ANALISA HAMBAT JENIS LISTRIK PADA KAWAT SUPERKONDUKTOR DENGAN MEMAKAI ALAT CRYOGENIC Agung Imaduddin*, Bintoro Siswayanti, Andika Widya Pramono, Pius Sebleku, Anton Suryantoro, Sigit Dwi Yudanto, Hendrik Pusat Penelitian Metalurgi dan Material - LIPI Gd 470 Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten 15314 *E-Mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian tentang sifat fisik elektron sering terhambat akibat memerlukan kondisi suhu yang rendah. Pada suhu ruangan, atom yang berada di dalam benda padat mengalami vibrasi akibat suhu disekitarnya, sehingga sifat asli dari elektron yang berada di dalam benda padat tersebut akan tidak mudah dianalisa. Sifat fisika elektron pada benda padat hanya bisa dianalisa pada suhu super rendah. Untuk menciptakan kondisi suhu super rendah, media yang biasa dipakai adalah Nitrogen cair (hingga 78K) dan Helium cair (hingga 4K). namun pemakaian media ini sangat memerlukan biaya operasional yang tinggi dan fasilitas untuk penyimpanan dan penanganan suhu super rendah yang memerlukan investasi yang sangat besar. Dengan berkembangnya teknologi vakum dan pemampatan/ekspansi gas yang berguna dalam menurunkan suhu gas helium, maka biaya dalam menciptakan kondisi suhu super rendah menjadi jauh lebih rendah. Pada penelitian ini akan dilaporkan hasil pengukuran resistivity (hambat jenis listrik) pada superkonduktor berupa kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn yang dilakukan memakai Cryogenic Magnet yang terdapat di P2M2 (Pusat Penelitian Metalurgi dan Material) LIPI. Dari hasil pengukuran dapat dipastikan adanya suhu kritis superkonduktor sekitar suhu 17K, dan juga adanya hambatan sisa pada sampel pada suhu rendah yang disebabkan pengotor pada sampel. Kata kunci: Cu-Nb-Sn, Suhu super rendah, Superkonduktor, Resistivity.
PENDAHULUAN Manusia dalam menjalani kehidupannya biasanya berada pada suhu sekitar 20°C, medan magnet 0,45 G (medan magnet bumi) dan tekanan udara 1 atm (sekitar 103 hPa). Kondisi ini bagi manusia merupakan kondisi yang standar. Namun, bagi elektron yang berada di dalam benda padat, kondisi ini sangat ekstrim. Akibat tingginya suhu bagi ion yang mengeluarkan elektron, maka ion tersebut bergetar/vibrasi dan menyebabkan sifat asli elektron yang dikeluarkannya menjadi tidak mudah terdeteksi. Untuk melihat sifat asli elektron pada benda padat, maka diperlukan alat yang dapat mengkondisikan lingkungan menjadi suhu super rendah. Biasanya untuk menciptakan kondisi suhu super dingin tersebut, dipakai media pendingin berupa cairan Nitrogen (hingga 79K) maupun cairan Helium (hingga 4,2K). Namun dengan perkembangan teknologi peralatan pendukung suhu super dingin, maka untuk pendinginnya dapat juga memakai gas Helium yang di compress/expand untuk menurunkan suhunya. Sedangkan untuk melihat sifat magnet material yang disebabkan oleh spin elektron, dibutuhkan kondisi medan magnet tinggi. Tiap benda padat memiliki sifat spin elektron yang menentukan sifat magnetik benda tersebut. Dengan memberi medan magnet dari luar, kita memaksa spin elektron mengikuti arah medan magnet luar. Dari sifat perubahan arah spin tersebut terhadap medan magnet luar, kita dapat mengetahui sifat magnetik pada benda tersebut. Untuk menciptakan kondisi medan magnet tinggi, biasanya dipakai kumparan kawat tembaga untuk menghasilkan elektromagnetik. Namun karena kumparan tembaga memiliki hambatan listrik, maka bila kita ingin menghasilkan medan magnet yang tinggi maka kumparan tembaga ini akan menghasilkan panas (biasanya hanya bisa dipakai hingga 2 Tesla). Untuk menghasilkan medan magnet yang tinggi, dipakai kumparan kawat superkonduktor yang memiliki hambatan listrik nol pada suhu rendah dibawah suhu kritisnya, sehingga kita dapat menghasilkan medan magnet tinggi (untuk kumparan superkonduktor
PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
41
campuran logam biasanya sampai 10 Tesla, untuk kumparan superkonduktor oksida Cu bisa hingga 14 Tesla). Jenis analisa sifat elektron dengan memakai Cryogenic Magnet pada dasarnya dapat dibagi atas: Sifat Elektrik Transport (Resistivity, Hall Effect, Conductivity, dll): untuk analisa sifat hantar listrik Sifat Penghantar Kalor (Specific Heat, Thermal Conductivity, dll): untuk analisa sifat hantar kalor oleh elektron Sifat Magnet (Magnetisasi): untuk analisa sifat spin magnet elektron Sifat Elastic Constant: untuk analisa interaksi elektron di dalam atom Sedangkan untuk saat ini, kemampuan pengukuran yang bisa dilakukan di P2M2 LIPI adalah jenis analisa: 1. Resistivity (Hambat jenis listrik) 2. Hall effect Parameter perubahan yang bisa dilakukan: 1. Suhu (1,5-300K) 2. Medan Magnet (0-8 T) 3. Sudut sampel terhadap medan magnet (0-180°)
b) Circulation pump
d)
Temperature and Magnet controller
a) Cryogenic Magnet
c) Kompresor gas helium
Gambar 1. Peralatan Cryogenic Magnet “Cryotron FR” buatan Oxford. Gambar 1 merupakan foto peralatan Cryogenic Magnet “Cryotron FR” buatan Oxford yang berada di P2M2 LIPI. Cryogenic ini memakai sistem Pulse Tube cryocooler untuk mendinginkan gas Helium. Sistem pendinginan ini tidak memerlukan penanganan cairan helium yang disiapkan untuk pendinginan, namun hanya memerlukan gas helium yang akan diekspan/dimampatkan oleh kompresor sehingga suhu gas helium akan turun. Gambar 1a merupakan unit utama cryogenic magnet tempat dimasukkannya sampel. Gambar 1b merupakan sistem pompa sirkulasi untuk mengurangi tekanan helium gas sehingga suhu dapat diturunkan hingga 1,5K. Gambar 1c merupakan kompresor gas helium yang apabila berdiri
42
PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
sendiri tanpa circulation pump, akan menurunkan suhu sampel hingga 4,2K. Gambar 1d merupakan controller untuk suhu dan medan magnet, serta alat ukur resistivity. METODE PERCOBAAN Pengukuran resistivity dengan metoda four point probe, skema pengukurannya adalah seperti pada Gambar 2 di bawah ini. (1)
Gambar 2. Skema pengukuran resistivity memakai metoda four point probe.[4] dimana: R = Resistance (Ohm) V = Voltage (Volt) I = Current (Amp) Sedangkan untuk menghitung resistivity, dipakai perhitungan seperti dibawah ini. (2) dimana : ρ = Resistivity (Ohm.cm) A = luas penampang (cm2) l = panjang (cm) Penyiapan sampel kawat superkonduktor Sampel merupakan kawat superkonduktor Cu-Nb-Sn berdiameter 1 mm dibuat berdasarkan kerjasama P2M2-LIPI dengan LUVATA WATERBURRY-USA. Gambar 3 menunjukkan foto sampel tersebut.
Gambar 3. Kawat Cu-Nb-Sn P2M2-Luvata Waterburry PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
43
Kawat Cu-Nb-Sn P2M2-Luvata Waterburry dibuat melalui metode internal tin–rod restack process, IT-RRP. Selongsong terluar kawat berupa Cu pejal, di bagian tengah terdapat kumpulan 37 buah sub-elemen Cu-Nb-Sn yang diikat dengan penghambat difusi berupa Ta/Rb.[1,6] Pada sub-elemen kawat tersebut Cu berperan sebagai matriks dengan filamen-filamen Nb berdiameter kecil ditanam pada matriks Cu tersebut. Di bagian tengah sub-elemen kawat dimasukkan timah. Masing-masing sub-elemen kawat dilapisi oleh penghambat difusi berupa Cu.[1,6] Filamen-filamen Nb ditanam dalam matriks Cu membentuk komposit Nb-Cu dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan thermal dan elektris serta Cu mengkatalisis pembentukan A15 di bidang antar muka Nb.[5,6]
Gambar 4. a) Penampang kawat dalam skala 50 µm, b) Penampang kawat dalam skala 20 µm, c) Foto SEM Penampang kawat dalam skala 100 µm, d) Skema Sub-elemen IT-RRP Kawat Luvata Waterburry. Tabel 1 menampilkan data awal kawat IT P2M2-Luvata Waterbury. Tabel 1. Parameter Kawat Parameter Diameter Kawat (µm) Jumlah Sub-elemen Ukuran Sub-elemen (µm) Ukuran Filamen Nb (RRP) dalam matriks Cu (µm) Cu Stabilizer dalam Sub-elemen (% at.) Nb dalam Sub-elemen (% at.) Sn dalam Sub-elemen (% at.) Rasio Sn : Nb/Sn (%) Rasio Sn : Nb/Sn/Cu (%) Rasio Sn : Sn/Cu (%)
Kawat Internal Tin 570 37 77 – 78 ± 1,5 42,42 43,23 14,34 25 14 25
Kawat tersebut kemudian dipanaskan agar terbentuk intermetalik superkonduktor Nb3Sn pada suhu pemanasan 600°C dan rentang waktu pemanasan 72 jam.
44
PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 5. Hasil analisa resistivity terhadap perubahan suhu. Gambar 5 menunjukkan hasil analisa resistivity terhadap perubahan suhu. Grafik kecil yang berada di dalam Grafik yang besar merupakan perbesaran grafik resistivity pada suhu sekitar suhu Tc. Pada sampel ini terlihat adanya suhu kritis pada suhu sekitar 17K. Pada suhu diatas 50K, terlihat peningkatan resistivity yang linier dengan peningkatan suhu. Hal ini menunjukkan sifat konduktor yang dimiliki Cu dan senyawa Nb-Sn. Sifat konduktor ditunjukkan dengan perubahan yang linier terhadap perubahan suhu. Pada suhu antara 17-50K terjadi perubahan gradient resistivity. Hal ini disebabkan adanya bahan lain/ pengotor yang terdapat pada sampel. Pada suhu 17K, resistivitynya turun dan menunjukkan hambatan sisa. Hambatan sisa yang terdeteksi dibawah suhu 17K sekitar 1,7×10-7 Ohm.cm merupakan hambatan yang terjadi akibat hambatan listrik sisa pada sampel.[2,3] Resistivity logam pada suhu rendah dapat dinyatakan dengan (rumus Mathiessen)[7]: (3) ρres adalah resistivity sisa akibat unsur pengotor pada logam, ρph(T) adalah resistivity yang bergantung perubahan suhu akibat interaksi elekron dan phonon, dan ρm adalah resistivity akibat medan magnet luar. Pada suhu yang mendekati suhu T = 0K, nilai ρph(T) mendekati nilai 0, akibat hilangnya interaksi elektron di dalam atom. Sehingga pada suhu yang mendekati nilai T = 0K, ρres merupakan nilai yang menentukan resistivity benda. Untuk itulah kemudian dipakai perbandingan nilai resistivity pada suhu ruangan dibagi resistivity pada suhu rendah untuk menentukan kemurnian suatu logam. Nilai perbandingan tersebut dinyatakan dalam RRR (Residual Resistivity Ratio). Semakin tinggi nilai RRR menunjukkan semakin murninya sifat konduktivitas logam tersebut. RRR dihitung dengan rumus dibawah ini.[8]
.
(4)
Karena sampel menunjukkan sifat superkonduktor pada suhu 4,2K maka nilai resistivity pada suhu 4,2K digunakan untuk menghitung RRR dengan cara menarik garis linier yang merupakan gradien pada suhu diatas Tc, yang kemudian ditentukan resistivity-nya pada suhu 4,2K. Nilai RRR pada kawat yang berupa Cu dan senyawa Nb-Sn adalah sekitar 30. PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014
45
Sedangkan bila dilihat pada logam Cu pada sampel ini didapat RRR sekitar 100 yang menunjukkan hambatan sisa pada sampel yang cukup kecil dan menunjukkan kemurnian sifat konduktor pada sampel.[8] KESIMPULAN Alat Cryogenic Magnet merupakan alat yang sangat membantu penelitian sifat elektron pada benda padat. Telah dilakukan pengukuran resistivity pada kawat superkonduktor. Pada sampel terlihat adanya suhu kritis pada suhu sekitar 17K. Suhu kritis sebesar 17K ini menunjukkan bahwa sampel telah memiliki nilai Tc yang sama dengan yang ada di pasar dunia. Pada suhu di atas 50K, terlihat peningkatan resistivity yang linier dengan peningkatan suhu. Hal ini menunjukkan sifat konduktor yang dimiliki Cu pada suhu diatas 50K. Pada suhu antara 17K sampai 50K terlihat perubahan resistivity yang semakin kecil pada suhu rendah. Hal ini disebabkan adanya bahan lain selain Cu yang terkandung di dalam sampel. Sedangkan pada suhu dibawah 17K, Nb3Sn menunjukkan sifat superkonduktornya sehingga terlihat adanya penurunan resistivity secara drastis, hingga resistivity-nya hanya menunjukkan sisa hambatan listrik yang sangat kecil yang terjadi akibat hambatan listrik sisa (residual resistivity) Cu dalam sampel. Daftar Referensi [1] Suenaga, M. 1980. Metallurgy of continuous filametary A15 superconductors Superconductor Materials and Science Metallurgy, Fabrication and Applications, ed S Former and B B Schwarts. New York: Plenum Press. [2] Powell, R. L. and F. R. Fickett. 1979. Cryogenic Properties of Copper. International Copper ResearchAssociation, Dec. 1979. [3] Matula, R.A. 1979. Electrical Resistivity of Copper, Gold, Palladium and Silver. J. Phys. Chem. Ref. Data, 8(4): 1147-1298. [4] ASTM F42-93. Standard Test Methods for Conductivity Type of Extrinsic Semiconducting Materials. Annual Bk. ASTM St., 1997. [5] Watanabe, K. S. 1994. Highly Strengthened Multifilamentary (Nb, Ti),Sn Wires Stabilized with CuNb Composite. IEEE Transactions on Magnetics, 30(4). [6] Siswayanti, Bintoro. 2013. Pengaruh perlakuan panas terhadap mikrostuktur dan mikrokimia kawat Cu-Nb-Sn Luvata Waterburry yang dibuat melalui metoda Internal Tin. Disertasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Universitas Indonesia. [7] Rossiter, P.L. 1987. The electrical resistivity of metals and alloys. Cambridge Solid State series. Cambridge: Cambridge University Press. [8] Goodrich, L. F. et al. 2004. Measuring residual resistivity ratio of high-purity Nb. Advances in Cryogenic Engineering Materials, 50A: 41-48.
46
PROSIDING SEMINAR MATERIAL METALURGI 2014