1
HASBI ASH SHIDIEQY DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS NABAWI
AR Zainul Mun’im
Abstract: This paper examines the historical development of the Hadith Nabawi from time to time. As the study of history, then this paper presents a periodization coherently. Hadith period begins with the first period hadith (Hadith in the Period of the Prophet Muhammad); Period II Hadith (Tradition In The Khilafat Rasyidin); III period hadith (Hadith of the Time Small Companions and the Tabi'in Large); IV period hadith (Hadith of the Time Codification /pen-tadwîn early hadith); V period hadith (Hadith of the Time Filtering); VI periods hadith (Hadith in the Period of Completion); VII period hadith (Hadith on classification and systematization of the preparation period of the Books of Hadith). Unfortunately, those Hasbi Ash Shiddieqy, periodization of the development of traditions of the Prophet has not been followed by a period which shows the development of traditions more significant, which at this time, the historical development of the hadith has climbed period / period of the eighth, where the phase or period is the period in which tradition Prophet Muhammad has entered the era of soft ware or CD Room, or the Hadith Nabawi presentation IT-based and digitally soft ware programming. Key Words: Hadith, Hadith Nabawi, Periodization.
Pendahuluan Hadis adalah sumber rujukan kedua umat Islam setelah al-Qur'an. Keberadaannya menjadi ujung tombak umat Islam, karena di dalamnya sarat dengan berbagai pedoman dan penjelasan yang telah disabdakan, dilakukan dan ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw. Hanya saja perlakukan terhadap kedua sumber ini sangat berbeda. Dalam konteks al-Qur'an, sumber pertama ini telah diperlakukan sangat maksimal dari awal turunnya sehingga tidak kesulitan dalam melakukan identifikasi terhadapnya. Tetapi dalam konteks hadis, keberadaannya mengalami perlakuan yang sedikit berbeda sehingga tidak semua hadis dapat terdeteksi keberadaannya. Maka dari itu, untuk menghimpun hadis-hadis nabawi, diperlukan ketelitian yang sangat tinggi, yakni berupa kerangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang akurat, agar yang dinamakan hadis nabawi itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.1 Interval waktu yang cukup lama antara Nabi Muhammad
Dosen STAI Nahdlatul Ulama Jakarta. Email:
[email protected] Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 2. 1M.
2
saw dengan para penghimpun hadis, dan perbedaan visi politik serta madzab pada abad-abad berikutnya, merupakan dimensi lain yang menambah rumitnya pembuktian status hadis oleh ulama dari generasi ke generasi. Dalam rangka memahami hadis nabawi ini pula, maka Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan perlunya mempelajari sejarah hadis dengan memeriksa periode-periode yang telah dilalui oleh hadis (sejarah perkembangannya). Dengan cara seperti itu, maka dapat mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan hadis dari masa ke masa yang begitu dinamis dan kompleks dengan cara mempelajari sejarah perkembangan hadis, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya.2 Jika dipelajari dengan seksama, situasi dan keadaan historis (historical situation) perjalanan dan perkembangan hadis nabawi sejak dari permulaan pertumbuhan hingga sekarang.Menurut Hasbi Ash Shiddieqy dapat disimpulkan telah melalui enam periode. Periode pertama, yaitu saat wahyu dan pembentukan hukum dan dasardasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah. Periode kedua, masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat. Periode ketiga, masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar. Periode keempat, masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah). Periode kelima, masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga). Periode keenam, masa memilah kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.) Periode ketujuh, masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.3 Berdasarkan kenyataan inilah, maka tulisan ini dengan merujuk kepada data primer dan sekunder, baik langsung maupun tidak langsung, akan membahas tentang sejarah perkembangan hadis nabawi menurut Habsy Ash Shidieqy. Namun sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya mengenal Habsy Ash Shidieqy secara biografis terlebih dahulu. Biografi Hasbi Ash Shidieqy Hasbi Ash Shidieqy lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904.Seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam.Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su'ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren (meunasah).Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu.Menurut silsilah, Hasbi ash-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieq (573-13 H/634 M), khalifah pertama.Ia sebagai generasi ke-37 dari khalifah tersebut melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya.4 Pendidikan agamanya diawali di dayah (pesantren) milik ayahnya. Kemudian selama 20 tahun,ia mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain. 2Hasbi
26.
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), h.
3Ibid. 4http://www.rizki-putra.com
3
Pengetahuan bahasa Arabnya diperoleh dari Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berkebangsaan Arab. Pada tahun 1926, ia berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), ulama yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern ketika itu. Di sini ia mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa. Pendidikan ini dilaluinya selama 2 tahun.Al-Irsyad dan Ahmad Soorkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga setelah kembali ke Aceh, Hasbi ash-Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah. Pada zaman demokrasi liberal, ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstituante. Pada tahun 1951,ia menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960,ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatan ini dipegangnya hingga tahun 1972.5 Ada beberapa sisi menarik pada diri Muhammad Hasbi, antara lain: Pertama, ia adalah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu setengah tahun duduk di bangku sekolah Al Irsyad (1926). Dengan basis pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual diakui oleh dunia internasional.Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan (1958). Selain itu, berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah. Kedua,ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka "angker". Namun Hasbi pada awal perjuangannya berani menentang arus.Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya. Ketiga, dalam berpendapat,ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia. Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian ulama Indonesia.Mereka angkat bicara menentang fiqh (hukum in concreto) di-Indonesia-kan atau dilokalkan.Bagi mereka, fiqh dan syariat (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Dalam karir akademiknya, menjelang wafat, memperoleh dua gelar Doctor Honoris Causa karena jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di Indonesia.Satu diperoleh dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tanggal 22 Maret 1975, dan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1975.Pada tanggal 9 Desember 5Ibid.
4
1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji dalam rangka menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke rahmatullah, dan jasad beliau dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta.6 Karya-karya Hasbi Ash Shidieqy Hasbi ash-Shiddieqy adalah ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya.Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman.Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid).Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul).Bidang-bidang lainnya adalah hadis (8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul).Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Beberapa karyanya, di antaranya: Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1. Semarang: Pustaka Rizki Putra; Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 2. Bandung: Almaarif; Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 3. Semarang: Pustaka Rizki Putra; Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4. Bandung: Almaarif; Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 5. Yayasan Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy; Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 6.Yayasan Teunkgu Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy; Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 7. Semarang: Pustaka Rizki Putra; Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 8. Semarang: Pustaka Rizki Putra; Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 9. Semarang: Pustaka Rizki Putra; Mutiara Hadis 1 (Keimanan). Semarang: Pustaka Rizki Putra; Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat). Semarang: Pustaka Rizki Putra; Mutiara Hadis 3 (Shalat). Semarang: Pustaka Rizki Putra; Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji). Semarang: Pustaka Rizki Putra; Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar & Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad). Semarang: Pustaka Rizki Putra; Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000; Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999; Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1978; Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1965; Kriteria Antara Sunnah dan Bid‘ah.Jakarta: Bulan Bintang, 1993; Tafsir Alquran al-Madjied-An-Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1965; Pedoman Haji, (Cetakan ke-9, Edisi ke-2). Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005; Dan lain-lain.7 Sejarah Perkembangan Hadis Nabawi dalam Pandangan Hasbi Ash Shidieqy Hadis Periode I (Hadis pada Masa Nabi Muhammad Saw) Hasbi Ash Shiddieqi melihat bahawa hadis nabawi adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun hanya sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidupnya, dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang saja. Pernyataan ini jelas berbeda dengan pendapat Goldziher yang menganggap bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup nabi.8 Padahal dalam kenyataannya, hadis telah ada 6Ash-Shiddieqy,
Sejarah …, h. 379-380.
7http://www.melayu_online.com 8M.M. Azami, Hadith Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 3. Lihat pula dalam Sa'ad al-Murshafi, al-Mustasyriqun wa al-Sunnah (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islami kerja bareng Muassasah al-Rayyan), h. 37.
5
sejak awal perkembangan Islam dan hal ini tidak dapat diragukan lagi. Pada masa itu, para sahabat telah memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw, terutama sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat, kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain yang kebetulan belum mengetahui hadis tersebut. Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka. Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri. Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.9 Namun hadis Nabi pada masa itu lebih banyak dihafal daripada ditulis. Mengenai hal ini, Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan makna filosofis atau faktor-faktor yang melatarbelakangi larangan penulisan teks kenabian selain al-Qur’an yang menurut dia adalah;Pertama, mentadwinkan ucapan-ucapan Nabi, amalan-amalannya, muamalahmuamalahnya adalah sesuatu yang sulit, karena memerlukan beberapa sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang terkait dengan tersebut di atas, padahal orang yang dapat menulis pada saat itu tidak banyak (baca: masyarakat ummiyyun). Kedua, sebagaimana telah disinggung diatas, orang Arab saat itu jarang yang pandai menulis, tapi di sisi lain mereka sangat kuat berpegang pada hafalan dalam segala hal yang mereka ingin menghafalnya. Tetapi ada catatan Hasbi, di sisi mereka (orang Arab) itu mudah untuk mengafal al-Qur’an yang turun secara berangsurangsur dibanding menghafal hadis. Dan ketiga, Karena dikhawatirkan akar terjadi percampuran antara teks al-Qur’an dan hadis jika terjadi penulisan hadis.10 Sedangkan Ajjah al-Khatib mengungkapkan perihal larangan penulisan hadis pada masa itu dengan beberapa alasan yang diutarakannya, yaitu; Pertama, bahwasanya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri adalah tergolong hadisyang mauquf, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Dengan metode al-jam'u wa al-taufiq, larangan penulisan hadis berlaku khusus, yaitu apabila hadis ditulis dalam sahifah yang sama, sehingga ditakutkan akan terjadi iltibas (bercampurnya al-Qur'an dan al-hadis). Jadi, jika dilihat dari mafhum mukhalafah-nyaapabila ilat tersebut tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi.Kedua, larangan penulisan hadis ini 9http://www.anjarnugroho.blogspot.com 10Ash-Shiddieqy,
Sejarah …, h. 34.
6
berlaku bagi para penghafal (huffadz) yang sudah diketahui kualitas hafalannya, sehingga ditakutkan mereka akan tergantung pada teks-teks tertulis. Namun penulisan hadis ini tetap berlaku bagi mereka yang tidak mampu menghafal dengan baik, seperti kasusnya Abu Syah.Ketiga, larangan penulisan hadis ini bersifat umum, akan tetapi ada kekhususan bagi mereka yang mahir tradisi membaca dan tradisi menulis, sehingga tidak ada kesalahan dalam menulis, seperti kasusnya Abdullah Bin 'Amr Bin 'Ash.11 Terlepas dari persoalan di atas, Hasbi menilai bahwa hadis nabawi pada masa ini telah banyak dikutip oleh para sahabat yang dikelompokkan ke dalam empat macam. Pertama, sahabat yang terlebih dahulu masuk Islam, seperti khalifah yang empat dan Abdullah bin Mas'ud. Kedua, sahabat yang selalu berada di samping Nabi dan selalu menghafal hadisnya, seperti Abu Hurairah dan Abdullah bin Amr bin Ash. Ketiga, sahabat yang lama hidupnya sesudah Nabi karena mereka dapat menerima hadis dari sesama sahabat, seperti Anas bin Malik dan Abdullah bin Abbas. Keempat, sahabat yang erat hubungannya dengan Nabi, yaitu Ummahat al-Mu'minin, seperti Aisyah dan Ummu Salamah.12 Hadis Periode II (Hadis Pada Masa Khulafa Rasyidin) Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). Keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar.13 Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w.1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis.14 Hal ini dibuktikan dengan sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis, terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadis miliknya. Putri Abu Bakar, ‘Aisyah menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Menjawab pertanyaan ‘Aisyah, Abu menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadis.15 Hal ini membuktikan sikap sangat hati-hati Abu Bakar dalam periwayatan hadis. Sebagaimana Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab jugaterkenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Umar menekankan kepada para sahabatnya agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat. Alasannya, agar 11Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa Mushthalahhuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 150-152. Lihat juga ulasan yang dipaparkan oleh Damanhuri, Sejarah Perkembangan Penulisan Pembukuan Hadis (Surabaya: Sinar Terang, 2009), h. 83. 12Ash-Shiddieqy, Sejarah …, h. 32-33. 13Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid I (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979), h. 57-58. 14Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, juz I (Hiderabat: The Dairati al-Ma’arifi al-Usmania, 1955), h. 2. 15Ibid., h. 5.
7
masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami alQur’an. Abu Hurairah yang dikemudian hari dikenal banyak menyampaikan riwayat hadis, pada zaman Umar terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Abu Hurairah pernah menyatakan, sekiranya dia banyak meriwayatkan hadis pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh Umar.16 Gerakan pengetatan periwayatan hadis bahkan dapat dikatakan penghilangan sebagian hadis oleh dua khalifah itu telah memberikan pengaruh, baik positif maupun negatif dalam perkembangan hadis di kemudian hari. Implikasi positif dari gerakan itu adalah otentisitas hadis lebih terjaga sekaligus membuka peluang interpretasi yang lebar bagi umat Islam dalam mengapresiasi keberagamaannya karena tidak terkungkung oleh normativitas hadis. Di sini kreatifitas umat mendapat lahan yang cukup subur sehingga dapat berkembang dengan baik. Tetapi implikasi negatif dari gerakan pengetatan hadis itu telah mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam. Pertama, hilangnya sejumlah besar hadis. Urwah bin Zubair pernah berkata:”Dulu aku menulis sejumlah hadis, kemudian aku hapuskan semuanya. Sekarang aku berfikir, alangkah baiknya kalau aku tidak menghancurkan hadis-hadis itu. Aku bersedia memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya kembali”. Kedua, terbukanya peluang pemalsuan hadis. Abu al-Abbas al-Hanbali menulis, “Salah satu penyebab timbulnya perbedaan pendapat di antara para ulama adalah hadis-hadis dan teks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding, Umarlah yang bertanggung jawab atas kejadian itu, karena para sahabat meminta ijin untuk menulis hadis tetapi umar mencegahnya. Seandainya para sahabat menulis apa-apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah sa.w, sunnah akan tercatat tidak lebih dari satu mata rantai saja antara Nabi dan umat sesudahnya”. Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima hadis secara lisan ketika menyampaikan hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya. Keempat, terjadinya perbedaan pendapat di kalangan umat. Bersamaan dengan perbedaan ini lahirlah akibat yang kelima, yaitu ra’yu menjadi menonjol dalam proses interpretasi keagamaan.17 Jadi, cara-cara sahabat dalam meriwayatkan hadis pada masa itu ada dua macam;Pertama, adakalanya dengan lafadz asli, yaitu menurut lafadz yang mereka terima dari Nabi Muhammad dan telah mereka hafal. Kedua, adakalanya hanya dengan maknanya saja, yaitu meriwayatkan maknanya, bukan lafadznya karena mereka sudah tidak hafal redaksi hadis yang telah diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. Sedangkan dalam meriwayatkan hadis nabi ini, terdapat beberapa syarat yang telah ditetapkan. Pertama, mereka tidak akan menerima hadis jika tidak disaksikan kebenarannya oleh orang lain. Kedua, mereka tidak akan menerima hadis jika yang 16Ash-Shiddieqy,
Sejarah …, h. 42.
17http://www.anjarnugroho.blogspot.com
lebih jelasnya lihat Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis, Atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta : Paramadina, 1994), h. 229-230.
8
meriwayatkan hadis itu tidak bersumpah.18 Namun kriteria ini bukanlah hal baku sehingga pada masa itu masih memberi peluang terhadap penerimaan hadis tanpa menggunakan syarat di atas. Pada masa ini pula, hadis nabawi belum dibukukan. Mereka tidak mengumpulkan hadis Nabawi sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap alQur'an yang dibukukan dalam satu mushaf. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa para sahabat pada masa ini sudah ada yang melakukan hijrah ke beberapa daerah sehingga pengkodifikasian hadis mengalami kesulitan. Apabila pengkodifkasian hadis tetap dilaksanakan, maka mereka khawatir ada dugaan bahwa hadis nabawi yanng terbukukan adalah hadis yang muktabar dan rujukan primer sehingga menafikkan beberapa hadis yang belum terbukukan.19 Periode III (Hadis pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi'in Besar) Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu, muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis, diantaranya: ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M). Pada masa ini, hadis nabawi mulai tersebar ke seluruh pelosok jazirah Arab dan berada di beberapa kota besar. Hadis Nabi telah menjadi sebuah disiplin keilmuan yang selalu dikaji di berbagai madrasah, seperti di Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir, dan Yaman. Pada masa ini, hadis Nabi yang belum ditadwin (dihimpun) dalam suatu kitab hadis dan kedudukan hadis yang belum signifikan dalam struktur sumber ajaran Islam, telah dimanfaatkanuntuk dipalsukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kesempatan yang begitu lebar untuk melakukan pemalsuan hadis, plus dengan keuntungan, baik politis, ekonomis, maupun sosial yang besar dengan melakukan hal itu, telah mendorong kelompok-kelompok tertentu melakukan tindakan yang menurut sabda Nabi terkutuk (fal yatabawwa’ maq’adahu man al-nar)sangat merugikan dunia Islam. Para ulama berbeda pendapat tentang kapan kegiatan pemalsuan hadis dimulai. Pendapat pertama mengemukakan bahwa pemalsuan hadis telah ada pada era Rasulullah. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Amin (w. 1373 H/1954 M), dengan alasan hadis mutawatir yang menyatakan bahwa barangsiapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan mengatasnamakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka. Kata Ahmad Amin, hadis itu memberi gambaran telah ada individu maupun kelompok pada masa Nabi yang telah melakukan pemalsuan hadis.20
18Ash-Shiddieqy,
Sejarah …, h. 43-47. h. 49. 20http://www.anjarnugroho.blogspot.com Nahdhat al-Mishriyah, 1974), h. 210-211. 19Ibid.,
Ahmad Amin, Dhuha Islam (Kairo: Maktabah al-
9
Ada juga yang menyatakan bahwa pemalsuan hadis muncul ke permukaan setelah tahun 40 H. Hal ini disebabkan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa golongan yang didorong keperluan dan kepentingan golongannya dengan membuat beberapa hadis palsu sebagai dasar pendukungnya. Oleh sebab itu, hadis nabawi sejak masa itu mulai tercampur dengan hadis palsu. Kelompok yang pertama kali melakukan penyebaran hadis palsu adalah kelompok Syiah yang berusaha mengkultuskan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan keturunan Ahl Bait. Kemudian perbuatan mereka ditandingi oleh kelompok Sunni dan kelompok Khawarij.21 Untuk menyelamatkan hadis Nabi di tengah-tengah berkecamuknya pembuatan hadis palsu, maka ulama hadis menyusun berbagai kaedah penelitian hadis. Kaedahkaedah yang mereka susun, tujuan utamanya adalah untuk penelitian keshahihan matan hadis tersebut, maka disusunlah kaedah keshahihan sanad hadis. Dalam konteks ini, munculah berbagai macam ilmu hadis. Yang paling urgen kedudukannya dalam penelitian sanad hadis, diantaranya adalah ‘ilm rijal al-hadits, dan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil. Ilmu yang disebut pertama, lebih banyak membicarakan biografi para periwayat yang satu dengan periwayat yang lain dalam periwayatan hadis. Sedangkan ilmu yang disebut kedua, lebih menekankan kepada pembahasan kualitas pribadi periwayat hadis, khususnya dari segi kekuatan hafalannya (dhabith), kejujurannya (tsiqah), dan berbagai keterangan lain yang berhubungan dengan penelitian sanad hadis.22 Hadis Periode IV (Hadis pada Masa Kodifikasi/pen-tadwîn-an hadis) Proses pengkodifikasian hadis nabawi pada masa ini telah dilakukan atas inisiatif Khalifah Umar bin Abd Aziz. Keinginan Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menghimpun hadis diwujudkan dalam bentuk surat perintah. Surat itu dikirim ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H. Isi surat perintah itu adalah agar seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah segera dikumpulkan. Untuk menghasilkan maksud tersebut, maka khalifah memerintahkan kepada beberapa gubernur, salah satunya Gubernur Madinah, Abu Bakr bin Muhammad ‘Amr bin Hazm (w. 117 H/735 M) agar menjalankan perintahnya yang dituangkan dalam sebuah surat yang isinya; 1) Khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis dan meninggalnya para ahli hadis, dan 2) khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan ‘Amrah binti Abd al-Rahman dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq, keduanya murid ‘Aisyah dan berada di Madinah, segera dikumpulkan (di-tadwin). Ulama yang berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal ialah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M). Dia seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-bagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya.
21Ibid. 22Ibid.
10
Setelah kedua tokoh ini, maka mulailah banyak yang mengikuti mereka, seperti: Ibn Juraij (150-H) dan Ibn Ishaq (151-H) di Makkah; Ma'mar (153-H) di Yaman; alAuza'i (156-H) di Syam; Malik (179-H), Abu Arubah (156-H) dan Hammah bin Salamah (176-H) di Madinah; Sufyan al-Tsauri (161-H) di Kufah; Abd Allah bin Mubarak (181-H) di Khurasan; Husyaim (188-H) di Wasith; Jarir bin Abd al-Hamid (188-H) di Ray. Mereka tidak hanya menulis hadis-hadis Nabi saja, tetapi juga atsar para sahabat dan tabi'in. Sedangkan beberapa kitab hadis yang masyhur di masa itu adalahMushannaf oleh Syu'bah bin al-Hajjaj (160-H); Mushannaf oleh al-Laits bin Sa'ad (175-H); alMuwaththa' oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179-H); Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah (198-H); al-Musnad oleh al-Syafi'i (204-H); Jami al-Imam oleh Abd al-Razzaq bin Hammam al-Shan'ani (211-H); dan lain-lain.23 Hadis Periode V (Hadis pada Masa Penyaringan) Berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis di atas, ada yang berkualitas shahih dan ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama berikutnya kemudian menyusun kitab hadis yang khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas shahih menurut kriteria penyusunnya. Misalnya, Abu Abd Allah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 261 H/870 M), dan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H/875 M). Di samping itu, muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-Sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun Kitab al-Sunan ialah; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H).24 Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah alsunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas, dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H). Pada masa ini, para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat hadis shahih,sehingga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim), sehingga abad ini merupakan abad keemasan bagi hadis dengan munculnya para ahli hadis terkemuka dan disusunnya Kutubus-Sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat hampir seluruh hadis-hadis yang shahih. Pada masa ini pula, hadis Nabi berusaha dijaga sedemikian rupa. Terdapat beberapa syarat yang diterapkan untuk menjaga keabsahan
23Ash-Shiddieqy, 24Ibid.,
h. 71.
Sejarah …, h. 48-60.
11
sebuah hadis, yaitu sanad harus muttasil, perawi harus muslim, jujur, tidak melakukan tadlis, tidak berubah akalnya, adil, kuat hafalan, tidak ragu-ragu, dan baik I'tikadnya.25 Di antara kitab-kitab hadis yang sudah tersusun waktu itu adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (241-H); Shahih al-Bukhari (251-H); Shahih Muslim (261-H); Sunan Abu Daud (273-H); Sunan Ibnu Majah (273-H); Sunan At-Tirmidzi (279-H); Sunan An-Nasa'i (303-H); Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307-H); Tahdzibul Atsar Ibnu Jarir at-Thabari (310-H).26 Hadis Periode VI (Hadis pada Masa Penyempurnaan) Pada masa ini, yaitu pada abad ke 4 H hingga abad ke 7 H terjadi pemisahan antara ulama mutaqaddimin (salaf) yang metode mereka adalah berusaha sendiri dalam meneliti perawi, dan menghafal hadis sendiri serta menyelidiki sendiri sampai pada tingkat sahabat dan tabi'in. Sedangkan ulama muta'akhkhirin (khalaf), ciri mereka dalam menyusun karyanya adalah dengan menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh salaf, menambahkan, mengkritik dan men-syarah-nya (memberikan ulasan tentang isi hadis-hadis tersebut). Beberapa ulama ada yang menyusun kitab hadis dengan cara kitab-kitab sahih dan Sunan, yaitu membagi kitab-kitab itu ke dalam beberapa bab, seperti bab taharah, bab wudhu', bab shalat, dan seterusnya. Ada pula yang menyusunnya dengan cara kitab Musnad, yaitu berdasarkan susunan nama perawi pertama yang menerima hadis dari Rasul. Ada pula yang menyusun kitabnya berdasarkan susunan kamus berdasarkan urusan huruf hijaiyah seperti kitab Jami' al-Saghir karya al-Suyuthi.27 Sedangkan usaha penyempurnaan lainnya yang dilakukan oleh ulama pada masa itu terhadap hadis Nabi adalah mengumpulkan hadis-hadis Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab,mengumpulkan hadis-hadis dari kitab yang enam,mengumpulkan hadishadis yang terdapat dalam bagian-bagian kitab,mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab Athraf, danmengumpulkan hadis-hadis secara istikraj dan istidrak.28 Kitab-kitab hadits yang termasyhur pada abad ini diantaranya adalah Shahih Ibnu Khuzaimah (311-H); Shahih Abu Awwanah (316-H); Shahih Ibnu Hibban (354H); Mu'jamul Kabir, Ausath dan Shaghir, oleh At-Thabrani (360-H); Sunan Daraquthni (385-H) Sunanul Kubra, al-Baihaqi (384-458 H); dan sebagainya. Hadis Periode VII (Hadis pada Masa Klasifikasi dan Sistematisasi penyusunan Kitab-kitab Hadis) Pada masa ini (abad 7 H-sekarang), hadis-hadis Nabi telah diklasifikasikan dan dikumpulkan berdasarkan kandungan dan tema-tema yang sama. Disamping itu, juga mensyarah dan meringkas kitab-kitab hadits sebelumnya, sehingga muncullah berbagai kitab-kitab Zawaid, seperti Zawaid Sunan Ibn Majah karya al-Bushiri (840 H); Kitab jawami' seperti Jami' al-Masanid wa al-Sunan al-Hadi li Aqwam al-Sunan karya Ibn Katsir (974 H); Kitab hadits hukum, seperti Bulugh al-Maram min Adillatil Ahkam, 25Ibid., 26Ibid.
27Ibid., 28Ibid.,
h. 72. h, 96. h. 97-100.
12
Ibnu Hajar al-Asqalani (852-H) dan sebagainya; Kitab Takhrijseperti Takhrij Ahadits Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zaily (762 H); kitab Athraf seperti Athraf al-Sahih Ibn Hibban karya al-Iraqy; Begitu pula berbagai kitab targhib wa tarhib (kitab yang berisi berbagai hal untuk menggemarkan dalam beribadah dan mengancam bagi yang lalai), seperti: al-Targhib wa Tarhib, Imam al-Mundziri (656-H), dan Riyadhus Shalihin, oleh Imam Nawawi (767-H).29 Penutup Berdasarkan paparan di atas, Hasbi Ash Shiddieqy telah membagi sejarah perkembangan hadis nabawi ke dalam tujuh periode. Dari masa dimana Nabi Muhammad saw hidup hingga masa dimana hadis Nabi telah terkodifkasikan ke dalam lembaran-lembaran kitab yang cukup beragam. Kiranya dari periodesasi hadis ini dapat membuktikan eksistensi dan orisinalitas hadis Nabi Muhammad saw,karena begitu banyaknya perawi yang berusaha melakukan filter dari berbagai hadis palsu dan hanya mengakui hadis yang benar-benar memenuhi kriteria kesahihannya. Bagi Hasbi Ash Shiddieqy, mungkin periodesasi perkembangan hadis Nabi ini adalah sebuah hasil final karena hingga dimana Hasbi wafat, belum ada periode tertentu yang menunjukkan perkembangan hadis yang lebih signifikan. Seandainya Hasbi masih hidup hingga sekarang, niscaya dia akan menambahkan sejarah perkembangan hadis kepada delapan fase, dimana fase atau periode terakhir adalah masa di mana hadis Nabi Muhammad saw telah memasuki era soft ware atau CD Room, atau hadis Nabawi yang penyajiannya berbasis IT atau digitally soft ware programming.
29Ibid.
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M.Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Jakarta : Paramadina, 2000. Amin, Ahmad.Dhuha Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1974. Azami, M.M.Hadith Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaquf, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Damanhuri.Sejarah Perkembangan Penulisan Pembukuan Hadis. Surabaya: Sinar Terang, 2009 Al-Dzahabi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad.Kitab Tadzkirat al-Huffazh, juz I, Hiderabat : The Dairati al-Ma’arifi al-Usmania, 1955. http://www.anjarnugroho.blogspot.com http://www.melayu_online.com http://www.rizki-putra.com Al-Khatib,Muhammad 'Ajjaj. Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa Mushthalahhuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989. Al-Murshafi,Sa'ad.al-Mustasyriqun wa al-Sunnah, Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islami kerja bareng Muassasah al-Rayyan. Nasution, Harun.Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid I, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979. Rakhmat, Jalaluddin. “Dari Sunnah ke Hadis, Atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994. Ash-Shiddieqy, Hasbi.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.