83
ANALISIS DAYA LENTING VEGETASI HUTAN PRODUKSI PADA KAWASAN PENAMBANGAN BIJI NIKEL PT. ANEKA TAMBANG Tbk. DI KONAWE UTARA Oleh: La Ode Alimuddin1) ABSTRACT Resiliency is cability of an ecosystem to repair its self rapidly from demage (Indriyanto, 2006). The ecosystem stability can be determined by measurement of its vegetation abundancy as composer of the ecosystem. The heterogeneity value can be imply the possibility of the an ecosystem to recovery its self on environmental stress. Therefore, this research aimed: (1) to estimate the cability of ecosystem in production forest area at North Konawe based on its composition of vegetation, and (2) to fine out of the restrictive of the ecosystem for determining the best management method. This research was conducted at ecosystem Forest area as nikel’s mining area by Aneka Tambang Company in February until March 2010. A survey method was used in this research, while a transect line technique for measurement of vegetation parameters. The vegetation variables observed were density, frequency, dominancy, importance value index, and heterogeneity to assess the resiliency of forest ecosystem in this area. Results of this research showed that the production forest area in Lasolo-North Konawe was composed by 42 original species, which is distributed in 15 species for tree level, 16 species for pole level, 17 species for sapling level, and 27 species in seedling level of growth. Although the abundancy of each species was various from rare to high density, but Eha (Castanopsis buruana Miq.) species was in great abundance compared another species. Furthermore, pattern of spreading of species in space was a normal pattern of ranged from 10% to 80%, while the heterogeneity index value was medium level, and it is indicated the forest ecosystem resilience in this area was a medium level. Key words: forest, vegetation, heterogeneity
PENDAHULUAN Penyusutan hutan di Indonesia adalah paling cepat dan terluas di dunia, dan diperkirakan mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan dua kali lebih cepat dibanding tahun 1980. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003). Kondisi ini menciptakan potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi, ekonomi, dan sosial semakin buram. Kabupaten Konawe Utara, luas kawasan hutan adalah 413.368 ha dari luas total daratan 666.652 ha, dengan distribusi 54,54% Hutan Lindung, 24,87% Hutan Produksi, 4,95% Hutan Produksi Konversi, 15,62% Hutan Produksi Terbatas, dan 0,001% Hutan Suaka Alam. 1
Usulan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Kabupaten Konawe Utara yaitu pada Hutan Lindung (21,56%) dari luas total 225.453 ha menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) untuk pemukiman, Hutan Produksi Terbatas seluas 26.064 ha (40,35%) dari luas total 64.580 ha untuk perkebunan skala besar, lahan garapan dan pertambangan, Hutan Produksi seluas 51.312 ha (49,90%) dari luas total 102.829 ha, Hutan Produksi Konversi 100% untuk pemukiman, sedangkan fungsi kawasan Hutan Suaka Alam seluas 7,0 ha tidak mengalami perubahan. Dari luas Hutan Produksi 102.829 ha tersebut, sebesar 7.371 ha (0,01%) menjadi kawasan Izin Usaha Penambangan (eksplorasi) Nikel oleh PT. Aneka Tambang Tbk. melalui SK Bupati Konawe Utara No. 14 Tahun 2010 (KW 99 STP 057.b) di Kecamatan Lasolo. Perubahan peruntukan dan fungsi tersebut jelas akan memberikan dampak
) Staf Pengajar Pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian :Universitas Haluoleo, AGRIPLUS, Volume 21 Nomor 01 Januari 2011,Kendari. ISSN 0854-0128
83
84
terhadap ekosistem hutan di sekitarnya, baik flora, fauna, maupun kaitannya dengan fungsifungsi ekologis hutan lainnya. Komposisi floristik suatu ekosistem merupakan variasi jenis flora yang menyusun suatu komunitas, sehingga menggambarkan kekayaan jenis (keanekaragaman) yang menyusun ekosistemnya (Melati, 2007), sehingga mencerminkan peluang kelestariannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian penelitian untuk mengetahui kemampuan pulih ekosistem hutan ini agar dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaannya. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menduga tingkat daya pulih ekosistem Hutan Produksi di kawasan penambangan biji Nikel PT. Aneka Tambang Tbk. di Kabupaten Konawe Utara berdasarkan komposisi vegetasi, (2) mengidentifikasi kendala habitat dalam ekosistem guna menentukan pendekatan pola pemanfaatan dan pengelolaannya yang tepat, serta (3) menentukan spesies-spesies tumbuhan yang memiliki resiko terancam punah. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah (1) memberikan informasi tentang kemungkinan peluang pulih ekosistem bagi PT. Aneka Tambang Tbk. setelah penambangan Nikel dilakukan (2) memberikan informasi tentang potensi sumberdaya jenis tumbuhan di kawasan Hutan Produksi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Utara dan (3) memberikan solusi terbaik untuk menekan dampak negatif dari hilangnya vegetasi. METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada Hutan Produksi di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara sebagai kawasan rencana penambangan biji Nikel oleh PT. Aneka Tambang Tbk. Penelitian berlangsung selama dua bulan yaitu pada bulan Februari sampai Maret 2010. Bahan dan Alat Bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran roll 100 m dan 150 cm, haga meter, patok kayu, peta Rupa Bumi Indonesia (1992) skala 1:50.000, Peta
Kesesuaian Lahan Sulawesi Tenggara (skala 1:250.000), Peta Ikhtisar Geologi dan Potensi Bahan Galian Provinsi Sulawesi Tenggara Skala 1:500.000, Global Positioning System (GPS), dan alat tulis. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode Survey, yaitu menyelidiki kondisi ekosistem hutan berdasarkan aspek vegetasi untuk mendapatkan gambaran kekayaan flora dan kendala habitatnya guna menentukan daya lentingnya. Metode garis berpetak/transek (transect line) yaitu sebanyak 5 garis transek dengan masing-masing 5 petak ukur pada setiap transek digunakan sebagai teknik pengambilan sampel. Teknik ini digunakan karena cocok untuk menganalisis hutan alam yang luas dan untuk mengetahui perubahan stratifikasi vegetasi menurut topografi dan elevasi (Melati, 2007). Populasi penelitian mencakup seluruh vegetasi yang tumbuh di Hutan Produksi pada kawasan rencana penambangan biji Nikel PT. Aneka Tambang Tbk di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara. Sedangkan sampel penelitian ini adalah seluruh vegetasi yang terdapat dalam setiap petak ukur yang diamati. Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer yaitu hasil inventarisasi jenis vegetasi pada setiap petak ukur yang diamati, sedangkan data sekunder meliputi Peta Rupa Bumi (1:50.000), peta Geologi Regional Lembar Malili (1:250.000) (Simanjuntak T.O, 1981) dan Peta Geologi Indonesia lembar Ujung Pandang (1:1.000.000) (Rab. Sukamto, 1975), dan data iklim dari BPS Konawe Utara (2009), serta data-data dari pihak perusahaan. Penentuan Titik dan Pembuatan Garis Transek. Titik awal pembuatan garis transek yang ditentukan secara purposive sampling berdasarkan keterwakilan vegetasi yaitu dari lahan bertopografi datar memanjang dan memotong bukit ke arah bukit. Titik koorodinat setiap garis transek yaitu : transek 1 (S = 03o47’27,5”; E = 122o14’78,2”), transek 2 (S = 03o47’22,7”; E = 122o36’26,8”), transek 3 (S = 03o55’6,01”; E = 122o19’6,15”), transek 4 (S = 03o55’9,03” E = 122o19’12,5”), dan
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
85
transek 5 (S = 03o55’15, 1” E = 122o19’14,3”). Pada setiap transek dibuat sebanyak 5 buah petak ukur berukuran 20 m x 20 m, dengan jarak setiap petak ukur adalah 100 m. Selanjutnya petak ukur dibagi dalam empat bagian yaitu ukuran 20 m x 20 m (D) untuk tingkat pohon (diameter >20 cm), ukuran 10 m
x 10 m (C) untuk tingkat tiang (diameter 10 - 20 cm), ukuran 5 m x 5 m (B) untuk tingkat pancang (diameter <10 cm,tinggi >1,5 m), dan ukuran 2 m x 2 m (A) digunakan untuk tingkat semai yaitu tumbuhan < 1,5 cm dan tumbuhan bawah.
10 m
C
5m
A
B 2m
20 m
2m
10 m
5m 100 m
m
22 20 m m2 m
5m
D
Gambar 1. Desain Jalur Pengamatan Vegetasi Cara Pengukuran. Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan cara mencatat jumlah spesies, jumlah individu pada setiap spesies, dan mengukur lingkar batang setinggi dada untuk menentukan diameternya yang berfungsi untuk menentukan Luas Bidang Basal (LBD) pada setiap individu pohon. LBD dihitung dengan rumus : ¼ π d2, dengan π = 3,14 dan d = diameter batang (d = keliling/π). Nama tumbuhan terlebih dahulu dicatat dalam bahasa daerah setempat, kemudian disesuaikan dengan daftar nama pohon dalam bahasa daerah dan bahasa latin Selebes dan Jajahannya “Reeds verschenen boomnamenlijsten/Lists of tree names already issued” (Direktur Balai Penyelidikan Kehutanan Bogor, 1942). Pada tumbuhan yang tidak tercantum dalam buku tersebut penamaannya digunakan bahasa daerah. Variabel Pengamatan. Variabel komposisi floristik yang diamati dalam penelitian ini meliputi : = 1. Kerapatan (K) (individu ha-1) Jumlah Individu Suatu Jenis Luas Plot
2. Kerapatan Relatif (KR) (%) Kerapatan Suatu Jenis x 100% Kerapatan Seluruh Jenis
=
3. Frekuensi (F) (m2 ha-1) = Jumlah Plot DitemukanSuatu Jenis Jumlah Seluruh Plot 4. Frekuensi Relatif (FR) (%) = FrekuensiSuatu Jenis x 100% Frekuensi Seluruh Jenis 5. Dominansi (D) (m2 ha-1) = Luas Bidang Dasar Suatu Jenis
Luas Plot 6. Dominansi Relatif (DR) (%) = Dominansi Suatu Jenis x 100% Dominansi Seluruh Jenis 7. Indeks Nilai Penting (INP) = KR+FR+DR 8. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner (1963) dalam Melati (2007): H’ = -∑(ni/N) ln ni/N) Dengan : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner; ni = Jumlah individu
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
86
yang termasuk jenis ke-i; N = Jumlah individu semua jenis. Analisis Data Data hasil pengukuran dianalisis secara deskriptif kuantitatif yaitu mendeskripsikan komunitas tumbuhan berdasarkan komposisi dan struktur vegetasi yang disajikan secara kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Berdasarkan hasil observasi lapangan dan interpretasi peta, cakupan wilayah IUP Nikel PT. Aneka Tambang Tbk di Kabupaten Konawe Utara yang meliputi Kecamatan Asera seluas 6.367 ha dan 7.371 ha di Kecamatan Lasolo. Berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan dihubungkan dengan patok dan titik koordinat Izin Pertambangan, lokasi rencana Pertambangan Nikel ini seluas 13.747 ha yang berada dalam kawasan Hutan Lindung seluas 5.273.876 ha, Hutan Produksi seluas 4.325.511 ha, Hutan Produksi Terbatas seluas 28.804 ha, Hutan Produksi Konversi seluas 1.182.467 ha dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 2.511.079 ha. Sedangkan luas Hutan Produksi di Kecamatan Lasolo yang menjadi lahan pertambangan nikel adalah 7.371 ha atau 0,01% dari luas Hutan Produksi 102.829 ha yang ada. Dengan demikian potensi hutan sangat luas dan mengancam keberadaan hutan lindung apabila dikelola sebagai lahan tambang nikel. Fisiografi. Hasil interpretasi Peta Rupa Bumi skala 1 : 50.000 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) Bogor tahun 1992 menunjukkan bahwa bentuk wilayah termasuk bergelombang (8–15%) seluas 4.773,86 Ha, berbukit (15-20%) seluas 869,43 Ha, serta curam (>40%) seluas 7.408,30 Ha. Tanah. Secara umum tekstur tanah di kawasan Hutan Produksi di Kecamatan Lasolo adalah lempung berdebu. Nilai pH tanah berkisar antara 5,05 – 6,05 (agak masam–
netral). Struktur tanah umumnya tipe gumpalan membulat dengan ukuran 2–10 mm. Tingkat permeabilitas tanah tergolong agak cepat sampai cepat dengan nilai 11,7 – 15,6 cm/jam, dengan ketabalan solum tanah sedang yaitu 50–70 cm. Kandungan bahan organik termasuk kategori tinggi yaitu 7,99–11,99%, serta bulk density tanah pada kategori sedang. Berdasarkan data BPS Konawe Utara (2009), rata-rata curah hujan bulanan berkisar antara 105-405 mm.bulan–1, dengan curah hujan tertinggi pada bulan Mei dan terendah pada bulan Juli dan September. Terdapat 9 (sembilan) bulan basah (BB), yaitu Februari, Maret, April, Mei, Juni, Agustus, Oktober, November dan Desember, serta 4 bulan lembab tanpa bulan kering (BK). Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidth-Fergusson (BB= CH >100 mm bulan– 1 ; BK = CH < 60 mm bulan–1) tergolong tipe iklim A dengan nilai Quotient (Q) = 0%. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah cakupan stasiun ini tergolong daerah iklim sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropik. Sekitar lokasi penambangan Nikel PT. Aneka Tambang Tbk. di Kecamatan Lasolo terdapat Sungai Lasolo dan Sungai Ranowuwue. Sungai ini berair sepanjang tahun sehingga menciptakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan berbagai jenis vegetasi. Keadaan Vegetasi Penyusun Hutan Sebaran spesies-spesies tumbuhan yang ada di Hutan Produksi Kecamatan Lasolo menurut tingkatan pertumbuhannya menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 42 spesies tumbuhan di kawasan Hutan Produksi di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara (Tabel 1). Beberapa spesies pohon komersial masih terdapat dalam ukuran pohon, tiang, pancang dan bahkan ukuran semai. Data ini mengindikasikan bahwa kondisi ekosistem hutan masih baik, meskipun beberapa diantaranya seperti bayam, nona dan silae hanya ditemukan pada ukuran pancang.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
87
Tabel 1. Sebaran spesies-spesies tumbuhan di Hutan Produksi Kecamatan Lasolo menurut tingkatan pertumbuhannya No
Jenis Vegetasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.
Apu (Gironniera subaequalis Planch.) Eha (Castanopsis buruana Miq.) Jambu-jambu (Kjellbergiodendron spp.) Kolaka (Parinarium corymbosum Miq.) Longori Putih (Haplolobus celebicus H.J.L.) Tambeuwa (Kjellbergiodendron limnogeiten) Kume Wawi (Palaquium luzoniense Vid.) Cemara Angin (Casuarina junghuhniana) Ponto (Litsea firma Hook.f) Kuma (Palaquium obovatum Engl.) Mandula (Garcinia sp.) Bolo-bolo (Duabanga moluccana Bl.) Wonu (Alstonia spectabilis R.Br.) Kumea (Manilkara calophylloides H.J.L.) Pate-pate (Cratoxylon conchichinense Bl.) Bayam (Intsia palembanica Miq.) Silae (Elmerilla sp.) Sokebiri (Planchonella obovata H.J.L.) Tangkaulu (Nephelium lappaceum L.) Nona (Metrosideros petiolata Val.) Tokulo (Kleinhovia hospital L.) Kumea Watu (Palanchonella moluccana H.J.L) Longkida (Nuclea orientalis Merr.) Longori Hitam (Santiria celebica H.J.L.) Arawa Kasu Konawe Onaha (Pandanus aurantiacus) Oraso Osingi Pandan Tikar (Pandanus bidur) Rumbio (Lindsaea orbiculata) Senduru (Podocarpus rumphii Bl. Tataipa (Litsea sp.) Teki-tekian (Cyperus diformis) Bambu ora (Bambusa sp.) Howe Tohiti (Calamus inops Becc.) Howe Jaramasih (Calamus leiocaulis Blume) Howe kahi (Calamus cympisus) Howe Pai (Calamus manan) Howe Torompu (Calamus leiocaulis) Howe Wata (Calamus zollingeri) Howe Watu (Calamus ornatus)
Tingkatan Pertumbuhan Pohon Tiang Pancang * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Keterangan : *) spesies ditemukan
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
Semai * * * * * * * * * *
*
* * * * * * * * * * * * * * * * *
88
Komposisi Floristik Tingkat Pohon. Hasil analisis kuantitatif komposisi floristik
vegetasi pada ukuran pohon di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Floristik Vegetasi Ukuran Pohon Pada Hutan Produksi di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
K Spesies -1 (Nama Lokal/Latin) (ind ha ) 55 Eha (Castanopsis buruana Miq.) 40 Kolaka (Parinarium corymbosum Miq.) Cemara Angin (Casuarina 30 junghuhniana) Tambeuwa (Kjellbergiodendron 25 limnogeiten) 20 Kume Wawi (Palaquium luzoniense Vid.) Apu (Gironniera subaequalis 20 Planch.) 10 Ponto (Litsea firma Hook.f) Longori Putih (Haplolobus celebicus 10 H.J.L.) 10 Mandula (Garcinia sp.) Kumea (Manilkara calophylloides 10 H.J.L.) 5 Jambu-jambu (Kjellbergiodendron spp.) Pate-pate (Cratoxylon conchichinense 5 Bl.) 5 Kuma (Palaquium obovatum Engl.) Bolo-bolo (Duabanga moluccana 5 Bl.) 5 Wonu (Alstonia spectabilis R.Br.) Jumlah 255
Keterangan
:
KR (%) 21.57 15.69
D FR (%) (m2 ha-1) 0.80 13.79 8.30 0.80 13.79 5.46
DR (%) 26.09 17.17
INP
H’
61.46 46.65
0.33 0.29
11.76
0.40
6.90
7.34
23.08
41.74
0.25
9.80
0.40
6.90
2.33
7.32
24.02
0.23
7.84
0.60 10.34
1.02
3.20
21.39
0.20
7.84
0.60 10.34
2.85
8.97
27.16
0.20
3.92 3.92
0.40 0.40
6.90 6.90
1.57 0.54
4.95 1.69
15.77 12.51
0.13 0.13
3.92 3.92
0.20 0.20
3.45 3.45
0.49 0.97
1.53 3.04
8.90 10.40
0.13 0.13
1.96
0.20
3.45
0.18
0.56
5.97
0.08
1.96
0.20
3.45
0.24
0.74
6.15
0.08
1.96 1.96
0.20 0.20
3.45 3.45
0.17 0.17
0.53 0.53
5.94 5.94
0.08 0.08
1.96 100
0.20 5.80
3.45 100
0.19 31.80
0.60 100
6.01 300
0.08 2.39
F
K = Kerapatan, KR = Kerapatan Relatif, F = Frekuensi, FR = Frekuensi Relatif, D = Dominansi, DR = Dominansi Relatif, INP = Indeks Nilai Penting, H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
Hasil inventarisasi ditemukan terdapat 15 spesies pohon dengan total 255 individu ha-1 dan tingkat kerapatan spesies antara 5-55 individu ha-1. Hanya 1 spesies yang tergolong memiliki kerapatan sedang yaitu Eha (Castanopsis buruana Miq.), sedangkan spesies lainnya berada pada kerapatan kategori sangat jarang sampai jarang. Menurut Fandeli (2000) bahwa kerapatan pohon >20 tergorong sangat jarang, kerapatan 21-50 kategori jarang, kerapatan 51-100 kategori sedang, kerapatan 101-200 kategori tinggi, dan kerapatan >201 termasuk kategori kerapatan sangat tinggi. Penyebaran spesies umumnya pada kisaran
sempit (F=0,20-0,40) atau penyebaran antara 20-40% per hektar kawasan yaitu 11 spesies, 2 spesies sebarannya tergolong sedang (F=0,60), dan hanya 2 spesies tergolong menyebar luas (F=0,80) atau menyebar sekitar 80% per hektar hawasan. Pada parameter dominansi, tampak bahwa hampir semua spesies dalam ukuran diameter batang yang sebanding, kecuali 3 spesies yaitu Eha, Kolaka dan Cemara angin yang memiliki ukuran diameter batang lebih besar, sehingga memiliki luas penutupan lahan yang lebih besar pula. Spesies dominan adalah spesies yang dapat memanfaatkan lingkungan
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
89
yang ditempatinya secara efisien daripada spesies lainnya dalam tempat yang sama (Smith, 1977). Ditinjau dari pengaruh spesies terhadap ekosistem, maka ada 8 spesies yang menunjukkan pengaruh kuat komunitasnya, yaitu komunitas spesies-spesies yang memiliki nilai INP = >15. Menurut Sutisno (1981) dalam Tabel 3.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
(Heriyanto (2004) bahwa pada ukuran pohon dan tiang, suatu spesies dikatakan berperan penting dalam ekosistem apabila nilai INP = >15%. Sedangkan keanekaragaman spesies juga melimpah sedang (H´ = 2,39). Komposisi floristik pada tingkat tiang. Hasil analisis komposisi floristik vegetasi pada ukuran tiang disajikan pada Tabel 3.
Komposisi Floristik Vegetasi Ukuran Tiang Pada Hutan Produksi di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara
Spesies (Nama Lokal/Latin) Kolaka (Parinarium corymbosum Miq.) Tokulo (Kleinhovia hospital L.) Nona (Metrosideros petiolata Val.) Cemara Angin (Casuarina junghuhniana) Silae (Elmerilla sp.) Ponto (Litsea firma Hook.f) Bayam (Intsia palembanica Miq.) Tangkaulu (Nephelium lappaceum L.) Tambeuwa (Kjellbergiodendron limnogeiten) Eha (Castanopsis buruana Miq.) Jambu-jambu (Kjellbergiodendron spp.) Apu (Gironniera subaequalis Planch.) Kume Wawi (Palaquium luzoniense Vid.) Longori Putih (Haplolobus celebicus H.J.L.) Longori Hitam (Santiria celebica H.J.L.) Sokebiri (Planchonella obovata H.J.L.) Jumlah
DR (%)
INP
H´
13.33
D (m2 -1 ha ) 2.97
20.55
56.96
0.34
0.40 0.80
6.67 13.33
1.61 1.96
11.18 13.60
33.23 36.16
0.29 0.22
7.69
0.40
6.67
0.90
6.24
20.60
0.20
50 40 30 30
7.69 6.15 4.62 4.62
0.40 0.60 0.40 0.20
6.67 10.00 6.67 3.33
0.88 1.78 0.79 0.49
6.12 12.36 5.46 3.41
20.48 28.51 16.75 11.36
0.20 0.17 0.14 0.14
30
4.62
0.40
6.67
0.90
6.22
17.50
0.14
20 20
3.08 3.08
0.20 0.20
3.33 3.33
0.54 0.44
3.78 3.02
10.19 9.43
0.11 0.11
20
3.08
0.20
3.33
0.28
1.96
8.37
0.11
20
3.08
0.40
6.67
0.19
1.32
11.06
0.11
10
1.54
0.20
3.33
0.34
2.38
7.26
0.06
10
1.54
0.20
3.33
0.16
1.12
5.99
0.06
10
1.54
0.20
3.33
0.18
1.27
6.14
0.06
650
100
6.00
100
14.43
100
300
2.46
K (ind -1 ha ) 150
KR (%)
F
FR (%)
23.08
0.80
100 60
15.38 9.23
50
Pada ukuran tiang terdapat 16 spesies dengan kerapatan total 650 individu ha-1, yang menyebar pada kerapatan antara 10-150 individu ha-1, tetapi hanya 1 spesies yang memiliki kerapatan tinggi (Kolaka), 2 spesies dengan kerapatan sedang (Tokulo dan Nona), sedangkan spesies lainnya pada kerapatan
sangat rendah sampai rendah. Pola sebarannya pun umumnya terdistribusi sempit 20-40%, dan hanya 2 spesies yang menyebar 80% per hektar kawasan. Kayu Kolaka merupakan spesies dominan dan berperan penting ada pada ukuran tiang ini. Selanjutnya, tingkat keanekaragaman
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
90
spesies pada ukuran tiang ini juga melimpah sedang (H´ = 2,46). Komposisi Floristik Pada Tingkat Pancang. Pada ukuran pancang menunjukkan bahwa terdapat 17 spesies dengan total 1120 individu ha-1, serta kerapatan masing-masing spesies antara 20-180 individu ha-1. terdapat 3
spesies yang memiliki kerapatan (Tambeuwa, Kolaka dan Kumea), 6 sedang serta 8 berkerapatan kerapatannya dalam kategrori rendah. demikian, penopang lapisan ketiga struktur hutan relatif banyak.
tinggi spesies spesies Dengan dalam
Tabel 4. Komposisi Floristik Vegetasi Ukuran Pancang Pada Hutan Produksi di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Spesies (Nama Lokal/Latin) Tambeuwa (Kjellbergiodendron limnogeiten) Kolaka (Parinarium corymbosum Miq.) Kumea (Manilkara calophylloides H.J.L.) Mandula (Garcinia sp.) Apu (Gironniera subaequalis Planch.) Bolo-bolo (Duabanga moluccana Bl.) Tokulo (Kleinhovia hospital L.) Jambu-jambu (Kjellbergiodendron sp.) Arawa Longori Putih (Haplolobus celebicus H.J.L.) Eha (Castanopsis buruana Miq.) Longkida (Nuclea orientalis Merr.) Pate-pate (Cratoxylon conchichinense Bl.) Kumea Watu (Palanchonella moluccana H.J.L) Kasu Konawe Kume Wawi (Palaquium luzoniense Vid.) Wonu (Alstonia spectabilis R.Br.) Jumlah
K KR F (ind/ha) (%) 180 16.07 0.80
D FR DR INP (%) (m2 ha-1) (%) 14.29 0.70 20.03 50.39
SDR
H
16.80
0.29
160
14.29 0.60
10.71
0.69
19.89 44.89
14.96
0.28
120
10.71 0.60
10.71
0.36
10.31 31.74
10.58
0.24
100 80
8.93 7.14
0.60 0.40
10.71 7.14
0.32 0.28
9.22 7.98
28.86 22.27
9.62 7.42
0.22 0.19
60
5.36
0.40
7.14
0.19
5.60
18.10
6.03
0.16
60 60
5.36 5.36
0.20 0.20
3.57 3.57
0.13 0.16
3.75 4.53
12.68 13.46
4.23 4.49
0.16 0.16
60 40
5.36 3.57
0.20 0.20
3.57 3.57
0.02 0.13
0.66 3.59
9.59 10.73
3.20 3.58
0.16 0.12
40 40
3.57 3.57
0.20 0.20
3.57 3.57
0.10 0.13
2.97 3.87
10.11 11.01
3.37 3.67
0.12 0.12
40
3.57
0.20
3.57
0.09
2.57
9.71
3.24
0.12
20
1.79
0.20
3.57
0.06
1.83
7.19
2.40
0.07
20 20
1.79 1.79
0.20 0.20
3.57 3.57
0.04 0.05
1.03 1.48
6.39 6.84
2.13 2.28
0.07 0.07
20
1.79
0.20
3.57
0.02
0.66
6.02
2.01
0.07
1120
100
5.60
100
3.48
100
300
100
2.61
Spesies-spesies pada ukuran pancang umumnya memiliki diameter batang yang relatif sama, sehingga penutupan terhadap lahan juga relatif sama. Namun sebagian besar (11 spesies) memberikan pengaruh besar terhadap kestabilan ekosistem, yaitu spesies-spesies dengan nilai INP >10%, Dikemukakan Sutisno (1981) dalam
Heriyanto (2004) bahwa pada ukuran pancang dan semai dikatakan berperan dalam ekosistemnya apabila nilainya INP >10%. Tingkat keanekaragam spesies juga melimpah sedang (H´ = 2,61). Secara individual, 3 spesies tergolong melimpah tinggi, 6 spesies melimpah sedang, 4 spesies melimpah
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
91
rendah, dan 4 spesies tergolong melimpah sangat rendah. Ukuran pancang sangat penting dalam susunan stratifikasi hutan ukuran inilah yang akan menjadi strata utama apabila ukuran pohon dan tiang dipanen. Komposisi Floristik Pada Tingkat Semai. Strata paling bawah disusun oleh 27
spesies dengan total 4000 individu ha-1, namun paling berlimpah adalah bambu, howe wata (rotan batang), howe bulo, dan kayu Kolaka, sedangkan spesies lainnya hanya memiliki kerapatan rendah.
Tabel 5. Komposisi Floristik Vegetasi Ukuran Semai/Semak Pada Hutan Produksi di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Spesies (Nama Lokal/Botani) Bambu ora (Bambusa sp.) Howe wata (Calamus zollingeri) Howe bulo/Tohiti (Calamus inops Becc.) Kolaka (Parinarium corymbosum Miq.) Senduru (Podocarpus rumphii Bl. Jambu-jambu (Kjellbergiodendron spp.) Longori Putih (Haplolobus celebicus H.J.L.) Howe Jaramasih Apu (Gironniera subaequalis Planch.) Rumbio (Lindsaea orbiculata) Bolo-bolo (Duabanga moluccana Bl.) Teki-tekian (Cyperus diformis) Oraso Howe Pai (Calamus manan) Howe Torompu Onaha (Pandanus aurantiacus) Kuma (Palaquium obovatum Engl.) Tataipa (Litsea sp.) Kasu Konawe Nona (Metrosideros petiolata Val.) Mandula (Garcinia sp.) Pandan Tikar (Pandanus bidur) Howe Watu (Calamus ornatus) Howe kahi (Calamus cympisus) Eha (Castanopsis buruana Miq.) Tambeuwa (Kjellbergiodendron limnogeiten) Osingi Jumlah
Tabel 5 juga menunjukkan bahwa bambu, howe wata dan kayu kolaka sangat besar peranannya dalam ekosistem, yang ditunjukkan oleh nilai INP yang sangat tinggi dibanding spesies lainnya. Seperti halnya pada
K -1 (ind ha ) 1260 300 240 220 200 180 160 160 140 120 100 100 100 80 80 80 80 60 60 40 40 40 40 40 40 20
KR (%) 31.50 7.50 6.00 5.50 5.00 4.50 4.00 4.00 3.50 3.00 2.50 2.50 2.50 2.00 2.00 2.00 2.00 1.50 1.50 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.50
20 4000
0.50 100
INP
H´
0.80 0.80 0.40 0.60 0.40 0.40 0.40 0.40 0.60 0.60 0.20 0.20 0.40 0.40 0.40 0.40 0.40 0.60 0.40 0.20 0.40 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20
FR (%) 7.55 7.55 3.77 5.66 3.77 3.77 3.77 3.77 5.66 5.66 1.89 1.89 3.77 3.77 3.77 3.77 3.77 5.66 3.77 1.89 3.77 1.89 1.89 1.89 1.89 1.89
39.05 15.05 9.77 11.16 8.77 8.27 7.77 7.77 9.16 8.66 4.39 4.39 6.27 5.77 5.77 5.77 5.77 7.16 5.27 2.89 4.77 2.89 2.89 2.89 2.89 2.39
0.36 0.19 0.17 0.16 0.15 0.14 0.13 0.13 0.12 0.11 0.09 0.09 0.09 0.08 0.08 0.08 0.08 0.06 0.06 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.03
0.20 10.60
1.89 100
2.39 200
0.03 2.70
F
starata di atasnya, strata ini juga tergolong melimpah sedang (H´= 2,70). Berdasarkan uraian komposisi vegetasi pada setiap tingkatan pertumbuhan memberikan gambaran bahwa jumlah spesies pada setiap starata cukup banyak. Meskipun kerapatan
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
92
secara individual umumnya sangat jarang sampai jarang, akan tetapi secara total jumlah populasi sangat banyak, sehingga cukup menjamin kelestarian spesies di masa yang akan datang. Sebaran spesies lebih terkonsentrasi pada rentang 0,10-0,40 (sebaran rendah) atau sekitar 10-40% per hektar kawasan, maka hutan termasuk tipe A. Hal ini sesuai klasifikasi tumbuhan berdasarkan frekuensinya dari Raunkiaer dalam Misra (1973), kelas A (0-20%) tergolong sangat rendah, kelas B (21-40%) tergolong rendah, kelas C (41-60%) tergolong sedang, kelas D (61-80%) tergolong tinggi, dan kelas E (81-100%) tergolong sangat tinggi. Nilai frekuensi menunjukkan pola sebaran atau uniformitas (keseragaman) suatu spesies di dalam ekosistem dan sekaligus menggambarkan kapasitas reproduksi dan kemampuan adaptasinya. Komposisi hutan juga menunjukkan tidak ada satu spesies pun yang paling mendominasi, tetapi menyebar pada berbagai spesies yang ada. Selanjutnya, keanekaragaman spesies tergolong melimpah sedang pada setiap starata, sehingga menggambarkan kemampuan pulih (daya lenting) ekosistem tergolong sedang pula. Keanekaragaman merupakan karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya, dan dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Hasil analisis keanekaragaman pada semua tingkatan pertumbuhan menunjukkan kategori melimpah sedang. Tingkatan ini mengindikasikan bahwa kondisi ekosistem cukup stabil. Menurut Soegianto (1994) dalam Antoko dan Sukmana (2005) dan Indriyanto (2006), bahwa keanekaragaman dapat digunakan untuk mengukur kemampuan suatu komunitas pada suatu habitat dalam menyeimbangkan komponennya dari berbagai gangguan yang timbul. Stabilitas komunitas adalah kemampuan komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponenkomponennya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) komposisi vegetasi penyusun ekosistem Hutan
Produksi di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara cukup baik yaitu terususun dari jumlah spesies yang banyak, tetapi jumlah populasi pada setiap spesies bervariasi, (2) Tingkat kemampuan pulih ekosistem Hutan Produksi di Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara tergolong sedang, tanpa kendala habitat yang berarti, dan (3) beberapa spesies pohon komersial yang harus diwaspadai karena tidak memiliki cadangan pada ukuran pancang dan semai, yaitu kayu Nona (Metrosideros petiolata Val.), Bayam (Intsia palembanica Miq.), Silae (Elmerilla sp.), Sokebiri (Planchonella obovata H.J.L.), Tangkaulu (Nephelium lappaceum L.), Tokulo (Kleinhovia hospital L.), Kumea Watu (Palanchonella moluccana H.J.L), Longkida (Nuclea orientalis Merr.), Longori Hitam (Santiria celebica H.J.L.), dan Arawa. Pengaturan sistem terrasering yang tepat harus diterapkan apabila dikelola untuk usaha tambang nikel. Kegiatan revegetasi harus memilih spesies-spesies asli yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan tidak memiliki cadangan yang cukup.
DAFTAR PUSTAKA Antoko, BS dan A. Sukmana. 2005. Keragaman jenis tumbuhan dan tingkat kesuburan tanah pada beberapa system pengelolaan perladangan berpindah di zona penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. II No. 2 tahun 2005. Dephut. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Indonesia. Badan
Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan, 2008. Penghitungan Deforestasi Indonesia. Pusat Inventarisasi dan Pemetaan Hutan. Jakarta.
Bismark, M., R. Garsetiasih, S. Iskandar, E. Subiandono, R. Sawity, N.M. Heryanto.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128
93
2004. Daya Dukung Habitat Sebagai Parameter Dominant dalam Pengelolaan Populasi Satwaliar di Alam. Paket Teknologi. Pusat penelitian dan Pengembangan Hutan dan konservasi Alam. Bogor. Direktur Balai Kehutanan Bogor. 1942. Daftar Nama-Nama Pohon dalam Bahasa Daerah dan Bahasa Latin di Sulawesi dan Jajahannya. Bogor. Fandeli, C. 2000. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Prinsip Dasar dan Pemaparannya dalam Pembangunan. Edisi Kedua. Liberti Ofdset. Yogyakarta. Forum Tata Ruang Wilayah Sulawesi Tenggara. 2010. Kertas Posisi (Positioning Paper). Kendari. Heriyanto, NM. 2004. Suksesi Hutan Bekas Tambahan di Kelompok Hutan Sungai Lekawai-Sungai Jengonoi, Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 1 No. 2. ISSN : 0216-0439. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Indonesia. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.
Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. 1993. Peta Ikhtisar Geologi dan Potensi Bahan Galian Provinsi Sulawesi Tenggara Skala 1:500.000. Melati, SF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Samingan, T. 1977. Kondisi Ideal Aspek Vegetasi Suatu Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) di Hutan Produksi. Laboratorium Ekologi. Fakultas MIPA-IPB Bogor. Smith, RL. 1977. Element of Ecology. Harper and Row. Publisher, New York. Soerianegara, I dan Indrawan, A., 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Kehutanan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Wanda Kuswanda dan Sugiarti. 2005. Potensi habitat dan pendugaan populasi orang utan (Pongo abelii Lesson 1827) di Cagar Alam Dolok Sibual-Buali, Sumatra Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. II. No. 6. ISSN : 0216-0439. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Indonesia.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 01 Januari 2011, ISSN 0854-0128