AMBISIUS Disclaimer: Harry Potter by J.K. Rowling. I don’t take any profit. Characters: Hermione Granger, Draco Malfoy. Warning: Alternative Canon.
HERMIONE GRANGER Aku hanya anak biasa, dibesarkan oleh ibu pengasuh bernama Mrs. Wings dan Mrs. Birdy, hidup dengan nama Hermione tanpa ada nama belakang yang menyertainya. Tapi, ibu pantiku sering memperkenalkanku dengan sebutan Hermione Wings atau Hermione Birdy pada teman mereka. Aku tahu, mereka menyayangiku. Kata Mrs. Wings, dia menemukanku di tangga depan teras panti pada sabtu malam sekitar jam tiga pagi. Hanya berbekal satu selimut tipis dan sepucuk kertas bertuliskan namaku. Hanya Hermione. Aku lusuh saat itu, bekas debu dan goresan terpeta jelas di kulitku yang kecoklatan. Kesan pertama mendengar cerita itu, alih-alih haru, aku malah tersenyum sinis. Di malam yang menjelang pagi pada bulan dingin Desember, 'orang tuaku', jika memang masih pantas disebut orang tua, hanya membekaliku dengan satu lembar selimut tipis tanpa ada pertahanan yang lainnya. Ironis sekali. Selanjutnya, hidupku tak menjadi lebih mudah. Tak ada yang mau berteman dengan anak aneh sepertiku. Aku entahlah, jika memang harus membanggakan diri, terlalu pintar dari anak seumuranku. Di saat aku berumur 6 tahun, aku sudah bisa memecahkan soal Matematika untuk kelas 5. Di saat umurku 8 tahun, aku sudah mulai tertarik dengan Kalkulus, Bilangan Irasional, Hukum Kebangsaan, Alat pemicu jantung dan alat-alat canggih lainnya, semua ini seharusnya baru aku kenal ketika memasuki 18 tahun. Di saat umurku menginjak 10 tahun, aku sudah mulai meneliti cara membuat Mikroskop sederhana. Jangan heran jika tak ada yang mau berteman dengan anak freak sepertiku. Awalnya aku tak keberatan, aku tak butuh teman. Cukup waktu dan kamar, aku pasti akan menciptakan penemuan yang luar biasa. Penggaruk punggung otomatislah, pembunuh nyamuk organiklah, meja yang bisa berputar sendiri, dan banyak lagi lainnya. Sungguh, aku tak keberatan.
Saat itu memang penemuanku bermanfaat, digunakan untuk kepentingan panti oleh Mrs. Birdy dan Mrs. Wings, tak henti-hentinya memuji hasil kerjaku, ia bangga akan aku. Bangga akan barang yang aku hasilkan. Tapi, aku mulai sakit hati, ketika anak-anak lain iri akan diriku. Mereka mulai menindasku, mengerjaiku, mengusirku dan mencaci makiku. Mereka mengunciku di toilet saat jam makan siang dan makan malam, sehingga aku tak bisa makan dan lapar seharian, mereka tak mengizinkanku masuk kelas untuk belajar sehingga guruguru yang disewa oleh panti menganggapku anak sombong, mereka juga tak mau berbagi tempat tidur denganku, yang memang seharausnya satu kasur untuk tiga anak, mereka mengusirku, aku terpaksa tidur di lantai. Dan ini terjadi setiap harinya. Tapi, aku tak pernah menangis, tak pernah mengeluh, pantang untuk Hermione si-gadis-hebat mengeluh akan 'kesialan' yang ia dapat. Namun semua ada batasnya, mereka semakin menjadi-menjadi dan aku muak. Aku ingin memukul mereka satu-satu dengan tinjuku, seperti yang pernah aku lakukan ketika mereka mengejek mataku yang Heterokromia Iridium-Warna mata yang berlainan antara mata kiri dan kanan. Mata kananku hazel, dan yang kiri hijau kebiruan. Di saat iris mata bagian kananku berwarna coklat, mata bagian kiriku malah berwarna biru. Di saat pupil mata bagian kananku berwarna hitam seperti mata pada umunya, pupil mata bagian kiriku dengan anehnya malah berwarna hijau. Aku seperti monster saja. Memang aneh, dan aku risih akan keberadaan mataku ini. Aku benci mereka mulai menghinaku. Namun tak bisa ditampik, aku menyesal telah meninju mata mereka sampai kebiruan-bekas tinjuku pada mereka hampir sama seperti warna mata kiriku. Aku tak tahan melihat raut kecewa Mrs. Wings dan Mrs. Birdy saat itu, akan keusilan yang telah aku buat. Tapi, aku kesal. Saat umurku 11 tahun, aku mulai bergaul di luar lingkungan panti, tapi alih-alih berteman, aku malah berkelahi dengan anak laki-laki tanpa sebab yang pasti. Aku pukul mereka dan mereka balas memukulku tak lebih ringan. Saat itulah, salah seorang wanita muncul ke panti, mengaku sebagai Prof. Minerva McGonagallWakil kepala sekolah di Hogwarts-itu katanya. Dia penyihir katanya. Sumpah, aku tertawa keras ketika dia mengatakan itu. Dia aneh. Mengenakan jubah hitam terusan dan sangat besar, kedodoran. Aku menolak keras dia
membawaku ke suatu tempat asing bernama Hogwarts, aku lebih menolak keras ketika ia deklarasikan aku sebagai penyihir juga-sama sepertinya. Jangan bercanda! Tapi, muka pengharapan dari Mrs. Wings dan Mrs. Birdy membuatku luluh seketika. Tanpa berpikir dua kali, aku mengiyakan, dan untuk kali pertama, aku tahu siapa nama kedua orang tuaku. Dan aku memiliki nama Granger dibelakang 'Hermione'-ku. Tak bisa ku pungkiri, aku bahagia.
"Kau akan memilih tongkat di toko Ollivanders Wand, ku harap ini tak akan lama, karena aku akan menemani Harry Potter belanja setelahmu, tapi sebelumnya, kita akan pergi ke Gringotts Wizarding Bank untuk mengambil Galleon-mu," kata raksasa setinggi 50 kaki di sampingku. Ia mengenalkan diri sebagai Rubeus Hagrid. Aku mendengus keras, siapapun yang bernama Harry Potter, aku tahu ia pastinya sangat dielu-elukan. Namun sayang sekali aku mendapati diriku tak begitu peduli. "Galleon?" tanyaku. Dan dia tidak menyahut. Sombong sekali. Aku berjalan cepat, berusaha mengimbangi langkahnya yang besar-besar. Mata Heterokromiaku berkeliling menatap Diagon Alley takjub. Permen kapas manis, permen kodok, balon ledak, ramuan cinta, manisan ada di mana-mana. Dan aku ingin. Tapi, aku cukup pintar untuk tahu kalau aku tidak punya uang sepeserpun. "Galleon itu apa, Hagrid?" tanyaku ngotot, dia boleh saja memikirkan si Harry Potter itu, tapi saat ini dia sedang bersamaku, dan aku mau jawaban. Dia menghela napas. Tingkahnya sungguh menyebalkan, tapi nyatanya ada sisi lain dalam diriku yang yakin, raksasa di sampingku ini adalah manusia mulia tanpa dosa. "Galleon, itu uang. Galleon-mu ya uang-mu," katanya. Memberi tahuku seolah aku anak kecil yang baru bisa merangkak. Uang?! Siapa yang punya uang? Aku bahkan yatim piatu yang dibesarkan di panti. Uang? Jangan bercanda! Sebelas tahun aku hidup, aku hanya pernah melihat uang bernominal lima poundsterling, itupun karena salah satu pengunjung panti yang baik hati memberikan setiap anak panti tidak lebih dari lima poundsterling. Aku menyimpan uang itu sampai lusuh, dan sampai sekarangpun aku masih menyimpannya. Itu uang pertamaku.
"Ta-tapi, Hagrid..." "Ayo! Kita sudah sampai," Belum sempat keherananku akan Diagon Alley, aku sudah disambut meriah oleh gedung pencakar langit dengan kurcaci-kurcaci kecil di dalamnya, seperti dalam animasi Princess Snow White, namun terlihat lebih angkuh dan jelek, mendominasi seluruh ruangan. Menakjubkan. Banyak permata, piala emas, uang koin emas terlihat ditimbang dalam satu wadah kecil. Bentuk gedungnya juga sangat aneh, tembok penopangnya miring, dan bangunannya seolah akan jatuh menjadi dua bagian menyedihkan. Siapapun Arsitekturnya, ku harap ia tidak gila. Tapi bagian terhebatnya adalah ada juga, manusia biasa sepertiku, yang menukarkan uang poundsterling mereka dengan beberapa uang koin yang berbeda-beda warna. Inikah Gringotts Wizarding Bank? Kalau ya, sungguh luar biasa! Kami masuk dan kejadiannya begitu cepat. Tiba-tiba aku sudah meluncur di atas kereta kecil yang mirip seperti kereta di pertambangan. Aku mual, seluruh kereta seolah tertelan tubuh Hagrid, kami sempit-sempitan dengan si kurcaci, yang nyatanya orang-orang memanggilnya dengan sebutan Goblin, sebagai pemandu jalan. Kami berhenti di depan lemari besi, suasana gelap dan aku tak mengerti, kenapa ada lemari besi di dalam gua? "Telapak tangan pewaris yang sah, tolong!" kata si Goblin mengaung di dalam keheningan. Aku diam. Namun, tubuhku terasa terbang ketika Hagrid mengangkatku dan meletakkan tubuhku begitu saja di depan pintu lemari besi. Aku pasif. Hagrid menghela napas frustasi. Si Goblin menggeram kesal. Dengan ragu, aku maju selangkah dan meletakkan telapak tanganku di atas pintu lemari besi. Perlahan, sangat perlahan.
"Kyaaa…." Pintu lemari besi itu menghilang. Menghilang?! Bagaimana bisa?! Sungguh menakjubkan. Tapi yang lebih mengherankan, di dalamnya ada banyak timbunan koin emas, sampai ke langitlangit, koin perak tak kalah banyak, dan perunggu. Sangat banyak. Dan ini semua milikku? Lemari besiku? Dari mana ini bisa ada? Tapi, nyatanya, ini memang ada. Dan jangan lupakan berbatang-batangan emas. Seumur hidup, aku tidak pernah melihat seperti apa itu batangan emas, dan sekarang aku berhasil melihatnya! "Galleon adalah emas, yang perak itu Sickle, dan perunggu itu Knut. Tujuh belas Sickle sama dengan satu Galleon, dua puluh sembilan Knut sama dengan satu Sickle.." Ku ingat itu. "Ta-tapi, ba-bagaimana…?" tanyaku tak yakin, meminta jawaban dari raksasa besar yang memandangku prihatin. Si Goblin menggerutu sebal, dan Hagrid menghela napas gusar. "Tidak tahu? Jean Marie Granger dan Wendel Alex Granger adalah pasangan penyihir nomor tiga terkuat di dunia, setelah pasangan Lily dan James Potter serta Narcissa dan Lucius Malfoy? Dan mereka juga sangat kaya."
Aku diam membisu. Rasanya aku mual. Tapi, ketika masuk di toko Madam Malkin, memilih jubah yang pas dengan posturku. Memilah dan memilih. Mualku menguap begitu saja. Jubahnya memang terlihat agak aneh, tapi aku suka. Menutupi seluruh badan dan membuatku agak terlihat lebih kecil memang, tapi, ada bau kayu mahoni kuat dan minyak zaitun, aku suka bau minyak zaitun, terasa sangat familiar. Tidak lupa, Hagrid mengajakku berkeliling untuk mencari beberapa perkamen dan bulu. Bulu? Baaah, aku yakin aku akan kesusahan memakainya.
Tapi, saat aku melewati pintu luar toko, di sana dipajang, dekat kasir, bulu yang berjalan sendiri, Dan itu menakjubkan, seperti menari, memamerkan kebolehan di atas perkamen yang mulai menguning. Aku mau bulu pena itu, bisakah ia menarikan jawaban di atas kertasku disaat aku ulangan? Setelah itu, kami singgah di Flourish and Blotts dan The Leaky Cauldron, untuk membeli beberapa buku pelajaran dan kuali dengan Galleon-ku. Buku yang sangat banyak dan tentunya bukan kuali bocor. Pemberhentian selanjutnya adalah salah satu toko kecil yang menjual hawan peliharaan. Aku bingung harus memilih yang mana. Terlalu banyak. Aku tak butuh burung hantu, tak ada yang akan ku kirimi surat. Aku juga belum ingin memiliki kucing. Aku bingung. Nyatanya, aku berhasil keluar dari pintu toko yang berbunyi Tang dengan membawa kadal biru, kadal yang kunamakan Buster. Kenapa kadal biru? Aku juga tidak tahu, mungkin karena harganya memang sangat mahal, sehingga hasrat membuktikan diri untuk membeli barang dan memilih harga yang paling mahal bisa aku lakukan. Bodoh sekali! Barang yang pertama kali ku beli adalah kadal biru dan harganya 50 Galleon. Setelah ku pikir, memang terdengar sangat bodoh. Kadal eh? Aku tidak perlu mengeluarkan uang, cukup mengambil jala dan melangkah ke hutan panti, ribuan kadal akan ku dapatkan, tentunya tak akan ada yang berwarna biru tua. Sesuai rencana awal, pemberhentian terakhir kami di Ollivanders Wand Shop. Toko itu sangat kecil, kusam dan sepi. Aku masuk ragu-ragu tapi Hagrid tampak yakin disetiap langkahnya. Membuka pintu toko dengan bunyi Cring keras, aku mendapati terlalu banyak kotak hitam di mana-mana. Mungkinkah itu tongkat? Dan kenapa aku butuh tongkat? "Hagrid..." panggilku ragu, tapi lagi-lagi, ia tak menyahut.
"Selamat datang! Rubeus Hagrid!" kata seorang laki-laki cebol, kurus namun rapi, ia keluar begitu saja dari bawah meja dan booom berteriak, mengagetkan seluruh isi ruangan. "Hagrid! Jantung phoenix, lima puluh enam senti, keras tapi lentur dalam waktu yang bersamaan, besar. Tapi sayang, patah eh?" Aku tidak mengerti apa yang Mr. Ollivanders katakan, yang jelas itu membuat pipi Hagrid bersemu merah, "Di patahkan, sir," jawab Hagrid tak yakin. "Oleh kementriankan? Sungguh disayangkan, itu tongkat yang luar biasa," jawab Mr. Ollivanders, dia berbalik dan mulai memilah-milah timbunan kotak. "Tapi, aku punya payung," aku Hagrid, ia menepuk-nepuk payung merah yang ia tenteng seharian denganku, aku tidak mengerti maksudnya apa, tapi, apapun itu, aku rasanya tidak mau tahu. Dan sepertinya Mr. Ollivanders setuju dengan pendapatku, ia tidak lagi menjawab sahutan Hagrid. Aku kaget bukan main ketika meteran panjang tiba-tiba melilit tubuhku, mengukur lengan, kaki, pinggang dan tinggiku. Hah! Aku memang bertubuh kecil. Mr. Ollivanders mulai menawarkanku beberapa tongkat, mulai dari yang panjang sampai pendek, intisari ini dan itu, ukuran ini dan itu, tapi, tak ada yang cocok. Tak ada yang cocok sampai tanpa sadar, salah satu kotak kecil dari sepuluh kotak yang dipegang sekaligus oleh Mr. Ollivanders jatuh dan isinya keluar, bergelinding ke arahku. Ku pungut tongkat jelek itu takut-takut dan cahaya merah kebiruan keluar begitu saja dari ujungnya, menghiasi seluruh atap toko. Indah sekali. Aku kah yang melakukannya? "Ah...!" desah Mr. Ollivanders kagum, "Ba-bagai...?" suaraku tertelan begitu saja. "10 3/4 inchi, kayu mahoni, jantung kadal dan sisik ular dicampur jadi satu dan keras. Satusatunya kayu yang aku rebus dulu dengan minyak zaitun selama enam bulan baru bisa dipahat, satu-satunya kayu yang aku rebus tapi teksturnya bertambah keras alih-alih menjadi lembek. Satu diantara tiga dan tak ada duanya... dan dia memilihmu!" Aku lagi-lagi tak mengerti maksudnya, tapi semoga ini pertanda bagus. Sebelum aku sadar, satu diantara tiga?
Apa maksudnya? Aku penasaran, tapi tak berani bertanya. "Ini sempurna!" gaung Mr. Ollivanders, sebelum kami membayar dan ke luar dari toko.
Di perjalanan pulang, aku baru tahu ternyata si Harry Potter itu adalah Anak-Yang-BertahanHidup. Hagrid menceritakan dengan bangga kalau si bayi kecil mungil yang berdiri saja belum bisa namun sudah mampu melenyapkan penyihir hitam yang paling ditakuti sepanjang zaman, Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut, Lord Voldemort. Dan dari sini juga aku mengetahui, kalau orang tuaku dibunuh oleh para bawahan Lord Voldemort, Death Eater. Kata Hagrid, orang tuaku adalah Auror yang hebat, manusia dewasa di Britania Raya menyebutnya Polisi. Tak dapat kupungkiri, aku bangga. Perjalanan pulang kami habiskan dengan celoteh ini dan itu, aku di sini tahu, Hagrid orang baik. Aku juga tahu, Hogwarts selektif dalam memilih siswa. Aku juga tahu, di Hogwarts memiliki empat asrama, tapi aku lupa nama asramanya apa. Seingatku asrama pertama didominasi oleh dia yang berani, tak kenal takut, namun terkadang ceroboh. Asrama kedua adalah tempat anak-anak yang pekerja keras, setia, berdedikasi, dan adil. Sedangkan asrama ketiga adalah asrama yang berisikan siswa cerdas, kreativitas tinggi, dan bijaksana. Yang terakhir adalah asrama keempat. Asrama ini didominasi oleh dia yang ambisi, licik, cerdik, berakal tapi, berjiwa kepemimpinan tinggi. Sayangnya aku tidak merasa berani, pekerja keras, mungkin sedikit pintar tapi tentunya bukan cerdas, dan yang jelas aku bukanlah pemimpin yang baik. Ingat kan kalau aku sering berkelahi? Aku ingin tertawa ketika Hagrid menampakkan raut kesal saat bercerita Paman dan Bibi si Harry Potter tak mengizinkan anak hebat itu untuk menuntut ilmu di Hogwarts. Tidak sepertiku yang langsung didatangi oleh Prof. Minerva McGonagall, Harry Potter akan dijemput oleh Hagrid. Aku sedikit berbangga hati, aku yang hanya gadis biasa saja Wakil Kepala Sekolah menyempatkan diri untuk mengunjungiku, bagaimana jika aku terkenal seperti si Harry Potter? Akankah Seluruh staf Hogwarts berbondong-bondong ke panti? Perjalanan pulang tidak terlalu berat dengan bantuan payung Hagrid, tahu-tahu aku sudah berdiri di depan kasurku dengan tas di sebelah kaki kananku berisi buku-buku, kuali, bol ramalan. Dan di sebelah kaki kiriku ada jubah, tongkat, sangkar Buster.
Hagrid sendiri sudah pergi entah ke mana tanpa pamit, ia harus menjemput Harry Potter di tengah laut, katanya. Apa dia bercanda? Tapi, tampangnya serius sekali, dan ia menggerutu tentang Muggle dan Dursley saat kaki-kaki besarnya meninggalkan panti. Buster sendiri erat melingkar nyaman di leherku. Buster hewan yang aneh, ia sering melingkar erat di leherku, membuatku seperti orang bodoh karena mengenakan syal musim dingin pada udara panas menyengat kulit. Tapi aku suka Buster, dia pendiam. Rasanya ini semua seperti mimpi, memulai hidup di dunia sihir dan meninggalkan panti tak pernah terpikirkan sedikitpun dalam benakku. Aku merebahkan tubuh lelah di atas kasur pribadi yang aku dapat atas hadiah ulang tahunku baru-baru ini, aku sekarang tak lagi tidur bertiga dalam satu kasur, aku senang. Menghela napas pelan, aku benar-benar berharap, semoga ini benar-benar bukanlah mimpi. Perlahan, mata Heterokimia Iridium-ku tertutup. Aku terlelap damai dan lupa membuka sepatu.
Pagi harinya, satu minggu setelah pengalam asyik berbelanja ke Diagon Alley, Mrs. Wings dan Mrs. Birdy dengan gugup membereskan segala jenis pernak-pernik yang akan aku bawa ke sekolah baruku, Hogwarts. Kekacauanpun ikut meramaikan kesibukanku. Mulai dari Buster yang tak ingin masuk ke dalam sangkar, jubah hitamku yang tak mau terlipat dengan benar, bahkan sepatu hitamku hilang sebelah. Tapi, semua terbayar ketika dua tasku berhasil masuk ke dalam bagasi bus panti dan Mrs. Birdy serta Mrs. Wings menatapku dengan bangga. "Anakku sudah besar," kata Mrs. Wings sambil mengelap ingusnya. Matanya sudah sembab, dan warna merah mendominasi wajahnya. "Jangan lupa untuk kirim surat, satu minggu dan tuangkan segala isi kepalamu segera," sahut Mrs. Birdy, dia memelukku erat. Aku tahu ini akan menjadi cerita picisan seperti yang biasa kami tonton sebelum naik ke tempat tidur. Anak-anak yang lain menatapku iri.
Selama satu minggu penuh, mereka tak henti-hentinya menggosip tentang diriku yang berhasil direkrut oleh sekolah asrama terkenal untuk melanjutkan studiku. Untuk satu ini, seringai kemenangan tak henti aku lemparkan. Ku yakinkan, mereka sudah benar-benar ingin mencincangku. Tapi aku tak peduli, ingat? Aku punya tongkat! Mrs. Birdy dan Mrs. Wings mengetahui kalau aku adalah penyihir, sayangnya ia terlalu baik untuk menyombongkan kelebihanku ke pada anak lain. Padahal, aku sanagt yakin, menyaksikan tampang melongo mereka akan menjadi tontonan seru. Setelah urusan bagasi selesai, aku dan kedua ibu asuhku naik ke dalam bus, tak lupa untuk melemparkan senyum mengejek dan lambaian tangan menyebalkan ke pada anak panti yang lain. "Kalian... Jangan merindukan kepergianku..." teriakku dramatis dan dibalas dengan acungan jari tengah oleh anak laki-laki yang tak menyukaiku, sayang sekali Mrs. Birdy atau Mrs. Wings tidak melihat kelakuan mereka, kalau mereka sampai tertangkap basah melakukan hal yang tidak beradab, tamatlah mereka menjadi santapan makan malam. Aku tersenyum lebar. Aku senang. Sopir yang bertugas mengantar kamipun tersenyum ramah, ia menghidupkan bus, menancapkan gas, dan kamipun melaju ke jalanan kota, siap menyongsong peron 9 3/4.
Yah, seperti yang semua orang ketahui, tak ada yang bisa berjalan mulus jika hanya baru mencoba satu kali. Setengah jam kami memutar antara peron 9 dan peron 10, namun tak ada tanda-tanda keberadaan peron 9 3/4. Mrs. Birdy dan Mrs. Wings serta supir bus kami sudah mulai menyerah. Lima belas menit kemudian, aku sudah benar-benar ditinggal sendiri di depan tembok pemisah antara peron 9 dan peron 10. Mrs. Birdy dan Mrs. Wings ingin menemaniku sampai aku menemukan keretaku, tapi sayangnya mereka tidak bisa, ada anak-anak panti lainnya yang harus diurus. Supir bus yang kami sewa sendiri harus mengangkut anak-anak dari Sekolah Luar Biasa untuk mengunjungi musium. Jadilah aku sendiri. Aku bingung, rasanya ingin bertanya tapi, aku tahu aku akan terlihat sangat bodoh. "Hai, aku penyihir dan aku mencari peron 9 3/4..." Rasanya itu terlalu memalukan. Aku mengitari pandanganku sebelum terjatuh pada anak laki-laki yang berdiri canggung dengan troli besar, kaca mata bundar, burung hantu jantan seputih salju dan ada sambaran petir di jidatnya.
Ia terlihat canggung dan bingung. Tapi, aku yakin, dia pasti siswa Hogwarts. Baru saja aku akan mendorong troliku yang hanya berisikan 2 koper dengan sangkar peliharaan kosong mengingat Buster sedang bergelung mendengkur di leherku seperti syal biru bercorak, nyonya gemuk dengan segerombolan keluarganya yang berambut merah sudah mengerumuni si anak canggung itu. Dan mereka satu persatu mulai menembus tembok! Menembus tembok! Ba-bagaimana bisa? Si anak canggung itu terlihat tersenyum terimakasih pada si nyonya gemuk sebelum ikut menembus tembok, dan menghilang begitu saja. Aku berdehem pelan, mulai melangkah canggung. Lebih baik bertanya bukan daripada tersesat? "Mrs... Bagaimana caranya agar aku bisa masuk?" kataku malu-malu. Si nyonya itu berbalik ke arahku, yang memang awalnya dalam posisi memunggungiku, dan tersenyum lembut. Namun hanya sebentar, sebelum matanya terbeliak lebar, seperti ngeri campur takjub. "Kau Heterokromia Iridium...?" tanyanya takjub, melangkah ke arahku tergesa, ia memagang pundakku erat, memaksa aku menatap matanya. Aku mengerjap kaget. Dan tak menjawab. "Granger, kau Hermione Granger?" Kali ini aku yang terbelalak ngeri campur takjub. "Ba-bagaimana anda...?" kataku tak terselesaikan ketika si nyonya gemuk memelukku haru, dan menangis tersedu-sedu di pundakku. "Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak tahu dengan keturunan terakhir Salazar Slytherin!" W-What? Salazar What?! BERSAMBUNG