Analisis, Desember 2013, Vol.2 No.2 : 143 – 153
ISSN 2252-7230
FUNGSI REKRUTMEN PARTAI POLITIK DALAM PERWUJUDAN PRINSIP NEGARA HUKUM Recruitment Function of Political Parties by the Rule of Law Principle Fitrinela Patonangi, Aminuddin Ilmar, Achmad Ruslan Konsentrasi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK Partai politik adalah sumber rekrutmen utama pejabat publik, partai politik juga melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sehingga alasan yang demikian menjadi sandaran agar partai politik seyogiayanya diberdayakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi rekrutmen partai politik dalam mewujudkan Negara hukum yang demokratis di Indonesia. Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu ibu kota Jakarta dan Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan menggunakan tipe penelitian sosio-legal maka sampel yang dipilih adalah kader anggota partai politik yang diambil dari empat partai besar. Tekhnik pengumpulan data digunakan wawancara dan dokumentasi, untuk mendapatkan data primer dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan empat partai yang menjadi objek penelitian (Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera) belum dapat menjalankan fungsi rekrutmen secara efektif oleh karena faktor penunjang fungsi rekrutmen seperti ideologi, sistem kaderisasi dan regulasi belum dijadikan sebagai patokan utama oleh partai politik dalam mewujudkan fungsinya sebagai sumber rekrutmen bagi anggota legislatif. Oleh karena itu agar fungsi rekrutmen yang dapat melahirkan pejabat yang akuntabel, berintegritas dan professional maka perlu konsitensi ideologi terhadap partai politik, menjalankan fungsi rekrutmen secara transparan dan berkesinambungan serta revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik. Kata Kunci: Partai politik, rekrutmen, pejabat publik
ABSTRACT Political parties are the main source of recruitment of public officials, political parties also gave birth to the policies concerning the lives of many people. So the reason that the main political parties seyogiayanya backrest so empowered. The purpose of this study was to determine the recruitment function of political parties in creating a democratic state of law in Indonesia. The research was conducted in two places, namely the capital Jakarta and the province of South Sulawesi. By using the type of socio-legal studies the sample selected is a political party member cadres drawn from the four major parties. Data collection techniques used interviews and documentation, to obtain primary data and then analyzed qualitatively. The results showed four parties that the object of research (the Democratic Party, the Golkar Party, the Indonesian Democratic Party of Struggle and the Prosperous Justice Party) has not been able to run the recruitment function effectively because of factors such as ideological support functions recruitment, succession planning and regulatory system has not became as the main criterion by political parties in realizing its function as a source of recruitment for members of the legislature. Therefore, in order to give birth to the recruitment function officials accountable, professional integrity and consistency it is necessary ideology to political parties, running a recruitment function in a transparent and sustainable as well as the Law on Elections and Political Parties Act. Keywords: Political party, recruitment, public officials
143
Fitrinela Patonangi
ISSN 2252-7230
berdasarkan UU Partai Politik sejumlah anggota DPR terbentuk melalui fraksi di parlemen, dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/RT) partai pun mengatur penentuan kebijakan perwakilan fraksi partainya di parlemen. Dengan membandingkan ketentuan UU Partai Politik yang menyerahkan sepenuhnya kepada partai politik menyebabkan partai politik bebas menentukan siapa saja bakal calon yang akan dipilihnya untuk diusung sebagai calon anggota legislatif menyebabkan kualitas dari calon pejabat tersebut pada akhirnya tidak berkapasitas. Salah satu penyebabnya, karena tidak ada proses internalisasi ideologi terhadap calon anggota yang akan dajukan tersebut. Dampaknya dipastikan pula ideologi partai, visi dan misi, program kerja yang disukai oleh rakyat, akhirnya dipilih calon tersebut tidak berjalan sebagaimana kehendak partai politik yang mengusungnya. Fenomena liberalisasi (Key, 1964) perekrutan partai politik semakin meningkat, ketika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak ada ketentuan satupun yang mewajibkan bagi partai agar lolos sebagai peserta pemilu harus menunjukan buktinya bahwa partainya telah melakukan proses jenjang kaderisasi terhadap bakal calon anggota legislatif yang diusungnya. Hal ini Nampak dari persyaratan calon anggota DPR yang ditegaskan dalam Pasal 51 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 2012 bahwa “bakal calon anggota DPR adalah warga Negara Indonesia yang harus memenuhi persyaratan salah satunya adalah menjadi anggota Partai Politik peserta pemilu yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Anggota partai politik peserta pemilu tersebut.” Rekomendasi Undang-Undang Partai Politik agar partai politik membentuk AD/RT dan salah satunya harus memuat sistem kaderisasi (Pasal 2 ayat 4 huruf (a) nampaknya dalam AD/
PENDAHULUAN Pascareformasi partai politik mengalami pergeseran fungsi hingga memegang peran dominan dalam penentuan jabatan di pemerintahan. Untuk menentukan pejabat legislatif sudah ditegaskan dalam UUD NRI 1945 harus melalui mekanisme pemilihan umum. Salah satu fungsi pemilu adalah menjalankan fungsi perwakilan politik. Demikian halnya dengan penentuan jabatan eksekutif, mulai dari pemilihan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, pemilihan Calon Kepala Daerah juga ditentukan oleh perwakilan partai politik. Berdasarkan Pasal 29 Undangundang Nomor 2 tahun 2011 menegaskan “Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga Negara Indonesia untuk menjadi: Anggota Partai Politik, Bakal calon anggota DPR, DPRD.” Pasal 29 tersebut menunjukan partai politik melakukan perekrutan dua fase, yaitu perekrutan anggota partai politik dan perekrutan bakal calon anggota legislatif atau bakal calon eksekutif. Permasalahan dari perekrutan yang dijalankan oleh partai politik terkait dengan efektif tidaknya perjalanan sistem pemerintahan sebagai Negara hukum yang demokrasi diantaranya: (1) Apakah dibalik partai politik menjalankan fungsinya dapat mengorbitkan pejabat yang berkapasitas dan profesional untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pejabat legislatif ; (2) Untuk melahirkan pejabat yang berkapasitas, fungsi apa yang mestinya dijalankan oleh partai politik tersebut. Dari kedua pertanyaan tersebut secara ringkas jawabannya, bahwa fungsi sistem kaderisasi yang mestinya dijalankan oleh partai politik sehingga dapat melahirkan pejabat yang berkapasitas dan dipandang dapat menjalankan tugas dan kewenangan pejabat tersebut. (Muhtadi, 2013). Tentunya tidak dapat dihindari peran partai politik akan tetap berpengaruh terhadap kader yang telah diloloskannya sebagai pejabat legislatif (DPR), karena 144
Partai politik, rekrutmen, pejabat publik
ISSN 2252-7230
RT beberapa partai politik tidak mengikuti ketentuan tersebut. Melalui empat partai politik yang dteliti yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), hanya PKS sebagai partai yang mencantumkan dalam AD/RT tentang sistem kaderisasi yang dilaksanakan secara berjenjang. Sedangkan ketiga partai lainnya Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P belum jelas metode jenjang kadernya. Bahkan dari beberapa program kerja yang dijalankan oleh partai tersebut dengan melibatkan kadernya sudah dianggap sebagai metode pengkaderan. Padahal sejatinya pengkaderan jika dianalisis lebih jauh mau tidak mau harus melalui metode pendidikan dengan pembinaan yang ditentukan oleh ketentuan Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga partai tersebut. Terkait dengan fungsi rekrutmen dan seleksi kepemimpinan, Firmanzah (2011), mengemukakan bahwa:
tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Bagaimana menjadikan partai politik dapat melahirkan keadilan dari segala kebijakan yang terbaca melalui ideologi, visi dan misi, hingga program kerjanya. Pasti dengan melalui pemberdayaan partai politik yang bagaimanapun tidak boleh Negara membiarkan dalam praktik liberalisasi politik. Dengan konsep Negara hukum materil maupun konsep hukum formil telah membantah bahwa Negara jaga malam tidak layak lagi diterapkan, maka dalam konteks itu parpolpun perlu diperbaiki oleh Negara. Bagaimana membatasi kekuasaan partai politik dalam menstabilkan demokrasi? Juga dengan pijakan konsep Negara hokum, yakni melalui pembentukan Undang-Undang Partai Politik, termasuk desain Undang-Undang Pemilu dalam memberi harmonisasi UndangUndang Partai Politik. Terakhir, tujuan hukum pada kemanfaatan sebagai tujuan hukum yang dikemukakan oleh Jeremey Bentham (Rawls, 1971) praktis partai politik sengaja dibentuk untuk memperjuangkan kesejahteraan. Senada dengan Negara hukum kesejahteraan, partai politik hanya dapat mewujudkan Negara hukum kesejahteraan kalau dilakukan reformasi terhadap partai politik. Reformasi yang dimaksud adalah reformasi Undang-Undang Partai Politik. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh penulis dibandingkan dengan penelitian yang lain adalah penulis lebih fokus pada kajian partai politik sebagai output yang menentukan siapa pejabat publk yang akan menempati lembaga Negara. Dalam hal ini jabatan legislatif. Rumusnya adalah bagaimana mungkin melahirkan Negara hukum dengan ideologi kesejahteraan (welfare state) kalau pejabatnya juga tidak layak ataukah berkualitas. Siapa yang melahirkan pejabat publik kalau bukan dari partai politik. Karena itu pembenahan partai politik dengan melakukan penelahaan satu persatu terhadap indikator kualitas calon pejabat publik melalui penentuan
“Partai politik sebagai suatu organisasi sangat berperan dalam mencetak pemimpin yang berkualitas dan berwawasan nasional. Pemimpin yang berkualitas ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan partai politik yang diwakili. Ketika menjadi pemimpin nasional, Ia otomatis menjadi pemimpin semua orang. Pemimpin ini tidak lahir dengan sendirinya. Perlu suatu pendidikan, baik yang bersifat formal maupun nonformal yang membentuk jiwa dan karakter pemimpin.” Berpijak dari dua studi tersebut, meskipun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan politik. Tapi bukankah politik dan hukum ibarat satu pohon yang tidak dapat dipisahkan dalam meraih semua tujuan hukum. Politik adalah serangkaian cara atau aktivitas untuk meraih suatu tujuan tertentu (Muhtadi, 2012). Tujuan yang dimaksud adalah 145
Fitrinela Patonangi
ISSN 2252-7230
kader dan penentuan Bacaleg (bakal calon anggota legislatif) merupakan jawaban dalam melahirkan Negara hukum kesejahteraan Berdasarkan uraian di atas, dengan menggunakan konsep rekrutmen sebagai landasan lahirnya pemimpin yang profesional dan berintegritas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi rekrutmen partai politik dalam mewujudkan Negara hukum yang demokratis di Indonesia.
Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua kader atau anggota partai politik dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki perhatian terhadap partai politik. Sampel penelitian ditetapkan secara purposive sampling yaitu sampel ditentukan sendiri oleh peneliti dengan berbagai pertimbangan, antara lain responden dianggap mempunyai pengetahuan, pemahaman dan pengalaman hukum di partai politik, responden memiliki kewenangan dan memiliki kebijakan dalam hukum dan partai politik. Sampel yang ditetapkan dalam penelitian ini terdiri atas kader anggota partai politik yang diambil dari empat partai politik terbesar yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera, dan pengamat politik yang dianggap relevan pendapatnya dengan perkembangan partai politik di Indonesia
BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Lokasi penelitian yang dipilih adalah di Ibu kota Jakarta dan Provinsi Sulawesi Selatan khususnya di Kota Makassar. Lokasi penelitian ini ditetapkan berdasarkan asumsi bahwa Ibu Kota Jakarta terletak lembaga perwakilan rakyat dengan mengambil responden dari masing-masing kader partai politik. Sedangkan Provinsi Sulawesi Selatan dipilih jika kader dari salah satu partai politik yang terdapat di Ibu kota tidak dapat dijangkau tetapi tetap dapat menggambarkan metode rekrutmen anggota partai politik ketika responden tersebut menjadi anggota partai politik dan representasi barometer kehidupan berpolitik di daerah.
Teknik pengumpulan data Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya studi dokumentasi dan wawancara. Studi Dokumentasi dilakukan melalui pengumpulan peraturan perundang-undangan, buku-buku teks, jurnal ilmiah maupun referensi lainnya yang terkait dengan tujuan penelitian ini. Sedangkan wawancara (interview) dikumpulkan melalui tanya jawab dengan responden dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai instrument, agar benar-benar terarah dan terkait dengan tujuan penelitian ini.
Tipe penelitian Tipe penelitian yang akan dilakukan adalah tipe penelitian sosio-legal (sosiolegal research) yakni hukum dikaji sebagai variable bebas/sebab (independent variable) dan hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial yang menimbulkan pengaruh pada berbagai aspek kehidupan sosial. Oleh sebab itu dalam penelitian ini dalam penentuan jabatan anggota legislatif partai politik dianggap sebagai varibel yang mempengaruhi pengisian jabatannya, karena partai yang mengajukan bakal calon anggota legislatif dengan melalui rekrutmen anggota partai politik.
Jenis dan sumber data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data Primer dalam penelitian hukum adalah data yang secara langsung diperoleh dari responden di lapangan dengan melakukan teknik wawancara. Data Sekunder dalam penelitian hukum
146
Partai politik, rekrutmen, pejabat publik
ISSN 2252-7230
merupakan data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan berbagai literatur atau bahan pustaka, seperti dokumen-dokumen hukum, literatur-literatur seperti buku, artikel, hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian.
untuk melihat fungsi sistem kaderisasinya dalam menetukan calon-calon pejabat publk ke depannya. Pemetaan fungsi rekrutman partai politik sebagai model untuk mewujudkan Negara hukum yang demokratis ditentukan melalui analisis dengan memakai indikator diantaranya: ideologi, sistem kaderisasi, dan regulasi agar dapat melahirkan anggota partai politik yang berintegritas dan professional.
Analisis data Analisis data menggunakan teknik analisis tema (theme analysis), yaitu teknik analisis data kualitatif yang gagasannya bertumpu pada asumsi bahwa keseluruhan lebih dari sekedar jumlah bagian. data yang terkumpul dianalisa dengan tahapan editing, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Sedangkan analisis data terhadap data sekunder yang diperoleh dari inventarisasi hukum positif dan bahan kepustakaan dianalisis secara yuridis kritis. Kedua analisis diatas, baik analisis terhadap data primer maupun data sekunder didasarkan pada pendekatan komprehensif, holistik dan mendalam. Sesuai dengan prosedur penelitian yang bersifat kualitatif, maka data hasil penelitian menggunakan analisis kualitatif dengan cara deskriptif analisis.
Ideologi Empat partai politik yang menjadi objek penelitian yang ditelaah dari masing-masing AD/RT-nya rata-rata semua partai memiliki ideologi namun dalam basis pengejawantahan ideologi oleh kader atau anggota partai politik yang telah terpilih sebagai anggota legislatif, ideologi partai tersebut kemudian menjadi kabur sebagai basis perjuangannya. Hal itu disebabkan problem turunan partai politik kita yang menganut sistem multipartai sehingga memaksa semua partai-partai kecil harus berkoalisi, dan pada ranah tersebut partai politik sebuah keniscyaan harus menyatu ideologinya dengan partai tempatnya berkoalisi. Di samping itu juga disebabkan oleh perekrutan anggota partai politik tanpa melalui sistem kaderisasi, sehingga pada akhirnya yang terjadi krisis ideology, karena memang tidak pernah partai politik melakukan internalisasi ideologi terhadap anggota partai politiknya. Padahal jika ditelaah secara kritis ideologi merupakan prasyarat penting untuk melahirkan anggota partai politik yang berintegritas, professional dan kompetitif. Ideologi merupakan sumbu utama penggerak partai sehingga partai politik itu memiliki nilai sekaligus daya tarik untuk menentukan bagus tidaknya perjuangan partainya untuk kepentingan nasional suatu negara. Dari hasil penelitian yang dilakukan melalui dokumentasi dan pencocokan melalui studi wawancara, hasil penelitian
HASIL Untuk mempertajam analisis dalam tesis ini maka sengaja dipilih empat partai politik yakni Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, PDIP, dan PKS. Partai Demokrat sebagai Partai pemenang pemilu 2009 sekaligus the ruling party. Partai Golkar sebagai partai yang berasaskan pancasila juga dipilih untuk mewakili partai yang telah lama mengakar dalam hati dan benak masyarakat. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dipilih sebagai analisis dalam kajian ini, karena merupakan partai yang bergerak pada ekonomi kerakyatan juga diambil sebagai sampel untuk melihat perbedaan plat form dan ideologinya dengan partai lain. Terakhir sampel partai yang dipilih adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan warna partai Islam dipilih 147
Fitrinela Patonangi
ISSN 2252-7230
menunjukan semua partai politik yang diteliti memiliki ideologi. Pertama Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu 2009 memilki ideologi nasionalis religious dengan visi mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat Nasionalisme, Huma-nisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan sejahtera. Kedua, Partai Golkar sebagai partai peninggalan orde baru, yang kemudian dalam setiap kontestasi Pemilihan Umum tetap stagnan menjadi partai dengan suara perwakilan yang hampir menguasai parlemen. Sebagai partai lama, yang jika ditarik kebelakang partai beringin tersebut tidak terlalu menonjolkan partainya sebagai partai nasionalis yang berasaskan kegotongroyongan. Sedangkan visinya mengusahakan terwujudnya masyarakat Indonesia yang bersatu, berdaulat, maju, modern, damai, adil, makmur, dan berakhlak mulia, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan bermartabat dalam pergaulan dunia. Ketiga, PDI Perjuangan (PDI-P) di bawah naungan Ketua Umum Megawati Soekarno Putri ini. Sebagai mantan presiden awal reformasi setelah didepaknya Gusdur dari kursi kepresidenan. PDIP kental dengan ideologi ekonomi kerakyatannya. Berdasarkan AD/ART nya PDI perjuangan memilki visi yang disesuaikan dengan AD partai dalam Pasal 6 adalah: (1) Terwujudnya cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945; (2) Terwujudnya masyarakat pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis adil dan makmur.
Keempat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai bulan sabit kembar emas ini kental dengan ideologi Islamnya. Bahkan berbeda dengan metode perekrutan kadernya yang sangat ketat melalui sistem Tarbiyah, dan perekerutan kader dari kampus-kampus. Karena itu tidak megherankan jika pemilih PKS rata-rata dari kalangan elit yang tergolong sebagai pemilih kritis dan pemilih rasional (Muhtadi, 2011). PKS sebagai partai yang lahir dari konsep partai adalah gerakan dan gerakan adalah partai, memiliki visi Indonesia yang dicita-citakan Partai Keadilan Sejahtera adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat. Sistem kaderisasi Dari empat partai politik yang menjadi studi penelitian, Partai Demokrat metode perekrutan anggota partainya masih membuka secara lebar bagi yang ingin masuk sebagai anggota partai politik, dalam hal ini dipilih berdasarkan figuritas calon, maka dapat saja dipilih dan diusulkan sebagai bakal calon anggota legislatif. Sedikit agak lebih ketat di Partai Golkar perekrutan dan model pengkaderan dilakukan lebih intens karena anggota partai politik agar dapat diusulkan sebagai bakal calon anggota legislatif dilihat berdasarkan pengabdian kader tersebut. Sedangkan PDI-P meski dikenal sebagai partai yang kuat menancapkan ideologinya, nampak di lapangan kader yang dimiliki adalah kader yang sudah jadi, tinggal PDI-P memolesnya, bahkan dalam perekrutan juga tetap membuka secara lebar tanpa melalui system kaderisasi. Berbeda halnya dengan PKS sebagai partai yang berideologi islam terbilang sangat ketat melakukan jenjang kaderisasi sehingga dianggap partai ini adalah partai kader, semua anggota partai politik yang diajukan oleh PKS tidak ada direkrut dari kalangan nonkader, kalaupun ada yang terpilih dan diambil dari kalangan eksternal, maka anggota parpol yang terpilih tersebut tetap harus 148
Partai politik, rekrutmen, pejabat publik
ISSN 2252-7230
mengikuti penjenjangan pengkaderan yang ditentukan oleh AD/ RT PKS.
misalnya dalam tahap verifikasi DCS anggota DPR. Pada umumnya partai politik dalam perekrutan dari kalangan eksternal, melihat fakta di lapangan selama ini. Kebanyakan mengangkat dari kalangan yang memiliki popularitas, serta nilai kesohoran. Meskipun mereka tidak pernah dikader dalam waktu yang lama di partai itu. Bisa dijumpai banyak anggota DPR (baik dari partai yang berideologi nasionalis maupun religius), selama ini banyak berasal dari kalangan artis, pengusaha, dan olahragawan. Persoalan kredibiltas kadang dilupakan oleh Partai Politik sebagai kriteria pemimpin, Partai Politik lebih tertarik terhadap popularitas calon dari pada integritas seseorang. Ancaman yang dikhawatirkan terhadap anggota Partai Politik yang tidak pernah diusung, adalah tidak dapat mentransformasikan ideologi, visi dan misi, serta program kerja partai terhadap calon yang direkrut tersebut. Sehingga di parlemen nantinya, harapan agar tetap konsiten menegakkan ideologi partai tidak tercapai. Bahkan cenderung anggota partai politik yang sudah berada di parlemen bersikap pragmatis semata. Selain masalah keluwesan UndangUndang pemilu menyerahkan kepada partai politik dapat merekrut calon meski bukan binaan kader. Juga disebabkan tidak bersifat imperatifnya bagi partai politik yang hendak melakukan perekrutan agar dijalankan secara transparan. Selama ini tidak ada satu ketentuan dalam Undang-undang Partai Politik, baik dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2008 maupun Undang-undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, menghukum Partai Politik dengan memberikan sanksi kepada Partai Politik, jika merekrut anggota tidak secara transparan. Semuanya tergantung kepada pimpinan tertinggi partai, hendak meloloskan calon yang mana saja. Sistem kaderisasi jika diperhatikan yang terjadi pada setiap partai politik. Pada dasarnya tidak jelas proses pengkaderannya. Biasa dilakukan pendidikan
Regulasi Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tidak mewajibkan bagi partai politik, bahwa calon yang hendak diusung mesti dari anggota kader. Semua diserahkan sepenuhnya pada kekuasaan partai untuk mengajukan calon-calonnya. Terserah apakah merupakan kader binaan partai ataukah merupakan calon yang bukan kader binaan, melainkan diambil dari kalangan eksternal. Ketentuan tersebut dapat di lihat pada Pasal 52 ayat 2 UU No. 8 Tahun 2012 yang menegaskan bahwa “seleksi bakal calon anggota DPR dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Partai dan/atau Peraturan Internal Partai.” Ketentuan tersebut memberikan tafsiran, semua yang berkaitan dengan masalah pengkaderan, perekrutan anggota Partai Politik, yang kelak akan menjadi Bacaleg. Otoritas diserahkan sepenuhnya kepada Partai Politik. Sekarang ini, melalui UndangUndang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 sebenarnya sudah mulai ketat melakukan pemberdayaan terhadap Partai Politik. Karena parpol tidak dapat lagi “lulus tes” tanpa melalui verivikasi KPU. Tidak lagi memberikan keistimewaan terhadap parpol lama yang telah masuk dalam perwakilan parlemen sebelumnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat 2 UU No. 8 Tahun 2012 masih gampang ditaktisi oleh sejumlah partai politik mengajukan calon anggota DPR. Tidak pernah melalui proses kader. Persoalan Caleg harus memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) partai, bukanlah hal yang tidak sulit diadakan bagai partai politik. Dalam kondisi yang tidak terlalu susah partai politik dapat memberikan KTA terhadap calon yang hendak diusungnya meskipun tidak pernah melalui jenjang kaderisasi. Tergantung dari pimpinan otoritas partai, akan menyetujui pencalonan anggota tersebut untuk diajukan 149
Fitrinela Patonangi
ISSN 2252-7230
politik terhadap kader yang telah direkrut menjadi anggota. Tetapi partai politik sulit membedakan antara melakukan kaderisasi terhadap anggota partai politik, ataukah sedang menjalankan program kerja partai mereka. Tidak salah kalau dikatakan ketika diserahkan mekanisme pengkaderan kepada partai berdasarkan AD/ART mereka, terserah saja kepada partai untuk menjalankan proses kaderisasi seperti apa. Di samping itu dalam UU pemilupun persoalan cara, mekanisme, dan bukti sistem kaderisasi yang dijalankan oleh partai politik tidak diatur sebagai salah satu syarat administratif yang harus dilengkapi oleh partai politik agar dapat lolos sebagai peserta pemilu.
rapuh. Segala kehendak untuk menguatkan pemerintahan, koalisi yang terbentuk adalah koalisi yang pragmatis dan penuh transaksional saja (Liddle, 2000). Selain penelitian yang dilakukan oleh Mainwaring, kemudian dikembangkan juga penelitian tersebut di Indonesia oleh Yudha, pendekatan Mainwaring diterapkan pada Negara Indonesia selama fase pemerintahan SBY-JK. Hasilnya, desain pemerintahan yang ideal dibangun oleh Yudha melalui penyederhaan Partai politik dengan konsistensi menerapkan Parliamentary Treshold serta mendesain pemilu serentak antara pemilu legislatif dan pemilihan jabatan eksekutif (Presiden dan wakil Presiden), merupakan solusi alternatif yang ditawarkan agar gagasan kombinasi koalisi ideal dengan presiden lebih stabil serta dapat terbangun ke depannya (Yudha, 2010). Ideologi sebagai basis utama partai dalam mensinkronkan program kerjanya ke depan masih “rapuh” untuk menawarkan produk politik terhadap calon pemilih. Kebanyakan partai bertarung dalam mendulang suara, hanya berpikir jangka pendek, dengan mengedepankan kemenangan suara. Dari pada menyeimbangkan ideologi dengan programprogram kerja partai terhadap kaderkadernya yang sudah terpilih. Dengan demikian pada akhirnya pertarungan ideologi untuk melahirkan serta mewujudkan kesejahteran sebagai salah satu poin negara hukum dalam kaitannya dengan demokrasi tidak tercapai dengan sempurna. Sebagaimana Stegler (2002) mendefenisikan: “Ideologi sebagai suatu sistem sebaran ide, kepercayaan (beliefs) yang membentuk sistem nilai, dan norma serta sistem paraturan (regulation) ideal yang diterima sebagai fakta dan kebenaran oleh kelompok tertentu. Dan ketika dikemas untuk mendapatkan kekuasaan dalam masyarakat agar dapat mempengaruhi kebijakan
PEMBAHASAN Fungsi rekrutmen partai politik dalam perwujudan prinsip Negara hukum adalah untuk melahirkan pejabat publik yang berkualitas, berintegritas, dan professional. Oleh karena itu pemberdayaan partai politik dapat dilakukan melalui konsistensi partai terhadap ideologinya, sistem rekrutmen yang berkesinambungan dan pembenahan dalam berbagai regulasi partai politik. Penelitian tentang partai politik sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya Mainwaring dan Yudha. Mainwaring melakukan penelitian atas 31 negara di Amerika latin yang menganggap sistem pemerintahan presidensialisme yang dikombinasikan dengan multipartai merupakan kombinasi yang tidak tepat. Model pemerintahan yang demikian akan semakin menjadikan presiden sebagai penentu kebijakan selalu dalam ancaman tersandera oleh parlemen (Mainwaring, 1993). Kesimpulan demikian dibangun dengan dasar fenomena multipartai ekstrem akan menyebabkan partai politik bergeser ke tengah dan semakin menjauh dari cita-cita dan ideologinya. Sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah bangunan koalisi pemerintahan yang 150
Partai politik, rekrutmen, pejabat publik
ISSN 2252-7230
public dapat dikatakan bahwa ideologi tersebut adalah ideologi politik.”
partai sebagai sarana memberikan pendidikan politik kepada masyarakat (Firmanzah, 2008). Krisis ideologi terhadap partai sehingga dianggap tidak penting juga disebabkan sistem pemerintahan kita yang presidensialis. Sehingga dominasi ideologis partai hanya dapat ditunjukan oleh partai pemenang pemilu, terutama partai yang berhasil mengantarkan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden. Tentunya hal ini akan berbeda dalam Negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Oleh karena itu, jalan yang ditempuh untuk mengembalikan jati diri partai sebagai partai yang berideologi adalah dengan mengurangi jumlah partai di parlemen. Tentu dengan jalan menerapkan sistem pemilihan distrik dan memperkecil jumlah daerah pemilihan sehingga calon terpilih dari partai politik tidak terlalu banyak kepentingan yang beradu di parlemen. Ataupun dengan cara lain misalnya dengan pembentukan regulasi bagi partai yang berhasil masuk di parlemen. Dengan memaksa agar masuk dalam fraksi koalisi atau fraksi oposisi. Desain pemilu serentak antara pemilihan Presiden dan pemilihan legislatif. Sebagai langka awal menjadikan parpol tetap hidup dengan ideologinya perlu juga dilaksanakan. Kita tahu bahwa tawar menawar partai politik terhadap pengusungan Capres/ Cawapres yang mana koalisi yang terbangun hanya koalisi pragmatis dan transaksional. Partai dalam kondisi bargaining position demikian akan mengancam partai tersebut kehilangan ideologisnya sebagai partai yang membawa misi yang berbeda dengan partai pemenang misalnya, yang akan mengusung Capres-Cawapres. Penyederhanaan partai politik dapat pula dilakukan melalui penerapan angka PT (Parliamentary Threshold) secara konsisten. Mestinya dalam Undangundang Pemilu yang telah disahkan kemarin sudah membatasi partai-partai yang tidak lolos dalam angka PT, dengan dinyatakan tidak layak lagi untuk
Demikian pula halnya yang dikemukakan oleh Lane (1962): “Ideologi politik dicirikan oleh: Pertama, ideologi politik berkaitan dengan pertanyaan siapa yang akan memimpin? bagaimana mereka dipilih ? Dan dengan prinsip-prinsip apa mereka memimpin? kedua, ideologi mengandung banyak sekali argumen untuk persuasi atau juga melawan (counter) ideologi yang berlawanan, ketiga ideologi sangat memengaruhi banyak sekali aspek kehidupan manusia, mulai aspek ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, kesehatan dan sebagainya. Keempat ideology sangat berkait hal-hal yang penting dalam kehidupan sosial, baik mengajukan program ataupun menentangmya. Kelima, ideologi mencoba merasionalisasikan kepentingan kelompok sehingga kepentingan tersebut beralasan dan layak diperjuangkan. Keenam, ideologi berisikan hal-hal yang bersifat normatif, etis, dan moral.” Selain permasalahan di atas, hilangnya ideologi dari partai politik dipengaruhi oleh pendidikan politik terhadap kader yang dilaksanakan melalui system kaderisasi. (salah satu tujuan partai politik adalah menberikan pendidikan politik khususnya pada kader partai dengan sistem kaderisasi dan masyarakat pada umumnya (Douverger, 1976). Namun peran dominan untuk pendidikan politik diutamakan terhadap kader atau anggota partai politik. (Asshidiqie, 2005). Partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada kader dan pengurusnya dapat dilaksanakan secara langsung dan sifatnya adalah doktrinal. Sedangkan kepada masyarakat dilaksanakan dengan metode langsung maupun tidak langsung (dengan perantara). Media massa bisa digunakan 151
Fitrinela Patonangi
ISSN 2252-7230
menjadi peserta pemilu. Oleh karena sudah teruji melalui penilaian dari hasil Pemilu, ketika tidak lolos dinyatakan sebagai Partai Politik yang mendapatkan kepercayaan, sehingga layak partai politik tersebut didiskualifikasi. Dengan berafiliasinya partai politik yang memiliki ideologi yang sama, ketika partai yang tidak lolos dalam angka PT setelah melalui pemilihan umum, pada saat yang sama partai politik juga tidak akan mengalami krisis kader, karena semua partai yang tidak lolos dan dinyatakan tidak lagi berhak parpolnya untuk menjadi peserta pemilu, dari awal sudah banyak anggota-anggotanya yang telah direkrut, tinggal partai politik yang menjadi tempat berafiliasi. Konsisten untuk melakukan proses kaderisasi terhadap anggota-anggota partai politik tersebut. Termasuk fenomena politisi yang berpindah-pindah dengan pengetatan partai politik yang dapat menjadi peserta pemilu, setidaknya juga dapat dibatasi. Karena saat ini, munculnya politisi kutu loncat, banyak yang berpindah ke partai baru, seolah mencoba peruntungan di partai tersebut sudah pasti dapat dihindari. Konstitusi memang menjamin setiap orang untuk mendirikan suatu organisasi partai politik, dalam konteks ini tidak masalah dengan munculnya banyak partai, tetapi kalau persyaratan untuk lolos sebagai peserta pemilu diperketat, maka dengan sendirinya atas penghukuman pemilih itu sendiri, partai politik akan sadar diri untuk tidak lagi ngotot untuk menjadi peserta pemilu pada pemilihan umum berikutnya. Oleh sebab itu, selain konsisten dengan angka PT dari partai politik yang telah lolos dalam mekanisme pemilihan umum, tentunya undang-undang pemilu tidak perlu lagi membuka kesempatan kepada partai politik yang baru untuk menjadi peserta pemilu. Kalau pun ke depannya, kemunculan partai politik yang baru pilihan satu-satunya hanya mencari partai politik yang sebangun dengan ideologi mereka.
Selain itu masalah perekrutan kader juga perlu diberdayakan melalui kedisplinan partai politik mengajukan calon anggota legislatif dengan pengajuan calon yang telah melalui sistem kaderisasi. Dalam bahasa yang sama wajib partai politik melakukan pengkaderan terhadap anggota partai politik yang akan diajukannya, karena hanya dengan cara tersebut internalisasi ideologi dan persaingan gagasan yang kompetitif untuk melahirkan Negara hukum yang demokratis akan lahir. Tentu dalam perwujudan Negara hukum sitem kaderisasi dan sistem perekrutan anggota partai politik dapat berjalan secara berkesinambungan melalui pengatutan kembali dalam Undang-Undang Partai Politik dan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR. Hal-hal yang perlu dibenahi diantaranya Undang-Undang Pemilu harus mengatur masalah pembuktian administratif terhadap semua Partai Politik di Indonesia dalam Verifikasi adminstrasi agar Parpol diwajibkan menunjukan bukti otentik/ dokumen hasil jenjang pengkaderannya. Hal ini penting agar fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang diperankan oleh partai politik dapat berjalan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Partai Politik. Ke depannya, juga dalam perancangan dan pembentukan UU Pemilu seyogianya lebih didahulukan pelembagaannya, dari pada pembentukan UU Partai Politik. Agar nantinya partai politik dan calon anggota legislatif tidak perlu lagi terbebani dengan semua prasyarat yang harus diikuti oleh partai politik dapat lolos sebagai peserta pemilu. Partai politik tinggal mengefektifkan kinerja, segala tugas dan fungsinya melalui AD/ ART mereka masing-masing sehingga dapat lolos dari proses verifikasi yang telah ditentukan dalam UU Pemilu. KESIMPULAN DAN SARAN Fungsi rekrutmen partai politik penting dalam mewujudkan Negara 152
Partai politik, rekrutmen, pejabat publik
ISSN 2252-7230
hukum yang demokratis di Indonesia untuk melahirkan keanggotaan partai politik yang professional dan berintegritas. Anggota partai politik partai politik yang professional dan berin-tegritas hanya dapat lahir jika ditunjang melalui internalisasi ideologi terhadap anggota partai politiknya, ideologi hal ini penting karena mewakili kepentingan rakyat yang sedang diperjuangkan. Internalisasi ideologi kemudian hanya dapat berjalan melalui sistem kaderisasi secara berkesinambungan hingga pengajuan anggota partai politik sebagai bakal calon anggota legislatif. Namun sistem kaderisasi tidak dapat berjalan jika regulasi atau pengaturan untuk perekrutan bakal calon anggota legislatif tidak diperketat. Tentunya dengan pembenahan kembali UndangUndang Partai Politik dan Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, terutama masalah pengetatan verifikasi partai politik dan penentuan bakal calon anggota legislatif yang diajukan oleh partai politik.
Firmanzah. (2011). Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. _________, (2008). Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Key. (1964), Politics, Parties And Preasure Group, 5th ed. New York: Thomas Y Crowell. Lane. (1962). Political Ideology: Why That American Common Man Beklieves What He Does, New York: Free Press. Liddle, William. (2000), Indonesia in 1999. Democracy Restored: Asian Survey. Mainwaring, Scott. (1993) Presidentialism, Multipartism, And Democracy, The Difficult Combination, Comparative Political Studies, Vol 26, No. 2, 1993. Muhtadi, Burhanuddin. (2012). Dilema PKS Suara dan Syariah. Jakarta: KPG. ______________, (2013). Perang Bintang 2014. Bandung. Noura Books. Rawls, John. (1971). A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press. Stegler. (2002). Globalism: The New Market Ideology. New York: Random House. Yuda, Hanta. ( 2010 ). Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: Gramedia.
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konpress Douverger, Mariace. (1976), Les Parties Politiques, Paris: Arman Colin.
153