ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI LADA DI KABUPATEN BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
SKRIPSI
KRISTIAWAN HADINATA GINTING H34060943
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN KRISTIAWAN HADINATA GINTING. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Lada di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YUSALINA).
Komoditi lada merupakan komoditi penting dalam perdagangan dunia. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil lada terbesar di dunia dan memiliki daerah sentra utama produksi lada yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk lada putih dan Provinsi Lampung untuk lada hitam. Lada putih dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah dikenal di dunia dengan brand image Muntok White Pepper. Akan tetapi, produksi lada di Bangka Belitung tujuh tahun terakhir ini (tahun 2002-2008) mengalami masalah karena terjadi tren penurunan. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, secara umum, teridentifikasi sembilan permasalahan (faktor) yang terkait dengan produksi lada, khususnya permasalahan penurunan produksi tersebut. Penelitian ini mengkaji tiga permasalahan utama, sekaligus sebagai permasalahan dalam penelitian, yaitu harga jual lada di tingkat petani, adanya peluang usaha lain (selain lada), dan penerapan teknologi budidaya lada petani. Bangka merupakan kabupaten yang mengalami tren penurunan produksi paling signifikan dari tahun 2004-2008. Hasil pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa harga jual lada di tingkat petani, adanya peluang usaha lain (selain lada), dan penerapan teknologi budidaya lada petani mempengaruhi produksi lada di Kabupaten Bangka. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh harga jual lada di tingkat petani, peluang usaha lain, dan teknologi budidaya lada petani terhadap produksi lada tersebut. Setelah dilakukan pengkajian melalui studi pustaka, teori-teori yang relevan, serta kerangka berpikir yang dibangun, maka ditetapkan hipotesis penelitian, yaitu harga jual lada di tingkat petani, peluang usaha lain, dan teknologi budidaya lada petani, secara bersama-sama, berpengaruh signifikan terhadap produksi lada. Untuk mengkaji dan menguji hipotesis tersebut, dilakukan penelitian selama dua bulan (Mei akhir-Juli akhir tahun 2010) di Kabupaten Bangka, yang merupakan salah satu wilayah administratif kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kabupaten Bangka ditetapkan sebagai lokasi kajian penelitian, karena pada rentang tahun 2004-2008 tren penurunan produksi ladanya paling nyata (signifikan) dan antara tahun 2007-2008 mengalami penurunan produksi terbesar diantara lima kabupaten penghasil lada lainnya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pengambilan sampel dilakukan multitahap dengan metode judgement dan cluster untuk menetapkan kabupaten, kecamatan, dan desa, serta metode judgement yang dilanjutkan simple random sampling untuk sampel petani. Kriteria petani lada yang ditetapkan adalah yang mendiversifikasikan usaha ladanya dan tanaman ladanya tersebut telah menghasilkan buah lada atau dipanen selama tahun 2009, sehingga diperoleh sampel yang homogen. Jumlah petani lada yang menjadi sampel sebanyak 30 petani, dari 176 petani lada di kerangka
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI LADA DI KABUPATEN BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
SKRIPSI
KRISTIAWAN HADINATA GINTING H34060943
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
sampel, yang terambil dari sembilan desa yang menyebar di tiga kecamatan, dari delapan kecamatan yang ada di Kabupaten Bangka. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menyusun kuesioner, wawancara, serta pengamatan langsung di lapangan. Data sekunder diambil dari instansi atau lembaga yang terkait di Kabupaten Bangka dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Data yang terkumpul diolah terlebih dahulu dengan cara pengelompokan; editing; standarisasi; mencari rata-rata, median, dan modus; tabulasi; gambar; dan grafik. Kemudian, dilakukan analisis deskriptif serta analisis korelasi dan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hanya variabel teknologi budidaya lada yang signifikan berpengaruh terhadap produksi lada, pada taraf nyata (α) 10 persen dengan koefisien regresi sebesar positif (+) 1.105,508. Skor (indeks) maksimum variabel teknologi budidaya lada adalah 2 (dua) satuan, sehingga koefisien regresi variabel tersebut mengindikasikan untuk setiap kenaikan teknologi budidaya lada petani 0,1 satuan, maka rata-rata produksi lada akan meningkat sebesar 110,5508 kg/ha, dan sebaliknya saat teknologi budidaya lada petani menurun 0,1 satuan, maka rata-rata produksi lada akan menurun sebesar 110,5508 kg/ha.
iii
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI LADA DI KABUPATEN BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
KRISTIAWAN HADINATA GINTING H34060943
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Lada di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nama
: Kristiawan Hadinata Ginting
NIM
: H34060943
Disetujui, Pembimbing
Dra. Yusalina, MSi NIP 19650115 199003 2 001
Diketahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi Saya yang berjudul “Analisis Faktorfaktor yang Mempengaruhi Produksi Lada di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
November 2010
Kristiawan Hadinata Ginting H34060943
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 4 Desember 1988. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Budiman Ginting dan Ibu Magdalena Tarigan. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Maria Goretti Sungailiat (Bangka) pada tahun 2000 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP Santa Theresia Pangkalpinang (Bangka). Pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Sungailiat (Bangka) diselesaikan pada tahun 2006. Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus Komisi Pelayanan Khusus, Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen, Institut Pertanian Bogor (KOPELKHU UKM PMK IPB), periode 2008-2009.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Lada di Kabupaten Bangka Provinsi
Kepulauan
Bangka
Belitung”.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menganalisis pengaruh harga jual lada di tingkat petani, peluang usaha lain, dan teknologi budidaya lada petani terhadap produksi lada. Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini, sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor,
November 2010
Kristiawan Hadinata Ginting
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada: 1. Dra. Yusalina, MSi selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi. 2. Ir. Narni Farmayanti, MSc selaku dosen penguji utama. 3. Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji departemen. 4. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku pembimbing akademik serta seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis. 5. Ir. Harmini, MSi atas bimbingan kepada penulis, khususnya dalam metode pengolahan data penelitian. 6. Bapak, Ibu, dan Adik, untuk setiap dukungan yang telah diberikan. 7. Petani lada yang telah bersedia menjadi responden penelitian penulis. 8. Bapak Sumardi, Bapak Mukmin Hafiz, dan Bapak Priyono (selaku PPL BPP Petaling); Bapak Sarwani, Bapak Albani, dan Ibu Maryati (selaku PPL BPP Bakam); serta Bapak Sarwo Edi, Bapak Mardi, dan Bapak Suharto (selaku PPL BPP Pangkal Niur), atas bantuannya di lapangan. 9. Teman-teman Agribisnis angkatan 43 atas semangat dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi. 10. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.
Bogor,
November 2010
Kristiawan Hadinata Ginting
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xvi
I
PENDAHULUAN ................................................................... 1.1. Latar Belakang .................................................................. 1.2. Perumusan Masalah .......................................................... 1.3. Tujuan ............................................................................... 1.4. Manfaat ............................................................................. 1.5. Ruang Lingkup ..................................................................
1 1 7 10 10 10
II
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 2.1. Tanaman dan Teknologi Budidaya lada ............................ 2.1.1. Tanaman Lada ......................................................... 2.1.2. Teknologi Budidaya Lada ....................................... 2.2. Penelitian Terdahulu ......................................................... 2.3. Perbandingan Dengan Penelitian Terdahulu .....................
12 12 12 15 40 43
III
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................. 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................ 3.1.1. Produksi ................................................................... 3.1.2. Harga Jual Lada di Tingkat Petani dan Produksi .... 3.1.3. Peluang Usaha Lain dan Produksi ........................... 3.1.4. Teknologi Budidaya Lada Petani dan Produksi ...... 3.1.5. Harga Jual Lada di Tingkat Petani, Peluang Usaha Lain, Teknologi Budidaya Lada Petani, dan Produksi .................................................................. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .....................................
46 46 46 50 52 55
METODE PENELITIAN ...................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu ............................................................. 4.2. Metode Penentuan Sampel ................................................ 4.3. Desain Penelitian ............................................................... 4.4. Data dan Instrumentasi ...................................................... 4.5. Metode Pengumpulan Data ............................................... 4.6. Metode Pengolahan Data .................................................. 4.6.1. Analisis Deskriptif ................................................... 4.6.2. Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda ..... 4.6.3. Uji Asumsi Model Regresi Linear Klasik ............... 4.6.4. Bentuk Pengujian Hipotesis Penelitian ................... 4.7. Model Regresi Linear Berganda ....................................... 4.8. Definisi Operasional .......................................................... 4.8.1. Produksi Lada (Y) ................................................... 4.8.2. Harga Jual Lada di Tingkat Petani (X1) .................. 4.8.3. Peluang Usaha Lain (X2) .........................................
60 60 60 63 64 64 65 65 65 70 73 74 77 78 78 79
IV
56 57
4.8.4. Teknologi Budidaya Lada Petani (X3) ....................
92
V
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................. 5.1. Lokasi ................................................................................ 5.2. Karakteristik Wilayah ....................................................... 5.3. Demografi ......................................................................... 5.4. Potensi Umum Wilayah .................................................... 5.5. Perekonomian ....................................................................
111 111 116 117 120 121
VI
PEMBAHASAN ..................................................................... 6.1. Karakteristik Responden ................................................... 6.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur .......... 6.1.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Status ......... 6.1.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan . 6.1.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Mengusahakan Lada ................................................ 6.1.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Usaha ......... 6.1.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Kepemilikan Lahan ....................................................................... 6.2. Analisis Deskriptif ............................................................ 6.2.1. Analisis Deskriptif Variabel Produksi ..................... 6.2.2. Analisis Deskriptif Variabel Harga Jual Lada di Tingkat Petani ......................................................... 6.2.3. Analisis Deskriptif Variabel Peluang Usaha Lain ... 6.2.4. Analisis Deskriptif Variabel Teknologi Budidaya Lada Petani .............................................................. 6.3. Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda ............... 6.3.1. Model Regresi Linear Berganda ............................. 6.3.2. Uji Asumsi Linear Klasik Model Regresi Linear Berganda ................................................................. 6.3.3. Uji Hipotesis ............................................................ 6.3.4. Pembahasan Hasil Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda ...................................................... 6.3.4.1. Pengaruh Harga Jual Lada di Tingkat Petani Terhadap Produksi Lada .................. 6.3.4.2. Pengaruh Peluang Usaha Lain Terhadap Produksi Lada ............................................. 6.3.4.3. Pengaruh Teknologi Budidaya Lada Petani Terhadap Produksi Lada .............................
128 128 128 128 129
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. 7.1. Kesimpulan ....................................................................... 7.2. Saran ..................................................................................
156 156 156
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
158
LAMPIRAN ........................................................................................
164
VII
129 130 132 132 132 135 137 145 147 147 147 148 151 151 152 154
xi
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Total Ekspor Lada dari Beberapa Negara Produsen Tahun 2002-2009 (Estimasi) dalam Ton .............................................
1
Total Produksi dan Ekspor Lada dari Negara Produsen Tahun 2008 ..........................................................................................
2
Luas Areal dan Produksi Perkebunan Lada di Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2008 (Angka sementara) ..........
14
Dosis Pupuk Anorganik (Kimia) untuk Tanaman Lada dengan Panjatan Hidup dan Mati ..........................................................
27
Jadwal Pertumbuhan Tanaman di Kebun Intensif dengan Panjatan ....................................................................................
31
6.
Keunggulan Tujuh Varietas Lada yang Telah Diuji ................
35
7.
Keunggulan Varietas Lampung, Lampung Daun Lebar (LDL), Muntok, Belantung, Kerinci, dan Jambi ......................
36
Perbandingan Analisis Benefit Cost Ratio, IRR, dan Payback Period Komoditi Kelapa Sawit, Karet, dan Lada ....................
43
Areal Tanam dan Produksi Lada per Kecamatan di Kabupaten Bangka Tahun 2009 .................................................................
61
10. Luas Areal Tanam dan Panen Sembilan Desa Lokasi Penelitian ..................................................................................
62
11. Kriteria Uji Hipotesis Dua Arah dengan Uji t-student .............
73
12. Kriteria Uji Hipotesis Dua Arah dengan Uji F ........................
74
13. Kriteria Uji Hipotesis Penelitian Dua Arah dengan Uji F pada Model Regresi Linear Berganda ..............................................
76
14. Kriteria Uji Hipotesis Penelitian Dua Arah dengan Uji t-student pada Model Regresi Linear Berganda .......................
77
15. Kisi-kisi Instrumen Variabel Peluang Usaha Lain (X2) ...........
87
16. Jenis, Dosis, Waktu, dan Frekuensi Pemupukan Tanaman Lada pada Umur 3-12 Bulan ..................................................
100
17. Jenis, Dosis, Waktu, dan Frekuensi Pemupukan Tanaman Lada pada Umur 13-24 Bulan ..................................................
101
18. Jenis, Dosis, Waktu, dan Frekuensi Pemupukan Tanaman Lada dengan Panjatan Hidup pada Umur Lebih dari 24 Bulan ........................................................................................
101
19. Jenis, Dosis, Waktu, dan Frekuensi Pemupukan Tanaman Lada dengan Panjatan Mati pada Umur Lebih dari 24 Bulan ..
102
2. 3. 4. 5.
8. 9.
20. Kisi-kisi Instrumen Variabel Teknologi Budidaya Lada Petani (X3) ...........................................................................................
107
21. Areal Tanam dan Produksi Lada per Kecamatan di Kabupaten Bangka Tahun 2009 .................................................................
113
22. Areal Tanam dan Luas Panen Lada per Desa di Kecamatan Mendo Barat Tahun 2009 .........................................................
114
23. Areal Tanam dan Luas Panen Lada per Desa di Kecamatan Bakam Tahun 2009 ..................................................................
114
24. Areal Tanam dan Luas Panen Lada per Desa di Kecamatan Riau Silip Tahun 2009 .............................................................
115
25. Jarak Terdekat Lokasi-lokasi Penelitian dengan Ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atau Kabupaten Bangka ......................................................................................
115
26. Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Bangka Tahun 2008 .....
117
27. Struktur Tenaga kerja Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Bangka Tahun 2008 .................................................................
118
28. Produksi Lada, Karet, dan Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan di Kabupaten Bangka Tahun 2008 dan 2009 ..........................................................................................
120
29. Kontribusi Tiga Sektor Utama dalam Pembentukan PDRB Kabupaten Bangka Tahun 2008 ...............................................
123
30. Kontribusi Subsektor Terhadap Sektor Pertanian dalam PDRB ADHB Kabupaten Bangka Tahun 2008 ...................................
124
31. Nilai Produksi Tanaman Lada, Karet, dan Kelapa Sawit di Kabupaten Bangka Tahun 2008 ...............................................
126
32. Karakteristik Responden Menurut Umur .................................
128
33. Karakteristik Responden Menurut Status .................................
128
34. Karakteristik Responden Menurut Pendidikan ........................
129
35. Karakteristik Responden Menurut Pengalaman Mengusahakan Lada ..........................................................................................
130
36. Karakteristik Responden Menurut Diversifikasi Usaha ...........
131
37. Karakteristik Responden Menurut Status Kepemilikan Lahan ........................................................................................
132
38. Produksi Lada Responden Tahun 2009 ...................................
134
39. Harga Jual Lada Rata-rata Responden Tahun 2009 .................
136
40. Usaha Lain Responden Petani Lada Tahun 2009 ....................
137
xiii
41. Jawaban Responden Mengenai Prioritas Pengusahaan Lada Dibanding Dengan Usaha Lain yang Dijalankan Selama Tahun 2009 ..............................................................................
139
42. Perbandingan Prioritas Pengusahaan Responden Atas Usaha Lada dan Usaha Lain yang Dijalankan Selama Tahun 2009 ...
140
43. Dampak Pengusahaan Usaha Lain Bagi Ketersediaan Areal Tanam Lada Responden Selama Tahun 2009 ..........................
141
44. Deskripsi Variabel Teknologi Budidaya Lada Responden Tahun 2009 ..............................................................................
145
45. Hasil Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda .............
149
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman Produksi Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2002-2008 ................................................................................
5
Luas Areal Tanam Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2002-2008 ......................................................
6
Ekspor Lada dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2002-2008 ................................................................................
7
Produksi Lada per Kabupaten dan Kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2004-2008 .........................................
8
Produksi Perkebunan Rakyat Utama di Kabupaten Bangka Tahun 2004-2008 .....................................................................
9
6.
Skema Sistem Produksi ............................................................
49
7.
Pergeseran di Sepanjang Kurva Penawaran, dari Titik A ke Titik A’, Akibat Adanya Kenaikan Harga Barang ...................
51
Pengaruh Kemajuan Teknologi terhadap Output (Upward Shift of Production), Model Produksi dengan Satu Faktor Produksi (Input) Variabel .........................................................
55
Dampak Kemajuan Teknologi, pada Model Produksi dengan Dua Faktor Produksi Variabel ..................................................
56
10. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ...........................
59
11. Tahap Penentuan Sampel Penelitian ........................................
63
12. Peta Wilayah Kabupaten Bangka Tahun 2002 .........................
112
13. Struktur Ekonomi Provinsi Kepulauan Bangka BelitungTahun 2008 ..........................................................................................
122
14. Luas Areal Tanam Lada di Kabupaten Bangka Tahun 2001-2009 ................................................................................
133
15. Produksi Lada di Kabupaten Bangka Tahun 2001-2009 .........
133
16. Harga Rata-rata Lada Putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2001-2009 ......................................................
135
2. 3. 4. 5.
8.
9.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Halaman Produksi Lada di Indonesia per Provinsi Tahun 2002-2008 dalam Ton .................................................................................
165
Perkembangan Produksi Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2007-2008 Berdasarkan Kabupaten dan Kota
166
3.
Kerangka Sampel Petani Lada .................................................
167
4.
Skor Variabel Teknologi Budidaya Lada Petani Tahun 2009 ..........................................................................................
168
5.
Data Penelitian .........................................................................
169
6.
Rangkuman Hasil Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda ..................................................................................
170
Hasil Perhitungan Uji Multikolinearitas Model Regresi Linear Berganda ..................................................................................
171
Hasil Perhitungan Uji Normalitas Model Regresi Linear Berganda ..................................................................................
172
Hasil Perhitungan Uji Heteroskedastisitas Model Regresi Linear Berganda .......................................................................
173
10. Hasil Perhitungan Uji Autokorelasi Model Regresi Linear Berganda ..................................................................................
174
11. Rangkuman Hasil Uji t-student (Uji Individu) Hipotesis Dua Arah dari Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda ......
175
12. Rangkuman Hasil Uji F (Uji Global) Hipotesis Dua Arah dari Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda ......................
176
13. Pengusahaan Lada oleh Responden di Kabupaten Bangka ......
177
14. Perbandingan Prioritas Pengusahaan Tanaman Lada dan Kelapa Sawit serta Lada dan Karet oleh Responden di Kabupaten Bangka ...................................................................
178
15. Dampak Pengusahaan Tanaman Karet dan Kelapa Sawit Terhadap Ketersediaan Areal Tanam Lada oleh Responden di Kabupaten Bangka ...............................................................
179
16. Contoh Rendahnya Penerapan Teknologi Budidaya Lada oleh Responden di Kabupaten Bangka ............................................
180
2.
7. 8. 9.
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Rempah-rempah (spices) memainkan peranan yang penting dalam sejarah peradaban, penjelajahan, dan perdagangan di dunia. Salah satu dari komoditi rempah-rempah tersebut adalah lada. Berdasarkan
International Pepper
Community (IPC) dan Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO) (2005), lada memiliki tempat yang penting dalam perdagangan rempahrempah dunia, dimana lada menjadi komoditi pertama yang diperdagangkan secara internasional dan membuka rute-rute perdagangan antara “Dunia Barat” dan “Dunia Timur”. Perdagangan lada di dunia saat ini dapat dilihat dari jumlah ekspor yang terjadi dan dilakukan oleh beberapa negara, khususnya oleh negaranegara produsen, yang dapat dilihat lebih jelas dalam Tabel 1.
Tabel 1. Total Ekspor Lada dari Beberapa Negara Produsen Tahun 2002-2009 (Estimasi) dalam Ton Negara Vietnam Indonesia Brazil India Malaysia Srilanka Cina (RRC) Ekuador Madagaskar Thailand Total
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009*
78.155 53.210 37.531 24.225 22.661 8.225 4.770 2.320 880 639 232.616
74.639 60.896 37.940 19.423 18.672 8.240 3.760 3.337 1.000 500 228.407
98.494 46.260 40.529 14.049 18.206 4.853 3.529 3.705 1.000 500 231.125
109.565 38.227 38.416 15.752 16.799 8.129 2.500 2.945 1.231 1.400 234.964
116.670 35.545 42.194 26.377 16.605 8.190 3.000 1.913 1.995 1.500 253.989
82.904 38.447 39.008 33.940 15.065 9.026 5.000 2.500 1.800 1.400 229.090
89.705 52.410 36.723 26.665 14.241 6.242 6.000 3.000 1.750 1.400 238.136
93.000 44.000 32.000 20.500 18.000 5.808 4.000 3.200 1.400 1.400 223.308
Keterangan: *) Angka estimasi Sumber: International Pepper Community (IPC) (2009) (Diolah)
Tabel 1 menunjukkan bahwa antara tahun 2002-2009, negara produsen yang mendominasi ekspor lada adalah Vietnam. Adapun lima besar negara produsen yang mengekspor lada dalam jumlah besar pada periode tersebut, yaitu Vietnam, Indonesia, Brazil, India, dan Malaysia. Komoditi lada menjadi penting karena memiliki beragam kegunaan. Lada dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan, industri makanan, parfum,
dan pestisida nabati (Rismunandar 2007). Produk utama komoditi lada yang diperdagangkan secara internasional adalah lada putih (white pepper) dan lada hitam (black pepper). Lada putih dan lada hitam sebenarnya berasal dari buah lada yang sama. Lada putih merupakan olahan dari buah lada yang telah matang di pohon, dipanen, dan dikelupas kulitnya, serta dikeringkan. Lada hitam dihasilkan dari buah lada yang dipanen sebelum matang dan masih berwarna hijau, serta langsung dikeringkan tanpa dilakukan pengelupasan kulit. Disebutkan sebelumnya bahwa Indonesia termasuk salah satu dari lima negara produsen dan pengekspor lada utama di dunia. Menurut Edizal (1998) semasa VOC menduduki Indonesia pada tahun 1720, keuntungan dari tanaman lada merupakan sepertiga bagian dari seluruh keuntungan yang diperolehnya. Kontribusi lada semakin besar terhadap keuntungan VOC pada tahun 1772, yaitu mencapai dua per tiga bagian dari keseluruhan keuntungannya (Ditjenbun Deptan 2009). Sebelum perang dunia kedua, Indonesia mampu memasok 80 persen kebutuhan lada dunia (Edizal 1998). Pada tahun 2008, Indonesia adalah produsen sekaligus eksportir lada urutan kedua di dunia, setelah Vietnam. Untuk lebih jelas, data dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Total Produksi dan Ekspor Lada dari Negara Produsen Tahun 2008 Negara Vietnam Indonesia Brazil India Malaysia Srilanka Cina (RRC) Ekuador Madagaskar Thailand Total
Produksi (Ton) 91.000 56.000 41.000 50.100 22.000 13.243 28.000 2.800 9.800 313.943
Persentase Produksi (%) 28,99 17,84 13,06 15,96 7,01 4,22 8,92 0,89 3,12 100
Ekspor (Ton) 89.705 52.410 36.723 26.665 14.241 6.242 6.000 3.000 1.750 1.400 238.136
Persentase Ekspor (%) 37,67 22,01 15,42 11,20 5,98 2,62 2,52 1,26 0,73 0,59 100
Keterangan: -) Data tidak tersedia Sumber: International Pepper Community (IPC) (2009) (Diolah)
Oleh karena itu, perdagangan komoditi lada menjadi penting bagi Indonesia dari sisi ekspor nonmigas, yang dapat menghasilkan devisa negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data yang diperoleh dan diolah 2
dari IPC (2009), Bappebti (2010)1, dan BI (2010)2, dapat diketahui bahwa ekspor lada Indonesia pada tahun 2008 mencapai nilai US $ 198.624.630 atau sekitar Rp 1.823,28 miliar (menggunakan kurs dollar rata-rata selama tahun 2008). Adapun total nilai produksi lada Indonesia pada tahun 2008 mencapai US $ 214.862.131,7 atau sekitar Rp 1.972,34 miliar (menggunakan kurs dollar rata-rata selama tahun 2008), dimana PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia atas dasar harga berlaku di tahun tersebut (angka sementara), dari subsektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan, khususnya dari tanaman perkebunan adalah sebesar Rp 716.065,3 miliar (BPS 2010)3, sedangkan atas dasar harga konstan adalah sebesar Rp 142.000,4 miliar (BPS 2010)4. Menurut Rismunandar (2007), ada beberapa alasan yang menyebabkan komoditi lada memberikan kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia, yaitu diantaranya 1) konsumsi lada cenderung meningkat akibat pertambahan penduduk, perkembangan industri makanan dan obat-obatan, serta peningkatan konsumsi per kapita; 2) lada merupakan komoditas pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja, baik petani, pekerja, maupun pedagang; 3) teknik budidaya yang diterapkan di Indonesia tidak menggunakan banyak perlakuan mekanis, sehingga besar peranannya dalam pemanfaatan tenaga kerja; dan 4) luasnya wilayah pengembangan yang tersedia di Indonesia. Dewasa ini, terdapat banyak daerah di Indonesia yang memproduksi lada. Sebagian besar (sekitar 99 persen) produksi lada Indonesia dihasilkan dari perkebunan lada yang dikelola oleh rakyat (petani) atau smallholders, dan sisanya dikelola oleh pihak swasta (Ditjenbun Deptan 2009)5. Daerah-daerah penghasil lada di Indonesia secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 1. Provinsi Kepulauan
1
[Bappebti] Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. 2010. Harga Bursa Komoditi Lada Putih. http://www.bappebti.go.id. [Diakses tanggal 23 Maret 2010] 2 [BI] Bank Indonesia. 2010. Kurs Uang Kertas Asing Mata Uang USD Tahun 2008. http://www.bi.go.id. [Diakses tanggal 23 Maret 2010] 3 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah). http://www.bps.go.id. [Diakses tanggal 23 Maret 2010] 4 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar Rupiah). http://www.bps.go.id. [Diakses tanggal 23 Maret 2010] 5 [Ditjenbun Deptan] Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. 2009. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 1967-2009. http://www.ditjenbun.deptan.go.id. [Diakses tanggal 8 Desember 2009]
3
Bangka Belitung merupakan daerah produsen lada terbesar di Indonesia pada rentang tahun 2002-2004, tetapi menjadi yang terbesar kedua di Indonesia, antara tahun 2005-2008, setelah Lampung, karena adanya penurunan produksi (dapat dilihat pada Lampiran 1). Tetapi daerah ini, merupakan produsen lada putih (white pepper) paling besar di Indonesia (Edizal 1998). Lada putih produksi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (dahulu Pulau Bangka), telah dikenal luas di pasar lada dunia dan memiliki brand image sendiri di pasar tersebut, yaitu dengan nama Muntok White Pepper. Penamaan Muntok White Pepper ini, salah satunya, disebabkan karena lada putih dari Bangka Belitung, pertama kali diperdagangkan secara internasional (diekspor) melalui pelabuhan Muntok di Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat (setelah dilakukan pemekaran). Berdasarkan laporan studi lapangan Kurniawati Y et al. (2009), sebagai komoditi ekspor, lada berkontribusi terhadap pendapatan daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sampai akhir tahun 90-an pasokan lada putih dari Bangka Belitung di pasar dunia dapat mencapai 60-80 persen. Pada tahun 2008, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengekspor 8.334,241 ton lada, dengan nilai US $ 39.768.633,78 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2009), dari total produksi sebesar 15.671,21 ton (Dinas Pertanian, Pekebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2009). Jumlah lada yang diekspor pada tahun tersebut mencapai 53,18 persen dari total produksinya. Selain menjadi sumber pendapatan daerah dan tentunya petani lada sendiri, komoditi lada juga memiliki peranan strategis, dilihat dari sisi sejarah dan kebudayaan di Bangka Belitung. Lada putih adalah komoditi unggulan dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah diusahakan masyarakat sejak abad ke-18 Masehi (Oktaviandi 2008 diacu dalam Kurniawati Y et al. 2009). Hal tersebut kemudian berlanjut pada masa penjajahan, baik oleh kolonial Belanda, maupun Jepang (Edizal 1998). Berdasarkan Statistik Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2007, perkebunan lada rakyat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dimiliki dan diusahakan oleh 21.233 kepala keluarga. Dengan demikian, masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah mengenal dengan baik komoditi lada dan menjadi salah 4
satu sumber mata pencaharian utama dari sektor pertanian di daerah ini. Karakteristik alam Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga sangat mendukung dibudidayakannya tanaman lada, seperti kesesuaian faktor iklim dan ketersediaan air (Ditjenbun Deptan 2009). Oleh sebab itu, sebenarnya provinsi ini memiliki keunggulan (daya saing) komparatif dan alasan-alasan yang menunjang pengembangan agribisnis komoditi lada. Akan tetapi, saat ini, komoditi potensial di Bangka Belitung ini memiliki permasalahan dari sisi produksi, yaitu mengalami fluktuasi dan tren penurunan produksi, khususnya dalam rentang waktu tujuh tahun terakhir. Data total dan tren produksi lada tujuh tahun terakhir, yaitu tahun 2002-2008, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
35.000,00
32.611,94
31.566,00
Produksi (Ton)
30.000,00 25.000,00
22.140,32
20.000,00
18.273,50 16.292,36
15.000,00
13.856,18 15.671,21
10.000,00 5.000,00 0,00 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 1. Produksi Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 20022008 Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2009) (Diolah)
Data pada Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa produksi lada di Bangka Belitung menurun dalam rentang waktu tahun 2002-2007. Dibandingkan tahun 2002, produksi lada pada tahun 2008 mengalami penurunan sebesar 51,95 persen, walaupun produksi pada tahun 2008 tersebut telah mengalami sedikit perbaikan dari tahun sebelumnya (2007), yaitu sebesar 1.815,03 ton. 5
Fluktuasi dan tren penurunan produksi lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga diikuti oleh fluktuasi dan tren penurunan luas areal (tanaman menghasilkan) dan jumlah ekspornya. Pada tahun 2008, luas areal tanaman lada menghasilkan di provinsi tersebut menurun sebesar 14.644,89 ha atau 48,72 persen, dibandingkan tahun 2002. Luas areal tanaman lada menghasilkan pada tahun 2008 merupakan yang terendah selama tahun 2002-2008. Data mengenai luas areal tanaman lada menghasilkan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2002-2008 selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Luas Areal Tanam (Ha)*
35.000,00 30.000,00
30.059,87 26.332,71
25.000,00
22.299,30 20.432,65
20.000,00
20.799,00 16.268,25 15.414,98
15.000,00 10.000,00 5.000,00 0,00 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun Keterangan: *) Luas areal tanam untuk tanaman lada menghasilkan
Gambar 2. Luas Areal Tanam Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2002-2008 Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2009) (Diolah)
Sementara itu, pada tahun 2008, jumlah ekspor lada menurun sebesar 21.133,759 ton atau 71,7 persen, dibandingkan tahun 2002. Jumlah ekspor lada terendah, pada periode tahun 2002-2008, terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 8.334,241 ton. Data mengenai hal tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 3.
6
35.000,000
Ekspor (Ton)
30.000,000
29.448,000
25.000,000 21.199,000
20.000,000 15.000,000
11.410,545 9.977,000
9.527,048
10.000,000
8.339,000 8.334,241
5.000,000 0,000 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 3. Ekspor Lada dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 20022008 Sumber: Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2009)6 dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2009) (Diolah)
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pemerintah Pusat (lewat Departemen Pertanian) telah menyikapi kondisi lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini. Bentuk perhatian tersebut dituangkan melalui pencanangan program revitalisasi lada putih (Muntok White Pepper) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Revitalisasi ini akan melibatkan berbagai pihak yang berada di dalam sistem agribisnis komoditas lada tersebut.
1.2. Perumusan Masalah Fluktuasi produksi lada dengan tren yang menurun di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini merupakan dampak dari terjadinya hal yang serupa di tingkat kabupaten dan kota, terutama enam kabupaten yang merupakan daerah penghasil lada di provinsi tersebut. Bangka merupakan salah satu daerah kabupaten penghasil lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Produksi lada per Kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, khususnya dari tahun 2004 hingga 2008, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4. 6 [Diskominfo] Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2009. Bangkitkan Kembali Kejayaan Lada Putih. http://www.babelprov.go.id. [Diakses tanggal 11 September 2009]
7
9.000,00 8.000,00
7.641,00
Produksi (Ton)
7.000,00 6.000,00
5.140,60
5.000,00 4.000,00
4.222,10
3.198,30
3.000,00 2.000,00
1.659,22
1.000,00 0,00 2004
2005
2006
2007
2008
Tahun Bangka
Bangka Tengah
Bangka Selatan
Bangka Barat
Belitung
Belitung Timur
Gambar 4.
Produksi Lada per Kabupaten dan Kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2004-2008 Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2009) (Diolah)
Gambar 4 menunjukkan bahwa Kabupaten Bangka mengalami tren penurunan produksi paling signifikan hingga tahun 2008, walaupun pada tahun 2006 sempat mengalami perbaikan. Dibandingkan tahun 2004, pada tahun 2008 produksi lada mengalami penurunan sebesar 78,28 persen (5.981,78 ton). Selain itu, antara tahun 2007-2008, Kabupaten Bangka merupakan daerah yang paling besar penurunan produksinya dibandingkan daerah lain di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu sebesar 1.539,08 ton (Lampiran 2). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan indikasi bahwa harga jual lada, adanya peluang usaha lain, dan penerapan teknologi budidaya lada petani mempengaruhi produksi lada di Kabupaten Bangka. Harga jual lada masih dianggap rendah oleh petani karena sebelumnya pernah merasakan (menerima) harga yang lebih tinggi, sehingga motivasi mereka juga rendah untuk mengusahakan lada. Adanya peluang usaha lain, yang menurut petani lebih menguntungkan
dari
pada
mengusahakan
lada,
menyebabkan
mereka
berdiversifikasi atau beralih usaha. Hal tersebut terlihat dari semakin 8
berkembangnya beberapa usaha lain, khususnya usaha karet dan kelapa sawit, yang merupakan komoditi perkebunan rakyat utama, selain lada, di Kabupaten Bangka, dan merupakan pilihan utama petani lada untuk berdiversifikasi usaha.
Produksi (Ton)
Keadaan tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.
45.000,00 40.000,00 35.000,00 30.000,00 25.000,00 20.000,00 15.000,00 10.000,00 5.000,00 0,00 2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun Lada
Karet
Kelapa Sawit
Gambar 5. Produksi Perkebunan Rakyat Utama di Kabupaten Bangka Tahun 2004-2008 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangka (2010) (Diolah)
Gambar 5 memperlihatkan perkembangan yang berbeda dari masingmasing usaha perkebunan rakyat utama di Kabupaten Bangka. Komoditi karet dan kelapa sawit mengalami perkembangan yang positif, terlihat dari tren produksinya yang meningkat. Sementara itu, komoditi lada perkembangannya negatif, yang terlihat dari tren produksinya yang menurun. Penerapan teknologi budidaya lada petani masih dikategorikan rendah, dilihat dari pengolahan lahan yang masih tradisional, kurangnya pemeliharaan, serta kurangnya pengendalian hama dan penyakit. Akibatnya, tanaman lada yang diusahakan tidak berproduksi dengan baik. Berdasarkan masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah harga jual lada di tingkat petani, peluang usaha lain, dan teknologi budidaya lada petani berpengaruh terhadap produksi lada?
9
1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh harga jual lada di tingkat petani, peluang usaha lain, dan teknologi budidaya lada petani terhadap produksi lada.
1.4. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang keilmuan agribisnis, khususnya agribisnis komoditi lada yang ada di Kabupaten Bangka dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2. Menjadi informasi dan pengetahuan bagi penelitian lanjutan. 3. Sebagai sumber informasi untuk pengembangan agribisnis lada bagi pemerintah daerah Kabupaten Bangka khususnya dan pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung umumnya, serta masyarakat yang terlibat langsung di dalam sistem agribisnis komoditi lada. 4. Sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan, dalam menentukan solusi atas permasalahan dalam produksi lada di Kabupaten Bangka khususnya dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung umumnya.
1.5. Ruang Lingkup Proses budidaya lada, yang meliputi kegiatan persiapan lahan, penyediaan bibit, persiapan junjung, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman, hingga panen, dan proses pengolahan buah lada hasil panen menjadi lada putih, dianggap sebagai satu kesatuan proses, yaitu proses produksi lada putih. Hal tersebut terkait dengan perilaku petani lada di Bangka Belitung, dimana umumnya, lada yang baru mereka panen dari kebun langsung diolah (direndam di air sungai dan dikeringkan dengan penjemuran) menjadi lada putih. Tingkat kematangan buah lada saat dipanen pun telah disesuaikan untuk diolah menjadi lada putih. Oleh sebab itu, sudah umum pula di Bangka Belitung, jika disebut produksi lada, maka lada yang dimaksud adalah lada putih. Dengan demikian, data produksi lada yang diperoleh, khususnya dari Badan Pusat Statistik 10
Kabupaten Bangka; Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka; dan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, adalah data produksi lada, yang telah diolah menjadi lada putih (berbentuk lada putih). Berdasarkan hal ini, selanjutnya, penyebutan produksi lada yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah produksi lada putih.
11
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman dan Teknologi Budidaya Lada 2.1.1. Tanaman Lada Lada menjadi salah satu jenis rempah-rempah yang paling tua dan penting di dunia, sehingga lada juga seringkali disebut King of Spices. Tanaman Lada adalah tanaman asli dari daerah Ghats bagian barat di India. Berdasarkan sejarah, lada adalah salah satu komoditi yang pertama kali diperdagangkan antara “Dunia Barat” dan “Dunia Timur” (IPC dan FAO 2005). Pada abad pertengahan dan zaman Renaissance, dalam sejarah penjelajahan, rempah-rempah (termasuk di dalamnya lada), mempunyai kedudukan yang tinggi dan sangat spesial. Bahkan pada zaman kuno dan medieval, nilainya seringkali disetarakan dengan emas dan batu permata. Produk utama komoditi lada yang diperdagangkan secara internasional dewasa ini adalah lada putih (white pepper) dan lada hitam (black pepper). Lada putih dan lada hitam sebenarnya berasal dari buah lada yang sama. Lada putih merupakan olahan dari buah lada yang telah matang di pohon, dipanen, dan dikelupas kulitnya, serta dikeringkan. Sedangkan lada hitam merupakan buah tanaman lada yang dipanen sebelum buah matang dan masih berwarna hijau, serta langsung dikeringkan tanpa pengelupasan kulit. Budidaya lada di Indonesia sendiri sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lampau. Tanaman lada kemungkinan dibawa koloni Hindu ke Jawa antara tahun 100 SM (Sebelum Masehi) sampai 600 M (Masehi). Marcopolo dalam riwayat hidupnya pada tahun 1298, menguatkan hal tersebut dengan mengatakan bahwa pada tahun 1280 di Jawa telah terdapat pengusahaan tanaman lada. Pada tahun 1720 sepertiga bagian dari seluruh keuntungan yang diperoleh VOC, semasa menduduki Indonesia, berasal dari komoditi lada. Pada tahun 1772, kontribusi lada semakin besar terhadap seluruh keuntungan VOC tersebut, yaitu mencapai dua per tiga bagiannya (Ditjenbun Deptan 2009). Bahkan sebelum perang dunia kedua, Indonesia memasok 80 persen kebutuhan lada dunia (Edizal 1998). Tanaman lada di Indonesia memiliki banyak nama daerah, diantaranya lada (Aceh, Batak, Lampung, Buru, dan Nias), raro (Mentawai), lado (Minangkabau), merico (Jawa), maica (Bali), ngguru (Flores), malita lo dawa (Gorontalo), marica
atau barica (Sulawesi Selatan), rica jawa (Halmahera, Ternate, Minahasa), leudeu pedih (Gayo), sahang (Bangka, Banjarmasin, Jawa Barat), sakang (Madura), saha (Bima), dan mboko saah (Ende). Lada (Piper nigrum Linn) termasuk dalam famili Piperaceae. Famili tersebut terdiri dari 10-12 genus dan 1.400 spesies, yang bentuknya beragam, seperti herba, semak, tanaman menjalar, hingga pohon-pohonan. Lada dari genus Piper merupakan spesies tanaman yang berasal dari Ghats, Malabar India (Rismunandar 2007). Ciri morfologi dari tanaman lada antara lain 1) berakar tunggang (dikotil); 2) perakarannya terdiri atas dua jenis, yaitu akar yang tumbuh dari buku di atas tanah (untuk menopang batang pokok dan menjalar atau memanjat pada tiang panjat atau inangnya) dan akar yang tumbuh dari buku di dalam tanah (sebagai penghisap makanan atau feeding roots); 3) memiliki satu batang pokok dengan dua macam cabang (orthotropis atau vertikal dan plagiotropis atau horizontal), yang menyebabkan lada memiliki cabang yang banyak; 4) buku-buku batang agak membengkak, dimana dari buku-buku tersebut keluar daun, tunas, dan perbungaan; 5) berdaun tunggal, letaknya berselang-seling pada cabang, berwarna hijau gelap, lembaran daun sebelah atas agak mengkilap dan sebelah bawahnya pucat dan berkelenjar; 6) perbungaannya berbentuk bulir yang tumbuh di seberang daun, bunganya berukuran kecil, dan tanpa perhiasan bunga; 7) buahnya buni tak bertangkai, berbiji satu, berkulit keras, dibalut oleh daging buah yang tebal; serta 8) memiliki tinggi antara 5-15 m. Tanaman lada dikenal sebagai tanaman tahunan dan perkebunan, yang pada dasarnya merupakan tanaman tropis, serta membutuhkan curah hujan dan suhu yang tinggi, yang banyak dan merata. Lada dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian mencapai 1.500 m di atas permukaan laut (dpl), tetapi tumbuh lebih subur di daerah pada ketinggian 500 m dpl atau kurang, dengan curah hujan 2.200-5.000 mm dalam setahun, suhu antara 18°C-35°C, kelembaban udara berkisar antara 50-100 persen, serta perubahan musim yang cukup baik (musim kemarau yang cukup panjang, sekitar 2-3 bulan untuk menumbuhkan bunga dan buah). Indonesia
memiliki
daerah-daerah
yang
cocok
dengan
kriteria
(persyaratan) budidaya tanaman lada tersebut. Daerah-daerah produsen lada di 13
Indonesia antara lain Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua, dan Maluku Utara (Deptan 2009)7. Daerah utama produksi lada di Indonesia adalah Provinsi Bangka Belitung, untuk lada putih (Muntok White Pepper) dan Provinsi Lampung, untuk lada hitam (Lampong Black Pepper). Budidaya lada di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh rakyat atau smallholders, bukan oleh pemerintah ataupun swasta dalam skala yang besar, sehingga produsen utama lada adalah petani. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.
No 1. 2. 3.
Luas Areal dan Produksi Perkebunan Lada di Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2008 (Angka sementara)
Pengusahaan Perkebunan Rakyat Perkebunan Pemerintah (Negara) Perkebunan Swasta Total
Produksi (Ton) 79.725 1 79.726
Luas Areal (Ha) 190.773 4 190.777
Keterangan: -) Tidak mengusahakan Sumber: Ditjenbun Deptan (Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian) (2009) (Diolah)8
Tabel 3 menunjukkan bahwa sekitar 99,9 persen produksi lada Indonesia dihasilkan dari perkebunan lada yang dikelola oleh rakyat (petani) atau smallholders. Demikian juga di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, khususnya Kabupaten Bangka. Jenis komoditi lada yang diproduksi di Bangka Belitung, khususnya Kabupaten Bangka, adalah lada putih, yang di dunia dikenal dengan nama Muntok 7
[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Produksi Lada Level Provinsi. http://www.deptan.go.id. [Diakses tanggal 8 Desember 2009] 8 [Ditjenbun Deptan] Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. 2009. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 1967-2009. http://www.ditjenbun.deptan.go.id. [Diakses tanggal 8 Desember 2009]
14
White Pepper. Penamaan Muntok White Pepper ini, salah satunya, disebabkan karena lada putih dari Bangka Belitung, pertama kali diperdagangkan secara internasional (diekspor) melalui pelabuhan Muntok di Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat (setelah pemekaran). Produksi lada siap jual di tingkat petani, umumnya sudah dalam bentuk lada putih. Roosgandha E (2003)9, menyebutkan bahwa petani lada di Kabupaten Bangka, melakukan panen lada saat buah lada sudah masak yang ditandai dengan warna kuning sampai merah. Panen umumnya dilakukan dengan pemetikan mempergunakan tangan. Kemudian diolah dengan cara memasukkan lada yang telah dipanen tersebut ke dalam karung plastik. Setelah itu direndam dalam air (umumnya air mengalir) selama 7-14 hari, setelah
itu
dicuci
untuk
menghilangkan
kulitnya.
Dilanjutkan
dengan
menjemurnya dibawah sinar matahari selama 2-3 hari. Dari hasil pengolahan tersebut akan diperoleh lada putih kering dengan rendemen berkisar antara 15-45 persen atau rata-rata 24 persen. Oleh karena itu, jika berbicara mengenai produksi lada di Bangka Belitung, khususnya di Kabupaten Bangka, maka yang dimaksud adalah produksi lada putih.
2.1.2. Teknologi Budidaya Lada Menteri Pertanian Republik Indonesia, Siswono (Anonim 2010), mengatakan bahwa dukungan inovasi teknologi, seperti pembibitan, obat-obatan, pupuk, serta alat dan mesin pertanian, juga sarana pascapanen, sangat diperlukan, untuk membangun pertanian di Indonesia. Begitu pula komoditi lada yang merupakan salah satu komoditi perkebunan (pertanian dalam arti luas) penghasil devisa bagi Indonesia, yang membutuhkan dukungan inovasi teknologi untuk pengembangannya.
Teknologi
budidaya
lada
merupakan
pengetahuan
(keterampilan pokok) teknis petani dalam membudidayakan lada. Menurut Sukirno (1985), permasalahan pokok dalam ekonomi yang berkaitan dengan produksi diantaranya cara memproduksi (teknologi yang digunakan) barangbarang atau jasa-jasa tersebut.
9
Roosgandha Elizabeth. 2003. Keragaan komoditas lada di Indonesia studi kasus di Kabupaten Bangka. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. http://ejournal.unud.ac.id. [Diakses tanggal 11 September 2009]
15
Cara berproduksi (teknologi) budidaya perkebunan (usahatani) lada, meliputi persiapan lahan, penyediaan bibit, persiapan junjung, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman, serta panen. Menurut Sudarlin (2008), pengelolaan perkebunan lada di Bangka Belitung masih diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat dengan teknis budidaya (teknologi budidaya) belum intensif, sehingga menjadi hambatan melakukan produksi. Deptan (1985) mengatakan bahwa produksi lada di Indonesia yang ratarata rendah, yaitu antara 500 kg/ha sampai dengan 2.400 kg/ha, dapat diperbaiki apabila pemeliharaan dilakukan dengan baik, sesuai dengan teknis perkebunan, yaitu dilakukan pemupukan, pengobatan, pemangkasan, pembuatan saluran atau rorakan, dan lain-lain, sehingga hasilnya dapat meningkat sampai 4.000 kg/ha. Begitu pula dengan cara untuk memperbaiki produksi lada di Bangka Belitung. Menurut Rismunandar (2007), ada beberapa aspek (dimensi) yang perlu diperhatikan dalam menerapkan teknologi budidaya lada yang baik, yaitu persiapan lahan, penyediaan bibit, persiapan junjung, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman, serta panen. 1. Persiapan lahan Teknis persiapan lahan untuk budidaya lada berbeda-beda, sesuai dengan topografi dan jenis tanahnya. Menurut Rismunandar (2007), pembukaan lahan baru dan peremajaan tanaman memiliki cara persiapan lahan yang berbeda. Persyaratan dan cara-cara persiapan lahan yang baik dilakukan melalui beberapa proses tahapan, mulai dari pembersihan lahan, pengolahan tanah pertama, pengolahan tanah kedua, pembuatan bedengan, dan pembuatan lubang tanam. a. Pembersihan lahan Pembersihan lahan umumnya dilakukan pada musim kemarau. Pembersihan dilakukan terhadap segala jenis gulma, semak, alang-alang, dan pepohonan (kecil ataupun besar). Pembersihan dilakukan hingga ke akar-akarnya (tunggulnya). Selain cara manual, cara kimiawi pun dapat dilakukan, yaitu dengan herbisida sistemik, terutama bagi lahan yang hanya ditumbuhi alang-alang dengan vegetasi yang cukup luas.
16
b. Pengolahan tanah pertama Beberapa perlakuan yang dilakukan pada saat pengolahan tanah pertama, yaitu: i. Setelah bersih dari gulma, semak, dan pepohonan, tanah diolah dengan cara dicangkul, ditraktor, atau dibajak (sesuai kondisi lahan). Lahan bervegetasi alang-alang dan pepohonan kecil diolah dua kali dalam sebulan, sedangkan lahan bervegetasi hutan sekunder diolah tiga kali dalam sebulan. Kemudian, tanah dibiarkan selama dua minggu, lalu digaru. ii. Setelah diolah, tanah diratakan dan dibagi menjadi beberapa petakan (misalnya ukuran 5 x 5 m2), dengan derajat kemiringan optimum tanah 15°. Petakan dibuat agar pengelolaan tanaman lada menjadi lebih mudah. Setiap petakan dikelilingi oleh jalan dengan lebar kurang lebih 1 m. Perlu juga dibuat parit untuk drainase dengan kedalaman 30-60 cm dan lebar 20-50 cm, dengan posisi melintang terhadap kemiringan tanah, yang berfungsi untuk mencegah terjadinya genangan dan memudahkan peresapan air ke dalam tanah. iii. Untuk lahan dengan kemiringan lebih dari 15°, dibuatkan teras yang disesuaikan dengan kemiringan lahan tersebut (untuk mencegah erosi). Umumnya teras dibuat selebar 200 cm, tergantung topografi lahannya. Beberapa jenis teras yang dapat dibuat yaitu teras individu (pada lahan lereng dengan ukuran 2 x 2 m2 dan dibuat miring ke arah berlawanan dengan arah kemiringan lereng) dan teras bersambung (dibuat bersambung, sesuai garis kontur atau tinggi). iv. Pada lahan miring juga dibuat lubang penampung air (rorakan), yang terletak di bawah teras. Rorakan dibuat setiap 12-24 cm dengan panjang 2-4 m, lebar 20 cm, dan kedalaman 20 cm. Fungsi-fungsinya adalah menampung air, memudahkan air hujan meresap ke dalam tanah, menghindarkan genangan air, dan mencegah erosi. c. Pengolahan tanah kedua Setelah dilakukan pengolahan tanah pertama, maka dilakukan pengolahan tanah kedua. Pengolahan tanah kedua ini bertujuan untuk 17
membuat lapisan kondisi lahan kaya bahan organik, cukup mengandung zat fosfat, gembur, tidak mudah mengalami erosi, tidak mudah tergenang air, dan tingkat keasamannya baik, dimana sangat menguntungkan dan mendukung bagi pertumbuhan tanaman lada dan produksi buah lada. Adapun yang dilakukan pada pengolahan tanah kedua ini, yaitu: i. Pencangkulan tanah lapisan atas (lapisan pertama) sedalam 15-20 cm dan lebar 50 cm lalu disisihkan ke samping. ii. Tanah lapisan berikutnya (lapisan kedua), setelah tanah lapisan atas disisihkan sementara ke samping, dicangkul hingga gembur. iii. Setelah gembur, dimasukkan pupuk organik atau fosfat (pupuk dasar) pada tanah lapisan kedua tersebut. Fosfat alam berfungsi untuk menyediakan zat fosfat dalam jangka panjang, dan memperbaiki keasaman tanah. iv. Tanah lapisan atas (lapisan pertama) dikembalikan ke atas tanah lapisan kedua. d. Pembuatan bedengan Setelah melakukan pengolahan tanah kedua, lahan dibuat bedengan, khususnya hanya dibuat pada lahan datar atau agak miring. Pada lahan yang miring tidak perlu dibuat bedengan karena sudah berupa teras. Bedengan dibentuk dengan membuat guludan-guludan, dengan jarak antar guludan sekitar 2 m dan ketinggian sekitar 30 cm. Guludan dan sela antar guludan juga berfungsi sebagai saluran pembuangan air. e. Pembuatan lubang tanam Pembuatan lubang tanam dilakukan terakhir, setelah pembuatan bedengan. Adapun persyaratan dan cara-cara dalam membuat lubang tanam ini, diantaranya: i. Lubang tanam dibuat di tengah bedengan. ii. Ukuran lubang tanam bagian atas 35 x 35 cm2 sampai 40 x 40 cm2, sementara bagian lubang tanam bagian bawah menyempit, atau berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sekitar 45 x 45 x 45 cm3 sampai 75 x 75 x 75 cm3.
18
iii. Untuk yang menggunakan panjatan (junjung) hidup, jarak tanam antar lubang tanam adalah 2,5-3 m. Untuk panjatan (junjung) mati, jarak tanam antar lubang cukup 2 m. iv. Setelah lubang dibuat, tanah hasil galian (saat membuat lubang tanam tadi) dicampurkan dengan pupuk kandang, lalu ditimbunkan kembali ke dalam lubang. v. Tanah pada lubang tanam yang telah dibuat dibiarkan sekitar 30-40 hari, sebelum dilakukan penanaman bibit tanaman lada. 2. Penyediaan bibit Bibit yang dipilih harus baik kualitasnya, murah, dan tepat, sehingga dapat mendukung produksi lada. Cara yang praktis dan efisien untuk menyediakan bibit lada adalah dengan cara setek. Keunggulan lain pembibitan dengan cara setek adalah, sifat bibit yang dihasilkan, sama dengan sifat indukannya. Persyaratan dan cara-cara yang perlu dipenuhi dalam proses penyediaan bibit lada yang baik, dengan cara setek, adalah dengan memenuhi kriteria-kriteria (Rismunandar 2007): a. Kemurnian tanaman terjamin Bibit yang disetek harus diambil langsung dari induk asli tanaman lada dari varietas (jenis) yang sesuai dengan karakteristik wilayah setempat, diusahakan setek pertama dari induk tersebut, dan berasal dari sulur panjat (bukan sulur gantung atau cacing), sehingga kemurnian tanaman terjamin. Untuk menghasilkan setek dalam jumlah banyak sebaiknya disiapkan dan disediakan beberapa pohon lada khusus untuk dijadikan indukan. Ada beberapa varietas tanaman lada yang tumbuh di Indonesia, yaitu Bulok Belantung, Jambi, Kerinci, Lampung Daun Lebar (LDL), Bangka (Muntok), dan Lampung Daun Kecil (LDK). Kemudian dikembangkan lagi varietas-varietas yang memberikan hasil yang tinggi untuk ditanam di setiap area tanam lada di Indonesia, atau untuk lokasilokasi penanaman yang spesifik. Jenis-jenis tanaman lada tersebut yaitu Petaling 1, Petaling 2, Natar 1, Natar 2, Cunuk, LDK, dan Bengkayang. Hanya varietas Natar 1 yang toleran terhadap penyakit busuk pangkal batang, serangan hama penggerek batang, dan nematoda. Varietas-varietas 19
lainnya peka terhadap salah satu penyakit atau hama saja (IPC dan FAO 2005). Berdasarkan penelitian Roosgandha E (2003)10, varietas bibit lada yang sering digunakan petani di Kabupaten Bangka, adalah varietas Merapin, Lampung Daun Lebar (LDL), dan Jambi. Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa varietas Petaling 1 dan Petaling 2 belum dikenal oleh petani. b. Kesehatan induk bibit yang disetek Setekan bibit harus diperoleh dari induk yang sehat (tidak terserang penyakit), berbentuk kekar, berdaun hijau mulus (tidak ada tanda-tanda menguning), berbuku mulus, dan tidak berlubang bekas serangan serangga. Pohon induk terbaik yang disetek minimal sudah berumur dua tahun (tetapi kurang dari tiga tahun) dan telah mengalami pemangkasan pertama pada saat umur 8-10 bulan, kemudian pemangkasan kedua pada umur 18-20 bulan, serta kondisinya subur. c. Memilih ukuran setek Ada beberapa ukuran setek, yaitu setek satu ruas dan tujuh ruas (Rismunandar 2007). Setek satu ruas disebut juga setek daun, yang diperoleh dengan kriteria-kriteria, yaitu buku-buku batang dan cabang memiliki akar pelekat dan berdaun; setek diambil dari cabang yang sehat, masih hijau, tetapi sudah mulai berwarna agak merah, dan sudah cukup keras; pemotongan setek dilakukan dengan pisau tajam agar lukanya rata, kemudian segera dimasukkan ke dalam air bersih selama beberapa saat agar tetap segar; selanjutnya dicelup ke dalam hormon untuk mempercepat pertumbuhan akar; kemudian ditanam ke media persemaian. Setek tujuh ruas diambil (dipotong) dari pohon induk sebanyak tujuh ruas, dengan persyaratan yang baik adalah diambil menjelang waktu tanam; diambil dari batang induk yang kuat, berumur dua tahun, serta sudah pernah dipangkas pertama dan kedua; memotong bagian ujungnya dengan membuang percabangan pada ruas ketiga sampai keempat; dan tidak memerlukan media persemaian, atau dapat langsung ditanam dengan tiang panjat. Jika tidak segera ditanam, bibit dapat disimpan dengan 10
Ibid
20
menempatkannya di parit kecil atau lubang tanah dengan kedalaman 30 cm, diletakkan berjajar rapat dan posisinya berdiri, ditimbun kembali dengan tanah dengan membiarkan tiga ruas teratas berdaun tetap berada di atas tanah, dan disiram secukupnya. Berdasarkan panduan dan anjuran pembibitan dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri)11, bibit lada yang siap tanam di kebun adalah bibit lada yang telah berukuran 5-7 ruas. Untuk bibit setek satu ruas, bibit tersebut harus dibibitkan terlebih dahulu pada media persemaian hingga berukuran 5-7 ruas, baru ditanam di kebun. Bibit yang diperoleh dengan cara setek tujuh ruas, dapat langsung ditanam di kebun. d. Bibit dari persemaian bibit Untuk bibit satu ruas (setek daun), setelah dicelupkan ke dalam hormon (Rootone atau Rhizophon), setek daun dapat disemai pada media persemaian. Persyaratan media persemaian yang baik adalah media tanah tidak terlalu cerul (terlalu banyak mengandung pasir) dan tidak terlalu kaya bahan organik, lingkungan persemaian harus lembab, penyiraman harus teratur dan kelebihan air di sekitar lingkungan persemaian harus dibuang, dan membuat perlindungan berupa atap atau dari daun-daunan (misalnya daun paku-pakuan dari jenis Gleichnia sp). 3. Persiapan panjatan (junjung) Cara membuat dan pengadaan tiang panjat (panjatan) berhubungan dengan tingkat kesuburan, perkembangan, dan produksi lada. Tanaman lada adalah tanaman menjalar dan memanjat, sehingga perlu dibuatkan tempat menjalarnya, agar dapat tumbuh cabang, daun, bunga, dan buah secara baik dan leluasa. Baik atau tidaknya persiapan panjatan, dapat dilihat dari beberapa persyaratan atau kriteria sebagai berikut: a. Pemilihan jenis panjatan Ada dua jenis panjatan yang secara umum dipakai, yaitu tiang panjatan hidup dan mati. Panjatan hidup adalah tanaman yang dijadikan sebagai media menempel dan memanjat tanaman lada. Menurut 11
[Balittri] Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka tanaman Industri. 2010. Booklet Lada. http://balittri.litbang.deptan.go.id. [Diakses 17 April 2010]
21
Rismunandar (2007), tanaman panjatan hidup yang dapat digunakan adalah tingginya sekitar 60-75 cm (atau dapat pula 1-2 m) dengan diameter sekitar 5 cm. Beberapa jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai panjatan hidup, antara lain dadap (Erythrina fuscca), lamtoro gung, kapok (Ceiba pentandra), dan kalikiria (Glyricidia maculata). Selain itu ada juga tanaman buah-buahan. Tetapi yang umum digunakan petani lada adalah dadap, karena pertumbuhannya cepat, mudah diperoleh, murah, dan dapat ditanam bersamaan dengan penanaman bibit lada. Keuntungan penggunaan panjatan hidup untuk budidaya lada, diantaranya: i. Kadar nitrogen meningkat, khususnya pada tanaman panjat dari keluarga Leguminoseae, sehingga kesuburan tanah meningkat. ii. Dedaunan dan ranting dari hasil pemangkasan dapat dimanfaatkan sebagai mulsa, di pangkal batang lada, sehingga dapat berfungsi pula sebagai pupuk kompos. iii. Harga lebih murah dibanding panjatan mati (seperti kayu ulin atau tiang beton) dan mudah didapat karena banyak sumbernya. iv. Mudah dibentuk menjadi batang tunggal (sentral), dengan ketinggian yang bisa disesuaikan sesuai kebutuhan perkembangan tanaman lada yang diinginkan. v. Pergantian atau peremajaan panjatan lebih mudah dan lebih cepat dilakukan. vi. Dapat berfungsi sebagai tanaman pelindung bagi tanaman lada. Selain itu terdapat juga beberapa kekurangan, diantaranya adalah sebagai berikut: i. Persaingan antar tanaman panjatan dan tanaman lada dalam memperoleh makanan dari unsur hara tanah, karena perakaran kedua tanaman sangat dekat, bahkan di dalam tanah bersentuhan dan tumpang tindih, sehingga dapat mengurangi kesuburan tanaman lada, termasuk tingkat pembuahan.
22
ii. Memerlukan tingkat (frekuensi) pemangkasan relatif sering, agar kondisinya tetap mendukung kesuburan tanaman lada. Keterlambatan pemangkasan tanaman panjatan pada musim menjelang lada mulai berbunga dapat mengakibatkan kemunduran produksi buah. iii. Tanaman panjatan dapat diserang hama dan penyakit, yang dapat menular pada tanaman lada, atau mengakibatkan tanaman lada tidak mempunyai panjatan yang sempurna bagi kesuburan pertumbuhannya. iv. Apabila tanaman panjatan sudah besar dan berumur atau tanaman mati atau rusak, maka penggantian panjatan tidak mudah dilakukan. Apalagi jika tanaman lada sudah berumur dan tumbuh subur. Sementara itu panjatan mati adalah panjatan yang terbuat dari kayu atau tiang beton, tetapi umumnya berasal dari bahan kayu. Jenis-jenis kayu yang banyak digunakan sebagai panjatan mati antara lain kayu mendaru, kayu melangir, kayu gelam, dan kayu belian (kayu ulin atau kayu besi). Panjatan mati yang digunakan terdiri dari dua tahap, yaitu panjatan sementara dan panjatan permanen. Panjatan sementara tingginya sekitar 2 m di atas tanah (atau panjang panjatan keseluruhan dapat sekitar 1,5-2 m saja) dan diameter sekitar 10-15 cm. Difungsikan paling lama enam bulan, setelahnya diganti dengan panjatan permanen. Tinggi kayu panjatan permanen di atas tanah sekitar 2,5-3 m (atau panjang panjatan keseluruhan dapat sekitar 2,5-3 m saja) dan diameter sekitar 15-20 cm, sedangkan jika panjatan permanen menggunakan beton, maka ketinggiannya sekitar 2 m di atas tanah. Beberapa keuntungan penggunaan panjatan mati adalah: i. Dapat didirikan tepat pada waktunya, dapat diatur agar memiliki ukuran relatif sama, dan tidak memerlukan pemangkasan. ii. Tidak terjadi persaingan pengambilan makanan dari tanah dengan tanaman lada, tidak lembab, sehingga mendukung kesehatan tanaman lada (tanaman lada terhindar dari penyakit). Disamping itu terdapat beberapa kekurangan dari penggunaan panjatan mati, yaitu antara lain:
23
i. Harga kayu untuk panjatan mati cukup mahal dan makin sulit mendapatkan jenis kayu yang baik, yang diharapkan sesuai dari sisi jumlah, ukuran, dan tinggi kayu, karena terbatasnya sumber perolehan kayu (hutan). ii. Tidak dapat berfungsi menyuburkan tanah. iii. Tidak dapat berfungsi sebagai pelindung bagi tanaman lada yang baru ditanam, sehingga memerlukan pelindung lain. iv. Kayu dapat cepat rusak diterpa panas dan hujan yang silih berganti dan pembusukan di pangkal. b. Penanaman panjatan (junjung) Panjatan hidup dapat ditanam sebelum atau bersamaan dengan tanaman lada, tergantung dari jenis tanaman yang digunakan sebagai panjatan, serta kecepatan pertumbuhannya. Untuk tanaman panjatan yang pertumbuhannya lama dan lambat membesar, sebaiknya ditanam sebelum bibit lada ditanam, sedangkan untuk tanaman yang cepat tumbuh dan besar, dapat ditanam bersamaan dengan penanaman bibit lada. Panjatan hidup dengan tinggi sekitar 60-75 cm atau 1-2 m dengan diameter sekitar 5 cm, ditanam di tengah-tengah bedengan (guludan) dan berdekatan dengan lubang tanam yaitu sekitar 10-20 cm di sebelah utara atau selatan sisi lubang tanam, dengan kedalaman tanam sekitar 30-50 cm. Panjatan sementara, yang berukuran sekitar 1,5-2 m atau tingginya 2 m diatas tanah dan diameter sekitar 10-15 cm dapat dibuat dan ditanam sebelum atau bersamaan dengan penanaman tanaman lada, ditanam berdekatan, di sisi utara atau selatan lubang tanaman lada, dengan jarak sekitar 10-20 cm dan kedalaman tanam sekitar 20 cm. Panjatan permanen, yang berukuran sekitar 2,5-3 m atau tingginya dapat pula diusahakan 2,5-3 m di atas permukaan tanah dan dengan diameter sekitar 15-20 cm untuk kayu dan sekitar 2 m di atas tanah untuk beton, ditancapkan (ditanam) ke tanah pada jarak sekitar 50 cm dari titik pusat batang tanaman lada di sebelah utara atau selatan, dengan kedalaman penanaman sekitar 50-60 cm.
24
c. Penggantian (peremajaan) panjatan (junjung) Untuk panjatan mati, harus dilakukan dua tahap, yaitu panjatan sementara dan kemudian panjatan permanen, yang cara (teknis) penggantiannya harus memenuhi tatacara dan persyaratan sebagaimana diuraikan di atas. Untuk panjatan hidup, harus dilakukan pemangkasan dan penggantian panjatan yang mati atau terkena penyakit, dengan tatacara serta persyaratan yang tepat. 4. Penanaman Penanaman bibit lada (hasil persemaian atau persiapan bibit), memiliki teknis atau cara yang baik dan sangat menentukan tumbuh atau tidaknya bibit secara baik. Beberapa persyaratan dan cara-cara yang baik dilakukan dalam penanaman lada, yaitu (Rismunandar 2007): a. Pembuatan lubang tanam baru, dengan ukuran 20 x 20 cm2 dan kedalaman 20-30 cm, yang dilakukan pada bekas galian lubang tanam yang telah dibuat saat proses persiapan lahan sebelumnya, dengan posisi di sebelah utara atau selatan panjatan. b. Pemasukan bibit ke dalam lubang, yaitu dengan cara bibit setek yang tersedia dimasukkan dalam lubang tanam dengan posisi dasar setek berada di bagian bawah, hingga kedalaman sekitar 20-30 cm (sekitar empat ruas, tanpa daun dan cabang), dan tiga ruas (ada daun dan cabang) di atas permukaan tanah dengan posisi setek sekitar 45° mengarah ke tiang panjat. c. Penstabilan batang bibit dalam tanah dilakukan dengan menutup kembali lubang dengan tanah halus. Penimbunan tanah agak ditekan, sehingga posisi bibit menjadi kuat. Tanah yang ditimbun dibuat agak cembung dan diperiksa agar batang bibit telah berada pada keadaan stabil. d. Pengikatan bibit pada panjatan, dengan cara setiap sisi ruas setek di bagian luar lubang tanam (tiga ruas) diikatkan pada panjatan (junjung) hidup, sementara, atau permanen (sesuai panjatan yang digunakan) dengan menggunakan tali; dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak melukai tunas muda; diikat tidak terlalu kuat, yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman (atau dililitkan saja, sehingga dapat lepas sendiri); dan diikat hingga ketinggian tanaman mencapai 1-1,5 m. 25
e. Jumlah bibit yang ditanam per lubang lebih dari satu pada setiap lubang tanam (untuk mencegah risiko kematian bibit). Umumnya satu lubang tanam dapat ditanam dua hingga tiga (2-3) bibit setek. f. Pemberian perlindungan bibit yang telah ditanam dengan cara diberi pelindung, seperti atap, alang-alang, pakis andam, atau resam, agar terhindar dari sinar matahari yang dapat menyebabkan kekeringan. g. Penciptaan kelembaban tanah dengan cara tanah di sekitar bibit ditutupi dengan mulsa dan disiram secukupnya secara teratur setiap hari (pagi dan sore), sampai tumbuh tunas muda. 5. Pemupukan Tanah pada lahan budidaya tanaman lada, dapat mengalami kemuduran fisik ataupun kimiawi. Hal tersebut dapat berdampak pada merosotnya hasil produksi tanaman lada. Artinya, kesuburan tanah sangat berpengaruh kepada produktivitas tanaman lada. Daur kesuburan tanah kebun lada bergantung pada beberapa faktor, diantaranya jenis tanah, jenis tanaman yang dikelola, dan pengelolaan kesuburan tanah secara fisik ataupun kimiawi. Pengelolaan kesuburan tanah dapat diupayakan melalui proses pemberian pupuk (pemupukan) yang tepat, agar kebutuhan unsur hara tanaman terpenuhi. Persyaratan atau kriteria pemupukan yang tepat dan baik dapat dilihat dari jenis pupuk yang diberikan, dosis pupuk, waktu pemupukan, dan frekuensi pemupukan. a. Jenis pupuk Ada dua jenis pupuk yang dapat diberikan, yaitu pupuk organik dan anorganik (kimia). Pupuk yang sering digunakan adalah pupuk organik, yaitu sampah dedaunan yang lapuk (kompos), pemberian tanah bakaran, abu kayu, bungkil kacang, ampas minyak kedelai, sampah ikan, sampah udang, pupuk kandang matang, guano (kotoran kelelawar), pupuk kandang cair, tepung darah, dan tepung tulang. Pupuk guano sering digunakan, karena lebih baik dibandingkan pupuk organik lainnya. Selain itu, pupuk anorganik (kimia) dengan jenis yang lengkap, yaitu urea (zat penyubur daun dan tanaman), TSP (penguat batang, cabang, dan buah),
26
serta KCL ataupun Dolomit (menjaga keasaman tanah dan memperkuat pembungaan). b. Dosis, waktu, dan frekuensi pemupukan Pemberian pupuk untuk menjaga keseimbangan unsur hara yang dibutuhkan tanaman lada dari dalam tanah, harus dilakukan dalam dosis, waktu, dan frekuensi yang tepat. Dosis pupuk sangat bergantung pada umur tanaman dan analisis tanah. Bila analisis tanah belum dilakukan, maka dosis pemberian pupuk, khususnya pupuk anorganik (kimia), dapat mengikuti aturan pada Tabel 4, yang diberikan paling banyak tiga kali, yaitu awal, pertengahan, dan menjelang akhir musim hujan.
Tabel 4. Dosis Pupuk Anorganik (Kimia) untuk Tanaman Lada dengan Panjatan Hidup dan Mati Panjatan Hidup Umur Tanaman 3-12 bulan 13-24 bulan > 24 bulan 1.Sept/Okt 2.Nov/Des 3.Feb/Mar
Urea 15 30
200 150 100
Dosis (gram/pohon) Keterangan TSP KCL Dolomit 15 15 100 Pupuk diberikan empat kali setahun, 30 30 200 mulai awal musim hujan, dengan interval 30-40 hari. Dolomit diberikan bersamaan dengan pemupukan pertama. 200 150 100
200 150 100
500 Interval pemupukan 30-49 hari. -
Panjatan Mati Umur Tanaman 3-12 bulan 13-24 bulan > 24 bulan 1.Sept/Okt 2.Nov/Des 3.Feb/Mar
Urea 25 50
350 250 150
Keterangan: Feb : Februari Mar : Maret
Dosis (gram/pohon) Keterangan TSP KCL Dolomit 25 25 100 Pupuk diberikan empat kali setahun, 50 50 200 mulai awal musim hujan, dengan interval 30-40 hari. Dolomit diberikan bersamaan dengan pemupukan pertama. 350 250 150
350 250 150
Sept Okt
: September : Oktober
500 Interval pemupukan 30-49 hari. Nov Des
: November : Desember
Sumber: Rismunandar (2007)
27
Menurut Rismunandar (2007), waktu pemupukan (pemupukan utama) dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu pertama, pada waktu persiapan lahan, sebagai pupuk dasar satu kali; kedua, saat tanaman berumur 3-12 bulan (tahun pertama); ketiga, pada saat tanaman berumur 13-24 bulan (tahun kedua); dan keempat, saat tanaman berumur lebih dari 24 bulan. Pupuk yang diberikan pada pemupukan pertama atau pada saat persiapan lahan sebagai pupuk dasar adalah pupuk organik, yaitu pupuk kandang, kompos, atau tanah bakaran humus, dengan dosis 5-10 kg per lubang tanam. Pemupukan tahap kedua dan ketiga diberikan dengan dosis seperti pada Tabel 4, yang diberikan empat kali setahun pada setiap awal musim penghujan dengan selang 30-40 hari. Kemudian, pemupukan keempat, setelah berumur lebih dari 24 bulan (mulai berbuah), diberikan tiga (3) kali, selang 30-49 hari, secara berturut-turut setelah panen. Artinya, setiap setelah panen tahunan, di awal musim hujan diberikan pupuk. c. Cara pemupukan Pemberian pupuk, terutama bagi tanaman lada yang telah berumur 8-12 bulan, 13-24 bulan, dan lebih dari 24 bulan, dilakukan dengan cara menaburkan pupuk tersebut ke dalam parit kecil yang dibuat tepat di bawah lingkaran tajuk dengan kedalaman sekitar 30-40 cm. Sebelum pupuk diberikan, macam-macam pupuk tersebut dicampur terlebih dahulu. 6. Pemeliharaan Tujuan
pemeliharaan
secara
keseluruhan
antara
lain
untuk
mengoptimalkan kondisi lingkungan dan produksi, serta menjaga kondisi lahan dan tanaman lada. Sejak bibit ditanam, panen buah pertama setelah 24 bulan (tahun ketiga), hingga berumur enam sampai tujuh tahun, produktivitas tanaman lada cenderung meningkat. Setelah itu, produktivitas mulai menurun hingga umur tanaman mencapai 17 tahun. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya pemeliharaan tanaman, agar produktivitas yang diharapkan dapat dicapai secara maksimal.
28
Menurut hasil observasi dan penelitian yang dilakukan oleh BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Kepulauan Bangka Belitung (2006)12, pemeliharaan kebun yang dikelompokkan ke dalam dua tahapan, yaitu pemeliharaan kebun muda (umur tanaman kurang dari dua tahun) dan pemeliharaan tanaman produktif (umur tanaman lebih dari dua tahun), saat ini masih dilakukan dengan cara-cara (teknik) pemeliharaan tradisional, seperti di zaman Belanda. Ditjenbun Deptan (2009) mengatakan bahwa tingkat produktivitas lada yang masih rendah, antara lain disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan. Adapun persyaratan pemeliharaan tanaman lada yang baik menurut Rismunandar (2007) adalah sebagai berikut: a. Penjagaan kondisi lahan Penjagaan kondisi lahan merupakan kunci keberhasilan budidaya tanaman lada. Tindakan-tindakan yang perlu diupayakan, yaitu: i. Memperhatikan fungsi pembuangan air (drainase). ii. Untuk lahan yang miring, setiap terjadi gejala erosi dan kerusakan teras, maka segera diambil tindakan pencegahan. iii. Kebun dibersihkan dari segala jenis gulma. iv. Tanah di sekitar tanaman lada ditutup dengan mulsa agar tidak kering dan memadat. v. Pada musim kemarau, penggemburan tanah harus selalu dilakukan setelah panen. b. Pengaturan pertumbuhan tanaman pada panjatan Tanaman lada yang ditanam tidak dengan sendirinya memanjati panjatan (junjung) hidup atau panjatan mati, tanpa bantuan. Pengaturan pertumbuhan tanaman harus dilakukan sejak tunas baru mulai tumbuh dari ruas setek dalam bentuk cabang orthotrop (sekitar satu bulan setelah tanam). Umumnya kondisi tanaman pada saat tersebut masih lemah dan belum membentuk akar perekat (walaupun pertumbuhannya cukup cepat).
12
[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung. 2006. Budidaya Lada Ramah Lingkungan. http://babel.litbang.deptan.go.id. [Diakses tanggal 29 Januari 2010]
29
Oleh karena itu, tanaman lada tersebut perlu diikatkan pada panjatan, sehingga tidak menjalar di atas tanah. Pengikatan tunas-tunas muda harus dilakukan dengan hati-hati. Pengikatan tidak boleh terlalu kencang karena dapat merusak batang. Setiap ruas memerlukan ikatan agar akar perekatnya dapat segera berfungsi. Ikatan dibiarkan hingga batang mencapai ketinggian sekitar 1,5 m. Agar tiang panjatan (hidup atau mati) cepat tertutupi, diusahakan hanya ada empat cabang yang dibiarkan tumbuh. Pertumbuhan dua buah cabang harus mengarah ke atas, sedangkan dua cabang lainnya mengarah ke samping. Cabang yang tumbuh ke samping diupayakan tetap tumbuh melekat ke atas. Selanjutnya, semua batang dilepaskan dari panjatannya. Kemudian, daun dan cabang yang masuk ke dalam tanah dibuang, lalu batang dimasukkan melingkari pohon panjatan, dengan posisi mendatar ke dalam lubang tanaman dan kedalaman maksimum 20 cm. Setiap dua ruas, dari setiap cabang pada batang pokok ditanam di sisi panjatan, tetapi lokasi penempatannya berbeda-beda. Dengan demikian, seluruh pohon panjatan dilingkari batang pokok. Cabang sekunder orthotrop perlu dipangkas agar dapat dihasilkan cabang-cabang orthotrop tersier. Dengan bertambahnya pembentukan cabang orthotrop di bagian atas, maka ranting plagiotrop akan bertambah banyak, sehingga jumlah bunga atau buah pada tanaman lada akan menjadi lebih banyak. Volume perakaran batang pokok yang dipanjatkan pada panjatan hidup permanen, seperti pohon dadap, sebaiknya ditingkatkan. Tujuannya agar di sekitar tanah di bawah pohon panjatan tertutup oleh akar tanaman lada. Caranya dengan memupuk tanaman lada yang berumur beberapa bulan dan sudah mencapai ketinggian sekitar 1-1,5 m. Pemupukan dilakukan pada lubang (parit) yang dibuat melingkari pohon panjatan. Jarak lubang tersebut dari batang pokok sekitar 20-25 cm dan kedalaman 30-40 cm. Ke dalam lubang ini, diisi pupuk kandang secukupnya. Bila menggunakan panjatan sementara, tanaman lada harus dipindahkan ke panjatan permanen. Teknis pelaksanaan pemindahan ini 30
tidak berbeda dengan upaya memperbanyak perakaran tanaman lada di sekitar panjatan, seperti pada pohon panjatan hidup permanen yang telah disebutkan sebelumnya. Batang pokok yang terlalu panjang, harus dipotong, sehingga tanaman lada hanya memiliki panjang sekitar 30 cm di atas tanah. Selanjutnya tanaman diikatkan pada tiang panjatan. Pengaturan pertumbuhan tanaman dapat dilihat secara lebih lengkap pada Tabel 5.
Tabel 5. Jadwal Pertumbuhan Tanaman di Kebun Intensif dengan Panjatan Uraian
Pertumbuhan Tanaman
HP + 0
Tanam
HP + 8 bulan
Tanaman lada mencapai tinggi 1,5 m. Panjatan sementara diganti dengan panjatan permanen.
Saatnya memperbanyak atau memperkuat perakaran.
Daun dan cabang sulur, hingga dekat pucuk dipangkas.
HP + 8 bulan, 10
Sulur dilepaskan dari panjatan dan dimasukkan ke dalam
hari
lubang melingkar panjatan.
Pucuk sulur berada dekat tiang. Pelaksanaannya pada siang hari, bila keadaan sulur agak lentur atau tidak mudah patah.
Lubang ini ditutup dengan tanah, tanah bakar, atau pupuk organik.
HP + 16 bulan
Tiang panjatan sudah tertutup 2/3 bagian.
Diadakan pemangkasan kembali (heading back) pada seluruh tanaman lada, hingga tertinggal sekitar 30 cm di atas tanah. Selanjutnya akan tumbuh banyak cabang atau sulur orthotrop.
Cabang yang dipelihara hanya 12 cabang, yang merupakan kerangka dasar tanaman lada.
HP + 24 bulan
Bunga pertama keluar, tetapi perlu dipangkas.
Tiang panjatan sudah tertutup hingga puncaknya.
Bunga tahap kedua dapat dipertahankan untuk menghasilkan buah dalam tahun ketiga.
HP + 36 bulan
Panen pertama
Keterangan: HP=Hari pertama tanam Sumber: Rismunandar (2007)
31
c. Pemangkasan Pemangkasan tanaman lada bertujuan untuk memperoleh cabang buah yang banyak; membentuk mahkota tanaman lada yang baik; menghasilkan bibit setek dari kebun produksi; membuang sulur tanah (sulur cacing) agar pertukaran udara lebih sempurna dan sinar matahari dapat langsung ke pokok batang lada; membuang sulur gantung; serta membuang sulur atau cabang yang terserang hama penyakit untuk mencegah penularan. Selain pemangkasan tanaman, pemangkasan panjatan juga perlu dilakukan, terutama jika yang digunakan adalah panjatan hidup. i. Pemangkasan tanaman lada Setelah tanaman lada berumur delapan bulan (telah memiliki sekitar 8-9 ruas), cabang orthotrop yang dimasukkan ke dalam lubang berbentuk lingkaran harus sudah menutupi 2/3 bagian panjatan (panjatan mati ataupun hidup). Dengan demikian, pertumbuhan lada akan tampak seperti kerucut. Agar terbentuk lebih banyak cabang orthotrop, batang pokok tanaman perlu dipangkas, termasuk cabang dan ranting, sehingga hanya tertinggal sekitar 30 cm. Pada cabang orthotrop baru akan tumbuh tunas air. Dari semua cabang tersebut dipilih sekitar 12 cabang, yang pertumbuhannya paling kuat. Cabangcabang tersebut diikatkan pada panjatan. Selanjutnya, cabang-cabang tersebut akan membentuk kerangka dasar tubuh tanaman lada. Pertumbuhan cabang orthotrop dan plagiotrop akan memenuhi dan menutupi puncak panjatan hingga maksimum 4 m. Sebelum
mencapai
ketinggian
maksimum,
ujung
sulur
orthotrop perlu dipangkas tiga kali berturut-turut. Namum, agar lebih intensif, pemangkasan dilakukan hingga 7-8 kali. Dengan demikian, batang tanaman lada akan mencapai puncak panjatan yang tingginya mencapai 4 m. Sebelum tanaman berumur tujuh tahun, cabang orthotrop yang bergantungan harus dipangkas. Cabang-cabang ini biasanya akan mengganggu pertumbuhan ranting-ranting produksi. Cabang orthotrop yang tumbuh di bagian bawah batang pokok sedini 32
mungkin dipangkas. Demikian pula dengan cabang-cabang di atas ujung tiang panjat. ii. Pemangkasan panjatan hidup Pemangkasan panjatan hidup berguna untuk mengurangi saingan sinar matahari terhadap tanaman lada; agar kebun tidak terlalu lembab; pertukaran udara di dalam kebun lebih baik; dan daun pangkasan dapat dibuat serasah (mulsa) atau juga kompos. Pada panjatan berupa tanaman hidup, tingkat pertumbuhan maksimum juga harus dipertahankan. Pemangkasan panjatan hidup harus dilakukan 2-3 kali dalam setahun. Pada saat musim penghujan dilakukan pemangkasan dalam (berat). Sementara itu, pada musim kemarau dilakukan pemangkasan seperlunya (ringan). d. Penyulaman Penyulaman dilakukan pada bibit atau tanaman lada dewasa (besar) yang mati. Jika terdapat bibit yang mati, segera disulam (diganti) dengan bibit cadangan, yang telah disediakan sebelumnya sesuai dengan teknis penyediaan bibit yang baik. Penyulaman pada tanaman yang telah dewasa dilakukan dengan cara melepas tanaman lada yang berdekatan dengan tanaman lada yang mati. Tanaman lada yang dijadikan sulaman, yang merupakan cabang orthotrop, punya cabang lebih dari 2 atau 3 batang (umumnya yang dipelihara lebih dari 3-4 cabang batang) dan panjangnya sudah lebih dari 2,5 m. Tanaman lada tersebut dilepaskan dari panjatannya, kemudian dibenamkan pada saluran yang dibuat menuju panjatan tanaman lada mati atau yang akan disulam. Cabang-cabang dari cabang orthotrop yang terpendam dalam saluran tersebut harus dipotong, begitu pun daun-daunnya. Bagian pucuk tanaman lada sulaman tersebut ditinggalkan 2-3 cabang dan diikatkan pada panjatan tanaman lada yang telah mati tersebut, sesuai dengan teknis. 7. Pengendalian hama dan penyakit tanaman Serangan hama dan penyakit dapat menurunkan produksi tanaman lada. Hama utama tanaman lada yang paling sering dihadapi oleh petani lada di Indonesia, termasuk di Bangka Belitung adalah hama penggerek batang 33
(Lophobaris piperis), penghisap bunga (Diconocoris hewetti), dan penghisap buah (Dasynus piperis)13. Sementara itu, penyakit yang umum ditemukan adalah penyakit kuning, akibat serangan nematoda Radopholus similis dan Meloidogyne incognita, Phytophthora capsici, Fusarium oxyporum, dan faktor tanah; penyakit busuk pangkal batang, akibat serangan Phytophtora capsici; dan penyakit keriting, akibat serangan Pepper Yellow Mottle Virus (PYMV) dan Cucumber Mosaic Virus (CMV)14. Karena serangan hama dan penyakit pada tanaman lada dapat mempengaruhi
produksi
lada,
maka
perlu
dilakukan
upaya-upaya
pengendalian. Pengendalian hama dan penyakit tanaman lada dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang dipadukan dengan pengendalian secara mekanik ataupun pengendalian secara kimiawi. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu sistem pengelolaan populasi hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai dan seserasi mungkin untuk mengurangi populasi hama dan mempertahankannya pada suatu aras yang berada di bawah populasi hama yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (Untung 1997 diacu dalam Adang dan Budiman 2004)15. Setelah penyelenggaraan pelatihan PHT secara terprogram, paradigma PHT yang berkembang adalah PHT ekologi, dimana proses pengendalian alami hama dan pengelolaan ekosistem lokal oleh petani ditempatkan pada posisi sentral, yang artinya segala kegiatan pengelolaan ekosistem pertanian dan pengendalian hama sepenuhnya didasarkan pada pengetahuan dan informasi tentang dinamika ekosistem termasuk populasi musuh alami. Paradigma PHT ekologi tidak mengembangkan perlunya dilakukan intervensi pengendalian dengan pestisida kimia sintetik16. Walaupun demikian, pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida
13 IW Laba dan IM Trisawa. 2006. Pengelolaan ekosistem untuk pengendalian hama lada. Perspektif 5 (2) (Desember): 86-97. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id. [Diakses tanggal 7 April 2010] 14 Usman D dan D Pranowo. 2009. Kondisi kritis lada putih Bangka Belitung dan alternatif pemulihannya. Jurnal Litbang Pertanian 28 (1). http://www.pustaka-deptan.go.id. [Diakses tanggal 11 September 2009] 15 Adang A dan Budiman H. 2004. Analisis tingkat penerapan dan manfaat teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) pada usahatani lada di Provinsi Bangka Belitung. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. http://www.babelprov.go.id. [Diakses tanggal 7 April 2010] 16 Rachmat H, Saktyanu KD, Tjetjep N, dan Roosgandha E. 2004. Perspektif penerapan pengendalian hama terpadu dalam usahatani lada. Seminar Hasil Penelitian PHT Perkebunan Rakyat di Bogor, Tanggal 20-21 Januari 2004. Bogor: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. http://ejournal.unud.ac.id. [Diakses tanggal 7 April 2010]
34
kimiawi, yang mengacu pada batas maksimum residu pestisida, tetap dapat dilakukan, terutama pada saat populasi hama atau intensitas serangan patogen penyakit tinggi, dengan tujuan menekan perkembangan hama dan patogen, baru setelah itu diikuti aplikasi pengendalian secara hayati mempergunakan musuh alaminya17. Berdasarkan prinsip-prinsip (cara-cara) PHT yang dipadukan dengan pengendalian mekanik ataupun pengendalian secara kimiawi tersebut, dapat disusun upaya teknis pengendalian hama dan penyakit, yang terdiri atas upaya pencegahan dan penanggulangan setelah terjadi atau pada saat serangan tinggi. Adapun upaya-upaya pengendalian yang dapat dilakukan, yaitu: a. Pencegahan Pencegahan merupakan upaya teknis yang dilakukan oleh petani untuk mencegah terjadinya (sebelum terjadinya) serangan hama atau penyakit tertentu. Adapun hal-hal yang dilakukan, antara lain: i. Menanam varietas tanaman lada yang toleran terhadap serangan hama dan penyakit tertentu, terutama yang mewabah di daerah penanaman lada tersebut. Adapun keunggulan beberapa varietas lada yang telah diuji dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Keunggulan Tujuh Varietas Lada yang Telah Diuji Varietas Petaling 1 Petaling 2 Natar 1 Natar 2 Cunuk RS LDK RS Bengkayang
Ketahanan terhadap
Daya Adaptasi
Penykit Kuning
Penyakit BPB
Hama Penggerek
Cekaman Air
Kelebihan Air
Medium Rentan Rentan Medium Rentan Rentan Medium
Rentan Toleran Toleran Rentan Toleran Toleran Rentan
Rentan Rentan Toleran Toleran Rentan Rentan -
Kurang Tinggi Sedang Sedang Kurang -
Sedang Sedang Sedang Kurang -
Keterangan: BPB: Busuk Pangkal Batang; LDK: Lampung Daun kecil; (-): Belum diuji Sumber: Nuryani dan Mustika (1989), Hamid et al. (1991), Nuryani et al. (1992), Zaubin (1991), dan Nuryani et al. (1993) (Diolah)18
17
[Balittri] Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka tanaman Industri. Op.cit _______. 2010. Prospek Lada. http://balittri.litbang.deptan.go.id. [Diakses 17 April 2010]
18
35
Selain varietas yang telah disebutkan, menurut Rismunandar (2007), terdapat varietas-varietas lain, seperti lada Lampung, Lampung Daun Lebar (LDL), Muntok, Belantung, Kerinci, dan Jambi. Keunggulan dari varietas-varietas tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Keunggulan Varietas Lampung, Lampung Daun Lebar (LDL), Muntok, Belantung, Kerinci, dan Jambi Varietas Lampung LDL Muntok Belantung Kerinci Jambi
Respon terhadap Penykit Kuning Penyakit BPB Peka Peka Agak toleran/tahan Peka Toleran Toleran Agak toleran/tahan Peka Kurang toleran/tahan Agak toleran/tahan
Keterangan: BPB : Busuk Pangkal Batang LDK : Lampung Daun kecil : Tidak disebutkan di dalam referensi Sumber: Rismunandar (2007) (Diolah)
ii. Pemilihan bahan tanaman yang sehat. iii. Melakukan penyiangan terbatas (bobokor) secara rutin di sekitar tanaman, sebatas kanopi tanaman. iv. Penanaman tanaman penutup tanah yang berbunga (misalnya Arachis pintoi), di sela tanaman lada (diluar lingkaran kanopi tanaman lada). v. Melakukan pertanaman tumpangsari. vi. Pemangkasan tanaman lada secara teratur, terutama sulur cacing dan sulur gantung. vii. Melakukan pemangkasan tanaman pelindung secara teratur (jika menggunakan tajar atau junjung hidup). viii. Memberikan pupuk secara optimal atau sesuai komposisi. ix. Pembuatan parit keliling dan saluran drainase, agar tanah tidak lembab dan sirkulasi air lancar. x. Membuat pagar keliling pada kebun tanaman lada. xi. Mengambil (mengumpulkan) hama dari tanaman lada yang terserang. 36
xii. Melakukan pengamatan hama dan penyakit pada kebun lada secara teratur. b. Penanggulangan setelah terjadi atau pada saat serangan hama dan penyakit tinggi (berat) Setelah serangan hama dan penyakit terjadi pada tanaman lada, atau bahkan pada saat intensitasnya tinggi, perlu segera dilakukan upaya pengendalian, terutama agar hama dan penyakit tidak menyebar ke tanaman-tanaman lada lain, dalam satu area, yang masih sehat. Adapun upaya-upaya pengendalian yang dilakukan, antara lain: i. Pemotongan cabang (ranting) yang terserang hama dan penyakit tertentu, kemudian dibakar. ii. Mengisolasi tanaman yang terserang hama atau penyakit dari tanaman yang sehat, dengan membuat parit. iii. Mencabut tanaman yang terserang hama atau penyakit. iv. Memusnahkan tanaman yang terserang hama atau penyakit dengan cara dibakar di tempat atau disiram bubur bordo. v. Menggunakan insektisida, nematisida, fungisida, atau pestisida nabati. vi. Penyemprotan dengan insektisida, nematisida, fungisida, atau pestisida kimiawi (sesuai dengan jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman lada). 8. Panen Masing-masing varietas tanaman lada memiliki waktu panen yang berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh iklim dan jenis tanah pada lokasi penanaman. Mendekati umur 16 bulan, lada mulai berbunga (berbunga tahap pertama). Seluruh bunga pertama tidak dipelihara hingga menjadi buah, tetapi harus dirompes agar pertumbuhan generatif di tahun berikutnya meningkat. Tanaman akan berbunga kembali saat mendekati umur 24 bulan (berbunga tahap kedua). Bunga kedua inilah yang dibiarkan dan dipertahankan untuk menghasilkan buah dalam tahun ketiga. Saat mulai berbunga, tanaman lada sangat dipengaruhi oleh iklim, sehingga tidak dapat dipastikan musim berbunga yang tepat. Namun, umumnya, musim berbunga utama sering didahului oleh musim kemarau yang 37
kuat, sehingga tanaman lada agak menderita kekeringan. Musim kemarau yang lemah mengakibatkan tanaman lada terus membentuk organ penghasil bunga, sehingga bunga dapat menghasilkan buah yang tidak menentu. a. Waktu panen Dengan pemeliharaan yang baik, umur panen tanaman lada yang menggunakan panjatan (junjung) mati akan lebih baik dari pada menggunakan panjatan (junjung) hidup. Namun, dari sisi masa produktivitas, tanaman lada yang menggunakan panjatan (junjung) hidup masih lebih baik. Lada panjat dengan panjatan mati dapat dipanen pada umur sekitar 2-3 tahun, dengan masa produktif sampai umur 10 tahun. Sedangkan lada dengan panjatan hidup, dapat dipanen setelah berumur 3-4 tahun, dengan masa produktif mencapai 15 tahun. Biji lada yang dipetik apabila telah berumur sekitar tujuh (7) bulan, sejak mulai terbentuknya bunga, untuk menjaga kualitasnya. Buah lada yang masak ditandai dengan warna hijau tua yang kemudian berubah warna menjadi kuning sampai merah. Umumnya panen besar berlangsung pada bulan Maret sampai Mei, bila musim berbunga utama terjadi pada bulan Juli hingga September tahun sebelumnya. Panen susulan berlangsung pada bulan Agustus sampai September, bila musim bunga susulan terjadi pada bulan Desember hingga Januari. Hasil panen terbaik dari sisi kuantitas dan kualitasnya diperoleh dari tanaman yang sudah berumur 3-8 tahun. Beberapa cara yang dilakukan petani lada untuk mendapatkan kuantitas dan kualitas hasil yang baik adalah membuang bunga, terutama jika tanaman lada yang berbunga berumur kurang dari tiga tahun. Jika dibiarkan, maka jumlah panen akan sedikit (tidak optimal). Perlakuan ini bertujuan agar pertumbuhan tanaman lada lebih rimbun dan menghasilkan batang yang lebih kuat. Berdasarkan bentuk dan pertumbuhan bunga atau buah, akan dijumpai berbagai macam stadia kematangan biji lada, yaitu: i. Matang susu, yaitu tingkat kematangan buah yang isinya masih lunak dan kulitnya berwarna hijau muda. Buah tersebut termasuk buah muda.
38
Bila buah yang demikian diolah, maka biji lada hitam atau lada putih yang dihasilkan akan keriput, berkualitas rendah, dan bobotnya ringan. ii. Matang penuh, yaitu tingkat kematangan buah yang isinya sudah padat, cukup keras, dan kulitnya berwarna hijau. Buah ini merupakan buah yang sudah matang petik, untuk diolah menjadi lada hitam berkualitas tinggi atau untuk dicanning. iii. Matang petik, yaitu tingkat kematangan buah yang kulitnya mulai menguning hingga merah dengan biji keras. Buah tersebut sangat baik untuk diolah menjadi lada putih. Masa berbunga pada setiap ranting atau cabang buah dalam satu panjatan lada tidak sama dan dapat berlangsung selama tiga bulan. Oleh karena itu, pemetikan buah lada pun tidak dapat dilakukan secara bersamaan. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kematangan pada buah dan tujuan akhir dari produk. Buah lada yang akan diolah menjadi lada putih, dipanen saat warna buah sudah menguning atau memerah. Saat dilakukan pemetikan, sebaiknya buah diseleksi terlebih dahulu. Pemetikan biasanya dilakukan setiap minggu dan panen keseluruhan dapat berlangsung minimum hingga enam kali pemetikan. Pada pemetikan ini, ada kemungkinan buah yang masih muda ikut terpetik, sehingga dapat mempengaruhi kualitas produk. Agar kualitas lada putih tetap terjaga, maka perlu diperhatikan warna buah pada satu dompolan, yaitu merah 18 persen, kuning 22 persen, dan hijau 60 persen. b. Cara panen Petani lada umumnya melakukan pemetikan lada secara manual, dengan tangan atau menggunakan gunting. Pemetikan dilakukan terhadap dompolan buah, pada pangkal tangkainya. Untuk dompolan buah yang terdapat di bagian atas pohon, pemetikannya dapat dilakukan dengan bantuan tangga. c. Hasil tanaman lada Produksi lada per hektar tergantung dari varietas tanaman yang digunakan, intensitas pengelolaan kebun (intensif dan ekstensif), dan daerah penanamannya. 39
2.2. Penelitian Terdahulu Amiruddin (2002)19 mengungkapkan adanya permasalahan yang dihadapi komoditi lada, khususnya di Bangka Belitung, yaitu 1) pengelolaan usahatani di tingkat petani belum optimal, sehingga penerapan teknologi budidaya lada masih kurang mendukung bagi peningkatan hasil yang memadai; 2) tingkat harga hasil yang relatif rendah, sedangkan di lain pihak harga sarana produksi (pupuk dan pestisida) relatif tinggi atau mahal; 3) gangguan organisme tanaman lada yang bersifat epidemik, sehingga kelayakan umur lada menjadi terbatas dan sejalan itu penerapan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) masih terbatas; 4) mutu hasil belum memenuhi standar karena sarana dan prasarana pengolahan yang memadai keberadaannya masih terbatas, sedangkan di tingkat petani dilakukan secara konvensional; 5) informasi pemasaran hasil terbatas, rantai pemasaran atau tataniaga lada relatif panjang, dan kelembagaan petani masih lemah; 6) sumberdaya petani, baik pengetahuan, maupun permodalan masih lemah atau terbatas ketersediaannya. Menurut
Hermanto
(2009)20,
ada
beberapa
permasalahan
yang
mempengaruhi produksi lada di Bangka Belitung, khususnya ke arah penurunan, yaitu 1) tingkat produktivitas tanaman yang rendah; 2) tingkat harga lada yang relatif rendah, sementara harga sarana produksi, seperti pupuk dan pestisida, relatif mahal; 3) tingginya kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit; 4) masih rendahnya usaha peningkatan diversifikasi produk; 5) sumberdaya petani, baik pengetahuan, maupun permodalan masih terbatas; dan 6) semakin menurunnya luas areal pertanaman lada karena adanya persaingan dengan pertambangan timah rakyat dan peluang usaha komoditas pertanian lainnya, seperti karet dan kelapa sawit. Pihak pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pun telah menyadari hal tersebut. Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Bayo Dandari (2009)21, mengemukakan hal yang sama, bahwa permasalahan yang mempengaruhi produksi lada, yaitu 1) 19
Amiruddin Syam. 2002. Efisiensi produksi komoditas lada di Provinsi Bangka Belitung. http://ejournal.unud.ac.id. [Diakses tanggal 3 Desember 2009] 20 Hermanto. 13 Juni 2009. Mengembalikan Kejayaan Muntok White Pepper. Bangka Pos. http://cetak.bangkapos.com. [Diakses tanggal 16 November 2009] 21
[Diskominfo] Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.Op.cit
40
penyakit yang menyerang lada, sehingga menghalangi peningkatan produksi lada; 2) lahan yang rusak akibat aktivitas tambang timah; 3) mutu tanaman lada yang ditanam masih rendah, terutama dari sisi produktivitasnya; 4) harga jual yang murah; 5) biaya produksi mahal; dan 6) adanya persaingan usaha perkebunan lada dengan perkebunan kelapa sawit dan tambang timah. Masanto (2008)22, mengatakan bahwa tanaman yang tidak bisa berproduksi optimal akibat serangan hama dan penyakit (hama kepik penghisap buah lada dan penyakit kuning) dan rendahnya harga jual lada di pasaran menurunkan motivasi petani untuk memelihara kebun lada mereka yang telah ada, apalagi membuka lahan perkebunan lada yang baru, yang artinya produksi lada juga akan menurun. Selain itu adanya penghasilan yang dirasa lebih baik, yaitu tambang timah, juga turut berdampak pada produksi lada di Bangka Belitung. Hal tersebut semakin dipertegas melalui hasil studi lapangan Kurniawati Y et al. (2009), yang menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah produksi lada yang disebabkan oleh 1) menurunnya harga jual lada (sekitar Rp 37.750 sampai Rp 40.000 per kg); 2) biaya yang cukup besar harus dikeluarkan petani lada untuk mebudidayakan lada, seperti biaya pupuk kimia dan tenaga kerja untuk merawat kebun lada; dan 3) petani beralih profesi ke usaha lain seperti penambang timah, serta berkebun kelapa sawit dan karet, dimana harga jual dan proses produksi dianggap lebih cepat dan lebih mudah. Usaha lada pada dasarnya membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat dipanen (sekitar dua sampai tiga tahun) dan juga memerlukan biaya, tenaga dan waktu dalam perawatannya, ditambah harga pupuk dan bibit yang mahal serta sulit diperoleh. Padahal, sebagai petani sederhana, petani lada perlu untuk memperoleh keuntungan (uang) dalam waktu yang cepat. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar petani lada beralih profesi ke bidang lain, seperti penambang timah, berkebun kelapa sawit, atau berkebun karet. Masuknya kelapa sawit ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan pertumbuhan luas tanam di atas 100 persen, semakin menimbulkan kekhawatiran petani lada akan beralih menjadi petani kelapa sawit, selain beralih menjadi penambang timah. Hasil studi ini pun menyimpulkan bahwa pertanian lada yang dikembangkan oleh petani lada 22 Masanto. 2009. Masa Depan Lada Bangka Belitung. http://bangkatengahkab.go.id. [Diakses tanggal 11 September 2009]
41
di Bangka Belitung pada umumnya menggunakan teknologi tradisional, dalam lingkup yang kecil dan sederhana, serta hingga saat ini tidak mengalami perubahan yang signifikan. Marwoto
(2003)
dalam
penelitiannya
mengatakan
bahwa
usaha
perkebunan lada tidak lagi efisien, sehingga banyak petani yang meninggalkan perkebunan lada, beralih profesi, dan investasi ke sektor usaha yang lebih memberikan
kepastian
dan
keuntungan,
seperti
penambangan
timah
inkonvensional. Padahal, tambang timah adalah sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, dimana jika terus-menerus dieksploitasi akan habis ketersediaannya. Sementara itu, dari sisi input, petani harus membeli input produksi, terutama pupuk, obat-obatan, dan input tradable lainnya dengan harga yang jauh lebih mahal. Sedangkan dari sisi output, petani menerima harga jual yang lebih rendah dari seharusnya. Harga lada yang rendah, membuat petani lada tidak lagi mengandalkan lada sebagi sumber penghasilan utama, sehingga petani lada cenderung beralih profesi ke sektor lain yang memiliki tingkat uncertainty yang lebih rendah. Berdasarkan kajian komoditi unggulan daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) bekerjasama dengan Badan Perencana Pembangunan Daerah dan Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2008), terdapat beberapa peluang usaha pertanian, khususnya perkebunan yang dapat dilakukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, diantaranya kelapa sawit dan karet, selain lada. Perbandingan hasil analisis kelayakan yang dilakukan terhadap ketiga komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
42
Tabel 8. Perbandingan Analisis Benefit Cost Ratio, IRR, dan Payback Period Komoditi Kelapa Sawit, Karet, dan Lada No
1. 2. 3.
Komoditi Perkebunan Kelapa Sawit Karet Lada
Benefit Cost Ratio 1,25 2,6 1,99
IRR (Internal Rate of Return) (%) 23,65 23,9 48,99
Payback Period (Tahun) 10,05 12 3,08
Sumber: Badan Perencana Pembangunan Daerah dan Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) (2008)
2.3. Perbandingan Dengan Penelitian Terdahulu Hasil beberapa penelitian terdahulu, secara umum, menunjukkan terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan produksi lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terutama yang berkaitan dengan penurunannya, yaitu: 1) tingkat harga jual lada di tingkat petani yang relatif rendah (murah), sehingga menurunkan motivasi petani untuk memelihara kebun lada mereka yang telah ada dan membuka kebun lada yang baru; 2) tingkat produktivitas tanaman yang rendah, yang misalnya disebabkan oleh rendahnya mutu tanaman lada yang ditanam; 3) harga sarana produksi (biaya produksi), seperti pupuk dan pestisida, relatif mahal (tinggi); 4) adanya serangan hama dan penyakit; 5) masih rendahnya usaha diversifikasi produk; 6) pengetahuan petani lada masih terbatas; 7) permodalan petani lada yang terbatas; 8) semakin menurunnya luas areal pertanaman lada karena adanya persaingan dengan pertambangan timah rakyat dan peluang usaha komoditas pertanian lainnya, seperti karet dan kelapa sawit, serta ditambah rusaknya lahan akibat aktivitas penambangan timah; dan 9) petani beralih profesi ke usaha lain, seperti penambangan timah, berkebun kelapa sawit, ataupun berkebun karet. Kesembilan permasalahan yang telah teridentifikasi tersebut, dalam penelitian ini, disintesakan (dirangkum), dibatasi, dan ditetapkan menjadi tiga pokok permasalahan (faktor). Ketiga permasalahan pokok tersebut merupakan permasalahan yang paling banyak disebutkan dalam beberapa penelitian terdahulu. Selanjutnya ketiga permasalahan tersebut diturunkan menjadi variabel penelitian dan dianalisis secara lebih mendalam, yaitu: 43
1. Harga jual lada di tingkat petani Harga jual lada merupakan insentif bagi petani untuk melakukan produksi. Semakin tinggi harga jual lada, maka petani akan bersemangat (termotivasi) untuk berproduksi. Beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan acuan, seluruhnya menyebutkan bahwa rendahnya harga lada yang diterima oleh petani, sebagai produsen utama lada di Bangka Belitung, menjadi salah satu penyebab penurunan produksi lada di daerah ini. Ditambah lagi biaya produksi lada yang tinggi. Jika harga lada relatif tinggi dan mampu menutupi biaya produksi, sekalipun biaya produksi tersebut tinggi, tidak menjadi hambatan bagi petani lada untuk berproduksi. Oleh karena itu, harga jual dianggap sebagai faktor yang penting. 2. Peluang usaha lain, selain usaha lada Pada saat harga jual lada rendah bahkan usaha lada cenderung tidak efisien, sehingga menyebabkan produksi lada di Bangka Belitung berfluktuasi dan memiliki tren yang menurun, muncul usaha lain yang dirasa lebih menguntungkan, khususnya oleh petani lada. Hal tersebut telah disebutkan dalam beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan acuan. Usaha lain tersebut menjadi pesaing bagi pengusahaan lada. Usaha lain yang menjadi pesaing usaha kebun (usahatani) lada di Bangka Belitung antara lain adalah perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, dan penambangan timah, dimana harga jual dianggap lebih baik, serta proses produksi lebih cepat dan lebih mudah. Dalam konsep ilmu ekonomi, masyarakat (dalam hal ini petani lada) selalu dihadapkan kepada pilihan-pilihan dan merupakan makhluk rasional, yang membuat dan memilih pilihan-pilihan yang dibuatnya berdasarkan pertimbangan untung rugi, dengan membandingkan biaya yang harus dikeluarkan dan hasil yang akan diperoleh atau opportunity cost (biaya kesempatan). Adanya peluang usaha lain dianggap sebagai faktor yang penting, karena dapat mempengaruhi prioritas pengusahaan lada dan ketersediaan areal yang dimiliki oleh petani untuk menanam lada, sehingga pada akhirnya juga mempengaruhi produksi lada.
44
3. Teknologi budidaya lada petani Teknologi budidaya lada petani adalah perilaku petani lada dalam membudidayakan tanaman ladanya, khususnya dalam segi penerapan teknis budidaya yang baik dan kemajuan teknologi. Teknologi yang baik akan mendukung produksi dan produktivitas kebun lada. Berdasarkan penelitian terdahulu, diketahui bahwa petani lada belum menerapkan teknis budidaya lada dengan baik, seperti mutu tanaman lada yang dipilih masih rendah; penanggulangan serangan hama dan penyakit yang belum optimal; serta pemeliharaan dan perawatan kebun lada yang kurang karena harga lada cenderung rendah dan biaya produksi yang tinggi. Padahal, penerapan teknologi budidaya lada yang baik, dapat mendukung produksi. Oleh karena itu penerapan teknologi budidaya dianggap sebagai faktor penting, yang mempengaruhi produksi lada. Pembatasan permasalahan menjadi tiga pokok (faktor) juga disebabkan karena keterbatasan waktu, dana, kemampuan, penguasaan teori dan konsep, serta ketersediaan data yang dimiliki oleh peneliti. Pembatasan permasalahan atau kajian tersebut pun menjadi pembeda antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu atau sebelumnya.
45
III
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Berdasarkan permasalahan
yang telah teridentifikasi, disintesakan
(dirangkum), dibatasi, dan ditetapkan menjadi tiga pokok permasalahan (faktor), diturunkan variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap produksi lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, khususnya di Kabupaten Bangka. Variabelvariabel tersebut, yaitu harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), yang merupakan variabel-variabel independen. Produksi lada dijadikan sebagai variabel dependennya (Y).
3.1.1. Produksi Produksi perkebunan adalah banyaknya hasil dari setiap tanaman perkebunan menurut bentuk produksi (hasil) yang diperdagangkan dan diambil berdasarkan luas yang dipanen per periode (Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2008). Secara teoritis, produksi merupakan salah satu dari kegiatan ekonomi, selain konsumsi dan perdagangan (Sukirno 1985). Berdasarkan corak analisa di dalam ekonomi, ahli-ahli ekonomi telah merumuskan berbagai masalah ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat ke dalam beberapa masalah pokok. Umumnya permasalahan yang dihadapi masyarakat dapat digolongkan ke dalam salah satu permasalahan pokok tersebut. Permasalahan pokok dalam ekonomi yang berkaitan dengan produksi, antara lain jenis barang atau jasa yang harus diproduksi dan jumlahnya; cara memproduksi barang-barang atau jasa-jasa tersebut; dan peruntukkan dari barang atau jasa yang diproduksi tersebut (Sukirno 1985). 1. Jenis barang atau jasa yang harus diproduksi dan berapa jumlahnya Jenis barang atau jasa yang harus diproduksi dan berapa jumlahnya, adalah persoalan yang sangat penting, karena merupakan faktor utama dalam menentukan corak penggunaan sumberdaya-sumberdaya. Barang atau jasa yang dihasilkan dalam suatu perekonomian sangat banyak jenisnya, dari yang sangat sederhana, hingga yang kompleks. Setiap tahun, suatu perekonomian harus menentukan manakah diantara barang-barang atau jasa-jasa yang
diperlukan perekonomian tersebut yang akan diproduksi, dan seberapa banyak jumlahnya. Masalah ini merupakan akibat langsung dari ketidakmampuan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia untuk memproduksi seluruh barang atau jasa yang diperlukan masyarakat. Oleh karena itu, pilihan-pilihan pun harus dilakukan. Masyarakat harus menentukan keinginan mana yang harus dipenuhi dan keinginan mana yang harus dikorbankan, atau ditangguhkan pemenuhannya.
Penentuan
tersebut
akan
menentukan
penggunaan
sumberdaya-sumberdaya. Semakin banyak suatu jenis barang atau jasa dihasilkan, maka semakin banyak sumberdaya yang akan digunakan dalam kegiatan tersebut. Untuk tujuan itu, sumberdaya yang digunakan di sektor lain harus dikurangi. Maka, produksi di sektor yang terakhir ini (sektor lain tersebut) akan berkurang. 2. Cara memproduksi barang-barang atau jasa-jasa yang akan diproduksi Biasanya terdapat berbagai cara untuk menghasilkan barang atau jasa tersebut. Contohnya dalam sektor pertanian. Dalam sektor tersebut sejumlah produksi tertentu dapat dihasilkan dengan menggunakan lahan yang luas, atau dapat pula dicapai dengan mengurangi keluasan lahan yang digunakan, tetapi lebih banyak menggunakan modal dan teknologi yang lebih tinggi. Di dalam menghadapi pilihan seperti itu, yakni menggunakan lebih banyak lahan atau lebih banyak modal dan teknologi modern, perlu dipertimbangkan cara yang paling sesuai. Masalah efisiensi merupakan salah satu faktor yang akan dijadikan dasar dalam melakukan pemilihan tersebut. Alternatif yang akan dipilih adalah yang mampu menciptakan barang-barang atau jasa-jasa tersebut dengan cara yang paling efisien. Efisiensi dalam kegiatan produksi tidak terbatas pada efisiensi dari segi teknik saja. Penggunaan teknik yang paling up to date belum tentu menghasilkan keuntungan. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah besarnya jumlah permintaan. Apabila permintaan sangat besar, penggunaan teknik yang sangat modern akan menaikkan efisiensi. Tetapi, jika permintaan tidak terlalu banyak, penggunaan teknik produksi yang lebih sederhana akan menciptakan efisiensi yang lebih baik.
47
3. Peruntukan dari barang atau jasa yang diproduksi tersebut Produksi yang melimpah dan efisien tidak tepat jika hanya dinikmati oleh segelintir anggota masyarakat saja. Keputusan untuk siapa barang atau jasa diproduksi berkaitan erat dengan konsep keadilan masyarakat bersangkutan. Bagi masyarakat egaliter, keadilan berarti setiap individu memperoleh jumlah yang sama. Sedangkan masyarakat utilitarian tidak terlalu mementingkan keadilan dalam jumlah. Jumlahnya dapat berbeda, yang penting apakah sesuai dengan kebutuhan atau tidak. Menurut
Gaspersz
(2000),
dalam
ekonomi
manajerial,
aktivitas
berproduksi dianggap sebagai sisi penawaran, yang akan menunjukkan perilaku produsen dalam menawarkan produknya (barang atau jasa) di pasar. Produksi dikatakan sebagai suatu aktivitas (proses) pada perusahaan di dalam industri berupa penciptaan nilai tambah dari input menjadi output secara efektif dan efisien, sehingga produk sebagai output dari proses penciptaan nilai tambah tersebut dapat dijual dengan harga yang kompetitif di pasar global. Pembahasan produksi erat kaitannya dengan sistem produksi. Sistem produksi merupakan sistem integral yang mempunyai komponen (elemen) struktural dan fungsional. Sistem produksi memiliki beberapa karakteristik berikut, yaitu: 1. Mempunyai komponen-komponen atau elemen-elemen yang saling berkaitan satu dengan yang lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Hal ini berkaitan dengan komponen struktural yang membangun sistem produksi tersebut. 2. Mempunyai tujuan yang mendasari keberadaannya, berupa menghasilkan produk (barang atau jasa) berkualitas yang dapat dijual dengan harga kompetitif di pasar. 3. Mempunyai aktivitas, berupa proses transformasi nilai tambah input menjadi output secara efektif dan efisien. 4. Mempunyai mekanisme yang mengendalikan pengoperasiannya, berupa optimasi pengalokasian sumberdaya-sumberdaya. Komponen (elemen) struktural dan fungsional berperan penting dalam menunjang kontinuitas operasional sistem produksi tersebut. Komponen struktural yang membentuk sistem produksi terdiri atas bahan (material), mesin dan 48
peralatan, tenaga kerja, modal, energi, informasi, tanah, dan sebagainya. Sedangkan
komponen
fungsional
terdiri
dari
supervisi,
perencanaan,
pengendalian, koordinasi, dan kepemimpinan, yang seluruhnya berkaitan dengan manajemen dan organisasi. Suatu sistem produksi berada dalam lingkungan, sehingga aspek-aspek lingkungan seperti perkembangan teknologi, sosial dan ekonomi, serta kebijakan pemerintah akan sangat mempengaruhi keberadaan sistem produksi tersebut. Secara sederhana, sistem produksi dapat digambarkan seperti dalam Gambar 6.
LINGKUNGAN
INPUT
Tenaga kerja Modal Material Energi Tanah Informasi Manajerial
PROSES
PROSES TRANSFORMASI NILAI TAMBAH
OUTPUT
PRODUK (Barang atau Jasa)
Umpan balik untuk pengendalian input, proses, dan teknologi
Gambar 6. Skema Sistem Produksi Sumber: Gaspersz (2000)
Gambar 6 menunjukkan bahwa elemen-elemen utama dalam sistem produksi adalah input (faktor produksi), proses, dan output, serta adanya suatu mekanisme umpan balik untuk pengendalian sistem produksi tersebut, agar mampu senantiasa meningkatkan perbaikan (continuous improvement). Petani lada, sebagai masyarakat dan produsen, juga dihadapkan pada permasalahan ekonomi yaitu jenis produk (barang atau jasa) yang harus 49
diproduksi dan berapa jumlahnya, cara memproduksi produk-produk tersebut, dan peruntukan dari produk yang diproduksinya. Dalam memandang hal tersebut, petani lada dilihat sebagai suatu perusahaan (bisnis) di dalam industri lada di Bangka Belitung, khususnya Kabupaten Bangka, yang menghasilkan produk lada. Aktivitas produksi dianggap sebagai bagian dari penawaran yang dilakukan oleh petani lada. Oleh sebab itu pengkajian terhadap produksi lada oleh petani lada dilandaskan pada teori penawarannya, sebagai individu. Aktivitas produksi (proses) yang dilakukan oleh petani lada dalam memproduksi lada merupakan bagian dari suatu sistem, yang disebut sebagai sistem produksi lada. Proses tersebut terkait dengan input produksi lada dan lingkungan di mana petani lada melakukan usahanya. Sebagai suatu sistem yang terintegrasi, saat terjadi perubahan pada aspek input produksi lada ataupun lingkungan usaha yang mempengaruhi sistem produksi lada, maka akan mempengaruhi proses produksi lada. Selanjutnya, perubahan dalam proses produksi lada akan mempengaruhi output (produksi) lada. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan pada input lada ataupun lingkungan usaha yang mempengaruhi sistem produksi lada, akan berpengaruh pula pada output (produksi) lada. Lingkungan dalam hal ini dapat berupa harga jual lada dan usaha lain yang menjadi pesaing pengusahaan lada.
3.1.2. Harga Jual Lada di Tingkat Petani dan Produksi Hubungan antara harga jual dengan produksi didasarkan pada hukum penawaran. Hukum penawaran adalah suatu pernyataan yang menjelaskan sifat perkaitan diantara harga suatu barang (atau dapat pula jasa) dan jumlah barang yang ditawarkan oleh para produsen. Di dalam hukum ini dinyatakan bagaimana keinginan para produsen untuk menawarkan barangnya, apabila harganya tinggi, dan bagaimana pula keinginan untuk menawarkan barangnya tersebut, apabila harganya rendah. Penawaran dari suatu pasar selalu berhubungan dengan para produsen (pelaku bisnis) dalam menghasilkan dan menjual produk-produknya (Samuelson dan Nordhaus 2003). Penawaran dari pelaku bisnis tersebut, secara lebih tepat digambarkan pada kurva penawaran, yang menghubungkan jumlah yang ditawarkan dari sebuah barang dengan harganya di pasar, sementara hal-hal 50
lain dianggap konstan (ceteris paribus). Dalam mempertimbangkan penawaran, hal-hal lain yang dianggap konstan tersebut diantaranya biaya produksi, harga barang terkait, dan kebijakan pemerintah. Kurva penawaran untuk sebuah komoditi akan memperlihatkan hubungan antara harga pasarnya dengan kuantitas dari komoditi tersebut, yang diinginkan diproduksi dan dijual oleh produsen, sementara hal-hal lain dianggap konstan (Samuelson dan Nordhaus 2003). Hukum penawaran pada dasarnya menyatakan semakin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut yang akan ditawarkan oleh para penjual, sebaliknya semakin rendah harga suatu barang, semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan oleh para penjual (Sukirno 1985), ceteris paribus. Penjual dapat pula diartikan sebagai produsen yang menawarkan barang atau jasa yang dihasilkannya. Dampak dari perubahan harga jual barang atau jasa, baik kenaikan, maupun penurunan, menyebabkan terjadinya pergerakan di sepanjang kurva penawaran, tetapi tidak sampai menggeser kurva penawaran tersebut. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 7.
P
S A’
P2 P1
A Q1 Q2
Q
Keterangan: P = Harga produk (komoditi) Q = Jumlah output (produk) yang dihasilkan
Gambar 7. Pergeseran di Sepanjang Kurva Penawaran, dari Titik A ke Titik A’, Akibat Adanya Kenaikan Harga Barang
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harga jual lada di tingkat petani lada atau harga jual lada yang diterima oleh petani lada berhubungan dan akan mempengaruhi jumlah produksi yang dijual dan dihasilkan petani lada tersebut. Semakin tinggi harga jual lada, maka jumlah produksi yang dijual petani lada semakin banyak. Karena petani lada bertindak sebagai produsen yang 51
memproduksi sendiri outputnya yaitu lada putih, maka saat jumlah produksi yang dijual petani lada semakin banyak, mereka akan bergairah untuk meningkatkan produksi per areal tanam ataupun melalui perluasan areal tanam. Sebaliknya, semakin menurun harga jual lada, maka jumlah produksi yang dijual petani lada pun menurun, sehingga keinginan untuk meningkatkan produksi per areal ataupun melalui perluasan areal tanam juga menurun.
3.1.3. Peluang Usaha Lain dan Produksi Peluang usaha lain erat kaitannya dengan konsep ilmu ekonomi, yaitu pilihan-pilihan (choice) dan opportunity cost. 1. Pilihan-pilihan (choice) Dalam masyarakat senantiasa ditemukan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas banyaknya. Manusia tidak pernah merasa puas atas apa yang telah mereka peroleh dan mereka capai. Jika keinginan sebelumnya telah terpenuhi, maka keinginan lainnya akan muncul. Terbatasnya sumberdaya yang tersedia, dibandingkan kebutuhan atau keinginan, menyebabkan manusia harus menentukan pilihan-pilihan yang bersifat individu ataupun kolektif. Pilihan-pilihan tersebut juga dapat menjadi sangat kompleks (sulit) (Rahardja dan Manurung 2006). 2. Biaya kesempatan (opportunity cost) Ilmu ekonomi memandang manusia sebagai makhluk rasional. Pilihan yang
dibuatnya
berdasarkan
pertimbangan
untung
rugi,
dengan
membandingkan biaya yang harus dikeluarkan dan hasil yang akan diperoleh. Biaya yang dimaksudkan dalam konsep ilmu ekonomi (economic cost) berbeda dengan konsep biaya akuntansi (accounting cost). Ekonomi lebih memandang biaya dari sudut pandang yang lebih luas. Bagi seorang akuntan (berdasarkan konsep akuntansi), biaya adalah total uang yang dikeluarkan untuk memperoleh dan menghasilkan sesuatu. Misalnya, seseorang membeli mobil bekas di awal tahun seharga Rp 70 juta. Kemudian mobil tersebut diperbaiki dengan biaya Rp 10 juta, maka total perolehan mobil adalah Rp 80 juta. Di akhir tahun mobil tersebut terjual seharga Rp 92 juta. Seseorang
52
tersebut mendapat keuntungan Rp 12 juta atas penjualan tersebut, berdasarkan perhitungan biaya akuntansi. Jika dipandang secara ekonomi, keuntungan yang dihasilkan belum tentu Rp 12 juta. Seandainya, Rp 80 juta tidak digunakan untuk membeli mobil bekas dan memperbaikinya, melainkan digunakan untuk memilih alternatif lain, yaitu disimpan dalam deposito berjangka. Apabila bunga deposito 20 persen per tahun, maka uang seseorang tersebut akan menjadi Rp 96 juta di akhir tahun. Jadi walaupun secara akuntansi seseorang tersebut untung Rp 12 juta, secara ekonomi rugi sebesar Rp 4 juta. Karena, dengan mendepositokan uangnya, seseorang tersebut dapat memperoleh keuntungan sebesar Rp 4 juta lebih banyak dibanding membeli, memperbaiki, dan menjual mobil bekas, yaitu sebesar Rp 16 juta. Konsep yang dijelaskan di atas merupakan biaya kesempatan (opportunity cost). Biaya kesempatan (opportunity cost) adalah kesempatan seseorang yang hilang untuk memperoleh sesuatu karena seseorang tersebut telah memilih alternatif yang lain (Rahardja dan Manurung 2006). Menurut Sukirno (1985) di beberapa usaha (bisnis) kenaikan biaya untuk memperoleh faktor-faktor produksi akan menyebabkan biaya produksi melebihi hasil penjualannya, sehingga usaha tersebut mengalami kerugian. Hal ini dapat menimbulkan penutupan usaha tersebut dan jumlah penawaran barang ataupun jasa mengalami penurunan. Pada usaha lainnya, kenaikan harga faktor-faktor produksi akan menurunkan keuntungannya. Jika tingkat keuntungan suatu usaha tidak lagi menarik, mereka akan berpindah ke usaha lain. Hal ini juga dapat mengurangi penawaran di dalam suatu kegiatan ekonomi tertentu. Apabila teori-teori tersebut dipadankan, maka untuk usaha yang keuntungannya tidak menarik, biaya kesempatannya lebih kecil dari pada usaha yang keuntungannya lebih menarik. Artinya pula, bahwa usaha yang keuntungannya kecil, lebih mudah dikorbankan untuk mengejar kesempatan mengusahakan usaha yang jauh lebih menguntungkan. Jadi berdasarkan uraian sebelumnya, saat usaha memproduksi barang atau jasa, keuntungannya dirasa kecil atau bahkan merugikan, maka pelaku usaha akan mencari alternatif usaha lainnya (peluang usaha lain) yang lebih menguntungkan atau menutup usaha 53
tersebut, sehingga produksi dari usaha tersebut akan menurun dan jumlah barang atau jasa yang ditawarkan akan menurun pula. Hal ini juga akan menggeser kurva penawaran ke kiri. Saat usaha lada dianggap tidak lagi menguntungkan bahkan merugikan, baik karena biaya produksi yang relatif lebih tinggi terhadap harga jualnya, ataupun karena sebab yang lain, maka petani lada memiliki opportunity cost yang kecil atas usaha ladanya. Jika petani lada menemukan adanya peluang usaha lain, yang memberikan keuntungan lebih baik dari usaha ladanya, maka akibatnya petani lada akan melakukan pilihan-pilihan, yaitu memproduksi lada dalam jumlah yang lebih sedikit; beralih ke produksi produk-produk lain atau berdiversifikasi usaha; atau mungkin benar-benar keluar dari usahanya, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan produksi dan penawaran lada. Berdasarkan penelitian terdahulu, dampak dari korbanan (opportunity cost) yang dilakukan oleh petani lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, khususnya Kabupaten Bangka, karena memilih alternatif pilihan (peluang) usaha lain yang mereka anggap lebih menguntungkan selain usaha kebun lada, seperti tambang timah, kebun karet, dan kebun kelapa sawit adalah berkurangnya prioritas atas pengusahaan kebun lada dan luas areal (lahan) yang tersedia untuk mengusahakan tanaman lada. Petani lada rela “menomorduakan” prioritas pengusahaan lada mereka, dibanding dengan usaha lain. Selain itu, mereka pun rela mengkonversi areal yang sebelumnya telah ditanami lada atau areal yang sebenarnya dapat diperluas untuk ditanami lada, dalam lingkup keseluruhan areal yang dimilikinya, menjadi tambang timah, kebun karet, ataupun kebun kelapa sawit. Jika prioritas petani lada untuk mengusahakan tanaman lada menurun, maka tenaga (energi) yang dicurahkan ataupun modal yang dialokasikan petani lada atas usaha tersebut pun menurun, sehingga pada akhirnya menurun pula produksi lada mereka. Sementara itu, berkurangnya luas areal tanam juga berdampak pada berkurangnya produksi lada. Hal ini disebabkan karena tenaga, modal, dan areal tanam merupakan input-input yang digunakan dalam proses untuk memproduksi lada, dalam suatu sistem, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 6. Jika penggunaan input-input produksi menurun, maka tentunya produksinya pun menurun. 54
3.1.4. Teknologi Budidaya Lada Petani dan Produksi Menurut Soekartawi (2002), dengan adanya perbaikan (kemajuan) teknologi, maka produksi akan semakin meningkat. Dengan demikian akan terjadi upward shift of production, yaitu fungsi produksi yang bergeser ke arah atas karena adanya penggunaan teknologi tersebut. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 8.
Output (Y) Y3
TP3
Y2
TP2
Y1 TP1
Tenaga Kerja (L) L1
Keterangan: TP = Total Produksi; L = Input Variabel Tenaga Kerja; Y = Output
Gambar 8. Pengaruh Kemajuan Teknologi terhadap Output (Upward Shift of Production), Model Produksi dengan Satu Faktor Produksi (Input) Variabel Sumber: Rahardja dan Manurung (2006)
Berdasarkan Gambar 8, akibat kemajuan teknologi, luas kurva TP3>TP2>TP1. Artinya jumlah output yang dihasilkan per unit faktor produksi semakin besar. Kemajuan teknologi juga memungkinkan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi, yang juga berarti menurunkan biaya produksi. Tingkat produksi yang sama dapat dicapai dengan penggunaan faktor produksi yang lebih sedikit. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 9.
55
Mesin
Q1 Q2
Tenaga Kerja
Keterangan: Q1 = Output sebelum ada kemajuan teknologi; Q2 = Output setelah ada kemajuan teknologi
Gambar 9. Dampak Kemajuan Teknologi, pada Model Produksi dengan Dua Faktor Produksi Variabel Sumber: Rahardja dan Manurung (2006)
Karena kemajuan teknologi, tingkat produksi sebelum adanya kemajuan teknologi (Q1) dapat dicapai dengan penggunaan faktor produksi yang lebih sedikit (Q2) (Q2 merupakan Q1 yang dicapai setelah ada kemajuan teknologi). Kemajuan atau perbaikan dalam teknologi dapat menyebabkan penurunan biaya produksi dan kenaikan produksi. Dalam kaitannya dengan penawaran, maka kemajuan atau perbaikan dalam teknologi tersebut akan meningkatkan jumlah barang atau jasa yang diproduksi dan dijual. Pada kurva penawaran, dampaknya akan menggeser kurva penawaran ke arah kanan. Perkembangan teknologi dalam budidaya lada petani dapat berupa perbaikan teknologi yang sudah ada ataupun introduksi teknologi yang lebih modern. Perbaikan dalam teknologi budidaya tersebut mencakup perbaikan dalam teknik budidaya lada yang selama ini telah dilakukan petani, sehingga keadaan produksi menjadi lebih baik dan terjadi peningkatan. Introduksi teknologi yang lebih modern berarti masuknya teknologi baru dalam budidaya lada petani, sehingga meningkatkan efisiensi dan produksi lada petani.
3.1.5. Harga Jual Lada di Tingkat Petani, Peluang Usaha Lain, Teknologi Budidaya Lada Petani, dan Produksi Produksi lada tidak hanya dipengaruhi oleh satu variabel independen saja dalam kenyataannya. Oleh sebab itu, dilihat hubungan variabel-variabel independen, yang telah ditetapkan, yaitu harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), sekaligus, 56
terhadap produksi lada (Y). Berdasarkan indikasi yang terlihat diantara variabelvariabel independen dengan dependen, maka dirumuskan hipotesis penelitian, yaitu harga jual lada di tingkat petani, peluang usaha lain, dan teknologi budidaya lada petani secara bersama-sama berpengaruh (berhubungan kausal atau berhubungan fungsional) signifikan terhadap produksi lada.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan fluktuasi dan tren penurunan produksi lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, khususnya Kabupaten Bangka. Oleh sebab itu, dilakukan upaya identifikasi, menyangkut permasalahan tersebut. Secara umum, berdasarkan hasil kajian penelitian terdahulu, teridentifikasi sembilan permasalahan yang berkaitan dengan produksi lada di Bangka Belitung, khususnya dalam hal penurunannya. Kesembilan permasalahan tersebut, disintesakan (dirangkum), dibatasi, dan ditetapkan menjadi tiga permasalahan pokok, dimana ketiganya merupakan permasalahan yang paling banyak disebutkan dalam beberapa penelitian terdahulu. Kemudian, ketiga permasalahan pokok tersebut diamati di lapangan. Berdasarkan hasil pengamatan, ketiga permasalahan pokok tersebut juga dominan ditemui di lapangan, sehingga dirumuskan hipotesis bahwa harga jual lada di tingkat petani, peluang usaha lain, dan teknologi budidaya lada petani, berpengaruh signifikan terhadap produksi lada. Untuk membuktikannya dilakukan analisis korelasi dan regresi linear berganda. Berdasarkan hasil pengamatan juga diperoleh karaktersitik responden petani lada (sampel), baik secara umum, maupun yang berkaitan dengan variabel penelitian yang dikaji. Karaktersitik responden secara umum, meliputi umur, status, pendidikan, pengalaman mengusahakan lada, usaha yang dilakukan, dan kepemilikan lahan. Karakteristik responden berdasarkan variabel penelitian yang dikaji, meliputi produksi lada yang dihasilkan, harga jual lada yang diterima, peluang usaha lain yang dijalankan (selain lada), dan penerapan teknologi budidaya lada. Karaktersitik responden tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil analisis deskriptif serta korelasi dan regresi linear berganda menghasilkan rekomendasi (saran), yang diharapkan dapat menjadi bahan 57
pertimbangan, terutama bagi pemerintah (pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung umumnya dan Kabupaten Bangka khususnya) serta petani lada sendiri, untuk memecahkan permasalahan fluktuasi dan penurunan produksi lada tersebut. Skema kerangka pemikiran operasional penelitian dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 10.
58
Permasalahan Fluktuasi dan Tren Penurunan Produksi Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Khususnya Kabupaten Bangka Beberapa Tahun Terakhir.
Identifikasi Masalah Penelitian Terdahulu: Terdapat sembilan (9) permasalahan produksi (secara umum di Bangka Belitung).
1. 2. 3.
Pembatasan dan Penetapan Tiga Permasalahan (Faktor) Pokok: Harga jual lada di tingkat petani. Adanya peluang usaha lain, selain usaha produksi lada. Teknologi budidaya lada petani.
Pengamatan di Lapangan (Kabupaten Bangka). 1. Karakteristik Responden Secara Umum: Umur, status, pendidikan, pengalaman mengusahakan lada, usaha yang dilakukan, dan kepemilikan lahan.
Harga Jual Lada di Tingkat Petani (X1) Peluang Usaha Lain (X2)
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Variabel Penelitian: Produksi lada, harga jual lada di tingkat petani, peluang usaha lain, dan teknologi budidaya lada petani.
1. 2.
Analisis Deskriptif: Karakteristik responden (umum). Deskripsi variabel penelitian.
Produksi Lada (Y)
Teknologi Budidaya Lada Petani (X3)
Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda: Faktor yang signifikan berpengaruh terhadap produksi lada.
Rekomendasi
Gambar 10. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian 59
IV
METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang merupakan sentra utama produksi lada, khususnya lada putih, di Indonesia. Lada yang dihasilkan dari provinsi ini dikenal di dunia dengan nama Muntok White Pepper (Lada Putih Muntok). Kabupaten yang ditetapkan sebagai fokus utama kajian adalah Kabupaten Bangka, yaitu daerah yang signifikan mengalami fluktuasi dan tren penurunan produksi antara tahun 2004-2008, serta penurunan produksi yang paling besar dibandingkan lima kabupaten dan satu kota lainnya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada rentang tahun 2007-2008. Penelitian dilaksanakan pada akhir bulan Mei 2010 hingga akhir Juli 2010. Pertimbangan lokasi dan waktu penelitian didasarkan atas penguasaan masalah, keterbatasan dana, waktu, dan kemampuan yang dimiliki oleh peneliti.
4.2. Metode Penentuan Sampel Pemilihan sampel dilakukan secara bertahap (multitahap). Metode yang digunakan adalah perpaduan antara metode judgement, cluster, dan simple random sampling. Kabupaten Bangka, yang menjadi daerah batasan penelitian (ruang lingkup penelitian), ditetapkan berdasarkan pertimbangan (judgement) bahwa kabupaten tersebut mengalami fluktuasi dan tren penurunan produksi paling signifikan selama periode 2004-2008 serta penurunan produksi yang paling besar pada rentang tahun 2007-2008, diantara wilayah administratif lainnya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kabupaten Bangka kemudian dikelompokkan (cluster) menjadi beberapa kecamatan, berdasarkan lingkup pemerintahan Kabupaten Bangka. Atas dasar pengelompokan kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Bangka tersebut, diambil beberapa kecamatan dengan kriteria (judgement) kecamatan yang areal tanam dan produksi ladanya masih dominan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka (2009), kecamatan yang ditetapkan sebagai lingkup pengambilan sampel karena memiliki areal tanam dan produksi yang dominan, khususnya di tahun 2009, adalah Kecamatan Mendo
Barat, Bakam, dan Riau Silip. Areal tanam dan produksi lada per kecamatan di Kabupaten Bangka dapat lebih jelas dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Areal Tanam dan Produksi Lada per Kecamatan di Kabupaten Bangka Tahun 2009 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kecamatan Mendo Barat Bakam Riau Silip Puding Besar Merawang Belinyu Sungailiat Pemali Total
Areal Tanam (Ha) 1.704,0 869,0 604,0 313,0 205,0 133,0 34,0 7,0 3.869
Produksi (Ton) 936,0 496,0 166,0 125,0 122,2 126,9 44,0 8,0 2024,1
Sumber: Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka (2009)
Kecamatan Mendo Barat, Bakam, dan Riau Silip, masing-masing, dikelompokkan kembali ke dalam beberapa desa, berdasarkan lingkup pemerintahan kecamatan tersebut. Kemudian dari pengelompokan tersebut, diambil beberapa desa, dengan kriteria pemilihan yaitu desa yang areal tanam dan luas panen ladanya masih dominan. Untuk itu digunakan data mengenai areal tanam dan luas panen lada, yang diperoleh dari masing-masing BPP (Balai Penyuluh Pertanian) di kecamatan terpilih, yaitu BPP Petaling untuk Kecamatan Mendo Barat, BPP Bakam untuk Kecamatan Bakam, dan BPP Pangkal Niur untuk Kecamatan Riau Silip. Berdasarkan data yang diperoleh, yaitu data areal tanam dan luas panen lada setiap desa di kecamatan-kecamatan terpilih tersebut, khususnya di tahun 2009, ditetapkan sembilan desa yang sesuai. Masing-masing kecamatan diwakili oleh tiga desa yang sesuai. Desa-desa terpilih beserta areal tanam dan luas panen ladanya dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 10.
61
Tabel 10. Luas Areal Tanam dan Panen Sembilan Desa Lokasi Penelitian No
Kecamatan
1.
Mendo Barat
2.
Bakam
3.
Riau Silip
Desa Petaling Kemuja Air Duren Bakam Dalil Neknang Banyu Asin Silip Cit
Areal Tanam (Ha)** Luas Panen (Ha)** 70,25 51 80 40 50 35 37 22 25 15 25 18 196 41 125 45 * 40
Keterangan: *)Data tidak tersedia; **)Data tahun 2009 Sumber: Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Petaling, Bakam, dan Pangkal Niur (2009) (Diolah)
Selanjutnya, dari setiap desa, dipilih petani-petani secara acak (simple random sampling) berdasarkan kerangka sampel petani yang ditetapkan dengan kriteria petani lada yang mendiversifikasikan usaha ladanya (selama tahun 2009), dimana tanaman ladanya tersebut telah menghasilkan buah lada atau dipanen di tahun 2009. Pertimbangan digunakannya kriteria tersebut adalah agar setiap petani yang dipilih dapat menjawab keempat variabel dalam penelitian ini, yaitu produksi lada (Y), harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), serta dapat memberi jawaban yang paling objektif, khususnya dalam menjawab ketiga variabel independen, yaitu harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), karena petani tersebut berproduksi lada, menggunakan teknologi, dan memanfaatkan peluang usaha lain. Jumlah sampel petani lada yang diambil di setiap kecamatan adalah 10 orang, sehingga dari tiga kecamatan yang telah ditetapkan diperoleh total 30 orang sampel. Jumlah masing-masing sampel petani lada di setiap desa berkisar antara 2-4 orang, yang berasal dari kerangka sampelnya. Tahap penentuan sampel dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 11, sedangkan kerangka sampel di setiap desa dapat dilihat pada Lampiran 3.
62
Kabupaten Bangka Kecamatan Mendo Barat
Kecamatan Bakam
Kecamatan Riau Silip
Desa Petaling
Desa Kemuja
Desa Air Duren
Desa Bakam
Desa Dalil
Desa Neknang
Desa Banyu Asin
Desa Silip
Desa Cit
4 Petani Lada
4 Petani Lada
2 Petani Lada
4 Petani Lada
3 Petani Lada
3 Petani Lada
4 Petani Lada
3 Petani Lada
3 Petani Lada
Gambar 11. Tahap Penentuan Sampel Penelitian
Adapun tujuan penentuan sampel dengan metode bertahap ini adalah untuk mendapatkan sampel yang sesuai dengan permasalahan yang ingin diteliti dan mendapatkan sampel yang lebih homogen. Setelah sampel diasumsikan homogen, maka beberapa petani lada yang akan diambil sebagai sampel (responden) dianggap sudah mewakili. Berdasarkan kerangka sampel yang ditetapkan, diambil 30 sampel secara acak. Jumlah sampel sebesar 30 dimaksudkan agar memenuhi kriteria data dan penggunaan alat analisis statistika (uji statistik) (Silalahi 2009).
4.3. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan menggunakan metode survei serta logika deduktif yang menguji hipotesis hubungan kausal (sebab-akibat). Data dikumpulkan menggunakan kuesioner, observasi, dan wawancara, baik untuk data primer, maupun sekunder. Sampel (responden) ditetapkan dengan bertahap, yang menggabungkan metode judgement, cluster, dan simple random sampling. Data dianalisis dengan menggunakan statistik inferensial, yaitu analisis korelasi dan regresi linear berganda, serta statistika deskriptif yaitu analisis deskriptif. Hasil analisis data dibahas dan diintepretasikan, apakah menerima atau menolak hipotesis yang telah dirumuskan dalam kerangka pemikiran, sehingga diperoleh kesimpulan atas dasar pengujian hipotesis dan diberikan saran pemecahan masalah atas dasar hasil pengujian, pembahasan, dan intepretasi tersebut. 63
4.4. Data dan Instrumentasi Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data relevan yang diperoleh langsung dari petani lada atau dapat pula dari hasil-hasil wawancara dengan pihak lain yang terkait. Data yang bersumber dari petani lada merupakan kajian utama dalam penelitian ini. Data sekunder relevan yang digunakan bersumber dari instansi-instansi dan kelembagaan-kelembagaan terkait, seperti Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka; Direktorat Jendral Perkebunan Departemen Pertanian Republik Indonesia (Ditjenbun Deptan RI); International Pepper Community (IPC); Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI); serta instansi lainnya yang terkait. Data primer yang dicari, khususnya dari petani, adalah data di tahun 2009, karena data tersebut merupakan data satu tahun yang telah mencakup data pada bulan Januari hingga Desember, sehingga yang diperoleh adalah data dan kondisi per tahun. Data primer dan sekunder yang lain, selain dari petani, tidak dilakukan pengkhususan. Data primer dan sekunder tersebut, terdiri atas jenis data cross section dan time series, serta data kuantitatif dan kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk pengambilan data di dalam penelitian ini adalah kuesioner, alat pencatat, dan alat perekam.
4.5. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung kepada petani lada dan pengisian kuesioner oleh petani lada, dari setiap desa yang telah ditentukan sebagai sampel. Pengisian kuesioner oleh petani dibimbing oleh peneliti, tanpa dilakukan intervensi. Kuesioner disusun dan ditetapkan berdasarkan definisi operasional yang telah disusun. Selain itu, dilakukan pula observasi terhadap aktivitas usaha yang dilakukan oleh petani lada, baik pada, maupun di luar usaha produksi ladanya, sehingga data yang diperoleh akan lebih 64
lengkap dan tajam. Jenis observasi (pengamatan) yang dilakukan adalah observasi nonpartisipan (nonparticipant observation), dimana peneliti tidak terlibat dan hanya bertindak sebagai pengamat independen, dalam mengobservasi aktivitas usaha petani lada. Wawancara dan diskusi juga dilakukan dengan pihak dari instansi-instansi dan lembaga-lembaga terkait, seperti Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung; Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka; dan International Pepper Community (IPC). Pengumpulan data dilakukan pada akhir bulan Mei 2010 hingga akhir Juli 2010.
4.6. Metode Pengolahan Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan statistika deskriptif dan inferensia. Analisis statistika deskriptif yang dipakai adalah analisis deskriptif. Sedangkan analisis statistika inferensia yang dipergunakan adalah analisis korelasi dan regresi linear berganda. Untuk memudahkan proses analisis, digunakan bantuan software (perangkat lunak) komputer, yaitu Microsoft Excel 2007, SPSS 11,5, dan Eviews 4,1.
4.6.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan dengan mendeskripsikan semua data yang telah terkumpul, berdasarkan sampel, sebagaimana adanya, tanpa bermaksud untuk membuat kesimpulan yang berlaku untuk populasi dimana sampel diambil (generalisasi) (Sugiyono 2001). Statistik deskriptif tersebut dapat berupa penyajian data melalui tabel, grafik, diagram lingkaran, piktogram, perhitungan modus, median, mean, simpangan baku (standar deviasi), serta perhitungan persentase.
4.6.2. Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan dan pengaruh dari variabel independen penelitian, yaitu harga jual lada di tingkat petani (X1), 65
peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), secara bersamaan, terhadap variabel dependen, yaitu produksi lada (Y). a. Asumsi-asumsi Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi untuk menggunakan analisis korelasi dan regresi berganda ini antara lain (Mason dan Lind 1999): i. Terdapat hubungan linear antara variabel independen dan variabel dependen. ii. Variabel dependen harus bersifat kontinu, dan paling tidak berskala selang (interval). iii. Keragaman residu (selisih nilai pengamatan dan pendugaan) harus sama untuk semua nilai pendugaan Y (Y′), dan nilai-nilai residu ini menyebar normal, dengan rata-rata 0. Jika terjadi perbedaan, maka hal tersebut mengindikasikan terjadinya homoskedastisitas. Uji statistik tersendiri dapat dilakukan untuk mendeteksi homoskedastisitas. iv. Pengamatan berurutan terhadap variabel dependen tidak berkorelasi. Jika terdapat korelasi, maka disebut autokorelasi. Autokorelasi sering terjadi sewaktu data dikumpulkan menurut periode-periode waktu. Uji statistik tersendiri dapat dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi. v. Kaidah kuadrat terkecil (OLS atau Ordinary Least Square) Kaidah kuadrat terkecil berfungsi untuk menghasilkan garis lurus (linear) dengan kesesuaian terbaik. Menurut Mason dan Lind (1999), dalam prakteknya ketepatan asumsiasumsi ini tidak selalu mungkin diterapkan dalam masalah korelasi dan regresi linear berganda, yang melibatkan iklim bisnis yang selalu berubah. Teknik statistika ini, nampaknya bekerja baik, sekalipun satu atau lebih asumsiasumsinya dilanggar. Sekalipun jika nilai-nilai pada persamaan regresi linear berganda sedikit “salah”, pendugaan yang berdasarkan persamaan tersebut, akan lebih dekat daripada dengan cara lain manapun yang bisa digunakan. b. Bentuk umum persamaan regresi linear berganda Bentuk umum dari persamaan regresi linear berganda adalah sebagai berikut:
66
Y′ = a + b1X1 + b2X2 +....+ bkXk
………. (1)
Dimana: Y′ =Disebut Y aksen, yaitu nilai prediksi dari variabel (dependen) berdasarkan nilai variabel X yang dipilih. A =Titik potong Y, yang merupakan nilai perkiraan bagi Y ketika X= 0 (garis Y memotong sumbu X). B1 =Perubahan rata-rata pada Y′ untuk setiap satu unit perubahan (naik ataupun turun) pada variabel X1, dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Ini disebut sebagai koefisien regresi parsial atau cukup disebut koefisien regresi. B2 =Perubahan rata-rata pada Y′ untuk setiap satu unit perubahan (naik ataupun turun) pada variabel X2, dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Ini juga disebut sebagai koefisien regresi parsial atau cukup disebut koefisien regresi. Bk =Perubahan rata-rata pada Y′ untuk setiap satu unit perubahan (naik ataupun turun) pada variabel Xk, dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Ini juga disebut sebagai koefisien regresi parsial atau cukup disebut koefisien regresi. X1 =Sembarang nilai variabel independen X1. X2 =Sembarang nilai variabel independen X2. Xk =Sembarang nilai variabel independen ke-k. Sumber: Mason dan Lind (1999)
c. Kesalahan baku berganda pendugaan Kesalahan baku berganda pendugaan berfungsi untuk mengukur kesalahan dalam pendugaan. Kesalahan baku berganda pendugaan akan mengukur kesalahan yang terjadi pada nilai Y, di sekitar bidang regresi. Adapun rumus kesalahan baku berganda pendugaan, yaitu (Mason dan Lind 1999): Sy∙12.
Dimana: Sy∙x. . . k n k Y Y′
= = = = =
. . k=
Σ Y-Y' 2 n- k+1
………. (2)
Kesalahan baku berganda pendugaan. Jumlah sampel (pengamatan). Jumlah variabel independen. Nilai variabel dependen. Disebut Y aksen, yaitu nilai prediksi dari variabel Y (dependen) berdasarkan nilai variabel X yang dipilih. (ΣXY) = Jumlah hasil kali variabel X dan Y. [Σ(Y–Y′)2] = Jumlah residu yang telah dikuadratkan. 67
d. Selang kepercayaan dan selang pendugaan Selang kepercayaan bagi nilai tengah Y untuk suatu nilai X tertentu diperoleh dengan rumus:
1 + n
Y' ± t Sy∙x
X-X 2 ΣX ΣX2 - n
………. (3)
2
Sedangkan untuk menentukan selang pendugaan bagi suatu nilai Y untuk nilai X yang diberikan, diperoleh dengan rumus:
Y' ± t Sy∙x
1 1+ + n
X-X 2 ΣX ΣX2 n
2
………. (4)
Dimana: Y′ = Disebut Y aksen, yaitu nilai prediksi dari variabel Y (dependen) berdasarkan nilai variabel X yang dipilih. t = Nilai statistik t berdasarkan lampiran F untuk derajat bebas n–2. Sy∙x = Kesalahan baku pendugaan. n = Jumlah sampel (pengamatan). X = Nilai variabel X (independen) yang terpilih. = Nilai tengah variabel X, diperoleh dari ΣX/n. X Sumber: Mason dan Lind (1999)
e. Koefisien korelasi berganda (R) Koefisien
korelasi
berganda
rumit
dilakukan
jika
variabel
independennya sudah lebih dari dua variabel. Oleh karena itu lebih mudah menggunakan bantuan software komputer. Dari perhitungan komputer, dapat diperoleh koefisien determinasi berganda (R2), yang merupakan persentase keragaman yang dapat dijelaskan oleh model regresi (Mason dan Lind 1999). Koefisien determinasi berganda didapat dari jumlah kuadrat regresi dibagi dengan jumlah kuadrat total. Secara matematis dituliskan:
R2 =
SSR SStotal
………. (5)
68
Dimana: SSR SStotal
= Jumlah kuadrat regresi (sum square regression) = Jumlah kuadrat total (sum square total)
Sumber: Mason dan Lind (1999)
Setelah mengetahui nilai R2, maka dapat diketahui pula nilai R (koefisien korelasi berganda), yaitu dengan cara mengakarkan nilai R2. Secara matematis dapat dinyatakan:
R= R2 =
SSR SStotal
………. (6)
f. Multikolinearitas Multikolinearitas terjadi jika diantara variabel-variabel independen saling berkorelasi. Untuk memeriksa adanya multikolinearitas dapat digunakan matriks korelasi, yang dapat diperoleh dengan bantuan software komputer. Multikolinearitas dapat mengubah kesalahan baku pendugaan dan menyebabkan kesimpulan yang salah, sehubungan dengan manakah variabel independen yang mempunyai pengaruh signifikan (nyata) dan tidak signifikan. Korelasi antar variabel-variabel independen yang berada pada selang -0,70 sampai dengan 0,70 tidak menyebabkan masalah (Mason dan Lind 1999). Jika terdapat korelasi yang erat antara dua variabel independen, maka salah satu dari dua variabel independen tersebut diabaikan. g. Uji global Uji global dilakukan untuk melihat kemampuan menyeluruh dari variabel-variabel independen (X1, X2,. . ., Xk), dalam menjelaskan tingkah laku variabel dependen (Y). Pada dasarnya uji global menyelidiki apakah semua variabel independen memiliki koefisien bersih regresi nol. Dengan kata lain, dapatkah besar varians yang bisa dijelaskan (R2), terjadi secara tidak sengaja. Uji statistik yang digunakan adalah uji F, dengan derajat bebas pembilang k dan derajat bebas penyebut n-(k+1), dimana k adalah banyaknya variabel independen dan n adalah jumlah pengamatan atau sampel.
69
h. Evaluasi koefisien regresi secara individu Langkah selanjutnya setelah uji F adalah menguji variabel-variabel tersebut secara individu untuk menentukan koefisien regresi yang bernilai nol dan yang bukan. Jika koefisien regresi bernilai nol, menandakan bahwa variabel independen tertentu tidak berpengaruh dalam menerangkan keragaman dari variabel dependen. Uji statistik yang digunakan adalah uji tstudent, dengan derajat bebas n-(k+1), dimana k adalah banyaknya variabel independen dan n adalah jumlah pengamatan atau sampel.
4.6.3. Uji Asumsi Model Regresi Linear Klasik Pada model ekonometrik, terutama model regresi linear, diketahuinya nilai variabel independen tertentu, belum tentu menjamin diketahuinya nilai variabel dependen dengan tepat, sebab variasi variabel dependen disebabkan oleh banyak variabel, yang tidak semuanya dimasukkan sebagai variabel independen. Selain itu, terdapat faktor-faktor, seperti kesalahan tertentu, yang selalu akan dilakukan oleh seorang peneliti. Untuk menampung kesalahan tersebut, di dalam model regresi linear dimasukkan variabel gangguan, yaitu yang mengganggu hubungan jika tidak terdapat kesalahan tersebut. Sehingga model regresi linear secara umum dapat ditulis: Yi = a + b1X1 + b2X2 +....+ bkXk+ ∈i
………. (7)
Berdasarkan model di atas dapat dilihat bahwa variasi variabel dependen (Y) tidak saja dijelaskan oleh variabel dependen (X1−Xk), tetapi juga oleh variabel ∈, dimana variabel ∈ adalah variabel random yang tidak diketahui dan tidak dapat diamati. Oleh sebab itu, agar variabel dependen dapat dijelaskan dengan baik oleh variabel independen, maka pola perilaku ∈ harus diperkirakan terlebih dahulu. Untuk itu, dibuatlah asumsi tertentu tentang pola perilaku variabel ∈ yang dikenal dengan nama asumsi model regresi linear klasik, yaitu: 1. Nilai yang diharapkan bersyarat (conditional expected value) dari ∈i tergantung pada Xi tertentu adalah nol.
70
2. Tidak
adanya
korelasi
berurutan
atau
tidak
ada
autokorelasi
(nonautocorrelation). Artinya, dengan Xi tertentu, simpangan setiap Y yang manapun dari nilai rata-ratanya tidak menunjukkan adanya korelasi, baik secara positif, maupun negatif. 3. Varians bersyarat dari ∈ adalah konstan. Asumsi ini dikenal dengan asumsi homoskedastisitas. 4. Variabel bebas adalah nonstokastik (yaitu tetap dalam penyampelan berulang), atau jika stokastik, didistribusikan secara independen dari gangguan ∈. 5. Tidak adanya multikolinearitas di antara variabel independen yang satu dengan yang lainnya. 6. ∈ didistribusikan secara normal dengan rata-rata varians yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2. Penyimpangan asumsi 2, 3, dan 5 memiliki pengaruh yang serius, sedangkan asumsi 1, 4, dan 6 tidak. Jika asumsi 1 tidak dipenuhi, maka konstanta (intersep) pada model tidak dapat diduga dengan benar. Akan tetapi, dalam praktik, unsur intersep tidak begitu penting, karena untuk sebagian besar tujuan, ukuran besaran yang berarti adalah koefisien regresi variabel independen, yang tetap tidak terpengaruh jika asumsi 1 tidak terpenuhi. Untuk asumsi 4, strategi praktis untuk diikuti adalah dengan mengasumsikan bahwa untuk masalah yang ada nilai variabel independen adalah tertentu, meskipun variabel itu sendiri mungkin sebenarnya stokastik. Jadi hasil analisis regresi adalah tergantung pada nilai tertentu. Asumsi 6, asumsi kenormalan tidak penting secara mutlak, jika tujuannya hanya pendugaan. Penduga OLS (Ordinary Least Square) adalah BLUE (Best Linear Unbiased Estimation) dengan memandang apakah ∈ didistribusikan secara normal atau tidak. Terlebih lagi jika ∈ didistribusikan secara normal, dapat ditunjukkan bahwa penduga OLS cenderung didistribusikan secara normal apabila sampel meningkat secara tak terbatas. Ahli ekonomi seringkali tidak memiliki sampel yang besar, sehingga asumsi kenormalan menjadi sangat penting untuk maksud pengujian hipotesis dan peramalan. Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan, maka dalam penelitian ini, model (persamaan) regresi linear yang dihasilkan akan diuji menurut asumsi model regresi linear klasik. Uji asumsi yang dilakukan untuk model regresi linear 71
berganda meliputi, uji multikolinearitas, uji normalitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi. Uji normalitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi dilakukan
dengan
bantuan
software
Eviews
4,1.
Sementara
itu,
uji
multikolinearitas dilakukan dengan bantuan software SPSS 11,5. 1. Uji normalitas Untuk mengetahui normalitas residual (error atau gangguan), maka digunakan Uji Jarque-Bera. Hipotesis yang disusun, yaitu: H0: Residual (error atau gangguan) berdistribusi normal. Ha: Residual (error atau gangguan) tidak berdistribusi normal. Jika nilai probabilitas (Jarque-Bera) lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan, maka disimpulkan terima H0. Sehingga dapat dikatakan residual (error atau gangguan) pada model terdistribusi dengan normal atau dengan kata lain asumsi normalitas terpenuhi. 2. Uji heteroskedastisitas Uji yang digunakan untuk melihat ada atau tidaknya sifat heteroskedastisitas pada model adalah Uji Heteroskedastisitas Umum White. Hipotesis yang disusun yaitu: H0: Tidak ada heteroskedastisitas. Ha: Ada heteroskedastisitas. Jika nilai probabilitas Obs*R-squared (Uji White) lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan, maka disimpulkan terima H0. Atau dengan kata lain, disimpulkan tidak terdapat heteroskedastisitas pada model. 3. Uji autokorelasi Uji yang digunakan untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi pada model adalah Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation Lagrange Multiplier. Hipotesis yang disusun yaitu: H0: Tidak ada autokorelasi. Ha: Ada autokorelasi. Jika nilai probabilitas Obs*R-squared (Uji Breusch-Godfrey Lagrange Multiplier) lebih besar dari taraf nyata (α) yang digunakan, maka disimpulkan terima H0. Atau dengan kata lain, disimpulkan tidak terdapat autokorelasi pada model. 72
4. Uji multikolinearitas Telah disebutkan sebelumnya bahwa menurut Mason dan Lind (1999), korelasi antara variabel-variabel independen yang berada pada selang -0,70 sampai dengan 0,70 tidak menyebabkan masalah. Selain itu, adanya multikolinearitas juga dapat diuji berdasarkan nilai VIF (Variance Inflation Factors) nya. Menurut Lind, Marchal, dan Wathen (2007), sebuah VIF yang lebih
besar
dari
sepuluh
(10)
dianggap
tidak
memuaskan,
yang
mengindikasikan sebaiknya variabel bebas tersebut dibuang. Pramesti (2009) menyebutkan, jika nilai VIF lebih kecil dari sepuluh, maka dapat dikatakan model terbebas dari masalah multikolinearitas. Oleh sebab itu, jika nilai korelasi antar variabel independen berada pada selang -0,7 sampai 0,7 dan nilai VIF setiap variabel tersebut lebih kecil dari sepuluh, maka disimpulkan tidak terdapat multikolinearitas pada model regresi linear.
4.6.4. Bentuk Pengujian Hipotesis Penelitian Bentuk pengujian hipotesis yang dilakukan adalah dua arah (two tail test) dengan menggunakan uji t-student dan uji F. Pada uji dua arah dengan uji tstudent, mengharuskan taraf nyatanya dibagi dua (α/2) (Sugiyono 1999). Pengolahan data dengan software SPSS untuk uji t-student juga menyajikan nilai probabilitas (Sig.), selain nilai t-student hitung (thitung). Saat nilai probabilitas diperbandingkan dengan α, maka nilai α tersebut tidak perlu dibagi dua. Ringkasan kriteria uji t-student untuk thitung dan nilai probabilitas pada hipotesis satu arah dan dua arah dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Kriteria Uji Hipotesis Dua Arah dengan Uji t-student No
Nilai
1.
Statistik t-student
2.
Probabilitas (Sig.)
Keterangan:
Kriteria Uji thitung >tα(n-k-1)
Kesimpulan Tolak H0 pada taraf nyata α
2
Sig.<α
DFerror/Derajat bebas penyebut = (n-k-1) k = banyaknya variabel independen n = jumlah pengamatan atau sampel
Tolak H0 pada taraf nyata α H0 = Hipotesis nol (penolakan) α = Taraf nyata (signifikansi)
73
Pengolahan data dengan software SPSS untuk uji F menyajikan nilai Fhitung dan probabilitas (Sig.). Kriteria uji Fhitung dan nilai probabilitas pada hipotesis dua arah dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Kriteria Uji Hipotesis Dua Arah dengan Uji F No
Nilai
1.
Statistik F
2.
Probabilitas (Sig.)
Keterangan:
H0= v1= v2=
Kriteria Uji Fhitung>tα(v1,v2)
Kesimpulan Tolak H0 pada taraf nyata α
Sig.<α
Tolak H0 pada taraf nyata α
Hipotesis nol (penolakan) Derajat bebas pembilang (DF regression) = k Derajat bebas penyebut (DF error) = (n-k-1)
α= n= k=
Taraf nyata (taraf signifikansi) Jumlah sampel (pengamatan) Jumlah variabel independen
4.7. Model Regresi Linear Berganda Model regresi linear berganda yang menggambarkan pengaruh harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), terhadap produksi lada (Y), adalah sebagai berikut: Y′ = a + b1X1 + b2X2 + b3X3
………. (8)
Dimana: Y′ = Disebut Y aksen, yaitu nilai prediksi dari produksi lada berdasarkan nilai variabel independen yang dipilih. A = Titik potong Y, yang merupakan nilai perkiraan bagi Y ketika X= 0 (garis Y memotong sumbu X). b1 = Perubahan rata-rata pada Y′ untuk setiap satu unit perubahan (naik ataupun turun) pada harga jual lada di tingkat petani, dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Ini disebut sebagai koefisien regresi parsial atau cukup disebut koefisien regresi. b2 = Perubahan rata-rata pada Y′ untuk setiap satu unit perubahan (naik ataupun turun) pada peluang usaha lain, dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Ini juga disebut sebagai koefisien regresi parsial atau cukup disebut koefisien regresi. b3 = Perubahan rata-rata pada Y′ untuk setiap satu unit perubahan (naik ataupun turun) pada teknologi budidaya lada petani, dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Ini juga disebut sebagai koefisien regresi parsial atau cukup disebut koefisien regresi. X1 = Sembarang nilai variabel harga jual lada di tingkat petani. X2 = Sembarang nilai variabel peluang usaha lain. X3 = Sembarang nilai variabel teknologi budidaya lada petani. 74
Untuk menguji hubungan dan pengaruh (hubungan kausal) harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), secara bersama-sama, terhadap produksi lada (Y), akan dilakukan uji global (uji F) dan uji individu (uji t-student), dengan taraf nyata (taraf kesalahan) sepuluh (10) persen (0,1). Penggunaan taraf nyata (signifikansi) (α) sepuluh (10) persen disebabkan karena penelitian ini menganalisis gejala-gejala sosial-ekonomi di masyarakat, khususnya petani lada. Adapun hipotesis-hipotesis, yang disusun menjadi hipotesis penolakan (H0) dan hipotesis alternatif (Ha), yaitu: 1. Uji global (uji F) Hipotesis yang dirumuskan adalah hipotesis dua arah, sehingga uji global yang dilakukan adalah uji dua arah (two tail test), yaitu: H0: Tidak terdapat pengaruh (hubungan kausal atau fungsional) yang signifikan antara harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), secara bersama-sama, terhadap produksi lada (Y). Atau Tidak terdapat satu pun diantara variabel independen, yaitu harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), yang berpengaruh signifikan terhadap produksi lada (Y). Ha: Terdapat pengaruh (hubungan kausal atau fungsional) yang signifikan antara harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), secara bersama-sama, terhadap produksi lada (Y). Atau Paling tidak terdapat satu diantara variabel independen, yaitu harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), yang berpengaruh signifikan terhadap produksi lada (Y). Secara ststistik, hipotesis tersebut dinyatakan: H0: β1= β2= β3=0 Ha: Tidak semua βs=0 75
Berdasarkan hipotesis penelitian dan taraf nyata yang ditetapkan atas pengaruh harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), secara bersamaan terhadap produksi lada (Y), maka disusun kriteria uji hipotesis. Kriteria tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Kriteria Uji Hipotesis Penelitian Dua Arah dengan Uji F pada Model Regresi Linear berganda No 1. 2.
Kriteria Uji Fhitung>F0,1(v1=3,v2=26) Pvalue <0,1
Keterangan:
Kesimpulan Tolak H0 pada taraf nyata 0,1 (10%) Tolak H0 pada taraf nyata 0,1 (10%)
v1(DFregression/Derajat bebas pembilang) = k v2 (DFerror/Derajat bebas penyebut) = (n-k-1) H0 = Hipotesis nol (penolakan)
k = Banyaknya variabel independen n = Jumlah pengamatan atau sampel α = Taraf nyata (signifikansi)
2. Uji individu (uji t-student) Hipotesis yang dirumuskan adalah hipotesis dua arah, sehingga uji individu yang dilakukan adalah uji dua arah (two tail test), yaitu: a. Harga jual lada di tingkat petani dan produksi H0: Harga jual lada di tingkat petani tidak berpengaruh (berhubungan kausal atau berhubungan fungsional) secara signifikan terhadap produksi lada. Ha: Harga jual lada di tingkat petani berpengaruh (berhubungan kausal atau berhubungan fungsional) secara signifikan terhadap produksi lada. Secara statistik dapat ditulis: H0: β1 = 0 Ha: β1 ≠ 0 b. Peluang usaha lain dan produksi H0: Peluang usaha lain tidak berpengaruh (berhubungan kausal atau berhubungan fungsional) secara signifikan terhadap produksi lada. Ha: Peluang usaha lain berpengaruh (berhubungan kausal atau berhubungan fungsional) secara signifikan terhadap produksi lada.
76
Secara statistik dapat ditulis: H0: β2 = 0 Ha: β2 ≠ 0 c. Teknologi budidaya lada petani dan produksi H0: Teknologi budidaya lada petani tidak berpengaruh (berhubungan kausal atau berhubungan fungsional) secara signifikan terhadap produksi lada. Ha: Teknologi budidaya lada petani berpengaruh (berhubungan kausal atau berhubungan fungsional) secara signifikan terhadap produksi lada. Secara statistik dapat ditulis: H0: β3 = 0 Ha: β3 ≠ 0
Berdasarkan hipotesis penelitian dan taraf nyata yang telah ditetapkan, maka dapat ditentukan kriteria-kriteria uji hipotesis penelitian dengan uji tstudent yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Kriteria Uji Hipotesis Penelitian Dua Arah dengan Uji t-student pada Model Regresi Linear Berganda No
Pengaruh
1.
(X1) terhadap (Y)
2. 3.
(X2) terhadap (Y) (X3) terhadap (Y)
Kriteria Uji thitung >t0,1 2
(DF=26)
Sig.<0,1 thitung >t0,1 2
(DF=26)
Sig.<0,1 thitung >t0,1 2
(DF=26)
Kesimpulan Tolak H0 pada taraf nyata 0,1 (10%) Tolak H0 pada taraf nyata 0,1 (10%) Tolak H0 pada taraf nyata 0,1 (10%)
Sig.<0,1 Keterangan:
DFerror/Derajat bebas penyebut = (n-k-1) k = banyaknya variabel independen n = jumlah pengamatan atau sampel
H0 = Hipotesis nol (penolakan) α = Taraf nyata (signifikansi)
4.8. Definisi Operasional Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel, atau dengan kata lain definisi 77
operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel (Singarimbun dan Effendi 2006). Menurut Silalahi (2009), definisi operasional merupakan definisi yang menyatakan seperangkat petunjuk atau kriteria atau operasi yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan memiliki rujukan-rujukan empiris. Definisi operasional pada penelitian ini memberi arti yang lebih jelas (batasan) kepada setiap variabel-variabel penelitian yang digunakan dan cara pengukurannya. Pembuatan definisi operasional didasarkan pada penelitian terdahulu, maupun teori yang telah dikaji dalam kerangka pemikiran, serta disesuaikan dengan kondisi lapangan. Adapun variabel-variabel tersebut, yaitu produksi lada (Y), sebagai variabel dependen. Sedangkan variabel-variabel independen dalam penelitian ini, yaitu harga jual lada di tingkat petani (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3).
4.8.1. Produksi Lada (Y) Produksi lada adalah keseluruhan buah lada yang dihasilkan dan dipanen oleh petani lada, dari areal kebun (usahatani) nya. Data produksi yang dicari dan dianalisis adalah produksi per satu satuan luas areal, yaitu kg/ha. Hal ini dimaksudkan agar dari setiap sampel (responden), yaitu petani lada, diperoleh data yang sama (tidak bias). Selain itu, ditetapkan bahwa data produksi yang dikaji adalah data di tahun 2009. Variabel produksi lada didefinisikan sebagai keseluruhan (jumlah) lada putih yang dihasilkan oleh petani dengan mengolah buah lada masak yang dihasilkan dari areal kebun (usahatani) nya. Produksi lada ini secara khusus mengacu kepada produksi yang ada di Kabupaten Bangka.
4.8.2. Harga Jual Lada di Tingkat Petani (X1) Harga jual lada di tingkat petani adalah harga jual lada yang diterima oleh petani (tingkat petani), atau dapat pula dikatakan harga jual yang diberikan pedagang pengumpul kepada petani. Data harga yang menjadi kajian adalah data harga jual (rata-rata) lada di tingkat petani per tahun, khususnya harga-harga di tahun 2009. 78
4.8.3. Peluang Usaha Lain (X2) Peluang usaha lain adalah alternatif usaha, di luar (selain) usaha kebun lada, yang dapat diperoleh dan dilakukan oleh petani lada, khususnya selama tahun 2009. Adanya alternatif usaha lain, baik dari usaha pertanian, maupun nonpertanian, yang dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha kebun lada, menyebabkan petani lada melakukan pilihan dan korbanan. Hal ini berdampak pada prioritas pengusahaan kebun lada yang dimiliki oleh petani lada dan juga ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani. Berdasarkan kondisi tersebut, maka peluang usaha lain dibagi menjadi dua dimensi, yaitu peluang usaha pertanian dan usaha nonpertanian. Masing-masing dimensi, dilihat dari dua indikator, yaitu prioritas pengusahaan kebun lada dan ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani. Pengukuran indikator-indikator untuk melihat peluang usaha ini didasarkan pada literaturliteratur, informasi-informasi, dan data yang telah dikumpulkan. Prioritas pengusahaan kebun lada menggambarkan pilihan petani lada dalam memposisikan usaha ladanya terhadap alternatif peluang usaha lain yang dirasa lebih menguntungkan dan telah dilakukan. Untuk usaha pertanian, dalam hal ini perkebunan lada, ciri-ciri memprioritaskan usaha, diantaranya dengan memelihara usaha semaksimal mungkin, seperti menggunakan teknologi yang baik untuk meningkatkan produksi lada; mencurahkan modal dan tenaga lebih banyak untuk mengusahakan lada; dan upaya lainnya yang diperuntukkan untuk mengintensifkan dan mengembangkan usaha lada tersebut. Semakin petani lada memprioritaskan usaha lain, maka petani lada kurang atau bahkan tidak lagi memelihara usaha ladanya semaksimal mungkin, seperti ciri-ciri yang telah disebutkan. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani adalah luasan areal yang dapat digunakan untuk menanam tanaman lada ataupun untuk perluasannya, dari keseluruhan (total) areal pertanian (perkebunan) yang dimiliki atau dikelola oleh petani lada tersebut. Petani lada yang memiliki areal tanam (lahan) luas,
yang diperuntukkan untuk membudidayakan lada,
memungkinkan petani tersebut untuk memproduksi lada dalam jumlah yang lebih besar. Sebaliknya, jika areal tanam lada yang dimiliki petani lada semakin sempit, 79
karena sebab tertentu, maka kesempatan meningkatkan produksi lada semakin kecil, bahkan produksi lada dapat menurun. Variabel peluang usaha lain, yang dilihat (diukur) melalui indikator prioritas pengusahaan kebun lada dan ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani, merupakan salah satu variabel independen, yang secara teoritis, berpengaruh (berhubungan kausal atau fungsional) negatif (terbalik) terhadap produksi lada. Oleh sebab itu, semakin besar ukuran yang diberikan, artinya semakin besar dampaknya menurunkan produksi lada. Adapun indikator dari setiap dimensi yang digunakan untuk mengukur peluang usaha lain adalah sebagai berikut: 1. Usaha pertanian Usaha pertanian ini terdiri atas usaha kebun kelapa sawit, kebun karet, dan usaha-usaha pertanian lainnya (seperti kelapa, cokelat, cengkeh, jambu mete, kopi, aren, hortikultura, peternakan, dan lainnya). Hal tersebut didasarkan pada data statistik dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang menunjukkan bahwa pada tahun 2008, jenis tanaman yang dominan diusahakan untuk perkebunan, terutama perkebunan rakyat, di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah tanaman karet (44.550 ha) dan kelapa sawit (24.600 ha). Untuk tanaman lada sendiri, diusahakan pada areal seluas 33.739 ha. Selain itu terdapat pengusahaan pertanian lain, tetapi tidak terlalu dominan, seperti kelapa, cokelat, cengkeh, jambu mete, kopi, aren, hortikultura, peternakan, dan lainnya. A. Kebun kelapa sawit Peluang usaha dari kebun kelapa sawit ini dilihat dari indikator prioritas pengusahaan kebun lada dan pengaruh pengusahaan kebun kelapa sawit tersebut terhadap ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani, dimana dapat berpengaruh terhadap produksi lada, yaitu: A.1. Prioritas pengusahaan kebun lada Untuk mengukur prioritas usaha, ditentukan ukuran-ukuran. Adapun ukuran-ukuran tersebut adalah sebagai berikut: 80
a) Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan kebun kelapa sawit, dan memprioritaskan kebun kelapa sawit tersebut dalam pengusahaannya (tidak lagi memprioritaskan usaha kebun lada) (Skor 2). b) Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan kebun kelapa sawit, tetapi masih memprioritaskan kebun lada dalam pengusahaannya (Skor 1). A.2. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani Adapun ukuran-ukuran untuk mengukur indikator ini antara lain: a) Secara langsung mengurangi luasan areal tanam lada. (Skor 3)
a.1)
Membuang seluruh tanaman lada yang dimiliki dan menggantinya dengan menanam tanaman kelapa sawit pada bekas areal tanam lada tersebut.
a.2)
Menjual seluruh areal lada yang dimiliki (dikelola).
b) Secara tidak langsung mengurangi luasan areal tanam lada.
(Skor 2) b.1) Menumpangsarikan tanaman lada dengan tanaman kelapa sawit pada areal yang sama. b.2) Menjual beberapa bagian areal lada yang dimiliki (dikelola). c)
Menghambat perkembangan luasan areal tanam lada. (Skor 1) c.1)
Membuka kebun kelapa sawit pada areal baru yang dimiliki (dikelola) oleh petani, dimana areal baru tersebut sebenarnya sesuai untuk digunakan sebagai areal tanam lada (ekstensifikasi).
d)
Tidak mengurangi atau menghambat perluasan areal tanam lada. (Skor 0)
B. Kebun karet Peluang usaha dari kebun karet ini juga dilihat dari indikator prioritas pengusahaan kebun lada karena dilakukannya alternatif usaha kebun lada dan pengaruh pengusahaan kebun karet tersebut terhadap 81
ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani, dimana dapat berpengaruh terhadap produksi lada, yaitu: B.1. Prioritas pengusahaan kebun lada Untuk mengukur prioritas usaha, ditentukan ukuran-ukuran. Adapun ukuran-ukuran tersebut adalah sebagai berikut: a) Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan kebun karet,
dan
memprioritaskan
kebun
karet
tersebut
dalam
pengusahaannya (tidak lagi memprioritaskan usaha kebun lada) (Skor 2). b) Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan kebun karet,
tetapi
masih
memprioritaskan
kebun
lada
dalam
pengusahaannya (Skor 1). B.2. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani Adapun ukuran-ukuran pada indikator ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani adalah sebagai berikut: a) Secara langsung mengurangi luasan areal tanam lada.
(Skor 3) a.1)
Membuang seluruh tanaman lada yang dimiliki dan menggantinya dengan menanam tanaman karet pada bekas areal tanam lada tersebut.
a.2)
Menjual seluruh areal lada yang dimiliki (dikelola).
b) Secara tidak langsung mengurangi luasan areal tanam lada.
(Skor 2) b.1) Menumpangsarikan tanaman lada dengan tanaman karet pada areal yang sama. b.2) Menjual beberapa bagian areal lada yang dimiliki (dikelola). c)
Menghambat perkembangan luasan areal tanam lada. (Skor 1) c.1)
Membuka kebun karet pada areal baru yang dimiliki (dikelola) oleh petani, dimana areal baru tersebut sebenarnya sesuai untuk digunakan sebagai areal tanam lada (ekstensifikasi). 82
d)
Tidak mengurangi atau menghambat perluasan areal tanam lada. (Skor 0)
C. Usaha pertanian lainnya (seperti kelapa, cokelat, cengkeh, jambu mete, kopi, aren, hortikultura, peternakan, dan lainnya) Peluang usaha dari usaha pertanian lainnya ini juga dilihat dari indikator prioritas pengusahaan kebun lada tersebut, dibandingkan dengan usaha pertanian lain yang dilakukan dan pengaruh pengusahaan pertanian lain tersebut terhadap ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani, dimana dapat berpengaruh terhadap produksi lada, yaitu: C.1. Prioritas pengusahaan kebun lada Untuk mengukur prioritas usaha, ditentukan ukuran-ukuran. Adapun ukuran-ukuran tersebut adalah sebagai berikut: a) Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan usaha pertanian lain, dan memprioritaskan usaha pertanian lainnya tersebut dalam pengusahaannya (tidak lagi memprioritaskan usaha kebun lada) (Skor 2). b) Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan usaha pertanian lainnya, tetapi masih memprioritaskan kebun lada dalam pengusahaannya (Skor 1). C.2. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani Untuk mengukur hal tersebut ditentukan beberapa ukuran. Adapun ukuran-ukuran tersebut adalah sebagai berikut: a) Secara langsung mengurangi luasan areal tanam lada.
(Skor 3) a.1)
Membuang seluruh tanaman lada yang dimiliki dan menggantinya dengan mengusahakan komoditi pertanian lainnya pada bekas areal tanam lada tersebut.
a.2)
Menjual seluruh areal lada yang dimiliki (dikelola).
b) Secara tidak langsung mengurangi luasan areal tanam lada.
(Skor 2) b.1) Menumpangsarikan tanaman lada dengan mengusahakan komoditi pertanian lainnya pada areal yang sama. 83
b.2) Menjual beberapa bagian areal lada yang dimiliki (dikelola). c)
Menghambat perkembangan luasan areal tanam lada. (Skor 1) c.1)
Mengusahakan komoditi pertanian lainnya pada areal baru yang dimiliki (dikelola) oleh petani, dimana areal baru tersebut sebenarnya sesuai untuk digunakan sebagai areal tanam lada (ekstensifikasi).
d)
Tidak mengurangi atau menghambat perluasan areal tanam lada. (Skor 0)
2. Usaha nonpertanian A. Penambangan timah Peluang usaha dari penambangan timah ini dilihat dari indikator prioritas pengusahaan kebun lada dan pengaruh pengusahaan tambang timah tersebut terhadap ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani, dimana berpengaruh terhadap produksi lada, yaitu: A.1. Prioritas pengusahaan kebun lada Untuk mengukur prioritas usaha, ditentukan ukuran-ukuran. Adapun ukuran-ukuran tersebut adalah sebagai berikut: a) Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan usaha penambangan timah, dan memprioritaskan usaha penambangan timah tersebut dalam pengusahaannya (tidak lagi memprioritaskan usaha kebun lada) (Skor 2). b) Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan usaha penambangan timah, tetapi masih memprioritaskan kebun lada dalam pengusahaannya (Skor 1). A.2. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani Ukuran-ukuran yang digunakan dalam indikator ini adalah sebagai berikut: a) Secara langsung mengurangi luasan areal tanam lada.
(Skor 3) a.1)
Membuang seluruh tanaman lada yang dimiliki dan menggantinya dengan usaha penambangan timah pada 84
bekas areal tanam lada tersebut. a.2)
Menjual seluruh areal lada yang dimiliki (dikelola).
b) Secara tidak langsung mengurangi luasan areal tanam lada.
(Skor 2) b.1) Mengusahakan tanaman lada dengan penambangan timah pada areal yang sama. b.2) Menjual beberapa bagian areal lada yang dimiliki (dikelola). c)
Menghambat perkembangan luasan areal tanam lada. (Skor 1) c.1)
Membuka usaha penambangan timah pada areal baru yang dimiliki (dikelola) oleh petani, dimana areal baru tersebut sebenarnya sesuai untuk digunakan sebagai areal tanam lada (ekstensifikasi).
d)
Tidak mengurangi atau menghambat perluasan areal tanam lada. (Skor 0)
B. Usaha lain (seperti perdagangan, kerajinan, dan lainnya) Peluang usaha dari usaha lain, seperti perdagangan, kerajinan, dan lainnya, juga dilihat dari indikator prioritas pengusahaan kebun lada dan ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani dengan adanya pengusahaan usaha lain tersebut, dimana dapat berpengaruh terhadap produksi lada, yaitu sebagai berikut: B.1. Prioritas pengusahaan kebun lada Untuk mengukur prioritas usaha, ditentukan ukuran-ukuran. Adapun ukuran-ukuran tersebut adalah sebagai berikut: a) Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan usaha lain,
dan
memprioritaskan
usaha
lain
tersebut
dalam
pengusahaannya (tidak lagi memprioritaskan usaha kebun lada) (Skor 2). b) Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan usaha lain,
tetapi
masih
memprioritaskan
kebun
lada
dalam
pengusahaannya (Skor 1).
85
B.2. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani Ukuran-ukuran yang digunakan dalam indikator ini adalah sebagai berikut: a) Secara langsung mengurangi luasan areal tanam lada.
(Skor 3) a.1)
Membuang seluruh tanaman lada yang dimiliki dan menggantinya sebagai tempat usaha usaha lain pada bekas areal tanam lada tersebut.
a.2)
Menjual seluruh areal lada yang dimiliki (dikelola).
b) Secara tidak langsung mengurangi luasan areal tanam lada.
(Skor 2) b.1) Mengusahakan tanaman lada dengan usaha lain pada areal yang sama. b.2) Menjual beberapa bagian areal lada yang dimiliki (dikelola). c)
Menghambat perkembangan luasan areal tanam lada. (Skor 1) c.1)
Membuka tempat usaha lain pada areal baru yang dimiliki (dikelola) oleh petani, dimana areal baru tersebut sebenarnya sesuai untuk digunakan sebagai areal tanam lada (ekstensifikasi).
d)
Tidak mengurangi atau menghambat perluasan areal tanam lada. (Skor 0)
Variabel peluang usaha lain, dimensi-dimensi, indikator-indikator, dan pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 15.
86
Tabel 15. Kisi-kisi Instrumen Variabel Peluang Usaha Lain (X2) Variabel
Dimensi
Peluang Usaha
1. Usaha tanaman pertanian lain
Lain
A. Kebun kelapa sawit
Indikator
Pilihan Jawaban
Skor
a)
2
b)
1
a) (a.1 atau a.2)
3
b) (b.1 atau b.2)
2
c) (c.1)
1
d)
0
A.1. Prioritas pengusahaan kebun lada
A.2. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani
Keterangan: Deskripsi pilihan jawaban selengkapnya dapat dilihat pada uraian sebelumnya
87
Lanjutan Tabel 15 Variabel
Dimensi
Peluang Usaha
1. Usaha tanaman pertanian lain
Lain
B. Kebun karet
Indikator
Pilihan Jawaban
Skor
a)
2
b)
1
a) (a.1 atau a.2)
3
b) (b.1 atau b.2)
2
c) (c.1)
1
d)
0
B.1. Prioritas pengusahaan kebun lada
B.2. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani
Keterangan: Deskripsi pilihan jawaban selengkapnya dapat dilihat pada uraian sebelumnya
88
Lanjutan Tabel 15 Variabel
Dimensi
Peluang Usaha Lain
Indikator
1. Usaha pertanian lain
C. Usaha pertanian lainnya (seperti
Pilihan Jawaban
Skor
a)
2
b)
1
a) (a.1 atau a.2)
3
b) (b.1 atau b.2)
2
c) (c.1)
1
d)
0
C.1. Prioritas pengusahaan kebun lada
kelapa, cokelat, cengkeh, jambu mete, kopi, aren, hortikultura, peternakan, dan lainnya) C.2. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani
Keterangan: Deskripsi pilihan jawaban selengkapnya dapat dilihat pada uraian sebelumnya
89
Lanjutan Tabel 15 Variabel Peluang Usaha Lain
Dimensi
Indikator
2. Usaha nonpertanian A. Penambangan timah
Pilihan Jawaban
Skor
a)
2
b)
1
a) (a.1 atau a.2)
3
b) (b.1 atau b.2)
2
c) (c.1)
1
d)
0
A.1. Prioritas pengusahaan kebun lada
A.2. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani
Keterangan: Deskripsi pilihan jawaban selengkapnya dapat dilihat pada uraian sebelumnya
90
Lanjutan Tabel 15 Variabel Peluang Usaha Lain
Dimensi
Indikator
2. Usaha nonpertanian B. Usaha
lain
(seperti
Pilihan Jawaban
Skor
a)
2
b)
1
a) (a.1 atau a.2)
3
b) (b.1 atau b.2)
2
c) (c.1)
1
d)
0
B.1. Prioritas pengusahaan kebun lada
perdagangan, kerajinan, dan lainnya) B.2. Ketersediaan areal tanam lada yang dimiliki atau dikelola oleh petani
Keterangan: Deskripsi pilihan jawaban selengkapnya dapat dilihat pada uraian sebelumnya
91
4.8.4. Teknologi Budidaya Lada Petani (X3) Teknologi budidaya lada petani adalah perilaku petani lada dalam melaksanakan teknis atau cara (teknologi) membudidayakan tanaman ladanya. Jadi yang dimaksud dengan teknologi budidaya lada dalam hal ini adalah cara membudidayakan lada oleh petani, mulai dari persiapan lahan, penyediaan bibit, persiapan
panjatan
(junjung),
penanaman,
pemupukan,
pemeliharaan,
pengendalian hama dan penyakit tanaman, sampai panen, sehingga pendekatan penilaian teknologi budidaya yang dilakukan oleh petani didekati dari perlakuan yang mereka lakukan dari kedelapan proses tersebut. Teknologi budidaya lada petani menjadi satu variabel, yang diduga berpengaruh terhadap produksi lada yang dihasilkan petani. Penerapan teknologi yang dikaji adalah penerapan teknologi yang dilakukan oleh petani lada, selama tahun 2009. Variabel ini menggambarkan perilaku petani dalam membudidayakan tanaman ladanya, terutama terhadap kesesuaian teknis budidaya yang telah dilakukan oleh petani lada dengan kriteria-kriteria (persyaratan) budidaya tanaman lada yang baik. Variabel ini menggunakan dimensi yang sesuai dengan proses budidaya tersebut, yaitu dimensi persiapan lahan, penyediaan bibit, persiapan
panjatan
(junjung),
penanaman,
pemupukan,
pemeliharaan,
pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta panen. Dari masing-masing dimensi tersebut, ditetapkan indikator-indikator, sebagai dasar pengukuran (penetapan skor). Total skor dari variabel ini diperoleh dari penjumlahan seluruh pengukuran (skor) yang diberikan pada setiap indikator, untuk seluruh dimensi. Indikator untuk setiap dimensi, termasuk pengukurannya, diuraikan sebagai berikut: 1. Persiapan lahan Persiapan lahan adalah upaya yang dilakukan petani secara teknis dalam pembersihan lahan, pengolahan tanah (pertama dan kedua), pembuatan bedengan, dan pembuatan lubang tanam. Oleh karena itu, untuk melihat teknologi budidaya lada dari sisi persiapan lahan digunakan indikator pembersihan lahan, pengolahan tanah (pertama dan kedua), pembuatan bedengan, dan pembuatan lubang tanam.
92
Indikator pembersihan lahan adalah upaya petani secara teknis untuk membersihkan lahan dari gulma, semak, alang-alang, dan pepohonan lain (kecil ataupun besar), sampai ke akar-akarnya, baik secara kimiawi, maupun secara manual. Indikator pengolahan tanah pertama adalah upaya petani secara teknis mengolah tanah dengan mencangkul, mentraktor, atau membajak tanah (sesuai kondisi lahan), yang kemudiaan tanah tersebut dibiarkan selama dua minggu dan selanjutnya digaru; meratakan dan membagi tanah menjadi beberapa petakan (misalnya 5 x 5 m2) dengan derajat kemiringan optimum tanah sekitar 15°, yang dikelilingi jalan (lebar sekitar 1 m) dan parit drainase (kedalaman sekitar 30-60 cm dan lebar sekitar 20-50 cm, dengan posisi melintang terhadap kemiringan tanah); serta membuat teras (lebar sekitar 200 cm) dan rorakan (dibuat setiap 12-24 cm dengan ukuran sekitar panjang 2-4 m, lebar 20 cm, dan kedalaman 20 cm) pada lahan yang miring (lebih dari 15°). Indikator pengolahan tanah kedua adalah upaya petani secara teknis dengan mencangkul tanah lapisan atas (lapisan pertama) (sekitar sedalam 1520 cm dan lebar 50 cm), lalu disisihkan ke samping; mencangkul tanah lapisan berikutnya (lapisan kedua) hingga gembur, setelah sebelumnya tanah lapisan atas disisihkan sementara ke samping; memasukkan pupuk organik atau fosfat (pupuk dasar) pada tanah lapisan kedua yang telah gembur; dan mengembalikan tanah lapisan atas (lapisan pertama) ke atas tanah lapisan kedua. Indikator pembuatan bedengan adalah upaya petani secara teknis membuat bedengan, khususnya pada lahan datar atau agak miring dengan membuat guludan-guludan (ketinggian sekitar 30 cm), yang antar guludan diberi jarak (sekitar 2 m). Indikator pembuatan lubang tanam adalah upaya petani secara teknis membuat lubang tanam (ukuran bagian atas sekitar 35 x 35 cm2 sampai 40 x 40 cm2, sementara bagian bawah menyempit atau berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sekitar 45 x 45 x 45 cm3 sampai 75 x 75 x 75 cm3) di tengah bedengan; mengatur jarak tanam antar lubang, jika digunakan panjatan (junjung) hidup, maka jarak antar lubang sekitar 2,5-3 m, dan jika panjatan 93
(junjung) mati, maka jarak antar lubang sekitar 2 m; menutup (menimbun) lubang tanam dengan tanah hasil galiannya (atau tanah lain) yang dicampurkan dengan pupuk kandang; dan membiarkan lubang tanam sekitar 30-40 hari sebelum dilakukan penanaman bibit tanaman lada. Adapun pengukuran dari setiap indikator dimensi persiapan lahan ini, yaitu: a. Pembersihan lahan (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). b. Pengolahan tanah pertama (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). c. Pengolahan tanah kedua (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). d. Pembuatan bedengan (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). e. Pembuatan lubang tanam (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). 2. Penyediaan bibit Penyediaan bibit adalah upaya petani secara teknis dalam memperoleh dan memilih bibit berkualitas baik, murah, dan tepat, melalui cara setek yang praktis, efisien, dan menghasilkan bibit yang sama dengan indukan, dengan menjamin kemurnian tanaman, memilih indukan bibit yang sehat, dan memilih ukuran setek yang siap tanam. Oleh karena itu, untuk melihat teknologi budidaya lada dari dimensi penyediaan bibit ditetapkan indikator menjamin kemurnian tanaman, memilih indukan bibit yang sehat, dan memilih ukuran setek yang siap tanam. Indikator menjamin kemurnian tanaman mengandung arti bahwa petani mengupayakan agar setek diambil langsung dari induk asli tanaman 94
lada dari varietas (jenis) yang sesuai dengan karakteristik wilayah setempat, diusahakan setek pertama dari induk tersebut, dan berasal dari sulur panjat (bukan sulur gantung atau sulur cacing). Adapun beberapa varietas tanaman lada yang sesuai dan telah di budidayakan di Bangka Belitung antara lain varietas Bangka (Muntok), Lampung, Lampung Daun Lebar (LDL), Merapin, Daun Kurai, Jambi, Petaling 1, dan Petaling 2. Indikator memilih indukan bibit yang sehat mengandung arti bahwa petani mengupayakan agar tanaman lada yang dijadikan induk setek tidak terserang penyakit, berbentuk kekar, berdaun hijau mulus (tidak ada tandatanda menguning), berbuku mulus, dan tidak berlubang bekas serangan serangga; minimal sudah berumur dua tahun (tetapi kurang dari tiga tahun), telah dipangkas pertama saat umur 8-10 bulan, dan dipangkas kedua pada umur 18-20 bulan; serta kondisinya subur. Indikator memilih ukuran setek yang siap tanam merupakan upaya petani dalam menyediakan ukuran setek bibit yang sesuai untuk di tanam di kebun, yaitu tujuh ruas, baik yang diperoleh melalui setek satu ruas, maupun tujuh ruas. Adapun pengukuran dari setiap indikator dimensi penyediaan bibit ini, yaitu: a. Menjamin kemurnian tanaman (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). b. Memilih indukan bibit yang sehat (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). c. Memilih ukuran setek yang siap tanam (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). 3. Persiapan panjatan (junjung) Persiapan panjatan adalah upaya petani secara teknis dalam mempersiapkan panjatan bagi tanaman lada, yang meliputi kegiatan memilih jenis panjatan, menanam panjatan, dan mengganti (meremajakan) panjatan. 95
Berdasarkan kegiatan tersebut, untuk melihat dimensi persiapan panjatan ini digunakan indikator memilih jenis panjatan, menanam panjatan, dan mengganti (meremajakan) panjatan. Indikator memilih jenis panjatan memperlihatkan upaya petani dalam memilih jenis panjatan yang baik dan tidak asalan untuk tanaman ladanya, yaitu dapat berupa panjatan hidup atau panjatan mati. Panjatan hidup dapat berupa pohon dadap (Erythrina fuscca), lamtoro gung, kapok (Ceiba pentandra), dan kalikiria (Glyricidia maculata), dengan panjang sekitar 1-2 m dan diameter sekitar 5 cm. Sedangkan panjatan mati dapat berupa kayu mendaru, kayu melangir, kayu gelam, kayu belian (kayu ulin atau kayu besi), dan tiang beton. Panjang untuk panjatan mati sementara sekitar 1,5-2,2 m dan diameter sekitar 10-15 cm. Panjang untuk panjatan mati permanen kayu sekitar 2,5-3,6 m dan diameter sekitar 15-20 cm, sedangkan jika menggunakan beton panjangnya sekitar 2 m dengan diameter yang sama. Indikator menanam panjatan memperlihatkan upaya petani secara teknis dalam menanam panjatan lada yang telah dipilih jenisnya dan tersedia. Tanaman panjatan hidup yang pertumbuhannya lama dan lambat membesar, ditanam sebelum bibit lada ditanam, sedangkan yang cepat tumbuh dan besar, ditanam bersamaan dengan penanaman bibit lada, di tengah-tengah bedengan (guludan) dan berdekatan dengan lubang tanam, yaitu sekitar 10-20 cm di sebelah utara atau selatan sisi lubang tanam, dengan kedalaman tanam sekitar 30-50 cm. Panjatan sementara ditanam sebelum atau bersamaan dengan penanaman tanaman lada, di sisi utara atau selatan lubang tanaman lada dengan jarak sekitar 10-20 cm dan kedalaman tanam sekitar 20 cm. Panjatan permanen ditancapkan (ditanam) ke tanah pada jarak sekitar 50 cm dari titik pusat batang tanaman lada di sebelah utara atau selatan, dengan kedalaman penanaman sekitar 50-60 cm. Indikator mengganti (meremajakan) dan memangkas panjatan, sesuai dengan jenis panjatan yang digunakan menunjukkan upaya petani melakukan penggantian panjatan dan memangkas panjatan, dimana jika petani menggunakan panjatan hidup, maka dilakukan pemangkasan dan penggantian panjatan yang mati atau terkena penyakit, sedangkan jika menggunakan 96
panjatan mati, maka dilakukan penggantian, dari panjatan sementara ke panjatan permanen atau saat panjatan mati tersebut mengalami kerusakan, sesuai dengan tatacara dan persyaratan. Pemangkasan panjatan hidup dilakukan 2-3 kali dalam setahun, dimana pada musim hujan dilakukan pemangkasan dalam dan pada musim kemarau dilakukan pemangkasan seperlunya. Pengukuran yang ditetapkan untuk mengukur indikator-indikator pada dimensi persiapan junjung ini adalah sebagai berikut: a. Memilih jenis panjatan (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). b. Menanam panjatan (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). c. Mengganti (meremajakan) dan memangkas panjatan, sesuai dengan jenis panjatan yang digunakan (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). 4. Penanaman Penanaman merupakan upaya petani menanam bibit lada, baik dari hasil persemaian (setek satu ruas), maupun persiapan bibit (setek tujuh ruas), dengan teknis yang baik, yang meliputi kegiatan membuat lubang tanam baru; menanam bibit; menentukan jumlah bibit yang ditanam; menutup kembali lubang tanam baru; mengikatkan bibit ke panjatan; melindungi bibit; serta menjaga kelembaban tanah di sekitar bibit. Berdasarkan kegiatan-kegiatan tersebut, ditetapkan indikator-indikator untuk melihat dimensi penanaman, yaitu membuat lubang tanam baru, menentukan jumlah bibit yang ditanam, menanam bibit, menutup kembali lubang tanam baru, mengikatkan bibit ke panjatan, melindungi bibit, dan menjaga kelembaban tanah di sekitar bibit. Indikator membuat lubang tanam baru menjelaskan upaya teknis petani untuk membuat lubang tanam baru dengan ukuran sekitar 20 x 20 cm2 dan kedalaman 20-30 cm pada galian lubang tanam lama yang telah dibuat dan 97
ditutup kembali saat proses persiapan lahan sebelumnya, untuk menanam bibit tanaman lada yang telah disediakan, dengan posisi di sebelah utara atau selatan panjatan. Indikator menentukan jumlah bibit yang ditanam menjelaskan upaya petani dalam menentukan jumlah bibit setek yang ditanam di dalam satu lubang tanam (per lubang tanam), yaitu dengan menanam minimal 2-3 buah setek dalam satu lubang tanam. Indikator menanam bibit menjelaskan upaya teknis petani dalam menanam bibit tanaman lada pada lubang tanamnya, yaitu memasukkan setek yang berukuran tujuh ruas, dengan ketentuan empat ruas (daun dan cabang dibuang) di dalam lubang tanam, sedangkan tiga ruas (daun dan cabang dibiarkan) lainnya di atas permukaan tanah yang diarahkan ke tiang panjat dengan sudut sekitar 45°. Indikator menutup kembali lubang tanam baru menjelaskan teknis yang dilakukan petani setelah bibit tanaman lada ditanam pada lubang tanam, yaitu dengan menutup kembali lubang tanam tersebut dengan tanah halus, yang agak ditekan dan dibuat agak cembung, sehingga posisi bibit stabil. Indikator mengikatkan bibit ke panjatan menjelaskan teknis yang perlu dilakukan petani setelah bibit selesai ditanam, yaitu mengikatkan sisi ruas setek di bagian luar lubang tanam pada panjatan yang telah disediakan, dengan menggunakan tali; dilakukan dengan hati-hati; diikat tidak terlalu kuat atau dililitkan saja, sehingga dapat lepas sendiri; dan diikat hingga ketinggian tanaman mencapai 1-1,5 m. Indikator melindungi bibit menjelaskan teknis yang dilakukan petani melindungi bibit lada yang telah selesai ditanam dan diikatkan ke panjatan agar tidak mati, dengan cara diberi pelindung, seperti atap, alang-alang, pakis andam, atau resam. Indikator menjaga kelembaban tanah di sekitar bibit menjelaskan teknis yang dilakukan petani untuk menjaga kelembaban tanah di sekitar bibit tanaman lada yang ditanam, dengan cara menutupi tanah di sekitar bibit dengan mulsa dan disiram secukupnya secara teratur setiap hari (pagi dan sore), hingga tumbuh tunas muda. 98
Adapun pengukuran yang ditetapkan untuk mengukur indikatorindikator pada dimensi penanaman ini, yaitu: a. Membuat lubang tanam baru (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). b. Menentukan jumlah bibit yang ditanam (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). c. Menanam bibit (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). d. Menutup kembali lubang tanam baru (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). e. Mengikatkan bibit ke panjatan (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). f. Melindungi bibit (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). g. Menjaga kelembaban tanah di sekitar bibit (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). 5. Pemupukan Pemupukan adalah upaya yang dilakukan petani untuk mencegah kemunduran fisik dan kimiawi tanah pada lahan, yang meliputi kegiatan menentukan jenis pupuk, menentukan dosis pupuk, serta menentukan waktu dan frekuensi pemupukan. Jenis, dosis, waktu, dan frekuensi pemupukan memiliki keterkaitan, karena jenis dan dosis pupuk tertentu diberikan pada waktu dan dengan frekuensi yang tertentu pula, sehingga penggunaan pupuk dapat mendukung produksi dengan optimal. Pemupukan utama tanaman lada dilakukan empat tahap, yaitu pemupukan dasar, pemupukan pada umur 3-12 99
bulan, pemupukan pada umur 13-24 bulan, dan pemupukan pada umur lebih dari 24 bulan, dengan dosis pupuk yang berbeda. Oleh karena itu, ditetapkan indikator pemupukan dasar, pemupukan pada umur 3-12 bulan, pemupukan pada umur 13-24 bulan, dan pemupukan pada umur lebih dari 24 bulan, untuk melihat dimensi pemupukan. Indikator pemupukan dasar adalah upaya teknis petani memupuk tanaman ladanya, pada waktu persiapan lahan, sebagai pupuk dasar, menggunakan pupuk organik (pupuk kandang, kompos, atau tanah bakaran humus) dengan dosis 5-10 kg per lubang tanam. Indikator pemupukan pada umur 3-12 bulan adalah upaya teknis petani memupuk tanaman ladanya, pada saat tanaman berumur 3-12 bulan, sesuai dengan panjatan yang digunakan, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Jenis, Dosis, Waktu, dan Frekuensi Pemupukan Tanaman Lada pada Umur 3-12 Bulan Jenis
Dosis (gram/pohon)
Panjatan
Keterangan
Urea
TSP
KCL
Dolomit
Hidup
15
15
15
100
Pupuk diberikan empat kali setahun,
Mati
25
25
25
100
mulai awal musim hujan, dengan interval diberikan
30-40
hari.
Dolomit
bersamaan
dengan
pemupukan pertama. Sumber: Rismunandar (2007) (Diolah)
Pemberian pupuk dilakukan dengan cara mencampur beberapa jenis pupuk tersebut, kemudian menaburkannya ke dalam parit kecil yang dibuat tepat di bawah lingkaran tajuk dengan kedalaman sekitar 30-40 cm. Indikator pemupukan pada umur 13-24 bulan adalah upaya teknis petani memupuk tanaman ladanya, pada saat tanaman berumur 13-24 bulan, sesuai dengan panjatan yang digunakan, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 17. 100
Tabel 17. Jenis, Dosis, Waktu, dan Frekuensi Pemupukan Tanaman Lada pada Umur 13-24 Bulan Jenis
Dosis (gram/pohon)
Panjatan
Keterangan
Urea
TSP
KCL
Dolomit
Hidup
30
30
30
200
Pupuk diberikan empat kali setahun,
Mati
50
50
50
200
mulai awal musim hujan, dengan interval diberikan
30-40
hari.
Dolomit
bersamaan
dengan
pemupukan pertama. Sumber: Rismunandar (2007) (Diolah)
Pemberian pupuk dilakukan dengan cara mencampur beberapa jenis pupuk tersebut, kemudian menaburkannya ke dalam parit kecil yang dibuat tepat di bawah lingkaran tajuk dengan kedalaman sekitar 30-40 cm. Indikator pemupukan pada umur lebih dari 24 bulan adalah upaya teknis petani memupuk tanaman ladanya, pada saat tanaman berumur lebih dari 24 bulan, sesuai dengan panjatan yang digunakan, yaitu diberikan tiga kali, selang 30-49 hari, secara berturut-turut setelah panen, yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 18 dan Tabel 19.
Tabel 18. Jenis, Dosis, Waktu, dan Frekuensi Pemupukan Tanaman Lada dengan Panjatan Hidup pada Umur Lebih dari 24 Bulan Waktu Pemberian
Dosis (gram/pohon) *)
Urea
TSP
Keterangan
KCL
Dolomit
1.Sept/Okt
200
200
200
500
2.Nov/Des
150
150
150
-
3.Feb/Mar
100
100
100
-
Interval pemupukan 30-49 hari secara berturut-turut.
Keterangan: *) Frekuensi pemberian (tiga kali) disesuaikan dengan waktu panen Feb: Februari Sept: September Nov: November Mar: Maret Okt: Oktober Des: Desember Sumber: Rismunandar (2007) (Diolah)
101
Tabel 19. Jenis, Dosis, Waktu, dan Frekuensi Pemupukan Tanaman Lada dengan Panjatan Mati pada Umur Lebih dari 24 Bulan Waktu
Dosis (gram/pohon)
Pemberian
*)
Urea
TSP
Keterangan
KCL
Dolomit
1.Sept/Okt
350
350
350
500
2.Nov/Des
250
250
250
-
3.Feb/Mar
150
150
150
-
Interval pemupukan 30-49 hari secara berturut-turut.
Keterangan: *) Frekuensi pemberian (tiga kali) disesuaikan dengan waktu panen Feb: Februari Sept: September Nov: November Mar: Maret Okt: Oktober Des: Desember Sumber: Rismunandar (2007) (Diolah)
Pemberian pupuk dilakukan dengan cara mencampur beberapa jenis pupuk tersebut, kemudian menaburkannya ke dalam parit kecil yang dibuat tepat di bawah lingkaran tajuk dengan kedalaman sekitar 30-40 cm. Adapun pengukuran dimensi pemupukan, yang dilihat melalui indikator-indikator tersebut, yaitu: a. Pemupukan dasar (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). b. Pemupukan pada umur 3-12 bulan (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). c. Pemupukan pada umur 13-24 bulan (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). d. Pemupukan pada umur lebih dari 24 bulan (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). 6. Pemeliharaan Pemeliharaan adalah upaya teknis petani secara keseluruhan antara lain untuk mengoptimalkan kondisi lingkungan dan produksi, serta menjaga kondisi lahan dan tanaman lada, yang kegiatannya terdiri atas menjaga kondisi lahan, mengatur pertumbuhan tanaman pada panjatan, memangkas tanaman, 102
dan menyulam bibit atau tanaman dewasa yang mati. Oleh karena itu, untuk melihat dimensi pemeliharaan, ditetapkan indikator menjaga kondisi lahan, mengatur pertumbuhan tanaman pada panjatan, memangkas tanaman, serta menyulam bibit atau tanaman dewasa yang mati. Indikator menjaga kondisi lahan adalah upaya petani secara teknis menjaga kondisi lahan (kebun) tanaman ladanya, yaitu dengan memperhatikan fungsi pembuangan air (drainase), mencegah erosi dan kerusakan teras untuk lahan yang miring, membersihkan kebun dari gulma yang mengganggu, dan menggemburkan tanah setelah panen. Indikator memangkas tanaman adalah upaya petani secara teknis memangkas tanaman lada yaitu dengan memangkas batang pokok tanaman lada yang berumur lewat dari delapan bulan (setelah tanaman lada menutupi 2/3 bagian panjatan), termasuk cabang dan ranting, sehingga hanya tertinggal sekitar 30 cm, serta memilih sekitar 12 cabang tunas air yang tumbuh pada cabang orthotrop, yang pertumbuhannya kuat, dan mengikatkannya pada panjatan; memangkas ujung sulur orthotrop tersebut tiga kali atau tujuh 7-8 kali berturut-turut, sebelum atau mencapai ketinggian maksimum; dan memangkas cabang orthotrop yang bergantungan (sulur gantung), di bagian bawah batang pokok (sulur cacing atau tanah), dan di ujung atas tiang panjat, sebelum tanaman berumur tujuh tahun. Indikator menyulam bibit memperlihatkan upaya petani secara teknis untuk mengganti bibit tanaman lada yang mati saat penanaman. Jika terdapat bibit yang mati, segera disulam (diganti) dengan bibit cadangan, yang telah disediakan sebelumnya sesuai dengan teknis penyediaan bibit. Indikator menyulam tanaman dewasa yang mati adalah upaya petani secara teknis untuk mengganti tanaman lada dewasa yang mati. Penyulaman tanaman yang telah dewasa dilakukan dengan cara melepas tanaman lada yang berdekatan dengan tanaman lada yang mati (merupakan cabang orthotrop, punya cabang lebih dari 2-4 cabang batang dan panjangnya sudah lebih dari 2,5 m) dari panjatannya, kemudian dibenamkan pada saluran yang dibuat menuju panjatan tanaman lada mati atau yang akan disulam tersebut, dimana cabang-cabang dari cabang orthotrop yang terpendam dalam saluran tersebut 103
harus dipotong, begitu pun daun-daunnya. Bagian pucuk tanaman lada sulaman tersebut ditinggalkan 2-3 cabang dan diikatkan pada panjatan tanaman lada yang telah mati tersebut, sesuai dengan teknis. Adapun pengukuran yang ditetapkan berdasarkan indikator-indikator yang ada pada dimensi pemeliharaan, yaitu: a. Menjaga kondisi lahan (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). b. Memangkas tanaman (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). c. Menyulam bibit yang mati (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). d. Menyulam tanaman dewasa yang mati (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). 7. Pengendalian hama dan penyakit tanaman Pengendalian hama dan penyakit tanaman adalah upaya petani secara teknis dalam mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman ladanya, yaitu dengan mencegah serangan hama dan penyakit dan menanggulangi setelah terjadi atau pada saat serangan hama dan penyakit tinggi. Berdasarkan upaya-upaya tersebut, maka untuk melihat dimensi pengendalian hama dan penyakit ditetapkan indikator mencegah dan menanggulangi setelah terjadi atau pada saat serangan hama dan penyakit tinggi. Indikator mencegah serangan hama dan penyakit adalah upaya petani secara teknis dalam mengendalikan hama dan penyakit, sebelum terjadinya serangan, yang dilakukan dengan menanam varietas tanaman lada yang toleran terhadap serangan hama dan penyakit tertentu, terutama yang mewabah di daerah penanaman lada tersebut; memilih bahan tanaman yang sehat; melakukan penyiangan terbatas (bobokor) secara rutin di sekitar 104
tanaman, sebatas kanopi tanaman; menanam tanaman penutup tanah yang berbunga (misalnya Arachis pintoi), di sela tanaman lada (diluar lingkaran kanopi tanaman lada); melakukan pertanaman tumpangsari; memangkas tanaman lada secara teratur, terutama sulur cacing dan sulur gantung; melakukan pemangkasan tanaman pelindung secara teratur (jika menggunakan tajar atau junjung hidup); memberikan pupuk secara optimal atau sesuai komposisi; membuat parit keliling dan saluran drainase, agar tanah tidak terlalu lembab; membuat pagar keliling pada kebun tanaman lada; mengambil (mengumpulkan) hama dari tanaman lada yang terserang; dan melakukan pengamatan hama dan penyakit pada kebun lada secara teratur. Indikator menanggulangi setelah terjadi atau pada saat serangan hama dan penyakit tinggi adalah upaya petani secara teknis dalam menanggulangi hama dan penyakit, terutama setelah terjadinya serangan atau pada saat tingkat serangannya (intensitasnya) tinggi, yaitu dengan memotong cabang (ranting) yang terserang hama dan penyakit tertentu, kemudian dibakar; mengisolasi tanaman yang terserang hama atau penyakit dari tanaman yang sehat, dengan membuat parit; mencabut tanaman yang terserang hama atau penyakit; memusnahkan tanaman yang terserang hama atau penyakit dengan cara dibakar di tempat atau disiram bubur bordo; menggunakan insektisida, nematisida, fungisida, atau pestisida nabati (sesuai dengan jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman lada); dan menyemprot dengan insektisida, nematisida, fungisida, atau pestisida kimiawi (sesuai dengan jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman lada). Untuk mengukur indikator-indikator pada dimensi pengendalian hama dan penyakit ditetapkan ukuran-ukuran, yaitu: a. Mencegah serangan hama dan penyakit (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). b. Menanggulangi setelah terjadi atau pada saat serangan hama dan penyakit tinggi (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). 105
8. Panen Panen adalah upaya teknis petani dalam memanen buah ladanya, sehingga dihasilkan lada putih yang baik, dari sisi kuantitas dan kualitasnya, yaitu dengan cara memanen pada waktu yang tepat dan menyeleksi buah lada yang dipanen. Berdasarkan teknis tersebut, ditetapkan indikator dimensi panen, yaitu indikator memanen pada waktu yang tepat dan menyeleksi buah lada yang dipanen. Indikator memanen pada waktu yang tepat menjelaskan upaya petani dalam menentukan waktu yang tepat untuk memanen buah lada yang dihasilkan dari tanaman ladanya, untuk mendapatkan hasil panen yang baik, yaitu dengan merompes bunga pertama dari tanaman lada, dimana tanaman lada mulai berbunga mendekati umur 16 bulan dan memanen buah lada saat umur tanaman telah berusia dua sampai tiga tahun (2-3 tahun), untuk lada dengan panjatan mati, dan tiga sampai empat tahun (3-4 tahun), untuk panjatan hidup. Indikator menyeleksi buah lada yang dipanen menjelaskan upaya petani dalam memilih buah lada yang dipanen, sehingga sesuai untuk diolah menjadi lada putih, yaitu dengan memilih buah lada yang sudah menguning atau memerah pada satu dompolan, dengan perkiraan proporsi merah 18 persen, kuning 22 persen, dan hijau 60 persen. Untuk mengukur indikator-indikator pada dimensi panen ini, ditetapkan ukuran-ukuran. Adapun Indikator-indikator yang ditetapkan dan diukur pada dimensi panen buah lada ini adalah: a. Memanen pada waktu yang tepat (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). b. Menyeleksi buah lada yang dipanen (Skor 2: Dilakukan sesuai teknis; Skor 1: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis; Skor 0: Tidak dilakukan). Deskripsi ringkas mengenai variabel teknologi budidaya lada petani, dimensi, indikator, beserta pengukurannya, dapat dilihat pada Tabel 20.
106
Tabel 20. Kisi-kisi Instrumen Variabel Teknologi Budidaya Lada Petani (X3) Variabel
Dimensi
Indikator
Pilihan Jawaban dan Skor
Teknologi Budidaya Lada 1. Persiapan lahan
a. Pembersihan lahan.
Untuk setiap indikator:
Petani
b. Pengolahan tanah pertama.
Jawaban a: Dilakukan sesuai teknis (Skor 2)
Jawaban b: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis (Skor 1)
c. Pengolahan tanah kedua. d. Pembuatan bedengan. e. Pembuatan lubang tanam.
2. Penyediaan bibit
a. Menjamin kemurnian tanaman.
Jawaban c: Tidak dilakukan (Skor 0) Untuk setiap indikator:
b. Memilih indukan bibit yang sehat.
Jawaban a: Dilakukan sesuai teknis (Skor 2)
Jawaban b: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis (Skor 1)
Jawaban c: Tidak dilakukan (Skor 0)
c. Memilih ukuran setek yang siap tanam.
107
Lanjutan Tabel 20 Variabel
Dimensi
Indikator
Pilihan Jawaban dan Skor
Teknologi Budidaya Lada 3. Persiapan panjatan
a. Memilih jenis panjatan.
Untuk setiap indikator:
Petani
b. Menanam panjatan
Jawaban a: Dilakukan sesuai teknis (Skor 2)
Jawaban b: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis (Skor 1)
(junjung)
c. Mengganti
(meremajakan)
dan
memangkas panjatan, sesuai dengan jenis panjatan yang digunakan.
4. Penanaman
Jawaban c: Tidak dilakukan (Skor 0) Untuk setiap indikator:
a. Membuat lubang tanam baru. b. Menentukan
jumlah
bibit
yang
Jawaban a: Dilakukan sesuai teknis (Skor 2)
Jawaban b: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis (Skor 1)
Jawaban c: Tidak dilakukan (Skor 0)
ditanam. c. Menanam bibit. d. Menutup kembali lubang tanam baru. e. Mengikatkan bibit ke panjatan. f. Melindungi bibit. g. Menjaga kelembaban tanah di sekitar bibit.
108
Lanjutan Tabel 20 Variabel
Dimensi
Indikator
Skor
Teknologi Budidaya Lada 5. Pemupukan
a. Pemupukan dasar.
Untuk setiap indikator:
Petani
b. Pemupukan pada umur 3-12 bulan.
Jawaban a: Dilakukan sesuai teknis (Skor 2)
Jawaban b: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis (Skor 1)
Jawaban c: Tidak dilakukan (Skor 0)
c. Pemupukan pada umur 13-24 bulan. d. Pemupukan pada umur lebih dari 24 bulan.
6. Pemeliharaan
a. Menjaga kondisi lahan.
Untuk setiap indikator:
b. Memangkas tanaman.
Jawaban a: Dilakukan sesuai teknis (Skor 2)
Jawaban b: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis (Skor 1)
Jawaban c: Tidak dilakukan (Skor 0)
c. Menyulam bibit tanaman yang mati. d. Menyulam tanaman dewasa yang mati.
109
Lanjutan Tabel 20 Variabel
Dimensi
Teknologi Budidaya Lada 7. Pengendalian hama Petani
dan penyakit tanaman
Indikator a. Mencegah
serangan
Skor hama
dan Untuk setiap indikator:
penyakit.
Jawaban a: Dilakukan sesuai teknis (Skor 2)
Jawaban b: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis (Skor 1)
Jawaban c: Tidak dilakukan (Skor 0)
b. Menanggulangi setelah terjadi atau pada
saat
serangan
hama
dan
penyakit tinggi.
8. Panen
a. Memanen pada waktu yang tepat.
Untuk setiap indikator:
b. Menyeleksi buah lada yang dipanen.
Jawaban a: Dilakukan sesuai teknis (Skor 2)
Jawaban b: Dilakukan, tetapi tidak sesuai teknis (Skor 1)
Jawaban c: Tidak dilakukan (Skor 0)
110
V
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Lokasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Terletak di wilayah Indonesia bagian Barat, pada 104°50’ sampai 109°30’ Bujur Timur dan 0°50’ sampai 4°10’ Lintang Selatan. Luas keseluruhan wilayah provinsi tersebut mencapai 81.725,14 km2, dimana 16.424,14 km2 merupakan luas daratan, sedangkan 65.301 km2 merupakan luas lautan. Provinsi Bangka Belitung memiliki dua pulau besar dan ribuan pulau kecil. Dua pulau terbesar tersebut adalah Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berbatasan dengan: o
Selat Bangka di sebelah Barat.
o
Selat Karimata di sebelah Timur.
o
Laut Natuna di sebelah Utara.
o
Laut Jawa di sebelah Selatan. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dibentuk berdasarkan UU No. 27
Tahun 2000, dimana berdasarkan UU tersebut, daerah Bangka Belitung masih terdiri dari dua kabupaten dan satu kota. Setelah diberlakukannya UU No. 5 Tahun 2003, tentang pemekaran daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka wilayah administratifnya bertambah empat kabupaten baru. Oleh sebab itu, hingga saat ini, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi atas enam kabupaten dan satu kota, dengan ibukota provinsi yang berada di Pangkalpinang. Kabupatenkabupaten dan kota tersebut, yaitu Kabupaten Bangka yang beribukota di Sungailiat; Kabupaten Bangka Barat, yang beribukota di Mentok (Muntok); Kabupaten Bangka Tengah, yang beribukota di Koba; Kabupaten Bangka Selatan, yang beribukota di Toboali; Kabupaten Belitung, yang beribukota di Tanjung Pandan; Kabupaten Belitung Timur, yang beribukota di Manggar; dan Kota Pangkalpinang, yang merupakan ibukota dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sendiri. Kabupaten Bangka, sebagai salah satu wilayah administratif di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, memiliki luas wilayah daratan 2.950,68 km2. Secara geografis berbatasan dengan Laut Natuna, di bagian Utara dan Timur; Kabupaten
Bangka Tengah dan Kota Pangkalpinang, di bagian Selatan; serta Kabupaten Bangka Barat, di bagian Barat, yang secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Peta Wilayah Kabupaten Bangka Tahun 2002 Sumber: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) (2003)23
Kabupaten Bangka memiliki delapan wilayah administratif kecamatan, dengan ibukota kabupaten yang berada di Sungailiat. Adapun kedelapan kecamatan tersebut, yaitu Kecamatan Sungailiat (ibukotanya Sungailiat); Pemali (ibukotanya Pemali); Merawang (ibukotanya Baturusa); Mendo Barat (ibukotanya Petaling); Puding Besar (ibukotanya Puding Besar); Bakam (ibukotanya Bakam); Riau Silip (ibukotanya Riau Silip); serta Belinyu (ibukotanya Belinyu). Lokasi penelitian ditetapkan di tiga kecamatan yang ada di Kabupaten Bangka tersebut. Penetapan ini didasarkan atas kriteria yaitu kecamatan-kecamatan yang areal tanam dan produksi ladanya masih dominan. Sebagai acuan, digunakan data sekunder luas areal tanam dan produksi lada pada setiap kecamatan di Kabupaten Bangka pada tahun 2009. Luas areal tanam dan produksi perkebunan lada pada 23
www.bakosurtanal.go.id. [Diakses tanggal 1 Agustus 2010]
112
setiap kecamatan di Kabupaten Bangka tahun 2009, secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Areal Tanam dan Produksi Lada per Kecamatan di Kabupaten Bangka Tahun 2009 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kecamatan Mendo Barat Bakam Riau Silip Puding Besar Merawang Belinyu Sungailiat Pemali Total
Areal Tanam (Ha) 1.704 869 604 277 205 133 34 8 3.834
Produksi (Ton) 936 469 166 125 122,2 126,9 44 8 1.997,1
Sumber: Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka (2010)
Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa Kecamatan Mendo Barat, Bakam, dan Riau Silip berada dalam posisi tiga besar wilayah yang areal tanam dan produksi ladanya masih dominan. Kecamatan Mendo Barat berada di posisi pertama, diikuti oleh Kecamatan Bakam dan Riau Silip. Oleh sebab itu, dipilihlah Kecamatan Mendo Barat, Bakam, dan Riau Silip sebagai lokasi penelitian. Kecamatan Mendo Barat memiliki 13 wilayah administratif desa, yaitu Desa Kota Kapur, Penagan, Rukam, Air Buluh, Kace, Cengkong Abang, Air Duren, Petaling, Mendo, Paya Benua, Kemuja, Zed, dan Labuh Air Pandan. Desa Petaling, Air Duren, dan Kemuja dipilih menjadi lokasi pengambilan sampel petani lada untuk penelitian, sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Kondisi perkebunan lada dari setiap desa yang ada di Kecamatan Mendo Barat dapat dilihat pada Tabel 22.
113
Tabel 22. Areal Tanam dan Luas Panen Lada per Desa di Kecamatan Mendo Barat Tahun 2009 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Desa Kota Kapur Petaling Penagan Air Buluh Kace Paya Benua Kemuja Air Duren Mendo Zed Rukam Labuh Air Pandan Cengkong Abang Total
Areal Tanam (Ha) 20 70,25 30 5 72 28 80 50 24 4 60 87 60 590,25
Luas Panen (Ha) 15 51 25 4 15 20 40 35 15 4 40 74 30 368
Sumber: Balai Penyuluh Pertanian Petaling (BPP Petaling) (2010) (Diolah)
Kecamatan Bakam memiliki sembilan wilayah administratif desa, yaitu Desa Kapuk, Neknang, Tiang Tara, Dalil, Bakam, Mangka, Mabat, Bukit Layang, dan Maras Senang. Desa yang terpilih sebagai lokasi pengambilan sampel petani lada adalah Desa Bakam, Dalil, dan Neknang. Penetapan ketiga desa tersebut didasarkan atas kriteria yang sama seperti penetapan ketiga desa di Kecamatan Mendo Barat. Kondisi perkebunan lada di Kecamatan Bakam dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Areal Tanam dan Luas Panen Lada per Desa di Kecamatan Bakam Tahun 2009 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Desa Maras Senang Kapuk Neknang Tiang Tara Dalil Bakam Mangka Mabat Bukit Layang Total
Areal Tanam (Ha) 17 17 25 18 25 37 11 28 30 208
Luas Panen (Ha) 10 10 18 9 15 22 6 18 10 118
Sumber: Balai Penyuluh Pertanian Bakam (BPP Bakam) (2010) (Diolah)
114
Kecamatan Riau Silip memiliki sembilan wilayah administratif desa, yaitu Desa Banyuasin, Pangkal Niur, Pugul, Cit, Deniang, Mapur, Silip, Riau, dan Berbura. Desa yang ditetapkan untuk pengambilan sampel petani lada adalah Desa Cit, Silip, dan Banyu Asin, karena sesuai dengan kriteria. Kondisi perkebunan lada di Kecamatan Riau Silip dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Areal Tanam dan Luas Panen Lada per Desa di Kecamatan Riau Silip Tahun 2009 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Desa Banyu Asin Pangkal Niur Berbura Silip Riau Pugul Cit Deniang Mapur Total
Areal Tanam (Ha) 196 40 25 125 65 12 * 50,22 * 513,22
Luas Panen (Ha) 41 25 1,7 45 25 10,5 40 * 30 218,2
Keterangan: *)Data tidak tersedia Sumber: Balai Penyuluh Pertanian Pangkal Niur (BPP Pangkal Niur) (2010) (Diolah)
Lokasi kesembilan desa di tiga kecamatan yang terpilih, yaitu Desa Petaling, Air Duren, Kemuja, Bakam, Dalil, Neknang, Cit, Silip, dan Banyuasin dapat diakses dari ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Pangkalpinang) atau Kabupaten Bangka (Sungailiat). Jarak terdekat lokasi-lokasi penelitian tersebut dengan ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atau Kabupaten Bangka dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25.
Jarak Terdekat Lokasi-lokasi Penelitian dengan Ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atau Kabupaten Bangka
Ke PKP SLT ADN PTG − 33 12 15 PKP 33 − 45 47 SLT Keterangan: PKP : Pangkalpinang PTG: Petaling DIL: Dalil SLP: Silip
KJA BKM DIL 20 36 43 42 38 45 SLT: Sungailiat KJA: Kemuja NKG: Neknang CIT: Cit
NKG BA SLP 58 78 71 60 62 38 ADN: Air Duren BKM: Bakam BA: Banyuasin
CIT 60 27
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka (2009) dan Bupati Bangka (2010) (Diolah)
115
5.2. Karakteristik Wilayah Kepulauan Bangka Belitung memiliki iklim tropis, yang dipengaruhi oleh angin musim. Sebagian besar daerahnya merupakan dataran rendah, lembah, serta sebagian kecil pegunungan dan perbukitan. Ketinggian dataran rendah rata-rata 500 m dpl, sedangkan untuk pegunungan, yang paling tinggi mencapai 699 m dpl, yaitu di Gunung Maras. Daerah perbukitan tertinggi dapat mencapai 455 m dpl, yaitu Bukit Menumbing. Secara umum, tanah di Kepulauan Bangka Belitung memiliki pH di bawah 5 atau asam, akan tetapi memiliki kandungan aluminium yang tinggi. Tanahnya banyak mengandung mineral dan bahan galian, seperti biji timah, pasir, pasir kuarsa, batu granit, kaolin, tanah liat, dan sebagainya. Jenis tanahnya yaitu podsolik dan litosol; asosiasi podsolik; serta asosisasi aluvial, hedromotif, clay humus, dan regosol. Adapun profil wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu komposisi dari lahan datar, dengan luas sekitar 46,19 persen; bergelombang, dengan luas 41,08 persen; dan sisanya dengan luas 12,37 persen merupakan wilayah berbukit, bergunung, serta berawa-rawa. Secara spesifik, Kabupaten Bangka juga memiliki karakteristik wilayah yang sama dengan wilayah kepulauan Bangka Belitung pada umumnya. Kabupaten Bangka memiliki iklim tropis. Jenis struktur tanahnya adalah aluvial, aluvial hidromorf, litosol, dan podsolik, dengan penyebaran menurut kecamatan, yakni, untuk jenis tanah podsolik tersebar di seluruh wilayah kecamatan; jenis tanah litosol tersebar di Kecamatan Sungailiat, Bakam, Pemali, Merawang, Belinyu dan Riau Silip; jenis tanah aluvial hidromorf tersebar di Kecamatan Bakam, Merawang, Puding Besar, Mendo Barat, Belinyu, dan Riau Silip. Secara morfologi (profil wilayah), Kabupaten Bangka terbagi atas daerah dataran rendah yang jenis tanahnya asosiasi aluvial hedromotif dan regosol, dengan luas penyebaran 10.433,703 ha; datar sampai berombak (daerah-daerah lembah) yang jenis tanahnya asosiasi podsolik, dengan luas penyebaran 14.681,961 ha; daerah berombak dan bergelombang yang jenis tanahnya asosiasi podsolik, dengan luas 1.219,491 ha; serta daerah berbukit yang jenis tanahnya komplek podsolik dan litosol, dengan luas penyebaran 713,545 ha. Keadaan tanah di Kabupaten Bangka sangat mendukung dan potensial untuk pengembangan tanaman lada. Tanaman lada umumnya tumbuh baik pada 116
tanah podsolik, andosol, latosol, dan granosol dengan tingkat kesuburan dan drainase yang baik (Rismunandar 2007). Kabupaten Bangka memiliki banyak daerah yang sesuai untuk tanaman lada, karena jenis tanah podsolik tersebar di seluruh wilayah kecamatan yang ada di kabupaten tersebut, termasuk diantaranya lokasi kecamatan terpilih, yaitu Kecamatan Mendo Barat, Bakam, dan Riau Silip. Oleh sebab itu pula, tanaman lada dapat menjadi tanaman unggulan Kabupaten Bangka.
5.3. Demografi Pada tahun 2008, jumlah penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencapai 1.122.526 orang dan pada tahun 2009 diproyeksikan menjadi 1.138.129 orang. Pada tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Bangka adalah 244.162 orang, atau hampir mencapai 22 persen (21,75 persen) dari keseluruhan penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2008. Kabupaten Bangka, yang pada tahun 2008 jumlah penduduknya 244.162 orang, memiliki penduduk angkatan kerja sebesar 127.544 orang. Untuk lebih jelas, kondisi ketenagakerjaan Kabupaten Bangka dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Kondisi Ketenagakerjaan Kabupaten Bangka Tahun 2008 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Indikator Penduduk Angkatan Kerja Bekerja Mencari Pekerjaan Tingkat Pengangguran Penduduk Bukan Angkatan Kerja Penduduk Usia 15+ Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Satuan Orang Orang Orang % Orang Orang %
Jumlah 127.544 119.928 7.616 5,97 70.891 198.435 64,27
Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka (2010)
Tabel 26 memperlihatkan bahwa pada tahun 2008, penduduk angkatan kerja yang bekerja adalah 119.928 orang dan yang belum bekerja adalah 7.616 orang. Angkatan kerja yang bekerja tersebut diserap oleh sembilan sektor lapangan usaha yang ada di Kabupaten Bangka. Sembilan sektor tersebut yaitu sektor pertanian; sektor pertambangan dan penggalian; sektor industri pengolahan; 117
sektor listrik, gas, dan air; sektor bangunan; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; serta sektor jasa-jasa. Adapun struktur tenaga kerja menurut lapangan usaha di Kabupaten Bangka pada tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Struktur Tenaga kerja Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Bangka Tahun 2008 No
Lapangan Usaha
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, gas, dan air Bangunan Perdagangan, hotel, dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa-jasa Total
Persentase (%) 37,80 23,13 4,78 0,39 5,26 13,23 2,96 0,53 11,93 100,00
Sektor
Persentase (%)
PRIMER
60,93
SEKUNDER
10,43
TERSIER
28,64 100,00
Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka (2010)
Tabel 27 menunjukkan bahwa lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor primer, khususnya pada sektor pertanian, yaitu sebesar 37,80 persen. Setelah itu, dominasi lapangan usaha penyerap tenaga kerja diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian (23,13 persen); sektor perdagangan, hotel, dan restoran (13,23 persen); serta sektor jasa-jasa (11,93 persen). Berdasarkan data tersebut juga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat Kabupaten Bangka masih menggantungkan kehidupan ekonominya pada sektor pertanian. Begitupula di lokasi penelitian yang ditetapkan oleh peneliti. Kecamatan Mendo Barat memiliki jumlah penduduk sebesar 38.250 orang. Penduduk yang memiliki mata pencaharian di kecamatan tersebut pada tahun 2008 adalah 18.859 orang atau sekitar 49,3 persen dari jumlah penduduknya. Terdapat 12 jenis pekerjaan yang menjadi mata pencaharian penduduk bekerja di Kecamatan Mendo Barat,
yaitu petani, industri, konstruksi, pedagang, 118
transportasi, PNS (Pegawai Negeri Sipil), ABRI, Pensiunan PNS/ABRI, buruh bangunan, peternak sapi, pengrajin, dan nelayan. Sebagian besar penduduk Mendo Barat bermata pencaharian sebagai petani, yaitu 16.365 orang atau mencapai 86,78 persen dari penduduk bekerja. Mata pencaharian utama lainnya yang dilakukan oleh penduduk Mendo Barat adalah nelayan sebanyak 924 orang, atau sekitar 4,89 persen dari penduduk bekerja. Hal ini membuktikan bahwa, penduduk Mendo Barat umumnya masih menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian (dalam arti luas). Pada tahun 2008 Kecamatan Bakam berpenduduk sebanyak 15.034 orang, dimana dari jumlah tersebut, yang memiliki mata pencaharian adalah sebanyak 9.124 orang atau hampir mencapai 61 persen dari seluruh penduduk Bakam. Jenis pekerjaan yang dijadikan sebagai mata pencaharian penduduk Kecamatan Bakam, yaitu petani, industri, konstruksi, pedagang, transportasi, PNS (Pegawai Negeri Sipil), ABRI, Pensiunan PNS/ABRI, buruh bangunan, peternak sapi, peternak itik, dan penambang timah. Sebagian besar penduduk kecamatan tersebut bermata pencaharian sebagai petani, yaitu sebanyak 8.056 orang atau 88,29 persen dari seluruh penduduk yang bekerja. Selain itu, pekerjaan yang banyak dilakukan oleh penduduk adalah sebagai penambang timah, yaitu sebanyak 248 orang atau hampir mencapai 3 persen dari seluruh penduduk yang bekerja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa umumnya penduduk Kecamatan Bakam masih menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian dalam arti yang luas. Kecamatan Riau Silip memiliki jumlah penduduk sebanyak 23.839 orang, sedangkan jumlah penduduk yang bekerja adalah sebanyak 7.577 orang atau 31,78 persen dari seluruh penduduknya. Jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk kecamatan tersebut, diantaranya petani, industri, pedagang, transportasi, PNS (Pegawai Negeri Sipil), ABRI, pensiunan PNS/ABRI, buruh bangunan, peternak sapi, peternak itik, dan nelayan. Sebagian besar penduduk Kecamatan Riau Silip bekerja sebagai petani, yaitu sebanyak 4.614 orang atau 60,89 persen seluruh penduduk yang bekerja. Kemudian, yang bekerja sebagai pedagang sebanyak 1.085 orang dan nelayan sebanyak 630 orang, atau 14,31 persen dan 8,31 persen dari seluruh penduduk yang bekerja. Keadaan ini juga menunjukkan
119
bahwa perekonomian penduduk Riau Silip umumnya masih didukung oleh sektor pertanian dalam arti luas.
5.4. Potensi Umum Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki beragam potensi daerah. Salah satunya adalah potensi perkebunan, yang meliputi perkebunan lada, kelapa sawit, karet, cengkeh, dan coklat. Beberapa potensi perkebunan yang dimiliki oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan potensi atau kontribusi dari wilayah Kabupaten Bangka. Perkebunan di Kabupaten Bangka dibagi atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Produksi komoditas perkebunan rakyat antara lain lada, karet, kelapa, kelapa sawit, cengkeh, dan cokelat. Secara keseluruhan, komoditas perkebunan yang paling dominan diusahakan di Kabupaten Bangka adalah lada, karet, kelapa, dan kelapa sawit. Produksi lada, karet, kelapa, dan kelapa sawit, khususnya perkebunan rakyat, di Kabupaten Bangka pada tahun 2008 dan 2009 dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Produksi Lada, Karet, dan Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan di Kabupaten Bangka Tahun 2008 dan 2009 Kecamatan Sungailiat Pemali Bakam Merawang Puding Besar Belinyu Riau Silip Mendo Barat Total
Lada (Ton) 2008 2009
Karet (Ton) 2008 2009
Kelapa (Ton) 2008 2009
Kelapa Sawit (Ton) 2008 2009
8,62
44,00
112,14
117,00
2.299,91
2.075,00
36,66
982,80
47,70
8,00
781,20
413,00
601,70
9,70
519,35
4.536,00
404,10
496,00
1.052,10
1.729,00
133,10
478,00
5.804,50
9.901,00
38,70
122,20
297,36
578,40
84,70
118,50
809,58
2.994,00
13,50
125,00
2.769,48
2.246,00
601,70
24,00
8.294,33
8.968,00
81,90
126,90
252,05
383,45
25,30
434,30
1.649,70
3.752,00
156,60
166,00
4.217,22
1.510,00
359,70
291,00
1.023,43
5.502,00
908,10
936,00
5.162,22
13.345,14
40,48
27,45
1.053,98
3.342,00
1.659,22
2.024,10
14.643,77
20.321,99
4.146,59
3.457,95
19.191,51
39.977,80
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangka (2010) (Diolah)
Tabel 28 menunjukkan bahwa dari ketiga kecamatan yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian, Kecamatan Mendo Barat memiliki produksi paling besar untuk komoditi lada dan karet, pada tahun 2008 dan 2009. Komoditi Kelapa paling banyak dihasilkan di Kecamatan Sungailiat pada tahun 2008 dan 2009. 120
Sementara itu, produksi kelapa sawit yang paling besar pada tahun 2008 berada di Kecamatan Puding Besar, sedangkan untuk tahun 2009, produksi paling besar terdapat di Kecamatan Bakam. Tanaman lada, karet, dan kelapa sawit dalam skala Kabupaten Bangka, antara tahun 2008-2009, mengalami peningkatan produksi, sedangkan tenaman kelapa mengalami penurunan produksi. Jika dibandingkan antara ketiga jenis tanaman yang mengalami kenaikan produksi tersebut, maka kenaikan yang paling besar adalah produksi pada tanaman kelapa sawit, yaitu sebesar 20.786,29 ton; kemudian karet, yaitu sebesar 5.678,22 ton; dan yang terakhir adalah lada, yaitu hanya sebesar 364,88 ton. Perkebunan besar yang ada di Kabupaten Bangka dikelola oleh delapan perkebunan swasta. Perkebunan swasta tersebut yaitu PT. Sumarco Makmun Indah, PT. Gunung Maras Lestari, PT. Tata Sawit Permai Lestari, PT. Tri Jaya Hasil Lestari, PT. Sawindo Kencana, PT. Tata Hamparan Eka Persada, PT. Gunung Pelawan Lestari, dan PT. Putra Bangka Mandiri, dengan tanaman utama yang diusahakan adalah kelapa sawit. Pada tahun 2008, berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bangka, areal kebun inti, dari lima perusahaan perkebunan sawit, yaitu PT. Sumarco Makmun Indah, PT. Gunung Maras Lestari, PT. Sawindo Kencana, PT. Tata Hamparan Eka Persada, dan PT. Putra Bangka Mandiri mencapai 40.705,17 ha. Beberapa perusahaan tersebut memiliki perkebunan kelapa sawit plasma, seperti PT. Sumarco Makmun Indah dan PT. Hamparan Eka Persada, masing-masing seluas 10.000 ha dan 5.500 ha. Jika ditotal, maka perkebunan kelapa sawit plasma yang ada di Kabupaten Bangka luasnya adalah 15.500 ha.
5.5. Perekonomian Kondisi
ekonomi
Provinsi
Kepulauan
Bangka
Belitung,
sangat
terpengaruh oleh harga minyak dan gas (migas). Oleh sebab itu, dalam perhitungan PDRB (Produks Domestik Regional Bruto) dibuat dua, yaitu PDRB dengan migas dan PDRB tanpa migas. Pertumbuhan PDRB Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tanpa migas secara umum lebih tinggi daripada pertumbuhan PDRB dengan migas, karena semakin menurunnya produksi migas dalam tiga tahun terakhir dan meningkatnya sektor-sektor di luar migas. PDRB Atas Dasar Harga Konstan (PDRB ADHK) pada tahun 2008 termasuk migas diperkirakan 121
tumbuh sekitar 4,4 persen. Terjadi sedikit perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya (4,54 persen). Sejalan dengan PDRB ADHK migas, PDRB ADHK tanpa migas juga mengalami perlambatan pertumbuhan, yaitu 5,37 persen pada tahun 2007, menjadi 5,03 persen pada tahun 2008. Produk Domestik Regional Bruto dengan migas Provinsi Bangka Belitung dilihat berdasarkan Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) pada tahun 2008 diperkirakan mencapai Rp 21,576 triliun. Terjadi peningkatan sekitar 20,54 persen dibandingkan tahun sebelumnya (Rp 17,895 triliun). Sementara itu, PDRB ADHB tanpa migas diperkirakan mencapai Rp 21,076 triliun pada tahun 2008, meningkat 21,34 persen dibandingkan tahun 2007 (Rp 17,369 triliun). Struktur ekonomi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2008 menurut lapangan usaha dapat dilihat pada Gambar 13.
Pertanian (19,89%)
Pertambangan dan Penggalian (18,20%)
Jasa-Jasa (9,12%) Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan (2,54%) Pengangkutan & Komunikasi Perdagangan, Hotel, & Restoran (3,96%) (18,21%)
Industri Pengolahan (21,01%)
Listrik, Gas, & Air Bersih (0,58%) Bangunan (6,49%)
Keterangan: Angka Sangat Sementara
Gambar 13. Struktur Ekonomi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2008 Sumber: BPS dan BAPPEDA (2009)
Secara sektoral, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling besar kontribusinya terhadap PDRB ADHB dengan migas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2008, yaitu sebesar 21,01 persen. Sedangkan sumbangan sektor pertanian; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; serta sektor pertambangan dan penggalian, yaitu masing-masing sebesar 19,89 persen, 18,21 persen, dan 18,20 persen. Total kontribusi keempat sektor tersebut terhadap pembentukan PDRB ADHB dengan migas adalah sebesar 77,31 persen, dan sisanya disumbangkan oleh sektor lain, seperti sektor listrik, gas, dan air bersih; 122
sektor bangunan; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; serta sektor jasa-jasa. Struktur pembentukan perekonomian Kabupaten Bangka memiliki perbedaan dengan perekonomian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara umum. Perekonomian Kabupaten Bangka dalam beberapa tahun ke depan masih akan didominasi oleh tiga sektor utama, yaitu sektor pertambangan dan penggalian; pertanian; serta perdagangan, hotel, dan restoran. Kontribusi ketiga sektor ini sangat dominan dalam pembentukan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) Kabupaten Bangka. Distribusi persentase PDRB ADHB (Atas Dasar Harga Berlaku) tahun 2008, seperti yang tersaji pada tabel berikut dapat memperkuat fakta kondisi perekonomian tersebut.
Tabel 29. Kontribusi Tiga Sektor Utama dalam Pembentukan PDRB Kabupaten Bangka tahun 2008 No 1. 2. 3.
Lapangan Usaha Pertambangan dan penggalian Pertanian Perdagangan, hotel, dan restoran
Kontribusi PDRB (%) Real Growth (%) 23,86 0,34 23,80 4,27 19,98 7,15
Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka (2010)
Produk
utama
dari
pertambangan
dan
penggalian
diantaranya
pertambangan timah, penggalian pasir kuarsa, penggalian tanah kaolin, dan pasir bangunan lainnya. Tingginya kontribusi sektor ini disebabkan oleh kondisi geologis Kabupaten Bangka yang sangat kaya dengan kandungan mineral bumi. Pengusahaan tambang timah (TI atau tambang Inkonvensional), selain diusahakan oleh masyarakat, juga dikelola oleh perusahaan besar, yaitu PT. Timah. Meskipun memberikan kontribusi yang besar, namun pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian ini menunjukkan tren yang terus menurun. Jika pada tahun 2005 pertumbuhannya mencapai 6,37 persen, maka pada tahun 2008, pertumbuhannya hanya mencapai 0,34 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor ini tidak dapat terus-menerus dijadikan andalan perekonomian Kabupaten Bangka. Penyebabnya antara lain tingkat produksi yang terus berkurang dan harga output
123
yang fluktuatif. Selain itu, penambangan timah dapat menyebabkan degradasi lahan dan landscape yang tinggi. Sektor pertanian yang didominasi oleh subsektor perkebunan merupakan prime mover dalam perekonomian Kabupaten Bangka. Disebut prime mover karena sektor ini mampu memberikan kontribusi besar dalam perekonomian, baik ditinjau dari aspek harga berlaku, harga konstan, dengan adanya komoditi timah, maupun tanpa adanya timah; memiliki derajat kepekaan dan derajat penyebaran yang tinggi; dan merupakan sektor utama yang banyak memberikan pengaruh positif terhadap sektor lain. Tiga keunggulan utama sektor pertanian yang menjadikannya selalu memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian daerah adalah input produksinya yang sebagian besar domestic resource base, memiliki tingkat backward dan forward linkage yang tinggi dengan sektor-sektor lainnya, serta outputnya yang export oriented. Selain itu, sektor pertanian juga menjadi sektor yang paling tahan terhadap krisis ekonomi dan moneter. Bahkan, hingga saat ini, sebagian besar komoditi dan devisa ekspor Kabupaten Bangka berasal dari sektor pertanian. Sektor pertanian di Kabupaten Bangka terdiri atas lima subsektor pembentuk, yaitu subsektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan, serta perikanan. Kontribusi masingmasing subsektor terhadap sektor pertanian dalam PDRB ADHB tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30. Kontribusi Subsektor Terhadap Sektor Pertanian dalam PDRB ADHB Kabupaten Bangka Tahun 2008 No
Subsektor
1. 2. 3. 4. 5.
Tanaman bahan makanan Tanaman perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan
Kontribusi PDRB Sektor Pertanian (%) 5,88 10,58 0,65 0,64 6,05
Jumlah (Juta Rupiah) 228.148 410.161 25.274 24.730 234.708
Keterangan: Angka Sangat Sementara Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka (2010)
124
Tabel 30 menunjukkan bahwa subsektor yang berkontribusi paling besar terhadap pembentukan PDRB ADHB sektor pertanian Kabupaten Bangka pada tahun 2008 adalah subsektor tanaman perkebunan. Terdapat beberapa tanaman yang menjadi tanaman unggulan dalam membentuk PDRB subsektor tanaman perkebunan. Salah satunya adalah tanaman lada, selain karet, kelapa, dan kelapa sawit, yang merupakan tanaman-tanaman produksi dengan jumlah produksi yang paling besar di Kabupaten Bangka, khususnya pada tahun 2008 (Tabel 28). Produksi tanaman lada di Kabupaten Bangka pada tahun 2008 adalah 1.659,22 ton. Berdasarkan data harga rata-rata lada putih tahun 2008 dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu sebesar Rp 41.467 per kg, maka nilai produksi lada di Kabupaten Bangka adalah sebesar Rp 68.802.875.740. Tanaman karet rakyat Kabupaten Bangka, pada tahun 2008 memiliki produksi sebesar 14.643,77 ton. Jika diasumsikan harga karet rata-rata pada tahun 2008 adalah sekitar Rp 10.342 per kg (Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2009), maka nilai dari produksi karet rakyat di Kabupaten Bangka pada tahun 2008 adalah Rp 151.445.869.300. Produksi kelapa sawit di Kabupaten Bangka dihasilkan oleh perkebunan rakyat dan swasta. Produksi perkebunan kelapa sawit rakyat pada tahun 2008 adalah 19.191,51 ton. Jika diasumsikan produksi tanaman kelapa sawit perkebunan rakyat di Kabupaten Bangka seluruhnya adalah TM X, maka harga rata-rata tahun 2008 untuk tandan buah segar TM X rakyat adalah sekitar Rp 1.408 per kg (Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2009). Berdasarkan asumsi tersebut didapat nilai produksi sawit perkebunan rakyat di Kabupaten Bangka, yaitu mencapai Rp 27.021.646.080. Nilai produksi dari tanaman lada, karet, dan kelapa sawit tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 31.
125
Tabel 31. Nilai Produksi Tanaman Lada, Karet, dan Kelapa Sawit di Kabupaten Bangka Tahun 2008 No
Tanaman
1. 2. 3.
Lada Karet Kelapa Sawit
Produksi (Ton) 1.659,22 14.643,77 19.191,51 Total
Asumsi Harga (Rp/Kg) 41.467 10.342 1.408*
Nilai Produksi (Rp) 68.802.875.740 151.445.869.300 27.021.646.080 247.270.391.120
Keterangan: *) Produksi tandan buah segar diasumsikan TM X Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangka (2010) dan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2008)
Berdasarkan estimasi perhitungan nilai produksi yang telah dilakukan untuk tanaman lada, karet, dan kelapa sawit, jika dibandingkan antara nilai produksi tersebut terhadap besarnya PDRB ADHB subsektor tanaman perkebunan Kabupaten Bangka, maka persentase nilai produksi perkebunan lada, karet, dan kelapa sawit rakyat Kabupaten Bangka masing-masing sekitar 16,77 persen, 36,92 persen, dan 6,59 persen dari PDRB ADHB subsektor tanaman perkebunan. Persentase total nilai produksi ketiga tanaman tersebut dibandingkan dengan PDRB ADHB subsektor tanaman perkebunan Kabupaten Bangka adalah sekitar 60,29 persen. Sisanya, sekitar 39,71 persen dapat berupa kontribusi tanaman perkebunan lain, seperti kelapa, cokelat, aren, cengkeh, kemiri, pinang, atau tanaman perkebunan kelapa sawit yang diusahakan perusahaan swasta. Hal ini memberi gambaran bahwa, tanaman lada, karet, dan kelapa sawit signifikan peranannya dalam pembentukan PDRB Kabupaten Bangka, khususnya PDRB ADHB subsektor perkebunan tahun 2008. Penyebab lain yang menjadikan sektor pertanian sebagai prime mover adalah laju pertumbuhanya yang juga terus meningkat dari 4,13 persen di tahun 2006, menjadi 4,27 persen di tahun 2008. Meskipun mengalami peningkatan, jika diamati secara mendetail, peningkatan pertumbuhan tersebut tidak beranjak dari level empat persen. Relatif lambannya pertumbuhan ini disamping disebabkan karena lambatnya perkembangan teknologi produksi, juga disebabkan oleh terus menurunnya tingkat harga jual beberapa komoditi utama, seperti lada, karet, dan kelapa sawit, serta pada saat yang bersamaan, tingkat harga input produksi utama, seperti pupuk dan sarana produksi lainnya cenderung terus meningkat. 126
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan representasi dari sektor pariwisata. Selama beberapa tahun terakhir, sektor perdagangan, hotel, dan restoran selalu memberikan kontribusi dominan terhadap perekonomian. Tingginya kontribusi tersebut disebabkan karena secara tradisional, Kabupaten Bangka merupakan daerah dengan transaksi jasa yang tinggi dan didukung sektor pariwisata yang banyak menjadi tujuan utama wisatawan, dengan disertai berbagai potensi, baik kondisi alam, maupun sosial budaya masyarakat yang mendukung, serta letak strategis antar pulau sebagai tempat untuk pertemuanpertemuan penting, olahraga, dan istirahat. Akibat tradisi pariwisata tersebut adalah cepat tumbuhnya subsektor perdagangan dan restoran, serta tingginya tingkat hunian hotel-hotel dan penginapan yang ada. Faktor lain yang menyebabkan tingginya kontribusi sektor perdagangan, hotel, dan restoran, adalah karena sektor ini merupakan salah satu sektor yang digerakkan oleh sektor pertambangan dan pertanian. Fluktuasi yang terjadi di sektor pertambangan dan pertanian akan diikuti juga oleh fluktuasi di sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Kondisi ini terlihat jelas dari sisi pertumbuhan ekonomi sektoral. Dalam tiga tahun terakhir, sektor ini mengalami pertumbuhan yang terus meningkat, dari 6,18 persen di tahun 2006, 6,23 persen di tahun 2007, dan 7,15 persen di tahun 2008. Berdasarkan gambaran di atas dapat diprediksi bahwa dalam beberapa tahun ke depan, saat deposit timah sudah habis terkuras, maka sektor-sektor dalam pembentukan PDRB Kabupaten Bangka akan mengalami pergeseran. Potret kondisi perekonomian tanpa timah ini sekaligus memberikan gambaran bagaimana prospek perekonomian di masa depan. Sektor pertanian serta perdagangan, hotel, dan restoran tetap akan mendominasi. Sedangkan sektor pertambangan diperkirakan tidak lagi menjadi bagian sektor yang dapat dikembangkan. Sebagai gantinya, pengembangan perekonomian juga harus diarahkan kepada sektor bangunan, sektor jasa-jasa dan keuangan, serta sektor persewaan dan jasa perusahaan.
127
VI
PEMBAHASAN
6.1. Karakteristik Responden 6.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh karakteristik responden menurut umur seperti pada Tabel 32.
Tabel 32. Karakteristik Responden Menurut Umur No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kelompok Umur (Tahun)*) 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 Total
Jumlah (Orang) 1 6 9 3 4 5 2 30
Persentase (%) 3,33 20 30 10 13,33 16,67 6,67 100
Keterangan: *) Klasifikasi kelompok umur berdasarkan format Badan Pusat Statistik
Tabel 32 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada pada kelompok umur 40-44 tahun. Jika diasumsikan bahwa batas umur produktif manusia adalah 55 tahun, maka 76,66 persen reponden (23 orang) dikatakan masih produktif. Artinya sebagian besar responden petani lada masih sanggup untuk melakukan kegiatannya dengan optimal, khususnya dalam mengusahakan lada.
6.1.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan, diperoleh karakteristik responden seperti yang tertera pada Tabel 33.
Tabel 33. Karakteristik Responden Menurut Status No 1. 2.
Status Menikah (Telah berkeluarga) Belum Menikah (Belum berkeluarga) Total
Jumlah (Orang) 28 2 30
Persentase (%) 93,33 6,67 100
Sebagian besar responden petani lada, yaitu berjumlah 28 orang atau 93,33 persen, menyatakan diri telah menikah atau berkeluarga. Hanya dua orang atau 6,67 persen saja yang menyatakan diri belum menikah atau belum berkeluarga. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tanggungjawab untuk menghidupi keluarganya, selain dirinya sendiri.
6.1.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Responden memiliki karakteristik pendidikan
yang berbeda-beda.
Karakteristik tersebut dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34. Karakteristik Responden Menurut Pendidikan No 1. 2. 3. 4.
Pendidikan SD (Setingkat) SMP (Setingkat) SMA (Setingkat) Diploma Total
Jumlah (Orang) 11 9 9 1 30
Persentase (%) 36,67 30 30 3,33 100
Tabel 34 menunjukkan bahwa jenjang pendidikan terakhir yang pernah dienyam petani adalah mulai dari SD hingga Diploma. Tingkat pendidikan terakhir yang paling banyak dienyam oleh petani adalah SD (setingkat), yaitu 11 orang atau 36,67 persen. Jika dilihat dari program wajib belajar sembilan tahun, maka 60 persen dari responden atau 18 orang telah menyelesaikan program tersebut.
6.1.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Mengusahakan Lada Pengalaman mengusahakan lada ditentukan berdasarkan waktu yang telah dihabiskan oleh petani untuk mengenal dan mengusahakan lada. Semakin lama waktu yang dihabiskan petani, maka mereka akan semakin mengenal dan berpengalaman dalam mengusahakan lada, khususnya pengalaman teknis mereka di lapangan. Hasil pengolahan data mengenai karakteristik responden yang dikelompokkan berdasarkan pengalamannya dalam mengusahakan lada dapat dilihat pada Tabel 35. 129
Tabel 35. Karakteristik Responden Menurut Pengalaman Mengusahakan Lada No 1. 2. 3. 4.
Pengalaman (Tahun)
Jumlah (Orang)
5-14 15-24 25-34 ≥35 Total
8 10 9 3 30
Persentase (%) 26,67 33,33 30 10 100
Tabel 35 menggambarkan bahwa umumnya pengalaman responden terdapat pada kelompok 15-24 tahun, yaitu sebanyak 10 orang atau 33,33 persen. Selain itu, 40 persen responden (12 orang) memiliki pengalaman lebih dari 25 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa responden telah mengenal dan memiliki cukup pengalaman dalam mengusahakan tanaman lada.
6.1.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Usaha Petani lada yang dipilih menjadi sampel adalah yang berdiversifikasi usaha, selain mengusahakan lada. Hal ini didukung oleh pendapat para Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) yang ditemui di lapangan. Mereka berpendapat bahwa umumnya petani lada tidak hanya mengusahakan lada saja, tetapi juga memiliki usaha lainnya, karena sangat sulit jika petani lada hanya bergantung kepada usaha lada saja. Terlebih lagi dengan kondisi seperti saat ini. Pendapat tersebut juga telah dibuktikan di lapangan, melalui wawancara dengan responden petani lada dan observasi di kebun petani. Responden mengatakan bahwa karakteristik tanaman lada dan kondisi pengusahaannya saat ini mengharuskan mereka mencari atau mengerjakan peluang usaha yang lain (berdiversifikasi usaha). Karakteristik tanaman lada yang merupakan tanaman perkebunan tahunan, dimana panen pertama baru dapat dilakukan saat tanaman berusia 2-3 tahun dan panen berikutnya hanya dapat dilakukan setiap satu tahun, menyebabkan pendapatan dari tanaman lada juga bersifat tahunan. Dengan kata lain, pendapatan dari tanaman lada baru dapat diperoleh dalam jangka waktu tahunan. Di lain pihak, mereka membutuhkan sumber pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam jangka waktu harian, mingguan, atau bulanan (di bawah satu tahun). Untuk mengatasi hal tersebut mereka umumnya menyadap karet, menanam sayuran, menanam kelapa sawit, membuka toko 130
(perdagangan), menambang timah, dan sebagainya, selain tetap mengusahakan lada. Perilaku responden petani lada yang melakukan usaha lain di luar mengusahakan lada juga disebabkan oleh beberapa faktor lain. Para responden menuturkan bahwa harga jual lada yang rendah dan banyaknya serangan hama dan penyakit pada tanaman lada, membuat mereka tidak lagi menanam lada dengan pola tanam bergilir (bertahap) dan dalam jumlah yang besar, sehingga produksi tanaman lada pun tidak lagi diperoleh secara kontinu dan dalam jumlah yang lebih sedikit. Akan tetapi mereka tetap mengusahakan lada. Alasannya karena mengusahakan lada sudah menjadi budaya masyarakat petani pekebun yang ada di Bangka dan sudah dilakukan turun-temurun. Selain itu, mereka tetap berjaga-jaga untuk mengantisipasi jika suatu saat terjadi kenaikan harga, seperti yang pernah terjadi di tahun 1997, dimana harga jual lada pernah mencapai Rp 100.000 per kg. Prinsip yang dipegang oleh petani dalam mengusahakan lada adalah Biak Sedikit, yang Penting Ade, yang artinya walaupun sedikit, tanaman lada harus tetap diusahakan. Karakteristik responden berdasarkan jumlah usaha (diversifikasi usaha) yang mereka lakukan dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 36.
Tabel 36. Karakteristik Responden Menurut Diversifikasi Usaha* No
Usaha
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Kebun lada dan nenas Kebun lada dan karet Kebun lada, karet, dan kelapa sawit Kebun lada, karet, dan peternakan ayam Kebun lada, karet, dan penambangan timah Kebun lada, karet, sayuran, dan penampung karet Kebun lada, karet, kelapa sawit, dan peternakan ayam Kebun lada, karet, kelapa sawit, dan sayuran Kebun lada, karet, kelapa sawit, dan perdagangan Kebun lada, karet, kelapa sawit, dan padi ladang Kebun lada, karet, kelapa sawit, dan penambangan timah Kebun lada, karet, perdagangan, dan penambangan timah Kebun lada, karet, kelapa sawit, nenas, dan peternakan ayam
Total
Jumlah (Orang) 1 5 11 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 30
Persentase (%) 3,33 16,67 36,67 3,33 3,33 3,33 6,67 3,33 6,67 6,67 3,33 3,33 3,33 100
Keterangan: *) Data di Tahun 2009
131
Tabel 36 menggambarkan bahwa kombinasi peluang usaha yang paling banyak dilakukan oleh responden adalah mengusahakan lada, karet, dan kelapa sawit secara bersamaan, yaitu yang dilakukan oleh 11 orang atau 36,67 persen dari seluruh responden (sampel). Selain itu, terdapat satu orang responden yang menjalankan lima usaha sekaligus, yaitu usaha kebun lada, karet, kelapa sawit, nenas, dan peternakan ayam. Berdasarkan data juga dapat disimpulkan bahwa hampir sebagian besar responden, yaitu 96,67 persen dari seluruhnya (29 orang), memiliki usaha kebun lada dan karet.
6.1.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Kepemilikan Lahan Karakteristik responden petani lada berdasarkan kepemilikan lahan pertanian yang dikelola atau diusahakan dapat dilihat pada Tabel 37.
Tabel 37. Karakteristik Responden Menurut Status Kepemilikan Lahan No 1. 2. 3.
Status Kepemilikan Lahan Milik sendiri Menumpang tanah HTI (Hutan Tanaman Industri) Menumpang tanah negara Total
Jumlah (Orang) 26 3 1 30
Persentase (%) 86,67 10 3,33 100
Tabel 37 menunjukkan bahwa 86,67 persen dari seluruh responden (sampel) sudah memiliki lahan sendiri. Hanya 13,33 persen yang mengusahakan komoditi pertaniannya di areal lahan bukan milik sendiri. Oleh sebab itu, secara umum dapat dikatakan bahwa responden tidak akan mengalami kesulitan usaha, khususnya dalam hal kepemilikan lahan.
6.2. Analisis Deskriptif 6.2.1. Analisis Deskriptif Variabel Produksi Secara agregat, luas areal tanam lada di Kabupaten Bangka mengalami penurunan, khususnya jika dilihat dari tren sembilan tahun, dari tahun 2001-2009. Keadaan tersebut dapat lebih jelas dilihat pada Gambar 14.
132
Luas Areal Tanam (Ha)
16.000,00 14.000,00 12.000,00 10.000,00 8.000,00 6.000,00 4.000,00 2.000,00 0,00
14.475,20
13.725,00 12.797,00
12.197,60
6.152,00
5.748,00
5.634,25
3.869,00 3.224,18
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun Keterangan: Data tahun 2001 dan 2002 disesuaikan dengan pemekaran Kabupaten Bangka
Gambar 14. Luas Areal Tanam Lada di Kabupaten Bangka Tahun 2001-2009 Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2009) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangka (2010) (Diolah)
Menurunnya luas areal tanam lada di Kabupaten Bangka berdampak terhadap produksinya. Hal tersebut dibuktikan dari produksi lada di Kabupaten Bangka tahun 2001-2009, yang juga menunjukkan tren penurunan. Tren Produksi
Produksi (Ton)
tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.
9.000,00 8.000,00 7.000,00 6.000,00 5.000,00 4.000,00 3.000,00 2.000,00 1.000,00 0,00
7.641,00 5.896,89
6.301,10 5.140,60
5.388,58 4.222,10
3.198,30 2.024,10 1.659,22
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun Keterangan: Data tahun 2001 dan 2002 disesuaikan dengan pemekaran Kabupaten Bangka
Gambar 15. Produksi Lada di Kabupaten Bangka Tahun 2001-2009 Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2009) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangka (2010) (Diolah)
133
Luas areal tanam lada di Kabupaten Bangka pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2001 menurun sebesar 73,27 persen. Sementara itu, dibandingkan dengan tahun 2001, produksi lada pada tahun 2009 menurun sebesar 65,68 persen. Luas areal tanam dan produksi lada terendah terjadi pada tahun 2008, yaitu masing-masing sebesar 3.224,18 ha dan 1.659,22 ton. Hasil pengolahan data lapangan menunjukkan bahwa jumlah tanaman produktif, produktivitas, dan produksi lada dari setiap responden bervariasi, khususnya selama tahun 2009. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 38.
Tabel 38. Produksi Lada Responden Tahun 2009 Responden
Jumlah Tanaman Produktif (Batang)
Produksi Riil* (Kg)
Produktivitas (Kg/Batang)
Produksi**
1. 900 288,00 0,320 800,0 2. 700 239,40 0,342 855,0 3. 170 65,96 0,388 970,0 4. 300 96,90 0,323 807,5 5. 1.730 605,50 0,350 875,0 6. 800 360,00 0,450 1.125,0 7. 1.000 304,00 0,304 760,0 8. 500 167,00 0,334 835,0 9. 200 49,20 0,246 615,0 10. 300 115,20 0,384 960,0 11. 600 151,80 0,253 632,5 12. 600 169,20 0,282 705,0 13. 150 51,30 0,342 855,0 14. 600 200,40 0,334 835,0 15. 2.850 1.199,85 0,421 1.052,5 16. 1.000 267,00 0,267 667,5 17. 900 408,60 0,454 1.135,0 18. 960 270,72 0,282 705,0 19. 400 153,60 0,384 960,0 20. 1.200 342,00 0,285 712,5 21. 1.400 358,40 0,256 640,0 22. 2.350 949,40 0,404 1.010,0 23. 800 282,40 0,353 882,5 24. 1.000 338,00 0,338 845,0 25. 200 51,80 0,259 647,5 26. 2.000 564,00 0,282 705,0 27. 200 51,20 0,256 640,0 28. 100 22,60 0,226 565,0 29. 600 234,00 0,390 975,0 30. 600 232,80 0,388 970,0 Keterangan: *) Data produksi yang belum disetarakan. **) Produksi lada per satu satuan luas areal (kg/ha), dengan asumsi 1 ha = 2500 batang tanaman lada.
134
Tabel 38 menunjukkan bahwa produktivitas tanaman lada terendah pada responden adalah sebesar 0,226 kg per batang, sedangkan yang tertinggi adalah 0,454 kg per batang. Adapun rata-rata produktivitas tanaman lada responden adalah 0,3299 kg per batang. Setelah seluruh produksi responden disetarakan (dikonversi) ke dalam satuan yang sama yaitu per ha (hektar), dimana satu ha diasumsikan dapat ditanam 2.500 batang tanaman lada, maka produksi lada responden berkisar antara 565 hingga 1.135 kg per ha, dengan rata-rata produksi seluruhnya sebesar 824,75 kg per ha. Jika produksi lada responden (setelah disetarakan) tersebut dibandingkan dengan produksi lada di Indonesia, yang oleh Deptan (1985) masih dikategorikan rendah, yaitu 500-2.400 kg/ha, maka dapat disimpulkan bahwa produksi lada responden juga masih rendah.
6.2.2. Analisis Deskriptif Variabel Harga Jual Lada di Tingkat Petani Harga jual lada (rata-rata) di Bangka Belitung mengalami fluktuasi dalam rentang tahun 2001 hingga 2009. Kondisi tersebut dapat dilihat dengan jelas pada
Harga Rata-rata (Rp/Kg)
Gambar 16.
45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0
41.516 34.532
39.276
22.158 15.125
2001
17.500
2002
19.995
2003
17.961
2004
19.162
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 16. Harga Rata-rata Lada Putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2001-2009 Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2009) dan Bappebti (2010)24 24
[Bappebti] Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. 2010. Harga Bursa Komoditi Lada Putih. http://www.bappebti.go.id. [Diakses tanggal 23 Maret 2010]
135
Walaupun berfluktuasi, harga jual lada rata-rata (tahunan) memiliki tren yang meningkat dari tahun 2001 sampai 2009. Harga jual lada rata-rata tertinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu Rp 41.516 per kg. Harga rata-rata dari tahun 20072009 dapat dikatakan mengalami perbaikan, karena harga-harga di tahun tersebut nilainya berada di atas harga rata-rata di tahun 2001-2006. Harga jual yang diterima responden merupakan harga yang ditetapkan oleh pembeli. Sebagian besar responden menjual produksi ladanya ke pedagang pengumpul desa, dengan alasan lebih menghemat biaya, harga yang diberikan tidak terlalu jauh dengan pembeli lain, serta sudah terjalinnya kepercayaan. Selain itu, terdapat pula responden yang menjual ke pengumpul di kota (Pangkalpinang dan Sungailiat) dan penggilingan lada. Responden umumnya langsung mengantarkan ladanya ke tempat pembeli. Transaksi pembayaran antara responden dengan pembeli dilakukan secara tunai, langsung di tempat terjadinya transaksi. Selama tahun 2009, responden menerima harga jual lada rata-rata yang berbeda. Hal tersebut disebabkan karena responden menjual produksi lada mereka ke tempat dan pelaku tataniaga yang berbeda, seperti yang telah disebutkan, serta adanya fluktuasi harga jual lada di pasar. Menurut responden, fluktuasi harga jual lada dapat terjadi hanya dalam hitungan jam. Harga jual lada rata-rata yang diterima responden selama tahun 2009 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 39.
Tabel 39. Harga Jual Lada Rata-rata Responden Tahun 2009 Responden 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Harga Jual Rata-rata (Rp/Kg) 37.000 40.000 42.000 38.000 40.000 39.000 41.000 39.000 40.000 38.000 35.000 40.000 38.000 37.000 40.000
Responden 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Harga Jual Rata-rata (Rp/Kg) 38.000 41.500 39.000 41.500 38.000 38.000 40.000 42.000 41.000 38.000 38.000 39.000 38.000 41.000 39.000
136
Tabel 39 menunjukkan bahwa harga rata-rata yang paling sering muncul (modus) adalah Rp 38.000. Harga rata-rata terendah adalah Rp 35.000, sedangkan yang tertinggi adalah Rp 42.000. Rata-rata dari harga jual rata-rata yang diterima oleh seluruh responden adalah Rp 39.200. Berdasarkan pengakuan responden, harga-harga yang mereka terima selama tahun 2009 masih mereka rasa rendah. Hal ini disebabkan karena responden sempat merasakan tingginya harga lada putih di tahun 1997 yang mencapai Rp 75.000 sampai Rp 100.000 per kg nya. Harga rata-rata agregat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dari tahun 2001-2009 pun masih digolongkan rendah jika dibandingkan harga-harga di tahun 1997 tersebut, walaupun tren harga rata-rata lada putih di tahun-tahun tersebut meningkat (positif). Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika motivasi petani lada untuk mengusahakan lada masih rendah, karena insentif yang mereka terima atas harga-harga masih lebih rendah dibandingkan yang pernah mereka terima di tahun 1997. Motivasi mereka mengusahakan lada saat ini lebih kepada motif berjaga-jaga dan berharap jika harga-harga lada putih akan kembali tinggi seperti di tahun 1997. Dampaknya, produksi lada mereka di tahun 2009 juga masih dikategorikan rendah atau belum dilakukan dengan optimal.
6.2.3. Analisis Deskriptif Variabel Peluang Usaha Lain Keragaman usaha lain responden dapat dilihat dari kombinasi usaha yang dilakukan dan komoditi yang diusahakan. Kombinasi usaha yang dilakukan oleh responden telah diuraikan sebelumnya. Peluang usaha lain yang dilakukan oleh responden berdasarkan komoditi yang diusahakan dapat dilihat pada Tabel 40.
Tabel 40. Usaha Lain Responden Petani Lada Tahun 2009 Jenis Usaha
Pertanian
Nonpertanian
Usaha Lain Karet Kelapa sawit Ternak ayam Nenas Sayuran Padi ladang Timah Perdagangan Penampung karet
Jumlah Responden (Orang) Pelaku Usaha Total 29 30 20 30 4 30 2 30 2 30 2 30 3 30 3 30 1 30
Persentase (%) 96,67 66,67 13,33 6,67 6,67 6,67 10,00 10,00 3,33
137
Tabel 40 menggambarkan bahwa secara umum responden memilih bidang pertanian sebagai alih usaha lainnya. Peluang usaha lain pertanian yang paling banyak dikerjakan oleh responden adalah usaha kebun karet yang menghasilkan produk getah karet, yaitu sebanyak 29 orang (96,67 persen) dari seluruh responden. Selanjutnya adalah usaha kebun kelapa sawit dengan produk yang berupa tandan buah segar, sebanyak 20 orang (66,67 persen) dari seluruh responden. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa responden lebih tertarik mengusahakan komoditi karet dan kelapa sawit, selain mengusahakan lada. Usaha nonpertanian yang paling banyak dilakukan oleh responden adalah timah dan perdagangan (membuka toko), yang masing-masing sebanyak 3orang (10 persen) dari seluruh responden. Adanya peluang usaha lain yang dilakukan oleh petani lada memiliki pengaruh terhadap usaha lada mereka. Diversifikasi usaha yang dilakukan oleh petani lada tentunya telah membuat prioritas untuk mengusahakan lada terbagi dengan usaha lain. Terlebih lagi jika petani tersebut lebih memprioritaskan usaha lain, dibandingkan usaha ladanya. Beberapa contoh perilaku petani lada di Bangka Belitung yang tidak lagi memprioritaskan usaha ladanya antara lain pemeliharaan lada saat budidaya hingga diolah menjadi lada putih tidak dilakukan dengan optimal, penerapan teknologi budidaya lada yang rendah dan cenderung asalasalan, alokasi permodalan dalam mengusahakan lada dikurangi atau didahulukan untuk usaha lain, curahan perhatian dan tenaga lebih banyak untuk usaha lain, serta tidak adanya keinginan untuk mengembangkan usaha ladanya. Prioritas responden terhadap usaha lada mereka terlihat dari jawaban mereka atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Jawaban responden mengenai prioritas pengusahaan lada dibanding dengan usaha lain yang mereka lakukan dapat dilihat pada Tabel 41.
138
Tabel 41. Jawaban Responden Mengenai Prioritas Pengusahaan Lada Dibanding Dengan Usaha Lain yang Dijalankan Selama Tahun 2009
Usaha Lain
Jawaban Responden Pelaku Usaha (Orang) a
Karet Kelapa sawit Ternak ayam Nenas Sayuran Padi ladang Timah Perdagangan Penampung karet
B 3 13 3 − 2 − 2 2 −
26 7 1 2 − 2 1 1 1
Jumlah Responden Pelaku Usaha (Orang) 29 20 4 2 2 2 3 3 1
Persentase Jawaban (%) a b 10,34 89,66 65 35 75 25 − 100 100 − − 100 66,67 33,33 66,67 33,33 − 100
Keterangan: a = Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan usaha pertanian/nonpertanian lain, dan memprioritaskan usaha pertanian/nonpertanian lain tersebut dalam pengusahaannya (tidak lagi memprioritaskan usaha kebun lada). b = Mendiversifikasi usaha kebun lada yang dimiliki dengan usaha pertanian/nonpertanian lain, tetapi masih memprioritaskan kebun lada dalam pengusahaannya
Tabel 41 Menunjukkan bahwa sebagian besar responden, yaitu 89,66 persen dari seluruh responden yang menjalankan usaha lada dan karet, menjawab “b” atas perbandingan prioritas pengusahaan kedua usaha tersebut. Artinya sebagian besar reponden tersebut masih memprioritaskan pengusahaan lada mereka. Responden yang menjalankan usaha lada dan kelapa sawit sebagian besar (65 persen) menjawab “a”, saat ditanya perbandingan prioritas pengusahaan keduanya, yang artinya sebagian besar responden tersebut lebih memprioritaskan usaha kelapa sawit mereka. Responden yang mengusahakan lada dan nenas, seluruhnya menjawab “b” saat ditanya perbandingan prioritas pengusahaan kedua usaha tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka masih memprioritaskan pengusahaan ladanya. Begitupula dengan responden yang mengusahakan lada dan padi ladang. Sebagian besar responden yang mengusahakan lada dan penambangan timah ataupun lada dan perdagangan menyatakan bahwa mereka cenderung lebih memprioritaskan pengusahaan timah, bagi yang mengusahakan timah dan lebih memprioritaskan usaha dagang, bagi yang memiliki usaha perdagangan. Sementara itu, responden yang bekerja sebagai penampung karet sekaligus mengusahakan lada menyatakan tetap memprioritaskan usaha ladanya. 139
Berdasarkan gambaran tersebut, maka secara umum dapat disimpulkan perbandingan prioritas pengusahaan atas usaha lada dengan usaha lain yang responden jalankan. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 42.
Tabel 42. Perbandingan Prioritas Pengusahaan Responden Atas Usaha Lada dan Usaha Lain yang Dijalankan Selama Tahun 2009 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Usaha yang Diperbandingkan Antara lada dan karet Antara lada dan kelapa sawit Antara lada dan ternak ayam Antara lada dan nenas Antara lada dan sayuran Antara lada dan padi ladang Antara lada dan timah Antara lada dan perdagangan Antara lada dan penampung Karet
Prioritas Lada masih diprioritaskan Kelapa sawit lebih diprioritaskan Ternak ayam lebih diprioritaskan Lada masih diprioritaskan Sayuran lebih diprioritaskan Lada masih diprioritaskan Timah lebih diprioritaskan Perdagangan lebih diprioritaskan Lada masih diprioritaskan
Beberapa tahun terakhir, kelapa sawit menjadi primadona di kalangan petani, khususnya petani lada responden.
Mereka beranggapan bahwa
mengusahakan kelapa sawit lebih mudah dari pada mengusahakan lada, yang biaya produksinya tinggi, bahkan sulit mencari input produksinya, misalnya untuk input produksi junjung (panjatan). Tingginya serangan hama dan penyakit pada tanaman lada yang belum diketahui pasti cara penanggulangannya juga semakin mengurangi minat responden dalam mengusahakan lada. Selain itu, programprogram pengembangan komoditas kelapa sawit mulai dilaksanakan oleh pemerintah daerah, seperti pengadaan bibit kelapa sawit berkualitas dari luar Bangka Belitung untuk petani, contohnya dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, serta peningkatan keterampilan dan kualitas petani melalui pembentukan kelompok tani mandiri. Oleh sebab itu, petani lebih memilih mengembangkan (memprioritaskan) usaha kelapa sawit mereka. Pendapatan dari usaha ternak ayam, sayuran, penambangan timah, dan perdagangan lebih cepat diperoleh, karena masa produksinya lebih pendek dibandingkan usaha lada. Responden lebih cepat memutarkan modal mereka melalui usaha-usaha tersebut. Bahkan, dari kegiatan usaha tersebut mereka dapat menyisihkan keuntungan sebagai modal untuk mengusahakan lada. Usaha ternak 140
ayam, sayuran, penambangan timah, dan perdagangan membutuhkan modal yang cukup besar dan tidak dapat ditunda penyediaannya. Oleh sebab itu, responden lebih memprioritaskan terlebih dahulu usaha ternak ayam, sayuran, penambangan timah, dan perdagangan yang mereka miliki. Beberapa peluang usaha lain yang dijalankan responden berdampak pada ketersediaan input produksi usaha lada, yaitu luasan areal tanam (lahan), khususnya saat melakukan budidaya tanaman lada. Semakin berkurang luasan areal pertanian yang dimiliki atau dikelola oleh petani lada, khususnya yang sesuai untuk ditanami lada, maka semakin besar peluang terjadinya penurunan produksi lada tersebut. Dampak pengusahaan usaha lain bagi ketersediaan areal tanam lada responden selama tahun 2009, dapat dilihat pada Tabel 43.
Tabel 43. Dampak Pengusahaan Usaha Lain Bagi Ketersediaan Areal Tanam Lada Responden Selama Tahun 2009
Usaha Lain Karet Kelapa sawit Ternak ayam Nenas Sayuran Padi ladang Timah Perdagangan Penampung karet
Jawaban Responden Pelaku Usaha (Orang) b.1 c.1 d 23 6 − 9 1 10 1 1 2 − 2 − − 1 1 1 1 − − − 3 − − 3 − − 1
Jumlah Responden Pelaku Usaha (Orang)
Persentase Jawaban (%) b.1
29 20 4 2 2 2 3 3 1
c.1
79,31 45,00 25,00
− − − − − −
d −
20,69 5,00 25,00 100,00 50,00 50,00
50,00
− − −
100,00 100,00 100,00
50,00 50,00
− 50,00
Keterangan: b.1 = Menumpangsarikan atau mengusahakan tanaman lada dengan usaha pertanian atau nonpertanian lain pada areal yang sama. c.1 = Membuka usaha pertanian atau nonpertanian lain pada areal baru yang dimiliki (dikelola) oleh petani, dimana areal baru tersebut sebenarnya sesuai untuk digunakan sebagai areal tanam lada (ekstensifikasi). d = Tidak mengurangi atau menghambat perluasan areal tanam lada.
Tabel 43 menggambarkan bahwa pengusahaan karet, pada responden yang menjalankan usaha lada dan karet, berdampak terhadap ketersediaan areal tanam lada mereka. Sebanyak 79,31 persen dari seluruh responden pelaku usaha yang menjalankan usaha lada dan karet menumpangsarikan tanaman karet pada areal yang sama dengan areal tanam lada. Dalam jangka pendek, pola ini 141
mempengaruhi luas areal tanam lada, khususnya mengurangi luasan tanam lada per batang. Untuk jangka panjang, pola seperti ini akan semakin besar dampaknya mengurangi areal tanam lada, karena di masa yang akan datang, saat tanaman lada sudah menua, tanaman karet lah yang menjadi tanaman utama. Pada kondisi seperti ini, lahan tersebut tidak dapat lagi ditanami oleh lada. Selain itu, 20,69 persen responden tersebut menyatakan bahwa mengusahakan karet menghambat perluasan areal tanam lada mereka, karena jika suatu lahan telah ditanami karet, terlebih lagi jika batang karet sudah tinggi dan usianya pun sudah cukup tua, maka tanaman lada tidak dapat diusahakan lagi di areal tersebut. Sebanyak 50 persen dari seluruh responden yang menjalankan usaha lada dan kelapa sawit menyatakan bahwa pengusahaan kelapa sawit tidak berdampak terhadap ketersediaan areal lada mereka, karena kelapa sawit tersebut ditanam di luar areal yang ditanami lada atau areal baru yang memang tidak sesuai atau tidak cocok untuk ditanami lada. Responden tersebut memiliki kecenderungan memilih lahan yang tidak terlalu subur untuk menanam kelapa sawit, sedangkan lahan yang subur lebih diprioritaskan untuk menanam tanaman lain, seperti lada. Akan tetapi, bukan berarti pengusahaan kelapa sawit sama sekali tidak mengurangi ketersediaan areal tanam lada responden, karena sebanyak 45 persen dari seluruh responden tersebut menyatakan bahwa mereka menumpangsarikan tanaman kelapa sawit pada areal yang sama dengan areal tanam lada. Sama halnya dengan mengusahakan karet, dalam jangka pendek, pola ini mengurangi luasan tanam lada per batangnya. Dampak jangka panjangnya adalah saat tanaman lada sudah menua, maka usaha kelapa sawit lah yang akan dijadikan sebagai usaha utama. Lahan tersebut tidak dapat ditanami kembali dengan lada karena tanaman lada akan kalah bersaing dengan tanaman kelapa sawit yang sudah dewasa. Sementara itu, 5 persen responden menyatakan bahwa mereka menanam kelapa sawit pada areal baru yang sebenarnya sesuai dan cocok untuk menanam lada, sehingga menghambat perluasan areal tanam lada. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa 50 persen responden yang mengusahakan kelapa sawit dan lada menyatakan bahwa pengusahaan kelapa sawit berdampak pada ketersediaan areal tanam lada mereka.
142
Sebanyak 50 persen responden yang beternak ayam, disamping mengusahakan lada, menyatakan bahwa pengusahaan ternak ayam tidak berdampak terhadap ketersediaan areal tanam lada mereka. Walaupun demikian, 50 persen sisanya menyatakan bahwa ternak ayam berdampak pada ketersediaan areal tanam lada, dimana 25 persen menyatakan bahwa ternak ayam berdampak secara tidak langsung (ternak ayam dan budidaya dilakukan pada areal yang sama) dan 25 persen yang lain menyatakan menghambat perluasan areal tanam lada (membuka peternakan ayam pada areal yang sesuai ditanami lada). Seluruh responden yang mengusahakan lada dan nenas, menyatakan bahwa mereka menanam nenas pada areal baru, di luar areal lada, dimana areal yang ditanami nenas tersebut sebenarnya sesuai dan cocok pula untuk menanam lada. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengusahaan nenas tersebut menghambat perluasan areal tanam lada. Responden yang mengusahakan lada dan sayuran, 50 persennya menyatakan bahwa pengusahaan sayuran menghambat perluasan areal tanam lada, karena areal tempat menanam sayur tersebut juga sesuai dan cocok untuk menanam lada. Sementara itu, 50 persen responden lainnya mengatakan bahwa pengusahaan sayuran tidak berdampak pada ketersediaan areal tanam lada, karena areal untuk tanaman sayuran tersebut cenderung berair, sehingga tidak sesuai dan cocok untuk membudidayakan lada. Seluruh responden yang mengusahakan lada dan padi ladang menyatakan bahwa pengusahaan padi ladang berpengaruh pada ketersediaan areal tanam lada mereka. Sebanyak 50 persennya menyatakan bahwa pengusahaan padi ladang berdampak tidak langsung terhadap ketersediaan areal tanam lada, karena mengurangi luas areal tanam lada per batang. Sebanyak 50 persen responden lainnya menyatakan bahwa mereka menanam padi ladang tersebut pada areal yang sebenarnya sesuai untuk ditanami lada, sehingga menghambat perluasan areal tanam lada. Seluruh responden yang bekerja sebagai penampung karet, selain mengusahakan lada menyatakan bahwa usaha penampung karet yang dilakukan tidak berdampak terhadap ketersediaan areal tanam lada, karena tidak diusahakan di areal yang ditanami lada, bahkan di luar areal pertanian yang mereka miliki atau kelola. Begitupula untuk responden yang mengusahakan lada dan timah. 143
Tidak ditemukan responden yang mengganti seluruh atau sebagian areal tanam ladanya untuk dijadikan tambang timah, bahkan usaha timah yang dilakukan pun cenderung di luar areal pertanian yang dimiliki atau dikelola. Responden yang mengusahakan lada dan usaha perdagangan juga menyatakan bahwa usaha perdagangan yang dijalankan tidak berdampak pada ketersediaan areal tanam lada, karena tidak ditemukan responden yang mengganti seluruh atau sebagian areal tanam ladanya untuk usaha lain tersebut. Responden umumnya melakukan usaha perdagangan di rumah mereka sendiri. Berdasarkan Tabel 40 dan 43 dapat disimpulkan bahwa usaha yang paling dominan berpengaruh terhadap ketersediaan areal tanam lada responden adalah usaha karet dan kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena 96,67 persen seluruh responden (29 orang) mengusahakan lada dan karet, dan dari 96,67 persen tersebut, seluruhnya menyatakan bahwa pengusahaan karet berdampak pada ketersediaan areal tanam lada mereka, baik secara tidak langsung (23 orang atau 79,31 persen), maupun karena menghambat perluasan areal tanam lada (6 orang atau 20,69 persen). Sedangkan, 66,67 persen dari seluruh responden (20 orang) yang mengusahakan lada dan kelapa sawit, 50 persennya menyatakan bahwa pengusahaan usaha kelapa sawit berdampak terhadap ketersedian areal tanam lada mereka, dimana 9 orang (45 persen) menyatakan berdampak secara tidak langsung dan 1 orang (5 persen) menyatakan menghambat perluasan areal tanam lada. Pengusahaan karet dan kelapa sawit memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap ketersediaan areal tanam lada reponden. Dalam jangka pendek, pola tumpangsari yang mereka lakukan terhadap tanaman lada mengurangi luas tanam lada per batangnya. Sedangkan untuk jangka panjang lahan yang semula ditumpangsarikan tersebut akan berubah menjadi lahan monokultur tanaman karet atau kelapa sawit yang awalnya ditumpangsarikan dengan lada tadi. Hal ini disebabkan karena umur produktif tanaman lada lebih pendek dari tanaman karet dan kelapa sawit yang dapat mencapai puluhan tahun. Saat tanaman lada mati, maka tanaman karet dan kelapa sawit sudah beranjak dewasa, dan tanaman-tanaman tersebutlah yang akan menjadi tanaman utama menggantikan lada. Lahan yang pada akhirnya menjadi areal tanam karet 144
atau kelapa sawit tersebut tidak dapat lagi ditanami lada, karena tanaman lada akan kalah bersaing dengan tanaman karet dan kelapa sawit tersebut. Selain itu, petani lada juga tidak akan mau mengorbankan tanaman karet dan kelapa sawit dewasa mereka yang bahkan sudah dapat menghasilkan. Akhirnya, dalam jangka panjang, areal lada responden akan berkurang secara permanen.
6.2.4. Analisis Deskriptif Variabel Teknologi Budidaya Lada Petani Variabel teknologi budidaya lada petani mencerminkan perilaku petani lada dalam melaksanakan teknis atau cara (teknologi) membudidayakan tanaman lada, yang meliputi persiapan lahan, penyediaan bibit, persiapan panjatan (junjung), penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta panen. Tingkat penerapan teknologi budidaya lada responden per dimensi dan secara keseluruhan tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 4. Penerapan teknologi budidaya lada oleh setiap responden memiliki perbedaan dan juga kesamaan. Deskripsi mengenai variabel teknologi budidaya lada secara lebih ringkas dapat dilihat pada Tabel 44.
Tabel 44. Deskripsi Variabel Teknologi Budidaya Lada Responden Tahun 2009 Deskripsi Persiapan Lahan Penyediaan Bibit Persiapan Panjatan Dimensi Penanaman Terboboti Pemupukan Pemeliharaan Pengendalian Hama-Penyakit Panen Indeks Variabel Terboboti
Selang Skor 0,04-0,08 0,05-0,32 0,07-0,13 0,03-0,05 0,10-0,20 0,06-0,12 0,08-0,15 0,10-0,20 0,70-1,08
Modus 0,06 0,05 0,10 0,03 0,15 0,09 0,15 0,15 0,78
Ratarata* 0,06 0,17 0,10 0,03 0,16 0,10 0,13 0,15 0,90
Skor/Indeks Maksimum 0,2 0,32 0,2 0,14 0,4 0,24 0,3 0,2 2
Keterangan: *) Pembulatan dua desimal
Hampir seluruh skor dari dimensi teknologi budidaya lada responden, baik dari selang (skor minimum sampai maksimum responden per dimensi), modus (skor yang paling banyak pada responden), maupun rata-rata, berada dibawah skor maksimumnya. Hanya pada dimensi penyediaan bibit dan panen saja terdapat responden yang mencapai skor penerapan maksimum, yaitu 0,32 dan 0,20, 145
walaupun jika dilihat dari modus ataupun skor rata-rata dimensi penyediaan bibit dan panen tersebut, skornya masih tetap berada dibawah skor maksimum. Indeks variabel teknologi budidaya lada responden baik untuk selang skor, modus, maupun rata-ratanya, juga masih berada di bawah skor (indeks) maksimumnya. Skor variabel teknologi budidaya reponden berkisar antara 0,7 sampai 1,08 atau hanya mencapai 35 sampai 54 persen (di bawah 60 persen) dari skor maksimumnya (skor 2). Oleh sebab itu, teknologi budidaya yang dilakukan oleh responden dikatakan rendah. Selain itu, rendahnya penerapan teknologi juga terlihat dari masih rendahnya produktivitas (kg per batang) tanaman lada responden (Tabel 38). Menurut Departemen Pertanian (Deptan) (1985) produksi lada di Indonesia rata-rata masih rendah, yaitu antara 500 kg/ha sampai 2.400 kg/ha. Ketika teknologi budidaya lada dilakukan dengan baik, maka hasilnya dapat meningkat sampai 4.000 kg/ha. Jika digunakan asumsi bahwa satu hektar lahan dapat ditanami 2.500 batang lada, dengan jarak tanam 2 m x 2 m, maka produktivitas lada di Indonesia rata-rata adalah 0,20 sampai 0,96 kg/batang, sedangkan
jika
penerapan
teknologi
dilakukan
dengan
baik,
maka
produktivitasnya dapat mencapai 1,6 kg/batang. Selang produktivitas lada responden adalah 0,226 sampai 0,454 kg/batang dan rata-ratanya adalah 0,3299 kg/batang. Selang dan rata-rata produktivitas tanaman lada responden tersebut masih berada di bahwah rata-rata produktivitas dengan teknologi budidaya yang ideal, bahkan dibawah rata-rata produktivitas tertinggi tanaman lada di Indonesia yang dikategorikan oleh Deptan masih rendah. Oleh sebab itu secara umum dapat disimpulkan bahwa penerapan teknologi budidaya lada pada responden di tahun 2009 masih tergolong rendah atau belum dilakukan dengan optimal. Rendahnya penerapan teknologi budidaya lada responden antara lain disebabkan karena pengetahuan mengenai teknologi budidaya lada tersebut hanya diperoleh secara turun-temurun dari anggota keluarga ataupun melalui informasi dari sesama petani yang menanam lada. Selain itu, permasalahan dalam teknologi budidaya lada juga diakibatkan oleh terbatasnya kemampuan petani untuk mengakses sarana produksi, seperti pupuk, karena biayanya yang tinggi, sehingga 146
petani cenderung mengurangi penggunaan sarana produksi tersebut; rendahnya mutu bibit yang ditanam, sehingga produktivitas tanaman pun rendah; serta tingginya serangan hama dan penyakit akibat ketidaktahuan dan kurangnya pengendalian, yang berakibat banyaknya tanaman yang mati dan pada akhirnya mengurangi produksi.
6.3. Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda 6.3.1. Model Regresi Linear Berganda Regresi berganda perlu dilakukan karena pada kenyataannya harga jual (X1), peluang usaha lain (X2), ataupun teknologi budidaya lada petani (X3) tidak berpengaruh sendiri-sendiri terhadap produksi lada. Petani lada menghadapi situasi harga jual lada yang rendah, munculnya peluang usaha lain, dan rendahnya penerapan teknologi budidaya lada secara bersamaan, sehingga memaksa mereka untuk membuat pilihan-pilihan berdasarkan konsep opportunity cost (biaya imbangan). Melalui analisis regresi linear berganda yang dilakukan didapat model regresi Y = -345,022 + 0,005 X1 − 10,959 X2 + 1.105,508 X3.
6.3.2. Uji Asumsi Linear Klasik Model Regresi Linear Berganda Uji asumsi model linear klasik pada model regresi linear berganda meliputi uji multikolinearitas, normalitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. 1. Uji multikolinearitas Berdasarkan output SPSS 11,5 pada coefficients correlations model dikatakan tidak terdapat masalah, karena nilai korelasi antar variabel bebasnya berada diantara selang -0,70 hingga 0,7, dimana: o Untuk X1 dan X2, nilai koefisien korelasinya sebesar -0,566. o Untuk X1 dan X3, nilai koefisien korelasinya sebesar -0,668. o Untuk X2 dan X3, nilai koefisien korelasinya sebesar 0,563. Selain itu, disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah multikolinearitas karena: o Untuk X1, VIF < 10 (1,999 < 10). o Untuk X2, VIF < 10 (1,618 < 10). o Untuk X3, VIF < 10 (1,987 < 10). 147
Hasil uji multikolinearitas pada model regresi berganda selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. 2. Uji normalitas Hasil perhitungan Uji Jarque-Bera menghasilkan nilai statistik JarqueBera sebesar 0,655635 dengan nilai probabilitas 0,720494. Saat dibandingkan, nilai probabilitas tersebut lebih besar dibandingkan taraf nyata (α) yang digunakan, dimana 0,720494 > 0,1. Hal tersebut menghasilkan kesimpulan residual pada model berdistribusi dengan normal atau asumsi normalitas pada model regresi linear terpenuhi. Hasil Uji Jarque-Bera selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. 3. Uji heteroskedastisitas Hasil perhitungan Uji White menghasilkan nilai Obs*R-squared sebesar 8,959030 dengan nilai probabilitas 0,441065. Nilai probabilitas tersebut lebih besar dibandingkan taraf nyata (α) yang digunakan, dimana 0,441065 > 0,1, sehingga disimpulkan tidak terdapat heteroskedastisitas di dalam model. Hasil Uji White selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. 4. Uji autokorelasi Hasil perhitungan Uji Breusch-Godfrey menghasilkan nilai Obs*Rsquared sebesar 2,584652 dengan nilai probabilitas 0,274631. Nilai probabilitas tersebut lebih besar dibandingkan taraf nyata (α) yang digunakan, dimana 0,274631 > 0,1. Hal tersebut menghasilkan kesimpulan tidak terdapat autokorelasi di dalam model. Hasil Uji Breusch-Godfrey selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10.
6.3.3. Uji Hipotesis Hasil analisis regresi linear berganda yang dijadikan acuan untuk melakukan uji hipotesis dapat dilihat pada Tabel 45.
148
Tabel 45. Hasil Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda
Model R R Square 1 ,962(a) ,925 a Predictors: (Constant), X3, X2, X1 b Dependent Variable: Y
Model Summary(b) Adjusted R Square ,917
Std. Error of the Estimate 45,37719
ANOVA(b) Sum of Squares
Model 1
Regression
df
Mean Square
F
662280,551
3
220760,184
53536,324 Total 715816,875 a Predictors: (Constant), X3, X2, X1 b Dependent Variable: Y
26 29
2059,089
Residual
Coefficients(a) Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta
Model 1
(Constant)
-345,022
Sig.
107,213
t
222,425
,000(a)
Sig.
-1,551
,133
X1
,005
,007
,056
,741
,465
X2
-10,959 1105,508
9,062 92,254
-,083 ,906
-1,209 11,983
,237 ,000
X3 a Dependent Variable: Y
Residuals Statistics(a) Maximum
Mean
Predicted Value
Minimum 581,5730
1047,0969
824,7500
151,12002
30
Residual
-98,8135
96,7370
,0000
42,96603
30
-1,609 -2,178
1,471 2,132
,000 ,000
1,000 ,947
30 30
Std. Predicted Value Std. Residual a Dependent Variable: Y
Std. Deviation
N
Berdasarkan uji t dua arah yang dilakukan, dinyatakan bahwa konstanta, variabel harga jual lada di tingkat petani (X1), dan variabel peluang usaha lain (X2) tidak berpengaruh signifikan masuk ke persamaan regresi linear, pada taraf nyata (α) 10 persen, karena: 1. Untuk konstanta, nilai thitung < t0,1(DF=26) ( -1,551 <1,706) dan Sig. > α (0,133 > 2
0,1). 2. Variabel harga jual (X1), nilai thitung < t0,1(DF=26) ( 0,741 <1,706) dan Sig. > α 2
(0,465 > 0,1). 3. Variabel peluang usaha lain (X2), nilai thitung < t0,1(DF=26) ( -1,209 <1,706) dan 2
Sig. > α (0,237 > 0,1).
149
Oleh sebab itu, untuk variabel harga jual dan peluang usaha lain, hipotesis nol (H0) diterima pada taraf nyata (α) 10 persen. Variabel yang berpengaruh signifikan masuk ke persamaan regresi linear hanya teknologi budidaya lada petani (X3), dengan nilai thitung > t0,1(DF=26) ( 11,983 >1,706) dan Sig. < α (0,000 < 2
0,1), sehingga disimpulkan hipotesis nol (H0) ditolak pada taraf nyata (α) 10 persen. Koefisien regresi variabel teknologi budidaya lada petani, saat dikaji bersama-sama dengan harga jual lada di tingkat petani dan peluang usaha lain, adalah sebesar positif (+) 1.105,508. Dengan melihat bahwa skor (indeks) maksimum variabel teknologi budidaya lada adalah 2 (dua), maka koefisien regresi variabel tersebut menunjukkan untuk setiap kenaikan teknologi budidaya lada petani 0,1 satuan, maka rata-rata produksi lada akan meningkat sebesar 110,5508 kg/ha. Sebaliknya, saat teknologi budidaya lada petani menurun 0,1 satuan, maka rata-rata produksi lada akan menurun sebesar 110,5508 kg/ha. Uji F (dua arah) menghasilkan kesimpulan bahwa penggunaan model Y = -345,022 + 0,005 X1 − 10,959 X2 + 1.105,508 X3 pada taraf nyata 10 persen relatif memuaskan dalam menerangkan data, karena nilai Fhitung>F0,1(v1=3;v2=26) (326,383 > 2,31) dan Sig. < α (0,000 < 0,1). Dengan demikian, disimpulkan bahwa hipotesis nol (H0) ditolak pada taraf nyata (α) 10 persen. Nilai R2 yang didapat adalah sebesar 92,5 persen, yang menunjukkan bahwa sebesar 92,5 persen dari seluruh variasi produksi lada (Y) dapat dijelaskan oleh harga jual (X1), peluang usaha lain (X2), dan teknologi budidaya lada petani (X3), sedangkan sisanya sebesar 7,5 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model (persamaan). Atau dapat dikatakan bahwa model persamaan regresi cukup baik menerangkan data. Apabila hasil analisis uji F dikaitkan dengan hasil uji t, maka dapat dikatakan bahwa meskipun model persamaan regresi Y = -345,022 + 0,005 X1 − 10,959 X2 + 1.105,508 X3 cenderung memuaskan, namun hanya koefisien variabel teknologi budidaya lada petani (X3) yang signifikan masuk ke dalam persamaan regresi linear berganda. Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan, baik uji t-student, maupun uji F, disimpulkan bahwa, diantara variabel harga jual, peluang usaha lain, dan teknologi budidaya lada petani, yang paling berpengaruh terhadap produksi lada adalah teknologi budidaya lada petani. 150
6.3.4. Pembahasan Hasil Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda 6.3.4.1. Pengaruh Harga Jual Lada di Tingkat Petani Terhadap Produksi Lada Arah pengaruh dari variabel harga jual lada di tingkat petani terhadap produksi lada pada model regresi linear berganda adalah positif (searah). Hal ini sesuai dengan kerangka pemikiran teoritis yang dibangun, yaitu semakin tinggi harga jual lada, maka jumlah produksi yang dijual petani lada semakin banyak. Ketika jumlah produksi yang dijual petani lada semakin banyak, maka mereka akan bergairah untuk meningkatkan produksi per areal tanam ataupun melalui perluasan areal tanam. Berdasarkan uji hipotesis secara individu, disimpulkan bahwa harga jual lada di tingkat petani tidak signifikan berpengaruh terhadap produksi lada. Hal ini disebabkan karena petani lada (responden) tidak terpengaruh oleh perubahan harga jual lada, dimana saat harga masih mereka rasa rendah (dibandingkan tahun 1997 yang pernah mencapai Rp 100.000/kg), mereka tetap mengusahakan tanaman lada, walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Responden petani lada memandang bahwa menanam lada merupakan investasi (tabungan) untuk masa depan, atau dengan kata lain, mereka memiliki motif berjaga-jaga apabila suatu saat harga lada menjadi tinggi kembali. Harga lada di Kabupaten Bangka, secara agregat, mengalami tren peningkatan dari tahun 2004-2008 (Gambar 16), akan tetapi tidak diikuti dengan kenaikan produksi lada. Bahkan produksi di Kabupaten Bangka dari tahun 20042008 mengalami tren yang menurun (Gambar 15). Hal ini memperlihatkan seakan-akan harga tidak memberikan insentif kepada petani lada di Kabupaten Bangka, karena peningkatan harga tidak diikuti dengan peningkatan produksi lada mereka. Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa penyebab terjadinya hal tersebut adalah keputusan petani yang memilih untuk menanam lada dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan sebelumnya, walaupun hargaharga yang diterima responden selama tahun 2009 sudah termasuk tinggi (dibandingkan dengan harga jual lada secara agregat di Kabupaten Bangka). Bahkan, produksi lada responden selama tahun 2009 tersebut masih dikategorikan rendah menurut kriteria dari Deptan (1985). Oleh sebab itu, saat diuji, harga jual 151
lada di tingkat petani menjadi tidak signifikan pengaruhnya terhadap produksi lada. Ketika responden ingin mendapatkan harga jual lada yang lebih baik, maka seharusnya mereka menunggu sampai pembeli mengajukan penawaran harga yang tertinggi, baru kemudian menjual ladanya. Akan tetapi, saat diamati di lapangan, hal ini sulit terjadi, terutama bagi responden yang memiliki kebutuhan mendesak, seperti biaya hidup dan modal usaha. Apalagi sebagian besar responden telah memiliki keluarga yang harus dihidupi. Selain itu, tidak sedikit diantara responden dan pembeli lada mereka yang memiliki hubungan saling percaya, sehingga walaupun ada pembeli lain yang menawarkan harga lada yang sedikit lebih tinggi, mereka tetap menjual lada kepada pembeli kepercayaan mereka. Oleh sebab itu, responden hanya menjadi penerima harga saat menjual lada mereka dan berapa pun produksi lada yang mereka miliki, akan dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pembeli. Faktor-faktor ini menyebabkan harga tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi lada. Produksi lada sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh harga jual lada itu saja, tetapi juga harga jual komoditi-komoditi lain yang diusahakan oleh responden petani lada (peluang usaha lainnya), baik pertanian, maupun nonpertanian. Fakta di lapangan menggambarkan bahwa selama tahun 2009, harga-harga dari hasil karet dan kelapa sawit, sebagai alih usaha lain utama yang dilakukan oleh responden petani lada, sangat membantu perekonomian mereka. Petani respoden mengakui bahwa pengusahaan karet ataupun kelapa sawit lebih mudah dilakukan dan menjamin sumber pendapatan mereka, dibandingkan dengan mengusahakan lada. Hal ini menyebabkan harga jual lada di tingkat petani menjadi tidak signifikan berpengaruh terhadap produksi lada.
6.3.4.2. Pengaruh Peluang Usaha Lain Terhadap Produksi Lada Pengaruh dari variabel peluang usaha lain terhadap produksi lada pada model regresi linear berganda memiliki arah yang negatif (berlawanan arah), sesuai dengan kerangka pemikiran teoritis yang dibangun. Variabel peluang usaha lain mengukur dampak dari korbanan (opportunity cost) yang dilakukan oleh petani lada karena memilih alternatif pilihan (peluang) usaha lain yang mereka 152
anggap lebih menguntungkan, yaitu berkurangnya prioritas atas pengusahaan kebun lada dan luas areal (lahan) yang tersedia untuk mengusahakan tanaman lada. Jika prioritas petani lada untuk mengusahakan tanaman lada menurun, maka tenaga (energi) yang dicurahkan ataupun modal yang dialokasikan petani lada atas usaha tersebut pun menurun, sehingga pada akhirnya menurun pula produksi lada mereka. Sementara itu, berkurangnya luas areal tanam juga berdampak pada berkurangnya produksi lada. Hal ini disebabkan karena tenaga, modal, dan areal tanam merupakan input-input yang digunakan dalam proses untuk memproduksi lada, dalam suatu sistem, sehingga saat penggunaan input-input produksi menurun, maka tentunya produksinya pun menurun. Usaha lain yang paling dominan diusahakan oleh responden masih di bidang pertanian, yaitu usaha kebun karet dan kelapa sawit, sehingga secara umum, pengusahaan kedua jenis tanaman inilah yang menjadi pesaing utama pengusahaan lada. Seluruh responden yang memiliki usaha lada dan karet menyatakan bahwa pengusahaan karet berdampak terhadap ketersediaan areal tanam mereka. Walaupun demikian, sebagian besar dari mereka tetap memprioritaskan usaha ladanya, karena pengusahaan karet tidak sesulit pengusahaan lada. Sebagian besar responden yang memiliki usaha lada dan kelapa sawit menyatakan bahwa mereka lebih memprioritaskan usaha kelapa sawit mereka. Akan tetapi, hanya sebagian responden yang menyatakan bahwa kelapa sawit mempengaruhi ketersediaan areal tanam lada mereka. Artinya, walaupun responden mendiversifikasikan usaha lada mereka dengan usaha lain, khususnya dengan karet dan kelapa sawit, mereka tetap memiliki produksi lada untuk dijual (ditawarkan). Hal ini membuat peluang usaha lain tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi lada. Akan tetapi, ini hanya berlaku dalam jangka pendek, karena kajian data dalam penelitian ini adalah data cross section (satu tahun) saja. Jika dikaji secara time series atau jangka panjang, maka peluang usaha lain menjadi signifikan pengaruhnya secara negatif terhadap produksi lada. Pada masa yang akan datang, saat tanaman lada sudah tua dan mati (tidak produktif lagi), maka tanaman yang muncul sebagai tanaman utama menggantikan lada adalah karet dan kelapa sawit, yang ditumpangsarikan dengan lada. Akibatnya, produksi lada yang dimiliki 153
responden menjadi berkurang, atau bahkan tidak ada lagi. Jika tanaman karet atau kelapa sawit tersebut ditanam di areal baru yang sebenarnya sesuai untuk ditanamai lada, maka di masa yang akan datang, saat tanaman karet dan kelapa sawit tersebut dewasa dan telah menghasilkan, maka lahan tersebut tidak dapat ditanami lada lagi oleh responden, sehingga produksi lada mereka pun akan menurun, bahkan tidak ada lagi.
6.3.4.3. Pengaruh Teknologi Budidaya Lada Petani Terhadap Produksi Lada Variabel teknologi budidaya lada petani berpengaruh positif (searah) terhadap produksi lada. Hal tersebut sesuai dengan kerangka teoritis yang dibangun. Perbaikan dalam teknologi budidaya yang mencakup perbaikan dalam teknik budidaya lada yang selama ini telah dilakukan petani, serta introduksi teknologi yang lebih modern dalam budidaya lada petani, berdampak pada meningkatnya efisiensi dan produksi lada petani. Teknologi budidaya lada petani memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi lada karena merupakan faktor yang bersentuhan langsung (berhubungan langsung) dengan kegiatan produksi lada oleh petani (on farm), yang mencakup dimensi persiapan lahan sampai panen. Bahkan, variabel teknologi budidaya lada petani juga mencerminkan motivasi dan prioritas petani dalam pengusahaan tanaman ladanya. Petani lada yang masih termotivasi dan memprioritaskan usahatani ladanya tetap berusaha menerapkan teknologi lada yang lebih baik dibandingkan yang tidak. Sebagian besar responden memiliki pengalaman dalam mengusahakan lada karena telah mengusahakannya lebih dari 14 tahun, akan tetapi secara teknis, penerapan teknologi mereka belum sesuai anjuran atau masih rendah. Pengalaman mereka lebih banyak diperoleh secara turun-temurun dan dari sesama petani lada. Padahal, belum tentu teknologi budidaya di masa lalu (yang diterapkan oleh pendahulu responden, misalnya orang tuanya) sesuai untuk diterapkan pada kondisi saat ini. Begitupula dengan pengetahuan teknologi budidaya lada dari petani lada lain, yang belum tentu sesuai untuk diterapkan terhadap petani lada lainnya. Tingkat pendidikan responden yang dominan SD (setingkat), membuat responden kesulitan dalam menerima dan menerapkan introduksi teknologi 154
budidaya yang baru. Rendahnya penerapan teknologi budidaya lada responden juga terlihat dari skor indeks variabel teknologi budidaya lada petani ataupun skor di setiap dimensi, yang sebagian besar masih berada di bawah nilai maksimumnya. Penerapan teknologi budidaya lada yang rendah oleh responden menyebabkan produksi lada mereka pun rendah. Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada perhatian terhadap teknologi budidaya lada petani. Pemerintah, melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sudah melakukan penelitian di bidang ini. Salah satu inovasi yang mereka hasilkan adalah model junjung dari tanaman hidup (junjung hidup). Namun terdapat satu kendala dalam rangka adopsi teknologi budidaya ini. Petani lada tidak sedemikian mudahnya diubah perilaku dan kebiasaannya dalam menerapkan teknologi budidaya tradisional mereka. Misalnya, mengubah penggunaan junjung mati menjadi junjung hidup. Berdasarkan hasil kajian penelitian terdahulu, dibutuhkan waktu yang relatif lama (mencapai 15 tahun) hanya untuk memperkenalkan junjung hidup kepada petani lada, sampai mereka mau mengganti junjung mati dengan junjung hidup tersebut. Oleh sebab itu, perilaku dan pertimbangan masyarakat menjadi pertimbangan yang penting dalam melakukan perbaikan ataupun inovasi teknologi yang baru. Peningkatan pengetahuan petani lada mengenai teknologi budidaya lada yang baik juga dapat dilakukan dengan bantuan PPL (Penyuluh Pertanian Lapang). Keberadaan PPL dibutuhkan untuk mendampingi petani lada yang saat ini menghadapi berbagai permasalahan teknologi budidaya lada, khususnya penanggulangan serangan hama dan penyakit tanaman (seperti penyakit kuning dan busuk pangkal batang). Hal ini disebabkan karena PPL lah orang yang paling mengenal kondisi petani lada serta usaha lada mereka di lapangan. PPL diharapkan mampu memberikan masukan ke petani lada mengenai pemecahan masalah tersebut. Masukan tersebut tidak harus selalu bersumber dari pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh PPL. PPL pun dapat berperan sebagai penghubung antara petani lada dengan pihak-pihak ataupun lembagalembaga yang memiliki kemampuan untuk memecahkan persoalan tersebut.
155
VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, hanya teknologi budidaya lada petani yang berpengaruh signifikan secara positif terhadap produksi lada. Artinya, semakin tinggi tingkat penerapan teknologi budidaya lada petani, maka produksi lada akan meningkat, dan sebaliknya, semakin rendah tingkat penerapan teknologi budidaya lada, maka produksi lada akan menurun. Dengan demikian, disimpulkan bahwa teknologi budidaya lada merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap produksi lada di tingkat petani, dibandingkan harga jual lada, dan adanya peluang usaha lain. Oleh sebab itu, solusi terbaik yang dapat dilakukan adalah memperbaiki dan meningkatkan penerapan teknologi budidaya lada petani di lapangan.
7.2. Saran Perbaikan dan peningkatan penerapan teknologi budidaya lada petani di lapangan dapat berjalan dengan baik, jika didukung oleh kerjasama dari seluruh pihak yang terkait. Pemerintah, baik di pusat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maupun Kabupaten Bangka, dapat lebih memperhatikan aspek teknologi budidaya lada dengan meneliti dan mengembangkan, serta mensosialisasikan teknologi budidaya lada yang efisien dan tepat kepada petani lada secara kontinu, yang meliputi teknologi dalam persiapan lahan, penyediaan bibit, persiapan panjatan (junjung), penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta panen. Salah satunya, seperti teknologi budidaya lada anjuran yang diteliti dan dikembangkan oleh BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang diharapkan mampu menjadi alternatif mengatasi gejolak harga dan alih usaha petani lada, karena dapat mengefisienkan biaya produksi, sehingga saat harga lada rendah pun, petani lada dapat terus mengusahakan lada, serta mempermudah upaya mereka dalam mengusahakan lada. Pemerintah dapat menjadikan PPL (Penyuluh Pertanian Lapang) sebagai sarana mensosialisasikan teknologi budidaya lada yang telah dikembangkan,
kepada petani lada, karena di lapangan PPL lah yang berperan untuk mendampingi petani lada. Para petani lada juga harus mengikuti, memanfaatkan, dan menjalankan hasil pelatihan-pelatihan membudidayakan lada ataupun SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu) untuk tanaman lada oleh pemerintah, dengan baik. Selain itu, pemerintah, baik di pusat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maupun Kabupaten Bangka, dapat memberikan subsidi atas sarana produksi pertanian lada, seperti subsidi bibit unggul dan pupuk, bagi kalangan petani lada. Subsidi tersebut dapat mempermudah petani lada untuk mengakses sarana produksi lada yang dibutuhkan, karena harga yang mereka bayarkan untuk sarana produksi lada tersebut lebih rendah. Hal ini juga akan meningkatkan penerapan teknologi budidaya lada mereka, seperti digunakannya bibit unggul dan pemupukan yang sesuai anjuran.
157
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 27 April 2010. Pertanian (Kemiskinan Tak Bisa Diatasi Sendiri). Kompas. 1 (kolom 3-4) dan 15 (kolom 4-7). Aksi Agraris Kanisius. 1980. Bercocok Tanam Lada. Yogyakarta: Kanisius. [BPS dan BAPPEDA] Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2009. Kepulauan Bangka Belitung dalam Angka 2008. Pangkalpinang: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. ______. 2009. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2008. Pangkalpinang: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. [BPS dan BAPPEDA] Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. 2002. Bangka dalam Angka 2001. Sungailiat: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. ______. 2003. Bangka dalam Angka 2002. Sungailiat: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. [BPS dan BAPPEDA] Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. 2005. Bangka dalam Angka 2004. Sungailiat: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. ______. 2006. Bangka dalam Angka 2005. Sungailiat: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. [BPS dan BAPPEDA] Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. 2007. Bangka dalam Angka 2006. Sungailiat: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. ______. 2008. Bangka dalam Angka 2007. Sungailiat: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka.
[BPS dan BAPPEDA] Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. 2009. Bangka dalam Angka 2008. Sungailiat: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. ______. 2010. Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan dan Jenis Komoditi di Kabupaten Bangka Tahun 2009. Sungailiat: Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. [BPS dan PEMKEC] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka dan Pemerintah Kecamatan Bakam. 2009. BAKAM DALAM ANGKA 2008 (Bakam In Figures 2008). Sungailiat: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka. [BPS dan PEMKEC] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka dan Pemerintah Kecamatan Mendo Barat. 2009. MENDO BARAT DALAM ANGKA 2008 (Mendo Barat In Figures 2008). Sungailiat: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka. [BPS dan PEMKEC] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka dan Pemerintah Kecamatan Riau Silip. 2009. RIAU SILIP DALAM ANGKA 2008 (Riau Silip In Figures 2008). Sungailiat: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka. [Deptan] Departemen Pertanian. 1985. Pedoman Bercocok Tanam Lada. Jakarta: Departemen Pertanian. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan PT. Pusparaya Karsa Perdana. 2009. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka 2010-2030 (Draft Final). Bangka Belitung: Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2009. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2004 sampai dengan 2008. Bangka Belitung: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. ______. 2009. Rekap Volume dan Nilai Realisasi Ekspor Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bangka Belitung: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
159
Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2002. Statistik Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Tahun 2001. Bangka Belitung: Dinas Pertanian, Pekebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. ______. 2004. Statistik Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Tahun 2003. Bangka Belitung: Dinas Pertanian, Pekebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2005. Statistik Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Tahun 2004. Bangka Belitung: Dinas Pertanian, Pekebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. ______. 2006. Statistik Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Tahun 2005. Bangka Belitung: Dinas Pertanian, Pekebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2007. Statistik Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Tahun 2006. Bangka Belitung: Dinas Pertanian, Pekebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. ______. 2008. Statistik Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Tahun 2007. Bangka Belitung: Dinas Pertanian, Pekebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2009. Statistik Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Tahun 2008. Bangka Belitung: Dinas Pertanian, Pekebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. [Ditjenbun Deptan] Direktorat Jendral Perkebunan Departemen Pertanian. 2009. Grand Senario Kebangkitan Kembalinya Kejayaan Lada Indonesia (Workshop Revitalisasi Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tanggal 24-25 Juni 2009). Bangka Belitung: Departemen Pertanian. Edizal. 1998. Analisis ekonomi lada putih muntok dan perdagangan lada putih dunia sebagai usaha peningkatan daya saing lada putih Indonesia di pasar internasional [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Firdaus M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta: PT Bumi Aksara. 160
Gaspersz V. 2000. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gujarati DN. 2007. Dasar-dasar Ekonometrika Jilid 2. Ed 3. Mulyadi JA, Andri Y, penerjemah; Barnadi D, Hardani W, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Essentials of Econometrics. [IPC dan FAO] International Pepper Community dan Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2005. Pepper (Piper Nigrum L.) Production Guide for Asia and The Pacific. Jakarta: International Pepper Community. [IPC] International Pepper Community. 2009. Total Export of Pepper from Producing Countries, 1999-2009* (*Estimate). Jakarta: International Pepper Community. ______. 2009. Total Production of Pepper by Country, 1999-2009* (*Estimate). Jakarta: International Pepper Community. Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Kuncoro M. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Sumiharti Y, Kristiaji WC, editor. Jakarta: Erlangga. Kurniawati Y et al. 2009. Potret pertanian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Laporan hasil studi lapangan ke Provinsi Bangka Belitung 13-17 April 2009 oleh Mahasiswa Program Magister Studi Pembangunan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. 1980. Tanaman Industri. Jakarta: PN Balai Pustaka. Lind DA, Marchal WG, Wathen SA. 2008. Teknik-teknik Statistika dalam Bisnis dan Ekonomi Menggunakan Kelompok Data Global Buku 2. Ed 13. Sungkono C, penerjemah. Jakarta: Salemba Empat. Terjemahan dari: Statistical Techniques in Business and Economics with Global Data Sets, 13th ed. Marwoto PB. 2003. Perkebunan lada rakyat Kabupaten Bangka: ketidakefisienan dan ketidakberdayaan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 161
Mason RD, Lind DA. 1999. Teknik Statistika untuk Bisnis dan Ekonomi Jilid 2. Ed 9. Wikarya U, Soetjipto W, Sugiharso, penerjemah; Sihombing T, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Statistical Techniques in Business and Economics. Nachrowi DN, Usman H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. [Pemda Prov. Kep. Babel] Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2010. LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Pangkalpinang: Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. [Pemda Kab. Bangka] Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka. 2010. LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN BUPATI BANGKA TAHUN 2009. Sungailiat: Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka. [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 2008. Kajian Komoditi Unggulan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bogor: Badan Perencana Pembangunan Daerah dan Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan PKSPL-IPB. Pramesti G. 2009. BUKU PINTAR MINITAB 15. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Purseglove JW, Brown EG, Green CL, Robbins SRJ. 1981. Spices (Tropical Agriculture Series) Volume 1. United States of America: Longman Inc. Rahardja P, Manurung M. 2006. Teori Ekonomi Mikro Suatu Pengantar. Ed 3. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rismunandar. 2007. Lada Budidaya dan Tataniaganya. Jakarta: Penebar Swadaya. Santoso S. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Samuelson PA, Nordhaus WD. 2003. ILMU MIKROEKONOMI. Ed 17. Rosyidah N, Elly A, Carvallo B, penerjemah. Jakarta: PT Media Global Edukasi. Terjemahan dari: MICROECONOMICS 17TH EDITION. Silalahi U. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. 162
Singarimbun M, Effendi S. 2006. Metode Penelitan Survai. Ed Revisi. Jakarta: LP3ES. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. Ed Revisi 2002. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sudarlin. 2008. Analisis daya saing pengusahaan komoditi lada putih (Muntok White Pepper) kasus di Kecamatan Air Gegas, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung [skripsi]. Bogor: Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: ALFABETA. Sukirno S. 1985. Pengantar Teori Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suliyanto. 2005. Analisis Data Dalam Aplikasi Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Sumodiningrat G. Yogyakarta.
2007.
Ekonometrika
Pengantar.
Yogyakarta:
BPFE-
Supranto J. 2001. Statistik: Teori dan Aplikasi Jilid 2. Ed 6. Sumiharti Y, Said A, editor. Jakarta: Erlangga. Suratiyah K. 2008. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Usman H, Akbar RPS. 2003. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara.
163
LAMPIRAN
Lampiran 1. Produksi Lada di Indonesia per Provinsi Tahun 2002-2008 dalam Ton Lokasi Aceh
2002
2003
2004
2005
2006
2008[4]
2007
163
169
151
162
244
252
268
Sumatera Utara
40
75
90
91
86
86
91
Sumatera Barat
211
225
279
253
129
125
133
Riau
108
108
20
22
22
24
25
Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung**) Kepulauan Riau
23
23
18
22
15
30
32
5.452
6.757
2.710
3.601
3.374
3.290
3.498
877
372
3.384
3.470
3.702
3.635
3.866
27.926
23.517
20.211
24.011
21.573
21.592
22.964
32.611,94
31.566
22.140,32
18.273,50
16.292,36
13.856,18
15.671,21
0
0
86
93
36
54
57
Jawa Barat
434
757
682
632
573
643
704
Jawa Tengah
427
486
599
625
956
956
1.046
Yogyakarta
6
8
9
12
18
10
11
Jawa Timur
196
315
289
243
302
302
331
62
128
45
42
56
348
381
5
4
4
4
2
4
5
Banten Bali Nusa Tenggara Barat
8
8
11
11
16
14
16
Nusa Tenggara Timur
13
105
41
45
70
73
87
Kalimantan Barat
2.189
4.529
4.288
4.184
5.272
4.745
5.172
Kalimantan Tengah
5.806
5.534
6.602
5.793
4.395
2.927
3.191
Kalimantan Selatan
487
474
486
467
461
491
535
7.060
7.067
6.957
9.280
9.962
10.337
11.267
15
239
354
331
256
255
278
Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah
159
174
196
202
197
145
159
Sulawesi Selatan
4.538
6.021
4.350
5.182
5.817
5.558
6.080
Sulawesi Tenggara
1.362
2.073
2.863
2.908
3.485
4.167
4.557
Gorontalo
0
[4]
0
0
0
0
0
Sulawesi Barat
0
0
138
239
218
201
220
4[7]
0
2
2
3
9
13
1
5
3
2
3
2
3
Papua Maluku Utara
6
Keterangan: 7] Angka estimasi; 4] Angka sementara; Selainnya angka tetap **) Khusus untuk Provinsi Bangka Belitung angka dari tahun 2002-2008 sudah berupa angka tetap yang bersumber dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sumber: Departemen Pertanian (2009) (Diolah) dan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2009) (Diolah)
[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Produksi http://www.deptan.go.id. [Diakses tanggal 8 Desember 2009]
Lada
Level
Provinsi.
165
Lampiran 2. Perkembangan Produksi Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2007-2008 Berdasarkan Kabupaten dan Kota Luas Areal (Ha) Kabupaten/Kota
2007
Produksi (Ton)
2008
2007
Persentase
2008
Perkembangan
Perkembangan
Produksi
Produksi (%)
Bangka
5.748,00
3.224,18
3.198,30
1.659,22
(−) 1.539,08
(−)
48,12
Bangka Tengah
3.048,00
1.929,00
816,39
821,28
(+)
4,89
(+)
0,60
Bangka Selatan
12.998,00
13.207,40
5.560,00
4.868,34
(−)
691,66
(−)
12,44
Bangka Barat
3.137,00
5.185,00
1.692,00
3.168,63
(+) 1.476,63
(+)
87,27
Belitung
6.873,89
6.547,09
1.572,65
3.645,30
(+) 2.072,65
(+) 131,79
Belitung Timur
4.037,55
3.646,40
1.016,84
1.508,44
(+)
(+)
Pangkalpinang
−
−
−
−
491,60 −
48,35 −
Keterangan: TBM = Tanaman Belum Menghasilkan TM = Tanaman Menghasilkan TT = Tanaman Tua (−) = Penurunan Produksi (+) = Kenaikan Produksi Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2009) (Diolah)
166
Lampiran 3. Kerangka Sampel Petani Lada No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Kecamatan Mendo Barat Desa Air Desa Petaling Desa Kemuja Duren Gumanti H. Abdulrani Jiran Syamsyar M. Tomimi Harun Nasrun Bakhtiar H. Satar Harianto Sarif Abdulah Zakaria Ali Ruzi Bujang Aliswandi Sopian H H. Saripudin Tazman Handri Rosidi Mandri Samsudi − Budawi Fahmi − Ishak Marzuki − Padli M. Rozani − H. Ismail Saimi − Harun H. Usman − Habib A. Hasanudin − M. Harun H. Sopian − Soleh Hasbullah − Arifin Sopini − Hamdani Muslimi − Rosyid Tarmizi − Rosidi Usman − Usman A. Sudi − − M. Sarbini −
Kecamatan Bakam
Kecamatan Riau Silip
Desa Bakam
Desa Dalil
Desa Neknang
Desa Banyu Asin
Pendi Ayub Rozali Yusup Malis Jasman Heri Sudarnadi Dah Anuarsyam Subran Musdar Adnan Sobar Padli Ibrohim Aseh Yazan Nazir L Malis Arum Rosidi Suman Uyub
Rokib H. Azhar M. Ali Sudaryo M. Isa Jauhari Romawi Arwan H. Aliun Yazid A. Rahmi Ahmad Arwis Abdul Rahman Asman M. Arman Arwan Adis Bahak Marzuki Marzuki Sair −
Kasiyanto Ahmat Baharun Yusup Nordin Sairi Sapar Dani Tarmizi Kadir Rosma Irun Amigo Asroni Mahadir Saidon Gozali Sapdi Yusmadi Kadir M. Wasyid Yasak Aswan
H. Junai Kasman Cik Ani Darmawan Junaidi Hutoyo Mansyur Jahromin Abu Bakar H. Solihin Wat Hj. Maria Zulkifli Husein Sosio Winata Zuhud Mahbor Juni Sulaiman Sugeng Watabii −
Desa Silip
Desa Cit
Indra Sukardi Yastrid Mustofa Rohidan Tamrin Zumroni Yusri Ruston Mahadi Sudarmin Rozani Warmansyah Rosidin Sahari Jumadi Sairin Ruslan Komar H. Suhardi
Rozali Jahun Rudi Suri Suki Armin Ripin Saprudin Surut Sunardi Saparli Iskandar Husein Sehni Malik Kasim Bakri M. Yunus H.Sabidin Erwan Markus − −
167
Lampiran 4. Skor Variabel Teknologi Budidaya Lada Petani Tahun 2009 Skor Dimensi Terboboti Responden 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Persiapan Lahan (Bobot 0,1) 0,08 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,04 0,08 0,06 0,06 0,04 0,06 0,06 0,06 0,06 0,08 0,06 0,06 0,04 0,04 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06
Penyediaan Bibit (Bobot 0,16) 0,21 0,21 0,27 0,21 0,27 0,27 0,05 0,21 0,05 0,27 0,05 0,05 0,21 0,21 0,27 0,05 0,27 0,05 0,21 0,05 0,05 0,32 0,27 0,27 0,05 0,05 0,05 0,16 0,27 0,27
Persiapan Panjatan (Bobot 0,1) 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,13 0,13 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,07 0,13 0,10
Penanaman (Bobot 0,07) 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,05 0,04 0,03 0,03 0,04 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,03 0,03 0,04 0,03 0,04 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03
Pemupukan (Bobot 0,2) 0,15 0,15 0,10 0,15 0,15 0,20 0,20 0,20 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,20 0,15 0,20 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15
Pemeliharaan (Bobot 0,12) 0,09 0,09 0,12 0,09 0,12 0,09 0,09 0,09 0,09 0,12 0,06 0,09 0,09 0,09 0,12 0,09 0,12 0,09 0,09 0,09 0,09 0,12 0,12 0,09 0,09 0,09 0,09 0,06 0,12 0,12
Pengendalian Hama & Penyakit (Bobot 0,15)
Panen (Bobot 0,1)
Indeks Variabel
0,15 0,15 0,15 0,15 0,08 0,15 0,15 0,08 0,15 0,15 0,08 0,15 0,15 0,15 0,15 0,08 0,15 0,15 0,15 0,15 0,08 0,15 0,15 0,08 0,08 0,15 0,08 0,08 0,15 0,15
0,15 0,15 0,2 0,10 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,10 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15
0,96 0,94 1,03 0,89 0,96 1,07 0,84 0,92 0,78 1,02 0,70 0,78 0,94 0,92 1,06 0,74 1,08 0,78 1,02 0,79 0,71 1,06 0,97 0,93 0,72 0,78 0,71 0,76 1,06 1,03
168
Lampiran 5. Data Penelitian Responden 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Produksi Lada (Y) (Kg/Ha) 800,00 855,00 970,00 807,50 875,00 1.125,00 760,00 835,00 615,00 960,00 632,50 705,00 855,00 835,00 1.052,50 667,50 1.135,00 705,00 960,00 712,50 640,00 1.010,00 882,50 845,00 647,50 705,00 640,00 565,00 975,00 970,00
Harga Jual Lada di Tingkat Petani (X1) (Rp/Kg) 37.000 40.000 42.000 38.000 40.000 39.000 41.000 39.000 40.000 38.000 35.000 40.000 38.000 37.000 40.000 38.000 41.500 39.000 41.500 38.000 38.000 40.000 42.000 41.000 38.000 38.000 39.000 38.000 41.000 39.000
Peluang Usaha Lain (X2) 1,50 3,00 2,50 1,50 3,00 1,50 2,50 1,50 5,50 1,00 3,00 5,00 3,00 1,50 2,50 4,50 2,00 4,50 4,50 3,00 2,00 1,50 3,50 4,50 2,00 3,00 2,50 3,00 3,50 3,00
Teknologi Budidaya Lada Petani (X3) 0,96 0,94 1,03 0,89 0,96 1,07 0,84 0,92 0,78 1,02 0,70 0,78 0,94 0,92 1,06 0,74 1,08 0,78 1,02 0,79 0,71 1,06 0,97 0,93 0,72 0,78 0,71 0,76 1,06 1,03
169
Lampiran 6. Rangkuman Hasil Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda
No
Uji Variabel
Variabel
α
R2
r
thitung 1. 2.
Uji individu
3. 4.
Uji global (Bersamaan)
Uji F
Uji t-student
(Uji Global)
Sig.
Fhitung
Sig.
Harga Jual Lada di Tingkat Petani (X1)
−
−
10%
0,741
0,465
−
−
Peluang Usaha Lain (X2)
−
−
10%
-1,209
0,237
−
−
Teknologi Budidaya Lada Petani (X3)
−
−
10%
11,983
0,000
−
−
0,962
92,5%
10%
−
−
107,213
0,000
X1, X2, X3 (Bersamaan/sekaligus)
170
Lampiran 7.
Model 1
Hasil Perhitungan Uji Multikolinearitas Model Regresi Linear Berganda Coefficients(a) Collinearity Statistics Tolerance ,500 ,618 ,503
X1 X2 X3 a Dependent Variable: Y
Model 1
Coefficient Correlations(a) X3 Correlations
Covariances
VIF 1,999 1,618 1,987
X2
X1
X3
1,000
,563
-,668
X2
,563
1,000
-,566
X1
-,668
-,566
1,000
X3
8510,795
470,508
-,442
X2
470,508 -,442
82,124 -,037
-,037 5,126E-05
X1 a Dependent Variable: Y
171
Lampiran 8. Hasil Perhitungan Uji Normalitas Model Regresi Linear Berganda
12 Series: Residuals Sample 1 30 Observations 30
10 8
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6 4 2
Jarque-Bera Probability
0 -100
-50
0
50
-3.07E-13 -7.013044 96.73700 -98.81354 42.96603 -0.076751 3.707775 0.655635 0.720494
100
172
Lampiran 9. Hasil Perhitungan Uji Heteroskedastisitas Model Regresi Linear Berganda White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.946200 8.959030
Probability Probability
0.509096 0.441065
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 10/14/10 Time: 21:56 Sample: 1 30 Included observations: 30 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C X1 X1^2 X1*X2 X1*X3 X2 X2^2 X2*X3 X3 X3^2
122165.8 -0.814582 -6.82E-05 1.424549 2.439833 -27472.28 -1434.339 -22651.73 -149794.9 65336.06
301144.1 19.78202 0.000352 1.072201 8.413128 28237.55 1008.849 12365.82 244081.3 72363.77
0.405672 -0.041178 -0.193677 1.328622 0.290003 -0.972899 -1.421759 -1.831801 -0.613709 0.902884
0.6893 0.9676 0.8484 0.1989 0.7748 0.3422 0.1705 0.0819 0.5463 0.3773
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.298634 -0.016980 3011.976 1.81E+08 -276.7967 1.897466
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
1784.544 2986.725 19.11978 19.58685 0.946200 0.509096
173
Lampiran 10.
Hasil Perhitungan Uji Autokorelasi Model Regresi Linear Berganda
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
1.131331 2.584652
Probability Probability
0.339211 0.274631
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 10/14/10 Time: 21:58 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C X1 X2 X3 RESID(-1) RESID(-2)
25.90780 -0.002077 0.955968 58.92384 0.329861 -0.138094
223.0919 0.007302 9.041575 100.3045 0.223874 0.204719
0.116131 -0.284406 0.105730 0.587450 1.473421 -0.674557
0.9085 0.7785 0.9167 0.5624 0.1536 0.5064
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.086155 -0.104229 45.14970 48923.90 -153.5205 1.865866
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-3.07E-13 42.96603 10.63470 10.91494 0.452532 0.807251
174
Lampiran 11. Rangkuman Hasil Uji t-student (Uji Individu) Hipotesis Dua Arah dari Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda No
Uji Variabel
Variabel Dependen
1. 2. 3.
Sig.
α
Kriteria Uji
Kesimpulan
0,741
0,465
10%
Sig. > α
Tidak Signifikan
Peluang Usaha Lain (X2)
-1,209
0,237
10%
Sig. > α
Tidak Signifikan
Teknologi Budidaya Lada Petani (X3)
11,983
0,000
10%
Sig. < α
Signifikan
Variabel Independen Harga Jual Lada di Tingkat Petani (X1)
Uji individu
Produksi lada (Y)
thitung
175
Lampiran 12. Rangkuman Hasil Uji F (Uji Global) Hipotesis Dua Arah dari Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda No
Uji Variabel
1.
Uji global (Bersamaan)
Variabel Dependen Produksi lada (Y)
Variabel Independen X1, X2, X3 (Bersamaan/sekaligus)
r
R2
α
Fhitung
Sig.
Kriteria Uji
Kesimpulan
0,962
92,5%
10%
107,213
0,000
Sig. < α
Signifikan
176
Lampiran 13. Pengusahaan Lada oleh Responden di Kabupaten Bangka
1
2
3
Gambar 1: Penanaman lada dengan tiang panjat (junjung) mati. Gambar 2: Buah lada dengan tingkat kematangan yang sesuai untuk dipanen dan diolah menjadi lada putih. Gambar 3: Pengeringan buah lada setelah terlebih dahulu direndam dan dikelupas kulitnya.
177
Lampiran 14. Perbandingan Prioritas Pengusahaan Tanaman Lada dan Kelapa Sawit serta Lada dan Karet oleh Responden di Kabupaten Bangka
Gambar A: Tanaman lada dan kelapa sawit (tanaman kelapa sawit lebih diprioritaskan, sehingga tanaman lada kurang subur [lihat bagian yang dilingkari]). Gambar B: Tanaman lada dan karet (tanaman lada masih diprioritaskan, sehingga tumbuh subur [lihat bagian yang dilingkari]).
178
Lampiran 15. Dampak Pengusahaan Tanaman Karet dan Kelapa Sawit Terhadap Ketersediaan Areal Tanam Lada oleh Responden di Kabupaten Bangka Gambar 1 dan 2: Pengusahaan karet secara tidak langsung mengurangi luas areal tanam lada (bagian yang dilingkari merupakan tanaman karet yang ditumpangsarikan dengan lada).
1
2 Gambar 3 dan 4: Pengusahaan kelapa sawit secara tidak langsung mengurangi luas areal tanam lada (bagian yang dilingkari merupakan tanaman kelapa sawit yang ditumpangsarikan dengan lada).
3
4
179
Lampiran 16. Contoh Rendahnya Penerapan Teknologi Budidaya Lada oleh Responden di Kabupaten Bangka
1
2
3 Gambar 1: Pengolahan lahan tradisional. Gambar 2: Kurangnya pengendalian terhadap penyakit busuk pangkal batang (lihat bagian yang dilingkari). Gambar 3: Kurangnya pengendalian terhadap penyakit kuning (lihat bagian yang dilingkari). Gambar 4: Kurangnya pemeliharaan kebun lada (penyiangan terhadap gulma).
4
5
Gambar 5: Saluran drainase yang kurang pemeliharaan, sehingga dapat menghambat sirkulasi air di kebun.
180