99 ISSN 1412-1468
ZIRAA’AH, Volume 28 Nomor 2, Juni 2010 Halaman 99-108
ANALISIS FAKTOR PRODUKSI USAHA PERIKANAN JARING INSANG DI KABUPATEN TANAH LAUT (Production Factors Analysis of Gillnet Fisheries in Tanah Laut District) Leila Ariyani Sofia Program Studi Agribisnis Perikanan, FPIK Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru E-mail :
[email protected] ABSTRACT This study aims to determine the factors influencing the gillnet fishery production so it can be one source of information to improve the pelagic fish catch. Takisung subdistrict deliberately chosen as the primary location of gill net fishing activities. A total of 93 gillnet fishermen are drawn at random simply as respondents. The primary data collected were analyzed with the business feasibility analysis and multiple linear regression analysis. Results of analysis showed that the gill net fishing effort can provide benefits for fishermen and still feasible to continue. Factors that have real impact on production of gillnets is the sum of fuel, when the actual operation of fishing equipment and fishing equipment sets. While the productivity of gillnets made of string type mamoy better than the productivity of gillnets made of string type arida. Some constraints in business optimization efforts gillnet fishery is the scarcity of fuel with a relatively high price, distribution jam of component fishing gears, and the still limited fisheries data information. Keywords: fisheries, gillnet, production factors PENDAHULUAN Sektor kelautan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang baru dalam mengatasi masalah ekonomi dan pembangunan akhir-akhir ini mulai diperhatikan oleh pemerintah Indonesia sejak eksploitasi terhadap sumberdaya daratan mulai menunjukkan hasil berkurang. Kabupaten Tanah Laut merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki sumberdaya yang potensial bagi perkembangan sektor kelautan dan perikanan. Potensi perairan laut yang dimiliki mempunyai luas ± 48.665,2 km2 dan panjang pantai ± 200 km dengan produksi mencapai 36.882,90 ton pada tahun 2006 (Laporan Tahunan Dinas Perikanan Tanah Laut tahun 2007). Salah satu alat tangkap yang banyak digunakan nelayan setempat adalah jaring insang dengan tujuan utama
penangkapan berupa ikan-ikan pelagis kecil seperti tenggiri, telang, dan jenis kembung. Dibandingkan tahun 2005, produksi hasil tangkapan laut di Kabupaten Tanah Laut mengalami penurunan sebesar 5,38% yang disebabkan antara lain dampak naiknya harga BBM pada kegiatan usaha perikanan tangkap, sedangkan harga jual ikan relatif tetap dan terjadinya perubahan musim (pergeseran musim) penangkapan dan kondisi cuaca, seperti gelombang besar di laut. Umumnya armada penangkap ikan berangkat dari pangkalan bukan untuk menangkap tetapi untuk mencari lokasi penangkapan sehingga selalu berada dalam ketidakpastian tentang lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan, sehingga hasil tangkapannya juga menjadi tidak pasti. Akibat dari ketidakpastian lokasi penangkapan mengakibatkan kapal penangkap banyak menghabiskan waktu dan
100 ZIRAA’AH, Volume 28 Nomor 2, Juni 2010 Halaman 99-108
bahan bakar untuk mencari lokasi fishing ground, dan ini berarti terjadi pemborosan bahan bakar. Keadaan ini semakin diperparah oleh kenaikan harga BBM. Selain karena pasokan BBM yang terbatas dan pembeliannya dibatasi, kenaikan ini menyebabkan biaya operasional nelayan membengkak sampai sekitar 30 sampai 40 %. (Sinar harapan, 16 Juni 2008). Dalam upaya meningkatkan hasil tangkapan ikan pemerintah saat ini sudah banyak memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Data oseanografi yang didapat dari satelit telah banyak digunakan sebagai penentuan daerah penangkapan ikan. Untuk penyebaran informasi data tersebut digunakan alat bantu yang banyak digunakan antara lain fish finder untuk mendeteksi besarnya gerombolan ikan pada lokasi yang ditunjukkan pada peta zona potensi ikan, GPS (Global Positioning System) untuk menentukan posisi lokasi kapal pada saat melakukan operasi penangkapan ikan di laut dan radio komunikasi digunakan sebagai sarana komunikasi antar nelayan. Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003) adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Karena sumberdaya akses terbuka tidak dimiliki oleh siapapun, maka tidak ada yang bisa mengeluarkan seseorang dari mengkonsumsi suatu sumberdaya sehingga lebih sering tidak tertata dalam pemanfaatannya (Fox, 1992). Bila industri masih memiliki keuntungan super normal dan merupakan insentif bagi pendatang baru (new entrans) untuk masuk ke dalam industri, maka seseorang dengan modal dan keterampilan yang dimilikinya dapat dengan bebas masuk ke dalam industri tersebut. Namun jika dirasakan usaha perikanan tidak lagi menguntungkan, dia dengan bebas juga dapat keluar dari industri atau kegiatan ini. Pada saat yang sama mereka yang sudah terlebih dahulu ada dalam industri akan memperluas
ISSN 1412-1468
atau meningkatkan usahanya (Clark et al., 1985). Masuknya pendatang baru ke dalam industri perikanan serta perluasan usaha oleh mereka yang terlebih dahulu ada disana akan membuat upaya intensitas penangkapan ikan bertambah karena modal yang bertambah. Namun karena ikan yang diusahakan terbatas, tambahan modal ini akan menurunkan produktivitas marginal dan produktivitas ratarata. Secara ekonomi, gejala penurunan produktivitas ini sepatutnya menjadi peringatan atau tanda bagi nelayan untuk keluar dari industri. Namun demikian karena kesulitan dalam mengalihkan investasi, faktor musim, ketidakpastian (uncertainty) usaha serta resiko yang diambil (risk taker) dalam bentuk harapan hasil tangkapan yang lebih baik di waktu yang akan datang, maka nelayan akan terus berusaha dan bila mungkin terus meningkatkan kapasitas penangkapan ikan (Clark et al., 1985). Bila ini terjadi, penangkapan ikan secara berlebihan (biological overfishing) terjadi secara bersama dengan kelebihan investasi (economic overfishing) (Nikijuluw et al., 2000). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi perikanan jaring insang sehingga dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan pelagis. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan metode survei pada lokasi yang ditetapkan secara sengaja yaitu Kecamatan Takisung dengan pertimbangan di wilayah Kecamatan Takisung merupakan daerah yang sebagian besar penduduknya menggunakan alat tangkap jaring insang tenggiri. Sebanyak 93 nelayan diambil secara acak sederhana sebagai responden. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan April – Juni 2008. Data primer dianalisis dengan : a. Analisis kelayakan usaha perikanan :
101 ZIRAA’AH, Volume 28 Nomor 2, Juni 2010 Halaman 99-108
RCR = TR/TC dimana : TR = penerimaan total TC = biaya total (biaya tetap ditambah biaya variabel) b. Analisis regresi linier berganda rumus sebagai berikut : Y b0 b1X1 b2 X2 b3 X3 ... bn Xn e dimana : Y = dugaan produksi hasil penangkapan b0 = intersep b1 = koefisien regresi X1 - Xn = koefisien faktor produksi yang digunakan n = jumlah variabel e = galat
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis finansial usaha perikanan jaring insang Salah satu usaha perikanan tangkap yang banyak dilakukan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Tanah Laut adalah usaha jaring insang hanyut atau lebih dikenal dengan nama rengge. Hal ini disebabkan musim penangkapan ikan yang dapat dilakukan sepanjang tahun, sedangkan besarnya hasil tangkapan tergantung dari jenis alat tangkap yang dipakai dan banyaknya ikan. Berdasarkan pada banyaknya ikan dalam satu tahun, maka di Kabupaten Tanah Laut terdapat tiga musim penangkapan, yaitu musim timur, musim barat dan musim tenggara (pancaroba). Musim timur terjadi pada pada bulan Mei sampai Oktober, musim barat biasanya dimulai dari bulan November sampai April, sedangkan musim tenggara terjadi di antara musim barat dan musim timur (September sampai November). Musim awal penangkapan dapat diketahui dari aktifitas penangkapan yang mulai terlihat, walaupun hasil tangkapannya masih sedikit. Musim awal penangkapan biasanya terjadi sekitar bulan April – Juni.
ISSN 1412-1468
Puncak penangkapan ikan biasanya dilihat dari hasil tangkapan yang relatif melimpah. Musim puncak usaha perikanan jaring insang biasanya terjadi pada musim timur yaitu sekitar bulan September November. Pada musim timur operasi penangkapan berlangsung secara besarbesaran dan frekuensinya lebih sering disebabkan karena pada saat musim timur keadaan air laut tenang dan gelombang tidak terlalu besar sehingga tidak membahayakan bagi operasi penangkapan. Sedangkan musim paceklik di Kabupaten Tanah Laut terjadi sekitar bulan Januari – April. Musim paceklik biasanya bersamaan dengan musim barat yang ditandai dengan tiupan angin kencang, arus kuat serta gelombang yang besar. Pada musim ini operasi penangkapan nyaris terhenti karena daerah penangkapan berbahaya bagi keselamatan. Pada saat paceklik biasanya aktivitas yang dilakukan nelayan adalah membersihkan dan memperbaiki jaring, atau perahu yang rusak, walaupun ada beberapa nelayan yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani. Daerah penangkapan (fishing ground) usaha perikanan jaring insang nelayan di Kabupaten Tanah Laut meliputi Pulau Keramaian (135 mil laut), Pulau Masalembu (112 mil laut), Pulau Sembilan (100 mil laut), Sampit (80 mil laut), Kuala Pambuang (140 mil laut), Tanjung Puting (200 mil laut), Ujung Matayu (80 mil laut), Tanjung Silat (200 mil laut), Maradupan (102 mil laut), dan beberapa daerah lainnya antara lain P. Batuan, Pulau Masa Kambing dan Pulau Kulambu. Usaha perikanan jaring insang merupakan usaha perikanan yang relatif padat modal dilihat dari besarnya nilai investasi yang diperlukan yaitu mencapai Rp 118.149.462,37 dan biaya operasional sebesar Rp 6.018.559,14/trip. Pada umumnya investasi berasal dari modal milik sendiri (pemilik) meliputi kapal, mesin kapal dan alat tangkap. Kapal yang digunakan nelayan jaring insang umumnya terbuat dari kayu
102 ZIRAA’AH, Volume 28 Nomor 2, Juni 2010 Halaman 99-108
dengan ukuran panjang 11 – 17 m, lebar 3 – 3,8 m, dan dalam 1 – 2 m. Tonase kapal perikanan jaring insang berkisar antara 6 – 10 GT (gross ton) dengan mesin penggerak berkekuatan 33 PK. Usia kapal yang digunakan oleh nelayan jaring insang berkisar antara 1 – 25 tahun. Jumlah jaring insang yang digunakan nelayan umumnya hanya satu unit, dengan jumlah set per unit jaring insang berkisar antara 36 – 145 set (payah). Investasi kapal berkisar antara Rp 10.000.000,00 sampai dengan Rp 90.000.000,00. Semakin besar tonase kapal penangkap ikan dan semakin muda umur kapal maka semakin tinggi biaya investasi kapal. Begitu pula untuk investasi mesin kapal berkisar Rp 5.000.000,00 sampai dengan Rp 40.000.000,00, di mana semakin besar kekuatan mesin, semakin muda umur mesin, serta spesifikasi/merk mesin maka akan semakin tinggi biaya investasi mesin. Sedangkan investasi alat tangkap berkisar antara Rp 33.000.000,00 sampai dengan Rp 201.500.000,00. Besarnya nilai investasi alat tangkap tergantung pada jumlah set alat (payah) dan jenis bahan (benang) jaring insang. Pada umumnya jenis bahan (benang) yang digunakan oleh nelayan jaring insang dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu mamoy saja, kombinasi mamoy dan arida, dan arida saja. Harga per set jenis benang mamoy adalah Rp 1.000.000,00 sampai dengan Rp 1.800.000,00, sedangkan harga per set jenis benang arida adalah Rp 600.000,00 sampai dengan Rp 1.500.000,00. Menurut Soekartawi (2002), biaya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap ialah biaya yang dikeluarkan dalam satu periode penangkapan tanpa memperhitungkan beroperasi atau tidaknya alat tangkap yang bersangkutan dan besar kecilnya biaya tetap tersebut tidak
ISSN 1412-1468
berpengaruh terhadap volume atau nilai hasil tangkapan. Untuk usaha perikanan jaring insang, biaya tetap adalah sebesar Rp 1.652.639,78/trip meliputi biaya penyusutan kapal, mesin kapal, alat tangkap, izin kapal dan retribusi (lihat Tabel 1). Biaya penyusutan dihitung berdasarkan umur ekonomis dari masing-masing barang modal dan digunakan sebagai cadangan untuk pembelian alat tangkap atau untuk investasi yang akan datang. Biaya tidak tetap merupakan biaya operasional yang biasa dipakai dalam proses produksi. Besarnya biaya operasional untuk usaha perikanan jaring insang sebesar Rp 6.018.559,14, meliputi biaya solar, olie, bensin, konsumsi, rokok, garam dan biaya pemeliharaan kapal dan alat tangkap. Analisis usaha merupakan suatu cara untuk mengetahui tingkat kelayakan dari suatu jenis usaha. Tujuan analisis usaha adalah untuk mengetahui tingkat keuntungan, pengembalian investasi, maupun titik impas suatu usaha (Effendi dan Oktariza, 2006). Pada Tabel 1 terlihat bahwa biaya operasional dan penerimaan usaha perikanan jaring insang per trip masing-masing adalah sebesar Rp 7.671.198,92 dan Rp 21.552.041,54. Nilai penerimaan tersebut diperoleh dari jumlah hasil tangkapan per trip yang rata-rata mencapai 1.078,774 kg dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 19.978,27/kg. Adapun jenis-jenis ikan yang menjadi komoditi penangkapan jaring insang adalah tenggiri, tongkol, bawal, bambangan, telang papan, kembung, hiu, tarakulu, mondo, layar dan lain-lain. Usaha ini dapat memberikan keuntungan per trip kepada nelayan sebesar Rp 13.880.842,62. Begitu pula hasil analisis RCR yang diperoleh yaitu sebesar 2,81 (> 1), berarti bahwa usaha perikanan jaring insang dapat memberikan keuntungan dan layak untuk diusahakan.
103 ZIRAA’AH, Volume 28 Nomor 2, Juni 2010 Halaman 99-108
ISSN 1412-1468
Tabel 1. Biaya dan pendapatan usaha perikanan jaring insang di Kabupaten Tanah Laut dalam satu kali trip Variabel Biaya tetap : - Penyusutan kapal - Penyusutan mesin - Penyusutan alat tangkap - Izin kapal - Retribusi Biaya tidak tetap : - Solar - Olie - Bensin - Konsumsi - Rokok - Garam - Biaya pemeliharaan Total biaya Penerimaan Keuntungan usaha (sebelum bagi hasil) Bagian keuntungan pemilik Bagian keuntungan juragan (nakhoda) Bagian keuntungan sawi (ABK) RCR (Revenue Cost Ratio) Sumber : Data primer yang diolah, 2008 Meskipun keuntungan per trip cukup besar, tetapi nilai tersebut harus dibagi antara pemilik dan nelayan penggarap (nakhoda dan 3 orang sawi) dengan sistem pembagian keuntungan 50% untuk pemilik dan 50% untuk nelayan penggarap. Pada umumnya, nakhoda mendapatkan tambahan keuntungan sebesar 10% dari bagian keuntungan pemilik. Berdasarkan sistem bagi hasil tersebut maka bagian keuntungan pemilik adalah sebesar Rp 6.246.379,18, bagian nakhoda Rp 2.429.147,46, dan bagian sawi sebesar Rp 1.735.105,33/orang. 2. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas jaring insang Hasil analisis regresi linier berganda untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi penangkapan ikan dengan menggunakan jaring insang (rengge)
Nilai (Rp) 1.652.639,78 160.775,09 165.266,58 1.309.419,80 15.162,19 2.016,13 6.018.559,14 3.295.698,92 403.322,58 155.135,14 1.243.323,08 406.329,11 37.684,21 477.066,10 7.671.198,92 21.552.041,54 13.880.842,62 6.246.379,18 2.429.147,46 5.205.315,98 2,81 di Kabupaten Tanah Laut disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,574 dengan koefisien determinasi yang disesuaikan (Adjusted R2) sebesar 0,534. Dari hasil analisis terlihat bahwa nilai koefisien determinasi yang telah disesuaikan adalah sebesar 0,534 yang berarti sebesar 53,40% variasi dari produksi penangkapan ikan dapat dijelaskan oleh variasi dari variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam model, sedangkan 46,6% oleh variabel yang lain di luar model. Sedangkan hasil pengujian pengaruh keseluruhan variabel bebas terhadap variabel terikat diperoleh nilai F hitung sebesar 14,162. Jika dibandingkan dengan F tabel ( = 1%; v1 = 8 dan v2 = 84) diperoleh nilai 2,82; terlihat bahwa nilai F hitung lebih besar daripada nilai F tabel. Berarti secara keseluruhan variabel bebas yang dimasukkan
104 ZIRAA’AH, Volume 28 Nomor 2, Juni 2010 Halaman 99-108
kedalam model berpengaruh sangat nyata Tabel 2.
ISSN 1412-1468
terhadap produksi penangkapan ikan.
Hasil analisis regresi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produksi penangkapan ikan dengan jaring insang di Kabupaten Tanah Laut
No. Variabel Koefisien regresi 1. Konstanta - 1420,542 2. Ukuran kapal/GT (GT) 9,087 3. Pengalaman/PN (th) 2,622 4. Jumlah BBM (liter) 0,833 5. Waktu aktual alat/WaR (jam) 116,685 6. Trip (kali/th) 20,794 7. Umur kapal/UKpl (th) 3,556 8. Jumlah set alat/JSR (payah) 11,418 9. Jenis bahan alat/D1 163,669 R2 = 0,574 Adjusted R2 = 0,534 F- hitung = 14,162***
Standard error 363,035 12,884 2,672 0,237 42,127 11,327 4,590 1,283 50,777
t-hitung -3,913 0,705 0,981 3,522*** 2,770*** 1,836 0,775 8,901*** 3,223***
Keterangan : *** = berpengaruh nyata pada = 1% Sumber : Hasil analisis data primer, 2008 Hasil penghitungan koefisien regresi memperlihatkan nilai koefisien konstanta sebesar -1420,542; dengan nilai t hitung sebesar -3,913. Jika dibandingkan dengan nilai t tabel ( = 1% dan df = 83) diperoleh nilai 1,296; terlihat bahwa nilai t hitung lebih kecil dari t tabel. Berarti koefisien konstanta adalah tidak signifikan secara statistik. Sementara hasil uji t (partial test) terhadap variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan jaring insang menunjukkan bahwa variabel bebas yang berpengaruh nyata pada tingkat kesalahan = 1% terhadap hasil tangkapan adalah jumlah BBM, waktu aktual alat (lama pengoperasian), dan jumlah set alat (payah). Nilai koefisien regresi jumlah BBM adalah sebesar 0,833, berarti penambahan satu liter jumlah BBM yang digunakan akan menambah hasil tangkapan sebesar 0,833 kg. Sedangkan nilai koefisien regresi waktu aktual alat adalah sebesar 116,685; berarti penambahan satu jam lama pengoperasian alat akan menambah ikan hasil tangkapan sebesar 116,685 kg. Begitu pula dengan jumlah set alat diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 11,418; berarti bahwa penambahan satu set (payah) jaring insang
akan meningkatkan ikan hasil tangkapan sebesar 11,418 kg. Hasil analisis regresi terhadap variabel dummy untuk jenis bahan jaring insang diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 163,669 dengan nilai t hitung sebesar 3,223. Jika dibandingkan dengan t tabel (1,296), maka nilai t hitung lebih besar dari t tabel berarti perbedaan jenis bahan jaring insang akan menyebabkan perbedaan terhadap jumlah hasil tangkapan. Banyaknya jumlah set (payah) pada unit jaring insang akan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan. Semakin banyak set pada unit jaring insang maka akan semakin besar jumlah hasil tangkapan. Namun jenis bahan (benang) jaring insang juga turut menentukan produktivitas jaring insang. Hal ini terlihat dari nilai koefisien dummy jenis bahan alat menunjukkan bahwa jaring insang yang terbuat dari benang jenis mamoy akan lebih baik dibandingkan jaring insang yang terdiri dari campuran set benang jenis mamoy dan arida atau pun jaring insang yang hanya terbuat dari benang arida saja. Data di lokasi penelitian membuktikan hal tersebut, di mana rata-rata produksi hasil tangkapan jaring insang berbahan benang mamoy, campuran
105 ZIRAA’AH, Volume 28 Nomor 2, Juni 2010 Halaman 99-108
mamoy dan arida, dan arida saja masingmasing adalah sebesar 1211,79 kg/trip, 1111,71 kg/trip, dan 878,13 kg/trip. Benang mamoy merupakan jenis benang polyethelene produk terkini dan berwarna putih. Sedangkan benang jenis arida merupakan jenis benang polyethelene yang telah lama dikenal nelayan sebagai bahan jaring dan berwarna hijau. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan diketahui bahwa jaring insang jenis mamoy dapat dioperasikan tidak hanya pada malam hari tetapi dapat dioperasikan hingga siang hari. Dengan demikian waktu pengoperasian alat dapat lebih lama, sehingga memungkinkan jumlah hasil tangkapan dapat lebih besar. Selain itu, jenis mamoy lebih lentur dan tidak mudah robek. Pengalaman nelayan menunjukkan bahwa daya tahan (umur ekonomis) jenis mamoy lebih lama dibandingkan jenis arida. Sebagai contoh pada umur pakai hingga 3 tahun jenis mamoy masih lentur dan lembut seperti semula, serta warnanya belum berubah (tidak kusam). Sementara jaring insang jenis arida pada umur yang sama kelenturannya sudah menurun atau benangnya mulai mengeras dan mulai mengalami kerusakan, serta warnanya mulai kusam. Kondisi ini dapat menurunkan jumlah hasil tangkapan dan keuntungan, karena dapat menyebabkan ikan tidak akan menabrak jaring atau terlepas/terpantul dari jaring dan biaya pemeliharaan alat tangkap bertambah. Meskipun harga per set benang jenis mamoy lebih mahal daripada jenis arida, tetapi jika dilihat dari daya tahan dan efisiensi biaya pemeliharaan alat tangkap, maka akan lebih menguntungkan menggunakan jaring insang yang terbuat dari jenis benang mamoy. Biaya operasional usaha perikanan jaring insang biasanya disediakan oleh nakhoda (juragan) dengan cara berhutang pada toko/warung langganan dan dibayar setelah kembali dari melaut. Nelayan jaring insang pada umumnya melakukan kegiatan penangkapan ikan selama lebih kurang 15 hari di laut (kalam) pada saat bulan di langit gelap setiap bulannya. Untuk mencapai
ISSN 1412-1468
daerah-daerah penangkapan (fishing ground) diperlukan bahan bakar (solar) berkisar antara 250 – 700 liter/trip. Berdasarkan hasil pengujian statistik peningkatan penggunaan solar akan dapat meningkatkan hasil tangkapan. Diketahui bahwa umumnya ikan yang menjadi sasaran tangkap jaring insang adalah ikan-ikan pelagis di perairan laut agak ke tengah dan dalam (lebih dari 10 mil laut dari pantai). Pada umumnya fishing ground nelayan jaring insang berada pada zona perairan laut antara 80 – 200 mil laut. Jadi semakin tinggi jumlah solar yang digunakan akan semakin jauh zona perairan laut (fishing ground) yang dapat dicapai sehingga akan memungkinkan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh menjadi lebih besar. Namun dalam peningkatan penggunaan bahan bakar kapal (solar) mengalami kendala yaitu kelangkaan ketersediaan solar bagi nelayan. Hal ini disebabkan lokasi SPDN (Stasiun Pengisian Bahan bakar Dealer Nelayan) jauh dari desa nelayan (fishing base). Umumnya nelayan membeli solar dari pedagang pengecer sehingga harga solar di tingkat nelayan lebih tinggi dibandingkan harga normal (Rp 5.500,00/liter) yaitu berkisar antara Rp 7.500,00 – Rp 8.000,00 per liter. Tingginya harga solar ini menyebabkan biaya operasional penangkapan menjadi tinggi, di mana untuk biaya bahan bakar mencapai 54,76% dan jumlah solar yang dapat dibeli oleh nelayan menjadi terbatas. Untuk mengatasi hal tersebut pernah nelayan jaring insang di Desa Tabanio mengusulkan adanya SPDN di desa mereka, tetapi pihak Pertamina tidak menyetujuinya karena kondisi perairan desa yang dangkal sehingga tidak memungkinkan kapal-kapal besar untuk merapat terutama pada saat perairan surut. Kondisi ini akan menghambat penyaluran solar dan akan tidak menguntungkan bagi SPDN. Berdasarkan hal tersebut maka alternatif solusi yang memungkinkan untuk mengatasi permasalahan ini adalah melakukan efisiensi penggunaan BBM.
106 ZIRAA’AH, Volume 28 Nomor 2, Juni 2010 Halaman 99-108
Efisiensi penggunaan BBM dapat dilakukan dengan apabila posisi fishing ground terutama daerah bersumberdaya ikan yang melimpah dan kondisi cuaca dapat diperkirakan dengan tepat. Untuk mengetahui posisi fishing ground pada umumnya nelayan jaring insang telah menggunakan alat bantu navigasi berupa kompas dan GPS (Global Position System) sederhana (tidak digital). Menurut nelayan selain bermanfaat menentukan posisi fishing ground, GPS juga memberikan manfaat dalam operasi penangkapan ikan antara lain mengetahui posisi kapal dan adanya batu karang meskipun cuaca berkabut, mengetahui posisi kapal nelayan lain sehingga menghindari tabrakan, memudahkan nelayan kembali ke fishing base, dengan demikian dapat dilakukan penghematan waktu dan penggunaan BBM. Namun fungsi GPS masih terbatas hanya pada penentuan posisi (titik-titik koordinat) fishing ground, dimana selama ini posisi-posisi fishing ground yang didatangi nelayan hanya berdasarkan rekam jejak (track record) mereka. Sementara kondisi cuaca yang dapat mempengaruhi operasi penangkapan seperti kecepatan angin, awan, hujan dan temperatur udara, serta kondisi perairan laut seperti tinggi gelombang, kecepatan arus air, dan suhu perairan masih diperkirakan dengan mengandalkan pengetahuan dan pengalaman nelayan saja. Hal ini menyebabkan masih terbatasnya operasi penangkapan dan belum diketahuinya fishing ground ikan pelagis yang potensial. Untuk lebih mengoptimalkan hasil penangkapan, kondisi tersebut sebaiknya ditunjang dengan tersedianya informasi peta perkiraan daerah penangkapan ikan yang menyajikan perkiraan posisi-posisi fishing ground, kondisi cuaca dan kondisi perairan. Peta perkiraan daerah penangkapan ikan ini merupakan hasil pengolahan data dan informasi kondisi oceanografi hasil pemantauan satelit, dan disediakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Penyampaian informasi peta perkiraan daerah penangkapan ikan kepada nelayan dapat
ISSN 1412-1468
dilakukan melalui Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat I dan II, koperasi nelayan atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Waktu yang diperlukan untuk pengoperasian alat tangkap mulai dari menebar sampai mengangkat berkisar antara 7 – 9 jam/trip. Cara pengoperasian jaring insang yang dilakukan nelayan Tanah Laut yaitu setelah sampai pada fishing ground tujuan dan dilakukan penurunan pelampung tanda dan jangkar, mula-mula alat diturunkan ke laut melalui samping kapal, kemudian alat dipasang melawan arah angin dan dibentang sepanjang jumlah set alat tangkap yang ada (setting), kemudian didiamkan 7 – 9 jam di perairan. Alat tangkap akan bergerak mengikuti arus laut, maka kapal biasanya akan bergerak pula sejauh 3 – 4 mil dari posisi awal. Kemudian jaring diangkat ke kapal dan ikan hasil tangkapan dipisahkan dari jaring. Untuk menghindari tabrakan antar kapal penangkapan akibat bergeraknya alat tangkap maka jarak antar kapal penangkap berkisar 2 – 4 mil laut. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa semakin lama jaring insang dioperasikan (didiamkan) di perairan maka akan semakin besar jumlah hasil tangkapan. Hal ini berkaitan dengan sifat alat tangkap yang pasif atau hanya menunggu gerombolan ikan yang lewat dan tertangkap dengan cara terjerat (gilled) pada bagian insang (overculum) atau terbelit (entangled). Peningkatan waktu aktual pengoperasian alat ini dapat dilakukan apabila nelayan menggunakan jaring insang berbahan benang mamoy yang waktu pengoperasiannya dapat dilakukan pada malam dan siang hari. Namun baru sebagian nelayan menggunakan jaring insang berbahan benang mamoy karena masih terkendala oleh keterbatasan suplai benang mamoy. Untuk mendapatkan benang mamoy nelayan harus melakukan pemesanan terlebih dahulu dan menunggu beberapa bulan. Dari hasil wawancara dengan nelayan diduga adanya praktik monopoli penjualan peralatan perikanan tangkap. Alternatif untuk
107 ZIRAA’AH, Volume 28 Nomor 2, Juni 2010 Halaman 99-108
mengatasi kendala ini adalah peningkatan peran serta pihak Dinas Perikanan dan Kelautan untuk membantu memperlancar pengadaan jenis benang mamoy. Ikan merupakan bahan pangan yang mudah busuk (perishable). Untuk menjaga agar ikan hasil tangkapan tetap layak konsumsi dan tidak mengalami penurunan kualitas maka perlu dilakukan penanganan cepat dan pengawetan. Pada usaha perikanan jaring insang, ikan hasil tangkapan relatif tinggi terutama pada puncak musim penangkapan. Pada umumnya, ikan hasil tangkapan pada usaha perikanan jaring insang langsung diolah menjadi ikan kering asin dan kegiatan pengolahan ini dilakukan bersamaan dengan operasi penangkapan. Jumlah garam yang dibawa nelayan pada saat operasi penangkapan tidak terlalu bervariasi yaitu berkisar antara 5 – 6 kwintal dengan harga per kwintal Rp 8.000,00. Pengawetan dengan garam dipilih nelayan karena dianggap lebih mudah dan murah, serta resiko kerusakan produk relatif sedikit. Tingkat produksi usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada musim dan cuaca, sehingga agak sulit memprediksi hasil tangkapan dengan pasti. Dari hasil wawancara diketahui bahwa apabila hasil tangkapan terlalu banyak, sementara garam yang dibawa tidak mencukupi maka ikan hasil tangkapan dibuang kembali ke laut. Hal ini menyebabkan ketidak efisienan biaya operasional dan menjadi suatu kerugian bagi nelayan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya upaya untuk mengatasi masalah ini antara lain adanya alternatif pengolahan hasil perikanan, kapal nelayan lain yang berfungsi untuk membeli hasil tangkapan dan atau sekaligus mengolah hasil tangkapan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Faktor ukuran kapal, pengalaman nelayan, jumlah BBM, waktu aktual pengoperasian alat tangkap, trip penangkapan, umur kapal, dan jumlah set alat tangkap, serta
ISSN 1412-1468
jenis bahan alat yang dipergunakan dalam pengoperasian jaring insang di Kabupaten Tanah Laut secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99%. Secara parsial, hanya jumlah BBM, waktu aktual pengoperasian alat tangkap dan jumlah set alat tangkap yang berpengaruh nyata terhadap produksi jaring insang. 2. Perbedaan jenis bahan alat menyebabkan perbedaan tingkat produksi ikan yang diperoleh. Produktivitas jaring insang berbahan benang jenis mamoy lebih baik dibandingkan produktivitas jaring insang berbahan benang jenis arida. 3. Terdapat beberapa kendala dalam upaya optimalisasi usaha perikanan jaring insang adalah kelangkaan BBM disertai harga yang relatif tinggi, ketidaklancaran penyaluran komponen alat tangkap, dan masih terbatasnya informasi data perikanan. Saran 1. Untuk mendapatkan produksi yang optimal perlu adanya peningkatan penggunaan BBM melalui efisiensi penggunaan BBM dengan cara menentukan secara pasti posisi fishing ground ikan yang menjadi target penangkapan melalui peningkatan pemanfaatan peralatan bantu navigasi yaitu GPS serta ketersediaan informasi peta prakiraan daerah penangkapan ikan. 2. Peningkatan jumlah set alat tangkap dan waktu aktual pengoperasian alat tangkap dengan menggunakan jenis benang mamoy memberikan peluang untuk mengoptimalkan hasil tangkapan. 3. Perlunya koordinasi antara Dinas Perikanan dan Kelautan dengan kelompok nelayan dalam penjaminan ketersediaan informasi peta prakiraan daerah penangkapan ikan dan kelancaraan penyaluran komponen alat tangkap dari produsen kepada nelayan.
108 ZIRAA’AH, Volume 28 Nomor 2, Juni 2010 Halaman 99-108
UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Depdiknas Dirjen Dikti melalui Program Hibah Kompetisi A2 Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat selaku penyandang dana dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Clark, C.W., R.M. Gordon and T.C. Anthony. 1985. Fisheries, Dynamics and Uncertainty : Progress in Natural Resources Economics. Clarendon Press, Oxford. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut, 2007. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut.
ISSN 1412-1468
Effendi, Irzal., dan Wawan Oktariza, 2006. Manajemen Agribisnis Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta. Fox, G. 1992. The Pricing of Environmental Goods : A Praxeological Critique of Contingent Valuation. Cultural Dynamics, 5 (3) : 245-259. Nikijuluw, V.P.H., B. Edi, B. Winarso dan C. Nurasa. 2000. Pemberdayaan Perikanan Rakyat Berdasarkan Analisis Bio-Ekonomi Sumberdaya. Pusat Peneltian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Soekartawi, 2002. Analisis Usaha Tani. Universitas Brawijaya. Malang.