ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN PEMERINTAH SEKTOR KESEHATAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012-2014
SKRIPSI Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Universitas Negeri Semarang
Oleh Eka Dian Puspitasari NIM 7111412076
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016
i
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang pada : Hari
: Jum’at
Tanggal
: 19 Agustus 2016
Penguji I
Penguji II
Prof. Dr. Etty Soesilowati, M.Si. Dr. Eko Prasetyo, M.Si. NIP. 196304181989012001
Penguji III
Dr. Amin Pujiati, M.Si.
NIP. 196801022002121003 NIP. 196908212006042001
iii
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Eka Dian Puspitasari
NIM
: 7111412076
Tempat, Tanggal Lahir
: Demak, 01 Januari 1994
Alamat
: Ds. Jatirejo Rt. 02 Rw. 01 Kec. Karanganyar Kab. Demak
menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila di kemudian hari terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi dengan ketentuan yang berlaku.
Semarang, Juni 2016
Eka Dian Puspitasari NIM 7111412076
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto “Learn From Yesterday, Live From Today, And Hope For Tomorrow” (Albert Eistein). Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Q.S Al Insyirah : 56).
Persembahan Dengan penuh rasa syukur pada Allah SWT atas segala karunia-Nya, skripsi ini kupersembahkan untuk : 1.
Kedua orang tuaku, Ibu Sulastri dan Bapak
Naseran
yang
senantiasa
memberikan dukungan, doa, dan semangat. 2.
Adik-adik ku tercinta Eva Ria Safitri, Adi Prayogo, dan Indra Kusuma.
3.
Almamater Semarang.
v
Universitas
Negeri
PRAKATA Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 20122014”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Penyusun menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, saran, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, penyusun menyampaikan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada : 1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Dr. Wahyono, M. M., Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. 3. Lesta Karolina Br Sebayang, S.E., M.Si, Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Semarang. 4. Dosen Pembimbing Dr. Amin Pujiati, S.E., M.Si, yang senantiasa dengan sabar memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dan kritik yang bersifat membangun selama penyusunan skripsi. 5. Dosen Wali Dr. Y. Titik Haryati,. M.Si, yang selalu memberikan saran dan motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Negeri Semarang. 6. Prof. Dr. Etty Soesilowati, M.Si., selaku dosen Penguji I yang telah menguji dan memberikan arahan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. vi
7. Dr. P. Eko Prasetyo, M.Si., selaku dosen Penguji II yang telah menguji dan memberikan arahan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 8. Seluruh dosen yang telah menyalurkan ilmunya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. 9. Keluarga tercinta untuk kedua orang tua dan adik-adik saya yang telah senantiasa mendoakan dan memotivasi sehingga tersusunnya skripsi ini. 10. Teman-teman seperjuanganku Ekonomi Pembangunan B angkatan 2012 yang telah memberikan masukan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 11. Sahabat-sahabatku tercinta keluarga besar Kos Tiara Putri serta teman-teman KKN Jelly Nongkosawit yang telah mengukir kisah baru persahabatan. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam rangka penyusunan skripsi ini. Penulis hanya dapat mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang lebih baik kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis serta bagi pembaca.
Semarang, Juni 2016
Penulis
vii
SARI Puspitasari, Eka Dian. 2016. “Analisis Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014”. Skripsi. Jurusan Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing. Dr. Amin Pujiati, S.E., M.Si. Kata Kunci: Efisiensi, Belanja Kesehatan, Data Envelopment Analysis. Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara. Pemerintah telah mengatur anggaran kesehatan minimal 10 persen dari total anggaran belanja daerah yang tersedia. Namun, besarnya belanja kesehatan ini belum bisa diimbangi dengan pencapaian derajat kesehatan yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis tingkat efisiensi teknis biaya belanja dan teknis sistem pelayanan kesehatan serta target perbaikan agar mencapai efisien di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. Penelitian ini menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dengan bantuan software Banxia Frontier Analysis versi 3.2.2. Pengukuran ini akan menghasilkan nilai efisiensi secara relatif. Penelitian ini menggunakan belanja kesehatan sebagai variabel input, fasilitas dan layanan kesehatan sebagai variabel output intermediate serta variabel derajat kesehatan sebagai variabel output. Penggunaan variabel output intermediate dimaksudkan untuk mengakomodir hubungan tidak langsung antara variabel input dan output. Asumsi yang digunakan adalah Variable Return to Scale (VRS) dan model orientasi output (output oriented). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara efisiensi teknis biaya, hanya sebanyak 5 kabupaten/kota (14,3%) telah mencapai efisiensi 100 persen. Sementara secara teknis sistem hanya 11 kabupaten/kota (31,4%) yang telah mencapai kondisi efisien. Artinya sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah masih belum efisien dalam penggunaan belanja sektor kesehatan. Saran yang bisa diberikan adalah bagi kabupaten/kota yang telah efisien sebaiknya tetap mengawasi dan mengevaluasi belanjanya sehingga pemborosan dapat dinimalisir. Sedangkan untuk kabupaten/kota yang belum efisien dapat melakukan target perbaikan (potential improvement) pada input dan outputnya serta melakukan benchmarking ke daerah-daerah yang telah mencapai kondisi efisien.
viii
ABSTRACT Puspitasari, Eka Dian. 2016. “Government Spending Efficiency Analysis Health Sector in Central Java province Years 2012-2014". Final Project. Department of Economic Development. Economics Faculty. Semarang State University. Advisor. Dr. Amin Pujiati, S.E., M.Sc. Keywords : Efficiency, Budget Spending on Health, Data Envelopment Analysis. Health is one of important factor in the success of the economic development of a country. The Government has set the health budgets of at least 10 percent of the total budget available area. However, the amount of health budget could not be offset by the achievement of optimal health status. This study aims to analyze the level of technical efficiency costs in the health and care system and to know improvement target in order to achieve the efficiency in Central Java province in 2012-2014. This study uses Data Envelopment Analysis (DEA) method with Banxia Frontier Analysis version 3.2.2 software. These measurements will yield a value relative efficiency. The study using health budget as input variables, facilities and health services as intermediate output variable, as well as degree of health variables as outcomes variable. The use of intermediate output variable is intended to accommodate an indirect relationship between the input and outcomes variable. The assumption used is: Variable Return to Scale (VRS) and the orientation of the model output (output oriented). The results shows that the cost of technical efficiency, just a much as 5 districts (14,3%) had achieved an efficiency of 100 percent. While technically the system only 11 districts (31,4%) who have achieved an efficient condition. This means the most districts in Central Java province still not efficient in the use of health sector budget. Advice that can be given is to districts that have efficient is they should continue monitoring and evaluating their budget so that waste can be minimalized. As for the districts that have not been efficient is they can make improvement target (potential improvement) to the input and output as well as benchmarking to the regions which have achieved efficient condition.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iii PERNYATAAN ............................................................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... v PRAKATA ....................................................................................................... vi SARI................................................................................................................. viii ABSTRACT ..................................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1. 1 Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 1. 2 Rumusan Masalah ....................................................................... 13 1. 3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 13 1. 4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 14
BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................... 15 2.1 Pengeluaran Pemerintah ............................................................. 15 2.1.1 Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ......................................................................... 17 2.1.2 Hukum Wagner Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ......................................................................... 18 2.1.3 Teori Peacock dan Wiseman ............................................. 19 2.2 Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah ........................................... 21 2.3 Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan ................................ 24 2.4 Aspek Kesehatan dalam Kajian Ilmu Ekonomi .......................... 27
x
2.5 Pengukuran Kinerja, Hasil, dan Indikator dalam Kesehatan ...... 28 2.6 Konsep Efisiensi ......................................................................... 30 2.7 Pengukuran Efisiensi dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA).......................................................................................... 34 2.8 Penelitian Terdahulu ................................................................... 38 2.9 Kerangka Berpikir ....................................................................... 42
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 45 3.1 Jenis dan Desain Penelitian......................................................... 45 3.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................ 45 3.3 Definis Operasional Variabel Penelitian..................................... 46 3.4 Metode Pengumpulan Data ......................................................... 51 3.5 Metode Analisis Data.................................................................. 51
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 56 4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah ................................... 56 4.1.1 Letak Geografis dan Pemerintahan ................................... 56 4.1.2 Kepadatan Penduduk ......................................................... 56 4.2 Belanja Sektor Kesehatan ........................................................... 58 4.3 Fasilitas dan Layanan Kesehatan ................................................ 60 4.4 Kondisi Derajat Kesehatan Masyarakat ...................................... 66 4.4.1 Angka Kematian (Mortalitas) ............................................ 66 4.4.1.1 Angka Kematian Bayi (AKB) ............................... 67 4.4.1.2 Angka Kematian Ibu (AKI) ................................... 68 4.4.2 Angka Harapan Hidup ....................................................... 70 4.5 Hasil Penelitian ........................................................................... 71 4.5.1 Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan ........................ 72 4.5.2 Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan .................. 77 4.5.3 Target Perbaikan Input dan Output untuk mencapai kondisi Efisien ................................................................................ 81 4.6 Pembahasan ................................................................................ 101
xi
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 108 5.1 Simpulan ..................................................................................... 108 5.2 Saran ........................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 110 LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 113
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2012-2014 (dalam juta rupiah) .......................................... 5 Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ..................................................................... 38 Tabel 3.1 Kriteria Ukuran Tingkat Efisiensi Teknis Belanja Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah. ............................................. 54 Tabel 4.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Per kapita Berdasarkan Kabupaten /Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 ...... 59 Tabel 4.2 Rasio Puskesmas dan Rasio Tempat Tidur yang tersedia di Rumah Sakit di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 ............ 63 Tabel 4.3 Rasio Jumlah Bidan per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 ............................................................. 65 Tabel 4.4 Hasil perhitungan Efisiensi Teknis Biaya belanja sektor kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. .................................. 74 Tabel 4.5 Hasil perhitungan Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan sektor kesehatan pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014...................................................................................... 78
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Diagram Proporsi APBD Menurut Fungsi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014 ........................................................... 7 Gambar 1.2 Grafik perkembangan belanja sektor kesehatan dalam APBD menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 ................................................................................... 8 Gambar 1.3 Diagram Angka Kematian Bayi Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 ........................................................... 10 Gambar 1.4 Diagram Angka Kematian Ibu Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ......................................................................... 11 Gambar 1.5 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................................... 12 Gambar 2.1 Kurva Hukum Aktivitas Pemerintah yang Selalu Meningkat .... 19 Gambar 2.2 Kerangka Berpikir....................................................................... 43 Gambar 4.1 Jumlah Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2) berdasarkan kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 ................ 57 Gambar 4.2 Diagram Angka Kematian Bayi rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ......................................................................... 68 Gambar 4.3 Diagram Angka Kematian Ibu rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ......................................................................... 69 Gambar 4.4 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................................... 71
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................. 113 Lampiran 2 Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................................... 114 Lampiran 3 Data Jumlah Puskesmas dan Tempat Tidur Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ........................ 115 Lampiran 4 Data Jumlah Tenaga Bidan Tersedia Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................. 116 Lampiran 5 Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 .............. 117 Lampiran 6 Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 .............. 118 Lampiran 7 Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 .............. 119 Lampiran 8 Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 ................................. 120 Lampiran 9 Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 ................................. 121 Lampiran 10 Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 ................................. 122 Lampiran 11 Data Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ..................................... 123 Lampiran 12 Data Rasio Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................. 124 Lampiran 13 Data Rasio Angka Kematian Ibu Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................. 125 Lampiran 14 Rasio Angka Bayi Hidup (ABH) Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................. 126 Lampiran 15 Rasio Angka Ibu Melahirkan Selamat (AIMS) Menurut
xv
Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014..... 127 Lampiran 16 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2012................................................................................... 128 Lampiran 17 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2013................................................................................... 129 Lampiran 18 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2014................................................................................... 130 Lampiran 19 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan tahun 2012................................................................................... 131 Lampiran 20 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2013................................................................................... 132 Lampiran 21 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2014................................................................................... 133 Lampiran 22 Hasil Perhitungan Perbaikan Variabel Input Output dalam Mencapai Efisiensi Teknis Biaya dan Efisiensi Teknis Sistem Belanja Sektor Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014................................................................................... 134
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang Pembangunan
ekonomi
selalu
ditujukan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Pembangunan ekonomi yang terus meningkat, tidak hanya dilihat dari aspek kuantitas saja, melainkan yang jauh lebih penting adalah aspek kualitas. Sumber daya yang berkualitas berperan penting dalam proses peningkatan pembangunan ekonomi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia akan ditentukan oleh status kesehatan, pendidikan, dan tingkat pendapatan perkapita (Mulyadi, 2003:2-3). Kesehatan ini menjadi salah satu investasi penting dalam pembangunan ekonomi. Masalah kesehatan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut UU No. 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Melalui pembangunan di bidang kesehatan diharapkan akan semakin meningkatkan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh semua lapisan masyarakat secara memadai (Dinas Kesehatan, 2016). Kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) yang telah disepakati oleh hampir 200 pemimpin dunia pada akhir tahun 2000 di New York, menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari negara-negara yang menyetujui
1
2
kesepakatan tersebut. MDGs berisi delapan butir tujuan yang harus diupayakan dan dapat dicapai pada tahun 2015. Adapun delapan butir tujuan tersebut diantaranya: 1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; 2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4. Menurunkan angka kematian anak; 5. Meningkatkan kesehatan ibu; 6. Memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; 7. Kelestarian lingkungan hidup; 8. Membangun kemitraan global dalam pembangunan. Sasaran strategis Kementrian Kesehatan yang juga menjadi prioritas dalam pembangunan kesehatan tahun 2010-2014 yaitu meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat. Pembangunan kesehatan yang diarahkan pada tersedianya akses dasar yang murah dan terjangkau terutama pada kelompok menengah ke bawah guna mendukung pencapaian Millennium Development Goals (MDGs). Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, pencapaian tujuan-tujuan MDGs bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya, jumlah penduduk miskin yang cukup besar, angka kematian bayi dan balita masih tinggi, degradasi lingkungan hidup, serta rendahnya rata-rata kesehatan ibu, terutama di daerah pedesaan masih relatif rendah (Supiati, 2014).
3
Kondisi pembangunan kesehatan secara umum dapat dilihat dari pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang meliputi angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, prevalensi gizi kurang dan angka harapan hidup. Pencapaian derajat kesehatan masyarakat ini berhubungan langsung dengan beberapa tujuan MDGs khususnya pada butir keempat, lima dan enam. Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi (15/02/14) mengatakan bahwa: Angka kematian ibu melahirkan dan kematian bayi yang dilahirkan masih tinggi. Hal itu disebabkan karena persalinan masih banyak dilakukan di rumah. Tingginya tingkat kematian bayi dan ibu saat melahirkan di Indonesia menjadi perhatian yang serius. Angka kematian ibu melahirkan dan kematian bayi sudah mulai turun perlahan, namun masih terbilang tinggi. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya pencapaian derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan (Atmawikarta, 2005). Semakin besar belanja sektor kesehatan, maka semakin baik derajat kesehatan masyarakat. Adapun pembiayaan untuk sektor kesehatan di Indonesia diperoleh dari 3 (tiga) sumber utama. Sekitar 65% berasal dari swasta dan 75% berupa biaya yang dikeluarkan dari kantong sendiri (out of pocket). Kurang dari 2% berasal dari bantuan asing, dan sisanya dibiayai dari pendapatan pemerintah (Supiati, 2014). Diberlakukannya Undang-Undang tentang otonomi daerah tahun 1999 telah berdampak pada kebijakan kesehatan yang diatur oleh daerah masingmasing. Hal ini menyebabkan munculnya otonomi yang lebih luas dari pemerintah daerah sehingga diberikan kewenangan yang cukup besar untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri. Wujud nyata adanya otonomi daerah adalah dalam hal pembiayaan kesehatan terlihat dari besarnya anggaran belanja
4
yang dialokasikan pemerintah pusat untuk membiayai kebutuhan daerahnya masing-masing. Salah satunya adalah alokasi anggaran belanja pemerintah sektor kesehatan. Belanja kesehatan (WHO, 2002) merupakan sekumpulan dana yang penggunaannya untuk membiayai kegiatan kesehatan yang dilakukan secara langsung serta memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat baik dalam lingkungan kabupaten, provinsi maupun negara. Pemerintah telah mengatur anggaran kesehatan dalam UU No 36 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa besar anggaran kesehatan pemerintah pusat dialokasikan minimal 5 persen dari APBN di luar gaji, sementara besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan minimal 10 persen dari APBD di luar gaji. Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi ketiga dengan rata-rata jumlah penduduk terbanyak sebesar 33,35 juta jiwa atau sekitar 13,58 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2012-2014. Jumlah penduduk ini tersebar di 29 Kabupaten dan 6 Kota di Provinsi Jawa Tengah. Besarnya jumlah penduduk ini secara tidak langsung akan mempengaruhi pengeluaran pemerintah daerah, salah satunya adalah belanja sektor kesehatan. Berikut disajikan besarnya anggaran belanja kesehatan menurut provinsi yang ada di Indonesia yang terangkum dalam Rekap APBD tahun 2012-2014 :
5
Tabel 1.1 Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2012-2014 (dalam juta rupiah) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Provinsi Prov Aceh Prov. Sumatera Utara Prov. Sumatera Barat Prov. Riau Prov. Jambi Prov. Sumatera Selatan Prov. Bengkulu Prov. Lampung Prov. DKI Jakarta Prov. Jawa Barat Prov. Jawa Tengah Prov. DI Yogyakarta Prov. Jawa Timur Prov. Kalimantan Barat Prov. Kalimantan Tengah Prov. Kalimantan Selatan Prov. Kalimantan Timur Prov. Sulawesi Utara Prov. Sulawesi Tengah Prov. Sulawesi Selatan Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Bali Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Maluku Prov. Papua Prov. Maluku Utara Prov. Banten Prov. Bangka Belitung Prov. Gorontalo Prov. Kepulauan Riau Prov. Papua Barat Prov. Sulawesi Barat
Anggaran Kesehatan 2012 2013 2014 895.106 886.579 1.090.269 263.492 297.944 401.700 3 12.823 354.437 439.149 418.376 540.024 560.999 188.793 252.248 352.748 266.016 176.955 269.582 194.108 219.206 226.135 330.626 391.229 393.870 3.344.062 4.634.051 532.646 443.864 572.856 973.038 1.248.836 1.625.098 127.525 169.184 160.131 1.838.068 2.070.310 2.256.644 231.218 298.337 323.899 151.268 189.191 210.003 485.830 689.024 1.021.096 808.380 1.155.524 965.769 96.126 122.589 176.891 166.022 179.235 203.524 329.489 340.656 395.938 136.643 135.946 449.107 677.394 196.945 227.398 393.320 165.695 177.060 198.570 117.980 159.331 200.768 575.941 672.966 649.772 70.851 94.442 117.990 228.645 382.842 395.491 62.167 86.154 132.090 30.156 54.612 129.556 89.851 125.661 237.984 87.962 82.906 172.643 39.970 50.404 77.636
Sumber : Rekap APBD klasifikasi fungsi menurut provinsi tahun 2012Berdasarkan 2014, diolah. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa realisasi belanja kesehatan
6
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa belanja kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012-2014 mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2012 besarnya belanja kesehatan sebesar Rp.937 milyar rupiah, kemudian secara berturut-turut mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2014 besarnya belanja kesehatan mampu mencapai sebesar Rp.1.625 milyar rupiah. Provinsi dengan belanja kesehatan tertinggi dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp.4.634 milyar rupiah. Sedangkan provinsi dengan belanja kesehatan terkecil dimiliki oleh Provinsi Sulawesi Barat sebasar Rp.77 milyar rupiah. Secara umum belanja kesehatan di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya selama periode penelitian. Bahkan pada tahun 2014 Provinsi Jawa Tengah menempati posisi ke tiga (3) besaran belanja kesehatan tertinggi dari 33 provinsi di Indonesia. Peringkat ini berada di bawah Provinsi DKI Jakarta dengan besarnya belanja kesehatan sebesar Rp.4.634 milyar rupiah dan Provinsi Jawa Timur sebesar Rp.2.256 milyar rupiah. (Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2015). Berdasarkan Gambar 1.1 jika dilihat dari total APBD Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2014 sebesar Rp.13.997 milyar rupiah. Belanja kesehatan menempati porsi kedua sebesar Rp.1.625 milyar rupiah, atau 12% di bawah belanja pelayanan umum sebesar Rp.9.234 milyar rupiah atau 66% dari total APBD Provinsi Jawa Tengah. Ini membuktikan bahwa belanja kesehatan menjadi salah
satu
prioritas
Pemerintah
Provinsi
Jawa
Tengah,
karena
telah
mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 12% dari APBD di luar gaji. Dan telah sesuai dengan ketentuan bahwa besar alokasi anggaran kesehatan untuk
7
pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota minimal 10% dari total APBD diluar gaji. Berikut disajikan diagram proporsi APBD menurut fungsi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014. Lingkungan Pendidikan Perlindungan Hidup 2% Sosial 0% Perumahan dan Pariwisata dan Budaya 2% Ekonomi Fasilitas Umum 1% 9% 8% Ketertiban dan Ketentraman 1%
Kesehatan 12%
Pelayanan Umum 66%
Gambar 1.1 Diagram Proporsi APBD Menurut Fungsi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014. Sumber: APBD Kabupaten/Kota Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015, diolah. Implementasi otonomi daerah dan sistem desentralisasi telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Harapannya adalah pemerintah daerah lebih tau kondisi dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Sejak diterapkannya sistem desentralisasi fiskal, pemerintah daerah lebih terkonsentasi pada daerah dalam mengatur urusan pengeluaran per sektor. Besarnya komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan layanan publik melalui pengeluaran belanja tampak dari alokasi pengeluaran belanja
8
pemerintah daerah. Efisiensi dalam pengeluaran belanja pemerintah daerah didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika tidak mungkin lagi realokasi sumber daya yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, efisiensi pengeluaran belanja pemerintah daerah diartikan setiap rupiah yang
dibelanjakan
oleh
pemerintah
daerah
menghasilkan
kesejahteraan
masyarakat yang optimal (dalam Kurnia, 2006). Data dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, dalam rekap APBD menunjukkan bahwa secara umum kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah memiliki trend belanja kesehatan yang cenderung meningkat pada tahun 20122014.
Kota Tegal Kota Surakarta Kota Semarang Kota Salatiga Kota Pekalongan Kota Magelang Kab. Wonosobo Kab. Wonogiri Kab. Temanggung Kab. Tegal Kab. Sukoharjo Kab. Sragen Kab. Semarang Kab. Rembang Kab. Purworejo Kab. Purbalingga Kab. Pemalang Kab. Pekalongan Kab. Pati Kab. Magelang Kab. Kudus Kab. Klaten Kab. Kendal Kab. Kebumen Kab. Karanganyar Kab. Jepara Kab. Grobogan Kab. Demak Kab. Cilacap Kab. Brebes Kab. Boyolali Kab. Blora Kab. Batang Kab. Banyumas Kab. Banjarnegara
900,000 800,000 700,000 600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 0
2012
2013
2014
Gambar 1.2 Grafik perkembangan belanja sektor kesehatan dalam APBD menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 Sumber: APBD Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014, diolah. Terlihat pada Gambar 1.2. menunjukkan bahwa belanja kesehatan pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama periode penelitian cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sebanyak 14
9
daerah mengalami pertumbuhan belanja kesehatan dengan rata-rata pertumbuhan di atas rata-rata provinsi. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki rata-rata pertumbuhan paling kecil adalah Kota Pekalongan. Asumsinya dengan tren belanja kesehatan yang cenderung meningkat setiap tahunnya, harusnya dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Tengah dan ketentuan WHO, ditinjau dari aspek derajat kesehatan masyarakat. Indikator yang dinilai paling peka dan telah disepakati secara nasional sebagai ukuran derajat kesehatan suatu wilayah adalah Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Ibu (AKI). Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa AKB rata-rata pada 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 20122014 sebesar 10,78 per 1000 kelahiran bayi hidup. Berdasarkan Gambar 1.3 diatas dapat diketahui sebanyak 15 kabupaten/kota masih memiliki AKB lebih tinggi daripada AKB rata-rata provinsi. AKB rata-rata tertinggi terdapat di Kabupaten Rembang sebanyak 15,87 per 1000 kelahiran bayi hidup, diikuti Kabupaten Banjarnegara dengan 15,79 per 1000 kelahiran bayi hidup. Adapun AKB rata-rata terendah berhasil dicapai oleh Kota Surakarta dengan capaian AKB sebesar 4,11 per 1000 kelahiran bayi hidup. Ini menunjukkan sebagian daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah masih mengalami masalah angka kematian (Mortalitas).
10
10,78
Rembang Banjarnegara Blora Temanggung Kota Magelang Grobogan Batang Purworejo Kota salatiga Kota tegal Brebes Wonosobo Kota… Semarang Purbalingga Provinsi Cilacap Pati Sukoharjo Banyumas Kebumen Karanganyar Klaten Kota semarang Boyolali Kendal Pekalongan Pemalang Jepara Sragen Tegal Magelang Kudus Wonogiri Demak Kota surakarta
18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
Gambar 1.3 Diagram Angka Kematian Bayi Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015, diolah.
Indikator mortalitas yang selanjutnya adalah Angka Kematian Ibu (AKI). Ditinjau dari penjelasan Gambar 1.4. diatas dapat diketahui bahwa jumlah kasus AKI rata-rata selama tahun 2012-2014 di Provinsi Jawa Tengah tercatat sebanyak 14 daerah kabupaten/kota masih melebihi AKI rata-rata Provinsi sebesar 119,16 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI rata-rata tertinggi dicapai oleh Kabupaten Pekalongan yang besarnya mencapai 202,22 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup, diikuti oleh Kabupaten Brebes dengan 184,22 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Adapun AKI rata-rata terendah berhasil dicapai oleh Kota Surakarta dengan AKI sebesar 53,31 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Beberapa daerah yang mengalami peningkatan AKI selama tahun 20122014 yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan. Hal ini juga menunjukkan bahwa
11
sebagian daerah di Provinsi Jawa Tengah masih mengalami masalah angka kematian ibu.
250.00 200.00 150.00
117,93
100.00
0.00
Pekalongan Brebes Kota tegal Rembang Batang Tegal Grobogan Kota salatiga Pemalang Purbalingga Kudus Kendal Banjarnegara Pati Provinsi Banyumas Cilacap Klaten Semarang Kota Magelang Blora Purworejo Karanganyar Sragen Jepara Kota semarang Wonosobo Temanggung Wonogiri Boyolali Kota… Demak Sukoharjo Magelang Kebumen Kota surakarta
50.00
Gambar 1.4 Diagram Angka Kematian Ibu Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015, diolah. Salah satu indikator yang mempresentasikan aspek kesehatan yaitu Angka Harapan Hidup (AHH). AHH merupakan salah satu tolok ukur derajat kesehatan masyarakat. AHH yang semakin meningkat mengindikasikan bahwa derajat kesehatan masyarakat yang semakin membaik. Pencapaian AHH di Provinsi Jawa Tengah selama periode penelitian (2012-2014) mengalami peningkatan. Meskipun terjadi peningkatan setiap tahunnya, namun sebanyak 18 daerah nilai rata-rata AHH kabupaten/kota masih berada di bawah rata-rata AHH provinsi Jawa Tengah sebesar 72,1 tahun. Angka AHH tertinggi dicapai oleh Kabupaten Karanganyar dengan angka harapan hidup penduduknya mencapai usia 73,9 tahun, sedangkan angka harapan hidup terendah dicapai oleh Kabupaten Brebes dengan angka harapan hidup penduduknya mencapai usia 68,2 tahun.
12
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota… Kota tegal Provinsi
75.0 74.0 73.8 73.5 73.7 73.8 73.7 74.0 72.673.1 72.0 72.4 73.0 72.0 72.1 72.7 72.3 71.5 71.9 72.0 71.5 70.8 70.6 72.0 70.9 70.9 71.0 71.0 69.9 70.0 74.0 73.9 73.7 69.0 72.1 72.8 71.7 73.0 71.4 68.0 71.0 69.8 70.6 67.0 68.2 66.0 65.0
Gambar 1.5 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. Sumber : BPS Jawa Tengah, 2015, diolah. Secara umum, derajat kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh AKB, AKI dan AHH. Angka kematian (Mortalitas) di sebagian besar kabupaten/kota masih banyak yang di atas rata-rata provinsi. Hal ini membuktikan bahwa masih terjadi peningkatan angka kematian ibu dan bayi di Provinsi Jawa Tengah selama periode penelitian. Adapun indikator AHH yang seharusnya meningkat seiring meningkatnya belanja kesehatan, namun yang terjadi AHH sebagian besar kabupaten/kota masih di bawah rata-rata provinsi. Secara keseluruhan tingkat pencapaian indikator derajat kesehatan masyarakat yang dilihat dari AKB, AKI, dan AHH daerah di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012-2014 masih harus ditingkatkan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012-2014 tidak sebanding dengan kenaikan anggaran kesehatan di daerah Provinsi Jawa Tengah. Sebagaimana yang di kemukakan oleh
13
(Atmawikarta, 2005) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya pencapaian derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan. Meskipun terjadi peningkatan belanja kesehatan setiap tahunnya selama periode penelitian, namun derajat kesehatan yang ditunjukkan masih rendah. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penting dilakukan penelitian tentang analisis efisiensi pengeluaran pemerintah sektor kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. 1. 2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana tingkat efisiensi teknis biaya belanja kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014?
2.
Bagaimana tingkat efisiensi teknis sistem pelayanan kesehatan di Provinisi Jawa Tengah tahun 2012-2014?
3.
Bagaimana target perbaikan penggunaan biaya belanja kabupaten/kota yang belum efisien agar mencapai efisien?
1. 3
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan rumusan masalah yang
dikemukakan adalah: 1.
Untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis biaya belanja kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
14
2.
Untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis sistem pelayanan kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
3.
Untuk
mengetahui
target
perbaikan
penggunaan
biaya
belanja
kabupaten/kota yang dilakukan agar mencapai efisien. 1. 4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan yang positif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ekonomi kesehatan. b. Digunakan sebagai bahan acuan dan bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Masukan bagi Pemerintah Daerah dalam menetapkan kebijakan pembangunan sektor kesehatan di daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. b. Bahan pertimbangan dan evaluasi dalam mencapai sasaran pembangunan khususnya sektor kesehatan. c. Bahan masukan dan evaluasi bagi instansi-instansi terkait untuk lebih meningkatkan kinerja sektor publik.
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah merupakan hal yang sangat penting karena
menyangkut output yang dihasilkan untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Apabila pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesoebroto, 1995:144). Perekonomian memerlukan regulasi atau campur tangan pemerintah untuk mengatur kegiatan ekonomi. Sejalan teori Keynes yang menyatakan bahwa sektor publik sebaiknya turut berperan dalam proses peningkatan perekonomian secara umum. Menurut Keynes, dalam sistem perekonomian, pihak swasta tidak boleh sepenuhnya diberi kewenangan untuk mengelola perekonomian. Secara umum peran pemerintah dalam
perekonomian
dapat
diklasifikasikan
menjadi
tiga
kelompok
(Mangkoesoebroto, 1999:2), yaitu : a.
Fungsi alokasi, yaitu mengalokasikan sumber daya yang digunakan dalam memproduksi barang yang berasal dari barang swasta atau barang publik.
b.
Fungsi distribusi, yaitu peran pemerintah dalam melakukan distribusi sumber daya bagi masyarakat.
c.
Fungsi stabilisasi, yaitu peran pemerintah dalam menjaga kestabilan penyerapan tenaga kerja, stabilitas harga, serta tingkat pertumbuhan ekonomi
15
16
yang tepat yang berdampak pada neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Pengeluaran pemerintah merupakan alokasi anggaran yang disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Kebijakan pengeluaran pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang mencerminkan salah satu wujud intervensi pemerintah untuk mengatasi market failure dalam suatu perekonomian (Kemenkeu, 2011). Pengeluaran pemerintah tercermin dalam anggaran belanja yang tertuang dalam APBD setiap tahunnya. Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Amandemen Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, serta Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, belanja pemerintah daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurangan kekayaan bersih bersih dalam periode tahun anggaran bersangkutan. Pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja secara adil dan merata agar dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi masyarakat. Belanja daerah digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintah daerah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan undang-undang Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
17
Pengklasifikasian belanja daerah menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan tujuan nasional terdiri dari : (a) pelayanan umum; (b) ketertiban dan ketentraman; (c) ekonomi; (d) lingkungan hidup; (e) perumahan dan fasilitas umum; (f) kesehatan; (g) pariwisata dan budaya; (h) pendidikan; dan (i) perlindungan sosial. Dalam mengalokasikan pengeluaran, pemerintah harus melakukan banyak pertimbangan, karena pemerintah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap kebijaksanaan pengeluarannya. Tetapi harus mempertimbangkan sasaran antara yang akan menikmati kebijaksanaan tersebut. Banyaknya pos-pos anggaran, sehingga pemerintah harus memprioritaskan alokasi anggaran untuk sektor-sektor yang menyangkut kebutuhan masyarakat luas. Menurut Mangkoesoebroto (1999:169), perkembangan teori makro mengenai pengeluaran pemerintah dapat dikelompokkan menjadi : 2.1.1
Model
Pembangunan
tentang
Perkembangan
Pengeluaran
Pemerintah Mangkoesoebroto (1999:169), model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahapan pembangunan ekonomi. Pada tahap awal dari perkembangan ekonomi, persentase investasi yang dikeluarkan pemerintah dari total investasi sangat besar, hal ini disebabkan pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin
18
membesar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap ini, untuk mengatasi kegagalan pasar yang ditimbulkan peran swasta. Sehingga pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih besar. Selain itu, pada tahap ini pembangunan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang semakin rumit (complicated). Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menjelaskan bahwa dalam pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan sarana dan prasarana menjadi pengeluaran-pengeluaran yang bersifat sosial seperti halnya, kesejahteraan hari tua program pelayanan masyarakat dan program bantuan yang bersifat sosial lainnya. Teori Rostow dan Musgrave merupakan suatu pandangan yang muncul dari pengamatan berdasarkan pembangunan ekonomi yang dialami oleh banyak negara, tetapi tidak didasarkan oleh suatu teori tertentu. Selain itu tidak jelas apakah tahap pertumbuhan ekonomi terjadi dalam tahap demi tahap, ataukah beberapa tahap dapat terjadi secara stimulan. 2.1.2
Hukum Wagner Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Wagner
mengemukakan
suatu
teori
mengenai
perkembangan
pengeluaran pemerintah yang semakin besar proporsinya terhadap GNP yang didasarkan pada pengamatan di negara maju. Hukum Wagner menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah semakin besar, yang terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum pendidikan, rekreasi, kebudayaan, dan sebagainya.
19
Hukum Wagner menjelaskan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah ditunjukkan dalam gambar berikut, dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial yang ditunjukkan oleh kurva 1, dan bukan seperti yang ditunjukkin oleh kurva 2. Proses eksponensial menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah akan terus meningkat dari waktu ke waktu.
jsPengeluaran Pemerintah/GDP Kurve 1
Kurve 2
Z = Kurve perkembangan pengeluaran pemerintah Waktu 0
1
2
3
4
5
Gambar 2.1 Kurva Hukum Aktivitas Pemerintah yang Selalu Meningkat Sumber : Mangkoesoebroto (1999:172) 2.1.3
Teori Peacock dan Wiseman Teori Peacock dan Wiseman didasarkan pada suatu analisa bahwa
pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran dan sebaliknya, Masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Oleh karena itu, teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar dari teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat
20
mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat, meskipun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Perkembangan pengeluaran pemerintah tidak hanya dari teori makro, tetapi ada juga teori mikro. Tujuan teori mikro mengenai perkembangan pengeluaran menimbulkan
pemerintah permintaan
adalah
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
akan
barang
publik
faktor-faktor
yang
dan
menimbulkan tersedianya barang publik. Interaksi antara permintaan dan penawaran untuk barang publik menentukan jumlah barang publik yang akan disediakan melalui anggaran belanja. Jumlah barang publik tersebut selanjutnya akan menimbulkan permintaan akan barang lain. Sebagai contoh, pemerintah menetapkan akan membuat sebuah kapal, maka ini akan menimbulkan permintaan akan barang lain yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti semen, baja, alat-alat pengangkutan dan seagainya. Teori mikro mengenai pengeluaran pemerintah dapat dirumuskan sebagai berikut: Penentuan Permintaan;
Keterangan : G
= Vektor dari barang publik
X
= Vektor barang swasta
21
I
= individu; i = 1, …, m
U
= fungsi utilitas. Permintaan akan barang-barang publik dan barang-barang swasta
tergantung
pada
kendala
anggaran
(bugjet
constraints).
Perkembangan
pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan dengan faktor-faktor di bawah ini : 1.
Perubahan permintaan akan barang publik;
2.
Perubahan dari aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi;
3.
Perubahan kualitas barang publik;
4.
Perubahan harga-harga faktor-faktor produksi.
2.2
Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah Menurut Suparmoko (1996), Pengeluaran pemerintah dapat dinilai dari
berbagai segi sehingga dapat dibedakan menjadi empat klasifikasi sebagai berikut: a.
Pengeluaran pemerintah merupakan investasi untuk menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa yang akan datang.
b.
Pengeluaran
pemerintah
langsung
memberikan
kesejahteraan
bagi
masyarakat. c.
Pengeluaran pemerintah merupakan pengeluaran yang akan datang.
d.
Pengeluaran pemerintah merupakan sarana penyedia kesempatan kerja lebih banyak dan penyebaran daya beli yang lebih luas. Berdasarkan penilaian tersebut, pengeluaran pemerintah dapat dibedakan
menjadi sebagai sebagai berikut :
22
a.
Pengeluaran yang self liquiditing atau seluruhnya, artinya pengeluaran pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang menerima jasa atau barang yang bersangkutan. Contohnya, pengeluaran untuk jasa negara, atau untuk proyek-proyek produktif barang ekspor.
b.
Pengeluaran yang reproduktif, artinya mewujudkan keuntungan-keuntungan ekonomi bagi masyarakat, dimana dengan naiknya tingkat penghasilan dan sasaran pajak yang lain pada akhirnya akan menaikkan penerimaan pemerintah. Misalnya, pengeluaran untuk bidang pengairan, pertanian, pendidikan, dan kesehatan masyarakat (publik health).
c.
Pengeluaran yang tidak self liquiditing maupun yang tidak produktif, yaitu pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, untuk bidang rekreasi, pendirian monument, objekobjek pariwisata dan sebagainya. Hal ini dapat juga menaikkan penghasilan dalam kaitannya jasa-jasa tadi.
d.
Pengeluaran yang secara langsung tidak produktif dan merupakan pemborosan, misalnya untuk pembiayaan pertahanan atau perang meskipun pada saat pengeluaran terjadi penghasilan yang menerimanya akan naik.
e.
Pengeluaran yang merupakan penghematan di masa yang akan datang. Misalnya pengeluaran untuk anak-anak yatim piatu. Jika hal ini tidak dijalankan sekarang, kebutuhan-kebutuhan pemeliharaan bagi mereka dimasa yang akan datang pasti akan lebih besar. Berdasarkan tujuannya pengeluaran pemerintah dibedakan dalam dua
klasifikasi, yaitu :
23
a.
Pengeluaran rutin adalah anggaran yang disediakan untuk menyelenggarakan tugas umum pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Pengeluaran ini meliputi belanja pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga barang), angsuran dan bunga utang pemerintah, serta jumlah pengeluaran lain. Anggaran pengeluaran rutin memegang peran penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan produktifitas, yang pada gilirannya akan menunjang tercapainya sasaran dan tugas setiap tahap pembangunan. Penghematan dan efisiensi tersebut antara lain diupayakan malalui pinjaman alokasi pengeluaran rutin, pengendalian dan koordinasi pelaksanaan pembelian barang dan jasa kebutuhan departemen/non lembaga/non departemen, dan pengurangan berbagai macam subsidi secara bertahap.
b.
Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran yang betujuan untuk pembiayaan proses perubahan, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju arah yang ingin dicapai. Pengeluaran pembangunan bersifat menambah modal masyarakat baik dalam bentuk pembangunan fisik maupun non fisik. Di samping itu, pengeluaran pembangunan juga ditujukan untuk membiayai program-program pembangunan sehingga anggarannya selalu disesuaikan dengan dana yang berhasil dimobilisasi. Dana tersebut kemudian dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang telah direncanakan. Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan di atas yang dimaksud
pengeluaran pemerintah dalam penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah
24
sektor kesehatan. Pemerintah memegang peranan penting dalam menetapkan alokasi pengeluaran sektor kesehatan melalui penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui penyediaan sarana dan prasarana serta kualitas dan pelayanan kesehatan yang optimal. Selain itu di dukung dari teori Peacock dan Wiseman yang serupa dengan teori Wagner yaitu pemerintah senantiasa berusaha memperbesar pengeluarannya atau sebaliknya. Berdasarkan data periode penelitian tahun 20122014, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor kesehatan menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi. 2.3
Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi masyarakat, oleh
karena itu kesehatan adalah hak bagi setiap warga masyarakat yang dilindungi Undang-Undang Dasar. Menurut UU No. 36 Tahun 2006, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Perbaikan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu investasi sumber daya manusia untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Dengan demikian, kesehatan menjadi perhatian utama pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Pengeluaran sektor kesehatan termasuk dalam klasifikasi belanja menurut fungsi. Belanja kesehatan adalah belanja daerah yang dikeluarkan untuk
25
meningkatkan kualitas kesehatan dan pelayanan seperti pembelian obat, fasilitas kesehatan, dan gedung kesehatan. Mill dan Gilson (1990:125), membatasi ruang lingkup sektor kesehatan ke dalam lima aspek, yaitu : a.
Pelayanan kesehatan, jasa-jasa sanitasi lingkungan (air, sanitasi, pengawasan polusi, keselamatan kerja, dan lain-lain);
b.
Rumah sakit, institusi kesejahteraan sosial;
c.
Pendidikan, pelatihan-pelatihan, penelitian medis murni;
d.
Pekerjaan medis-sosial, kerja sosial;
e.
Praktis medis yang mendapat pendidikan formal, penyedia pelayanan kesehatan tradisional; Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, menyebutkan bahwa anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal 5% (lima persen) dari APBN di luar gaji. Adapun untuk anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Anggaran kesehatan diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pada dasarnya tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya pencapaian derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan (Atmawikarta, 2005). Semakin besar belanja
26
sektor kesehatan, maka semakin baik derajat kesehatan masyarakat. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat pada umumnya tercermin dalam kondisi angka kematian, angka kesakitan dan status gizi (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2016). Hasil dari pembiayaan untuk sektor kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat dan status kesehatan masyarakat melalui ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas dan layanan kesehatan. Penyediaan fasilitas kesehatan yang terjangkau dan memadai menjadi salah satu tugas pemerintah dalam rangka menciptakan pembangunan menusia. Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan ini dianggarkan setiap tahunnya dalam APBD dan digunakan untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan kesehatan seperti pembelian obat, fasilitas dan gedung kesehatan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah). Anggaran belanja fungsi kesehatan diklasifikasikan menjadi subfungsi: (1) obat dan peralatan kesehatan; (2) pelayanan kesehatan perorangan; (3) pelayanan kesehatan masyarakat; (4) keluarga berencana; (5) penelitian dan pengembangan kesehatan. Menurut Tjiptoherijanto dan Soesetyo (1994:101), menyebutkan bahwa secara umum sumber pembiayaan untuk upaya kesehatan dapat digolongkan sebagai sumber pemerintah dan sumber non-pemerintah (masyarakat dan swasta). Sumber pemerintah dapat berasal dari pemerintah dalam negeri dan luar negeri. Sumber pembiayaan bisa berasal dari perpajakan, pembiayaan dari defisit anggaran pemerintah, pembebanan cukai, serta asuransi kesehatan. Adapun sumber biaya masyarakat atau swasta dapat berasal dari pengeluaran rumah
27
tangga atau perorangan (out of pocket), perusahaan swasta/BUMN, badan penyelenggara beberapa jenis jaminan pembiayaan kesehatan termasuk asuransi kesehatan untuk membiayai pesertanya, dan lembaga non-pemerintah yang umumnya digunakan untuk kegiatan kesehatan yang bersifat sosial dan kemasyarakatan. 2.4
Aspek Kesehatan dalam Kajian Ilmu Ekonomi Ilmu ekonomi pada dasarnya adalah mengkaji tentang alternatif
penggunaan sumberdaya yang langka dan terbatas secara efisien. Pertimbangan ekonomi memegang peran penting hampir di semua aspek kehidupan manausia, seperti di sektor pertanian, perumahan, perindustrian, perdagangan, dan juga kesehatan. Menurut Mills dan Gilson (1990:2) mendefinisikan ekonomi kesehatan sebagai penerapan teori, konsep dan teknik ilmu ekonomi pada sektor kesehatan, sehingga dengan demikian ekonomi kesehatan berkaitan erat dengan hal-hal sebagai berikut: a.
Alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan;
b.
Jumlah sumber daya yang digunakan dalam pelayanan kesehatan;
c.
Pengorganisasian dan pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan;
d.
Efisiensi pengalokasian dan penggunaan berbagai sumber daya;
e.
Dampak upaya pencegahan, pengobatan, dan pemulihan kesehatan pada individu dan masyarakat. Beberapa ekonom menganggap bahwa kesehatan merupakan fenomena
ekonomi baik jika dinilai dari stok maupun sebagai investasi. Sehingga fenomena kesehatan menjadi variabel yang nantinya dapat dianggap sebagai faktor produksi
28
untuk meningkatkan nilai tambah barang dan jasa, atau sebagai suatu sasaran dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai baik oleh indinvidu, rumah tangga maupun masyarakat, yang dikenal sebagai tujuan kesejahteraan “welfare objective”. Oleh karena itu kesehatan dianggap sebagai modal dan memiliki tingkat pengembalian yang positif baik untuk individu maupun untuk masayarakat. 2.5
Pengukuran Kinerja, Hasil, dan Indikator dalam Kesehatan Mardiasmo (2002:121) menyatakan pengukuran kinerja sangat penting
untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manager dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Akuntabilitas bukan sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan, akan tetapi meliputi kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan secara ekonomis, efisien, dan efektif. Pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga tujuan, yaitu: 1.
Pengukuran
kinerja
sektor
publik
dimaksudkan
untuk
membantu
memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja ini berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Sehingga akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi sektor publik dalam pemberian pelayanan publik. 2.
Pengukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan.
3.
Pengukuran
kinerja
sektor
publik
digunakan
untuk
mewujudkan
pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
29
Pengukuran kinerja pada organisasi pemerintah tidak dapat dinilai dari sisi output yang dihasilkan saja, akan tetapi harus mempertimbangkan input, output, dan outcome secara bersama-sama. Bahkan, untuk beberapa hal perlu ditambahkan pengukuran distribusi dan cakupan layanan (equity and service coverage). Permasalahan yang sering dihadapi oleh pemerintah dalam melakukan pengukuran kinerja adalah sulitnya mengukur output, karena output yang dihasilkan tidak selalu berupa output yang berwujud, akan tetapi lebih banyak berupa intangible output. Permasalahan teknis yang dihadapi pada saat pengukuran ekonomi, efisiensi, dan efektifitas (value for money) organisasi adalah bagaimana membandingkan input dengan output untuk menghasilkan ukuran efisiensi yang memuaskan jika output yang dihasilkan tidak dapat dinilai dengan harga pasar. Solusi praktis atas masalah tersebut adalah dengan cara membandingkan input finansial (biaya) dengan output nonfinansial, misalnya biaya unit (unit cost statistics). Berdasarkan kajian teori diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kegaiatan operasional dikatakan ekonomis bila dapat mengurangi biaya yang tidak perlu (efisiensi). Dalam hal ini, peningkatan pengeluaran pemerintah sektor kesehatan mestinya dapat memberikan peningkatan manfaat yang lebih besar untuk output dan outcome nya. Sama halnya ilmu ekonomi, sektor kesehatan berkaitan erat dengan pengalokasian, pembiayaan, dan penggunaan sumber daya yang sering disebut ekonomi kesehatan. Oleh karena itu sektor kesehatan perlu adanya pengukuran hasil kesehatan untuk membandingkan nilai masukan dan
30
keluaran guna mengevaluasi efisiensi ekonominya. Hasil dari pengukuran kesehatan ini diwujudkan dalam status kesehatan yang akan dicapai. Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 20132018, telah menetapkan indikator-indikator yang mengacu pada Indonesia Sehat, yaitu: 1.
Indikator proses dan masukan (input), indikator ini terdiri dari pelayanan kesehatan, sumber daya kesehatan, manajemen kesehatan, dan indikatorindikator kontribusi terkait sektor tersebut.
2.
Indikator hasil antara (intermediate output), indikator ini yang akan mempengaruhi hasil akhir, seperti keadaan lingkungan, perilaku hidup masyarakat, serta indikator-indikator akses dan mutu pelayanan kesehatan.
3.
Indikator hasil akhir (outcomes), yaitu derajat kesehatan. Indikator ini terdiri dari indikator mortalitas (kematian), yang dipengaruhi oleh indikatorindikator mordibitas (kesakitan) dan status gizi.
2.6
Konsep Efisiensi Kawedar et al. (2008:133) menyatakan mengukur efisiensi dapat dilihat
dari dua sisi yaitu biaya yang dikeluarkan per satuan produk (input ke output) atau produk yang dihasilkan per satuan sumber daya (output ke input). Efisiensi merupakan perbandingan output dibagi input sehingga diperoleh formula sebagai berikut :
Menurut Mardiasmo (2002:132-134), pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap input
31
yang digunakan. Semakin besar output dibanding input, maka semakin tinggi tingkat efisiensi. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya (spending well). Rasio efisiensi tidak dinyatakan dalam bentuk absolut tetapi dalam bentuk relatif. Unit A adalah lebih efisien dibanding unit B, unit A lebih efisien tahun ini dibanding tahun lalu, dan seterusnya. Karena efisiensi diukur dengan membandingkan keluaran dan masukan maka perbaikan efisiensi dapat dilakukan dengan cara : a.
Meningkatnya output pada tingkat input yang sama;
b.
Meningkatkan output dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi peningkatan input;
c.
Menurunkan input pada tingkatan output yang sama;
d.
Menurunkan input dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi penurunan output. Efisiensi dapat dibagi menjadi dua yaitu efisiensi alokasi dan efisiensi
teknis (manajerial). Efisiensi alokasi terkait dengan kemampuan untuk mendayagunakan sumber daya input pada tingkat kapasitas optimal. Efisiensi teknis (manajerial) terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat ouput tertentu (Mardiasmo, 2002:134). Nicholson (dalam Supiati, 2014), menyatakan bahwa efisiensi dibagi menjadi dua, yaitu efisiensi teknis (fechnical efficiency) dan efisiensi ekonomi (cost efficiency). Efisiensi teknis adalah pilihan proses produksi yang menghasilkan output tertentu dengan meminimalisasi sumber daya. Kondisi
32
efisiensi teknis ini digambarkan oleh titik-titik di sepanjang kurva isoquan. Efisien ekonomi adalah bahwa pilihan apapun teknik yang digunakan dalam kegiatan produksi haruslah yang meminimumkan biaya. Pada efisiensi ekonomis, kegiatan perusahaan akan dibatasi oleh garis anggaran yang dimiliki oleh perusahaan tersebut (isocost). Jafarov dan Gunnarson (2008) menyatakan bahwa pada dasarnya kinerja suatu perusahaan diukur dengan menggunakan efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomi terdiri atas efisiensi teknis (technical efficiency) dan efisiensi alokasi (allocative efficiency). Efisiensi teknis adalah kombinasi antara kapasitas dan kemampuan unit ekonomi untuk memproduksi sampai tingkat output maksimum dari sejumlah input yang digunakan. Sedangkan efisiensi alokasi adalah kemampuan dan kesediaan unit ekonomi yang digunakan dalam proses produksi pada tingkat harga relatif. Pengukuran efisiensi sektor publik khususnya dalam pengeluaran belanja pemerintah didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika tidak mungkin lagi realokasi sumber daya yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, efisiensi pengeluaran belanja pemerintah daerah diartikan ketika setiap rupiah yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah menghasilkan kesejahteraan mesyarakat yang paling optimal. Ketika kondisi tersebut terpenuhi, maka dikatakan belanja pemerintah telah mencapai tingkat yang efisien (Kurnia, 2006). Berkaitan dengan efisiensi pengeluaran pemerintah menurut Guritno dalam Balitbangda dan Trimitra (2008: 178), peranan pemerintah untuk
33
mengalokasikan anggaran dan sekaligus menjamin tercapainya penggunaan anggaran (sumber daya) secara efisien. Pada suatu sisi pengeluaran pemerintah bersifat included, dan pada sisi lain terdapat kendala kemampuan finansial (budget constraint) karena itu efisiensi diukur dari apakah pengeluaran pemerintah telah sesuai dengan kenaikan anggaran yang tersedia. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Jafarov dan Gunnarsson (2008) mengukur efisiensi sektor publik maka digunakan pengukuran efisiensi teknis dimana nilai efisiensi diukur dengan menggunakan sejumlah input yang digunakan untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Lebih lanjut dalam pengukuran efisiensi sektor publik, efisiensi teknis dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu efisiensi teknis biaya (technical cost efficiency), efisiensi teknis sistem (technical system efficiency), dan efisiensi keseluruhan (over all efficiency). Efisiensi teknis biaya merupakan pengukuran tingkat penggunaan sarana ekonomi/ sejumlah input berupa besarnya nilai nominal belanja kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menghasilkan sejumlah output berupa indikator output hasil antara (ouput intermediate) yang terdiri dari fasilitas dan layanan kesehatan. Kondisi efisien akan tercapai ketika sejumlah nominal belanja kesehatan yang dikeluarkan dalam jumlah tertentu dapat menghasilkan output berupa fasilitas dan layanan kesehatan yang maksimum. Efisiensi teknis sistem merupakan pengukuran tingkat penggunaan sejumlah input berupa indikator ouput intermediate untuk menghasilkan sejumlah output berupa indikator hasil akhir (outcomes) yaitu derajat kesehatan masyarakat. Kondisi efisien akan tercapai jika penggunaan sejumlah input berupa fasilitas dan
34
layanan kesehatan dalam jumlah tertentu akan menghasilkan output berupa derajat kesehatan yang maksimum. Pengukuran
efisiensi
keseluruhan
dilakukan
dengan
cara
menghubungkan secara langsung penggunaan indikator input berupa belanja kesehatan dengan hasil outcome kesehatan berupa derajat kesehatan masyarakat sebagai ouputnya. Kondisi yang efisien akan terjadi jika dengan besarnya belanja kesehatan sejumlah tertentu dapat menghasilkan derajat kesehatan masyarakat yang optimum. 2.7
Pengukuran Efisiensi dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA) Menurut Prajanti (2013:12), dalam mengukur efisiensi produksi dapat
dilakukan dengan pendekatan non-parametrik dengan Data Envelopment Analysis (DEA). Data Envelopment Analysis (DEA) adalah suatu metode yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat efisiensi suatu unit kerja dengan variabel multiple output dan multiple input melalui pendekatan linear programming. DEA bekerja dengan langkah mengidentifikasi unit-unit yang akan dievaluasi, input serta output unit tertentu. Kemudian dihitung nilai produktivitas dan mengidentifikasi unit mana yang tidak menggunakan input secara efisien atau tidak menghasilkan output secara efektif. Produktivitas yang diukur bersifat relatif, karena hanya membandingkan antar unit pengukuran dari 1 set data yang sama. DEA adalah model analisis faktor produksi untuk mengukur tingkat efisiensi relatif dari set unit kegiatan ekonomi (UKE). Skor efisiensi dari banyak faktor input dan output dirumuskan sebagai berikut :
35
Efficiency = Selain itu, unit-unit yang melibatkan dalam perhitungan dari gabungan UKE dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan UKE yang tidak efisien. DEA juga mempertimbangkan menghitung perbaikan yang diperlukan di dalam masukan (input) yang tidak efisien agar menjadi efisien (Prajanti, 2013:24). DEA merupakan sebuah metode optimasi matematika yang mengukur efisiensi teknik suatu unit kegiatan ekonomi (UKE), dan membandingkan secara relatif terhadap UKE yang lain (Rusydiana, 2013:26). Efisiensi relatif UKE dalam DEA, adalah rasio dari total output tertimbang dibagi total input tertimbang (total weighted output/total weighted input). Inti dari DEA adalah menentukan bobot (weighted) atau timbangan untuk setiap variabel-variabel input maupun output yang ada, asalkan mampu memenuhi dua kondisi yang disyaratkan. Adapun kedua kondisi yang disyaratkan yaitu: a.
Bobot tidak boleh negatif;
b.
Bobot harus bersifat universal. Hal ini berarti setiap UKE dalam sampel harus dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama untuk mengevaluasi rasionya (total weighted output/total weighted input) dan rasio tersevut tidak lebih dari 1 total weighted output/total weighted input ≤ 1). Unit kegiatan ekonomi (UKE) dikatakan efisien secara relatif apabila
nilai dualnya sama dengan 1 (nilai efisiensi 100 persen), sebaliknya apabila nilai dualnya kurang dari 1 maka UKE bersangkutan dianggap tidak efisien secara relatif (Rusydiana, 2013:28).
36
Efisiensi yang diukur oleh analisis DEA memiliki karakter berbeda dengan konsep efisiensi umumnya : 1.
Efisiensi yang diukur adalah bersifat teknis, bukan ekonomis. Artinya analisis DEA hanya memperhitungkan nilai absolute dari suatu variabel. Satuan dasar pengukuran yang mencerminkan nilai ekonomis dari tiap-tiap variabel seperti harga, berat, panjang, isi, dan lainnya tidak dipertimbangkan. Oleh karenanya dimungkinkan suatu pola perhitungan kombinasi berbagai variabel dengan satuan yang berbeda-beda.
2.
Nilai efisiensi yang dihasilkan bersifat relatif atau hanya berlaku dalam sekumpulan Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang diperbandingkan (Nugroho, 2003). Analisis DEA memiliki dua model orientasi yaitu berorientasi input
(Input-Oriented Measures) dan berorientasi output (Output-Oriented Measures) (Rusydiana, 2013:16). Pengukuran berorientasi input (Input-Oriented Measures) menunjukkan untuk penekanan sejumlah input dapat dikurangi
secara
proporsional tanpa mengubah jumlah output yang dihasilkan. Selanjutnya, pengukuran berorientsi output (Output-Oriented Measures) mengukur bilamana sejumlah output dapat ditingkatkan secara proporsional tanpa mengubah jumlah input yang digunakan. Kedua oreintasi ini dapat berasumsi constant return to scale (CRS) dan variable return scale (VRS). Menurut Rusdydiana (2013:22), dalam perkembangannya pendekatan DEA ada dua model yang digunakan yaitu model constant return to scale (CRS) yang dikembangkan oleh Charness, Cooper dan Rhodes (Model CCR) dan model
37
variable return scale (VRS) yang dikembangkan oleh Banker, Charnes, dan Cooper (Model BCC). Bentuk dasar DEA berasumsi adanya Constan Return to Scale (CRS), model ini mengasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output adalah sama. Artinya jika ada tambahan input sebesar x kali, maka output akan meningkat sebesar x kali juga. Asumsi yang lain yang digunakan dalam model ini adalah bahwa setiap perusahaan atau unit kegiatan ekonomi (UKE) beroperasi pada skala optimal. Nilai efisiensi selalu kurang atau sama dengan 1, UKE yang nilai efisiensinya kurang dari 1 berarti inefisiensi sedangkan UKE yang nilai efisiensinya sama dengan 1 berarti UKE tersebut efisien. Model Variable Return to Scale (VRS) merupakan pengembangan dari model CCR. Model ini beranggapan bahwa perusahaan tidak atau belum beroperasi pada skala yang optimal. Asumsi dari model ini adalah bahwa rasio antara penambahan input dan output tidak sama. Artinya, penambahan input sebesar x kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar x kali, bisa lebih kecil atau lebih besar dari x kali. Secara singkat, pada umumnya metode DEA memiliki keunggulan dan kelemahan sebagai berikut : 1.
Keunggulan DEA a. Dapat menangani banyak input dan output; b. Tidak perlu asumsi hubungan fungsional antara variabel input dan output; c. Unit kegiatan ekonomi (UKE) dibandingkan secara langsung dengan sesamanya;
38
d. Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda. Sebagai contoh X1 dapat dalam unit dan X2 dapat dalam dollar tanpa apriori keduanya. 2.
Keterbatasan DEA a. Bersifat simple spesifik; b. Merupakan extreme point technique, kesalahan pengukuran dapat bersifat fatal; c. DEA sangat bagus untuk estimasi efisiensi relatif UKE (unit kegiatan ekonomi) tetapi sangat lambat untuk mengukur efisiensi absolut, dengan kata lain bisa membandingkan sesama UKE tetapi bukan membandingkan maksimisasi secara teori; d. Uji hipotesis secara statistik atas hasil DEA sulit dilakukan; e. Menggunakan perumusan linear programming terpisah untuk tiap UKE; f. Bobot dan input yang dihasilkan oleh DEA tidak dapat ditafsirkan dalam nilai ekonomi. g. Hanya mengukur produktivitas relatif dari unit kegiatan ekonomi bukan produktivitas absolut.
2.8
Penelitian Terdahulu Penelitian terhadap efisiensi pengeluaran pemerintah ini bersifat
universal. Terdapat beberapa literatur yang telah membahas efisiensi belanja publik di berbagai negara. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang menunjang serta menjadi acuan dalam penelitian ini.
39
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No 1.
Judul dan Nama Peneliti Analisis Efisiensi Belanja Daerah di Kabupaten Sumbawa (Studi Kasus Bidang Pendidikan dan Kesehatan) (Indriati, Neneng Erlina,2014)
2.
Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Tengah (Lela Dina Pertiwi, 2007)
Variabel dan Teknik Alat Analisis Variabel input: belanja pendidikan dan belanja kesehatan. Variabel Output intermediate: Fasilitas dan layanan pendidikan berupa rasio guru per murid dan rasio kelas per murid Fasilitas dan layanan kesehatan berupa rasio jumlah dokter per 1000 penduduk, rasio tenaga kesehatan per 1000 orang dan imunisasi campak. Variabel outcome: Pendidikan rata-rata nilai UN dan angka kelulusan (AL) Kesehatan AKB dan AKB
Hasil Penelitian
1. Secara rata-rata terjadi inefisiensi 2. Efisiensi teknis biaya bidang pendidikan : Kecamatan Batu Lanteh, sedangkan efisiensi teknis sistem : Kecamatan Sumbawa, Kecamatan Rhee, Kecamatan Maronge. 3. Efisiensi teknis biaya bidang Metode Data Envelopment kesehatan : Analysis (DEA) dengan Kecamatan menggunakan software DEA Lantung. online software (DEAOS). Sedangkan efisiensi teknis sistem : Kecamatan Maronge, Kecamatan Sumbawa, Kecamatan Utan, dan Kecamatan Alas Barat. Variabel Input: pengeluaran Hasil penelitian: pemerintah sektor pendidikan 1. Tahun 1999, dan kesehatan. pengeluaran Variabel Output: Sektor pendidikan belum pendidikan berupa angka melek efisien. huruf dan rata-rata lama sekolah 2. Tahun 2002, penduduk 15 tahun ke atas. pengeluaran Sektor kesehatan berupa AHH. pendidikan meningkat, namun Metode penelitian menggunakan masih kategori
40
No
Judul dan Nama Peneliti
Variabel dan Teknik Alat Analisis analisis Data Analysis (DEA)
3.
4.
Envelopment
Model Pengukuran Kinerja dan Efisiensi Sektor Publik Metode Free Disposable Hull (FDH) Akhmad Syakir Kurnia, 2006.
Untuk menaksir PSP, penelitian ini menggunakan 5 sub indikator kinerja yang terdiri dari indikator sosioekonomi dan Musgravia indicators, yaitu kesehatan, pendidikan, distribusi, stabilitas, dan kinerja ekonomi.
Government Spending on Health Care and Education in Crotia : Efficiency and Reform Option. (Jafarov dan Victoria Gunnarson,
Variabel Input : Kesehatan berupa besaran anggaran kesehatan yang dikeluarkan pemerintah Kroasia. Variabel Output : Angka Harapan Hidup, Angka Kematian Kasar per 100.000 penduduk, Angka Kematian Bayi per 1000 kelahiran, Angka Kematian Balita per 1000 kelahiran, Angka Kematian Ibu Maternal
Analisis Free Disposible Hull (FDH) Metode: publik sector performance (PSP) dan Publik sektor efficiency.
Hasil Penelitian belum efisien. 3. Tahun 1999, pengeluaran sektor kesehatan mayoritas belum efisien. 4. Tahun 2002, pengeluaran sektor kesehatan terjadi peningkatan dan membaik. 5. Peningkatan tingkat efisiensi tahun 2002. Hasil penelitian menunjukkan 2 daerah kabupaten/ kota yang relatif lebih efisisen dibandingkan lainnya pada tahun 2002, yaitu Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Grobogan. Dari PSP Indikator, terlihat bahwa kabupaten/ kota yang proporsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRBnya tinggi tidak serta merta memiliki indikator yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi inefisiensi yang signifikan dalam teknis biaya pengeluaran kesehatan di Negara Kroasia pada tahun 2007. Hal tersebut berkaitan dengan adanya
41
No
Judul dan Nama Peneliti IMF Working Paper 2008).
Variabel dan Teknik Alat Analisis per 100.000 kelahiran dan kasus tuberkolosis per 100.000 penduduk. Mengkaji tingkat efisiensi relatif dari pengeluaran pemerintah di Negara Kroasia dengan metode analisis Data Envelopment Analysis (DEA).
5.
Education and Health in G7 Countries: Achieving Better Outcomes with Less Spending. (Marijn Verhoeven, dkk. IMF Working Paper, 2007).
Variabel input : pengeluaran pemerintah sektor kesehatan. Variabel Intermediate: jumlah tempat tidur di rumah sakit, jumlah dokter per kapita, jumlah imunisasi, dan jumlah konsultasi dokter. Variabel Outcome : Angka Harapan Hidup, Angka Kematian Kasar, Angka Kematian bayi per 1000 penduduk, Angka Kematian Anak per 1000 penduduk, dan Angka Kematian Maternal per 1000 penduduk.
Hasil Penelitian ketidak cukupan dalam me-recovery biaya, mekanisme pembiayaan dan penyelenggaraan institusi yang buruk, serta kelemahan dalam penetapan sasaran subsidi kesehatan. Inefisiensi pengeluaran pemerintah untuk sektor publik yang terjadi pada negara-negara G7 disebabkan karena kurangnya efektifitas dalam memperoleh sumberdaya, seperti guru dan tenaga medis (dokter)
Dalam mengukur tingkat efisiensipengeluaran pemerintah, penelitian ini menggunakan metode analisis statistic non parametrik berupa Data Envelopment Analysis(DEA).
Penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dan persamaan dengan beberapa penelitian terdahulu yang sudah dijelaskan diatas. Persamaan dalam penelitian ini adalah penggunaan metode Data Envelopment Analysis (DEA)
42
untuk mengukur efisiensi teknis. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada variabel output intermediate yang digunakan berupa rasio jumlah puskesmas per 100.000 penduduk dan rasio jumlah tenaga bidan per 100.000 penduduk. Selain itu perbedaan juga terdapat pada lokasi, tahun, dan variabel penelitian yang digunakan. 2.9
Kerangka Berpikir Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan
ekonomi suatu negara. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah telah mengatur anggaran kesehatan minimal 10 persen dari seluruh anggaran belanja daerah yang tersedia. Anggaran ini terdiri dari anggaran kesehatan pemerintah pusat yang dialokasikan minimal 5% dari APBN diluar gaji, sementara besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan minimal 10 persen dari APBD di luar gaji. Besarnya belanja kesehatan ini akan berhubungan positif dengan pencapaian derajat kesehatan masyarakat. Namun kenyataannya belanja kesehatan yang meningkat belum mampu diimbangi dengan pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini menjelaskan hubungan penggunaan biaya dalam mencapai output melalui efisiensi teknis biaya dan efisiensi teknis sistem. Dalam perhitungan nilai efisiensi teknis dilakukan dengan tiga variabel yaitu variabel input, variabel output intermediate, dan variabel output. Variabel input dibandingkan dengan variabel output intermediate sehingga akan menghasilkan nilai efisiensi teknis biaya. Efisiensi teknis biaya merupakan efisiensi dalam penggunaaan input berupa belanja kesehatan untuk menghasilkan
43
output berupa fasilitas dan layanan kesehatan. Selanjutnya, variabel output intermediate akan dibandingkan dengan variabel output sehingga menghasilkan nilai efisiensi teknis sistem. Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran dari analisis efisiensi pengeluaran pemerintah sektor kesehatan dapat digambarkan sebagai berikut : Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan tidak diimbangi dengan Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat di Jawa Tengah
Analisis Efisiensi
Efisiensi Teknis Biaya
Efisiensi Teknis Sistem
Variabel Input
Variabel Output Intermediate
Variabel Output
Pengeluaran Pemerintah untuk sektor kesehatan
Rasio jumlah puskesmas per 100.000 penduduk Rasio jumlah tenaga bidan per 100.000 penduduk Rasio jumlah tempat tidur tersedia di rumah sakit per 100.00 penduduk
Angka Kematian Bayi Angka Kematian Ibu Angka Harapan Hidup
Efisien/ Inefisien
Target Perbaikan Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
44
Efisiensi teknis sistem adalah efisiensi dalam penggunaan input berupa fasilitas dan layanan kesehatan untuk menghasilkan output berupa derajat kesehatan. Kedua nilai efisiensi tersebut akan terbagi ke dalam dua kondisi, yaitu efisien dan tidak efisien (inefisien). Pada kondisi yang tidak efisien akan dilakukan analisis lebih lanjut mengenai besarnya target perbaikan untuk menjadi efisien.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis
Data Envelopment Analysis (DEA). DEA merupakan metode analisis yang didesain khusus untuk mengukur efisiensi relatif masing-masing unit sampel penelitian. Dalam perkembangannya, DEA merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengukur efisiensi relatif salah satunya dalam penelitian dalam bidang kesehatan. Penelitian ini akan menganalisis efisiensi pengeluaran pemerintah sektor kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. 3.2
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh melalui studi kepustakaan dari sumber-sumber yang terkait. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data belanja APBD sektor kesehatan Provinsi Jawa Tengah, jumlah puskesmas, jumlah tenaga bidan, dan jumlah tempat tidur di rumah sakit pemerintah, serta data yang menunjukkan derajat kesehatan masyarakat (Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Ibu, dan Angka Harapan Hidup). Sumber data berasal dari instansi-instansi terkait diantaranya Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, dan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
45
46
3.3
Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel yang digunakan untuk menganalisis efisiensi dalam penelitian
ini adalah dengan mengunakan variabel input dan output. Variabel input didefinisikan sebagai sumber daya yang dimanfaatkan oleh UKE atau kondisi yang mempengaruhi kinerja dari UKE, sedangkan variabel output adalah keuntungan (benefit) yang dihasilkan sebagai hasil dari kegiatan operasi UKE. Variabel output intermediate dimaksudkan untuk mengakomodir hubungan tidak langsung antara variabel input dan variabel output. Penelitian ini menggunakan 2 (dua) analisis efisiensi teknis, yaitu efisiensi teknis biaya dengan membandingkan variabel input dengan variabel output intermediate, sedangkan untuk efisiensi teknis sistem yaitu dengan membandingkan antara variable output intermediate dengan variabel output. Penelitian ini menggunakan tiga jenis variabel diantaranya: a.
Variabel Input, Variabel input ini meliputi pengeluaran pemerintah sektor kesehatan.
Penggunaan pengeluaran sektor kesehatan ini meliputi pelayanan dasar, pelayanan rujukan, pelayanan kefarmasian, dan keluarga berencana. Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah belanja kesehatan per kapita Provinsi Jawa Tengah yang dinyatakan dalam juta rupiah. b.
Variabel Output Intermediate
1.
Rasio jumlah puskesmas per 100.000 penduduk; Jumlah puskesmas per 100.000 penduduk merupakan salah satu indikator
yang digunakan untuk mengetahui keterjangkauan penduduk terhadap fasilitas
47
dan layanan kesehatan berupa puskesmas di suatu wilayah (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Puskesmas merupakan lembaga yang paling dekat dengan masyarakat, karena puskesmas menjalankan fungsi kuratif, selain itu puskesmas juga mempunyai peran dalam preventif dan promotif. Puskesmas menjadi institusi jenjang pertama yang terlibat langsung dengan masyarakat. Variabel jumlah puskesmas yang digunakan meliputi jumlah puskesmas, puskesmas rawat inap, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling. Penghitungan indikator ini diperoleh melalui formula:
2.
Rasio jumlah tenaga bidan per 100.000 penduduk; Jumlah bidan per 100.000 penduduk merupakan jumlah bidan yang
bertugas di rumah sakit pemerintah, puskesmas, puskesmas pembantu atau fasilitas kesehatan publik milik pemerintah lainnya di suatu wilayah tertentu (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Upaya penting dalam peningkatan kesehatan masyarakat adalah peningkatan penolong kelahiran oleh tenaga medis. Penolong kelahiran secara langsung sangat mempengaruhi derajat kesehatan ibu dan anak pada tahun-tahun selanjutnya pasca kelahiran. Berdasarkan data Susenas, selama periode penelitian tahun 2012-2014, rata-rata persentase balita menurut penolong kelahiran di Provinsi Jawa Tengah adalah tenaga bidan dengan 71,03 persen. Ini menunjukkan bahwa tenaga bidan memliki peran besar dalam penolong kelahiran di Jawa Tengah. Variabel jumlah bidan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jumlah bidan yang bertugas di
48
rumah sakit pemerintah, puskesmas, puskesmas pembantu atau fasilitas kesehatan publik milik pemerintah lainnya di suatu wilayah tertentu. Perhitungan indikator diperoleh melalui formula:
3.
Rasio jumlah tempat tidur yang tersedia Rumah Sakit per 100.000 penduduk. Merupakan indikator yang menggambarkan fasilitas layanan kesehatan
yang disediakan pemerintah di rumah sakit milik pemerintah dalam satu tahun tertentu (Djafarov dan Gunnarson, 2008). Variabel jumlah tempat tidur yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jumlah tempat tidur milik pemerintah yaitu departemen kesehatan, provinsi, kabupaten/kota, ABRI, departemen lain dan swasta. Perhitungan indikator diperoleh melalui formula:
c.
Variabel Output
1.
Angka Kematian Bayi per 1.000 jumlah kelahiran; Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan jumlah kematian bayi (1-11
bulan) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Angka ini merupakan indikator sensitif terhadap ketersediaan, pemanfaatan, dan kualitas pelayanan kesehatan terutama pelayanan perinatal. Sedangkan kelahiran hidup adalah suatu kelahiran seorang bayi tanpa
49
memperhitungkan lamanya di dalam kandungan, dimana bayi menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Adapun perhitungan indikator formulanya:
Indikator angka kematian (mortalitas) memiliki karakteristik negatif, artinya semakin rendah nilai mortalitas, maka semakin baik kondisi derajat kesehatan. Karena AKB merupakan salah satu indikator mortalitias. Hal ini tidak sesuai dengan perhitungan efisiensi DEA yaitu bobot harus berkarakteristik positif. Sehingga indikator AKB di proksi dengan Angka Bayi Lahir Hidup (ABH) dengan formula:
Angka bayi hidup merupakan angka berketerbalikan dengan angka kematian bayi, sehingga jumlah bayi hidup yang meningkat mencerminkan jumlah kematian bayi yang berkurang. 2.
Angka Kematian Ibu Maternal per 100.000 kelahiran hidup; Angka Kematian Ibu (AKI) adalah kematian perempuan pada saat hamil
atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni yang disebabkan karena kehamilannya/pengelolaanya, bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dan lain-lain (BPS, 2014). Adapun perhitungan indikator formulanya:
50
Sama halnya dengan AKI, indikator AKI juga merupakan salah satu indikator mortalitas yang memiliki karakteristik negatif, sehingga dalam penelitian ini indikator AKI diproksi dengan indikator Angka Ibu Melahirkan Selamat (AIMS) dengan perhitungan indikator formulanya:
AIMS merupakan angka yang berkerbalikan dengan AKI, sehingga jumlah AIMS yang meningkat akan mencerminkan jumlah AKI yang menurun. 3.
Angka Harapan Hidup saat lahir Angka Harapan Hidup adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan
dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur tertentu, pada tahun tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Angka ini mencerminkan lamanya seorang bayi baru lahir diharapkan hidup dan memberikan gambaran salah satu penyebabnya adalah meningkatnya kualitas hidup dan kesehatan masyarakat. Sedangkan Angka Harapan Hidup saat lahir adalah rata-rata lamanya hidup (dalam tahun) sejak lahir yang akan dicapai oleh penduduk dalam suatu wilayah dan waktu tertentu yang dihitung berdasarkan angka kematian menurut kelompok umur. Perhitungan Angka Harapan Hidup dihitung dengan menggunakan paket program Mortpak berdasarkan data rata-rata kelompok umur ibu 15-49 tahun, dan dengan memperhatikan trend hasil Sensus
51
penduduk dan Survei Penduduk Antar Sensus. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah Angka Harapan hidup saat lahir. 3.4
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi atau studi pustaka. Arikunto (2013:274) mendefiniskan metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal tau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya. Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi atau studi pustaka berupa Rekap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi Jawa Tengah, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Juknis Penyusunan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Jawa Tengah dalam Angka, Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah dalam Angka, serta berbagai buku dan literatur berupa jurnal penelitian dan laporan kinerja pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini. 3.5
Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data
Envelopment Analysis (DEA). Pemilihan penggunaan analisis DEA berdasarkan pertimbangan bahwa analisis DEA mampu mengukur efisiensi relatif suatu unit kegiatan ekonomi (UKE) dalam kondisi banyak input maupun output (multi-input and multi-output). Selain itu DEA mampu mengakomodasi satuan-satuan dari variabel-variabel input dan output yang saling berbeda. Pemilihan analisis DEA dalam penelitian ini mampu mengukur tingkat efisiensi relatif pengeluaran pemerintah sektor kesehatan di 35 kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah.
52
Dengan mengukur efisiensi pengeluran pemerintah sektor kesehatan tersebut, maka akan dapat dilihat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang sudah efisien dan yang belum efisien dalam penggunaan belanja kesehatannya. Penelitian ini menjelaskan hubungan penggunaan biaya kesehatan dalam mencapai output akhir meliputi variabel input dan variabel output intermediate akan menghasilkan efisiensi teknis biaya, lebih lanjut variabel output intermediate dan variabel output akan menghasilkan efisiensi teknis sistemnya. Efisiensi yang diukur adalah bersifat teknis, bukan ekonomis. Artinya analisis DEA hanya memperhitungkan nilai absolut dari suatu variabel. Satuan dasar pengukuran yang mencerminkan nilai ekonomis dari tiap-tiap variabel seperti harga, berat, panjang, isi dan lainnya tidak dipertimbangkan. Oleh karena itu dimungkinkan suatu pola perhitungan kombinasi berbagai variabel dengan satuan yang berbeda-beda. Dalam pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio antara output dan input, disajikan sebagai berikut: Efisiensi =
………………. ………………….…..(1)
Selanjutnya, pengukuran efisiensi yang menyangkut input dan output dengan pengukuran efisiensi relatif yang dibobot sebagaimana sebagai berikut: Efisiensi dari unit j =
…………........................................... (2)
Namun demikian, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. Maka dari itu, DEA berasumsi bahwa setiap UKE akan memilih bobot yang memaksimumkan rasio efisiensinya (maximize total weighted output/ total
53
weighted input). Untuk mengkalkulasi efisiensi relatif dari pengeluaran pemerintah sektor kesehatan di Provinsi Jawa Tengah digunakan pemrograman linear sebagai berikut.
∑
Maksimumkan
…………………………………… (3)
Dengan batasan kendala : ∑ ∑
…………………………… (4)
∑
.…………………………….....……..........................................(5) ……………………………………………………… (6) …………………………………………………….. (7) Keterangan dari persamaan di atas dijelaskan sebagai berikut:
Zk
= Kabupaten/kota yang diamati
K
= Kabupaten/kota yang dinilai dalam analisis yaitu 35 kabupaten/kota = Jumlah output r yang dihasilkan oleh UKE k = Jumlah input I yang digunakan UKE k
s
= Jumlah output yang dihasilkan (layanan, fasilitas kesehatan dan derajat kesehatan).
m
= Jumlah input yang digunakan (belanja kesehatan kabupaten/kota) = Bobot tertimbang dari output r yang dihasilkan tiap UKE k = Bobot tertimbang dari input i yang dihasilkan tiap UKE k Pengukuran dalam analisis DEA memiliki dua model orientasi yaitu
orientasi input (Input-Oriented Measures) dan orientasi output (Output-Oriented Measures). Dalam penelitian ini menggunakan orientasi output untuk variabel input dan variabel output intermediate, serta variabel output intermediate dan
54
variabel outcome. Artinya sejumlah output dapat ditingkatkan secara proporsional tanpa mengubah jumlah input yang digunakan. Sehingga dari analisis efisiensi ini akan dihasilkan efisiensi teknis biaya dan efisiensi teknis sistem. Aam Rusydiana (2013:21) menyatakan bahwa dalam pendekatan DEA dikenal dua asumsi berdasarkan hubungan variabel input dengan outputnya, yaitu Constant Return to Scale (CRS) dan Variable Return to Scale (VRS). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Variable Return to Scale (VRS), dengan asumsi bahwa rasio penambahan input dan output adalah tidak sama. Karena dalam sektor kesehatan penambahan proporsi input belum tentu dapat meningkatkan proporsi output dengan nilai yang sama. Hal ini dikarenakan ada faktor lain yang juga mempengaruhi seperti tingkat pendidikan, kesadaran masyarakat, kondisi lingkungan dan lain sebagainya. Tabel 3.1 Kriteria Ukuran Tingkat Efisiensi Teknis Belanja Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah. Kriteria Efisiensi Nilai Efisiensi (persen) Sempurna/Optimum 100 Tinggi 81-99 Sedang 60-80 Rendah 41-59 Tidak Efisien ≤ 40 Sumber : Hidayat dalam Fathoni, 2016. Agar dapat dipastikan tingkat capaian efisiensi teknis pada belanja sektor kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014, maka perlu adanya pembagian kriteria ukuran tingkat efisiensi, yaitu efisiensi sempurna, efisiensi tinggi, efisiensi sedang, efisiensi rendah, serta tidak efisien. Kriteria ukuran tingkat efisiensi dapat terlihat pada Tabel 3.1 di atas. Salah satu keunggulan analisis perhitungan efisiensi dengan metode DEA adalah selain mampu menemukan nilai efisiensi relatif dari masing-masing UKE,
55
metode DEA juga dapat membuat skenario perbaikan input dan output, bagi input dan output yang belum efisien melalui langkah-langkah indentifikasi input yang terlalu banyak atau output yang terlalu rendah. Hasil analisis data dengan metode DEA, akan terlihat UKE yang memiliki input/ output yang belum efisien. Maka dari hal tersebut akan ditentukan langkah selanjutnya untuk tahap perbaikan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah
4.1.1
Letak geografis dan Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
letaknya cukup strategis karena berada diantara dua provinsi besar yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur serta Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya antara 5°40' dan8°30' Lintang Selatan dan antara 108°30' dan111°30' Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Jawa Tengah sebesar 32.544,12 km2. Secara administratif Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota yang tersebar menjadi 573 kecamatan dan 8.578 desa/ kelurahan. Wilayah terluas terdapat di Kabupaten Cilacap sebesar 2.138,51 km2, atau sekitar 6,75% dari luas total Provinsi Jawa Tengah, sedangkan Kota Magelang merupakan wilayah yang luasnya paling kecil yaitu sebesar 18,12 km2. 4.1.2
Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 33.522.663 jiwa atau
sekitar 13,29 persen dari jumlah penduduk Indonesia (Sensus Penduduk, 2014). Ini menempatkan Provinsi Jawa Tengah sebagai provinsi ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tahun 2014 sebesar 1.030 jiwa untuk setiap km2. Wilayah terpadat adalah Kota Surakarta, dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 11.584 jiwa per km2 persegi. Wilayah terlapang adalah Kabupaten Blora,
56
57
dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 472 jiwa per km2, dengan demikian persebaran penduduk di Jawa Tengah belum merata. 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000
Kota Surakarta Kota Tegal Kota Magelang Kota Pekalongan Kota Semarang Kota Salatiga Kab. Kudus Kab. Sukoharjo Kab. Klaten Kab. Tegal Kab. Pemalang Kab. Demak Kab. Banyumas Kab. Jepara Kab. Purbalingga Kab. Magelang Kab. Karanganyar Kab. Brebes Kab. Semarang Kab. Pekalongan Kab. Boyolali Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Sragen Kab. Kebumen Kab. Temanggung Kab. Banjarnegara Kab. Pati Kab. Cilacap Kab. Wonosobo Kab. Purworejo Kab. Grobogan Kab. Rembang Kab. Wonogiri Kab. Blora
0
Gambar 4.1 Jumlah Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2) berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 Sumber : BPS, 2015. Berdasarkan Gambar 4.1 diatas menunjukkan bahwa tingkat persebaran penduduk di Provinsi Jawa Tengah masih belum merata. Jumlah penduduk perkotaan lebih besar jika dibandingkan dengan di daerah kabupaten (pedesaan). Rerata kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2014 sekitar 2000,57 jiwa per km2 dengan kepadatan tertinggi di Kota Surakarta sebesar 11.585 jiwa per km2 dan kepadatan terendah di Kabupaten Blora sebesar 473 jiwa per km2. Jika dilihat dari segi kesehatan, tingkat kepadatan dan mobilitas penduduk yang tinggi akan berpengaruh terhadap penyebaran beberapa penyakit menular dan penyebab munculnya masalah kesehatan lainnya. Karena pada umumnya penduduk yang berada di daerah yang kepadatan penduduknya tinggi akan sulit untuk mengatur kebersihan pada lingkungannya. Sebagai contoh di kota
58
dengan mayoritas penduduk yang tinggi, mengalami masalah sampah yang menumpuk dan sulit untuk ditangani. Sehingga masyarakat lebih memilih membuang ke sungai, karena terbatasnya tempat pembuangan akhir. Akibat hal tersebut, aliran sungai menjadi mampet, bila musim hujan akan terjadi banjir. Akibat dari banjir ini menimbulkan berbagai macam penyakit seperti DBD, diare, muntaber dan lain sebagainya. Padat dan/ tidaknya suatu penduduk di daerah tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menentukan kesehatan penduduk suatu daerah, karena hal ini kembali lagi kepada kesadaran penduduk akan pentingya lingkungan yang sehat sehingga terhidar dari berbagai macam penyakit. 4.2
Belanja Sektor Kesehatan Berdasarkan rekap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tahun 2015, diketahui bahwa belanja kesehatan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 secara umum mengalami kecenderungan yang selalu meningkat. Peningkatan belanja kesehatan dibeberapa daerah terjadi sangat signifikan, hampir semua kabupaten/kota mengalami peningkatan belanja kesehatan selama periode penelitian (2012-2014), kecuali Kota Salatiga yang mengalami penurunan pada tahun 2013, namun meningkat kembali pada tahun 2014. Bertikut
disajikan
tabel
anggaran
belanja
kesehatan
berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 :
perkapita
59
Tabel 4.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Per kapita Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kabupaten/Kota
2012
2013
2014
Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
98778,67 145089,18 145104,16 133564,63 110936,13 167049,10 132320,07 103719,13 174851,54 70502,85 125979,54 127272,70 117423,32 170714,48 108961,35 146923,19 223759,71 174904,29 197003,14 127264,99 97612,86 151128,75 122100,11 129856,78 140605,53 177909,65 100471,13 107106,35 84378,51 807452,78 232707,10 625517,61 43517,21 230219,00 546336,68
117144,56 162279,40 158531,27 156835,92 175019,87 208501,66 149754,32 116507,10 195281,09 76801,71 155138,30 143354,68 151755,40 176546,67 112005,74 163170,35 257573,01 188628,45 226610,17 146859,33 105582,64 193358,40 150372,72 158382,82 184983,35 221319,01 117834,28 127328,65 117171,02 941477,78 239829,58 537303,24 152395,58 286871,90 645245,69
137530,70 209047,64 208052,41 174103,31 214329,50 229676,16 209994,33 123901,17 232436,47 148106,47 195828,05 200649,97 189712,35 240383,85 165829,53 225458,06 288041,95 207407,59 236674,95 152513,34 148772,85 231977,02 183743,59 192972,20 211284,67 255372,28 122410,89 181188,78 130658,98 1109567,81 243347,07 702831,99 159519,95 374232,65 733875,17
Rata-Rata 117817,98 172138,74 170562,61 154834,62 166761,83 201742,31 164022,91 114709,13 200856,36 98470,35 158981,96 157092,45 152963,69 195881,66 128932,21 178517,20 256458,22 190313,44 220096,09 142212,55 117322,78 192154,73 152072,14 160403,94 178957,85 218200,31 113572,10 138541,26 110736,17 952832,79 238627,92 621884,28 118477,58 297107,85 641819,18 217030,78
Rata-rata Sumber : Rekap APBD klasifikasi fungsi menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014, diolah.
60
Berdasarkan Tabel 4.1 diatas, menunjukkan bahwa pada tahun 2012, anggaran belanja kesehatan terbesar dicapai oleh Kota Magelang sebesar Rp.807 juta. Adapun belanja kesehatan terendah dikeluarkan oleh Kota Semarang sebesar Rp.43 juta. Pada tahun 2013, belanja kesehatan di Kota Magelang meningkat menjadi Rp.941 juta dan menjadi belanja kesehatan terbesar pada tahun itu, dan belanja terendah dimiliki oleh Kabupaten Klaten sebesar Rp.76 juta. Sedangkan pada tahun 2014, belanja kesehatan tertinggi kembali dimiliki oleh Kota Magelang dengan Rp.1.109 juta dan yang terendah yaitu Kabupaten Pemalang dengan Rp.122 juta. Perkembangan rata-rata belanja kesehatan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 menunjukkan bahwa Kota Magelang memiliki angka rata-rata belanja kesehatan terbesar mencapai angka Rp.952 juta. Sedangkan angka rata-rata belanja kesehatan terkecil dimiliki oleh Kabupaten Klaten sebesar Rp.98 juta. Besarnya kecilnya anggaran belanja sektor kesehatan dalam APBD yang diupayakan oleh masing-masing pemerintah daerah salah satunya sangat dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan masing-masing daerah terhadap penyediaan fasilitas
dan layanan kesehatan. Fasilitas dan layanan
kesehatan yang diupayakan oleh pemerintah daerah ini pada akhirnya akan digunakan untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. 4.3
Fasilitas dan Layanan Kesehatan Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,
61
pemerintah daerah, dan/ atau masyarakat (Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009). Indikator yang digunakan dalam menggambarkan fasilitas dan pelayanan kesehatan diantaranya rasio jumlah puskesmas per jumlah penduduk, rasio jumlah bidan per jumlah penduduk, dan rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit per jumlah penduduk (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015). Indikator fasilitas kesehatan berupa rasio jumlah puskesmas dan rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit. Ditinjau dari indikator rasio jumlah puskesmas masih mengalami ketimpangan yang cukup besar. Hal ini terlihat pada tahun 2012, rasio jumlah puskesmas tertinggi terdapat di Kabupaten Wonogiri dengan 22,82 unit per 100.000 penduduk, adapun rasio jumlah puskesmas terendah dimiliki oleh Kota Semarang sebesar 7,36 unit per 100.000 penduduk. Sama halnya dengan tahun 2013, rasio jumlah puskesmas tertinggi masih dimiliki Kabupaten Wonogiri (22,92 unit per 100.000 penduduk), terendah dimiliki Kota Semarang (7,30 unit per 100.000 penduduk). Kondisi ini tidak berubah sampai tahun 2014. Bahkan untuk Kabupaten Wonogiri ini memiliki rasio dokter yang hamper 3 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan kabupaten yang memiliki rasio jumlah puskesmas terendah. Perkembangan rasio jumlah puskesmas selama tahun 2012-2014 menunjukkan bahwa sebanyak 18 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah masih memiliki fasilitas jumlah puskesmas dibawah rata-rata provinsi (12,74 unit per 100.000 penduduk). Daerah yang memiliki fasilitas puskesmas tertinggi yaitu Kabupaten Wonogiri dengan 22,68 unit per 100.000 penduduk. Sedangkan daerah dengan fasilitas puskesmas terendah dimiliki oleh Kota Semarang sebesar 7,02
62
unit per 100.000 penduduk. Ini menandakan bahwa fasilitas kesehatan yang tercermin dari indikator jumlah puskesmas di Provinsi Jawa Tengah sebagian besar daerah kabupaten/kota masih mengalami ketimpangan dalam pemerataan jumlah puskesmas yang tersebar di beberapa wilayah. Ketersediaan fasilitas kesehatan yang ditinjau dari indikator rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit selama periode penelitian juga masih mengalami ketimpangan. Pada tahun 2012, Kota Magelang memiliki rasio jumlah tempat tidur yang tersedia tertinggi dengan 586,98 unit per 100.000 penduduk sedangkan Kabupaten Magelang memiliki rasio jumlah tempat tidur yang tersedia terendah dengan 27,31 unit per 100.000 penduduk. Pada tahun 2013 rasio jumlah tempat tidur di Kota Magelang naik menjadi 589,49 unit per 100.000 penduduk, lain halnya dengan Kabupaten Magelang turun menjadi 25,21 unit per 100.000 penduduk. Adapun tahun 2014, kedua daerah tersebut mengalami peningkatan kembali Kota Magelang (691,18 unit per 100.000 penduduk) dan Kabupaten Magelang (33,88 unit per 100.000 penduduk). Perkembangan rasio jumlah tempat tidur selama tahun 2012-2014 menunjukkan bahwa sebanyak 27 daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang masih berada di bawah rata-rata provinsi (112,28 unit per 100.000 penduduk). Secara umum yang terlihat pada rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit antara daerah kota dan kabupaten memiliki angka yang jauh berbeda. Rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit, daerah kota jauh lebih tinggi diatas 100, sedangkan untuk daerah kabupaten memiliki rasio jumlah tempat tidur dibawah 100.
63
Tabel 4.2 Rasio Puskesmas dan Rasio Tempat Tidur yang Tersedia di Rumah Sakit di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 (per 100.000 penduduk) Kab/Kota
2012
Rasio Puskesmas 2013 2014 Rata-rata
2012
Rasio Tempat Tidur 2013 2014 Rata-rata
Kab. Cilacap
9,82
9,84
8,96
9,54
43,81
46,60
47,28
46,24
Kab. Banyumas
8,17
8,16
7,22
7,85
111,16
115,35
145,90
124,14
Kab. Purbalingga
10,48
10,46
9,11
10,02
48,32
48,19
47,12
47,88
Kab. Banjarnegara
13,92
13,93
12,50
13,45
54,21
54,27
50,34
52,94
Kab. Kebumen
13,37
13,51
12,62
13,17
73,45
73,76
87,30
78,17
Kab. Purworejo
18,07
18,14
16,38
17,53
72,83
73,14
76,97
74,32
Kab. Wonosobo
14,00
14,04
12,93
13,66
56,52
56,67
63,11
58,77
Kab. Magelang
10,50
10,48
10,13
10,37
27,31
25,21
33,88
28,80
Kab. Boyolali
12,59
12,61
11,07
12,09
80,67
91,30
96,05
89,34
Kab. Klaten
14,40
14,45
13,00
13,95
69,55
69,80
88,21
75,86
Kab. Sukoharjo
17,44
17,42
16,10
16,99
80,12
80,05
87,87
82,68
Kab. Wonogiri
22,82
22,92
22,31
22,68
67,42
73,01
78,13
72,85
Kab. Karanganyar
14,55
14,52
12,85
13,97
60,45
60,34
67,55
62,78
Kab. Sragen
15,54
15,60
14,39
15,17
82,49
85,90
98,56
88,98
Kab. Grobogan
10,60
10,70
9,67
10,33
70,12
68,62
73,07
70,60
Kab. Blora
13,34
13,38
12,14
12,95
55,48
55,66
63,53
58,22
Kab. Rembang
18,57
18,56
16,77
17,97
42,56
42,54
53,41
46,17
9,34
9,36
8,81
9,17
71,64
75,86
76,45
74,65
Kab. Kudus
10,28
10,24
9,38
9,97
127,01
134,06
145,16
135,41
Kab. Jepara
8,65
8,58
7,26
8,16
59,83
59,40
65,25
61,49
Kab. Demak
9,62
9,59
8,41
9,21
38,30
38,19
42,84
39,78
Kab. Semarang
13,84
13,76
12,45
13,35
61,75
61,39
35,74
52,96
Kab. Temanggung
17,24
17,49
16,24
16,99
77,59
77,47
70,91
75,33
Kab. Kendal
12,85
12,84
11,56
12,41
32,60
32,58
49,54
38,24
Kab. Batang
12,63
12,78
11,81
12,41
44,74
45,30
46,85
45,63
Kab. Pekalongan
13,00
13,01
12,10
12,70
66,99
67,01
66,97
66,99
Kab. Pemalang
7,94
7,97
7,63
7,85
52,61
55,17
59,88
55,89
Kab. Tegal
8,87
9,05
8,45
8,79
51,79
52,01
61,33
55,05
Kab. Brebes
8,47
8,50
7,44
8,14
34,17
39,95
46,30
40,14
Kota Magelang
18,27
18,34
18,28
18,30
586,98
589,49
691,18
622,55
Kota Surakarta
12,17
12,21
12,16
12,18
396,80
394,23
446,40
412,48
Kota salatiga
15,78
15,68
14,90
15,45
263,13
261,49
322,31
282,31
7,36
7,30
6,40
7,02
238,29
233,10
250,93
240,77
Kota pekalongan
16,88
16,85
16,68
16,80
181,51
181,18
212,12
191,60
Kota tegal
15,53
15,58
15,10
15,41
249,76
236,61
352,66
279,68
Rata-rata Provinsi
13,05
13,08
12,09
12,74
106,63
107,28
122,89
112,28
Kab. Pati
Kota semarang
Sumber : Jawa Tengah dalam Angka 2012-2014, diolah.
64
Kota Magelang memiliki rasio jumlah tempat tidur tertinggi sebesar 622,55 unit per 100.000 penduduk, sedangkan rasio jumlah tempat tidur terendah yaitu Kabupaten Magelang dengan 28,80 unit per 100.000 penduduk. Ini menandakan bahwa rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang tersebar di Provinsi Jawa Tengah selama periode penelitian masih belum merata hal ini dapat dilihat dari rasio jumlah tempat tidur terendah dan terbesar di masing-masing daerah. Ditinjau dari indikator ketersediaan layanan kesehatan berupa rasio jumlah bidan di rumah sakit pemerintah, puskesmas, puskesmas pembantu atau fasilitas kesehatan publik milik pemerintah lainnya per 100.000 penduduk masih belum merata. Pada tahun 2012, rasio jumlah bidan tertinggi terdapat di Kota Magelang sebesar 74,72 bidan per 100.000 penduduk, rasio jumlah bidan terendah dimiliki oleh Kota Semarang dengan 29,20 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2013, rasio jumlah bidan tertinggi terdapat di Kabupaten Banjarnegara dengan 85,51 bidan per 100.000 penduduk, sedangkan terendah masih dimiliki Kota Semarang dengan 29,06 bidan per 100.000 penduduk. Adapun tahun 2014, Kota Magelang memiliki rasio jumlah bidan tertinggi sebesar 76,43 bidan per 100.000 penduduk, dan Kabupaten Brebes dengan rasio jumlah bidan terendah sebesar 27,01 bidan per penduduk. Berikut disajikan data rasio jumlah bidan per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
65
Tabel 4.3 Rasio Jumlah Bidan per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal Rata-rata Provinsi
2012 42,86 40,67 40,91 74,64 64,65 44,46 44,59 38,38 46,57 49,35 55,97 50,61 48,76 73,58 46,00 46,04 65,40 52,62 54,52 55,03 34,54 38,41 48,86 63,91 66,29 61,53 52,06 42,93 38,69 74,72 53,97 59,16 29,20 32,38 45,37 50,79
Rasio Jumlah Bidan 2013 2014 Rata-rata 69,63 68,23 60,24 45,34 39,11 41,71 42,28 32,95 38,71 85,51 47,77 69,31 65,61 68,25 66,17 46,49 66,10 52,35 44,71 44,23 44,51 42,81 42,88 41,36 45,07 45,94 45,86 47,95 51,04 49,45 55,68 54,61 55,42 51,15 33,83 45,20 51,30 51,75 50,60 74,89 75,72 74,73 52,31 54,69 51,00 48,43 51,98 48,82 59,94 42,66 56,00 58,78 57,93 56,45 57,60 57,48 56,53 54,54 36,47 48,68 35,63 37,24 35,81 37,88 37,47 37,92 52,60 53,32 51,59 64,63 37,98 55,51 65,31 61,11 64,24 61,55 48,87 57,32 55,02 36,05 47,71 43,25 42,53 42,90 38,82 27,01 34,84 74,21 76,43 75,12 55,14 56,07 55,06 59,91 58,50 59,19 29,06 28,51 28,93 33,35 60,26 42,00 47,57 47,35 46,76 52,97 49,50 51,09
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014, diolah. Perkembangan rasio jumlah bidan selama kurun waktu 2012-2014 menunjukkan bahwa sebanyak 19 kabupaten/kota yang memiliki jumlah bidan di bawah jumlah bidan rata-rata di provinsi (51,09 bidan per 100.000 penduduk).
66
Daerah dengan jumlah bidan terbesar yaitu Kota Magelang dengan 75,12 bidan per 100.000 penduduk. Adapun daerah dengan jumlah bidan terendah dimiliki oleh Kota Semarang dengan 28,93 bidan per 100.000 penduduk. Secara umum jumlah bidan yang tersebar di Provinsi Jawa Tengah masih belum merata, hal ini terlihat dari rasio jumlah bidan di kabupaten/kota yang masih rendah dibeberapa daerah. Berdasarkan indikator fasilitas dan layanan kesehatan tersebut, secara umum dapat diketahui bahwa di Provinsi Jawa Tengah masih membutuhkan perhatian dari pemerintah daerah terkait penyediaan serta pemerataan fasilitas dan layanan kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan kesehatan yang baik. 4.4
Kondisi Derajat Kesehatan Masyarakat Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur derajat kesehatan
masyarakat pada umumnya tercermin dalam kondisi angka kematian, angka kesakitan dan status gizi (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2016). Menurut Rencana Strategis Pemerintah Jawa Tengah dalam publikasi Badan Perencanaan dan Pembangunan (BAPPEDA) Provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa indikator utama yang digunakan sebagai ukuran derajat kesehatan masyarakat suatu wilayah adalah Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Ibu, dan Angka Harapan Hidup. 4.4.1
Angka Kematian (Mortalitas) Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa kejadian
kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu menggambarkan status kesehatan masyarakat secara kasar, kondisi atau tingkat permasalahan kesehatan,
67
kondisi lingkungan fisik dan biologis secara tidak langsung. Angka kematian (mortalitas) biasanya digunakan sebagai penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan. Ini terbukti dengan indikator ini masuk dalam tujuan MDGs tahun 2015. Indikator kematian yang digunakan untuk mengukur keberhasilan upaya kesehatan adalah Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI). 4.4.1.1 Angka Kematian Bayi Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, rata-rata angka AKB pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 mencapai 10,34 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini terus menurun jika dibandingkan pada tahun 2013 sebesar 10,98 dan tahun 2012 sebesar 11,01 bayi per kelahiran hidup. Pada tahun 2014, sebanyak 15 kabupaten/kota yang memiliki AKB diatas rata-rata AKB Provinsi di Jawa Tengah (10,34 bayi per kelahiran hidup). Hal ini menandakan bahwa di sebagian besar kabupaten/kota pada tahun 2014 masih terjadi angka kematian bayi yang cukup tinggi, karena jumlahnya yang melebihi rata-rata AKB provinsi. AKB tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Grobogan dengan 17,82 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Adapun AKB terendah berhasil dicapai Kota Surakarta dengan 3,78 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Selanjutnya, jika dilihat dari rata-rata AKB selama periode penelitian (2012-2014), menunjukkan bahwa sebanyak 15 kabupaten/kota memiliki AKB di atas rata-rata AKB di Provinsi Jawa Tengah sebesar 10,78 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Kabupaten Rembang memiliki tingkat AKB paling tinggi mencapai 15,87 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB terendah masih
68
dimiliki Kota Surakarta dengan 4,11 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Kondisi lain terjadi di 4 (empat) daerah kabupaten/kota yang terus mengalami peningkatan AKB selama 2012-2014, yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Kudus. Ini membuktikan bahwa masih terdapat peningkatan angka kematian bayi yang terjadi di beberapa daerah. Berikut disajikan perkembangan AKB kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014: 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
Kab. Rembang Kab. Banjarnegara Kab. Blora Kab. Temanggung Kota Magelang Kab. Grobogan Kab. Batang Kab. Purworejo Kota salatiga Kota tegal Kab. Brebes Kab. Wonosobo Kota pekalongan Kab. Semarang Kab. Purbalingga Rata-rata Provinsi Kab. Cilacap Kab. Pati Kab. Sukoharjo Kab. Banyumas Kab. Kebumen Kab. Karanganyar Kab. Klaten Kota semarang Kab. Boyolali Kab. Kendal Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Jepara Kab. Sragen Kab. Tegal Kab. Magelang Kab. Kudus Kab. Wonogiri Kab. Demak Kota surakarta
10,78
Gambar 4.2 Diagram Angka Kematian Bayi rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, di olah. 4.4.1.2 Angka Kematian Ibu Angka Kematian Ibu (AKI) pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama kurun tahun 2012-2013 cenderung mengalami peningkatan. Sebanyak 14 daerah kabupaten/kota masih memiliki AKI rata-rata di atas AKI rata-rata provinsi (119,16 per 100.000 kelahiran hidup). Daerah dengan AKI tertinggi terjadi di Kabupaten Pekalongan dengan 202 per 100.000 kelahiran
69
hidup. Adapun AKI terendah berhasil dicapai Kota Surakarta dengan 53,31 per 100.000 kelahiran hidup. Selain itu terdapat 9 daerah kabupaten/kota yang selam periode penelitian secara konsisten mengalami peningkatan AKI di Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan. Tren positif nilai AKI yang semakin meningkat ini, menandakan adanya penurunan derajat kesehatan masyarakat yang terjadi sehingga membutuhkan perhatian serius bagi pemerintah daerah agar lebih diprioritaskan pada kesehatan ibu dan anak. Berikut disajikan perkembangan AKI kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014: 250.00 200.00 150.00
119,16
100.00 50.00 Kab. Pekalongan Kab. Brebes Kota tegal Kab. Rembang Kab. Batang Kab. Tegal Kab. Grobogan Kota salatiga Kab. Pemalang Kab. Purbalingga Kab. Kudus Kab. Kendal Kab. Banjarnegara Kab. Pati Rata-rata Provinsi Kab. Banyumas Kab. Cilacap Kab. Klaten Kab. Semarang Kota Magelang Kab. Blora Kab. Purworejo Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Jepara Kota semarang Kab. Wonosobo Kab. Temanggung Kab. Wonogiri Kab. Boyolali Kota pekalongan Kab. Demak Kab. Sukoharjo Kab. Magelang Kab. Kebumen Kota surakarta
0.00
Gambar 4.3 Diagram Angka Kematian Ibu rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, diolah.
70
4.4.2
Angka Harapan Hidup Angka Harapan Hidup (AHH) kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
dalam kurun waktu 2012-2014 memiliki kecenderungan yang selalu meningkat setiap tahunnya. Nilai AHH selalu meningkat dari tahun ke tahun. AHH tertinggi pada tahun 2014 didimiliki Kabupaten Sukoharjo dengan 77,45, sedangkan AHH terendah di tahun 2014 dimiliki Kabupaten Brebes dengan 67,9. Jika dilihat ratarata AHH pada tahun 2014 lebih tinggi yaitu 72,07 dibandingkan tahun sebelumnya 71,03. AHH merupakan salah satu tolok ukur derajat kesehatan masyarakat. AHH yang semakin meningkat mengindikasikan bahwa derajat kesehatan masyarakat yang semakin membaik. Transisi demografi yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah usia lanjut ini juga membawa konsekuensi meningkatnya penyakit-penyajit degenerative di Provinsi Jawa Tengah. Untuk itu diperlukan penanganan melalui pengembangan pelayanan jangka panjang. Selama kurun waktu 2012-2014, AHH kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah juga mengalami peningkatan. Meskipun terjadi peningkatan setiap tahunnya, namun sebanyak 18 daerah nilai rata-rata AHH kabupaten/kota masih berada di bawah rata-rata AHH provinsi Jawa Tengah sebesar 72,1 tahun. Angka AHH tertinggi dicapai oleh Kabupaten Karanganyar dengan angka harapan hidup penduduknya mencapai usia 73,9 tahun, sedangkan angka harapan hidup terendah dicapai oleh Kabupaten Brebes dengan angka harapan hidup penduduknya mencapai usia 68,2 tahun. Berikut disajikan perkembangan AHH kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014:
71
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal Provinsi
75.0 74.0 73.8 73.5 73.7 73.8 73.7 74.0 72.673.1 72.0 73.0 72.0 72.4 72.1 72.7 72.3 71.5 71.9 72.0 71.5 70.8 70.6 72.0 70.9 70.9 71.0 71.0 69.9 70.0 74.0 73.9 73.7 69.0 72.1 72.8 71.7 73.0 71.4 68.0 71.0 69.8 70.6 67.0 68.2 66.0 65.0
Gambar 4.4 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. Sumber : BPS, 2016, diolah. 4.5
Hasil Penelitian Perhitungan nilai efisiensi dengan metode Data Envelopment Analysis
(DEA) pada penelitian ini menggunakan program Banxia Frontier Analysis (BFA) versi 3.2.2. Hasil perhitungan efisiensi teknis ini akan menghasilkan nilai efisiensi teknis relatif antar unit kegiatan ekonomi (UKE). Adapun UKE yang diteliti dalam penelitian ini adalah 35 kabupaten/kota yang tersebar di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012-2014. Dalam perhitungan nilai efisiensi relatif yang dihitung dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu efisiensi secara teknis biaya dan teknis sistem. Perhitungan
nilai
efisiensi
teknis
dengan
metode
DEA
akan
menghasilkan nilai efisiensi teknis untuk masing-masing UKE. Selain itu DEA juga mampu menentukan bobot untuk masing-masing variabel input dan output,
72
sehingga diperoleh perhitungan yang lebih lanjut dalam menentukan target-target perbaikan bagi UKE yang belum mencapai kondisi efisien. Perhitungan terkait target perbaikan bagi UKE yang belum efisien ini akan memerikan keuntungan bagi pembuat kebijakan dalam menentukan kebijakan mengenai besarnya jumlah input yang seharusnya digunakan, serta output yang ditargetkan agar mencapai kondisi yang efisien. 4.5.1
Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan Perhitungan nilai efisiensi teknis biaya kesehatan pemerintah daerah
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah diperoleh dengan menggunakan variabel input berupa besarnya anggaran belanja kesehatan masing-masing pemerintah daerah kabupaten/kota. Sedangkan untuk variabel ouput yang digunakan adalah variabel output intermediate berupa indikator fasilitas dan layanan kesehatan yang tersedia atas belanja kesehatan tersebut. Adapun indikator fasilitas dan layanan kesehatan yang digunakan adalah rasio jumlah puskesmas per 100.000 penduduk, rasio jumlah tenaga bidan per 100.000 penduduk, dan rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit per 100.000 penduduk. Indikator fasilitas dan layanan kesehatan ini mencerminkan seberapa besar upaya pemerintah daerah di Provinsi Jawa Tengah dalam menyediakan sarana kesehatan yang memadai bagi masyarakatnya. Nilai efisiensi teknis biaya digunakan untuk melihat sejauh mana tingkat efisien penggunaan input berupa anggaran belanja kesehatan yang dikeluarkan masing-masing pemerintah daerah di Provinsi Jawa Tengah untuk menghasilkan fasilitas dan layanan kesehatan dasar dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik.
73
Penelitian ini menggunakan asumsi bahwa besarnya input anggaran belanja kesehatan yang dikeluarkan pemerintah daerah mampu menghasilkan jumlah output berupa fasilitas dan layanan kesehatan dengan besaran yang tidak sama. Perhitungan nilai efisiensi teknis biaya ini menggunakan asumsi Variabel Return to Scale (VRS) dan model orientasi ouput (output oriented) serta cateris paribus. Dikatakan efisien bila nilai efisiensi sebesar 100 persen. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan DEA menunjukkan hasil empiris tentang efisiensi teknis biaya kesehatan pemerintah daerah di Provinsi Jawa Tengah. Tahun 2012, hasil perhitungan nilai efisiensi teknis biaya sektor kesehatan di kabupaten/kota menunjukkan bahwa hanya terdapat 8 (delapan) kabupaten/kota yang mencapai nilai efisiensi sempurna 100 persen. Ini menandakan bahwa secara teknis biaya daerah tersebut telah efisien, yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Rembang, Kota Magelang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang. Sedangkan 27 kabupaten/kota memiliki nilai efisiensi teknis biaya kurang dari 100 persen yang berarti secara teknis belum efisien. Ini menandakan bahwa dalam pengelolaan belanja sektor kesehatan daerah tersebut masih kurang optimal. Tahun 2013, menunjukkan bahwa kabupaten/kota yang telah mampu mencapai efisiensi sempurna 100 persen berkurang menjadi 7 (tujuh) kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kota Magelang, Kota Surakarta dan Kota Semarang.
74
Tabel 4.4 Hasil perhitungan Efisiensi Teknis Biaya belanja sektor kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
Efisiensi Teknis Biaya 2012 2013 2014 70,62 100,00 100,00 65,32 68,88 61,14 61,70 60,05 55,69 100,00 100,00 84,79 99,82 85,54 94,68 82,40 83,21 100,00 74,53 71,98 76,53 65,84 68,13 100,00 71,66 69,56 70,64 100,00 100,00 100,00 96,38 89,69 98,79 100,00 100,00 100,00 83,49 78,05 86,52 100,00 98,12 100,00 76,31 85,58 84,68 72,55 72,01 77,36 100,00 93,81 85,32 71,49 71,70 79,86 77,84 75,17 81,24 78,33 72,03 63,19 61,15 61,89 67,59 67,57 65,05 67,66 90,28 88,22 100,00 88,87 81,93 69,63 89,02 82,15 86,36 83,59 79,92 73,61 84,83 82,98 100,00 68,00 64,16 66,45 70,45 59,34 73,50 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 83,96 84,71 83,89 100,00 100,00 100,00 86,29 83,76 97,08 75,68 75,66 78,07
Sumber : Lampiran 16-18, diolah.
Rata-Rata Efisiensi 90,21 65,11 59,15 94,93 93,35 88,54 74,35 77,99 70,62 100,00 94,95 100,00 82,69 99,37 82,19 73,97 93,04 74,35 78,08 71,18 63,54 66,76 92,83 80,14 85,84 79,04 89,27 66,20 67,76 100,00 100,00 84,19 100,00 89,04 76,47
75
Dua kabupaten/kota yang mengalami penurunan nilai efisiensi yaitu Kabupaten Sragen dari efisiensi sempurna 100 persen pada tahun 2012 menjadi efisiensi tinggi sebesar 98,12 persen, dan Kabupaten Rembang dari efisiensi sempurna 100 persen pada tahun 2012 menjadi efisiensi tinggi 93,81 persen. Adapun kabupaten/kota yang bertambah nilai efisien teknis biaya yaitu Kabupaten Cilacap dari efisiensi sedang 70,62 pada tahun 2012 menjadi efisiensi sempurna 100 persen atau telah efisien. Tahun 2014, pencapaian efisiensi teknis biaya belanja sektor kesehatan yang mencapai tingkat efisien sempurna 100 persen bertambah menjadi 11 (sebelas) kabupaten/kota. Yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Pemalang, Kota Magelang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang. Hal ini menunjukkan bahwa secara teknis biaya telah ada upaya yang secara signifikan telah dilakukan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tiga tahun penelitian. Berdasarkan hasil perhitungan selama tahun 2012-2014 menunjukkan bahwa pencapaian nilai efisiensi sempurna 100 persen teknis biaya secara ratarata di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah hanya sebanyak 5 (lima) kabupaten/kota (14,3 persen) dari seluruh kabupaten/kota. Adapun kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kota Magelang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut telah efisien dalam menggunakan anggaran belanja kesehatan pemerintah daerahnya secara konsisten selama periode penelitian. Sedangkan 30 (tiga puluh)
76
kabupaten/kota lainnya masih belum efisien dalam menggunakan anggaran belanja sektor kesehatan. Daerah kabupaten/kota yang memiliki pencapaian nilai efisiensi teknis biaya sebesar 100 persen mengindikasikan bahwa daerah tersebut telah efisien dalam menggunakan sejumlah input biaya yang dibelanjakan pemerintah daerahnya di sektor kesehatan terutama yang dialokasikan untuk penyediaan output fasilitas dan layanan kesehatan dasar yang terdiri dari penyediaan jumlah puskesmas, jumlah bidan yang bertugas di rumah sakit pemerintah, puskesmas, dan fasililitas kesehatan lainnya, serta penambahan kapasitas tempat tidur yang tersedia di rumah sakit. Lebih lanjut, daerah kabupaten/kota yang pencapaian nilai efisiensi teknis biaya nya kurang dari 100 persen (< 100), menandakan bahwa daerahdaerah tersebut belum efisien dalam hal teknis biaya kesehatan. Dengan asumsi semakin kecil pencapaian nilai efisiensinya, maka semakin tidak efisien penggunaan biaya kesehatannya. Dimana setiap tambahan input biaya yang digunakan akan menghasilkan sejumlah tambahan ouput yang lebih kecil, sehingga kebijakan untuk tetap menambah jumlah belanja kesehatan akan membuat pertambahan output kesehatan berupa fasilitas dan layanan kesehatan dasar bertambah dengan jumlah yang lebih kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa secara teknis biaya, daerah-daerah tersebut masih kurang optimal dalam pengelolaan anggaran belanja kesehatannya, yang tidak diikuti dengan penyediaan fasilitas dan layanan kesehatan dasar bagi masyarakatnya.
77
4.5.2
Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan Perhitungan nilai efisiensi sistem dihasilkan dengan memasukkan input
berupa indikator fasilitas dan layanan kesehatan dasar yaitu rasio jumlah puskesmas, rasio jumlah tenaga bidan, dan rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit per 100.000 penduduk. Untuk menghasilkan nilai efisiensi teknis sistem ini output yang dibandingkan adalah indikator derajat kesehatan masyarakat berupa jumlah Angka Kematian Bayi (AKB) yang diproksi dengan Angka Bayi Hidup (ABH) per 1000 penduduk, jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) yang di proksi dengan Angka Ibu Melahirkan Selamat (AIMS) per 100.000 penduduk, serta Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk. Nilai efisiensi teknis sistem ini menggambarkan sejauh mana efisiensi pemerintah daerah di Provinsi Jawa Tengah dalam mengupayakan fasilitas dan layanan kesehatan dasar berupa fasilitas rasio jumlah puskesmas dan jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit serta layanan kesehatan berupa jumlah bidan yang bertugas di puskesmas, rumah sakit, dan pusat kesehatan lainnya. Dengan asumsi bahwa besarnya input fasilitas dan layanan kesehatan yang diupayakan pemerintah daerah mampu menghasilkan jumlah derajat kesehatan masyarakat dengan besaran yang tidak sama (tidak konstan). Perhitungan efisiensi teknis sistem ini menggunakan asumsi Variabel Return to Scale (VRS). Selain itu dengan asumsi kondisi efisien yang terbaik adalah dengan meningkatkan jumlah output maka model yang digunakan berupa orientasi output (output oriented) serta cateris paribus.
78
Tabel 4.5 Hasil perhitungan Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan sektor kesehatan pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
Efisiensi Teknis Sistem 2012 2013 2014 99,62 99,64 99,57 99,98 100,00 100,00 99,64 99,50 100,00 99,15 99,47 99,87 99,78 99,85 99,62 99,43 99,62 99,59 99,37 99,76 99,72 100,00 100,00 100,00 99,47 99,90 99,75 99,70 99,69 99,98 99,59 99,39 100,00 99,15 99,92 100,00 99,83 100,00 100,00 100,00 100,00 99,81 99,41 99,45 98,55 99,75 99,72 99,36 99,58 99,53 100,00 100,00 100,00 100,00 99,86 99,94 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 99,43 99,50 99,44 100,00 99,60 99,45 99,56 99,66 99,91 99,92 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 99,49 100,00 99,43 99,77 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 99,99 99,73 99,64 100,00
Sumber : Lampiran 19-21, diolah.
Rata-Rata Efisiensi 99,61 99,99 99,71 99,50 99,75 99,55 99,62 100,00 99,71 99,79 99,66 99,69 99,94 99,94 99,14 99,61 99,70 100,00 99,93 100,00 100,00 100,00 99,81 99,65 99,54 99,83 100,00 100,00 100,00 99,64 99,92 100,00 100,00 100,00 99,79
79
Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 4.5, terlihat bahwa pada tahun 2012, hasil perhitungan nilai efisiensi teknis sistem pelayanan sektor kesehatan di 35 kabupaten/kota
menunjukkan
hanya
terdapat
13
(tiga
belas)
daerah
kabupaten/kota yang telah mencapai nilai efisiensi sempurna 100 persen. Adapun daerah tersebut yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Sragen, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Salatiga, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan. Tahun 2013, menunjukkan bahwa jumlah kabupaten/kota yang telah mencapai nilai efisiensi sempurna 100 persen bertambah menjadi 17 (tujuh belas) daerah kabupaten/kota. Sebanyak 4 daerah yang mengalami peningkatan nilai efisiensi tinggi diantaranya adalah Kabupaten Banyumas (99,98 persen), Kabupaten Karanganyar (99,83 persen), Kota Magelang (99,49 persen), dan Kota Surakarta (99,77). Tahun 2014, pencapaian nilai efisiensi teknis sistem pelayanan sektor kesehatan mengalami peningkatan kembali. Jumlah kabupaten/kota yang mampu mencapai nilai efisiensi sempurna 100 persen bertambah dari 17 kabupaten/kota pada tahun 2013 menjadi 20 kabupaten/kota pada tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum telah ada upaya perbaikan efisiensi teknis sistem pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil perhitungan selama tahun 2012-2014, menunjukkan bahwa pencapaian nilai efisiensi teknis sistem secara rata-rata di seluruh kabupaten/kota terdapat 11 kabupaten/kota (31,4 persen) yang memiliki nilai
80
efisiensi teknis sistem sempurna 100 persen dan kondisi ini secara konsisten selama periode penelitian. Kondisi pencapaian efisiesi teknis sistem ini jauh lebih baik dari pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hal ini dibuktikan dengan hasil pencapaian ratarata selama tiga tahun penelitian dan tingkat keparahan inefisiensi teknis sistem yang terjadi tidak separah dengan inefisiensi teknis biaya. Tingkat keparahan ditunjukkan pada efisiensi teknis biaya pada daerah yang tidak efisien dengan nilai efisiensinya masih jauh dari 100 persen. Sebagian besar efisiensi teknis biaya masih berada dalam kriterian efisiensi sedang dengan nilai efisiensi 60-80 persen. Berbeda dengan efisiensi teknis sistem, yang nilai efisiensinya berada dalam kriteria efisiensi tinggi dari 81-99 persen, Serupa dengan efisiensi teknis biaya, daerah kabupaten/kota yang memiliki pencapaian efisiensi teknis sistem sebesar 100 persen mengindikasikan bahwa secara empiris daerah tersebut telah efisien dalam menggunakan fasilitas dan layanan kesehatan dasar yang dimilikinya untuk mencapai tingkat derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Lebih lanjut efisien teknis sistem dalam sektor kesehatan dapat diartikan bahwa setiap pertambahan fasilitas kesehatan dan layanan kesehatan yang dilakukan daerah-daerah yang efisien akan menghasilkan tambahan sejumlah output berupa derajat kesehatan yang sama. Daerah kabupaten/kota yang pencapaian nilai efisiensi teknis sistemnya tidak mencapai angka 100 persen (< 100%), maka secara empiris daerah-daerah tersebut belum efisien dalam teknis sistem pelayanan kesehatan. Semakin kecil pencapaian nilai efisiensinya maka semakin tidak efisien daerah tersebut. Dengan
81
kata lain kebijakan menambah jumlah fasilitas dan layanan kesehatan pada daerah-daerah yang inefisien jika tidak diikuti dengan adanya perbaikan sistem kesehatan justru akan berdampak negatif pada pencapaian tingkat derajat kesehatan masyarakat. Perbaikan
sistem
kesehatan
ini
dapat
dilakukan
dengan
cara
meningkatkan jumlah puskesmas yang sudah ada, agar masyarakat akan lebih mudah menjangkau fasilitas tersebut. Selain itu pemerataan layanan kesehatan berupa jumlah bidan yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dengan koordinasi lintas sektor ke daerah-daerah yang masih kekurangan tenaga bidan. Selanjutnya yaitu pemerataan jumlah fasilitas kesehatan berupa tempat tidur yang tersedia di rumah sakit, sehingga masyarakat akan lebih mudah mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Hal ini dilakukan dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. 4.5.3
Target Perbaikan Input dan Output untuk mencapai kondisi Efisien Metode
DEA
ini
akan
menghasilkan
efisiensi
relatif.
Untuk
meningkatkan efisiensi sempurna yang ditunjukkan dengan angka 100 persen, maka dapat diketahui input mana saja yang belum efisien penggunaannya dan output mana saja yang harus tingkatkan. Salah satu keunggulan analisis perhitungan efisiensi dengan menggunakan metode DEA adalah selain mampu menemukan nilai efisiensi relatif dari masing-masing UKE, DEA juga mampu membuat skenario perbaikan input dan output yang sebaiknya digunakan bagi UKE yang belum efisien melalui langkah identifikasi input yang terlalu banyak atau output yang rendah. Skenario perbaikan yang dihasilkan DEA dapat
82
digunakan untuk memperbaiki tingkat efisiensi daerah atau UKE yang belum efisien. Ada tiga faktor yang menyebabkan efisiensi, yaitu apabila dengan input yang sama menghasilkan output yang lebih besar, dan dengan input yang lebih kecil menghasilkan output yang sama, dan dengan input yang lebih kecil menghasilkan menghasilkan output yang lebih besar. Meskipun dengan orientasi maksimasi output, hasil metode analisis efisiensi dengan DEA juga dipengaruhi oleh tingkat input. Salah satu keunggulan metode DEA dalam menganalisis tingkat efisiensi adalah kemampuannya dalam membuat perhitungan lebih lanjut tentang nilai target secara relatif yang harus dicapai oleh UKE yang belum mencapai kondisi efisien agar mampu mencapai tingkat efisiensi yang sempurna. Daerah yang telah mencapai kondisi efisiensi sempurna dalam anggaran belanja kesehatan adalah daerah yang baik secara teknis biaya maupun secara teknis sistem telah berhasil mencapai nilai efisiensi sempurna sebesar 100 persen, sebagaimana yang telah dicapai oleh Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Pemalang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang. Berdasarkan Hasil perhitungan efisiensi relatif diketahui bahwa daerah-daerah tersebut berhasil mencapai kondisi efisiensi sempurna baik secara teknis biaya maupun teknis sistem. Dengan demikian di dalam perhitungan target perbaikan input dan output untuk daerah-daerah tersebut tidak ditemukan adanya nilai target dan potential improvement yang harus diubah oleh Pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Daerah-daerah yang telah efisien secara teknis biaya dan teknis
83
sistem dapat dijadikan daerah tujuan kegiatan benchmarking pemerintah daerah kabupaten/kota yang belum efisien secara teknis biaya maupun yang belum efisien teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan perhitungan lebih lanjut mengenai target perbaikan yang harus dicapai oleh daerah kabupaten/kota yang belum efisien baik secara teknis biaya maupun teknis sistem dalam belanja kesehatan. Berikut hasil perhitungan target perbaikan untuk beberapa kabupaten/kota yang belum mencapai nilai efisiensi teknis biaya maupun efisiensi teknis sistem. 1.
Kabupaten Cilacap Kabupaten Cilacap telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 99,57 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Cilacap dari sisi input perlu mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -40,45% dari jumlah aktual 68,23 menjadi 40,63 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Cilacap perlu meningkatkan ABH dari 995,10 menjadi 999,38 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 107750,72 menjadi 108344,69 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 72,80 menjadi 73,11. 2.
Kabupaten Banyumas Kabupaten Banyumas telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam
84
kriteria efisiensi sedang dengan capaian 61,14 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Banyumas dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Banyumas perlu meningkatkan variabel output sebesar 63,55% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 7,22 menjadi 11,81 unit, rasio jumlah bidan dari 39,11 menjadi 63,96 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 145,90 menjadi 238,61 unit per 100.000 penduduk. 3.
Kabupaten Purbalingga Kabupaten Purbalingga telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi rendah dengan capaian 55,69 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Purbalingga dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Purbalingga perlu meningkatkan variabel output sebesar 79,56% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 9,11 menjadi 16,36 unit, rasio jumlah bidan dari 32,95 menjadi 59,16 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 47,12 menjadi 84,61 unit per 100.000 penduduk.
85
4.
Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara pencapaian secara teknis biaya maupun teknis
sistem belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan capaian kriteria efisiensi tinggi yaitu (84,79%) dan (99,87%). Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Banjarnegara ditinjau dari segi teknis biaya perlu meningkatkan rasio jumlah puskesmas sebesar 17,94% dari jumlah aktual 12,50 menjadi 14,74 unit, rasio jumlah bidan dari 47,77 menjadi 56,34 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur sebesar 31,05% dari jumlah aktual dari 50,34 menjadi 65,97 unit per 100.000 penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -09,29% dari 47,77 menjadi 43,33 bidan per 100.000 penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 997,47 menjadi 998,77 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 112477,61 menjadi 112624,51 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 73,39 menjadi 73,66. 5.
Kabupaten Kebumen Kabupaten Kebumen pencapaian secara teknis biaya maupun teknis
sistem belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan capaian kriteria efisiensi tinggi yaitu (94,68%) dan (99,62%). Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem.
86
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Kebumen ditinjau dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 05,62% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,62 menjadi 13,33 unit, rasio jumlah bidan dari 68,25 menjadi 72,09 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 87,30 menjadi 92,21 unit per 100.000 penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -35,36% dari 68,25 menjadi 44,11 bidan per 100.000 penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 996,98 menjadi menjadi 1000,78 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 105652,30 menjadi 110152,98 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 72,67 menjadi 72,95. 6.
Kabupaten Purworejo Kabupaten Purworejo telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 99,59 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Purworejo dari sisi input perlu mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -34,69% dari jumlah aktual 66,10 menjadi 43,17 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Purworejo perlu meningkatkan ABH dari 996,13 menjadi 1000,21 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS sebesar 2,63% dari 108146,16 menjadi 110994,70 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 73,83 menjadi 74,13.
87
7.
Kabupaten Wonosobo Kabupaten Wonosobo pencapaian secara teknis biaya maupun teknis
sistem belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan capaian kriteria efisiensi sedang dan tinggi yaitu (76,53%) dan (99,72%). Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Wonosobo ditinjau dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 30,67% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,93 menjadi 16,90 unit, rasio jumlah bidan dari 44,23 menjadi 57,79 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 63,11 menjadi 82,46 unit per 100.000 penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -30,56% dari 12,93 menjadi 8,98 dan rasio jumlah bidan sebesar -3,74% dari 44,23 menjadi 42,57 bidan per 100.000 penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 998,91 menjadi 1001,73 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 108700,71 menjadi 109464,32 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 70,82 menjadi 71,02. 8.
Kabupaten Boyolali Kabupaten Boyolali pencapaian secara teknis biaya maupun teknis sistem
belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan capaian kriteria efisiensi sedang (70,64%) dan efisiensi tinggi (99,75%). Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem.
88
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Boyolali ditinjau dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 41,56% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 11,07 menjadi 15,67 unit, rasio jumlah bidan dari 45,94 menjadi 65,03 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 96,05 menjadi 135,97 unit per 100.000 penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -4,30% dari 11,07 menjadi 10,59 per 100.000 penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 995,35 menjadi 997,89 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 108102,90 menjadi 108379,15 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 75,61 menjadi 75,80. 9.
Kabupaten Klaten Kabupaten Klaten telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 99,98 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Klaten dari sisi input perlu mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -5,01% dari jumlah aktual 13,00 menjadi 12,35 unit, serta rasio jumlah bidan sebesar -1,44% dari 51,04 menjadi 50,30 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Klaten perlu meningkatkan AIMS sebesar 1,23% dari 107237,07 menjadi 108558,46 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 76,54 menjadi 76,56.
89
10.
Kabupaten Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo telah mencapai kondisi efisiens sempurna secara
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 98,79 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Sukoharjo dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Sukoharjo perlu meningkatkan variabel output sebesar 1,23% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 16,10 menjadi 16,30 unit, rasio jumlah bidan dari 54,61 menjadi 55,28 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 87,87 menjadi 88,95 unit per 100.000 penduduk. 11.
Kabupaten Karanganyar Kabupaten Karanganyar telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 86,52 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Karanganyar dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Karanganyar perlu meningkatkan variabel output sebesar 15,59% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,85
90
menjadi 14,85 unit, rasio jumlah bidan dari 51,75 menjadi 59,82 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 67,55 menjadi 78,08 unit per 100.000 penduduk. 12.
Kabupaten Sragen Kabupaten Sragen telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 99,81 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Sragen dari sisi input perlu mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -17,72% dari jumlah aktual 14,39 menjadi 11,84 unit, dan rasio jumlah bidan sebesar -34,72% dari jumlah aktual 75,72 menjadi 49,43 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Sragen perlu meningkatkan ABH dari 997,08 menjadi 998,96 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 107910,13 menjadi 109736,03 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 75,31 menjadi 75,45. 13.
Kabupaten Grobogan Kabupaten Grobogan pencapaian secara teknis biaya maupun teknis
sistem belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan capaian kriteria efisiensi tinggi (84,68%) dan (98,55%). Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Grobogan ditinjau dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 18,09% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 9,67 menjadi 11,42 unit, rasio jumlah
91
bidan dari 54,69 menjadi 64,58 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 73,07 menjadi 86,29 unit per 100.000 penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -24,02% dari 54,69 menjadi 41,55 bidan per 100.000 penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 983,02 menjadi 997,45 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 109451,93 menjadi 111058,39 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 74,07 menjadi 75,16. 14.
Kabupaten Blora Kabupaten Blora pencapaian secara teknis biaya maupun teknis sistem
belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan capaian kriteria efisiensi sedang (77,36%) dan efisiensi tinggi (99,36%). Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Blora ditinjau dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 29,26% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,14 menjadi 15,69 unit, rasio jumlah bidan dari 51,98 menjadi 67,19 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 63,53 menjadi 82,12 unit per 100.000 penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -16,35% dari 51,98 menjadi 43,48 per 100.000 penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 991,99 menjadi 998,38 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 111819,08 menjadi 112539,26 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 73,84 menjadi 74,32.
92
15.
Kabupaten Rembang Kabupaten Rembang telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 85,32 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Karanganyar dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Karanganyar perlu meningkatkan variabel output sebesar 17,21% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 16,77 menjadi 19,66 unit, rasio jumlah bidan dari 42,66 menjadi 50,00 bidan, dan meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 141,48% dari jumlah aktual 53,41 menjadi 128,97 unit per 100.000 penduduk. 16.
Kabupaten Pati Kabupaten Pati telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 85,32 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Pati ditinjau dari segi teknis biaya perlu meningkatkan rasio jumlah puskesmas sebesar 42,51% dari jumlah aktual 8,81 menjadi 12,56 unit serta meningkatkan variabel output sebesar 25,22% berupa rasio jumlah rasio bidan dari jumlah aktual 57,93 menjadi 72,54 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 76,45 menjadi 95,73 unit per 100.000
93
penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -23,62% dari 57,93 menjadi 44,25 per 100.000 penduduk. 17.
Kabupaten Kudus Kabupaten Kudus telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 81,24 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Kudus dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Kudus perlu meningkatkan rasio jumlah puskesmas sebesar 45,30% dari jumlah aktual 9,38 menjadi 13,63 unit, rasio jumlah bidan sebesar 23,08% dari 57,48 menjadi 70,75 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur sebesar 23,08% dari jumlah aktual 145 menjadi 178,67 unit per 100.000 penduduk. 18.
Kabupaten Jepara Kabupaten Jepara telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi sedang dengan capaian 63,19 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Jepara dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Jepara perlu meningkatkan variabel output sebesar 58,25% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 7,26 menjadi
94
11,49 unit, rasio jumlah bidan dari 36,47 menjadi 57,71 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 65,25 menjadi 103,26 unit per 100.000 penduduk. 19.
Kabupaten Demak Kabupaten Demak telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi sedang dengan capaian 67,59 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Demak dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Demak perlu meningkatkan variabel output sebesar 47,96% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 8,41 menjadi 12,44 unit,
dan rasio jumlah bidan dari 37,24 menjadi 55,10 bidan, serta
meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 74,36% dari jumlah aktual 42,84 menjadi 74,70 unit per 100.000 penduduk. 20.
Kabupaten Semarang Kabupaten Semarang telah mencapai kondisi efisien secara sempurna
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi sedang dengan capaian 67,66 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Semarang dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Semarang perlu meningkatkan variabel
95
output sebesar 47,80% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,45 menjadi 18,40 unit, dan rasio jumlah bidan dari 37,47 menjadi 55,38 bidan, serta meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 140,03% dari jumlah aktual 35,74 menjadi 85,78 unit per 100.000 penduduk. 21.
Kabupaten Temanggung Kabupaten Temanggung telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 99,43 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Temanggung dari sisi input perlu mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -40,00% dari jumlah aktual 16,24 menjadi 9,74 unit, dan rasio jumlah bidan sebesar -17,41% dari jumlah aktual 53,32 menjadi 44,04 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Temanggung perlu meningkatkan ABH dari 991,81 menjadi 997,46 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 104640,19 menjadi 106373,31 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 75,34 menjadi 75,77. 22.
Kabupaten Kendal Kabupaten Kendal telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi sedang dengan capaian 69,63 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya.
96
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Kendal dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Kendal perlu meningkatkan variabel output sebesar 43,62% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 11,56 menjadi 16,60 unit, dan rasio jumlah bidan dari 37,98 menjadi 54,55 bidan, serta meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 46,15% dari jumlah aktual 49,54 menjadi 72,40 unit per 100.000 penduduk. 23.
Kabupaten Batang Kabupaten Batang pencapaian secara teknis biaya maupun teknis sistem
belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan capaian kriteria efisiensi tinggi (86,36%) dan (99,56%). Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Batang ditinjau dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 15,79% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 11,81 menjadi 13,67 unit, rasio jumlah bidan dari 61,11 menjadi 70,76 bidan, dan meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 68,26% dari 46,85 menjadi 78,83 unit per 100.000 penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -35,24% dari 61,11 menjadi 39,57 per 100.000 penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 994,40 menjadi 998,76 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 104203,64 menjadi 107298,42 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 74,40 menjadi 74,73.
97
24.
Kabupaten Pekalongan Kabupaten Pekalongan pencapaian secara teknis biaya maupun teknis
sistem belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan capaian kriteria efisiensi sedang (73,61%) dan efisiensi tinggi (99,92%). Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Pekalongan ditinjau dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 35,85% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,10 menjadi 16,44 unit, rasio jumlah bidan dari 48,87 menjadi 66,39 bidan, dan meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 41,73% dari 66,97 menjadi 94,92 unit per 100.000 penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -9,97% dari 48,87 menjadi 44,00 per 100.000 penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 999,44 menjadi 1000,28 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 102712,50 menjadi 109784,33 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 73,33 menjadi 73,39. 25.
Kabupaten Tegal Kabupaten Tegal telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi sedang dengan capaian 66,45 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Tegal dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
98
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Tegal perlu meningkatkan variabel output sebesar 50,49% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 8,45 menjadi 12,72 unit, dan rasio jumlah bidan dari 42,53 menjadi 64,01 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 61,33 menjadi 92,30 unit per 100.000 penduduk. 26.
Kabupaten Brebes Kabupaten Brebes telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi sedang dengan capaian 73,50 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Brebes dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Brebes perlu meningkatkan rasio jumlah puskesmas sebesar 36,05% dari jumlah aktual 7,44 menjadi 10,12 unit, rasio jumlah bidan sebesar 57,26% dari 27,01 menjadi 42,48 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur sebesar 36,05% dari 46,30 menjadi 62,99 unit per 100.000 penduduk. 27.
Kota Magelang Kota Magelang telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 99,43 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis sistem. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kota Magelang dari sisi input perlu mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -26,62% dari jumlah aktual 18,24 menjadi 13,41 unit, rasio jumlah bidan sebesar -26,49% dari jumlah aktual
99
76,43 menjadi 56,18 bidan per 100.000 penduduk, dan rasio jumlah tempat tidur sebesar -48,90% dari 691,18 menjadi 353,23 unit per 100.000 penduduk. Selain itu, Kota Magelang perlu meningkatkan variabel output berupa ABH dari 991,17 menjadi 996,81 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 111041,01 menjadi 111672,89 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 76,57 menjadi 77,01. 28.
Kota Salatiga Kota Salatiga telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 83,89 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kota Salatiga dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kota Salatiga perlu meningkatkan variabel output sebesar 19,21% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 14,90 menjadi 17,76 unit, dan rasio jumlah bidan dari 58,50 menjadi 69,74 bidan, dan meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 26,76% dari jumlah aktual 322,31 menjadi 408,54 unit per 100.000 penduduk. 29.
Kota Pekalongan Kota Pekalongan pencapaian secara teknis biaya maupun teknis sistem
belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan capaian kriteria efisiensi tinggi (97,08%) dan (99,99%). Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem.
100
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kota Pekalongan ditinjau dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 03,01% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 16,68 menjadi 7,18 unit, rasio jumlah bidan dari 60,26 menjadi 62,08 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 212,12 menjadi 218,51 unit per 100.000 penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -2,05% dari jumlah aktual 16,68 menjadi 16,34 unit, rasio jumlah bidan sebesar -28,09% dari 60,26 menjadi 43,33 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur sebesar -54,37% dari 212,12 menjadi 96,79 unit per 100.000 penduduk. 30.
Kota Tegal Kota Tegal telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis sistem
sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi sedang dengan capaian 78,07 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kota Tegal dari sisi input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan dari sisi output, Kota Tegal perlu meningkatkan variabel output sebesar 28,09% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 15,10 menjadi 19,34 unit, rasio jumlah bidan dari 47,35 menjadi 60,65 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari jumlah aktual 352,66 menjadi 451,71 unit per 100.000 penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan kedua hasil efisiensi tersebut, berikut disajikan rekapitulasi efisiensi teknis biaya dan efisiensi teknis sistemnya.
101
Tabel 4.6 Rekapitulasi Efisiensi Teknis Biaya dan Efisiensi Teknis Sistem di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2012-2014 Kriteria Efisiensi Efisiensi sempurna Efisiensi Tinggi Efisiensi Sedang Efisiensi Rendah Tidak Efisien Total
Nilai efisiensi 100 81-99 60-80 41-59 ≤40
Efisiensi Teknis Biaya 5 15 14 1 35
Efisiensi Teknis Sistem 11 24 35
Total 16 39 14 1 70
Berdasarkan Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa secara umum efisiensi teknis biaya dan efisiensi teknis sistem di 35 kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah termasuk ke dalam capaian efisiensi tinggi (81-99 persen). Hal ini ditunjukkan dengan capaian efisiensi teknis biaya yang mencapai efisiensi tinggi sebanyak 15 kabupaten/kota. Sementara capaian efisiensi teknis sistem, yang mencapai efisiensi tinggi sebanyak 24 kabupaten/kota. Meskipun tingkat efisiensi yang dihasilkan termasuk dalam kriteria efisiensi tinggi, namun diharapkan pemerintah daerah akan tetap meningkatkan tingkat efisiensi menjadi 100 persen (efisiensi sempurna/optimum). 4.6
Pembahasan Efisiensi dalam pengeluaran belanja pemerintah daerah didefinisikan
sebagai kondisi ketika tidak mungkin lagi realokasi sumber daya yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Efisiensi pengeluaran belanja sektor kesehatan diartikan setiap rupiah yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah menghasilkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Daerah dikatakan efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan jika dengan input tertentu
102
dapat menghasilkan jumlah output lebih banyak atau pada jumlah output tertentu bisa menggunakan input lebih sedikit. Efisien dalam penggunaan pengeluaran belanja kesehatan sering dikaitkan dengan indikator berupa fasilitas dan pelayanan kesehatan yang tersedia atas belanja kesehatan tersebut. Fasilitas dan layanan kesehatan ini mencerminkan seberapa besar upaya pemerintah dalam menyediakan sarana kesehatan yang memadai bagi masyarakatnya. Selanjutnya dari indikator fasilitas dan layanan kesehatan dapat dilihat seberapa besar yang telah diupayakan pemerintah daerah melalui penyediaan indikator tersebut untuk mampu mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Hasil perhitungan pencapaian nilai efisiensi teknis yang diperoleh melalui metode DEA, diketahui bahwa dari keseluruhan 35 kabupaten/kota yang diamati selama kurun waktu tiga tahun masih belum mencapai nilai efisiensi sempurna 100% baik secara teknis biaya maupun teknis sistem. Ini menandakan bahwa masih terjadinya inefisiensi dan kurang optimal dalam pengelolaan anggaran belanja pemerintah sektor kesehatan. Capaian efisiensi masih dalam kategori efisiensi tinggi. Pencapaian nilai efisiensi pada masing-masing daerah berbeda satu sama lain. Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunarson (2008) dan Verhoeven (2007) menunjukkan bahwa pada daerah yang diteliti belanja sektor kesehatan yang digunakan juga masih belum efisien artinya belanja pemerintah dinilai belum dialokasikan dengan optimal. Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah yaitu penelitian Indriati (2011) yang meneliti tentang efisiensi belanja daerah sektor kesehatan di Kabupaten Sumbawa,
103
hasilnya menunjukkan bahwa secara teknis biaya dan teknis sistem, efisiensi yang terjadi pada beberapa kecamatan yang diteliti juga bervariasi dan secara umum masih terdapat banyak daerah yang belum efisien. Berdasarkan teori yang telah dijelaskan bahwa suatu belanja dikatakan efisien apabila input yang tersedia mampu menghasilkan output berupa barang atau jasa pada tingkat yang paling optimal bagi kepentingan masyarakat, pada kenyataannya ada daerah yang mempunyai input yang besar tetapi output yang dihasilkan tidak sebesar input yang digunakan, salah satunya yang terjadi pada Kota Tegal. Nilai rata-rata pencapaian efisiensi teknis biaya Kota Tegal selama tahun 2012-2014 menunjukkan pencapaian yang belum efisien sebesar 76,47 persen. Jika dilihat dari sisi input, Kota Tegal merupakan daerah dengan input lebih besar setelah Kota Magelang dan jika dibandingkan kabupaten/kota yang lain, akan tetapi output yang dihasilkan tidak sebanding dengan input yang digunakan. Ini mengindikasikan bahwa dari sisi efisiensi teknis biaya, Kota Tegal mempunyai input berupa anggaran belanja kesehatan yang tinggi, namun besarnya belanja kesehatan ini tidak diimbangi dengan penyediaan sarana kesehatan berupa fasilitas dan layanan kesehatan yang tersedia bagi masyarakat. Lebih lanjut, Kabupaten Klaten merupakan daerah dengan anggaran belanja kesehatan paling rendah dengan rata-rata Rp.98470,35 juta jauh di dibawah rata-rata keseluruhan yang mencapai Rp.217030,78 juta, namun pencapaian nilai efisiensi teknis biaya mampu mencapai 100 persen. Ini membuktikan bahwa meskipun Kabupaten Klaten mempunyai input berupa
104
anggaran belanja kesehatan yang rendah, akan tetapi daerah ini mampu mengupayakan indikator outputnya berupa variabel rasio jumlah puskesmas, rasio jumlah bidan, maupun rasio jumlah tempat tidur yang secara rata-rata lebih besar dibandingkan daerah dengan belanja kesehatan yang lebih tinggi. Berdasarkan Tabel 4.1 dalam hal ini input berupa belanja kesehatan yang tinggi akan menentukan tingkat efisiensi. Daerah dengan belanja kesehatan yang besar cenderung mengalami inefisiensi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Indriati (2014) yang menyatakan bahwa daerah dengan pengeluaran belanja kesehatan yang jauh lebih kecil cenderung untuk menjadi paling efisien dibanding daerah yang pengeluaran belanja kesehatannya lebih besar. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Atmawikarta (2005) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya pencapaian derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan. Semakin besar belanja sektor kesehatan, maka semakin baik derajat kesehatan masyarakat. Pencapaian efisiensi teknis biaya selama tahun 2012-2014, secara ratarata hanya sebanyak 5 daerah kabupaten/kota (14,3 persen) yang telah mencapai efisiensi sempurna 100 persen. Daerah tersebut diantaranya Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kota Magelang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang. Hal ini menunjukkan bahwa secara teknis biaya, daerah-daerah tersebut telah efisien dalam menggunakan anggaran belanja kesehatan pemerintah daerahnya secara konsisten selama periode penelitian. Sebanyak 30 kabupaten/kota belum efisien dalam penggunaan anggaran belanja sektor kesehatan.
105
Sedangkan capaian efisiensi teknis sistem layanan kesehatan di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2012-2014 menunjukkan bahwa sebanyak 11 kabupaten/kota (31,4 persen) telah mencapai nilai efisiensi sempurna 100 persen. Daerah-daerah tersebut diantaranya Kabupaten Magelang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Salatiga, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan. Ini menandakan bahwa daerah-daerah tersebut dengan input rasio jumlah puskesmas, rasio jumlah bidan, dan rasio jumlah tempat tidur yang ada telah mampu menghasilkan output yang tinggi yaitu Angka Bayi Hidup (ABH), Angka Ibu Melahirkan Selamat (AIMS), dan Angka Harapan Hidup (AHH). Dengan kata lain indikator input sumber daya dan fasilitas yang ada telah mampu menekan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKB), dan meningkatkan Angka Harapan Hidup (AHH). Daerah yang belum efisien teknis sistem seperti Kabupaten Grobogan dengan capaian rata-rata nilai efisiensi terendah masuk dalam kriteria efisiensi tinggi sebesar 99,14 persen. Hal ini terjadi ketika dengan input jumlah puskesmas, jumlah bidan, dan jumlah tempat tidur yang ada hanya mampu menghasilkan output berupa ABH, AIMS, dan AHH yang masih rendah. Sama halnya dengan efisiensi teknis biaya, daerah kabupaten/kota yang mampu mencapai efisiensi sempurna teknis sistem sebesar 100 persen mengindikasikan bahwa daerah tersebut telah efisien dalam menggunakan fasilitas dan layanan kesehatan dasar yang dimilikinya untuk mencapai tingkat derajat kesehatan yang optimal. Sedangkan daerah yang belum mencapai angka efisien sempurna 100 persen
106
(<100 %), menandakan bahwa kebijakan menambah jumlah fasilitas dan layanan kesehatan pada daerah-daerah yang inefisien jika tidak diikuti dengan adanya perbaikan sistem kesehatan justru akan berdampak negatif pada pencapaian tingkat derajat kesehatan masyarakat. Keunggulan perhitungan metode DEA adalah mampu membuat skenario perbaikan input dan output bagi UKE yang belum efisien melalui identifikasi input yang telalu banyak atau output yang rendah. Daerah yang telah mencapai efisiensi sempurna dalam belanja kesehatan adalah daerah yang baik secara teknis biaya maupun teknis sistem telah berhasil mencapai nilai efisiensi sebesar 100 persen. Dengan demikian di dalam perhitungan target perbaikan input dan output untuk daerah-daerah tersebut tidak ditemukan adanya nilai target dan potential improvement yang harus diubah oleh pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Daerah tersebut diantaranya Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Pemalang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang. Kabupaten/kota yang telah efisien teknis biaya belum tentu efisien secara teknis sistem, begitu sebaliknya. Kabupaten Purbalingga telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis sistem 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya Kabupaten Purbalingga memiliki nilai capaian efisiensi rendah yaitu sebesar 59,15 persen. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah Kabupaten Purbalingga yang perlu ditempuh adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya. Maka target perbaikan yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan target output faslitas dan layanan kesehatan berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 9,11 menjadi 16,36 unit per 100.000 penduduk, rasio jumlah bidan
107
dari jumlah aktual 32,95 menjadi 59,16 bidan per 100.000 penduduk, serta rasio jumlah tempat tidur dari 47,12 menjadi 84,61 unit per 100.000 penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan target perbaikan efisiensi teknis biaya dan teknis sistem menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 dapat diketahui bahwa tingkat keparahan terjadi pada efisiensi teknis biaya masih berada dalam kriteria efisiensi sedang dengan nilai efisiensi 60-80 persen, berbeda dengan efisiensi teknis sistem, yang nilai efisiensinya berada dalam kriteria efisiensi tinggi dari 81-99 persen. Dengan demikian, perhitungan tentang target perbaikan efisiensi teknis biaya yaitu lebih mengoptimalkan pengelolaan anggaran. Namun kebijakan yang diambil tidak menurunkan anggaran sektor kesehatan, tetapi lebih menekankan pada optimalisasi output, yaitu rasio jumlah puskesmas, rasio jumlah tenaga bidan dan rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit. Secara umum kondisi efisiensi teknis anggaran belanja sektor kesehatan di Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari kedua hasil pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem, sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah masih dalam kategori efisiensi tinggi. Akan tetapi secara efisiensi teknis baiaya dan teknis sistem belum dikatakan efisien bila capaian nilai efisiensi ≤100 persen. Ini menandakan bahwa masih terjadi inefisiensi dalam penggunaan belanja sektor kesehatan. Perbaikan target perbaikan adalah dengan pengoptimalan anggaran belanja kesehatan bukan dengan pengurangan anggaran belanja kesehatan, akan tetapi lebih penekanan pada optimalisasi output.
BAB V PENUTUP
5.1
Simpulan Berdasarkan hasil analisis efisiensi pengeluaran pemerintah daerah sektor
kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA), maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut : 1.
Selama kurun waktu 2012-2014, hanya terdapat 5 kabupaten/kota (14,3 persen) yang telah mencapai efisiensi sempurna secara teknis biaya. Daerah tersebut adalah Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kota Magelang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang. Sebanyak 30 kabupaten/kota masih belum optimal dalam penggunaan belanja kesehatan. Ini membuktikan secara teknis biaya, sebagian besar kabupaten/kota dalam penggunaan belanja kesehatan masih kurang optimal.
2.
Secara efisiensi teknis sistem selama periode penelitian menunjukkan bahwa hanya 11 daerah kabupaten/kota yang telah mencapai kondisi efisien sempurna. Daerah tersebut adalah Kabupaten Magelang, Pati, Jepara, Demak, Semarang, Pemalang, Tegal, Brebes, Kota Salatiga, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan. Ini membuktikan bahwa secara teknis sistem, sebagian besar kabupaten/kota dalam penggunaan input berupa fasilitas dan layanan kesehatan dalam menghasilkan derajat kesehatan yang baik masih kurang optimal.
108
109
3.
Tingkat potential improvement tiap kabupaten/kota memiliki perbedaan dalam variabel yang perlu diperbaiki. Ada beberapa daerah yang hanya perlu memperbaiki inputnya, ada daerah yang perlu memperbaiki salah satu input atau semua outputnya dan ada juga daerah yang memerlukan perbaikan pada variabel input output tergantung kondisi daerah masing-masing.
5.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka
peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1.
Bagi daerah yang telah mencapai kondisi efisien, diharapkan pemerintah daerah tetap melakukan pengawasan dan pengevaluasian belanja sektor kesehatannya untuk meminimalisir terjadinya pemborosan.
2.
Inefisiensi paling rendah terjadi pada efisiensi teknis biaya, perbaikan yang dilakukan bukan dengan mengurangi anggaran belanja kesehatan, akan tetapi lebih ke pengoptimalan belanja kesehatan dengan penekanan pada optimalisasi output.
3.
Dearah yang belum efisien secara teknis biaya dan teknis sistem dapat melakukan potential improvement dan benchmarking ke daerah yang telah mencapai kondisi efisien sempurna.
110
DAFTAR PUSTAKA
Amandemen Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Atmawikarta, Arum. 2005. “Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan Ekonomi”. Makalah disajikan dalam seminar, Bappenas. Badan Pusat Statistik. 2014. Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2013. Semarang: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah.. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Data APBD Tahun Berjalan, http://www.djpk.depkeu.go.id/. (04 Februari 2016). Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Erlangga. Fathoni, As’ad Asyhar. Analisis Efisiensi Ekonomi Industri Tekstil dan Produk Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2011. Dalam Economic Development Analysis Journal, Hal 73-83. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Indriati, Neneng Erlina. 2014. Analisis Efisien Belanja Daerah di Kabupaten Sumbawa (Studi Kasus Bidang Pendidikan dan Kesehatan). Dalam Jurnal Ekonomi Studi Pembangunan, Vol. 6 No. 2. Hal. 192-205. Malang: Universitas Brawijaya. Javarov dan Gunnarson. 2008. Government Spending on Health Care and Education in Croatia: Efficiency and Reform Options. IMF Working Paper, WP/08/136. Joesron, Tati S dan M. Fathorrazi. 2012. Teori Ekonomi Mikro. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kawedar, W; Abdul, R; dan Sri, H. 2008. Akuntansi Sektor Publik. Semarang : Universitas Diponegoro. Kurnia. 2006. Model Pengukuran Kinerja dan Efisiensi Sektor Publik Metode Free Disposable Hull (FDH). Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 11 No. 2. Hal 1-20. Semarang: Universitas Diponegoro. Mangkoesoebroto, Guritno. 1995. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE.
111
Mangkoesoebroto, Guritno. 1999. Ekonomi Publik. Yogyakarta : BPFE. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : Andi. Mills dan Gilson.1990. Ekonomi Kesehatan untuk Negara-Negara sedang Berkembang. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perpsektif Pembangunan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaam Keuangan Daerah. Pertiwi, Lela Dina. 2007. Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Daerah di Propinsi Jawa Tengah. Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.12 No. 2 Hal. 123-139. Semarang : Universitas Diponegoro. Prajanti, Sucihatiningsih Dian Wisika. 2013. Metode Analisis Efisiensi Produksi dan Pengambilan Keputusan pada Bidang Ekonomi Pertanian. Semarang: Unnes Press. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2013. 2014. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Rachmawati, Aulia. 2011. “Analisis Efisiensi Belanja Daerah Sektor Kesehatan Provinsi Jawa Timur (Studi Kasus: 8 Kabupaten Wilayah Pantai Selatan Tahun 2007-2009)”. Skripsi. Jawa Timur: Universitas Brawijaya. Rusydiana, Aam Slamet. 2013. Mengukur Tingkat Efisiensi dengan Data Envelopment Analysis. Bogor : Smart Publishing. Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sukirno, Sadono. 2010. Mikro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Suparmoko. 1996. Pengantar Ekonomi Makro. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Supiati, Eka Nur. “Analisis Tingkat Efisiensi Puskesmas di Kota Semarang Tahun 2012”. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
112
Tjiptoherijanto dan Soesetyo. 1994. Ekonomi Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Verhoeven Majin, Victoria Gunnarson, and Stephane Carcillo. 2007.”Education and Health in G7 Countries: Achieving Better Outcomes with Less Spending.” IMF Working Paper No. 26. http://www.imf.org/ diakses tanggal 27 Maret 2016.
Lampiran 1
113
Data Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 Kabupaten/Kota 2012 2013 2014 Kab. Cilacap 165.934.730.750 196.344.705.800 231.818.032.900 Kab. Banyumas 232.583.325.550 260.552.397.495 338.849.089.180 Kab. Purbalingga 127.327.301.000 139.488.492.000 185.003.117.000 Kab. Banjarnegara 119.001.009.000 139.571.575.000 155.994.124.000 Kab. Kebumen 131.090.782.000 205.949.731.000 253.124.423.000 Kab. Purworejo 118.351.448.000 147.094.377.900 162.619.447.720 Kab. Wonosobo 102.077.919.400 115.208.695.320 162.384.418.931 Kab. Magelang 126.472.094.000 142.334.508.150 152.856.256.166 Kab. Boyolali 166.688.941.100 185.871.860.000 222.640.898.400 Kab. Klaten 81.293.103.000 88.244.705.200 170.920.792.000 Kab. Sukoharjo 106.921.101.000 131.790.918.000 167.812.300.000 Kab. Wonogiri 120.447.449.000 135.094.153.300 189.778.153.100 Kab. Karanganyar 98.490.221.697 127.500.483.000 160.924.451.738 Kab. Sragen 149.423.480.000 153.946.755.000 210.480.095.000 Kab. Grobogan 145.913.092.141 149.673.723.250 222.868.253.818 Kab. Blora 124.462.307.450 137.788.224.000 191.271.631.000 Kab. Rembang 136.168.527.000 156.836.976.000 176.882.819.400 Kab. Pati 213.382.009.000 229.752.466.000 254.197.502.000 Kab. Kudus 158.982.519.000 183.737.793.000 194.342.320.000 Kab. Jepara 145.707.722.000 169.360.092.000 178.562.163.000 Kab. Demak 106.532.627.000 115.557.242.700 164.591.570.845 Kab. Semarang 146.350.517.000 188.348.872.000 229.090.530.000 Kab. Temanggung 89.220.994.400 110.059.445.115 135.770.891.893 Kab. Kendal 120.289.586.272 146.791.097.000 180.360.120.000 Kab. Batang 102.442.093.619 133.116.976.848 155.589.399.241 Kab. Pekalongan 153.245.325.468 190.573.816.000 221.554.093.200 Kab. Pemalang 129.107.809.000 150.780.278.000 157.204.473.000 Kab. Tegal 152.198.234.000 180.171.191.000 257.311.988.000 Kab. Brebes 149.390.464.000 206.765.599.000 231.707.891.000 Kota Magelang 97.255.265.000 112.916.138.000 133.562.006.000 Kota Surakarta 118.581.951.500 121.791.457.540 124.125.745.000 Kota Salatiga 111.016.866.000 95.959.135.000 127.348.236.000 Kota Semarang 70.929.753.000 250.660.245.400 266.876.720.302 Kota Pekalongan 66.843.396.200 83.442.429.000 109.913.626.000 Kota Tegal 133.651.434.000 157.349.615.000 179.797.950.000 Sumber: Rekap APBD Kabupaten/Kota Menurut Fungsi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014.
Lampiran 2
114
Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 Jumlah Penduduk 2012 2013 2014 1 Kab. Cilacap 1679864 1676089 1685573 2 Kab. Banyumas 1603037 1605579 1620918 3 Kab. Purbalingga 877489 879880 889214 4 Kab. Banjarnegara 890962 889921 895986 5 Kab. Kebumen 1181678 1176722 1181006 6 Kab. Purworejo 708483 705483 708038 7 Kab. Wonosobo 771447 769318 773280 8 Kab. Magelang 1219371 1221681 1233695 9 Kab. Boyolali 953317 951817 957857 10 Kab. Klaten 1153047 1148994 1154040 11 Kab. Sukoharjo 848718 849506 856937 12 Kab. Wonogiri 946373 942377 945817 13 Kab. Karanganyar 838762 840171 848255 14 Kab. Sragen 875283 871989 875600 15 Kab. Grobogan 1339127 1336304 1343960 16 Kab. Blora 847125 844444 848369 17 Kab. Rembang 608548 608903 614087 18 Kab. Pati 1219993 1218016 1225594 19 Kab. Kudus 807005 810810 821136 20 Kab. Jepara 1144916 1153213 1170797 21 Kab. Demak 1091379 1094472 1106328 22 Kab. Semarang 968383 974092 987557 23 Kab. Temanggung 730720 731911 738915 24 Kab. Kendal 926325 926812 934643 25 Kab. Batang 728578 719616 736397 26 Kab. Pekalongan 861366 861082 867573 27 Kab. Pemalang 1285024 1279596 1284236 28 Kab. Tegal 1421001 1415009 1420132 29 Kab. Brebes 1770480 1764648 1773379 30 Kota Magelang 120447 119935 120373 31 Kota Surakarta 509576 507825 510077 32 Kota Salatiga 177480 178594 181193 33 Kota Semarang 1629924 1644800 1672999 34 Kota Pekalongan 290347 290870 293704 35 Kota Tegal 244632 243860 244998 Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, 2013-2015. No.
Lampiran 3
Kabupaten/Kota
115
Data Jumlah Puskesmas dan Tempat Tidur Tersedia Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 No.
Kabupaten/kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
Jumlah Puskesmas Jumlah Tempat Tidur 2012 2013 2014 2012 2013 2014 165 165 151 736 781 797 131 131 117 1782 1852 2365 92 92 81 424 424 419 124 124 112 483 483 451 158 159 149 868 868 1031 128 128 116 516 516 545 108 108 100 436 436 488 128 128 125 333 308 418 120 120 106 769 869 920 166 166 150 802 802 1018 148 148 138 680 680 753 216 216 211 638 688 739 122 122 109 507 507 573 136 136 126 722 749 863 142 143 130 939 917 982 113 113 103 470 470 539 113 113 103 259 259 328 114 114 108 874 924 937 83 83 77 1025 1087 1192 99 99 85 685 685 764 105 105 93 418 418 474 134 134 123 598 598 353 126 128 120 567 567 524 119 119 108 302 302 463 92 92 87 326 326 345 112 112 105 577 577 581 102 102 98 676 706 769 126 128 120 736 736 871 150 150 132 605 705 821 22 22 22 707 707 832 62 62 62 2022 2002 2277 28 28 27 467 467 584 120 120 107 3884 3834 4198 49 49 49 527 527 623 38 38 37 611 577 864
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, 2013-2015. Lampiran 4
116
Data Jumlah Tenaga Bidan Tersedia Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014. No.
Kabupaten/kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
Jumlah Bidan 2012 2013 2014 720 1167 1150 652 728 634 359 372 293 665 761 428 764 772 806 315 328 468 344 344 342 468 523 529 444 429 440 569 551 589 475 473 468 479 482 320 409 431 439 644 653 663 616 699 735 390 409 441 398 365 262 642 716 710 440 467 472 630 629 427 377 390 412 372 369 370 357 385 394 592 599 355 483 470 450 530 530 424 669 704 463 610 612 604 685 685 479 90 89 92 275 280 286 105 107 106 476 478 477 94 97 177 111 116 116
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012-2014. Lampiran 5
117
Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kab/Kota Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
Lahir Hidup 30564 28558 15423 16358 21210 9899 13947 19857 15311 18347 13927 12761 13324 15635 22648 13066 9028 19533 15729 21564 21174 14101 10341 16682 13245 17254 25871 27252 33997 1880 10318 2802 27478 6100 5036
Lahir Mati 207 137 125 161 182 91 93 134 87 109 82 29 67 66 58 139 108 157 84 165 108 135 92 77 120 131 104 184 60 21 17 24 106 43 52
Total Lahir 30771 28695 15548 16519 21392 9990 14040 19991 15398 18456 14009 12790 13391 15701 22706 13205 9136 19690 15813 21729 21282 14236 10433 16759 13365 17385 25975 27436 34057 1901 10335 2826 27584 6143 5088
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012. Lampiran 6
Bayi Mati
Bayi Hidup
351 266 182 297 223 148 181 134 171 190 135 84 117 146 240 192 150 202 109 216 119 186 149 160 174 185 264 221 508 31 55 20 293 68 68
30420 28429 15366 16222 21169 9842 13859 19857 15227 18266 13874 12706 13274 15555 22466 13013 8986 19488 15704 21513 21163 14050 10284 16599 13191 17200 25711 27215 33549 1870 10280 2806 27291 6075 5020
118
Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
Lahir Hidup 29652 27744 15202 16314 20375 9615 13056 18993 14729 17734 13152 12328 13249 15125 21570 11752 8938 18465 15740 20912 20605 14141 11203 16307 12478 15826 24335 28643 33074 1798 9927 2507 27065 6061 4520
Lahir Mati 168 173 74 173 153 60 130 124 85 60 49 49 84 61 169 94 103 164 88 113 73 105 110 50 103 131 130 204 41 13 17 36 93 45 36
Total Lahir 29820 27917 15276 16487 20528 9675 13186 19117 14814 17794 13201 12377 13333 15186 21739 11846 9041 18629 15828 21025 20678 14246 11313 16357 12581 15957 24465 28847 33115 1811 9944 2543 27158 6106 4556
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013. Lampiran 7
Bayi Mati
Bayi Hidup
325 348 172 271 199 111 172 138 111 150 142 95 131 132 305 162 153 202 112 191 119 169 173 153 186 157 217 256 350 27 32 40 251 86 56
29495 27569 15104 16216 20329 9564 13014 18979 14703 17644 13059 12282 13202 15054 21434 11684 8888 18427 15716 20834 20559 14077 11140 16204 12395 15800 24248 28591 32765 1784 9912 2503 26907 6020 4500
119
Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014 No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
Lahir Hidup 30023 28765 14818 16189 20558 9305 12884 18663 15044 17286 12938 11661 12895 15044 22789 12116 8999 17937 15770 20978 20813 13859 11228 15837 12846 16000 24554 27318 33456 1585 9781 2411 26992 6018 4484
Lahir Mati 137 194 90 163 146 81 109 115 77 123 62 28 27 73 19 107 126 142 95 72 93 88 73 100 113 107 116 213 29 6 16 27 125 62 55
Total Lahir 30160 28959 14908 16352 20704 9386 12993 18778 15121 17409 13000 11689 12922 15117 22808 12223 9125 18079 15865 21050 20906 13947 11301 15937 12959 16107 24670 27531 33485 1591 9797 2438 27117 6080 4539
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014. Lampiran 8
Bayi Mati 284 258 162 204 208 117 123 149 147 191 135 80 147 117 406 204 125 177 119 147 138 142 165 142 185 116 210 163 348 20 37 37 252 61 50
Bayi Hidup 29876 28701 14746 16148 20496 9269 12870 18629 14974 17218 12865 11609 12775 15000 22402 12019 9000 17902 15746 20903 20768 13805 11136 15795 12774 15991 24460 27368 33137 1571 9760 2401 26865 6019 4489
120
Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
Ibu Hamil 32843 30939 16739 17738 22168 10522 14578 22131 16918 20406 15224 15038 14786 17078 26194 14896 10113 21231 17408 23958 22183 15628 13878 17793 13846 16465 28469 30776 36938 2123 11101 3003 28398 6799 5720
Ibu Melahirkan tidak selamat
Ibu Melahirkan Selamat
34 32 21 23 11 20 18 13 15 19 9 13 17 19 34 15 13 22 15 21 17 11 11 22 25 31 35 39 51 3 6 2 22 5 11
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012. Lampiran 9
32809 30907 16718 17715 22157 10502 14560 22118 16903 20387 15215 15025 14769 17059 26160 14881 10100 21209 17393 23937 22166 15617 13867 17771 13821 16434 28434 30737 36887 2120 11095 3001 28376 6794 5709
Lahir Hidup 30564 28558 15423 16358 21210 9899 13947 19857 15311 18347 13927 12761 13324 15635 22648 13066 9028 19533 15729 21564 21174 14101 10341 16682 13245 17254 25871 27252 33997 1880 10318 2802 27478 6100 5036
121
Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kab/Kota Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
Ibu Hamil 32647 31123 16431 18471 22034 10445 14256 21811 16705 19034 14966 13798 15428 16691 24213 13506 10128 20708 17485 23720 22019 15465 12655 17938 13779 16541 27288 30982 37379 2022 10889 3151 29077 6710 5237
Ibu Melahirkan Tidak Selamat 34 35 26 19 15 7 11 11 14 22 13 13 9 16 22 14 17 29 21 26 24 17 7 21 14 29 27 42 61 1 3 7 29 6 8
Ibu Melahirkan Selamat 32613 31088 16405 18452 22019 10438 14245 21800 16691 19012 14953 13785 15419 16675 24191 13492 10111 20679 17464 23694 21995 15448 12648 17917 13765 16512 27261 30940 37318 2021 10886 3144 29048 6704 5229
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013. Lampiran 10
Lahir Hidup 29652 27744 15202 16314 20375 9615 13056 18993 14729 17734 13152 12328 13249 15125 21570 11752 8938 18465 15740 20912 20605 14141 11203 16307 12478 15826 24335 28643 33074 1798 9927 2507 27065 6061 4520
122
Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014 No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
Ibu Hamil 32386 30885 16256 18229 21732 10068 14016 21079 16277 18557 14290 13464 14771 16247 24986 13560 10029 19204 17402 23003 21709 15325 11763 18082 13409 16473 27772 29923 36388 1762 10703 2943 29026 6672 4852
Ibu Melahirkan Tidak Selamat 36 33 14 20 12 5 11 14 14 20 13 10 17 13 43 12 14 17 26 19 17 20 14 19 23 39 40 47 73 2 7 2 33 6 6
Ibu Melahirkan Selamat 32350 30852 16242 18209 21720 10063 14005 21065 16263 18537 14277 13454 14754 16234 24943 13548 10015 19187 17376 22984 21692 15305 11749 18063 13386 16434 27732 29876 36315 1760 10696 2941 28993 6666 4846
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014. Lampiran 11
Lahir Hidup 30023 28765 14818 16189 20558 9305 12884 18663 15044 17286 12938 11661 12895 15044 22789 12116 8999 17937 15770 20978 20813 13859 11228 15837 12846 16000 24554 27318 33456 1585 9781 2411 26992 6018 4484
123
Data Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
2012 71,43 69,83 70,68 69,36 69,43 71,04 70,48 70,23 70,49 71,84 70,36 72,42 72,36 72,95 70,05 71,48 70,34 72,95 69,73 71,13 71,95 72,6 72,77 69,1 70,57 69,56 68,12 69,38 68,26 70,34 72,35 71,25 72,24 70,63 69,12
AHH 2013 71,63 70,23 71,08 69,56 69,73 71,44 70,58 70,63 70,71 72,16 70,64 72,82 72,56 73,05 70,45 72,02 70,64 73,05 69,83 71,23 71,95 72,9 72,87 69,42 70,97 69,96 68,52 69,58 68,36 70,74 72,75 71,45 72,44 70,83 69,42
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2016. Lampiran 12
2014 72,8 72,92 72,8 73,39 72,67 73,83 70,82 73,25 75,61 76,54 77,45 75,84 76,71 75,31 74,07 73,84 74,19 75,43 76,4 75,64 75,18 75,5 75,34 74,14 74,4 73,33 72,64 70,8 67,9 76,57 76,99 76,53 77,18 74,09 74,1
124
Data Rasio Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
2012 11,48 9,31 11,80 18,16 10,51 14,95 12,98 6,75 11,17 10,36 9,69 6,58 8,78 9,34 10,60 14,69 16,61 10,34 6,93 10,02 5,62 13,19 14,41 9,59 13,14 10,72 10,20 8,11 14,94 16,49 5,33 7,14 10,66 11,15 13,50
AKB 2013 10,96 12,54 11,31 16,61 9,77 11,54 13,17 7,27 7,54 8,46 10,80 7,71 9,89 8,73 14,14 13,78 17,12 10,94 7,12 9,13 5,78 11,95 15,44 9,38 14,91 9,92 8,92 8,94 10,58 15,02 3,22 15,96 9,27 14,19 12,39
2014 9,46 8,97 10,93 12,60 10,12 12,57 9,55 7,98 9,77 11,05 10,43 6,86 11,40 7,78 17,82 16,84 13,89 9,87 7,55 7,01 6,63 10,25 14,70 8,97 14,40 7,25 8,55 5,97 10,40 12,62 3,78 15,35 9,34 10,14 11,15
Rata-rata 10,63 10,28 11,35 15,79 10,13 13,02 11,90 7,33 9,49 9,95 10,31 7,05 10,02 8,61 14,18 15,11 15,87 10,38 7,20 8,72 6,01 11,80 14,85 9,31 14,15 9,30 9,22 7,67 11,98 14,71 4,11 12,81 9,76 11,82 12,35
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012-2014, diolah. Lampiran 13
125
Data Rasio Angka Kematian Ibu Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
2012 111,24 112,05 136,16 140,60 51,86 202,04 129,06 65,47 97,97 103,56 64,62 101,87 127,59 121,52 150,12 114,80 144,00 112,63 95,37 97,38 80,29 78,01 106,37 131,88 188,75 179,67 135,29 143,11 150,01 159,57 58,15 71,38 80,06 81,97 218,43
AKI 2013 114,66 126,15 171,03 116,46 73,62 72,80 84,25 57,92 95,05 124,06 98,84 105,45 67,93 105,79 101,99 119,13 190,20 157,05 133,42 124,33 116,48 120,22 62,48 128,78 112,20 183,24 110,95 146,63 184,43 55,62 30,22 279,22 107,15 98,99 176,99
2014 119,91 114,72 94,48 123,54 58,37 53,73 85,38 75,01 93,06 115,70 100,48 85,76 131,83 86,41 188,69 99,04 155,57 94,78 164,87 90,57 81,68 144,31 124,69 119,97 179,04 243,75 162,91 172,05 218,20 126,18 71,57 82,95 122,26 99,70 133,81
Rata-rata 115,27 117,64 133,89 126,87 61,28 109,53 99,56 66,13 95,36 114,44 87,98 97,69 109,12 104,57 146,93 110,99 163,26 121,49 131,22 104,10 92,81 114,18 97,85 126,88 160,00 202,22 136,38 153,93 184,22 113,79 53,31 144,52 103,16 93,55 176,41
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012-2014, diolah. Lampiran 14
126
Rasio Angka Bayi Hidup (ABH) Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
2012 995,29 995,48 996,30 991,69 998,07 994,24 993,69 1000,00 994,51 995,59 996,19 995,69 996,25 994,88 991,96 995,94 995,35 997,70 998,41 997,63 999,48 996,38 994,49 995,02 995,92 996,87 993,82 998,64 986,82 994,68 996,32 1001,43 993,19 995,90 996,82
ABH 2013 994,71 993,69 993,55 993,99 997,74 994,70 996,78 999,26 998,23 994,93 992,93 996,27 996,45 995,31 993,69 994,21 994,41 997,94 998,48 996,27 997,77 995,47 994,38 993,68 993,35 998,36 996,42 998,18 990,66 992,21 998,49 998,40 994,16 993,24 995,58
2014 995,10 997,78 995,14 997,47 996,98 996,13 998,91 998,18 995,35 996,07 994,36 995,54 990,69 997,08 983,02 991,99 1000,11 998,05 998,48 996,42 997,84 996,10 991,81 997,35 994,40 999,44 996,17 1001,83 990,47 991,17 997,85 995,85 995,29 1000,17 1001,12
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012-2014, diolah. Lampiran 15
127
Rasio Angka Ibu Melahirkan Selamat (AIMS) Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kabupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota surakarta Kota salatiga Kota semarang Kota pekalongan Kota tegal
2012 107345,24 108225,37 108396,55 108295,64 104464,88 106091,52 104395,21 111386,41 110397,75 111118,98 109248,22 117741,56 110845,09 109107,77 115506,89 113891,01 111874,17 108580,35 110579,18 111004,45 104684,99 110751,01 134097,28 106527,99 104348,81 95247,48 109906,85 112788,05 108500,75 112765,96 107530,53 107102,07 103268,07 111377,05 113363,78
AIMS 2013 109985,84 112053,06 107913,43 113105,31 108068,71 108559,54 109106,92 114779,13 113320,66 107206,50 113693,73 111818,62 116378,59 110247,93 112151,14 114805,99 113123,74 111990,25 110952,99 113303,37 106745,94 109242,63 112898,33 109873,06 110314,15 104334,64 112023,83 108019,41 112831,83 112402,67 109660,52 125408,86 107326,81 110608,81 115685,84
2014 107750,72 107255,35 109609,93 112477,61 105652,30 108146,16 108700,71 112870,39 108102,90 107237,07 110349,36 115376,04 114416,44 107910,13 109451,93 111819,08 111290,14 106968,84 110183,89 109562,40 104223,32 110433,65 104640,19 114055,69 104203,64 102712,50 112942,90 109363,79 108545,55 111041,01 109354,87 121982,58 107413,31 110767,70 108073,15
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012-2014, diolah. Lampiran 16
128
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2012
Efficiency Scores Report 100,00% Kota Semarang 100,00% Kab. Klaten 100,00% Kab. Wonogiri 100,00% Kota Magelang 100,00% Kab. Banjarnegara 100,00% Kota Surakarta 100,00% Kab. Sragen 100,00% Kab. Rembang 99,82% Kab. Kebumen 96,38% Kab. Sukoharjo 90,28% Kab. Temanggung 89,02% Kab. Batang 88,87% Kab. Kendal 86,29% Kota Pekalongan 84,83% Kab. Pemalang 83,96% Kota Salatiga 83,59% Kab. Pekalongan 83,49% Kab. Karanganyar 82,40% Kab. Purworejo 78,33% Kab. Jepara 77,84% Kab. Kudus 76,31% Kab. Grobogan 75,68% Kota Tegal 74,53% Kab. Wonosobo 72,55% Kab. Blora 71,66% Kab. Boyolali 71,49% Kab. Pati 70,62% Kab. Cilacap 70,45% Kab. Brebes 68,00% Kab. Tegal 67,57% Kab. Semarang 65,84% Kab. Magelang 65,32% Kab. Banyumas 61,70% Kab. Purbalingga 61,15% Kab. Demak Lampiran 17
129
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2013 100,00% Kota Semarang 100,00% Kab. Cilacap 100,00% Kab. Klaten 100,00% Kota Surakarta 100,00% Kota Magelang 100,00% Kab. Wonogiri 100,00% Kab. Banjarnegara 98,12% Kab. Sragen 93,81% Kab. Rembang 89,69% Kab. Sukoharjo 88,22% Kab. Temanggung 85,58% Kab. Grobogan 85,54% Kab. Kebumen 84,71% Kota Salatiga 83,76% Kota Pekalongan 83,21% Kab. Purworejo 82,98% Kab. Pemalang 82,15% Kab. Batang 81,93% Kab. Kendal 79,92% Kab. Pekalongan 78,05% Kab. Karanganyar 75,66% Kota Tegal 75,17% Kab. Kudus 72,03% Kab. Jepara 72,01% Kab. Blora 71,98% Kab. Wonosobo 71,70% Kab. Pati 69,56% Kab. Boyolali 68,88% Kab. Banyumas 68,13% Kab. Magelang 65,05% Kab. Semarang 64,16% Kab. Tegal 61,89% Kab. Demak 60,05% Kab. Purbalingga 59,34% Kab. Brebes
Lampiran 18
130
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2014 100,00% Kab. Pemalang 100,00% Kab. Magelang 100,00% Kota Semarang 100,00% Kab. Klaten 100,00% Kota Magelang 100,00% Kota Surakarta 100,00% Kab. Cilacap 100,00% Kab. Temanggung 100,00% Kab. Wonogiri 100,00% Kab. Purworejo 100,00% Kab. Sragen 98,79% Kab. Sukoharjo 97,08% Kota Pekalongan 94,68% Kab. Kebumen 86,52% Kab. Karanganyar 86,36% Kab. Batang 85,32% Kab. Rembang 84,79% Kab. Banjarnegara 84,68% Kab. Grobogan 83,89% Kota Salatiga 81,24% Kab. Kudus 79,86% Kab. Pati 78,07% Kota Tegal 77,36% Kab. Blora 76,53% Kab. Wonosobo 73,61% Kab. Pekalongan 73,50% Kab. Brebes 70,64% Kab. Boyolali 69,63% Kab. Kendal 67,66% Kab. Semarang 67,59% Kab. Demak 66,45% Kab. Tegal 63,19% Kab. Jepara 61,14% Kab. Banyumas 55,69% Kab. Purbalingga
Lampiran 19
131
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan tahun 2012 100,00% Kota Pekalongan 100,00% Kab. Tegal 100,00% Kab. Temanggung 100,00% Kab. Brebes 100,00% Kab. Demak 100,00% Kab. Jepara 100,00% Kota Semarang 100,00% Kab. Semarang 100,00% Kab. Pati 100,00% Kab. Sragen 100,00% Kab. Pemalang 100,00% Kota Salatiga 100,00% Kab. Magelang 99,98% Kab. Banyumas 99,87% Kab. Wonogiri 99,86% Kab. Kudus 99,83% Kab. Karanganyar 99,78% Kab. Kebumen 99,77% Kota Surakarta 99,75% Kab. Blora 99,73% Kota Tegal 99,70% Kab. Klaten 99,66% Kab. Pekalongan 99,64% Kab. Purbalingga 99,62% Kab. Cilacap 99,60% Kab. Batang 99,59% Kab. Sukoharjo 99,58% Kab. Rembang 99,50% Kab. Kendal 99,49% Kota Magelang 99,47% Kab. Boyolali 99,43% Kab. Purworejo 99,41% Kab. Grobogan 99,37% Kab. Wonosobo 99,15% Kab. Banjarnegara
Lampiran 20
132
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan tahun 2013 100,00% Kab. Banyumas 100,00% Kota Salatiga 100,00% Kota Pekalongan 100,00% Kab. Brebes 100,00% Kab. Demak 100,00% Kab. Jepara 100,00% Kota Semarang 100,00% Kab. Semarang 100,00% Kab. Temanggung 100,00% Kab. Pemalang 100,00% Kab. Tegal 100,00% Kab. Karanganyar 100,00% Kota Surakarta 100,00% Kab. Pati 100,00% Kab. Magelang 100,00% Kab. Sragen 99,94% Kab. Kudus 99,92% Kab. Wonogiri 99,91% Kab. Pekalongan 99,90% Kab. Boyolali 99,85% Kab. Kebumen 99,76% Kab. Wonosobo 99,72% Kab. Blora 99,69% Kab. Klaten 99,64% Kota Tegal 99,64% Kab. Cilacap 99,62% Kab. Purworejo 99,53% Kab. Rembang 99,50% Kab. Purbalingga 99,47% Kab. Banjarnegara 99,45% Kab. Grobogan 99,45% Kab. Batang 99,44% Kab. Kendal 99,39% Kab. Sukoharjo 99,32% Kota Magelang
Lampiran 21
133
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan tahun 2014 100,00% Kab. Purbalingga 100,00% Kab. Kendal 100,00% Kab. Magelang 100,00% Kab. Pemalang 100,00% Kab. Wonogiri 100,00% Kab. Karanganyar 100,00% Kab. Banyumas 100,00% Kab. Brebes 100,00% Kota Salatiga 100,00% Kota Surakarta 100,00% Kab. Semarang 100,00% Kota Semarang 100,00% Kab. Sukoharjo 100,00% Kab. Tegal 100,00% Kab. Demak 100,00% Kab. Jepara 100,00% Kab. Kudus 100,00% Kab. Rembang 100,00% Kota Tegal 100,00% Kab. Pati 99,99% Kota Pekalongan 99,98% Kab. Klaten 99,92% Kab. Pekalongan 99,87% Kab. Banjarnegara 99,81% Kab. Sragen 99,75% Kab. Boyolali 99,72% Kab. Wonosobo 99,62% Kab. Kebumen 99,59% Kab. Purworejo 99,57% Kab. Cilacap 99,56% Kab. Batang 99,43% Kota Magelang 99,43% Kab. Temanggung 99,36% Kab. Blora 98,55% Kab. Grobogan
Lampiran 22
134
Hasil perhitungan Perbaikan variabel Input Output dalam mencapai efisiensi teknis biaya dan efisiensi teknis sistem Belanja sektor Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014 Kabupaten/ Kota Cilacap
Variabel - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Banyumas - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Purbalingga - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Banjarnegara - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur
Actual
Potential Improvement
Target
Efisiensi Teknis Biaya 137530,70 137530,70 8,96 8,96 68,23 68,23 47,28 47,28 Efisiensi Teknis Sistem 8,96 8,96 68,23 40,63 47,28 47,28 995,10 999,38 107750,72 108344,69 72,80 73,11 Efisiensi Teknis Biaya 209047,64 209047,64 7,22 11,81 39,11 63,96 145,90 238,61 Efisiensi Teknis Sistem 7,22 7,22 39,11 39,11 145,90 145,90 997,78 997,78 107255,35 107255,35 72,92 72,92 Efisiensi Teknis Biaya 208052,41 208052,41 9,11 16,36 32,95 59,16 47,12 84,61 Efisiensi Teknis Sistem 9,11 9,11 32,95 32,95 47,12 47,12 995,14 995,14 109609,93 109609,93 72,80 72,80 Efisiensi Teknis Biaya 174103,31 174103,31 12,50 14,74 47,77 56,34 50,34 65,97
(40,45) 00,43 00,55 00,43 63,55 63,55 63,55 79,56 79,56 79,56 17,94 17,94 31,05
135
Kabupaten/ Kota
Variabel - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Kebumen - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Purworejo - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Wonosobo - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Magelang - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan
Actual
Potential Improvement
Target
Efisiensi Teknis Sistem 12,50 12,50 47,77 43,33 50,34 50,34 997,47 998,77 112477,61 112624,51 73,39 73,66 Efisiensi Teknis Biaya 214329,50 214329,50 12,62 13,33 68,25 72,09 87,30 92,21 Efisiensi Teknis Sistem 12,62 12,62 68,25 44,11 87,30 87,30 996,98 1000,78 105652,30 110152,98 72,67 72,95 Efisiensi Teknis Biaya 229676,16 229676,16 16,38 16,38 66,10 66,10 76,97 76,97 Efisiensi Teknis Sistem 16,38 16,38 66,10 43,17 76,97 76,97 996,13 1000,21 108146,16 110994,70 73,83 74,13 Efisiensi Teknis Biaya 209994,33 209994,33 12,93 16,90 44,23 57,79 63,11 82,46 Efisiensi Teknis Sistem 12,93 8,98 44,23 42,57 63,11 63,11 998,91 1001,73 108700,71 109464,32 70,82 71,02 Efisiensi Teknis Biaya 123901,17 123901,17 10,13 10,13 42,88 42,88
(09,29) 00,13 00,13 00,36 05,62 05,62 05,62 (35,36) 00,38 04,26 00,38 (34,69) 00,41 02,63 00,41 30,67 30,67 30,67 (30,56) (03,74) 00,28 00,70 00,28 -
136
Kabupaten/ Kota
Variabel + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Boyolali - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Klaten - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Sukoharjo - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Wonogiri - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas
Actual
Potential Improvement
Target
33,88 33,88 Efisiensi Teknis Sistem 10,13 10,13 42,88 42,88 33,88 33,88 998,18 998,18 112870,39 112870,39 73,25 73,25 Efisiensi Teknis Biaya 232436,47 232436,47 11,07 15,67 45,94 65,03 96,05 135,97 Efisiensi Teknis Sistem 11,07 10,59 45,94 45,94 96,05 96,05 995,35 997,89 108102,90 108379,15 75,61 75,80 Efisiensi Teknis Biaya 148106,47 148106,47 13,00 13,00 51,04 51,04 88,21 88,21 Efisiensi Teknis Sistem 13,00 12,35 51,04 50,30 88,21 88,21 996,07 996,31 107237,07 108558,46 76,54 76,56 Efisiensi Teknis Biaya 195828,05 195828,05 16,10 16,30 54,61 55,28 87,87 88,95 Efisiensi Teknis Sistem 16,10 16,10 54,61 54,61 87,87 87,87 994,36 994,36 110349,36 110349,36 77,45 77,45 Efisiensi Teknis Biaya 200649,97 200649,97 22,31 22,31
41,56 41,56 41,56 (04,30) 00,26 00,26 00,26 (05,01) (01,44) 01,23 00,02 01,23 01,23 01,23 -
137
Kabupaten/ Kota
Variabel + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Karanganyar - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Sragen - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Grobogan - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Blora - Belanja Kesehatan
Actual
Potential Improvement
Target
33,83 33,83 78,13 78,13 Efisiensi Teknis Sistem 22,31 22,31 33,83 33,83 78,13 78,13 995,54 995,54 115376,04 115376,04 75,84 75,84 Efisiensi Teknis Biaya 189712,35 189712,35 12,85 14,85 51,75 59,82 67,55 78,08 Efisiensi Teknis Sistem 12,85 12,85 51,75 51,75 67,55 67,55 990,69 990,69 114416,44 114416,44 76,71 76,71 Efisiensi Teknis Biaya 240383,85 240383,85 14,39 14,39 75,72 75,72 98,56 98,56 Efisiensi Teknis Sistem 14,39 11,84 75,72 49,43 98,56 98,56 997,08 998,96 107910,13 109736,03 75,31 75,45 Efisiensi Teknis Biaya 165829,53 165829,53 9,67 11,42 54,69 64,58 73,07 86,29 Efisiensi Teknis Sistem 9,67 9,67 54,69 41,55 73,07 73,07 983,02 997,45 109451,93 111058,39 74,07 75,16 Efisiensi Teknis Biaya 225458,06 225458,06
15,59 15,59 15,59 (17,72) (34,72) 00,19 01,69 00,19 18,09 18,09 18,09 (24,02) 01,47 01,47 01,47 -
138
Kabupaten/ Kota
Variabel + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Rembang - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Pati - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Kudus - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Jepara
Actual
Target
12,14 15,69 51,98 67,19 63,53 82,12 Efisiensi Teknis Sistem 12,14 12,14 51,98 43,48 63,53 63,53 991,99 998,38 111819,08 112539,26 73,84 74,32 Efisiensi Teknis Biaya 288041,95 288041,95 16,77 19,66 42,66 50,00 53,41 128,97 Efisiensi Teknis Sistem 16,77 16,77 42,66 42,66 53,41 53,41 1000,11 1000,11 111290,14 111290,14 74,19 74,19 Efisiensi Teknis Biaya 207407,59 207407,59 8,81 12,56 57,93 72,54 76,45 95,73 Efisiensi Teknis Sistem 8,81 8,81 57,93 44,25 76,45 76,45 998,05 998,05 106968,84 106969,29 75,43 75,43 Efisiensi Teknis Biaya 236674,95 236674,95 9,38 13,63 57,48 70,75 145,16 178,67 Efisiensi Teknis Sistem 9,38 9,38 57,48 57,48 145,16 145,16 998,48 998,48 110183,89 110183,89 76,40 76,40 Efisiensi Teknis Biaya
Potential Improvement 29,26 29,26 29,26 (16,35) 00,64 00,64 00,64 17,21 17,21 141,48 42,51 25,22 25,22 (23,62) 45,30 23,08 23,08 -
139
Kabupaten/ Kota
Variabel - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Demak - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Semarang - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Temanggung - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Actual
Potential Improvement
Target
152513,34 152513,34 7,26 11,49 36,47 57,71 65,25 103,26 Efisiensi Teknis Sistem 7,26 7,26 36,47 36,47 65,25 65,25 996,42 996,42 109562,40 109562,40 75,64 75,64 Efisiensi Teknis Biaya 148772,85 148772,85 8,41 12,44 37,24 55,10 42,84 74,70 Efisiensi Teknis Sistem 8,41 8,41 37,24 37,24 42,84 42,84 997,84 997,84 104223,32 104223,32 75,18 75,18 Efisiensi Teknis Biaya 231977,02 231977,02 12,45 18,40 37,47 55,38 35,74 85,78 Efisiensi Teknis Sistem 12,45 12,45 37,47 37,47 35,74 35,74 996,10 996,10 110433,65 110433,65 75,50 75,50 Efisiensi Teknis Biaya 183743,59 183743,59 16,24 16,24 53,32 53,32 70,91 70,91 Efisiensi Teknis Sistem 16,24 9,74 53,32 44,04 70,91 70,91 991,81 997,46 104640,19 106373,31 75,34 75,77
58,25 58,25 58,25 47,96 47,96 74,36 47,80 47,80 140,03 (40,00) (17,41) 00,57 01,66 00,57
140
Kabupaten/ Kota Kendal
Variabel - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Batang - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Pekalongan - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Pemalang - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS
Actual
Potential Improvement
Target
Efisiensi Teknis Biaya 192972,20 192972,20 11,56 16,60 37,98 54,55 49,54 72,40 Efisiensi Teknis Sistem 11,56 11,56 37,98 37,98 49,54 49,54 997,35 997,35 114055,69 114055,69 74,14 74,14 Efisiensi Teknis Biaya 211284,67 211284,67 11,81 13,67 61,11 70,76 46,85 78,83 Efisiensi Teknis Sistem 11,81 11,81 61,11 39,57 46,85 46,85 994,40 998,76 104203,64 107298,42 74,40 74,73 Efisiensi Teknis Biaya 255372,28 255372,28 12,10 16,44 48,87 66,39 66,97 94,92 Efisiensi Teknis Sistem 12,10 12,10 48,87 44,00 66,97 66,97 999,44 1000,28 102712,50 109784,33 73,33 73,39 Efisiensi Teknis Biaya 122410,89 122410,89 7,63 7,63 36,05 36,05 59,88 59,88 Efisiensi Teknis Sistem 7,63 7,63 36,05 36,05 59,88 59,88 996,17 996,17 112942,90 112942,90
43,62 43,62 46,15 15,79 15,79 68,26 (35,24) 00,44 02,97 00,44 35,85 35,85 41,73 (09,97) 00,08 06,89 00,08 -
141
Kabupaten/ Kota
Variabel + AHH
Tegal - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Brebes - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Kota Magelang
- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Kota Surakarta
- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH
Actual
Potential Improvement
Target
72,64 72,64 Efisiensi Teknis Biaya 181188,78 181188,78 8,45 12,72 42,53 64,01 61,33 92,30 Efisiensi Teknis Sistem 8,45 8,45 42,53 42,53 61,33 61,33 1001,83 1001,83 109363,79 109363,79 70,80 70,80 Efisiensi Teknis Biaya 130658,98 130658,98 7,44 10,12 27,01 42,48 46,30 62,99 Efisiensi Teknis Sistem 7,44 7,44 27,01 27,01 46,30 46,30 990,47 990,47 108545,55 108545,55 67,90 67,90 Efisiensi Teknis Biaya 1109567,81 1109567,81 18,28 18,28 76,43 76,43 691,18 691,18 Efisiensi Teknis Sistem 18,28 13,41 76,43 56,18 691,18 353,23 991,17 996,81 111041,01 111672,89 76,57 77,01 Efisiensi Teknis Biaya 243347,07 243347,07 12,16 12,16 56,07 56,07 446,40 446,40 Efisiensi Teknis Sistem 12,16 12,16 56,07 56,07 446,40 446,40 997,85 997,85
50,49 50,49 50,49 36,05 57,26 36,05 (26,62) (26,49) (48,90) 00,57 00,57 00,57 -
142
Kabupaten/ Kota
Variabel + AIMS + AHH
Kota Salatiga - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH Kota Semarang
- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Kota Pekalongan
- Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur + ABH + AIMS + AHH
Kota Tegal - Belanja Kesehatan + Rasio Puskesmas + Rasio Bidan + Rasio Tempat Tidur - Rasio Puskesmas - Rasio Bidan - Rasio Tempat Tidur
Actual
Potential Improvement
Target
109354,87 109354,87 76,99 76,99 Efisiensi Teknis Biaya 702831,99 702831,99 14,90 17,76 58,50 69,74 322,31 408,54 Efisiensi Teknis Sistem 14,90 14,90 58,50 58,50 322,31 322,31 995,85 995,85 121982,58 121982,58 76,53 76,53 Efisiensi Teknis Biaya 159519,95 159519,95 6,40 6,40 28,51 28,51 250,93 250,93 Efisiensi Teknis Sistem 6,40 6,40 28,51 28,51 250,93 250,93 995,29 995,29 107413,31 107413,31 77,18 77,18 Efisiensi Teknis Biaya 374232,65 374232,65 16,68 17,18 60,26 62,08 212,12 218,51 Efisiensi Teknis Sistem 16,68 16,34 60,26 43,33 212,12 96,79 1000,17 1000,30 110767,70 110781,57 74,09 74,10 Efisiensi Teknis Biaya 733875,17 733875,17 15,10 19,34 47,35 60,65 352,66 451,71 Efisiensi Teknis Sistem 15,10 15,10 47,35 47,35 352,66 352,66
19,21 19,21 26,76 03,01 03,01 03,01 (02,05) (28,09) (54,37) 00,01 00,01 00,01 28,09 28,09 28,09 -
143
Kabupaten/ Kota
Variabel + ABH + AIMS + AHH
Sumber : Hasil olah data, DEA.
Actual
Target
1001,12 108073,15 74,10
1001,12 108073,15 74,10
Potential Improvement -