ANALISIS DAN PERENCANAAN RUNWAY DAN ALAT BANTU PENDARATAN BANDAR UDARA NUSAWIRU KABUPATEN PANGANDARAN Dede Rahmat Hidayat Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Siliwangi Jl. Siliwangi no.24 Tasikmalaya 46115
ABSTRAKS Kabupaten pangandandaran memiliki potensi wisata yang cukup baik maka untuk menunjang itu perlu disediakan fasilitas yang memadai. Diantaranya adalah sarana transportasi udara ebagai alternatif pilihahan wisatawar Bandar Udara Nusawiru merupakan Bandar Udara yang terdapat di Kabupaten Pangandaran yang sementara ini digunakan oleh pesawat berukuran kecil saja. Oleh karena itu, Bandar Udara Nusawiru perlu dilakukan peningkatan Runway dan fasilitas bantu pendaratan sehingga bisa digunakan oleh pesawat yang lebih besar. Dalam perencanaan Runway dan alat bantu pendaratan di Bandar Udara Nusawiru ini direncakan sesuai dengan metode FAA, ketentuan ICAO 14 dan Keputusan Menteri No. 47 tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Penerbangan sehingga direncanakan bisa melayani pesawat boeing 737- 400 . Hasil Perencanaan panjang runway 2516 meter, lebar runway 60 meter, arah runway 1350 ( Tenggara ) sampai 3150 ( Barat Laut ) dan hasil perhitungan tebal total perkerasan dengan cara manual 63,16 cm sedangkan dengan cara FAARFIELD 1.305 70,87 cm. Kata Kunci: Bandar Udara, Runway, Alat Bantu Pendaratan, boeing 737-400 1. 1.1
PENDAHULUAN Latar Belakang Bandar Udara Merupakan Prasarana penting dalam kegiatan transportasi udara pada setiap Negara, khususnya Indonesia yang merupakan Negara kepulauan dimana transportasi udara berperan penting bagi kelancaran aktivitas penduduknya. Begitupun dengan Kabupaten Pangandaran sebagai daerah wisata yang potensial, maka sarana transportasi memiliki peranan yang vital untuk mendatangkan wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Untuk meningkatkan pelayanan transportasi udara, maka perlu dibangun bandar udara yang mempunyai kualitas baik secara struktural maupun fungsional. Membangun bandar udara baru maupun penambahan kapasitas penerbangan, tentu akan memerlukan perencanaan yang efektif agar diperoleh hasil yang terbaik dan ekonomis, memenuhi unsur keselamatan pengguna dan tidak menggangu ekosistem. 1.2
Rumusan Masalah Faktor apa saja yang berpengaruh dalam perencanaan runway? b. Bagaimana desain runway yang dapat melayani pesawat rencana? c. Apa saja fasilitas alat bantu pendaratan yang sesuai dengan Keputusan Menteri No 47 tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Penerbangan dan FAA?
1.3
Tujuan Penelitian Mengetehui faktor – faktor yang berpengaruh dalam perencanaan runway? b. Menganalisis dan merencanakan runway untuk melayani pesawat yang direncanakan. c. Menganalisis dan merencanakan fasilitas alat bantu pendaratan berdasarkan KM No. 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Penerbangan dan FAA a.
1.4
Batasan Masalah Bandar Udara yang dianalisis adalah Bandar Udara Nusawiru Kabupaten Pangandaran khususnya pada runway yaitu pada panjang, arah dan tebal perkerasan runway untuk melayani pesawat rencana. b. Perencanaan runway berdasarkan standar International Civil Aviation Organization ( ICAO ) dan menggunakan perkerasan lentur berdasar-kan metoda Federation Aviation Administration ( FAA ). c. Bandar Udara yang dianalisis adalah Bandar Udara Nusawiru Kabupaten Pangandaran khususnya pada runway yaitu pada panjang, arah dan tebal perkerasan runway untuk melayani pesawat rencana. a.
a.
1.5
Manfaat Penelitian Peneliti Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman, sebagai penerapan teori – teori yang didapat di bangku kuliah. c. Civitas Akademika a. b.
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai pengembangan ilmu dan informasi di bidang Teknik Sipil. d. Pengelola Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pengelola Bandara maupun pemerintah daerah mengenai kondisi fasilitas Bandar udara. 2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Bandar Udara Bandar Udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan /atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi (SNI 037095-2005, (2005)). 2.2 Pengertian Runway (Landasan Pacu) Landasan Pacu (Runway) adalah daerah yang diperkeras berbentuk persegi panjang di bandar udara yang disediakan untuk melakukan pendaratan ( landing ) dan tinggal landas ( take off ) pesawat terbang.( SNI 03-7095-2005 (2005)) Komponen landas pacu dibagi menjadi : a. Struktur lapis perkerasan b. Bahu landasan c. Bantalan hembusan ( Blast pad ) d. Daerah aman landasan pacu ( runway safety area ) Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Panjang Runway Lingkungan Bandar Udara yang berpengaruh terhadap panjang runway adalah : a. Koreksi Ketinggian ( elevasi ) Menurut International Civil Aviation Organization ( ICAO ) bahwa panjang runway bertambah sebesar 7% setiap kenaikan 300 meter ( 1000 ft ) dihitung dari ketinggian di atas permukaan laut. Maka rumusnya adalah: h Fe = 1 + 0,07 .............................( 2.1 ) Dimana Fe : Faktor koreksi elevasi h : Elevasi di atas permukaan laut ( m ) b. Koreksi Temperatur Pada temperatur yang lebih tinggi dibutuhkan runway yang lebih panjang sebab temperatur tinggi akan menyebabkan kepadatan ( density ) udara yang rendah, menghasilkan output daya dorong yang rendah. Suhu temperatur standar adalah 150 C atau 590 F. Menurut ICAO panjang runway harus dikoreksi terhadap temperatur sebesar 1% untuk setiap kenaikan 10 C. Sedangkan untuk setiap kenaikan 1000 m dari permukaan laut temperatur akan turun 6,50 C. Dengan dasar ini ICAO menetapkan hitungan koreksi temperatur dengan rumus : Ft = 1 + 0,01 { T - (15 - 0,0065 x h)} ........ ( 2.2 ) Dimana Ft : Faktor Koreksi Temperatur T : Temperatur dibandara ( 0C ) c. Koreksi Kemiringan runway Kemiringan ( slop ) memerlukan runway yang lebih panjang untuk setiap kemiringan 1%. Faktor koreksi kemiringan runway dapat dihitung dengan persamaan berikut: Fs = 1 + ( 0,1 S ) ............................... ( 2.3 ) Dimana Fs : Faktor koreksi kemiringan
S : Kemiringan runway ( % ) d.
Koreksi Angin Permukaan ( Surface wind ) Panjang runway yang diperlukan lebih pendek bila bertiup angin haluan ( head wind ) dan sebaliknya bila bertiup angin buritan ( tail wind ) maka runway yang diperlukan lebih panjang. Angin buritan maksimum yang diizinkan bertiup dengan kekuatan 10 knot. Tabel 2.1 berikut mem-berikan perkiraan pengaruh angin terhadap panjang runway. Tabel 2.1 Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway Kekuatan Angin
Persentase Pertambahan / Pengurangan runway
+5 +10 -5
-3 -5 +7
Sumber : Heru Basuki (1986)
Untuk perencanaan Bandara diinginkan tanpa tiupan angin, tetapi tiupan angin lemah masih baik. e.
Kondisi permukaan runway Untuk kondisi permukaan runway hal yang sangat dihindari adalah genangan tipis air ( standing water ) karena membahayakan operasi pesawat. Genangan air mengakibatkan permukaan yang sangat licin bagi roda pesawat yang membuat daya pengereman menjadi jelek dan yang paling berbahaya lagi adalah terhadap kemampuan kecepatan pesawat untuk lepas landas. Menurut hasil penelitian NASA dan FAA tinggi maksimum genangan air adalah 1,27 cm. Oleh karena itu drainase Bandara harus baik untuk membuang air permukaan secepat mungkin. Jadi panjang runway minimum dengan metoda ARFL dihitung dengan persamaan sebagai berikut : PL ARFL= .................................( 2.4 ) Fe x Ft x Fs Dimana PL : Panjang runway aktual Ft : Faktor koreksi temperatur Fe : Faktor koreksi elevasi Fs : Faktor koreksi kemiringan
2.3
Setelah panjang runway menurut ARFL diketahui dikontrol lagi dengan Aerodrome Reference Code ( ARC ) dengan tujuan untuk mempermudah membaca hubungan antara beberapa spesifikasi pesawat terbang dengan berbagai karakteristik Bandara. Kontrol dengan ARC dapat dilakukan berdasarkan tabel 2.2 berikut: Tabel 2.2 Aerodronce Reference Code Kode angka 1 2 3 4
Kode Elemen I ARFL (m) <800 800 – 1200 1200 – 1800 >1800
Sumber : R. Horonjeff
Kode Huruf A B C D E
Kode Elemen II Bentang Jarak terluar pada Sayap (m) pendaratan (m) <15 <4,5 15 – 24 4,5 – 6 24 – 36 6–9 36 – 52 9 – 14 52 - 60 9 – 14
2.4
Arah Runway Pada umumnya, runway di bandar udara sedapat mungkin harus searah dengan arah angin yang dominan. Pada saat mendarat dan lepas landas, pesawat terbang dapat melakukan manuver diatas runway sepanjang kompunen angin yang tegak lurus arah bergeraknya pesawat ( didefinisikan sebagai angin sisi ) tidak berlebihan. Persyaratan FAA untuk Cross Wind ( angin sisi ) untuk semua lapangan terbang kecuali utility, landasan harus mengarah sehingga pesawat dapat mendarat pada 95% dari waktu dengan komponen Cross Wind (tidak melebihi 13 knots (mph). Sedangkan untuk lapangan terbang utility, komponen Cross Wind diperkecil menjadi 10 konts (11,5 mph) ( Heru Basuki, (1986) ). Persyaratan ICAO, pesawat terbang dapat mendrat atau lepas landas pada sebuah lapangan terbang pada 95% dari waktu dengan komponen Cross Wind tidak melebihi : a. 37 Km/jam ( 20 knots ) dengan Aeroplane Reference Field Length ( ARFL ) 1.500 meter atau lebih, kecuali bila landasan mempunyai daya pengereman yang jelek yaitu dari pengalaman berkali – kali mendapatkan koefisien gesek memanjang tidak cukup baik. b. 24 Km/jam ( 13 knots ) dengan Aeroplane Reference Field Length ( ARFL ) antara 1.200 – 1.499 Meter. c. 19 Km/jam ( 10 knots ) dengan Aeroplane Reference Field Length ( ARFL ) kurang dari 1.200 meter. ( Annex 14 edisi ke VIII maret 1983 ) 2.5
Struktur Perkerasan Runway Perkerasan merupakan suatu struktur yang terdiri dari beberapa lapisan yaitu kombinasi dari surface, base course dengan beberapa kekerasan dan daya dukung yang berbeda. Struktur tersebut disusun sedemikian rupa diatas sub grade dan berfungsi untuk menerima beban diatasnya yang kemudian mendistribusikan ke lapisan sub grade. Karena itu tiap – tiap lapisan dari atas ke bawah harus cukup kekerasan dan ketebalannya, sehingga tidak mengalami perubahan karena tidak mampu menahan beban. a. Struktur Perkerasan Lentur Merupakan perkerasan yang terbuat dari campuran aspal dan agregat yang terdiri dari surface, base course dan subbase course. Lapisan tersebut digelar diatas lapisan tanah asli yang telah dipadatkan. 1. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Manual dengan Metode FAA Metode ini dalah metode yang paling umum digunakan dalam perencanaan lapangan terbang. Perencanaan perkerasan lentur ( flexible pavement ) metode FAA dikembangkan oleh badan pener-bangan Federal Amerika dan merupakan pengembangan metode CBR yang telah ada. Perhitungan tebal perkerasan didasarkan pada grafik – grafik yang dibuat FAA, berdasarkan pengalaman – pengalaman dari corf of Enginers dalam menggunakan metode CBR. Perhitungan ini dapat diuji sampai jangka waktu 20 tahun dan untuk menentukan tebal perkerasan ada beberapa variabel yang harus diketahui: Nilai CBR subgrade dan Nilai CBR Subbase Course. Berat Maximum take off pesawat ( MTOW). Jumlah keberangkatan tahunan ( Annual Departure ).
Type roda pendaratan tiap pesawat. Langkah – langkah menggunakan penggunaan metode FAA adalah sebagai berikut: Pesawat rencana. Dalam pelaksanaannya, landasan pacu harus melayani ber-agam tipe pesawat dengan tipe roda pendaratan dan berat yang berbeda – beda, dengan demikian diperlukan konversi ke pesawat rencana. Tabel 2.3 Konversi Type Roda pesawat konversi dari ke Faktor Pengali Single Wheel Single Wheel Dual Wheel Dual Tandem Dual Thandem Dual Thandem Dual Wheel Double Dual Tandem
Dual Wheel Dual Tandem Dual Tandem Dual Tandem Single Wheel Dual Wheel Single Wheel Dual Tandem
0.8 0.5 0.6 1.0 2.0 1.7 1.3 1.7
Sumber : Heru Basuki (1989) Equivalent Annual Departure. Equivalent Annual Departure terhadap pesawat rencan dihitung dengan rumus : Log R = Log R x
W W
...........( 2.6 )
Dimana R1 : Equivalent annual departure peswat rencana. R2 : Equivalent annual departure dari semua pesawat yang dikonversikan ke pesawat rencana menurut type pendaratannya. Dimana R2 = Jumlah keberangkatan tahunan x Faktor konversi W2 : Beban Roda Pesawat Rencana W1 : Berat maksimum Take off x 95% x n n : Jumlah roda pesawat pada main gear Annual Departur terbatas hanya sampai 25.000 per tahun. Untuk tingkat Annual Departure yang lebih besar dari 25.000, tebal perkerasan totalnya harus ditambah menurut Tabel 2.4 dibawah ini: Tabel 2.4 Perkerasan Bagi Tingkat Departure >25.000 Annual % Tebal Departure Departure 25.000 50.000 100.000 150.000 200.000
104 108 110 112
Berat pesawat dianggap 95 % ditumpu oleh roda pesawat utama ( main gear ) dan 5 % oleh nose wheel. FAA hanya menghitung berdasarka annual departure, karena pendarat-an dihitungkan beratnya lebih kecil dibanding waktu take off. Tebal perkerasan total Tebal perkerasn total dihitung dengan memplotkan data CBR subgrade yang diperoleh dari FAA, Advisory Circular 150/5320-6, MTOW ( Maximum Take Off Weight) pesawat rencana, dan nilai Equivalent Annual Departure ke dalam Grafik 2.1
Aviation Administrarion ( FAA ) untuk desain baru dan overlay perkerasan lentur dan kaku. Prosedur perencanaan yang diimplementasikan dalam Software ini in berdasarakan Advisor Circular ( AC ) 150/5320 150/5320-6E 2.6
Grafik 2.1 Penentuan Tebal Perkerasan untuk Dual Wheel Tebal perkerasan Subbase dengan nilai CBR subbase subbase yang ditentukan, MTOW dan Equivalent Annual Departure maka dari grafik yang sama didapat harga yang merupakan tebal lapisan diatas subbase,, yaitu lapisan surface dan lapisan base. Maka, tebal subbase sama dengan tebal perkerasan total dikurangi tebal lapisan diatas diat subbase. Tebal perkerasan permukaan ( surface ) Tebal surface langsung dilihat dari Grafik 2.2 yang berupa tebal surface untuk daerah kritis dan non kritis.
2.
Grafik 2.2 Penentuan Tebal Base Course Minimum Tebal perkerasan Base Coarse Tebal Base Coarse sama dengan tebal lapisan diatas Subbase course dikurangi tebal lapisan permukaan ( Surface Course ). Hasil ini harus dicek dengan membandingkannya terhadap tebal Base Coarse Minimum dari grafik. Apabila tebal base Coarse minimum lebih besar dari tebal Base Coarse hasil perhitungan, maka selisihnya diambil dari la-pisan Subbase Coarse, sehingga tebal Subbase Coarse pun berubah. Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam perencanaan lapangan terbang. Dikembang-kan kan oleh badan penerbangan Federal al Amerika. Jenis dan kekuatan tanah dasar ( subgrade ) sangat mempengaruhi analisa perhitungan. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Dengan Bantuan Software FAARFIELD 1.305 FAARFIELD 1.305 adalah versi software untuk desain tebal perkerasan Bandara. Software ini mengimplementasikan desain perkerasan berdasarkan prosedur desain yang dikembangkan oleh Federal
Alat Bantu Pendaratan Sejak awal mula penerbangan, pilot selalu memakai tanda – tanda di darat sebagai alat bantu navigsi ketika melakukan approach ke sebuah lapangan terbang. Seperti halnya pelaut menggunakan akan tanda istimewa di tepi pantai sebagai pedoman ketika akan berlabuh. 1. Marka Marka berfungsi membantu penerbang ( Pilot ) dalam mengendalikan pesawat udara. Jenis – jenis pemarkaan tersebut antara lain: a. Nomor Landasan Pacu ( Runway Designation Marking ) Ditempatkan di ujung landasan sebagai nomor pengenal landasan itu, terdiri dari dua angka, pada landasan sejajar harus dilengkapi huruf L atau R atau C.. Dua angka tadi merupakan angka persepuluh terdekat dari utara magnetis dipandang dari arah approach ketika ika pesawat akan mendarat (Heru ( Basuki, 1986 ). Misal, landasan dengan azimut magnetis 62 maka nomor landasan adalah 06, azimt magnetis 86 nomor landasan 09. Nomor landasan ini ditempatkan berlawanan dengan azimutnya, landasan barat timur, diujung timur titempatkan ti nomor landasan 06, sedangkan diujung barat dipasang nomor landasan 09.
b. Pemarkaan Sumbu Landasan Pacu ( runway center line marking ) Ditemptakan sepanjang sumbu landasan berawal dan berakhir pada nomor landasan, kecuali pada landasan yang bersilang, bersil landasan yang lebih dominan, sumbunya terus, yang kurang dominan sum-bunya bunya diputus. Markanya berupa garis putus - putus, panjang garis dan panjang pemutusan sama. Panjang strip bersama gapnya tidak boleh kurang dari 50 m ( a + b ≥ 50 m ), tidak boleh lebih dari 75 m. Panjang strip ( a ) = panjang gap atau 30 m diambil yang terbesar. Lebar strip antara 0.3 m atau 0,9 m tergantung kelas landasan. c.
Pemarkaan Threshold ( threshol marking ) Ditempatkan diujung landasan sejauh 6 m ( a ) dari tepi ujung landasan membujur dengan panjang minimum 30 m ( b ) , dan lebar 1,8 m. Hubungan Lebar landasan dan banyak strip dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut : Tabel 2.5 Hubungan lebar landasan dan banyak strip stri Threshold Marking Lebar Landasan Banyak Strip 18 m 4 23 m 6 30 m 8 45 m 12 60 m 16
Pemarkaan untuk jarak tetap ( fixed distance marking ) Berbentuk empat persegi panjang, berwarna menyolok biasanya orange. Ukurannya, panjang 45 m – 60 m, lebar 6 m – 10 m ter-letak simetris kanan kiri sumbu landasan. Marka ini yang terujung berjarak 300 m dari threshold. e. Pemarkaan zona touchdown ( touchdown zone marking ) Dipasang pada landasan dengan approach presisi, tapi bisa juga dipasang pada landasan non presisi atau landasan non instrumen yang lebar landasannya lebih dari 23 m. Terdiri dari pasangan – pasangan berbentuk segi panjang di kanan kiri sumbu landasan dengan lebar 3 m dan panjang 22,5 m untuk strip tunggal, untuk strip ganda ukuran 22,5 m x 1,8 m dengan jarak 1,5 m. Jarak satu sama lain 150 m diawali dari threshold, banyaknya tergantung pada panjang landasan. Hubungan panjang landasan dan banyaknya pasangan marka dapat dilihat pada Tabel 2.7 berikut: Tabel 2.6 Hubungan Panjang Landasan dan Banyaknya Pasangan Marka Panjang Landasan Banyaknya Jumlah Garis Pasangan <90 1 Satu 900 m – 1200 m 2 Satu, Satu 1200 m – 1500 m 3 Dua, Satu, Satu 1500 m – 2100 m 4 Dua, Dua, Satu, Satu 6 Tiga, Tiga, Dua, Dua, >2100 m Satu,Satu f. Pemarkaan tepi landasan pacu ( runway side striping marking ) Merupakan garis lurus di tepi landasan, memanjang sepanjang landasan dengan strip 0,9 m bagi landasan yang lebarnya > 30. Dan lebar strip 0,45 m bagi landasan yang lebarnya < 30 m. Marka ini berfugsi sebagai batas landasan terutama apabila warna landasan hampir sama dengan warna Shoulder-nya. 2. Airfield Lighting System Airfield Lighting System (AFL) merupakan alat bantu navigasi udara yang berfungsi membantu dan melayani pesawat terbang selama tinggal landas, mendarat dan melakukan taxi agar dapat bergerak secara efisien dan aman. Fasilitas ini terdiri dari lampu – lamu khusus, yang member isyarat informasi visual kepada penerbang terutama pada waktu penerbang akan melakukan pendaratan atau tinggal landas. Isyarat dan in-formasi visual ini disediakan dengan mengatur konfigurasi warna dan intensitas cahaya dari lampu – lampu khusu tersebut. Pada umumnya, sewaktu akan melakukan pendaratan atau tinggal landas, penerbang lebih mengandalkan penglihatannya ke luar pesawat dari pada melihat instrumen yang terdapat dalam cockpit pesawatnya. Perencanaan yang matang dalam pemasangan Airfield Lighting System (AFL) di Bandar Udara harus memperhatikan:
a. b. c. d.
d.
Klasifikasi Airfield Lighting System Utility Airfield Lighting System Persyaratan teknis Instalation design
Airfield Lighting System ( AFL ) atau alat bantu pendaratan visual, yaitu merupakan fasilitas pada Bandar Udara untuk membantu pendaratan se-cara visual. Serta menunjang pendratan dan tinggal landas pada kondisi cuaca buruk atau penerbangan malam guna mempertinggi tingkat pe-layanan keselamatan penerbang. Airfield Lighting System meliputi peralatan – peralatan sebagai berikut : a. Threshold Lighting Threshold Lighting adalah rambu penerangan yang berfungsi sebagai penunjuk ambang landasan. Dipasang pada batas ambang landasan pacu dengan menggunakan filter hijau dan merah. b. Runway End Indentification Lighting Runway End Indentification Lighting adalah dua unit lampu yang berkedip ( flash ) terpasang di kedua sisi ujung landasan. c. Approach Lighting Approach Lighting adalah instalasi penerangan bagi ancangan pendaratan yang dipasang simetris dari ujung perpanjangan landasan pacu. d. Precission Approach Path Indicator Precission Approach Path Indicator adalah alat bantu pendaratan visual yang memancarkan cahaya untuk member informasi kepada penerbang mengenai sudut luncur yang benar dan untuk memandu penerbang melakukan pendekatan menuju titik pendratan yang digunakan pada siang atau malam hari. e. Turning Area Light Turning Area Light adalah lampu untuk memberi tanda bahwa disitu terdapat tempat pemutaran pesawat terbang. f. Squence Flasher Lighting Squence Flasher Lighting adalah lampu berkedip berurutan sebagai alat bantu pendekatan bagi pesawat terbang pada jalur dan posisi di tengah landasan sebelum pesawat tersebut mendarat. g. Wind Cone Wind Cone adalah suatu tanda yang memberi tahu arah angin bagi pendaratana atau lepas landas suatu pesawat terbang. 3. METODE PENELITIAN 3.1 Profil Bandar Udara Nusawiru Bandar udara Nusawiru yang bertempat di Kabupaten Pangandaran kecamatan Cijulang dikelola oleh Dinas Perhubungan udara Kabupaten Pangandaran dengan luas 619.367 m2 memiliki koordinat 7043’13’’ LU 108029’23’’BT dan berada di ketinggian 5 m (16 f ) diatas permukaan laut. Bandar udara Nusawiru memiliki kode dari ICAO yaitu WI1A. 3.2
Pesawat Rencana Pesawat yang direncanakan dalam penelitian ini adalah Boeing 737 – 400 dengan data pesawat sebagai berikut :
Pesawat Rencana : Boeing 737 – 400 Single Class Seating : 170 passenger Two Class Seating : 146 passenger Engine Manufacture : CFM Engine Type : 56 – 3B – 2 Wingspan : 28.90 m ( 94 ft 9 in ) Aircraft Length : 35.30 m ( 115 ft 9 in ) Height : 11.15 m ( 36 ft 7 in ) Operating Empty Weight : 33.370 kg ( 73.568 lb ) Max. Takeoff Weight : 62.820 kg ( 138.494 lb ) Max. Landing Weight : 54.880 kg ( 120.990 lb ) Max. Zero Fuel Weight : 51.250 kg ( 112.987 lb ) Panjang Take off ISA Sea Level : 2222 m 3.3 Analisis Data a. Analisis Panjang Runway Dalam diagram alir, proses analisis panjang runway akan dilakukan seperti berikut:
•
Lingkaran – lingkaran tersebut kemudian dibagi sama rata menjadi sejumlah arah angin yang diketahui kecepatannya di daerah rencana. Lingkaran terkecil yang berada di tengah dibiarkan utuh, tidak ikut terbagi. Nama mata angin kemudian ditulis pada lingkaran terluar yang sudah terbagi. Data presentasi angin yang sudah diketahui kemudian dipindahkan ke bagian lingkaran yang sudah terbagi sama rata. Nilai persentase angin calm menenpati lingkaran terkecil. Buat sebuah bidang berbentuk persegi panjang dengan ukuran: - Panjang : Lebih besar daripada diameter lingkaran terbesar - Lebar : 2 kali nilai yang melewati batas ross wind maksimum Bidang persegi panjang tersebut kemudian diletakan di atas lingkaran dengan titik pusatnya berimpit dengan pusat lingkaran. Lebar bidang ini dibagi dua oleh sebuah garis yang tepat berimpit dengan simetri lipatnya. Garis tengah ini merepresentasikan garis tengah runway ( runway center line ) Bidang persegi panjang tersebut diputar porosnya dengan sudut tertentu untuk mendapatkan persentase total arah angin yang terbesar dengan nilai persentase lebih besar dari 95%. Persentase ini diperoleh dengan mengalikan persentase luas juring yang diselimuti oleh bidang persegi panjang dengan nilai prsentase angin yang tertulis pada juring tersebut. Persentase total didapatkan dengan menjumlahkan semua persentase dari luas lingkaran yang tertutup bidang tersebut. Persentase total untuk setiap putaran bidang dihitung kemudian dibandingkan. Bidang persegi panjang ditandai atau diletakan pada lingkaran ketika persentase total terbesar diperoleh. Arah bidang ini adalah arah runway yang dicari.
•
MULAI
Pengumpulan Data
• 1. 2. 3. 4.
Karakteristik Pesawat Rencana Ketinggian runway Temperatur Kemiringan runway
Analisis
Panjang Aktual Runway
• Selesai
Diagram 3.1 Analisis Panjang runway b. Analisis Arah Runway Adapun langkah yang dilakukan dalam menentukan cross wind menurut metoda ICAO adalah sebagai berikut : • Menentukan Frekwensi angin untuk setiap arah dengan cara menyeleksi data angin berapa kali kemunculan lalu mencatatnya. • Menghitung presentasi angin, sebagai perbandingan frekwensi angin se-tiap arah dengan total frekwensi angin untuk semua arah. Setelah dilakukan review cross wind, dilanjutkan dengan pembuatan wind rose. Wind rose adalah suatu diagram yang memiliki bentuk lingkaran yang menunjukan distribusi kecepatan dan presentasi arah angin pada suatu daerah tertentu. Dari wind rose akan didapat arah orientasi yang sesuai dengan keadaan angin di daerah rencana. Langkah – langkah membuat wind rose : • Buat sejumlah lingkaran yang berpusat pada satu titik. Jumlah lingkaran yang dibuat tergantung pada jenis kecepatan angin yang dimiliki di daerah rencana. Jari – jarinya harus mewakili skala keceptan angin tersebut.
Tabel 3.1 Data Persentase Angin di Bandar Udara Nusawiru Persentase Angin Arah angin 2,5 – 10 ( 10 – 20 > 20 ( knots ) ( knots ) knots ) U 2,4 0,9 0,0 UUT 1,8 0,1 0,0 UT 2,9 0,4 0,0 TUT 2,1 0,3 0,0 T 6,0 2,6 0,2 TTS 4,6 2,4 0,2 TS 7,5 4,9 0,2 STS 4,4 1,3 0,3 S 3,7 0,8 0,1 SSB 1,4 0,1 0,0 SB 2,2 0,3 0,0 BBS 2,5 0,4 0,0 B 4,9 1,1 0,0 BUB 5,3 3,2 0,1 UB 7,8 7,7 0,3 UUB 4,0 2,2 0,1 Sumber : ( Analisis dan Perencanaan Landas Pacu Lapangan Terbang Nusawiru Kecamatan Cijulang Kabupaten Ciamis ,(2009))
c.
Perencanaan Runway Perencanaan perkerasan akan dilakukan berdasarkan langkah – langkah sebagai berikut :
Karena tidak diperolehnya data ini, maka kami akan ambil pendekatan sebagai berikut : 1. Setiap hari pesawat dianggap melakukan 1 kali operasi penerbangan sehingga dalam satu minggu terjadi 7 kali operasi. 2. Jika dalam satu tahun berjumlah 52 minggu maka annual departure yang akan terjadi sebesar 364.
Mulai
Pengumpulan Data
1.Pesawat Rencana 2.Jumlah Pergerakan Pesawat 3.Kriteria Perkerasan Lentur 4.CBR
Analisis
1. 2.
Tebal Surface Tebal Base
3.
Tebal Subbase
c.
Menentukan Daya Dukung Tanah Untuk Lapisan subgrade mempunyai nilai CBR sebesar 5%, sedangkan lapisan lapisan subbase mempunyai nilai 20 %.
d.
Menentukan Beban Roda Pendaratan ( Wheel Load ) Dalam menentukan beban roda pendaratan pada metoda FAA ini, data yang sangat berpengaruh adalah tipe pesawat, tipe roda, dan MTOW. Maka data yang dipakai sebagai berikut: - Tipe Pesawat : B737 – 400 - Tipe Roda : Dual Wheel - MTOW : 62.820 kg Untuk menghitung W2 digunakan persamaan: = MTOW x 0,95 x ( ¼ ) W2 = 62.820 x 0,95 x 0,25 = 14.919,75 Kg ~ 14.920 Kg ( dibulatkan ) Untuk menghitung W1 digunakan persamaan : W1 = MTOW x 0,95 x ( ½ ) = 62.820 x 0,95 x 0,5 =29839.5 Kg ~ 29.840 Menentukan Equivalent Annual Departure Untuk menghitung R1 digunakan persamaan 2.6 dimana data dari perhitungan sebelumnya sebagai berikut: = 364 per tahun R2 W1 = 29.840 Kg W2 = 14.920
Selesai
d.
Diagram. 3. 2 Alur Perencanaan Perkerasan Lentur Analisis Alat Bantu Pendaratan Proses analisis alat bantu pendaratan disajikan dalan diagram alur berikut: Mulai Pengumpulan Data
e. Kriteria Alat Bantu Pendaratan
Analisis
1. 2.
Marka Airfield Lighting
Maka Log R1
= ( Log R2 ) x
W W
29840
Selesai
Diagram 3.3 Alur Analisis Alat Bantu Pendaratan 4. ANALISIS DAN PERENCANAAN 4.1 Perencanaan Runway dengan Metode FAA Pada perencanaan runway diberikan data – data Bandar Udara Nusawiru Sebagai berikut: Nama Bandar Udara: Nusawiru Lokasi : Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat Ketinggian : 5 m diatas permukaan laut Temperatur rata – rata : 280 C Panjang Landasan : 2000 m Kemiringan : 1% a. Menentukan Pesawat Rencana Pesawat yang direncanakan menggunakan runway ini adalah Peawat B 737- 400 Dengan data teknis sebagai b.
Menentukan Intensitas Pemakaian Runway
f.
,
,
= ( Log 364 ) x = 3,622 14920 , = 4.188 per tahun R1 = 10 Jadi hasil perhitungan equivqlent pesawat rencana adalah 4.188 per tahun. Dengan pendekatan ke nilai yang lebih dekat diambil nilai eqivalent pesawat rencana menjadi 3000 per tahun Perencanaan Panjang Runway a. Koreksi Terhadap Ketinggian h Fe = 1 + 0,07 300 5 Fe = 1 + 0,07 300 Fe = 1,001 b. Koreksi Terhadap Temperatur Ft = 1 + 0,01 { T - (15 - 0,0065 x h)} Ft = 1 + 0,01 { 28 - (15 - 0,0065 x 5)} Ft = 1,13 c. Koreksi Terhadap Kemiringan Fs = 1 + ( 0,1 S ) Fs = 1 + ( 0,1 x 1% ) Fs = 1,001 d. Panjang Runway yang dibutuhkan B737 – 400
PL Fe x Ft x Fs PL 2222= 1,001 x 1,13 x 1,001 PL = 2.516 meter g. Perencanaan Lebar Runway Penentuan lebar runway dilihat berdasarkan kode tipe pesawat rencana seperti yang tertera pada tabel t dibawah ini: Tabel 4.1 Lebar Perkerasan Struktural Landasan Menurut ICAO Kode Huruf Kode Angka A B C D E 1a 18 m 18 m 23 m 2a 23 m 23 m 30 m 3 30 m 30 m 30 m 45 m 4 45 m 45 m 45 m a = Lebar landasan presisi harus tidak kurang dari 30 m untuk ntuk kode 1 dan 2 Sumber : Heru basuki, 1986
diatas lapisan subbase adalah 32,38 cm. Maka tebal ebal lapisan subbase = ( 83,82 – 32,38 ) cm = 51,44 cm • Dari grafik tertulis bahwa tebal lapisan surface untuk daerah kri-tis = 4 Inchi = 10,16 cm. Sedangkan untuk daerah non kritis 3 Inchi = 7,62 cm. • Tebal Base Course = ( 32,38 – 10,16 ) cm = 22,22 cm. Karena Kar dari grafik 2.2 diperoleh tebal minimun base coarse adalah 9,2 Inchi = 23,37 maka nilai yang digunakan adalah nilai tebal mini-mum mini dengan selisih tebal akan diambil dari lapisan subbase. • Sehingga nilai subbase menjadi = 51,44 – (23,37 – 22,22 ) = 50,29 cm. Karena Beban yang dilayani oleh perkerasan lebih dari 100.000 lbs, maka perkerasan base dan subbase perlu ditambahkan stabilizer. stabilizer Sehingga, tebal perkerasan setelah distabilisir adalah sebagai berikut: • Tebal ekuivalen subbase yang distabilisir 50,29 = = 33,53 cm
ARFL=
h.
Berdasarkan ketentuan diatas, maka lebar landasan pacu untuk pesawat rencana Boeing 737 – 400 yang memiliki kode 4C adalah 45 meter. Karena landasan dilengkapi dengan bahu landasan, maka lebar total area yang dibutuhkan runway menjadi 60 meter. Perencanaan Arah Runway Dari data pada tabel 3.1 diperoleh plot gambar wind rose di Bandar Udara Nusawiru seperti gambar dibawah ini :
•
1,2
• Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Tebal Perkerasan Cara Manual Lapisan Tebal Perkerasan CBR 5% ( cm ) Permukaan ( Surface course ) 10,16 Pondasi ( Base course ) 19,47 Pondasi Bawah ( Subbase course ) 33,53 Total 63,16 Suber : Penulis j.
Gambar 4.1 Windrose Bandar udara Nusawiru Dari hasil plot wind rose diketahui arah angin dominan pada arah 1350 ( Tenggara ) sampai 3150 ( Barat Laut ). Sehingga arah runway direncanakan pada arah tersebut. i. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur dengan Cara Manual Berdasarkan data dan perhitungan diatas, bahwa : • Nilai CBR Subbase : 20 % • Nilai CBR Subgrade : 5 % • R1 = 3000 per tahun Hasil plot data ke grafik didapat: • Tebal Perkerasan Total = 33 Inchi = 83,82 cm • Tebal Subbase = 12,75 Inchi = 32,38 cm. Angka ini berarti ketebalan surface dan base
1,5
Tebal ekuivalen base yang distabislisir = 23,37 = 19,47 cm
Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur dengan Cara Software FAARFIED 1.305 Setelah data yang ada diolah dengan bantuan software FAARFIED 1.305 didapat hasil sebagai berikut :
Gambar 4.2. Hasil Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur dengan Software FAARFIELD 1.305
Tabel 4.3 Perhitungan Tebal Perkerasan menggunakan FAARFIELD 1.305 Tebal Perkerasan CBR Lapisan 5% ( cm ) subbase 23,32 Base 14,53 Surface 12,70 Stabilized subbase 10,16 Stabilized base 10,16 Total 70,87 Sumber : Penulis 4.2
Alat Bantu Pendaratan Alata bantu pendaratan visual yang dipasang di Bandar Udara Nusawiru Kabupaten Pangandaran untuk menjamin keselamatan penerbangan. Dengan alat bantu pendaratan ini diharapkan operasi penerbangan dapat berjalan dan kecelaka-an dapat dikurangi. Selain marka landas pacu, pendaratan sebuah pesawat terbang juga dibantu oleh alat bantu pendaratan visual yang berbenntuk lampu / cahaya ( light ). Lampu – lampu ini mengatur agar pesawat bisa mendarat tepat pada as landas pacu, pada titik pendaratan yang berjarak tepat dari ujung runway serta mendarat dengan sudut pendaratan yang tepat. Keamanan dan keselamatan penerbangan memiliki peranan penting dan strategis dalam penyelenggaraan penerbangan. Peraturan perundangan yang mengatur tentang keamanan dan keselamatan penerbangan sipil di indonesia adalah Peraturan Pemerintah No 3 tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Pe-nerbangan, dan Keputusan Menteri No 47 Tahun 2002. Berdasarkan hasil perencanan geometrik runway dan Perundangan yang berlaku maka dapat direncanakan untuk alat bantu pendaratan dapat dilihat pada lampiran. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN 1. Dalam perencanaan geometerik, pesawat yang digunakan untuk panjang runway adalah Boeing 737 – 400. Panjang runway yang dibutuhkan oleh pesawat rencana setelah dikoreksi terhadap faktor elevasi, suhu dan slope adalah 2.516 meter. Dan lebar yang direncanakan adalah 60 meter. Dengan arah runway Menghadap ke arah 1350 ( Tenggara ) sampai 3150 (Barat Laut ). 2. Perencanaan perkerasan menggunakan perkerasan lentur. Metode yang digunakan untuk tebal perkerasan adalah metode FAA dengan menggunakan 2 cara, yaitu cara manual dan cara software FAARFIELD. Tebal perkerasan total untuk daerah ekisting ( CBR 5% ) yang didapat dari cara manual adalah 63,16 cm, dan cara FAARFIELD adalah 70,87 cm. 3. Material yang digunakan untuk lapisan surface adalah Hot mix asphalt, untuk base digunakan material P – 209, Crushed Aggregate Base Cour-se. dan material stabisasi P304, Cement Treated Base Course, sedang-kan untuk lapisan subbase digunakan material P – 154 Subbase course dan material P – 301 Soil Cement Base Course untuk stabilizernya. Marka digunakan enam buah garis Treshold dengan tebal 1,8 m dan jarak anatar strip 1,8 , touchdown
marking menggunakan empat pasang dengan susunan tiga, tiga, dua, dua, satu, satu dengan jarak setiap pasang strip 150 meter, pada jarak 300 meter digunakan aiming point marking, center line marking menggunakan panjang 30 m tiap strip dengan jarak 20 m, side striping marking membentang di kanan dan kiri runway dengan ketebalan 0,9 m. Untuk lampu – lampu yang digunakan pada runway: Treshold lighting, Runway end indentification lighting, Runway edge lighting, Touchdown lighting, Center line lighting. 5.2
SARAN 1. Dalam tugas akhir ini hanya dilakukan perencanaan geometrik runway akibat adanya penembahan jenis pesawat baru yang menggunakan fasi-litas bandar udara. Sebaiknya direncanakan juga taxiway, apron dan terminal disertai drainase untuk hasil yang menyekuruh. 2. Sebagai perbandingan untuk perencanaan arah runway selain dengan cara manual dapat menggunakan bantuan software WRPLOTView, WindRose Pro atau menggunakan software pembantu lainnya. 3. Untuk lebih memaksimalkan hasil tugas akhir ini, sebaiknya menggunakan lebih dari satu metode perencanaan. Sehingga mudah terkoreksi ketika terjadi kekeliruan.
DAFTAR PUSTAKA Basuki, Heru. (1986). Merancang, Merencanakan Lapangan Terbang. Penerbit P.T Alumni : Bandung. Horonjeff, Robert. (1975). Planning & design of airports. Second Edition. Penerbit McGraw-Hill : United States Of America. Horonjeff, Robert & McKelvey, F.X.( 1993). Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara. Penerbit. Edisi Ketiga. Jilid 1. Penerbit Erlangga : Jakarta. Horonjeff, Robert & McKelvey, F.X.( 1993). Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara. Penerbit. Edisi Ketiga. Jilid 2. Penerbit Erlangga : Jakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Bandar_Udara_Nusawiru Diakses Tanggal 10 Februari 2014 http://d4bangunanrawa.files.wordpress.com/2013/04/3konfigurasi-bandara-run-way.pdf. Diakses Tanggal 27 Maret 2014 Keputusan Menteri Perhubungan. Tentang Sertifikasi Operasi Penerbangan. Nomor : KM 47 Tahun 2002. Susanti & Kusumaningrum, Jennie. Perencanaan Runway dan Taxiway Serta Perbaikan Subgrade Pada Bandar Udara Juwata, Tarakan. Jurnal. Jakarta : Jurusan Teknik sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Gunadarma Jakarta. Utami, Damar, A.H.( 2012). Analisis Pengembangan Runway dan Fasilitas Alat Bantu Pendaratan di Bandar Udara Depati Amir Bangka. Skripsi. Yogyakarta : Jurusan Teknik Penerbangan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipti Yogyakarta 2012. Wijayanti, Sri, Dewi. (2006). Pengaruh Lingkungan Lapangan Terbang Pada Perencanaan Panjang Landasan Dengan Standar A.R.F.L.
LAMPIRAN