ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
Isolasi an Identifikasi Kitin, Kitosan dari Cangkang Hewan Mimi (Horseshoe Crab) Menggunakan Spektrofotometri Infra Merah. Dewi Nur Rizqiyah Rifai, 2007 ABSTRAK Penelitian tentang pengisolasian kitin telah banyak dilakukan pada cangkang rajungan dan cangkang udang. Konsentrasi reagen yang digunakan untuk mengisolasi kitin pada cangkang rajungan dan cangkang udang berbeda. Dilihat dari segi kekerasan cangkangnya, cangkang hewan mimi lebih keras dari pada cangkang rajungan dan cangkang udang sehingga perlu dilakukan metode isolasi kitin dari cangkang hewan mimi yang sesuai. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini ada 3 tahap. Pertama deproteinasi dengan variasi konsentrasi reagen NaOH 3,5 %, 4,5 %, 5,5 %, 6,5 % dan 7,5 %, kedua demineralisasi dengan variasi konsentrasi reagen HCl 1 M, 1,5 M, 2 M, 2,5 M, dan 3 M, ketiga deasetilasi dengan konsentrasi NaOH 50 %. Uji karakteristik kitin dan kitosan hasil isolasi dilakukan dengan IR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi optimum reagen NaOH pada proses deproteinasi sebesar 4,5 % dengan konsentrasi optimum protein yang dilepaskan sebesar 601 ppm. Konsentrasi optimum reagen HCl pada proses demineralisasi adalah 2,5 M dengan kadar abu yang tersisa dalam kitin sebesar 0,972 %. Derajat deasetilasi (D%) kitin sebesar 45,4 % sedangkan kitosan 50,5 %.
Kata kunci : hewan mimi, kitin dan kitosan.
143
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
The Isolation and The Identification of Chitin, Chitosan from Horseshoe Crab Shrimp Shell by Using Red Infra Spectroscopy Dewi Nur Rizqiyah Rifai, 2007 ABSTRACT This research is about the isolation of chitin which has be done on shrimp shell in Crab and Lobster. Reagen concentration which is used for chitin isolation on shrimp shell in Crab and Lobster are deffferent. It‟s can be seen from the hardness of shrimp shell, the Horseshoe Crab shrimp shell is harder than Crab and Lobster shrimp shell therefore it is done the isolation method of chitin from Horseshoe Crab appropriately. The method of this research use three phases. The first is deproteination with variation of NaOH reagen concentration on 3,5 %; 4,5 %; 5,5 %; 6,5 %; and 7,5 %. The second is demineralization with variation of HCL reagen concentration on 1 M, 1,5 M, 2 M, 2,5 M, and 3 M. And the third is deacetylation with 50% of NaOH concentration. The test characteristic of chitin and chitosan are the result of isolation which is done by Red Infra Spectoscopy. The result of this research shows that the optimum concentration of NaOH reagen on deproteination process is 4,5 % with optimum concentration of protein which is released is 601 ppm. The optimum concentration of HCl reagen on demineralization process is 2,5 M with dust rate remainder in chitin that is 0,972 %. The deacetylation of chitin degree (D%) is 45,5 %, while chitosan is 50,5 %. Key Words : Horseshoe Crab, Chitin and chitosan
144
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
"كتّٕه" َمماحهت عشل، ""كٕتُسان، ( "مٕمٓ" حُٕان قشزة مهHorseshoe Crab) " ٔىصزف ِ"إوفزامٕزاي" "سٕفٕكتزَفتُمٕتز َْرفاعّ رسقٕت وُر د انبحج مهخص ( انذِ مىصزف نعشلreagen) مبحج عه عشل كٕتٕه أكخز ٔعمم بقشزة انشزطان َرَبٕان تزكٕش محهُل قشزة حُٕان مٕمٓ أشذّ مه قشزة شزطان،ًمىظُر مه واحٕت تشذد قشزت. كٕتٕه عهّ قشزة شزطان َرَبٕان مختهف .َرَبٕان حتّ ٔحتاد عهّ مىٍاد عشل كٕتٕه مه قشزة حُٕان مٕمٓ معّٕه مىٍاد انبحج انذِ ٔىصزف مه ٌذا انبحج ،مائت5 ، 4،مائت5 ، NaOH 3 األَل دٔفزَتٕىاسّ بإختالف تزكٕش محهُل رٔجٕه،كان حالث مزاحال 2 ،5 M، 1، NaOH 1 M انخاوّ دٔمٕىٕزانٕساسّ بإختالف تزكٕش محهُل رٔجٕه،مائت5 ، 7َ مائت5 ، 6،مائت5 ،5 . مائتNaOH 50 انخانج دٔأسٕتٕالسّ بتزكٕش، 3 Mَ ،5 M، 2،M ّمىح حصُصّٕت كٕتٕه َ كٕتُسان حصُل عشل ٔىصزف ب إوفزامٕزاي حصُل بحج ٔذل أن تزكٕش حذ 601 بزَتٕه انذِ مفكُفُن ب. مائت بتزكٕش حذّ أمخم5 ، 4ّ عهّ طزٔقت دٔفزَتٕىاسreagen NaOH أمخم محهُل ّبقذر رماد انذِ ٔبقّ ف5 M ، 2ٌُ ّ عهّ انطزٔقت دٔمٕىٕزانٕساسreagen HCl تزكٕش حذّا أمخم محهُلppm . . مائت50,5 أما كٕتُسان ب،مائت4 ، 45( مائت )عهّ كٕتٕه بDّ مائت درجت دٔأسٕتٕالس0,821 كٕتٕه َ كٕتُسان، كٕتٕه،ٓحُٕان مٕم:
كهمت انزئٕست
PENDAHULUAN Hewan Mimi Hewan mimi merupakan salah satu hewan yang memiliki kaki pada bagian perut yang memanjang seperti kaki pada kepiting. Hewan mimi termasuk kelompok Arthropoda, kelas Arachnoida dan ordo Xiphosura, sebagian besar jenis dalam ordo ini sudah punah, yang masih hidup di laut adalah hewan mimi (king atau Horseshoe crab). Hewan mimi merupakan makanan laut yang halal namun tidak baik sehingga tidak layak dikonsumsi, tapi hal ini bukan berarti bahwa hewan mimi tidak mempunyai manfaat, karena semua ciptaan Allah itu memiliki tujuan dan manfaat tertentu sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 191 yang artinya : “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka” Tidak sia-sia disini dapat diartikan mempunyai manfaat, dengan demikian hewan mimi meskipun tidak layak dikonsumsi namun mempunyai manfaat, salah satunya dalam bidang industri dengan cara mengolah cangkangnya menjadi kitin dan kitosan. Kitin dan Kitosan Kitin berasal dari bahasa Yunani yang artinya “jubah” atau “amplop”, sedangkan kitosan adalah kitin yang mengalami deasetilasi (kehilangan gugus asetil). Kitosan dan kitin termasuk golongan polisakarida. Kitin merupakan senyawa penyusun rangka, terdiri atas satuan Asetil Glukosamin yang berikatan (1→4) beta, seperti yang terlihat pada Gambar 1.
145
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
O
CH3 C NH
CH2OH O
OH
OH O
O
NH
CH2OH
C O
CH3
Gambar 1. Struktur Kimia Kitin (Fitri, 2005) Kitosan memiliki lebih banyak kandungan nitrogen dari pada kitin. Gugus amina dan hidroksil di dalam kitosan menjadikan kitosan bersifat lebih aktif dan bersifat polikationik. Sifat tersebut dapat dimanfaatkan sebagai koagulan logam berat. O
CH3 C
CH2OH
OH
NH O
NH2
HO O
CH2OH
O
O O
CH2OH
OH
NH2
Gambar 2. Struktur Kimia Kitosan (Fitri, 2005) Proses Isolasi Kitin dan Kitosan Isolasi kitin dilakukan secara bertahap. Tahap awal dimulai dengan pemisahan protein dengan larutan basa, yang disebut dengan tahap deproteinasi. Deproteinasi bertujuan untuk memisahkan protein pada bahan dasar cangkang. Pada tahun 1997, Marganof telah melakukan isolasi kitin dari cangkang rajungan menggunakan HCl 2M sebagai reagen demineralisasi dan NaOH 1M sebagai reagen deproteinasi. Pada tahun 2005, Amaria dan Sari juga melakukan isolasi kitin dari cangkang udang menggunakan larutan HCl 1M dan NaOH 3,5%. Perbedaan fisik antara cangkang hewan mimi, cangkang rajungan dan cangkang udang, jika dilihat dari segi kekerasan cangkangnya, maka cangkang rajungan lebih keras dari pada cangkang udang, sedangkang cangkang hewan mimi lebih keras dari pada cangkang rajungan. Mengisolasi kitin dengan cara memvariasikan konsentrasi reagennya akan memberikan informasi tentang konsentrasi optimum dari penggunaan reagen tersebut. Identifikasi Kualitatif Spektrofotometri Infra Merah Identifikasi kitin dan kitosan dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri IR. Spektrofotometri IR digunakan untuk menentukan struktur, khususnya gugus fungsi senyawa organik. Spektrofotometri IR memberikan puncakpuncak maksimal yang sama jelas sebaik puncak minimumnya. Spektrum absorbsi dibuat dengan bilangan gelombang pada sumbu X dan persentase transmitan (T) pada sumbu Y. Metode Kuantitatif Spektrofotometri Infra Merah Metode kuantitatif menggunakan spektrofotometri infra merah dapat dilakukan dengan cara menghitung % transmitansi atau absorbansi. Perhitungan derajat deasetilasi (D%) dari spektra infra merah pada kitin dan kitosan dapat dilakukan dengan cara membandingkan absorbansi pada bilangan gelombang untuk gugus amida-NH (1650146
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
1500) cm-1 (A1655) dengan absorbansi pada bilangan gelombang untuk gugus amina primer (3500-3200) cm-1 (A3450), dengan nilai absorbansi 1,33 pada proses deasetilasi sempurna (Basttaman, 1989).
A 1 D % 1 1655 X A3450 1,33 Pemanfaatan Limbah dalam Perspektif Islam Limbah merupakan sisa suatu proses yang tidak terpakai. Pengolahan limbah berarti mengolah sisa bahan yang tidak terpakai menjadi bahan yang dapat dipakai (bermanfaat). Melakukan pengolahan limbah berarti melakukan suatu kebaikan. Barang siapa yang melakukan suatu kebaikan, maka Allah akan memberikan pahala baginya sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur‟an surat Ali-Imran ayat 172 yang artinya : ”(yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar” METODOLOGI PENELITIAN Alat Alat yang digunakan adalah gelas kimia, pengaduk magnetik stirrer, erlenmeyer, cawan porselin, pipet volume (1, 6 dan 10) ml, oven, gelas pengaduk, kertas saring, penangas air, alat penyaring, neraca analitik, spektronik 20 Milton Roy dan Spektrofotometri IR Shimadzu. Bahan Bahan yang digunakan adalah cangkang hewan mimi, HCl p.a Merck, NaOH Merck, H2SO4 pekat p.a Merck, reagen Nessler Merck p.a , dan aquades. Metode Penelitian Metode Deproteinasi Hewan mimi yang didapat dari laut diambil cangkangnya, kemudian cangkang hewan mimi dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dibawah sinar matahari sampai kering. Selanjutnya dicuci dalam air panas dua kali, lalu direbus selama 10 menit, kemudian ditiriskan dan dikeringkan. Bahan yang sudah kering digiling sampai menjadi serbuk ukuran 60 mesh. Serbuk tersebut dicampur dengan larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan berat antara NaOH dan serbuk cangkang hewan mimi adalah 6:1. Selanjutnya diaduk dengan magnetik stirer selama 1 jam, dibiarkan sebentar, lalu dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam. Campuran kemudian disaring, terdapat residu dan filtrat. Residu didinginkan sehingga diperoleh residu padatan. Residu padatan kemudian dicuci dengan akuades sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam atau dijemur sampai kering, kemudian ditimbang beratnya untuk analisis selanjutnya. Sedangkan filtratnya disimpan untuk uji N-Total. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk variasi konsentrasi NaOH 4,5%, 5,5%, 6,5%, dan 7,5%. Uji N-Total Metode Nessler
147
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
Penentuan Panjang Gelombang Maksimum 5 ml larutan standart 10 ppm dimasukkan dalam labu ukur 25 ml, ditambah 5 ml reagen Nessler 0,044 M, dan ditambah akuades sampai tanda batas, kemudian diukur absorbansinya dengan spektronik 20 pada panjang gelombang 400-425 nm. Preparasi Larutan Contoh 5 ml filtrat hasil deproteinasi, ditambah dengan 2 ml H2SO4 pekat. Larutan dipanaskan sampai diperoleh volume separuhnya, kemudian ditambah dengan NaOH 6 N sampai pH 10 kemudian larutan disaring dengan kertas saring bebas NH3. Filtrat yang diperoleh ditambah dengan 2 ml reagen Nessler, kemudian diencerkan sampai 50 ml, setelah itu diukur dengan spektronik 20 pada panjang gelombang maksimum. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk variasi NaOH 4,5%, 5,5%, 6,5%, dan 7,5%. Preparasi Larutan Standart 5 ml NH4Cl, ditambah dengan NaOH 6 N sampai pH 10, kemudian disaring dengan kertas saring bebas NH3. Filtrat yang diperoleh ditambah dengan 2 ml reagen Nessler, kemudian diencerkan sampai 50 ml, setelah itu diukur dengan spektronik 20 pada panjang gelombang maksimum. Larutan Standart dibuat dengan konsentrasi 0 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, 70 ppm, 80 ppm, 90 ppm, dan 100 ppm. Demineralisasi Metode Demineralisasi 20 gram serbuk cangkang hewan mimi hasil deproteinasi optimum, dicampur dengan asam klorida 1 M dengan perbandingan 10:1 (HCl:serbuk cangkang hewan mimi hasil deproteinasi). Campuran kemudian diaduk menggunakan magnetik stirer sekitar 1 jam, dibiarkan sebentar, kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam. Residu berupa padatan dicuci dengan akuades sampai pH netral. Selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam atau dijemur sampai kering, kemudian ditimbang beratnya untuk analisis selanjutnya. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk konsentrasi HCl 1,5 M, 2 M, 2,5 M, dam 3 M. Analisis Kadar Abu Untuk memperkirakan tingkat demineralisasi dilakukan analisis kadar abu pada residu hasil proses demineralisasi untuk tiap-tiap variasi konsentrasi HCl dengan cara sebagai berikut : 0,1 gram cuplikan ditimbang dalam cawan porselin kemudian dipanaskan dalam furnace hingga suhu 750oC selama 4 jam. Berat sampel sebelum dan sesudah dipanaskan dicatat . Prosedur yang sama juga dilakukan untuk konsentrasi HCl 1 M, 1,5 M, 2 M, 2,5 M, dam 3 M. Deasetilasi Kitin Menjadi Kitosan Kitosan dibuat dengan menambahkan NaOH 50% dengan perbandingan 20:1 (NaOH:kitin). Campuran kemudian diaduk dengan magnetik stirer selama 1 jam dan dibiarkan selama 30 menit, lalu dipanaskan sekitar 90 menit dengan suhu 140oC. Campuran kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan. Residu padatan dicuci dengan akuades sampai dicapai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven 148
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
suhu 70oC selama 24 jam atau dijemur sampai kering. Bentuk akhir dari kitosan dapat berupa serbuk atau serpihan. Identifikasi Cangkang Hewan Mimi, Kitin & Kitosan Dengan Menggunakan Spektrofotometri IR Disiapkan bubuk cangkang hewan mimi 1% dalam KBr kering, sedíaan tersebut kemudian ditumbuk hingga diperoleh ukuran partikel kurang dari 2 µm. Sampel yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam pellet press secara merata. Kemudian pellet press dihubungkan ke pompa kompresi hydraulic dengan kekuatan 100 ton (kg newton) serta dipompa vakum selama 15 menit. Diusahakan pellet yang terbentuk mempunyai tebal 0,3 mm (transparan). Pellet press dibuka secara hati-hati, kemudian pellet yang dihasilkan dipindahkan dengan menggunakan spatula ke dalam sel holder. Alat pencatat spektrofotometri IR diatur dengan kecepatan kertas pada posisi “normal” dan ekspansi transmisi “100 X”. Kemudian skala kertas dicek dengan cara membuat spektrum dari “film polysterin”. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk kitin dan kitosan. HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Sabiq (1989) semua makanan yang berasal dari laut itu semuanya halal, kecuali yang beracun. Hewan mimi berasal dari laut akan tetapi beracun sehingga haram untuk dikonsumsi. Menghilangkan racunnya dengan cara mengolahnya menjadi kitin dan kitosan akan membuat hewan mimi menjadi halal untuk dikonsumsi. Cangkang hewan mimi merupakan salah satu limbah yang dihasilkan dari hewan mimi yang selama ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat, yakni hanya dibuang percuma. Cangkang hewan mimi merupakan ciptaan Tuhan (Allah) sebagai pelindung bagi hewan mimi, oleh sebab itu Allah menciptakan sesuatu tidak sia-sia melainkan punya maksud dan tujuan tertentu, hal ini dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 190-191 yang artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : “Ya tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah tidak menciptakan alam ini dengan sia-sia, tetapi untuk menjadikan kebenaran. Kebenaran adalah penopangnya. Kebenaran adalah undang-undangnya. Kebenaran adalah inti dasarnya. Alam ini berjalan sesuai undangundang, tidak dibiarkan kacau balau. Alam ini berjalan untuk suatu tujuan, tidak diserahkan kepada kebetulan. Alam ini diatur dengan kebenaran tanpa terkontaminasi oleh kebatilan, dalam eksistensi, gerakan dan tujuannya (Aunur, 2001). Allah tidak malu dan tidak segan-segan membuat suatu perumpamaan mahluk sekecil apapun seperti nyamuk untuk diperlihatkan manfaat dan kegunaannya. Begitu pula cangkang hewan mimi, dapat dimanfaatkan untuk pembuatan suatu senyawa kimia tertentu seperti kitin dan kitosan yang sangat banyak manfaat dan kegunaannya. Perumpamaan tersebut telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 26 yang artinya : ”Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu
149
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
(pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasi” Makna yang terkandung dalam ayat tersebut adalah, sekecil apapun ciptaan Allah itu memiliki tujuan tersendiri yang saling terkait dalam kehidupan ini, bahkan sesuatu yang dianggap sampah bagi manusia pada awalnya, memiliki manfaat yang cukup besar pada dasarnya. Seperti halnya cangkang hewan mimi yang pada dasarnya tidak berguna bagi manusia, ternyata dapat memiliki manfaat yang lebih dengan mengolahnya menjadi kitin. Ada banyak fenomena yang harus diketahui kebenarannya dalam penciptaan alam ini, didalamnya bukan hanya ada ketentuan (taqdir), pengaturan (tadbir), namun juga terdapat hikmah dan tujuan (Aunur, 2001). Konsentrasi Optimum NaOH dalam Proses Deproteinasi Proses isolasi kitin dari cangkang hewan mimi dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap yang pertama adalah tahap deproteinasi yaitu tahap penghilangan protein dari cangkang hewan mimi dengan menggunakan reagen NaOH. Kitin yang terdapat pada cangkang hewan mimi berbentuk kristal, sedangkang proteinnya berbentuk non kristal (Anynomous, 2007). Bentuk molekul proteinnya adalah fiber dengan jenis protein keratin, yang memiliki bentuk struktur sekunder. Pada protein dengan bentuk struktur sekunder, ikatan yang terjadi adalah ikatan hidrogen intramolekuler (Poedjiadi, 1994). Ikatan yang mungkin terjadi antara protein dan kitin adalah ikatan hidrogen intermolekuler. Pada tahap deproteinasi dilakukan variasi konsentrasi reagen deproteinasi yang digunakan, dalam hal ini NaOH. Selanjutnya protein yang terlepas ditentukan dengan metode Nessler, yaitu suatu metode untuk menentukan amoniak. Menurut Hawab (2004), asam amino bersifat amfoter yaitu dapat bersifat asam atau basa. Pada suasana larutan basa (pH>7) asam amino akan bersifat asam (donor H+). Sebaliknya, pada suasana asam (pH<7) asam amino akan bersifat basa (aseptor H+). Adapun strukturnya sebagai berikut :
O
OH C
H C NH2 R
asam amino bersifat asam
O C
OH
H C N+H3 R asam amino bersifat basa
Pada metode Nessler filtrat hasil deproteinasi direaksikan dengan H2SO4 pekat dan dipanaskan. Reaksi tersebut bertujuan untuk mengubah nitrogen yang terdapat dalam filtrat menjadi amoniak, setelah itu direaksikan dengan reagen Nessler dalam suasana basa menghasilkan filtrat berwarna kecoklatan kemudian dianalisis dengan spektronik 20 pada panjang gelombang 410 nm. Hasil dari perlakuan tiap-tiap konsentrasi NaOH adalah sebagai berikut ; Tabel 1. Hasil Proses Deproteinasi Konsen Konsen trasi NaOH Absorbansitrasi Protein (ppm) (%) 3,5 0,389 572 4,5 0,409 601 5,5 0,342 503 6,5 0,201 295 7,5 0,119 175
150
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
Konsentrasi Protein (ppm)
Grafik 1. Hubungan Antara Konsentrasi NaOH dengan Konsentrasi Protein 700 600 500 400 300 200 100 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 Konsentrasi NaOH (%)
Pada proses deproteinasi (Grafik 1) diperoleh hasil dengan konsentrasi optimum penggunaan reagen NaOH, adalah 4,5 % dengan nilai konsentrasi protein sebesar 601 ppm. Pada grafik tersebut, terlihat bahwa konsentrasi protein turun setelah perlakuan dengan reagen NaOH diatas 4,5 %. Dilihat dari jenis ikatan yang terjadi antara protein dengan kitin yaitu ikatan intermolekuler yang memiliki energi ikatan lebih rendah dibandingkan energi ikatan kovalen yang terdapat pada struktur kitin, sehingga disaat konsentrasi NaOH diatas 4,5 % terjadi penurunan konsentrasi protein, karena yang terjadi bukan lagi pemutusan ikatan hidrogen intermolekuler antara kitin dan protein akan tetapi diduga terjadi pemutusan gugus asetil. Akibat dari pemutusan gugus asetil dan bukannya pemutusan protein sehingga kadar porotein semakin menurun. Diduga reaksi penghilangan protein (deproteinasi) sesuai dengan diagram reaksi pada Gambar 1. Hal ini dikonfirmasi dengan data perubahan spektra IR antara cangkang hewan mimi dan kitin, yaitu bergesernya serapan NH amida sekunder (-CO-NH-) dan serapan C=O amida sekunder. Pergeseran ini merupakan akibat dari proses deproteinasi yang menyebabkan putusnya ikatan hidrogen intermolekuler antara kitin dan protein. Putusnya ikatan tersebut merubah panjang ikatan pada N-H dan C=O sehingga menyebabkan bergesernya bilangan gelombang pada ikatan tersebut. H R CH
N
CH3
O
C
C
CaCO3 O
O
O
CH2OH
NH
OH
H N
C HO NH N
OH
CH3
R C
HC O
O H C R
CH
H N
C O
Mineral-Kitin-Protein
C
H
NaOH
O
N
H C R
H R CH CH3
O
C O
C
NH
O OH
CH2OH
NH
C O
CH3
R
O
OH
O
+
H N
C HO NH
Kitin-Mineral
R
O R CH
C
C HC O
H
O
N
H C R
CH
C
H N
O H
O
N
H
CH H N
R
N C H C O
C O
N
CH H N
R
N C H C O R H N
R C
O
H
O R H C C H N H C O H N R CO C
HC
CaCO3 HOH2C
H C
C
N
C
R H N
R +
H N C
O R CH
C
C O
R
H H N H C O H N R C
R
O NH
H C
C
HC
CH2OH
C O
H C R
C O
Protein
Gambar 3. Reaksi Deproteinasi Keterangan : ----- = ikatan hidrogen intramolekuler ----- = ikatan hidrogen intermolekuler ----- = ikatan intermolekuler
151
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
Konsentrasi Optimum HCl dalam Proses Demineralisasi Proses demineralisasi menggunakan reagen HCl dengan variasi reagen yang digunakan untuk mengetahui konsentrasi optimum reagen untuk proses demineralisasi. Metode yang digunakan menggunakan metode uji kadar abu, dimana nilai kadar abu terendah pada reagen tersebut merupakan reagen HCl dengan konsentrasi optimum, adapun data yang diperoleh sebagai berikut: Tabel 2. Nilai Kadar Abu Tiap-tiap Konsentrasi HCl Konsentrasi HCl Kadar Abu (M) (%) 1 4,407 1,5 2,968 2 1,243 2,5 0,821 3 1,616 Grafik 2. Hubungan Antara Konsentrasi HCl Dengan Kadar Abu 5.000
Kadar Abu (%)
4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
Konsentrasi HCl (M)
Pada Grafik 2 memberikan informasi bahwa konsentrasi optimum reagen HCl adalah 2,5 M dengan kadar abu sebesar 0,821 %. Menurut Poedjiadi (1994), pada cangkang hewan yang hidup dilaut seperti ikan, udang dan kepiting mengikat mineral seperti Si, Ca, I, dan Br, sedangkan manurut Indra (1993), mineral utama yang terikat pada cangkang hewan adalah CaCO3. Dilihat dari perbedaan spektra IR pada cangkang hewan mimi dan kitin, diduga proses demineralisasi mengakibatkan munculnya serapan C-O eter alifatik, adapun reaksinya diperkirakan sebagai berikut :
HOH2C
O
O
CH3
CaCO3
C NH
OH
O
+ 2HCl
O OH
CH2OH
NH
Kitin-Mineral C CH3
CH3
O
O
C HOH2C
O
NH
OH
O
O OH
CH2OH
NH
Kitin C O
+ CaCl2 + CO2 + H2O CH3
Gambar 4. Reaksi Demineralisasi
Keterangan : ----- = ikatan hidrogen intermolekuler
152
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
Pada konsentrasi HCl 3 M, mengalami kenaikan kadar abu karena diduga ikatan yang terputus bukan ikatan intermolekuler yang terjadi antara kitin dan mineral, akan tetapi yang terjadi adalah reaksi dengan gugus aktif lainnya seperti gugus OH, eter dan gugus karbonil pada amida. Dilihat dari kereaktifan gugus-gugus tersebut, yang paling memungkinkan adalah terjadinya reaksi dengan gugus karbonil (Fessenden, 1986). Karakteristik Gugus Fungsional Pada Cangkang Hewan Mimi, Kitin Dan Kitosan dengan Metode Spektrofotometri Infra Merah. 1.Karakteristik Gugus Fungsional Pada Cangkang Hewan Mimi
Gambar 5. Spektra IR Cangkang Hewan Mimi Pada spektra infra merah cangkang hewan mimi, pita serapan sedang pada daerah bilangan gelombang 3442,70 cm-1 merupakan akibat vibrasi OH intermolekuler. Pita serapan sedang pada bilangan gelombang 3277,80 cm-1 merupakan vibrasi dari rentangan NH amida sekunder. Pita serapan sedang pada bilangan gelombang 2958,60 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi C-H asimetris dari gugus CH3, sedangkan serapan tajam pada bilangan gelombang 2920,03 cm-1 dan 2851,56 cm-1 merupakan vibrasi dari rentangan CH alkana. Pita serapan tajam pada bilangan gelombang 1636,49 cm-1 merupakan vibrasi dari C=O amida sekunder. Pita serapan lemah pada bilangan gelombang 1540,05 cm-1 merupakan vibrasi dari NH amina sekunder, dan pita serapan sedang pada bilangan gelombang 1458,08 cm-1 merupakan vibrasi CH asimetris dari CH3. Vibrasi dari CH alkohol sekunder memberikan serapan lemah pada bilangan gelombang 1401,19 cm-1. Pita serapan sedang pada bilangan gelombang 1238,21 cm-1 dan 1155,28 cm-1 merupakan vibrasi CH amina (Socrates, 1980). Pita serapan pada bilangan gelombang 1110,92 cm-1 merupakan vibrasi C-O alkohol sekunder, sedangkan pita serapan pada bilangan gelombang 1073,31 cm-1 berasal dari vibrasi C-O alkohol primer. Pita sedang pada bilangan gelombang 1033,77 cm-1 merupakan vibrasi C-O asimetris eter alifatik. Pita serapan sedang pada bilangan gelombang 700,11 cm-1 dan 669,25 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi perubahan bentuk NH2 dari amida primer, sedangkan pita serapan sedang pada bilangan gelombang 574,75 cm-1 dan 471,56 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi tekukan NCO amida primer alifatik. 2. Karakteristik Gugus Fungsional Pada Kitin
a)
153
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
b)
Gambar 6. Spektra IR Kitin (a) Kitin Standart (b) Kitin Hasil Percobaan
Pada spektra infra merah kitin hasil isolasi dari cangkang hewan mimi, pita serapan sedang pada bilangan gelombang 3479,34 cm-1 dan 3446,56 cm-1 merupakan vibrasi dari OH intermolekuler. Pita serapan sedang pada bilangan gelombang 3268,15 cm-1 dan 3107,11 cm-1merupakan akibat dari vibrasi NH amida sekunder dan pita serapan tajam pada bilangan gelombang 2876,63 cm-1 merupakan vibrasi rentangan CH alkana. Serapan tajam pada bilangan gelombang 1661,56 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi C=O amida sekunder, sedangkan pita serapan sedang pada bilangan gelombang 1622,02 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi NH amida primer. Vibrasi rentangan C-H asimetris dari CH3 memberikan serapan sedang pada bilangan gelombang 1416,62 cm-1, sedangkan C-H simetris dari CH3 memberikan serapan sedang pada bilangan gelombang 1379,01 cm-1. Serapan sedang – tajam dari bilangan gelombang 1260,39 cm-1 sampai 1204,46 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi CH amina. Vibrasi rentangan C-O asimetris dari eter alifatik memberikan serapan tajam pada bilangan gelombang 1157,21 cm-1, sedangkan vibrasi C-O simetris dari eter alifatik memberikan serapan tajam pada bilangan gelombang 1026,06 cm-1 (Socrates, 1980). Vibrasi C-O alkohol primer memberikan serapan tajam pada bilangan gelombang 1074,28 cm-1 dan vibrasi C-O alkohol sekunder memberikan serapan tajam pada bilangan gelombang 1116,71 cm-1. Serapan sedang dari bilangan gelombang 747,36 cm-1 sampai 615,25 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi perubahan bentuk NH2 amida primer dan serapan sedang – tajam dari bilangan 577,64 cm-1 sampai 387,67 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi tekukan NCO amida primer alifatik. Perbedaan serapan IR antara kitin dan cangkang hewan mimi sebagai berikut : Terjadinya kenaikan intensitas pada bilangan gelombang 3442,70 cm-1 yang berarti terjadinya penurunan pada serapan OH intermolekuler, hal ini dikarenakan konsentrasi dari OH intermolekuler semakin lemah. Bergesernya serapan vibrasi rentangan NH amida sekunder pada bilangan gelombang 3277,80 cm-1 dikarenakan adanya ikatan hidrogen di dalam molekul sehingga ikatan NH semakin panjang yang mengakibatkan bilangan gelombang bergeser ke kanan. Bergesernya serapan C=O amida sekunder pada bilangan gelombang 1636,49 cm-1 dikarenakan ikatan hidrogen yang terjadi memperpanjang ikatan O-H yang asli, akibatnya ikatan C=O semakin panjang sehingga bilangan gelombang bergeser kekanan. Munculnya vibrasi NH amida primer pada bilangan gelombang 1622,02 cm-1 menyebabkan terbentuknya gugus amida primer. Hilangnya serapan NH amina sekunder pada bilangan 1540,05 cm-1 merupakan akibat dari proses deproteinasi dengan larutan NaOH. Kitin mengalami kenaikan intensitas untuk serapan C-O alkohol primer dan sekunder, yaitu pada bilangan gelombang 1074,28 cm-1 dan 1116,71 cm-1 hal ini dikarenakan konsentrasi dari gugus tersebut semakin lemah, sehingga absorbansinya turun yang menyebabkan intensitas transmitannya naik. Munculnya serapan rentangan CO asimetris eter alifatik pada bilangan gelombang 1157,21 cm-1 merupakan akibat dari proses demineralisasi dengan larutan HCl.
154
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
Dilihat dari analisis gugus yang didapat dari spektra IR hasil isolasi kitin dari cangkang hewan mimi, yaitu adanya gugus amida sekunder, C-O eter alifatik, gugus hidroksil, dan goyangan CH3 dapat dikatakan bahwa serbuk yang diperoleh kemungkinan adalah kitin. 3. Karakteristik Gugus Fungsional Pada Kitosan 4.
a)
(a)
(b) Gambar 7. Spektra IR Kitosan (a) Kitosan Standart (b) Kitosan Hasil Percobaan Kitosan merupakan kitin yang terdeasetilasi. Pada spektra infra merah kitosan, pita serapan pada bilangan gelombang 3426,31 cm-1 merupakan vibrasi NH amina primer. Pita-pita serapan tajam pada bilangan gelombang 2980,76 cm-1, 2929,03 cm-1 dan 2853,49 cm-1 merupakan vibrasi rentangan C-H alkana, sedangkan pita serapan tajam pada bilangan gelombang 2521,75 cm-1 dan 2359,74 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi rentangan NH dari amina. Pita serapan lemah pada bilangan gelombang 1647,10 cm-1 merupakan vibrasi dari NH amida primer. Vibrasi NH amina sekunder memberikan serapan pada bilangan gelombang 1530,41 cm-1 dan 1482,19 cm-1. Pita serapan sedang pada panjang gelombang 1447,48 cm-1 merupakan vibrasi dari rentangan C-H asimetris dari CH3, dan pita serapan tajam pada bilangan gelombang 1081,03 cm-1 merupakan vibrasi dari C-O alkohol primer. Vibrasi pembentukan NH2 dari amida primer memberikan serapan sedang pada bilangan gelombang 712,65 cm-1. Perbedaan spektra IR antara kitin dan kitosan sebagai berikut : hilangnya serapan OH intermolekuler pada bilangan gelombang 3426,31 cm-1 karena konsentrasi OH intermolekuler turun, sehingga tidak terdeteksi. Munculnya serapan untuk rentangan CH alkana pada bilangan gelombang 2980,76 cm-1 dan 2920,03 cm-1 dikarenakan konsentrasi CH semakin pekat sehingga serapan dapat terdeteksi. Munculnya rentangan NH dari amina primer pada bilangan gelombang 2521,75 cm-1, 2359,74 cm-1 dan 1786,92 cm-1, hilangnya serapan NH amida sekunder pada bilangan gelombang 3268,15 cm-1dan 3107,11 cm-1, serta hilangnya serapan untuk vibrasi C=O dari amida sekunder pada bilangan gelombang 1661,56 cm-1 merupakan akibat dari proses deasetilasi yang
155
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
mengakibatkan terjadinya pemutusan gugus asetil pada amida sekunder menjadi amina primer. Serapan untuk vibrasi C-O alkohol primer mengalami pergeseran bilangan gelombang, yaitu dari 1074,28 cm-1 menjadi 1081,03 cm-1 dikarenakan ikatan hidrogen intermolekuler yang terjadi memperpanjang ikatan O-H yang asli, akibatnya ikatan C-O semakin panjang sehingga bilangan gelombang bergeser kekanan. Hilangnya serapan CH dari CH3 simetris pada bilangan gelombang 1379,01 cm-1, karena proses deasetilasi. Dilihat dari gugus yang diidentifikasi, yaitu adanya gugus amina primer, hilangnya CH3 dan C=O amida sekunder, dapat disimpulkan bahwa serbuk yang didapat adalah kitosan. Dilihat dari spektra IR kitosan hasil isolasi yaitu masih terdapat serapan CH 3, serta didukung dengan derajat deasetilasi kitosan hasil isolasi yaitu 50,5 %, hal ini menunjukkan bahwa proses deasetilasi yang dilakukan belum optimum. Derajat Deasetilasi Kitin dan Kitosan Perhitungan derajat deasetilasi dari spektra infra merah kitin dan kitosan dilakukan dengan cara membandingkan absorbansi pada bilangan gelombang untuk gugus amida –NHCO (1650 cm-1-1500 cm-1) dengan absorbansi pada bilangan gelombang untuk gugus amina primer –NH2 (3500 cm-1-3200 cm-1). Pada proses deasetilasi kitin yang sempurna, nilai absorbansi (A) untuk vibrasi gugus amida adalah 1,33 (Basttaman, 1989), dari perbandingan tersebut diperoleh derajat deasetilasi kitin sebesar 45,4 % dan derajat deasetilasi kitosan sebesar 50,5 %. Menurut Hayes dalam Fitri (2005), jika derajat deasetilasi < 60 %, maka polimer disebut kitin dan apabila derajat deasetilasi > 60 %, maka polimer disebut kitosan. Sementara Hudson dalam Fitri (2005) menyebutkan kitin terdeasetilasi < 50 % dan apabila > 50 % maka disebut kitosan. Derajat deasetilasi hasil pengisolasian kitosan dari cangkang hewan mimi adalah 45,4 % untuk kitin dan 50,5 % untuk kitosan, dengan begitu hasil tersebut sesuai dengan pernyataan diatas untuk kitin, sedangkan untuk kitosan sesuai dengan pernyataan Hudson (2001). Kesimpulan Pengisolasian kitosan dari cangkang hewan mimi melalui beberapa tahap yaitu tahap deproteinasi, tahap demineralisasi dan tahap deasetilasi. Konsentrasi optimum reagen NaOH yang digunakan pada proses deproteinasi adalah 4,5 % dengan konsentrasi protein yang dapat dilepaskan sebesar 601 ppm. Konsentrasi optimum reagen HCl yang digunakan pada tahap demineralisasi adalah sebesar 2,5 M dengan kadar abu yang tersisa dalam kitin sebesar 0,821 %. Perbedaan spektra IR antara cangkang hewan mimi, kitin dan kitosan adalah bergesernya serapan untuk vibrasi uluran NH amida sekunder pada kitin dan hilangnya serapan uluran NH amida sekunder pada kitosan. Bergesernya serapan C=O amida sekunder pada kitin dan hilangnya serapan tersebut pada kitosan akibat proses deasetilasi. Derajat deasetilasi kitin dari cangkang hewan mimi diperoleh sebesar 45,4 % sedangkan kitosan sebesar 50,5%, hal ini sesuai dengan pernyataan Hudson (2001), kitin terdeasetilasi < 50 %, dan apabila > 50 % maka disebut kitosan. Daftar Pustaka Amaria dan Sari, E. C., 2005, Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang Penaus Monodon sebagai Adsorben Kadmium (II) dalam Medium Air, Indo. J. Chem., Jakarta Diana, A., 2003, Avertebrata Perairan, Universitas Brawijaya Press, Malang Fessenden & Fessenden, 1986, Kimia Organik, Jilid I, Alih bahasa : Pudjaatmaka, H. A., Erlangga, Jakarta Fitri, K., 2005, Kajian Adsorpsi dan Desorpsi Ag (S2O3)23- dalam Limbah Fotografi pada dan dari Adsorben Kitin dan Asam Humat Terimobilisasi pada Kitin, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 156
ALCHEMY, Vol. 2 No. 1 Oktober 2010, hal 104-157
Mahmud, A., A., H., 1998, Fikih Responsibilitas, Gema Insani, Jakarta Marganof, 2003, Potnsi Limbah Udang Srbagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmiun dan Tembaga) di Perairan, http://rueyct.topcities.com /pps702_ 71034/ marganof.htm Quthb, S., 2001, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, jilid 3 dan 4, Alih Bahasa Aunur, R. S. T., Robbani Press, Jakarta Sacrotes, G., 1980, Infrared Characteristic Group Frequencies, John Wiley & Sons, Toronto, New York Sabiq, S., 1989, Fikih Sunnah, Alih Bahasa Marzuki, H., K., A., PT. Al-Maarif, Bandung
157