ALTERNATIF MODEL PEMBELAJARAN DENGAN SOCIAL LEARNING BANDURA Indrya Mulyaningsih IAIN Syekh Nurjati Cirebon Abstrak Salah satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran adalah ketepatan pengajar dalam memilih model pembelajaran yang sesuai untuk pembelajar. Social Learning Bandura atau Pemodelan Bandura dapat menjadi alternatif model pembelajaran itu. Model ini meminta pengajar untuk dapat menjadi contoh atau model. Selain itu, pengajar harus dapat memotivasi pembelajar untuk belajar. One of the critical success factors of learning is teaching accuracy in selecting appropriate learning model for learners. Bandura's Social Learning Bandura or modeling can be an alternative model of learning it. This model asks teachers to be able to be an example or model. In addition, teachers must be able to motivate learners to learn. Kata kunci: model, pembelajaran, Bandura, Social Learning Bandura A. Pendahuluan Pemerintah memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap pendidikan. Hal ini dapat diketahui dengan terus diperbaikinya kurikulum. Berdasarkan peraturan yang telah ada, kurikulum pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan setiap lima tahun. Adapun kurikulum terbaru atau saat ini adalah Kurikulum 2013 yang diakronimkan menjadi ‘Kurtilas’. Dalam pendidikan terdapat proses belajar. Belajar merupakan kegiatan dari belum tahu menjadi tahu; dari belum bisa menjadi bisa. Kegiatan belajar sendiri terbagi atas dua, yakni belajar formal dan nonformal. Belajar secara formal berarti
teratur dengan kurikulum yang jelas sedangkan belajar nonformal berarti belajar tidak terstruktur. Adapun salah satu contoh belajar secara formal adalah belajar di sekolah sedangkan belajar secara nonformal adalah belajar di rumah. Keberhasilan dalam pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor. Bukan hanya faktor siswa atau pembelajar, tetapi juga faktor guru atau pengajar dan model pembelajaran yang digunakan. Model pembelajaran yang baik adalah yang sesuai dengan gaya belajar pembelajar (DePotter dan Mike, 2013: 12-16). Kecerdasan majemuk yang digulirkan oleh Howard Gardner sangat membantu pengajar dalam menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar pembelajar. Selama ini telah dikenal berbagai pendekatan dalam pembelajaran. Salah satu pendekatan yang terus dikembangkan adalah Contextual Teaching and Learning (CTL). Asmani (2013: 53) mengartikan CTL sebagai ‘suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami makna yang ada pada bahan ajar, dengan menghubungkan pelajaran dalam konteks kehidupan sehari-harinya dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan kultural’. Wardoyo (2013: 49) menyatakan bahwasannya CTL mengandung tujuh asas, yakni konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian. Albert Bandura secara khusus meneliti pemodelan atau yang lebih dikenal dengan Social Learning Bandura (SLB). Makalah ini akan mengimplementasikan SLB sebagai alternatif model pembelajaran. B. Pembahasan 1. Hakikat Model Pembelajaran Mulyatiningsih (2010: 1) menyampaikan bahwa model pembelajaran merupakan “istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyelenggaraan proses belajar dari awal sampai akhir”. Model berfungsi sebagai pedoman bagi pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Oleh karena
itu,
metode
pembelajaran
memuat
pendekatan,
metode,
dan
teknik
pembelajaran. Supriadie dan Darmawan (2012: 9) menyatakan bahwa “pembelajaran adalah suatu konsepsi dari dua dimensi kegiatan belajar dan mengajar”. Prinsip belajar haruslah berorientasi pada pembelajar. Menurut pendekatan Feuerstein (dalam Bellanca, 2011: 6) keberhasilan dalam belajar dapat dicapai melalui (a) mengubah siswa untuk belajar lebih efisien dan (b) mengajar untuk menggali potensi yang dimiliki pembelajar. Suryaman (2004: 66; Akbar, 2013: 49-50) mengemukakan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan langkahlangkah. Langkah-langkah itu sistematis untuk mengelola pembelajaran. Hal ini dilakukan agar dapat mencapai target atau tujuan belajar. Selain itu, model pembelajaran juga dapat digunakan pengajar sebagai pedoman dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang efektif. Pada pembelajaran terdapat target atau tujuan yang akan dicapai. Pencapaian ini dapat dilakukan melalui cara belajar atau model belajar. Model belajar atau model pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik. Joyce, Marsha, dan Emily (2011: 1) menyatakan bahwa kunci utama untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah dengan menggunakan model pembelajaran efektif yang berorientasi pada kecerdasan. Oleh karena itu, model pembelajaran yang dipilih hendaknya mampu melatih pembelajar untuk menjadi lebih handal. Selain telah diuraikan di atas, dalam mengembankan model pembelajaran juga harus memperhatikan faktor pengajar. Jacobsen, Paul, dan Donald (2009: 3-4) mengemukakan bahwa Interstate New Teacher Assessment and Support Consortium (INTASC) mensyaratkan sepuluh standar yang harus dimiliki pengajar. Standar itu mewajibkan guru: (1)memahami konsep-konsep inti, perangkat-perangkat penelitian, dan struktur-struktur disiplin ilmu pengetahuan yang diajarkan;
(2) memahami bagaimana siswa belajar dan berkembang; (3)memahami bagaimana siswa memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam belajar; (4) memahami dan menggunakan beragam strategi instruksional; (5)menggunakan pemahamannya mengenai motivasi individu dan kelompok; (6)menggunakan pengetahuannya mengenai teknik verbal, teknik nonverbal, dan teknik media yang efektif; (7)merencanakan pengajaran berdasarkan pada pengetahuannya mengenai materi pelajaran; (8)memahami dan menggunakan strategi-strategi penilaian formal dan informal; (9) adalah praktisi yang reflektif; (10) mengembangkan hubungannya dengan rekan kerja, orang tua, dan wakil orang tua. Feez dan Helen (2002: 2) berpendapat bahwa model pembelajaran mengarah pada prosedur operasional guna mencapai tujuan belajar seperti yang tertuang dalam silabus. Oleh karena itu, model pembelajaran hendaknya menyesuaikan dengan kondisi pembelajar dan tujuan. Karena model pembelajaran bersifat operasional, maka terdapat langkah-langkah yang harus diikuti. Langkah-langkah ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling terkait. Ismawati (2009: 97-98) mengemukakan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pengajar dalam memilih model pembelajaran, yakni harus: (1) bervariasi, (2) menarik dan merangsang siswa untuk belajar, (3) menggiatkan siswa secara mental dan fisik dalam belajar, dapat berwujud latihan, praktik, atau pertanyaan-pertanyaan, (4) mengarah kegiatan belajar siswa kea rah tujuan pengajaran, (5) mengembangkan kreatifitas siswa, (6) meningkatkan kadar CBSA dalam belajar, dan (7) membantu pemahaman siswa terhadap materi pengajaran. Selain memilih, pengajar juga dapat menyusun atau merencanakan model pembelajaran sendiri. Adapun hal yang perlu diperhatikan menurut Wahyuni dan Abdul
(2012:
14),
meliputi:
kemampuan
analitik,
kemampuan
pengembangan, dan kemampuan pengukuran. Kemampuan analitik berupa
analisis terhadap kondisi pembelajaran. Kondisi ini meliputi: “(1) kemampuan menganalisis kompetensi dan karakteristik materi belajar, (2) kemampuan menganalisis kendala dan sumber-sumber belajar yang tersedia, dan (3) kemampuan menganalisis karakteristik peserta didik.” Kemampuan pengembangan terkait dengan memilih, menetapkan, dan mengembangkan strategi pembelajaran yang paling optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kemampuan pengukuran meliputi: (1) kemampuan dasar dalam memilih, menetapkan, dan mengembangkan alat ukur yang paling tepat mengukur penguasaan kompetensi, dan (2) pengetahuan tentang klasifikasi hasil pembelajaran yang perlu diukur, indikator setiap klasifikasi, dan penetapan kriteria tingkat keberhasilan (Wahyuni dan Abdul, 2012: 15). Henard dan Deborah (2012: 7) menyatakan “Quality teaching is the use of pedagogical techniques to produce learning outcomes for students”. Artinya, kualitas pembelajaran ditentukan oleh teknik yang mengarah pada langkahlangkah dalam pembelajaran. Kualitas pembelajaran itu sendiri meliputi beberapa hal, seperti 1) desain dan materi kurikulum yang tepat, 2) keberagaman metode pembelajaran, 3) penggunaan umpan balik, dan 4) penilaian hasil belajar yang efektif. Dengan memperhatikan keempat aspek tersebut, diharapkan pendidikan di perguruan tinggi lebih berkualitas. Hughes dan Hughes (2012: 465-466) menyebutkan empat prinsip dalam pembelajaran, yaitu: 1) pembelajaran hendaknya dilakukan dalam aktivitas yang menumbuhkan daya dorong secara alamiah untuk belajar; 2) pembelajaran hendaknya disampaikan secara keseluruhan dan tidak terpisahpisah dengan mendahulukan bagian yang sederhana atau mudah; 3) model pembelajaran disesuaikan dan tingkat kecepatan belajar didasarkan pada kualitas mental setiap pembelajar; serta 4) pembelajar akan menerapkan ilmu yang diperoleh dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, pengajar juga perlu memberi tugas yang dikerjakan secara kelompok.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan pedoman yang memuat pendekatan, metode, dan teknik belajar sesuai dengan kebutuhan peserta didik demi tercapainya tujuan pembelajaran. 2. Pembelajaran Sosial Bandura Social Learning Theory Bandura yang kemudian dikenal dengan Pemodelan Bandura sebenarnya merupakan perpaduan antara faktor kebiasaan dengan faktor kognitif. Dalam pembelajaran, terdapat enam cara yang dapat dilakuan, yakni 1) trial-and-error experience, belajar melalui mencoba-coba, 2) perception of the object, belajar dilakukan dengan memberikan pendapat atau perkiraan terhadap suatu objek, 3) observations of another’s response to the object, belajar dapat pula melalui mempelajari pendapat atau tanggapan orang lain, 4) modeling, belajar juga dapat dilakukan dengan menciptakan atau menentukan model atau contoh, 5) exhortation, belajar juga dapat berdasarkan berbagai nasihat yang diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan 6) instruction about the object, belajar dapat juga melalui berbagai perintah yang memang sengaja diberikan berdasarkan objek atau hal yang akan dipelajari (Bandura, 1971: 5-7). Bandura sendiri menyatakan bahwa terdapat empat hal penting dalam pembelajaran dengan pemodelan, yakni attention (perhatian), retention (daya ingat), motor reproduction (produksi), dan motivation (motivasi). Atensi terkait dengan minat pembelajar terhadap materi yang dipelajari. Retensi berhubungan dengan kemampuan pembelajar dalam menyimpan berbagai informasi atau materi dalam pembelajaran. Penyimpanan ini dapat dalam ingatan jangka pendek maupun jangka panjang. Produksi merupakan bentuk peniruan terhadap materi atau informasi yang dipelajari. Dengan kata lain, pembelajar menghasilkan sesuatu dari pembelajaran yang telah dilakukan. Motivasi lebih pada kuat lemahnya keinginan pembelajar untuk melakukan peniruan. Teori ini dapat digambarkan seperti berikut.
Modeled Modeled Behavi Behavio
Innate Innate Person Person
ur
Gambar 1. Social Learning Theory Bandura Learning Learning Enviro Environme
Bandura (dalam Hill, 2010: 194-201) mengemukakan bahwa penguatan nt terhadap pengalaman yang dimiliki seseorang dapat dilakukan melalui imitasi. Imitasi yang dilakukan bukan hanya pada hasil, tetapi juga prosesnya. Adapun tahap imitasi, meliputi (a) inhibisi, (b) disinhibisi, dan (c) elisitasi. Tahap inhibisi merupakan aktivitas mengamati orang lain. Hal yang diamati adalah bagaimana orang tersebut tidak membuat respon terhadap suatu kondisi. Cara orang lain yang tidak merespon keadaan akan dipraktikkan atau diikuti oleh pembelajar. Contoh ketika ada seseorang yang marah. Pembelajar akan mengamati reaksi orang-orang yang ada di sekitar orang yang marah tersebut. Fokus pengamatan ditujukan pada reaksi orang-orang yang tidak terpancing dengan kemarahan itu. Tahap disinhibisi merupakan kebalikan dari inhibisi, yakni berupa pengamatan terhadap orang lain. Fokus pengamatan pada cara orang lain tidak merespon suatu kondisi. Jika pada tahap inhibisi seseorang akan ikut untuk tidak melakukan, justru pada tahap disinhibisi seseorang akan melakukan itu. Jadi, tahap ini mempelajari atau mengamati cara seseorang tidak mereaksi terhadap suatu kondisi, tetapi justru akan dilakukan. Contoh ketika ada seseorang yang marah. Pembelajar akan mengamati reaksi orang-orang yang berada di sekitarnya. Kali ini, pembelajar justru akan melakukan reaksi kebalikan dari yang dipelajari, yakni terpancing keadaan tersebut. Tahap elisitasi berarti memunculkan atau pengambilan sikap terhadap suatu kondisi. Meskipun sedikit kemiripan antara elisitasi dengan disinhibisi, tetapi pada dasarnya keduanya berbeda. Disinhibisi lebih pada respon yang
sudah aktif dan hanya membutuhkan pemicu tertentu untuk menjalankan hasrat atau respon tersebut. Elisitasi justru pada respon positif untuk menjalankan aktivitas. Misalnya seseorang mulai merespon dan beberapa yang lain juga ingin melakukan hal yang sama walaupun sebelumnya telah diberitahukan untuk tidak merespon. Jadi, elisitasi merujuk pada respon yang pasti akan dilakukan sedangkan disinhibisi merujuk pada respon yang belum tentu akan dilakukan. Imitasi yang dilakukan mengarah pada pengamatan. Hill (2010: 199-201) menyatakan bahwa inti pemodelan Bandura adalah pembelajaran melalui pengamatan atau observasi. Pengamat akan “melihat apa yang dilakukan oleh model, memperhatikan apa konsekuensinya bagi model, mengingat apa yang telah dipelajari, membuat berbagai simpulan, dan pada saat itu juga (atau kemudian) menyertakannya dalam perilaku”. 3. Implementasi Pembelajaran Bandura Berikut ini implikasi Teori Bandura menurut Hill (2010: 195-207). Pertama, pembelajar ada keinginan untuk mempelajari materi-materi yang disampaikan oleh pengajar. Keinginan untuk mempelajari tidak datang secara otomatis, tetapi karena ada faktor pemicu. Faktor pemicu bisa berasal dari mana saja, salah satunya pengajar. Oleh karena itu, pengajar harus dapat memotivasi pembelajar supaya berkeinginan untuk mempelajari materi. Kedua, segala yang dipelajari tidak menghasilkan efek praktis. Artinya, materi yang dipelajari hari ini ada kemungkinan baru akan terpakai atau digunakan pada waktu yang akan datang. Oleh karena itu, pembelajar harus menyimpan baik-baik materi yang telah diperoleh sehingga jika sewaktu-waktu dibutuhkan dapat segera ditemukan dan digunakan. Ketiga,
pembelajar
telah
mendapat
berbagai
informasi
melalui
pembelajaran yang dilakukan. Hasil pengamatan hendaknya tidak hanya dibiarkan mengendap atau tersimpan, tetapi harus ditiru atau diimitasi. Oleh
karena itu, pembelajar hendaknya dapat menghasilkan sesuatu seperti atau berdasarkan apa yang telah dipelajari. Keempat, pembelajar dan pengajar harus memiliki motivasi dalam pembelajaran. Pembelajar harus memiliki motivasi untuk mengimitasi atau meniru. Pengajar harus memiliki motivasi untuk ditiru atau setidaknya memberikan faktor penguat agar pembelajar mengimitasi. Oleh karena itu, baik pengajar maupun pembelajar diharapkan memiliki motivasi yang besar pada pembelajaran itu sendiri. Berikut ini implikasi pendekatan kognitif pada pembelajaran menurut Makka (TT: 2). Pertama, pembelajaran hendaknya berpusat pada cara berpikir atau proses mental anak. Artinya, pembelajaran tidak hanya berorientasi pada hasil. Oleh karena itu, pengajar harus memahami proses yang digunakan dan dikuasai
anak
sehingga
sampai
pada
hasil.
Pengajar
harus
dapat
mengembangkan pengalaman belajar yang sesuai dengan tahapan fungsi kognitif. Kedua, pembelajaran hendaknya mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi (ready made knowledge) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan. Ketiga, pembelajaran hendaknya memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Hal ini sesuai dengan asumsi Piaget bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Aktivitas harus lebih menitikberatkan pada kegiatan individu yang dilakukan dalam kelompok dan bukan kegiatan klasikal. Selain itu, pembelajaran harus mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Hal ini juga disampaikan DePorter dan Mike (2013: 14) bahwa “sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar”. Oleh karena itu,
pembelajaran hendaknya memberikan sugesti positif dengan mendudukkan murid secara nyaman serta meningkatkan partisipasi individu. Menurut Sarbiran, Putu, dan Priyanto (TT: 1) pembelajaran dirancang dengan memusatkan diri pada pembelajar untuk melakukan olah raga, olah rasio, olah rasa, dan olah rohani. Pembelajaran hendaknya diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi pembelajar. Pembelajar diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif sehingga cukup waktu untuk prakarsa, kreativitas, dan kemandirian. Tentu saja semua itu disesuaikan dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis pembelajar. Implikasi teori Bandura menurut Denler, Christopher, dan Maria (2013: 8-9) sebagai berikut. Pertama, pembelajar harus dibimbing dan diberi informasi terkait dengan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku atau kebiasaan baik yang harus dimiliki. Dalam hal ini pengajar harus dapat menjadi contoh. Pengajar harus melibatkan semua pihak dalam pembelajaran. Kedua, pengajar harus membantu pembelajar untuk mencapai hasil yang diharapkan pada pembelajaran. Pengajar harus mampu meyakinkan pembelajar bahwa apa yang dipelajari saat ini akan bermanfaat pada kemudian hari. Ketiga, keberhasilan pembelajaran akan tercapai jika pembelajar memiliki kepercayaan diri. Dalam hal ini pengajar berkewajiban untuk memastikan bahwa pembelajar telah memiliki pengetahuan yang cukup. Keempat, pengajar membantu pembelajar untuk mencapai tujuan. Penetapan tujuan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan pembelajar. Semua ini dilakukan untuk menghindari kekecewaan apabila tujuan tidak tercapai. Adanya rasa kecewa akan menjadikan pembelajar malas untuk belajar lagi. Kelima, pembelajaran hendaknya dapat memandirikan pembelajar. Dalam hal ini, pembelajar dapat mengukur kemampuan diri sendiri, sehingga juga dapat menentukan tujuan dan ketercapaiannya. Semua itu dapat dilakukan dengan sering berlatih.
Implikasi teori Bandura menurut Cunia (2007) bahwa pembelajaran harus melibatkan pembelajar dan pengajar secara aktif. Karena ini lebih pada belajar mandiri, maka pengajar harus memastikan pengetahuan yang dimiliki pembelajar. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki itulah, pengajar dapat membantu pembelajar menentukan harapan dan tujuan yang ingin dicapai. Pengajar sebagai model harus dapat menjadi dan memberi contoh. Oleh karena itu, pengajar hendaknya membantu pembelajar untuk memiliki rasa percaya diri dan mancapai tujuan yang telah direncanakan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kognitif meminta kepada pengajar dan pembelajar untuk saling menguatkan, baik motivasi, atensi, retensi, maupun ketika memproduksi. Oleh karena itu, faktor pengajar dan pembelajar sangat penting untuk diperhatikan selama pembelajaran berlangsung. C. Penutup 1. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa SLB atau Pemodelan Bandura dapat menjadi alternatif sebagai model pembelajaran. Dalam model pembelajaran ini, pengajar memiliki peran penting. Berhasil tidaknya pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan pengajar. Terutama kemampuan untuk dijadikan sebagai model atau contoh. Selain itu, pengajar harus mampu menjadi motivator sehingga pembelajar bersemangat. 2. Saran Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian antara lain sebagai berikut. a. Bagi Pengajar Begitu pentingnya peran pengajar, maka hendaknya pengajar benar-benar memiliki kompetensi yang handal. Pengajar harus benar-benar memahami karakteristik pembelajar. Pengajar dituntun untuk dapat menjadi contoh; panutan; model bagi pembelajar.
b. Bagi Pengambil Kebijakan Para pengambil kebijakan terutama yang terkait dengan pembelajaran hendaknya memberikan perhatian pada kecerdasan majemuk. Alangkah lebih baik jika pembelajar ditempatkan dalam kelas yang memiliki kecerdasan sama atau setidaknya mendekati. Hal ini untuk memudahkan pengajar dalam membimbing. Selain itu, dalam satu kelas setidaknya terdapat dua pengajar agar pembelajar mendapat bimbingan secara maksimal. c. Bagi Orang Tua Keberhasilan pembelajaran tidak mutlak di tangan sekolah selaku penyelenggara. Orang tua pun memiliki andil yang tidak kalah penting. Oleh karena itu, orang tua juga harus memahami kecerdasan majemuk. Lebih khusus, orang tua hendaknya memahami kecerdasan dominan yang dimiliki oleh putra-putrinya. Hal ini sebagai upaya agar pembelajaran di sekolah dapat bersinergi dengan pembelajaran di rumah. Daftar Pustaka Asmani, Jamal Ma’mur. 2013. 7 Tips Aplikasi PAKEM. Yogyakarta: Diva Press. Bandura, Albert. 1971. Social Learning Theory. New York: General Learning Press. Bellanca, James. 2011. 200+ Strategi dan Proyek Pembelajaran Aktif untuk Melibatkan Kecerdasan Siswa (Edisi Kedua). Jakarta: Indeks. Cunia.
2007.
Implications
of
Social
Learning
Theory.
(online)
www.southalabama.edu/oll/mobile/theory_workbook/social_learning_theory. htm diunduh 4 November 2013, pukul 10.00 WIB. Denler, Heidi, Christopher Wolters, dan Maria Benzon. 2013. Social Cognitive Theory.
(online)
www.education.com/reference/article/social-cognitive-
theory/ diunduh 2 November 2013, pukul 20.00 WIB. DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2013. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
Feez, Susan dan Helen Joice. 2002. Test-Based Syllabus Design. Sydney: Macquarie University Press. Hill, Wilfred F. 2010. Theories of Learning. Bandung: Nusamedia. Henard, Fabrice dan Deborah Roseveare. 2012. Fostering Quality Teaching in Higher Education: Policies and Practices. Perancis: IMHE. Hughes, A. G dan E.H. Hughes. 2012. Learning and Teaching. Bandung: Nuansa. Ismawati, Esti. 2009. Perencanaan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Cawanmas. Jacobsen, David A, Paul Eggen, dan Donald Kauchak. 2009. Methods for Teaching (Terjemahan. Ed. 8). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Joyce, Bruce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun. 2011. Model-model Pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Makka, Muh. Abduh. TT. Aplikasi Teori Kognitif dan Model Pembelajaran Konstruktivisme
dalam
Pembelajaran
IPA
SD.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php? option=com_content&view=article&id=203:kognitif&catid=42:widyaiswara &Itemid=203 (diunduh 7 Oktober 2013, pukul 10.00 WIB). Mulyatiningsih, Endang. 2010. “Pembelajaran Aktif, Kreatif, Inovatif, Efektif, dan Menyenangkan
(PAIKEM)”
dalam
Diklat
Peningkatan
Kompetensi
Pengawas dalam Rangka Penjaminan Mutu Pendidikan P4TK Bisnis dan Pariwisata Depok, tanggal 23-25 Agustus 2010. Sarbiran, Putu Sudira, dan Priyanto. TT. Pembelajaran Inovatif di SMK. Eprints.uny.id/6075/1/037-Pembelajaran_inovatif_di_SMK.pdf. Supriadie, Didi dan Deni Darmawan. 2012. Komunikasi Pembelajaran. Bandung: Rosda. Suryaman. 2004. “Penerapan Model Pembelajaran Suatu Inovasi di Perguruan Tinggi (Tantangan Umum Pendidikan Tinggi)” dalam Jurnal Pendidikan IKIP PGRI Madiun. Volume 10, Nomor 1, hlm. 1-14, Juni. Wahyuni, Sri dan Abdul Syukur Ibrahim. 2012. Perencanaan Pembelajaran Bahasa Berkarakter. Bandung: Refika Aditama.
Wardoyo, Sigit Mangun. 2013. Pembelajaran Berbasis Riset. Jakarta: Akademia Permata.