,80 (1,15-2,84)
Hubungan antara kejadian anemia dengan karakteristik balita dilihat berdasarkan odds rasio dan 95% CI yang diperoleh dari uji chi square. Hasil analisis menemukan bahwa risiko anemia pada anak laki-laki ditemukan sedikit lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan namun secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan kejadian anemia OR 1,18 (95%CI 0,89 - 1,57). Kemudian berdasarkan umur balita,
52
terjadi peningkatan risiko pada kelompok umur balita yang lebih muda (12-35 bulan) sebesar 2,62 kali dibandingkan kelompok umur 36-59 bulan dan secara statistik ditemukan hubungan yang signifikan antara kejadian anemia dengan umur balita (95% CI 1,96-3,50). Begitupun dengan balita yang BBLR berisiko 4,36 lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan balita yang tidak BBLR (95%CI 2,74-6,94). Berdasarkan status gizi balita, hanya status gizi berdasarkan indikator TB/U yang secara statistik ditemukan adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia OR 1,36 (95% CI 1, 01-1,85), sedangkan berdasarkan BB/U (95% CI 0,56- 1,14) dan BB/TB (95% CI 0,53-1,50) tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia. Begitupun antara kejadian anemia dan status pemberian vitamin A secara statistik juga tidak ditemukan hubungan yang signifikan (5% CI 0,66-1,28). Namun berdasarkan status imunisasi DPT, terjadi peningkatan risiko anemia pada balita yang memiliki status imunisasi DPT tidak lengkap (OR 1,15) dan semakin meningkat pada balita yang tidak diberikan imunisasi DPT (OR 1,80) meskipun hanya pada kategori tidak diberikan imunisasi DPT yang ditemukan berhubungan dengan anemia secara statistik (95% CI 1,15-2,84). E. Hubungan Kejadian Anemia dengan Faktor Maternal dan Faktor Sosiodemografi pada Balita di Indonesia Tahun 2013
Tabel 5.5 menunjukkan hasil analisis bivariat antara kedanian anemia dengan faktor maternal dan sosiodemografi. Pada variabel pekerjaan ibu, hanya menganalisis status pekerjaan saja sedangkan jenis pekerjaan hanya dilakukan analisis univariat.
53
Tabel 5. 5 Hubungan Kejadian Anemia dengan Faktor Maternal dan Faktor Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 Variabel
Status Anemia Anemia Tidak Anemia n (%) n (%)
OR (95% CI)
Pendidikan Ibu 1. Tamat perguruan tinggi 2. Tamat SMA/Sederajat 3. Tamat SMP 4. Tamat SD 5. Tidak memiliki ijazah Jumlah
11 (3,94) 72 (25,81) 72 (25,81) 87 (31,18) 37 (13,26) 279 (100,00)
36 (5,95) 178 (29,42) 136 (22,48) 177 (29,26) 79 12,89) 605 (100,00)
1,00 (Reference) 1,32 (0,64-2,74) 1,73 (0,83-3,60) 1,69 (0,78-3,31) 1,55 (0,71-3,89)
Pekerjaan Ibu 1. Bekerja 2. Tidak bekerja Jumlah
106 37,64) 174 (62,36) 279 (100,00)
209 (34,55) 396 (65,45) 605 (100,00)
1,00 (Reference) 0,87 (0,65-1,17)
Umur Ibu 1. 45-54 tahun 2. 35-44 tahun 3. 25-34 tahun 4. 15-24 tahun Jumlah
7 (2,51) 85 (30,46) 136 (84,75) 51 (18,27) 279 (100,00)
19 (3,14) 189 (31,24) 325 (53,71) 72 (11,91) 605 (100,00)
1,00 (Reference) 1,22 (0,295-3,01) 1,14 (0,47-2,76) 1,92 (0,75-4,91)
2. 5 anggota keluarga Jumlah
222 (79,57) 57 (20,43) 279 (100,00)
472 (78,02) 133 (21,98) 605 (100,00)
1,00 (Reference) 0,91 (0,64-1,29)
Tempat Tinggal 1. Kota 2. Desa Jumlah
139 (49,82) 140 (50,18) 279 (100,00)
262 (43,30) 343 (56,70) 605 (100,00)
1,00 (Reference) 1,30 (0,98-1,72)
Jumlah Keluarga 1. <5 anggota keluarga
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa balita dengan ibu yang hanya menamatkan pendidikan SMP memiliki risiko paling besar (OR 1,73) menderita anemia dibandingkan jenjang pendidikan lainnya dan risikonya semakin menurun apabila semakin tinggi tingkat pendidikan ibu. Meskipun demikian, secara
54
statistik tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kejadian anemia dengan pendidikan ibu. Begitupun dengan status pekerjaan ibu tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia (95% CI 0,65-1,17). Kemudian terjadi peningkatan risiko yang signifikan antara anemia balita dengan umur ibu, kelompok umur ibu 15-24 tahun memiliki risiko paling besar (OR 1,92) dibandingkan dengan kelompok umur ibu yang lebih tua. Namun kejadian anemia secara statistik tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan umur ibu pada setiap kelompok umur. Kemudian berdasarkan sosiodemografi ibu, tidak ada perbedaan risiko yang signifikan antara jumlah anggota keluarga <5 dan 5 dengan kejadian anemia (OR 0,91). Berdasarkan tempat tinggal juga tidak ditemukan adanya perbedaan risiko yang signifikan antara desa dan kota dengan kejadian anemia balita (OR 1,3) dan tidak ditemukan adanya hubungan antara tempat tinggal dengan kejadian anemia (95% CI 0,98-1,72).
BAB VI PEMBAHASAN
F. Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini terdapat keterbatasan
penelitian
dan
beberapa kelemahan
berpengaruh
terhadap
yang menjadi
hasil
penelitian.
Keterbatasan penelitian tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pada penelitian ini, beberapa variabel yang berhubungan langsung dengan anemia seperti praktik pengasuhan dan konsumsi makanan tidak di analisis karena tidak tersedia dalam dataset Riskesdas 2013. 2. Penelitian ini menggunakan data Riskesdas tahun 2013 dimana ada beberapa pengukuran variabel yang berpotensi bias informasi karena dilakukan dengan metode wawancara yaitu pada pengukuran pemberian vitamin A. Bias pada pengukuran pemberian viatamin A dapat disebabkan karena responden diharuskan untuk mengingat apakah anaknya diberikan kapsul vitamin A setiap 6 bulan sekali. Namun untuk memudahkan responden dibantu dengan kartu peraga. Selain itu bias informasi juga dapat terjadi pada pengukuran status imunisasi DPT, apabila responden tidak dapat menunjukkan dokumen/kartu imunisasi maka responden harus mengingat kembali riwayat imunisasi balita. Pengukuran riwayat penyakit
55
56
malaria juga berpotensi bias informasi karena hanya berdasarkan hasil wawancara tanpa validasi pencatatan diagnosis penyakit tersebut. Namun untuk meminimalisir bias informasi maka dilakukan pertanyaan ulangan (probing). Selain itu penggunaan instrumen penelitian telah diuji validitas dan reliabilitasnya. 3. Analisis pada beberapa karakteristik individu tidak dilakukan pada setiap sampel penelitian yaitu pada variabel berat badan lahir dimana responden tidak memiliki atau tidak dapat menunjukkan dokumen cacatan kelahiran balita. Selain itu, terdapat beberapa balita yang tidak dilakukan pengukuran antropometri. Pada variabel riwayat penyakit malaria, pemberian vitamin A dan imunisasi DPT juga tidak dilakukan analisis pada beberapa sampel karena responden tidak mengetahui atau tidak dapat mengingat jawaban variabel tersebut. Jumlah sampel yang dapat dianalisis dijelaskan pada Tabel 4.1. Selain itu, Penelitian ini juga terbatas hanya pada balita termuda yang dimiliki oleh responden.
G. Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013 Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan konsentrasi hemoglobin di dalam sirkulasi darah, sehingga kapasitas oksigen tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis (WHO,2014). Hasil penelitian menemukan bahwa prevalensi anemia pada balita di Indonesia mencapai 31,56%. Hasil survei prevalensi anemia di Indonesia lainnya pada tahun 2006 menemukan anemia balita sebesar 26,3%. Pada penelitian ini, penentuan status anemia menggunakan pengukuran kadar hemoglobin berdasarkan usia 6-59 bulan. Balita dikatakan mengalami anemia
57
apabila hasil pengukuran kadar hemoglobin <11 gr/dl (WHO,2008). Hemoglobin merupakan bagian yang ada di dalam sel derah merah, oleh sebab itu anemia dapat didiagnosis melalui pengukuran kadar hb (Enger dkk, 2007). Prevalensi anemia balita di Indonesia pada penelitian ini ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian di Brazil (51,2%)
dan di
Banglades (40,9%) (Leite dkk, 2013; Uddin dkk, 2010). Meskipun prevalensi anemia di Indonesia tidak termasuk masalah kesehatan masyarakat yang berat, namun berdasarkan hasil survei sebelumnya telah terjadi peningkatan prevalensi anemia pada penelitian ini. Selain itu, populasi pada penelitian ini adalah balita berusia 12-59 bulan. Berbeda dengan penelitian lainnya yang menemukan prevalensi anemia tinggi karena populasi dalam penelitian tersebut adalah balita yang berusia 6-59 bulan. Seperti diketahui bahwa balita berusia >12 bulan berisiko anemia lebih besar sehingga hasil penelitian dengan populasi balita berusia 6-59 bulan berpeluang menemukan prevalensi lebih tinggi (Habte dkk, 2013; Santos dkk 2011). Secara teori, anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu gangguan pembentukan eritrosit, perdarahan dan hemolisis. Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (A, B12, asam folat), asam amino, serta gangguan pada sumsum tulang. Kemudian perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel darah merah dalam sirkulasi darah yang menyebabkan anemia serta hemolisis yaitu proses penghancuran eritrosit (Hensbroek dkk, 2010).
58
Anemia dapat mengakibatkan jaringan tubuh terutama otak kekurangan asupan oksigen. Pada anak-anak di bawah usia lima tahun kekurangan oksigen ke jaringan otak dapat mengakibatkan menurunnya fungsi kognitif, menghambat pertumbuhan dan perkembangan psikomotorik (Santos, 2011). Hasil ekperimen pada hewan percobaan juga membuktikan bahwa hewan yang anemia mengalami penurunan aktivitas spontan (Booth dan Auket, 1997). Selain itu, anemia juga berpengaruh pada sistem kekealan tubuh balita, sehingga balita yang anemia akan mudah terserang penyakit infeksi (Sanou dan Ngnie-Teta, 2012). The American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan melakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) setidaknya satu kali pada usia 9-12 bulan dan diulang 6 bulan kemudian pada usia 15-18 bulan atau pemeriksaan tambahan setiap 1 tahun sekali pada usia 2-5 tahun. Pemeriksaan tersebut dilakukan pada populasi dengan risiko tinggi seperti bayi dengan kondisi prematur, berat lahir rendah, riwayat mendapat perawatan lama di unit neonatologi, dan anak dengan riwayat perdarahan, infeksi kronis, etnik tertentu dengan prevalensi anemia yang tinggi, mendapat asi ekslusif tanpa suplementasi, mendapat susu sapi segar pada usia dini, dan faktor risiko sosial lainnya (Kumar, 2001). Dengan demikian, diharapkan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah agar dapat membuat suatu program skrining untuk mendeteksi anemia pada balita. Hal ini bertujuan untuk melalukan diteksi dini terhadap anemia dan faktor risikonya, khususnya pada balita sehingga penanggulangan dapat segera dilakukan.
59
H. Gambaran Kejadian Anemia Berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 1. Jenis Kelamin Balita Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi anemia pada anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan. Konsistensi hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil survei nasional di Brazil dan di Ghana yang menemukan bahwa anemia paling banyak terjadi pada anak laki-laki (Leite dkk, 2013; Ewusie dkk, 2014). Penelitian lainnya di Haiti juga menemukan hal yang sama bahwa anemia terjadi sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki di bandingkan dengan anak perempuan (Ayoya dkk, 2013). Begitupun dengan penelitian Santos dkk (2011) juga menemukan prevalensi anemia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Berdasarkan konsistensi hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa anemia cenderung terjadi pada anak laki-laki.
2. Usia Balita Berdasarkan karakteristik usia, proporsi balita anemia lebih banyak ditemukan pada usia 24-35 bulan sedangkan proporsi balita yang tidak anemia anemia lebih banyak ditemukan pada usia 48-59 bulan. Beberapa hasil penelitian lainnya juga menemukan hal yang serupa. Proporsi balita anemia paling banyak terjadi pada kelompok usia ≤35 bulan (Leite dkk, 2013; Ewusie dkk, 2014; Santos dkk, 2011). Begitupun dengan penelitian Santos dkk (2011) yang menemukan bahwa prevalensi anemia balita semakin tinggi pada kelompok usia yang lebih muda. Berdasarkan
60
konsistensi hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa anemia balita cenderung terjadi pada usia ≤35 bulan.
3. Berat Badan Lahir Berat badan lahir pada penelitian ini diukur berdasarkan dokumen catatan kelahiran, hasil analisis pada penelitian ini menemukan bahwa proporsi anemia lebih bayak ditemukan pada balita yang tidak BBLR. Namun pada proporsi tidak anemia, mayoritas balita tidak memiliki riwayat BBLR. Hasil ini juga sesuai dengan hasil survei pada balita pribudi di Brazil yang menemukan bahwa proporsi anemia pada balita BBLR dan tidak BBLR sama besar (Leite dkk, 2013). Penelitian Lofoz dkk (2012) juga menemukan bahwa balita anemia cenderung memiliki riwayat BBLR.
4. Riwayat Penyakit Malaria Riwayat penyakit malaria berdasarkan hasil diagnosis dokter yang dikumpulkan melalui wawancara. Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, 98,9% balita yang anemia tidak memiliki riwayat penyakit malaria. Hal ini dimungkinkan karena daerah endemis malaria di Indonesia hanya sebesar 15% yaitu provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku (Riskesdas, 2013). Pada dasarnya, malaria merupakan penyumbang utama anemia di dunia (Shaw dan Frieman, 2011). Malaria memiliki hubungan yang kuat dengan peningkatan prevalensi anemia karena mekanisme penghancuran sel darah merah oleh parasit plasmodium. Penyebab anemia pada penderita
61
malaria disebabkan karena parasit menempati sel darah merah sehingga membuat sel hemolisis. Malaria berat disertai dengan defisit glukosa-6fosfat dehidrogenase (G6PDD) sangat berisiko memperparah hemolisis (Hussein dan Mohammed, 2014). Penelitian di Ethiopia tidak menemukan hubungan antara anemia dan infeksi malaria. Hal ini dikarenakan rendahnya prevalensi malaria di area penelitian (Gutema dkk, 2014). Namun penelitian pada balita di wilayah rural di Kenya menemukan 32,5% balita anemia terinfeksi malaria (Foote dkk, 2013).Penelitian di Sudan juga menemukan sebagian besar balita terkena beberapa serangan malaria pada tahun sebelum tanggal penelitian. Hal ini disebabkan karena Sudan merupakan wilayah endemis malaria (Hussein dan Mohammed, 2014). Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa sebesar sebesar 66,7% balita yang memiliki riwayat penyakit malaria Tropicana/ falcifarum menderita anemia. Berbagai spesies Plasmodium menyebabkan malaria, namun P. falciparum adalah yang paling sering menimbulkan anemia pada anak-anak. Bertentangan dengan anemia defisiensi besi yang berkembang perlahan, P. falciparum menyebabkan anemia berat dan mendalam dalam waktu hanya 48 jam setelah demam. Plasmodium lain juga berkontribusi terhadap malaria termasuk P. vivax dan P malaria namun tidak separah P. falciparum (Sanou dan Ngnie-Teta, 2012) Menurut teori, infeksi Plasmodium sp. menjadi infeksi yang dominan
secara
signifikan
meningkatkan risiko
anemia.
menurunkan Semakin
kadar berat
hemogoblin
infeksinya
dan
semakin
62
berdampak pada rendahnya level hemoglobin. Siklus hidup parasit plasmodium meningkatkan hemolisis sel darah merah secara langsung atau pada proses inflamasi cytokine sehingga pada individu yang terinfeksi, proses produksi sel darah merah yang baru tidak akan mencukupi untuk mengganti sel darah yang rusak (Green dkk, 2011).
5. Status Gizi Balita Status gizi balita dihitung berdasarkan indikator usia, berat badan dan tinggi badan menggunakan alat timbangan digital dan alat pengukur tinggi badan. Kemudian angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005 sehingga terdapat 4 kategori pada masing-masing indikator. Berdasarkan hasil analisis status gizi BB/U, anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan gizi baik hanya 3,6% yang memiliki status gizi buruk. Begitupun dengan status gizi berdasrkan TB/U dan BB/TB, anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan tinggi normal dan berat normal. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di Maroko yang menemukan distribusi balita anemia lebih banyak memiliki status gizi yang baik (Houi, 2008). Begitupun dengan hasil penelitian sebelumnya di wilayah Indonesia juga menemukan hal yang serupa, hanya sebagian kecil balita anemia yang memiliki status gizi buruk, sangat pendek dan sangat kurus (Howard dkk, 2007; Semba dkk, 2008). Namun hasil penelitian lainnya menemukan bahwa distribusi
63
anemia lebih banyak pada balita yang stunting dan kurus (Foote dkk, 2013; Shinoda dkk, 2012).
6. Status Pemberian Vitamin A Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anemia lebih banyak terjadi pada balita yang diberikan vitamin A setiap 6 bulan sekali. Hasil ini serupa dengan penelitian sebelumnya di Indonesia yang menemukan bahwa 55,9% anemia ditemukan pada balita yang mendapat suplementasi vitamin A (Sougandis dkk, 2012). Berbeda dengan hasil penelitian di Kenya menemukan bahwa 75,9% anemia terjadi pada balita yang defisiensi vitamin A (Foote dkk, 2013). Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan karena perbedaan pengukuran, penelitian di Kenya mengukur defisiensi vitamin A berdasarkan kadar retinol di plasma darah sedangkan penelitian ini hanya mengukur status pemberian vitamin A setiap 6 bulan sekali. Secara teori, defisiensi vitamin A berpotensi menyebabkan anemia yang disebabkan infalamasi kronis karena vitamin A berperan dalam imunitas (Semba, 2008). Selain itu vitamin A juga berperan penting dalam eritropoesis yang menghasilkan hemoglobin (Balarajan dkk, 2011).
7. Status Imunisasi DPT Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi anemia lebih banyak terjadi pada balita yang diberikan imunisasi DPT lengkap. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian di Ethiopia yang menemukan bahwa anemia lebih banyak terjadi pada balita yang tidak mendapatkan imunisasi
64
DPT (Habtde dkk, 2013). Namun apabila dibandingkan dengan antara proporsi anemia dan tidak anemia, pada balita yang tidak berikan imunisasi DPT cenderung mengalami anemia lebih besar. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Ozkaya dkk (2013) yang menemukan bahwa anemia lebih banyak terjadi pada balita yang tidak memiliki imunisasi DPT lengkap.
D. Gambaran Kejadian Anemia Berdasarkan Faktor Maternal dan Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 1. Pendidikan Ibu Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa hanya 4% balita anemia yang memiiki ibu dengan pendidikan tamat perguruan tinggi. Meskipun begitu, proporsi balita yang anemia hampir terdistribusi sama besar pada tiap jenjang pendidikan yang ditamatkan ibu. Hal ini dapat diartikan bahwa balita yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung tidak mengalami anemia. Hasil ini juga diperkuat dengan temuan bahwa ibu yang tingkat pendidikan formalnya <6 tahun cenderung memiliki balita yang anemia (84,9%) (Ngui dkk, 2012). Begitupun dengan hasil penelitian lainnya di Indonesia, proporsi anemia balita paling banya ditemukan pada ibu yang pendidikannya hanya 1-6 tahun (Suganidia dkk, 2012). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar anemia balita terjadi ketika memiliki ibu yang hanya lulus SMP. Hasil penelitian lainnya juga menemukan bahwa sebagian besar anemia balita memiliki ibu dengan tingkat pendidikan terbawah (Al-Qoud dkk, 2014).
65
2. Pekerjaan Ibu Analisis pekerjaan berdasrkan status pekerjaan ibu dan jenis pekerjaan ibu. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 37,64% ibu yang bekerja memiliki balita yang mengalami anemia dan sebagain besar bekerja sebagai petani/nelayan/buruh. Hasil ini juga sesuai dengan temuan di Maroko, pada balita anemia lebih banyak ditemukan pada ibu yang bekerja kasar./buruh (Houi dkk, 2008). Penelitian cross-sectional di wolayah Ghana juga menemukan bahwa pada ibu yang bekerja, proporsi anemia balita sebagian besar terjadi pada ibu yang bekerja sebagai petani/pedagang/pemgrajin (Vanbuskirk dkk, 2014) Selain itu penelitian di Cuba juga menemukan proporsi anemia balita hanya sebesar 34,6% pada ibu yang bekerja (Pita dkk, 2014). Begitupun dengan penelitian di Kuwait, proporsi anemia pada ibu yang bekerja ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan iu yang tidak bekerja (Al-qaoud dkk, 2014). Sejalan dengan hasil penelitian lainnya, proporsi anemia balita lebih banyak ditemukan pada ibu yang bekerja di luar rumah (Kounnavong dkk, 2011). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anemia cenderung terjadi pada ibu yang tidak bekerja. 3. Usia Ibu Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi anemia balita mayoritas terjadi pada ibu dengan usia 25-34 tahun. Hasil penelitian lainnya justru menemukan proporsi anemia terbanyak yaitu pada ibu usia 15-19 tahun (Habte dkk, 2013). Penelitian sebelumnya di wilayah perkotaan Indonesia juga menemukan sebesar 27% anemia balita memiliki
66
ibu berusia 25-28 tahun (Semba dkk, 2008). Penelitian lainnya di Indonesia justru menemukan bahwa proporsi anemia balita paling besar pada kelompok usia ≤24 tahun (Souganidis dkk, 2012). Penelitian AlQaoud dkk (2014) menemukan bahwa usia ibu yang kurang dari 30 tahun cenderung memiliki anak yang anemia dibandingkan dengan ibu yang lebih tua. Perbedaan hasil penelitian dimungkinkan karena karateristik ibu pada penelitian ini mayoritas adalah berusia 25-34 bulan.
4. Jumlah Keluarga Hasil penelitian menemukan bahwa sebagian besar anemia balita ditemukan pada jumlah anggota keluarga <5 orang. Penelitian Al-Qaoud dkk (2014) juga menemukan hasil yang sama. Namun hal ini berbeda dengan hasil berbagai penelitian lainnya yang menemukan bahwa anemia balita lebih banyak terjadi pada jumlah keluarga >5 (Leite dkk, 2013; Guatema dkk, 2014; Kounnavong dkk, 2011). Penelitian di India juga menemukan bahwa prevalensi anemia cenderung terjadi pada keluarga yang besar. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dari anggota keluarga pada anak-anak karena kesibukan mereka. Akibatnya anak-anak tidak mendapatkan perhatian untuk makanan dan nutrisi yang tepat (Baranwal dkk, 2014). Perbedaan hasil ini mungkin dikarenakan mayoritas proporsi jumlah keluarga pada penlitian ini berjumlah <5 anggota keluarga. Hal ini mungkin juga disebabkan karena pemerintah di Indonesia memiliki program untuk menekan laju pertumbuhan penduduk yaitu dengan melakukan program keluarga berencana (KB). Program KB menganjurkan
67
hanya memiliki 2 anak saja. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, penduduk yang melakukan KB sebesar 597%, sehingga kemungkinan berdampak pada karakteristik jumlah keluarga di Indonesia yang berjumlah 4 anggota keluarga termasuk ayah dan ibu serta 2 orang anak.
5. Tempat Tinggal Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi anemia balita 50,18% tinggal di wilayah pedesaan. Hail ini menunjukkan bahwa proporsi anemia balita baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan tidak berbeda. Hasil penelitian lainnya juga menemukan hal yang sama, 51,6% balita anemia tinggal di desa (Habte dkk, 2013). Hasil penelitian juga mengatakan bahwa anemia terjadi di wilayah pedesaan/rural sebesar 62,4% (Foote dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014). Begitupun dengan hasil penelitian sebelumnya di Indonesia menemukan bahwa 18,3% anemia ditemukan di wilayah perkotaan dan 15,5% anemia ditemukan di wilayah pedesaan (Sougandini, 2012). Penelitian lainnya di Indonesia juga menemukan prevalensi anemia balita di wilayah pedesaan sebesai 56,1% dan di wilayah perkotaan sebesar 58,7% (Howard dkk, 2007; Semba dkk, 2008). Dapat disimpulkan bahwa anemia dapat terjadi dimana saja dan tidak bergantung pada karakteristik tempat tinggal.
68
E. Hubungan Kejadian Anemia Berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia Tahun 2013 1. Jenis Kelamin Balita Jenis
kelamin
merupakan
karakteristik
yang
tidak
dapat
dimodifikasi dan selalu ada pada individu. Berdasarkan hasil penelitian, risiko anemia pada anak laki-laki ditemukan sedikit lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan (OR 1,18 ) dan secara statistik tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian anemia (95%CI 0,89 - 1,57). Dapat dikatakan bahwa anemia dapat terjadi baik pada anak laki-laki maupun perempuan dan tidak terdapat perbedaan risiko yang signifikan antara anak laki-laki dan perempuan. Umumnya anak laki-laki lebih berisiko terhadap anemia (Alzain, 2012). Pada anak laki-laki rentan mengalami defisiensi zat besi dibanding anak perempuan karena pertumbuhan yang lebih cepat pada bulan-bulan pertama kehidupan (Pita dkk, 2014). Helmyati dkk (2007) menjelaskan bahwa pertambahan berat bayi laki-laki lebih cepat dibandingkan dengan bayi perempuan, akibatnya zat besi yang dimiliki lebih cepat terpakai untuk proses pertumbuhan pada bayi laki-laki. Besi merupakan zat yang dibutuhkan dalam pembentukan hemoglobin dalam sel darah merah, khususnya pada saat pembentukan heme (Sembulingan, 2012). Anemia dapat terjadi apabila seseorang kekurangan zat besi. Hal ini disebabkan karena besi merupakan inti atom molekul hemoglobin, seseorang yang mengalami defisisensi zat besi tidak dapat mencukupi kebutuhan produksi hemoglobin. Oleh sebab itu mereka
69
dapat mengalami anemia meskipun jumlah sel darah merahnya normal (Enger dkk, 2007). Teori tersebut juga didukung oleh hasil dari beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa anak laki-laki ditemukan memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita anemia daripada anak perempuan (OR: 1,215 (1,083, 1,362) p-value <0.001 (Ngesa dan Mwambi, 2014). Penelitian lain juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara anemia dengan jenis kelamin balita (95% CI 48,9-52,0) (Habte dkk, 2013). Meskipun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, namun ada pendapat yang menyebutkan bahwa pada anakanak terjadi kebutuhan besi yang cukup tinggi untuk pertumbuhan mereka, tetapi mereka tidak dapat mengatur pola makannya sendiri. Sehingga anak-anak menjadi rentan terhadap anemia baik itu pada anak laki-laki maupun perempuan (Santos dkk, 2011). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian di Papua New Ginea yang juga tidak menemukan hubungan secara statistik antara jenis kelamin balita dengan anemia (Shinoda dkk, 2012). Penelitian lainnya juga tidak menemukan hubungan antara anemia dan jenis kelamin (Kumar dkk, 2014; Ewusie dkk, 2014). Selain itu, hasil analisis univariat pada penelitian ini juga menemukan bahwa anemia cenderung terjadi pada anak laki-laki. Oleh karena itu, disarankan kepada peneleiti selanjutnya untuk melakukan penelitian kembali antara jenis kelamin dengan anemia, namun peneliti dapat mengkontrol faktor lain yang dapat mempengaruhi.
70
2. Usia balita Usia merupakan faktor risiko seseorang untuk terkena anemia. Menurut WHO (2008) anemia dapat terjadi pada seluruh tahap kehidupan manusia namun lebih berisiko terjadi pada balita dan ibu hamil. Hasil penelitian menemukan bahwa terjadi peningkatan risiko pada kelompok usia balita yang lebih muda (12-35 bulan) sebesar 2,62 kali dibandingkan kelompok usia 36-59 bulan dan secara statistik ditemukan hubungan yang signifikan antara kejadian anemia dengan usia balita (95% CI 1,96-3,50). Hasil penelitian ini telah memenuhi kriteria kausalitas Hill dengan menunjukkan kekuatan hubungan secara statistik. Hubungan antara usia balita dengan kejadian anemia dalam penelitian ini terlihat pada distribusi masing-masing kelompok anemia dan tidak anemia. Sebanyak 57,4% dari kelompok anemia adalah balita berusia 12-35 bulan. Sedangkan hanya 34% dari kelompok tidak anemia yang berusia 12-35 bulan. Berdasarkan kemampuan alat pencernaan dan juga kebutuhan gizinya, balita terbagi menjadi dua, yaitu balita yang berusia 12-35 bulan dan balita berusia 36-60 bulan. Pada anak balita yang berusia 12-35 bulan bisa disebut sebagai konsumen pasif karena hanya menerima makanan dari pengasuhnya, sedangkan pada balita 36-60 bulan adalah konsumen aktif karena dapat menentukan makanan dalam variasi yang berbeda sesuai keinginannya (Prikasih dan Suganti, 2009). Dapat disimpulkan bahwa anemia pada balita 12-36 bulan kemungkinan juga disebabkan karena praktik pemberian makanan dari orangtua.
71
Pendapat lain mengatakan bahwa balita yang memiliki usia lebih tua umumnya memiliki tingkat toleransi yang lebih baik terhadap makanan yang mengandung besi serta peningkatan kekebalan tubuh sehingga terlindungi dari penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia (Habte dkk,
2013).
Andriana
dan
Sumarmi
(2006)
menjelaskan
pada
penelitiannya di Sidoarjo bahwa pada usia 12–23 bulan merupakan masa peralihan antara penyusuan dan makanan dewasa serta masa yang paling kritis karena adanya bahaya ketidakcukupan gizi dan penyakit infeksi pada balita. Selain itu, pada masa di atas satu tahun anak-anak memerlukan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya, sehingga balita rentan mengalami anemia terutama anemia gizi. Hasil pada penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian lainnya yang menemukan hubungan yang signifikan antara anemia dengan umur balita, Leal dkk (2011) menemukan bahwa balita usia 6-24 bulan lebih berisiko anemia baik pada wilayah urban [OR 2,4 (95% CI 1.922.94)] maupun wilayah rural [OR 3.0 (95% CI 2.46-3.63)]. Hasil penelitian lainnya juga menemukan hal yang sama (Ayoya dkk, 2011; Foote dkk, 2013). Kelompok umur dibawah 24 bulan berisiko 2,6 kali lebih besar mengalami anemia (p : 0,000 CI 1,7-3,8) (Assefa dkk, 2014). Pada hasil penelitian di kota Gaza Palestina, rata-rata anemia balita dalam komunitas ini terjadi pada usia 1,75 tahun. Penjelasan mengenai penurunan kadar hemoglobin pada anak-anak ini yaitu anak-anak sedang berada pada periode ledakan pertumbuhan yang cepat tetapi kebutuhan gizi untuk pembentukan sel darah merah tidak terpenuhi (Alzain, 2012).
72
Berdasarkan hasil penelitian, semakin tua umur anak maka akan memiliki efek proteksi terhadap anemia (Leite dkk, 2013). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Shinoda (2012), semakin muda umur anak maka semakin tinggi risikonya mengalami anemia. Anemia juga lebih banyak ditemukan pada anak-anak usia 12-17 bulan dibandingkan dengan anakanak usia 36-59 bulan (Singh dan Patra, 2014). Penelitian Ewusie dkk (2014) juga mengatakan bahwa prevalensi anemia pada balita usia <3 tahun ditemukan paling tinggi (95% CI 8,44-8,98). Meskipun usia balita merupakan faktor risiko anemia yang tidak bisa dimodifikasi, bukan berarti tidak dapat dilakukan upaya pencegahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang pemeriksaan anemia pada balita pada setiap kelompok usia risiko, disarankan kepada pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk dapat melakukan kegiatan skrining tersebut di Puskesmas atau Posyandu di masing-masing wilayah sebagai bagian dari kegiatan penyelenggaraan kesehatan anak.
3. Berat Badan Lahir Berat badan lahir adalah pengukuran yang dilakukan sesaat setelah bayi lahir. Standar berat badan lahir pada penelitian ini menggunakan standar dari WHO, yaitu dikatakan BBLR apabila berat lahir <2500 gram (WHO, 2015). Hasil analisis menunjukkan bahwa BBLR berhubungan dengan kejadian anemia, balita yang BBLR berisiko 4,36 lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan balita yang tidak BBLR (95% CI 2,74-6,94). Hal ini menunjukkan bahwa BBLR merupakan faktor risiko trjadinya anemia pada balita.
73
Pada dasarnya berat bayi saat lahir merupakan akibat langsung dari status kesehatan dan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan (Uniceff, 2012). Berat badan lahir berhubungan dengan faktor maternal, ibu yang mengalami anemia selama kehamilan cenderung untuk melahirkan anak dengan BBLR (Leite dkk, 2013). Anemia merupakan masalah yang sangat penting selama kehamilan karena dampak buruk yang ditimbulkan yaitu BBLR. Hal ini disebabkan karena pada ibu hamil yang anemia tidak mampu membawa nutrisi dan oksigen untuk kecukupan perkembangan janin (Uchimura dkk, 2003). Hasil penelitian di Brazil menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi hemoglobin pada balita dengan BBLR adalah 9,7 gr/dl. Selain itu, balita BBLR memiliki risiko 3,03 kali lebih besar menderita anemia. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak dengan berat lahir di bawah 2.500 gram tiga kali lebih mungkin mengalami anemia dibandingkan dengan berat lebih dari 2.500 gram (Uchimura dkk, 2003). Penelitian di Cuba pada tahun 2011 juga menemukan hubungan yang signifikan antara BBLR dan anemia yaitu OR 1.74 (95% CI 1.04–2.92) (Pita dkk, 2011). Begitupun dengan penelitan Konstantyner dkk (2012) juga menemukan hubungan antara BBLR dan anemia (95% CI 3.23-3.33). Meskipun begitu, pada penelitian lainnya tidak menemukan hubungan antara BBLR dengan kejadian anemia baik diwilayah urban OR 1.2 (0.84;1.65) maupun di wilayah rural OR 1.0 (0.66;1.38) (Leal dkk, 2011). Begitupun dengan penelitian Assis dkk (2004) juga tidak menemukan hubungan antara BBLR dan anemia (95% CI 0.82 0.49-1.37).
74
Uchimura dkk (2003) menjelaskan bahwa dalam studi berbasis populasi, BBLR dan anemia selalu berkorelasi. Berat lahir merupakan faktor yang sangat penting dalam penentuan anemia dan ketika terjadi pertumbuhan yang cepat dari seorang balita BBLR maka juga dapat terjadi anemia. Hal ini dapat dikarenakan bayi yang lahir dengan berat lahir normal memiliki simpanan besi yang lebih banyak dibandingkan bayi yang berat lahirnya kurang dari normal. Selain hal tersebut, berat bayi lahir kurang memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan bayi yang lahir dengan berat normal, sehingga simpanan besi yang mereka miliki lebih cepat habis terpakai untuk proses metabolisme dibandingkan bayi yang lahir dengan berat normal. Bayi yang BBLR mempunyai cadangan besi lebih rendah dibandingkan dengan bayi normal. Oleh sebab itu kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi BBLR mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9 bulan kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal (Helmyati dkk, 2007). Pada periode posnatal, zat besi digunakan untuk pertumbuhan, proses konsumsi dan penyerapan
besi pada periode ini sangat cepat.
Semakin cepat pertumbuhan, semakin berisiko mengalami defisiensi zat besi. Anak-anak dengan berat lahir rendah memiliki risiko lebih banyak. Pada kondisi ini mereka mulai tumbuh dengan cadangan besi yang rendah, sedangkan terjadi pertumbuhan posnatal yang cepat (Pita dkk, 2014). Berdasarkan hasil penelitian, pencegahan terhadap BBLR dapat mengurangi risiko kematian dan anemia (Pita dkk, 2014). Suplementasi
75
tablet besi merupakan salah satu cara yang bermanfaat dalam mengatasi anemia khususnya anemia akibat kekurangan zat besi. Salah satu upaya unuk mencegah terjadianya kekurangan gizi pada balita adalah yaitu dengan program taburia. Taburia merupakan suplementasi multivitamin dimana salah satu kandungannya adalah zat besi (Kemenkes, 2013). Oleh sebab itu, disarankan kepada pemerintah untuk dapat memberikan taburia kepada balita dengan faktor risiko yang tinggi seperti BBLR. Selain itu, menurut IDI (2011) balita dengan berat lahir rendah yang tidak mendapat formula yang difortifikasi besi perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan Hb sebelum usia 6 bulan. Hal tersebut dilakukan untuk menditeksi dan menanggulangi masalah anemia pada balita sehingga tidak menimbulkan dampak yang buruk.
4. Status Gizi Balita Pada penelitian ini, penentuan status gizi balita berdasarkan standar baku antropometri anak balita WHO tahun 2005. Status gizi pada balita yang diukur berdasarkan tinggi badan dan umur kemudian tinggi berat badan setiap balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore). Kemudian untuk penentuan status underweight yaitu apabila BB/U <-2 Zscore, stunting yaitu TB/U <-2 Zscore dan wasting yaitu BB/TB <-2 Zscore. Hasil penelitian menemukan bahwa stunting yang secara statistik ditemukan adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia OR 1,36 (95% CI 1, 01-1,85), sedangkan underweight (95% CI 0,56- 1,14) dan wasting (95% CI 0,53-1,50) tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia.
76
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, Ayoya dkk (2013) menemukan hubungan yang signifikan antara stunting dan anemia (95% CI 1,4-3,6), namun underweight (95% CI 0,4-2,2) dan wasting
(95% CI 0,4-3,3) tidak berhubungan secara statistik dengan
anemia. Begitupun dengan penelitian di Palesina yang hanya menemukan hubungan signifikan antara stunting dan anemia (95%CI 1.22-2.04) dan serupa dengan penelitian di Ghana, balita stunting berisiko 2 kali lebih besar mengalami anemia dan ditemukan hubungan signifikan dengan keduanya (95%CI1.03, 2.00) (Halileh dan Gordon, 2005; VanBuskirk dkk, 2014). Stunting
merupakan
kondisi
kronis
yang
menggambarkan
terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang, sedangkan wasting dan underweight merupakan hasil dari kekurangan nutrisi pada jangka waktu yang lebih pendek. Wasting dan underweight merupakan status gizi yang menggambarkan besarnya masalah gizi pada saat ini (Kemenkes, 2013). Berdasarkan hasil penelitian, hanya stunting yang berhubungan dengan kejadian anemia. Diketahui bahwa umumnya anemia dan malnutrisi biasanya muncul bersamaan, satu individu dapat mengalami masalah gizi yang kompleks (Al-Qaoud dkk, 2014). Masalah stunting berhubungan dengan 1000 hari pertama kehidupan, balita yang mengalami kekurangan gizi pada saat itu kemungkinan akan menderita masalah gizi yang kompleks termasuk anemia (Kemenkes, 2013). Defisiensi mikronutrien lainnya juga dapat meningkatkan perkembangan anemia (Oliviera dkk, 2010).
77
Pada masa balita, asupan nutrisi yang tepat dibutuhkan untuk menghambat perkembangan anemia (Gorospe dkk, 2014). Kemenkes sendiri memiliki program untuk perbaikan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan yaitu 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu, disarankan kepada pemerintah daerah untuk mendukung kegiatan tersebut dengan cara memberikan alokasi anggaran untuk mendukung program kesehatan ibu dan anak. Alokasi anggaran dapat digunakan untuk memberikan PMT pada ibu hamil kekurangan energi kronis (KEK), pemberian tablet Fe pada ibu hamil dan pemeriksaan antenatal care (ANC) untuk mencegah malnutrisi pada saat kehamilan. Pemberian suplementas zat gizi juga dapat dilakukan pada balita usia 6-59 bulan apabila berisiko tinggi anemia.
5. Status Pemberian Vitamin A Pada penelitian ini, hanya menganalisis status pemberian kapsul vitamin A setiap 6 bulan sekali yang diberikan pada balita usia 12 bulan. Hasil penelitian menemukan bahwa kejadian anemia dan status pemberian vitamin A secara statistik tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan (95% CI 0,66-1,28). Selain itu, juga tidak terdapat perbedaan risiko anemia antara balita yang mendapat kapsul vitamin A dan yang tidak mendapat kapsul vitamin A. Pada dasarnya, kekurangan vitamin A pada anak memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita anemia. Hal ini disebabkan karena asupan riboflavin yang cukup dapat mencegah infeksi saluran pernapasan atas serta faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko anemia (Gorospe dkk, 2014).
78
Survei gizi menunjukkan bahwa tingginya prevalensi defisiensi vitamin A dan anemia biasanya terjadi bersama-sama dalam populasi yang sama. Pada populasi berisiko kekurangan vitamin A, ada kemungkinan mengalami kekurangan vitamin lainnya yang dapat menyebabkan anemia. Bukti bahwa kekurangan vitamin A menyebabkan anemia yaitu melalui modulasi metabolisme besi. Vitamin A membantu mangangkut besi dari liver ke sumsum tulang untuk proses eritropoesis atau pembentukan sel darah merah. Apabila tubuh mengalami defisiensi vitamin A, maka proses eritopoesis akan terganggu dan mengakibatkan anemia. Selain itu defisiensi vitamin A juga berkontribusi menimbulkan anemia melalui kekebalan tubuh terhadap infeksi dan peningkatan anemia kronis. Namun indeks sel darah merah mungkin tidak konsisten selama anemia defisiensi vitamin A karena faktor lain, termasuk kekurangan zat besi, malaria, infeksi dan obat-obatan lainnya (Semba dan Bloem, 2002). Kekurangan vitamin A dan anemia berhubungan dengan angka kematian yang tinggi terutama pada balita (Amati dkk, 2013). Teori ini juga didukung dengan hasil penelitian lainnya yang menemukan bahwa kekurangan vitamin A berisiko 16,3 kali lebih tinggi mengalami anemia dan ditemukan hubungan yang signifikan antara keduannya (95% CI 13.6 - 19.0) (Foote dkk, 2013). Penelitian Habte dkk (2013) juga menemukan bahwa balita yang tidak diberikan vitamin A setiap 6 bulan sekali 1,24 berisiko lebih tinggi mengalami anemia dan terdapat hubungan yang signifikan antara keduanya (95% CI 1,12-1,36).
79
Meskipun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, namun hasil penelitian lainnya juga mengatakan hal yang sama. Penelitian Konstantinyer dkk (2011) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara anemia dan
vitamin A (95% CI 0.86; 3.65).
Begitupun dengan penelitian di Benin juga tidak menemukan hubungan yang signifikan antara anemia dan vitamin A (p value 0,209) ( Amati dkk, 2013). Perebedaan hasil penelitian ini dimungkinkan karena pengumpulan data vitamin A hanya berdasarkan status pemberiannya saja tanpa memperhatikan kadar retinol dalam darah. Kemungkinan dapat terjadi gangguan metabolisme penyerapan vitamin A sehingga meskipun sudah diberikan suplementasi masih berpotensi mengalami anemia.
6. Status Imunisasi DPT Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi dasar yang wajib diberikan pada bayi yang baru lahir. Imunisasi DPT berguna untuk mencegah penyakit Diphtheria, Pertusis, dan Tetanus. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko anemia pada balita yang memiliki status imunisasi DPT tidak lengkap (OR 1,15) dan semakin meningkat pada balita yang tidak diberikan imunisasi DPT (OR 1,80). Namun hanya pada balita yang tidak diberikan imunisasi DPT yang ditemukan berhubungan dengan anemia secara statistik (95% CI 1,152,84). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Ethiopia yang menyatakan bahwa pemberian imunisasi DPT dapat menurunkan risiko penyakit menular sehingga dapat menurunkan risiko anemia (Habte dkk, 2013).
80
Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit saluran pernapasan yang sangat menular. Bordetella pertussis adalah agen penyebab batuk rejan yang terjadi pada balita. Bakteri ini menempel pada selaput lendir di saluran pernapasan dan menyebabkan peradangan dalam tubuh. B. pertussis menghasilkan toksin pertusis dan endotoksin, pada kasus yang parah komplikasi seperti demam tinggi, radang otak, kejang, pneumonia dan kematian dapat terjadi (WHO, 2010). Hasil penelitian menemukan bahwa toksin yang ditimbulkan oleh B. pertussis dapat meningkatkan aktifitas hemolitik pada sel darah merah manusia. Aktifitas hemolitik menyebabkan anemia karena menyebabkan peningkatan penghancuran sel darah
merah.
Jika
penghancuran
sel
darah
merah
melebihi
pembentukannya, maka akan terjadi anemia (Bodade dkk, 2009). Berdasarkan hasil penelitian pada balita yang pernah diimunisasi meskipun tidak lengkap tidak menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik dengan kejadian anemia. Balita yang sudah pernah diimunisasi akan memiliki kekebalan tubuh lebih baik dibandingkan balita yang tidak pernah diberikan imunisasi sama sekali. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemberian imunisasi DPT dapat menurunkan risiko terinfeksi B. pertussis sehingga dapat menurunkan risiko anemia. Oleh
sebab
itu,
disarankan
kepada
pemerintah
daerah
untuk
mengoptimalkan kegiatan penyuluhan imunisasi di tingkat Puskesmas dan Posyandu dengan pemberdayaan masyarakat (kaderisasi imunisasi).
81
F. Hubungan Kejadian Anemia Berdasarkan Faktor Maternal dan Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 1. Pendidikan Ibu Pada penelitian ini, pendidikan ibu diukur berdasarkan jenjang pendidikan formal di Indonesia yang ditamatkan ibu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara statistik tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kejadian anemia dengan pendidikan ibu. Ibu yang hanya menamatkan pendidikan SMP memiliki risiko paling tinggi menderita anemia dibandingkan jenjang pendidikan lainnya dan risikonya semakin menurun apabila ibu menamatkan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Pada dasarnya tingkat pendidikan seorang ibu berpengaruh pada kesehatan anak. Ibu berperan penting dalam pengasuhan balita termasuk praktek pemberian makan. Pendidikan ibu juga dikaitkan dengan pengetahuan tentang gizi. Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Ibu dengan pendidikan yang relatif tinggi cenderung memiliki kemampuan untuk menggunakan sumber daya keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan rendah. Semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin tinggi pengetahuan tentang variasi makanan Variasi makanan digunakan untuk mencukupi kebutuhan gizi pada balita (VanBuskirk dkk, 2014). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu secara bermakna dikaitkan dengan risiko anemia pada anak-anak (p value 0,02). Ibu dengan pendidikan menengah memiliki efek proteksi
82
terhadap risiko anemia pada anak-anak mereka. Anemia berisiko 1,5 kali lebih besar pada anak-anak yang ibunya tidak sekolah dibandingkan dengan anak yang ibunya memiliki tingkat pendidikan menengah (Ngesa dan Mwambi, 2014). Hasil penelitian di Ethiopia menemukan bahwa pendidikan ibu yang tinggi memiliki efek protektif terhadap anemia balita. Hal ini disebabkan karena praktek pemberian makan dan perawatan anak yang baik oleh ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (Habte dkk, 2013). Ibu dengan pendidikan rendah akan berpengaruh kesadaran ibu tentang pemberian nutrisi dan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tidak sehat. (Assefa dkk, 2014). Hasil penelitian lainnya juga menemukan bahwa anak-anak yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah cenderung mengalami anemia defisisensi besi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki ibu dengan latar pendidikan yang tinggi (Ngui dkk, 2012). Penelitian di daerah pedesaan Malaysia juga menemukan bahwa pendidikan formal ibu yang kurang dari 6 tahun berhubungan signifikan dengan anemia balita dan meningkatkan risiko sebesar 2,52 kali (p value 0,002). Meskipun berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, namun hasil penelitian ini menemukan bahwa ibu yang tamat perguruan tinggi cenderung memiliki balita yang tidak anemia. Beberapa hasil penelitian lain juga menemukan antara anemia pada balita secara statistik tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pendidikan ibu, dalam penelitian ini pendidikan diukur berdasarkan tingkat melek huruf (Hussein
83
dan Mohamed, 2014). Penelitian di daerah pedesaan Lao juga tidak menemukan hubungan yang signifikan dengan anemia. Kemungkinan hal ini disebabkan karena variasi pendidikan yang sedikit, dalam populasi penelitian ini (Kounnavong dkk, 2011). Begitupun penelitian di Brazil juga tidak menemukan hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian anemia (Konstantyner dkk, 2012). Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan karena pendidikan ibu tidak berhubungan secara langsung dengan anemia pada balita. Hal ini karena adanya peran pengetahuan, dimana tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan seseorang, pengetahuan yang baik kemudian akan menimbulkan kesadaran. Kesadaran ibu tentang pemberian gizi yang baik pada balita (Konstantyner dkk, 2012). Oleh sebab itu, disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan kembali penelitian antara pendidikan dan anemia balita dengan mengkontrol variabel lainnya.
2. Pekerjaan Ibu Hasil penelitian menemukan bahwa antara pekerjaan ibu dengan anemia balita tidak ditemukan hubungan yang signifikan. Hasil penelitian juga ini sesuai dengan penelitian lainnya yang tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara anemia balita dengan status pekerjaan ibu (Kounnavong dkk, 2011). Hasil univariat juga menunjukkan bahwa anemia balita cenderung lebih banyak terjadi pada ibu yang tidak bekerja. Begitupun dengan hasil penelitian di Cuba menemukan bahwa balita yang
84
ibunya tidak bekerja memiliki pola makan tidak teratur. Akibatnya balita tersebut
tidak
mendapatkan
nutrisi
yang
dibutuhkan
untuk
pertumbuhannya. Pada penelitian ini, tempat penitipan anak memiliki efek proteksi terhadap kejadian anemia balita. Tempat penitipan anak biasanya akan memberikan pengasuhan yang baik dan pola makan yang seimbang (Pita dkk, 2014). Ibu yang bekerja pada pada penelitian ini cenderung memiliki balita yang tidak anemia. Hal ini bisa disebabkan karena adanya faktor lain yang menunjang ibu yang bekerja memiliki anak dengan gizi yang baik yaitu pendapatan keluarga. Dengan adanya ibu yang bekerja maka dapat menambah pendapatan keluarga sehingga mempengaruhi daya beli keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi balita. Keluarga dengan pendapatan lebih kemungkinan besar akan baik bahkan berlebihan dalam memenuhi kebutuhan makanan, sebaliknya keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dalam memenuhi kebutuhan makanan terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi (Kounnavong dkk, 2011). Berbagai hasil penelitian juga menemukan bahwa anemia berkorelasi dengan status ekonomi dimana ekonomi yang rendah berpengaruh terhadap kejadian anemia (Habte dkk, 2013; Leite dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014; Asserfa dkk, 2014; Guatema dkk, 2014).
3. Umur Ibu Berdasarkan hasil penelitian, terjadi peningkatan risiko yang signifikan antara anemia balita dengan umur ibu, kelompok umur ibu 1524 tahun memiliki risiko paling besar dibandingkan dengan kelompok
85
umur ibu yang lebih tua. Meskipun hasil penelitian ini tidak menemukan hubungan secara statistik, tetapi secara substansial usia ibu berkorelasi dengan pengalaman serta kualitas pengasuhan anak. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ibu yang lebih tua cenderung memiliki anak lebih dari satu sehingga pengetahuan dan praktik pengasuhan anak menjadi lebih baik (Konstantyner dkk, 2012). Hasil penelitian menemukan bahwa ibu yang berusia < 20 tahun memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia pada balita (Leal dkk, 2011). Al-Qaoud dkk (2014) menemukan bahwa umur ibu yang kurang dari 20 tahun cenderung memiliki anak yang anemia dibandingkan dengan ibu yang lebih tua. Disisi lain, antara usia ibu dan anemia balita juga memiliki keterikatan dengan anemia maternal. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi anemia ibu cenderung terjadi antara usia <20 tahun dan usia >35 tahun (Sugea dkk, 2001). Penelitian lainnya juga menemukan bahwa ibu yang anemia juga berisiko memiliki balita anemia 1,8 kali lebih besar (Ayoya dkk, 2013). Bayi yang lahir dari ibu yang anemia lebih besar kemungkinannya mengalami anemia juga. Hal ini disebabkan karena kebutuhan nutrisi janin pada ibu yang anemia tidak terpenuhi sehingga terjadi gangguan perkembangan (Sougandis dkk, 2012)
4. Jumlah Keluarga Hasil analisis berdasarkan sosiodemografi ibu, tidak menemukan adanya perbedaan risiko yang signifikan antara jumlah anggota keluarga <5 dan 5 dengan kejadian anemia dan secara statistik juga tidak ditemukan adanya hubungan antara jumlah keluarga dengan kejadian
86
anemia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anemia balita cenderung terjadi pada jumlah keluarga >5. Hal ini didukung oleh hasil penelitian lain mengatakan bahwa jumlah keluarga yang besar dapat menurunkan risiko anemia pada balita. Efek proteksi ini disebabkan karena semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak pendapatan yang diterima oleh keluarga tersebut (Foote, 2012). Namun, Kounnavoung (2013) memiliki pendapat yang berbeda, hasil penelitiannya menemukan bahwa balita dengan jumlah keluarga yang besar 1,96 kali berisiko mengalami anemia. Jumlah keluarga secara bermakna dikaitkan dengan tingginya prevalensi anemia adalah ukuran keluarga besar. Pada penelitian ini, setengah dari subjek anemia memiliki saudara kandung yang usianya tidak jauh berbeda dalam satu rumah (Kounnavong dkk, 2011). Penelitian di India juga menemukan bahwa prevalensi anemia berhubungan signifikan dengan jumlah keluarga yang besar. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dari anggota keluarga pada anakanak karena kesibukan mereka. Akibatnya anak-anak tidak mendapatkan perhatian untuk makanan dan nutrisi yang tepat (Baranwal dkk, 2014). Jumlah anggota keluarga yang besar dan banyaknya anak-anak memiliki hubungan yang positif terhadap anemia. Pada negara berkembang hal ini dapat dihubungkan dengan buruknya akses ke perawatan antenatal dan nutisi saat kehamilan (Al-Qaoud dkk, 2014). Selain itu pada jumlah keluarga yang besar, distribusi pangan dalam rumah tangga cenderung lebih banyak untuk laki-laki dewasa dibandingkan anak-anak karena
87
norma dan budaya mereka. Penduduk dalam penelitian ini menganggap makanan selain nasi adalah lauk, dan mereka tidak mempertimbangkan jumlah tertentu yang diperlukan untuk setiap anggota keluarga (Kounnavong dkk, 2011).
5. Tempat Tinggal Hasil analisis berdasarkan tempat tinggal tidak menemukan adanya perbedaan risiko yang signifikan antara kota dan desa dengan kejadian anemia balita dan secara statistik juga tidak ditemukan adanya hubungan antara tempat tinggal dengan kejadian anemia. Hasil ini didukung dengan hasil penelitian di Papua New Ginea yang juga tidak menemukan adanya hubungan antara tempat tinggal dengan kejadian anemia (Shinoda dkk, 2012). Konstantiyer dkk (2012) berpendapat bahwa balita yang tinggal di daerah perkotaan berisiko tinggi mengalami anemia. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh migrasi penduduk dari desa ke kota dalam dekade barubaru ini. Di Indonesia, diperkirakan pertambahan penduduk kota akan mencapai 95% dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2025 (Santoso, 2006). Akibatnya adanya urbanisasi ini, penduduk hidup dalam kondisi miskin di kota besar dan juga terjadi perubahan gaya hidup di daerah perkotaan
seperti
moderenisasi,
banyaknya
industri
makanan,
menurunnya kesadaran dan pengetahuan kebutuhan makanan balita serta ketiadaan
pengasuhan
yang
diberikan
orang
dewasa.
Hal
ini
mengakibatkan kualitas hidup dan kesehatan populasi di wilayah perkotaan khususnya di kota bersiko karena adanya perubahan gaya hidup
88
dan mudahnya akses terhadap makanan hasil olahan industri (Konstantiyer dkk 2012). Selain itu, faktor risiko terjadinya anemia di perkotaan adalah adanya polusi timbal. Timbal yang terhirup pada saat bernafas akan masuk ke dalam pembuluh darah paru-paru. Logam timbal yang masuk ke paruparu akan terserap dan berikatan dengan darah. Sekitar 95% timbal dalam darah diikat oleh sel darah merah. Hal ini dapat mengakibatkan keracunan timbal yang berdampak pada biosintesis hem dan menghambat eritroblas sehingga menimbulkan anemia. Pencemaran timbal di udara biasanya disebabkan oleh industri dan gas buang kendaraan bermotor, seperti yang terjadi di kota-kota Indonesia (Gusnita, 2010). Hal ini dapat meningkatkan prevalensi anemia di wilayah perkotaan. Akan tetapi hasil penelitian tidak menemukan hubungan antara tempat tinggal dan anemia, pendapat lainnya mengatakan bahwa wilayah pedesaan/rural lebih berisiko untuk menimbulkan anemia (Foote dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014). Penelitian di Lao menemukan tingginya prevalensi anemia pada balita yang tinggal di desa disebabkan karena akses ke sumber pangan yang sulit dan rendahnya pengetahuan tentang sumber pangan gizi yang baik (Kounnavong dkk, 2011).
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1. Prevalensi anemia pada balita di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 mencapai 31,56% 2. Distribusi kejadian anemia balita lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dan pada usia 24-35 bulan. Kemudian anemia balita sebagian besar tidak memiliki riwayat BBLR dan mayoritas tidak memiliki riwayat penyakit malaria. Berdasarkan status gizi BB/U, anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan gizi baik. Begitupun dengan status gizi berdasarkan TB/U dan BB/TB, anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan tinggi normal dan berat normal. Proporsi anemia juga lebih banyak terjadi pada balita yang diberikan vitamin A setiap 6 bulan sekali dan memiliki status imunisasi DPT lengkap. 3. Distribusi anemia balita paling banyak terjadi pada balita yang memiliki ibu tamat SD. Hanya sebagian kecil anemia balita terjadi pada ibu yang bekerja dan sebagian besar anemia balita terjadi pada ibu yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh. Kemudian anemia balita lebih banyak terjadi pada ibu dengan kelompok usia 25-34 tahun. Distribusi kejadian anemia mayoritas terjadi pada jumlah anggota keluarga <5, sedangkan berdasarkan tempat tinggal, tidak ada perbedaan proporsi anemia balita di desa atau kota.
89
90
4. Berdasarkan karakteristik balita, usia, BBLR, stunting dan tidak diberikan imunisasi DPT berhubungan signifikan dengan kejadian anemia. Jenis kelamin, underweight, wasting dan status pemberian vitamin A tidak berhubungan secara statistik dengan kejadian anemia balita di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 5. Berdasarkan faktor maternal dan sosiodemografi pendidikan ibu, usia ibu, jumlah anggota keluarga dan tempat tinggal tidak berhubungan secara statistik dengan kejadian anemia balita di Indonesia
B. Saran 1. Bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Sebaiknya Kementerian Kesehatan membuat standar rekomendasi pemeriksaan anemia berdasarkan usia pada balita sebagai upaya diteksi dini dan pencegahan anemia (pedoman skrining anemia balita) serta tatalkasana penderita anemia. 2. Bagi Dinas Kesehatan di Indonesia a. Sebaiknya Dinas Kesehatan membuat kebijakan untuk melakukan pemeriksaan anemia usia 9-12 bulan dan usia 15-18 bulan atau pemeriksaan tambahan setiap 1 tahun sekali pada usia 2-5 tahun di Puskesmas atau Posyandu masing-masing wilayah sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan Kesehatan Ibu dan Anak. Apabila ditemukan balita yang mengalami anemia dapat ditatalaksana dengan memberikan suplemen tambahan, selain itu skrining terhadap faktor risiko anemia
91
balita juga perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah berkembangnya anemia. b. Sebaiknya Dinas Kesehatan mendukung program pemerintah pusat yaitu perbaikan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan dengan cara mengalokasikan anggaran untuk pengadaan PMT ibu hamil KEK, tablet fe dan pemeriksaan ANC sebagai upaya pencegahan kekurangan gizi pada awal kehidupan. c. Sebaiknya Dinas Kesehatan dapat memberikan taburia kepada balita dengan faktor risiko yang tinggi seperti BBLR dan melakukan pemeriksaan Hb sebelum usia 6 bulan. Taburia merupakan suplemen gizi yang berisi asam folat, vitamin A, vitamin B kompleks dan zat besi. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan anemia balita. d. Sebaiknya Dinas Kesehatan mengoptimalkan kegiatan penyuluhan imunisasi di tingkat
Puskesmas dan Posyandu dengan cara
pemberdayaan masyarakat (kaderisasi imunisasi) 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan pengukuran analisis multivariat untuk mengontrol variabel confounding faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian anemia pada balita di Indonesia.
92
DAFTAR PUSTAKA
Abbi, Rita, dkk. 2014. The Impact of Maternal Work Status on The Nutrition and Health Status of Children. Online Acces at http://archive.unu.edu/unupress/food/8f131e/8f131e03.htm. Al-Qaoud, Nawal Mubarak, Dkk. 2014 Anemia And Associated Factors Among Kuwaiti Preschool Children And Their Mothers. Alexandria Journal Of Medicine. Alzain, Bassam. 2012. Anemia and Nutritional Status of Pre-School Children in North Gaza, Palestine. International Journal of Scientific & Technology Research. Volume 1 Issue 11. Issn 2277-8616. Amati, AO. dkk. 2013. Relationship Between Vitamin A Status And Anaemia Among School Age Children In Benin. Niger Journal Paed. Volume 40 Number 4, pages 379-383. Andriana, Dwi Dan Sri Sumarmi. 2006. Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan Zat Besi Dengan Kadar Hemoglobin pada Balita Usia 13–36 Bulan. The Indonesian Journal Of Public Health, Vol. 3, No. 1, hal: 19-23 Assefa, Selomon. dkk 2014. Prevalence And Severity Of Anemia Among School Children In Jimma Town, Southwest Ethiopia. Biomed Central Hematology. Volume 14. Number 3. Assis, Ana Marlúcia O, dkk. 2004. Childhood Anemia Prevalence And Associated Factors In Salvador, Bahia, Brazil. Cad. Saúde Pública, Rio De Janeiro, 20(6) hal :1633-1641 Ayoya, Mohamed Ag. dkk. 2013. Prevalence And Risk Factors Of Anemia Among Children 6–59 Months Old In Haiti. Hindawi Publishing Corporation. Badan Pusat Statistik. 2010. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Perkotaan Dan Perdesaan Di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS). Balarajan, Yarlini. dkk. 2011. Anaemia In Low-Income and Middle-Income Countries. The Lancet Journal Volume 378 Baranwal, Annu. dkk. 2014. Association Of Household Environment And Prevalence Of Anemia Among Children Under-5 In India. Frontiers In Public Health Child Health And Human Development Volume 2. Bodade, R.D. dkk. 2009. Comparative study of hemolytic activity of Bordetella species. Iranian Journal of Microbiology. Volume 1 Number 2, pages 2631
93
Booth, I W, dan M A Aukett. 1997. Iron Deficiency Anaemia In Infancy And Early Chilhood. Archives of Disease in Childhood , Volume 76, pages 549–554. Dia Sanou dan Ismael Ngnie-Teta. 2012. Risk Factors for Anemia in Preschool Children in Sub-Saharan Africa, Anemia, Dr. Donald Silverberg (Ed.). ISBN: 978-953-51-0138-3, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/anemia/risk-factors-for-anemia-inpreschool-children-in-sub-saharan-africa Enger, Eldon D. 2007. Concepts In Biology. New York : Mcgraw Hill Ewusie, Joycelyne E. dkk. 2014. Prevalence Of Anemia Among Under-5 Children In The Ghanaian Population: Estimates From The Ghana Demographic And Health Survey. BMC Public Health. Volume 14:626. Foote, Eric M, dkk. 2013. Determinants Of Anemia Among Preschool Children In Rural, Western Kenya. American Journal Tropical Medicine And Hygiene. Volume 88 Number 4, pages 757-767 . Gorospe, Junero, dkk. 2014. Ordinal Logistic Regression Analyses On Anemia For Children Aged 6 Months To 5 Years Old In The Philippines. DLSU Research Congres. Manila: De La Salle University, Manila, Philippines. Green, Helen K, dkk. 2011. Anaemia In Ugandan Preschool-Aged Children: The Relative Contribution Of Intestinal Parasites And Malaria. Cambridge University Press. Volume 138, pages 1534-1546. Gutema, Bekele, dkk. 2012. Anemia And Associated Factors Among School-Age Children In Filtu Town, Somali Region, Southeast Ethiopia. Biomed Central Hematology. Volume 14 Number 13. Gusnita, Desy. 2012. Pencemeran Logam Berat Timbal (PB) di Udara dan Upaya Penghapusan Bensin Bertimbal. Berita Dirgantara Vol. 13 No. 3 Habte, Dereje, dkk. 2013. Maternal Risk Factors For Childhood Anaemia In Ethiopia. African Journal Of Reproductive Health September. Volume 17 Number 3. Halileh, S Dan N.H. Gordon. 2005. Determinants of Anemia in Pre-School Children in The Occupied Palestinian Territory. Journal Of Tropical Pediatrics Vol. 52, No. 113 page 12-18 Helmyati, Siti Dkk, 2007. Kejadian Anemia Pada Bayi Usia 6 Bulan Yang Berhubungan Dengan Sosial Ekonomi Keluarga Dan Usia Pemberian Makanan Pendamping Asi. Berita Kedokteran Masyarakat Vol. 23, No. 1 Hensbroek, Michae¨ L Boele Van, dkk. 2010. Pathophysiological Mechanisms Of Severe Anaemia In Malawian Children. Plos One, 2010: Volume 5, Issue 9.
94
Howard, Caitlin T dkk. 2007. Association Of Diarrhea With Anemia Among Children Under Age Five Living In Rural Areas Of Indonesia. Journal Of Tropical Pediatrics Vol. 53, No. 4 Hussein, M.D., dan S. Mohamed. Prevalence Of Anaemia In Preschool Children In Karma Albalad Area, Northern State, Sudan. Eastern Mediterranean Health Journal. Volume 20 Number 1, pages 33-38 IDI. 2011. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Suplementasi Besi Untuk Anak. Jakarta : Badan Penerbit Idai Kai, O. K. Dan Roberts, D. J. 2008. The pathophysiology of malarial anaemia: where have all the red cells gone? BMC Medicine. Volume 6. Kemenkes RI. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. .______. 2013. Rencana Kerja Pembinaan Gizi Masyarakat Tahun 2013. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan RI Konstantyner, Tulio, 2012. Risk Factors For Anemia Among Brazilian Infants From The 2006 National Demographic Health Survey. Hindawi Publishing Corporation. Kounnavong, Sengchanh, dkk. 2011. Anemia And Related Factors In Preschool Children In The Southern Rural Lao People’s Democratic Republic. Tropical Medicine And Health. Volume 39 Number 4, pages 95-103, Kumar, Mudra Kohli. 2001. Screening for Anemia in Children: AAP Recommendations—A Critique. Pediatrics Vol. 108 No. 3 Kumar, R., dkk. 2014. Prevalence And Etiology Of Nutritional Anemia In Children Aged 6 Months To 60 Months In Fatehabad District Of Haryana. International Journal Of Basic And Applied Medical Sciences. Volume 4 Number 1, pages 317-321 Leal, Luciana Pedrosa, dkk. 2011. Prevalence Of Anemia And Associated Factors In Children Aged 6-59 Months In Pernambuco,Northeastern Brazil. Rev Saúde Pública. Volume 45 Number 3. Leite, Maurício S, dkk. 2013. Prevalence Of Anemia And Associated Factors Among Indigenous Children In Brazil: Results From The First National Survey Of Indigenous People’s Health And Nutrition. Bmc Nutrition Journal, Vol :12 (69). Nababan, Donal. 2015. Mother and Child Nutrition; (A Review of Stunting Studies). 2015. IJSBAR vol 22 no 1
95
Ngesa, Oscar, dan Henry Mwambi. Prevalence And Risk Factors Of Anaemia Among Children Aged Between 6 Months And 14 Years In Kenya. Plos One | Doi:10.1371/Journal.Pone.0113756. Ngui, Romano, dkk. 2012. Association Between Anaemia, Iron Deficiency Anaemia,Neglected Parasitic Infections And Socioeconomic Factors In Rural Children Of West Malaysia. Plos Negleted Tropical Disease, 2012: Vol 6. Oliveira, M. D. N., dkk. 2010. Risk factors associated with hemoglobin levels and nutritional status among Brazilian children attending daycare centers in Sao Paulo city, Brazil. Archivos latinoamericanos de nutricion, vol :60. Prikasih, Nining dan Anti Apriliyanti Sugiarti.2009. Menu Sehat Balita. Jakarta : Suka Buku Sandjaja, Sandjaja, dkk. 2013. Food Consumption And Nutritional And Biochemical Status Of 0·5–12-Year-Old Indonesian Children: The Seanuts Study. British Journal Of Nutrition. Volume 110, S11–S20. Santos, Rosemary Ferreira Dos, dkk. 2011. Prevalence Of Anemia In Under FiveYear-Old Children In A Children's Hospital In Recife, Brazil. Rev Bras Hematol Hemoter. Vol 33 (2), pages 100-104 Schellenberg, D. dkk 2003. The silent burden of anaemia in Tanzanian children: a community-based study. Bulletin of the World Health Organization. Volume 81. Selenius, Olle dkk. 2013. Essentials Of Medical Geology: Revised Edition. London : Springer Semba, Rd, dan Mw Bloem. 2002. The Anemia Of Vitamin A Deficiency: Epidemiology And Pathogenesis. European Journal Of Clinical Nutrition , Vol. 56, page: 271-281. Semba, Richard D dkk. 2008. Diarrhea And Fever As Risk Factors For Anemia Among Children Under Age Five Living In Urban Slum Areas Of Indonesia. International Journal Of Infectious Diseases (2008) 12, 62—70 Sembulingan K. 2012. Essentials Of Medical Physiology Sixth Edition. New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publisher Shaw, Julia G., dan Jennifer F. Friedman. 2011. Iron Deficiency Anemia: Focus On Infectious Diseases In Lesser Developed Countries. Hindawi Publishing Corporation. Shinoda, N. dkk. 2012. Relationship between markers of inflammation and anaemia in hildren of Papua New Guinea. Public Health Nutrition.
96
Singh, R. K. dan Patra, S. 2014. Extent of Anaemia among Preschool Children in EAG States, India: A Challenge to Policy Makers. Hindawi Publishing Corporation. Souganidis, Ellie S dkk, 2012. Determinants Of Anemia Clustering Among Mothers and Children In Indonesia. Journal of Tropical Pediatrics, Vol. 58, No. 3 Uddin, MK dkk. 2010. Prevalence of Anaemia in Children of 6 Months to 59 Months in Narayanganj, Bangladesh. Journal of Dhaka Medical Collage. Vol 19. No 2 Uchimura, Taqueco T dkk. 2003. Anemia And Birthweight. Rev. Saúde Pública Vol.37 No.4 Uniceff. 2007. National Strategy For Anaemia Prevention And Control In Bangladesh. Diakses pada tanggal 18 Januari 2015 di http://www.unicef.org/bangladesh/anaemia_strategy.PDF. VanBuskirk, Kelley M. dkk. 2014. Pediatric Anemia In Rural Ghana: A CrossSectional Study Of Prevalence And Risk Factors. Journal Of Tropical Pediatrics Vol. 60, No. 4 WHO, 2015. Standard Formula For Low-Birth-Weight Infants Following Hospital Discharge. Dikases pada tanggal 15 Juni 2015 Http://Www.Who.Int/Elena/Titles/Formula_Infants/En/ .____. 2014. Anaemia Prevention And Control. Dikases Pada Tanggal 12 Januari 2015 http://www.who.int/medical_devices/initiatives/anaemia_control/en/. .____. 2010. The Immunological Bassis for Immunization Series. Department of Immunization, Vaccines and Biologicals. Geneva : WHO. ._____.2008. Worldwide Prevalence Of Anaemia 1993-2005, Who Global
Database On Aanaemia. Geneva: WHO. Woldie, Halie Dkk. 2015. Factors Associated With Anemia Among Children Aged 6–23 Months Attending Growth Monitoring At Tsitsika Health Center, Wag-Himra Zone, Northeast Ethiopia Journal Of Nutrition And Metabolism Volume 2015 Woodruff, Bradley A. dkk. 2005 "Anaemia, Iron Status And Vitamin A Deficiency Among Adolescent Refugees In Kenya And Nepal." Public Health Nutrition. Pages 26-34 Vol 9 No. 1. Zulaekah, Siti Dkk. 2014. Anemia Terhadap Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak Malnutrisi. Jurnal Kemas 9 (2) hal.106-114
97
LAMPIRAN
Hasil uji validitas dan reliabilitas Riskesdas 2013
98
99
Kuesioner Terpilih sampel nasional 12 Keterangan rumah tangga Alamat rumah (Tulis dengan huruf kapital) 1 Banyaknya anggota rumah tangga : 2
1. Ya
2. Tidak
[
][ ]
Keterangan anggota rumah tangga No. Urut ART
Nama anggota rumah tangga
Hubungan dengan kepala rumah tangga
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir
[KODE]
[ ][ ]
[ ]
Tgl : [ ] [ ] Bln : [ ] [ ] Thn: [ ][ ][ ][ ]
Umur Jika umur <1bln isikan dalam kotak“Hari” Jika umur <5thn isikan dlm kotak“Bulan” Jika umur ≥5 thn isikan dlm kotak “Tahun” dan umur ≥ 97 thn isikan “97 a. [ ] [ ] hr b. [ ] [ ] bln c. [ ] [ ] thn
Khusus ART >5 tahun Status Pendidikan tertinggi yang ditamatkan
Khusus ART ≥ 10 tahun Status Pekerjaan [KODE]
[KODE] [ ]
Khusus ART ≥ 10 tahun Jika Status Pekerjaan=2 Sebutkan Jenis Pekerjaan utama [KODE]
[ ]
[ ]
Kesehatan Lingkungan 2 Jenis sumber air utama untuk kebutuhan minum?
12
01 Air kemasan 02 Air isi ulang 03 Air ledeng/PDAM 04 Air ledeng eceran/membeli Apa jenis bahan bakar/energi utama yang digunakan untuk memasak?
Pemukiman dan ekonomi Apakah status penguasaan 1 bangunan tempat tinggal yang ditempati?
05 Sumur bor/pompa 06 Sumur gali terlindung 07 Sumur gali tak terlindung 08 Mata air terlindung
]
1. Listrik 2. Gas/elpiji
3. Minyak tanah 5. Kayu bakar 4. Arang/briket/batok kelapa
[
]
1.Milik sendiri 2.Kontrak 3. Sewa
4. Bebas sewa (milik orang lain) 5. Bebas sewa (milik orang tua/sanak/saudara 6. Rumah dinas 7. Lainnya
[
]
…………………m2
2 4
a. Luas Lantai bangunan rumah Jenis lantai rumah terluas:
5
Jenis dinding terluas:
6
Jenis plafon/langit-langit rumah terluas:
7
Apa jenis sumber penerangan 1. Listrik PLN 3. Petromaks/ aladin 5. lainnya rumah? 2. Listrik Non-PLN 4. Pelita/ sentir/ obor a. Penggunaan fasilitas tempat buang air besar 1. Milik sendiri 3. Umum sebagian besar anggota rumah tangga: 2. Milik bersama 4. Tidak ada P.8c b. Jenis kloset yang digunakan: 1. Leher angsa 3. Cemplung/ cubluk/ lubang tanpa lantai 2. Plengsengan 4. Cemplung/ cubluk/ lubang dengan lantai
8
[ 09 Mata air tidak terlindung 10 Penampungan air hujan 11 Air sungai/danau/irigasi
1. Keramik/ ubin/ marmer/ semen 2. Semen plesteran retak 3. Papan/ bambu/ anyaman bambu/ rotan 4. Tanah 1. Tembok 3. Bambu 2. Kayu/papan/triplek 4. Seng 1. Beton 4. Kayu/ tripleks 2. Gypsum 5. Anyaman bambu 3. Asbes/GRC board 6. Tidak ada
[
][ ][ ][ ] [ ]
[
]
[
]
[
]
[
]
[
]
100
c.
1. Tangki septik 5. Lubang tanah 2. SPAL 6. Pantai/tanah lapang/kebun 3. Kolam/sawah 7. Lainnya 4. Sungai/danau/laut Apakah [RUMAH TANGGA] memiliki barang-barang sebagai berikut: a. Sepeda 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak [ ] f. pemanas air b. Sepeda motor 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak [ ] g. tabung gas 12kg/lebih c. Perahu 1. Ya 2. Tidak h. Lemari Es/Kulkas 1. Ya 2. Tidak [ ] 2. TV/ TVkabel 1. Ya 2. Tidak 1. Ya 2. Tidak [ ] i. Perahu motor 3. AC 1. Ya 2. Tidak j. Mobil 1. Ya 2. Tidak [ ]
9
Tempat pembuangan akhir tinja:
Prov
Kab/Kota
Kec
[ ][ ]
[ ][ ]
[ ][ ][ ]
PENGENALAN TEMPAT Des/Kel D/K Nomer Kode Sampel [ ][ ][ ]
[ ]
[ ][ ][ ][ ][ ][ ][ ]
No. bangunan sensus [ ][ ][ ]
[
]
[ [ [ [ [
] ] ] ] ]
No.Urut Art [ ][ ]
Identifikasi Responden 1 Nama dan nomor urut ART Nama ………………………. Nomer Urut ART [ ][ ] 2 Nama dan nomor urut Ibu kandung Nama ………………………. Nomer Urut ART [ ][ ] A. Penyakit menular Malaria Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita Malaria yang 1. Ya, dalam ≤ 1 bulan terakhir A14 A09 [ ] sudah dipastikan dengan pemeriksaan darah oleh tenaga 2. Ya, > 1 bulan – 12 bulan A14 kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)? 3. Tidak 8. Tidak tahu Jenis malaria apa yang ditemukan dalam pemeriksan 1. Malaria tropica (P. falciparum) A10 [ ] darah? (JAWABAN BISA > 1, JIKA > 1 JUMLAHKAN KODE JAWABAN)
2. Malaria tertiana (P. vivax) 3. Malaria lainnya 8. Tidak tahu
Kesehatan Anak dan Imunisasi (0-59 bulan) Ja01
Apakah [NAMA] mempunyai catatan/dokumen berat badan lahir? (Berat badan lahir adalah berat badan yang ditimbang dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan) Salin dari catatan/dokumen berat badan lahir [NAMA]
Ja02 Imunisasi Ja14 Apakah [NAMA] pernah mendapat imunisasi
1. Ya 2. Tidak Ja03 ……………….. gram 1. 2. 8. 1. 2.
[ [
]
][ ][ ][ ]
Ya Ja16 Tidak Tidak tahu Ja16 Ya Tidak Ja21
Ja19
Apakah di dalam KMS/ Buku KIA/ Buku Catatan Kesehatan Anak [NAMA] ada catatan imunisasi
Ja20
Salin dari KMS/Buku KIA/Buku Catatan Kesehatan Anak, tanggal/ bulan/ tahun, untuk setiap jenis imunisasi KODE KOLOM (2): 1. Diberikan imunisasi 2. Tidak diberikan imunisasi KE JENIS IMUNISASI BERIKUTNYA 7. Belum waktunya diberikan karena umur anak KE JENIS IMUNISASI BERIKUTNYA 8. Ditulis diberi imunisasi tetapi tgl/ bln/ thn tidak ada KE JENIS IMUNISASI BERIKUTNYA
[
]
[
]
101
Ja21
Ja27
Jenis imunisasi Ket TGL/BLN/THN IMUNISASI a. DPT-HB Combo 1 [ ] [ ] [ ]/ [ ] [ ]/ [ ] [ ] b. DPT-HB Combo 2 [ ] [ ] [ ]/ [ ] [ ]/ [ ] [ ] c. DPT-HB Combo 3 [ ] [ ] [ ]/ [ ] [ ]/ [ ] [ ] Apakah [NAMA] pernah mendapat imunisasi berikut: (INFORMASI BERDASARKAN INGATAN RESPONDEN) h. Imunisasi DPT-HB combo (Diphteri Pertusis Tetanus1. Ya [ Hepatitis B combo) yang biasanya disuntikkan di paha dan 2. Tidak Ja21k biasanya mulai diberikan pada saat anak berusia 2 bulan 7. Belum waktunya (umur≤ 2 bulan)Ja21k bersama dengan Polio 2? 8. Tidak Tahu Ja21k i. Pada umur berapa (NAMA) pertama kali diimunisasi DPT[ ][ HB Combo. JIKA TIDAK TAHU ISIKAN KODE ”88” ……….bulan ……….kali [ j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT -HB Combo? Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] pernah mendapatkan 1. Ya [ kapsul vitamin A? (GUNAKAN KARTU PERAGA) 2. Tidak pernah 7. Belum waktunya (umur ≤ 6 bulan) 8. Tidak Tahu
Berat badan dan tinggi badan K01 a. Apakah ART ditimbang ? b. Berat Badan (kg) K02 a. Apakah ART diukurTinggi/Panjang Badan? b. Tinggi/Panjang Badan (Cm) c. KHUSUS UNTUK BALITA, (Posisi pengukuran TB/PB)
Pengambilan spesimen darah Apakah diambil spesimen darah O01 STIKER NOMOR DARAH O02
1. Ya
2. Tidak
]
] ] ]
[ [ ] [ ] [ ], [ 1. Ya 2. TidakK03 [ …………………cm [ ] [ ] [ ], [ 1. Berdiri 2. Terlentang [
] ] ] ] ]
1. Ya
]
…………………kg
2. TidakO03 TEMPEL STIKER DI SINI (XXXXXX)
[
102
status anemia
Valid
anemia
Frequency 279
Percent 31.6
Valid Percent 31.6
605 884
68.4 100.0
68.4 100.0
tidak anemia Total
Cumulative Percent 31.6 100.0
Jenis kelamin * status anemia Crosstabulation status anemia Jenis kelamin
Laki-laki
Count
Perempuan
% within status anemia Count
Total
Total
anemia 147 52.7%
tidak anemia 293 48.4%
anemia 440 49.8%
132 47.3%
312 51.6%
444 50.2%
279 100.0%
605 100.0%
884 100.0%
% within status anemia Count % within status anemia
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio
1
Asymp. Sig. (2-sided) .239
1.220
1
.269
1.386
1
.239
Value 1.385(b)
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.248 1.384
1
.240
N of Valid Cases
884 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 138.87. Risk Estimate Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for Jenis kelamin (Laki-laki / Perempuan)
1.186
.893
1.575
For cohort status anemia = anemia
1.124
.925
1.365
For cohort status anemia = tidak anemia
.948
.866
1.037
N of Valid Cases
884
.135
103
umur balita * status anemia Crosstabulation status anemia umur balita
12-35
Count % within status anemia
36-59 Total
Count % within status anemia Count % within status anemia
Total
anemia 160
tidak anemia 205
anemia 365
57.3% 119 42.7% 279
33.9% 400 66.1% 605
41.3% 519 58.7% 884
100.0%
100.0%
100.0%
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1
Asymp. Sig. (2-sided) .000
42.402
1
.000
43.069
1
.000
Value 43.364(b)
Df
.000 43.315
1
.000
N of Valid Cases 884 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 115.20.
Risk Estimate
Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for umur balita (12-35 / 36-59)
2.623
1.961
3.509
For cohort status anemia = anemia
1.912
1.572
2.325
For cohort status anemia = tidak anemia
.729
.658
.807
N of Valid Cases
884
.000
104
status BBLR * status anemia Crosstabulation status anemia status BBLR
BBLR
Count % within status anemia
tidak BBLR Total
Count % within status anemia Count % within status anemia
Total
anemia 54
tidak anemia 32
anemia 86
20.4% 211 79.6% 265
5.5% 545 94.5% 577
10.2% 756 89.8% 842
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1
Asymp. Sig. (2-sided) .000
41.957
1
.000
40.058
1
.000
Value 43.559(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.000 43.507
1
.000
.000
N of Valid Cases
842 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27.07. D MALARIA * status anemia Crosstabulation status anemia anemia D MALARIA
Ya Tidak
Total
Total
tidak anemia 6 1.0%
anemia
Count % within status anemia Count
3 1.1% 276
598
874
% within status anemia
98.9% 279
98.8% 605
98.9% 884
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within status anemia
Risk Estimate Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for status BBLR (BBLR / tidak BBLR)
4.359
2.737
6.941
For cohort status anemia = anemia
2.250
1.844
2.745
For cohort status anemia = tidak anemia
.516
.391
.682
N of Valid Cases
842
9 1.0%
105
Chi-Square Tests
Value .418(a) .420
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
2 2
Asymp. Sig. (2-sided) .811 .811
1
.805
Df
.061 884
a 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.10.
Jenis malaria apa yang ditemukan dalam pemeriksan darah? * status anemia Crosstabulation status anemia anemia Jenis malaria apa yang ditemukan dalam pemeriksan darah?
Malaria Tertiana (P.Fivak) Malaria Tropica (P.Falsiparum) malaria tropika dan tertiana Malaria lainnya
Total
Count % within status anemia Count % within status anemia
0 .0% 2 66.7%
tidak anemia 2 33.3% 2 33.3%
Count % within status anemia Count % within status anemia Count % within status anemia
1 33.3% 0 .0% 3 100.0%
1 16.7% 1 16.7% 6 100.0%
status gizi berdasarkan BB/U * status anemia Crosstabulation status anemia status gizi berdasarkan BB/U
Total
Total
anemia 10
tidak anemia 26
anemia 36
% within status anemia Count
3.6%
4.4%
4.1%
44
112
156
gizi baik
% within status anemia Count
18.9% 440 74.3%
18.0% 661 76.2%
gizi lebih
% within status anemia Count
15.9% 221 80.1% 1 .4%
14 2.4%
15 1.7%
276 100.0%
592 100.0%
868 100.0%
gizi buruk
Count
gizi kurang
% within status anemia Count % within status anemia
Tota
anemi
22.
44.
22.
11.
100.
106
Crosstab status anemia status berat kurang
underweight
Count
anemia 54
tidak anemia 138
anemia 192
19.6% 222 80.4% 276
23.3% 454 76.7% 592
22.1% 676 77.9% 868
100.0%
100.0%
100.0%
% within status anemia tidak
Total
Total
Count % within status anemia Count % within status anemia
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
Asymp. Sig. (2-sided)
Df
1.533(b)
1
.216
1.323
1
.250
1.558
1
.212
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.254 1.531
1
.216
N of Valid Cases 868 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 61.05. Risk Estimate Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for status berat kurang (underweight / tidak)
.800
.562
1.139
For cohort status anemia = anemia
.856
.667
1.100
1.070
.965
1.186
For cohort status anemia = tidak anemia N of Valid Cases
868
.125
107
status gizi berdasarkan TB/U * status anemia Crosstabulation status anemia status gizi berdasarkan TB/U
sangat pendek
Count
anemia 33
tidak anemia 75
anemia 108
12.4% 70 26.2% 158
12.9% 108 18.6% 389
12.7% 178 21.0% 547
59.2% 6 2.2% 267
67.0% 9 1.5% 581
64.5% 15 1.8% 848
100.0%
100.0%
100.0%
% within status anemia pendek normal tinggi
Total
Total
Count % within status anemia Count % within status anemia Count % within status anemia Count % within status anemia
Crosstab status anemia status stunting anak balita
stunting tidak
Total
Count % within status anemia Count % within status anemia Count % within status anemia
Total
anemia 103
tidak anemia 183
anemia 286
38.6% 164 61.4% 267
31.5% 398 68.5% 581
33.7% 562 66.3% 848
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
Asymp. Sig. (2-sided) .043
3.791
1
.052
4.057
1
.044
Value 4.102(b)
Df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.050 4.097
1
.043
848
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 90.05.
.026
108
Risk Estimate
Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for status stunting anak balita (stunting / tidak)
1.366
1.010
1.848
For cohort status anemia = anemia
1.234
1.009
1.509
For cohort status anemia = tidak anemia
.904
.816
1.000
N of Valid Cases
848
status gizi berdasarkan BB/TB * status anemia Crosstabulation status anemia anemia status gizi berdasarkan BB/TB
Total
sangat kurus
Count % within status anemia
6 2.3%
tidak anemia 16 2.8%
anemia 22 2.6%
kurus
Count % within status anemia Count % within status anemia Count % within status anemia Count
16 6.0% 235 88.7% 8 3.0%
37 6.4% 487 84.5% 36 6.3%
53 6.3% 722 85.9% 44 5.2%
265
576
841
% within status anemia
100.0%
100.0%
100.0%
normal gemuk Total
Crosstab status anemia ststus kekurusan anak
Total
wasting
Count % within status anemia
tidak
Count % within status anemia Count % within status anemia
Total
anemia 22
tidak anemia 53
anemia 75
8.3% 243 91.7%
9.2% 523 90.8%
8.9% 766 91.1%
265
576
841
100.0%
100.0%
100.0%
109
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
1
Asymp. Sig. (2-sided) .671
.087
1
.768
.183
1
.669
Value .181(b)
Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
Df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.795
Linear-by-Linear Association
.181
N of Valid Cases
841
1
.389
.671
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 23.63. Risk Estimate
Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for ststus kekurusan anak (wasting / tidak)
.893
.531
1.502
For cohort status anemia = anemia
.925
.641
1.334
1.035
.888
1.207
For cohort status anemia = tidak anemia N of Valid Cases
841
Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] pernah mendapatkan kapsul vitamin A? (GUNAKAN KARTU PERAGA) * status anemia Crosstabulation status anemia Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] pernah mendapatkan kapsul vitamin A? (GUNAKAN KARTU PERAGA)
Ya
Tidak Tahu Total
anemia 199
tidak anemia 438
anemia 637
Count % within status anemia Count % within status anemia Count
71.3% 71 25.4% 9 3.2% 279
72.4% 144 23.8% 23 3.8% 605
72.1% 215 24.3% 32 3.6% 884
% within status anemia
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within status anemia
Tidak Pernah
Total
110
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
1
Asymp. Sig. (2-sided) .627
.161
1
.688
.235
1
.628
Value .236(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.672
Linear-by-Linear Association
.236
N of Valid Cases
852
1
.343
.627
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 68.13. Risk Estimate
Value Lower Odds Ratio for Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] pernah mendapatkan kapsul vitamin A? (GUNAKAN KARTU PERAGA) (Ya / Tidak Pernah)
Upper
Lower
.921
.663
1.282
.946
.757
1.182
1.027
.922
1.143
For cohort status anemia = anemia For cohort status anemia = tidak anemia
95% Confidence Interval
N of Valid Cases
852
j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? * status anemia Crosstabulation status anemia j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
tidak imunisasi tidak lengkap
Count % within status anemia Count % within status anemia
lengkap Total
Count % within status anemia Count % within status anemia
Total
anemia 39 14.4%
tidak anemia 49 8.7%
anemia 88 10.5%
34
67
101
12.5% 198 73.1%
11.9% 449 79.5%
12.1% 647 77.4%
271
565
836
100.0%
100.0%
100.0%
111
j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? * status anemia Crosstabulation
status anemia j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
tidak imunisasi
lengkap
Count % within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? Count % within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
Total
Count % within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
Total
anemia 39
tidak anemia 49
anemia 88
44.3%
55.7%
100.0%
198
449
647
30.6%
69.4%
100.0%
237
498
735
32.2%
67.8%
100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1
Asymp. Sig. (2-sided) .010
6.057
1
.014
6.381
1
.012
Value 6.670(b)
Df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.015 6.661
1
.010
N of Valid Cases
735 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28.38. Risk Estimate
Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? (tidak imunisasi / lengkap)
1.805
1.148
2.838
For cohort status anemia = anemia
1.448
1.115
1.881
For cohort status anemia = tidak anemia
.802
.661
.973
N of Valid Cases
735
.008
112
j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? * status anemia Crosstabulation status anemia j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
tidak lengkap
Count % within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
lengkap
Count % within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
Total
Count % within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
Total
anemia 34
tidak anemia 67
anemia 101
33.7%
66.3%
100.0%
198
449
647
30.6%
69.4%
100.0%
232
516
748
31.0%
69.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
Asymp. Sig. (2-sided) .536
.253
1
.615
.378
1
.539
Value .382(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.564 .382
1
.537
748
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 31.33.
Risk Estimate Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? (tidak lengkap / lengkap)
1.151
.737
1.796
For cohort status anemia = anemia
1.100
.817
1.481
For cohort status anemia = tidak anemia
.956
.824
1.108
N of Valid Cases
748
.305
113
status pendidikan ibu * status anemia Crosstabulation status anemia status pendidikan ibu
tamat sma
Count % within status pendidikan ibu
tamat PT
Count % within status pendidikan ibu
Total
Count % within status pendidikan ibu
Total
anemia 72
tidak anemia 178
anemia 250
28.8%
71.2%
100.0%
11
36
47
23.4%
76.6%
100.0%
83
214
297
27.9%
72.1%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
Asymp. Sig. (2-sided)
Df
.572(b)
1
.449
.335
1
.562
.589
1
.443
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.485
Linear-by-Linear Association
.570
N of Valid Cases
297
1
.450
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13. Risk Estimate
Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for status pendidikan ibu (tamat sma / tamat PT)
1.324
.639
2.743
For cohort status anemia = anemia
1.231
.708
2.139
For cohort status anemia = tidak anemia
.930
.779
1.109
N of Valid Cases
297
.286
114
status pendidikan ibu * status anemia Crosstabulation status anemia status pendidikan ibu
tamat smp
Count % within status pendidikan ibu
tamat PT
Count % within status pendidikan ibu
Total
Count % within status pendidikan ibu
Total
anemia 72
tidak anemia 136
anemia 208
34.6%
65.4%
100.0%
11
36
47
23.4%
76.6%
100.0%
83
172
255
32.5%
67.5%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
Asymp. Sig. (2-sided)
df
2.195(b)
1
.138
1.714
1
.190
2.298
1
.130
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.169
Linear-by-Linear Association
2.186
N of Valid Cases
255
1
.139
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.30. Risk Estimate
Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for status pendidikan ibu (tamat smp / tamat PT)
1.733
.832
3.607
For cohort status anemia = anemia
1.479
.853
2.563
For cohort status anemia = tidak anemia
.854
.708
1.029
N of Valid Cases
255
.093
115
status pendidikan ibu * status anemia Crosstabulation status anemia status pendidikan ibu
tamat sd
Count
anemia 87
tidak anemia 177
anemia 264
33.0%
67.0%
100.0%
11
36
47
23.4%
76.6%
100.0%
98
213
311
31.5%
68.5%
100.0%
% within status pendidikan ibu tamat PT
Count % within status pendidikan ibu
Total
Total
Count % within status pendidikan ibu Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
Asymp. Sig. (2-sided)
Df
1.686(b)
1
.194
1.273
1
.259
1.764
1
.184
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.234
Linear-by-Linear Association
1.681
N of Valid Cases
311
1
.195
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.81. Risk Estimate
Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for status pendidikan ibu (tamat sd / tamat PT)
1.609
.781
3.313
For cohort status anemia = anemia
1.408
.816
2.429
For cohort status anemia = tidak anemia
.875
.732
1.047
N of Valid Cases
311
.129
116
status pendidikan ibu * status anemia Crosstabulation status anemia status pendidikan ibu
tidak punya ijazah
Count
anemia 37
tidak anemia 78
anemia 115
32.2%
67.8%
100.0%
11
36
47
23.4%
76.6%
100.0%
48
114
162
29.6%
70.4%
100.0%
% within status pendidikan ibu tamat PT
Count % within status pendidikan ibu
Total
Total
Count % within status pendidikan ibu Risk Estimate Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for status pendidikan ibu (tidak punya ijazah / tamat PT)
1.552
.711
3.388
For cohort status anemia = anemia
1.375
.769
2.458
For cohort status anemia = tidak anemia
.886
.724
1.084
N of Valid Cases
162
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
Asymp. Sig. (2-sided) .267
.846
1
.358
1.266
1
.261
Value 1.231(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.344 1.223
1
.269
162
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.93.
.179
117
kategori umur ibu * status anemia Crosstabulation status anemia kategori umur ibu
15-24
Count % within status anemia
25-34
Count % within status anemia Count % within status anemia
35-44 45-54
Count % within status anemia Count % within status anemia
Total
Total
anemia 51
tidak anemia 72
anemia 123
18.3% 136 48.7% 85
11.9% 325 53.8% 189
13.9% 461 52.2% 274
30.5% 7 2.5% 279
31.3% 18 3.0% 604
31.0% 25 2.8% 883
100.0%
100.0%
100.0%
kategori umur ibu * status anemia Crosstabulation status anemia kategori umur ibu
35-44 45-54
Total
Count % within status anemia Count % within status anemia Count % within status anemia
Total
anemia 85 92.4%
tidak anemia 189 90.9%
anemia 274 91.3%
7 7.6% 92 100.0%
19 9.1% 208 100.0%
26 8.7% 300 100.0%
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
Asymp. Sig. (2-sided) .665
.044
1
.833
.192
1
.661
Value .188(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.825 .187
1
.665
300 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.97.
.426
118
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower
Upper
Lower
Odds Ratio for kategori umur ibu (35-44 / 45-54)
1.221
.495
3.013
For cohort status anemia = anemia
1.152
.597
2.224
For cohort status anemia = tidak anemia
.944
.738
1.208
N of Valid Cases
300 kategori umur ibu * status anemia Crosstabulation status anemia
kategori umur ibu
25-34
Count
45-54
% within status anemia Count % within status anemia
Total
Total
anemia 136 95.1% 7
tidak anemia 325 94.5% 19
anemia 461 94.7% 26
4.9%
5.5%
5.3%
143 100.0%
344 100.0%
487 100.0%
Count % within status anemia Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1
Asymp. Sig. (2-sided) .779
.004
1
.953
.080
1
.777
Value .079(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1.000 .079
1
.779
N of Valid Cases
487 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.63. Risk Estimate Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for kategori umur ibu (25-34 / 45-54)
1.136
.467
2.764
For cohort status anemia = anemia
1.096
.573
2.096
For cohort status anemia = tidak anemia
.965
.758
1.227
N of Valid Cases
487
.487
119
kategori umur ibu * status anemia Crosstabulation status anemia kategori umur ibu
15-24
Count
anemia 51
tidak anemia 72
anemia 123
87.9% 7 12.1% 58
79.1% 19 20.9% 91
82.6% 26 17.4% 149
100.0%
100.0%
100.0%
% within status anemia 45-54
Total
Total
Count % within status anemia Count % within status anemia Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
1
Asymp. Sig. (2-sided) .167
1.346
1
.246
1.987
1
.159
Value 1.909(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.191 1.896
1
.169
N of Valid Cases
149 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.12.
Risk Estimate Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for kategori umur ibu (15-24 / 45-54)
1.923
.753
4.911
For cohort status anemia = anemia
1.540
.790
3.001
For cohort status anemia = tidak anemia
.801
.607
1.056
N of Valid Cases
149
.122
120
Tempat tinggal * status anemia Crosstabulation status anemia Tempat tinggal
desa
Count
anemia 140
tidak anemia 343
anemia 483
29.0% 139 34.7% 279
71.0% 262 65.3% 605
100.0% 401 100.0% 884
31.6%
68.4%
100.0%
% within Tempat tinggal kota
Total
Total
Count % within Tempat tinggal Count % within Tempat tinggal
Chi-Square Tests
1
Asymp. Sig. (2-sided) .071
3.012
1
.083
3.264
1
.071
Value 3.270(b)
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.081 3.266
1
.041
.071
N of Valid Cases
884 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 126.56. Risk Estimate Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for Tempat tinggal (desa / kota)
.769
.579
1.023
For cohort status anemia = anemia
.836
.689
1.015
1.087
.992
1.191
For cohort status anemia = tidak anemia N of Valid Cases
884 Crosstab status anemia
Tempat tinggal
Total
desa
Count % within status anemia
kota
Count % within status anemia Count % within status anemia
Total
anemia 140
tidak anemia 343
anemia 483
50.2% 139 49.8%
56.7% 262 43.3%
54.6% 401 45.4%
279
605
884
100.0%
100.0%
100.0%
121
Chi-Square Tests
1
Asymp. Sig. (2-sided) .071
3.012
1
.083
3.264
1
.071
Value 3.270(b)
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.081
Linear-by-Linear Association
3.266
N of Valid Cases
884
1
.041
.071
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 126.56.
Risk Estimate Value
95% Confidence Interval
Lower
Upper
Lower
Odds Ratio for Tempat tinggal (desa / kota)
.769
.579
1.023
For cohort status anemia = anemia
.836
.689
1.015
1.087
.992
1.191
For cohort status anemia = tidak anemia N of Valid Cases
884
Crosstab status anemia Status pekerjaan
Tidak bekerja Bekerja
Total
Total
anemia 174
tidak anemia 396
anemia 570
% within status anemia
62.4%
65.5%
64.5%
Count
105 37.6%
209 34.5%
314 35.5%
279 100.0%
605 100.0%
884 100.0%
Count
% within status anemia Count % within status anemia
122
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
1
Asymp. Sig. (2-sided) .372
.666
1
.414
.792
1
.374
Value .795(b)
Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.406
Linear-by-Linear Association
.795
N of Valid Cases
884
1
.207
.373
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 99.10.
Risk Estimate Value Lower
95% Confidence Interval Upper
Lower
Odds Ratio for Status pekerjaan (Tidak bekerja / Bekerja)
.875
.651
1.174
For cohort status anemia = anemia
.913
.748
1.114
1.044
.949
1.148
For cohort status anemia = tidak anemia N of Valid Cases
884 Crosstab status anemia anemia
Pekerjaan utama
PNS/TNI/Polri/BUMD
% within status anemia Pegawai swasta
Total
Count
Wiraswasta
Count % within status anemia Count
Petani
% within status anemia Count
Buruh
% within status anemia Count
lainnya
% within status anemia Count % within status anemia Count % within status anemia
Total
3
tidak anemia 9
anemia 12
2.8% 14 13.1%
4.3% 28 13.4%
3.8% 42 13.3%
23 21.5%
56 26.8%
79 25.0%
27 25.2%
64 30.6%
91 28.8%
31 29.0%
27 12.9%
58 18.4%
9 8.4%
25 12.0%
34 10.8%
107
209
316
100.0%
100.0%
100.0%