SKRIPSI
ANAK ANGKAT YANG BERSTATUS ANAK KANDUNG BERDASARKAN AKTA KELAHIRAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
OLEH BHINNEKA IKA SAKTY B111 08 815
BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012
HALAMAN JUDUL
ANAK ANGKAT YANG BERSTATUS ANAK KANDUNG BERDASARKAN AKTA KELAHIRAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
OLEH BHINNEKA IKA SAKTY B111 08 815
SKRIPSI diajukan sebagai salah satu syarat dalam rangka penyelesaian studi sarjana dalam bagian hukum keperdataan program studi ilmu hukum
PADA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 i
PENGESAHAN SKRIPSI
ANAK ANGKAT YANG BERSTATUS ANAK KANDUNG BERDASARKAN AKTA KELAHIRAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
disusun dan diajukan oleh BHINNEKA IKA SAKTY B111 08 815 telah dipertahankan dihadapan panitia ujian skripsi yang dibentuk dalam rangka penyelesaian studi program sarjana Bagian Hukum Keperdataan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada hari, Rabu 23 Mei 2012 dan dinyatakan diterima PANITIA UJIAN Ketua
Sekretaris
Prof. Dr. H. M. Arfin Hamid, S.H., M.H. NIP. 19670205 199403 1 001
Achmad, S.H., M.H. NIP. 19680104 199303 1 002
a.n. Dekan Wakil Dekan Bidang Akademik,
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. NIP. 19630419 198903 1 003
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Dengan ini menerangkan bahwa skripsi: Nama
:
Bhinneka Ika Sakty
Nomor Induk Mahasiswa
:
B111 08 815
Bagian
:
Hukum Keperdataan
Judul Skripsi
:
Anak
Angkat
yang
Berstatus
Anak
Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran Ditinjau dari Hukum Islam
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan pada ujian skripsi.
Makassar, 4 Mei 2012
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Prof. Dr. H. M. Arfin Hamid, S.H., M.H. NIP. 19670205 199403 1 001
Achmad, S.H., M.H. NIP. 19680104 199303 1 002
iii
LEMBAR PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI
Dengan ini menerangkan bahwa skripsi: Nama
: Bhinneka Ika Sakty
Nomor Induk Mahasiswa
: B111 08 815
Bagian
: Hukum Keperdataan
Judul Skripsi
: Anak
Angkat
yang
Berstatus
Anak
Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran Ditinjau dari Hukum Islam
Memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir program studi.
Makassar, 4 Mei 2012
a.n. Dekan Wakil Dekan Bidang Akademik,
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. NIP. 19630419 198903 1 003
iv
ABSTRAK
Bhinneka Ika Sakty (B111 08 815), Anak angkat yang berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran ditinjau dari hukum Islam, dibimbing oleh M. Arfin Hamid, selaku Pembimbing I (satu) dan Achmad, selaku Pembimbing II (dua). Penulisan ini bertujuan 1) Untuk mengetahui dan menjelaskan penyebab anak angkat dapat berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran, dan 2) Untuk mengetahui dan menjelaskan konsekuensi hukum anak angkat yang berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran ditinjau dari hukum Islam. Penelitian ini dilaksanakan pada Kantor Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Makassar. Selain wawancara, yaitu mengumpulkan data secara langsung melalui tanya jawab berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan melakukan wawancara secara tidak terstruktur untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan kepada para pakar, narasumber, ataupun pihak-pihak yang terkait, juga dilakukan teknik kepustakaan (library research), yaitu dengan jalan membaca literatur. Seperti buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian adalah sebagai berikut: 1) Anak angkat dapat berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran, disebabkan karena: a) Terjadinya pemalsuan terhadap persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta kelahiran, dan b) Adanya kerjasama orang tua angkat dengan pihak yang terkait dalam pembuatan akta kelahiran, sehingga persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta kelahiran tersebut, tidak perlu dilampirkan. Adapun yang menyebabkan orang tua angkat, membuatkan akta kelahiran yang berstatus anak kandung untuk anak angkat tersebut, adalah sebagai berikut: a) Proses pengangkatan anak melalui pengadilan, harus melalui prosedur yang begitu sulit, memerlukan waktu yang lama, dan biaya yang tidak murah; b) Orang tua angkat tidak ingin, anak angkat tersebut mengetahui siapa orang tua kandung sebenarnya atau nasab (keturunan) anak angkat tersebut, dan c) Adanya persetujuan dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, agar anak kandung dia (orang tua kandung) dibuatkan akta kelahiran sebagai anak sah dari orang tua angkat tersebut. Serta 2) Anak angkat yang berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran tidak mengakibatkan perubahan hubungan keturunan (nasab), meskipun pada akta kelahiran anak angkat tersebut berstatus anak kandung. Karena dalam Islam, akta kelahiran tidak dapat mengubah hubungan keturunan (nasab) anak angkat menjadi anak kandung. Dan meskipun anak angkat tersebut berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran, anak angkat tersebut tidak bisa mendapatkan hak waris sesuai anak kandung. Selain itu, menurut hukum Islam, akta kelahiran memang penting tetapi tidak dapat menjadi bukti dalam pewarisan.
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Sang Maha Kuasa dengan segala kebijaksanaan-Nya, Allah S.W.T Tuhan Semesta Alam, yang telah melimpahkan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam, turut penulis haturkan kepada Nabi Muhammad S.A.W sang kekasih Allah S.W.T, sang penyelamat, pencerah, penyempurna, suri tauladan dan pembawa Rahmat bagi ummat manusia. Penyelesaian
skripsi
ini
dimaksudkan
untuk
memenuhi
persyaratan
penyelesaian Program Sarjana Strata Satu Program Studi Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis ingin mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu selama proses penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Pertama, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Harry Usman, dan Ibunda Nining Purwaningsih, serta Kakandakakanda penulis, Dr. Esa Lestary, Arianty, S.si, Apt, dan Rezky Riasari, S.E., atas doa restu, dukungan, serta bantuan moril dan materil yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan ini. Terima kasih juga kepada Nenek Pardiningsih yang tidak pernah lelah memberikan nasihat dan dorongan semangat kepada penulis.
vi
Selanjutnya, Penulis ingin mengucapkan kepada pihak-pihak yang juga banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini, yaitu: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus Patturusi, Sp.Bo., selaku Rektor Universitas Hasanuddin, Makassar dan segenap jajaran Wakil Rektor Universitas Hasanuddin, Makassar. 2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S,H., M.Si., DFM., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar dan segenap jajaran Wakil Dekan I Bapak Prof. Ir. Dr. Abrar Saleng, S.H., M.H., Wakil Dekan II Bapak Dr. Anshory Ilyas, S.H., M.H., dan Wakil Dekan III Bapak Romi Librayanto, S.H., M.H. 3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar Periode 20052010, Bapak Prof. Dr. Syamsul Bahri, SH., M.H., Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar Periode 2005-2010 Bapak Prof. Dr. Guntur Hamzah, S.H., M.H., dan Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar Periode 2005-2010 Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. 4. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. H. M. Arfin Hamid, S.H., M.H., sebagai pembimbing I dan Bapak Achmad, S.H., M.H., sebagai pembimbing II, atas bimbingan, dukungan, dan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini. Saya terkesan dengan dedikasi dan komitmen beliau selaku pembimbing I dan pembimbing II,
vii
yang senantiasa memotivasi saya dalam studi dan membimbing menyelesaikan skripsi ini. 5. Tim Penguji, Bapak H. Ramli Rahim, S.H., M.H., Ibu Ratnawati, S.H., M.H., Ibu Fauziah P. B, S.H., M.H., terima kasih atas seluruh saran dan kritikan yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. 6. Bapak Drs. H. Mustamin Ibrahim (Pimpinan Pondok Pesantren Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) Al-Furqan, Buntu Kamassi Larompong, Kabupaten Luwu dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kabupaten Luwu), Bapak Prof. Dr. H. Ali Parman, M. Ag. (Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum dan Ketua Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, serta Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kota Makassar), Bapak Dr. Abdillah Mustari, M. Ag. (Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar), dan Bapak Drs. Natan Ruben (Kepala Bidang Kelahiran, Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil, Kota Makassar) atas kesediaan menjadi narasumber dan meluangkan waktunya yang sangat berharga untuk wawancara, bahkan memberikan sejumlah naskah yang menjadi bahan penulisan skripsi ini. 7. Kepala Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil, Kota Makassar beserta staf atas bantuannya selama saya melakukan penelitian. 8. Ketua Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, Bapak Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H., dan Sekretaris Bagian Ibu Dr. Sri Susanti Nur S.H., M.H., serta seluruh dosen hukum viii
perdata
yang
membuat
hukum
perdata
begitu
menarik
dan
menyenangkan untuk dipelajari. 9. Bapak Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., selaku Penasihat Akademik (PA) yang telah memberikan nasehat, bimbingan serta dukungan secara moril selama penulis melaksanakan kegiatan perkuliahan. 10. Seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. 11. Sahabat-sahabat terbaikku, Nidha Chusna, Soraya Annisa, dan Andi Tri Adriani yang selalu ada dalam suka maupun duka, sungguh bahagia memiliki kalian. 12. Sahabat dan saudari seperjuanganku Sitti Paradiba Rambega yang selalu tulus menemani, memberi semangat dan tidak pernah bosan mendengar keluh kesahku dalam segala hal. Persahabatan kita untuk selamanya. 13. Teman-teman seperjuanganku, Andi Rima Fitriani, Sumarni M. R, Wahyuni Hamdan dan Fauziah Risanti. Banyak canda tawa yang telah kita ciptakan bersama, semoga kebersamaan kita akan terus berlanjut untuk selamanya. 14. Seluruh
Angkatan
2008
“Notaris”
Fakultas
Hukum
Universitas
Hasanuddin, Makassar, khususnya Andi Umi Pratiwi, Andi Alamsyah, Indriani Darwis, Nurafiah Adhayanti, Andi Ian Nuary, Alfiansyah Sugito, Muhammad Hidayat dan Fuad Akbar Yamin, sangat senang bisa mengenal kalian. ix
15. Sahabatku Muhammad Rio Setiawan, Muhammad Teguh Putra, Andry Heriadi
dan
Arya
Sulvikar
Putra.
Terima
kasih
untuk
semua
dukungannya. 16. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata Terpadu Universitas Hasanuddin Gelombang 80, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru. Khususnya Kelurahan Takkalasi, Kanda Aswin K, S.H., Kanda Andi Nasryadi, Kanda Awal Miftah Ridha, Dwi Putri F. Anwar, Alfira Desy Indriati, Andita D. A, dan Muhammad Haekal Ashri, S.H. Kebersamaan kurang lebih 2 (dua) Bulan bukanlah waktu yang lama, tetapi begitu membuat kita menjadi satu dalam ikatan persaudaraan, terima kasih atas pengalaman hidup yang kalian berikan dan ini merupakan salah satu moment terbaik yang tidak akan pernah terlupakan. 17. Muhammad Haekal Ashri, S.H., penyemangatku dan pemberi motivasi dalam penyeselesaian skripsi ini, terima kasih telah setia menemani harihariku. Kuliah Kerja Nyata Terpadu Universitas Hasanuddin Gelombang 80 telah mempertemukan kita sehingga membuat kehadiranmu begitu sangat berarti dalam hidupku, semoga kedepannya kita dapat terus bersama. Amin. 18. Seluruh keluarga, rekan dan sahabat yang semuanya tidak bisa disebutkan satu per satu oleh penulis, yang telah membantu penulis hingga menyelesaikan studi dan skripsi ini, semoga Allah S.W.T senantiasa memberikan ganjaran berlipat ganda atas segala bantuan dan budi baik kalian semua. Penulis juga mengucapkan mohon maaf x
sedalam-dalamnya jika ada kesalahan dan kekhilafan, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku, sejak pertama kali melaksanakan kuliah di Universitas Hasanuddin, Makassar hingga menyelesaikan studi. Terakhir
penulis
berharap
skripsi
ini
dapat
bermanfaat
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan bernilai ibadah disisi-Nya. dan mohon maaf jika ada kesalah dan kekeliruan sejak melaksanakan perencanaan, penelitian, penyusunan skripsi hingga pengujian skripsi ini. Dengan rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran apabila terdapat kesalahan yang dapat membangun guna kesempurnaan skripsi ini, karena kesempurnaan hanya milik Allah S.W.T. Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Makassar, 21 Mei 2012
Bhinneka Ika Sakty
“Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar” -Imam Al Ghazali-
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...............................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................................
iii
LEMBAR PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPI ..................................... iv ABSTRAK ............................................................................................................ v UCAPAN TERIMA KASIH.................................................................................... vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang.................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah .......................................................................... 12 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .......................................................
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 13 A. Pengertian Hukum Islam................................................................... 13 B. Ruang Lingkup Hukum Islam........... ............................................... .. 18 C. Tujuan Hukum Islam.............................. ........................................... 20 D. Sumber-Sumber Hukum Islam........................................................ .. 23 E. Hukum Keluarga Islam Dan Ruang Lingkupnya ...............................
xii
28
F. Tinjauan Umum Mengenai Pengangkatan Anak ...............................
35
1. Pengertian Anak Angkat................................................................. ... 35 a) Menurut Hukum Islam.................................................................... ... 35 b) Menurut Perundang-Undangan....................................................... .. 36 2. Pengertian Pengangkatan Anak........................................................ 37 a) Menurut Hukum Islam.................................................................... ... 37 b) Menurut Perundang-Undangan....................................................... .. 39 3. Dasar Hukum Pengangkatan Anak................................................. .. 39 a) Menurut Hukum Islam.................................................................... ... 39 b) Menurut Perundang-Undangan....................................................... .. 40 4. Tujuan Pengangkatan Anak............................................................ .. 43 a) Menurut Hukum Islam ...................................................................... 43 b) Menurut Perundang-Undangan......................................................... 43 G. Akta Kelahiran............................................................................... .... 45 H. Pengertian Anak Kandung.............................................................. ... 47 BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 48 A. Lokasi Penelitian............................................................................... 48 B. Jenis Dan Sumber Data .................................................................... 48 C. Teknik Pengumpulan Data................................................................
49
D. Teknik Analisis Data....................................................................... ... 49
xiii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................... 50 A. Penyebab Anak Angkat Dapat Berstatus Anak Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran .............................................................. 50 1. Prosedur Pengangkatan Anak..................................................... 50 a) Secara Adat............................................................................... 50 b) Melalui Notaris........................................................................... 51 c) Melalui Pengadilan Negeri ........................................................ 52 d) Melalui Pengadilan Agama........................................................ 53 2. Pencatatan Pengangkatan Anak Pada Pencatatan Sipil ............. 54 3. Faktor-Faktor Penyebab Anak Angkat Dapat Berstatus Anak Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran ............................... 58 B. Konsekuensi Hukum Anak Angkat Yang Berstatus Anak Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran Ditinjau Dari Hukum Hukum Islam....................................................................... .. 61 1. Anak Angkat Yang Berstatus Anak Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran Tidak Mengakibatkan Perubahan Hubungan Keturunan (Nasab) ..................................................................... a) Pengertian Nasab
61
...............................................................
61
b) Sebab-Sebab Terjadinya Hubungan Nasab .............................
63
c) Cara Menetapkan Nasab .........................................................
64
xiv
2. Anak Angkat Yang Berstatus Anak Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran Tidak Mengakibatkan Perubahan Terhadap Hukum Yang Saling Mewarisi..................................................... 67 a) Anak Angkat Sebagai Ahli Waris Menurut Hukum Islam .......... 67 BAB V PENUTUP............................................................................... ................. 72 A. Kesimpulan
.................................................................................. 72
B. Saran........................................................................................... ...... 73 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
74
Biodata Narasumber, Surat Keterangan Telah Melaksanakan Wawancara Dan Surat Keterangan Penelitian ........................................................................ 78
xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah menjadi kodratnya bahwa setiap umat manusia di dunia ini berlainan jenis harus hidup bersama, maka kedua jenis insan tersebut wajar dan layak melangsungkan perkawinannya untuk hidup bersama membentuk suatu
keluarga
yang
bahagia
yang
bertujuan
mengumpulkan
dan
mengembangkan keturunannya agar kehidupan manusia tersebut tidak terputus dan dapat lestari dan berkesinambungan. Oleh karena negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/ kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani, tetapi unsur batin/ rohani juga mempunyai peranan yang utama.1 Dalam perkawinan tersebut tercantum pula tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Hal tersebut dikarenakan tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan
1
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 36.
1
sementara waktu seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa. 2 Kemudian bagi keluarga yang baru dibentuk, kelahiran anak diharapkan sebagai akibat perkawinan mereka dan kemudian anak yang lahir inilah yang disebut sebagai penerus generasi dari orang tuanya.3 Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah S.W.T, anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Anak sebagai amanah Allah S.W.T harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh
dan
berkembang,
berpartisipasi
serta
berhak
atas
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminatif serta hak sipil dan kebebasan.4 Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak, yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing daerah. Walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak 2
Ibid., hlm. 37. Ibid., hlm. 39-40. 4 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengantar Anak Perspektif Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 1. 3
2
tersebut belum diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri. Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan orang per orang dalam keluarga. Oleh karena itu, lembaga pengangkatan anak (adopsi) yang telah menjadi bagian budaya masyarakat, akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri. Burgerlijk Wetboek
tidak mengatur tentang pengangkatan anak,
namun dalam perkembangannya sejak tahun 1956 Burgerlijk Wetboek Belanda
yang
baru
(Nieuwe
Burgerlijk
Wetboek)
telah
mengatur
pengangkatan anak. Latar belakang pengaturan ini terutama karena keinginan yang dirasakan oleh masyarakat untuk memberikan pemeliharaan kepada anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya kurang mampu. Adapun yang diperbolehkan melakukan pengangkatan anak dalam Nieuwe Burgerlijk Wetboek hanya pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak sendiri dan sudah lebih dari 5 (lima) tahun dalam perkawinan. Pengangkatan anak tidak boleh dilakukan terhadap anak sendiri yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind). Anak luar kawin itu dapat diakui dan disahkan menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada (erkening dan wettiging).5
5
Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 27-28.
3
Hukum kekeluargaan adat memandang bahwa keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah dengan ketunggalan leluhur bervariasi hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur bervariasi di masing-masing daerah. Ada satu pandangan pokok yang sama bahwa keturunan merupakan unsur yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku, atau kerabat yang menginginkan dirinya tidak
punah
dan
menghendaki
supaya
ada
generasi
penerusnya.
Pengangkatan anak dalam hukum adat bukan merupakan lembaga yang asing. Lembaga itu dikenal luas hampir di seluruh Indonesia yang dilakukan dengan cara dan motif yang bervariasi. Misalnya di Jawa, anak angkat biasanya diambil dari anak keponakannya sendiri, laki-laki atau perempuan.6 Akibat hukum pengangkatan anak dalam hukum adat sangat bervariasi. Misalnya di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak angkat dan orang tua kandungnya. Sedangkan di Bali, pengangkatan anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak dari pertalian keluarga orang tua kandungnya dan memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan menjadi anak kandung untuk meneruskan keturunan
bapak angkatnya.
Kedudukan anak angkat dalam hukum adat dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan keturunan. Sistem kekeluargaan di Indonesia dibedakan menjadi 3 (tiga) corak, yaitu sistem patrilineal (alur keturunan berasal dari
6
Ibid., hlm. 28.
4
pihak bapak), sistem matrilineal (alur keturunan berasal dari pihak ibu), dan sistem parental atau bilateral (alur keturunan berasal dari pihak bapak dan ibu).7 Dalam hukum Islam pengangkatan anak (adopsi) sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan,
bahwa
tradisi
pengangkatan
anak
sebenarnya
sudah
dipraktekkan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikkan oleh bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa zaman kuno. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa Jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan at-tabanni, dan sudah ditradisikan secara turun-temurun. Imam Al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW dengan nama Zaid bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya diumumkan oleh Rasulullah, di depan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy, putri Aminah binti Abdul Muththakib, bibi Nabi Muhammad SAW oleh karena Nabi Muhammad SAW. telah menganggapnya sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad. Setelah Nabi
7
Ibid., hlm. 29-30.
5
Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, turunlah Surah Al-Ahzab ayat 4-5, yang salah satu intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi) dan memanggilnya sebagai anak kandung. Imam Al-Qurtubi menyatakan bahwa kisah di atas menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut.8 Jadi, hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya tanggung jawab untuk memberikan nafkah, mendidik, memelihara, dan lain-lain dalam konteks beribadah kepada Allah S.W.T.9 Dalam hal kewarisan, menurut ulama fikih, anak angkat tidak termasuk satu kerabat atau bukan satu keturunan dengan orang tua angkatnya, bukan pula lahir atas perkawinan yang sah dari orang tua angkatnya, dan bukan pula karena hubungan perwalian. Oleh karena itu, antara dirinya dan orang tua angkatnya tidak berhak saling mewarisi satu sama lain. Jika ia akan mewarisi, maka hak waris mewarisi hanya berlaku antara dirinya dan orang tua kandungnya secara timbal balik, atas dasar kekerabatan dan hasil perkawinan yang sah atau kalau mungkin ada karena saling tolong menolong dengan yang meninggal semasa hidupnya. Namun mengingat hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, apalagi kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memperhatikan jasa baiknya terhadap rumah tangga orang tua angkatnya, maka Islam sama sekali tidak menutup kemungkinan bahwa anak angkat 8 9
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op. Cit., hlm 22-23. Musthofa Sy, Op. Cit., hlm 39.
6
mendapat bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Caranya adalah dengan hibah dan wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh ayah (orang tua) angkatnya sebelum meninggal dunia.10 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan salah satu sumber hukum, memberikan ketentuan bahwa anak angkat berhak menerima bagian warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai berikut: (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193, sedangkan terhadap orangtua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan anak angkatnya, dan (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orangtua angkatnya. Berdasarkan isi bunyi Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ayat (1) dan (2) diatas dapat dipahami bahwa wasiat wajibah yang dimaksud oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan.11
10
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op. Cit., hlm. 25-26. Jiiy Ji’ronah Muayyanah, “Tinjauan Hukum Pengangkatan Anak Serta Akibat Hukumnya Dalam Pembagian Waris Menurut Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang 2010, hlm. 17-18. Tersedia di 11
7
Sedangkan
dalam
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
(KUHPerdata) dinyatakan bahwa anak angkat sebagai anggota keluarga dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku (ab instestato) ataupun dengan adanya surat wasiat (testament).12 Dalam Pasal 957 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dinyatakan: Hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya.13 Jadi hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dimana pewaris mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, misalnya, segala barang-barangnya bergerak atau tidak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. Membagi bendabenda harta warisan dengan jalan wasiat biasanya dimaksudkan untuk menghindari jangan sampai terjadi perselisihan dikalangan ahli waris. Biasanya wasiat membagi harta warisan dengan cara tertentu, yang dirasakan mengikat oleh ahli waris atas dasar rasa wajib menghormati
http://eprints.undip.ac.id/23841/1/Jiiy_Ji%E2%80%99ronah_Muayyanah.pdf Terakhir diakses pada 14 Februari 2012, Pukul 9.14 P.M. WITA. 12
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka-alfunnimat-359. Terakhir diakses pada 14 Februari 2012, Pukul 9.43 P.M. WITA. 13
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie), Pasal
957.
8
pesanan orang tua. Dengan demikian didalam hukum barat telah ditentukan bahwa kedudukan seseorang yang meninggal dunia sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak hati orang yang meninggal. Pada prinsipnya orang bebas menentukan kehendak terhadap harta kekayaannya setelah meninggal dunia. Begitu juga terhadap hak mewaris anak angkat didasarkan hibah wasiat menurut hukum perdata yang dilakukan oleh orang tua angkatnya agar anak angkat tersebut mendapat bagian dari harta peninggalannya.14 Adapun pembuktian asal usul anak, menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dalam Pasal 55, yaitu: (1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.15
14
Ferza Ika Mahendra, “Kajian Terhadap Hak Waris Anak Angkat Didasarkan Hibah Wasiat Menurut Hukum Perdata (Studi Di Pengadilan Negeri Jakarta Timur)”. Usulan Penelitian Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang 2008., hlm. 11-12. Tersedia di http://eprints.undip.ac.id/17405/1/FERZA_IKA_MAHENDRA.pdf. Terakhir diakses pada 14 Februari 2012, Pukul 10.02 P.M. WITA. 15
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Pasal 55.
9
Sedangkan pembuktian asal usul anak menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat pada Pasal 103, yaitu: (1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. (2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya yang tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetapan pengadilan agama yang tersebut dalam ayat (2), maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.16 Ketentuan hukum perlunya akta kelahiran sebagai bukti otentik asalusul anak, meski sesungguhnya telah diupayakan sejak lama, secara metodologis merupakan inovasi hukum positif terhadap ketentuan hukum dalam hukum Islam. Jika dalam hukum Islam asal-usul anak dapat diketahui dengan adanya ikatan perkawinan yang sah, dipertegas dengan batasan minimal atau maksimal yang lazim pada usia janin dalam kandungan, maka pembuktian secara formal, hanya bersifat administratif, asal-usul anak dengan akta kelahiran atau surat kelahiran. Penentuan perlunya akta kelahiran tersebut, didasarkan atas prinsip maslahat mursalah (kemaslahatan yang terlepas dari syariat atau dengan kata lain kebaikan yang tidak disinggung-singgung benar-tidaknya dalam syariat, baik secara umum maupun secara khusus), yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi anak. Selain anak akan mengetahui secara pasti orang tuanya, dan apabila suatu
16
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 103.
10
saat timbul permasalahan, dengan bantuan akta kelahiran sebagai bukti otentik, anak tersebut dapat melakukan upaya hukum.17 Tetapi bagaimana jika anak angkat tersebut berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran, maka akan menyisahkan masalah antara lain meliputi, faktor-faktor apakah yang menyebabkan anak angkat dapat berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran, dan bagaimanakah konsekuensi hukum anak angkat yang berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran ditinjau dari hukum Islam.
17
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19968/3/Chapter%20II.pdf. Terakhir diakses pada 14 Februari 2012, Pukul 11.47 P.M. WITA.
11
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah yang menyebabkan anak angkat dapat berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran? 2. Bagaimanakah konsekuensi hukum anak angkat yang berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran ditinjau dari hukum Islam? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a) Untuk mengetahui dan menjelaskan penyebab anak angkat dapat berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran b) Untuk mengetahui dan menjelaskan konsekuensi hukum anak angkat yang berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran ditinjau dari hukum Islam. 2. Manfaat Penelitian a) Sebagai kajian yang berguna untuk menjadi referensi mengenai anak angkat yang berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran di tinjau dari hukum Islam. b) Bagi penulis sendiri, untuk lebih menambah wawasan dan pengalaman penulis serta sebagai tugas akhir/ skripsi penulis.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Islam Di Indonesia ada bermacam-macam hukum, diantaranya adalah hukum Islam. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam. Sebagai sistem hukum, hukum Islam mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, sebab, kadangkala membingungkan, kalau tidak mengetahui maknanya. Istilah yang dimaksud ialah: 1) Syariat dan 2) Fiqih atau fiqh dan beberapa kata lain yang berkaitan dengan istilah-istilah tersebut.18 1. Pengertian Syariat Syariat atau ditulis juga syariah, secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan hidup Muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah S.W.T dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah S.W.T yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah S.W.T maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. 18
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Hukum Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 42.
13
Norma hukum dasar ini dijelaskan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Karena itu, syariat terdapat di dalam AlQur’an dan di dalam kitab-kitab Hadist. Menurut sunnah (al-qauliyah atau perkataan) Nabi Muhammad SAW, umat Islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama meraka berpegang teguh atau berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.19 Arti istilah/ terminologis dari syariat sebagaimana dirumuskan oleh beberapa ahli dan penulis Hukum Islam, antara lain: a. Agnides mengemukakan syariah adalah sesuatu yang tidak akan diketahui adanya, seandainya tidak ada wahyu Ilahi. b. Ashshiddieqy memberikan pengertian mengenai syariah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah S.W.T untuk para hamba-Nya dengan perantaraan Rasulullah SAW, supaya para hamba melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai amaliyah lahiriah maupun yang mengenai akhlak dan aqidah, kepercayaan yang bersifat batiniah. c. Rosyada mendefenisikan syariah adalah menetapkan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan umat manusia lainnya. d. Zuhdi memberikan pengertian mengenai syariah sebagai hukum yang ditetapkan Allah S.W.T melalui rasul-Nya untuk hamba-Nya, agar mereka
19
Ibid., hlm. 46-47.
14
menaati hukum itu atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan aqidah, amaliyah (ibadah dan muamalah) dan yang berkaitan dengan akhlak.20 Karena norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al-Qur’an itu masih bersifat umum, demikian juga halnya dengan aturan yang ditentukan oleh Nabi Muhammad SAW terutama mengenai muamalah, maka setelah Nabi Muhammad SAW wafat, norma-norma hukum dasar yang masih bersifat umum itu perlu dirinci lebih lanjut. Perumusan dan penggolongan norma-norma hukum dasar yang bersifat umum itu ke dalam kaidah-kaidah yang lebih konkret agar dapat dilaksanakan dalam praktik, memerlukan disiplin ilmu dan cara-cara tertentu. Muncullah ilmu pengetahuan baru yang khusus menguraikan syariat dimaksud. Ilmu tersebut dinamakan ilmu fiqih yang ke dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ilmu hukum (fiqih) Islam. Ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari atau memahami syariat dengan memusatkan perhatiannya pada perbuatan (hukum) manusia mukallaf, yaitu manusia yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam karena telah dewasa dan berakal sehat. Orang yang paham tentang ilmu fiqih disebut fakih atau fukaha (jamaknya). Artinya ahli atau para ahli hukum (fiqih) Islam.21
20
M. Arfin. Hamid, Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar Dalam Memahami Realitas Hukum Islam Di Indonesia), PT. Umitoha Ukhuwa Grafika, Makassar, 2011, hlm. 36. 21 Mohammad Daud Ali, Op.Cit., hlm. 47-48.
15
2. Fiqih Dalam Bahasa Arab, fiqh artinya paham atau pengertian. Dalam hal ini dapat juga dirumuskan dengan kata-kata lain, ilmu fiqih adalah ilmu yang bertuas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadist. Dengan kata lain, ilmu fiqih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam.22 Sedangkan menurut para penulis hukum Islam, antara lain: a. Fyzee mengemukakan pengertian fikih sebagai pengetahuan tentang hakhak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagaimana diketahui dari AlQur’an atau As-Sunnah, atau yang disimpulkan dari keduanya atau tentang apa yang kaum cerdik-pandai telah sepakati. b. Budiman mengemukakan pengertian fikih ialah ilmu pengetahuan hukum yang hanya mencakup bidang amaliyah saja dan pengetahuan hukum itu bersumber dari ijtihad. c. Hanafi juga memberikan pengertian mengenai fikih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang mengenai perbuatan dengan melalui dalil-
22
Ibid., hlm. 48-49.
16
dalilnya yang terperinci. Fiqih ialah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan pemikiran dan perenungan.23 Adapun perbedaan antara syariat dan fiqih sebagai berikut: a) Syariat Islam adalah segala yang telah disyariatkan oleh Allah S.W.T yang meliputi seluruh dasar agama. moral, etika, akhlak, hubungan sosial antarmanusia, sedangkan fiqih ialah segala hukum yang diambil dari Al-Qur’an dan hadist dengan menggunakan paham (media) ijtihad. Hal ini ditempuh apabila masalah-masalah sosial yang terjadi yang dasar hukumnya dalam Al-Qu’ran dan Sunnah tidak ada atau tidak jelas, jadi sifatnya parsial (berhubungan); b) Syariat Islam ditentukan oleh Allah S.W.T sedangkan fiqih ditetapkan oleh manusia dengan menggunakan paham (media) ijtihad, dan c) Syariat Islam lebih luas dari pada fiqih, oleh karena itu syariat Islam meliputi seluruh perbuatan lahir dan batin manusia, sedangkan fiqih hanya terbatas pada ketentuan lahir manusia saja.24 Sedangkan persamaannya, sebagai berikut: a) Syariat maupun fiqih, kedua-duanya dipakai secara bersama-sama untuk menunjukkan, bahwa hukum Islam itu adalah sistem hukum yang sempurna, dan b) Syariat dan fiqih pada hakekatnya adalah hukum yang mengatur perbuatan dan sikap manusia terhadap 2 (dua) arah, yaitu hubungan manusia dengan manusia yang disebut Muamalah, dan hubungan antara syariat dan fiqih, antara lain 23
M. Arfin. Hamid, Op. Cit., hlm. 37-38. Abdullah Marlang, et. all, Pengantar Hukum Indonesia, Yayasan Aminuddin Salle (A.S. Center), Makassar, 2009. hlm. 87. 24
17
sebagai berikut: a) Fiqih adalah formula yang dipahami melalui syariat, syariat tidak dapat dijalankan dengan baik tanpa dipahami melalui fiqih atau pemahaman yang memadai dan diformulasikan secara baku, dan b) Fiqih tidak dapat dipisahkan dari syariat, oleh karena itu fiqih adalah bagian yang tidak terpisahkan dari syariat.25 Maka pengangkatan anak (at-tabanni) menurut fiqih atau Ulama fiqih, dapat dilakukan asalkan tidak memutus hubungan keturunan (nasab) si anak dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Begitupun menurut syariat Islam, pengangkatan anak tidak dilarang, malah dianjurkan akan tetapi hukumnya tidak sama dengan hukum pengangkatan anak yang berlaku pada masa Jahiliyah, antara lain tidak boleh dinisbahkan namanya kepada orang tua angkatnya, tidak mewarisi, tidak berlaku seperti mahram. Untuk pembatalan kebiasaan pada masa Jahiliyah tersebut Allah S.W.T menurunkan Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 45. B. Ruang Lingkup Hukum Islam Jika dibandingkan hukum Islam bidang muamalah dengan hukum Barat yang membedakan antara hukum privat (hukum perdata) dengan hukum publik, maka sama halnya dengan hukum adat di tanah air kita, dimana hukum Islam tidak membedakan (dengan tajam) antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan menurut sistem hukum Islam 25
M. Arfin. Hamid, , Op. Cit., hlm. 12.
18
pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik terdapat segi-segi perdatanya. Itulah sebabnya maka dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu, yang disebutkan hanyalah bagianbagiannya saja, misalnya: (1) Munakahat, (2) Wirasah, (3) Mu’amalat dalam arti khusus, (4) Jinayat atau ‘Ukubat, (5) Al-Ahkam As-Sulthaniyah (khilafah), (6) Siyar, dan (7) Mukhasamat. Hukum perdata (Islam) adalah (1) Munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibatakibatnya; (2) Wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum Kewarisan Islam ini disebut juga hukum fara’id; (3) Muamalat dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan sebagainya. Hukum publik (Islam) adalah (4) Jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana, jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Qu’ran dan Sunnah Nabi Muhammad (hudud jamak dari had atau batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir = ajaran atau pengajaran); (5) Ah-Ahkam As-Sulthaniyah membicarakan soal-soal yang berhubungan 19
dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya; (6) Syiar mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain, dan (7) Mukhasamat mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.26 Maka dalam ruang lingkup hukum Islam, pengangkatan anak digolongkan dalam hukum perdata (Islam), yang menyangkut munakahat (mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibatakibatnya), dan wirasah (mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan). C. Tujuan Hukum Islam Tujuan hukum Islam tidak terbatas pada lapangan materiil saja yang sifatnya sementara, tidak pula kepada hal-hal yang sifatnya formil belaka, akan tetapi lebih dari itu hukum Islam memperhatikan pelbagai faktor seperti faktor
individu,
faktor
masyarakat
dan
faktor
kemanusiaan
dalam
hubungannya 1 (satu) dengan lain demi terwujudnya keselamatan di dunia dan kebahagiaan dihari kemudian. Dalam lapangan ibadat (shalat, puasa, zakat, dan naik haji) dimaksudkan: 1. Membersihkan jiwa manusia dan mempertemukan dirinya dengan Tuhan. Tujuan ini menyangkut kesehatan rohani; 2. Kesehatan jasmani; 3. Kebaikan individu dan masyarakat dalam pelbagai seginya. 26
Ibid., hlm. 56-58.
20
Dalam lapangan muamalat, tujuan-tujuan tersebut di atas juga nampak jelas, antara lain pada prinsip yang mengatakan : 1. Menolak bahaya didahulukan daripada mendatangkan kebaikan, dan 2. Kepentingan umum ditempatkan di atas kepentingan pribadi serta golongan. Hukum Islam secara substansial selalu menekankan perlunya menjaga kemaslahatan manusia. Hukum Islam senantiasa memperhatikan kepentingan dan perkembangan kebutuhan manusia yang pluraistik. Secara praktis kemaslahatan itu tertuju kepada tujuan: a. Memelihara kemaslahatan agama; b. Memelihara kemaslahatan jiwa; c.
Memelihara kemaslahatan akal;
d. Memelihara kemaslahatan keturunan, dan e. Memelihara kemaslahatan harta benda.27 Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir, memerinci tujuan hukum Islam menjadi 3 (tiga) kelompok bebas, yaitu: a) Pendidikan pribadi, hukum Islam mendidik pribadi-pribadi
agar menjadi
sumber kebaikan
bagi
masyarakatnya, tidak menjadi sumber keburukan yang akan merugikan pribadi lain; b) Menegakkan keadilan, disini keadilan yang harus ditegakkan meliputi keadilan pada diri sendiri, keadilan hukum, keadilan sosial, dan keadilan dunia, dan c) Memelihara kebaikan hidup, maksudnya semua yang
27
Ibid., hlm. 107-108.
21
meliputi kepentingan hidup manusia harus dipelihara dengan baik, yaitu kepentingan primer (pokok), kebutuhan sekunder (bukan pokok) dan kepentingan tersier (pelengkap). Kepentingan yang diperlukan oleh manusia mutlak harus dilindungi, sebab apabila dibiarkan berjalan dengan sendirinya maka akan mendatangkan kerusakan kepada manusia dalam menjalani hidupnya, dan menurut Ibnu Qayyim, tujuan hukum Islam adalah untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat.28 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam dibangun diatas sendi-sendi (da’aimut tasyri’) dengan tujuan untuk
menegakkan keadilan
merata bagi seluruh umat manusia (tahqiq al-‘adalah), memelihara dan mewujudkan kemaslahatan umat manusia (ri’ayat mashalis al-ummah), tidak memperbanyak beban dan menghilangkan kesulitan (qillat al-taklif, nahyu alharaj wa raf’ u al-masyakah), pembenahan yang bertahap (tadarrujj fi altasyri), dan masing-masing orang hanya memikul dosanya sendiri, bukan dosa orang lain.29 Dalam
konteks
pengangkatan
anak,
hukum
Islam
bertujuan
memelihara dan mewujudkan kemaslahatan umat manusia (ri’ayat mashalis al-ummah), dan tidak memperbanyak beban dan menghilangkan kesulitan
28
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia (Tinjauan Dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 110. 29 Ibid., hlm 111.
22
(qillat al-taklif, nahyu al-haraj wa raf’ u al-masyakah). Karena pengangkatan anak juga bertujuan antara lain untuk merawat dan mendidik anak angkat. D. Sumber-Sumber Hukum Islam Dalam kepustakaan, terminologi sumber hukum sering digunakan dalam pembahasan kaidah hukum. Oleh karena hukum Islam merupakan hukum agama, maka pengertian sumber hukum adalah pembahasan kaidah hukum tersebut dipinjam dalam pembicaraan kaidah etis.30 Ada perbedaan pendapat mengenai mengenai sumber hukum Islam, pembagiannya, penyebutan jumlahnya, pengertiannya, maupun dalam hal dijadikannya sebagai hukum Islam. Uraian secara ringkas tentang sumber-sumber hukum Islam adalah sebagai berikut: 1. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah firman Allah S.W.T yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa Arab, yang diriwayatkan secara mutawatir (beriring-iringan) dan ditulis dalam mushaf.31 Asli seperti yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya sedikit demi sedikit selama 22 (duapuluh dua) tahun 2 (dua) bulan dan 22 (duapuluh dua) hari, mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak.32
30
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,
hlm. 23.
31 32
Ibid., hlm. 24. Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hlm. 78-79.
23
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang tertinggi. Ulama sependapat mengenai hal ini. Bahkan, ada yang menyebut Al-Qur’an sebagai satu-satunya
sumber
hukum
Islam,
sumber-sumber
lainnya
hanya
merupakan penjelasan terhadap Al-Qur’an.33 2. Hadist dan Sunnah Hadist adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Menurut ulama ahli ushul, hadist adalah segala perkataan, segala perbuatan, dan segala ketetapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum. Hadist dan Sunnah sering digunakan untuk maksud yang sama. Akan tetapi, keduanya dapat dibedakan. Hadist berkonotasi segala peristiwa yang dinisbahkan
kepada
Nabi
walaupun
hanya
sekali
saja
Beliau
mengucapkannya atau mengerjakannya, dan walaupun diriwayatkan oleh perorangan. Sedangkan Sunnah adalah sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh Nabi secara terus-menerus.34 3. Ijma’ Ijma’ adalah salah satu sumber hukum Islam yang terpenting dan sering ditempatkan sebagai sumber hukum Islam yang ketiga. Menurut istilah ahli ushul, ijma’ adalah “kesepakatan seluruh imam (mujtahid) umat Islam pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah SAW akan suatu hukum syariat mengenai perbuatan”. Mereka adalah orang-orang yang berkualifikasi sebagai imam (mujtahid), bukan orang awam. Unsur ini tidak mungkin
33 34
Jazuni., Op. Cit., hlm. 24-25. Ibid., hlm. 27.
24
dipenuhi pada zaman ini. Ada pendapat yang menyatakan bahwa ijma’ tidak mungkin lagi terwujud setelah berlalunya masa sahabat Nabi.35 4. Qiyas Menurut istilah ahli ushul, qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan hukum perkara lain yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya persamaan alasan hukum. Dari pada pengertian tersebut, ada 4 (empat) unsur qiyas, yaitu: a) Perkara pokok yang terdapat hukumnya dalam nash dan akan dipakai sebagai perbandingan; b) Perkara baru yang belum ada hukumnya dalam nash dan hendak diperbandingkan; c) Hukum dan perkara pokok yang hendak diterapkan terhadap perkara baru, dan d) Alasan yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum perkara pokok, yang sama dengan perkara baru. 5. Qaul (Pendapat) Sahabat Sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan Islam dan mati pun dalam keadaan Islam. Dijadikannya pendapat sahabat sebagai sumber hukum Islam adalah wajar, karena sahabat merupakan orang yang lebih mengetahui keseharian Nabi.
35
Ibid., hlm. 29-30.
25
6. Istihsan Menurut bahasa, istihsan adalah menganggap dan meyakini kebaikan sesuatu. Menurut istilah ahli ushul, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid (imam) dalam menetapkan suatu masalah dari satu hukum kepada hukum lain yang berlawanan dengannya, karena adanya dalil yang mendorongnya. 7. Maslahat Mursalah Maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang terlepas dari syariat atau dengan kata lain kebaikan yang tidak disinggung-singgung benartidaknya dalam syariat, baik secara umum maupun secara khusus. Imam alGhozali menyebutkan istislah, dan Imam Haramain menyebutnya istidlal. Oleh, karena kemaslahatan di sini terlepas dari syariat, maka penentu kemaslahatan di sini adalah penalaran manusia. 8. ‘Urf (Adat Kebiasaan) ‘Urf sebagai salah satu sumber hukum Islam juga disebut adat. Menurut istilah ushul, ‘urf adalah kebiasaan mayoritas orang dalam kata-kata dan perbuatan. 9. Syariat terdahulu Ada syariat umat sebelum Islam yang secara jelas dihapuskan oleh syariat Islam, ada juga syariat umat sebelum Islam yang tetap dipertahankan oleh syariat Islam, dan ada syariat umat sebelum Islam yang syariat Islam tidak menjelaskan dihapus atau tetap dipertahankan.
26
10. Istishhab Menurut ulama ushul fiqih, istishhab berarti bahwa apa yang ada pada masa lalu dipandang masih ada pada masa sekarang dan masa yang akan datang, atau terus menetapkan ada yang telah ada dan meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada sehingga terdapat dalil yang mengubahnya. 11. Saddudz-Dzara’i Menurut istilah, saddudz-dzara’i adalah menetapkan hukum suatu perkara dengan hukum yang terdapat pada perkara yang dituju. Sumbersumber hukum Islam tersebut di atas semuanya bersifat keagamaan, keberlakuannya berdasarkan kepatuhan terhadap agama Islam. Kepatuhan terhadapnya, berdasarkan kategori kaidah kepercayaan/ agama yang digolongkan ke dalam kaidah etis.36 Berdasarkan sumber-sumber hukum Islam diatas, maka Al-Qur’an serta hadist dan sunnah merupakan sumber dalam pengangkatan anak (attabanni). Menurut Al-Qur’an terdapat dalam surah Al-Ahzab ayat 4-5. Dan berdasarkan hadist Rasulullah S.A.W, sebagai berikut: Barang siapa yang mendakwakan dirinya sebagai anak dari seorang bukan ayahnya, maka kepadanya ditimpa laknat dan para malaikat dan manusia seluruhnya. Dan kelak pada hari kiamat, akan tidak diterima amalan-amalannya, baik yang wajib maupun yang sunnat. (Hadist Riwayat Bukhari).
36
Ibid., hlm. 30-33.
27
E. Hukum Keluarga Islam Dan Ruang Lingkupnya Sebagai Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar, Islam dan ajaran-ajarannya memang relatif banyak mempengaruhi berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak terkecuali hukum keluarga. Saat ini, hukum keluarga di Indonesia sendiri mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Khusus untuk masyarakat muslim di Indonesia, selain Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 juga kerap kali diadopsi dan menjadi pedoman oleh para hakim agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut terdiri atas 299 Pasal yang memuat Hukum Perkawinan (munakahat), Hukum Kewarisan (mawaris) dan Hukum Perwakafan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya atau keluarga yang sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
28
Menurut R. Abdoel
Jamil, hukum
kekeluargaan di
Indonesia
mencakup, hal-hal sebagai berikut: 1. Keturunan Masalah keturunan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan dalam Pasal 55 bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. 2. Kekuasaan orang tua Masalah kekuasaan orang tua yang berupa hak dan kewajibannya menurut Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa “kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anakanak mereka dengan sebaik-baiknya” seorang anak yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah menikah dirinya berada di bawah kekuasaan orang tua. 3. Perwalian Masalah perwalian diatur dalam Pasal 50, 51, 52, 53, dan 54 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Seorang anak yang belum mencapai usia delapan belas tahun atau belum pernah menikah, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, maka berada di bawah kekuasaan wali.
29
4. Pendewasaan Pendewasaan (handlichting) merupakan suatu pernyataan bahwa seseorang yang belum mencapai usia dewasa atau untuk beberapa hal tertentu dipersamakan kedudukan hukumnya dengan seorang yang telah dewasa. 5. Pengampuan (curatele) Seseorang yang telah dewasa dan sakit ingatan, menurut UndangUndang harus diletakkan di bawah pengampuan (curatele). Demikian juga bagi seseorang yang terlalu mengabaikan harta bendanya, sebab kurang mampu mengurus kepentingan dirinya. 6. Perkawinan Masalah perkawinan, ketentuannya secara rinci telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan
yang
dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050). Dalam Undang-Undang tersebut ditetapkan mengenai perkawinan, akibat perkawinan dan tentang perkawinan campuran.
30
Selanjutnya menurut Dokumen Nasional Penerapan Hukum Keluarga Islam di Indonesia, hukum keluarga Islam mencakup hal-hal berikut: 1. Perceraian Dalam
Islam
perceraian
pada prinsipnya dilarang. Perceraian
merupakan pilihan terakhir (pintu terakhir) yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Setidaknya ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutuskan perkawinan, antara lain : a. Terjadinya nusyuz (kedurhakaan atau penentangan) dari pihak istri; b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami; c.
Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri, dan
d. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina dan fahisyah (perbuatan keji atau jelek) yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya. 2. Perkawinan Perkawinan adalah yang paling kuno dari lembaga-lembaga sosial manusia. Perkawinan menjadi ada dengan penciptaan manusia pertama dan wanita pertama, yaitu Adam dan Hawa. Semua Nabi sejak saat itu telah dikirim sebagai contoh komunitas mereka, dan setiap Nabi, dari awal sampai terakhir, menjunjung tinggi lembaga perkawinan sebagai sanksi ilahi ekspresi persahabatan heteroseksual (ketertarikan satu individu terhadap individu lain dengan jenis kelamin berbeda, seperti antara jantan dan betina). Bahkan saat 31
ini, masih dianggap lebih benar dan tepat bahwa pasangan memperkenalkan satu sama lain sebagai “istriku” dan “suami saya” daripada “kekasih saya” atau “pasangan saya”. Sebab melalui perkawinan bahwa pria dan wanita secara legal memenuhi hasrat duniawi mereka, naluri mereka untuk cinta, kemelaratan, persahabatan, keintiman, dan seterusnya. Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan dalam Islam adalah ibadah dan mitsaqan ghalidh (perjanjian suci). Sistem keluarga Islam selanjutnya memberikan hak-hak suami, istri, anak-anak, dan kekerabatan yang baik. 3. Pewarisan Dalam hukum Islam ada suatu ketentuan bahwa pembagian/ pemberian harta sebelum seorang meninggal dunia atau lebih dikenal dengan wasiat tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta warisannya. Dalam hak waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, yang berhak mendapatkan bagian warisan tersebut, berapa bagian masing-masing penerima warisan. Berikut sejarah singkat tentang pewarisan antara lain: a. Pewaris pada masa Pra Islam (masa Jahiliyah), terjadinya hak waris karena: 1) Adanya pertalian kerabat; 2) Adanya perjanjian prasetia, dan 3) Adanya pengangkatan anak. 32
b. Pewarisan pada masa awal Islam, terjadinya hak waris karena: 1) Adanya pertalian kerabat; 2) Adanya pengangkatan anak, dan 3) Adanya hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. c.
Pewaris pada masa Islam selanjutnya, pada masa ini hak waris hanya berdasarkan laki-laki yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan, sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-Nissa ayat 7:
Terjemahan: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan. d. Perwalian Anak Tentang masalah anak ruang lingkupnya mencakup perwalian anak, usia nikah anak, pemberian nafkah untuk anak, masalah status anak di luar nikah serta hak asuh anak dan hak anak angkat. Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik pakaian, tempat
33
tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga karena kondisi anak yang belum mandiri dan sedang membutuhkan pembelajaran, hidupnya tergantung kepada adanya pihak yang bertanggungjawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling dekat dengan anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya. Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak kandungnya membutuhkan nafkah, ia tidak wajib menafkahi anaknya yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri. Seorang ayah yang mampu akan tetapi tidak memberi nafkah kepada anaknya padahal anaknya sedang membutuhkan, dapat dipaksa oleh hakim atau dipenjarakan sampai ia bersedia menunaikan kewajibannya. Seorang ayah yang menunggak nafkah anaknya tetapi ternyata anaknya tidak sedang membutuhkan nafkah dari ayahnya maka hak nafkahnya gugur, karena si anak dalam memenuhi kebutuhan selama ayahnya menunggak tidak sampai berhutang karena ia mampu membiayai diri sendiri, akan tetapi jika anak tidak mempunyai dana sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhannya ia harus berhutang maka si ayah dianggap berhutang nafkah yang belum dibayarkan kepada anaknya.37
37
R. Abdoel Jamali, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 153-157.
34
F. Tinjauan Umum Mengenai Pengangkatan Anak 5. Pengertian Anak Angkat a) Menurut Hukum Islam Menurut Wahbah Al-Zuhaidi sebagaimana dikutip oleh Andi Syamsu dan M. Fauzan dalam buku Hukum Pengangkatan Anak dalam perspektif Islam, at-tabanni adalah pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya, kemudian anak itu dinasabkan kepada dirinya. Dalam pengertian lain at-tabanni adalah seseorang laki-laki atau perempuan yang dengan sengaja menasabkan seorang anak kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua kandungnya. Pengertian anak seperti demikian jelas bertentangan dengan hukum Islam, maka unsur menasabkan seorang anak kepada orang lain yang bukan nasabnya harus dibatalkan. Menurut ulama fikih Mahmud Saltut, beliau membedakan 2 (dua) macam anak angkat, yaitu: (1) Pernyataan seseorang terhadap anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri, dan (2) Pengertian yang dipahamkan dari perkataan at-tabanni (mengangkat anak secara mutlak) menurut hukum adat dan tradisi yang berlaku pada manusia, yaitu memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain kedalam keluarganya yang tidak ada hubungan pertalian nasab kepada dirinya
35
sebagai anak yang sah kemudian ia mempunyai hak dan kewajiban sebagai anak. 38 b) Menurut Perundang-Undangan Anak angkat adalah seorang anak bukan hasil keturunan dari sepasang orang suami istri, yang dipungut, dirawat serta dianggap oleh orang tua angkatnya sebagai anak keturunan sendiri.39 Pada dasarnya anak angkat dapat dianggap sebagai anak, apabila orang yang mengangkat melihat dari lahir dan batin sebagai anak keturunannya sendiri.40 Burgerlijk Wetboek tidak mengenal akan anak angkat. Maka dari itu bagi orang-orang Tionghoa yang umumnya tunduk terhadap Burgerlijk Wetboek, mengadakan peraturan sendiri dalam Staatsblad 1917-129 bagian II (dua) tentang pengangkatan anak (adopsi). Menurut Pasal 12 dari peraturan tersebut, anak angkat itu disamakan dengan anak kandung.41 Pengertian anak angkat
dalam
Perundang-Undangan Republik
Indonesia dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UndangUndang tersebut memberikan pengertian bahwa yang dimaksud anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam 38
Jiiy Ji’ronah Muayyanah, Op. Cit., hlm. 34-35. Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hlm. 28. 40 Ibid., hlm 29. 41 Ibid., hlm. 30. 39
36
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”.42 Defenisi anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) jika dibandingkan dengan defenisi anak angkat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memiliki kesamaan substansi. Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa: Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.43 6.
Pengertian Pengangkatan Anak
a) Menurut Hukum Islam Pengangkatan anak dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah attabanni, yang artinya mengambil anak angkat atau menjadikannya seseorang sebagai anak. Pengangkatan anak dalam pengertian ini berakibat hukum pada putusnya hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, status anak angkat sama dengan status anak kandung dan anak angkat dipanggil dengan nama ayah angkatnya, serta berhak mewarisi. Berkaitan dengan pengangkatan anak ini, Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 4-5 dan ayat 40 yang berbunyi:
42 43
Musthofa Sy., Op. Cit., hlm. 16-17. Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 171 butir h.
37
Terjemahan: (4) Allah S.W.T sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah S.W.T mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (5) Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah S.W.T, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun bagi Maha Penyayang.
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.44 44
Ibid., hlm. 18-19.
38
b) Menurut Perundang-Undangan Pengertian pengangkatan anak dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-Undang tersebut memberikan pengertian bahwa yang dimaksud pengangkatan anak adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.45 7. Dasar Hukum Pengangkatan Anak a) Menurut Hukum Islam Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya. Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan anak kandung berdasarkan firman Allah S.W.T dalam Surah Al-Ahzab ayat 45. Syariat Islam telah mengharamkan at-tabbani (pengangkatan anak) yang menisbatkan seorang anak angkat kepada yang bukan bapaknya, dan hal itu 45
Ibid., hlm. 17.
39
termasuk dosa besar yang mewajibkan pelakunya mendapat murka dan kutukan Allah S.W.T sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam hadist
Riwayat
Bukhari
bahwa,
“Barang
siapa
yang
memanggil
(mendakwakan) dirinya sebagai anak dari seseorang yang bukan ayahnya, maka kepadanya ditimpakan laknat Allah S.W.T para malaikat dan manusia seluruhnya. Kelak pada hari kiamat Allah S.W.T tidak menerima darinya amalan-amalan-nya dan kesaksiannya”. Aspek hukum menasabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya, atau yang memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya untuk dimasukkan ke dalam klan nasab orang tua angkatnya, adalah yang paling mendapat kritikan dari Islam, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, juga oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa, “Tidak seorang pun yang mengakui (membanggakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa bukan dari kalangan kami (kalangan kaum muslimin), dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka”.46 b) Menurut Perundang-Undangan Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa pemohon pengesahan dan/ atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke Pengadilan
46
Negeri
tampak
kian
bertambah,
baik
yang
merupakan
Ibid., hlm. 46-47.
40
permohonan khusus pengesahan/ pengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan, pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya. 47 Belum ada pengaturan Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang anak angkat, namun pengangkatan anak diatur secara sepintas dalam: 1) Undang-Undang Nomor 4 (empat) Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak; 2) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 (dua) Tahun 1979 Perihal Pengangkatan Anak; 3) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 (enam) Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 (dua) Tahun 1979; 4) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 (empat) Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak; 5) Keputusan Menteri Sosial Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Perizinan Pengangkatan anak yang dapat menyelenggarakan usaha pengangkatan hanya organisasi sosial (KEPMEN tahun 1984), sedangkan yang dapat diangkat adalah: a) Anak Indonesia/ WNI (Warga Negara Indonesia) diangkat oleh WNA (Warga Negara Asing); b) Anak Indonesia/ WNA (Warga Negara Asing) diangkat oleh WNI (Warga Negara Indonesia), dan
47
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op. Cit., hlm. 203.
41
c) Anak asing/ WNA (Warga Negara Asing) diangkat oleh WNI (Warga Negara Indonesia) mereka berada dalam asuhan organisasi sosial atau dibawah asuhan wali/ orang tua kandung. 6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;48 7) Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)/ Burgerlijk Wetboek yang ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa;49 8) Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005; 9) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan 10)Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang.50
48
Pokda Perdata Agama MA-RI, Suara Uldilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Lingkungan Peradilan Agama (Oleh: Wienarsih Imam Subektai/ Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Gedung MA-RI, Jakarta, 2007, hlm. 83. 49 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan.,Op. Cit, hlm. 204. 50 Ibid., hlm. 205
42
8. Tujuan Pengangkatan Anak a) Menurut Hukum Islam Hubungan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus oleh lembaga pengangkatan anak, dan orang tua kandung tetap memiliki hak untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai orang tua kandung, oleh karena itu orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usul dan orang tua kandungnya, dilakukan dengan
memperhatikan
kesiapan
anak
yang
bersangkutan.
Tujuan
pengangkatan anak menurut hukum Islam, yaitu menyelamatkan anak tersebut dari kejamnya dunia, melindungi dan memberikan pendidikan yang layak. Dan melarang pegangkatan anak dengan tujuan tercela, dan mengharamkan menyamakan status anak tersebut seperti anak kandung.51 b) Menurut Perundang-Undangan Tujuan
pengangkatan
anak
ada
bermacam-macam.
pengangkatan anak bagi orang Tionghoa sebagaimana diatur
Tujuan
Staatsblad
1917 Nomor 129 adalah untuk meneruskan keturunan laki-laki. Tujuan pengangkatan anak menurut hukum adat sangat variatif. Sedangkan pengangkatan anak menurut perundang-undangan dan hukum Islam bertujuan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.
51
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/81081728.pdf. Terakhir diakses pada 21 Februari 2012, Pukul 11.58 P.M. WITA.
43
Dari bermacam-macam alasan dan tujuan pengangkatan anak diantaranya yang terutama dan terpenting adalah: 1) Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya/ kemanusiaan; 2) Tidak mempunyai anak, dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya kelak di hari tua; 3) Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah maka akan dapat mempunyai anak sendiri; 4) Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada; 5) Untuk menambah/ mendapatkan tenaga kerja, dan 6) Untuk mempertahankan ikatan perkawinan/ kebahagiaan keluarga.52 Ada lagi pengangkatan anak yang diajukan untuk mendapat tunjangan anak dalam gaji pegawai negeri sipil. Permohonan demikian juga untuk kesejahteraan dan kepentingan anak. Permohonan itu diajukan berdasarkan Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.53 Berdasarkan pengertian anak angkat menurut Pasal 1 ayat 9 (sembilan) Nomor 23 Tahun 2002 dapat disimpulkan, bahwa tujuan utama dari pengangkatan anak atau adopsi adalah bertujuan untuk memenuhi
52
Djaja S. Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia, Tasito, Bandung, 1982, hlm. 2-3. 53 Musthofa Sy., Op. Cit., hlm. 41.
44
kepentingan anak angkat dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.54 G. Akta Kelahiran Istilah/ perkataan “akta” yang dalam bahasa Belanda disebut “acte”/ ”akte” dan yang dalam bahasa Inggris disebut “act”/ ”deed”, pada umumnya (menurut pendapat umum) mempunyai dua arti, yaitu: 1) Perbuatan (handeling), perbuataan hukum (rechtshandeling), itulah pengertian yang luas, dan 2) Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/ digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu.55 Adapun yang dimaksud akta catatan sipil adalah suatu surat/ catatan resmi yang dibuat oleh pejabat negara yakni pejabat catatan sipil mengenai peristiwa yang menyangkut manusia yang terjadi dalam keluarga yang didaftarkan pada kantor catatan sipil seperti peristiwa perkawinan, kelahiran, pengakuan/ pengesahan anak, perceraian dan kematian.56 Salah satu peristiwa yang terjadi dan didaftarkan yaitu akta kelahiran, akta Kelahiran adalah akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, yang berkaitan dengan adanya kelahiran. Akta kelahiran bermanfaat antara lain, sebagai berikut:
54
Pokda Perdata Agama MA-RI, Op. Cit., hlm. 84. Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. Cit., hlm. 50. 56 Ibid., hlm. 68. 55
45
1) Memudahkan pembuktian dalam hal kewarisan; 2) Persyaratan untuk diterima di lembaga pendidikan, dan 3) Persyaratan bagi seseorang yang masuk sebagai pegawai pemerintahan (Pegawai Negeri Sipil, Tentara Negara Indonesia, dan Polisi Republik Indonesia), Lembaga Negara (anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan lain-lain), pegawai BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan sejenisnya. Akta kelahiran terdiri dari, sebagai berikut: 1) akta kelahiran umum; 2) akta kelahiran istimewa; 3) akta kelahiran luar biasa, dan 4) akta kelahiran tambahan.57 Identitas anak diatur oleh Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya dan identitas tersebut dituangkan dalam akta kelahiran
(Pasal
27
ayat
(2)
Undang-Undang
Perlindungan
Anak).
Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/ atau membantu proses kelahiran (Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Anak). Dalam hal anak yang proses kelahirannya
tidak
diketahui
dan
orang
tuanya
tidak
diketahui
keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya (Pasal 27 ayat (4) UndangUndang Perlindungan Anak).58
57
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 65. 58 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 40.
46
Akta kelahiran membuktikan, bahwa seorang anak yang namanya disebut di sana adalah keturunan dari orang/ orang-orang yang disebutkan di dalamnya.59 Akta kelahiran berlaku untuk seluruh Warga Negara Indonesia dan Asing (termasuk keturunan Eropa, Cina atau Tionghoa, Indonesia Nasrani maupun Islam dan lain-lainnya).60 H. Pengertian Anak Kandung Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 (satu) Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99, anak sah adalah 1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dan 2) Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.61
59
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 87. 60 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. Cit., hlm. 73. 61 http://www.scribd.com/doc/55076599/Kedudukan-Anak-Kandung-Sah-Dan-AnakLuar-Kawin-Menurut-Hukum-Adat-Serta-Hukum-Perdata. Terakhir diakses pada 20 Februari 2012, Pukul 1:55 A.M WITA.
47
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Untuk memperoleh informasi dan data yang akurat, yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan dan penyelesaian penulisan skripsi ini, maka dipilih lokasi penelitian di Kota Makassar, yaitu Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Makassar. Dengan melakukan penelitian pada pada lokasi tersebut akan sangat memudahkan penulis untuk mengakses data dan referensi sebanyak-banyaknya demi kelancaran penulisan tugas akhir/ skripsi penulis. B. Jenis Dan Sumber Data Data yang akan dikumpulkan adalah: 1. Data Primer, yaitu data dan informasi yang diperoleh secara langsung melalui dengan para ahli, pakar, narasumber, ataupun pihak-pihak yang terkait berdasarkan hasil wawancara. 2. Data Sekunder, yaitu data dan informasi yang penulis peroleh secara tidak langsung, yaitu melalui data dan dokumen yang diperoleh melalui instansi atau lembaga tempat penelitian penulis. Adapun sumber data yang penulis peroleh berasal dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin,
dan
Perpustakaan
Pusat
Universitas
Hasanuddin.
48
C. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan terbagi atas 2 (dua), yakni: 1. Teknik Wawancara, yaitu mengumpulkan data secara langsung melalui tanya jawab berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan melakukan wawancara secara tidak terstruktur untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan kepada para pakar, narasumber, ataupun pihak-pihak yang terkait, dan 2. Teknik Kepustakaan (library research), yaitu dengan jalan membaca literatur. Seperti buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. D. Teknik Analisis Data Berdasarkan data primer dan sekunder yang telah diperoleh oleh penulis kemudian membandingkan data tersebut. Penulis menggunakan teknik
deskriptif
kualitatif
dan
menganalisis
data
yang
ada
untuk
menghasilkan kesimpulan dan saran. Data tersebut kemudian dituliskan secara deskriptif untuk memberikan pemahaman yang jelas dan terarah dari hasil penelitian.
49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Penyebab
Anak
Angkat
Dapat
Berstatus
Anak
Kandung
Berdasarkan Akta Kelahiran 1. Prosedur Pengangkatan Anak a) Secara Adat Pengangkatan anak secara adat dilakukan dengan cara bervariasi bagi tiap daerah. Secara umum tata cara itu dilakukan, dengan: a) Terang, artinya suatu prinsip legalitas yang berarti perbuatan itu diumumkan dan dilakukan di hadapan banyak orang dengan tujuan agar khalayak ramai, dapat mengetahui bahwa telah terjadi pengangkatan anak, dan b) Tunai, bahwa perbuatan itu akan selesai ketika itu juga, tidak mungkin ditarik kembali. Wujud dilakukan secara terang antara lain dengan upacara adat dengan peran serta kepala adat (slametan) dan doa disaksikan oleh lurah dan adakalanya anak angkat diberi nama baru oleh orang tua angkatnya. Namun di daerah-daerah tertentu, tata cara pengangkatan anak tidak dilakukan secara terang, tetapi cukup dengan penyerahan dari keluarga asal kepada keluarga yang mengangkat, bahkan ada yang menuangkannya dalam suatu surat. Sedangkan wujud dilakukannya secara tunai, antara lain dengan memberikan sejumlah benda magis kepada keluarga pemberi anak. 62
Pengangkatan anak yang dilakukan berdasarkan adat istiadat setempat,
62
Musthofa Sy, Op. Cit., hlm 50.
50
memang harus dilestarikan, namun juga tetap dimohonkan penetapan pengadilan. Hal demikian lebih tepat sebagai upaya terbaik untuk menjaga kepentingan yang terbaik bagi anak angkat dengan memberikan jaminan adanya kepastian hukum. b) Melalui Notaris Pengangkatan anak melalui notaris merupakan perintah Staatsblad 1971 Nomor 129. Untuk itu diperlukan adanya kesepakatan antara calon orang tua angkat dengan pihak yang akan menyerahkan anak angkat. 63 Kesepakatan antara pihak yang akan mengangkat anak dan pihak yang akan menyerahkan anak angkat itu dituangkan dalam bentuk akta notaris sebagaimana ketentuan pada Pasal 10 dan 15 Staatsblad 1971 Nomor 129. Dalam perkembangannya, tujuan pengangkatan anak sudah berbeda dengan tujuan semula dan calon anak angkat tidak hanya orang Tionghoa laki-laki saja, sehingga melibatkan pengadilan. Selain itu, sifat perbuatan hukum pengangkatan anak tidak dapat dianggap sebagai hasil kesepakatan oleh para pihak semata. Pengangkatan anak harus dianggap sebagai suatu lembaga yang menciptakan hubungan hukum yang sah bagi anak angkat dengan keluarga orang tua angkat berdasarkan putusan atau penetapan
63
Ibid., hlm 52.
51
pengadilan. Oleh karena itu, pengangkatan anak melalui notaris tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dalam masyarakat Indonesia.64 c) Melalui Pengadilan Negeri Berdasarkan SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979, pengangkatan anak yang dilakukan oleh golongan Tionghoa melalui akta notaris tidak dibenarkan, tetapi harus melalui pengadilan. Demikian pula berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1977, anak angkat dapat diajukan untuk mendapatkan tunjangan anak bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka banyak pengangkatan anak diajukan ke pengadilan negeri. Pengadilan yang dimaksud untuk pengangkatan anak pada saat itu adalah pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama pada lingkungan peradilan umum, 65 karena kewenangan terhadap perkara pengangkatan anak belum ada pelimpahan kepada pengadilan lain pada saat itu. Oleh karenanya semua perkara yang berkaitan pengangkatan anak menjadi kewenangan pengadilan negeri.66
64
Ibid., hlm. 53-54.
65
Ibid., hlm. 56.
66
Ibid., hlm. 57.
52
d) Melalui Pengadilan Agama Kesadaran dan kepedulian beragama masyarakat muslim, yang semakin meningkat telah mendorong semangat untuk melakukan koreksi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, antara lain dalam masalah pengangkatan anak. Pengadilan agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, secara konsisten mengawal penerapan hukum dalam menangani perkara yang berkaitan dengan pengangkatan anak. Orang-orang yang beragama Islam yang ingin melakukan pengangkatan anak sesuai dengan pandangan dan kesadaran hukumnya, yaitu berdasarkan hukum Islam mulai mengajukan kepengadilan agama. Beberapa pengadilan agama telah mengabulkan permohonan mereka dengan memberikan penetapan pengangkatan anak, permohonan pengangkatan anak pun terus meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Berdasarkan hal tersebut lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Nomor Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diatur pula perihal pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam sebagai kewenangan pengadilan agama.67
67
Ibid., hlm. 58.
53
2. Pencatatan Pengangkatan Anak Pada Pencatatan Sipil Pengangkatan anak merupakan salah satu dari peristiwa penting untuk dicatat dalam register pencatatan sipil. Pencatatan pengangkatan anak diatur pada Pasal 47, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 68 Berkaitan dengan pencatatan pengangkatan anak yang dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan agama, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan, yaitu: a) Orang tua angkat sebagai pemohon dalam penetapan pengangkatan anak wajib melaporkan kepada instansi pelaksana yang menerbitkan kutipan akta kelahiran. Apabila pemohon tidak mampu melaksanakan sendiri terhadap pelaporan tersebut, dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain, sebagaimana ketentuan pada Pasal 57, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; b) Tenggang waktu pelaporan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya salinan penetapan pengadilan, dan c) Pejabat pencatatan sipil membuat catatan pada register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran.
68
Ibid., hlm. 156.
54
Catatan pinggir adalah catatan mengenai status atas terjadinya peristiwa penting dalam bentuk catatan yang diletakkan pada bagian pinggir akta atau bagian akta yang memungkinkan (pada halaman atau bagian depan atau belakang akta) oleh pejabat catatan sipil. 69 Mengenai akta kelahiran bagi anak angkat, diatur pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Catatan Sipil dalam Rangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan pada Pasal 12, yang menegaskan: (1) Setiap pengangkatan anak yang telah mendapatkan penetapan pengadilan negeri dicatatkan pada kantor catatan sipil. (2) Setiap permohonan pengangkatan anak sebelum diajukan ke pengadilan negeri untuk mendapatkan keputusan/ ketetapan terlebih dahulu harus dilengkapi dengan surat pengantar dari kantor catatan sipil/ dinas kependudukan dan catatan sipil. (3) Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud ayat (1) dibuat catatan pinggir pada akta kelahiran anak yang bersangkutan. Terdapat pula pada Pasal 13, yang berbunyi: (1) Setiap peristiwa pengakuan dan pengesahan anak dicatatkan pada kantor catatan sipil/ dinas kependudukan dan catatan sipil. (2) Pencatatan pengakuan dan pengesahan anak sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan pada saat pencatatan perkawinan orang tuanya. (3) Pencatatan pengakuan dan pengesahan anak dibuat catatan pinggir pada akta kelahiran anak yang bersangkutan.70
69
Ibid., hlm. 157.
70
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Catatan Sipil Dalam Rangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan, Pasal 12 dan 13.
55
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta kelahiran untuk anak angkat, sebagai berikut: 1) Penetapan pengadilan tentang pengangkatan anak. 2) Kutipan akta kelahiran anak. 3) Kartu keluarga dan kartu tanda penduduk pemohon.71 Akta kelahiran anak angkat berfungsi untuk memberikan kejelasan status hukum bagi anak angkat tersebut. Orang tua angkat diharapkan mencatatkan pengangkatan anak yang sudah mendapatkan penetapan pengadilan, yang kemudian dalam dimensi pencatatan sipil berupa pembuatan catatan pinggir dikutipan akta kelahiran. Catatan pinggir pada kutipan akta kelahiran merupakan bukti legal bagi status perdata anak angkat.
72
Sedangkan, pembuatan akta kelahiran diatur pada Pasal 8
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Catatan Sipil Dalam Rangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan, disebutkan bahwa: (1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh orang tuanya, keluarganya atau kuasanya selambat-lambatnya: a) 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal kelahiran bagi mereka yang tunduk pada Stbl. 1917 Nomor 130 tentang reglemen pencatatan sipil, Stbl. 1920 Nomor 751 tentang catatan sipil bagi beberapa golongan penduduk Indonesia, Stbl. 1933 Nomor 75 tentang reglemen pencatatan sipil bagi bangsa Indonesia Kristen Jawa, Madura dan Minahasa dan Non Stbl. 71
Peraturan Walikota Makassar Nomor 1 Tahun 2010 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Dan Catatan Sipil Di Kota Makassar. 72
Jean K. Matuankota, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Angka, Jurnal Sasi Vol. 17 Nomor 3 Bulan Juli-September 2011, Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon. hlm. 77.
56
b) 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal kelahiran bagi mereka yang tunduk pada Stbl. 1849 Nomor 25 tentang reglemen pencatatan sipil eropa. (2) Pencatatan kelahiran yang pelaporannya melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan setelah: a) Mendapat persetujuan kepala daerah, bagi mereka yang tunduk pada Stbl. 1920 Nomor 751 tentang catatan sipil bagi beberapa golongan penduduk Indonesia, Stbl. 1933 Nomor 75 tentang reglemen pencatatan sipil bagi bangsa Indonesia Kristen Jawa, Madura dan Minahasa dan Non Stbl. b) Mendapat putusan pengadilan bagi mereka yang tunduk pada Stbl. 1849 Nomor 25 tentang reglemen pencatatan sipil Eropa dan Stbl. 1917 Nomor 130 tentang reglemen pencatatan sipil. (3)Pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud ayat (1) diterbitkan akta kelahiran.73 Selain itu, pembuatan akta kelahiran juga diatur dalam Undangundang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pada Pasal 27 yang menegaskan: (1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat pencatatan sipil mencatat pada register akta kelahiran dan menerbitkan kutipan akta kelahiran.74 Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta kelahiran, adalah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5)
Surat kelahiran dari dokter/ bidan/ penolong kelahiran atau lurah. Nama dan identitas saksi kelahiran. Kartu keluarga orang tua. Kartu tanda penduduk orang tua. Kutipan akta nikah/ akta perkawinan orang tua.75
73
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Catatan Sipil Dalam Rangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan, Pasal 8 ayat 1-3. 74
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
Pasal 27.
57
3. Faktor-Faktor Penyebab Anak Angkat Dapat Berstatus Anak Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran Anak angkat dapat berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran, disebabkan karena: a) Terjadinya pemalsuan terhadap persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta kelahiran, yaitu pemalsuan surat kelahiran dari dokter/ bidan/ penolong kelahiran atau lurah (surat kelahiran dari bidan), dan76 b) Adanya kerjasama orang tua angkat dengan pihak yang terkait dalam pembuatan akta kelahiran, sehingga persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta kelahiran tersebut, tidak perlu dilampirkan. 77 Adapun yang menyebabkan orang tua angkat, membuatkan akta kelahiran yang berstatus anak kandung untuk anak angkat tersebut, adalah sebagai berikut: a) Proses pengangkatan anak melalui pengadilan, harus melalui prosedur yang begitu sulit, memerlukan waktu yang lama, dan biaya yang tidak murah;
75
Peraturan Walikota Makassar Nomor 1 Tahun 2010 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Dan Catatan Sipil Di Kota Makassar. 76
Wawancara dengan narasumber pertama (orang tua angkat yang identitasnya tidak ingin disebutkan), Makassar, Tanggal 21 April 2012. 77
Wawancara dengan narasumber kedua (orang tua angkat yang identitasnya tidak ingin disebutkan), Makassar, Tanggal 22 April 2012.
58
b) Orang tua angkat tidak ingin, anak angkat tersebut mengetahui siapa orang tua kandung sebenarnya atau nasab (keturunan) anak angkat tersebut, dan78 c) Adanya persetujuan dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, agar anak kandung dia (orang tua kandung) dibuatkan akta kelahiran sebagai anak sah dari orang tua angkat tersebut.79 Perbuatan orang tua angkat yang mengubah status anak angkatnya menjadi anak kandung berdasarkan akta kelahiran, merupakan perbuatan melawan/ melanggar hukum/ tindak pidana, seperti yang diatur pada Pasal 93,
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2006
tentang
Administrasi
Kependudukan80 yang menegaskan: Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).81
78
Wawancara dengan narasumber pertama (orang tua angkat yang identitasnya tidak ingin disebutkan), Makassar, Tanggal 21 April 2012. 79
Wawancara dengan narasumber kedua (orang tua angkat yang identitasnya tidak ingin disebutkan), Makassar, Tanggal 22 April 2012. 80
Natan Ruben, Kepala Bidang Kelahiran, Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil, Kota Makassar, Wawancara, Tanggal 25 April 2012. 81
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
Pasal 97.
59
Selain itu, persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta kelahiran, akan diverifikasi terlebih dahulu untuk mengetahui keaslian/ kebenaran persyaratan-persyaratan tersebut.82 Menurut Ulama NU (Nahdatul Ulama) dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983, telah menetapkan fatwa tentang pengangkatan anak. Dalam fatwanya, Ulama Nahdatul Ulama (NU) menyatakan bahwa mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah. Sebagai dasar hukumnya, Ulama NU (Nahdatul Ulama) mengutip hadist Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut: “Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”. 83 Seharusnya orang tua angkat tidak mengubah status anak angkatnya menjadi anak kandung berdasarkan akta kelahiran dengan alasan, tujuan atau motivasi apapun, serta orang tua angkat berkewajiban memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usul dan orang tua kandungnya, karena itu
82
Natan Ruben, Kepala Bidang Kelahiran, Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil, Kota Makassar, Wawancara, Tanggal 25 April 2012. 83
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/06/13/119639mengadopsi-anak-menurut-hukum-islam. Terakhir diakses pada 24 April 2012, Pukul 2.44 P.M. WITA.
60
merupakan tanggungjawab dari orang tua angkat, tentu pada saat anak angkat tersebut telah dewasa.84 C. Konsekuensi Hukum Anak Angkat Yang Berstatus Anak Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran Ditinjau Dari Hukum Islam 3. Anak Angkat Yang Berstatus Anak Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran Tidak Mengakibatkan Perubahan Hubungan Keturunan (Nasab) a) Pengertian Nasab Secara etimologis istilah nasab berasal dari bahasa Arab an-nasab yang berarti keturunan, kerabat, memberikan ciri dan menyebutkan keturunannya. Nasab juga dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Sedangkan secara terminologis, nasab adalah keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak,cucu, dan seterusnya) maupun ke samping (saudara, paman, dan lain-lain). Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah S.W.T kepada hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Surah AlFurqan ayat 54:
84
Ali Parman, Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kota Makassar, Wawancara, Tanggal 16 April 2012.
61
Terjemahan: Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu yang Maha Kuasa. 85 Selanjutnya, juga diatur dalam Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 4-5 dan beberapa hadist didapati beberapa ketentuan yang mengatur tentang nasab, sebagai berikut: Nabi Muhammad SAW, bersabda “Anak yang lahir dinasabkan pada suami, sedangkan untuk pelaku zina adalah batu”. 86 Nabi Muhammad SAW bersabda “Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”. 87 Selain itu, Nabi Muhammad SAW bersabda "Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir”. (H.R. Imam Al-Bukhari, Nomor 6768, Muslim, Nomor 215). Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadist di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah S.W.T seakan-akan dia 85
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op. Cit., hlm. 175-176.
86
A. Mukhsin Asyrof, “Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum”. Tersedia di http://www.badilag.net/data/MENGUPAS%20PERMASALAHAN%20ISTILHAQ.pdf. Terakhir diakses pada 19 April 2012, Pukul 6.39 P.M. WITA. 87
Hendra Prasetya, “Nasab Dalam Hukum Islam”. Tersedia di http://puskafi.wordpress.com/2010/05/20/nasab-dalam-hukum-islam/. Terakhir diakses pada 19 April 2012, Pukul 12.08 A.M. WITA.
62
berkata "Saya diciptakan oleh Allah S.W.T dari air mani si A (bapak angkat), padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandung)”. Dan Nabi Muhammad SAW bersabda "Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah S.W.T, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah S.W.T tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah”. (H.R. Muslim, Nomor 3314 dan Nomor 3373).88 b) Sebab-Sebab Terjadinya Hubungan Nasab Penetapan nasab merupakan dampak yang sangat besar terhadap individu, keluarga dan masyarakat sehingga setiap individu berkewajiban merealisasikannya dalam masyarakat, dengan demikian diharapkan nasab (asal usul)nya menjadi jelas. Di samping itu, dengan ketidakjelasan nasab dikhawatirkan akan terjadi perkawinan dengan mahram. Untuk itulah Islam mengharamkan untuk menisbahkan nasab
seseorang kepada orang lain
yang bukan ayah kandungnya, dan sebaliknya. Nikah merupakan jalan untuk menentukan dan menjaga asal usul (nasab) seseorang. Dalam pengertian, nasab seseorang hanya bisa dinisbahkan kepada kedua orang tuanya kalau ia dilahirkan dalam perkawinan yang sah.
88
Imam Wahyudi, “Hikmah Dibalik Larangan Adopsi Anak”. Tersedia di http://almanhaj.or.id/content/2446/slash/0. Terakhir diakses pada 19 April 2012, Pukul 1.35 A.M. WITA.
63
Dalam perspektif hukum Islam, nasab anak terhadap ayah bisa terjadi karena 3 (tiga) hal, yaitu: a) Nasab melalui perkawinan yang sah; b) Nasab melalui perkawinan fasid (pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan kekurangan syarat), dan c) Nasab anak dari hubungan senggama syubhat (hubungan yang terjadi bukan dalam perkawinan yang sah atau fasid dan bukan pula dari perbuatan zina, tetapi akibat kesalahpahaman). c) Cara Menetapkan Nasab Ulama fikih sepakat bahwa nasab seorang anak dapat ditetapkan melalui 3 (tiga cara), yaitu: 1) Melalui nikah sahih atau fasid. Ulama fikih sepakat bahwa nikah yang sah dan fasid merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seorang anak kepada ayahnya, sekalipun pernikahan dan kelahiran anak tidak didaftarkan secara resmi pada instansi terkait. 2) Melalui
pengakuan
atau
gugatan
terhadap
anak.
Ulama
fikih
membedakan antara pengakuan terhadap anak dan pengakuan terhadap selain anak, seperti saudara, paman, atau kakek. Jika seorang lelaki mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya, atau sebaliknya seorang anak kecil yang telah baligh (menurut jumhur ulama) atau mummayiz (menurut ulama Mazhab Hanafi) mengakui seorang lelaki adalah ayahnya, maka pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak di nasabkan kepada lelaki tersebut.
64
3) Melalui alat bukti. Dalam konteks ini, ulama fikih sepakat bahwa saksi harus benar benar mengetahui keadaan dan sejarah anak yang di nasabkan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasulullah SAW, ketika itu mengatakan “Apakah engkau melihat matahari?” Lelaki itu menjawab, “benar saya lihat”. Kemudian Rasulullah SAW, bersabda “Apabila sejelas matahari itu, maka silahkan kemukakan kesaksianmu. Tetapi apabila tidak (demikian), maka jangan menjadi saksi” (H.R. Al-Baihaki dan AlHakim).89 Satria Effendi M. Zein menyatakan bahwa: 1) Upaya seseorang mengangkat seorang anak dan menisbahkan kepada dirinya, tidak dapat merubah hakikat dari anak itu sendiri sehingga tetap saja bukan anaknya. Untuk menghindarkan penipuan dan penyalahgunaan nasab, maka Al-Qur’an menyarankan agar memanggil anak angkat dengan panggilan nama ayahnya yang sebenarnya, dan 2) Pengalihan nasab adalah sebuah pemalsuan yang harus diwaspadai dalam kehidupan keluarga. Selain itu Wahbah az Zuhayly, mengatakan: 1) Syariat Islam melarang orang laki-laki mengingkari nasab anaknya sendiri, serta melarang ibu-ibu menisbahkan nasab anaknya kepada orang selain ayah hakikinya; 2) Syariat Islam melarang anak menisbahkan nasabnya kepada selain ayahnya sendiri, dan 3) Syariat Islam telah membatalkan hukum pengangkatan anak seperti yang terjadi pada zaman Jahiliyah/ sebelum Islam. 89
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op. Cit., hlm. 186-189.
65
Sedangkan menurut Asaf A. A. Fyzee dalam bukunya Outline of Muhammadan Law,
dia membedakan antara legitimacy dan legitimation.
Legitimacy adalah suatu status yang dihasilkan oleh fakta-fakta tertentu. Sedangkan legitimation adalah suatu prosedur yang harus dipenuhi untuk mendapatkan status sebelumnya yang tidak dimiliki (dalam hukum Islam tidak ada legitimation). Maka Asaf A. A. Fyzee berpendapat bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal prosedur untuk menjadikan anak orang lain menjadi anak kandung, karena itu Al-Qur’an membatalkan pengangkatan Zaid bin Haritsah menjadi anak Nabi Muhammad SAW. 90 Jadi, anak angkat yang berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran tidak mengakibatkan perubahan hubungan keturunan (nasab), meskipun pada akta kelahiran anak angkat tersebut berstatus anak kandung. Oleh karena dalam Islam, akta kelahiran tidak dapat mengubah hubungan keturunan (nasab) anak angkat menjadi anak kandung.91
90
A. Mukhsin Asyrof, Op. Cit., Tersedia di http://www.badilag.net/data/MENGUPAS%20PERMASALAHAN%20ISTILHAQ.pdf. Terakhir diakses pada 19 April 2012, Pukul 6.39 P.M. WITA. 91
Mustamin Ibrahim, Pimpinan Pondok Pesantren Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) Al-Furqan, Buntu Kamassi Larompong, Kabupaten Luwu, dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kapubaten Luwu, Wawancara, Tanggal 28 April 2012.
66
2. Anak Angkat Yang Berstatus Anak Kandung Berdasarkan Akta Kelahiran Tidak Mengakibatkan Perubahan Terhadap Hukum Yang Saling Mewarisi a) Anak Angkat Sebagai Ahli Waris Menurut Hukum Islam Anak angkat, bukanlah salahsatu kerabat atau satu keturunan dengan orang tua angkatnya, dan tidak pula lahir dari perkawinan yang sah dari orang tua angkatnya. Oleh, karena itu, antara anak angkat dengan orang tua angkat tidak berhak saling mewarisi. Hak saling mewarisi hanya berlaku antara anak angkat dengan orang tua kandungnya atas dasar hubungan darah (al-qarabah).92 Berkaitan dengan anak angkat, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), disebutkan dalam Pasal 209, yang berbunyi: (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta wasiat anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkatnya tidak ada hubungan kewarisan, akan tetapi sebagai pengakuan mengenai baiknya lembaga pengangkatan anak tersebut, maka hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya dikukuhkan dengan perantara wasiat atau wasiat wajibah. Untuk membedakan dengan 92
Musthofa Sy., Op. Cit., hlm. 130-131.
67
kedudukan ahli waris, pengaturan anak angkat diatur pada Bab V tentang wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara, dengan memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Adapun disebut wasiat wajibah, karena: 1) Hilangnya unsur ikhtiar bagi pemberi wasiat dan munculnya kewajiban melalui peraturan perundangundangan atau putusan pengadilan tanpa bergantung pada kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan penerima wasiat, dan 2) Ada kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menentukan kewajiban orang tua angkat untuk
memberikan
wasiat
wajibah
kepada
anak
angkatnya
untuk
kemaslahatan anak angkat, sebagaimana orang tua angkat telah dibebani tanggung jawab untuk mengurus segala kebutuhannya. Kendati secara dalil naqli tidak ditemukan secara eksplisit, tetapi hal itu difirmankan Allah S.W.T antara lain dalam Al-Qur’an Surah Al-Maaidah ayat 106, yang berbunyi:
68
Terjemahan: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah S.W.T jika kamu ragu-ragu: (Demi Allah S.W.T) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa. Begitu pula dalam Al-Qur’an Surah Az-Zariyat ayat 19, yang berbunyi:
Terjemahan: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
69
Sedangkan mengenai ketentuan besar wasiat sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan sesuai dengan hadist riwayat Al-Bukhari dari Saad bin Abi Waqqas: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku (kepada putri tunggalku)”. Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau setengahnya?” Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau sepertiganya?” Beliau bersabda: “Ia sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan menengadahkan tangan-tangan mereka. (H.R. Al-Bukhari Nomor 2742 dan Muslim Nomor 1628).93 Meskipun anak angkat tersebut berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran, anak angkat tersebut tidak bisa mendapatkan hak waris sebagaimana
anak
kandung,
dan
jika
anak
angkat
tersebut
ingin
mendapatkan hak warisan sesuai anak kandung, maka perbuatan itu disebut Al-Tamanni (attamanni), yaitu mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi. Kemustahilan tersebut secara alamiah memang mustahil atau dapat terjadi tapi mendapatkannya tidak mungkin. Dalam hukum Islam, akta kelahiran penting tetapi tidak dapat menjadi bukti dalam pewarisan, 94 tetapi yang menjadi bukti dalam pewarisan adalah DNA (deoxyribose-nucleic acid),
93
Ibid., hlm. 131-132.
94
Mustamin Ibrahim, Pimpinan Pondok Pesantren Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) Al-Furqan, Buntu Kamassi Larompong, Kabupaten Luwu, dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kapubaten Luwu, Wawancara, Tanggal 28 April 2012.
70
silsilah keluarga atau nasab (hubungan keturunan). 95 Selama tidak adanya bukti bahwa anak angkat tersebut memang betul adalah anak angkat walaupun berdasarkan akta kelahiran anak angkat tersebut berstatus anak kandung, hakim dapat memutuskan atau menetapkan putusan sesuai atau berdasarkan bukti yang ada, jika terjadi sengketa kewarisan.96
95
Ali Parman, Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kota Makassar, Wawancara, Tanggal 16 April 2012. 96
Abdillah Mustari, Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, Wawancara, Tanggal 26 April 2012.
71
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Anak angkat dapat berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran, disebabkan karena: a) Terjadinya pemalsuan terhadap persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta kelahiran, dan b) Adanya kerjasama orang tua angkat dengan pihak yang terkait dalam pembuatan akta kelahiran, sehingga persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta kelahiran tersebut, tidak perlu dilampirkan. Adapun yang menyebabkan orang tua angkat, membuatkan akta kelahiran yang berstatus anak kandung untuk anak angkat tersebut, adalah sebagai berikut: a) Proses pengangkatan anak melalui pengadilan, harus melalui prosedur yang begitu sulit, memerlukan waktu yang lama, dan biaya yang tidak murah; b) Orang tua angkat tidak ingin, anak angkat tersebut mengetahui siapa orang tua kandung sebenarnya atau nasab (keturunan) anak angkat tersebut, dan c) Adanya persetujuan dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, agar anak kandung dia (orang tua kandung) dibuatkan akta kelahiran sebagai anak sah dari orang tua angkat tersebut.
72
2. Anak angkat yang berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran tidak mengakibatkan perubahan hubungan keturunan (nasab), meskipun pada akta kelahiran anak angkat tersebut berstatus anak kandung. Karena dalam Islam, akta kelahiran tidak dapat mengubah hubungan keturunan (nasab) anak angkat menjadi anak kandung. Dan meskipun anak angkat tersebut berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran, anak angkat tersebut tidak bisa mendapatkan hak waris sesuai anak kandung. Selain itu, menurut hukum Islam, akta kelahiran memang penting tetapi tidak dapat menjadi bukti dalam pewarisan. B. Saran 1. Proses pengangkatan anak melalui pengadilan, harus dipermudah, tidak memerlukan waktu yang lama, dan dengan biaya yang murah, agar kejadian anak angkat yang berstatus anak kandung berdasarkan akta kelahiran, tidak terjadi lagi, dan 2. Orang tua angkat seharusnya tidak membuatkan akta kelahiran yang berstatus anak kandung untuk anak angkatnya, apapun penyebab dan alasannya, demi kebaikan anak angkat dan orang tua angkat serta orang tua kandung, anak angkat tersebut.
73
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku: Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam Di Indonesia (Tinjauan Dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi). PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006. Abdullah Marlang, et. all. Pengantar Hukum Indonesia. Yayasan Aminuddin Salle (A.S. Center), Makassar, 2009. Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. Hukum Pengantar Anak Perspektif Islam. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Andreas Prasetyo Senoadji. “Penerapan Legitime Portie (Bagian Mutlak) Dalam Pembagian Waris Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 148/PK/Perd/1982”. Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang 2007. Tersedia di http://eprints.undip.ac.id/16430/1/ANDREAS_PRASETYO_SENOADJI. pdf. Terakhir diakses pada 14 Februari 2012, Pukul 10.39 P.M. WITA. Djaja S. Meliala. Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia. Tasito, Bandung, 1982. Ferza Ika Mahendra. “Kajian Terhadap Hak Waris Anak Angkat Didasarkan Hibah Wasiat Menurut Hukum Perdata (Studi Di Pengadilan Negeri Jakarta Timur)”. Usulan Penelitian Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang 2008. Tersedia di http://eprints.undip.ac.id/17405/1/FERZA_IKA_MAHENDRA.pdf. Terakhir diakses pada 14 Februari 2012, Pukul 10.02 P.M. WITA J. Satrio. Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam UndangUndang. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Jazuni. Legislasi Hukum Islam Di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Jean K. Matuankota. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Angka. Jurnal Sasi Vol. 17 Nomor 3 Bulan Juli-September, 2011. Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon.
74
Jiiy Ji’ronah Muayyanah. “Tinjauan Hukum Pengangkatan Anak Serta Akibat Hukumnya Dalam Pembagian Waris Menurut Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang 2010. Tersedia di http://eprints.undip.ac.id/23841/1/Jiiy_Ji%E2%80%99ronah_Muayyana h.pdf Terakhir diakses pada 14 Februari 2012, Pukul 9.14 P.M. WITA. M. Arfin. Hamid. Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar Dalam Memahami Realitas Hukum Islam Di Indonesia). PT. Umitoha Ukhuwa Grafika, Makassar, 2011. Mohammad Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Hukum Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011. Musthofa Sy. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Kencana Media Group, Jakarta, 2008. Oemarsalim. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Rineka Cipta, Jakarta, 2006. Pokda Perdata Agama MA-RI. Suara Uldilag Mahkamah Agung Republik Indonesia Lingkungan Peradilan Agama. (Oleh: Wienarsih Imam Subektai/ Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Gedung MARI, Jakarta, 2007. R. Abdoel Jamali. Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie-Recht). Airlangga University Press, Surabaya, 2008. Rika Saraswati. Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. Titik Triwulan Tutik. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2008. Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
75
Peraturan Perundang-Undangan: Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Catatan Sipil Dalam Rangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie). Kompilasi Hukum Islam (KHI) Peraturan Walikota Makassar Nomor 1 Tahun 2010 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Dan Catatan Sipil Di Kota Makassar. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 yang tentang Perkawinan Website: Hendra Prasetya. “Nasab Dalam Hukum Islam”. Tersedia di http://puskafi.wordpress.com/2010/05/20/nasab-dalam-hukum-islam/. Terakhir diakses pada 19 April 2012, Pukul 12.08 A.M. WITA. http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka-alfunnimat-359. Terakhir diakses pada 14 Februari 2012, Pukul 9.43 P.M. WITA. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/81081728.pdf. Terakhir diakses pada 21 Februari 2012, Pukul 11.58 P.M. WITA. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19968/3/Chapter%20II.pdf. Terakhir diakses pada 14 Februari 2012, Pukul 11.47 P.M. WITA. http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/06/13/119639mengadopsi-anak-menurut-hukum-islam. Terakhir diakses pada 24 April 2012, Pukul 2.44 P.M. WITA. http://www.scribd.com/doc/55076599/Kedudukan-Anak-Kandung-Sah-DanAnak-Luar-Kawin-Menurut-Hukum-Adat-Serta-Hukum-Perdata. Terakhir diakses pada 20 Februari 2012, Pukul 1:55 A.M WITA. 76
Imam Wahyudi. “Hikmah Dibalik Larangan Adopsi Anak”. Tersedia di http://almanhaj.or.id/content/2446/slash/0. Terakhir diakses pada 19 April 2012, Pukul 1.35 A.M. WITA. Mukhsin Asyrof. “Mengupas Permasalahan Istilhaq Dalam Hukum”. Tersedia di http://www.badilag.net/data/MENGUPAS%20PERMASALAHAN%20IS TILHAQ.pdf. Terakhir diakses pada 19 April 2012, Pukul 6.39 P.M. WITA.
77
BIODATA NARASUMBER, SURAT KETERANGAN TELAH MELAKSANAKAN WAWANCARA DAN SURAT KETERANGAN PENELITIAN
78
BIODATA NARASUMBER
Nama Tempat/ Tanggal Lahir Agama Alamat Pekerjaan
Jabatan Pendidikan
: : : : :
Drs. H. Mustamin Ibrahim Lasusua, Kolaka Utara, Tahun 1935 Islam Jalan. K.H. Hasyim Nomor 14, Palopo Pimpinan Pondok Pesantren Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) Al-Furqan, Buntu Kamassi Larompong, Kabupaten Luwu : Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kabupaten Luwu (sekarang) : Fakultas Ushuluddin, Y.A.I.N, Palopo (1988)
BIODATA NARASUMBER
Nama Tempat/ Tanggal Lahir Agama Alamat Pekerjaan
Jabatan
Pendidikan
: : : :
Prof. Dr. H. Ali Parman, M. Ag. Sinjai, 14 April 1959 Islam Jalan Nipa-Nipa Raya, Blok 3 Nomor 152, Makassar : Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar : - Ketua Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar (sekarang) - Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kota Makassar (sekarang) : S3 PPs Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar (Konsentrasi Syari’ah)
79
BIODATA NARASUMBER
Nama Tempat/ Tanggal Lahir Agama Alamat Pekerjaan
Jabatan Pendidikan
: : : : :
Dr. Abdillah Mustari, M. Ag. Tanah Beru, 10 Juli 1973 Islam BTP Blok AF Nomor 326, Makassar Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar : : - S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar (1995) - S2 PPs Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar (1999) - S3 PPs Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar (2010)
BIODATA NARASUMBER
Nama Tempat/ Tanggal Lahir Agama Alamat Pekerjaan Jabatan
Pendidikan
: : : : :
Drs. Natan Ruben Tanah Toraja, 25 Desember 1956 Kristen Jalan Batua Raya 3 Nomor 12, Makassar Pegawai Negeri Sipil, Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil, Kota Makassar : Kepala Bidang Kelahiran, Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil, Kota Makassar (sekarang) : Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan, Makassar (1985)
80