ANALISIS DAKWAH TERHADAP KONSEP TAWAKAL T.M. HASBI ASH SHIDDIQIE
SKRIPSI untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)
MAHFUDZ YASIN 1102106
FAKULTAS DA'WAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008
NOTA PEMBIMBING Lamp : 5 (eksemplar) Hal
: Persetujuan Naskah Usulan Skripsi Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Da’wah IAIN Walisongo Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan bahwa skripsi saudara : Nama NIM Jurusan
: Mahfudz Yasin : 1102106 : DA’WAH /BPI
Judul Skripsi :
ANALISIS
DAKWAH
TERHADAP
KONSEP
TAWAKAL T.M. HASBI ASH SHIDDIQIE Dengan ini telah saya setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikian atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Semarang, Januari 2008 Pembimbing, Bidang Substansi Materi,
Bidang Metodologi & Tatatulis,
Drs. Ali Murtadho M.Pd NIP. 150 274 618
Yuli Nur Khasanah, S.Ag. M.Hum NIP. 150 280 102
ب
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS DAKWAH SEMARANG Jl. Prof. Dr. Hamka km.2 (Kampus III) Ngalian 50159 Semarang
PENGESAHAN Skripsi Saudari
: Mahfudz Yasin
NIM
: 1102106
Fak/Jurusan
: DA’WAH /BPI
Dengan Judul
: ANALISIS DAKWAH TERHADAP KONSEP TAWAKAL T.M. HASBI ASH SHIDDIQIE
Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang pada tanggal: 30 Januari 2008 Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan Studi Program Sarjana Strata 1 (S1) guna memperoleh gelar sarjana Sosial Islam dalam Ilmu Dakwah.
Ketua Sidang,
Semarang, Pebruari 2008 Dewan Penguji, Sekretaris Sidang,
Drs. Ali Murtadho M.Pd NIP. 150 274 618
Yuli Nur Khasanah, S.Ag. M.Hum NIP. 150 280 102
Penguji I,
Penguji II,
Drs. H. Abdul Ghofier Romas NIP. 150 070 388
Dra. Mariyatul Qibtiyah, M.Pd. NIP. 150 273 103
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Ali Murtadho M.Pd NIP. 150 274 618
Yuli Nur Khasanah, S.Ag. M.Hum NIP. 150 280 102
ج
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka
Semarang, Januari 2008
Mahfudz Yasin
د
MOTTO
(23 :ﲔ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ ﺆ ِﻣِﻨ ﻣ ﻢﻮ ﱠﻛﻠﹸﻮﹾﺍ ﺇِﻥ ﻛﹸﻨﺘ ﺘﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﹶﻓ ﻭ Artinya: Dan hanya kepada Allahlah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS. al-Maidah: 23) (Depag RI, 1989: 162).
ﻩ
PERSEMBAHAN Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah mendapat dorongan dan semangat dari keluarga dan karib kerabat sehingga dapat merampungkan tulisan ini. Tanpa bantuan moril tentunya akan mengalami berbagai hambatan baik menyangkut teknis maupun waktu. Atas dasar itu ucapan terima kasih ditujukan kepada: 1. Bapak dan Ibuku tercinta Bapak Sinwan, S.Ag, dan Ibu Mustofiyah terimakasih atas kasih sayang dan perhatiannya, yang selalu menerbangkan doa-doa untukku dalam siang dan malam, dan senantiasa mengiringi setiap langkahku dengan restunya, selalu memberikan bantuan baik moral maupun materiil demi tercapainya cita-citaku.
…….Yang semuanya itu takkan
mampu terbalas oleh apapun. 2. Adik-adikku yang selalu memotivasiku, Anisah Nurul Husna dan Nur Laily Rahmawati….kalian selalu yang membuat aku semangat dalam melanjutkan hidup
yang
lebih
baik
dari
sekarang,
kalianlah
penyejuk
hatiku,
penyemangatku dan kebahagiaanku, semoga selalu sehat dan panjang umur. 3. Temen-temen yang tidak kusebutkan satu persatu yang selalu bersama-sama dengan kalian takkan kulupa dan akan selalu ku rindukan…………
Penulis
و
ABSTRAKSI Menurut ajaran Islam, tawakal merupakan landasan atau tumpuan terakhir dalam sesuatu usaha atau perjuangan, manusia harus berserah diri kepada Allah setelah menjalankan ikhtiar. Yang menjadi perumusan masalah yaitu bagaimana konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie? Bagaimana relevansi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie dengan dakwah? Penelitian skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah filosofis dan bimbingan konseling Islam. Sumber datanya yaitu: berupa literatur dari karya-karya T.M. Hasbi ash Shiddiqie yaitu al-Islam; Mutiara-Mutiara Hadis; Tafsir al-Qur'an al Majid an Nur; Soal Jawab Agama Islam; dan Pengantar Ilmu Tauhid. Metode analisis data menggunakan metode deskriptif analisis yaitu menggambarkan dan menguraikan Konsep Tawakal T.M. Hasbi Ash Shiddiqie dan hubungannya dengan dakwah. Hasil pembahasan menunjukkan, konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie sebagaimana telah diungkapkan ada beberapa hal penting yang dapat diambil dari konsepnya yaitu: pertama, pengertian tawakal; kedua, tawakal dalam mencari rizki yang halal; dan ketiga, perintah berusaha dan bekerja. Menurut Hasbi jika mencermati al-Qur'an surat 3 ayat 159 (AliImran/3:159). Allah meletakkan tawakal, sesudah bermusyawarah. Sesudah berembuk dengan luas dan dalam serta dengan penuh pertimbangan yang matang dan akurat, dalam memecahkan sesuatu urusan atau masalah dan telah mendapat kata sepakat untuk melaksanakannya, barulah bertawakal. Adapun terhadap soal yang di luar jangkauan atau kesanggupan manusia untuk memecahkan atau menghindarinya. Ringkasnya, tawakal diharuskan di ketika keadaan di luar kemampuan manusia untuk merubahnya dan tidak diharuskan semasih ada kemungkinan dan kemampuan untuk mengubahnya. Orang-orang yang pasrah dan tidak berusaha, hanya semata-mata mendakwa bertawakal kepada Allah, adalah orang-orang yang dusta. Apabila konsep tawakal Hasbi dihubungkan dengan dakwah maka jika menengok berbagai musibah di Indonesia tampaknya konsep Hasbi memiliki keterkaitan yang erat dengan dakwah. Keterkaitan tersebut akan semakin tampak jika menengok berbagai musibah yang tengah melanda Indonesia. Lengser tanah dan banjir telah menghiasi berbagai media. Bisa dilihat peristiwa bencana alam yang susul menyusul menjadikan Indonesia terkesan sebagai negara seribu bencana. Inilah barangkali perlu adanya penerangan para da'i tentang betapa pentingnya dan besar hikmahnya bila manusia bersikap tawakal dalam arti yang benar. Karena realita menunjukkan ada pula manusia yang keliru dalam mempersepsi tawakal, ia hanya bertopang dagu mengharap datangnya rizki dari langit, tampak kepasrahan tanpa usaha telah meminggirkan manusia itu dari persaingan hidup yang makin keras. Namun juga ada yang anti tawakal sehingga mereka mengutuk dan menyudutkan arti makna sebuah kehidupan. Potret buram dalam mempersepsi berbagai peristiwa musibah ini merupakan realita yang mengkhawatirkan..
ز
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang yang senantiasa telah menganugerahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis dalam rangka menyelesaikan karya skripsi dengan judul “ANALISIS DAKWAH TERHADAP KONSEP TAWAKAL T.M. HASBI ASH SHIDDIQIE”. Karya skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) bidang jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya,
para
sahabatnya,
dan
orang-orang
yang
mengikuti
jejak
perjuangannya. Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa bersyukur atas bantuan dan dorongan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi penulis dengan baik. Oleh karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Rektor IAIN Walisongo, yang telah memimpin lembaga tersebut dengan baik 2. Bapak Drs. H.M. Zain Yusuf, M.M. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. 3. Bapak Drs. Ali Murtadho M.Pd selaku dosen pembimbing I dan Ibu Yuli Nur Khasanah, S.Ag. M.Hum selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan membimbing dengan keikhlasan dan kebijaksanaannya meluangkan waktu, waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan pengarahan-pengarahan hingga terselesaikannya skripsi ini. 4. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademik Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan yang baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
ح
5. Kepala perpustakaan IAIN Walisongo Semarang serta pengelola perpustakaan Fakultas Dakwah yang telah memberikan pelayanan kepustakaan dengan baik. 6. Ayahanda dan Ibunda yang tercinta, adinda. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan yang ideal dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Penulis
ط
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN........................................................................ iv HALAMAN MOTTO .................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi ABSTRAKSI................................................................................................... vii HALAMAN KATA PENGANTAR.............................................................. viii HALAMAN DAFTAR ISI............................................................................. x BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah..................................................................... 6 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................... 6 1.4. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 7 1.5. Metode Penelitian ........................................................................ 11 1.6. Sistematika Penulisan .................................................................. 15 BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG DAKWAH DAN TAWAKAL 2.1. Dakwah........................................................................................ 17 2.1.1. Pengertian Dakwah .......................................................... 17 2.1.2. Tujuan Dakwah ................................................................ 20 2.1.3. Unsur-Unsur Dakwah....................................................... 23 2.2. Tawakal ...................................................................................... 32 2.2.1. Pengertian Tawakal .......................................................... 32 2.2.2. Macam-Macam Tawakal.................................................. 35 2.2.3. Tingkatan-Tingkatan Tawakal ......................................... 41 BAB III: KONSEP TAWAKAL TM. HASBI ASH SHIDDIQIE 3.1. Biografi TM.Hasbi Ash Shiddiqie, Pendidikan dan Karyanya ................................................................................... 45 3.2. Konsep Tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie ............................ 59
ي
3.2.1. Pengertian Tawakal .......................................................... 59 3.2.2. Tawakal dalam Mencari Rizki yang Halal ....................... 64 3.2.3. Perintah Berusaha dan Bekerja......................................... 66 BAB IV: ANALISIS TERHADAP KONSEP TAWAKAL T.M. HASBI ASH SHIDDIQIE DAN RELEVANSINYA DENGAN DAKWAH 4.1. Konsep Tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie................................. 72 4.2. Relevansi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie dengan Dakwah......................................................................................... 87 BAB V : PENUTUP 5.1. Kesimpulan.................................................................................. 100 5.2. Saran-Saran.................................................................................. 101 5.3. Penutup ........................................................................................ 101
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
ك
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Seorang yang bertawakal, hatinya menjadi tenteram, karena yakin akan keadilan dan rahmat-Nya, oleh karena itu, Islam menetapkan iman harus diikuti dengan sifat tawakal sebagaimana Firman Allah:
(23 :ﲔ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ ﺆ ِﻣِﻨ ﻣ ﻢﻮ ﱠﻛﻠﹸﻮﹾﺍ ﺇِﻥ ﻛﹸﻨﺘ ﺘﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﹶﻓ ﻭ Artinya: Dan hanya kepada Allahlah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS. al-Maidah: 23)
(13 :ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺘﻐﺎﺑﻦﺆ ِﻣﻨ ﻤ ﻮﻛﱠ ِﻞ ﺍﹾﻟ ﺘﻴﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓ ﹾﻠ ﻭ ﻮ ﻪ ِﺇﻟﱠﺎ ﻫ ﻪ ﻟﹶﺎ ِﺇﹶﻟ ﺍﻟﱠﻠ Artinya: Allah tidak ada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-orang mu'min bertawakkal kepada Allah saja. (QS. al-Taghabun/64: 13). Menurut ajaran Islam, tawakal merupakan landasan atau tumpuan terakhir dalam sesuatu usaha atau perjuangan, manusia harus berserah diri kepada Allah setelah menjalankan ikhtiar (Nasution, 1978: 170). Meskipun tawakal diartikan sebagai penyerahan diri dan ikhtiar sepenuhnya kepada Allah SWT, namun tidak berarti orang yang bertawakal harus meninggalkan semua usaha dan ikhtiar. Menurut Syukur (2000: 173) adalah keliru jika tawakal diartikan sebagai sikap pasrah kepada Allah SWT tanpa diiringi dengan usaha maksimal.
1
2
Tawakal dalam pengertian di atas meliputi paling tidak dua unsur yaitu berserah pada Allah Swt dan ikhtiar, inilah tawakal yang menjadi das sollen (suatu keharusan). Dalam al-Qur'an, Allah Swt menegaskan:
(159 :ﷲ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ ِ ﻋﻠﹶﻰ ﺍ ﻮﻛﱠ ﹾﻞ ﺘﺖ ﹶﻓ ﻣ ﺰ ﻋ ﻣ ِﺮ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﻢ ﻓِﻲ ﺍ َﻷ ﻫ ﺭ ﺎ ِﻭﻭﺷ Artinya: Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada setiap urusan, apabila engkau telah berketetapan hati, maka menyerah dirilah engkau kepada Allah. (Q,S. Ali-Imran/3:159).
Orang yang bertawakal kepada Allah SWT tidak akan berkeluh kesah dan gelisah. la akan selalu berada dalam ketenangan, ketenteraman, dan kegembiraan. Jika memperoleh nikmat dan karunia dari Allah SWT, ia akan bersyukur, dan jika tidak atau kemudian misalnya mendapat musibah, ia akan bersabar. la menyerahkan semua keputusan, bahkan dirinya sendiri kepada Allah SWT. Penyerahan diri itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan semata-mata karena Allah Swt. Keyakinan utama yang mendasari tawakal adalah keyakinan sepenuhnya akan kekuasaan dan kemahabesaran Allah SWT. Karena itulah tawakal merupakan bukti nyata dari tauhid. Di dalam batin orang yang bertawakal tertanam iman yang kuat bahwa segala sesuatu terletak di tangan Allah Swt dan berlaku atas ketentuan-Nya. Tidak seorang pun dapat berbuat dan menghasilkan sesuatu tanpa izin dan kehendak Allah SWT, baik berupa hal-hal yang memberikan manfaat atau mudarat dan menggembirakan atau mengecewakan.
3
Menurut para ulama kalam dan fikih, hikmah dan keutamaan tawakal antara lain membuat seseorang penuh percaya diri, memiliki keberanian dalam menghadapi setiap persoalan, memiliki ketenangan dan ketenteraman jiwa, dekat dengan Allah SWT dan menjadi kekasih-Nya, dipelihara, ditolong, dan dilindungi Allah SWT, diberikan rezeki yang cukup, dan selalu berbakti dan taat kepada Allah SWT (Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 6,1997: 1815). Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, orang yang tawakal akan mampu menerima dengan sabar segala macam cobaan dan musibah. Berbagai musibah dan malapetaka yang melanda Indonesia telah dirasakan masyarakat. Bagi orang yang tawakal maka ia rela menerima kenyataan pahit, sementara yang menolak dan atau tidak tawakal, ia gelisah dan protes dengan nasibnya yang kurang baik. Realita fenomena di masyarakat terjadi suatu kesenjangan antara teori yang mengharuskan ikhtiar maksimal dengan pasrah diri sepenuhnya tanpa usaha. Dengan kata lain kenyataan menunjukkan bahwa persepsi yang berkembang di sebagian masyarakat yaitu tawakal merupakan bentuk pasrah diri pada Allah Swt namun tanpa ikhtiar. Persepsi yang keliru ini mengakibatkan umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak mampu bersaing dengan dinamika zaman. Kenyataan ini dapat dijumpai dalam kehidupan se hari-hari. Dalam masyarakat bergulir sebuah anggapan bahwa tawakal yang sesungguhnya adalah kepasrahan seorang hamba terhadap Allah SWT tanpa perlu usaha. Banyak orang yang diam bertopang dagu, mereka beranggapan
4
bahwa jika sudah menjadi rizkinya maka ia tidak akan kemana-mana. Sebaliknya apabila bukan rizkinya maka dikejar pun akan lari dan menjauh. Kekeliruan persepsi dan interpretasi seperti ini merupakan salah satu fenomena ketidakmampuan manusia itu dalam berkompetisi di tengah-tengah masyarakat yang makin kompleks. Bertitik tolak dari fenomena tersebut, tawakal mempunyai kaitan yang erat dengan dakwah. Berbicara tawakal tidak dapat dipisahkan dengan dakwah. Karena masih banyak orang yang tawakal secara berlebihan, ia terlalu memasrahkan dirinya dalam berbagai hal namun tanpa ikhtiar atau usaha sama sekali. Tawakal bukan hanya berserah diri melainkan ia perlu usaha dahulu secara maksimal baru kemudian tawakal. Kenyataan menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara teori tawakal yang mengharuskan usaha atau ikhtiar dengan realita yang ada di masyarakat yaitu tawakal tanpa usaha. Urgensi dakwah dengan konsep tawakal yaitu dakwah dapat memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana tawakal yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah maka kekeliruan dalam memaknai tawakal dapat dikurangi. Problematika masyarakat sekarang ini bukan saja menyangkut masalah materi, tetapi juga menyangkut masalah-masalah psikologis. Hal ini disebabkan oleh semakin modern suatu masyarakat maka semakin bertambah intensitas dan eksistensitas dari berbagai disorganisasi dan disintegrasi sosial masyarakat (Ahyadi, 1991: 177). Kondisi ini telah mengakibatkan makin
5
keringnya ruhani manusia dari agama. Itulah sebabnya, Umary (1980: 52) merumuskan bahwa dakwah adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang. Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah usaha-usaha
perbaikan
dan
pembangunan
masyarakat,
memperbaiki
kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidak wajaran
dalam
masyarakat.
Dengan
demikian,
dakwah
berarti
memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6). Dengan dakwah maka kekeliruan persepsi dapat diluruskan, dalam hal ini persepsi tentang tawakal. Atas dasar itu untuk mewujudkan dakwah tentang tawakal yang benar maka perlu adanya pemahaman konsep tawakal yang jelas dan sesuai dengan al-Qur'an dan hadis. Dari sekian banyaknya konsep tawakal, maka konsep TM. Hasbi AshShiddiqie menarik untuk dikaji. Alasannya karena konsepnya jelas dan lugas. Hal ini tidak berarti konsep pakar lainnya kurang menarik dan jelas. Namun, konsep TM. Hasbi Ash-Shiddiqie bisa dijadikan salah satu alternatif materi dakwah dalam konteksnya dengan tawakal dan musibah yang kerap terjadi di Indonesia.
6
Alasan penulis memilih judul ini adalah karena adanya kesenjangan antara teori yang melandasi konsep tawakal dengan realita adanya penafsiran yang keliru bahwa tawakal hanya diberi makna pasrah diri pada Allah Swt tanpa ada ikhtiar atau usaha. Kekeliruan ini perlu diluruskan antara lain melalui dakwah. Penulis tertarik dengan konsep Ash-Shiddiqie (2001: 535) yang menempatkan tawakal pada saat keadaan di luar kemampuan manusia untuk merubahnya dan tidak diharuskan semasih ada kemungkinan dan kemampuan untuk merubahnya. Orang-orang yang pasrah dan tidak berusaha, hanya semata-mata mendakwa bertawakal kepada Allah, adalah orang-orang yang dusta. Berdasarkan keterangan di atas mendorong penulis memilih tema ini dengan judul: "Analisis Dakwah terhadap Konsep Tawakal T.M. Hasbi Ash Shiddiqie". 1.2. Perumusan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas ada beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan yaitu: a. Bagaimana konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie? b. Bagaimana relevansi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie dengan dakwah? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut: a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie
7
b. Untuk mengetahui serta menganalisis relevansi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie dengan dakwah Manfaat penelitian: a. Secara teoritis, yaitu diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang tata cara memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir maupun batin dengan berlandaskan diri pada konsep tawakal. b. Secara praktis, yaitu diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pada masyarakat tentang tawakal dalam mensikapi musibah yang melanda di Indonesia. 1.4. Tinjauan Pustaka Sepanjang pengetahuan peneliti, dalam penelitian di Perpustakaan IAIN Walisongo, belum ditemukan skripsi yang temannya sama menyangkut tawakal. Sedangkan yang ada hanya membahas tokoh T.M. Hasbi ash Shiddiqie tetapi dalam tema yang sangat berbeda sehingga tidak ada sama sekali hubungannya dengan tema tawakal. Namun demikian sejauh yang peneliti ketahui telah banyak penelitian yang membahas konsep tawakal namun belum ada yang menyentuh dan menganalisis pemikiran T.M. Hasbi ash Shiddiqie tentang tawakal. Dalam skripsi yang disusun Retno Wahyunigsih (NIM 4197027/AF) dengan judul: Hubungan Kausalitas Antara Tawakal dan Takdir dalam Perspektif Jabariyah dan Qadariyah. Pada intinya penulis skripsi ini menjelaskan bahwa yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana hubungan antara tawakal dan takdir dam perspektif Jabariyah dan Qadariyah.
8
Metode penelitian ini menggunakan metode komparasi dan hermeneutic. Menurut penyusun skripsi ini, kekeliruan umum orang terhadap tawakal dan takdir itu ialah segala nasib baik dan buruk seseorang, atau muslim/kafirnya manusia, telah ditetapkan secara pasti oleh Allah. Manusia adalah ibarat robot Allah. Maka segala kenyataan hidup haruslah diterima apa adanya dengan sabar. Dengan begitu manusia harus tawakal dalam arti pasrah diri tanpa reserve. Kekeliruan ini misalnya terdapat dalam pendirian kaum Jabariyah, dimana menurutnya manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Konsep jabariyah cenderung memaknai tawakal secara over dosis dan inilah bagian paham yang memukul umat Islam dalam berkompetisi dengan dunia Barat. Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sebaliknya kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Konsep ini pada hakekatnya menafikan konsep tawakal. Dengan demikian dalam paham tersebut bahwa Allah ta’ala tidak mengetahui segala apa jua pun yang diperbuat oleh manusia dan tidak pula yang diperbuat oleh manusia itu dengan kudrat dan iradah Allah ta’ala. Bahkan manusialah yang mengetahui serta mewujudkan segala apa yang diamalkannya itu dan semuanya dengan
9
kudrat iradat manusia sendiri. Tuhan sama sekali tidak campur tangan di dalam membuktikan amalan-amalan itu. Abdullah bin Umar ad-Dumaiji (guru besar Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas Ummul Qura) dalam disertasinya yang berjudul atTawwakul Alallah wa Alaqatuhu bi al-Asbab dan diterjemahkan oleh Kamaluddin, menjelaskan bahwa sikap manusia terhadap perkara tawakal ini amat beraneka ragam, di antara mereka ada sekelompok manusia yang telah takluk dengan kehidupan materi yang melampaui batas hingga menimbulkan kesengsaraan seperti yang telah terjadi pada masa-masa terakhir ini, hal yang membawa mereka amat menggantungkan hidup dengan harta di mana untuk mendapatkannya harus dengan permusuhan dan tumpahan darah, demi harta manusia rela mengunci akal dan hati yang ada dalam dirinya. Sikap seperti ini amat jelas pengaruhnya pada hati yaitu hati menjadi asing untuk melakukan tawakal kepada Allah, keterasingan ini mengendalikan manusia untuk tidak mau mensucikan jiwanya dengan mengingat Allah, mereka hanya mengandalkan otak dan merasa bangga dengan apa yang mereka miliki yang berupa pengetahuan, mereka hanya melihat kehidupan dunia yang dengannya mereka mendapatkan ketenangan hidup, mereka lupa atau melupakan bahwa Allah akan melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan Allah. Sebaliknya, di antara manusia ada yang merasa puas dengan duduk berdiam diri, senang menunda-nunda pekerjaan, kemalasan dan kebodohan menyelimuti diri mereka, walaupun demikian mereka tetap mencari-cari alasan atau dalih untuk membenarkan apa yang mereka lakukan dengan dalih
10
bahwa mereka bertawakal kepada Allah, mereka menganggap bahwa tawakal adalah meninggalkan sarana dan usaha, yang mendatangkan keuntungan materi atau harta. Singkatnya mereka sudah merasa puas dengan rizki yang didapat dari orang lain dan dari sedekah-sedekah yang mereka terima, mereka hidup di sudut-sudut kehidupan dan terpencil dari dinamika kehidupan (adDumaiji, 2007: xiii – xiv). Sejalan dengan temuan tersebut, As'-Syarif (2006: 110) dalam disertasinya yang berjudul al-Ibadah al-Qalbiyah wa Atsaruha fi Hayatil Mu'minin menguraikan pengaruh-pengaruh tawakal. Menurutnya, tawakal kepada Allah memberikan pengaruh yang sangat besar, antara lain: ketenangan, ketenteraman, kekuatan, kemuliaan, ridla dan harapan. Akan tetapi menurutnya untuk meraih tawakal memiliki sejumlah rintangan, dan rintangan-rintangan inilah yang menghambat tawakal, antara lain: bodoh terhadap Allah dan keagunganNya, terpedaya oleh nafsu, bersandar kepada makhluk, cinta kepada kehidupan duniawi dan terpedaya olehnya. Dengan mencermati uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian yang penulis susun. Perbedaannya yaitu penelitian terdahulu belum mengungkap konsep T.M. Hasbi ash Shiddiqie tentang tawakal dan hubungannya dalam menghadapi musibah.
11
1.5. Metode Penelitian a. Jenis, Pendekatan dan Spesifikasi Penelitan Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 1997: 3). Dalam penelitian ini, data tidak diwujudkan dalam bentuk angka, namun data-data tersebut diperoleh dengan penjelasan dan berbagai uraian yang berbentuk tulisan maupun lisan. Untuk mencapai tujuan penelitian digunakan pendekatan filosofis, sedangkan spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif karena pada penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. b. Definisi Operasional Untuk lebih dapat memperjelas dalam penelitian ini, maka penulis mendefinisikan judul secara konsep sebagai berikut: tawakal adalah menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam (Hamka, 1990: 232-233). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tawakal adalah penyerahan segala perkara, ikhtiar, dan usaha yang dilakukan kepada Allah Swt serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya untuk mendapatkan kemaslahatan atau menolak kemudaratan. Adapun definisi operasionalnya ditunjukkan dengan indikator yang meliputi:
12
(1). Pasrah diri kepada Allah (2). Pasrah secara ikhlas (3). Berikhtiar dahulu baru kemudian pasrah (4) Bersihnya diri dari penyakit su'uzan pada Allah (5)
Berserah
diri
sepenuhnya
pada
Allah
untuk
mendapatkan
perlindungannya. Adapun musibah adalah kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa manusia berupa malapetaka atau bencana. Berdasarkan pengertian ini maka indikator musibah terdiri dari: (1) Adanya peristiwa yang menyedihkan (2) Peristiwa tersebut sama sekali tidak dikehendaki manusia (3) Datangnya sulit diprediksi secara matematis c. Sumber Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data kepustakaan yang digunakan untuk memperoleh data teoritis yang dibahas. Sumber data yang dimaksud yaitu konsep tawakal. Untuk itu sebagai jenis datanya sebagai berikut: 1. Data Primer, sejumlah buku karya T.M. Hasbi ash Shiddiqie, yaitu alIslam; Mutiara-Mutiara Hadis; Tafsir al-Qur'an al Majid an Nur; Soal Jawab Agama Islam; dan Pengantar Ilmu Tauhid. Dalam buku al-Islam dapat dijumpai bab khusus yang membahas tawakal. Pada dasarnya buku ini memuat tiga dimensi yaitu tentang arkanul Islam, arkanul iman, tasawuf, dan akhlak. Untuk memperkuat konsep
13
tawakal, maka beberapa hadis yang dapat dicuplik dengan menggunakan
rujukan
Mutiara-Mutiara
Hadis,
dan
untuk
memperjelas kandungan ayat-ayat tentang tawakal maka penulis menggunakan pula Tafsir al-Qur'an al Majid an Nur. Dalam pembahasannya akan merujuk pula pada Soal Jawab Agama Islam. Meskipun disadari bahwa dalam buku itu Hasbi hanya memuat persoalan tawakal tidak lebih dari setengah halaman. Namun setidaknya dapat dijadikan bagian dalam memotret konsep dan cara berpikir Hasbi. Untuk memperluas hubungan tawakal dalam berbagai paham yang berkembang maka konsep qadariyah dan jabariyah yang menjadi kajian tauhid dapat pula dibahas selintas kilas.karena tawakal sangat erat kaitannya dengan konsep takdir. 2.
Data Sekunder yaitu sejumlah kepustakaan yang relevan dengan skripsi ini namun sifatnya hanya pendukung, di antaranya: Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Trancendental Intelligence); Etos Kerja
Pribadi
Muslim;
Fuad
Hasan,
Berkenalan
Dengan
Eksistensialisisme; Al-Gazali, Ihya ‘Ulumuddin; Amrullah Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial; Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar; Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam; Raymond Corsino, Psikoterapi Dewasa Ini; Zakiyah Daradjat, Peranan
Agama
dalam
Kesehatan
Menyucikan Jiwa Konsep Ulama Salaf
Mental;
Ahmad
Faried,
14
d. Teknik Pengumpulan Data Menurut Suryabrata (1998: 84), kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya. Berpijak dari keterangan tersebut, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi. e. Teknik Analisis Data Data ini dianalisis secara deskriptif yaitu menggambarkan dan menguraikan Konsep Tawakal T.M. Hasbi Ash Shiddiqie dan hubungannya dengan dakwah. Oleh karena itu pengumpulan dan analisis data dilakukan secara bersamaan, bukan terpisah sebagaimana penelitian kuantitatif di mana data dikumpulkan terlebih dahulu, baru kemudian dianalisis. Analisis deskriptif dalam penelitian ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: menemukan pola atau tema tertentu. Artinya peneliti berusaha menangkap karakteristik pemikiran T.M. Hasbi ash Shiddiqie dengan cara menata dan melihatnya berdasarkan dimensi suatu bidang keilmuan sehingga dapat ditemukan pola atau tema tertentu. Mencari hubungan logis
konsep T.M. Hasbi ash Shiddiqie dalam
berbagai bidang, sehingga dapat ditemukan alasan mengenai konsep tawakal tersebut. Di samping itu, peneliti juga berupaya untuk menentukan arti di balik konsep tersebut berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang mengitarinya. Mengklasifikasikan dalam arti membuat pengelompokan konsep T.M. Hasbi ash Shiddiqie sehingga
15
dapat dikelompokkan ke dalam berbagai aspek (Fuchan, Maimun, 2005: 59 – 61) 1.6. Sistematika Penulisan Agar penelitian ini dapat mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan, maka disusun sistematika sedemikian rupa secara sistematis yang terdiri dari lima bab, masing-masing bab merefleksikan titik berat yang berbeda namun dalam satu kesatuan. Bab kesatu berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara global namun holistik dengan memuat: latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian (jenis, pendekatan dan spesifikasi penelitian; definisi operasional; sumber dan jenis data; teknik pengumpulan data; teknik analisis data) dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan umum tentang dakwah dan tawakal yang meliputi dakwah (pengertian dakwah, tujuan dakwah, unsur-unsur dakwah), tawakal (pengertian tawakal, macam-macam tawakal, tingkatan-tingkatan tawakal). Bab ketiga berisi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie yang meliputi biografi T.M. Hasbi ash Shiddiqie, pendidikan dan karyakaryanya, karakteristik pemikiran T.M. Hasbi ash Shiddiqie, konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie (pengertian tawakal, tawakal dalam mencari rizki yang halal, perintah berusaha dan bekerja).
16
Bab keempat berisi analisis terhadap konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie dan relevansinya dengan dakwah yang meliputi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie, relevansi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie dengan dakwah. Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan, saran dan penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DAKWAH DAN TAWAKAL
2.1. Dakwah 2.1.1. Pengertian Dakwah Dalam pengertian keagamaan, dakwah memasukkan aktifitas tablîgh (penyiaran), tatbîq (penerapan/pengamalan) dan tandhîm (pengelolaan) (Sulthon, 2003: 15). Kata dakwah berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar (infinitif) dari kata kerja da'â ( ) دﻋﺎyad'û ( ) ﻳ ﺪﻋﻮdi mana kata dakwah ini sekarang sudah umum dipakai oleh pemakai Bahasa Indonesia, sehingga menambah perbendaharaan Bahasa Indonesia (Munsyi, 1981: 11). Kata da'wah ( ) دﻋ ﻮةsecara harfiyah bisa diterjemahkan menjadi:
"seruan,
ajakan,
panggilan,
undangan,
pembelaan,
permohonan (do'a) (Pimay, 2005: 13). Sedangkan secara terminologi, banyak pendapat tentang definisi dakwah, antara lain: Ya'qub (1973: 9), dakwah adalah mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan RasulNya. Menurut Anshari (1993: 11), dakwah adalah semua aktifitas manusia muslim di dalam berusaha merubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT dengan disertai kesadaran dan tanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan terhadap Allah SWT.
17
18
Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju perikehidupan yang Islami (Hafidhuddin, 2000: 77). Dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami (Rais, 1999: 25). Oleh karena itu Abu Zahrah menegaskan bahwa dakwah Islamiah itu diawali dengan amar ma'rû‘f dan nâhî‘ munkar, maka tidak ada penafsiran logis lain lagi mengenai makna amar ma'rû‘f kecuali mengesakan Allah secara sempurna, yakni mengesakan pada zat sifatNya (Zahrah, 1994: 32). Lebih jauh dari itu, pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (Achmad, 1983: 2). Keaneka ragaman pendapat para ahli seperti tersebut di atas meskipun terdapat kesamaan ataupun perbedaan-perbedaan namun bila dikaji dan disimpulkan bahwa dakwah merupakan kegiatan yang dilakukan secara ikhlas untuk meluruskan umat manusia menuju pada
19
jalan yang benar. Untuk dakwah diupayakan dapat berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi mad'u. Adapun pijakan dasar pelaksanaan dakwah adalah al-Qur'an dan Hadits. Di dalam dua landasan normatif tersebut terdapat dalil naqli yang ditafsirkan sebagai bentuk perintah untuk berdakwah. Dalam al-Qur'an dan Hadits juga berisi mengenai tata cara dan pelaksanaan kegiatan dakwah. Perintah untuk berdakwah kali pertama ditunjukkan kepada utusan Allah, kemudian kepada umatnya baik secara umum, kelompok atau organisasi. Dasar hukum pelaksanaan dakwah tersebut antara lain: 1. Perintah dakwah yang ditujukan kepada para utusan Allah tercantum pada al-Quran Surat Al Maidah ayat 67:
ـﺎﻌ ﹾﻞ ﹶﻓﻤ ﺗ ﹾﻔ ﻢ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﹶﻟ ﻚ ﺭِّﺑ ﻦ ﻚ ِﻣ ﻴﻧ ِﺰ ﹶﻝ ِﺇﹶﻟﺎ ﺃﹸﺑِّﻠ ﹾﻎ ﻣ ﻮ ﹸﻝﺮﺳ ﺎ ﺍﻟﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ﻡ ﻮ ﻬﺪِﻱ ﺍﹾﻟﻘﹶـ ﻳ ﷲ ﻟﹶﺎ َ ﺱ ِﺇﻥﱠ ﺍ ِ ﺎﻦ ﺍﻟﻨ ﻚ ِﻣ ﺼﻤ ِ ﻌ ﻳ ﷲ ُ ﺍ ﻭﺘﻪﺎﹶﻟﺖ ِﺭﺳ ﻐ ﺑﻠﱠ ﻦ ﺍﹾﻟﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳ Artinya: “Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (Depag, 2004: 120). 2. Perintah dakwah yang ditunjukkan kepada umat Islam secara umum tercantum dalam al-Qur'an Surat An-Nahl ayat 125.
20
ﻢ ـﺎ ِﺩﹾﻟﻬﻭﺟ ﻨ ِﺔﺴ ـﻮ ِﻋ ﹶﻈ ِﺔ ﺍﹾﻟﺤ ﻤ ﺍﹾﻟﻤ ِﺔ ﻭ ﺤ ﹾﻜ ِ ﻚ ﺑِﺎﹾﻟ ﺭِّﺑ ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﻉ ِﺇﻟﹶﻰ ﺩ ﺍ ﻮ ـﻭﻫ ﺳﺒِﻴِﻠ ِﻪ ﻦ ﻋ ﺿﻞﱠ ﻦ ﻤ ِﺑﻋﹶﻠﻢ ﻮ ﹶﺃ ﻚ ﻫ ﺑﺭ ِﺇﻥﱠﺴﻦ ﺣ ﻲ ﹶﺃ ﺑِﺎﱠﻟﺘِﻲ ِﻫ َ ﺘﺪِﻳﻦﻬ ﺑِﺎﹾﻟﻤﻋﹶﻠﻢ ﹶﺃ Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan yang Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berbantahlah kepada mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalannya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Depag, 2000: 282). 3. Perintah dakwah yang ditujukan kepada muslim yang sudah berupa panduan praktis tercantum dalam hadits:
ﺳﻌِﻴ ٍﺪ ﻗﹶـﺎ ﹶﻝ ﻮﻦ ﹶﺃﺑ ﻋ ﺏ ٍ ﻬﺎ ﺑ ِﻦ ِﺷ ﻕ ِ ﻦ ﻃﹶﺎ ِﺭ ﻋ ﺴِﻠ ٍﻢ ﺑ ِﻦ ﻣ ﺲ ِ ﻴﻦ ﹶﻗ ﻋ ﻢ ﻨ ﹸﻜﺭﹶﺃﻯ ِﻣ ﻦ ﻣ ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺭﺳ ﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﻊ ﹶﻓِﺒ ﹶﻘ ﹾﻠِﺒ ِﻪ ﺘ ِﻄﺴ ﻳ ﻢ ﺎِﻧ ِﻪ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﻟﻊ ﹶﻓِﺒِﻠﺴ ﺘ ِﻄﺴ ﻳ ﻢ ﻴ ِﺪ ِﻩ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﻟﻩ ِﺑ ﺮ ﻐِّﻴ ﻴﺍ ﹶﻓ ﹾﻠﻨ ﹶﻜﺮﻣ (ﺎ ِﻥ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﺍﹾﻟِﺈﳝﻌﻒ ﺿ ﻚ ﹶﺃ ﻭ ﹶﺫِﻟ Artinya: “Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, apabila tidak mampu (mencegah dengan tangan) maka hendaklah ia merubah dengan lisannya, dan apabila (dengan lisan) tidak mampu maka hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman’.(HR. Muslim) (Muslim, t.th: 50). 2.1.2. Tujuan Dakwah Ketika merumuskan pengertian dakwah, Amrullah Ahmad menyinggung tujuan dakwah adalah untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran individual dan
21
sosiokultural dalam rangka terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan (Ahmad, 1991: 2). Kedua pendapat di atas menekankan bahwa dakwah bertujuan untuk mengubah sikap mental dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi lebih baik atau meningkatkan kualitas iman dan Islam seseorang secara sadar dan timbul dari kemauannya sendiri tanpa merasa terpaksa oleh apa dan siapa pun. Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa amanah suci berupa menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan akhlak yang dimaksudkan ini tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri sebab hanya kepada al-Qur'an-lah setiap pribadi muslim itu akan berpedoman. Atas dasar ini tujuan dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik individu maupun masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu perbuatan sesuai dengan ajaran tersebut (Tasmara, 1997: 47). Secara umum tujuan dakwah dalam al-Qur'an adalah: Aziz (2004: 68). 1. Dakwah bertujuan untuk menghidupkan hati yang mati. Allah berfirman:
...ﻢ ﺤﻴِﻴ ﹸﻜ ﻳ ﺎﺎﻛﹸﻢ ِﻟﻤﺩﻋ ﻮ ِﻝ ِﺇﺫﹶﺍﺮﺳ ﻭﻟِﻠ ﻮﹾﺍِﻟﹼﻠ ِﻪﺘﺠِﻴﺒﺳ ﻮﺍﹾﺍﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎﹶﺃﻳ (14:)ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ
22
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, patuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu ...". (QS. al Anfal: 24) (Depag RI,1978: 264 ). 2. Agar manusia mendapat ampunan dan menghindarkan azab dari Allah.
(7 : )ﻧﻮﺡ...ﻢ ﻬ ﺮ ﹶﻟ ﻐ ِﻔ ﺘﻢ ِﻟ ﻬﻮﺗ ﻋ ﺩ ﺎﻲ ﹸﻛﱠﻠﻤﻭِﺇﻧ Artinya: Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka ... (QS Nuh: 7) (Depag RI,1978: 978). 3. Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
ـﻦﺏ ﻣ ِ ﺍـﺰﻦ ﺍ َﻷﺣ ﻭ ِﻣ ﻚ ﻴﺎ ﺃﹸﻧ ِﺰ ﹶﻝ ِﺇﹶﻟﻮ ﹶﻥ ِﺑﻤﺮﺣ ﻳ ﹾﻔ ﺏ ﺎﻢ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ ﻫ ﺎﻴﻨﺗﻦ ﺁ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻭ ـ ِﻪﻭِﺇﹶﻟﻴ ﻮﺩﻋ ﻴ ِﻪ ﹶﺃﻙ ِﺑ ِﻪ ِﺇﹶﻟ ﺷ ِﺮ ﻻ ﺃﹸﻪ ﻭ ﺪ ﺍﻟﹼﻠ ﻋﺒ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﺃﺮﺕ ﺎ ﺃﹸ ِﻣﻧﻤ ﹸﻗ ﹾﻞ ِﺇﻀﻪ ﻌ ﺑ ﻨ ِﻜﺮﻳ (36ﺏ )ﺍﻟﺮﻋﺪ ِ ﺂﻣ Artinya: Orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka, bergembira dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu, dan di antara golongan-golongan Yahudi Jang bersekutu ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (QS. ar Ra'd: 36) (Depag RI,1978: 375). 4. Untuk menegakkan agama dan tidak terpecah-belah.
ﺎﻴﻨﺻ ﻭ ﺎﻭﻣ ﻚ ﻴﺎ ِﺇﹶﻟﻴﻨﺣ ﻭ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹶﺃﻮﺣﹰﺎ ﻭﻰ ِﺑ ِﻪ ﻧﻭﺻ ﺎﻳ ِﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﺪ ﻣ ﻉ ﹶﻟﻜﹸﻢ ﺮ ﺷ ﻋﻠﹶـﻰ ﺮ ﺮﻗﹸﻮﺍ ﻓِﻴ ِﻪ ﹶﻛﺒ ﺘ ﹶﻔﺗ ﻭﻟﹶﺎ ﻦ ﻳﻮﺍ ﺍﻟﺪﻰ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﺃﻗِﻴﻤﻭﻋِﻴﺴ ﻰﻮﺳﻭﻣ ﻢ ﺍﻫِﻴﺑﺮِﺑ ِﻪ ِﺇ (13 :)ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ... ﻴ ِﻪﻢ ِﺇﹶﻟ ﻫ ﻮﺪﻋ ﺗ ﺎﲔ ﻣ ﺸ ِﺮ ِﻛ ﺍﹾﻟﻤ Artinya: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
23
wahyukan kepadamu dan apa Jang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya..." (QS Asy Syura: 13) (Depag RI,1978: 786). 5. Mengajak dan menuntun ke jalan yang lurus.
(73:ﺘﻘِﻴ ٍﻢ )ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥﺴ ﻣ ﻁ ٍ ﺍﺻﺮ ِ ﻢ ِﺇﻟﹶﻰ ﻫ ﻮﺪﻋ ﺘﻚ ﹶﻟ ﻧﻭِﺇ Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka ke jalan yang lurus. (QS. al-Mukminun: 73) (Depag RI,1978: 534). 6. Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah ke dalam lubuk hati masyarakat.
ﻭﻟﹶﺎ ﻚ ﺑﺭ ﻉ ِﺇﻟﹶﻰ ﺩ ﺍﻚ ﻭ ﻴﺖ ِﺇﹶﻟ ﺪ ِﺇ ﹾﺫ ﺃﹸﻧ ِﺰﹶﻟ ﻌ ﺑ ﺕ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ِ ﺎﻦ ﺁﻳ ﻋ ﻚ ﻧﺼﺪ ﻳ ﻭﻟﹶﺎ (87 :ﲔ )ﺍﻟﻘﺼﺺ ﺸ ِﺮ ِﻛ ﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﻦ ِﻣ ﻧﺗﻜﹸﻮ Artinya: Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orangorang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. al-Qashshas: 87) (Depag RI,1978: 612).
2.1.3. Unsur-Unsur Dakwah Unsur-unsur dakwah adalah segala aspek yang ada sangkut pautnya dengan proses pelaksanaan dakwah, dan sekaligus menyangkut tentang kelangsungannya (Anshari, 1993: 103). Unsur-unsur tersebut adalah
da'i
(pelaku
dakwah),
mad'u
(obyek
dakwah),
materi
dakwah/maddah, wasîlah (media dakwah), tharîqah (metode), dan atsar (efek dakwah).
24
a. Da'i (pelaku dakwah) Kata da'i ini secara umum sering disebut dengan sebutan mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam) namun sebenarnya sebutan ini konotasinya sangat sempit karena masyarakat umum cenderung mengartikan sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan seperti penceramah agama, khatib (orang yang berkhutbah), dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian dua pakar dalam bidang dakwah, yaitu: 1. Hasymi, juru dakwah adalah para penasihat, para pemimpin dan pemberi periingatan, yang memberi nasihat dengan baik, yang mengarang dan berkhutbah, yang memusatkan kegiatan jiwa raganya dalam wa'ad dan wa’id (berita pahala dan berita siksa) dan dalam membicarakan tentang kampung akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia (Hasymi, 1984: 186). 2. M.
Natsir,
pembawa
dakwah
merupakan
orang
yang
memperingatkan atau memanggil supaya memilih, yaitu memilih jalan yang membawa pada keuntungan (Natsir, tth: 119). Dalam kegiatan dakwah peranan da'i sangatlah esensial, sebab tanpa da'i ajaran Islam hanyalah ideologi yang tidak terwujud dalam kehidupan masyarakat. "Biar bagaimanapun baiknya ideologi Islam yang harus disebarkan di masyarakat, ia akan tetap sebagai ide, ia akan
25
tetap sebagai cita-cita yang tidak terwujud jika tidak ada manusia yang menyebarkannya" (Ya'qub, 1981: 37). b. Mad'u (penerima dakwah) Unsur dakwah yang kedua adalah mad'u, yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama Islam maupun tidak; atau dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Sesuai dengan firman Allah QS. Saba' 28:
ﺱ ِ ﺎﺮ ﺍﻟﻨ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﻧﺬِﻳﺮﹰﺍﻭ ﺑﺸِﲑﹰﺍ ﺱ ِ ﺎﻙ ِﺇﻟﱠﺎ ﻛﹶﺎﻓﱠ ﹰﺔ ﻟﱢﻠﻨ ﺎﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺎ ﹶﺃﻭﻣ (28 :ﻮ ﹶﻥ )ﺳﺒﺄﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﻟﹶﺎ Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba: 28) (Depag RI,1978: 683). Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama Islam; sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman, Islam, dan ihsan. Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat disebut mad'u dakwah daripada sebutan objek dakwah, sebab sebutan yang kedua lebih mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan orang lain sebagai kawan berpikir tentang keimanan, syari'ah, dan akhlak kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama.
26
Al-Qur'an mengenalkan kepada kita beberapa tipe mad'u. Secara umum mad'u terbagi tiga, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik (DEPAG RI, 1993: 5). Dari tiga klasifikasi besar ini mad'u masih bisa dibagi lagi dalam berbagai macam pengelompokan. Orang mukmin umpamannya bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: dzâlim linafsih, muqtashid, dan sâbiqun bilkhairât. Kafir bisa dibagi menjadi kafir zimmi dan kafir harbi (DEPAG RI, 1978: 890). Mad'u (obyek dakwah) terdiri dari berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu, menggolongkan mad'u sama dengan menggolongkan manusia itu sendiri, profesi, ekonomi, dan seterusnya. Penggolongan mad'u tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Dari segi sosiologis, masyarakat terasing, pedesaan, perkotaan, kota kecil, serta masyarakat di daerah marjinal dari kota besar. 2. Dari struktur kelembagaan, ada golongan priyayi, abangan dan santri, terutama pada masyarakat Jawa. 3. Dari segi tingkatan usia, ada golongan anak-anak, remaja, dan golongan orang tua. 4. Dari segi profesi, ada golongan petani, pedagang seniman, buruh, pegawai negeri. 5. Dari segi tingkatan sosial ekonomis, ada golongan kaya, menengah, dan miskin. 6. Dari segi jenis kelamin, ada golongan pria dan wanita.
27
7. Dari segi khusus ada masyarakat tunasusila, tunawisma, tunakarya, narapidana, dan sebagainya (Arifin, 2000: 3). c. Media Dakwah Media
dakwah,
yaitu
alat
yang
dipergunakan
untuk
menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada mad'u (Syukir, 1983: 163). Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah. Ya'qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak: 1. Lisan, inilah wasilah dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya. 2. Tulisan, buku majalah, surat kabar, surat menyurat (korespondensi) spanduk, flash-card, dan sebagainya. 3. Lukisan, gambar, karikatur, dan sebagainya. 4. Audio visual, yaitu alat dakwah yang merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, televisi, film, slide, ohap, internet, dan sebagainya. 5. Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad'u (Ya'qub, 1973: 42-43).
28
Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Media (terutama media massa) telah meningkatkan intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi dilakukan umat manusia begitu luas sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televisi, internet dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan alat-alat tersebut telah melekat tak terpisahkan dengan kehidupan manusia di abad ini. d. Thariqah (metode) Hal yang sangat erat kaitannya dengan metode wasilah adalah metode dakwah thariqah (metode) dakwah. Kalau wasilah adalah alatalat yang dipakai untuk mengoperkan atau menyampaikan ajaran Islam maka thariqah adalah metode yang digunakan dalam dakwah. Abdul Kadir Munsyi, mengartikan metode sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu (Munsyi, 1982: 29). Sedangkan dalam metodologi pengajaran ajaran Islam disebutkan bahwa metode adalah "Suatu cara yang sistematis dan umum terutama dalam mencari kebenaran ilmiah". Dalam kaitannya dengan pengajaran ajaran Islam, maka pembahasan selalu berkaitan dengan hakikat penyampaian materi kepada peserta didik agar dapat diterima dan dicerna dengan baik.
29
Metode adalah cara yang sistematis dan teratur untuk pelaksanaan suatu atau cara kerja (Pius Partanto, 1994: 461). Dakwah adalah cara yang digunakan subjek dakwah untuk menyampaikan materi dakwah atau biasa diartikan metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da'i untuk menyampaikan materi dakwah yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu dalam komunikasi metode dakwah ini lebih dikenal sebagai approach, yaitu cara-cara yang dilakukan oleh seorang da'i atau komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang (Tasmara, 1997: 43). Dengan kata lain, pendekatan dakwah harus bertumpu pada satu pandangan human oriented menetapkan penghargaan yang mulia pada diri manusia. Hal tersebut didasari karena Islam sebagai agama salam yang menebarkan rasa damai menempatkan manusia pada prioritas utama, artinya penghargaan manusia itu tidaklah dibeda-bedakan menurut ras, suku, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang tersirat dalam QS. al-Isra' 70; "Kami telah muliakan Bani Adam (manusia) dan Kami bawa mereka itu di daratan dan di lautan. Kami juga memberikan kepada mereka dan segala rezeki yang baik-baik. Mereka juga Kami lebihkan kedudukannya dari seluruh makhluk yang lain" (Depag RI,1978: 435). Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam
30
menyampaikan
suatu
pesan
dakwah,
metode
sangat
penting
peranannya, suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan. Maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih dalam memakai metode sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah. Ketika membahas tentang metode dakwah pada umumnya merujuk pada surah an-Nahl (QS.16:125)
ﻢﺎ ِﺩﹾﻟﻬﻭﺟ ﻨ ِﺔﺴ ﺤ ﻮ ِﻋ ﹶﻈ ِﺔ ﺍﹾﻟ ﻤ ﺍﹾﻟﻤ ِﺔ ﻭ ﺤ ﹾﻜ ِ ﻚ ﺑِﺎﹾﻟ ﺑﺭ ﺳﺒِﻴ ِﻞ ﻉ ِﺇﻟِﻰ ﺩ ﺍ ـﺒِﻴِﻠ ِﻪﻦ ﺳﺿﻞﱠ ﻋ ﻦ ِﺑﻤﻋﹶﻠﻢ ﻮ ﹶﺃ ﻚ ﻫ ﺑﺭ ِﺇﻥﱠﺴﻦ ﺣ ﻲ ﹶﺃ ﺑِﺎﱠﻟﺘِﻲ ِﻫ (125 :ﻦ )ﺍﻟﻨﺤﻞ ﺘﺪِﻳﻬ ﻤ ﺑِﺎﹾﻟﻋﹶﻠﻢ ﻮ ﹶﺃ ﻭﻫ Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Depag RI,1978: 421). Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu: a) hikmah b) mau'izah al-hasanah c) mujadalah billati hiya ahsan e. Atsar (efek dakwah) Setiap aksi dakwah akan menimbulkan reaksi (Aziz, 2004: 138). Demikian jika dakwah telah dilakukan oleh seorang da'i dengan materi dakwah, wasîlah, tharîqah tertentu maka akan timbul respons dan efek (atsar) pada mad'u, (penerima dakwah). Atsar itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti bekasan/sisa, atau
31
tanda. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu ucapan atau perbuatan yang berasal dari sahabat atau tabi'in yang pada perkembangan selanjutnya dianggap sebagai hadis, karena memiliki ciri-ciri sebagai hadis (Nata, 1998: 363). Atsar (efek) sering disebut dengan feed back (umpan balik) dari proses dakwah ini sering kali dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da'i. Kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan maka selesailah dakwah. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis atsar dakwah maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya, dengan menganalisis atsar dakwah secara cermat dan tepat maka kesalahan strategis dakwah akan segera diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya (corrective action) demikian juga strategi dakwah termasuk dalam penentuan unsur-unsur dakwah yang dianggap baik dapat ditingkatkan. Apa saja yang seharusnya dievaluasi dari pelaksanaan dakwah tidak lain adalah seluruh komponen dakwah yang dikaitkan dengan tujuan dakwah yang ingin dicapai. Dalam upaya mencapai tujuan dakwah maka kegiatan dakwah selalu diarahkan untuk mempengaruhi tiga aspek perubahan diri objeknya, yakni perubahan pada aspek
32
pengetahuannya (knowledge), aspek sikapnya (attitude) dan aspek perilakunya (behavioral). Berkenaan
dengan
hal
tersebut,
Jalaluddin
Rahmat,
menyatakan: Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak, yang meliputi segala yang berhubungan dengan emosi, sikap, serta nilai. Efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berperilaku (Rahmat, 1982: 269).
2.2. Tawakkal 2.2.1. Pengertian Tawakal Secara etimologi, kata tawakal dapat dijumpai dalam berbagai kamus dengan variasi sebagai berikut: dalam Kamus Al-Munawwir, disebut
ﺗﻮآّﻞ ﻋﻠﻰ اﷲ
(bertawakal, pasrah kepada Allah) (Al-
Munawwir, 1997: 1579). Dalam Kamus Arab Indonesia karya Mahmud Yunus (1973: 506), ( ﺗﻮآّﻞ – اﺗّﻜﻞ ﻋﻠﻰ اﷲmenyerahkan diri, tawakal kepada Allah). Dalam Kamus Indonesia Arab, tawakal dari kata: ﺗﻮآّﻼ- ( ﺗﻮآّﻞ – ﻳﺘﻮآّﻞAlkalali, 1987: 548). Sedangkan dalam Kamus Al-Fikr, Indonesia-Arab-Inggris, tawakal berarti berserah kepada Allah (( )ﺗﻮآّﻞ ﻋﻠﻰ اﷲSunarto, 2002: 754).
33
Menurut Poerwadarminta (1976: 1026) tawakal berarti berserah (kepada kehendak Tuhan), dengan segenap hati percaya kepada Tuhan terhadap penderitaan, percobaan dan lain-lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tawakal adalah pasrah diri kepada kehendak Allah dan percaya sepenuh hati kepada Allah (Depdiknas, 2002: 1150). Sedangkan dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia, tawakal berarti jika segala usaha sudah dilakukan maka harus orang menyerahkan diri kepada Allah yang Mahakuasa (Muhammad Zain, tth: 956). Menurut terminologi, terdapat berbagai rumusan tentang tawakal, hal ini sebagaimana dikemukakan Hasyim Muhammad (2002: 45) dalam bukunya yang berjudul "Dialog Tasawuf dan Psikologi": Ada banyak pendapat mengenai tawakal. Antara lain pandangan yang menyatakan bahwa tawakal adalah memotong hubungan hati dengan selain Allah. Sahl bin Abdullah menggambarkan seorang yang tawakal di hadapan Allah adalah seperti orang mati di hadapan orang yang memandikan, yang dapat membalikkannya kemanapun ia mau. Menurutnya, tawakal adalah terputusnya kecenderungan hati kepada selain Allah. Beberapa definisi lain dapat dikemukakan di bawah ini: a. Amin Syukur (2000: 173) dalam bukunya yang berjudul " Pengantar Studi Islam" dengan singkat menyatakan, tawakal artinya memasrahkan diri kepada Allah. Dalam buku lainnya yang berjudul "Tasawuf Bagi Orang Awam" merumuskan "tawakal" adalah membebaskan hati dari ketergantungan kepada selain Allah SWT, dan menyerahkan segala keputusan hanya kepada-Nya (QS. Hud/11:123).
34
b. Imam Qusyairi (2002: 228 – 229) dalam bukunya yang berjudul Risalah Qusyairiyyah menjelaskan bahwa: menurut Abu Nashr AsSiraj Ath-Thusi, syarat tawakal sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Turab An-Nakhsyabi adalah melepaskan anggota tubuh dalam penghambaan, menggantungkan hati dengan ketuhanan, dan bersikap merasa cukup. Apabila dia diberikan sesuatu, maka dia bersyukur, Apabila tidak, maka dia bersabar. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yang dimaksud tawakal adalah meninggalkan hal-hal yang diatur oleh nafsu dan melepaskan diri dari daya upaya dan kekuatan. Seorang hamba akan selalu memperkuat ketawakalannya apabila mengerti bahwa Allah Swt. selalu mengetahuinya dan melihat segala sesuatu. Abu Ja'far bin Farj mengatakan, "Saya pernah melihat seorang laki-laki yang mengetahui Unta Aisyah karena dia sangat cerdik. la dipukul dengan cambuk. Saya bertanya kepadanya, "dalam keadaan bagaimana sakitnya pukulan lebih mudah diketahui?' Dia menjawab, 'Apabila kita dipukul karena dia, maka tentu dia mengetahuinya". Husin bin Manshur pernah bertanya kepada Ibrahim Al-Khawwash, "Apa yang telah engkau kerjakan dalam perjalanan dan meninggalkan padang pasir?" "Saya bertawakal dengan memperbaiki diriku sendiri." c. Al-Kalabadzi (1990: 125) dalam bukunya mengetengahkan berbagai definisi tentang tawakal, seperti: Sirri al-Saqti berkata: "Tawakal adalah pelepasan dari kekuasaan dan kekuatan." Ibn Masruq berkata: "Tawakal
35
adalah kepasrahan kepada ketetapan takdir." Sahl berkata: "Kepercayaan berarti merasa tenang di hadapan Tuhan." Abu Abdillah al-Qurasyi berkata: "Kepercayaan berarti meninggalkan setiap tempat berlindung kecuali Tuhan." AlJunaid berkata: "Hakikat tawakal adalah, bahwa seseorang harus menjadi milik Tuhan dengan cara yang tidak pernah dialami sebelumnya, dan bahwa Tuhan harus menjadi miliknya dengan cara yang tidak pernah dialami-Nya sebelumnya." d. Menurut
Imam
Al-Ghazali
(1995:
290),
tawakal
adalah
pengendalan hati kepada Tuhan Yang Maha Pelindung karena segala sesuatu tidak keluar dari ilmu dan kekuasaan-Nya, sedangkan selain Allah tidak dapat membahayakan dan tidak dapat memberinya manfaat. e. Menurut Muhammad bin Hasan asy-Syarif, tawakal adalah orang yang mengetahui bahwa hanya Allah penanggung rizkinya dan urusannya. Oleh karena itu ia bersandar kepada-Nya semata-mata dan tidak bertawakal kepada selain-Nya. f. Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqy (2001: 534), tawakal adalah menyerahkan diri kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya. Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa tawakal adalah penyerahan segala perkara, ikhtiar, dan usaha yang dilakukan kepada Allah Swt serta berserah diri sepenuhnya kepada-Nya
untuk
mendapatkan
kemaslahatan
atau
menolak
kemadaratan. 2.2.2. Macam-Macam Tawakal Ditinjau dari sudut orang yang bersikap tawakal, tawakal itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu: tawakal kepada Allah dan tawakal
36
kepada selain Allah, dan pada masing-masing bagian ini terdapat beberapa macam tawakal: Pertama tawakal kepada Allah Sikap tawakal kepada Allah terdapat empat macam, yaitu: (1) Tawakal kepada Allah dalam keadaan diri yang Istiqamah serta dituntun dengan pentunjuk Allah, serta bertauhid kepada Allah secara murni, dan konsisten terhadap agama Allah baik secara lahir maupun batin, tanpa ada usaha untuk memberi pengaruh kepada orang lain, artinya sikap tawakal itu hanya bertujuan memperbaiki dirinya sendiri tanpa melihat pada orang lain. (2) Tawakal kepada Allah dalam keadaan diri yang Istiqamah seperti disebutkan di atas, dan ditambah dengan tawakal kepada Allah SWT untuk menegakkan, memberantas bid'ah, memerangi orangorang kafir dan munafik, serta memperhatikan kemaslahatan kaum muslim, memerintahkan kebaikan serta mencegah kemungkaran dan memberi pengaruh pada orang lain untuk melakukan penyembahan hanya kepada Allah, ini adalah sikap tawakalnya para nabi dan sikap tawakal ini diwariskan oleh para ulama sesudah mereka, dan ini adalah sikap tawakal yang paling agung dan yang paling bermanfaat di antara sikap tawakal lainnya. (3) Tawakal kepada Allah dalam hal mendapatkan kebutuhan seorang hamba dalam urusan duniawi-nya atau untuk mencegah dari sesuatu yang tidak diingini berupa musibah atau bencana, seperti
37
orang yang bertawakal untuk mendapatkan rezeki atau kesehatan atau istri atau anak-anak atau mendapatkan kemenangan terhadap musuhnya dan lain-lain seperti ini, sikap tawakal ini dapat mendatangkan kecukupan bagi dirinya dalam urusan dunia serta tidak disertai kecukupan urusan akhirat, kecuali jika ia meniatkan untuk meminta kecukupan akhirat dengan kecukupan dunia itu untuk taat kepada Allah Swt (4) Tawakal kepada Allah dalam berbuat haram dan menghindari diri dari perintah Allah (Ad-Dumaji, 2000: 125). Kedua: Tawakal kepada selain Allah Jenis tawakal ini terbagi menjadi dua bagian: (1) Tawakal Syirik: yang terbagi menjadi dua macam pula: a. Tawakal kepada selain Allah dalam urusan-urusan yang tidak bisa dilakukan kecuali Allah SWT. Seperti orang-orang yang bertawakal kepada orang-orang yang sudah mati serta para thagut (sesuatu yang disembah selain Allah) untuk meminta pertolongan mereka, yang berupa kemenangan, perlindungan, rezeki dan syafa'at, inilah yang dinamakan syirik yang paling besar, karena sesungguhnya urusan-urusan ini dan yang sejenisnya tidak ada yang sanggup melakukannya kecuali Allah SWT (Ad-Dumaji, 2000: 125). Tawakal semacam ini dinamakan dengan tawakal tersembunyi, karena perbuatan seperti ini tak akan dilakukan
38
kecuali
oleh
orang-orang
yang
mempercayai
bahwa
sesungguhnya mayat ini memiliki kekuatan tersembunyi di alam ini, bagi mereka tak ada perbedaan apakah mayat ini berupa mayat seorang Nabi, atau seorang Wali atau thagut yang menjadi musuh Allah SWT (Ad-Dumaji, 2000: 125). b. Tawakal kepada selain Allah dalam urusan-urusan yang bisa dilakukan menurut dugaannya oleh yang ditawakalkannya. Ini adalah bagian dari syirik yang paling kecil. Yaitu seperti bertawakal kepada sebab-sebab yang nyata dan biasa, seperti seseorang yang bertawakal kepada seseorang pemimpin atau raja yang mana Allah telah menjadikan di tangan pemimpin itu rezeki atau mencegah kejahatan dan hal-hal yang serupa itu lainnya, ini adalah syirik yang tersembunyi. Oleh karena itu dikatakan:
Memperhatikan
kepada
sebab-sebab
adalah
perbuatan syirik dalam tauhid, karena amat kuatnya pautan hati serta sandaran hati kepada sebab-sebab itu (Ad-Dumaji, 2000: 125). (2) Mewakilkan yang dibolehkan. Yaitu ia menyerahkan suatu urusan kepada seseorang yang mampu dikerjakannya, dengan demikian orang yang menyerahkan urusan itu (bertawakal) dapat tercapai beberapa keinginannya. Mewakilkan di sini berarti menyerahkan untuk dijaga seperti ungkapan: "Aku mewakilkan kepada Fulan, berarti: Aku menyerahkan urusan itu kepada Fulan untuk dijaga
39
dengan
baik.
Mewakilkan
menurut
syari'at:
seseorang
menyerahkan urusannya kepada orang lain untuk menggantikan kedudukannya secara mutlak atau pun terikat. Mewakilkan dengan maksud seperti ini dibolehkan menurut al-Qur'an, hadis dan ijma' (Ad-Dumaji, 2000: 126). Tawakal merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan menyeluruh, yang senantiasa ramai ditempati orang-orang yang singgah di sana, karena luasnya kaitan tawakal, banyaknya kebutuhan penghuni alam, keumuman tawakal, yang bisa disinggahi orang-orang Mukmin dan juga orang-orang kafir, orang baik dan orang jahat, termasuk pula burung, hewan liar dan binatang buas. Semua penduduk bumi dan langit berada dalam tawakal, sekalipun kaitan tawakal mereka berbeda-beda. Para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang khusus bertawakal kepada Allah karena iman, menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, berjihad memerangi musuh-musuh-Nya, karena mencintai-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sedangkan selain mereka bertawakal kepada Allah karena kepentingan dirinya dan menjaga keadaannya dengan memohon kepada Allah. Ada pula di antara mereka yang bertawakal kepada Allah karena sesuatu yang hendak didapatkannya, entah rezki, kesehatan, pertolongan saat melawan musuh, mendapatkan istri, anak dan lain sebagainya. Ada pula yang bertawakal kepada Allah justru untuk melakukan kekejian dan berbuat dosa. Apa pun yang mereka inginkan atau yang mereka
40
dapatkan, biasanya tidak lepas dari tawakal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Bahkan boleh jadi tawakal mereka ini lebih kuat daripada tawakalnya orang-orang yang taat. Mereka menjerumuskan diri dalam kebinasaan dan kerusakan sambil memohon kepada Allah agar menyelamatkan mereka dan mengabulkan keinginan mereka (Al-Jauziyah, 1998: 189). Tawakal yang paling baik ialah tawakal dalam kewajiban memenuhi hak kebenaran, hak makhluk dan hak diri sendiri. Yang paling luas dan yang paling bermanfaat ialah tawakal dalam mementingkan faktor eksternal dalam kemaslahatan agama, atau menyingkirkan kerusakan agama. Ini merupakan tawakalnya para nabi dalam menegakkan agama Allah dan menghentikan kerusakan orangorang yang rusak di dunia. Ini juga tawakalnya para pewaris nabi. Kemudian tawakal manusia setelah itu tergantung dari hasrat dan tujuannya. Di antara mereka ada yang bertawakal kepada Allah untuk mendapatkan kekuasaan dan ada yang bertawakal kepada Allah untuk mendapatkan serpihan roti. Siapa yang benar dalam tawakalnya kepada Allah untuk mendapatkan sesuatu, tentu dia akan mendapatkannya. Jika sesuatu yang diinginkannya dicintai dan diridhai Allah, maka dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji. Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah, maka apa yang diperolehnya itu justru akan membahayakan dirinya. Jika sesuatu yang diinginkannya itu sesuatu yang mubah, maka dia mendapatkan kemaslahatan dirinya dan
41
bukan kemaslahatan tawakalnya, selagi hal itu tidak dimaksudkan untuk ketaatan kepada-Nya (Al-Jauziyah, 1998: 190). 2.2.3. Tingkatan-Tingkatan Tawakal Tawakal
memiliki
tingkatan-tingkatan
menurut
kadar
keimanan, tekad, dan cita orang yang bertawakal tersebut: Pertama, mengenal Rabb berikut sifat-sifatNya/kekuasaanNya, kekayaanNya, kemandirianNya, berakhimya segala perkara kepada ilmuNya dan kemunculannya karena masyi'ah (kehendak) dan kodratnya. padanya
Mengenal Allah ini merupakan tangga pertama yang seorang
bertawakal.
hamba
Kedua,
meletakkan
menetapkan
telapak
sebab
dan
kakinya akibat.
dalam Ketiga,
mengokohkan hati pada pijakan "tauhid tawakal" (mengesakan Allah dalam bertawakal). Keempat, bersandarnya hati dan ketergantungannya serta ketentramannya kepada Allah. Tanda seseorang telah mencapai tingkatan ini ialah bahwa ia tidak peduli dengan datang atau perginya kehidupan duniawi. Hatinya tidak bergetar atau berdebar saat meninggalkan apa yang dicintainya dan menghadapi apa yang dibencinya dari kehidupan duniawi. Karena ketergantungannya kepada Allah telah membentengi dirinya dari rasa takut dan berharap pada kehidupan duniawi. Kelima, baik sangka kepada Allah Swt. Sejauh mana kadar sangka baiknya dan pengharapannya kepada Allah, maka sejauh itu pula kadar ketawakalan kepadaNya.
42
Keenam, menyerahkan hati kepadanya, membawa seluruh pengaduan kepadaNya, dan tidak menentangnya. Jika seorang hamba bertawakal dengan tawakal tersebut, maka tawakal itu akan mewariskan kepadanya suatu pengetahuan bahwa dia tidak memiliki kemampuan sebelum melakukan usaha, dan ia akan kembali dalam keadaan tidak aman dari makar Allah. Ketujuh, melimpahkan wewenang (perkara) kepada Allah (tafwidh). Ini adalah ruh dan hakikat tawakal, yaitu melimpahkan seluruh urusannya kepada Allah dengan kesadaran, bukan dalam keadaan terpaksa. Orang yang melimpahkan urusannya kepada Allah, tidak lain karena ia berkeinginan agar Allah memutuskan apa yang terbaik baginya dalam kehidupannya maupun sesudah mati kelak. Jika apa yang diputuskan untuknya berbeda dengan apa yang disangkanya sebagai yang terbaik, maka ia tetap ridha kepadaNya. Karena ia tahu bahwa itu lebih baik baginya, meskipun segi kemaslahatannya tidak tampak di hadapannya (asy-Syarif, 2004: 103-104). Menurut Ibnu Qayyin Al-Jauziyah (1998: 191) pada hakikatnya tawakal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakikatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya. Masing-masing mengisyaratkan kepada salah satu dari perkara-perkara ini, dua atau lebih. Perkara-perkara ini adalah: Pertama: mengetahui Rabb dengan segenap sifat-sifat-Nya, seperti kekuasaan, perlindungan, kemandirian, kembalinya segala
43
sesuatu kepada ilmu-Nya, dan lain-lainnya. Pengetahuan tentang hal ini merupakan tingkatan pertama yang diletakkan hamba sebagai pijakan kakinya dalam masalah tawakal. Kedua: kemantapan hati dalam masalah tauhid, tawakal seseorang tidak baik kecuali jika tauhidnya benar. Bahkan hakikat tawakal adalah tauhid di dalam hati. Selagi di dalam hati ada belitanbelitan syirik, maka tawakalnya cacat dan ternoda. Seberapa jauh tauhidnya bersih, maka sejauh itu pula tawakalnya benar. Ketiga: menyandarkan hati dan bergantung kepada Allah, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran karena bisikan sebab di dalamnya. Tandanya, dia tidak peduli tatkala berhadapan dengan sebab, hatinya tidak guncang, dapat meredam kecintaan kepadanya. Sebab penyandaran hati dan kebergantungannya kepada Allah mampu membentenginya dari ketakutan. Keadaannya seperti keadaan orang yang berhadapan dengan musuh yang jumlahnya amat banyak, dia tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi mereka, lalu dia melihat ada benteng yang pintunya terbuka, kemudian Allah menyuruhnya masuk ke dalam benteng itu dan pintunya ditutup. Dia melihat musuhnya berada di luar. Sehingga ketakutannya terhadap musuh dalam keadaan seperti ini menjadi sirna. Keempat: berbaik sangka kepada Allah. Sejauh mana baik sangkamu kepada Rabb dan harapan kepada-Nya, maka sejauh itu pula
44
tawakal kepada-Nya. Maka sebagian ulama menafsiri tawakal dengan berbaik sangka kepada Allah. Kelima: menyerahkan hati kepada Allah, menghimpun penopang-penopangnya
dan
menghilangkan
penghambat-
penghambatnya. Maka dari itu ada yang menafsiri bahwa hendaknya seorang hamba berada di tangan Allah, layaknya mayit di tangan orang yang memandikannya, yang bisa membolak-baliknya menurut kehendak orang yang memandikan itu, tanpa ada gerakan dan perlawanan. Keenam: pasrah, yang merupakan ruh tawakal, inti dan hakikatnya. Maksudnya, memasrahkan semua urusan kepada Allah, tanpa ada tuntutan dan pilihan, tidak ada kebencian dan keterpaksaan (Al-Jauziyah, 1998: 192-194).
BAB III KONSEP TAWAKAL TM. HASBI ASH SHIDDIQIE
3.1. Biografi TM.Hasbi Ash Shiddiqie, Pendidikan dan Karyanya Sekilas tentang TM. Hasbi Ash Shiddiqie dapat diketengahkan yaitu ia lahir pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhouksaeumawe (Aceh Utara) di tengah keluarga ulama pejabat. Hasbi dibesarkan dalam sebuah keluarga yang taat beribadah dengan disiplin yang ketat, terutama dalam aspek pembinaan akhlak. Dalam tubuhnya mengalir darah campuran Arab. Dari silsilahnya diketahui, ia adalah keturunan ke-37 dari Abu Bakar Ash Shiddieq. Anak dari pasangan Teungku Amrah putri dari Teungku Abdul Aziz pemangku jabatan Qadhi Chik maha raja mangku bumi dan al-Hajj Teungku Muhammad Husen ibn Muhammad Mas’ud. Ketika berusia 6 tahun ibunya wafat dan diasuh oleh Teungku Syamsiyah, salah seorang bibinya. Sejak berusia 8 tahun TM. Hasbi Ash Shiddiqie meudagang (nyantri) dari dayah (pesantren) satu ke dayah lain yang berada dibekas pusat kerajaan Pasai tempo dulu. Beberapa yang menarik pada diri TM. Hasbi Ash Shiddiqie, antara lain: Pertama, ia sangat menggemari buku, hampir pada setiap sudut ruangan rumahnya terdapat kamus bahasa, dan di ruangan tempat ia belajar tersusun kitab secara sistematis. Uniknya ia tidak pernah memberi pinjam buku, kecuali membaca di rumahnya. Di samping itu ia adalah seorang otodidak pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu 45
46
setengah tahun duduk di bangku sekolah al-Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuan intelektualnya diakui oleh dunia international. Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam international islamic qolloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan (1958). Selain itu, berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaruan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah. Muhammad Hasbi menitik beratkan pembaruannya pada bidang hukum Islam dengan semboyannya yang terkenal “pintu ijtihad terbuka sepanjang zaman tidak pernah tertutup dan tidak ada manusia manapun yang berhak menutupnya” (Prof. H. Ali Hasyim, Waspada, Medan, 19 September 1983) (Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 852-853). Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang terkenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya. Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan
pendapat
kelompoknya.
Ia
berpolemik
dengan
orang-orang
Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia.
47
Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian ulama Indonesia. Mereka angkat bicara menentang fiqh (hukum in concreto) diindonesiakan atau dilokalkan. Bagi mereka, fiqh dan syari’at (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Kini setelah berlalu tigapuluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang menyatakan masyarakat muslim Indonesia memerlukan “fiqh Indonesia” terdengar kembali. Namun sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya. Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi tegaknya kebenaran sejarah (Ash Shiddiqie, 2001: 220-221). Hasbi yang dilahirkan di lingkungan pejabat negeri ulama, pendidik dan pejuang – jika ditelusuri sampai ke leluhurnya, dalam dirinya mengalir campuran darah Aceh-Arab dan mungkin juga Malabar. Kendati ia dilahirkan ketika ayahnya dalam posisi Qadli Chik, masa kecilnya tertempa penderitaan seprti juga derita yang dialami oleh masyarakat. Selain faktor pendidikan, bawaan dari leluhur dan orang tuanyalah yang ikut membentuk diri Hasbi menjadi seorang yang keras hati, berdisiplin, pekerja keras, berkecenderungan membebaskan diri dari kungkungan tradisi dan kejumudan serta mandiri tidak terikat pada sesuatu pendapat lingkungannya. Hasbi sejak remaja telah dikenal dikalangan masyarakatnya karena ia sudah terjun berdakwah dan berdebat dalam diskusi-diskusi. Di Aceh ada tradisi yang disebut dengan meuploh-ploh masalah, mengurai masalah agama
48
yang dipertandingkan. Masalah yang disampaikan dalam bentuk syair harus dijawab oleh pihak lain. Kalau tidak bisa menjawab, kelompok tersebut dinyatakan kalah dalam pertandingan. Hasbi sering diminta untuk mengambil peran sebagai penanya atau penjawab atau setidak-tidaknya sebagai konsultan dalam diskusi-diskusi tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengheran jika Hasbi populer di kalangan masyarakat. Banyak orang menginginkan Hasbi bisa menjadi menantunya. Sejak remaja dia sudah dipanggil dengan sebutan Tengku Muda atau Tengku di Lhok. Di Aceh seseorang yang dihormati tidak lagi dipanggil dengan nama dirinya tetapi dengan nama akrabnya. Hasbi (2001: 559-560) menikah pada usia 19 tahun dengan Siti Khadidjah, seorang gadis yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Perkawinan dengan gadis pilihan orang tuanya ini tidak berlangsung lama. Siti Khadidjah wafat ketika melahirkan anaknya yang pertama. Anaknya yang dilahirkan itu, Nur Jauharah, segera pula menyusul ibunya kembali kerahmat Allah. Kemudian Hasbi menikah dengan Tengku Nyak Asyiyah binti Tengku Haji Hanum, saudara sepupunya. Tengku Haji Hanum atau lebih akrab dipanggil dengan Tengku Haji Nom adalah saudara kandung Tengku Amrah, ibu Hasbi. Dengan Tengku Nyak Asyiayah inilah Hasbi mengayuh bahtera hidupnya sampai akhir hayatnya. Dari perkawinannya ini lahir empat anak; dua orang perempuan dan dua anak laki-laki. Hasbi sangat menghargai orang berpendapat. Ia tidak gusar jika pendapatnya dibantah walaupun oleh anaknya sendiri. Bahkan dengan anaknya, ia mengajak berdiskusi yang kadangkala berlangsung seperti orang
49
bertengkar tidak pula jarang terjadi ia mendiskusikan sesuatu yang sedang ditulisnya dengan anaknya yang bertindak sebagai juru ketik dan korektor uji cetak buku-bukunya. Jika pendapat anaknya dirasa benar, diakuinya. Jika salah, ia membetulkannya dengan menasehati agar belajar lebih banyak dengan membaca seperti yang diperbuatnya. Hasbi (1997: 241-242) yang cerdas dan dinamis serta telah bersentuhan dengan pemikiran kaum pembaharu, dilihat oleh Syehk al-Kalali mempunyai potensi dikembangkan menjadi tokoh yang menggerakkan pemikiran pembaruan islam di Aceh. Untuk keperluan itu, ia menganjurkan Hasbi pergi ke Surabaya belajar pada perguruan al-Irsyad yang diasuh oleh pergerakan al-Irsyad wal ishlah yang didirikan oleh Syehk Ahmad as-Surkati pada tahun 1926, dengan diantar oleh Syehk al-Kalali, Hasbi berangkat ke Surabaya setelah di tes ia dapat diterima di jenjang takhasus. Di jenjang ini Hasbi memusatkan perhatiannya belajar bahasa Arab yang memang mendapat kedudukan istimewa dalam kurikulum perguruan al-Irsyad. Percepatan penguasaan bahasa Arabnya didukung pula oleh pergaulannya dengan orangorang Arab di Surabaya. Ia bermain bola bersama mereka. Ia juga mondok di rumah seorang Arab. Satu setengah tahun Hasbi belajar di al-Irsyad dengan perolehan kemahiran bahasa arab dan kemantapan berada di barisan kaum pembaru untuk mengibarkan panji-panji ishlah serta semangat kebangsaan Indonesia yang memang telah bersemi dalam dirinya sejak ia meudagang di Tunjungan Barat, di Samalanga. Pada waktu itu, rakyat samalanga yang telah
50
memperlihatkan kepahlawanan
melawan penjajah, pada tahun 1916
mendirikan cabang SI. Perguruan al-Irsyad jenjang takhasus adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh Hasbi. Ia tidak pernah belajar ke luar negeri. Selesai belajar di al-Irsyad, ia mengembangkan dan memperkaya dirinya dengan ilmu melalui belajar sendiri, otodidak. Buku adalah guru terbaik. Berkat minat bacanya yang besar, semangat belajar dan menulisnya yang tinggi Hasbi menghasilkan lebih dari seratus judul buku dan ratusan pula artikel. Ia memperoleh dua gelar Doktor H.C., satu dari UNISBA (1975), dan satu dari IAIN Sunan Kalijaga (1975), dan menduduki jenjang fungsional pada tingkat guru besar pada tahun 1960 (1997: 241-242). Setelah Hasbi melepas jabatan Dekan fakultas Syari’ah di Aceh, antar tahun 1963 – 1966, ia merangkap pula jabatan pembantu Rektor III di samping dekan fakultas Syaria’h di IAIN Yogyakarta. Di samping merangkap jabatan di IAIN, Hasbi juga mengajar dan memangku jabatan struktural pada perguruan tinggi – Perguruan Tinggi Islam Swasta. Sejak tahun 1964 ia mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta Tahun 1967 sampai wafatnya pada tahun 1975. Ia mengajar dan menjabat
dekan
fakultas
syari’ah
Universitas
Islam
Sultan
Agung
(UNISSULA) di Semarang. Antar tahun 1961 – 1971 dia menjabat rektor Universitas al-Irsyad Surakarta, di samping pernah pula menjabat rektor Cokroaminoto yang bermula dari Akademi Agama Islam (AAI) di Surakarta. Nama Hasbi dipasang pula sebagai pengajar siyasah syari’ah di IAIN
51
Walisongo Semarang, di Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Ujung Pandang. Setelah itu Hasbi juga menjabat ketua lembaga fatwa IAIN Sunan Kalijaga dan pemimpin post graduate course (PGC) dalam ilmu fiqih bagi dosen IAIN se Indonesia. Ia juga menjabat ketua lembaga fiqih Islam Indonesia , ketua lembaga fatwa IAIN Sunan Kalijaga dan anggota Majelis Ifta’wat Tarjih DPP al-Irsyad (Shadiq, 1907: 3-61.). Adapun sketsa pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddiqie dapat kita awali dengan bertitik tolak pada kurun waktu tahun 1359/1940, ketika itu Hasbi berumur 36 tahun, dalam polemiknya dengan Soekarno ia menulis: Fiqih yang kita junjung tinggi ialah fiqih Qurisany dan fiqih Nabawi. Adapun fiqih ijtihady, maka senantiasa kita lakukan nadzar, senantiasa kita jalankan pemerikasaan dan boleh kita mengambil mana yang lebih cocok dengan nusa dan bangsa kita. Duapuluh satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 2 Rabiul Awal 1381/1961, dalam orasi ilmiyah yang berjudul “Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman” yang diucapkannya pada upacara peringatan Dies Natalis IAIN yang pertama, Hasbi berseru: “maksud mempelajari syariat Islam di Universitas-universitas Islam sekarang ini, supaya fiqih/syari’at Islam dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi pembangunan hukum di tanah air kita yang tercinta ini. Maksud kita supaya dapat menyusun suatu fiqh yang berkepribadian kita sendiri (Ash Shiddiqie, 1961: 41).
52
Dua pernyataan Hasbi di atas menjadi petunjuk, bahwa Hasbi menghimbau perlu dibina fiqh yang berkepribadian atau fiqh yang berwawasan ke-Indonesiaan. Maksudnya, fiqh yang cocok dengan keadan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, fiqh yang oleh sebagian orang Indonesia mengangapnya sudah menjadi barang antik yang hanya layak untuk dipajangkan di musieum saja lagi, mampu memecahkan permasalahanpermasalahan hukum yang timbul di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan diharapkan dapat menjadi tiang utama bagi pembinaan hukum nasional Indonesia. Sepanjang yang diketahui dalam catatan sejarah pemikiran Islam di Indonesia, sebelum tahun 1359/1940, bahkan sampai tahun 1381/1961, belum pernah terdengar suara yang menyampaikan gagasan seperti yang diajak oleh Hasbi. Karena itu, dapatlah dikatakan, Hasbi adalah orang pertaama dikalangan pemikir Islam di Indonesia yang mencetuskan gagasan seperti itu. Bahkan sampai sekarangpun, setidaknya sampai tahun 1405-6/1985, masih ada yang mempertanyakan dan bersikap “tak perlu ada fiqh yang berdimensi ruang dan waktu” (Yafie, 1985: 36). Peristiwa yang mendorong lahirnya ide Hasbi tentang fiqh yang berkepribadian
Indonesia,
ialah
gejala
historis
–
sosiologis
yang
menggambarkan tentang perlakuan fiqh di kalangan kaum muslimin Indonesia. Hasbi mengamati fiqh seakan lesu darah. Ibarat kitab tua yang sudah dimakan rengat, dibuang sayang tetapi sudah tidak dapat dibaca lagi. Pada tahun 1368/1948 dia menulis: “barang siapa di antara kita yang sudi
53
melepaskan pemandangan keinsyafannya ke dalam kehidupan umat Islam dewasa ini, tentulah bakal terlihat olehnya dengan jelas dan nyata, akan lemahnya bekas-bekas hukum Islam atas pemeluk dan pergaulan kaum muslimin, istimewa di tanah Indonesia yang cantik molek ini (Ash Shiddiqie, 1948: 43). Pengamatan Hasbi pada tahun 1368/1948 tidak jauh berbeda, kalaupun tidak mau dikatakan lebih merosot -, dari keadaan kehidupan fiqh pada tahun 1381/1961, ketika dia menyampaikan orasi ilmiah “Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman”. Bagi Hasbi, keadaan fiqh yang lesu darah ini terasa aneh. Sebab, kaum muslimin di Indonesia yang berjumlah banyak, lebih banyak dari kaum muslimin yang berada di timur tengah digabung menjadi
satu,
yang
sepatutnya
menjadi
pendukung
fiqh,
tetapi
mengabaikannya bahkan mencari hukum yang lain. Pada waktu itu, kedudukan Peradilan Agama tidak lebih dari sebuah lembaga pemberi fatwa. Keputusan-keputusannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Dia baru memunyai kekuatan yang memaksa jika dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Biasanya, Pengadilan Negeri sebelum memberikan pengukuhannya terlebih dahulu melakukan pemeriksaan ulang dengan mengambil hukum adat sebagai pedoman. Hasbi mempertanyakan pada dirinya sendiri, mengapa nasib fiqh menjadi begini. Tentu ada sesuatu pada diri fiqh yang telah menjadi fakor penyebab tidak mendapat perlakuan dan penghargaan yang layak.
54
Hasbi melihat, salah satu penyebab fiqh tidak menjadi sambutan yang hangat di kalangan muslimin Indonesia, ialah karena ada bagian-bagian fiqh berdasarkan ‘‘urf di timur tengah yang tidak sesuai dengan rasa kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang telah melembaga dalam hukum adat. Bagian-bagian fiqh yang seperti ini tentunya terasa asing bagi mereka, akan tetapi dipaksakann juga berlaku atas dasar taqlid. Dalam kalimat Hasbi sendiri tertulis: “fiqh yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang sebagiannya adalah fiqh Hijazi, fiqh yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan ‘urf yang berlaku di Hijaz, atau fiqh Misry yaitu fiqh yang terbentuk atas dasar adatistiadat dan kebiasaan Mesir, atau fiqh Hindi yaitu fiqh yang terbentuk atas ‘urf dan adat-istiadat yang berlaku di India. Selama ini kita belum mewujudkan kemampuan untuk berijtihad, mewujudkan kaum fiqh yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqh Hijaz atau fiqh Misry atau fiqh Iraki berlaku di Indonesia atas dasar taqlid. Adapun karya tulis Hasbi dapat disebutkan antara lain: 1. Hadits a. Beberapa Rangkuman Hadits, Bandung, al-Ma’arif, 1952 ?, 45 p. b. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1954; 1955; 1965; 1974; 1977; 1980, 420 p. c. 2002 Mutiara Hadits, 8 jilid, Jakarta, Bulan Bintang, 1954 – 1980, jilid I, 1954; 1955; 1961; 1975, 540 p. jilid II, 1956; 1975; 1981, 588
55
p. jilid III, 1962; 1977, 668 p. jilid IV, 1977, 692 p. jilid V, 1977; 628 p. jilid VI, 1980, 584 p. Jilid ke VIII belum diterbitkan . d. Pokok Ilmu Dirayah Hadits, 2 jilid, Jakarta, Bulan Bintang, jilid I, 1958; 1961; 1967; 1976; 1981, 410 p. Jilid II, 1958; 1961; 1967; 1976; 1981, 427 p. e. Problematika Hadits Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1964, 63 p. berasal dari orasi ilmiah yang diucapkan pada Dies Natalis IAIN Yogyakarta, tanggal 4 Desember 1962. f. Koleksi Hadits-Hadits hukum, ahkamun Nabawiyah. 11j. Bandung: alMa’arif, 1970-1976 Jilid I: 1970;’72, ’81; 380 p. jilid II : 1972; 400p. jilid III : 1972; ? ‘81 493 p. jilid IV: 1972; 379 p. jilid VI : 1976: 307 p. jilid VII sampai dengan XI belum diterbitkan. Naskahnya sudah siap. g. Rijalil Hadits. Yogyakarta : Matahari Masa, 1970, 187 p. h. Sejarah Perkembangan Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1973 187 p. 2. FIQIH a. Sedjarah Peradilan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1957; ’55 ’70. b. Tuntunan Qurban, Jakarta, Bulan Bintang, 1950; ‘55; ’66. c. Pedoman Shalat, Jakarta, Bulan Bintang, 1951; ’55; ’57; ’60; ’63; ’66; ’72; ’75; ’77; ’82; ’83; ’84. Rizki Putera 1966. d. Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1952: ’55; ’62; ’70; ’78 pada penerbitanya yang pertama yang diterbitkan oleh
56
Pustaka Islam Jakarta buku ini berjudul pedoman Hukum Syar’i yang berkembang dalam kalangan Sunni. Buku ini memuat materi hukum dari semua madzhab Sunni (Madzhab empat) e. Pengantar Hukum Islam, 2 jilid, Jakarta, Bulan Bintang, jilid I : 1953; ’58; ’63; ’68; ’75; ’80 jilid II: 1953; ’58; ’63; ’68; ’75; ’81. f. Pedoman Zakat, Jakarta, Bulan Bintang, 1953; ’67; ’76; ’81. g. Al-Ahkam (Pedoman Muslimin), 4 jilid, Medan: Islamiyah, 1953 h. Pedoman puasa, Jakarta, Bulan Bintang, 1954; ’59; ’60; ’63;’67; ’74; ’77; ’81; ’83; ’96. i. Pemindahan Darah (Blood Tranfusion) Dipandang dari Sudut Hukum Agama Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1954 berasal dari orasi ilmiah yang diucapkan pada Dies Natalis PT AIN ketiga, tanggal 26 september 1954. j. Ichtisar Tuntunan Zakat & Fitrah, Jakarta, Bulan Bintang, 1958. k. Sjari’at Islam Mendjawab Tantangan Zaman, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1961. Cet kedua diterbitkan di Jakarta : Bulan Bintang, 1966. l. Peradilan dan Hukum Agama Islam. Bandung: al-Ma’arif, 1954. m. Poligami Menurut Sjari’at Islam , Jakarta, Bulan Bintang, 40 p. berasal dari orasi ilmiah yang diucapkan pada Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga, 1978. n. Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta, Bulan Bintang, 1967; ’74.
57
o. Baitul Mal Sumber-Sumber dan Penggunaan Keuangan Negara Menurut Adjaran Islam, Yogyakarta: Matahari Masa, 1968. p. Zakat Sebagai Salah Satu Unsur Pembinaan Masyarakat Sedjahtera, Yogyakarta: Matahari Masa, 1968, pada cetakan kedua buku ini berjudul Beberapa Permasalahan Zakat, Jakarta: Tintamas: 1976. q. Azas-Azas Hukum Tata Negara Menurut Sjari’at Islam, Yogyakarta: Matahari Masa, 1969. r. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971. s. Perbedaan Mathla’ Tidak Mengharuskan Kita Berlainan Pada Memulai Puasa.
Yogyakarta: Ladjnah Ta’lif Wan Nasjr Fakultas
Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga. 1971. t. Ushul Fiqih, Sekitar Ijtihad Bir Ra’ji dan djalan-dajlannya, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, tt. u. Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1971. v. Beberapa Problematika Hukum Islam, Yogyakarta, Lembaga hukum Islam Indonesia, 1972. Pada cetakan kedua, buku ini diberi judul Beberapa Permasalahan Hukum Islam, Jakarta, Tintamas, 1975. w. Kumpulan Soal Jawab, Jakarta, Bulan Bintang, 1973. 3. Tafsir dan Ilmu al-Quran: a. Beberapa Rangkaian Ajat, Bandung: al-Ma’arif, tt. (1952 ?) Buku ini dimaksudkan sebagai buku pelajaran tafsir tingkat permulaan . (44 p)
58
b. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/tafsir, Jakarta, Bulan Bintang 1954; 1955; 1961; 1965; 1972;1977; 1980 (308 p). buku ini sebuah refisi dari bukunya yang semula berjudul sejarah dan pengantar ilmu tafsir. c. Tafsir al-Qurnul Majied “an-Nur”, 30 Juz Jakarta, Bulan Bintang 1956-1973; 1956; 1965; 1976. Pustaka Rizki Putera (4 jilid). Setiap jilidnya antara 300-360 p. Sistem penafsirannya adalah paragra per paragraf
(qith’ah) seperti yang dilakukan oleh al-Maraghi.
Penafsirannya menggunakan metode campuran Ar-Riwayah (ma’tsur) dan biad-dirayah (ma’qul). Di dalamnya termuat juga sebab-sebab turunnya ayat (asbab an-Nuzul). d. Tafsir al-Bayan, 4 jilid paperback dan 2 jilid hardcover. Bandung alMa’arif, 1996: 1647 pagina. Tafsir ini lebih bersifat terjemahan dengan diberikan sedikit penjelasan sebagai anotasi model Tafsir Departemen Agama. e. Mu’djizat al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1996, 56 p. Buku ini beasal dari orasi ilmiah yang diucapkan pada lustrum pertama IAIN Sunan Kalijaga tanggal 3 juli, 1965. f. Ilmu-ilmu al-Qur’an Media Pokok dalam Menafsirkan al-Qu’an. Jakarta, Bulan Bintang, 1972, 319 p.
59
3.2. Konsep Tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie 3.3.1. Pengertian Tawakal Menurut Hasbi (2001: 534), tawakal ialah menyerahkan diri kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya. Syara' membagi tawakal atas dua jenis: menyerahkan diri kepada Allah pada pekerjaanpekerjaan yang mempunyai sebab atau 'illat; dan menyerahkan diri kepada Allah pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak mempunyai sebab atau 'illat. Menyerahkan diri pada pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai sebab, adalah mengusahakan berhasil sebab-sebab itu dan mewujudkan 'illat-'illatnya. Sesudah itu, barulah menyerahkan diri kepada Allah pada sebab yang tidak nyata atau pada kemungkinan datangnya halangan-halangan. Firman Allah swt.:
(159 :ﷲ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ ِ ﻋﻠﹶﻰ ﺍ ﻮﻛﱠ ﹾﻞ ﺘﺖ ﹶﻓ ﻣ ﺰ ﻋ ﻣ ِﺮ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﻢ ﻓِﻲ ﺍ َﻷ ﻫ ﺭ ﺎ ِﻭﻭﺷ Artinya: Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada setiap urusan, apabila engkau telah berketetapan hati, maka menyerah dirilah engkau kepada Allah. (Q,S. Ali-Imran/3:159). Menurut Hasbi (2001: 535), pada ayat ini, Allah meletakkan tawakal, sesudah bermusyawarah. Sesudah berembuk dengan luas dan dalam serta dengan penuh pertimbangan yang matang dan akurat, dalam memecahkan sesuatu urusan atau masalah dan telah mendapat kata sepakat untuk melaksanakannya, barulah bertawakal.
60
Adapun terhadap soal yang di luar jangkauan atau kesanggupan manusia untuk memecahkan atau menghindarinya, seperti seseorang penumpang pesawat udara, yang dihempas badai dan tidak ada lagi jalan baginya untuk menyelamatkan diri dan telah pula hilang harapan bagi keselamatan diri, maka wajiblah ia bertawakal kepada Allah; karena Allahlah yang sanggup mengubah keadaan atau menghentikan angin topan yang berbahaya itu. Manusia sekali-kali tidak boleh mengatakan: "Apa artinya tawakal di masa yang sangat kritis itu. Harus diinsafi, bahwa Allah sanggup berbuat segala sesuatu. Banyak terlihat orang-orang yang mendapat kelepasan, sesudah ia berputus asa, bahkan orang-orang yang telah menghadapi bayangan maut, bisa hidup kembali dan terus mengecap kelezatan hidup dengan lebih sempurna dan lengkap dari yang sudah-sudah". Ringkasnya, tawakal diharuskan di ketika keadaan di luar kemampuan manusia untuk merubahnya dan tidak diharuskan semasih ada kemungkinan dan kemampuan untuk mengubahnya. Orang-orang yang pasrah dan tidak berusaha, hanya semata-mata mendakwa bertawakal kepada Allah, adalah orang-orang yang dusta. Dengan demikian jelaslah bahwa tawakal tidak melahirkan sifat. la menggerakkan kemauan dan semangat untuk berupaya. Boleh jadi juga ada orang yang berkata: Kalau kita bertawakal sesudah berikhtiar, maka tidak ada lagi arti dan faedah yang diharapkan dari
61
tawakal itu. Kita menjawab: "Bahwa gunanya tawakal itu ialah untuk menolak yang menjadi halangan yang tidak dapat dilihat (ihtiyath) atau memelihara diri dari dipengaruhi perasaan, bahwa kita telah banyak berusaha dari tawakal". Menurut Hasbi (1999: 4), sekali peristiwa, Nabi Muhammad saw. memutuskan satu perkara sengketa. Sesudah perkara itu mendapat keputusan, pihak yang kalah dalam perkara, bangun dan keluar dari majelis seraya berkata: "Hasbiyallahu wa ni'mal wakil. "Mendengar perkataan orang yang kalah itu, yang seakan-akan mengeluh, Nabi menyatakan: bahwasanya Allah mencacat dan membenci kelemahan. Karena itu, hendaklah engkau berlaku bijaksana, supaya engkau jangan mendekati kekalahan. Maka apabila sudah berkali-kali engkau berlaku bijaksana
masih
dikalahkan
juga,
barulah
engkau
katakan:
Hasbiyallahu wa ni'mal wakil." Di sini Nabi mencegah seseorang yang menghadapi nasib buruk, berkata: Hasbiyallahu wa ni'mal wakil. Nabi memerintahkan supaya orang yang menghadapi nasib malang berusaha dengan giat untuk menolak nasibnya yang malang itu. Sesudah ia berusaha dengan segala kesanggupan yang ada padanya, namun ia harus menerima kekalahan juga dan menerima nasib yang malang, barulah dia menyerah
menerima
kekuasaan
qada
Allah
dan
mengeluarkan perkataan hasbiyallahu wa ni 'mal wakil itu.
dibolehkan
62
Hasbi (1999: 5) memberi contoh, misalnya seseorang yang ditimpa satu macam penyakit. Sejak ditimpa oleh penyakitnya itu, ia telah berusaha mengobati penyakitnya dengan sungguh-sungguh. Tetapi penyakitnya itu, walaupun sudah berkali-kali diperiksakan dan diobati dengan sungguh-sungguh, belum juga sembuh, barulah pada akhirnya dia bertawakal kepada Allah, menerima dengan pasrah akan qada, dan mengatakan Hasbiyallahu wa ni'mal wakil. Pada keadaan seperti ini, sudah pada tempat dan masanya, bahkan terpuji dia mengucapkan ucapan itu. Akan tetapi sebaliknya seseorang yang ditimpa sesuatu penyakit, tapi dia tidak mau mengobati penyakitnya itu, walaupun dia mampu berikhtiar, bahkan tidak mau ambil peduli akan penyakitnya itu, hanya bertawakal kepada Allah semata-mata dan mengatakan hasbiyallahu wa ni'mal wakil, sungguh sikap dan perkataan orang ini sangat salah, buruk dan tercela. Menurut Hasbi (2001: 534), keterangan-keterangan di atas sudah jelas dan sempurna bahwa manusia harus menyadari, bahwa tawakal bukanlah sikap meninggalkan usaha, menanti apa saja yang akan terjadi dengan berpeluk lutut dan berpangku tangan, menerima saja sesuatu qada dengan tidak mencari jalan mengelakkan diri dari padanya. Ada tiga kategori manfaat yang menyangkut masalah tawakal ini: (1) terhadap urusan yang diyakini manfaatnya; (2) urusan yang disangka kuat manfaatnya; dan (3) yang diduga ada manfaatnya.
63
Urusan-urusan yang diyakini seperti bernafas adalah untuk mengambil zat oksigen yang dibutuhkan oleh darah atau mengambil makanan dengan tangan dan memasukkan ke dalam mulut. Urusan yang seperti ini, diyakinkan manfaatannya di kala memakainya, dan diyakinkan pula keburukannya jika meninggalkannya. Urusan-urusan yang disangka kuat akan memberikan manfaat, seperti bercocok tanam atau berniaga dengan memiliki kepandaian. Memiliki kecakapan menurut biasanya mendatangkan faedah dan keuntungan yang memuaskan. Menurut Hasbi (2001: 535) dalam kedua macam urusan ini, maka bertawakal kepada Allah dapat menghasilkan manfaat (natijah) dengan pengharapan, semoga Allah memberikan rahmat-Nya dan memberkati usaha-usaha dengan hasil dan faedahnya yang lengkap dan sempurna. Seterusnya tawakal dengan urusan ini adalah kekuatan yang meneguhkan dalam beramal. Adapun urusan yang diduga akan menghasilkan maksud, seperti menyembuhkan penyakit dengan azimat, padahal pekerjaanpekerjaan itu tidak menurut jalan tabiat, maka dalam hal dan urusan yang seperti ini, sebenarnya tidak ada tawakal. Bertawakal kepada Tuhan dengan tidak mengacuhkan atau memperdulikan usaha-usaha (sebab-sebab) yang hanya diduga saja akan memberi manfaat, seperti berobat dengan besi panas, dan jampijampian tidaklah dibenarkan. Jadi manusia tidak harus terus bertawakal
64
dengan meninggalkan usaha (sebab-sebab) yang hakiki, sebab yang diyakini dan menurut biasanya menghasilkan manfaat. Menurut Hasbi (2000: 87), jelas sekali bahwa Nabi menyuruh bertawakal sambil mewujudkan sebab-sebab (sambil berusaha). Ringkasnya, arti tawakal yang sahih dalam Islam, ialah berpegang kepada Allah terhadap keselamatan pancaindera, alat-alat bekerja, kesempurnaan pekerjaan, dan kelengkapan amal bakti ketaatan ke hadirat Allah, serta menyempurnakan segala yang dituntut akal dan jalan-jalan yang biasa. Karena itu berpegang kepada perkataanperkataan dan ijtihad-ijtihad tukang tenung atau kepada mimpi, tidaklah sekali-kali masuk ke dalam tawakal. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan manusia berikhtiar lebih dahulu, kemudian barulah menyerahkan diri (bertawakal) kepada-Nya. Dengan cara inilah, Islam mengumpulkan maslahat jasmani dengan maslahat rohani. 3.3.2. Tawakal dalam Mencari Rizki yang Halal Menurut Hasbi (2001: 536), kaum materialis (maddiyyin) semata-mata berpegang teguh pada hukum sebab-akibat dan upaya semata-mata. Mereka tidak mengenal arti tawakal, apalagi mengakui kepentingannya. Mereka tidak percaya bahwa Allah dengan qudratNya dapat merubah keadaan.
65
Kesembuhan si sakit hanya diperoleh dengan minum obat bukan dengan iradat dan kekuasaan Allah. Demikianlah pendapat kaum materialis ini. Islam menolak sikap yang hanya bergantung pada ikhtiar lahiriyah semata, sebab Islam memadukan dan menyeimbangkan antara kebutuhan dan kepentingan jasmani dengan kebutuhan dan kepentingan
rohani.
Masing-masingnya
diberi
bahagian
yang
sempurna. Firman Allah swt.:
ﻕ ﹸﻗ ﹾﻞ ِ ﺯ ﺮ ﻦ ﺍﻟ ﺕ ِﻣ ِ ﺎﻴﺒﺍﹾﻟ ﱠﻄﺎ ِﺩ ِﻩ ﻭﺝ ِﻟ ِﻌﺒ ﺮ ﺧ ﻲ ﹶﺃ ﻨ ﹶﺔ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﺍﻟﱠِﺘﻡ ﺯِﻳ ﺮ ﺣ ﻦ ﻣ ﹸﻗ ﹾﻞ ﹸﻞﻧ ﹶﻔﺼ ﻚ ﻣ ِﺔ ﹶﻛ ﹶﺬِﻟ ﺎﻡ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴ ﻮ ﻳ ﺼ ﹰﺔ ﺎِﻟﺎ ﺧﻧﻴﺪ ﺎ ِﺓ ﺍﻟﺤﻴ ﻮﹾﺍ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﻣﻨ ﻦ ﺁ ﻫِﻲ ِﻟﱠﻠﺬِﻳ ﺮ ﻬ ﺎ ﹶﻇﺶ ﻣ ﺍ ِﺣﻲ ﺍﹾﻟ ﹶﻔﻮ ﺑﺭ ﻡ ﺮ ﺣ ﺎﻧﻤ{ ﹸﻗ ﹾﻞ ِﺇ32} ﻮ ﹶﻥﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﻮ ٍﻡ ﺕ ِﻟ ﹶﻘ ِ ﺎﺍﻵﻳ ﻢ ﺎ ﹶﻟﺸ ِﺮﻛﹸﻮﹾﺍ ﺑِﺎﻟﹼﻠ ِﻪ ﻣ ﺗ ﻭﺃﹶﻥ ﻖ ﺤ ﻴ ِﺮ ﺍﹾﻟﻐ ﻲ ِﺑ ﻐ ﺒﺍﹾﻟﻢ ﻭ ﺍ ِﻹﹾﺛﻦ ﻭ ﺑ ﹶﻄ ﺎﻭﻣ ﺎﻨﻬِﻣ :ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻷﻋﺮﺍﻑﻌﹶﻠﻤ ﺗ ﺎ ﹶﻻﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﻣ ﺗﻘﹸﻮﻟﹸﻮﹾﺍ ﻭﺃﹶﻥ ﹾﻠﻄﹶﺎﻧﹰﺎﺰ ﹾﻝ ِﺑ ِﻪ ﺳ ﻨﻳ (33-32 Artinya: Katakan olehmu: "Siapakah yang telah mengharamkan hiasan Allah yang telah dikeluarkan bagi hamba-hamba-Nya dan segala rezeki yang baik". Katakanlah: "Hiasan Allah dan segala yang baik-baik itu bagi yang beriman di dalam hidup dunia, tertentu bagi mereka saja di hari akhirat; sedemikian Kami jelaskan segala ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui". Katakanlah: "Hanyasanya yang diharamkan oleh Tuhanku ialah segala yang buruk, baik yang nyata, maupun yang tersembunyi dari padanya, perbuatan dosa, dan perkosaan dengan jalan yang tidak benar; dan kamu memperserikatkan Allah dengan sesuatu yang tidak ada diturunkan keterangan, dan kamu mengatakan terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui", (Q.S. al-A'raf/7:32-33).
66
Seorang mukmin yang kuat tegap, lebih disukai Allah, dari seorang mukmin yang lemah lesu. Karena itu pegang teguhlah pada tiap-tiap
kebajikan
yang
akan
memberi
manfaat.
Mohonlah
pertolongan kepada Allah, dan Janganlah menjadi orang lemah. Jika ditimpa sesuatu bencana, janganlah mengatakan: Seandainya aku berbuat begini, tentulah begini, akan tetapi katakanlah, telah ditakdirkan
oleh
Allah.
Apa
yang
Allah
kehendaki,
Allah
melaksanakannya; karena perkataan —andai-kata— itu, membukakan amalan setan. Menurut Hasbi (2001: 536), apabila manusia bertawakal (menyerah diri) kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, tentulah Allah akan memberi rizki yang berkah, sebagaimana Allah telah merezekikan burung-burung; ia pergi dengan perut yang lapar dan pulang dengan perut yang kenyang. 3.3.3. Perintah Berusaha dan Bekerja Menurut
Hasbi
(1998:
76),
manusia
dalam
hidup
bermasyarakat, di samping tolong menolong dan melakukan tukarmenukar guna memenuhi kebutuhan hidup, juga berusaha dan beramal untuk keperluan-keperluan yang lain. Manusia penganggur akan membawa kerugian-kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Maka dari itu usaha dan amal adalah pokok yang utama dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara.
67
Islam dalam perintahnya agar umat berusaha dan beramal di jalan yang diridai Allah, mewajibkan pula agar usaha dan amal itu dikerjakan sambil bertawakal kepada Allah swt. Maksudnya agar orang yang berusaha dan beramal itu mempunyai harapan yang lebih besar yang mendorong semangat dan kemauan bekerja lebih kuat-dan terhindar dari perasaan putus asa. Pada suatu hari, Saidina Umar berjumpa dengan sekelompok penduduk Yaman yang hanya suka berpangku tangan dan bertawakal buta. Dia bertanya kepada mereka: "Mengapakah kamu sekalian tidak berusaha?" Mereka menjawab: "Kami hanya bertawakal kepada Allah." Mendengar jawaban mereka yang menggelikan itu, Saidina Umar berkata: "Kamu sekalian semata-mata bohong; kamu sekalian bukanlah orang yang bertawakal kepada Allah. Karena orang-orang yang bertawakal kepada Allah itu, menaburkan bibit ke dalam tanah subur, kemudian kamu menyerah diri atau berpegang kuat kepada Allah." Menurut Hasbi (1998: 76) dengan penjelasan ini nyatalah, bahwa menghapus pengangguran di muka bumi ini, dan mewajibkan bekerja dengan jalur yang diridai Allah untuk memperoleh hartakekayaan adalah salah satu dari cita-cita dan perintah Islam. Islam membenci sifat berpangku tangan dan bertawakal buta, bahkan Islam (Allah) memerintahkan agar sifat-sifat yang rendah itu dihapuskan dari permukaan bumi ini.
68
Manusia saling butuh membutuhkan dalam memenuhi hajat hidupnya, maka Allah pun memudahkan bagi setiap orang untuk mengerjakan sesuatu jenis usaha. Maka lahirlah kelompok petani, nelayan, pedagang, tukang besi, dan sebagainya. apabila seluruh manusia memilih satu macam jenis usaha saja, misalnya semuanya menjadi petani, tentulah terbengkalai segala macam hajat dan kemaslahatan hidup yang lain. Manusia niscaya dalam kebaikan dan kebahagiaan, selama mereka berbeda-beda pekerjaan. Jika mereka semuanya sama-sama mengerjakan satu pekerjaan saja, tentulah mereka akan binasa. Dengan keterangan-keterangan yang tersebut, maka malas berusaha untuk melengkapkan kebutuhan hidup dunia, atau hanya terlampau rajin dalam beribadat badaniyah semata-mata, bukanlah sekali-kali prinsip Islam dan tidaklah diterima oleh Islam. Islam memandang mulia dan utama orang yang berusaha untuk memenuhi hajat hidup dan memperlengkap kebutuhan hidup sendiri dan kebutuhan bersama. Umar Ibn al-Khathab ra. berkata: wahai golongan yang membaca al-Qur'an, angkatlah kepalamu, karena telah sangat terang jalan-jalan untukmu. Berlomba-lombalah kepada kebajikan, dan janganlah kamu menjadi beban orang-orang Islam." "Wahai golongan yang membaca al-Qur'an, carilah rezeki-rezekimu (dengan usaha dan tanganmu sendiri) dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia."
69
Sesuatu usaha yang padanya terdapat sedikit kehinaan, lebih baik daripada meminta-minta." Janganlah seseorang kamu duduk dari mencari rezeki dan berkata: 'Wahai Tuhan-ku, rezekikanlah oleh-Mu akan daku', padahal ia mengetahui, bahwa langit tidak menghujankan emas dan perak. Hanyasanya Allah memberikan rezeki-rezeki kepada manusia, sebahagian mereka dari pada sebahagian yang lain. Apabila telah selesai dari sembahyang, berpencarlah kamu ke tiap-tiap penjuru bumi, dan kejarlah keutamaan Allah." Menurut Hasbi (2001: 543), pelajarilah berbagai macam kepandaian, karena manusia berhajat kepada sesuatu macam pekerjaan itu. Pada suatu ketika, Luqman menasehati anak-anaknya: "Wahai anak-anakku, lepaskanlah dirimu dari kemiskinan dan kejarlah kekayaan dunia dengan usaha-usaha yang halal. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang papa, akan tertimpa atas dirinya tiga perkara, tipis agamanya, lemah akalnya dan hilang muruahnya, dan yang lebih besar dari itu ialah orang memandang ringan kepadanya". Islam
menggerakkan
manusia
untuk
menegakkan
dua
kewajiban kemanusiaan, yaitu kewajiban beramal dan kewajiban berusaha mengerjakan amal-amal untuk akhirat dengan secukupcukupnya dan berusaha dengan segala daya upaya yang halal untuk melengkapi kebutuhan hidup serta mencari kekayaan dunia, adalah dua kewajiban seorang muslim yang tidak dapat dielakkan. Karena itu,
70
orang-orang yang tidak bekerja atau menganggur, bukan karena kelemahan, terjauhlah orang itu dari kemanusiaan dan terlepaslah ia dari tuntunan Islam. la dipandang telah mati, walaupun ia masih hidup. Tegaslah, bahwa berusaha dengan segala kesanggupan yang ada dan mungkin dan dengan jalan-jalan yang diridai Allah, kemudian menunaikan segala hak-hak yang telah difardukan-Nya, sederhana dalam membelanjakan harta, menabung untuk hari tua dan untuk hal yang mungkin terjadi, itulah sumbu putar roda dunia dan kemakmurannya. Itulah tujuan yang ditanamkan Islam di dalam ajaran dan peradabannya. Islam mengharamkan mengemis dan hidup hanya dengan menunggu pemberian dan belas kasihan orang semata-mata. Adalah suatu dorongan yang kuat dan tepat untuk berusaha mencari kekayaan, kebahagiaan dan ketinggian martabat hidup di dunia. Menurut Hasbi (2001: 545), mengemis itu tidak dihalalkan, kecuali untuk salah seorang dari yang tiga ini. Pertama, orang yang telah diberatkan menanggung dan membayar diyat. la boleh meminta sehingga ia dapat menutupi keperluannya itu. Kedua, orang yang ditimpa bencana terhadap harta-hartanya. la boleh meminta-minta sampai ia memperoleh modal untuk menunjang hidupnya. Ketiga, orang yang tertimpa kemiskinan yang disaksikan oleh tiga orang yang terpandang dari kaumnya. la boleh meminta sehingga ia memperoleh
71
kesanggupan untuk menumpu hidupnya. Selain dari itu, semuanya diharamkan.'' Meminta-minta itu suatu perbuatan hina dan mencoreng, sengaja dicoreng mukanya oleh peminta sendiri, terkecuali jika seseorang meminta kepada pihak yang berkuasa dari kas negeri atau di sesuatu urusan yang tidak dapat tidak. Karena itu kaum perempuan pun dituntut pula untuk berusaha. Firman Allah swt.:
)...ﻦ ﺒﺴ ﺘﺎ ﺍ ﹾﻛﻣﻤ ﺐ ﻧﺼِﻴ ﺎﺀﻨﺴﻭﻟِﻠ ﻮﹾﺍﺴﺒ ﺘﺎ ﺍ ﹾﻛﻣﻤ ﺐ ﻧﺼِﻴ ﺎ ِﻝﺮﺟ ﻟﱢﻠ... (32 :ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Artinya: Bagi kaum lelaki nasib bahagia dari apa yang mereka usahakan dan bagi kaum perempuan nasib bahagia dari apa yang mereka usahakan. (Q.S. an-Nisa': 32).
Firman Allah ini menegaskan, bahwa berusaha mencari keutamaan dengan amal usaha bukan dengan angan-angan dituntut juga atas kaum perempuan, sebagaimana juga atas kaum laki-laki.
BAB IV ANALISIS TERHADAP KONSEP TAWAKAL T.M. HASBI ASH SHIDDIQIE DAN RELEVANSINYA DENGAN DAKWAH
4.1. Konsep Tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie Menurut Hasbi, jika mencermati al-Qur'an surat 3 ayat 159 (AliImran/3:159), Allah meletakkan tawakal, sesudah bermusyawarah. Sesudah berembuk dengan luas dan dengan penuh pertimbangan yang matang dan akurat, dalam memecahkan sesuatu urusan atau masalah dan telah mendapat kata sepakat untuk melaksanakannya, barulah bertawakal. Menurut Hasbi, terhadap soal yang di luar jangkauan atau kesanggupan manusia untuk memecahkan atau menghindarinya, seperti seseorang penumpang pesawat udara, yang dihempas badai dan tidak ada lagi jalan baginya untuk menyelamatkan diri dan telah pula hilang harapan bagi keselamatan diri, maka wajiblah ia bertawakal kepada Allah; karena Allahlah yang sanggup mengubah keadaan atau menghentikan angin topan yang berbahaya itu. Menurut Hasbi, tawakal diharuskan di ketika keadaan di luar kemampuan manusia untuk merubahnya dan tidak diharuskan semasih ada kemungkinan dan kemampuan untuk mengubahnya. Orang-orang yang pasrah dan tidak berusaha, hanya semata-mata mendakwa bertawakal kepada Allah, adalah orang-orang yang dusta.
72
73
Menurut Hasbi, Islam dalam perintahnya agar umat berusaha dan beramal di jalan yang diridai Allah, mewajibkan pula agar usaha dan amal itu dikerjakan sambil bertawakal kepada Allah swt. Maksudnya agar orang yang berusaha dan beramal itu mempunyai harapan yang lebih besar yang mendorong semangat dan kemauan bekerja lebih kuat-dan terhindar dari perasaan putus asa. Menurut Hasbi dengan penjelasan ini nyatalah, bahwa menghapus pengangguran di muka bumi ini, dan mewajibkan bekerja dengan jalur yang diridai Allah untuk memperoleh harta-kekayaan adalah salah satu dari citacita dan perintah Islam. Islam membenci sifat berpangku tangan dan bertawakal buta, bahkan Islam (Allah) memerintahkan agar sifat-sifat yang rendah itu dihapuskan dari permukaan bumi ini. Sesuai dengan tema skripsi ini, apabila mengkaji konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie sebagaimana telah diungkapkan dalam bab tiga skripsi ini maka ada beberapa point penting yang dapat diambil dari konsepnya yaitu: pertama, pengertian tawakal; kedua, tawakal dalam mencari rizki yang halal; dan ketiga, perintah berusaha dan bekerja. Untuk masing-masing point, tidak akan dijelaskan kembali karena jika hal itu dilakukan berarti hanya pengulangan. Karena itu masing-masing point langsung dianalisis dengan berpijak pada landasan teori dalam bab dua dan pendapat para ahli sebagaimana telah diungkap sebelumnya. 1. Pengertian Tawakal Sebagaimana telah dikemukakan Hasbi, pengertian tawakal menurut Hasbi (2001: 534) ialah menyerahkan diri kepada Allah
74
dan berpegang teguh kepada-Nya. Syara membagi tawakal atas dua jenis: menyerahkan diri kepada Allah pada pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai sebab atau 'illat; dan menyerahkan diri kepada Allah pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak mempunyai sebab atau 'illat. Menurut analisis penulis bahwa dalam percakapan sehari-hari sering terdengar perkataan tawakal yang tidak tepat pemakaiannya, atau sama sekali "salah pasang". Ini menunjukkan masih banyak juga orangorang yang mengaburkan pengertiannya terhadap tujuan perkataan tersebut. Pada umumnya, orang mempergunakan perkataan itu dalam peristiwa yang menyangkut dengan diri dan keadaan seseorang, seumpama: sakit, kehilangan rezeki, kesukaran yang bertimpa-timpa dan lain-lain sebagainya. Sekedar untuk melukiskan hal-hal itu, penulis mengemukakan beberapa contoh, di antaranya: 1. Seorang laki-laki jatuh sakit bertahun-tahun lamanya. Dia telah berobat dari dokter yang satu kedokter yang lain, dari tabib ke dukun dan lain-lain. Sudah bermacam-macam obat yang dipakainya. Ada obat luar negeri, buatan dalam negeri, ramuan akar-akar kayu dan lainlain. Akhirnya, karena tidak sembuh juga maka timbullah kesal hati dan terus berkata kepada dirinya sendiri dan keluarganya: Sudahlah! Sekarang kita "tawakal" saja kepada Allah. Jika Tuhan hendak menyembuhkan, tanpa diobati pun akan sembuh sendiri; Kalau Tuhan belum hendak menyembuhkannya, biarpun dicari obatnya ke seluruh penjuru dunia, toh tidak akan berhasil.
75
2. Seorang laki-laki yang berdagang selalu rugi saja. Sudah berkali-kali dia menukar sifat dan macam dagangannya, tapi tetap saja tidak untung bahkan sekedar modal pun tidak kembali. Tidak pernah dia mendapat untung dan rezeki. Akhirnya, dia pun menarik kesimpulan : Saya tawakal saja, sebab toh semua makhluk ini —termasuk manusia—-sudah diatur dan ditentukan Tuhan rezekinya. Diam-diam saja pun di rumah tidak akan mati kelaparan. Untuk menghibur hatinya, dia berkata kepada dirinya sendiri: Sedangkan nyamuk, matinya hanyalah karena kekenyangan, bukan sebab kelaparan. Terlalu kenyang menghisap darah manusia, maka ditampar oleh orang yang bersangkutan sampai nyamuk tersebut mati. Saya tidak mau susahsusah lagi mencari rezeki. Saya akan tawakal apapun yang akan terjadi. 3. Seorang yang ditimpa kesukaran bertubi-tubi dan timpa menimpa. Selesai satu kesukaran, datang pula kesukaran yang lain. Karena terusmenerus mengalami kesulitan itu, maka akhirnya dia pun menarik kesimpulan : Silahkan, hai raksasa kesulitan. Saya bukakan pintu luasluas; kalau kesulitan yang datang itu hilang sendiri, syukur; jika kesulitan tersebut tidak mau pergi, ya masa bodoh. Saya tawakal saja. Tiga macam pengertian tawakal yang dilukiskan di atas adalah paham yang salah, keliru dan hanya menyesatkan saja. Tidaklah demikian pengertian tawakal menurut pandangan Hasbi.
76
Pengertian tawakal yang sebenarnya itu dilukiskan oleh Rasulullah saw, dalam suatu Hadist yang berbunyi:
ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻄﱠﺎ ﹸﻥ ﻦ ﺑ ﻰﺤﻴ ﻳ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻲ ﻋِﻠ ﻦ ﺑ ﻭﻤﺮ ﻋ ﺺ ٍ ﺣ ﹾﻔ ﻮﺎ ﹶﺃﺑﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺭﺿِﻲ ﺍﻟﻠﱠـﻪ ﻚ ٍ ﺎِﻟﻦ ﻣ ﺑ ﺲ ﻧ ﹶﺃﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﻲ ﻗﹶﺎﻝ ﻭ ِﺳﺴﺪ ﺮ ﹶﺓ ﺍﻟ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﻗﹸ ﺑ ﲑﺓﹸ ﻐ ﺍﹾﻟﻤ ﺩ ﺍﻭﹶﺍﺭ :ﻢ ـﻠﱠﻭﺳ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺭﺳ ﺟ ﹲﻞ ﺍﱃ ﺭ ﺎ َﺀﺪ ﺟ ﻭﹶﻗ ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﻪﻋﻨ ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠـ ِﻪﺭﺳ ﺠ ِﺪ ﺩﻭﻥ ﺍﻥ ﻳﻌﻘﻠﻬﺎ ﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ ﻳﺎ ِﺴ ﻤ ﺏ ﺍﹾﻟ ِ ﺎﻙ ﻧﺎﻗﺘﻪ ﻋﻠﻰ ﺑ ﺮ ﺘﹶﺍ ﹾﻥ ﻳ ﻢ ـﻠﱠﻭﺳ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﱮ ﻮ ﱠﻛﻞﹸ؟ ﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﻟﻨ ﺗﻭﹶﺃ ﺎ ﺃﻭ ﺃﹸ ﹶﻃِّﻠ ﹸﻘﻬ ﻮﻛﱠﻞﹸ ﹶﺃ ﺗﻭﹶﺃ ﺎﻋ ﱠﻘﹸﻠﻬ ﹸﺃ (ﻮﻛﱠﻞﹸ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ ﺗﻭ ﺎﻋ ﹶﻘﹶﻠﻬ ﹶﺍ Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Abu Khafsin Amru bin Ali dari Yahya bin Said al-Qathan dari al-Mughirah bin Abi Qurrah al-Sadusyi berkata saya telah mendengar Anas bin Malik r.a berkata: Telah datang kepada Rasulullah Saw. seorang laki-laki yang hendak meninggalkan onta yang dikendarainya terlepas begitu saja di pintu masjid, tanpa. ditambatkannya lebih dahulu. Dia bertanya: Ya, Rasulullah! Apakah onta itu saya tambatkan lebih dahulu, kemudian baru saya tawakal; atau saya lepaskan saja dan sesudah itu saya tawakal ? Rasulullah Saw. menjawab: "Tambatkan lebih dahulu, baru engkau tawakal. (riwayat Tirmidzi). (CD program) Dari Hadist tersebut dapat dipahamkan, bahwa Rasulullah memerintahkan kepada laki-laki itu untuk mengikatkan ontanya lebih dahulu, sebagai satu ikhtiar, supaya onta itu jangan lari. Tidak boleh menyerah begitu saja kepada nasib dan keadaan, tapi harus ada usaha. Dalam riwayat diterangkan, bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah menjumpai satu kaum yang tidak mau berusaha mencari penghidupan, sehingga mereka menjadi satu kaum yang malas dan lemah. Khalifah Umar bin Khattab bertanya kepada. kaum tersebut;
77
"Kenapakah kamu tidak berusaha? "Kami tawakal kepada Allah!" — sahut mereka. Mendengar jawaban yang fatalistis (menyerah saja kepada taqdir) itu, maka Khalifah Umar bin Khattab berkata: "Kamu semua bohong. Kamu bukan masuk golongan orang yang tawakal. Yang dinamakan orang tawakal itu ialah orang-orang yang menemukan keinginannya dalam kehidupan di dunia ini, kemudian baru dia tawakal kepada Allah". Contoh yang lain yang terjadi di zaman Khalifah Umar bin Khattab juga, ialah peristiwa satu rombongan sahabat dalam perjalanan pergi berniaga ke Syria. Di tengah jalan mereka mendapat berita bahwa di daerah Syria sedang berjangkit ketika itu penyakit tha'un, yaitu penyakit menular yang berbahaya. Di kalangan rombongan itu timbul dua pendapat. Sebagian menyatakan supaya pulang kembali ke Madinah, jangan sampai anggota rombongan kelak terserang penyakit menular itu. Sebagian lagi ingin meneruskan perjalanan, dengan mengatakan tawakal saja kepada Allah. Karena pendapat itu sama kuatnya, maka diputuskanlah untuk menanyakan pertimbangan khalifah Umar bin Khattab. Setelah Khalifah Umar mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya, maka beliau memutuskan supaya rombongan jangan meneruskan perjalanan. Dari pihak yang tidak merasa puas dengan jawaban Khalifah Umar bin Khattab, timbullah golongan .yang menantang, sehingga ada yang bertanya kepada Khalifah Umar bin Khattab:
78
"Apakah anda ,akan melarikan diri dari takdir Tuhan ?" Khalifah Umar menjawab dengan tegas dan tepat: ''Ya, memang! Lari dari takdir Tuhan kepada takdir Tuhan juga. Sesudah itu Khalifah Umar memberikan perbandingan kira-kira: "Kalau saudara-saudara mempunyai kambing-kambing yang akan digembalakan, kemudian disuruh pilih kepada saudara-saudara antara dua lapangan. tempat menggembalakannya; satu lapangan yang subur, dan satu lagi lapangan yang kering, apakah saudara-saudara akan memilih lapangan yang kering itu dengan alam pikiran karena segala sesuatunya akan terserah kepada takdir Ilahi? Golongan penantang itu tidak dapat menjawab, sebab memang hati kecil mereka berkata: lebih baik memilih lapangan yang subur itu. Ijtihad Khalifah Umar itu kemudian dikonsultasikannya kepada Abdurrahman' bin Auf, salah seorang sahabat yang dekat kepada Rasulullah. Abdurrahman menyatakan, bahwa beliau sendiri pernah mendengar ucapan Rasulullah berkenaan dengan soal yang serupa itu, yang berbunyi:
ـ ِﻦﺒﺪِﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑﻋ ﻦ ﻋ ﺏ ٍ ﺎﺑ ِﻦ ِﺷﻬﻋ ِﻦ ﺍ ﻚ ٍ ﺎِﻟﻦ ﻣ ﻋ ﻤ ﹶﺔ ﺴﹶﻠ ﻣ ﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺒﺪﻋ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺸ ﹾﺄ ِﻡ ﺝ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟـ ﺮ ﺧ ﻪﻋﻨ ﺭﺿِﻲ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺏ ِ ﺨﻄﱠﺎ ﻦ ﺍﹾﻟ ﺑ ﺮ ﻤ ﻌ ﹶﺔ ﹶﺃﻥﱠ ﻋ ﺭﺑِﻴ ﺑ ِﻦ ﺎ ِﻣ ِﺮﻋ ﻦ ـﻤ ِﻦ ﺑ ﺣ ﺮ ﺍﻟـﺪﻋﺒ ﺮﻩ ﺒﺧ ﺸ ﹾﺄ ِﻡ ﹶﻓﹶﺄ ﻊ ﺑِﺎﻟ ﻭﹶﻗ ﺎ َﺀﻮﺑ ﹶﺃﻥﱠ ﺍﹾﻟﻐﻪ ﺑﹶﻠ ﻍ ﺮ ﹶ ﺴ ﺎ َﺀ ِﺑﺎ ﺟﹶﻓﹶﻠﻤ ﺽ ﹶﻓﻠﹶﺎ ٍ ﺭ ﻢ ِﺑ ِﻪ ِﺑﹶﺄ ﺘﻌ ﺳ ِﻤ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﺫﹶﺍ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺭﺳ ﻑ ﹶﺃﻥﱠ ٍ ﻮ ﻋ ﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ـﺍ ِﻣﻨﺍﺭﻮﺍ ِﻓﺮﺟﺨﺮ ﺗ ﺎ ﹶﻓﻠﹶﺎﻢ ِﺑﻬ ﺘﻧﻭﹶﺃ ﺽ ٍ ﺭ ﻊ ِﺑﹶﺄ ﻭﹶﻗ ﻭِﺇﺫﹶﺍ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻮﺍﺪﻣ ﺗ ﹾﻘ (ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ Artinya; Telah mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah bin 'Amir bin Rabi'ah sesungguhnya Umar bin Khathab r.a melakukan perjalanan ke Syam, setelah ia sampai di Sargh, datang berita bahwa Syam sedang berjangkit penyakit menular. Lalu Abdurrahman bin Auf menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah berkata: kalau kamu
79
mendengar penyakit menular berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu pergi ke sana. Tetapi kalau penyakit itu berjangkit di negeri di mana kamu berada, janganlah kamu keluar dari padanya melarikan diri. (riwayat Bukhari). (Sahih alBukhari, Juz. IV: 239.
Dengan diperkuat oleh Hadist tersebut, maka pendapat Khalifah Umar itu mendapat kekuatan hukum dan semakin kokoh. Dalam setiap perjuangan, sikap jiwa tawakal itu merupakan faktor yang menentukan pada tingkat-tingkat yang terakhir. Tawakal itu menjadi landasan perjuangan yang kuat. Dengan sikap tawakal itulah Rasul-Rasul menghadapi rintangan dan tantangan, mengatasi kesulitan demi kesulitan, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an :
ﺎﻮﻧﻤﻳﺘﺎ ﺁ ﹶﺫﻋﻠﹶﻰ ﻣ ﺮﻥﱠ ﺼِﺒ ﻨﻭﹶﻟ ﺎﺒﹶﻠﻨﺳ ﺎﺍﻧﻫﺪ ﺪ ﻭﹶﻗ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﻮﻛﱠ ﹶﻞ ﺘﻧ ﺎ ﹶﺃﻻﱠﺎ ﹶﻟﻨﻭﻣ (12 :ﻮ ﱢﻛﻠﹸﻮ ﹶﻥ )ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺘﻤ ﻮﻛﱠ ِﻞ ﺍﹾﻟ ﺘﻴﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﹶﻓ ﹾﻠ ﻭ Artinya: Mengapa kami (kata rasul-rasul) tidak tawakal kepada Allah, sedang Dia telah menunjukkan jalan kepada kami? Dan sesungguhnya kami akan berteguh Hati terhadap kesakitankesakitan, yang kamu timpakan. Orang-orang yang tawakal hanyalah kepada Allah saja berserah diri. (QS. Ibrahim: 12). Dengan sikap jiwa tawakal itulah Nabi Ibrahim a.s. menghadapi siksaan Raja Namrud, tatkala beliau dilemparkan ke dalam api yang sedang menyala, pengikut-pengikut Namrud sudah saling bertepuk tangan, sebab mereka yakin bahwa Nabi Ibrahim akan hangus mati terbakar. Disaat-saat yang menentukan itu Nabi Ibrahim tawakal kepada Allah, setelah segala usahanya untuk melepaskan diri tidak berhasil. Pada tingkat terakhir, Tuhan memberikan pertolongan-Nya yang merupakan permulaan
80
kemenangan
Nabi
Ibrahim
melawan
kezaliman.
Dengan
inayah
(pertolongan) Ilahi, Nabi Ibrahim tidak merasakan sedikit juga panas api yang menjilat-jilat itu, bahkan sebaliknya terasa oleh beliau sejuk dan dingin, tidak memberikan bekas sedikit juga seperti yang diharapkan oleh rezim Namrud sendiri. Dalam sejarah peperangan di zaman Rasulullah, berkali-kali terjadi kemenangan-kemenangan kaum Muslimin yang mengagumkan pihak musuh, sebab menurut perhitungan manusia biasa, pasukan Islam pasti akan
mengalami
kehancuran,
sebab
senjatanya
tidak
lengkap,
jumlahnyapun sedikit; kualitas dan kuantitas sangat lemah. Sebagai contoh dapat dikemukakan kemenangan kaum Muslimin dalam peperangan Badr. Jumlah pasukan kaum Quraisy tiga kali lipat dari tentara Islam, persenjataannya
jauh
lebih
lengkap.
Tapi,
pada
saat-saat
yang
menentukan, kemenangan berada di tangan pasukan Islam. Salah satu senjata pasukan Islam yang ampuh ialah sikap jiwa tawakal itu, menyerbu ke depan sambil berserah diri kepada Allah, setelah segala daya dan usaha dilaksanakan. Demikian juga halnya dengan kemenangan kaum muslimin dalam peperangan Ahzab. Pasukan kaum Quraisy yang mempunyai kekuatan lebih daripada sepuluh ribu tentara, hanya dihadapi oleh tentara Islam yang berjumlah sangat sedikit. Setelah menjalankan segala ikhtiar untuk mempersiapkan pertahanan, pasukan Islam berserah diri (tawakal) kepada Allah. Pada saat-saat yang menentukan, Tuhan memberikan pertolongan-
81
Nya dengan mendatangkan hujan batu dan badai yang keras, yang merupakan pertahanan alam bagi pasukan kaum Muslimin, sehingga tentara kaum Quraisy tidak ada pilihan lain kecuali mundur teratur. Dalam sejarah kehidupan dan perjuangan Rasulullah berpuluhpuluh kali terjadi saat-saat yang mencemaskan, tapi kemudian berubah menjadi harapan, bahkan kemenangan, karena pengaruh kekuatan sikap jiwa
tawakal
itu.
Umpamanya,
tatkala
pemuda-pemuda
Quraisy
mengepung rumah Nabi dengan senjata lengkap untuk membunuh beliau, akhirnya beliau dapat meloloskan diri tanpa diketahui oleh penjaga yang merupakan pagar betis itu. Demikian pula tatkala berada di dalam gua Tsaur bersama-sama dengan Abu Bakar Siddik ketika dalam perjalanan hijrah, yang sudah hendak didobrak oleh musuh, tapi tiba-tiba mereka mundur kembali. Begitu pula tatkala beliau dapat melepaskan diri dari kepungan pihak musuh di medan perang Uhud, setelah beliau mengalami luka-luka. Semua keajaiban-kewajiban itu terjadi berkat pengaruh sikap jiwa berserah diri kepada Allah itu. Salah satu contoh yang amat mengesankan berkat sikap jiwa tawakal itu dalam kehidupan Rasulullah, diceriterakan dalam suatu Hadist, sebagai berikut: "Berkata Jabir: Kami bersama-sama dengan Rasulullah di medan perang Riqa'. Kami tinggalkan beliau beristirahat di bawah pohon kayu. Tiba-tiba datang seorang laki-laki pihak musyrikin, dan terus mengambil
82
pedang Rasulullah yang tersangkut di dahan kayu itu. Kemudian dia berkata ; "Apakah tidak gentar kepadaku ?" "Tidak" sahut Rasulullah. "Siapakah yang dapat menolong engkau dari tanganku ?" "Allah!" Tiba-tiba pedang tersebut jatuh dari tangan laki-laki itu. Kemudian pedang tersebut diambil oleh Rasulullah, dan bertanya kepada laki-laki itu: "Siapakah yang bisa menolong engkau dari tanganku ?" "Engkau adalah sebaik-baik orang yang menentukan" sahut lakilaki itu. ''Ucapkanlah: Tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan bahwa saya (Muhammad) Rasulullah" — kata Nabi. "Tidak! Tapi, saya berjanji tidak akan memerangi engkau dan saya tidak akan menggabungkan diri ke dalam kaum yang akan memerangi engkau." Akhirnya, Rasulullah menyuruh laki-laki itu pergi. Dia pergi menuju teman-temannya dan berkata kepada mereka: "Saya baru bertemu dengan manusia yang paling balk." (riwayat Tirmizi).
83
2. Tawakal Dalam Mencari Rizki yang Halal Menurut Hasbi (2001: 536), apabila manusia bertawakal (menyerah diri) kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, tentulah Allah akan memberi rizki yang berkah, sebagaimana Allah telah merezekikan burung-burung; ia pergi dengan perut yang lapar dan pulang dengan perut yang kenyang. Menurut ajaran Islam, tiap-tiap makhluk di muka bumi ini sudah ditentukan rezekinya masing-masing, seperti yang dinyatakan dalam AlQur'an:
ﺎﻋﻬ ﺩ ﻮ ﺘﺴ ﻣ ﻭ ﻫﺎ ﺮ ﺘ ﹶﻘﺴ ﻣﻌﹶﻠﻢ ﻳﻭ ﺎﺯﹸﻗﻬ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ِﺭ ﺽ ِﺇﻻﱠ ِ ﺭ ﺑ ٍﺔ ﻓِﻲ ﺍ َﻷﺁﺎ ﻣِﻦ ﺩﻭﻣ (6 :)ﻫﻮﺩ Artinya: Tiap-tiap makhluk yang melata di muka bumi ini sudah ditentukan Allah rezekinya Dia mengetahui kediamannya; dan tempat penyimpanannya.'' (QS. Hud: 6). Ayat di atas menjelaskan, bahwa pokok penghidupan, baik untuk manusia maupun untuk makhluk-hewan dan lain-lain telah dicukupkan oleh Tuhan di muka bumi ini. Tapi, ayat tersebut tidaklah menyuruh berpangku tangan atau menanti-nanti saja kedatangan rezeki, sebab — seperti kata peribahasa — "hujan emas tidak akan turun dari langit". Rezeki itu harus diusahakan, diikhtiarkan, baik dengan jalan cucur peluh maupun dengan jalan kepandaian, kecakapan, pengetahuan dan lain-lain sebagainya Apabila segala ikhtiar dan usaha mencari rezeki itu telah dilakukan, maka berserah dirilah (tawakal) kepada Allah. Tuhan memberikan perbandingan dengan kehidupan burung-burung, makhluk yang tidak mempunyai akal seperti manusia. Sedangkan makhluk yang
84
tidak mempunyai akal telah dapat mengusahakan rezekinya, apalagi manusia yang dikaruniakan Tuhan alat yang serba lengkap. Sikap jiwa tawakal itu ada kalanya mempunyai pengaruh yang menentukan dalam perjuangan mencari rezeki. Banyak orang memeras tenaga, memburu-buru rezeki kesana-kemari, tapi tidak juga kunjung bertemu. Mungkin karena dalam usahanya itu ia kurang berserah diri kepada Allah Swt. Dalam pada itu, tidak sedikit orang yang tiba-tiba mendapat rezeki, karena sejak semula, dari niat dan langkah-langkahnya, ia tawakal sepenuhnya kepada Allah Swt, sehingga Allah tidak akan membiarkannya menderita kelaparan. Dari seluruh uraian di atas jelaslah bahwa sikap jiwa tawakal itu dengan soal rezeki dalam kehidupan, harus diterapkan dalam setiap langkah, perbuatan, usaha dan perjuangan. Rasulullah senantiasa menganjurkan kepada ummat beliau supaya sikap jiwa tawakal itu dijadikan syiar dalam kehidupan sehari-hari, yang diucapkan dalam bentuk doa setiap pagi dan sore, ketika keluar dari rumah, tatkala akan tidur di waktu malam dan lain-lain, sebab tawakal kepada Allah itu akan menanamkan keteguhan hati, ketenangan, keberanian dan lain-lain.
3. Perintah Berusaha dan Bekerja Menurut ajaran Islam, tawakal itu adalah landasan atau tumpuanterakhir dalam sesuatu usaha atau perjuangan. Baru berserah diri kepada Allah setelah menjalankan ikhtiar. Umpamanya, dalam mencari rezeki
85
atau penghidupan, manusia tidak boleh berpangku tangan begitu saja, dengan alasan bahwa rezeki manusia itu sudah ditentukan Tuhan lebih dahulu. Rezeki itu memang telah tersedia, tapi ibarat buah yang sudah matang, haruslah dijolok supaya jatuh, atau mempercepat jatuhnya. Demikian pula halnya dengan seorang pejuang. Seorang pejuang tidak 'boleh menunggu-nunggu begitu saja kezaliman akan hancur sendiri, dengan alasan bahwa tiap-tiap yang bathil itu akan lenyap dan kebenaran serta keadilan akan tegak sesuai dengan ketentuan Ilahi, sunnatullah. Tetapi semuanya itu haruslah diperjuangkan lebih dahulu. Apabila segala ikhtiar sudah dilakukan, barulah berserah diri (tawakal) kepada Allah. Tawakal itupun tidak boleh secara total menghentikan usaha atau ikhtiar. Adapun tawakal tanpa ikhtiar, dan usaha itu bukanlah berserah diri namanya, tapi menyerah. Ayat-ayat dalam AlQur'an yang menyuruh supaya orang yang Mu'min itu tawakal, pada umumnya didahului dengan kalimat-kalimat yang menunjukkan keharusan berusaha atau berikhtiar lebih dahulu, atau tindakan-tindakan lainnya yang termasuk dalam lingkaran langkah-langkah yang harus dilakukan. Sebagai contoh dapat dikemukakan dua ayat, yaitu:
(150 :ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﻮﻛﱠ ﹾﻞ ﺘﺖ ﹶﻓ ﻣ ﺰ ﻋ ﻣ ِﺮ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﻢ ﻓِﻲ ﺍ َﻷ ﻫ ﺭ ﺎ ِﻭﻭﺷ Artinya: Adakanlah musyawarah dengan mereka dalam beberapa urusan, dan bila engkau telah mempunyai keputusan yang tetap, maka berserah dirilah kepada Allah". (QS. Ali Imram: 150).
(81 :ﻼ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﻛِﻴ ﹰ ﻭ ﹶﻛﻔﹶﻰ ﺑِﺎﻟﹼﻠ ِﻪ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﻮﻛﱠ ﹾﻞ ﺗﻭ ﻢ ﻬ ﻨﻋ ﺽ ﻋ ِﺮ ﹶﻓﹶﺄ
86
Artinya: Berpalinglah dari mereka itu, dan berserah dirilah kepada Allah. Dan.cukuplah Tuhan itu sebagai Pelindung. (QS. An-Nisa': 81).
Pada ayat yang pertama ditegaskan, bahwa sebelum melakukan sikap tawakal itu, haruslah lebih dahulu diadakan musyawarah, pertukaran-pikiran dan yang semakna dengan itu. Artinya, harus dilakukan dahulu sesuatu usaha atau ikhtiar. Demikian pula ayat yang kedua, diperintahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. supaya beliau berpaling dari kaum musyrikin, yakni: jangan mengikutinya. Jadi, ada sesuatu sikap atau tindakan yang harus dilaksanakan lebih dahulu, baru setelah itu tawakal kepada Allah. Selain dari ayat-ayat tersebut, masih berpuluh-puluh ayat lainnya di dalam Al-Qur'an, yang menanamkan suatu sikap jiwa kepada orangorang yang Mukmin tentang kemestian berusaha, berikhtiar, berjuang dan lain-lain, yang harus diterapkan dalam segala bidang kehidupan. Di antaranya ialah ayat;
(11 :ﻢ )ﺍﻟﺮﻋﺪ ﺴ ِﻬ ِ ﻧﻔﹸﺎ ِﺑﹶﺄﻭﹾﺍ ﻣﻴﺮﻐ ﻳ ﻰﺣﺘ ﻮ ٍﻡ ﺎ ِﺑ ﹶﻘﺮ ﻣ ﻐﻴ ﻳ ﻪ ﹶﻻ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﹼﻠ Artinya: Sesungguhnya Tuhan tidak merubah keadaan sesuatu kaum sebelum mereka merubah keadaan dm mereka sendiri. (QS. Ar-Ra'd: 11). Ayat tersebut menjelaskan kepada setiap kaum yang berlaku juga buat setiap orang bahwa mereka harus berusaha sendiri untuk merubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik, dengan segala ikhtiar dan usaha yang dapat mereka capai. Tidak boleh menyerah bulat-bulat kepada nasib dan keadaan.
87
Pada ayat yang lain, dengan nada dan tujuan yang serupa Tuhan menegaskan:
:ﻯ )ﺍﻟﻨﺠﻢﻳﺮ ﻑ ﻮ ﺳ ﻴﻪﻌ ﺳ ﻭﹶﺃﻥﱠ {39} ﻰﺳﻌ ﺎﺎ ِﻥ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣﺲ ِﻟ ﹾﻠﺈِﻧﺴ ﻴﻭﺃﹶﻥ ﻟﱠ (39-40 Artinya: Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya dan hasil usahanya itu kelak akan dilihatnya sendiri. (QS. An-Najm: 39-40).
Ajaran Islam meletakkan ikhtiar atau usaha itu sebagai faktor yang utama, sehingga setelah melakukan Ibadah yang diwajibkan harus segera kembali ke lapangan pekerjaan masing-masing, berikhtiar mencari rezeki.
4.2.Relevansi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie dengan Dakwah Apabila konsep tawakal Hasbi dihubungkan dengan dakwah maka jika menengok berbagai musibah di Indonesia, maka konsep Hasbi memiliki keterkaitan yang erat dengan dakwah. Keterkaitan tersebut dapat dijelaskan di bawah ini. Dewasa ini berbagai musibah tengah melanda Indonesia, berbagai media menyuguhkan berita tentang penderitaan manusia akibat terkena musibah. Bisa dilihat peristiwa bencana alam yang susul menyusul menjadikan Indonesia terkesan sebagai negara seribu bencana. Seiring dengan itu ada manusia bersikap putus asa sehingga penyakit mental seperti stres dan depresi mewarnai bangsa ini. Ketegangan ruhani yang berimplikasi pada
88
kesehatan mental bukan lagi sebagai berita yang aneh. Inilah barangkali perlu adanya penerangan para da'i tentang betapa pentingnya dan besar hikmahnya bila manusia bersikap tawakal dalam arti yang benar. Karena realita menunjukkan ada pula manusia yang keliru dalam mempersepsi tawakal, ia hanya bertopang dagu mengharap datangnya rizki dari langit, tampak kepasrahan tanpa usaha telah meminggirkan manusia itu dari persaingan hidup yang makin keras. Namun juga ada yang anti tawakal sehingga mereka mengutuk dan menyudutkan arti makna sebuah kehidupan. Potret buram dalam mempersepsi berbagai peristiwa musibah ini merupakan realita yang mengkhawatirkan. Barangkali alternatif yang terasa tepat adalah manakala da'i sebagai ujung tombak syiar Islam dapat meluruskan kesalahan dalam memaknai tawakal. Merujuk pada kondisi seperti ini tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dakwah memiliki nilai yang sangat urgen dalam memperkuat jati diri dan mental bangsa ini. Berdasarkan analisis tersebut maka dapat lebih dipertegas bahwa tawakal mempunyai kaitan yang erat dengan dakwah. Tawakal tidak dapat dipisahkan dengan dakwah, karena masih banyak orang yang tawakal secara berlebihan, ia terlalu memasrahkan dirinya dalam berbagai hal namun tanpa ikhtiar atau usaha sama sekali. Tawakal bukan hanya berserah diri melainkan ia perlu usaha dahulu secara maksimal baru kemudian tawakal. Kenyataan menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara teori tawakal yang
89
mengharuskan usaha atau ikhtiar dengan realita yang ada di masyarakat yaitu tawakal tanpa usaha. Urgensi dakwah dengan konsep tawakal yaitu dakwah dapat memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana tawakal yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah maka kekeliruan dalam memaknai tawakal dapat dikurangi. Problematika masyarakat sekarang ini bukan saja menyangkut masalah materi, tetapi juga menyangkut masalah-masalah psikologis. Hal ini disebabkan oleh semakin modern suatu masyarakat maka semakin bertambah intensitas dan eksistensitas dari berbagai disorganisasi dan disintegrasi sosial masyarakat (Ahyadi, 1991: 177). Kondisi ini telah mengakibatkan makin keringnya ruhani manusia dari agama. Itulah sebabnya, Umary (1980: 52) merumuskan bahwa dakwah adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang. Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah usaha-usaha
perbaikan
dan
pembangunan
masyarakat,
memperbaiki
kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidak wajaran
dalam
masyarakat.
Dengan
demikian,
dakwah
berarti
memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran
90
agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6). Dengan dakwah maka kekeliruan persepsi dapat diluruskan, dalam hal ini persepsi tentang tawakal. Atas dasar itu untuk mewujudkan dakwah tentang tawakal yang benar maka perlu adanya pemahaman konsep tawakal yang jelas dan sesuai dengan al-Qur'an dan hadis. Dari sekian banyaknya konsep tawakal, maka konsep TM. Hasbi AshShiddiqie menarik untuk dikaji. Alasannya karena konsepnya jelas dan lugas. Hal ini tidak berarti konsep pakar lainnya kurang menarik dan jelas. Namun, konsep TM. Hasbi Ash-Shiddiqie bisa dijadikan salah satu alternatif materi dakwah dalam konteksnya dengan tawakal dan musibah yang kerap terjadi di Indonesia. Dari sudut pandang psikologi, konsep TM. Hasbi Ash-Shiddiqie sesuai dengan pendapat Bastaman (2001: 122) bahwa setiap manusia tidak bebas dari cobaan dan aniaya. Mereka akan mengalami cobaan-cobaan Tuhan berupa malapetaka dan kesengsaraan serta diguncangkan dengan bermacammacam cobaan sebagai penguji iman. Namun dengan tawakal maka secara psikiologis tidak akan menjadikan manusia itu putus asa karena tawakal berhubungan erat dengan ketahanan mental seseorang. Konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie mengandung arti juga bahwa setiap manusia akan menerima sejumlah cobaan, namun dengan tawakal maka manusia dapat mengambil hikmah dibalik cobaan itu. Tawakal sebagai bagian dari ajaran agama menjadi petunjuk bahwa agama mempunyai
91
peranan yang erat di dalam mempengaruhi sikap manusia dalam menghadapi cobaan. Karena itu Ramayulis dalam bukunya yang berjudul: "Pengantar Psikologi agama" (2002: 42) menyatakan, di dalam ajaran agama Islam bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku makhluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fithrah) yang dibawa sejak lahir. Salah satu fitrah tersebut adalah kecenderungan terhadap agama Islam. Pernyataan Ramayulis di atas mengandung arti adanya keterkaitan yang sangat erat antara tawakal sebagai bagian konsep agama dengan manusia. Berdasarkan keterangan ini, maka tidak heran jika psikologi sebagai disiplin ilmu menaruh perhatian dalam memandang manusia. Corey (1988: 13) menyatakan, salah satu aliran utama dalam sejarah psikologi adalah teori psikoanalitik
Sigmund
Freud.
Psikoanalisis
adalah
sebuah
model
perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat manusia dan metode psikoterapi. Lebih jelas lagi bahwa sampai dengan penghujung abad ke-20 ini, terdapat tiga aliran besar psikologi dalam memandang manusia, yakni aliran psikoanalisis, aliran psikologi perilaku (behavioristik), dan aliran humanistik. Berikut akan diuraikan secara singkat ketiga aliran tersebut: Pertama, Aliran Psikoanalisis. Pendiri aliran Psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856-1939), seorang neurolog berasal dari Austria, keturunan Yahudi. Berangkat dari pengalamannya dengan pasien, Freud menemukan ragam dimensi dan prinsip-prinsip mengenai manusia yang
92
kemudian menyusun teori psikologi yang sangat mendasar, majemuk dan luas. Dalam bukunya Ego dan Id (1923), Freud membagi struktur kepribadian manusia ke dalam tiga sistem, yaitu Id (dorongan-dorongan biologis), Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif) yang berinteraksi satu sama lain dan masing-masing memiliki fungsi dan mekanisme yang khas. Selain ketiga sistem itu, manusia pun memiliki tiga strata kesadaran: Alam sadar (the concious), alam prasadar (the pre concious), dan alam tak sadar (the unconcious) yang juga secara dinamis berinteraksi antara satu dengan lainnya. Dalam kaitannya dengan agama, Freud melihat bahwa agama itu adalah reaksi manusia atas ketakutannya sendiri. Dalam buku Totem and Taboo (1973), ia mengatakan bahwa Tuhan adalah refleksi dari Oedipus Complex kebencian kepada ayah yang dimanifestasikan sebagai ketakutan kepada Tuhan. Sedangkan dalam bukunya yang berjudul (1927), Freud mengatakan manusia lari kepada agama disebabkan oleh ketidakberdayaannya menghadapi bencana dan musibah, takut mati, keinginan manusia agar terbebas dari siksaan dan sebagainya (Bastaman, 2001: 49) Mengenai
pemikiran
psikoanalisis
tentang
agama,
Daradjat
menyimpulkan tiga unsur teori psikoanalisis tentang agama, yakni: (a). Sesungguhnya kepercayaan agama seperti keyakinan akan keabadian, surga dan neraka, tidak lain dari hasil pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan, yang mempercayai adanya kekuatan mutlak bagi pemikiran-
93
pemikiran. (b). Sikap seseorang terhadap Allah adalah pengalihan dari sikapnya terhadap bapak, yaitu sikap oedip yang bercampur antara takut dan butuh akan kesayangannya. Dan (c). Do'a dan lainnya adalah cara-cara tidak disadari (obsessions) untuk mengurangkan rasa dosa; yakni perasaan yang ditekan akan pengalaman-pengalaman seksual, dan perasaan-perasaan dosa serta ketakutan. Menurut Zakiah, kesimpulan dari unsur-unsur tersebut dalam pemikiran psikoanalisis, agama adalah gangguan jiwa dan kemunduran kembali kepada hidup yang berdasarkan kelezatan. Melihat pemikiran psikoanalisis yang demikian, nampaknya banyak kelemahan dan bahkan tidak mendasar sama sekali. Psikoanalisis melihat manusia hanya dari sudut negatifnya, sehingga kelihatan manusia selalu pesimis, manusia dianggap putus asa (Sholeh, 2005: 30). Kedua, Aliran Psikologi Behavioristik. Behavioristik (aliran perilaku) yang didirikan oleh Ivan Pavlov, John B. Waston, dan B.F. Skinner mendasarkan diri pada konsep stimultis-respon. Mereka memandang bahwa ketika dilahirkan manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang setelah menerima stimulus yang diterima dari lingkungannya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk, lingkungan balk akan menghasilkan manusia baik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa manusia menurut aliran Behavior, pada hakekatnya netral, baik buruknya ditentukan oleh lingkungan luar.
94
Pandangan Behaviorisme tidak banyak memberikan perhatian pada agama. Dari karya-karya para tokoh ini, tidak banyak menyinggung soal agama. Agama menurut aliran ini, merupakan akibat dari proses tanggapan fisiologis manusia. Dengan demikian Behaviorisme tidak menyediakan cukup kemungkinan untuk menggali agama dari sudut metafisisnya (Ahyadi, 1987: 22) Di samping itu, aliran ini cenderung mereduksi manusia, karena manusia dipandang tidak memiliki potensi dan kebebasan menentukan kehendaknya sendiri. Karena itu, Malik B. Badri, seorang psikolog Muslim yang Populer dengan buku Dilema Psikolog Muslim, mengecam reduksionis aliran ini. "Kompleksitas manusia dalam diri manusia dipandang secara simplistis oleh Behaviorisme," demikian kecam Badri (Ancok dan Suroso, 1995: 66). Ketiga, Aliran Psikologi Humanistik. Tokoh utama aliran ini adalah Abraham Maslow dan C.R. Rogers. Dalam pandangan Maslow, semua manusia memiliki perjuangan atau kecenderungan yang dibawa sejak lahir untuk mengaktualisasikan diri. Psikologi humanistik memusatkan diri untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang terpateri pada eksistensi manusia, seperti kemampuan, abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan diri, rasa estetis dan sebagainya. Selain itu, menurut aliran ini, manusia memiliki otoritas atas dirinya sendiri (Ancok dan Suroso, 1995: 68).
95
Pandangan humanisme, mengakui eksistensi agama. Maslow sendiri dalam teorinya mengemukakan konsep metamotivation yang diluar kelima hierarchy of needs (yaitu: kebutuhan fisiologis; kebutuhan rasa aman; kebutuhan kasih sayang; kebutuhan harga diri; dan kebutuhan aktualisasi diri). Pengalaman mistik adalah bagian dari pengalaman keagamaan. Pribadi (self) lepas dari realitas fisik, dengan upaya tertentu bisa menyatu dengan kekuatan transendental (self is lost and transcendent). Dimata Maslow, level ini adalah bagian dari kesempurnaan manusia. Dari gambaran yang demikian dapat diketahui bahwa aliran-aliran psikologi dalam berbicara tentang manusia sangat beragam dan berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Namun, dari perbedaan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi, pembawaan, karakter, kepribadian, dan sejenisnya, walaupun dalam pengembangan tersebut tergantung pada lingkungan, pembawaan dan pendidikan (Sholeh, 2005: 32). Dalam hubungannya dengan bimbingan dan konseling Islam, bahwa konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie dapat dijadikan materi bagi konselor dalam membimbing dan mengkonsel klien yang belum atau sedang menghadapi masalah. Karena konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie sesuai asas-asas dan tujuan bimbingan konseling Islam. Setiap manusia dalam hidupnya tidak terlepas dari masalah-masalah yang ditemui/dihadapi dan tentu ia ingin memecahkan/mengatasi masalahnya sendiri. Masalah tersebut bersifat kompleks dan berbeda tingkatannya, sesuai
96
dengan perkembangan zaman dan persepsi manusia terhadap zaman itu. Bilamana masalahnya tidak dapat diatasi sendiri, maka ia memerlukan bantuan orang lain untuk memecahkannya atau mengatasinya. Itu pun kalau ia sadar, bahwa ia memiliki masalah dalam dirinya, sebab seringkali masalah tersebut tidak disadari oleh seseorang, dan bahkan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa saja. Jadi diperlukan bantuan orang lain, bukan hanya untuk mengatasi masalah yang dihadapi seseorang, melainkan juga untuk memberitahukan kepadanya bahwa ia mempunyai masalah (W.Lusikooy, 1983: 9-10) Masalah manusia dan kemanusiaan dalam lingkup kehidupan manusia begitu kompleks, terutama sekali penyesuaian diri dengan lingkungan. Pendekatan masalah dalam lingkup pendidikan, dilakukan dengan sistem pendidikan, dalam mana bimbingan adalah merupakan pelengkap pendidikan formal (Ramayulis, 2002: 90). Konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie relevan dengan bimbingan dan konseling Islam. Dilihat dari konsep bimbingan dan konseling Islam, maka tujuan TM. Hasbi Ash-Shiddiqie mengajak pembaca untuk mencintai agama maka masuk dalam kategori asas-asas bimbingan dan konseling Islam. Dalam hal ini sesuai dengan asas kebahagiaan dunia dan akhirat, yang tujuan akhirnya adalah membantu klien atau konseli, yakni orang yang dibimbing, mencapai kebahagiaan hidup yang senantiasa didambakan oleh setiap muslim. Kebahagiaan akherat akan tercapai bagi semua manusia jika dalam kehidupan dunianya selalu tawakal. Oleh karena itulah Islam mengajarkan
97
hidup dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kehidupan keduniaan dan keakhiratan agar senantiasa tumbuh dan terpeliharanya jiwa yang sehat di atas ridha illahi. Konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, selain sesuai dengan tujuan bimbingan dan konseling Islam, juga sesuai dengan dasar pijakan bimbingan dan konseling Islam, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Keduanya merupakan sumber hukum Islam atau dalil-dalil hukum (Khallaf, 1978: 10). Al-Qur'an dan Hadits merupakan landasan utama yang dilihat dari sudut asal-usulnya, merupakan landasan naqliyah, maka landasan lain yang dipergunakan oleh bimbingan dan konseling Islam yang sifatnya aqliyah adalah filsafat dan ilmu, dalam hal ini filsafat Islam dan ilmu atau landasan ilmiah yang sejalan dengan ajaran Islam. Konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie sesuai dengan asas fitrah bimbingan konseling Islam. Bimbingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada klien atau konseli untuk mengenal, memahami dan menghayati fitrahnya, sehingga segala gerak tingkah laku dan tindakannya sejalan dengan fitrahnya tersebut. Manusia, menurut Islam dilahirkan dalam atau dengan membawa fitrah, yaitu berbagai kemampuan potensial bawaan dan kecenderungan sebagai Muslim atau beragama Islam. Bimbingan dan konseling membantu klien konseli untuk mengenal dan memahami fitrahnya itu, atau mengenal kembali fitrahnya tersebut manakala pernah tersesat, serta menghayatinya
sehingga
dengan
demikian
akan
mampu
mencapai
98
kebahagiaan hidup di dunia dan akherat karena bertingkah laku sesuai dengan fitrahnya itu. Pada hakikatnya tawakal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakikatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya. Masing-masing mengisyaratkan kepada salah satu dari perkara-perkara ini, dua atau lebih. Apabila seseorang hendak melakukan tawakal maka ada beberapa teknik atau cara menggunakan tawakal dalam mengatasi masalah yaitu sebagai berikut: Pertama: mengetahui Rabb dengan segenap sifat-sifat-Nya, seperti kekuasaan, perlindungan, kemandirian, kembalinya segala sesuatu kepada ilmu-Nya, dan lain-lainnya. Pengetahuan tentang hal ini merupakan tingkatan pertama yang diletakkan hamba sebagai pijakan kakinya dalam masalah tawakal. Kedua: kemantapan hati dalam masalah tauhid, tawakal seseorang tidak baik kecuali jika tauhidnya benar. Bahkan hakikat tawakal adalah tauhid di dalam hati. Selagi di dalam hati ada belitan-belitan syirik, maka tawakalnya cacat dan ternoda. Seberapa jauh tauhidnya bersih, maka sejauh itu pula tawakalnya benar. Ketiga: menyandarkan hati dan bergantung kepada Allah, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran karena bisikan sebab di dalamnya. Tandanya, dia tidak peduli tatkala berhadapan dengan sebab, hatinya tidak guncang, dapat meredam
kecintaan
kepadanya.
Sebab
penyandaran
hati
dan
kebergantungannya kepada Allah mampu membentenginya dari ketakutan.
99
Keadaannya seperti keadaan orang yang berhadapan dengan musuh yang jumlahnya amat banyak, dia tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi mereka, lalu dia melihat ada benteng yang pintunya terbuka, kemudian Allah menyuruhnya masuk ke dalam benteng itu dan pintunya ditutup. Dia melihat musuhnya berada di luar. Sehingga ketakutannya terhadap musuh dalam keadaan seperti ini menjadi sirna. Keempat: berbaik sangka kepada Allah. Sejauh mana baik sangkamu kepada Rabb dan harapan kepada-Nya, maka sejauh itu pula tawakal kepadaNya. Maka sebagian ulama menafsiri tawakal dengan berbaik sangka kepada Allah. Kelima: menyerahkan hati kepada Allah, menghimpun penopangpenopangnya dan menghilangkan penghambat-penghambatnya. Maka dari itu ada yang menafsiri bahwa hendaknya seorang hamba berada di tangan Allah, layaknya mayit di tangan orang yang memandikannya, yang bisa membolakbaliknya menurut kehendak orang yang memandikan itu, tanpa ada gerakan dan perlawanan. Keenam: pasrah, yang merupakan ruh tawakal, inti dan hakikatnya. Maksudnya, memasrahkan semua urusan kepada Allah, tanpa ada tuntutan dan pilihan, tidak ada kebencian dan keterpaksaan
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab pertama sampai dengan bab lima maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 5.1.1. Konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie yaitu menurutnya tawakal ialah menyerahkan diri kepada Allah dan berpegang teguh kepadaNya. Syara' membagi tawakal atas dua jenis: menyerahkan diri kepada Allah pada pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai sebab atau 'illat; dan menyerahkan diri kepada Allah pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak mempunyai sebab atau 'illat. Tawakal diharuskan di ketika keadaan di luar kemampuan manusia untuk merubahnya dan tidak diharuskan semasih ada kemungkinan dan kemampuan untuk mengubahnya. Orang-orang yang pasrah dan tidak berusaha, hanya semata-mata mendakwa bertawakal kepada Allah, adalah orang-orang yang dusta. 5.1.2. Relevansi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie dengan dakwah yaitu da'i sebagai ujung tombak syiar Islam dapat meluruskan kesalahan dalam memaknai tawakal. Merujuk pada kondisi seperti ini tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dakwah memiliki nilai yang sangat urgen dalam memperkuat jati diri dan mental bangsa ini. Dapat dipertegas bahwa tawakal mempunyai kaitan yang erat dengan dakwah. Tawakal tidak dapat dipisahkan dengan dakwah, karena
100
101
masih banyak orang yang tawakal secara berlebihan, ia terlalu memasrahkan dirinya dalam berbagai hal namun tanpa ikhtiar atau usaha sama sekali. Tawakal bukan hanya berserah diri melainkan ia perlu usaha dahulu secara maksimal baru kemudian tawakal. Urgensi dakwah dengan konsep tawakal yaitu dakwah dapat memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana tawakal yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah maka kekeliruan dalam memaknai tawakal dapat dikurangi. Dalam hubungannya dengan bimbingan dan konseling Islam, bahwa konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie dapat dijadikan materi bagi konselor dalam membimbing dan mengkonsel klien yang belum atau sedang menghadapi masalah. Karena konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie sesuai asas-asas dan tujuan bimbingan konseling Islam. 5.2. Saran-saran Meskipun Konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie itu bersifat klasik, namun konsepnya masih relevan dengan masyarakat saat ini. Karena itu hendaknya semua pihak dapat memberi apresiasi terhadap gagasan dan buah pikirannya. Selain itu hendaknya diadakan penelitian lebih dalam lagi oleh peneliti lainnya. 5.3. Penutup Seiring dengan karunia dan limpahan rahmat yang diberikan kepada segenap makhluk manusia, maka tiada puji dan puja yang patut
102
dipersembahkan melainkan hanya kepada Allah SWT. Dengan hidayahnya pula tulisan sederhana ini dapat diangkat dalam skripsi yang tidak luput dari kekurangan dan kekeliruan. Menyadari akan hal itu, bukan suatu kepurapuraan bila penulis mengharap kritik dan saran menuju kesempurnaan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab, Muhammad. 1980. Kitab al-Tauhid. Bandung: PT al-Ma'arif. Ad-Dumaji, Abdullah Bin Umar. 2000. Rahasia Tawakal Sebab dan Musabab, Terj. Kamaludin Sa'diatulharamaini, Jakarta: Pustaka Azzam. Ahmad, Amrullah. 1983. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Primaduta. Ahyadi, Abdul Aziz, 1995, Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila, Bandung, Sinar Baru al-Gesindo Al-Ghazali, Imam. 1995. Muhtasar Ihya Ulumuddin, Terj. Zaid Husein al-Hamid, Jakarta: Pustaka Amani. Al-Jauziyah, Ibnu Qayyin. 1998. Pendakian Menuju Allah Penjabaran Kongkrit Iyyaka Na'budu wa iyyaka Nastain, Terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Al-Kalabadzi. 1990. Ajaran Kaum Sufi, Terj. Rahman Astuti, Bandung: Mizan Anggota Ikapi. Alkalali, Asad M.. 1987. Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Bulan Bintang. Al-Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif. Anas, Ahmad. 2006. Paradigma Dakwah Kontemporer. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. Anshari, Hafi, 1993, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: al-Ikhlas Arifin, M. 2000, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara Asy-Syarif, Muhammad bin Hasan. 2002. Manajemen Hati, Terj. Ahmad Syaikhu dan Muraja'ah, Darul Haq. Aziz, Moh.Ali, 2004, Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media Bachtiar, Wardi. 1984. Metodologi Penelitian. Dakwah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Bâqy, Muhammad Fuâd Abdul. 1980. Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâz Al-Qur'ân al-Karîm. Beirut: Dâr al-Fikr.
Dahlan, Abdual Aziz, et al, (ed). 1997. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 6, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Dumaiji, Abdullah Bin Umar 2000. Rahasia Tawakal Sebab Akibat. Terj. Kamaluddin, Jakarta: Pustaka Azzam Fuchan, Arief, dan Agus Maimun. 2005. Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ghazali, Imam.1995. Ringkasan Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pustaka Amani. Hafidhuddin, Didin, 2000, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Hamka. 1990. Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas. Hasyimi, A, 1974, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an, Jakarta: Bulan Bintang Jauziyah, Ibnu Qayyim. 2003. Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah: Penjabaran Konkrit: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in. Terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Moleong, Lexi. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya. Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kerjasama Walisongo. Munsyi, Abdul Kadir, 1981, Metode Diskusi Dalam Da’wah, Surabaya: al-Ikhlas Muriah, Siti, 2000, Metodologi Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Mitra Pustaka Naisaburi, Abdul Qarim Abul Kasim Hawazin Al-Qusyairi, 2002. al-Risalah alQusyairiyah, terj. Umar Faruq, Jakarta: Pustaka Amani. Nasution, M. Yunan. 1978. Pegangan Hidup I, Jakarta: Publicita. Pimay, Awaludin, 2005, Paradigma Dakwah Humanis, Semarang , Rasail Poerwadarminta, W.J.S.. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, Cet. 5. Qardawi, Yusuf. 1996. Tawakkal. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Qusyairi, Imam. 2002. al-Risalah al-Qusyairiyah, terj. Pustaka Amani.
Umar Faruq, Jakarta:
Rahmat, Jalaluddin, 1982, Retorika Modern, Sebuah Kerangka Teori dan Praktik Berpidato, Bandung: Akademika Rais, Amien, 1999, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan Sanusi, Salahuddin, 1964, Pembahasan Sekitar Prinsip-prinsip Dakwah Islam , Semarang, CV.Ramadhani Sanwar, Aminuddin.1985. Pengantar Studi Ilmu Dakwah. Semarang: IAIN Walisongo. Shiddiqie, TM. Hasbi Ash. 1991. Tafsir al-Qur'an al-Majid an-Nur. Semarang: Pustaka Rizki Putra. -------. 2001. al-Islam. I, Semarang: Pustaka Rizki Putra. -------. 2003. Mutiara-Mutiara Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan al-Qur'an Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung: Anggota IKAPI. Sulthon, Muhammad, 2003, Desain Ilmu dakwah, Kajian Epistimologis dan Aksiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ontologis,
Sunarto, Ahmad. 2002. Kamus Al-Fikr, Indonesia-Arab-Inggris, Surabaya: Halim Jaya. Suryabrata, Sumadi. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Syarif, Muhammad bin Hassan. 2004. Manajemen Hati. Terj. Ahmad Syaikhu, Jakarta: Darul Haq. Syukir, Asmuni, 1983, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: al-Ikhlas Syukur, Amin. 1993. Pengantar Studi Islam, Semarang: Duta Grafika, dan Yayasan Studi Iqra. Tasmara, Toto, 1997, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Baru Pertama Umar, Toha Yahya. 1985. Ilmu Dakwah. Jakarta: Wijaya Umary, Barmawie. 1980. Azas-Azas Ilmu Dakwah. Semarang: CV Ramadhani
Ya.qub, Hamzah. 1990. Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mu’min (Uraian Tasawuf dan Taqorub). Jakarta; Bumi Aksara. -------, 1973, Publisistik Islam, Seni dan Teknik Dakwah, Bandung: CV Diponegoro Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. 1989. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta: Depaq RI. Yunus, Mahmud. 1973. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an. Zahrah, Abu, 1994, Dakwah Islamiah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Zain, Sutan Muhammad. tth. Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta: Grafika.