Algoritma Genetika Untuk Menyelesaikan Permasalahan Multi Criteria Grouping Composition dalam Cooperative Learning Dae Rezky Rahadian1,Achmad Jazidie2, Yusuf Bilfaqih3 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 60111. e-mail: {1dae_rezky,2jazidie,3bilfaqih}@elect-eng.its.ac.id
Abstrak βPerkembangan e-learning telah menuntut adanya sebuah interaksi sosial di dalamnya. Dalam interaksi tersebut, salah satu komponen terpenting adalah Cooperative Learning. Coopeative Learning merupakan sebuah motode pembelajaran yang menggunakan kelompok belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam tugas akhir ini, akan dibahas penggunaan pendekatan algoritma genetika sebagai metode untuk mendapatkan komposisi keanggotaan kelompok belajar bersama yang efektif. Untuk menyusun sebuah kelompok belajar yang efektif terlebih dahulu akan diselidiki berbagai berbagai faktor yang mempengaruhi kesuksesan sebuah kelompok belajar, seperti: kepentingan pribadi, prestasi, motivasi dan metode belajar masing-masing pembelajar. Setelah diperoleh, kriteria-kriteria pengelompokan tersebut akan di formulasikan ke dalam model matematika yang representatif, berupa sebuah fungsi objektif dan beberapa fungsi kendala (kriteria). Dengan menggunakan operator algoritma genetika seperti: seleksi, persilangan dan mutasi akan diperoleh komposisi keanggotan yang memenuhi fungsi tujuan di atas. Sedangkan fungsi kendala akan digunakan sebagai dasar inisialisasi populasi awal. Hasil penelitian ini akan mengungkap seberapa efektif algoritma genetika dapat digunakan sebagai untuk metode penyusunan keanggotaan kelompok belajar bersama. Keywords: e-learning, Algoritma Genetika. 1.
Coopeative
Learning,
PENDAHULUAN
Dengan berkembangnya teknologi, pembelajaran berbasis web atau yang lebih dikenal dengan e-learning (e-pembelajaran) telah menjadi sebuah model pembelajaran yang populer.Hal ini dikarenakan kemampuan e-pembelajaran menembus keterbatasan ruang dan waktu. E-pembelajaran sangat mendukung distance learning (pembelajaran jarak jauh).Selain itu e-pembelajaran juga sangat mendukung fleksibilitas pembelajaran karena umumnya bersifat self learning. Dengan demikian pembelajar dapat mengatur sendiri bagian-bagian dari materi ajar yang dapat dipelajari dalam waktu singkat dan bagian-bagian lain yang dipelajari dalam waktu yang lebih lama. Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan dari model pembelajaran ini. Salah satunya adalah interaksi sosial yang minim di antara pengajar
dan pembelajar.Kelemahan ini dapat diatasi dengan meningkatkan penggunaan teknologi dan menciptakan sebuah model pembelajaran bersama dalam epembelajaran atau yang sering disebut cooperative learning. Cooperative learning merupakan sebuah metode pembelajaran dimana para pembelajar akan diorganisasikan ke dalam beberapa kelompok kecil sehingga mereka dapat melakukan kegiatan belajar bersama. Hal ini bertujuan memaksimalkan performa belajar tiap-tiap anggota kelompok. Cooperative learning secara umum dapat memaksimalkan hubungan positif dan prestasi belajar siswa [1]. Namun sayangnya menurut [1] sebuah metode untuk melakukan pengelompokan cooperative learning belum banyak didiskusikan. Selain itu, dengan meningkatnya jumlah pembelajar yang mengikuti aktivitas pembelajaran akan menyulitkan pengajar mengelompokkan pembelajar menurut kriteria tertentu dalam waktu yang singkat. Untuk itu perlu dikembangkan sebuah metode yang dapat menyelesaikan permsalahan ini. Inti dari cooperative learning adalah kelompok belajar.Kesuksesan sebuah cooperative learning bergantung dari organisasi kelompok yang dibentuk.Sebuah kelompok belajar yang terstruktur dengan baik menghasilkan pencapaian performa belajar yang lebih baik daripada kelompok belajar yang disusun secara acak [1]. Menurut [2] sebuah kelompok belajar yang efektif jika dan hanya jika beranggotakan 2-6 orang per kelompok dan mengakomodasi beberapa kriteria pengelompokan, seperti: kepentingan pribadi, prestasi belajar, motivasi dan metode belajar masing-masing pembelajar. Permasalahan ini merupakan sebuah permasalahan Multi Criteria Group Composition (MCGC) [3]. Dalam permasalahan MCGC kriteria pengelompokan merupakan sekumpulan karakteristik pembelajaran tiap-tiap pembelajar yang menjadi dasar aturan pengelompokan. Kriteria ini akan diformulasikan ke dalam beberapa fungsi kendala. Dalam pada itu, parameter keberhasilan pengelompokan diformulasikan dalam sebuah fungsi objektif.Solusi permasalahan MCGC merupakan sebuah nilai optimum dari fungsi objektif.Nilai optimum ini merepresentasikan susunan terbaik keanggotaan kelompok. Permasalahan MCGC merupakan salah satu contoh permasalahan optimasi kombinasi [4]. Permasalahan optimasi kombinasi dapat dipandang
sebagai sebuah upaya mencari elemen terbaik dari beberapa himpunan keanggotaan diskrit. Untuk menyelesaikan permasalahan optimasi kombinasi dapat digunakan search algorithm dan metaheuristic [5]. Permasalahan MCGC merupakan permasalahan NP-Hard karena dalam permasalahan ini sejumlah kriteria pengelompokan harus diakomodasi bersamaan dalam pencarian solusi terbaik [6].Karena permasalahan MCGC merupakan permasalahan NPHard, maka solusi yang dapat digunakan adalah solusi meta-heuristic. Metode meta-heuristic sangat populer digunakan karena metode ini umumnya dapat menemukan sebuah solusi optimal yang mendekati nilai solusi global, dan dalam beberapa kasus, solusi tersebut merupakan solusi akhir yang bersifat optimal global. Ada berbagai metode meta-heuristik seperti: genetic algorithm (GA), ant colony (AC), Honey bee (HB), Firefly, particle swarm optimization (PSO), Tabu search (TS),[7] 2.
PERUMUSAN MASALAH
Pembelajaran dengan model kooperatif telah terbukti lebih menjanjikan hasil yang baik dibandingkan model pembelajaran individualis. Namun demikian, untuk mendesain sebuah kelompok belajar kooperatif yang valid bukan merupakan sesuatu yang mudah. Hal ini disebabkan beragamnya sifat dan karakter serta potensi akademik yang dimiliki masing-masing pelajar. Kombinasi sifat dan potensi akademik pembelajar ini akan menetukan keberhasilan sebuah pembelajaran kooperatif. Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah mengidentifikasi berbagai macam sifat dan atau potensi akademik pembelajar yang mempengaruhi kesuksesan pembelajaran kooperatif. Hasil identifikasi ini berupa sebuah nilai kuantitatif yang mewakili potensi seorang pembelajar untuk berintegrasi dengan pembelajar lain dalam sebuah kelompok. Untuk mengolah data hasil identifikasi ini akan digunakan sebuah fungsi objektif, dimana fungsi ini memiliki tujuan meminimalkan kesenjangan potensi pembelajar-pembelajar antar dua kelompok berbeda. Formula ini akan dimplemetasikan pada sebuah modul aktifitas pada sistem pembelajaran epembelajaran LMS Moodle. Pada bagian akhir aplikasi ini akan diuji menurut parameter-parameter tertentu. 3.
TUJUAN DAN MANFAAT
Pada Tujuan utama dari tugas akhir ini adalah membuat sebuah aplikasi pengelompokan kelompok belajar untuk menunjang pembelajaran kooperatif. Tujuan ke dua adalah mengembangkan sistem pembelajaran kooperatif pada E-pembelajaran LMS Moodle.
4.
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif) 4.1.1 Pengertian Pembelajaran kooperatif Dalam beberapa waktu belakangan Pembelajaran Kooperatif telah mendapat perhatian luas. Hal ini dikarenakan banyaknya bukti empiris yang membuktikan kesuksesan penggunaan model pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan performa pembelajaran. Pembelajaran kooperatif menurut [11] didefinisikan sebagai kelompok-kelompok kecil pembelajar yang saling bekerjasama sebagai sebuah tim untuk memecahkan permasalahan, menyelesaikan tugas dan atau mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif membutuhkan kerjasama dan saling ketergantungan. Ide dasar dari hal ini adalah pelajaran didesain dalam bentuk sedemikan rupa sehingga pembelajar harus saling bekerjasama dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran mereka. Efek dari aktivitas pembelajaran kooperatif telah dibuktikan dapat meningkatkan prestasi akademik pembelajar. Dalam mempertimbangkan efek-efek dari pembelajaran kooperatif pada pencapaian prestasi, para peneliti telah berulangkali menguji efektivitas pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran individualistik. Dari hasil penelitian [12] diperoleh hasil bahwa pembelajaran kooperatif mendukung pencapaian prestasi yang lebih tinggi dan kemampuan daya ingat yang lebih baik dibandingkan pembelajaran individualistik. Pembelajaran kooperatif meningkatkan kemampuan akademik, hal ini juga mempengaruhi sikap pembelajar secara positif. 4.1.2 Pengelompokan Pada Pembelajaran Kooperatif Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, ada beberapa variasi dari model pembelajaran ini. Pelopor dan pengembang pembelajaran kooperatif antara lain Robert Slavin, Roger dan David Johnson, serta Spencer Kagan. Mereka menggunakan model pendekatan dan penekanan yang berbeda-beda untuk membangun pembelajaran kooperatif. [13] fokus pada pengembangan struktur spesifik yang dapat tergabung dalam berbagai kurikulum dengan sebuah penekanan pada integrasi kemampuan sosial pada tugas akademik. Kagan fokus pada penggunaan banyak struktur berbeda untuk membantu memfasilitasi pembelajaran aktif, pembentukan tim, keterampilan berkelompok. Slavin bekerja memanfaatkan metode dari kedua peneliti di atas dan telah menghasilkan pengembangan dari sebuah struktur pembelajaran spesifik. Kriteria yang digunakan sebagai dasar pengelompokan telah menjadi sebuah isu menarik yang harus diperhatikan. Hal ini karena menurut [14] pengelompokan kelompok pembelajaran kooperatif yang menggunakan berbagai kriteria yang berbeda
akan mempengaruhi performa pembelajaran dan tingkah laku sosial pembelajar. [2] mengusulkan jumlah anggota kelompok pembelajaran yang ideal adalah 2 sampai 6 orang. Selain itu, dalam menyusun sebuah kelompok belajar perlu diakomodasi beragam kriteria seperti kepentingan masing-masing pribadi, orientasi motivasi, pencapaian prestasi dan jender. Untuk menguji tingkat motivasi seseorang, dapat digunakan mekanisme kuisioner. Kuisioner ini akan berisi serangkaian pertanyaan yang harus dijawab oleh pembelajar dan kemudian jawaban pertanyaanβpertanyaan tersebut diolah untuk menghasilkan sebuah nilai kuatitatif motivasi seorang pembelajar. Untuk itu, dibutuhkan sebuah formula untuk menyelaraskan penggunaan kriteria terhadap aktivitas maupun karakteristik kelompok belajar.(Web, Baxter & Tompson) mengusulkan pentingnya ekuitas dalam pembelajaran dan tingkah laku sosial dalam kelompok heterogen.Ia menekankan bahwa seluruh pembelajar harus berpartisipasi dan belajar mengesampingkan persaingan, jenis kelamin dan perbedaan level prestasi dalam pembelajaran. Menurut [17] kombinasi dari pembelajar dengan latar belakang prestasi yang berbeda (heterogen) dalam sebuah kelompok belajar akan merugikan pembelajar dengan prestasi yang lebih tinggi, karena pembelajar lain dengan prestasi lebih rendah dapat βmemanfaatkanβ kepintaran pembelajar lain. Namun demikian, menurut [16], pembelajar dengan tingkat prestasi lebih tinggi tetap menunjukkan performa yang apik baik saat berada dalam kelompok homogen atau kelompok heterogen.Selain itu, Webb juga menemukan fakta bahwa pada kelompok heterogen pembelajar dengan prestasi lebih rendah menunjukkan aktivitas belajar yang lebih baik daripada saat berada dalam kelompok homogen. Berikut ini merupakan tabel yang akan menunjukkan penggunaan kriteria dalam pengelompokan yang diadaptasi dari [15]. Tabel 1 Kriteria Penjelasan Tujuan Pengelompokan Acak Pembelajar Untuk dikelompokkan mencapai tanpa berdasar keberagaman kriteria tertentu sosial dan prestasi akademik Kriteria tertentu Pembelajar Pembelajar dikelompokkan dapat belajar berdasar aturan secara nyaman tertentu dengan adanya pemilihan komposisi anggota kelompok Prestasi belajar Pembelajar Prestasi dikelompokkan akademik yang secara heterogen akan
Kemampuan sosial (aktif, pasif dll)
heterogen berdasarkan prestasi akademik tertentu Pembelajar dikelompokkan berdasarkan potensi sosial yang dimiliki
membantu perkembangan pembelajaran di dalam kelompok Kemampuan sosial yang berbeda untuk mengadaptasi karakteristik pembelajaran yang berbedabeda.
4.2 Web Based Learning E-learning merupakan segala bentuk aktivitas pembelajaran dan pengajaran yang menggunakan sarana teknologi elektronik. Sarana elektronik yang dimaksud dapat berupa tv, radio, televisi dan lain-lain. Namun dalam perkembanganya istilah e-learning lebih merujuk pada penggunaan komputer dan jaringanya sebagai platform e-learning.Hal ini pada awalnya dikembangkan oleh Patrick Suppers dan Richard Atkinson dari Universitas Stanford.Mereka mengujicobakan sebuah perangkat komputer untuk mengajarkan matematika pada siswa sekolah dasar. Model pembelajran ini kemudian distilahkan dengan computer-based learning. Pada model ini belum dimungkinkan adanya cooperative learning. Setelah melalui berbagai pengembangan pembelajaran computer-based berkembang menjadi computer supported collaborative learning (CSCL), yang ditandai adanya fasilitas virtual classroom. Virtual classroom merupakan sebuah aplikasi perangkat lunak yang memfasilitasi pengajar dan pembelajar untuk melakukan aktivitasnya secara virtual melalui komputer. Dengan semakin berkembangkanya teknologi World Wide Web, E-learning berkembang menjadi sebuah Web Based Learning. Menurut harold F. Oneil dan Ray S. Perez pada (web based learning, theory and research and practice) istilah web based learning mengandung sejumlah makna. Namun sebuah pengertian yang sering digunakan adalah sebuah teknologi pembelajaran yang isinya ditanamkan pada sebuah web site tertentu dan menjalankan aktivitasnya dalam lingkungan internet. Aktor-aktor maupun sarana minimal yang terlibat di dalmnya antara lain: pembelajar dan pengajar serta sebuah virtual classroom.
Gambar1. Arsitektur Web Based Learning 4.2.1 LMS Moodle Saat ini banyak E-learning yang menggunakan prisnsip CSCL.Salah satu perangakat lunak yang menggunakan prinsip CSCL adalah Learning Management System Modular ObjectOriented Dynamic Learning Environment (LMS Moodle).Perangkat lunak ini bersifat open source sehingga kita dapat ikut mengembangkannya. Kelebihan lain yang dimiliki Moodle adalah memiliki kefungsian yang banyak, dapat dioperasikan secara mudah dan sangat berkembang dikalangan pemgembang E-pembelajaran. Ia didesain untuk membantu para pengajar untuk membuat kursus online dengan interaksi yang relatif banyak. Semua informasi terkait dokumentasi dan pengembangan moodle dapat diakses melalui situs http://www.moodle.org. LMS Moodle memiliki beragam fitur yang diperlukan oleh E-pembelajaran dan konstruksi modular sehingga dapat diperluas dengan membuat plugins untuk fungsi spesifik yang baru.Salah satu contoh paling sederhana adalah LMS Moodle mengizinkan penambahan modul aktivitas baru untuk fungsi tambahan yang belum tersedia. Pada Tugas Akhir ini akan dimanfaatkan fasilitas update module activity untuk membangun pengelompokan kelompok belajar multi kriteria menggunakan algoritma genetika. 5
PERANCANGAN DAN HASIL SIMULASI
Pada bagian ini dijelaskan hal-hal teknis dalam menyusun program aplikasi Algoritma Genetika utuk menyelesaikan permasalahan MCGC DAN menampilkan hasil simulasi program tersebut. 5.1
Algoritma Genetika Untuk Mengatasi Permasalahan MCGC
5.5.1 Pengkodean Kromosom Dalam Ga, sebuah kromosom merepresentasikan sebuah kandidat solusi untuk permasalahan. Untuk formulasi permasalahan MCGC , aturan tradisional pengkodean biner akan menggunakan matriks mxr vector biner π= [π₯11 , π₯12 , β¦ , π₯21 π₯22 , β¦ , ππ1 , π₯12 , β¦ , π₯ππ ]. Namun demikian , kendala (3) menyatakan bahwa setiap pembelajar harus dikelompokkan hanya dalam satu kelompok, kemudian hanya m bits dari X memiliki
nilai 1 dan untuk bits m(r-1) memiliki nilai nol, menghasilkan sebuah vektor ruang X. Daripada menggunakan pengkodean matriks π Γ π akan digunakan sebuah metode pengkodean kromosom lain yang akan menggunakan representasi π= [π¦1 , π¦2 , β¦ , π¦π ]. Metode ini dapat mengurangi penggunaan memori yang akan mengefisienkan waktu komputasi. π¦π β 1, π adalah sebuah nilai integer yang mengindikasikan indeks dari kelompok belajar yang mana ππ di tempatkan. Keuntungan dari metode pengkodean kromosom ini dari mtode pengkodean tradisional adalah: (1) memori penyimpanan yang digunakan dan kompleksitas pengkodean dapat dikurangi. (2) kendala pad persamaan (2) dan (3) secara implicit dapat dipenuhi karena π₯ππ = 1 untuk π = π¦π dan π₯ππ = 0 untuk βπ β π¦π . Dengan pengkodean ini setiap pembelajar tepat akan dikelompokan hanya dalam satu kelompok. Untuk memastikan kendala pada persamaan (4) dipenuhi, yang menyebutkan bahwa perbedaan antara jumlah pembelajar dalam kelompok-kelompok berbeda tidak lebih dari satu, akan di gunakan aturan pengelompokkan baik elemen-elemen [π/π] atau [π/π]+1 dari Y dapat mengambil nilai yang sama secara bersamaan ketika membangkitkan kromosom populasi awal. Sebagai ilustrasi, sebuah kromosom [2,1,1,3,2,3] mengindikasikan komposisi pengelompokkan dimana pembelajar ke-2 dan ke-3 didelegasikan ke kelompok pertama, murid ke-1 dan ke-5 didelegasikan pada kelompok ke dua dan pembelajar ke-4 dan ke-6 didelegasikan pada kelompok ke tiga. 5.1.2 Fungsi Kepantasan (Fitness Function) Untuk mengevaluasi kefitnessan setiap kromosom, kita perlu mendefenisikan sebuah fungsi kefitnessan untuk menaksirkan seberapa baik solusi yang dikodekan dari kromosom penyelesaian.Fungsi objektif π π₯ππ dapat digunakan untuk menaksir kualitas dari setiap kromosom Y. Semakin kecil perbedaaan antara nilai rata-rata antara dua kelompok berbeda yang dibangun oleh kromosom, maka semakin baik kualitas kromosom dari Y.namun demikian nilai ini didiskreditkan jika solusi yang dikodekan dari Y merusak kendala(5). Kemudian kita menurunkan kefitnessan dari Y dengan menggunakan fungsi penalty: ππππππ‘π¦ π₯ππ = π β
π π =1
π π=1 πππ
1,
π 1=1 π₯ππ πΏππ
π
(6)
Fungsi penalty ini akan menghitung rata-rata jumlah dari konsep-konsep yang telah dikenal dengan angoota-anggota kelompok yang sama dan mengurangi jumlah ini dari n (jumlah total konsep). Karenanya, semakin sedikit jumlah konsep yang dipelajari setiap kelompok , semakin besar penalty yang diberikan terhadap solusi yang membangun pengelompokkan. Fitnees function didefenisikan sebagai: πΉππ‘πππ π π = 1 β πΌ Γ π π₯ππ
2
β π½ Γ ππππππ‘π¦ π₯ππ
(7)
Dikarenakan nilai dari fungsi objektif dan fungsi penalty berada dalam rentang 0 β€ π π₯ππ β€ πΉdan 0 β€ ππππππ‘π¦ π₯ππ β€ π, dimana F adalah nilai maksimum anggota pembelajar, akan diadopsi parameter normalisasi πΌ πππ π½ untuk mentransformasikan nilai dari keduanya yang berbeda tersebut ke dalam rentang nilai yang sama [0.0 β 1.0]. dengan demikian, nilai fitness tidak akan didominasi dengan sebuah nilai yang sangat besar baik itu F atau n. kemudian, akan digunakan sebuah bentuk kuadratik pada πΌ Γ π π₯ππ dan sebuah bentuk linier π½ Γ ππππππ‘π¦ π₯ππ untuk menurunkan dampak fungsi objektif atas kefitnessan dan meningkatkan pengaruh fungsi penalty. Dengan demikian solusi tidak layak dapat dihindari sedari awal setelah memulai evolusi. Ketika seluruh solusi dalam kromosom populasi menjadi layak (nilai Γ ππππππ‘π¦ π₯ππ = 0), evolusi berubah menjadi nilai dari πΌ Γ π π₯ππ sebanyak mungkin untuk meminimalisasi kefitnessan. Karenanya, semakin besar nilai kefitnessan dari kromosom Y, semakin baik kualitas solusi yang berkorespondensi.Fungsi kefitnessan menyediakan sebuah dasar perbandingan untuk menghasilkan yang bertahan dari aturan fittest. Sebagai contoh , misalkan sebuah nilai F terbesar dadalah F=100 dan jumlah dari total konsep n=10, maka kita dapat menetukan nilai parameter ternormalisasi πΌ = 0.01 dan π½ = 0.01 agar sesuai dengan rentang yang diharapkan [0.0 β 1.0]. 5.1.3 Seleksi (Selection) Proses seleksi ini menetapkan bahwa individu yang lebih adaptif atau fit terhadap lingkungan lebih disukai untuk bertahan. Berdasarkan eksperimen awal, kitada telah memutuskan untuk menggunakan seleksi roullete wheel daripad skema solusi lain seperti tournament. Hal ini karena roullete wheel dapat menyaring degan lebih cepat kromosom yang tidak fit yang mana kromosom ini menghasilakn solusi yang tidak layak. Dikarenakan MCGC merupakan sebuah permasalahan dehan kendala yang sangat ketat, dimana setiap konsep harus telah dipelajari oleh minimal satu orang pembelajar dalam sebuah kelompok pembelajaran, sangat sulit untuk melakukan evolusi ketika banyak solusi tidak layak hadir dalam populasi.Seleksi roullete wheel secara efektif dapat membedakan antara feasible dan infeasible solusi dan lebih cocok dengan skenario MCGC. Misalkan dalam sebuah populasi terdapat kromosom π¦1 , π¦2 , π¦3, π¦4 yang masing-masing memiliki 0.75,0.80,0.30,dan 0.20. Probabilitas seleksi dari dihitung dengan mengunakan formula 0.75/(0.75+0.80+0.30+0.20) = 0.37. Dengan menggunakan formula yang sama diperoleh masingmasing probabilitas seleksi secara berturut-turut adalah 0.39,0.15,dan 0.09. Dengan hasil tersebut maka dua kromosom yang dengan nilai probabilitas tertinggi akan melangsungkan, sedangkan dua kromosom yang memiliki nilai terendah akan dihilangkan dari
perhitungan. 5.1.4 Kawin Silang (Crossover) Crossover mengizinkan kromosomkromosom yang berada dalam mating pool saling bertukar materi genetik sehingga kombinasi gen-gen yang lebih baik dapat dihadirkan pada keturunan mereka.Dalam istilah optimasi, crossover memberikan kemampuan algoritma genetika untuk memperpanjang eksplorasi meunuju fitness rata-rata dari populasi. Dalam sistem ini akan dikembangkan sebuah operator crossover untuk mengakomodasi kendala-kendala yang dimunculkan dalam problema MCGC. Operator crossover ini memiliki beberapa fitur unik dibandingkan operator crossover tradisional Langkah 1: misalkan terdapat dua kromosom yang akan melakukan kawin, yaitu Yi dan Yj. Bangkitkan dua titik crossover, misalkan cross 1 dan cross 2. Diberikan nilai gen asli pad cross1 dan cross2 dari Yi adalah Yi(cross1) dan Yj(cross2), dan nilai gen pada cross1 dan cross2 dari Yj adalah Yj(cross1) dan Yj(cross2). Pertukarkan nilai gen pada cross1 dan cross2 antara Yi dan Yj. Langkah 2: Pilih sebuah gen lain dari Yi yang nilainya sama dengan Yi(cross), gantikan nilai teresebut dengan Yj(cross1). Juga pilih sebuah gen lain dari Yi yang nilainya sama dengan Yj(cross2). Sedemikian hingga jumlah pembelajar yang di alokasikan pada tiap kelompok tidak melanggar kendala sebagai akibat adanya operasi crossover. Langkah 3: Akan dilakukan langkah ke-2 pada kromosom Yj. Tujuan dari operator crossover adalah menggaransi keturunan yang dihasilkn operasi crossover masih memenuhi kendala(4), yang mana , perbedaan antara jumlah pembelajar sembarang dua kelompok tidak lebih dari satu. Tujuan dari operator crossover adalah menggaransi bahwa offspring yang dihasilkan dari operator crossover masih memenuhi fungsi kendala pers(4). Misalkan kromosom yang akan melakukan crossover adalah π¦π = [3, 1, 3,2,2,1]dan π¦π = [2, 1, 3,1,3,2]. Langkah pertama yang akan dilakukan adalah membangkitkan dua titik crossover yang secara random pada titik 1 dan 4. Nilai gen di antara dua kromosom bersesuaian dipertukarkan. Hasil dari crossover tersebut diperoleh π¦π = 2, 1, 3,1,2,1 dan π¦π = [3, 1, 3,2,3,2]. 5.1.5 Mutasi Mutasi merupakan sebuah perubahan gen yang terjadi secara tidak sering dan dilakukan dengan probabilitas rendah, Pm. Tujuanya adalah meningkatkan ragam gen pada populasi dan menghindari halangan dari local optima. Operator mutasi bekerja dengan beberapa tahapan. Nilai probabilitas mutasi yang digunakan dalam system ini adalah 0.01, yang berarti, misal dalam 100 generasi terdapat 1 generasi yang mengalami mutasi. Misalkan kromosom π¦π = 2, 1, 3,1,2,1 mengalami mutasi menjadi π¦π = 2, 2, 3,1,1,1 .
Hasil Simulasi
Waktu Komputasi Vs Jumlah Populasi
N 0
JUMLAH GENERASI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
100
JUMLAH POPULASI
100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
NILAI FITNESS 0.97564400 0.97539999 0.96306399 0.97827600 0.98918399 0.97823605 0.98363099 0.98749999 0.99493599 0.98459999
WAKTU KOMPUTAS I 1.578125 3.328125 4.687500 6.281250 7.953125 9.468750 11.09375 13.45821 14.40625 16.01563
Tabel diatas merupakan hasil simulasi yang dilakukan dengan parameter jumlah generasi 100 dan variabel berupa jumlah populasi. Nilai Fitness Vs Jumlah Populasi 1 nilai Fitness
0.99 0.98 0.97
1000
900
800
700
600
500
400
300
5.2.1 Simulasi Pertama Tabel 2. Hasil simulasi Pertama
100
Gambar 2.Tampilan hasil simulasi MCGC.
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 200
waktu komputasi
5.2
Jumlah Populasi Gambar 4. Grafik Jumlah Populasi vs Waktu Komputasi Dari grafik di atas diperoleh simpulan bahwa semakin tinggi jumlah populasi maka semakin besar waktu komputasi yang dibutuhkan. 5.2.2 Simulasi Kedua Tabel 3. Hasil Simulasi Kedua N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
JUMLAH POPULAS I 100
JUMLAH GENERASI
100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
NILAI FITNESS 0.96566399 0.97078400 0.96260400 0.98225600 0.97607599 0.98615600 0.97607600 0.98139999 0.99806399 0.98788400
WAKTU KOMPUTA SI 1.578125 3.187532 4.671875 6.252367 7.921875 9.544317 11.12503 12.75276 14.37591 16.06257
Tabel diatas merupakan hasil simulasi yang dilakukan dengan parameter jumlah populasi bernilai 100 dan variabel berupa jumlah generasi..
0.96 0.95 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
0.94
Nilai Fitness VS Jumlah Generasi 1
Jumlah Populasi
Dari diagram batang di atas diperoleh data bahwa nilai fitness terbesar diperoleh saat jumlah populasi bernilai 900 dan terendah saat jumlah populasi bernilai 300.
0.98 0.97 0.96 0.95 0.94 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Gambar 3. Diagram hubungan Nilai Fitness vs Jumlah Populasi
nilai Fitness
0.99
Jumlah Generasi Gambar 4. Diagram nilai fitness vs jumlah populas
Dari diagram batang di atas diperoleh data bahwa nilai fitness terbesar diperoleh saat jumlah generasi bernilai 900 dan terendah pada saat jumlah generasi bernilai 300
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 1000
900
800
700
600
500
400
300
200
Pada tampilan ini administrator dapat memasukan pertanyaan kuisioner untuk mengidentifikasi tingkat motivasi siswa. Selain itu terdapat pilihan untuk menyalin pertanyaan dari Pengelompokan MCGC yang sudah pernah dibangun. 3. Tampilan sisi pembelajar untuk melakukan respon terhadap kuisioner 100
waktu komputasi
Waktu Komputasi Vs Jumlah Generasi
Jumlah Generasi Gambar 5. Grafik hubungan jumlah generasi vs waktu komputasi Dari grafik di atas diperoleh kesimpulan bahwa semakin besar jumlah generasi maka semakin besar waktu komputasi yang diperlukan. 6
IMPLEMENTASI SISTEM
Implementasi yang dilakukan pada Moodle 1. Tampilan administrator untuk melakukan komposisi
Gambar di atas merupakan tampilan pada sisi pembelajar, dimana pembelajar akan merespon sejumlah pernyataan menurut pilihan respon yang tersedia. 7
PENUTUP
Bagian ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil tugas akhir yang telah diselesaikan. 7.1
Pada tampilan ini direncanakan administrator akan memasukan parameter yang diperlukan untuk melakukan pengelompokan, antara lain total generasi dan total populasi. Hasil dari tampilan ini ada nilai fitness dan hasil pengelompokan. 2. Tampilan administrator untuk melakukan masukan pertanyaan motivasi
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pengerjaan Tugas Akhir adalah sebagai berikut : 1. Algoritma Genetika dapat digunakan sebagai metode untuk menyusun keanggotaan kelompok belajar secara efektif. 2. Jumlah generasi maupun jumlah populasi yang akan dimasukan oleh admin pembelajaran harus diperhitungkan dengan cermat, mengingat semakin besar nilai keduanya, akan menyebabkan lamanya waktu komputasi yang dibutuhkan. 3. Modul Aktivitas MCGC dapat memperkaya Fitur aktivitas pada E-learning LMS Moodle. 7.2
Rekomendasi
Selain kesimpulan, beberapa rekomendasi juga diperlukan demi perkembangan penelitian terutama dalam bidang ITS di Indonesia. Rekomendasi dari penulis adalah : 1. Kriteria yang digunakan sebagai dasar perhitungan hendaknya dapat ditambah sehingga dapat meningkatkan keakuratan hasil pengelompokan.
2. Menggunakan algoritma meta heuristic yang lain sebagai pembanding, sehingga nantinya dapat diperoleh algoritma terbaik untuk melakukan mengatasi permasalahan MCGC. 3. Tampilan pada sisi pembelajar maupun admin atau pengajar hendaknya dapat dibuat lebih interaktif, sehingga tidak terkesan membosankan. DAFTAR PUSTAKA [1] Zurita, G., Nussbaum, M., & Salinas, R. (2005). Dynamic Grouping in Collaborative Learning Supported by Wireless Handhelds. Educational Technology & Society. [2] Slavin, R.E. (1989). Research on Cooperative Learning: consensus and controversy. Journal of the Educational Leadership. [3] Hwang, Gwo-Jen & Tsai, Chin-chung. (2008). An Enhanced Genetic Approach to composing Cooperative Learning Group for Multiple Grouping Criteria. Educattional Technology & Society. [4] Ralph, Ted. - . Solving Hard Combinatorial Problem : A research Overview. Departement of industrial and system engineeering, Lehigh University, Bethlehem. [5] http://en.wikipedia.org/wiki/Combinatorial_opti mization. [6] Lin, yen-ting, Huang, yueh-min, Cheng, shuchen. (2010). An Automatic Group Composition system for composing collaborative learning groups using enhanced particle swarm optimization. Department of Computer Science and Information Engineeering, Southern Taiwan University. [7] Sadjadi, Prof Seyed Jafar. (2010). Advances on using meta-heuristic to solve combinatorial problems. Iran University of Science & Technology. [8] Medsker, Karen L, dan Holdsworth, Kristina M,. (2001), Models and Strategies forTraining Design. About ISPI. Printed in United states of Amirica. [9] Goldberg, David E. (1989). Genetic Algorithm in Search, Optimization & Machine Learning. Pears Education, Inc. And Dorling Kindersley. [10] Bagchi, Tapan P. (1999). Multi Objective Scheduling by Genetic Algorithm. Kluwer Academic Publisher. [11] Arts, A.F.,Newman(1990).Cooperative Learning Mathematics Teacher.83,448-449 [12] Stevens,R.J., & Slavin, R.E. (1995).The Cooperative Elementary School: Effect on studentsβ achievement, attitudes, and social relations. American Educational Journal, 32, 321-351. [13] Johnson,D.,&Johnson, R. (1975). Learning together and alone. Englewood Clifts,NJ: Prentince Hall.
[14] Dalton,D.W., Hanafin M.J.,& Hooper S.(1989). Effects of individual and cooperative computerassisted instruction on student performance and attitudes. Educational Technology Research and Development, 37(2),15-24. [15] Race, P. (2000). 500 Tips on Group Learning. London: Kogan Page Ltd. [16] Webb, N., Baxter,G. &Thompson, L.(1997). Teachersβ grouping practices in fifth grade science classrooms.The educational world journal. 98(2), 91-113. [17] Leonard, J. (2001). How group composition influenced the achievement of sixth-grade mathematics students.Mathematics thinking and learning, 3, 175-200. [18] Walberg, H.J., Haertel G.D.,(1997). Psychology and educational practice. Berkeley. Mc Cuthan Publishing. [19] Keller, J.M., Motivational design instruction.1983.instructional-design theories and models. Pp(383-433).New York.Lawrence Elbaum Associates.