ANALISA KAWASAN RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR DI DAS UPPER BRANTAS MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI Muhammad Noorwantoro, Runi Asmaranto, Donny Harisuseno Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jalan MT. Haryono 167, Malang 65145, Indonesia Email:
[email protected] ABSTRAK DAS Upper Brantas merupakan daerah yang berpotensi terjadi bencana tanah longsor. karena memiliki kemiringan lereng curam (> 25%) dengan jenis tanah dominan adalah andosol yang memiliki sifat peka erosi dan curah hujan tahun 2013 lebih dari 1500 mm. Oleh karena itu diperlukan upayaupaya untuk meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan dengan melakukan pemetaan daerah rawan longsor untuk mengetahui sebaran daerah rawan longsor sehingga kita bisa merumuskan upaya penanggulangan. Pemetaan menggunakan tujuh parameter yaitu kemiringan lereng, curah hujan, tata guna lahan, geologi, kedalaman solum, tekstur tanah, permeabilitas tanah.dan masing-masing memiliki skor dan bobot kemudian dilakukan overlay sehingga menghasilkan peta sebaran daerah rawan longsor. Hasil studi menyebutkan wilayah studi dengan luasan 160,2 km2 terbagi menjadi 3 kelas kerawanan yaitu tingkat kerawanan rendah (23,84 km2/14,84%), tingkat kerawanan sedang (112,37 km2/69,96%) dan tingkat kerawanan tinggi (24,42 km2/15,20%). Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji merupakan daerah yang paling berpotensi terjadi tanah longsor dengan luas daerah dengan tingkat kerawanan tinggi 12,54 km2. Kata Kunci : Pemetaan, Rawan Longsor, Sistem Informasi Geografi, Kelas Kerawanan ABSTRACT Upper Brantas watershed is a potentially area in having landslide, since it has slope (> 25%) with andosol as the dominant soil type which has the characteristic of sensitivity in erosion and rainfall on 2013 was higher than 1,500 mm. Therefore, it is needed some efforts to minimize the impact that would be happened by conducted an area mapping of landslide prone in order to know the spread of the landslide prone area thus we can formulate the countermeasure efforts. The mapping use seven parameters such as slope, rainfall, landuse, geologic, the depth of solum, soil texture, soil permeability. Each of them has a score and weight, then it will be overlaid thus it creates the distribution map of landslide prone area. The result of the study stated that 160.2 km2of the study area was divided into three classes of vulnerability, which are low vulnerability level (23.84 km2 / 14.84%), middle vulnerability level (112.37 km2 / 69.96%), and high vulnerability level (24.42 km2 / 15.20%). Tulungrejo village, the subdistrict of Bumiaji is the highest potential area for landslide occurrence with the area of the high vulnerability level is 12.54 km2. Keywords: Mapping, Landslide Prone, Geographic Information System, The Level of Vulnerability
PENDAHULUAN Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Tanah longsor (landslide) merupakan salah satu jenis bencana alam yang sering terjadi di Indonesia,
terutama pada musim hujan. Kemungkinan frekuensi kejadian atau kemungkinan terjadinya longsor lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bencana lainnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada sekitar 257 kejadian bencana tanah longsor terjadi di seluruh wilayah Indonesia yang terjadi di sepanjang tahun 2013. Kota Batu terletak diantara o 112 17’10,90” - 122o57’11” Bujur Timur dan 7o44’55,11”- 8o26’35,45”
Lintang Selatan. Berada pada ketinggian 800-3000 meter. Kota Batu memiliki keadaan topografi dan kemiringan lereng curam (> 25%). Jenis tanah dominan adalah andosol yang memiliki sifat peka erosi dan curah hujan tahun 2013 lebih dari 1500 mm menjadikan Kota Batu tergolong daerah yang rawan terjadi longsor. Hal ini juga ditunjang dengan telah terjadi 35 kali kejadian longsor di sepanjang tahun 2013. Untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor, diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor diperlukan adanya suatu analisa dan pemetaan daerah rawan longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktorfaktor penyebab terjadinya tanah longsor. Selain itu juga kita bisa mengetahui sebaran daerah rawan longsor dan faktor utama penyebabnya sehingga kita bisa merumuskan upaya penanggulangan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Wilayah studi yang dikaji adalah Sub DAS Upper Brantas yang berada di Kota Batu, Jawa Timur. Luas wilayah studi adalah 160,21 Km2. Terbagi menjadi 3 wilayah kecamatan (Bumiaji, Batu, Junrejo) yang terdiri dari 23 desa. Metode Analisa Data-data yang dibutuhkan dalam analisa ini adalah : 1. Data curah hujan tahun 1994-2013 2. Peta curah hujan 3. Peta tekstur tanah 4. Peta permeabilitas tanah 5. Peta kedalaman solum 6. Peta kemiringan lereng 7. Peta geologi 8. Peta tata guna lahan Parameter pemicu tanah longsor yang digunakan ada 7 parameter yaitu
curah hujan, kemiringan lereng, tata guna lahan, permeabilitas tanah, tekstur tanah, kedalaman solum dan geologi. Masing-masing parameter tersebut dilakukan pemberian nilai/skor yang kemudian dikalikan dengan nilai bobot dari masing-masing parameter yang mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tanah longsor. Diasumsikan semakin besar nilai kerawanan/kumulatif artinya semakin berpotensi kawasan tersebut terjadi tanah longsor. Ketujuh faktor di overlay menggunakan bantuan software ArcGIS 10.1 dan dilakukan perhitungan skor kerawanan (kumulatif) sehingga didapatkan peta persebaran daerah rawan longsor.
Gambar 1. Peta Wilayah Studi Untuk nilai skor dari masingmasing parameter bisa dilihat pada tabel
1 dan nilai bobot dari masing-masing parameter pada tabel 2. Tabel 1. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor No Parameter Sk or Curah Hujan I a. > 2500 mm 5 b. 2000 – 2500 mm 4 c. 1500 – 2000 mm 3 d. 1000 – 1500 mm 2 e. < 1000 mm 1 Kemiringan Lereng (%) II a. > 45 5 b. 25 - 45 4 c. 15 - 25 3 d. 8 - 15 2 e. 0 - 8 1 III Permeabilitas Tanah a. Well 5 b. Moderate, Poor 3 c. Excessive 1 IV Tekstur Tanah a. Clay 5 b. Silt 3 c. Sandy 1 Tutupan Lahan V a. Persawahan 5 b. Permukiman, lahan kering 4 c. Hutan, perkebunan 3 d. Semak, lahan terbuka 2 e. Padang rumput 1 f. Perairan 0 Kedalaman Solum (cm) 4 VI a. > 90 b. 60 - 90 3 c. 25 – 60 2 d. < 25 1 Geologi VII a. Batuan gunungapi kuarter 4 atas Gn. Panderman Qv(p) b. Batuan gunungapi Arjuna- 3 Welirang. Qvaw c. Batuan gunungapi Anjas- 2 mara muda, Qpva d. Batuan gunungapi Kawi- 1 Butak, Qpkb Sumber : Taufik, dkk, 2008
Tabel 2. Bobot Tiap Parameter No Parameter 1 Kemiringan Lereng 2 Curah Hujan 3 Tata Guna Lahan 4 Geologi 5 Kedalaman Solum 6 Permeabilitas Tanah 7 Tekstur Tanah Sumber : Taufik dkk, 2008
Bobot 3 2 2 1 1 1 1
Tahapan Analisa 1. Melakukan analisa hidrologi. Melakukan uji konsistensi data hujan menggunakan kurva massa ganda. Melakukan uji homogenitas antara stasiun sumbergondo dan tinjumoyo menggunakan uji T 2. Pembuatan peta batas DAS Upper Brantas dengan peta kontur dari Bakosurtanal sebagai data sekunder. 3. Pembuatan peta polygon thiesen menggunakan ArcToolbox Create Thiessen Polygon. 4. Pembuatan peta kemiringan lereng menggunakan ArcToolbox Surface. 5. Pembuatan peta geologi dengan cara digitasi. 6. Pengisian skor dari setiap parameter. 7. Proses overlay ketujuh parameter. 8. Verifikasi hasil. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisa Hidrologi Uji konsistensi digunakan untuk menguji kebenaran data lapangan yang tidak dipengaruhi oleh kesalahan pada saat pengiriman atau pengukuran data tersebut harus benar-benar menggambarkan fenomena hidrologi seperti keadaan sebenarnya di lapangan (Soewarno, 1995). Metode yang digunakan adalah kurva massa ganda (double mass curve). Dengan metode ini dapat dilakukan koreksi untuk data hujan yang tidak konsisten dengan cara membandingkan harga akumulasi curah hujan tahunan pada stasiun yang diuji dengan akumulasi curah hujan tahunan
rerata dari suatu jaringan dasar stasiun hujan yang berkesuaian, kemudian diplotkan pada kurva (Subarkah, 1980). Ada 7 stasiun yang digunakan pada analisa ini dan data hujan yang digunakan dari tahun 1994-2012. Dari hasil analisa kurva massa ganda di semua stasiun yang digunakan tidak ditemukan terjadinya penyimpangan data sehingga tidak diperlukan faktor koreksi data. Hal ini berarti data hujan yang akan digunakan adalah konsisten dan dapat digunakan untuk analisa selanjutnya. Uji T Uji T digunakan untuk menguji kesamaan / homogenitas rata-rata dari 2 populasi data hujan di 2 stasiun yang berbeda. Uji T pada analisa ini digunakan karena pada stasiun Sumbergondo baru dibangun pada tahun 2006 sehingga tahun sebelumnya tidak ada data hujan. Uji T pada analisa ini akan menguji stasiun Sumbergondo dan Tinjumoyo karena lokasinya yang berdekatan. Uji T dilakukan apabila jumlah sampel kecil (n<30). Uji T dapat dilakukan dengan persamaan sebagai berikut : |
|
|
|
|
|
Dengan : t = variabel t terhitung. X1
= rata-rata hitung sampel set ke 1
X2
= rata-rata hitung sampel set ke 2
N1
= jumlah sampel set ke 1
N2
= jumlah sampel set ke 2
S1
= standar deviasi sampel set ke 1
S2
= standar deviasi sampel set ke 2 Pada analisa ini didapatkan nilai t = 1,462. Dengan dasar pengujian dua sisi pada derajat kepercayaan 5% (α = 0,005), H0 akan ditolak bila t terletak diluar batas –t0,05 sampai t0,05 untuk derajat kebebasan N1 + N2 – 2. Dari tabel nilai kritis tc diperoleh hasil t0,05 = 1,714 dan -t0,05 = -1,714. Sehingga 1,714 < 1,462 < 1,714, oleh karena itu H0 dapat diterima pada derajat kepercayaan 5% atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa 95% adalah benar bahwa tidak ada beda nyata antara curah hujan di Stasiun Sumbergondo dan Tinjumoyo. Sehingga data hujan Tinjumoyo dari tahun 1994-2006 bisa digunakan di Stasiun Sumbergondo. Peta Curah Hujan Peta curah hujan terbagi menjadi 7 luasan wilayah berdasarkan pembagian luasan menggunakan metode polygon thiessen. Untuk luas sebaran pengaruh stasiun hujan dan skor bisa dilihat pada tabel 4. Tabel 2. Luas sebaran stasiun hujan dan skor curah hujan NAMA STASIUN
Luas (Km2)
Temas Pendem Tinjumoyo Ngujung Tlekung Ngaglik Sumbergondo
8.71 5.59 19.81 12.31 8.05 25.85 79.88
CURAH HUJAN (mm) 1690.37 1672.79 1911.37 1690.26 1578.63 1569.11 2025.05
SKOR 3 3 3 3 3 3 4
Sumber : Hasil analisa Peta Kemiringan Lereng Wilayah studi secara umum berada pada daerah dengan kemiringan lereng beragam. Umumnya kejadian tanah longsor terjadi pada wilayah
berlereng. Semakin curam kemiringan lereng dari suatu kawasan maka akan semakin besar potensi kejadian longsor. Sebaran dan skor kemiringan lereng bisa dilihat pada tabel 5. Tabel 3. Luas sebaran dan skor kemiringan lereng
pada parameter geologi berdasarkan umur dari batuan. Semakin muda akan semakin rawan terhadap longsor karena batuan muda cenderung terjadi pelapukan yang menyebabkan berkurangnya kekuatan batuan. Sebaran dan skor geologi bisa dilihat pada tabel 7. Tabel 5. Luas sebaran dan skor geologi
Kemiringan Lereng (%)
Bentuk Lereng
Luas (Km2)
Skor
<8 8 - 15
Datar Landai Agak curam Curam Sangat Curam
49.78 29.31
1 2
26.85
3
43.35
4
10.88
5
15 - 25 25 - 45 > 45
Klasifikasi Geologis Qv(p)
Qvaw
Sumber : Hasil analisa Peta Tata Guna Lahan Berdasarkan peta tata guna lahan Kota Batu tahun 2010 menyebutkan ada 6 jenis guna lahan di Kota Batu. Persawahan merupakan daerah yang paling berpotensi terjadi tanah longsor karena merupakan daerah dengan tingkat kejenuhan air tinggi yang berakibat bobot massa tanah bertambah sehingga menjadi sangat labil. Sebaran dan skor tata guna lahan bisa dilihat pada tabel 6. Tabel 4. Luas sebaran dan skor tata guna lahan Jenis Guna Lahan Hutan Industri Semak Belukar Perairan Darat Permukiman Persawahan
Luas (Km2)
Skor
82.14 0.17 0.28 0.05 15.89 61.67
3 4 2 0 4 5
Sumber : Hasil analisa Peta Geologi Di Kota Batu terbagi menjadi 4 jenis struktur geolgi. Pemberian skor
Qpkb
Qpva
Jenis Batuan Batuan gunung api kuarter atas Gn. Panderman Batuan gunung api ArjunaWelirang Batuan gunung api Kawi-Butak Batuan Gunung api Anjasmara muda
Luas (Km2)
Skor
24.4
4
79.22
3
8.67
1
47.92
2
Sumber : Hasil analisa Peta Permeabilitas Tanah Semakin cepat tanah menyerap air maka akan terjadi akumulasi air sehingga tanah menjadi jenuh, yang berakibat karakteristik tanah menurun drastic, sehingga terjadi penurunan kuat geser tanah dan lereng. Sebaran dan skor kelas permeabilitas tanah bisa dilihat pada tabel 8. Tabel 6. Luas sebaran dan skor kelas permeabilitas tanah Kelas Permeabilitas tanah
Luas (Km2)
Skor
Excessive Moderate Well
41.56 87.97 30.68
1 3 5
Sumber : Hasil analisa
Peta Kedalaman Solum Semakin dalam solum dari suatu lahan maka semakin berpotensi terhadap longsor. Solum yang dalam dapat menambah massa tanah apabila poripori dalam tanah dipenuhi oleh air sehingga lereng tidak mampu menahan. Sebaran dan skor dari solum tanah bisa dilihat pada tabel 9. Tabel 7. Luas sebaran dan skor solum tanah Kedalaman Solum (cm)
Luas (Km2)
Skor
> 90 60–90 25-60 < 25
119.7 30.97 8.23 1.3
4 3 2 1
Sumber : Hasil analisa Peta Tekstur Tanah Tanah dengan berbagai perbandingan pasir, debu, dan liat dikelompokkan atas berbagai kelas tekstur pada segitiga tekstur USDA. Kemudian dicari nilai persentase rata-rata komposisi sand, silt, clay dari tiap jenis tekstur tanah tersebut. Selanjutnya digunakan perhitungan untuk menentukan skornya.. Sebaran dan skor dari tekstur tanah bisa dilihat pada tabel 10. Tabel 8. Luas sebaran dan skor tekstur tanah Nama Clay Loam Loamy Sand Sand Sandy Clay Loam Sandy
Silt (%)
Clay (%)
Sand (%)
14-50 32 0-30 15 0-11 5.5 0-24
28-40 34 0-17 8.5 0-7 3.5 20-33
20-48 34 70-83 76.5 82-100 91 43-80
12 0-50
26.5 0-20
61.5 45-85
Skor
3.00 1.64 1.25 2.30 1.90
Silt (%) Loam 25 72-100 Silt 86 Silt Clay 40-72 Loam 56 50-80 Silt Loam 65 Nama
Clay (%) 10 0-12 6 28-40 34 0-30
Sand (%) 65 0-16 8 0-20 10 0-50
10
25
Skor
2.96 3.48 2.70
Sumber : Hasil analisa Penentuan Batas Kelas Kelas kerawanan dibagi menjadi 3. Besar interval dari masing-masing kelas ditentukan dengan pendekatan relatif dengan cara melihat nilai maksimum dan minimum tiap satuan pemetaan. Batas kelas kerawanan bisa dilihat pada tabel 11. Xt Xr
= 18,64 = 47,70
Tabel 9. Batas Kelas Kerawanan Tingkat Kerawanan Interval Tingkat Kerawanan 18,64 – 28,33 Rendah Tingkat Kerawanan 28,34 – 38,03 Sedang Tingkat Kerawanan 38,04 – 47,70 Tinggi Sumber : Hasil perhitungan
Peta Tingkat Kerawanan Longsor Dari hasil pengolahan sistem informasi geografis (SIG) dengan menggunakan ArcGis 10.1 dapat diketahui wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kerawanan longsor.
Tingkat Kerawanan Longsor 15.20%
14.84%
Tingkat Kerawanan Rendah Tingkat Kerawanan Sedang
69.96%
Tingkat Kerawanan Tinggi
Gambar 2. Diagram Sebaran Tingkat Kerawanan Longsor
Gambar
3.
Peta Sebaran Tingkat Kerawanan Longsor
Daerah tingkat kerawanan sedang dengan luasan 112,37 Km2 (69,90%) dipengaruhi oleh kemiringan lereng landai sampai agak curam (825%) sedangkan untuk sebaran tata guna lahan di daerah ini merata antara sawah, hutan dan permukiman. Untuk parameter tanah, permeabilitas tanah didominasi oleh permeabilitas kelas moderate dan kedalaman solum lebih dari 60 cm. Jenis batuan yang banyak dijumpai adalah batuan gunung api kuarter atas gunung panderman dan batuan gunung api anjasmara muda. Daerah dengan tingkat kerawanan rendah dengan luasan 23,84
Km2 (14,84%) merupakan daerah yang jarang terjadi gerakan tanah jika tidak ada gangguan pada lereng, sedangkan jika terdapat gerakan tanah itu diduga terjadi karena tebing yang tergerus oleh aliran permukaan. Sebaran daerah dengan tingkat kerawanan rendah ini berada pada pusat Kota Batu yang memiliki keadaan lereng datar (< 8%). Tata guna lahan dominan permukiman dan hutan. Untuk permeabilitas tanah di daerah tersebut adalah kelas excessive dan kedalaman tanah 60-90 cm. Verifikasi Hasil Metode yang digunakan adalah dengan membandingkan kejadian longsor yang terjadi pada tahun 2013 dengan peta tingkat kerawanan longsor. Berdasarkan hasil analisa didapatkan pada tingkat kerawanan rendah terjadi 5 kali kejadian longsor atau 15,63%. Pada tingkat kerawanan sedang terjadi 14 kali kejadian longsor (43,75%) dan pada tingkat kerawanan tinggi terjadi 13 kali kejadian longsor atau 40,63% dari seluruh total kejadian longsor pada tahun 2013. Selain itu juga dilakukan survey lokasi dengan 3 titik bedasarkan tingkat kerawanan. Dari 3 lokasi tersebut bisa dilihat perbedaan keadaan alam yang mencerminkan tingkat kerawanan dari lokasi tersebut. Upaya Pencegahan Terjadinya Tanah Longsor Untuk menurunkan tingkat kerawanan pada daerah dengan tingkat kerawanan tertentu perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut : Tabel 10. Upaya Pengendalian Longsor Berdasarkan Tingkat Kerawanan Tingkat Perlakuan Pengendalian Kerawanan Rendah Upaya konservasi yang berupa penanaman pohon yang memiliki perakaran dalam dan berdaun banyak seperti
Tingkat Kerawanan
Sedang
Tinggi
Perlakuan Pengendalian senokeling, kayu manis dan cengkeh Membangun bronjong pada tebing-tebing Pembuatan terasering pada lahan sawah Pengaturan pola tata tanam Melakukan sistem pertanaman dengan model agroforestri Penanaman tanaman yang berakar kuat mengikat tanah tetapi berbatang ringan pada bagian atas dan tengah lereng, dan jenis pohon berakar kuat menahan batu dan berat seperti jati pada bagian kaki lereng Pembangunan parit pengelak, drainase, dan bangunan penghambat/ check dam.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sebaran tingkat kerawanan longsor di Das Upper Brantas yang ada di Kota Batu terbagi menjadi 3 kelas yaitu tingkat kerawanan longsor rendah dengan luasan 23,84 km2 atau 14,84%, tingkat kerawanan longsor sedang dengan luasan 112,37 km2 atau 69,96% dan tingkat kerawanan longsor tinggi dengan luasan 24,42 km2 atau 15,20%. Kecamatan yang paling berpotensi terjadinya longsor adalah Kecamatan Bumiaji, luasan daerah dengan tingkat kerawanan longsor tinggi adalah 21,47 km2 sedangkan desa yang sangat berpotensi terjadi bencana tanah longsor adalah Desa Tulungrejo dengan luas daerah 12,54 km2.
2. Pada tingkat kerawanan longsor tinggi parameter pemicunya adalah kemiringan lereng yang curam dan sangat curam (> 25%) dengan luasan 54,23 km2, tata guna lahan yang dominan adalah daerah persawahan dengan luasan 61,67 km2, jenis batuannya adalah batuan gunung api kuarter atas gunung panderman dengan luasan 24,4 km2. Untuk parameter tanah, permeabilitas tanah yang dominan adalah kelas well dengan luasan 30,68 km2, kedalaman solum antara 60-90 cm dengan luasan 30,97 km2. Intensitas curah hujan tahunan yang terjadi tergolong rendah dengan curah hujan lebih dari 1500 mm/tahun . Saran 1. Pada analisa selanjutnya sebaiknya data dari setiap parameter menggunakan data terbaru sehingga hasil akhir dari analisa bisa lebih sempurna. 2. Untuk verifikasi hasil yang lebih baik sebaiknya menggunakan inventtarisasi data kejadian longsor yang lebih panjang. 3. Parameter geologi yang digunakan pada analisa ini masih terlalu umum dan tidak membahas secara khusus penyebab terjadinya longsor yang mungkin disebabkan oleh fenomena geologi seperti kekar (joint), patahan (fault), dan lipatan (fold). DAFTAR PUSTAKA Asmaranto, Runi. 2013. Jurnal Teknik – Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Identifikasi Lahan Kritis dan Arahan Fungsi Lahan Daerah Aliran Sungai Sampean. Tidak Diterbitkan. Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang. [DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Manajemen Bencana Tanah Longsor.
Karnawati, D. 2001. Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi dan Rekomendasi). Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. 2007. Pedoman Penataan Ruan Kawasan Rawan Bencana Longsor. Rahman, Abdur. 2010. “Penggunaan Sistem Informasi Geografi Untuk Pemetaan Kerawanan Longsor di Kabupaten Purworejo,” Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No.2, hal. 191-199. Banjarmasin: Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Suripin, 2002. Pelestarian Sumber daya Tanah dan Air. Yogyakarta : Penerbit Andi. Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten Garut. Soemarto, CD. 1999. Hidrologi Teknik. Jakarta: Erlangga. Soewarno. 1995. Hidrologi: Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data Jilid 1.Bandung: Nova. Soewarno. 1995. Hidrologi : Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data Jilid 2.Bandung: Nova. Subarkah, Imam. 1980. Hidrologi Untuk Perencanaan Bangunan Air. Bandung : Idea Dharma. Taufiq, H.P., dan Suharyadi, 2008. Landslide Risk Spatial Modelling Using Geographical Information System. Tutorial Landslide. Laboratorium Sistem Informasi Geografis. Fakultas
Geografi Universitas Mada. 9 halaman.
Gadjah