ALIRAN MASSA KARBON (C) ORGANIK DARI DEGRADASI ANAEROB TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT MASS BALANCE OF ORGANIC CARBON FROM ANAEROBIC DIGESTION OF OIL PALM EMPTY FRUIT BUNCHES Melly Ratnawati1 dan Emenda Sembiring2 Program Studi Magister Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10, Bandung, 40132
[email protected] dan
[email protected] Abstrak: Indonesia adalah produsen terbesar pertama minyak kelapa sawit. Seiring dengan peningkatan produksi kelapa sawit maka limbah yang dihasilkan juga bertambah banyak. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah padat industri minyak kelapa sawit dengan potensi cukup besar. TKKS menjadi isu lingkungan karena dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan menarik hama pengganggu. TKKS merupakan biomassa lignoselullosa dengan laju degradasi yang rendah. Degradasi anaerob dapat digunakan untuk biomassa yang mengandung lignoselullosa. Untuk mengetahui kualitas proses degradasi anaerob maka diperlukan pengetahuan tentang kesetimbangan material organik. Karbon merupakan material organik terbesar yang terdapat dalam limbah TKKS. Tujuan dari penelitian ini untuk memodelkan aliran massa karbon organik TKKS selama proses degradasi anaerob. Kompos hasil degradasi anaerob memenuhi 5 dari 8 parameter standar SNI 197030-2004 dan Permentan No. 70 Tahun 2011 yaitu kadar air, temperatur, pH, nitrogen dan karbon. Sedangkan parameter rasio C/N, bau dan warna masih belum terpenuhi. Tingkat phytotoxic untuk keseluruhan kompos adalah Phyt kompos 100% > Phyt kompos 75% > Phyt kompos 50%. Model aliran massa karbon organik dari degradasi anaerob TKKS adalah 89,83%C dari limbah TKKS dan 4,58 x 10-7%C udara akan diemisikan sebesar 52,67%C ke udara dan karbon yang terdapat dalam sistem 21,20% C yang tertahan dan karbon yang tidak teridentifikasi sebanyak 15,96% (galat 23,26%). Kata kunci: tandan kosong kelapa sawit, degradasi anaerob, aliran massa C organik Abstract: Indonesia was the world’s largest producer of palm oil. Along with the increased production of palm oil waste generated also increased a lot. Palm oil of empty fruit bunches (EFB) is a solid waste palm oil industry with considerable potential. Unprocessed EFB could cause several environmental issues because it pollutes the environment and attract pests. EFB is lignoselullosa biomass with a low rate of degradation. Anaerobic degradation can be used for biomass containing lignoselullosa.. To determine quality of anaerobic digestion require knowledge about mass balance of organic material. Carbon is largest component of EFB. The purpose of this research is to modeling the mass flow of organic carbon of EFB during the anaerobic degradation Compost of anaerobic digestion comply five of eight SNI 19-7030-2004 standart and Permentan No. 70 Tahun 2011 which are moisture, temperature, pH, nitrogen and carbon. However, ratio C/N, odor, and color parameter are not comply. Phytotoxic level for all compost are Phyt compost 100% > Phyt compost 75% > Phyt compost 50%. Mass flow model of the anaerobic digestion of organic carbon are 89.83%C of EFB and 4.58 x 10-7%C air will be emitted by 52.67% C in the air and be store 21.20%C with unidentified carbon as much as 15.96% (23.26% error). Keywords: oil palm EFB, anaerobic digestion, mass balance C organic
PENDAHULUAN Indonesia adalah produsen terbesar pertama minyak kelapa sawit, dengan produksi 22,2 juta ton minyak atau 48% dari pasokan total dunia (USDA, 2011 71
dalam Uemura dkk., 2013). Dengan besarnya tingkat produksi kelapa sawit maka limbah yang dihasilkan bertambah banyak. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah utama dari industri kelapa sawit dengan potensi ± 2,5 juta ton per tahun (Roliadi dan Fatriasari, 2000). Setiap pengolahan 1 ton Tandan Buah Segar (TBS) akan dihasilkan TKKS sebanyak 22-23% atau sebanyak 220-230 kg (Isroi, 2008). Umumnya, TKKS yang dihasilkan dibuang melalui timbunan terbuka (open dumping), dibakar , digunakan sebagai pupuk dan bahan bakar boiler. TKKS menjadi isu lingkungan karena dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan menarik hama pengganggu (Law dkk., 2007) serta memerlukan biaya pembuangan yang tinggi setiap tahun (Mohammad dkk., 2012). Penumpukan TKKS menyebabkan pertambahan emisi gas metan ke atmosfer (Amal dkk., 2008 dalam Mohammad dkk., 2012). Pembakaran TKKS menghasilkan potas yang diaplikasikan dalam perkebunan sebagai pupuk dengan mulsa (Lorestani, 2006 dalam Singh dkk., 2011). Namun, pembakaran TKKS membuat masalah polusi lingkungan. Insinerator dan boiler melepaskan gas-gas dengan partikulat seperti tar dan soot droplets dengan ukuran 20-100 mikron dan menghasilkan debu sekitar 3000 – 4000 mg/nm (Igwe dan Onyegbado, 2007 dalam Mohammad dkk., 2012). TKKS yang memiliki kadar air tinggi (60-70%) sulit digunakan sebagai bahan bakar untuk boiler listrik (Paepatung dkk., 2009 dalam Singh dkk., 2011). Aplikasi secara langsung dari TKKS ke tanah pertanian dapat mengakibatkan sejumlah masalah seperti polusi air, lindi, dan lain lain (Singh dkk., 2011). Decanter cake dan sebagian TKKS dimanfaatkan sebagai pupuk dan bahan penutup tanah perkebunan kelapa sawit, sementara sisa TKKS dibuang diarea sekitar pabrik karena laju pembentukan TKKS lebih besar daripada laju pemanfaatannya (Paepatung dkk., 2009 dalam Singh dkk., 2011). Solusi lain diperlukan untuk manajemen pengolahan TKKS sehingga permasalahan lingkungan dapat dikurangi dan TKKS dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi atau produk yang bernilai. Banyak penelitian dilakukan untuk mengelola limbah TKKS menghasilkan produk lain seperti karbon aktif, xilosa, selulase, polihidroksialkanoate, protease, hidrogen (Mohammad dkk., 2012). TKKS mengandung material organik yang tinggi (O-Thong dkk., 2012). TKKS terdiri dari 38.1–59.7% selullosa, 16.8–22.1% hemiselullosa, and 10.5–18.1% lignin (Abdullah dan Gerhauser, 2008 dalam Pimenidou dan Dupont, 2012). Biodegradasi TKKS rendah, hal ini disebabkan oleh komposisi lignoselullosa. Semakin tinggi kadar lignin dan selullosa dalam limbah maka laju biodegradasinya semakin rendah (Buffiere dkk., 2006 dalam O-Thong dkk., 2012). Degradasi anaerob dapat digunakan untuk biomassa yang mengandung lignoselullosa (Chanakya dkk., 1997 dalam Cui dkk., 2011). Degradasi anaerob adalah metode rekayasa untuk menguraikan material organik oleh mikroorganisme anaerob dengan kondisi tanpa oksigen. Untuk menghitung kualitas proses degradasi anaerob dalam hal ini material organik hasil degradasi maka diperlukan pengetahuan tentang kesetimbangan material organik. Hal ini membantu dalam mengevaluasi efisiensi dan memodifikasi parameter proses yang berlangsung untuk meningkatkan efesiensi degradasi (Schievano dkk., 2011). Karbon organik merupakan material terbesar dalam limbah organik. TKKS merupakan limbah organik. Jumlah karbon organik merupakan kesetimbangan antara karbon yang terbentuk dan karbon yang hilang. Karbon yang terbentuk dapat 72
dihitung dari jumlah sel baru dan produk yang dihasilkan. Karbon yang dihilang merupakan karbon yang terdekomposisi dan terpisahkan menjadi mineral, nutrien dan gas maupun leached. Karbon hilang pada saat aktivitas mikroorganisme tinggi dalam kondisi lingkungan yang sesuai (CSIRO, 2009). Belum ada penelitian yang menggunakan metode degradasi anaerob untuk mengolah TKKS. Tujuan dari penelitian ini untuk memodelkan aliran massa karbon organik TKKS selama proses degradasi anaerob. Karena hasil dari degradasi anaerob TKKS dapat diaplikasikan ke tanah dan karbon merupakan komponen utama pada material organik tanah (57% dari berat) (Sundermeier dkk., 2005) maka penelitian ini berfokus untuk menghitung aliran karbon organik. Selanjutnya pemanfaatan hasil degradasi anaerob TKKS dapat berpotensi sebagai sumber daya yang dapat digunakan untuk mitigasi perubahan iklim dan mengurangi emisi karbon (Patthanaissaranukoo dkk., 2013) serta karbon sequestration tanah.
METODOLOGI Degradasi Anaerob Degradasi Anaerob dilakukan melalui 2 tahap yaitu masa pra inkubasi dan masa inkubasi. Pada masa pra inkubasi dilakukan tahap pencacahan dan penambahan aktivator. TKKS dicacah melalui 2 tahap yaitu pencacahan secara manual dan menggunakan mesin pencacah hingga berukuran 5 cm. Pencacahan bertujuan untuk memperkecil ukuran dan volume, menambah luas permukaan, mempercepat proses dekomposisi, mengurangi kadar air, dan membuat ukuran TKKS menjadi lebih homogen sehingga lebih mudah untuk diolah dan didegradasi. Aktivator yang digunakan adalah aktivator komersil dengan merk dagang “PROMI” yang merupakan produk hasil riset Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Dalam 1 kg promi mengadung 3 jenis mikroba pengurai yaitu Trichoderma harzianum DT38, Trichoderma pseudokoningii DT39, Aspergillus sp dan fungi pelapuk putih. Dosis aktivator yang digunakan adalah 1kg PROMI dalam 50 liter air untuk 1 ton TKKS. Sebelum diaplikasikan PROMI dilarutkan terlebih dahulu dan didiamkan selama seminggu. Masa inkubasi berlangsung selama 3 bulan hingga rasio C/N tercapai 30. Pada proses inkubasi, TKKS diletakkan didalam reaktor berukuran 50 x 50 x 120 cm dengan bagian bawah reaktor terdapat lubang pembuangan lindi dan bagian atas dilengkapi kran untuk pengambilan gas serta dipasang labu leher angsa (Gambar 1). Dasar reaktor diberi batu untuk sistem drainase dan pada keempat sisi reaktor terdapat lubang pengambilan sampel yang dibuat acak (total ada 20 lubang sampel). Selama proses degradasi anaerob dilakukan analisis laboratorium. Parameter temperatur, gas CO2, gas O2, gas CH4, dan volum gas dilakukan setiap hari. Pengukuran gas O2 dan CH4 menggunakan gas analyzer RIKEN-KEIKI RX 515 Exiad II BT 3X. Sedangkan pengukuran gas CO2 dilakukan dengan metode passive treatment. Gas CO2 dalam reaktor diabsorb dalam larutan NaOH 0,1 N kemudian dititrasi menggunakan HCl 0,1 N. Parameter lainnya seperti C organik, NTK, Nammonium, N-organik, moisture, pH, rasio C:N dilakukan seminggu sekali. Faktor lingkungan seperti kelembapan, arah angin, dan kecepatan angin dilakukan selama satu minggu diawal proses degradasi anaerob. Pengukuran C organik, NTK, Nammonium, N-organik, dan rasio C:N, menggunakan berat kering sampel. Panen 73
dilakukan setelah kompos matang dan stabil (rasio C:N 30 dan uji phytotoxic > 80%).
Gambar 1. Reaktor Proses Degradasi Anaerob TKKS Uji Pytotoxic Evaluasi toksiksitas pada kompos dilakukan dengan tes biologi. Analisa phytotoxic menggunakan metode seed germination index (Mitelut dan Popa, 2011). Uji phytotoxic digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan benih (cm panjang akar) menggunakan berbagai variasi konsentrasi ekstrak kompos. Benih yang digunakan adalah Lactuca sativa. Perhitungan nilai germination index menggunakan Persamaan (1) : ..............................................................Persamaan (1) Keterangan : Gi : germination index G : jumlah benih yang tumbuh pada ekstrak kompos Go : jumlah benih yang tumbuh pada blanko L : panjang akar pada ekstrak kompos Lo : panjang akar pada blanko Jika nilai phytotoxic < 80% maka masa inkubasi kompos diperpanjang 2 minggu dan dilakukan analisa kadar fenol serta amoniak dalam kompos yang merupakan representasi dari senyawa toksik dalam kompos.
74
Studi Aliran Massa Studi aliran massa C organik dilakukan dengan menghitung kesetimbangan C selama siklus hidup material. C organik selama siklus hidup material adalah C organik pada proses degradasi anaerob. Aliran massa C organik pada proses degradasi anaerob yaitu : % C input = % C output % C TKKS input + % C udara input = % C kompos yang tertahan + % C udara emisi + %C tidak teridentifikasi ................................................Persamaan (2) % C udara = % C gas CO2 + % C gas CH4 ............................................................ Persamaan (3)
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik dan Kimia Degradasi Anaerob Pada proses pencacahan terjadi pertumbuhan jamur pada media TKKS. Secara visual jamur yang tumbuh di TKKS menyerupai jamur oncom berwarna putih jingga dengan morfologi seperti serbuk / bubuk. Menurut Isroi, 2009, jamur yang pertama kali tumbuh pada TKKS merupakan kelompok jamur mikroskopis dengan nama ilmiah Monilia sp. Monilia sp akan mendegradasi sisa-sisa minyak yang ada didalam TKKS dan akan terus tumbuh mendominasi hingga sisa minyak tersebut menipis/ habis. Pada tahap inkubasi, proses penguraian anaerob berlangsung tanpa ada oksigen, hal ini dibuktikan dengan nilai gas O2 yang bernilai 0 pada pengamatan menggunakan gas analyzer yang dilakukan setiap hari. Kelembapan rata-rata lingkungan terukur sebesar 80% dan kecepatan angin rata-rata sebesar 0,69 m/detik. Proses dekomposisi TKKS yang dilakukan menggunakan metode degradasi anaerob dalam suatu reaktor dengan sistem tertutup sehingga faktor lingkungan luar tidak terlalu berpengaruh. Pada penelitian ini hanya dihasilkan gas CO2. Hal ini disebabkan oleh proses yang berlangsung diperkirakan sampai tahap acetogenesis atau adanya hambatan dalam pembentukan metan. Menurut Parkin et al., 1986 dalam Li et al., 2011, rasio C/N yang salah dapat menghasilkan pelepasan total ammonia nitrogen (TAN) dan akumulasi volatile fatty acid (VFA) yang tinggi dalam reaktor. Baik TAN dan VFA merupakan intermediate yang penting dan berpotensi sebagai inhibitor dalam proses degradasi anaerob. Konsentrasi yang tinggi dari TAN dan VFA dalam reaktor akan menurunkan aktivitas methanogen dan penyebab kemungkinan kegagalan proses degradasi anaerob (Li et al., 2011). Secara fisik kompos hasil degradasi anaerob berwarna coklat tua dan berbau asam. Proses degradasi anaerob berlangsung selama 13 minggu dan optimum pada minggu ke-2. Karakteristik kimia proses degradasi disajikan pada Tabel 1. Nilai pH, NTK, Norganik mengalami penurunan pada minggu ke-2 kemudian meningkat hingga akhir proses degradasi. Nilai tersebut berbanding terbalik dengan nilai kadar air dan temperatur yang mencapai puncak tertinggi pada minggu ke-2. Sedangkan nilai karbon organik dan rasio C/N terus mengalami penurunan hingga akhir proses.
75
Tabel 1. Karakteristik Kimia Proses Degradasi Ananerob No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Parameter pH Temperatur Kadar Air Karbon Organik NTK N-organik N-ammonium Rasio C/N
Unit 0
C % % % % %
T0 minggu 7,93 39 48,15 89,83 0,77 0,77 0,0056 116,92
T2 minggu 5,99 59 52,73 60,94 0,63 0,62 0,0056 98,04
T13 minggu 7,00 25 48,35 21,20 0,72 0,71 0,0084 29,72
Hasil degradasi anaerob bisa disebut juga sebagai kompos. Sebelum kompos diaplikasikan pada tanah atau dijual secara komersil maka kompos harus memenuhi standar kelayakan. Standar kelayakan kompos di Indonesia dapat mengacu pada SNI 19-7030-2004 atau Permentan No. 70 Tahun 2011. Perbandingan kompos hasil degradasi anerob dengan standar SNI 19-7030-2004 dan Permentan No. 70 Tahun 2011 disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Kelayakan Kompos Hasil Penguraian Anaerob No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Parameter Kadar air Temperatur Warna Bau pH Nitrogen Karbon Rasio C/N
SNI 19-70302004 50% Suhu air tanah kehitaman Berbau tanah 6,80 - 7,49 Min 0,40% 9,8 – 32% 10 - 20
Permentan No. 70 Tahun 2011 4–9 Min 15 15 – 25
Kompos 48,35% 250C Coklat tua Berbau asam 7,00 0,71 21,20 29,72
Kelayakan √ √ X X √ √ √ X
Kompos hasil degradasi anaerob memenuhi 5 dari 8 parameter standar SNI 19-7030-2004 dan Permentan No. 70 Tahun 2011 yaitu kadar air, temperatur, pH, nitrogen dan karbon. Sedangkan parameter rasio C/N, bau dan warna masih belum terpenuhi. Phytotoxic Kompos Evaluasi toksisitas kompos sangat penting dilakukan jika kompos tersebut akan diaplikasikan ke lahan pertanian. Phytotoxic berhubungan dengan ketidakmatangan kompos dan reduksi dari asam organik yang berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman (Mitelut dan Popa, 2011). Semakin tinggi ekstrak kompos semakin kecil nilai germination index (Tabel 3.). Semakin tinggi nilai germination index maka kompos bersifat tidak toksik dan tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Hal ini membuktikan bahwa kompos pada ekstrak 75% dan 100% belum layak untuk diaplikasikan ke tanaman karena dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Tingkat phytotoxic untuk keseluruhan kompos adalah Phyt kompos 100% > Phyt kompos 75% > Phyt kompos 50%. 76
Tabel 3. Hasil Germination Index No. Sampel Germination Index 1. Ekstrak kompos 50% 142,89% 2. Ekstrak kompos 75% 29,41% 3. Ekstrak kompos 100% 5,56% Studi Aliran Massa Keseimbangan massa (input/output aliran massa) dari proses degradasi anaerob bermanfaat untuk memahami kesetimbangan karbon dan nutrisi; mengukur hasil biodegradasi dan efisiensi proses; mengevaluasi kontribusi dari proses degradasi anaerob pada siklus unsur terutama ketika hasil degradasi anaerob diterapkan untuk lahan pertanian (Schievano dkk., 2011). Kesetimbangan karbon organik merupakan jumlah karbon organik pada awal proses sama dengan karbon organik pada akhir proses. Karbon organik pada awal proses adalah karbon organik yang terdapat pada TKKS dan gas CO2 dalam reaktor. Karbon organik pada akhir proses adalah karbon organik yang tertahan pada TKKS, gas yang diemisikan (CO2 dan CH4) selama proses degradasi anaerob, dan karbon yang tidak teridentifikasi. Jika proses degradasi berlangsung sempurna maka nilai seluruh karbon organik yang terdegradasikan sama dengan gas yang diemisikan (CO 2 dan CH4). Karbon yang tidak teridentifikasi adalah karbon yang hilang / tidak diketahui dalam proses. Nilainya adalah selisih antara karbon yang didegradasi dengan karbon yang diemisikan. Nilai karbon yang tidak teridentifikasi dibandingkan dengan karbon yang seharusnya diemisikan disebut galat. Semakin besar nilai karbon yang tidak teridentifikasi maka semakin besar nilai galatnya. Pada penelitian ini tidak menghasilkan gas CH4 sehingga gas yang diemisikan hanya gas CO2. Nilai gas yang diemisikan akan dikonversi ke %C melalui rasio berat molekul. Gas CO2 yang memenuhi ruang kosong reaktor tepat diawal proses degradasi anaerob, terukur sebesar 0,0168 ppm . Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi CO2 ambient yaitu sebesar 365 ppm (Jacob, 1999). Jika nilai gas CO 2 dikonversikan ke %C maka hasilnya 4,58 x 10 -7. Aliran massa karbon organik selama proses degrdasi anaerob TKKS disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Aliran Massa Karbon Organik TKKS
Minggu 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
%C TKKS input 89,83 77,66 60,94 39,10 38,90 34,00 29,61 27,74 25,70 24,35 22,70
%C udara input
%C yang tertahan
4,58 x 10-7 0,66 2,26 2,18 0,46 0,35 0,28 0,33 0,20 0,16 0,06
77,66 60,94 39,10 38,90 34,00 29,61 27.74 25,70 24,35 22,70 22,23
%C emisi 4,70 10,08 17,68 3,70 4,50 4,06 1,82 1,89 1,27 1,55 0,44
77
%C tidak teridentifikasi
Galat
7,47 7,31 6,42 -1,32 0,85 0,68 0,33 0,48 0,28 0,26 0,09
61,40 39,74 19,04 -1714,61 8,05 7,51 2,59 7,46 6,08 6,02 6,65
Minggu 11 12 13
%C TKKS input 22,23 21,91 21,20
%C udara input
%C yang tertahan
0,04 0,04 0
21,91 21,20 21,20
%C emisi
%C tidak teridentifikasi
Galat
0,06 0,07 0
6,35 3,71 0
0,30 0,69
0
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
%C emisi
% C TKKS
Pada awal proses degradasi hingga minggu ke 3, nilai %C organik yang terdegradasi dengan %C yang diemisikan memiliki selisih yang besar sehingga nilai karbon yang tidak teridentifikasi juga besar. Hal ini berakibat pada nilai galat yang besar. Ketidaksetimbangan karbon organik yang pertama disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Penurunan konsentrasi karbon organik TKKS dan peningkatan karbon yang diemisikan merupakan bukti bahwa proses degradasi oleh mikroorganisme telah berlangsung (Gambar 2.).
0
1
2
3
4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 Minggu ke%C TKKS %C emisi
Gambar 2. Perbandingan %C TKKS dengan %C yang Diemisikan Mikroorganisme membutuhkan karbon organik untuk pertumbuhan dan pembentukan sel baru. Pada tahap awal proses degradasi nilai karbon organik terukur sebesar 89,83%. Penurunan karbon organik sangat signifikan terjadi hingga minggu ke 3 dengan total penurunan sebanyak 50,73% yang menunjukkan bahwa aktivitas mikroorganisme berada pada fase exponensial. Pada fase ini karbon organik yang diemisikan juga meningkat hingga 17,68%. Karbon organik yang didegradasi tidak seluruhnya diemisikan namun digunakan sebagai substrat metabolisme bagi pertumbuhan dan pembentukan sel baru. Hal ini ditandai adanya pertumbuhan mikroorganisme yang diduga Actinomycetes pada media TKKS. Seiring dengan berjalannya waktu substrat akan habis dan mikroorganisme akan berada pada fase statis kemudian fase kematian. Hal ini terbukti bahwa setelah minggu ke 3 proses degradasi berjalan lambat hingga kadar karbon organik mencapai 21,20% pada akhir proses degradasi anaerob dan gas yang dihasilkan terus menurun diiringi dengan nilai galat yang menurun. Dari keseluruhan proses degradasi anaerob, karbon organik yang telah didegradasi sebanyak 76,40% dan 23,6% masih tertinggal karena tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Menurut Schievano dkk., 2011, efektivitas biodegradasi sebesar 69-80% pada proses degradasi anaerob dan sebanyak 10-40% dari karbon organik tidak ditranformasikan menjadi biogas karena material organik tersebut tidak bisa untuk didegradasi secara biologi. Penyebab kedua 78
dari ketidaksetimbangan karbon organik adalah adanya produk asam-asam organik yang tidak terukur. Pada proses ini tidak dihasilkan gas CH4 sehingga diperkirakan proses yang terjadi berada pada fase acetogenesis yang menghasilkan asam-asam organik dan karbondioksida. Model aliran massa keseluruhan proses degradasi anaerob terdapat pada Gambar 3. 89,83%C dari limbah TKKS dan 4,58 x 10-7%C udara sebagai input awal yang masuk ke dalam sistem. %C udara yang diemisikan keluar sistem sebesar 52,67%C sedangkan karbon organik yang tetap berada dalam sistem adalah 21,20% C yang tertahan dan 15,96% karbon yang tidak teridentifikasi. Nilai galat untuk keseluruhan proses degradasi anaerob sebesar 23,26%. 4,58 x 10-7% C udara input
52,67% C yang diemisikan
21,20 % C yang tertahan 89,83% C TKKS input
Dan 15,96% C yang tidak teridentifikasi
Gambar 3. Model Aliran Masa C Organik dari Degradasi Anaerob TKKS
KESIMPULAN Proses degaradsi anaerob dapat direkomendasikan untuk pengolahan limbah TKKS. Kompos hasil degradasi anaerob memenuhi 5 dari 8 parameter standar SNI 197030-2004 dan Permentan No. 70 Tahun 2011 yaitu kadar air, temperatur, pH, nitrogen dan karbon. Sedangkan parameter rasio C/N, bau dan warna masih belum terpenuhi. Tingkat phytotoxic untuk keseluruhan kompos adalah Phyt kompos 100% > Phyt kompos 75% > Phyt kompos 50%. Model aliran massa karbon organik dari degradasi anaerob TKKS adalah 89,83%C dari limbah TKKS dan 4,58 x 10-7%C udara akan diemisikan ke udara sebesar 52,67%C, karbon yang tetap berada dalam sistem sebesar 21,20% C yang tertahan dan karbon yang tidak teridentifikasi sebanyak 15,96% (galat 23,26%). Topik untuk penelitian selanjutnya meliputi aplikasi kompos TKKS hasil degradasi anaerob ke dalam tanah dan potensinya untuk karbon sequestarion tanah.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didukung dan dibiayai oleh Program Desentralisasi DIKTI 2012. Daftar Pustaka CSIRO. 2011. Soil Carbon : The Basic. http://www.csiro.au/resources/soil-carbon diakses pada tanggal 11 Oktober 2012 Cui, Z, Shi, J, Li,Y. 2011. Solid-State Anaerobic Digestion of Spent Wheat Straw from Horse Stall. Elsevier Bioresource Technology 102 page 9432–9437 Isroi. 2008. Cara Mudah Mengomposkan Tandan Kosong Kelapa Sawit. http://isroi.wordpress.com/2008/02/25/cara-mudah-mengomposkan-tandan-kosong-kelapa-sawit/ diakses pada tanggal 14 desember 2011
79
Isroi. 2009. Jamur Ditumpukkan TKKS. http://isroi.com/2009/02/17/jamur-di-tumpukan-tkks-2/ diakses pada tanggal 11 Juli 2012 Jacob, D.J. 1999. Introduction to Atmospheric Chemistry. Princeton University Press. New Jersey Law, K.N., Daud, W.RW., Ghazali, A. 2007. Morphological and Chemical Nature of Fiber Strands of Oil Palm Empty Fruit Bunch. BioResources 2 (3) page 351-362 Li, Y, Park, S.Y, Zhu, J. 2011. Solid-State Anaerobic Digestion for Metane Production from Organic Waste. Elsevier Renewable and Sustainable Energy Reviews 15 page 821–826 Mitelut, A.C. dan Popa, M.E. 2011. Seed Germination Bioassay for Toxicity Evaluation of Different Composting Biodegradable Materials. Romanian Biotechnological Letters, Vol. 16, No. 1 Supplement Mohammad, N, Alam, M.Z, Kabbashi, N.A, Ahsan, A. 2012. Effective Composting of Oil Palm Industrial Waste by Filamentous Fungi : A Review. Elsevier Resources, Conservation and Recycling 58 page 69-78 O-Thong,S, Boe, K, Angelidaki, I. 2012. Thermophilic Anaerobic Co-Digestion of Oil Palm Empty Fruit Bunches with Palm Oil Mill Effluent for Efficient Biogas Production. Elsevier Applied Energy 93 page 648–654 Patthanaissaranukool,W, Polprasert,C, Englande Jr, A.J. 2013. Potential Reduction of Carbon Emissions from Crude Palm Oil Production Based on Energy and Carbon Balances. Elsevier Applied Energy 102 page 710–717 Pimenidou, P dan Dupont, V. 2012. Characterisation of Palm Empty Fruit Bunch (PEFB) and Pinewood Bio-Oils and Kinetics of Their Thermal Degradation. Elsevier Bioresource Technology 109 page 198– 205 Roliadi, H dan Fatriasari, W. 2000. Kemungkinan Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit sebagai Bahan Baku Pembuatan Papan Serat Berkerapatan Sedang. http://www.fordamof.org/files/kemungkinan%20pemanfaatan%20tandan%20kosong%20kelapa%20sa wit.pdf diakses pada tanggal 14 desember 2011-12-05 Schievano,A, D’Imporzano, G, Salati, S, Adani,F. 2011. On-Field Study of Anaerobic Digestion Full-Scale Plants (Part I): An On-Field Methodology to Determine Mass, Carbon and Nutrients Balance. Elsevier Bioresource Technology 102 page 7737–7744 Singh, R.P, Embrandiri,A, Ibrahim, M.H, Esa, N. 2011. Management of Biomass Residues Generated from Palm Oil Mill: Vermicomposting a Sustainable Option. Elsevier Resources, Conservation and Recycling 55 page 423-434 Uemura,Y, Omar, W, Othman, N.A, Yusup, S, Tsutsui,T. 2013. Torrefaction of Oil Palm EFB in The Presence of Oxygen. Elsevier Fuel 103 page 156-160.
80