ANALISIS DIRI TOKOH UTAMA DALAM NOVEL KAMEN NO KOKUHAKU KARYA YUKIO MISHIMA Indria Hapsari Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Shishosetsu adalah sebuah genre novel dalam kesusastraan Jepang yang tema ceritanya ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman dari kehidupan pribadi pengarangnya. Salah satu karya yang mewakili shishosetsu adalah Kamen no Kokuhaku, novel otobiografi Mishima yang diterbitkan pada tahun 1949. Novel ini menceritakan karakter tokoh utama yang menceritakan kembali dan menganalisis kehidupannya sendiri. Penelitian ini akan menggunakan konsep diri palsu milik Winnicott untuk menganalisis tokoh utama yang berusaha menyembunyikan dirinya yang sebenarnya dengan menunjukkan diri palsu yang ia ciptakan sebagai bentuk pertahanan dirinya. Kata kunci: Shishosetsu; novel otobiografi; Kamen no Kokuhaku; Mishima Yukio; analisis diri; diri palsu; Winnicott.
SELF-ANALYSIS OF THE MAIN CHARACTER IN YUKIO MISHIMA’S KAMEN
NO KOKUHAKU Abstract
Shishosetsu is a novel genre in Japanese literature which uses the writer’s own life experience as its theme. One of the representative works of shishosetsu is Kamen no Kokuhaku, an autobiographical novel of Mishima Yukio which was first published in 1949. The story is centered around the main character as he reminiscing and analyzing his own life. This study will use Winnicott’s concept of the false self to analyze the main character who tried to hide his true self by showing his false self that he had created as a means of self defense.
Keywords: Shishosetsu, autobiographical novel; Kamen no Kokuhaku,;Mishima Yukio; self-analysis; the false self; Winnicott.
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
Pendahuluan Mishima Yukio adalah sastrawan modern Jepang yang menulis sekitar 40 novel, 18 dram panggung dan 20 cerita pendek dan esei selama 45 tahun hidupnya. Dia juga pernah tiga kali menjadi nomine penghargaan Nobel. Nama asli Mishima adalah Hiraoka Kimitake, nama pena Mishima Yukio pertama kali digunakan ketika Mishima menerbitkan karyanya yang berjudul Hanazakari no Mori yang diterbitkan pada tahun 1941. 1 Namun demikian, nama Mishima tidak langsung menjadi sorotan ketika itu, baru sekitar tahun 1949, nama Mishima mulai mendapat perhatian setelah ia menerbitkan karyanya yang berjudul Kamen no Kokuhaku, yang diakui oleh Mishima sendiri sebagai novel otobiografinya.2 Sakita Susumu (1984) menggolongkan Kamen no Kokuhaku ke dalam shishosetsu3 (私 小説) (Hijiya-Kirschnereit, 1981:105). Gaya narasi melalui orang pertama dalam novel ini juga memperlihatkan pengaruh yang siginifikan dari shishosetsu (Ames dan Dissanayake, 1996:293). Shishosetsu ditulis berdasarkan pengalaman pengarangnya, tetapi hal tersebut tidak membuat karakter, terutama karakter tokoh utama, dalam novel dapat dianggap sebagai pengarangnya sendiri (Edward Fowler, 1988:9). Semirip apapun karakter dengan pengarangnya, tetap saja karakter dalam novel adalah bentuk representasi dari pengarangnya. Oleh karena itu, Fowler (1988) menegaskan bahwa dalam membaca atau meneliti shishosetsu, pembaca lebih baik melihat karakter dalam novel sebagai karakter fiktif, bukan sebagai pengarang. Cerita Kamen no Kokuhaku berpusat pada tokoh Aku (watashi) yang menceritakan dan menganalisis kehidupannya dari masa kecilnya hingga ia dewasa. Masa kecilnya sebagian besar dilalui bersama dengan neneknya yang mempunyai sakit saraf. Beberapa hari setelah kelahiran Aku, Nenek merebut Aku dari orangtua kandungnya, sehingga sejak kecil Aku harus dirawat oleh Nenek di kamarnya. Nenek Aku begitu posesif sehingga Aku tidak dibiarkan untuk bermain dengan anak-anak lain selain beberapa anak perempuan yang dipilihkan olehnya sebagai teman bermain. Minimnya interaksi Aku dengan anak-anak laki-laki seusianya dan isolasi diri Aku di kamar Neneknya yang sakit semasa kecilnya membuat Aku mengalami ketidakwajaran dalam
1
John Nathan, (1987), Mishima: a biography, Tokyo, Charles E.Turtle Company, hlm.99 Ibid 3 Shishosetsu adalah salah satu genre novel Jepang yang dipengaruhi oleh aliran naturalis dari pertengahan hingga akhir zaman Taisho (sekitar tahun 1920-an). Tema cerita biasanya berpusat pada pengalamanpengalaman yang bersumber dari kehidupan pengarangnya (Isoji Asoo, 1983:176) 2
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
perkembangannya. Aku memperlihatkan kecenderungan menyukai para pemuda. Tidak hanya pemuda biasa, tetapi pemuda yang menurutnya berada dalam keadaan tidak wajar, yaitu keadaan yang mengingatkannya pada keadaannya sendiri yang sebagian besar waktunya dihabiskan di dalam kamar nenek yang berbau penyakit dan usia tua, misalnya seperti pemuda pengumpul kotoran atau pemuda penyobek tiket kereta bawah tanah. Aku juga menunjukkan kecenderungan untuk menyembunyikan sifatnya yang tidak lazim tersebut dengan mematuhi semua tuntutan lingkungannya dan menunjukkan diri palsunya, yaitu diri yang ia buat dengan meniru anak-anak laki-laki normal di lingkungannya. Kondisi psikologis tokoh utama yang menunjukkan diri palsu tersebut dapat dikaitkan dengan konsep the false self (diri palsu) yang dikemukakan oleh D.W. Winnicott. Fokus konsep tersebut adalah pengaruh hubungan antara figur ibu dengan individu pada masa kanakkanak terhadap munculnya diri palsu pada individu tersebut. Winnicott (1990) menyatakan bahwa diri palsu pada individu terbentuk akibat kegagalan ibu dalam memahami dan menanggapi kebutuhan anaknya. Tokoh Aku dalam novel Kamen no Kokuhaku di bagian awal cerita, yaitu kisahnya waktu masih balita, mengisahkan bahwa sebagian besar kehidupannya saat itu berpusat pada neneknya yang merawatnya secara posesif, dan bukan ibu kandungnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan difokuskan pada perkembangan diri palsu tokoh utama dengan melihat faktor hubungan tokoh utama dengan neneknya, yang merupakan figur ibu tokoh utama. Tinjauan Teoritis Donald Woods Winnicott (1896-1971) adalah seorang dokter spesialis anak, psikiater anak, dan psikoanalis asal Inggris. Kontribusinya dalam psikoanalisis sangat besar meskipun tidak ada sekolah yang mengusung namanya maupun yang didirikan langsung oleh Winnicott. Winnicott mencoba mengkritik dan memperluas teori Freud seperti yang dilakukan oleh generasi-generasi setelah Freud yang sering disebut sebagai neo-Freudian. Winnicott dapat dikatakan sebagai generasi ke-3 dari neo-Freudian yang digolongkan secara umum sebagai “teoritikus Relasi-Objek” (object-relations).4 Pandangan mengenai Relasi-Objek memiliki pendirian bahwa pada masa anak-anak belum dapat berkomunikasi secara verbal, “diri” si anak masih berbaur dengan dunia objeknya (object world), dan dikotomi antara “diri” dan “objek” di luar diri belum terjadi.
4
Charles V. Gerkin, (2006), Konseling Pastorial dalam Transisi, terj. Adji A. Sutama, Yogyakarta, Kanisius,hlm 108
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
Bayi yang dalam keadaan tidak berdaya karena belum mampu memprakarsai suatu aktivitas dan belum dapat berkomunikasi secara verbal ini harus dipenuhi dan ditanggapi kebutuhannya secara memadai oleh ibunya, yang oleh anak masih dipandang sebagai bagian dirinya. Proses pemisahan individu pada saat ini belum terjadi.5 Tentu saja seiring dengan pertumbuhannya, bayi ini secara perlahan akan dapat memisahkan antara dirinya dengan objek diluar dirinya. Peran ibu lagi-lagi sangat kuat dalam proses pemisahan individu bayi dengan objek di luar diri bayi. Ibu memang diharapkan untuk selalu dapat memahami dan menanggapi semua kebutuhan bayi pada masa awal-awal ketika bayi baru dilahirkan. Namun demikian, seiring dengan perkembangan si bayi, ibu tidak akan selamanya dapat memahami dan menanggapi kebutuhan bayi dengan tepat. Kegagalan ibu ini sedikit demi sedikit akan membuat bayi dapat memisahkan dirinya dengan objek di luar dirinya. Kegagalan ibu dalam menanggapi kebutuhan bayi dari fase awal dan bukannya di fase lanjutlah yang kemudian oleh Winnicott akan membentuk diri palsu. Diri palsu biasanya terbentuk untuk kemudian digunakan untuk melindungi diri yang sebenarnya dari realitas eksternal. Jadi, dengan kata lain, diri palsu ini dapat dikatakan sebagai bentuk pertahanan dan perlindungan diri yang sebenarnya. Ibu menanggapi dengan gestur ibu itu sendiri sehingga pada akhirnya yang terjadi bukanlah pemenuhan keinginan atau ego si bayi, melainkan kepatuhan si bayi terhadap keinginan sosok ibu. Kepatuhan dari pihak si bayi ini yang disebut oleh Winnicott sebagai fase awal terbentuknya diri yang palsu pada diri individu tersebut. Memang dalam kehidupan individu mana pun akan terbentuk diri palsu secara alami untuk melindungi diri yang sebenarnya sampai tingkat tertentu, namun yang membedakan individu tersebut normal atau tidak adalah sejauh mana diri palsu tersebut mendominasi kehidupannya. Individu yang dianggap normal adalah individu yang menggunakan diri palsu hanya ketika ia bersosialisasi dengan lingkungannya. Diri palsu pada individu normal ini biasanya diidentifikasikan sebagai perilaku sosial mereka, yang memungkinkan mereka untuk bersikap ramah terhadap individu lain. Sebaliknya, individu dapat dikatakan tidak normal jika diri palsu tersebut mempengaruhi individu secara dominan dalam seluruh pengambilan tindakannya, bahkan diri palsu tersebut sampai dianggap oleh lingkungannya sebagai diri yang sebenarnya dari individu tersebut.
5
Ibid, hal.109
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu dengan mendeskripsikan fakta-fakta dari objek penelitian yang kemudian dianalisis (Ratna, 2004:53). Penelitian ini akan melihat perkembangan psikologis tokoh utama Aku dalam novel Kamen no Kokuhaku melalui unsur intrinsik dalam novel tersebut, terutama unsur penokohan, yang kemudian akan dianalisis dengan konsep diri palsu yang dikemukakan oleh Winnicott. Faktor Penyebab Terbentuknya Diri yang Palsu (the False Self) pada Tokoh Utama Aku Diri palsu pada diri tokoh utama Aku, disebabkan oleh faktor-faktor seperti hubungan antara figur ibu dengan anak, dan lingkungan. Tokoh utama Aku, atau yang biasa dipanggil dengan nama panggilan Ko-chan, tinggal bersama dengan keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu, kakek, dan nenek, dan juga enam orang pembantu, di sebuah rumah sewaan tua yang terkesan mewah. Beberapa hari setelah kelahirannya, tepatnya di hari ke-49, neneknya merebut dirinya dari tangan ibunya dan memaksa untuk merawat Aku sendiri tanpa intervensi dari keluarga inti dengan merawatnya secara pribadi di ruangannya yang terpisah satu lantai dari kamar orangtuanya. Ayah dan ibuku tinggal di lantai dua. Dengan alasan bahwa merawat bayi di lantai dua itu berbahaya, di hari ke 49 setelah kelahiranku nenek merebutku dari tangan ibu. Aku dirawat di sebelah tempat tidur nenek, di kamar rawat nenek yang selalu tertutup rapat dan merebakkan bau penyakit dan umur tua. (Mishima, 1958: 8)
Hal yang menyebabkan pengambilalihan perawatan Aku oleh neneknya ini menjadi masalah adalah karena kesehatan mental nenek yang semakin memburuk. Aku dalam analisis dirinya mendeskripsikan bahwa neneknya adalah seorang yang berjiwa puitis yang gila dan keras kepala. Penyakit saraf otak yang berkepanjangan perlahan menggerogoti sarafnya. Ketidakberdayaan kedua orangtua Aku terhadap keegoisan Nenek juga yang membuatnya direbut dari tangan mereka dan dirawat secara posesif oleh Nenek. Minimnya adegan interaksi antara tokoh utama dengan kedua orangtuanya pada masa kecilnya menunjukkan minimnya peran kedua orangtua Aku dalam merawatnya. Sebagian besar interaksi tokoh utama waktu masih kecil dalam novel adalah dengan Nenek dan para pembantunya. Salah satu penyebab dari terbatasnya interaksi tokoh utama adalah karena Nenek dideskripsikan begitu posesif terhadap dirinya, selain memisahkan dirinya dari orangtuanya, Nenek juga tidak mengizinkan Aku untuk bermain dengan anak-anak lelaki di lingkungannya.
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
Nenek melarangku bermain dengan anak-anak laki-laki di lingkungan rumah karena memikirkan fisikku yang lemah, juga karena pertimbangan supaya aku tidak mempelajari hal buruk, sehingga teman bermainku, selain pembantu dan perawat, hanyalah tiga orang anak perempuan dari anak-anak perempuan tetangga yang dipilihkan nenek untukku. (Mishima, 1958: 24-25)
Keadaan demikian tentu saja kemudian memberikan dampak kepada pertumbuhan tokoh utama yang sudah sejak kecil dirawat dengan cara yang tidak biasa. Aku merasa bahwa dirinya terasing, bahkan dari keluarganya sendiri. Sejak lahir Aku selalu berada di bawah pengawasan Nenek, Aku dituntut untuk selalu mendengarkan perintah Nenek, seperti tidak boleh bermain dengan anak-anak lain selain anak-anak yang sudah dipilihkan oleh Nenek, tidak boleh makan makanan selain makanan yang diperbolehkan oleh Nenek, tidak boleh berisik ketika bermain, dan sebagainya sehingga tanpa sadar Aku membentuk kebiasaan untuk selalu menunggu perintah Nenek. Merujuk pada pembahasan sebelumnya mengenai diri palsu (false self) oleh Winnicott, bahwa diri palsu terbentuk akibat kepatuhan sehingga ia akan berusaha untuk menerima tuntutan dari lingkungannya, dapat disimpulkan bahwa dalam diri tokoh utama mulai terbentuk diri palsu. Ketika Aku yang selama ini hanya berhubungan dengan segelintir orang dari keluarganya mulai berhubungan dengan orang-orang di luar dari lingkaran sosialnya selama ini, Aku dalam analisisnya menyebutkan bahwa perlahan dirinya mulai berusaha untuk memenuhi tuntutan dari lingkungannya, yaitu menjadi seorang anak laki-laki normal, bahkan sampai orang-orang di sekitarnya mulai menganggap bahwa diri yang berusaha ia perankan adalah dirinya yang sebenarnya. Proses Terbentuknya Diri Palsu (False Self) pada Tokoh Utama Aku Sebelum membahas lebih jauh mengenai pembentukan diri yang palsu pada tokoh utama, kita harus mengetahui terlebih dahulu pandangan tokoh utama melalui analisis dirinya mengenai diri yang ia anggap adalah diri yang sebenarnya, atau dalam teori yang dijelaskan sebelumnya disebut sebagai true self, yang berusaha ia sembunyikan dari lingkungannya dan pada akhirnya dari dirinya sendiri. Diri yang dianggap oleh tokoh utama sebagai diri yang sebenarnya banyak mendapatkan pengaruh dari dominasi diri tokoh utama ketika masa balita oleh neneknya yang tidak sehat baik secara fisik maupun mental. Kamar sakit neneknya yang menjadi tempat Aku
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
tumbuh membuatnya menunjukkan ketertarikan yang tidak wajar terhadap sesuatu yang bagi orang yang normal tidak lazim. Ingatan pertama mengenai hal tersebut yang diceritakan oleh Aku adalah ingatannya mengenai seorang pemuda pengumpul kotoran. Lebih jauh Aku menyebutkan bahwa ketertarikannya pada pengumpul kotoran itu adalah karena pekerjaannya, yang membuatnya merasakan perasaan yang sama terhadap pengalamannya sendiri yang dibesarkan bersama dengan nenek yang sakit di samping tempat tidurnya, yaitu penderitaan dan ketidakberuntungan. Penderitaan dan ketidakberuntungan yang ia kaitkan dengan keberadaan dan kehidupan orang-orang tersebut, tidak lain hanyalah perwujudan dari perasaannya sendiri, yaitu penderitaan dan rasa ketidakberuntungan yang timbul dari dalam dirinya karena selalu disisihkan dan ditinggalkan di kamar tempat neneknya terbaring sakit, yang bukan merupakan tempat yang layak untuk membesarkan seorang anak. Untuk penyobek tiket kereta bawah tanah, bau yang beraroma seperti peppermint dan seperti karet yang merebak di stasiun kereta bawah tanah pada saat itu, yang dikombinasikan dengan kancing emas yang berderet di bagian dada seragam birunya, mengingatkanku pada “penderitaan (ketidakberuntungan)”. Orang yang bekerja di tengah-tengah bau seperti itu, entah kenapa membangkitkan penderitaan dari dalam hatiku. (Mishima,1958: 12)
Hal-hal tidak lazim yang mengingatkannya akan penderitaan dan ketidakberuntungan dalam diri Aku juga ditemukan olehnya dalam sebuah gambar di buku bergambar yang dimilikinya, yaitu gambar seorang ksatria berkuda yang sedang mengacungkan pedangnya, Aku percaya bahwa ksatria tersebut akan terbunuh di halaman berikutnya. Namun demikian, Aku yang pada saat itu belum bisa membaca sangat kecewa ketika seorang pembantunya memberitahunya bahwa ksatria yang ada di dalam gambar tersebut bukan seorang pria, tapi seorang wanita yang menyamar jadi pria. Aku kemudian tidak pernah menyentuh buku bergambar itu lagi karena imajinasinya akan ksatria yang ia kira adalah pria yang akan menemui ajalnya, rusak. Ingatan Aku yang lainnya mengenai hal tidak lazim yang menarik minatnya adalah bau keringat para tentara yang melewati rumahnya sepulang dari latihan perang mereka. Bau mereka membuatnya mengimajinasikan nasib para tentara yang tragis dan penuh penderitaan, dan cara mereka akan mati. Pada saat itu, Aku belum mengetahui sebab ketertarikannya pada hal-hal tersebut, sampai ketika Aku berusia dua belas tahun, ia mulai memahami bahwa halhal tersebut, gambaran mengenai pria-pria muda yang menurutnya dalam membangkitkan perasaan ketidakberuntungan dalam dirinya, adalah keinginan-keinginan sensualnya. Mainanmainan yang Aku miliki, yang tidak ia ketahui bagaimana cara memainkannya,
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
membangkitkan semua ingatannya di masa kecil, yaitu pria-pria muda di pantai ketika musim
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
panas, tim renang di Kolam Renang Meiji, dan berbagai ksatria dari berbagai cerita petualangan. Ketertarikannya pada hal-hal tersebut membawa Aku kemudian pada ketertarikannya terhadap objek lain yang menarik minat sensualnya. Objek tersebut adalah sebuah reproduksi lukisan Guido Reni, yang berjudul St. Sebastian, yang ia temukan dalam salah satu kumpulan ilustrasi reproduksi koleksi ayahnya. Lukisan dengan objek fokusnya adalah seorang pemuda yang sedang menjalani eksekusi, dengan panah tertancap di tubuhnya tersebut membangkitkan gairah Aku, yang kemudian membuatnya melakukan masturbasi. Seketika aku melihat gambar itu, seluruh tubuhku digetarkan oleh kenikmatan. Darahku menggelegak, organku dipenuhi amarah. Satu bagian tubuhku yang sangat besar dan akan meledak itu menunggu untuk digunakan secara intens olehku. Kemudian tanpa sadar, tanganku mulai bergerak melakukan sesuatu yang belum pernah diajarkan sebelumnya oleh siapapun. Aku merasakan sesuatu dari dalam tubuhku menyerang dengan cepat. Kemudian sesuatu yang kurasakan itu keluar, bersama dengan sebuah kenikmatan yang memabukkan. (Mishima,1958: 36)
Jika sebelumnya hasrat sensual Aku hanya ditujukan kepada para pemuda yang tidak memiliki hubungan langsung dengannya, yang dilihatnya baik di dalam lukisan, cerita fantasi maupun yang ia lihat secara sepintas ketika ia berada di luar rumahnya, ketika berada di tahun keduanya di sekolah menengah pertama objek yang menjadi hasratnya adalah teman sekelasnya sendiri, Omi. Omi, yang digambarkan sebagai anak yang memiliki pembawaan yang liar dan nakal, sebenarnya berusia lebih tua daripada teman-teman sekelasnya karena pernah tidak naik kelas. Awalnya, Aku hanya memandangi Omi dari jauh, tetapi ketika suatu pagi bersalju Aku menemukan Omi yang sedang asyik mengukir namanya di hamparan salju seorang diri, ia kemudian mempelajari bahwa sikap acuh Omi sebenarnya hanya untuk menutupi rasa kesepiannya. Kemudian ketika Omi menyodorkan tangan bersarungnya ke pipi Aku, Aku menjadi jatuh cinta terhadap Omi. “Cinta yang dirasakannya ini berhubungan erat dengan hasrat yang menginginkan tubuhnya.” (Mishima, 1958: 53) Aku selalu mendambakan untuk melihat tubuh Omi secara langsung tanpa busana, tetapi ketika akhirnya keinginannya tersebut terpenuhi, bukan perasaan senang yang dirasakan olehnya, melainkan perasaan iri. Perasaan iri karena tubuh Omi sangat berbeda jauh dengan tubuhnya yang kurus. Hal ini yang kemudian membuat Aku memutuskan untuk tidak mencintai Omi lagi.
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
Beberapa tahun kemudian, Aku merasakan perasaan yang sama ketika melihat seorang adik kelasnya, seorang pemuda tampan belum berusia tujuh belas tahun, yang baru saja masuk sekolah menengah atas, bernama Yakumo. Hasratnya tertuju pada tubuh Yakumo yang bisa ia lihat dengan leluasa. Namun demikian, sama seperti ketika ia jatuh cinta kepada Omi, hasratnya terhadap tubuh Yakumo membuat ia membanding-bandingkan tubuh Yakumo yang indah dengan tubuhnya yang kurus, sehingga yang muncul kemudian adalah perasaan malu Aku dengan tubuhnya sendiri. Aku mulai menyadari bahwa dirinya yang memiliki hasrat seksual yang berbeda dengan teman-temannya ketika pada suatu hari ia menyampaikan pesan dari ibu dari teman sekelasnya yang baru saja meninggal, Katakura, kepada teman laki-laki lainnya. Aku menyampaikan pesan kepada temannya itu bahwa ibu Katakura menitipkan salam untuknya, dan supaya temannya itu segera mengunjungi ibu yang kesepian karena ditinggal anaknya yang baru saja meninggal itu. Reaksi temannya yang tiba-tiba malu membuatnya kaget, sesaat ia tidak paham akan reaksi temannya itu. Barulah kemudian ia menyadari bahwa ibu Katakura baru saja menjadi janda, masih muda, dan memiliki tubuh yang langsing, pesan dari ibu Katakura tersebut untuk mengunjunginya itu ternyata diartikan dengan makna yang tidak pernah Aku pikirkan sebelumnya. Aku merasa sengsara dengan hal itu. Hal yang makin membuatku sengsara adalah, penyebab pemahamanku yang lamban ini bukan karena kebodohanku, melainkan karena adanya perbedaan letak minat dia denganku. Perasaan hampa itu adalah perasaan memalukan karena keterlambatanku dalam menyadari hal itu mengejutkanku, padahal seharusnya aku sudah dapat memprediksinya. (Mishima, 1958: 84)
Kejadian itu membuat Aku menyadari bahwa selama ini ia membenci dirinya yang sebenarnya, yang merupakan bagian dari kehidupannya yang sebenarnya, dan memutuskan untuk terus hidup dengan berpura-pura. Dominasi Diri Palsu terhadap Diri yang Sebenarnya pada Tokoh Utama Aku Sejak kecil Aku merasa bahwa ia harus memenuhi semua tuntutan dari lingkungannya, meskipun dengan demikian ia tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Misalnya ketika ia berada di rumah sepupunya, Sugiko, ketika masih kecil, Aku memahami bahwa orang-orang di sana tidak mengetahui seperti apa ia dirawat dan yang mereka harapkan dari dirinya tidak lain adalah seorang anak laki-laki yang normal.
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
Selain itu di sini (rumah Sugiko), secara diam-diam aku dituntut untuk menjadi seorang anak laki-laki. Aku mulai berpura-pura. Sejak saat itu aku mulai sedikit memahami mekanisme bahwa diriku yang sebenarnya di mata orang lain hanyalah diriku yang berpura-pura. (Mishima, 1958: 26)
Aku yang sudah berusaha untuk berpura-pura di hadapan orang lain sejak kecil, untuk menyembunyikan dirinya yang sebenarnya agar tidak diketahui orang lain, kemudian tumbuh menjadi seorang pemuda yang menganggap bahwa kehidupan ini adalah sebuah panggung, dengan manusia sebagai aktor di dalamnya. Semua orang mengatakan bahwa kehidupan adalah sebuah panggung. Namun demikan, tidak banyak orang yang sepertiku, yang dari akhir masa anak-anak terus-terusan beranggapan bahwa kehidupan adalah panggung. Hal itu sudah menjadi satu kesadaran yang pasti, tetapi karena tercampur dengan kedangkalan pengalamanku yang benar-benar naif, di suatu tempat dalam hatiku ada keraguan bahwa manusia tidak memulai kehidupannya sepertiku, tetapi aku bisa meyakinkan diriku bahwa siapapun akan memulai kehidupannya seperti ini. (Mishima, 1958: 85)
Akting yang mulai dilakukan oleh Aku di hadapan orang-orang di sekitarnya, antara lain adalah menyembunyikan keinginan-keinginan sensualnya yang tidak wajar untuk anak laki-laki, juga dengan berpura-pura, misalnya seperti mengajak main kedua sepupu perempuannya bermain perang-perangan, meskipun Aku memahami bahwa ia tidak memiliki minat sama sekali terhadap permainan yang biasa dilakukan anak laki-laki seusianya itu. Aku yang mulai memasuki kehidupan Sekolah Menengah Atas, berusaha untuk bersikap seperti anak-anak laki-laki lainnya, terutama sikap mereka dalam menyikapi lawan jenis mereka, dengan membayangkan perasaan mereka ketika melihat perempuan sama ketika ia melihat objek hasratnya, para pemuda. Referensi mengenai perasaan laki-laki tersebut ia dapat dari novel maupun ensiklopedia yang dibacanya, mengingat Aku tidak mengalami kehidupan asrama dan tidak mengikuti kegiatan atletik sekolah seperti anak-anak lainnya. Namun demikian, novel maupun ensiklopedia tidak dapat mengajari semua yang ia ingin ketahui, misalnya seperti reaksi tubuh seorang lelaki ketika melihat objek hasrat mereka. “Aku baru menyadari bahwa yang membedakan dirinya dengan anak-anak laki-laki lainnya tidak hanya pada perasaan saja, tetapi juga pada tanda-tanda eksternal yang tersembunyi. Mereka akan terangsang jika melihat gambar perempuan tanpa busana, sedangkan aku sendiri tidak bereaksi apa-apa.” (Mishima, 1958: 92) Aku kemudian berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa suatu hari nanti ia juga akan bisa terangsang jika melihat wanita meskipun ia sama sekali tidak memiliki hasrat
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
terhadap mereka, meskipun di dalam hatinya juga sebenarnya ada keraguan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Aku mulai mengumpulkan ingatan-ingatannya mengenai wanita yang pernah ia temui dalam hidupnya. Wanita yang ia ingat pertama kali adalah mengenai Sumiko, sepupu perempuannya. Sumiko adalah wanita lajang berumur sekitar dua puluh tahun. Aku mengakui bahwa sepupu perempuannya itu adalah wanita yang menarik, dan ia menyukainya, walaupun tidak mencintainya, dan suka melihatnya dari kejauhan. Aku juga mengakui bahwa ia merasakan kenikmatan, meskipun bukan dalam konteks seksual, ketika sepupunya itu menidurkan kepalanya di paha tokoh Aku. Setelah itu ada wanita-wanita lain yang diakuinya pernah menarik minatnya, seperti wanita anemia yang ia lihat di dalam bus. Aku berusaha meyakinkan dirinya bahwa minatnya terhadap perempuan adalah berasal dari hasratnya, bukan sekedar rasa penasaran dan ingin tahunya mengenai cinta yang dialami oleh anak-anak laki-laki lainnya. Hal itulah yang kemudian membuatnya ingin mencoba berciuman dengan wanita. Sebenarnya keinginannya untuk mencium seorang wanita hanyalah untuk meyakinkan dan menenangkan dirinya, bahwa ia juga memiliki hasrat yang sama dengan laki-laki normal. Keinginan untuk menciumnya ini ia tujukan kepada kakak perempuan temannya yang bernama Nukada kemudian pada Sonoko, adik perempuan teman baiknya yang bernama Kusano. Aku bertemu dengan Sonoko ketika sedang berkunjung ke rumah Kusano. Di sana ia mendengar seseorang sedang memainkan piano dengan canggung, yang ternyata adalah Sonoko. Aku merasa bahwa ia tertarik dengan Sonoko dan berusaha untuk mendekatinya. Saat itu Aku merasa yakin bahwa ia dapat mencintai seorang wanita walaupun tanpa hasrat, ia meyakinkan dirinya bahwa ia bisa mencintai Sonoko. Aku kemudian berusaha untuk membuktikan bahwa dengan mencium Sonoko, ia dapat menyadari bahwa sebenarnya ia memang mencintai Sonoko. Pada kenyataannya, hanya perasaan kecewa yang didapatnya setelah mencium Sonoko, tidak ada perasaan yang bergejolak dalam dirinya ketika ia mencium Sonoko. Aku yang memahami hal itu, kemudian berusaha menjauhi Sonoko sebelum akhirnya ia mencampakkan gadis itu. Beberapa lama setelah Aku mencampakkan Sonoko, ia mendapat kabar bahwa Sonoko sudah menikah. Sedangkan Aku, meskipun dirinya sudah membuktikan bahwa ia tidak bisa mencintai wanita dengan mencampakkan Sonoko, tetap merasa bahwa ia harus tetap meneruskan usahanya dalam menemukan hasrat di dalam seorang wanita. Hal itulah
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
yang kemudian membuatnya menyetujui ajakan seorang temannya untuk ke rumah bordil. Setelah bersama dengan seorang wanita di rumah bordil itu, ia menyadari bahwa dirinya impoten, dan ia merasa sangat malu karena temannya yang mengajaknya ternyata mengetahuinya. Setelah kejadian itu, Aku menjadi lelah dengan perannya selama itu. Keinginankeinginannya untuk berhubungan dengan wanita disadarinya tak lain adalah salah satu bentuk kepura-puraannya untuk menyembunyikan dirinya yang tidak normal. Aku memutuskan untuk mulai menanggalkan topengnya, ia menghindari wanita, dan ketika ia tak sengaja melihat seorang wanita yang tersingkap roknya, ia dengan tenang melihat paha wanita tanpa merasa perlu untuk berpura-pura meniru pria lain yang berusaha memalingkan pandangannya dari paha wanita yang kelihatan itu. Dalam keadaan seperti itu, tanpa sengaja Aku bertemu dengan Sonoko lagi. Kemudian Aku menemukan bahwa di dalam dirinya, meskipun bukan perasaan cinta, ada perasaan murni bahwa ia ingin terus bertemu dengan Sonoko. Pertemuan mereka yang kebetulan itu kemudian berkembang menjadi pertemuanpertemuan berikutnya hingga pada akhirnya setahun kemudian, mereka berdua menyadari bahwa pertemuan-pertemuan ini dapat membawa mereka ke dalam hubungan yang lebih dalam. Di sisi lain, Aku juga merasakan kesenangan dari hubungannya dengan Sonoko saat itu hingga pada akhirnya, ketika mereka berdua pergi berdansa, Aku diingatkan kembali oleh diri sebenarnya yang selama ini ia sembunyikan. Seorang laki-laki dalam ruangan dansa tersebut menimbulkan hasrat seksual dalam dirinya, bahkan ia sampai melupakan keberadaan Sonoko di sampingnya. Meskipun Aku merasa bahwa diri buatan yang ia bangun selama ini seperti runtuh, pada akhirnya ia berusaha untuk memakai kembali topengnya di hadapan Sonoko. Kesimpulan Tokoh utama Aku dalam novel Kamen no Kokuhaku memiliki dua diri atau kepribadian yang terpisah, yaitu diri sebenarnya yang Aku sembunyikan dari lingkungan, dan diri yang ditunjukkan ketika berhubungan dengan lingkungan, yang dalam konsep Winnicott disebut sebagai diri palsu. Diri palsu tersebut muncul sebagai bentuk pertahanan diri tokoh utama supaya diri yang sebenarnya tidak diketahui oleh orang lain. Diri sebenarnya dari tokoh utama Aku memiliki ketertarikan yang tidak lazim terhadap pemuda yang berada dalam
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
keadaan yang mengingatkan Aku akan kehidupannya yang sebagian besar dihabiskan di kamar Nenek yang berbau penyakit dan usia tua, misalnya seperti pemuda pengumpul kotoran atau pemuda penyobek tiket kereta bawah tanah. Diri palsu yang dibuat oleh tokoh Aku sebenarnya terbentuk karena pengaruh figur ibu yang merawatnya, yaitu tokoh Nenek, dan lingkungan tempat Aku dibesarkan. Kondisi mental Nenek yang labil memberikan pengaruh negatif terhadap Aku yang dirawat langsung oleh Nenek beberapa hari setelah kelahirannya. Selain itu, tokoh Aku sudah biasa menuruti kemauan Neneknya yang sangat posesif terhadap dirinya, Aku hanya bermain dengan beberapa anak perempuan yang dipilihkan Nenek sebagai teman bermainnya. Menurut Winnicott, diri palsu terbentuk karena kepatuhan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa diri palsu Aku terbentuk karena kepatuhannya terhadap Nenek. Aku tidak terbiasa untuk bertindak secara spontan tanpa harus menunggu perintah ataupun menuruti kemauan orang lain. Diri palsu tokoh utama Aku ini kemudian berkembang sampai orang di lingkungannya mengira bahwa diri palsu Aku adalah dirinya yang sebenarnya. Tokoh Aku sampai akhir cerita menunjukkan usahanya untuk selalu menunjukkan diri palsunya tanpa pernah menunjukkan dirinya yang sebenarnya di hadapan orang lain, tidak terkecuali dengan orang-orang terdekatnya.
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
Daftar Referensi Ames, Roger T. & Dissanayake, Wimal. (1996). Self and Deception: A Cross-cultural Philosophical Enquiry. New York: State University of New York Press Fowler, Edward. (1988). The Rhetoric of Confession: Shisosetsu in Early Twntieth-Century Japanese Fiction. California: University of California Press Gerkin, Charles V. (2006). Konseling Pastorial dalam Transisi (Adji A. Sutama, penerjemah). Yogyakarta: Kanisius Hardjana, Andre. (1991). Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Hashimoto Osamu. (2002). “Mishima Yukio” to wa Nani Mono Datta no ka. Tokyo: Shinchosha. Hijiya-Kirschnereit, Irmela. (1996). Rituals of Self-Revelation: Shishosetsu as Literary Genre and Socio-Cultural Phenomenon. Cambridge: Harvard Univ Asia Center
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014
Inagaki Mika. “Jikoaiteki amae ni kansuru rironteki kousatsu.” Kobe Daigaku Hattatsu Kagakubu Kenkyū Kiyou 13. 25 Mei 2014. http://www.lib.kobe-u.ac.jp/handle_kernel/81000628 Itonaga Masahiro. (1999, Desember). Kamen no kokuhaku ron: Kamen no imi suru mono. Beppu Daigaku Kokugo Kokubungaku 41. 7 Januari 2014
Itou Ujitaka. (2002). Kokuhaku no Bungaku: Mori Ogai kara Mishima Yukio made. Tokyo: Choeisha Kyushu Daigaku Nihongo Bungakkai. (2010, Maret) Sakusha to iu kamen: Mishima Yukio kamen no kokuhaku ron. 7 Januari 2014. Mishima Yukio. (1958). Confessions of a Mask (Meredith Weatherby, Penerjemah). New York: New Directions Publishing Corporations ____________. (1949). Kamen no Kokuhaku. Tokyo: Shinchosha Nathan, John. (1987). Mishima: A Biography. Tokyo: Charles E. Tuttle Company Piven, Jerry. (2001, Desember). Phallic narcissism, anal sadism, and oral discord: The case of Yukio Mishima part I, Psychoanalysis Review 88(3). 13 April 2014. Ratna, Nyoman Kutha. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Watanabe Hisako. (1988, Maret). Establishing emotional mutuality in Japanese cases, Research and Clinical Center for Child Development Annual Report 10. 26 Mei 2014 Wellek, Rene. & Austin, Warren. (1989) Teori Kesusastraan (Melani Budiarta, Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia Winnicott, Donald Woods. (1990) The Maturational Processes and the Facilitating Environment: Studies in the Theory of Emotional Development. London: Karnac
Analisis diri..., Indria Hapsari, FIB UI, 2014