ANALISIS DAMPAK KENAIKAN CUKAI TERHADAP PERMINTAAN ROKOK DI KOTA BOGOR
NOVIA LA PRIMA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SU MBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak Kenaikan Cukai Terhadap Permintaan Rokok Di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014 Novia La Prima NIM H14100078
ABSTRAK NOVIA LA PRIMA. Analisis Dampak Kenaikan Cukai Terhadap Permintaan Rokok Di Kota Bogor. Dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL. Permintaan rokok di Indonesia terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal tersebut membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan cukai (pajak) terhadap komoditi rokok. Peningkatan kebijakan cukai rokok diharapkan mampu menurunkan permintaan rokok di masyarakat. Tetapi dengan pemberlakuan kebijakan cukai tersebut banyak dari beberapa pihak menganggap bahwa dengan meningkatkan cukai akan memicu masalah baru, seperti kesejahteraan petani tembakau dan pengangguran karyawan pabrik rokok. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dampak kenaikan cukai terhadap permintaan rokok dan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan rokok di Bogor. Data penelitian diperoleh dari kuisioner (primer) dengan cara wawancara secara langsung pada responden yang mengkonsumsi rokok (perokok aktif) yang meliputi identitas responden, pendidikan, pendapatan, umur, jenis pekerjaan dan beberapa hal yang berkaitan dengan permintaan rokok seperti harga rokok yang dikonsumsi dan lama merokok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan rokok di Bogor. Variabel pendapatan, lama merokok dan dummy jenis pekerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan rokok di Bogor, sedangkan tingkat pendidikan dan umur berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan rokok di Bogor. Kata Kunci: Bogor, Harga, Permintaan Rokok, Regresi Berganda NOVIA LA PRIMA. Impact Analysis Request Against Cigarette Excise Tax Increase in Bogor City. Supervised by MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL. Cigarette demand in Indonesia continues to increase significantly. This makes the government issued a policy to increase the tax on cigarettes commodity. The increase in the cigarette tax policies are expected to reduce demand for cigarettes in the community but with the imposition of the tax policy of many of some parties consider that the tax increase will lead to new issues, such as the welfare of tobacco farmers and cigarette factory workers become unemployed. The purpose of this study is to look analyze the impact of tax increases on cigarette demand and the factors that influence the demand for cigarettes in Bogor. Data were obtained from questionnaires (primary) by means of interviewing with parties related to cigarette which includes the identity of respond ents, education, income, age, type of work and some other things related to cigarette demand as the price of cigarettes smoked and duration of smoking. The results showed that the price does not significantly influence the demand for cigarettes in Bogor. Variable income, smoking duration and the dummy type of work are significantly and positivly effect cigarette demand in Bogor, while the level of education and age, are significantly and negatively effect cigarette demand in Bogor. Keywords: Bogor, Price, Cigarette Demand, Multiple Regression
ANALISIS DAMPAK KENAIKAN CUKAI TERHADAP PERMINTAAN ROKOK DI KOTA BOGOR
NOVIA LA PRIMA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih, hikmat, dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 sampai November 2014 dengan judul “Analisis Dampak Kenaikan Cukai Terhadap Permintaan Rokok Di Kota Bogor”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan saran. Di samping itu, ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku dosen penguji utama dan Laily Dwi Arsyianti, S.E, M.Sc selaku komisi pendidikan yang telah memberikan kritikan dan saran dalam skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda, Ig. Suhartono dan Ibunda, Sri Apriwati S.Pd dan adik Prima Aditya, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungan yang senantiasa diberikan kepada penulis. Terima kasih untuk sahabat terdekat Yola, Efita, Vina, Laura, Viana, Dito, Ardo, Aziz, Sofi, Bagus, Vian, Tere dan Frans. Penulis juga berterima kasih atas dukungan dan doa dari KEMAKI terkhusus Puella Domini Choir, serta kepada sahabat Ilmu Ekonomi angkatan 47. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, November 2014 Novia La Prima
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Teori Permintaan
5
Teori Elastisitas Permintaan
6
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Rokok
8
Penelitian Terdahulu
9
Kerangka Pemikiran
10
Hipotesis
12
METODE PENELITIAN
11
Lokasi dan Waktu Penelitian
11
Jenis dan Sumber Data
11
Metode Analisis Data
12
Uji Asumsi Klasik
13
Uji Ekometrika
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Karakteristik Responden
16
Analisis Model Penelitian
21
Pengaruh Penetapan Kebijakan
24
SIMPULAN DAN SARAN
27
Simpulan
27
Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
32
DAFTAR TABEL
Produksi Rokok dan Tingkat Cukai Selang nilai ststistik Durbin-Watson serta keputusannya Hasil Estimasi Uji Multikolinearitas
3 14 23
DAFTAR GAMBAR
Gambaran Konsumsi Rokok 5 Negara Gambaran Tingkat Konsumsi Rokok Tahun 1999-2008 Persentase Perokok Indonesia Tahun 2008 Gambar Kurva Permintaan Gambar Kurva Elatisitas Gambar Kurva Elastisitas Sempurna Gambar Kurva Inelastis Gambar Kurva Inelastis Sempurna Pengaruh Kurva Elastisitas Permintaan Kerangka Pemikiran Penelitian Gambar Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Gambar Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Gambar Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Gambar Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Gambar Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Gambar Karakteristik Responden Berdasarkan Harga Rokok Gambar Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Merokok Distribusi (%) Responden Menurut Pengetahuan Penetapan Kebijakan Distribusi (%) Responden Menurut Respon Setelah Penetapan Kebijakan
1 1 2 5 6 7 7 7 8 10 17 17 18 18 19 19 20 21 21
DAFTAR LAMPIRAN Hasil Estimasi Uji Normalitas Hasil Estimasi Uji Heteroskedastisitas Gambar Uji Normalitas Hasil Estimasi Uji Autokorelasi Hasil Estimasi Uji Koefisien Korelasi R-square Hasil Estimasi Uji F-statistic Hasil Estimasi Uji t-statistic
30 30 30 31 31 31 31
PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan merokok bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia, melainkan sudah menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan sebagian besar orang. Rokok sudah menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, baik dikonsumsi oleh laki-laki maupun perempuan. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), perilaku merokok telah menjadi masalah yang penting bagi seluruh dunia sejak satu dekade lalu (Suhardi 1995). Indonesia sendiri merupakan salah satu negara berkembang dengan tingkat konsumsi dan produksi rokok yang tinggi. 2500 2000 1500
2002
1000
2007
500 0
China USA Rusia Jepang Indonesia Sumber: Tobacco Atlas (2008) Gambar 1 Lima negara dengan konsumsi rokok terbesar (milyar batang) Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa negara dengan konsumsi rokok terbesar pada tahun 2002 sampai tahun 2007 adalah negara China dan disusul oleh negara USA, Rusia, Jepang dan Indonesia. Indonesia adalah negera yang termasuk dalam 5 besar negara dengan konsumsi rokok terbesar dan konsumsinya selalu meningkat di setiap tahunnya. Tingkat konsumsi rokok yang mengalami peningkatan setiap tahunnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 300 225 232 227
200
239 240 214 220 202 198 182 Konsumsi rokok
100 0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: Arios (2011) Gambar 2 Tingkat konsumsi rokok Indonesia tahun 1999 – 2008 (milyar batang) Dari Gambar 2 tingkat konsumsi rokok terus mengalami peningkatan dari tahun 1999 sebesar 225 milyar batang sampai pada tahun 2008 sebesar 240 milyar batang, walaupun demikian pada tahun 2002 sempat mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 182 milyar batang yang dikarenakan adanya peraturan tentang batasan penyiaran produksi rokok yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002. Pada tahun 2003 konsumsi rokok kembali mengalami peningkatan sebesar 198 milyar batang dan terus mengalami peningkatan yang signifikan sampai pada tahun 2008.
2 Perumusan Masalah Rokok telah menjadi kebiasaan atau gaya hidup masyarakat Indonesia, permintaan rokok bukan hanya pada orang tua tetapi dewasa dan remaja telah menjadikan rokok sebagai salah satu kebutuhan. Rokok yang mengandung berbagai zat berbahaya seperti nikotin dan tar, membuat rokok memiliki dampak negatif seperti gangguan pernafasan sampai kematian. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa permintaan rokok terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, berikut dapat dilihat presentase perokok di Indonesia pada tahun 2008. Perokok Wanita Dewasa 2%
Perokok Pria Remaja 13%
Perokok Pria Dewasa 30%
Perokok Wanita Remaja 4%
Tidak Merokok 51%
Sumber: WHO (2008) Gambar 3 Distribusi perokok menurut kelompok usia dan jenis kelamin di Indonesia tahun 2008 Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa 49% masyarakat Indonesia mengkonsumsi rokok dengan 30% presentase didominasi oleh perokok pria dewasa dan dilanjutkan oleh perokok pria remaja sebesar 13% dan sisanya sebesar 2% oleh perokok wanita dewasa dan perokok wanita remaja sebesar 4%. Tingginya presentase konsumsi rokok dikalangan masyarakat dewasa dan remaja membuat pemerintah memberikan perhatian lebih dengan mengeluarkan kebijakan Cukai Hasil Tembakau yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 181/PMK.011/2009 . Kemudian diperbarui pada tahun 2011, terjadi peningkatan tarif cukai rokok yang tertuang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 167/PMK.011/2011. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya pengendalian tingkat konsumsi rokok di masyarakat, salah satunya dilakukannya kampanye mengenai bahaya rokok dan kebijakan kenaikan cukai yang tertuang dalam diharapkan agar masyarakat mampu mengurangi konsumsi rokoknya dan mampu menekan tingkat kematian penyebab rokok. Salah satu faktor yang membuat banyak orang merokok adalah harga rokok yang terjangkau dan rokok yang mudah didapatkan. Kenaikan harga melalui pajak dan bea cukai akan menaikkan harga rokok dan akan membuat orang berfikir ulang ketika mereka akan merokok setiap harinya dalam jumlah banyak. Pemberlakuan kebijakan pajak dan bea cukai yang mahal pun membuat produsen rokok murah menjadi berpikir ulang sebelum memproduksi rokok. Kenaikan pajak pada rokok adalah salah satu cara efektif untuk menurunkan jumlah perokok serta mencegah generasi remaja dan anak-anak muda untuk memiliki kebiasaan merokok, serta juga mampu mencegah kematian akibat kanker paru-paru yang disebabkan oleh kebiasaan merokok. (Ananda 2014)
3 Pemberlakuan kebijakan cukai pada rokok juga direspon positif oleh Direktur Jendral Pajak yang mengungkapkan bahwa penerimaan negara melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan bergerak seiring dengan tren penerimaan cukai dari Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC). Menurut data yang didapatkan bahwa penerimaan cukai rokok pada bulan Februari 2014 mencapai Rp 12,91 triliun lebih tinggi dibandingkan perolehan pada bulan Januari yang mencapai Rp 8,51 triliun. Selain hal tersebut juga, menegaskan bahwa kenaikan PPN diiringi dengan kenaikan jumlah rokok yang dijual di masyarakat.(Petrus 2014) Kenaikan kebijakan cukai pada rokok mendapatkan protes dari berbagai kalangan industri rokok serta dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia. Menurut penetapan peraturan pemerintah (PMK) Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, industri rokok merasa keberatan dengan kenaikan cukai yang berpengaruh langsung pada harga yang mengakibatkan penurunan pada daya beli masyarakat terhadap. Penurunan daya beli masyarakat akan menurunkan tingkat produksi di industri rokok, hal ini akan mengakibatkan masyarakat kehilangan mata pencaharian dari industri hasil tembakau (IHT) yang selama ini menyerap sekitar 4,1 juta tenaga kerja. (Deny 2014) Penerapan kebijakan cukai pada rokok menimbulkan sedikit perdebatan, baik datang dari pemerintah maupun masyarakat. Perdebatan yang muncul baik secara positif maupun negatif terhadap penerapan kebijakan cukai, banyak datang dari pihak pemerintah maupun masyarakat yang percaya bila dengan adanya penerapan kebijakan cukai pada rokok mampu mengendalikan permintaan konsumen dan kematian akibat rokok. Akan tetapi, di sisi lain muncul sanggahan dari pihak industri bahwa industri rokok membantu pemerintah dalam penyerapan tenaga kerja baik pekerja maupun petani yang turut membantu dalam proses produksi rokok. Tanggapan dari pihak industri tersebut direspon positif oleh pemerintah, tetapi adanya kekhawatiran dari pihak industri apabila pajak terhadap rokok dinaikkan maka akan menurunkan produksi dan mampu berdampak pada pengurangan tenaga kerja agar industri dapat bertahan dalam persaingan. Namun demikian dalam fakta yang ada, produksi rokok cenderung mengalami peningkatan yang diiringi dengan peningkatan cukai, seperti data di bawah ini: Tabel 1 Gambaran Produksi Rokok dan tingkat Cukai (2007-2011) Tahun Produksi(milyar batang) Cukai(Rp triliun) 2007 231,0 43,5 2008 249,1 49,0 2009 245,0 54,3 2010 249,1 59,3 2011 279,4 77,0 Sumber :Ditjen, Bea Cukai (2011) Menurut data yang terlampir diatas, dapat dilihat apabila konsumsi rokok terus mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebesar 231,0 milyar batang sampai pada tahun 2011 mencapai 279,4 milyar batang. Peningkatan produksi tersebut diiringi dengan peningkatan pajak (cukai) dari tahun 2007 sebesar Rp 43,5 triliun meningkat terus sampai pada tahun 2011 sebesar Rp 77 triliun. Dengan demikian dapat sedikit diragukan tanggapan pemerintah dan pihak lain bila dengan menaikan
4 cukai mampu menurunkan permintaan rokok di kalangan masyarakat. Dengan demikian, perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana dampak kebijakan kenaikan cukai terhadap permintaan rokok di kota Bogor? 2. Faktor-faktor apakah yang mampu berpengaruh terhadap permintaan rokok? Serta sejauh mana pengaruh faktor-faktor terhadap permintaan rokok? Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis dampak kebijakan kenaikan cukai terhadap permintaan rokok di Kota Bogor. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh dalam terhadap permintaan rokok di Kota Bogor dan sejauh mana pengaruh faktor tersebut terhadap permintaan rokok. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Bagi pemerintah, memberikan masukan atau pertimbangan kepada pemerintah mengenai sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan yang akan datang. Bagi perusahaan rokok, memberikan pertimbangan dalam melihat permintaan perkembangan barang industri di masa yang akan datang. Bagi masyarakat, memberikan gambaran umum kepada masyarakat mengenai pengambilan keputusan dalam pembelian rokok . Bagi pembaca, membuka wawasan pembaca dan menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya. Bagi penulis, mengaplikasikan wawasan ilmiah dan ilmu pengetahuan dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian dengan menggunakan data prime dalam melihat respon masyarakat dalam pengendalian konsumsi rokok di tingkat masyarakat dan faktor-faktor yang berpengaruh nyata dalam pengendalian tingkat permintaan rokok tersebut. Responden yang diinterview ialah responden yang mengkonsumsi rokok yang dilihat dari tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan serta sejauh mana responden merespon adanya kebijakan cukai.
5 TINJAUAN PUSTAKA Teori Permintaan Barang Teori Permintaan adalah persamaan yang menunjukkan hubungan antar jumlah barang yang diminta oleh konsumen pada berbagai tingkat harga dan faktor yang mempengaruhinya.Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perekonomian dan menstabilitaskan perekonomian jangka pendek (Mankiw 2003). Sebuah hubungan antara suatu barang dengan harga dalam hukum permintaan bersifat kebalikan/negatif, artinya jika harga suatu barang naik, maka permintaan terhadap barang tersebut akan berkurang, dan sebaliknya jika harga suatu barang turun, permintaan terhadap barang tersebut akan meningkat. Harga P0
P1 Kuantitas Sumber: Mankiw (2003) Gambar 4 Kurva Permintaan
Q0
Q1
Dari Gambar 4 dapat dijelaskan pada saat harga sebesar P0 permintaan barang pada harga tersebut sebesar Q0. Kurva permintaan menunjukkan hubungan antara jumlah (kuantitas) barang yang diinginkan dan harga barang, sedangkan pendapatan konstan. Kurva permintaan berbentuk miring ke bawah (downwardsloping) karena harga barang yang lebih tinggi mendorong konsumen beralih ke barang lain atau mengkonsumsi lebih sedikit barang tersebut (Mankiw 2003). 1.Harga Barang Hukum permintaan (law of demand), menyatakan bahwa kurva permintaan akan bergerak jika dipengaruhi oleh tingkat harga. Hubungan antara harga dengan jumlah yang diminta (output) memiliki hubungan negatif, yang maksudnya ialah jika harga naik maka jumlah permintaan turun, sedangkan jika harga suatu barang menurun maka jumlah permintaan barang akan mengalami peningkatan, ceteris paribus.Ceteris paribus, adalah asumsi bahwa faktor-faktor lain/selain harga dianggap konstan. 2. Income / Pendapatan Hubungan antara pendapatan dengan jumlah barang yang diminta adalah positif. Bila pendapatan seseorang/masyarakat meningkat maka akan meningkatkan permintaan terhadap suatu barang. Ini terjadi, bila barang yang dimaksud adalah barang normal. Apabila barang yang dimaksud adalah barang inferior (barang berkualitas rendah) maka dengan adanya kenaikan pendapatan, konsumen justru akan mengurangi permintaan terhadap barang tersebut demikian pula sebaliknya.
6 3. Selera. Selera memilih hubungan yang positif dengan jumlah barang yang diminta. Semakin tinggi selera konsumen terhadap suatu barang, semakin banyak jumlah barang yang akan diminta. Sebagai contoh, bila selera masyarakat akan rokok filter tertentu meningkat maka akan mendorong permintaan terhadap rokok filter tersebut lebih banyak. 4. Jumlah Konsumen Pertumbuhan konsumen, misalnya penduduk, tidak dengan sendirinya menyebabkan pertumbuhan permintaan suatu barang. Akan tetapi menyebabkan pertambahan penduduk siikuti oleh perkembangan kesempatan kerja. Dengan demikian akan lebih banyak orang yang menerima pendapatan dan hal juga akan menambah daya beli masyarakat. Secara umum permintaan akan suatu barang tidak hanya dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, tetapi dipergaruhi pula oleh harga barang yang berkaitan,pendapatan konsumen, jumlah konsumen dan jumlah tahun sebelumnya. Teori Elastisitas Permintaan Elastisitas merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kepekaan konsumen dan produsen terhadap perubahan harga (McEachern 2001). Selain itu, elastisitas juga menunjukkan seberapa respon suatu variabel akibat dari perubahan variabel atau salah satu variabel lain yang mempengaruhinya. Elastisitas dibagi menjadi 4 bagian dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Elastis Suatu permintaan bisa dikatakan elastis jika elastisitasnya lebih dari satu (>1) dan kurang dari tak terhingga, artinya presentase atau besarnya perubahan permintaan lebih persentase perubahan harga. Sering terjadi pada produk yang mudah dicari substitusinya. Misalnya seperti pakaian, makanan ringan dan sebagainya. Ketika harga naik, konsumen akan dengan mudah menemukan substitusinya.
Sumber: Lipsey (1995) Gambar 5 Kurva Elastis 2. Elastis Sempurna Elastisitas permintaan adalah tidak hingga, artinya jika terjadi perubahan harga maka perubahan permintaan nol atau tidak ada permintaan. Permintaan akan terus ada pada harga tertentu pasar sanggup membeli semua barang yang ada di pasar. Namun dengan kenaikan sedikit saja dapat menjatuhkan permintaan menjadi 0. Dengan demikian kurva berbentuk horisontal. Contohnya pada produk barang/jasa yang bersifat komoditi yaitu barang/jasa yang memiliki
7 karakteristik dan fungsi sama meskipun dijual di tempat berbeda atau diproduksi oleh produsen yang berbeda dan seharusnya memiliki harga yang sama.
Sumber: Lipsey (1995) Gambar 6 Kurva Elastis Sempurna 3. Inelastis Suatu permintaan dapat dikatakan inelastis jika elastisitasnya kurang dari satu (<1) dan lebih dari nol (>0), artinya presentase perubahan permintaan lebih kecil dari presentase perubahan harga. Contohnya dapat dilihat pada produk kebutuhan konsumsi beras sebagai makanan pokok mengalami kenaikan harga, tetapi orang akan tetap membelinya untuk dikonsumsi. Sebab meskipun dapat dihemat penggunaannya, namun cenderung tidak akan sebesar kenaikan harga yang terjadi. Sebaliknya bila harga beras mengalami penurunan, konsumen tidak akan menambah konsumsinya sebesar penurunan harganya.
Sumber: Lipsey (1995) Gambar 7 Kurva Inelastis 4. Inelastis Sempurna Elastisitas permintaan adalah nol, artinya jika harga mengalami perubahan baik naik maupun menurun jumlah permintaan sama. Dengan demikian , kurva berbentuk vertikal yang berarti bahwa berapapun harga yang ditawarkan, kuantitas barang/jasa tetap tidak berubah. Contohnya barang yang permintaannya tidak elastis sempurna adalah tanah (meskipun harga mengalami kenaikan terus, kuantitas yang tersedia tetap terbatas.
Sumber: Lipsey (1995) Gambar 8 Kurva Inelastis Sempurna
8 Berikut merupakan ilustrasi pergeseran penawaran pada bentuk dari kurva permintaan. P P S0
S0
E0 P1 P0
E1
S1
P1
E0 S1
P0
E1
D D Q Q1 Q0 (i) Kurva permintaan relatif datar
Q Q1 Q0 (ii) Kurva permintaan relatif curam
Sumber: Lipsey (1995) Gambar 9 Pengaruh Bentuk Kurva Elastisitas Permintaan
Pada Gambar 9 dapat dilihat kedua bagian gambar memiliki skala yang sama. Keduanya memperlihatkan ekuilibrium awal yang sama dan dan pergeseran yang sama dalam kurva penawaran. Dalam masing- masing bagian, ekuilibrium awal terjadi pada harga P0 dan output Q0 dan ekuilibrium yang baru terjadi pada P1 dan Q1. Pada bagian (i) pengaruh pergeseran ppenawaran S0 dan S1 merupakan kenaikan harga sedikit dan kenaikan besar kuantitas. Dalam bagian (ii) pengaruh pergeseran identik dalam kurva penawaran dari S0 dan S1 merupakan kenaikan harga yang besar dan kenaikan kuantitas yang relatif kecil. Dapat diartikan bahwa semakin responsif kuantitas yang diminta terhadap perubahan harga, semakin kurang perubahan harga dan semakin besar kuantitas yang diperoleh dalam pergeseran kurva penawaran (Lipsey 1995). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Rokok Faktor penyebab pesatnya konsumsi rokok salah satunya adalah kapasitas pengetahuan yang tidak memadai tentang dampak negatif atau bahaya rokok bagi kesehatan (Ulfah 2012). Hal tersebut didasarkan pada pendataan laju pertumbuhan konsumsi rokok dari masyarakat tingkat elit sampai ke bawah. Data menunjukkan adanya penurunan konsumsi rokok di kalangan masyarakat elit dengan kapasitas pengetahuan yang memadai, dan justru meningkatkan secara signifikan pada masyarakat strata rendah yang merasa tabu terhadap pengetahuan tentang bahaya rokok. Studi yang dilakukan Wilkins et al. (2000) menyatakan bahwa variabel karakteristik individu dan rumah tangga yang mempengaruhi konsumsi rokok adalah umur, pendidikan dan agama sedangkan sebagai variabel pengendali tembakau yang mampu mempengaruhi jumlah konsumsi rokok diantaranya adalah adanya fasilitas kesehatan.
9 Penelitian Terdahulu Penelitian Debbie (2013) yang judul “Faktor-faktor yang mempengaruhi Permintaan Rokok Kretek di Kota Parepare”. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan rokok kretek di Kota Parepare. Data yang digunakan ialah data primer berupa kuisioner dan beberapa observasi secara wawancara langsung dengan pihak yang terkait dengan rokok kretek di Kota Parepare meliputi identitas responden, pendapatan dan hal yang berkaitan dengan rokok seperti harga rokok kretek, harga substitusi lama merokok, dampak iklan, pengaruh lingkungan sosial. Metode untuk menganalisis ialah menggunakan metode regresi berganda dan menggunakan alat analisis SPSS. Hasil penelitian didapatkan nilai adjusted R square sebesar 0,728 yang berarti bahwa 72,8% permintaan rokok dipengaruhi secara bersama-sama oleh variabel didalam model.Secara parsial variabel pendapatan, harga rokok subtitusi, lama merokok dan pengaruh lingkup sosial berpengaruh positif san signifikan terhadap permintaan rokok kretek di kota Parepare.Variabel harga rokok kretek berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap permintaan rokok kretek di kota Parepare. Variabel dampak iklan berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap permintaan rokok kretek di kota Parepare. Penelitian Ai Surya (2013) dengan judul “Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai Rokok Kretek terhadap Permintaan, Penawaran dan Harga Komoditas Rokok Kretek dan Komoditas Tembakau serta Kesejahteraan Masyarakat”. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan dan harga dari komoditas rokok kretek dan tembakau. Faktor digunakan untuk mengidentifikasi pengaruh kenaikan tarif cukai rokok kretek terhadap penawaran, permintaan dan harga dari komoditas rokok kretek dan tembakau. Hasil identifikasi diperlukan untuk menganalisa dampak kenaikan tarif cukai rokok kretek terhadap kesejahteraan konsumen rokok kretek, kesejahteraan petani tembakau, keuntungan perusahaan rokok kretek dan pendapatan pemerintah Penelitian ini menggunakan model dengan metode two-stage least squares (2-SLS). Hasil estimasi dari model diperoleh permintaan rokok kretek dipengaruhi oleh harga riil rokok kretek di tingkat konsumen, jumlah penduduk dewasa dan pendapatan per kapita masyarakat. Penawaran rokok kretek dipengaruhi oleh harga riil cengkeh, harga riil rokok kretek di tingkat produsen dan harga riil ekspor rokok kretek. Harga rokok kretek ditingkat produsen dipengaruhi oleh penawaran rokok kretek. Harga rokok kretek di tingkat konsumen dipengaruhi oleh penawaran tembakau dan tarif cukai rokok kretek. Penelitian Surjono, Nasruddin dan Piping Setyo (2013) dengan judul “Dampak Pendapatan dan Harga Rokok terhadap Tingkat Konsumsi Rokok pada Rumah Tangga Miskin di Indonesia”. Studi ini mengestimasi model spesifikasi dinamis permintaan rokok di Indonesia menggunakan model Linear Aproximation Almost Ideal Demand System (LA/AIDS). Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi rokok pada rumah tangga miskin ketika terjadi peningkatan pendapatan, kenaikan harga rokok dan konsumsi barang lain yang dikorbankan ketika ada kenaikan harga rokok. Analisis diaplikasikan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel 2008-2010. Hasil studi menunjukkan bahwa rokok merupakan barang normal. Permintaan rokok bersifat inelastis untuk rumah tangga miskin.
10 Kerangka Pemikiran Rokok memiliki dampak positif maupun negatif. Rokok sebagai penyumbang penerimaan terbesar melalui pajak yang ditentukan pemerintah dan rokok juga penyebab kematian terbesar karena zat yang terkandung didalam rokok yang menyebabkan kerusakan pada organ dalam. Rokok menyebabkan kematian oleh sebab itu pemerintah memberikan perhatian untuk mengurangi angka kematian akibat rokok dengan menetapkan kebijakan Cukai Hasil Tembakau yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 167/PMK.011/2011. Dengan adanya penetapan kebijakan cukai tersebut diharapkan mampu mengendalikan serta menurunkan tingkat permintaan rokok masyarakat sehingga mampu mengurangi konsumsi ditingkat masyarakat serta mampu menekan tingkat produksi dikalangan industri rokok. Penelitian ini menganalisis pengaruh kebijakan cukai rokok yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 167/PMK.011/2011 sebagai langkah mengendalikan tingkat produksi dan konsumsi rokok di masyarakat. Serta melihat faktor-faktor yang berpengaruh nyata dalam menentukan tingkat permintaan rokok. Penelitian ini menggunakan metode regresi dalam menentukan komponen utama yang berpengaruh dalam permintaan rokok, seperti: harga rokok, pendapatan, jenjang pendidikan perokok, umur responden, lama merokok serta dummy jenis pekerjaan. Alat analisis menggunakan regresi linear berganda untuk mendapatkan variabel mana yang berpengaruh signifikan dalam menurunkan permintaan rokok di Bogor. Rokok Negatif : Rokok dapat menyebabkan penyakit kanker, paru-paru dan gangguan pernafasan hingga kematian.
Positif : Berkontribusi pada pemerintah melalui penerimaan cukai dan menyerap tenaga kerja dalam sektor industri.
Kebijakan Kenaikan Harga pada Rokok Fakta di Indonesia permintaan rokok yang terus meningkat dari tahun 2007-2011 Faktor yang mempengaruhi Permintaan Rokok (harga rokok, pendapatan, pendidikan, umur, lama merokok, jenis pekerjaan) Implementasi Kebijakan Gambar 4 Kerangka Pemikiran Penelitian
11
Hipotesis Hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini untuk menganalisis dampak kenaikan cukai terhadap permintaan rokok di Kota Bogor yaitu: a. Harga rokok mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan rokok di Kota Bogor. b. Tingkat pendapatan mempunyai pengaruh positif terhadap permintaan rokok di Kota Bogor. c. Tingkat pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap permintaan rokok di Kota Bogor. d. Tingkat usia memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan rokok di Kota Bogor. e. Lama merokok berpengaruh positif terhadap daya beli terhadap rokok di Kota Bogor. f. Jenis pekerjaan memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan rokok di Kota Bogor.
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan November 2014. Dalam jangka waktu tersebut dilakukan pengambilan informasi dan pengambilan data dari masyarakat yang mengkonsumsi rokok. Lokasi yang menjadi tempat pengambilan data tersebut dilaksanakan di 4 lokasi Kota Bogor Jawa Barat, yaitu: Mall Botani Square, Ekalokasari Plaza Mall, Bogor Trade Mall dan Kampus IPB. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan menggunakan kuisioner terhadap minimal 100 responden yang ada. Sementara data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC), Badan Pusat Statistik serta literatur lainnya yang mendukung penelitian. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan angket (kuisioner). Soeratno (1995) menyatakan bahwa angket merupakan daftar pertanyaan yang diberikan untuk diisi oleh responden. Tujuan penggunaan angket adalah untuk memperoleh informasi yang relevan dengan penelitian juga untuk memperoleh kesahihan yang cukup tinggi. Pertanyaan
12 dalam angket ini mencakup tentang fakta (data diri responden), sikap dan pendapat, informasi (sejauh mana responden mengetahui sesuatu), dan respon diri (penilaian responden atas perilakunya sendiri). Pemilihan responden dalam penelitian ini adala h dengan memakai metode probability sampling. Pobability sampling merupakan teknik penarikan sampel yang memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk terpilih menjadi sampel. Teknik wawancara yang dipilih adalah convenience sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, pada waktu tertentu yang cocok sebagai sumber data. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan deskriptif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengkaji keterkaitan antara dampak kenaikan kebijakan cukai pada rokok dengan permintaan rokok. Analisis ini menggunakan metode regresi berganda. Variabel yang terkait dalam penelitian ini adalah permintaan rokok yang akan dianalisis dengan teknik Ordinary Least Square (OLS). Dengan harapan mampu menjelaskan pengaruh dampak kenaikan kebijakan cukai pada rokok yang terdiri dari harga rokok (Rp), pendapatan (Rp), tingkat pendidikan (tahun), umur (tahun), lama merokok (tahun), dan jenis pekerjaan (tahun) terhadap permintaan rokok di Kota Bogor. Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Eviews. Analisis deskriptif digunakan dengan bantuan grafik dan diagram untuk memaparkan kondisi dampak kenaikan kebijakan cukai pada rokok dan permintaan rokok di Kota Bogor. Analisis Regresi Berganda Analisis regresi linier berganda merupakan suatu metode yang digunakan untuk menguraikan pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya. Penelitian ini menggunakan model Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Eviews 4.1. Menurut Gujarati (2003) terdapat beberapa asumsi yang dipergunakan dalam metode OLS, yaitu: 1. Nilai rata-rata bersyarat dari unsur gangguan populasi ui tergantung pada nilai tertentu variabel yang menjelaskan adalah nol. 2. Variasi bersyarat dari residual adalah konstan (homoskedastisitas). 3. Tidak ada korelasi berurutan (autokorelasi) dalam residual. 4. Variabel yang menjelaskan adalah nonstokastik Tidak ada linier sempurna antara variabel independen (multikolinieritas) 5. U didistribusikan secara normal dengan rata-rata dan varian yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2. Jika asumsi di atas di pertahankan maka penduga kuadrat terkecillnya merupakan penduga linier tak bias terbaik atau Best Linier Unbiassed Estimator (BLUE). Setelah mendapatkan parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah melakukan berbagai pengujian statistik, ekonomi dan ekometrika. Pengujian statistik dilakukan dengan uji signifikasi (uji t), analisis varian (uji F) dan uji koefisien determinasi (R2). Sedangkan untuk pengujian ekometrika dilakukan untuk mengestimasi parameter regresi dengan menggunakan OLS asumsi-asumsi
13 klasik. Untuk melihat ada atau tidaknya pelanggaran terhadap asumsi klasik maka harus dilakukannya uji autokorelasi, uji multikolinearitas dan uji heteroskedatisitas. Apabila terjadi pelanggaran asumsi maka akan diperoleh hasil estimasi yang tidak valid. Model Penelitian Pada penelitian ini, model yang digunakasebagai berikut: LnY = α0 + α1LnX1 + α2LnX2 + α3LnX3 + α4LnX4 + α5LnX5 + α6dummy1+ εt di mana: LnY = permintaan rokok (batang per hari) LnX1 = harga rokok (rupiah per batang) LnX2 = pendapatan (rupiah per bulan) LnX3 = tingkat pendidikan (tahun) LnX4 = umur (tahun) LnX5 = lama merokok (tahun) Dummy 1 = jenis pekerjaan (whitecollar dengan nilai 1 dan non whitecollar dengan nilai 0) εt = error terms
Pengujian Asumsi Klasik Uji asumsi klasik merupakan syarat statistik yang harus dipenuhi analisis regresi linear berganda yang berbasis ordinary least square (OLS). Selain itu, untuk mendapatkan analisis regresi linear berganda yang baik harus memenuhi kriteria BLUE (Best Leinear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai jika memenuhi kriteria berikut: 1. b1 dan b2 merupakan penaksir linear dimana penaksir tersebut merupakan fungsi linear dari variabel acak Y. 2. kedua penaksiran tidak bias yakni, E(b1) = B1 dan E(b2) = B2. Jika penerapannya dilakukan secara berulang – ulang, maka rata-rata b1 dan b2 akan sama dengan nilai B1 dan B2. 3. E( 𝜎 2) = 𝜎 2, yang artinya varians kesalahan dari OLS tidak bias. Jika penerapannya dilakukan berulang-ulang maka nilai taksiran dari varians kesalahan akan tepat sama dengan nilai varians sebenarnya. 4. b1 dan b2 merupakan penaksir efisien, yang artinya var (b1) lebih kecil daripada varians penaksir linear tak bias lainnya untuk B1 dan var (b2) lebih kecil daripada varians penaksir linear tak bias lainnya untuk B2. Dengan demikian penaksiran B1 dan B2 dengan OLS sebenarnya akan lebih tepat dibandingkan metode lainnya walaupun memberikan penaksiran tak bias juga dari parameter yang sebenarnya.
14 Uji Ekonometrika Pengujian ekonometrika dipergunakan untuk melihat ada atau tidak adanya pelanggaran terhadap asumsi klasik pada metode OLS. Pengujian ekonometrik ini meliputi: uji normalitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji multikolinearitas. Apabila terjadi pelanggaran maka diperoleh hasil estimasi yang tidak valid. 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel terkait, variabel bebas ataupun keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Jika tidak normal, maka uji statistik menjadi tidak valid atau bias terutama untuk sampel kecil. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Untuk menguji normalitas data ini menggunakan metode analisis grafik dan melihat norma probability plot. 2. Uji Autokorelasi Autokorelasi atau korelasi serial adalah suatu keadaan dimana kesalahan pengganggu dalam periode tertentu berkorelasi dengan kesalahan pengganggu dari periode lainnya. Autokorelasi juga dapat terjadi pada data cross section (Juanda 2009). Untuk mendeteksi adanya autokorelasi atau korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW statistik) dalam Eviews dan membandingkannya dengan DW tabel. Tabel 2 Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya Nilai DW Keputusan 4-dL
15 4. Uji Multikolinieritas. Dikemukakan pertama kali oleh Ragner Frish dalam bukunya Statistical Confluence Analysis by Means of Complete Regression Systems. Frish menyatakan bahwa multikololinier adalah adanya lebih dari satu hubungan linier yang sempurna. Uji Multikolinieritas diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel bebas lain dalam satu model. Kemiripan antar variabel bebas dalam suatu model akan menyebabkan terjadinya korelasi yang sangat kuat antara suatu variabel bebas dengan variabel bebas yang lain. Deteksi multikolinieritas pada suatu model dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu jika Variance Inflation Factor (VIF) tidak lebih dari 10 dan jika Tolerance tidak kurang dari 0,1, maka model dapat dikatakan terbebas dari multikolinearitas (Agung 2007). Uji Kriteria Statistik Uji hipotesis berguna untuk memeriksa atau menguji apakah koefisien regresi yang didapat signifikan (berbeda nyata) atau tidak. Maksud dari signifikanini adalah suatu nilai koefisien regresi yang secara signifikan tidak sama dengan nol. Jika koefisien slope sama dengan nol, berarti dapat dikatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan variabel bebas mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat. Oleh karena itu, untuk kepentingan tersebut semua koefisien regresi harus diuji.Ada dua jenis hipotesis terhadap regresi yang dapat dilakukan.Pertama disebut dengan uji-F, yaitu digunakan untuk menguji koefisien (slope) regresi secara bersama-sama. Kedua disebut dengan uji-t yang digunakan untuk menguji koefisien regresi termasuk intercept secara individu. 1.
2.
Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi yang dilambangkan dengan R2 adalah suatu angka yang mengukur keragaman pada variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variasi pada model regresi.Nilai ini berkisar antara nol sampai satu (0 < R2 < 1), dengan nilai yang semakin mendekati satu menunjukkan model yang terbentuk mampu menjelaskan keragaman dari variabel dependen, demikian pula sebaliknya. Koefisien determinasi dirumuskan sebagai berikut: 𝑅𝑆𝑆 𝑅 2 = 𝑇𝑆𝑆 ..................................................................... (4) di mana: RSS = Jumlah Kuadrat Regresi TSS = Jumlah Kuadrat Total Jika nilai R2 ini mendekati satu maka model akan semakin baik. Misalkan saja nilai R2 sebesar 0,98 maka sebesar 98 % keragaman variabel tak bebas (Y) dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang digunakan di dalam model. Uji-T Pengujian ini dilakukan untuk mengetahuiapakah koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas secara individu berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel terikatnya. Adapun analisis pengujiannya sebagai berikut: H0 : βk = 0 H1 : βk ≠ 0
16
3.
Kriteria uji yang digunakan adalah jika |thitung| > tα/2,(n-k) maka tolak H0, dengan jumlah observasi dilambangkan dengan huruf n, dan huruf k melambangkan jumlah variabel (termasuk intercept). Selain itu, jika probabilitas (p-value) lebih kecil dari taraf nyata maka dapat digunakan juga untuk menolak H0.Jika tolak H0 berarti variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α %, demikian pula sebaliknya. Uji-F Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen dalam model secara bersamaan berpengaruh terhadap variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji-F yaitu perbandingan nilai kritis F dengan nilai hasil F- hitung. Perumusan hipotesis untuk uji-F adalah : H0 : β1 = β2 = β3 = βk = 0 H1 : Minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol Jika Fhitung> Ftabel di mana koefisien regresi berada di luar daerah penerimaan H0 maka tolak H0, artinya variabel independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya. Jika Fhitung< Ftabel maka terima H0, artinya variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. Selain itu, jika probabilitas (p-value) < taraf nyata maka sudah cukup bukti untuk menolak H0. Jika tolak H0 berarti secara bersama-sama variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya pada taraf nyata α %, demikian pula sebaliknya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden Penelitian dilaksanakan di Kota Bogor dengan lokasi yang dipilih adalah pusat perbelanjaan (Botani Square, Ekalokasari Plaza, Bogor Trade Mall) dan Kampus IPB Darmaga. melaksanakan wawancara kepada 100 responden dengan data yang diambil untuk melengkapi penelitian ini meliputi: harga rokok yang dikonsumsi, pendapatan responden, tingkat pendidikan, umur lama merokok dan jenis pekerjaan.Data yang dibutuhkan telah dikumpulkan oleh penulis dapat dikelompokkan karakteristik responden terhadap permintaan rokok dibawah ini: Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor pembeda dari responden yang ditemukan. Dari 100 responden yang ditemui, terdapat perbedaan rasio jenis kelamin yang telah diolah dalam gambar 10.
17
Perempuan 16%
JENIS KELAMIN Laki-Laki Laki-Laki 84%
Perempuan
Sumber: Data Primer, 2014 Gambar 10 Distribusi Responden berdasarkan Kelompok Jenis Kelamin Gambar 10 menunjukkan data kelompok jenis kelamin, didapatkan 84% berjenis kelamin laki-laki yang mengkonsumsi rokok dan terdapat 16% berjenis kelamin perempuan. Permintaan rokok yang didominasi oleh responden yang berjenis kelamin laki-laki dapat diartikan bahwa laki-laki lebih banyak mengkonsumsi rokok daripada perempuan karena laki-laki mengkonsumsi rokok sebagai alternatif penghilang stres. Usia Tingkat usia responden cukup bervariasi, mulai dari dari 20 tahun ke bawah sampai yang umurnya diatas 51 tahun. Dari 100 responden yang ditemui, dapat dilihat distribusi tingkat usia telah diolah dalam gambar 11. 6% 5%
Usia (tahun)
17%
< 20 21-30 31-40
20%
52%
41-50 > 51
Sumber: Data Primer, 2014 Gambar 11 Distribusi Responden berdasarkan Kelompok Usia Gambar 11 didapatkan kelompok usia, didapatkan 6% dengan usia kurang dari 20 tahun sudah mengkonsumsi rokok, pada usia 21-30 tahun terdapat 52%, selanjutnya pada usia 31-40 tahun terdapat 20% yang mengkonsumsi rokok, pada usia 41-50 tahun data yang didapatkan terdapat 17% dan pada usia lebih dari 51 tahun terdapat 5% yang mengkonsumsi rokok. Dari data yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa banyak dari usia muda yang tergolong pada usia produktif antara 21- 40 tahun sebanyak 72% mengkonsumsi rokok dikarenakan pada usia produktif mengkonsumsi rokok merupakan sebuah gaya hidup dan rokok sebagai alternatif penghilang stres.
18 Tinggkat Pendid dikan Pendidikkan merupakan dasar ar ilmu seeseorang, dari d peneliitian yang didappatkan ditellah dilakuk kan dari 1000 responden n didapatkaan tingkat ppendidikan yangg bervariasi. Dapat dilih hat pada gam mbar 12.
Sarjan na ( S1,S2,,S3) 23% %
Diplloma 22 2%
SD 9%
SMP 16%
MA SM 30%
Sumbber: Daata Primer, 2014 2 Gam mbar 12 Diistribusi Ressponden berrdasarkan Tingkat T Pen ndidikan
Dari Gam mbar 12 laama pendidiikan, didapatkan respo onden terbaanyak yang berpeendidikan SMA S antaraa 10-12 tahhun sebesar 30%, dilan njutkan berppendidikan Sarjaana (S1,S2,S3/16-18tah hun) sebanyyak 23% dan d yang beerpendidikann Diploma (13-115 tahun) sebanyak s 22%, 2 kemuddian untuk SMP (7-9 tahun) sebbanyak 16 tahunn serta unttuk SD (1-6tahun) sebbanyak 9% %. Hasil tersebut dapat at diartikan banyyaknya perm mintaan ro okok dikalaangan SMA A disebabk kan oleh llingkungan pergaaulan disekkitar merekaa serta kuraang pemahaaman akan akibat darii rokok itu sendiiri. n Jeniss Pekerjaan Pekerjaaan respondeen bervariassi, mulai daari bekerja menjadi TN NI/POLRI, PNS sampai suppir. Dapat dilihat pada ggambar 13. Lain-lain 11% uruh Bu 10 0% Wiraswassta 9% Pegaw wai Swassta 19% %
Mahasisw wa 10% TNI/POLRII 3% PNS/Pensiu u nan 12% Pegawai P BUMN 26%
Sumbber: Datta Primer, 2014 2 Gam mbar 12 Perrsentase Responden beerdasarkan Kelompok K Jenis J Pekerj aan
Dari Gam mbar 13 jenis pekerjaaan yang did dapatkan dik kelempokkaan menjadi 8 jenis pekerjaaan, yaitu: Mahasisw wa, TNI/PO OLRI, PNS S/Pensiunann, Pegawai
19 Peneliti berfokus pada jenis pekerjaan responden yang digolongkan menjadi 2 golongan, yaitu: golongan whitecolar dan non whitecolar. Whitecolar adalah jenis pekerjaan kantoran (karyawan kantor dan PNS) didapatkan sebanyak 53% dan untuk golongan non whitecolar adalah pekerjaan lapangan (buruh dan pedagang) didapatkan sebanyak 47%. Hal tersebut dapat diartikan permintaan rokok untuk kedua golongan tersebut cukup banyak baik golongan pekerjaan kantoran maupun pekerjaan lapangan. Pendapatan Data pendapatan yang didapatkan dari responden bervariasi, mulai dari pendapatan kurang dari 1 000 000 sampai lebih dari 10 000 000. Dapat dilihat pada gambar 14. 6% 9% Pendapatan
18%
≤ 1000 000 1 000 001 - 5 000 000 5 000 001 - 10 000 000
67%
≥ 10 000 001
Sumber: Data Primer, 2014 Gambar 14 Persentase Responden berdasarkanTingkat Pendapatan Pada Gambar 14 kelompok pendapatan didapatkan beberapa kelompok pendapatan, pendapatan kurang 1 000 000 terdapat sebanyak 18%, kemudian pendapatan antara 1 000 001 - 5 000 000 sebanyak 67%, selanjutnya pendapatan diantara 5 000 001-10 000 000 sebanyak 9% dan yang lebih dari 10 000 001 sebanyak 6%. Dari data yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa walaupun memiliki pendapatan yang terggolong berada di sekitar UMR Bogor sebesar 2 369 000, atau bisa terbilang menengah keatas, tetapi rokok tetap menjadisebuah permintaan. Harga Rokok Data harga rokok yang didapatkan dari responden bervariasi, mulai dari harga kurang dari 700 sampai lebih dari 1000. Dapat dilihat pada gambar 15. 8%
Harga Rokok (rupiah) ≤700
10% 17%
701-800 801-900
3% 901-1000 62%
≥1001
Data Primer, 2014 Sumber: Gambar 15 Persentase Responden berdasarkan Harga Rokok (Rp/batang)
20 Dari Gambar 15 harga rokok didapatkan beberapa kelompok harga rokok sesuai rokok yang dibeli oleh responden. Harga rokok terendah sebesar kurang dari 700 rupiah terdapat sebanyak 10%, selanjutnya untuk harga 701-800 rupiah terdapat sebanyak 17%, untuk harga 801-900 rupiah terdapat 17% kemudian pada tingkat harga 901-1000 rupiah terdapat 62% dan pada tingkat harga rokok lebih dari 1001 rupiah terdapat 8%. Harga rokok yang bervariasi ditentukan oleh penjual rokok itu sendiri.Dan menurut studi lapang yang telah dilakukan banyak dari responden membeli rokok dalam satuan bungkus yang berisi beberapa batang daripada membeli rokok dalam satuan batang karena menurut mereka harga lebih rendah dan lebih efisien untuk beberapa kali konsumsi. Lama Merokok Data lama merokok yang didapatkan dari responden bervariasi, mulai dari harga kurang dari 700 sampai lebih dari 1000. Dapat dilihat pada gambar 16. 9%
Lama Merokok (tahun) ≤ 5 tahun
9% 40%
6-11 tahun
15% 12-17 tahun 18-23 tahun 27% ≥ 24 tahun
Data Primer, 2014 Sumber : Gambar 16 Presentase Responden berdasarkan Lama Merokok Dari Gambar 16 lama merokok didapatkan 40% responden dengan lama merokok kurang dari 5 tahun. Kemudian terdapat 27% dengan tingkat konsumsi antara 6-11 tahun, terdapat 15% dengan lama merokok 12-17 tahun. Selanjutnya terdapat 9% dengan tingkat lama merokok antara 18-23 tahun dan 9% uantuk lama merokok lebih dari 24 tahun.dari studi lapang yang telah dilakukan didapat informasi pada usia produktif itulah merupakan saat dimana seseorang mudah terpengaruh dengan lingkungan pergaulan sekitarnya. Deskripsi Respon Masyarakat terhadap Kebijakan Kenaikan Cukai Rokok Penetapan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Kemudian diperbarui pada tahun 2011, terjadi peningkatan tarif cukai rokok yang tertuang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 167/PMK.011/2011. Kebijakan kenaikan cukai terhadap komoditi rokok merupakan langkah dari pemerintah untuk menurunkan tingkat konsumsi rokok di masyarakat. Berikut respon responden terhadap penetapan kebijakan kenaikan cukai pada komoditi rokok:
21
Tidak Mengetahui 41% Mengetahui 59%
Mengetahui
Tidak Mengetahui
Sumber: Data Primer, 2014 Gambar 17 Distribusi (%) Responden Menurut Pengetahuan Penetapan Kebijakan Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat dari 100 reponden terdapat 59 orang (59%) yang mengetahui bahwa pemerintah akan meningkatkan cukai terhadap komoditi rokok yang berpengaruh langsung terhadap kenaikan harga rokok. Dan selebihnya sebanyak 41 orang (41%) tidak mengetahui bahwa pemerintah akan meningkatkan cukai terhadap komoditi rokok. Dengan demikian, masih banyak dari masyarakat yang belum mengetahui akan kebijakan peningkatan tarif cukai yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurunkan Konsumsi
Konsumsi Tetap
Konsumsi Tetap 14%
Menurunkan Konsumsi 86%
Sumber: Data Primer, 2014 Gambar 18 Distribusi (%) Responden Menurut Respon Setelah Penetapan Kebijakan. Berdasarkan Gambar 18 menunjukkan bahwa dari 100 reponden terdapat 86 orang (86%) yang menurunkan konsumsinya terhadap rokok setelah adanya penetapan kebijakan kenaikan cukai pada komoditi rokok dan sisanya terdapat 14 orang (14%) dengan konsumsi tetap terhadap rokok. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar respon dari responden memilih untuk menurunkan konsumsinya terhadap rokok apabila terjadi peningkatan harga rokok dikarenakan adanya kebijakan penetapan kenaikan tarif cukai pada komoditi rokok. Analisis Model Penelitian Uji Kriteria Ekonometrika Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda data untuk menjelaskan dampak kenaikan cukai terhadap permintaan rokok di Bogor. Variabel terikat pada penelitian ini adalah permintaan rokok (batang per hari), sedangkan variabel bebas pada penelitian ini adalah harga
22 rokok (rupiah per batang), pendapatan (rupiah per bulan), pendidikan terakhir (tahun), umur (tahun), lama merokok (tahun), dan dummy jenis pekerjaan (whitecolar dan non whitecolar ). Penelitain menggunakan analisis regresi linear berganda berbasis Ordinary Least Square (OLS). Digunakan untuk mendapatkan model terbaik maka model harus memenuhi criteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Sehingga melakukan uji criteria ekonometrika untuk menguji asumsi klasik seperti uji normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi dan untuk memastikan model memenuhi kriteria BLUE.
1. Uji Normalitas Dari hasil pengujian dapat dilihat nilai probabilitas Jarque Bera sebesar 0.561. Nilai probabilitas tersebut lebih dari taraf nyata 5%. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak H0 atau residual error terdistribusi normal di dalam model.
Sumber : Data Primer, 2014 Gambar 19 Hasil Estimasi Uji Normalitas 2. Uji Multikolinearitas Dalam menguji ada atautidaknya multikolinearitas dapat dilihat melalui nilai matriks korelasi antar variabel. Data dapat dikatakan terbebas dari multikolinearitas jika nilai VIF antara variabel terbebas <10. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai masing – masing VIF antara variabel terbebas tidak lebih dari 10 berarti model dapat digunakan terbebas dari masalah multikolinearitas atau tidak ada hubungan linear antar peubah bebasnya.
23 Tabel 3 Hasil Estimasi Uji Multikolinearitas Collinearity Statistics Variabel Dependent Variabel Independent Permintaaan Rokok (Constant)
Tolerance
VIF
Harga Rokok
.182
5.507
Pendapatan
.168
5.964
Tingkat Pendidikan
.356
2.807
Tingkat Usia
.293
3.408
Lama Merokok
.159
6.276
Jenis Pekerjaan
.105
9.522
Sumber : Data Primer yang diolah Eviews 6.0 3. Uji Heteroskedastisitas Dalam menguji masalah heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan uji-F atau meregresikan kembali model dengan Lnresid^2. Dari pengujian tersebut diperoleh nilai probabilitas sebesar 0.421 atau lebih besar dari taraf nyata 5%. Sehingga, dapat dikatakan bahwa model tersebut bebas dari masalah heteroskedastisitas yang berarti variansi error bersifat konstan. 4. Uji Autokorelasi Dalam menguji masalah autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin-Watson statistik. Dari hasil estimasi didapatkan nilai DW sebesar 1.840 atau mendekati 2 sehingga dapat dikatakan bahwa model bebas dari masalah auto korelasi. Uji Kriteria Statistik Dalam menguji validitas suatu model penelitian serta mengevaluasi model berdasarkan kriteria statistik dapat dilakukan pengujian sebagai berikut: 1. Uji Koefisien determinasi (R2) Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk menjelaskan seberapa besar variabel-variabel bebas dalam model yang dapat menjelaskan variabel terkait dalam penelitian ini. Didapatkan nilai R2 sebesar 0.971 sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan pada variabel terkait (Permintaan rokok) sebesar 97.1% dan sisanya sebesar 2.9% dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model. 2. Uji F-statistik Pengujian F-statistik digunakan untuk menguji signifikasi variabel bebas dalam memberikan pengaruh pada variabel terikat yang digunakan. Dalam penelitian.dalam pengujian F-statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0.000 atau lebih kecil dari taraf nyata 5%. Sehingga dapat dikatakan bahwa variabel pada model yang dipilih paling tidak terdapat minimal satu variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap permintaan rokok di Kota Bogor.
24 3.
Uji t-statistik Berdasarkan hasil pengujian t-statistik didapatkan hasil nilai probabilitas dari variabel pendapatan, tingkat pendidikan, usia, lama merokok dan jenis pekerjaan lebih kecil dari taraf nyata 5% dengan nilai masing-masing sebesar 0.000, 0.019, 0.000, 0.000, 0.000 sedangkan untuk variabel harga rokok memiliki nilai probabilitas sebesar 0.237 atau lebih besar dari taraf nyata 5% sehingga variabel harga rokok tidak signifikan terhadap permintaan rokok di Kota Bogor.
Pengaruh Penetapan Kebijakan Kenaikan Cukai Rokok terhadap Permintaan Rokok di Kota Bogor Dalam Uji T-statistik menunjukkan terdapat 4 variabel independen yang berpengaruh nyata atau signifikan pada taraf nyata 5% terhadap variabel terkait yaitu pendapatan, pendidikan, umur, lama merokok dan jenis pekerjaan. Berdasarkan hasil estimasi didapatkan data dari tabel diatas maka diperoleh model terbaik dari perhitungan pengaruh harga, pendapatan, tingkat pendidikan, umur, lama merokok dan pekerjaan terhadap permintaan rokok di Bogor, sebagai berikut: LnY = 0.809 + 0.062LnX1 + 0.124LnX2– 0.145LnX3– 0.334LnX4 + 0.555LnX5– 0.189dummy1 + εt
Harga Rokok Berdasarkan pengujian diperoleh bahwa harga rokok (X1) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap permintaan rokok di Kota Bogor. Hal ini dapet dilihat dari nilai koefisien yang diperoleh sebesar 0.062, sehingga dapat diartikan harga rokok tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan rokok di Kota Bogor. Hal ini tidak disesuaikan dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa kenaikan harga rokok mampu menurunkan permintaan rokok di Kota Bogor. Penetapan kebijakan kenaikan cukia terhadap komoditi rokok yang berpengaruh langsung terhadap kenaikan harga rokok merupakan salah satu cara pemerintah untuk menurunkan tingkat konsumsi rokok di masyarakat. Dari hasil pengujian diperoleh bahwa variabel harga rokok tidak signifikan yang artinya harga tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk mengkonsumsi rokok masyarakat Kota Bogor. Harga tidak memengaruhi permintaan rokok, hal tersebut disebabkan oleh tingginya tingkat kecanduan dari konsumen rokok itu sendiri, dan anggapan bahwa rokok sudah menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi bagi perokok aktif. Sehingga adanya penetapan kebijakan kenaikan tarif cukai yang berpengaruh langsung pada kenaikan harga rokok tidak berpengaruh pada permintaan rokok di Kota Bogor. Oleh sebab itu, pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan kenaikan cukai terhadap rokok yang diharapkan mampu menurunkan tingkat permintaan rokok dikalangan masyarakat.
25 Pendapatan Berdasarkan pengujian diperoleh bahwa pendapatan (X2) berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan rokok di Bogor. Hal ini dapet dilihat dari nilai koefisien yang diperoleh sebesar 0.124 yang berarti setiap kenaikan pendapatan sebesar 1% akan berdampak pada peningkatan permintaan rokok di Kota Bogor sebesar 0.124%. Hal ini tidak disesuaikan dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa kenaikan pendapatan mampu menurunkan permintaan rokok di Kota Bogor. Pendapatan yang mengalami peningkatan seharusnya dialokasikan pada pemenuhan kebutuhan barang pokok atau bisa dipergunakan untuk investasi. Tetapi dalam hasil pengujian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa peningkatan pendapatan berpengaruh positif terhadap permimembuat seseorang akan meningkatkan permintaan rokok di Kota Bogor. Dapat diambil contoh dalam kasus masyarakat menengah kebawah, apabila terjadi peningkatan pendapatan berupa bantuan dari pemerintah seperti: diberikan subsidi pada barang pokok maka pendapatan yang seharusnya pendapatan dialokasikan pada pembelian kebutuhan pokok akan dialihkan pada pembelian barang untuk memenuhi kepuasan (uttilitas) seperti rokok. Sebab rokok bagi sebagian masyarakat telah dijadikan sebuah kebutuhan alat penghilang bebn pikiran atau stress. Tingkat Pendidikan Berdasarkan pengujian diperoleh bahwa tingkat pendidikan (X3) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan rokok di Bogor. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien yang diperoleh sebesar -0.145 yang artinya setiap kenaikan tingkat pendidikan 1% akan berdampak pada penurunan permintaan rokok di Kota Bogor sebesar 0.145%. Hasil ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa meningkatkan pendidikan mampu menurunkan tingkat permintaan rokok di Kota Bogor. Pendidikan merupakan modal bagi generasi muda untuk mendapatkan ilmu baik formal maupun non formal. Maka apabila pemerintah mampu memberikan jaminan pendidikan bagi generasi muda dengan wajib belajar (seperti: program BOS atau beasiswa bagi siswa berprestasi atau kurang mampu) maka akan menurunkan presentase perokok dikalangan remaja. Sebab dengan pendidikan, generasi muda lebih mampu memahami dampak dari mengkonsumsi rokok bagi kesehatan. Umur Berdasarkan pengujian diperoleh bahwa umur (X4) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan rokok di Bogor. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien yang diperoleh sebesar -0.334 yang artinya setiap kenaikan umur sebesar 1% akan berdampak pada penurunan permintaan rokok di Kota Bogor sebesar 0.334%. Hasil ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa peningkatan umur mampu menurunkan tingkat permintaan rokok di Kota Bogor.
26 Tingkat umur yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya yang berpengaruh langsung terhadap kesehatan merupakan salah satu alasan seseorang mampu menurunkan tingkat konsumsinya terhadap rokok. Sebab seseorang baru menyadari bahwa rokok sangat berbahaya bagi kesehatan, setelah terjadi penurunan kesehatan di usia tuanya. Lama merokok Berdasarkan pengujian diperoleh bahwa lama merokok (X5) berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan rokok di Kota Bogor. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien yang diperoleh sebesar 0.522 yang artinya setiap kenaikan lama merokok 1% akan berdampak pada kenaikan permintaan rokok di Kota Bogor sebesar 0.522 %. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa peningkatan lama merokok mampu menurunkan tingkat permintaan rokok di Kota Bogor. Kegiatan mengkonsumsi rokok dapat menyebabkan gangguan pernafasan, kanker hingga kematian. Dalam hasil pengujian yang telah dilakukan bahwa lama merokok berpengaruh positif terhadap permintaan rokok, dapat diartikan bila semakin lama seseorang merokok maka permintaan akan rokok juga akan mengalami peningkatan. Hal tersebut disebabkan oleh zat yang terkandung dalam sebuah rokok yang menyebabkan kecanduan dan akibat zat tersebut perokok akan susah untuk berhenti mengkonsumsi rokok. Jenis Pekerjaan Berdasarkan pengujian diperoleh bahwa jenis pekerjaan (Dummy1) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan rokok di Bogor. Nilai koefisien yang diperoleh sebesar 0.189 yang berarti permintaan rokok jenis pekerjaan non whitecolar (non pekerja kantoran) lebih banyak daripada jenis pekerjaan whitecolar (pekerja kantoran) sebesar 0.189 satuan. Hasil ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa jenis pekerjaan kantoran (whitecolar) akan lebih kecil permintaan rokoknya daripada jenis pekerjaan lapangan (non whitecolar). Jenis pekerjaan lapangan (non whitecolar) seperti contohnya buruh, supir dan satpam memiliki konsumsi rokok lebih tinggi daripada jenis pekerjaan kantoran (whitecolar) seperti contohnya karyawan kantor dan pns. Hal tersebut dikarenakan jenis pekerjaan lapangan (non whitecolar) lebih didominasi oleh masyarakat yang memiliki pendidikan lebih rendah daripada jenis pekerjaan kantoran (whitecolar). Sebab dengan memiliki keterbatasan pendidikan maka banyak yang menganggap sebuah masalah menjadi beban pikiran dan memilih rokok sebagai alat penghilang beban pikiran (stress) yang sedang dialami saat tersebut.
27 SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN. Penetapan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 167/PMK.011/2011 yang berpengaruh langsung pada peningkatan harga rokok diharapkan mampu menrunkan permintaan rokok. Namun dalam pengujian yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa harga rokok tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan rokok di Kota Bogor. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kebijakan peningkatan cukai pada komoditi rokok tidak memiliki dampak terhadap permintaan rokok atau dengan kata lain kebijakan kenaikan cukai pada rokok tidak efektif untuk menurunkan permintaan rokok di Kota Bogor. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah meninjau ulang penetapan kebijakan kenaikan cukai sebagai cara untuk menurunkan tingkat permintaan rokok di Kota Bogor. Pengujian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen memperoleh hasil bahwa faktorfaktor yang berpengaruh pada permintaan rokok ialah: pendapatan, tingkat pendidikan, usia, lama merokok dan jenis pekerjaan yang memiliki hubungan yang nyata dan signifikan terhadap permintaan rokok di Kota Bogor.
28 SARAN Saran dari peneliti adalah agar pemerintah lebih memperhatikan implikasi kebijakan yang diambil, terutama dalam hal kebijakan peningkatan cukai pada rokok yang berpengaruh langsung terhadap kenaikan harga. Peningkatan tarif cukai yang dikenakan berpengaruh langsung baik pada perusahaan rokok maupun pada konsumen rokok itu sendiri. Dalam pengambilan keputusan pemerintah juga harus memperhatikan perusahaan rokok tersebut agar mampu menjadi solusi terbaik bagi seluruh pihak. Serta bagi konsumen ataupun perokok aktif kenaikan harga pada komoditi rokok tidak akan mempengaruhi permintaannya terhadap rokok, karena rokok sudah tergolong sebagai barang inelastis yang keberadaannya sudah menjadi suatu kebutuhan. Oleh sebab itu, peneliti menyarankan agar pemerintah lebih berfokus pada pemberian pendidikan untuk generasi muda, karena dari hasil penelitian bahwa pendidikan salah satu variabel yang berpengaruh positif dan signifikan maka dengan peningkatan pendidikan generasi muda mampu memahami bahaya rokok dengan diadakannya sosialisasi bahaya rokok atau pelajaran khusus tentang pentingnya menjaga kesehatan, sosialisasi tersebut dapat dilakukan baik disekolah, melalui media televisi atau media periklanan yang lain. Untuk masa mendatang, diharapkan peneliti berikutnya melakukan penelitian dengan cakupan wilayah yang lebih luas, lebih detail dan menggunakan metode yang lebih baik demi tercapainya tujuan penelitian yang ingin dicapai.
29 DAFTAR PUSTAKA Agung N, B. 2007. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Ananda, K S. 2014 Kurang Jumlah Perokok dengan Naikkan Pajak Rokok, Efektifkah. Jakarta. [Internet] [diunduh 2014 Juli 5]. Tersedia pada: http://merdeka.com Anggreani, D. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Rokok Kretek Di Kota Parepare [Skripsi]. Ilmu Ekonomi dan Bisnis, Universitas Hasanuddin: Makassar. Arios, R. 2011. Analisis Perilaku Merokok Pria Usia 18-24 Tahun Dan Implikasinya pada Strategi Pengendalian Tembakau. [Skripsi] IPB. Bogor. Buana, A S. 2013. Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai Rokok Kretek terhadap Harga,Penawaran, dan Permintaan Komoditas Rokok Kretek dan Komoditas Tembakau serta Kesejahteraan Masyarakat. [Skripsi]. Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB: Bogor. Britton, J. R. 2007. Tobacco smoking, harm reduction, and nicotine product regulation. Lancet. London (UK): Elsevier Deny, S. 2014. Menperin Kukuh Jalankan Road Map Industri Tembakau hingga 2025. Jakarta. [Internet] [diunduh 2014 Juli 15]. Tersedia pada: http://bisnis. liputan6.com [DJBC] Direktorat Jendral Bea dan Cukai. 2011. Cukai Rokok Nasional, Berbagai Edisi. Jakarta (ID): DJBC Gujarati, D.N. 2006. Dasar Ekonometrika Ed ke-3. Julius A Mulyadi [Penerjemah]. Jakarta (ID): Erlangga. Juanda, B. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaa. Bogor (ID): IPB Pr Lipsey, R G. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 1.Jakarta: Bina Pura Aksara Mankiw, N. G. 2000. Pengantar Ekonomi Jilid I. Jakarta (ID): Erlangga. McEachern, William A. 2001. Ekonomi Mikro: Pendekatan Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.Suhariyadi dan Purwanto S.K. 2003. Statistika untuk Ekonomi dan Keuangan Modern. Jilid 1. Jakarta (ID): Salemba Empat. Petrus, P L. 2014. Penerimaan Cukai Rokok Naik, Komentar Dirjen Pajak. Jakarta [Internet]. [diunduh: 2014 April 2]. Tersedia pada: http://economy. okezone.com. Suhardi. 1995. Perilaku Merokok di Indonesia menurut Susenas dan SKRT 1995. Jakarta (ID): Cermin Dunia Kedokteran. Surjono, Nasruddin, dan Piping S. 2013. Dampak Pendapatan dan Harga Rokok terhadap Tingkat Konsumsi Rokok pada Rumah Tanggga Miskin di Indonesi. Jakarta (ID): BPPK Soeratno dan Lincolin A. 1995. Metodologi Penelitian Untuk ekonomi dan Bisnis. UPP Akademi Manajemen Perusahaan. Yogyakarta (ID): YKPN Ulfah, R, 2012. Perkembangan Konsumsi Rokok di Kalangan Masyarakat Ekonomi Rendah. Jakarta [Internet] [diunduh: 2014 Maret 18] Tersedia pada: http://kesehatan.kompasiana.co’m/medis. Wilkins, N., Yurekli, A. And Hu, T., 2000. Economic Analysis of Tobacco, in Economics of Tobacco Toolkit, edited ny Yurekli and de Beyer. Washington DC (US): World Bank.
30 LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Estimasi Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parametersa
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. Sumber : Data Primer yang diolah Eviews 6.0
Unstandardized Residual 100 0.0044722 0.49604707 0.079 0.036 -0.079 0.790 0.561
Lampiran 2 Hasil Estimasi Uji Heteroskedastisitas Model
Sum of Squares
Df Mean Square
F
1.014 0.421a
1 Regression
.580
6
.097
Residual
8.873
93
.095
Total 9.453 99 Sumber : Data Primer yang diolah Eviews 6.0
Lampiran 3 Gambar Uji Heteroskedastisitas
Sumber : Data Primer yang diolah Eviews 6.0
Sig.
31
Lampiran 4 Hasil Estimasi Uji Autokolinearitas Adjusted Std. Error Model R R Square R Square of the Estimate 1 0.985a 0.971 0.969 1.01194 Sumber : Data Primer yang diolah Eviews 6.0
DurbinWatson 1.840
Lampiran 5 Hasil Estimasi Uji Koefisien Korelasi (R-square) R Adjusted Std. Error of Model R Square R Square the Estimate Durbin-Watson 1 0.985a 0.971 0.969 1.01194 1.840 Sumber : Data Primer yang diolah Eviews 6.0
Lampiran 6 Hasil Estimasi Uji F-statistic Model Sum of Squares 1 Regression 3150.446 Residual 95.234 Total 3245.680
Df
Mean Square 525.074 1.024
6 93 99
F
Sig.
512.756 0.000a
Sumber : Data Primer yang diolah Eviews 6.0
Lampiran 7 Hasil Estimasi Uji T-statistic
Unstandardized Coefficients Model B Constant 0.809 lnX1 0.062
Std. Error
Standardizd Coefficient Beta
0.594
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance VIF
1.362 0.176
0.052
.050
1.189 0.237
.182 5.507
lnX2
0.124
0.024
.219
5.052 0.000
.168 5.964
lnX3
-0.145
0.061
-.071
-2.394 0.019
.356 2.807
lnX4
-0.334
0.051
-.216
-6.577 0.000
.293 3.408
0.522 0.026 .882 19.823 0.000 Dummy -0.189 0.050 -.208 -3.799 0.000 Sumber : Data Primer yang diolah Eviews 6.0
.159 6.276 .105 9.522
lnX5
32 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Novia La Prima, lahir pada tanggal 22 November 1991 di Bojonegoro, Jawa Timur. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan Bapak Ig. Suhartono dan Ibu Sri Apriwatie, Spd. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Kadipaten 1 Bojonegoro tahun 2004. Kemudian melanjutkanke SMP Katholik “St. Tharsisius” Bojonegoro, lulus pada tahun 2007. Penulis selanjutnya diterima di SMA Negeri 4 Bojonegoro, dan lulus tahun 2010. Pada tahun 2010, melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima di perguruan tinggi tersebut melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). IPB menjadi pilihan penulis dengan harapan agar penulis memperoleh ilmu serta pola pikir yang baik sehingga akhirnya menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan daerah asal yaitu Bojonegoro. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan seperti koor mahasiswa Puella Domini Choir, keluarga mahasiswa katholik KEMAKI dan koperasi mahasiswa KOPMA. Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan yakni seperti menjadi staff Divisi Sponsorship dalam perhelatan HIPPOTESA Exihibition in Revolution (9TH HIPOTEX-R) tahun 2012, serta berkesempatan menjadi Ketua Divisi Konsumsi Natal CIVA tahun 2013. Selama masa kuliah, penulis juga mengukir beberapa prestasi seperti menjadi juara Harapan II dalam Lomba Paduan Suara Magnificat Choir Competition (MCC) seJabotabek tahun 2011 dan Lolos PKM bidang pengabdian masyarakat (PKM-M) didanai DIKTI 2014.