PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
FAUZIAH ALHASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip, baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam dafar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2006
Fauziah Alhasanah
ABSTRAK FAUZIAH ALHASANAH. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan BABA BARUS. Tanah longsor adalah penyebab terjadinya bencana alam di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Peta bahaya dan risiko tanah longsor yang ada saat ini belum memadai untuk digunakan dalam membuat suatu kebijakan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan peta potensi bahaya dan peta risiko untuk mitigasi daerah-daerah bahaya tanah longsor dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis. Hasil menunjukkan bahwa separuh wilayah di kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah rawan terhadap tanah longsor, yaitu 8.460 Ha atau 65,51% dan wilayah yang berpotensi sangat rawan tanah longsor sekitar 2.789 Ha (21,67%), kurang rawan 1.570 Ha (12,16%) dan tidak rawan sekitar 85 Ha (0,66%). Penggabungan peta bahaya tanah longsor dan peta properti menghasilkan tingkat risiko tanah longsor. Namun demikian, sebagian besar wilayah masuk dalam kategori kurang berisiko (7.962 Ha/61,67%) dan wilayah yang berisiko tinggi memiliki luasan terkecil yaitu 568 Ha atau 4,4%. Fenomena yang terjadi adalah wilayah yang memiliki tingkat bahaya tanah longsor yang tinggi belum tentu memiliki nilai risiko yang tinggi, karena dalam perhitungn risiko ditentukan oleh nilai properti yang ada seperti infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan laha n, sedangkan tingkat bahaya tanah longsor ditentukan oleh faktor alam meliputi curah hujan, lereng, jenis tanah, geologi serta penggunaan lahan.
ABSTRACT FAUZIAH ALHASANAH. Mapping and Analysing of Landslide Hazard Zone and its Mitigation Using Geographic Information System (Case Study in North Sumedang and South Sumedang Subdistric, Sumedang Distric, West Java). Under the direction of MUHAMMAD ARDIANSYAH and BABA BARUS. Landslide is the natural disaster that most frequently occurred in the study area of North Sumedang and South Sumedang subdistric. The existing of landslide hazard and risk map s are not yet adequate to be use in policy making. The aim of the research is to provide potential hazard and risk maps to mitigate landslide hazard using geographic information system technology. The result showed that most area in the North Sumedang and South Sumedang subdistrict is moderate landslide hazard covered 8.460 Ha (65,51%), high landslide hazard covered 2.798 Ha (21,67%), low landslide hazard covered 1.570 Ha (12,16%) and very low landslide hazard covered 85 Ha (0,66%). Combining landslide hazard with property value has produced map of landslide risk. Neverthe less most areas are low risk class (7.962 Ha/61,67%) and the high risk areas are only occurred in small places (568 Ha/4,4 %). This phenomena showed that area with high potential class of landslide hazard is not always having a high value of risk. The risk is determined by properties value such as: infrastructure, road network and la nd use, while the landslide hazardous class is determined by natural factors such as: slope, soil type, geology and land use.
© Hak cipta milik Fauziah Alhasanah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
FAUZIAH ALHASANAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk m emperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
Nama NRP Program Studi
: Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunaka n Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat) : Fauziah Alhasanah : P052030141 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Ardiansyah Ketua
Dr. Baba Barus, M.Sc. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 11 April 2006
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT pencipta alam semesta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia -Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada Agustus 2005 ini adalah tanah longsor dengan judul “Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M. Ardiansyah dan Dr. Baba Barus, selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam mengekspresikan pikiran ke dalam sebuah tulisan. Kepada Dr. Ir. S.D. Tarigan selaku penguji, penulis ucapkan terimakasih atas saran dan koreksi terhadap tesis ini. Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. dan seluruh staff pengajar program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas ilmu-ilmu yang diberikan. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Mubekti, M.Sc. dan seluruh rekanrekan di P3 -TISDA BPP Teknologi Jakarta. Khusus kepada Ir. Hartanto Sanjaya, M.S c. dan Laju Gandharum, S.Si. penulis
sampaikan
terimakasih
yang
sebesar-besarnya
telah
banyak
membimbing dan membantu dalam penelitian ini. Terimakasih yang tulus penulis ucapkan untuk kedua orangtuaku tercinta atas do’a dan kesabarannya dalam mendidik penulis. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada kedua kakak tercinta, sahabat-sahabat terdekat, rekan-rekan di PS-PSL (2003) serta M. Iqbal, M.Si.,
atas
kesabarannya
dalam
mendampingi
dan
membantu
dalam
penyelesaian tesis ini, penulis ucapakan terimakasih yang tak terhingga. Terakhir, kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini penulis ucapakan terima kasih yang tak terhingga. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai materi pembanding dalam pelaksanaan penelitian lanjutan. Bogor, Juni 2006 Fauziah Alhasanah
RIWAYAT HIDUP Fauziah Alhasanah dilahirkan di Jakarta pada 3 Februari 1980, putri ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Fairus Syahdan dan Yulita. Pada tahun 1998, penulis menamatkan pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 1 Cimanggis. Selanjutnya, pada tahun yang sama, penulis diterima pada Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Sejak Juni 2002 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai asisten peneliti pada P3-TISDA BPP Teknologi Jakarta . Pada Agustus 2003 , penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan, Sekolah Pascasa rjana, Institut Pertanian Bogor.
Untuk dia yang mampu memberi sepercik asa A friend in need is a friend indeed
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... I.
PENDAHULUAN..................................................................................... 1.1. Latar Belakang............................................................................... 1.2. Perumusan Masalah...................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian............................................................................ 1.4. Kegunaan Penelitian...................................................................... 1.5. Kerangka Pemikiran.......................................................................
1 1 4 5 5 5
II.
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 2.1. Proses Terjadinya Longsor ........................................................... 2.2. Pengertian dan Batasan Gerakan Massa...................................... 2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor.................................................. 2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor .................................................. 2.5. Mitigasi Bencana Tanah Longsor.................................................. 2.6. Sistem Informasi Geografis............................................................
8 8 10 14 16 16 19
III.
METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian.......................................................... 3.2. Bahan dan Alat Penelitian.............................................................. 3.3. Metodologi...................................................................................... 3.3.1. Persiapan ........................................................................... 3.3.2. Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik ...................... 3.3.3. Tahap Interpretasi, Analisis Pembuatan Peta Bahaya Longsor .............................................................................. 3.3.4. Validasi Lapangan.............................................................. 3.3.5. Analisis Ulang..................................................................... 3.3.6. Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan Peta Risiko ......................................................................... 3.3.6.1. Peta Properti ....................................................... 3.3.6.2. Peta Risiko Longsor............................................ 3.3.7. Mitigasi Bencana Tanah Longsor......................................
22 22 22 22 22 23
HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. 4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian.......................................................... 4.1.1. Administrasi dan Kependudukan....................................... 4.1.2. Curah Hujan ....................................................................... 4.1.3. Suhu ................................................................................... 4.1.4. Topografi ............................................................................ 4.1.5. Hidrologi ............................................................................ 4.1.6. Penggunaan Lahan ............................................................ 4.1.7. Geologi............................................................................... 4.1.8. Jenis Tanah ........................................................................ 4.2. Bencana Longsor........................................................................... 4.3. Analisis Wilayah Rawan Bahaya Tanah Longsor.......................... 4.4. Analisis Penyebab Bahaya Tanah Longsor...................................
31 31 31 35 36 36 40 40 43 44 47 49 51
IV.
23 26 26 26 27 27 29
Halaman 4.4.1. Faktor-faktor Pemicu Bahaya Tanah Longsor................... 4.4.2. Kelerengan ......................................................................... 4.4.3. Jenis Tanah ........................................................................ 4.4.4. Geologi............................................................................... 4.4.5. Tutupan Lahan................................................................... 4.5. Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor ........................................ 4.5.1. Peta Infrastruktur................................................................ 4.5.2. Peta Jaringan Jalan ........................................................... 4.5.3. Peta Penggunaan Lahan ................................................... 4.5.4. Peta Risiko Tanah Longsor................................................ 4.6. Mitigasi Penanggulangan Risiko Tanah Longsor.......................... V.
51 54 54 55 56 57 58 59 60 63 68
KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 74 5.1. Kesimpulan..................................................................................... 74 5.2. Saran.............................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 76 LAMPIRAN....................................................................................................... 78
DAFTAR TABEL Halaman 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor .............................. 16 2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor................................................... 24 3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Potensial) Tanah Longsor............................. 26 4. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ................................................................................................ 32 5. Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan .................................................................
33
6. Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan di Kabupaten Sumedang…………………………….......................................................... 35 7. Kelas Lereng dan Luasannya ...................................................................
37
8. Jenis Penggunaan Lahan Luasannya ....................................................... 40 9. Satuan Batuan Beserta Luasannya........................................................... 44 10. Jenis Tanah Beserta Luasannya .............................................................. 46 11. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor-faktor Bahaya Longsor.
48
12. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor Risiko Longsor dan Mitigasi yang Telah Dilakukan ..................................................................
49
13. Nilai Tingkat Potensi (Rawan) Longsor ..................................................... 50 14. Analisis Wilayah yang Berpotensi Rawan Bahaya Tanah Longsor.......... 50 15. Potensi Bahaya Longsor pada Lima Kelas Lereng ..................................
54
16. Jenis Tanah dan Potensi Bahaya Longsor ............................................... 55 17. Satuan Batuan dan Potensi Bahaya Longsor .......................................... 56 18. Tutupan Lahan dan Potensi Bahaya Longsor .......................................... 57 19. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur......................... 58 20. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan.................................... 60 21. Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan.............................................. 61 22. Matriks Penentuan Nilai Risiko ..................................................................
63
23. Kelas dan Nilai Risiko Tanah Longsor Beserta Luasannya ...................... 65 24. Tingkat Risiko Tanah Longsor Berdasarkan Desa di Kecamatan Sumedang Utara dan Selatan.................................................................... 66 25. Luas Wilayah Sangat Rawan dan Sangat Berisiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ............................. 68 26. Faktor Penyebab Bahaya, Potensi Bahaya, Tingkat Risiko, dan Mitigasinya di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan...... 72
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram Alir K erangka Pemikiran Penelitian ........................................... 7 2. Diagram Tipe Gerakan Massa...................................................................
14
3. ProsesTerjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen-komponen Penyebabnya ............................................................................................. 15 4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana ............................................................ 17 5. Manajemen Resiko Bencana Tanah Longsor........................................... 17 6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor........................... 28 7. Diagram Alir Tahap Penelitian...................................................................
30
8. Lokasi Penelitian ........................................................................................ 31 9. Peta Wilayah Administrasi Kec. Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ....................................................................................................... 34 10. Peta Kontur.................................................................................................
38
11. Peta Kelas Lereng...................................................................................... 39 12. Peta Penggunaan Lahan ........................................................................... 41 13. Citra ASTER tahun 2003............................................................................ 42 14. Peta Geologi............................................................................................... 45 15. Peta Tanah Tinjau ..................................................................................... 46 16. Tampilan Variabel-variabel Penyebab Bahaya Tanah Longsor ............... 52 17. Peta Bahaya Tanah Longsor..................................................................... 53 18. Peta Properti ............................................................................................. 62 19. Peta Risiko Tanah Longsor........................................................................ 64 20. Tahapan Mitigasi Tanah Longsor ............................................................. 69
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Wilayah Rawan Longsor di Provinsi Jawa Barat..................................... 78
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng. Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Sutikno 1997). Faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan kegempaan.
Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas
manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan. Tanah longsor dikategorikan sebaga i salah satu penyebab bencana alam, di samping gempa bumi, banjir, dan angin topan, dan lain-lain. Bahaya bencana tanah longsor berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan manusia dan senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di Indonesia, terjadinya tanah longsor telah mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya kehilangan jiwa manusia, kerusakan harta benda, dan terganggunya ekosistem alam. Dari data Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak tahun 1998 hingga pertengahan tahun 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, dimana 85% dari bencana tersebut me rupakan banjir dan longsor (Marwanta 2003). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa longsor merupakan bencana alam yang sangat mengancam dan penting untuk diperhatikan setelah banjir, karena frekwensi kejadian dan jumlah korban jiwa yang ditimbulkan cukup signifikan. Tingginya frekuensi terjadinya tanah longsor di Indonesia disebabkan struktur topografi yang berbentuk pengunungan dan perbukitan yang sangat dominan. Selain itu, tanah longsor juga disebabkan perbuatan manusia yang merusak sumber daya alam, seperti penebangan liar dan kegiatan -kegiatan merusak lainnya yang tidak memperdulikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
2
Salah satu kejadian bencana tanah longsor yang sangat parah dan menimbulkan korban yang tidak sedikit adalah yang terjadi di Ba horok (Sumatera Utara) pada 3 November 2003. Bencana tanah longsor di Bahorok tersebut menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan tempat usahanya, di samping jumlah korban meninggal dan luka -luka yang mencapai ratusan jiwa. Pada awal tahun 2006, kejadian tanah longsor di Indonesia yang sangat parah terjadi di Banjarnegara (Jawa Tengah) dan Jember (Jawa Timur). Kejadian tanah longsor di kedua daerah tersebut menyebabkan sebanyak paling tidak 62 orang tewas, puluhan hilang dan ribuan lainnya harus mengungsi dalam peristiwa banjir bandang di Jember. Sementara peristiwa tanah longsor di Banjarnegara mengakibatkan ratusan orang tewas akibat tertimbun tanah.1 Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Di samping itu, juga disebabkan tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lainnya yang menyebabkan cukup tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik. Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan diketahui bahwa kawasan rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota, antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Purwakarta (Anonim 2002). Wilayah rawan longsor di Provinsi Jawa Barat secara lengkap dan terperinci disajikan pada Lampiran 1. Dilihat dari aspek demografi, dua belas kabupaten/kota tersebut merupakan kawasan pada t penduduk dan pemukiman penduduk pada umumnya terletak pada lereng perbukitan. Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut, diperlukan upaya -upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan . Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan mengingat kejadian tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material dan korban jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya. Mencegah bahaya longsor lebih murah daripada menanggulangi atau membangun kembali bangunan dan infrastruktur yang rusak. Carter (1992) 1
. http://www.penulislepas .com/print.php?id=1713_0_1_0
3
menyatakan bahwa upaya pencegahan terjadinya bencana disebut sebagai mitigasi, yang definisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana (alam maupun disebabkan oleh manusia) terhadap suatu bangsa atau komunitas, agar masyarakat merasa aman dalam beraktivitas di tempatnya. Salah satu bentuk mitigasi dalam rangka menghadapi terjadinya bencana alam dan sekaligus untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya adalah tersedianya sistem peringatan dini (early warning system). Tidak adanya sistem peringatan dini yang dapat menyelamatkan masyarakat dan lingkungan serta minimnya pemahaman tentang lingkungan tempat mereka tinggal, menjadi penyebab banyaknya jatuh korban pada setiap bencana longsor. Mitigasi dalam manajemen bencana longsor terdiri dari beberapa elemen, antara lain mulai dari penyusunan data base daerah potensi bahaya longsor hingga pembuatan peta zonasi bencana (hazard map). Menurut Asriningrum (2003), semua daerah di Indonesia belum memiliki peta rawan longsor yang memadai sehingga daerah-daerah yang rawan terjadinya longsor belum terpetakan dengan baik. Akibatnya, daerah-daerah rawan longsor belum dapat dipantau sehingga ketika longsor terjadi sulit diantisipasi dan sangat potensial menelan korban jiwa dalam jumlah besar. Selama ini, peta yang tersedia sangat tidak memadai untuk mendeteksi titik-titik tertentu yang rawan terkena bencana longsor. Peta yang ada selama ini dibuat dalam skala 1 : 1.000.0000 . Padahal, idealnya skala yang harus dibuat adalah 1 : 50.000 supaya titik-titik yang rawan bahaya longsor dapat diketahui secara detail (Asriningrum 2003). Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan metode yang tepat dalam melakukan pembuatan peta zonasi bahaya tanah longsor untuk suatu cakupan daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat. Penerapan teknologi SIG dapat membantu upaya mitigasi bencana alam dengan melakukan identifikasi lokasi serta pengkajian masalah yang berkaitan dengan dampak tanah longsor. Upaya mitigasi untuk mengurangi atau meminimalisir dampak akibat tanah longsor (mitigasi) dilakukan dengan cara membuat suatu model penyusunan SIG, yakni dengan menggabungkan beberapa peta sebagai variabel untuk memperoleh kawasan yang rentan terhadap bahaya dan risiko tanah longsor.
4
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suhendar (1994) yang menyatakan bahwa citra satelit dapat digunakan secara tidak langsung dalam penentuan potensi tanah longsor, menggambarkan permukaan suatu wilayah , struktur geologi, dan hubungan pertumbuhan dengan kondisi kelembaban. Selanjutnya, Suhendar (1994) juga berpendapat bahwa teknik SIG sangat membantu untuk menganalisis data daerah bahaya tanah longsor dan pendugaan risikonya. 1.2. Perumusan Masalah Dari keseluruhan wilayah sebaran rawan longsor di Provinsi Jawa Barat sebagaimana disebutkan di atas, dalam penelitian ini dipilih salah satu wilayah yang akan dikaji secara mendalam, yaitu Kabupaten Sumedang. Dipilihnya Kabupaten Sumedang sebagai wilayah penelitian dengan pertimbangan bahwa daerah ini memiliki potensi yang besar terjadinya tanah longsor dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat. Kondisi topografi dan geologi wilayah Kabupaten Sumedang pada umumnya adalah wilayah perbukitan dan kebanyakannya merupakan lereng terjal, batuan penyusun berupa endapan vulkanik muda, tanah pelapukan berupa tanah lempung dan lempung pasiran cukup tebal. Selanjutnya, curah hujan ratarata 40 cm per hari pada musim hujan. Berdasarkan hasil identifikasi Direktorat Geologi Tata Lingkungan diketahui bahwa terdapat sembilan kecamatan di Kabupaten Sumedang yang memiliki potensi bahaya longsor relatif besar, yaitu Kecamatan Darmaraja, Cimalaka, Rancakalong, Wado, Sumedang Selatan, Tanjungsari, Tanjungkerta, Sumedang Utara dan Jatigede. Penelitian ini akan difokuskan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah penyangga (buffer zone) ibukota Kabupaten Sumedang mengingat lokasinya yang dekat dan berbatasan langsung dengan ibukota kabupaten. Dengan demikian, perkembangan kedua daerah ini cukup pesat seiring dengan pesatnya dinamika pembangunan di pusat kota. Hal ini ditandai dengan berkembangnya kawasan pemukiman penduduk yang telah mencapai ke kawasan lereng perbukitan di dua kecamatan tersebut. Dengan demikian , beban lereng menjadi bartambah sehingga kawasan pemukiman di daerah ini sangat rentan terhadap ancaman tanah longsor. Hal ini mengacu pada pendapat Sutikno (2000) yang
5
menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan tegangan geser yang memungkinkan terjadinya gerakan tanah. Berdasarkan
gambaran
tersebut,
dapat
dirumuskan
permasalahan-
permasalahan sebagai berikut, yaitu : a. Bagaimanakah sebaran lokasi yang potensial rawan bahaya tanah longsor aktif dan longsor pasif di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan? b. Bagaiamankah sebaran lokasi yang memiliki potensi risiko tanah longsor? c. Bagaimanakah
mitigasi
terhadap
daerah
rawan
longsor
dengan
menggunakan teknologi SIG? 1.3. Tujuan Penelitian a. Menganalisis faktor penyebab potensi bahaya tanah longsor di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan . b. Memetakan wilayah bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. c. Menganalisis tingkat risiko dan memetakan risiko tanah long sor di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan . d. Menganalisis upaya mitigasi terhadap daerah rawan tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan . 1.4. Kegunaan Penelitian a. Peta potensi bahaya dan peta risiko tanah longsor diharapkan bermanfaat sebagai bagian dari upaya mitigasi bahaya tanah longsor yang dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah setempat dan masyarakat maupun instansi terkait lainnya di wilayah Kabupaten Sumedang. b. Sebagai bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya longsoran, khususnya mereka yang tinggal di kawasan rentan longsor dan sekitarnya. 1.5. Kerangka Pemikiran Quarantelli (1998) diacu dalam Smith (2001) memberikan pengertian bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya merupakan fen omena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami
6
kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, d efinisi bencana difokuskan pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya , jatuhnya korban manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak luar. Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi, batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi. Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain. Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat di suatu daerah, agar daerah tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau hazard mempunyai pengertian kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan. Salah satu keterbatasan manusia dalam memahami karakteristik dari banyak faktor penyebab bencana lebih disebabkan karena kurang tersedianya informasi keruangan dan kewilayahan yang detil, komprehensif, dan up to date. Informasi yang diberikan dapat berupa peta kertas atau sistem informasi. Oleh karena itu, penguatan sistem pemetaan merupakan salah satu faktor yang perlu dilakukan untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan bencana tanah longsor. Implementasi dari tindakan penanganan bencana harus didahului dengan melokalisir daerah-daerah yang rawan terhadap tanah longsor. Peta zonasi bahaya tanah longsor memungkinkan para perencana menetapkan dan memutuskan
tingkat
risiko
dengan
mempertimbangkan
penghindaran,
pencegahan atau mitigasi dari bahaya tanah longsor sekarang dan yang akan datang. Peta atau basis data yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan untuk proses mitigasi bencana-bencana alam lainnya seperti banjir, letusan gunung api, dan
7
gempa bumi. Di samping itu, peta ini dapat bermanfaat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan secara umum. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam diagram alir berikut.
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Proses Terjadinya Longsor Cruden (1991) mengemukakan longsoran (landslide) sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng. Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable) sehingga berfungsi sebagai bidang luncur. Berdasarkan tipe gerakan dan material yang mengalami gerakan, Sutikno (1994) membedakan gerakan massa tanah/batuan menjadi tiga tipe, yaitu (i) tipe gerakan lambat (mencakup rayapan tanah, rayapan talus, rayapan batuan, gletser, dan solifluction); (ii) tipe aliran cepat (mencakup aliran lumpur, aliran tanah, debris avalance, longsoran (landslide ), nendatan (slump), longsoran hancuran, batu longsor, dan batu jatuh (rock fall); dan (iii) terban, yakni turunnya material kulit bumi ke bawah tanpa permukaan bebas dan pergeseran horizontal. Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi yang bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini, besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh besarnya sudut kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (slope). Semakin besar slope, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu juga sebaliknya. Secara matematis, Pidwirny (1996) dalam Purnomo (2003) merumuskan persamaan pengaruh gravitasi, sebagai berikut :
F = W sin α dimana : F : Gaya gravitasi (Kg.m/dt²) W : Berat massa batuan di suatu titik α : Sudut lereng
Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan. Kondisi tersebut
sebenarnya
merupakan
fenomena
alam,
yaitu
alam
mencari
keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya
9
dan menyebabkan terjadinya pengurangan kekuatan geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Suryolelono 2005). Dalam buku Gerakan Tanah di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (DGTL) dinyatakan bahwa kemantapan suatu lereng untuk dapat mengalami gerakan tanah dievaluasi dengan menghitung faktor keamanan (Factor of safety, disimbolkan dengan Fs). Fs diperoleh dengan cara membandingkan antara gaya yang menahan dengan gaya yang meluncurkan. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
Fs =
Gaya yang menahan Gaya yang meluncurkan
Apabila gaya yang menahan lebih besar daripada gaya yang meluncurkan (Fs > 1) maka lereng akan mantap. Sebaliknya, apabila gaya yang menahan lebih kecil dari gaya yang meluncurkan (Fs < 1) maka lereng tersebut akan bergerak (tidak mantap). Setiap sesuatu perubahan yang menyebabkan berkurangnya gaya yang menahan atau memperbesar gaya yang meluncurkan, akan menambah kemungkinan terjadinya gerakan tanah. Besarnya gaya penahan material pembentuk lereng atau disebut juga sebagai kekuatan geser (shear strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi geologi sebagaimana dikemukakan Sutikno (2000), yaitu sebagai berikut: a. Komposisi dan tekstur material. b. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan seragam. c. Reaksi kimia. d. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung. e. Pengaruh tekanan air pori. f.
Perubahan struktur material karena pe ngaruh pelapukan.
g. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah. Selanjutnya, Sutikno (2000) juga menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain : a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan kemiringan lereng, dan pemotongan lereng.
10
b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan diatas lereng, dan genangan air di atas lereng. c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan. d. Hilangnya
tahanan
bagian
bawah
lereng;
karena
pengikisan
air,
penambangan batuan, pembuatan terowongan, dan eksploitasi air tanah berlebihan. e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antarbutiran tanah dan pengembangan tanah. f.
Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan, rekahan, sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau miring.
g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak. Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau kurang kompak. h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong munculnya pergerakan tanah atau longsor. i.
Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai penahan massa lereng. Di sisi lain meskipun tumbuhan memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kasus tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yan g mendorong terjadinya longsor.
2.2. Pengertian dan Batasan Gerakan Massa Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting. Mass Wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah.
11
Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air, gaya kohesi antarmaterial akan semakin lemah, sehingga memungkinkan partikel-partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk menyebabkan material untuk meluncur ke bawah. Selanjutnya, pengertian dan batasan masing-masing tipe gerakan massa, menurut klasifikasi Varnes (1978) dalam Cooke dan Doornkamp (1990), secara rinci dijelaskan sebagai berikut : a. Jatuhan (Falls) Rock Falls adalah gerakan pecahan batuan dan jatuh bebas. Peristiwa ini sangat umum terjadi pada lereng yang sangat terjal, dimana material lepas tidak dapat tetap tinggal. Pecahan batuan ini dapat langsung jatuh atau membenturbentur dinding tebing sebelum sampai di bawah tebing. Peristiwa rock falls ini banyak terjadi pada batuan yang mengalami pelapukan fisik karena proses pemanasan dan pendinginan batuan atau oleh pertumbuhan akar tumbuhan. Contohnya, pada tebing di pinggir jalan yang baru dikupas, terutama yang batuannya masih segar atau agak lapuk dan banyak rekahan. Selain rock falls, dalam terminologi jatuhan juga dikenal istilah soil falls, yaitu gerakan yang terjadi akibat pemotongan pada massa tanah (soil) atau muka teras.
Soil falls ini biasanya terjadi pada bagian yang tidak stabil.
Prosesnya dimulai pada saat massa terpisah dari tebing terjal yang disebabkan retakan, sebelum lereng terjal tersebut runtuh. b. Robohan (Topples) Merupakan gerakan robohan ke arah depan. Topples dapat terjadi pada batuan maupun tanah, dan biasanya merupakan hasil dari retakan-retakan setelah terjadinya massa yang jatuh. Selanjutnya material robohan tersebut bergerak sebagai aliran (flow) atau sebagai longsoran (slide). c. Longsoran (Slides) Longsoran (slides) merupakan perpindahan masa batuan atau tanah melalui suatu permukaan bidang. Permukaan bidang tersebut dapat merupakan kekar, sesar, atau bidang perlapisan yang searah dengan kemiringan lereng.
12
d. Nendatan (Slump) Nendatan (slump) merupakan perpindahan massa batuan atau material lepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur yang lengkung. Pada proses nendatan, material yang dipindahkan tidak terlalu besar kecepatannya dan tidak terlalu jauh. Proses ini merupakan sedimen kohesif yang tebal seperti lempung. Permukaan retakan blok slump dicirikan oleh bentuk seperti sendok dan cekung ke arah atas. Pada saat terjadi pergerakan, terbentuk tebing yang lengkung dan blok yang terletak dipermukaan akan berputar ke belakang. Umumnya slump terjadi karena kemiringan lereng terlalu terjal, dapat juga terjadi karena beban pada kemiringan lereng terlalu besar, yang menyebabkan terjadinya internal stress pada meterial di bawahnya. Slump terjadi pada material yang lemah dan kaya akan lempung berada di bawah material yang lebih keras atau resisten seperti batu pasir. Air tanah yang meresap melalui batu pasir akan melemahkan le mpung yang berada di bawahnya. e. Aliran (Flow) Aliran pada tanah penting juga untuk diperhatikan, mengingat gerakan massa jenis ini sering menimbulkan malapetaka. Dalam hal gerakan massa jenis flow ini, dapat berupa debris flow (aliran bahan rombakan) dengan material berukuran butir kasar, sampai dengan mudflow (aliran lumpur), yakni aliran material dengan ukuran butir secara dominan adalah lempung. Aliran lumpur (mudflow) terjadi apabila material cairan kental bergerak menuruni lereng dengan cepat. Biasanya materialnya jenuh air dan utamanya partikel halus (debris). Tipe gerakan massa ini umum terjadi di daerah yang curah hujannya tinggi, seperti di Indonesia. Selanjutnya, kecepatan alirnya tidak hanya bergantung pada kecuraman lereng tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan air. Aliran campuran lumpur, tanah, batuan, dan air ini mampu membawa atau mendorong bongkah yang besar, pohon-pohon atau bahkan bangunan besar seperti rumah. Di daerah gunung api aktif, terdapat aliran (flow) dari gerakan massa yang sangat khas, yakni lahar. Lahar merupakan aliran piroklastik, berukuran dari debu vulkanik sampai bongkah (bomb), yang jenuh air menuruni lereng. Komponen utama yang membedakan berbagai macam aliran tersebut, adalah dalam hal kandungan air dan dapat terlihat pada bentukan akhir lahan yang mengalami kerusakan akibat flow ini. Apabila bentukan akhir lahannya
13
cenderung berlumpur, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya kandungan air pada aliran tersebut, begitu juga sebaliknya. Aliran (flow) berdasarkan kandungan air dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mudflow dan earthflow. Karena dipengaruhi oleh kandungan air yang ada, mudflow lebih banyak terjadi di daerah semi arid. Sedangkan earthflow leb ih sering terjadi di daerah bawah (humid) akibat hujan yang terus menerus. Selain sering terjadi pada lereng perbukitan, earthflow juga sering terjadi berasosiasi dengan slump. Selanjutnya, kecepatan earthflow sangat tergantung pada kemiringan lereng dan konsistensi dari materialnya. Berdasarkan kekentalannya, kecepatan earthflow dan mudflow jauh berbeda.
Karena eartflow agak kental, maka
alirannya tidak secepat mudflow. f. Kompleks/Campuran (Complex) Gerakan massa kompleks terjadi bilamana beberapa tipe gerakan terjadi dalam satu kejadian dan dalam waktu yang sama. Kombinasi yang khas terjadi adalah gerakan massa berupa rockfalls dengan debris avalanches serta rockfalls dengan rock flowsides, rotational slides, dan earthflow (atau pada umumnya mudflows). g. Avalanches Gerakan massa tipe avalanches ini biasa terjadi pada salju atau es. Lahan yang terbentuk mempunyai kategori yang berbeda dari tipe gerakan massa yang lain, karena dalam media yang ada ikut berperan. h. Solifluction Gerakan massa tipe ini te rmasuk lambat dan hanya terjadi pada elevasi tinggi dan dengan suhu dingin. Pada musim semi dan panas, hanya bagian atas es atau salju yang mencair, sedangkan tanah di bawahnya masih beku. Air dari pencairan es ini tidak mengalir dan membuat tanah menjadi jenuh. Kejenuhan tanah akan air membuatnya mudah bergerak, seperti halnya pada rayapan. Keseluruhan tipe gerakan massa sebagaimana telah dijelaskan di atas secara visual disajikan dalam Gambar 2.
14
ROCK FALLS
SOILS
coarse
fine-grained
Soil fall
Rock Fall Joint opened Original support removed
mixed sediments
undercut by river
TOPPLES
Rock topple
Debris topple
clay-gravel clean sand
SLIDES
Rotational slump
Slides
Rotational
Earth block slide head
Translational
toe graben
dip slope control by bedding planes
scarp face control by joints failure along faults
FLOWS
pressure ridge
main scarp
Rock slide
moderate
slip surface
Debris flow
Rock Avalanche
Sand or silt flow
rock fall
Earth flow source area main track flow
tongue of rock debris depositional area
Rock fragmen flow (flow slide)
Debris avalanche
Sand run
COMPLEX
Gambar 2. Diagram Tipe Gerakan Massa (menurut Varnes 1978 dalam Cooke dan Doornkamp 1990) 2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor Karnawati (2004) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu gerakan seperti yang terlihat dalam skema dalam Gambar 3.
15
Gambar 3. Proses Terjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen -komponen Penyebabnya (Karnawati 2004) Dari gambar di atas, terlihat bahwa faktor-faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak. Menurut Goenadi et
al. (2003), faktor pemicu terjadinya longsor
dikelompokkan menjadi dua, yakni faktor yang bersifat tetap (statis), dan faktor yang bersifat mudah berubah (dinamis). Faktor pemicu yang bersifat dinamis ini mempunyai pengaruh yang cukup besar karena kejadian tanah longsor sering dipicu oleh adanya perubahan gaya atau energi akibat perubahan faktor yang bersifat dinamis. Yang termasuk ke dalam kategori faktor pemicu dinamis ini adalah curah hujan dan penggunaan lahan. Pada kelompok faktor pemicu yang bersifat dinamis, sebenarnya ada faktor kegempaan. Namun karena daerah penelitian tidak terlalu luas, maka seluruh daerah penelitian dapat dianggap mempunyai tingkat faktor kegempaan yang sama. Selanjutnya, faktor pemicu terjadinya tanah longsor yang bersifat statis dibagi lagi ke dalam dua kelompok, yaitu faktor batuan (jenis litologi penyusun dan struktur geologi), dan faktor (sifat fisik) tanah. Secara lebih rinci, faktor-faktor tersebut di atas disajikan dalam Tabel 1.
16
Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor No.
Faktor Penyebab
1.
Faktor Pemicu Dinamis
2.
Faktor Pemicu Statis
Parameter 1. Kemiringan Lereng 2. Curah Hujan 3. Penggunaan Lahan (aktivitas manusia) 4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi 5. Kedalaman Solum Tanah 6. Permeabilitas Tanah 7. Tekstur Tanah
Sumber: Goenadi et al. (2003)
2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor Mikrozoning (risk mapping ) adalah serangkaian kegiatan untuk pengkajian risiko bahaya kawasan secara rinci, termasuk didalamnya kegiatan -kegiatan pengumpulan data (sekunder maupun survai di lapangan), analisis, dan penyajian dalam bentuk peta risiko.
Dengan demikian kegiatan mikrozoning
dimaksudkan untuk memberi informasi risiko bencana dalam suatu wilayah agar pembangunan yang akan dilakukan dapat ditempatkan pada kawasan yang aman (Naryanto 2001). Pembuatan peta risiko tanah long sor dapat dilakukan berdasarkan metode Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan menggunakan metode ini, penentuan tingkat kerentanan tanah di suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih kuantitatif. Metode ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran (Rengers dan Soeters 1993 dalam Barus 1999). 2.5. Mitigasi Bencana Tanah longsor Bencana (disaster) disebabkan oleh faktor alam dan/atau manusia yang dapat menimbulkan bahaya (hazard) dan ke rentanan (vulnerability) terhadap manusia dan lingkungan itu sendiri. Dalam manajemen mitigasi bencana, sebab dan akibat tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (interdependensi) yang secara skematis disajikan dalam Gambar 4. Dari gambar tersebut, terdapat faktor umpan balik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem. Umpan balik (feed back) disini diartikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi langkahlangkah yang akan dilakukan dalam manajemen mitigasi termasuk sebab terjadinya bencana.
17
Gambar 4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana (Kotter 2004) Selanjutnya untuk mengidentifikasi langkah-langkah antisipasi, baik sebelum dan sesudah terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam maupun manusia , diperlukan suatu sistem manajemen risiko bencana. Upaya dalam mengindetifikasi langkah -langkah antisipasi bencana tanah longsor dengan melibatkan unsur-unsur manajemen risiko digambarkan sebagai berikut.
Gambar 5. Manajemen Risiko Ben cana Tanah longsor (Kotter 2004)
18
Paripurno (2004) mengemukakan bencana (disaster) merupakan fenomena sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen ancaman (hazard) berupa fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain serta (risk ) risiko yang ditimbulkan. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber ancaman tersebut. Risiko merupakan gabungan da ri unsur-unsur risiko itu sendiri dan bahaya serta kerentanan (UNDRO 1991). Hubungan antara risiko dan unsur-unsurnya, bahaya, dan kerentanan secara metematis diformulasikan sebagai berikut :
Rt = (E )( Rs ) = ( E )( HxV ) dimana : Rt : Risiko E : Unsur-unsur dari Risiko H : Bahaya V : Kerentanan Risiko (Rt) diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti dan hancurnya aktivitas ekonomi oleh karena fenomena alam tertentu yang dihasilkan dari unsur-unsur risiko dan bahaya serta kerentanan. Adapun unsur-unsur dari risiko (E) terdiri dari populasi, bagunan-bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas dan infrastruktur, dan lainnya yang memiliki risiko pada suatu area. Bahaya (H) adalah kemungkinan dari kejadian dalam jangka waktu tertentu pada suatu wilayah yang berpotensi terhadap rusaknya fenomena alam. Selanjutnya, kerentanan (V) diartikan sebagai tingkat kerusakan dari suatu unsur risiko dari suatu fenomena alam pada skala tertentu, yaitu dari 0 (tidak ada kerusakan) sampai 1 (kerusakan total). Risiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas dari dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis risiko perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mengurangi risiko tersebut. Rekomendasi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pembangunan disebut dengan rencana mitigasi. Pada dasarnya kegiatan mitigasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan nonstruktural. Menurut Naryanto (2001), dalam
19
pelaksanaannya, kedua kelompok mitigasi tersebut harus dilakukan bersamasama dan saling memperkuat. Terhadap kedua kelompok mitigasi tersebut, Paripurno (2004) memberikan definisi untuk kegiatan mitigasi berbentuk struktural sebagai kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak. Adapun mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturan-peraturan, pengelolaan tata ruang, dan pelatihan. 2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG secara umum dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan integrasi data, dan permodelan data sehingga dapat diperoleh informasi spasial yang lebih komprehensif. Informasi spasial tersebut nantinya dapat digunakan sebagai bahan dalam pengambilan keputusan. SIG merupakan suatu perangkat yang memiliki kemampuan penuh untuk pengumpulan, penyimpanan, pemanggilan, pentransformasian, dan penampilan data dijital keruangan dari suatu wilayah untuk kegunaan tertentu (Burrough 1996). Teknologi ini berkembang cukup pesat khususnya untuk penanganan pekerjaan pemetaan yang dilengkapi dengan data base karena berbagai alasan. Aronoff (1989) menyebutkan beberapa alasan pentingnya penggunaan SIG dalam pemetaan, antara lain : a. Kemampuan untuk pemrosesan dan pengolahan data dalam volume besar, khususnya dalam peta tematik. b. Kemampuan untuk penyesuaian dengan perkembangan teknologi komputer. c. Kemampuan untuk penyesuaian dengan teknologi pemotretan udara dan remote sensing. d. Kemampuan untuk mengekstrak dan mengintegrasikan data dari berbagai media (peta, foto udara, dan citra satelit). e. Kemampuan untuk melakukan overlay yang dapat menghasilkan kombinasi informasi dari berbagai peta. Selanjutnya, SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan. Beberapa macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Klasifikasi/Reklasifikasi Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.
20
b. Overlay Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan dari beberapa peta. Selain itu overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta yang saling beririsan. Kemampuan SIG dapat diselaraskan dengan teknologi pemotretan udara dan remote sensing. Citra satelit merekam objek di permukaan bumi seperti apa adanya di permukaan bumi, sehingga dari interpretasi citra dapat dideteksi kondisi liputan lahan saat perekaman. Pada dasarn ya, teknologi berbasis satelit ini menyajikan informasi awal kondisi wilayah. Keunggulan utamanya adalah dapat menyajikan informasi secara aktual dan akurat.2 Teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan sebagai penyediaan informasi tentang berbagai parameter faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya longsor di suatu daerah. Dengan tersedianya peta daerah rawan bencana, akan mempermudah penggambaran kondisi daerah yang bersang kutan dan pada domain inilah peran data satelit teknologi inderaja. Data satelit memiliki keunggulan dibandingkan dengan peta atau foto udara, karena dapat menyajikan informasi tentang karakteristik spektral obyek di permukaan bumi yang tidak dapat ditangkap oleh mata telanjang. Sensor satelit multispektral dapat 'memilah' pantulan gelombang elektromagnetik yang datang dari permukaan Bumi. Dengan demikian, obyek yang menurut mata telanjang serupa, akan tampak sangat berbeda pada citra satelit. Peta -peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis inderaja maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan. Peta turunan ini dapat berupa zonasi kerentanan banjir, peta zonasi rawan longsor, dan peta zonasi rawan kebakaran hutan. Prose s penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara tumpang susun (map overlay) untuk menurunkan informasi baru disebut dengan pemodelan spasial. Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan sistem berbasis komputer yang mampu melakukan pemodelan spasial.
2
http://www.kompas.com/kompas -cetak/0110/28/iptek/pote22.htm
21
Perbedaan antara SIG dengan inderaja terletak pada sumber data utamanya. SIG menggabungkan banyak data spasial yang telah tersedia untuk menurunkan informasi (berupa peta) baru, sedangkan inderaja langsung membuat peta baru dari suatu citra inderaja, misalnya citra satelit. Hasil keluaran proses inderaja dapat menjadi masukan dalam SIG. Pada berbagai aplikasi lingkungan, pemodelan melalui citra satelit akan kurang handal tanpa disertai SIG. Sebaliknya SIG tanpa inderaja akan kurang berarti karena tidak disertai informasi terbaru yang akurat.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 . Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2004 sampai dengan Desember 2005. Lokasi penelitiannya terletak di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, sedangkan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (P3TISDA BPPT), Jakarta. 3.2 . Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Landsat TM Kabupaten Sumedang path-row 121-065 akuisisi 18 September tahun 1996, Landsat ETM7+ path-row 121 -065 akuisisi 12 Agustus tahun 2002, dan ASTER akuisisi 30 Agustus tahun 2003, peta topografi, serta beberapa peta tematik seperti Peta Geologi, Peta Tutupan Lahan, Peta Kontur, Peta Infrastruktur, Peta Dasar, dan Peta Tanah. Software yang digunakan adalah ERDAS Imagine 8.7, Multispec, Global Mapper 6.05, Arc View 3.3 dan Global Positioning System (GPS). 3.3 . Metodologi Secara sistematis, kegiatan penelitian dilaksanakan melalui tahapantahapan berikut, yaitu : a. Persiapan. b. Penyusunan peta dasar dan peta tematik. c. Interpretasi, analisis, dan pembuatan peta bahaya longsor. d. Validasi lapangan. e. Analisis ulang. f.
Pengolahan data, penyusunan peta properti, dan peta risiko longsor.
g. Penyajian hasil penelitian. 3.3.1. Persiapan Kegiatan diawali dengan pengumpulan data dan peta-peta pendukung, studi pustaka, dan penelaahan data sekunder terutama berkaitan dengan “historical event” tanah longsor. Pada tahap ini, juga dilakukan konsultasi ke instansi terkait untuk memperoleh informasi tentang tanah longsor.
23
3.3.2. Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik Peta dasar (format digital) disiapkan untuk penyajian peta-peta tematik parameter pemicu tanah longso r (peta permeabilitas tanah, kontur, penggunaan lahan, jaringan jalan, infrastruktur dan geologi). a. Peta Permeabilitas Tanah (drainase dan tekstur tanah) Permeabilitas tanah diidentifikasi berdasarkan Peta Tanah Tingkat Tinjau skala 1:50.000 Provinsi Jawa Barat (Puslittanak), dengan memperhatikan faktor drainase, tekstur tanah, dan posisinya. Peta ini berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor. b. Peta Kontur Kelerengan (tingkat kecuraman) dan geomorfologi dianalisis menggunakan Peta Rupabumi, skala 1:25.000 (Bakosurtanal) dengan pendekatan garis kontur. Peta ini berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor. c. Peta Penggunaan Lahan Peta Penggunaan Lahan/Land Use , skala 1:25.000 (Bakosurtanal) direvisi dengan citra Landsat, citra ASTER dan hasil pengamatan lapangan. d. Peta Geologi Peta Geologi, skala 1:100.000 (Direktorat Geologi, Bandung, 1994) dijadikan dasar
untuk
pengelompokkan
kondisi
geologi/litologi
sebagai
faktor
kerawanan terhadap kestabilan tanah dalam kedudukannya dalam suatu lereng. e. Peta In frastruktur Peta
Infrastruktur
diperoleh
dari
peta
Rupabumi,
skala
1:25.000
(Bakosurtanal). f.
Peta Jaringan Jalan Peta Jaringan Jalan diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1:25.000 (Bakosurtanal). Peta Permeabilitas Tanah, Lereng, Geologi berguna dalam penyusunan
peta bahaya tanah longsor. Adapun Peta Tutupan Lahan berguna untuk penyusunan bahaya tanah longsor dan risiko longsor. Adapun Peta Infrastruktur dan Peta Jaringan Jalan berguna untuk pembuatan peta risiko tanah longsor. 3.3.3. Tahap Interpretasi, Analisis, dan Pembuatan Peta Bahaya Longsor Tahap pertama adalah interpretasi citra Landsat dan citra ASTER (FCC 321) tahun 2003 pada lokasi longsoran. Interpretasi citra adalah penafsiran suatu
24
objek pada citra atau foto udara dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Citra Landsat dan ASTER digunakan untuk mengupdate peta tutupan lahan, sehingga akan dihasilkan tutupan lahan terkini. Adapun cara memperbaharui (up-dating ) Peta Tutupan Lahan dilakukan dengan menafsirkan objek pada citra ASTER tahun 2003. Hal ini diperlukan karena Peta Tutupan Lahan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi terkini sehingga dengan proses up-dating akan dihasilkan peta yang lebih baru. Analisis dan pengolahan data selanjutnya dimulai setelah peta-peta tematik parameter fisik wilayah (permeabilitas tanah, penggunaan lahan, dsb) tersedia. Peta-peta tematik ditumpangtindihkan dengan mempertimbangkan skor untuk mendapatkan kelas sebaran wilayah rawan tanah longsor. Sifat fisik wilayah yang dijadikan parameter pemicu tanah longsor disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor No. I
II
III
IV
V
Parameter Curah hujan (mm/tahun) a. sangat basah (>3000 mm) b. basah (2501 – 3000 mm) c. sedang/lembab (2001 – 2500 mm) d. kering (1501 – 2000 mm) e. sangat kering (> 1500 mm) Kelerengan (%) a. > 45 b. 30 – 45 c. 15 – 30 d. 8 – 15 e. < 8 Permeabilitas tanah a. sangat lambat b. lambat c. agak cepat/sedang d. cepat e. sangat cepat Tutupan lahan a. tegalan, sawah b. semak -belukar c. hutan dan perkebunan d. kota/permukiman, bandara, dan lapangan golf e. tambak, waduk, dan perairan Geologi a. batuan volkanik (tuf, pasir) b. batuan sedimen (liat, napal) c. batuan berbahan resent (aluvial)
Nilai Harkat (Skor ) 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 3 2 1
Keterangan : 1, 2, 3, 4, dan 5 adalah nilai dari parameter. Diacu dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 2004
25
Berdasarkan Tabel 2, tidak terdapat parameter sungai dan jalan yang dijadikan sebagai pemicu terjadinya tanah longsor. Hal ini karena pada penelitian-penelitian terdahulu, bahwa tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Sumedang pada umumnya disebabkan oleh faktor lereng dan curah hujan . Dasar penggunaan skor da lam pembuatan peta bahaya tanah longsor mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Puslittanak Bogor mengenai Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor di Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung Berbasis Sistem Informasi Geografi. Dalam penelitian tersebut, setiap parameter pemicu terjadinya tanah longsor ditentukan dengan bobot dan skor. Dalam penelitian ini, telah dilakukan simulasi penggunaan skor dan bobot serta dengan dan tanpa bobot. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peta bahaya tanah longsor yang diperoleh dengan dan tanpa bobot relatif sama. Oleh karena itu penggunaan bobot dalam penelitian ini ditiadakan, sehingga yang digunakan hanya skor. Diantara kelima parameter pemicu tanah longsor sebagaimana diuraikan dalam Tabel 2, terdapat satu parameter yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu permeabilitas tanah. Untuk tingkat permeabilitas tanah yang sangat lambat, diberikan skor tertinggi, yaitu 5. Adapun untuk tingkat permeabilitas tanah yang sangat cepat, diberikan skor terendah, yaitu 1. Skor dari tertinggi ke yang terendah menunjukkan tingkat kerawanan bahaya tanah longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin berpotensi terjadinya tanah longsor. Hal ini dipengaruhi oleh sifat tanah dan kemiringan lereng. Apabila di bawa h lapisan tanah terdapat lapisan kedap air, maka air yang masuk akan tertahan dan tanah (pada kemiringan tertentu) akan berpotensi tergelincir menjadi longsor. Skor dengan overlay dikerjakan mempergunakan perangkat lunak Siste m Informasi Geografi ArcView versi 3.3. Pada proses tumpang tindih ini, skor masing-masing data parameter tersebut dijumlahkan, sehingga pada akhir analisis diperoleh sejumlah zona (pada perangkat lunak berupa poligon-poligon). Kemudian, wilayah rawan (potensial) tanah longsor dikelompokkan ke dalam empat kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; (iii) kurang rawan; dan (iv) tidak rawan.
Klasifikasi wilayah rawan tanah longsor ini mengacu pada
klasifikasi gerakan tanah yang digunakan pada Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G)
26
Bandung, yaitu (i) Rawan Longsor Tinggi; (ii) Rawan Longsor Menengah; (iii) Rawan Longsor Rendah; (iv) dan Rawan Longsor Sangat Rendah. Di samping itu, juga mengacu kepada hasil-hasil penelitian tentang tanah longsor yang telah dipublikasikan oleh Puslittanak dan BPPT. Secara terperinci, parameterparameter yang membentuk klasifikasi wilayah rawan bahaya tanah longsor disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Poten sial) Tanah Longsor Kelas
Parameter
Sangat Rawan
-
Kelerengan di atas 30% Permeabilitas tanah agak cepat s.d. sangat lambat Curah hujan >2.000 mm/tahun Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan perkebunan - Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik
Rawan
- Kelerengan di atas 15% - Permeabilitas tanah agak cepat/sedang - Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan perkebunan - Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik
Kurang Raw an
- Kelerengan di atas 8% - Permeabilitas tanah cepat - Tutupan lahannya perkebunan dan pemukiman
Tidak Rawan
-
Kelerengan kurang dari 8% Permeabilitas cepat Satuan batuan pada umumnya berbahan resent Penggunaan lahan berupa pemukiman
Sumber : Puslittanak dan BPPT 2004, 2004 (Diolah)
3.3.4. Validasi Lapangan Validasi lapangan dilakukan untuk mencocokkan hasil analisis peta bahaya tanah longsor dengan keadaan sebenarnya di lapangan (baik secara langsung maupun melalui informasi dari instansi-intansi terkait).
Hasil dari validasi
lapangan dan data informasi yang terkumpul dijadikan bahan dalam analisis ulang. 3.3.5. Analisis Ulang Analisis ulang dilakukan untuk memperbaiki peta bahaya longsor berdasarkan dari hasil validasi lapangan. Peta bahaya longsor yang telah dihasilkan pada tahapan awal penelitian, disempurnakan berdasarkan hasil survai lapangan.
27
3.3.6. Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan Peta Risiko Pada tahap ini dilakukan penyelarasan semua data (baik data sekunder maupun survai lapangan) dengan peta rawan longsor. Selanjutnya akan dibangun peta properti dan peta risiko tanah longsor. 3.3.6.1. Peta Properti Peta properti merupakan gambaran umum keadaan suatu wilayah yang dihubungkan dengan nilai ekonomi yang dimiliki suatu lahan baik dalam keadaan terlantar (lahan tidur) maupun dengan berbagai aktivitas ekonomi yang berlangsung diatasnya (pemukiman, industri, sawah, tegalan, kolam/tambak dan infrastruktur lainnya). Peta properti diperoleh dengan “menggabungkan” peta penggunaan lahan dan peta infrastruktur serta peta jaringan jalan. Nilai properti suatu wilayah dapat ditentukan apabila di wilayah yang terkena bencana tanah longsor tersebut menyebabkan kerugian dan kemungkinan hilangnya korban jiwa, kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi yang cukup tinggi. 3.3.6.2. Peta Risiko Longsor Peta ini dihasilkan dari penggabungan antara peta bahaya/rawan longsor dengan peta properti. Peta risiko tanah longsor ini akhirnya akan menghasilkan informasi wilayah -wilayah yang memerlukan mitigasi bencana. Wilayah yang memiliki nilai risiko tinggi bukan saja dikarenakan wilayah tersebut memiliki bahaya longsor tinggi tetapi lebih ditekankan pada wilayah yang memiliki nilai properti yang tinggi. Langkah kerja pembuatan peta risiko tanah longsor secara skematis disajikan dalam Gambar 6.
28
Gambar 6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor Dari Gambar 6 terlihat bahwa dua jenis peta , yaitu peta infrastruktur dan peta jalan dilakukan proses buffering. Buffering merupakan upaya yang bertujuan untuk membentuk suatu area, poligon, atau zona baru dalam jarak tertentu yang berfungsi untuk menutupi objek spasial. Buffering tidak dilakukan pada peta penggunaan lahan dan peta bahaya , karena batasannya sudah diketahui. Buffering dilakukan pada data titik dan ga ris untuk mendapatkan suatu poligon, dengan atribut skor yang telah ditentukan. Proses selanjutnya adalah melakukan griding, yaitu melakukan perubahan terhadap format data keempat peta tersebut dari bentuk vektor menjadi raster. Kemudian, data hasil griding dianalisis dengan menggunakan software Global Mapper untuk mempercepat dan mempermudah dalam pemrosesan data pada tahapan berikutnya. Dari gambar di atas juga terlihat bahwa proses ini menggunakan software SPSS yang berguna untuk membaca titik koordinat (x dan y) dan skor (z) di setiap pixel pada masing-masing peta. Setelah melalui proses dengan menggunakan beberapa software, diperoleh hasil penggabungan berupa skor
29
pada masing-masing peta.
Nilai skor yang diperoleh tersebut, selanjutnya
dilakukan reklasifikasi (pengelompokan kembali) dengan menggunakan software ArcView, sehingga menghasilkan nilai risiko sebagai dasar dalam pembuatan peta risiko tanah longsor. 3.3.7. Mitigasi Bencana Tanah Longsor Dalam melakukan upaya mitigasi bencana diperlukan tahapan kegiatan yang dapat memberikan gambaran secara rinci mengenai upaya yang harus dilakukan. Tahapan -tahapan tersebut meliputi pengkajian potensi bencana, analisis kerawanan, dan analisis risiko bencana. Setelah dihasilkan Peta Risiko Tanah Longsor, perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi berbagai alternatif tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan mananggulangi bencana tanah longsor. Tahapan penelitian secara sistematik sebagaimana diuraikan di atas secara skematik digambarkan dalam diagram alir berikut.
30
Gambar 7 . Diagram Alir Tahap Penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian 4.1.1. Administrasi dan Kependudukan Kabupaten Sumedang terletak pada 06º48 ′25″-06º56′50″ Lintang Selatan dan 107º51′10″-107º58′30″ Bujur Timur serta berada pada ketinggian 25-1.001 m dpl. Bata s-batas administrasi Kabupaten Sumedang sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung, serta sebelah timur barbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Gambaran spasial lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 8 .
PETA KABUPATEN SUMEDANG DAN SEKITARNYA 107°50'
108 °00' 108
108°10'
6°40'
6 °40'
107°40'
KAB. I N DR AMAYU
KAB. MAJALEN GKA
KAB. S UBAN G
6°50'
6 °50 '
SUMED ANG U TARA #
SUMED ANG SELATAN #
KAB. BAND UNG
7°00 ' -7
7°00 ' -7
KAB. GAR UT
107°40'
108 108 °00'
107°50'
Keterangan :
LOKASI PENELITIAN KABUPAT EN SUMEDANG, PRO VINSI JAWA BARAT
Batas Kabupaten Sumedang Utara Sumedang Selatan Kecamatan-kecamatan di Kab. Sumedang
4
0
4
108°10'
8 Km
N
Gambar 8. Lokasi Penelitian
32
Penyebaran penduduk di Kabupaten Sumedang terkonsentrasi di Kecamatan
Jatinangor,
Cimanggung,
Tanjungsari,
Sumedang
Selatan,
Sumedang Utara, dan Cimalaka . Penyebaran yang tidak merata tersebut karena pusat kegiatan pendidikan , ekonomi, hiburan , pemukiman, dan industri lebih banyak berada di kecamatan-kecamatan tersebut. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Sumedang disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun 2003 No
Kecamatan
Jumlah Penduduk
1 2
Surian Cisarua
11.330 18.500
3
Cibugel
19.910
4
Ganeas
21.870
5
Tomo
22.238
6
Tanjungmedar
23.318
7
Jatigede
23.955
8
Cisitu
25.441
9
Ujungjaya
28.303
10
Sukasari
28.420
11
Conggeang
29.266
12
Buahdua
31.272
13
Tanjungkerta
32.127
14
Situraja
33.426
15 16
Paseh Rancakalong
35.564 36.227
17
Darmaraja
36.238
18
Jatinunggal
40.330
19
Wado
42.664
20
Pamulihan
48.263
21
Cimalaka
51.725
22 23
Tanjungsari Cimanggung
63.962 64.421
24
Sumedang Selatan
65.190
25
Sumedang Utara
75.754
26
Jatinangor
87.238
Sumber : BPS Kabupaten Sumedang (2003)
Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa jumlah penduduk Kabupaten Sumedang per kecamatan pada tahun 2003 sebanyak 996.952 jiwa . Selain itu, dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan termasuk wilayah yang memiliki jumlah penduduk di atas 60.000 jiwa.
33
Secara geografis, letak kedua kecamatan tersebut berada pada posisi 06º81´-06º96´ Lintang Selatan dan 107º85´-107º97´ Bujur Timur. Adapun secara administrasi pemerintahan, Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan terdiri dari 24 desa dengan luas wilayah mencapai ±12.914 ,80 Ha. Peta orientasi lokasi Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan disajikan dalam Gambar 9. Adapun pembagian wilayah (desa) dan luasan dari desa di dua kecamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan No.
Nama Kecamatan/Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sumedang Selatan Baginda Ciherang Cipameungpeuk Cipancar Citengah Gunasari Pasanggrahan Regol Wetan Kota Kulon Meruya Mekar Sukagalih Sukajaya
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sumedang Utara Jatihurip Jatimulya Kebonjati Kota Kaler Girimukti Margamukti Mekarjaya Mulyasari Padasuka Sirnamulya Situ Talun Total
Sumber : Bakosurtanal (Diolah), 1999
Jumlah (Ha)
383,16 654,56 610,96 1.487,17 1.511,48 804,10 1.211,16 642,79 318,53 601,14 117,78 1.404,19
125,20 478,68 43,02 381,95 147,29 449,05 199,32 516,59 149,31 277,04 228,44 171,88 12.914,80
107°52'00"
107°54'00"
107°56'00"
107°58'00"
6°48'00"
6°48'00"
KEC. CIMALAKA JATIMULYA
KEC. RANCAKALONG
KEBONJATI
MARGAMUKTI
JATIHURIP KEC. SUMEDANG UTARA PADASUKA SITU SIRNAMULYA KOTA KALER MULYASARI GIRIMUKTI
KEC. CISARUA
TALUN
KOTA KULON CIHERANG
6°50'00"
6°50'00"
MEKARJAYA
SUKAGALIH
6°52'00"
6°52'00"
KEC. SUMEDANG SELATAN KEC. GANEAS
PASANGGRAHAN CIPAMEUNGPEUK
GUNASARI
REGOL WETAN
KEC. PAMULIHAN
BAGINDA
6°54'00"
6°54'00"
SUKAJAYA
CIPANCAR
CITENGAH
KAB. GARUT 107°52'00"
107°54'00"
107°56'00"
107°58'00"
WILAYAH ADMINISTRASI KEC. SUMEDANG UTARA DAN KEC. SUMEDANG SELATAN KETERANGAN
Batas Kecamatan Batas Desa
N
Sumber data : - Peta Digital Rupabumi Skala 1 : 25.000 Bakosurtanal - RTRW Kab. Sumedang 2002 - 2012 Proyeksi : Geografis
LOKASI PENELITIAN KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT
2
0
Gambar 9. Peta Wilayah Administrasi
2 Km
6°56'00"
6°56'00"
MERUYA MEKAR
35
4.1.2. Curah Hujan Curah hujan merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor. Infiltrasi air hujan ke dalam lapisan tanah akan melemahkan material pembentuk lereng, sehingga memicu terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi, intensitas, dan lamanya hujan berperan dalam menentukan longsor tidaknya suatu lereng . Berdasarkan data Badan Perencanaan Daerah Sumedang, Kabupaten Sumedang mempunyai curah hujan tahunan rata-rata yang berkisar antara 2000-2500 mm/tahun , yang meliputi sebagian besar wilayah Kabupaten Sumedang terutama wilayah Kabupaten Sumedang bagian tengah. Wilayah yang ada di Kabupaten Sumedang bagian tenggara merupakan daerah dengan curah hujan yang tinggi, berkisar antara 2500 -3000 mm/tahun. Pada beberapa tempat tertentu , curah hujan ada yang mencapai 3500-4000 mm/tahun. Wilayah Kabupaten Sumedang bagian utara mempunyai curah hujan tahunan rata -rata yang berkisar antara 2500 -3500 mm/tahun. Bahkan, di sekitar Gunung Tampomas curah hujannya sangat tinggi yaitu 4500-5000 mm/tahun. Pengaruh curah hujan sebagai pemicu terjadinya tanah longsor ditunjukkan dari jumlah kejadian tanah longsor di Kabupaten Sumedang selama periode 1987-2002 . Rincian lengkap mengenai jumlah kejadian longsor di Kabupaten Sumedang pada tingkat curah hujan yang berbeda disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan di Kabupaten Sumedang Periode 1987 -2002 N o. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kecamatan Buahdua Cadasngampar/Jatigede Cibugel Cikeruh/ Jatinangor Cimalaka Cimanggung Congeang Darmaraja Paseh Rancakalong Situraja Sumedang Selatan Sumedang Utara Tanjungkerta Tanjungsari Tomo Ujungjaya Wado Jumlah
Curah Hujan Rata-rata (mm/th) 2221 2643 1289 1370 2419 1724 1968 2946 2304 2648 2257 3100 2386 2900 1967 2038 2080 1678
∑ Kejadian 7 2 1 2 6 1 9 6 4 2 2 3 45
Sumber : Hasil Pengolahan Data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2002)
36
Berdasarkan data pada Tabel 6, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 15 tahun, telah terjadi 45 kejadian longsor pada tingkat curah hujan yang berbeda. Adapun jumlah kejadian tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan sebanyak 15 kejadian atau sebesar 33,33 % dari total jumlah kejadian tanah longsor di Kabupaten Sumedang dalam kurun waktu tersebut. Pada penelitian ini, yang berlokasi di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, nilai parameter curah hujan dianggap sama untuk seluruh daerah di dua kecamatan tersebut. Hal ini karena perbedaan jumlah curah hujan rata-rata pada dua kecamatan tersebut tidak terlalu signifikan atau ekstrem. 4.1.3. Suhu Suhu udara di Kabupaten Sumedang rata -rata berkisar antara 22,5-23,3ºC. Suhu maksimum mencapai 23,3ºC terjadi pada bulan Mei, September, dan Oktober. Adapun suhu minimum sebesar 22 ,5ºC terjadi pada bulan Juli. 4.1.4. Topografi Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup (SLH) yang dikeluarkan oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, dijelaskan bahwa bentang alam Kabupaten Sumedang cukup bervariasi, dari dataran sampai perbukitan. Secara garis besar, ketinggian wilayah di Kabupaten Sumedang dapat diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu: a. 25-50 m dpl Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Tomo dan sebagian Kecamatan Ujungjaya dengan luas ± 5.858 ,05 Ha. b. 51-75 m dpl Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Conggeang, Buahdua, Tomo dan Ujungjaya dengan luas ± 5 .673,54 Ha. c. 76-100 m dpl Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Conggeang, Buahdua, Tomo dan Ujungjaya dengan luas ± 7 .294,82 Ha. d. 101-500 m dpl Meliputi sebagian Kecamatan Sumedang Selatan , Sumedang Utara, Cimalaka , Tanjungkerta, Conggeang, Buahdua, Tomo , Darmaraja, Situraja, Wado, Cadasngampar, Paseh, Ujungjaya dan Cibugel dengan luas ± 66.564 ,55 Ha.
37
e. 501-1001 m dpl Meliputi sebagian wilayah Kecamatan Utara,
Cimalaka,
Conggeang ,
Tanjungkerta,
Buahdua ,
Tomo,
Sumedang Selatan, Sumedang
Tanjungsari, Darmaraja,
Cikeruh, Situraja ,
Rancakalong, Wado,
Paseh,
Cimanggung, dan Cibugel dengan luas ± 49.339 ,71 Ha . f.
Di atas 1001 m dpl Meliputi sebagian wilayah Situraja,
Tanjungsari,
Kecamatan Sumedang Selatan, Cimalaka,
Rancakalong ,
Conggeang ,
Buahdua,
Cibugel,
Darmaraja, Wado, dan Cimanggung dengan luas ± 17.464 ,78 Ha . Berdasarkan kelas ketinggian dan sebarannya tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terletak pada ketinggian 100 s.d. di atas 1.001 m dpl. Berdasarkan garis kontur dan titik tinggi Rupa Bumi Indonesia skala 1:25 .000 yang bersumber dari Bakosurtanal, dibuatkan kelas lereng dengan menggunakan software Arc View 3.3 ext 3D. Pada tabel di bawah ini disajikan kelas lereng dan luas wilayahnya pada kedua kecamatan tersebut. Selanjutnya, peta kontur dan peta kelas lereng wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11 . Tabel 7 . Kelas Lereng dan Luasannya N o.
Kelas Lereng (%)
1 2 3 4 5
0–8 8 – 15 15 – 30 30 – 4 5 >45 Total
Sumber : Bakosurtanal (Diolah) , 2005
Jumlah (Ha) 2.514 ,27 466 ,97 2.734 ,44 2.118 ,45 5.080 ,67 12.914 ,80
107°52'00"
107°54'00"
107°58'00"
107°56'00"
107°58'00"
6°48'00"
6°48'00"
107°56'00"
6°52'00"
6°50'00" 6°52'00"
6°50'00"
SUMEDANG UTARA
SUMEDANG SELATAN
6°54'00"
6°54'00"
6°56'00"
6°56'00"
107°52'00"
107°54'00"
KONTUR KEC. SUMEDANG UTARA DAN KEC. SUMEDANG SELATAN LEGENDA Batas Kecamatan N
Interval Kontur (Meter)
LOKASI PENELITIAN KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT
375 - 625 625 - 887.5 887.5 - 1187.5 1187.5 - 1437.5 1437.5 - 1737.5
Sumber data : - Peta Digital Rupabumi Skala 1 : 25.000 Bakosurtanal Proyeksi : Geografis
2
Gambar 10. Peta Kontur
0
2 Km
107°54'00"
107°56'00"
107°58'00" 6°48'00"
6°48'00"
107°52'00"
CIMALAKA
RANCAKALONG 6°50'00"
6°50'00"
SUMEDANG UTARA
CISARUA
6°52'00"
6°52'00"
SUMEDANG SELATAN GANEAS
PAMULIHAN 6°54'00"
6°54'00"
6°56'00"
6°56'00"
CIMANGGUNG
KAB. GARUT 107°52'00"
107°54'00"
107°56'00"
107°58'00"
KELAS LERENG KEC. SUMEDANG UTARA DAN KEC. SUMEDANG SELATAN KETERANGAN Batas Kecamatan Batas Desa 0% - 8% 8% - 15% 15% - 30% 30% - 45% >45%
N
Sumber data : - Peta Digital Rupabumi Skala 1 : 25.000 Bakosurtanal
Proyeksi : Geografis
LOKASI PENELITIAN KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT
2
Gambar 11. Peta Kelas Lereng
0
2 Km
40
4.1.5. Hidrologi Pola aliran sungai yang terdapat di Kabupaten Sumedang terbentuk oleh sungai besar dengan anak-anak sungainya . Secara umum aliran sungai yang terdapat di wilayah ini dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu aliran golongan Sungai Cimanuk dan Cipeles. Sebenarnya, aliran Cipeles merupakan anak sungai Cimanuk. Seluruh aliran sungai di Kabupaten Sumedang membentuk pola Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terbagi menjadi enam SubDAS, yakni Citarik, Cipeles, Cipunegara , Cipelang , Cimanuk, dan Cilutung . 4.1.6. Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil up-dating peta penggunaan lahan skala 1:25 .000 dari Bakosurtanal tahun 1999 dengan citra Landsat dan Aster, diketahui bahwa jenis dan persentase penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan sebagian besar didominasi oleh hutan dan belukar/semak. Rincian jenis dan persentase penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Jenis Penggunaan Lahan dan Luasannya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Keterangan Air Belukar/Semak Gedung Hutan Kebun/Perkebunan Pemukiman Rumput/Tanah kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Tegalan/Ladang Total
Jumlah (ha) 65,70 2.511,65 0,51 4.222,35 584,5 4 1.326,58 36,43 981,9 6 1.679,36 1.498,73 12 .914,80
Persentase 1% 19% 0% 33% 5% 10% 0% 8% 13% 12% 100%
Sumber : Bakosurtanal (Diolah), 2005
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa penggunaan lahan terluas adalah hutan (33%) yang sebagian besar terletak di wilayah Kecamatan Sumedang Selatan.
Selanjutnya , berturut-turut adalah belukar/semak (19%).
sawah tadah hujan (13%) , tegalan (12%), pemukiman (10%). Sisanya digunakan untuk sawah irigasi, kebun, gedung, rumput/tanah kosong , dan air. Gambaran sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 12 (Peta Penggunaan Lahan) dan Gambar 13 (Citra Aster tahun 2003).
43
4.1.7. Geologi Informasi geologi atau satuan batuan diperoleh dari peta Geologi Lembar Bandung skala 1 : 100 .000 (PH. Silitonga 1973) dan peta Geologi Lembar Arjowinangun skala 1 : 100 .000 (Djuri 1995). Kedua peta tersebut diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Berdasarkan stratigrafi hasil penelitian yang dilakukan Silitonga (1973) dan Djuri (1995), di daerah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdapat enam satuan batuan, yaitu : a. Ql (Endapan Danau) Lempung tufaan , batupasir tufaan, kerikil tufaan . Membentuk bidang-bidang perlapisan mendatar di beberapa tempat. Mengandung kongkresi-kongkresi gamping, sisa -sisa tumbuhan, moluska air tawar dan tulang-tulang binatang bertulang belakang. Setempat mengandung sisipan breksi. Luas endapan danau ini mencapai 265.24 Ha atau 2% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. b. Qvb (Hasil Gunungapi Tua -Breksi) Breksi gunungapi, endapan lahar. Komponen-komponennya terdiri atas batuan beku bersifat andesit dan basal. Luas hasil gunungapi tua-breksi ini mencapai 973.70 Ha atau 8% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan . c. Qvl (Hasil Gunungapi Tua-Lava) Lava menunjukkan kekar lempeng dan kekar tiang. Susunannya basal dan sebagian telah terpropilitisasikan. Luas satuan batuan ini mencapai 536.36 Ha atau 4% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan . d. Qvu (Hasil Gunungapi Tua Tak Teruraikan) Breksi gunung api, lahar dan lava berselang-seling . Luas 10 .084 .47 Ha atau 78% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan . e. Qyb (Breksi dan Aglomerat) Breksi dan aglomerat tufaan terdapat di sebelah tenggara G.Tampomas. Keratan-keratannya terdiri dari batuan beku bersusunan antara andesit dan basal, Luas 8.87 Ha. f.
Qyu (Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan) Pasir tufaan, lapili, breksi, lava, aglomerat. Sebagian berasal dari G. Tangkubanparahu dan sebagian dari G. Tanpomas. Antara Sumedang dan Bandung batuan ini membentuk dataran-dataran kecil atau bagian-bagian rata dan bukit-bukit rendah yang tertutup oleh tanah yang berwarna abu -abu
44
kuning dan kemerah-merahan. Luas satuan batuan ini 1046 ,16 Ha atau 8% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan . Di wilayah Kabupaten Sumedang bagian utara , dijumpai adanya sesar dan lipatan. Sesar naik dijumpai di sekitar Pasir Bengkung yang memanjang ke arah barat sampai di sekitar Pasir Cengkudu . Sesar ini memisahkan satuan batu pasir dari satuan batuan lempung serta memotong satuan batuan vulkanik muda. Sesar turun (sesar normal) dapat dijumpai di Gunung Bongkok yang memanjang ke arah selatan dan di daerah Gunung Sembul memanjang ke arah timur sampai Gunung Bangkok pada satuan batu vulkanik. Secara ringkas jenis satuan batuan di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 8. Selanjutnya, gambaran sebaran geologi wilayah penelitian di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dapat dilihat pada Gambar 14 . Tabel 9. Satuan Batuan Beserta Luasannya No 1 2 3 4 5 6
Satuan batuan Ql Qvb Qvl Qvu Qyb Qyu Total
Jumlah (ha) 265 ,24 973 ,70 536 ,36 10.084 ,47 8,87 1.046 ,15 12.914 .80
Persentase 2% 8% 4% 78% 0% 8% 100%
Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (Diolah), 2005
4.1.8 Jenis Tanah Tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter yang menantukan terjadinya longsor. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau , pasir merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut berada di atas batuan kedap air pada kemiringan tertentu maka tanah tersebut akan berpotensi mengelincir menjadi longsor. Jenis tanah di Kabupaten Sumedang terdiri dari beberapa macam, diantaranya meliputi jenis tanah Aluvial, Regosol, Andosol, Grumosol, Padsolik merah kuning, Latosol, dan Mediteran Coklat Kemerahan . Gambaran sebaran jenis tanah di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dapat dilihat pada Gambar 15.
47
Luasan dengan persentase dari jenis tanah yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan pada Tabel 10. Pada Tabel 10, terlihat bahwa jenis tanah latosol coklat tua kemerahan mempunyai luasan terbesar yaitu 4.344,67 Ha, diikuti jenis tanah kompleks litosol dan latosol coklat kemerahan dan aluvial kelabu. Tabel 10. Jenis Tanah Beserta Luasannya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Tanah Aluvial Kelabu Aluvial Kelabu Tua Asosiasi Latosol Merah dan Regosol Kompleks Litosol dan Latosol Coklat Kemerahan Latos ol Coklat Latosol Coklat Kemerahan Latosol Coklat Tua Kemerahan Latosol Merah Latosol Merah Kekuningan Regosol Coklat Total
Luas (Ha) 2.293 ,55 877 ,32 488 ,80 2.577 ,54 511 ,69 363 ,19 4.344 ,67 566 ,44 261 ,12 630 ,48 1.2914,80
Persentase 18% 7% 4% 20% 4% 3% 34% 4% 2% 5% 100%
Sumber : Puslittanak (Diolah), 2005
4.2. Bencana Longsor Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Bandung telah melakukan penelitian tentang kejadian bencana longsor dalam kurun waktu tahun 2002-2005 di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Kejadian bencana longsor berdasarkan faktor bahaya longsor dan faktor risiko longsor masing-masing disajikan pada Tabel 11 dan 12 . Bencana tanah longsor berdasarkan data penelitian tersebut dipicu beberapa faktor yaitu curah hujan dan tanah. Selain itu , kemiringan yang terjal dan banyaknya pembukaan lahan pada lereng menjadi kebun campuran turut memicu terjadinya bencana tanah longsor. Sebagian besar penyebab terjadinya bencana tanah longsor dapat diuraikan sebagai berikut yaitu , pada kejadian hujan lebat yang berlangsung lama, maka kondisi keairan di daerah ini melimpah yang mengakibatkan air merembes ke dalam tanah melalui pori-pori tanah. Karena air hujan tertahan di atas bidang luncuran , hal ini menyebabkan bobot massa tanah bertambah, tekanan air pori meningkat sehingga daya tahan tanah (shear streght) mengecil. Dalam kondisi ini, lapisan tanah pada lereng yang terjal cenderung bergerak, sehingga menimbulkan adanya nendatan dan beberapa retakan.
48
Tabel 11. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor-faktor Bahaya Longsor NO.
KAMPUNG/DESA
LERENG (º)
BATUAN
TATA LAHAN
KONDISI KEAIRAN
1. Cihuni Hilir/Sukajaya
28º
Breksi lahar , lava (Qvu)
Kebun campuran, Pemukiman
2. Ciloa/Sukajaya
29º
Breksi lahar , lava lapuk (Qvu)
Kebun campuran, Lahan kering pemukiman, sawah di bawah
3.. Cigobang/Gunasari
30º
Breksi gunungapi, lava (Qvu)
Kebun bambu dan pemukiman
4. Babakan Cibungur/ Cikondang
23º
Breksi gunungapi, lava (Qvb)
Sawah di lereng Genangan air bawah, pemukiman sawah dan kebun campuran di lereng atas
5. Batugara/ Tanjungwangi
30º
Breksi gunungapi (Qvb)
Kebun campuran, Pemukiman
Lahan kering
6. Citengah/Citengah
30º
Breksi gunungapi (Qvb)
Kebun campuran, Pemukiman
Lahan kering
7. Ciawi/Gunasari
25º
Breksi gunungapi (Qvb)
Kebun campuran, Pemukiman
Lahan kering
8. Cibungur/Margamekar
20º
Breksi lahar . tuva (Qvu)
Kebun campuran, Pemukiman
Genangan air sawah
9. Kebonsereh/ Margamekar
22º
Breksi lahar . lava lapuk (Qvu)
Kebun campuran, pemukiman
Lahan kering
10. Kandangsari/ Pasanggrahan
31º
Breksi lahar . lava (Qvu + Qvl)
Kebun campuran, pemukiman
Lahan kering
11. Banceuy/ Pasanggrahan
30º
Breksi lahar (Qvu)
Kebun campuran, pemukiman
Lahan kering
12. Kareumbi/ Pasanggrahan
20º
Breksi gunungapi (Qvu)
Kebun campuran, pemukiman
Lahan kering
13. Ciseureuh/ Margamekar X = 1089234 BT Y = 689673 LS 14. Pasanggrahan. 8- 12005. 20-2- 2005. dan 27-3- 2005 15. Jatimulya, 15-2- 2005 16. Sukajaya, 20- 2-2005 17. Ciherang, 20-2-2005. 7-3- 2005
25º
Breksi lahar . tuva (Qvu)
Kebun campuran, pemukiman
Lahan kering
Lahan kering
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
18. Cipameungpeuk, 31- 32005 dan 22-3-2005 Cihanja dan Cibogol 19. Sukaluyu 18º - 32º
20. Nanggerang/ Mekarjaya
Lahan kering
Breksi lahar . tuva (Qvu)
Breksi lahar . tuva 15º - 30º (Qvu)
21. Jatimulya, 15-2- 2005
Sumber : Direktorat VMBG, 2005
Kebun campuran, pesawahan , ladang, Pemukiman Pemukiman
Terdapat saluran irigasi
49
Tabel 12. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor Risiko Longsor dan Mitigasi yang telah Dilakukan NO . KAMPUNG/DESA 1 Cihuni Hilir/ Sukajaya
STATUS
PENANGGULANGAN
Rawan longsor , mengancam Lereng disengked, dibuat dinding sekitar 150 jiwa penahan , hindari genangan air
2 Ciloa/Sukajaya
Rawan longsor , mengancam sekitar 120 jiwa 3 Cigobang/ Rawan longsor , mengancam Gunasari sekitar 400 jiwa 4 Babakan Cibungur/ Rawan longsor , mengancam Cikondang sekitar 135 jiwa 5 Batugara/ Rawan longsor , mengancam Tanjungwangi sekitar 100 jiwa
Lereng dis engked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
6 Citengah/Citengah Rawan longsor , mengancam Lereng disengked, dibuat dinding sekitar 150 jiwa penahan , hindari genangan air 7 Ciawi/Gunasari
9 Kebonsereh/ Margamekar
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air Menutup retakan dan memperbaiki drainase, bila retakan berkembang, pemukiman pindah Rawan longsor , mengancam Lereng disengked, dibuat dinding sekitar 150 jiwa penahan , hindari genangan air
10 Kandangsari/ Pasanggrahan 11 Banceuy/ Pasanggrahan 12 Kareumbi/ Pasanggrahan
Rawan longsor , mengancam sekitar 140 jiwa Rawan longsor , mengancam sekitar 50 jiwa Rawan longsor , mengancam sekitar 100 jiwa
8 Cibungur/ Margamekar
Rawan longsor , mengancam sekitar 175 jiwa Rawan longsor , mengancam sekitar 150 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
Sumber : Direktorat VMBG, 2005
4.3. Analisis Wilayah Rawan Bahaya Tanah Longsor Pembuatan
peta
rawan
bahaya
longsor
dilakukan
dengan
cara
menggabungkan atau menjumlahkan nilai skor keseluruhan dari hasil tumpang tindih peta penyebab longsor yang disusun, terdiri dari peta penggunaan lahan, kemiringan lereng, geologi, dan peta jenis tanah. Peta curah hujan tidak dimasukkan dalam proses tumpang tindih, karena nilai para meter curah hujan dianggap sama untuk kedua wilayah kecamatan ini. Analisis tumpang tindih yang telah dilakukan pada keempat peta tersebut tersebut menghasilkan wilayah -wilayah yang memiliki potensi rawan bahaya longsor. Nilai tingkat potensi (rawan) tanah longsor dapat dilihat pada Tabel 13 dan hasil analisis wilayah yang memiliki potensi rawan bahaya tanah longsor berdasarkan nilai tingkat potensi yang dihasilkan disajikan pada Tabel 14.
50
Tabel 13 . Nilai Tingkat Potensi (Rawan) Longsor N o. 1. 2. 3. 4.
Tingkat Potensial (Rawan)
Jumlah Nilai Semua Parameter
Tidak Rawan Kurang Rawan Rawan Sangat Rawan
6–9 10 – 1 2 13 – 1 5 16 – 1 8
Sumber : Data Primer (Diolah), 2005
Pada Tabel 13 terlihat jumlah nilai semua parameter yang dibagi ke dalam empat tingkat potensial bahaya tanah longsor. Wilayah yang memiliki tingkat potensi sangat rawan tanah longso r memiliki nilai parameter 16-18. Adapun untuk tingkat potensi tidak rawan bahaya longsor memiliki nilai parameter 6-9. Tabel 14. Analisis Wilayah yang Berpotensi Rawan Bahaya Tanah Longsor N o.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Desa
Baginda Ciherang Cipameungpeuk Cipancar Citengah Girimukti Gunasari Jatihurip Jatimulya Kebonjati Kota Kaler Kota Kulon Margamukti Mekarjaya Meruya Mekar Mulyasari Padasuka Pasanggrahan Regol Wetan Sirnamulya Situ Sukagalih Sukajaya Talun Total (Ha) Persentase (%)
Tidak Rawan (Ha)
Kurang Rawan (Ha)
Rawan (Ha)
Sangat Rawan (Ha)
0,36 1,86 0,81 13,77 0,31 13,25 5,88 2,43 8,91 6,57 4,11 3,21 13,52 8,44 0,90 0,17 1,18
27 ,89 6,62 69 ,20 20 ,69 7,38 46 ,58 74 ,11 38 ,58 212 ,82 22 ,85 166 ,23 79 ,58 99 ,71 85 ,05 7,00 121 ,25 40 ,14 159 ,51 120 ,39 12 ,38 75 ,55 3,55 19 ,55 53 ,64
162 ,7 1 167 ,4 5 346 ,5 0 1.358 ,16 1.232 ,21 99 ,90 633 ,5 3 72 ,02 247 ,2 2 14 ,29 166 ,0 2 194 ,2 0 341 ,1 0 104 ,6 9 503 ,8 0 266 ,6 3 95 ,51 683 ,1 1 374 ,5 9 124 ,2 1 152 ,7 2 68 ,24 967 ,8 1 83 ,80
192 ,1 9 480 ,5 0 195 ,2 6 106 ,4 6 271 ,8 9 82 ,69 14 ,30 5,39 47 ,28 35 ,84 1,67 5,47 90 ,34 125 ,5 0 0,14 360 ,1 0 146 ,9 1 140 ,4 4 46 ,00 416 ,8 4 33 ,25
85,69 0,66
1.570 ,25 12 ,16
8.460 ,41 65 ,51
2.798 ,44 21 ,67
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005
51
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan memiliki potensi daerah rawan longsor yang tinggi. Hal ini terlihat dari luasan wilayah yang termasuk dalam kategori potensi rawan bahaya sekitar 8.460,41 Ha atau 65 ,51% dari luas wilayah kedua kecamatan tersebut. Artinya, lebih dari separuh wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan rawan bahaya longsor. Selanjutnya , luas wilayah yang berpotensi sangat rawan bahaya longsor sekitar 2.798,44 Ha (21 ,67%), kurang rawan 1 .570,25 Ha (12 ,16%), dan tidak rawan sekitar 85,69 Ha (0,66%). Analisis wilayah rawan bahaya longsor juga menghasilkan informasi mengenai desa -desa yang dinyatakan berpotensi sangat rawan , rawan, kurang rawan , dan tidak rawan bahaya longsor. Dari Tabel 14 , terlihat bahwa desa-desa yang memiliki potensi bahaya longsor meliputi Desa Ciherang , Sukajaya, Pasanggrahan, dan Citengah . Desa Ciherang merupakan daerah terluas yang tergolong kategori sangat rawan longsor (480,50 Ha), diikuti Sukajaya (416,84 Ha), Pasanggrahan (360,10 Ha), dan Citengah (271 ,89 Ha). Apabila analisis tersebut dihubungkan dengan beberapa kejadian bencana longsor di Kabupaten Su medang berdasarkan faktor bahaya dan risiko longsor sebagaimana disajikan dalam Tabel 11 dan 12 , terlihat ada kesesuaian dari wilayah-wilayah yang berpotensi terjadinya bahaya longsor. Sebagai contoh, daerah-daerah yang telah mengalami bencana longsor (pada Tabel 11) adalah Desa Ciherang , Sukajaya, Citengah , dan Pasanggarahan. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, daerah-daerah tersebut juga termasuk dalam wilayah yang berpotensi rawan bahaya longsor. 4.4. Analisis Penyebab Bahaya Tanah Longsor 4.4.1. Faktor-faktor Pemicu Bahaya Tanah Longsor Secara umum, faktor penyebab bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu penggunaan lahan, kelerengan, geologi, dan jenis tanah. Namun, berdasarkan analisis visual terhadap variabel-variabel penyebab bahaya tanah longsor tersebut, di wilayah penelitian bagian utara, faktor kelerengan dan penggunaan lahan merupakan dua variabel dominan yang membentuk sebaran potensi bahaya tanah longsor. Adapun untuk wilayah penelitian bagian selatan, sebaran potensi bahaya tanah longsor secara dominan dibentuk oleh faktor jenis tanah dan penggunaan lahan .
52
Hal ini karena pola sebaran kedua jenis variabel tersebut paling menyerupai pola sebaran potensi rawan bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan (Gambar 16). Adapun peta sebaran potensi rawan bahaya tanah longsor disajikan dalam Gambar 17 .
Gambar 16. Tampilan Variabel-variabel Penyebab Bahaya Tanah Longsor
54
4.4.2. Kelerengan Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam analisis gerakan tanah . Pada umumnya , semakin tinggi kemiringan suatu lereng maka semakin rentan terhadap gerakan tanah. Pada peta potensi rawan bahaya tanah longsor, dihasilkan potensi bahaya longsor yang terjadi pada beberapa tingkat kemiringan lereng . Secara rinci, tingkat potensi bahaya longsor berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Potensi Bahaya Longsor pada Lima Kelas Lereng No.
Lereng(%)
Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) Jumlah Tidak (Ha) Rawan Rawan Kurang Rawan Sangat Rawan
1.
0– 8
67,52
937,8 4
1.508,91
-
2.514 ,27
2. 3.
8 – 15 15 – 30
9,48 8,25
186,6 0 416,6 4
270,90 1.865,86
443,6 9
466 ,97 2.734 ,44
4. 5.
30 – 45 > 45
0,46 -
18,26 10,93
1.285,64 3.529,10
814,1 0 1.540,64
2.118 ,45 5.080 ,67
Total
85,70
1.570,26
8.460,42
2.798,43
12.914 ,80
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005
Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa pada kelas lereng >45%, luasan wilayah yang berpotensi rawan dan sangat rawan bahaya longsor masingmasing seluas 3.529,10 Ha dan 1.540,64 Ha. Wilayah yang berpotensi rawan dan sangat rawan bahaya longsor pada kelas lereng >45 % ini merupakan luasan terbesar (5.069 ,74 Ha) dibandingkan dengan kelas lereng lainnya. Kemudian diikuti oleh kelas lereng 15-30% dan 30-45%, masing-masing seluas 2.309 ,55 Ha dan 2 .099,74 Ha. Meskipun demikian pada kelas lereng <8%, luas wilayah rawan longsor juga cukup besar,yaitu 1 .508,91 Ha. Hal ini disebabkan daerah yang be rlereng datar tersebut merupakan batas peralihan litologi. Wilayah ini terdapat pada sebagian besar Kecamatan Sumedang Utara terutama di daerah perkotaan. 4.4.3. Jenis Tanah Sebagaimana diketahui bahwa terjadinya bahaya tanah longsor erat kaitannya dengan kondisi geologi, antara lain jenis tanah dan struktur geologi. Berdasarkan hasil analisis, pengaruh jenis-jenis tanah terhadap potensi bahaya longsor yang dapa t terjadi di wilayah penelitian. Jenis tanah di Kecamatan
55
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdiri dari sepuluh macam. Di kedua kecamatan tersebut, jenis tanah latosol coklat tua kemerahan memiliki luasan terbesar yaitu 4 .344 ,68 Ha, kemudian diikuti oleh jenis tanah kompleks litosol dan latosol
coklat
kemerahan,
dan
aluvial
kelabu,
masing -masing
seluas
2.577 ,54 Ha dan 2.293,53 Ha. Secara rinci jenis tanah dan potensi bahaya longsor disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16. Jenis Tanah dan Potensi Bahaya Longsor No.
Jenis Tanah
1. Aluvial Kelabu 2. Aluvial Kelabu Tua 3. Asosiasi Latosol Merah dan Regosol 4. Kompleks Litosol dan Latosol Coklat Kemerahan 5. Latosol Coklat 6. Latosol Coklat Kemerahan 7. Latosol Coklat Tua Kemerahan 8. Latosol Merah 9. Latosol Merah Kekuningan 10 . Regosol Coklat Total
Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) Tidak Kurang Sangat Rawan Rawan Raw an Rawan
Jumlah (Ha)
236,0 5 15,37
863,0 1 278,1 2
1.194,47 583,83
2.293,53 877,3 2
0,70
14,93
458,7 5
14,42
488,8 1
7,27
57,35
2,327,52
185,41
2.577,54
14 ,32 6,18
145,4 7 142,9 1
343,7 2 197,4 9
8,18 16,62
511,6 9 363,1 9
22 ,57
638,4 6
3.022,20
661,45
4.344,68
10 ,45 24 ,21
79,14 240,5 7
342,8 0 261,1 2 365,7 0
134,05 -
566,4 4 261,1 2 630,4 8
85 ,70
1.570,26
8.460,42
2.798,43
12.914,80
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005
Berdasarkan data pada Tabel 16 , dapat dijelaskan bahwa tingkat potensi bahaya tanah longsor tertinggi (sangat rawan) terdapat pada jenis tanah aluvial kelabu seluas 1.194,47 Ha. Besarnya luasan jenis tanah ini yang termasuk dalam kategori sangat rawan karena hasil tersebut diperoleh dari agregasi ketiga faktor penyebab tanah longsor lainnya yang dianalisis secara bersamaan . 4.4.4. Geologi Jenis batuan yang menyusun suatu daerah mempunyai tingkat bahaya longsor yang berbeda satu sama lain . Berdasarkan besar butirnya , batuan yang berbutir halus pada umumnya mempunyai potensi yang lebih tinggi terhadap tejadinya bahaya longsor. Apabila dilihat dari kekompakannya, maka batuan yang kompak dan masif lebih kecil kemungkinan terjadinya potensi tanah longsor.
56
Berdasarkan peta geologi yang digunakan, geologi daerah penelitian tersusun oleh enam satuan batuan . Hasil analisis yang memiliki potensi bahaya longsor pada berbagai satuan batuan dapat dilihat pada Tabel 17 . Tabel 17. Satuan Batuan dan Potensi Bahaya Longsor No.
Satuan Batuan
Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) Jumlah Tidak Kurang Sangat Rawan (Ha) Rawan Rawan Rawan
1. 2. 3. 4.
Endapan Danau (Ql) 43 ,80 Hasil Gunungapi Tua Breksi (Qvb) 8,48 Hasil Gunungapi Tua Lava (Qvl) Hasil Gunungapi Tua Tak 28 ,90 Teruraikan (Qvu) 5. Breksi dan Aglomerat (Qyb) 6. Hasil Gunungapi Muda Tak 4,52 Teruraikan (Qyu) Total 85 ,70
160 ,73 140 ,79 13 ,92
60 ,71 706 ,17 492 ,62
1.104 ,09 6.636 ,45
118 ,27 29 ,82
265 ,24 973 ,70 536 ,36
2.315 ,03 10.084 ,47
0,44
2,85
5,58
8,87
150 ,29
561 ,62
329 ,72
1.046 ,16
1.570 ,26 8.460 ,42
2.798 ,43 12.914 ,80
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005
Dari Tabel 17, terlihat bahwa batuan produk dari gunung api mudah lapuk, sehingga batuan jenis ini memiliki potensi sangat rawan terhadap bahaya tanah longsor. Dari tabel di atas, juga terlihat bahwa jenis satuan batuan hasil gunung api tua tak teruraikan memiliki luasan wilayah terbesar dan potensi bahaya longsor tertinggi pada wilayah penelitian . 4.4.5. Tutupan Lahan Tutupan lahan di wilayah penelitian terdiri dari beberapa jenis penggunaan lahan . Pada lereng bagian atas sebagian besar wilayah berupa hutan; lereng bagian tengah; pemukiman , jalur jalan, perkebunan, tegalan , dan persawahan; serta pada lereng bagian bawah berupa persawahan dan pemukiman. Pengolahan lahan terutama pada daerah -daerah yang mempunyai kemiringan lereng
terjal
dapat
mengakibatkan
tanah
menjadi
gembur,
sehingga
mengakibatkan tanah menjadi tidak stabil. Pengaruh tataguna lahan terhadap kestabilan lereng sangat kompleks karena tergantung pada ketebalan tanah setempat, jenis tanaman , dan kemiringan lereng . Secara rinci, tutupan lahan wilayah penelitian dan potensi bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 18.
57
Tabel 18. Tutupan Lahan dan Potensi Bahaya Longsor No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tutupan Lahan Air Belukar/Semak Gedung Hutan Kebun/Perkebunan Pemukiman Rumput/Tanah kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Tegalan/Ladang Total
Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) Tidak Kurang Sangat Rawan Rawan Rawan Rawan 36,37 1,80
3,58 38,23 5,33 0,39 85,70
27 ,55 257 ,32 0,40 40 ,48 99 ,64 1.020 ,75 13 ,60 28 ,87 62 ,05 19 ,59 1.570 ,26
1,77 1.229,89 0,11 3.929,91 469,52 267,60 22 ,83 899,76 1.054,03 585,01 8.460,42
1.022,64 258,97 11 ,80 47 ,99 562,89 894,15 2.798,43
Jumlah (Ha) 65,70 2.511,64 0,51 4.229,35 584,5 4 1.326,58 36,43 981,9 5 1.679,36 1.498,74 12 .914,80
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tutupan lahan berupa semak belukar memiliki potensi wilayah sangat rawan bahaya longsor tertinggi yaitu sekitar 1.022 ,64 Ha. Selanjutnya , luasan lahan yang memiliki potensi tingkat rawan longsor adalah pada tutupan lahan berupa hutan, yaitu seluas 3.929,91 Ha . 4.5. Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor Dalam membuat peta risiko tanah longsor, harus diawali dengan membuat peta properti. Peta properti merupakan gambaran umum dari keadaan suatu wilayah. Peta properti dibangun dari penggabungan beberapa peta , antara lain peta infrastruktur (point), peta jaringan jalan (line), dan peta penggunaan lahan (poligon ). Dalam peta properti, harus memuat nilai properti dari suatu wilayah yang menggambarkan nilai ekonominya , baik yang tidak digunakan (seperti lahan tidur) maupun berbagai aktivitas ekonomi yang berlangsung di atasnya, seperti pemukiman, industri, sawah, tegalan , kolam/tambak, dan infrastruktur lainnya. Nilai properti tersebut dapat ditentukan dengan memberikan skor untuk masingmasing unsur dari setiap peta. Selain memberikan skor, unsur-unsur dari peta -peta tersebut juga dilakukan buffering. Dengan buffering akan membentuk suatu area , poligon, atau zona baru dalam jarak tertentu yang berfungsi untuk menutupi atau melindungi objek spasial. Buffering hanya dilakukan pada dua peta , yaitu peta infrastruktur dan jaringan jalan, sedangkan peta penggunaan lahan tidak dilakukan buffering karena batasan dari masing -masing penggunaan lahan
58
sudah diketahui. Buffering dilakukan pada data titik dan garis untuk mendapatkan suatu poligon, dengan atribut skor yang telah ditentukan, yang akan digunakan untuk melakukan analisis keruangan selanjutnya. 4.5.1. Peta Infrastruktur Peta Infrastruktur diperoleh dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal pada tahun 1999. Berdasarkan peta Peta RBI tersebut, infrastruktur yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdiri atas 17 jenis. Untuk mengetahui nilai dari masing-masing jenis infrastruktur tersebut guna menentukan nilai propertinya, diberikan skor berdasarkan kriteria penilaian tertentu .
Dalam penelitian ini, kriteria penilaian yang dipakai adalah fisik,
manusia , dan manfaat (utilitas). Skor dinyatakan dalam angka tertentu berdasarkan nilai kegunaan yang dimilikinya.
Skor dari masing -masing jenis
infrastruktur secara terperinci disajikan dalam Tabel 19 . Tabel 19. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur No
Jenis Infrastruktur
Fisik
Manusia
Manfaat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Bangunan Terpencar Gereja Kantor Camat Kantor Desa Kantor Lurah Kantor Polisi Masjid PLTD Pasar Pelayanan Pos Pelayanan Telepon Rumah Sakit/Puskesmas Sekolah
3 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 3 3
2 2 2 2 2 2 2 1 3 2 2 3 3
2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 3 3
Total Buffering (m) 7 6 6 6 6 6 6 6 9 6 6 9 9
50 20 20 20 20 20 20 50 100 20 20 50 50
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005 Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi
Terdapat empat jenis infrastruktur yang tidak dima sukkan dalam penilaian, sehingga jumlah infrastruktur dalam Tabel 19 hanya berjumlah 13 jenis. Keempat jenis insfratruktur tersebut adalah Kuburan Islam, Kuburan Kristen, Talang, dan Tonggak Kilometer. Hal ini karena diasumsikan keempat jenis
59
infrastruktur tersebut memiliki agregasi nilai fisik, manusia, dan manfaat yang sangat kecil. Kriteria penilaian yang meliputi fisik, manusia, dan manfaat (utilitas) ditentukan berdasarkan nilai atau atribut yang dimiliki. Semakin tinggi nilai atau atribut yang dimiliki, semakin tinggi nilai yang diberikan , begitu pula sebaliknya. Untuk kriteria fisik, atribut yang dipertimbangkan adalah nilai keberadaan dan moneternya. Kriteria manusia dinilai dengan melihat kemungkinan jumlah manusia yang terlibat/beraktivitas atau berada dalam dan atau di berbagai jenis infrastruktur yang ada. Adapun kriteria penilaian untuk manfaat dipertimbangkan berdasarkan utilitas yang dapat diperoleh dari jenis infrastruktur tersebut. Pemberian jarak buffering dari masing-masing infrastruktur sebagaimana disajikan dalam Tabel 19 berbeda-beda meskipun beberapa diantaranya ditentukan pada jarak yang sama . Jarak buffering diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan selama survai. Dasar penentuan jarak buffering adalah luasan dari suatu jen is infrastruktur. Semakin luas area suatu infrastruktur, maka jarak buffering yang ditentukan akan semakin jauh.
Sebagai contoh, pasar
diberikan jarak buffering yang lebih jauh dibandingkan sekolah karena luasan area pasar yang lebih luas. 4.5.2. Peta Jaringan Jalan Jaringan jalan yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan diperoleh dari Peta RBI skala 1:25 .000 tahun 1999 (Bakosurtanal) dan infomasi yang dikumpulkan dari Bappeda Kabupaten Sumedang . Berdasarkan dua sumber informasi tersebut, jenis jalan yang teridentifikasi meliputi arteri primer, kolektor primer, lokal primer, kolektor, lokal, dan setapak. Skor jenis jalan ditentukan berdasarkan fungsi dan peranannya. Semakin berarti dan besar peranan dari suatu jenis jalan , nilai yang diberikan akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Kriteria penilaian dalam memberikan skor dari masing -masing jenis jalan meliputi fisik dan manfaat, minus manusia. Manusia tidak dimasukkan sebagai kriteria penilaian karena jalan hanya berfungsi sebagai prasarana bagi manusia dalam melakukan berbagai aktivitasnya , sehingga keberadaan manusia di jalan (untuk semua jenis) bersifat dinamis. Artinya , tidak berada di jalan dalam jangka waktu yang lama atau tidak menetap. Sebagaiman a dalam penilaian risiko terhadap jenis-jenis infrastruktur, buffering juga dilakukan untuk jenis jalan, yang ditentukan berdasarkan lebar dan
60
fungsinya. Skor dan jarak buffering dari masing -masing jenis jalan secara lengkap dan terperinci disajikan dalam Tabel 20 . Tabel 20. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan No. 1 2 3 4 5 6
Jenis Jalan Arteri Primer Kolektor Primer Lokal Primer Kolektor Lokal Setapak
Fisik
Manfaat
Total
Buffering (m)
3 3 3 3 2 1
3 2 2 2 2 1
6 5 5 5 4 2
100 80 80 80 50 20
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005 Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi
Berdasarkan data dalam Tabel 20 , terlihat bahwa nilai dan jarak buffering tertinggi terdapat pada jenis jalan arteri primer, masing-masing diberikan Skor 6 dan jarak 100 meter. Hal ini mengingat fungsi dan peranan jenis jalan ini yang lebih penting diantara jenis-jenis jalan lainnya . Jalan setapak diberikan skor terendah 2 dengan jarak buffering 20 meter karena secara fisik dan manfaat, jenis jalan ini kurang menentukan risiko dari bahaya longsor. Keberadaan jenis jalan ini pada dasarnya adalah tidak termasuk dalam rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah serta muncul dengan sendirinya akibat perlintasan masyarakat. Frekuensi lintasan di jalan ini pun sangat rendah dan relatif hampir tidak ada kerugian apa -apa secara material kalau jalan jenis ini rusak karena longsor. 4.5.3. Peta Penggunaan Lahan Berbeda dengan dua peta sebelumnya dimana masing -masing jenis infrastruktur dan jalan diberikan skor yang dilanjutkan dengan pemberian buffering, dalam penilaian jenis penggunaan lahan tidak dilakukan.
Hal ini
karena dalam Peta Penggunaan Lahan, jenis penggunaan lahan sudah tergambar berupa poligon-poligon dan batas-batas tertentu , sehingga tidak perlu dilakukan buffering. Penetapan skor berdasarkan kriteria fisik, manusia, dan manfaat untuk setiap jenis penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 21.
61
Tabel 21. Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Penggunaan Lahan Air Belukar/Semak Gedung Hutan Kebun/Perkebunan Pemukiman Rumput/Tanah kosong Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Tegalan/Ladang
Fisik
Manusia
Manfaat
Total
1 1 3 1 2 3 1 3 2 1
1 1 2 1 1 3 1 1 1 1
3 1 2 1 2 3 1 3 2 1
5 3 7 3 5 9 3 7 5 3
Sumber : Data Primer (Diolah), 2005 Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi
Berdasarkan data dalam Tabel 21 , tiga jenis penggunaan lahan yang diberikan total skor tertinggi adalah pemukiman, gedung, dan sawah irigasi masing-masing sebesar 9, 7, dan 7. Hal ini sangat beralasan mengingat dari ketiga kriteria yang digunakan, yaitu fisik, manusia , dan manfaat. Ketiga jenis penggunaan lahan ini memiliki risiko kerugian materil dan non-materil yang paling tinggi apabila terjadi tanah longsor. Berdasarkan kriteria fisik, nilai eko nomi yang dimiliki oleh pemukiman, gedung, dan sawah irigasi lebih besar dari tujuh jenis penggunaan lahan lainnya, sehingga diberikan skor 3 karena nilai propertinya tinggi. Adapun untuk kriteria manusia , ketiga jenis penggunaan lahan diberikan skor yang berbeda, yaitu skor 3 untuk pemukiman, skor 2 untuk gedung, dan skor 1 untuk sawah irigasi. Penentuan skor untuk kriteria manusia didasarkan pada frekuensi aktivitas manusia di ketiga jenis penggunaan lahan tersebut. Selanjutnya untuk kriteria manfaat, seluruh jenis penggunaan lahan memiliki manfaat yang cukup penting kecuali untuk tiga jenis hutan, rumput/tanah kosong, dan tegalan/ladang. Jenis penggunaan lahan untuk pemukiman, gedung, dan sawah irigasi bersasarkan kriteria manfaat masing-masing diberikan 3, 2, dan 3. Penentuan skor untuk kriteria manfaat didasarkan aspek kegunaan atau utilitas dari masing-masing jenis penggunaan lahan. Selanjutnya, berdasarkan uraian di atas, diperoleh peta properti yang dihasilkan dari penggabungan peta infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan lahan . Peta properti dapat dilihat pada Gambar 18.
63
4.5.4. Peta Risiko Tanah Longsor Penyusunan Peta Risiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan didasarkan pada Peta Properti dan Peta Bahaya Tanah Longsor. Adapun Peta Properti merupakan penggabungan dari tiga peta, yaitu infrastruktur, jaringan jalan, dan peta penggunaan lahan. Selanjutnya, dilakukan analisis keruangan terhadap keempat peta tersebut. Analisis ini dilakukan untuk menentukan wilayah-wilayah yang memiliki risiko tanah longsor melalui buffer (kecuali untuk peta bahaya dan penggunaan lahan). Setelah dilakukan buffer, keempat peta tersebut diubah ke dalam format raster atau grid . Nilai risiko tanah longsor dihasilkan dari penjumlahan nilai bahaya dan skor dari properti (jalan, infrastruktur, dan penggunaan lahan). Secara matematis, nilai risiko tanah longsor dihitung dengan persamaan berikut :
R=H +P dimana : R = risiko H = hazard (bahaya) P = properti Perhitungan berdasarkan persamaan matematis di atas, menghasilkan nilai risiko untuk menentukan kelas risikonya. Matrik perhitungannya secara lengkap disajikan dalam Tabel 22 berikut. Tabel 22. Matrik Penentuan Nilai Risiko Tanah Longsor Ting kat Potensi Bahaya Kurang Rawan Tidak Rawan Rawan Sangat Rawan
1 2 3 4
1 2 3 4 5
Nilai Properti 2 3 4 5 6
3 4 5 6 7
4 5 6 7 8
Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, diperoleh luasan wilayah risiko tanah longsor yang terdiri atas empat kelas, yaitu tidak berisiko, kurang berisiko , berisiko, dan sangat berisiko. Sebaran wilayah yang memiliki tingkat risiko tanah longsor dapat dilihat dalam Gambar 19. Adapun kelas risiko dan luasan tanah longsor yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan pada Tabel 23.
107°54'00"
107°56'00"
107°58'00" 6°48'00"
6°48'00"
107°52'00"
CIMALAKA
MEKARJAYA
JATIMULYA
MARGAMUKTI
RANCAKALONG
KEBONJATI
6°50'00"
PADASUKA
CISARUA
SITU
SIRNAMULYA
6°50'00"
JATIHURIP
KEC. SUMEDANG UTARA KOTA KALER
MULYASARI
GIRIMUKTI KOTA KULON
TALUN
CIHERANG
6°52'00"
6°52'00"
KEC. SUMEDANG SELATAN SUKAGALIH PASANGGRAHAN
GANEAS CIPAMEUNGPEUK GUNASARI REGOL WETAN
PAMULIHAN 6°54'00"
6°54'00"
BAGINDA
SUKAJAYA
CITENGAH
6°56'00"
6°56'00"
MERUYA MEKAR
CIPANCAR
CIMANGGUNG
KAB. GARUT 107°52'00"
107°54'00"
107°56'00"
107°58'00"
PETA RISIKO TANAH LONGSOR KEC. SUMEDANG UTARA DAN KEC. SUMEDANG SELATAN KETERANGAN
LOKASI PENELITIAN KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT
Batas Kecamatan Batas Desa LEGENDA Sangat Berisiko Berisiko Kurang Berisiko Tidak Berisiko
N
2
Proyeksi : Geografis
Gambar 19. Peta Risiko Tanah Longsor
0
2 Km
65
Tabel 23. Kelas dan Nilai Risiko Tanah Longsor Beserta Luasannya Kelas Risiko
Nilai Risiko
Tidak Berisiko Kurang Berisiko Berisiko Sangat Berisiko
2 –3 4 5 6 –8
Jumlah (Ha)
Persentase (%)
883,6 2 7.962,27 3.496,85 568,2 9
6.84 61.67 27.08 4.40
Sumber : Data Primer (Diolah), 2006
Berdasarkan data dalam Tabel 23 dan Gambar 19, diketahui bahwa luasan wilayah yang kurang berisiko terhadap tanah longsor seluas 7.962,27 Ha atau 61,67 % dari total luas wilayah. Luasan wilayah yang termasuk dalam kategori berisiko seluas 3.495,85 Ha atau 27,08 % dari total luas wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan . Selanjutnya, seluas 883,62 Ha (6,84%) termasuk wilayah yang tidak berisiko tanah longsor, serta sisanya seluas 568,29 Ha (4,40%) adalah wilayah yang sangat berisiko terhadap tanah longsor. Berdasarkan administrasi wilayah, jumlah desa /kelurahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan yang termasuk dalam kategori sangat berisiko terhadap tanah longsor sebanyak 24 desa/kelurahan.
Informasi ini
menunjukkan bahwa seluruh wilayah di kedua kecamatan memiliki daerah yang termasuk dalam kategori sangat berisiko terhadap tanah longsor. Rincian wilayah dan luasannya berdasarkan kelas risiko tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 24 . Berdasarkan data dalam Tabel 24, terlihat bahwa Kecamatan Sumedang Selatan (401,17 Ha) memiliki luas wilayah sangat berisiko terhadap tanah longsor yang lebih luas dibandingkan dengan Kecamatan Sumedang Utara (167,12 Ha). Wilayah yang sangat berisiko tanah longsor di Kecamatan Sumedang Selatan secara dominan tersebar di enam desa/kelurahan, yaitu Ciherang, Pasanggrahan, Kota Kulon , Regol Wetan, dan Cipameungpeuk, masing-masing seluas 94,70 Ha, 94,49 Ha, 40,04 Ha , 36,07 Ha, dan 30,69 Ha. Selebihnya, enam desa/kelurahan lainnya hanya memiliki luasan wilayah yang sangat berisiko tanah longsor rata-rata sekitar 12 Ha. Selanjutnya, wilayah di Kecamatan Sumedang Utara yang sangat berisiko tanah longsor seluas 167,12 Ha, yang sebagian besarnya tersebar di enam desa/kelurahan, yaitu Sirnamulya, Mulyasari, Situ, Kota Keler, Girimukti, dan Margamukti, masing -masing seluas 36,36 Ha, 35,87 Ha, 18,28 Ha, 16,83 Ha,
66
15,66 Ha, dan 12,97 Ha. Adapun enam desa/kelurahan lainnya, hanya memiliki wilayah yang sangat berisiko tanah longsor rata -rata sekitar 5 Ha. Tabel 24. Tingkat Risiko Tanah Longsor dan Luasannya serta Jumlah Kejadian Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan No
Kecamatan/Desa
Tidak Kurang Berisiko (ha) Berisiko (ha)
Berisiko (ha)
Sangat S Kejadian Berisiko (ha) Longsor
Sumedang Selatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Baginda Ciherang Cipameungpeuk Cipancar Citengah Gunasari Pasanggrahan Regol Wetan Kota Kulon Meruya Mekar Sukagalih Sukajaya
17.43 1.68 32.05 19.96 10.78 53.01 76.91 50.98 37.54 6.74 2.39 9.05
134.68 105.64 329.48 1,314.00 1,226.60 594.82 603.89 374.80 160.94 502.51 44.18 916.41
217.53 451.63 218.75 142.93 271.79 122.57 435.39 180.96 80.01 90.39 49.94 456.94
13.53 94.70 30.69 10.06 4.97 33.18 94.49 36.07 40.04 1.10 21.27 21.09
1 1 1 2 5 -
24.00 144.42 19.13 59.89 8.36 62.82 76.54 81.14 27.33 10.51 30.89 20.09 883.62 6.84
65.29 254.10 16.05 191.05 93.67 317.67 90.58 241.29 85.48 89.31 116.12 93.71 7,962.27 61.67
25.22 74.30 7.29 113.60 29.59 55.36 26.75 158.08 33.37 140.49 63.14 50.81 3,496.85 27.08
10.61 5.26 0.08 16.83 15.66 12.97 4.86 35.87 3.09 36.36 18.28 7.26 568.29 4.40
2 1 -
Sumedang Utara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jatihurip Jatimulya Kebonjati Kota Kaler Girimukti Margamukti Mekarjaya Mulyasari Padasuka Sirnamulya Situ Talun Jumlah Persentase (%)
Sum ber : Data Primer (Diolah) , 2006
Secara umum, berdasarkan pengamatan lapangan dan hasil analisis risiko tanah longsor sebagaimana tercantum dalam Tabel 24, menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan termasuk dalam kelas kurang berisiko terhadap tanah longsor, yaitu seluas 7.962,27 Ha . Luasan ini merupakan 61,67% dari luas wilayah total kedua kecamatan tersebut. Selain menyajikan data kelas risiko dan luasan wilayah risiko tanah longsor, Tabel 24 juga memuat data mengenai jumlah kejadian longsor
67
berdasarkan desa/kelurahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Jumlah kejadian tanah longsor tersebut terjadi dalam periode 20022005. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa dari 24 desa/kelurahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, hanya tujuh desa/ kelurahan yang memiliki riwayat kejadian tanah longsor, yaitu Pasanggrahan (5 kali), Gunasari dan Jatimulya (2 kali), serta Ciherang, Cipameungpeuk, Citengah, dan Mekarjaya (masing-masing 1 kali). Luas wilayah yang sangat berisiko terhadap tanah longsor dan jumlah kejadian tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan berguna untuk upaya mitigasi. Hal ini dimaksudkan agar wilayah yang memiliki jumlah kejadian tanah longsor tertinggi dengan luas wilayah terbesar, perlu prioritas dalam penanganannya, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalisir apabila di wilayah tersebut terjadi tanah longsor. Tingkat risiko longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ditentukan oleh tingkat rawan bahaya dan sebaran properti yang ada di wilayah tersebut. Analisis terhadap daerah yang rawan tanah longsor dan yang berisiko tanah longsor, diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan diantara keduanya. Artinya, daerah yang rawan tanah longsor akan memiliki risiko apabila daerah tersebut terjadinya tanah longsor. Hal ini terlihat untuk wilayah yang sangat rawan tanah longsor, juga merupakan daerah yang sangat berisiko tanah longsor. Fenomena ini berlaku untuk beberapa desa/kelurahan sebagaimana disajikan dalam Tabel 25.
68
Tabel 25. Luas Wilayah Sangat Rawan dan Sangat Berisiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sume dang Selatan No 1 2 3 4 6 7 8 9 11 12 13 14 16 18 19 20 22 24
Desa/Kelurahan Baginda Ciherang Cipameungpeuk Cipancar Gunasari Pasanggrahan Regol Wetan Kota Kulon Sukagalih Sukajaya Jatihurip Jatimulya Kota Kaler Margamukti Mekarjaya Mulyasari Sirnamulya Talun
Sangat Rawan (Ha) 192.19 480.50 195.26 106.46 82.69 360.10 146.91 35.84 46.00 416.84 14.30 5.39 47.28 1.67 5.47 125.50 140.44 33.25
Sangat Berisiko (Ha) 13.53 94.70 30.69 10.06 33.18 94.49 36.07 40.04 21.27 21.09 10.61 5.26 16.83 12.97 4.86 35.87 36 .36 7.26
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
4.6. Mitigasi Penanggulangan Risiko Tanah Longsor Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, kejadian tanah longsor di Indonesia telah menimbulkan kerugian yang tak terhitung nilainya , mulai dari hilangnya harta benda, rumah, dan tempat usaha, sampai dengan korban meninggal yang mencapai angka puluhan bahkan ratusan jiwa. Kelemahan utama dalam menghadapi kejadian tanah longsor pada umumnya adalah ketidaksiapan dan tidak adanya data mengenai wilayah -wilayah yang rawan terhadap bahaya tanah longsor. Tindakan baru dilakukan ketika kejadian tanah longsor telah terjadi tanpa ada upaya pencegahan sama sekali. Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu kiranya melakukan upaya mitigasi sebagai bagian dari rangkaian sistematis penanggulangan kejadian tanah longsor.
Anwar (2003) menyatakan bahwa mitigasi merupakan suatu siklus
kegiatan yang secara umum dimulai dari tahap pencegahan terjadinya longsor, kemudian tahap waspada, evakuasi jika longsor terjadi dan rehabilitasi, kemudian kembali lagi ke tahap yang pertama. Pencegahan dan waspada adalah merupakan bagian yang sangat penting dalam siklus mitigasi ini. Secara skematis, mitigasi penanggulangan tanah longsor sebagaimana konsep di atas dapat dilihat dalam Gambar 20.
69
Gambar 20. Tahapan Mitigasi Tanah Longsor Dalam konteks tahapan mitigasi di atas, penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ini termasuk tahap pencegahan dan waspada. Hal ini karena penelitian ini menganalisis wilayah yang rawan terhadap bahaya tanah longsor untuk selanjutnya menetapkan sebaran wilayah yang memiliki tingkat risiko apabila terjadi tanah longsor. Oleh karena itu, mitigasi akan dilakukan terhadap kedua hasil analisis di atas, yaitu untuk wilayah yang memiliki bahaya dan risiko tanah longsor. Dengan adanya mitigasi ini, diharapkan dapat menjadi dasar untuk mengurangi bahaya dan risiko tanah longsor. Berdasarkan hasil analisis terhadap wilayah yang rawan terhadap bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, diketahui bahwa kedua kecamatan tersebut memiliki potensi daerah rawan longsor yang tinggi. Hal ini terlihat dari luasan wilayah yang termasuk dalam kategori potensi rawan bahaya sekitar 8.460,41 Ha (65,51%) dan kategori sangat rawan seluas 2.7 98,44 Ha (21,67%). Artinya, lebih dari dua pertiga wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan rawan terhadap bahaya tanah longsor. Secara administrasi wilayah, daerah yang memiliki rawan bahaya terhadap tanah
70
longsor terdapat di Kelurahan Ciherang, Cipancar, Citengah, Pasanggrahan, dan Sukajaya. Dalam melakukan upaya mitigasi di kedua kecamatan tersebut terutama untuk empat kelurahan di atas, harus lebih mendapatkan prioritas dalam pengawasan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya tanah longsor. Mitigasi harus mempertimbangkan faktor yang menyebabkan kerawanan tanah longsor, yaitu kelerengan, jenis tanah, geologi, dan penggunaan lahan. Dari keempat faktor penyebab tersebut, penggunaan lahan dan ke lerengan merupakan dua variabel dominan yang membentuk sebaran potensi bahaya tanah longsor di kedua kecamatan tersebut. Oleh karena itu, upaya mitigasi yang dilakukan sebaiknya mengacu kepada kedua faktor tersebut. Pada Tabel 26 dapat dilihat rincian wilayah dengan faktor penyebab bahaya, potensi bahaya, tingkat risiko, dan upaya penanggulannya secara umum. Untuk faktor penggunaan lahan, upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah penataan tata ruang wilayah dengan memperhatikan wilayah-wilayah yang berpotensi terhadap bahaya tanah longsor. Selain itu, hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah perubahan penggunaan lahan, terutama lahan pertanian menjadi pemukiman, dan industri. Untuk faktor kelerengan, terutama di daerah Kecamatan Sumedang Selatan yang sebagian wilayahnya memiliki kelerengan cukup terjal, upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan mengembalikan fungsi hutan dan hutan lindung di lereng-lereng bukit yang telah digunakan sebagai daerah tegalan atau pertanian. Hal ini telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang dengan menanami kembali hutan di sekitar Gunung Palasari yang telah mengalami kerusakan dalam rangka pengembalian fungsi hutan. Selain itu, perlu me mbatasi pembangunan pemukiman di daerah yang rawan tanah longsor. Berdasarkan hasil analisis terhadap wilayah yang memiliki risiko tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, diketahui bahwa luas wilayah yang memiliki risiko (berisiko dan sangat berisiko) sekitar 4.065,14 Ha atau 31.48 % dari luas wilayah kedua kecamatan tersebut. Dari seluruh desa/kelurahan di kedua kecamatan tersebut, delapan desa/kelurahan memiliki luas wilayah yang sangat berisiko, yaitu Ciherang, Pasanggrahan, Kota Kulon, Regol Wetan, Gunasari, Sirnamulya, Mulyasari, dan Cipeumengpeuk. Kedelapan desa/kelurahan tersebut memiliki rata-rata luasan wilayah yang sangat berisiko tanah longsor sekitar 50 Ha.
71
Luasan dan sebaran wilayah yang memilki risiko tanah longsor ditentukan oleh faktor adanya properti yang terkonsentrasi pada suatu area. Dalam penelitian ini, sebagian besar wilayah yang termasuk dalam kelas berisiko dan sangat berisiko terhadap tanah longsor merupakan wilayah perkotaan yang memiliki kelengkapan properti dibandingkan dengan wilayah bukan perkotaan. Upaya mitigasi terhadap wilayah yang memiliki risiko dilakukan dengan mengurangi tingkat kerawanan tanah longsor pada wilayah yang berbatasan/ berdekatan dengan wilayah yang memiliki risiko tanah longsor. Artinya, upaya mitigasi yang dilakukan adalah mitigasi terhadap daerah rawan terhadap bahaya tanah longsor, karena pada dasarnya risiko tanah longsor ditimbulkan akibat adanya bahaya tanah longsor. Selain itu, mitigasi risiko tanah longsor pada wilayah -wilayah yang sangat berisiko dilakukan dengan mengendalikan pembangunan (properti) sesuai dengan daya dukung lingkungan. Pengendalian pembagunan (properti) pada dasarnya bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko yang lebih besar apabila terjadi tanah longsor. Hal ini karena properti yang sudah ada tidak mungkin dikurang i atau dihilangkan untuk mengurangi risiko. Pemanfaatan lahan juga merupakan salah satu parameter dalam perhitungan risiko tanah longsor. Perubahan tata guna lahan yang tidak terkontrol merupakan bentuk campur tangan manusia yang dapat meningkatkan risiko terjadinya longsor. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman, kegiatan ekonomi, atau infrastruktur akibat bertambahnya jumlah penduduk dapat pula meningkatkan risiko apabila terjadi tanah longsor.
72
Tabel 26 . Faktor Penyebab Bahaya, Potensi Bahaya, Tingkat Risiko, dan Mitigasinya di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan No. Kecamatan/Desa
Lereng (%)
1
Sumedang Selatan Baginda > 15
2
Ciherang
> 15
3
Cipameungpeuk
> 15
4
Cipancar
> 30
5
Citengah
> 30
6
Gunasari
>8
7
Pasanggrahan
0 > 45
8
Regol Wetan
0 > 45
9
Kota Kulon
0 > 45
10 Meruya Mekar
> 30
11 Sukagalih
> 15
12 Sukajaya
> 15
Penggunaan Lahan
Potensi Bahaya
Tingkat Risiko
Semak/belukar, sawah, tegalan, pemukiman
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Sawah,tegalan, pemukiman Semak, sawah, tegalan,pemukiman Hutan
Rawan dan sangat rawan Rawan dan sangat rawan Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko Kurang berisiko dan berisiko Kurang berisiko dan berisiko
Hutan, Rawan dan semak/belukar sangat rawan Hutan,semak/belukar Rawan , sawah, pemukiman
Kurang berisiko dan berisiko Kurang berisiko dan berisiko
Semak/belukar, sawah, tegalan, pemukiman Semak, sawah, tegalan,pemukiman Sawah, pemukiman
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Kurang rawan sangat rawan Kurang rawan sangat rawan Rawan dan sangat rawan Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko Kurang berisiko
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Hutan, semak/ Belukar, tegalan Semak/belukar, sawah, tegalan, pemukiman Hutan, semak/ Belukar
Kurang berisiko Kurang berisiko dan berisiko
Mitigasi
Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15% dari aktivitas penggunaan lahan seperti pemukiman dan membuat terasering pada lahan pertanian (persawahan). Sosialisakan daerah yang memiliki tingkat kerawan tanah longsor kepada masyarakat Idem Idem Mengembalikan fungsi hutan yang telah digunakan sebagai daerah pertanian, karena daerah ini memiliki kemiringan cukup terjal sehingga rentan terhadap tanah longsor Mengembalikan fungsi hutan dan hutan lindung Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15% dari aktivitas penggunaan lahan seperti pemukiman dan membuat terasering pada lahan pertanian (persawahan). Idem. Pembangunan properti disesuakan dengan tata ruang wilayah dengan memperhatikan wilayah yang memiliki tingkat kerawan terrhadap tanah longsor. Idem Idem Mempertahankan fungsi hutan dan membatasi aktivitas penggunaan lahan un tuk tegalan/ladang. Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15% dari aktivitas penggunaan lahan seperti pemukiman dan membuat terasering pada lahan pertanian. Mempertahankan fungsi hutan dan membatasi aktivitas penggunaan lahan untuk tegalan/ladang.
73
No.
Kecamatan/Desa Lereng (°)
Penggunaan lahan
Potensi Bahaya
Tingkat Risiko
Mitigasi
Sumedang Utara
1
Jatihurip
> 15
Kebun, sawah, pemukiman
Kurang rawan sangat rawan
Kurang berisiko
2
Jatimulya
0 – 15
3
Kebonjati
0–8
Kota Kaler
0–8
5
Girimukti
0–8
Kurang berisiko dan berisiko Kurang berisiko
Idem. Sosialisasikan daerah yang memiliki tingkat kerawanan dan berisiko terhadap tanah longsor. Idem
6
Margamukti
0 – 15
Kurang berisiko
7
Mekarjaya
> 15
Dibuat dinding penahan dan pembangunan wilayah disesuaika dengan tata ruang wilayah. Idem
8
Mulyasari
> 15
Kurang rawan dan rawan Tidak rawan rawan Kurang rawan dan rawan Kurang rawan dan rawan Kurang rawan dan rawan Kurang rawan dan rawan Kurang rawan sangat rawan
Tidak berisiko dan kurang berisiko Tidak berisiko
4
Kebun, sawah, pemukiman Semak/belukar, sawah, pemukiman Sawah dan pemukiman Sawah dan pemukiman Sawah,pemukiman,s emak/belukar Semak/belukar, sawah, pemukiman Sawah,pemukiman,s emak/belukar
Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15° dari aktivitas pe nggunaan lahan seperti: pemukiman dan pertanian. Dibuat dinding penahan dan pembangunan wilayah disesuaika dengan tata ruang wilayah. Idem
9
Padasuka
0 - 30
Sawah,pemukiman,s emak/belukar Tegalan/ladang, semak/belukar Sawah dan pemukiman Pemukiman, sawah, tegalan
Rawan
Kurang berisiko
Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15° dari aktivitas penggunaan lahan seperti: pemukiman dan pertanian. Sosialisasikan daerah yang memiliki tingkat kerawanan dan berisiko terhadap tanah longsor. Idem
Rawan dan sangat rawan Rawan
Berisiko
Idem
Kurang berisiko
Kurang rawan dan rawan
Kurang berisiko
Dibuat dinding penahan dan pembangunan wilayah disesuaika dengan tata ruang wilayah. Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15° dari aktivitas penggunaan lahan seperti: pemukiman dan pertanian. Sosialisasikan daerah yang memiliki tingkat kerawanan dan berisiko terhadap tanah longsor.
10 Sirnamulya
> 15
11 Situ
0-8
12 Talun
0 - 45
Kurang berisiko Kurang berisiko dan berisiko
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Penyebab utama pemicu terjadinya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdiri atas tiga faktor, yaitu kelerengan, jenis tanah, dan penggunaan lahan. Selain itu, faktor pemicu utama lainnya adalah curah hujan, namun dalam penelitian ini tidak dimasukkan dalam analisis bahaya tanah longsor karena keterbatasan data dan cakupan wilayah penelitian yang tidak terlalu luas. 2. Perhitungan risiko tanah longsor ditentukan dengan menggabungkan nilai properti yang ada (infrastruktur, jaringan jalan, dan jenis penggunaan lahan) dan tingkat bahaya tanah longsor. 3. Lebih dari separuh wilayah di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah yang rawan terhadap tanah longsor, yaitu seluas 8.460 Ha atau sekitar 65,51% dari luas wilayah. Adapun luas wilayah yang berpotensi sangat rawan terhadap bahaya tanah longsor sekitar 2.789 Ha (21,67%), kurang rawan 1.570 Ha (12,16%), dan tidak rawan sekitar 85 Ha (0,66%). 4. Wilayah desa/kelurahan yang memiliki poten si bahaya longsor pada tingkat sangat rawan paling luas adalah Desa Ciherang (480 Ha), Sukajaya (416 Ha), Pasanggrahan (360 Ha), dan Citengah (271 Ha). 5. Sekitar 7.962 Ha atau 61,67% dari total luas wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah yang kurang berisiko terhadap tanah longsor. Selanjutnya, luas wilayah yang berisiko adalah 3.496 Ha (27,08%), tidak berisiko seluas 883 Ha (6,84 %), dan sangat berisiko seluas 568 Ha (4,40 %). Tingkat risiko tanah longsor ditentukan berdasarkan nilai risikonya yang dihasilkan dari penjumlahan nilai bahaya dan skor dari properti (jalan, infrastruktur, dan penggunaan lahan). 6. Upaya mitigasi terhadap wilayah yang memiliki risiko tanah longsor dapat dilakukan dengan mengurangi tingkat kerawaa n tanah lngsor dengan memperhatikan faktor utama pemicu bahaya tanah longsor.
75
5.2. Saran 1. Selain faktor bahaya dan nilai properti, perlu me masukkan faktor curah hujan dalam penentuan tingkat risiko tanah longsor. 2. Untuk
meminimalkan
risiko
yang
diakibatkan
oleh
tanah
longsor,
pembangunan sarana dan prasarana serta penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan tidak dilakukan pada daerahdaerah yang memiliki bahaya tanah longsor. Hal ini dapat dilakukan melalui penetapan tata ruang wilayah yang didasarkan pada peta rawan bahaya longsor. 3. Untuk menghindari dan mengurangi tingkat risiko tanah longsor pada wilayah-wilayah yang sangat berisiko, harus dilakukan pengendalian pembangunan (properti) sesuai dengan daya dukung lingkungan. 4. Perlu kearifan dari manusia untuk meminimalkan bahaya tanah longsor karena selain faktor alam, penyebab terjadinya bahaya tanah longsor juga dapat dipicu oleh campur tangan manusia seperti pengundulan hutan, dan pembangunan di lereng -lereng.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002. Laporan Singkat Hasil Pemeriksaan Bencana Gerakan Tanah di Kabupaten Sumedang,1985-2002. Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Lingkungan, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung. Anwar, H.Z. 2003. Mengurangi Dampak Bencana Longsor. http://www.unisosdem.org/ekopol detail.php?aid=5426&coid=2&caid=40 [03 Mei 2006] Asriningrum, W. 2003. Indonesia Tidak Punya Peta Rawan Longsor. http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=5426. [14 Agustus 2005] Aronoff. 1989. Geographic Information System: A Management Perspective . Ottawa, Canada: WDL Publications. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Kabupaten Sumedang Dalam Angka 2003. Sumedang : BPS. Barus, B. 1999. Pemetaan bahaya longsoran berdasarka n klasifikasi statistik peubah tunggal menggunakan SIG. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2:7-16. Burrough , P.A. 1986. Principle of Geographical Information Syistem for Land Resources Assessment. Clarendon Press. Oxford. Carter, W.N. 1992. Disaster Management: A disa ster manager’s handbook. Asian Development Bank. Manila. Cooke and Doornkamp. 1990. Geomorphology in Environmental Management: A New Introduction. Clarendon Press. United Kingdom. Cruden. 1991. A simple definition of landslide. Engineering Geology. 43:27 -29.
Bulettin Int. Assoc. for
Danoedoro, P. 2001. Potensi Satelit untuk Kajian Banjir. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0110/28/iptek/pote22.html. [23 Januari 2006] Goenadi, S.J., Sartohadi, H.C. Hardiyatmo ., D.S. Hadmoko ., dan S.R Giyarsih. 2003. Konservasi Lahan Terpadu Daerah Rawan Bencana Longsoran di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Pusat Studi Bencana Alam (PSBA)-Lembaga Penelitian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Karnawati, D. 2004. Bencana Gerakan Massa Tanah/ Batuan di Indonesia; Evaluasi dan Rekomendasi, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia. P3 -TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta. Kotter, T. 2004. Disaster management and e-land management. GIM Int. 18:12 15.
77
Marwanta, B. 2003. Fenomena Bencana Banjir dan Longsor di Indonesia pada tahun 2003. Bagaimana Penanggulangannya?. Year Book Mitigasi bencana 2003 P3TPSLK BPP-Teknologi. Jakarta. Naryanto, H.S. 2001. Prinsip Dasar Bencana, Mitigasi dan Penanggulangan Bencana, Dalam Penanganan Bencana. Forum LPPS 43. LPPS-KWI CaritasIndonesia-CORDAID. Jakarta. Nurhadi. 2005. Urgensi Sistem Mitigasi Bencana. http://www.penulislepas.com/print.php?id=1713_0_1_0 [23 Januari 2006]. Paripurno, E.T. 2004. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana Longsor, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta Purnomo , Y.D.W. 2003. Pola Sebaran Wilayah Rawan Longsor di Kabupaten Sumedang [Tesis]. Universitas Indonesia. Depok. [Puslittanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Laporan akhir Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir dan Longsor di Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung, Jawa Barat Bagian Barat Berbasis Sistem Informasi Geografi. Bogor. [UNDRO] Office of The United Nation s Disaster Relief Co -Ordinator. 1991. Mitigating Natural Disasters Phenomena, Effect, and Options : A Manual for Policy Makers and Planners. United Nations. New York. Smith, K. 2001. Environmental Hazards : Assessing Risk and Reducing Disaster. Routledge. London. Suhendar, R. 1994. Terrain Maping Approach for Slope Instability Hazard and Risk Assessment Using Remote Sensing Techniques and GIS; A Case Study of North East Bandung and Lembang, West Java, Indonesia [Thesis]. ITC, Enscede, The Netherlands. Suryolelono, K.B. 2005. Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik. http://lib.ugm.ac.id/data/download/1079402588_bencana.doc. [01 Maret 2005] Sutikno. 1994. Pendekatan Geomorfologi untuk Mitigasi Bencana Alam Akibat Gerakan Massa Tanah/Batuan. Prosiding Seminar Mitigasi Bencana Alam 16-17 September 1994. Kerjasama Fakultas Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana RI. Yogyakarta. Sutikno. 1997. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana Alam Gerakan Tanah. [tidak dipublikasikan] Sutikno. 2000. Penyuluhan Bencana Alam Gerakan TanahDirektorat Geologi Tata Lingkungan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.