Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Pengelolaan Keuangan Keluarga Secara Profesional Dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Oleh: Syaparuddin ABSTRAK This study aims to discuss about financial management for family profesionally which is based on the prinsiples of Islam. The financial management for family is very urgent to discuss deeply because it became one of very important instruments to realize a happy family according to Islam. If this could be appllied well, broken home in a family which will bring divorce could be avoided as minimal as possible. In Islam, managing money should be directed to realize virtue as much as possible. Based on this, we have to spend our money to realize virture. This attitude will give us a framework that according to Islam making financial planning for family profesionally has to reach a very nice top goal called FALAH (living prosperously in the world and in the hereafter), avoiding gambling, avoiding monkey business, avoiding usuary, avoding exploitation for someone else, prefering alms giving, and avoiding wasful nature. Key Words: Family, Finance, Management, Profesional, Virtue. Pendahuluan Keuangan tidak terlepas dari kehidupan manusia. Keuangan punya dampak baik positif maupun negatif, tergantung bagaimana sikap dan cara kita mengelolanya.
Sikap
yang
salah
mengakibatkan
kita
terjerat
bahkan
menghancurkan hidup kita. Tak jarang dijumpai keluarga yang mengalami konflik karena permasalahan keuangan. Konflik dalam keuangan memang tidak menyenangkan, karena hal ini dapat mengakibatkan perpecahan, retaknya hubungan pasangan suami istri bahkan menuju perceraian. Hal ini dikuatkan hasil jajak pendapat di Amerika bahwa terdapat sekitar 56% dari permasalahan perceraian disebabkan oleh adanya konflik keuangan dalam rumah tangga.1 Oleh karena itu, diasumsikan sangat penting bagi calon pasangan suami istri untuk mempersiapkan diri sebelum pernikahan atau di awal memasuki keluarga dalam membicarakan kebijakan mereka dalam hal keuangan.
1
Lewis Mandell and Linda Schemid Klein, "The Impact of Financial Literacy Education on Subsequent Financial Behavior", Journal of Financial Counseling and Planning, Volume 20 Issue 1 2009, h. 85.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Untuk menghindari konflik keuangan dalam rumah tangga yang dapat mengarah
kepada
perceraian
maka
pasangan
suami
istri
harus
bisa
mempersiapkan diri untuk mengelola keuangan dalam keluarganya. Keuangan keluarga yang dikelola dengan baik akan menciptakan keharmonisan dan keluarga yang memuliakan Allah swt. Terkait dengan hal tersebut, al-Qur'an telah menyatakannya dalam beberapa ayat, antara lain dalam: (1) QS. 4 (an-Nisa'): 9, dinyatakan bahwa hendaklah takut orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya.2 (2) QS. 2 (al-Baqarah): 240, dinyatakan bahwa orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, yaitu nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah). 3 (3) QS. 59 (alHasyr): 18, dinyatakan bahwa orang-orang yang beriman hendaklah bertakwalah kepada Allah, juga setiap orang hendaklah memperhatikan apa-apa yang telah dipersiapkannya untuk hari esok. 4 (4) QS. 5 (al-Maidah): 2, dinyatakan bahwa hendaklah kalian tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.5 Selain ayat-ayat tersebut di atas, Nabi Muhammad saw juga pernah menyatakan bahwa hendaklah kalian mempersiapkan lima hal sebelum datangnya lima hal, yakni: masa muda sebelum datangnya masa tua, masa sehat sebelum datang sakit, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, dan hidup sebelum mati.
6
Demikian pula yang pernah diungkapkan Nabi Yusuf as. dengan
menerjemahkan mimpi seorang raja pada jamannya untuk segera mempersiapkan diri akan datangnya kesusahan di masa depan, yakni akan datang masa keemasan selama tujuh tahun dan kemudian diikuti oleh masa paceklik selama tujuh tahun. 7 2
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Cet. X (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2003), h. 62. 3 Ibid., h. 31. 4 Ibid., h. 437. 5 Ibid., h. 85. 6 Hadis Riwayat al-Baihaqi dari Ibnu Abbas dalam 'Ism±'il al-Ka¥l±n al-¢an'±n³, Subbu as-Sal±m, Juz II (Dahlan: Bandung, t.th.), h. 137. 7 QS. 12 (Yusuf): 43-49 dalam Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 192.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Hal-hal tersebut di atas adalah dasar-dasar hukum yang dapat digunakan untuk memberikan suatu solusi alternatif terhadap pengelolaan keuangan keluarga berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Jika keuangan keluarga tidak dikelola dengan baik maka keluarga tersebut secara financial akan mengalami berbagai keterbatasan, dan tentunya akan mengakibakan tekanan emosional, mental, sosial, hubungan spritual, dan malas meningkatkan potensi dan keterampilan, bahkan dapat menyebabkan perceraian dalam rumah tangga. Jika demikian adanya, maka hal ini menjadi sangat urgen untuk dibahas dalam tulisan ini karena dapat memberikan solusi alternatif, dan juga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam mewujudkan sebuah keluarga sakinah, sehingga keretakan dalam rumah tangga yang dapat menyebabkan perceraian akibat persoalan keuangan dapat dihindari. Keluarga dan Permasalahan Keuangan Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut. Keluarga yang berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu: kulawarga yakni: ras dan warga yang berarti anggota, adalah lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah.8 Jadi, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Mengutip pendapat Salvicion dan Celis, Baron mengatakan bahwa di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masingmasing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. 9 Dengan demikian, keluarga berperan menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu.
8
Wikipedia, "Defenisi, Fungsi dan Tugas Keluarga", The Free Encyclopedia, Dikutip dari http//:www.wikipedia.co.id, Diakses Tanggal 15 April 2014. 9 R. A. Baron dan Donn Byrne, Psikologi Sosial, Terj. (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 67.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat dalam keluarga, yaitu: Ayah sebagai suami dari isteri dan ayah dari anak-anaknya, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.10 Selain hal tersebut di atas, agar harmonis sebuah keluarga juga harus menjalankan berbagai macam fungsi, yaitu: (1) Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak, (2) Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik, (3) Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman, (4) Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga, (5) Fungsi Agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain setelah dunia, (6) Fungsi Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga, (7) Fungsi Rekreatif 10
Anita L. Vangelis, Handbook of Family Comunication (USA:Lawrence Elbraum Press, 2004), h. 349.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya, dan (8) Fungsi Biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya.11 Terkait dengan fungsi ekonomi di atas, saat ini banyak aturan finansial telah berubah, penyebabnya adalah ekonomi yang tidak menentu, cara berbelanja dan menabung, serta gaya hidup yang berubah. Akibatnya, semakin banyak orang merasa semakin sulit mengatur keuangan pribadi dan keluarganya. Akhirnya, banyak orang yang terlilit utang, gaya hidup modern membuat banyak pengeluaran yang membuat problem keuangan bertambah. Karena itu, harus diyakini bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan jika berpikir dengan jernih untuk mencari solusi yang dilandasi dengan cara yang baik sehingga tercapai kesepakatan bersama. Hal ini dilakukan agar cita-cita dalam mewujudkan keluarga sakinah, menjadi suatu realita pada keluarga kita. Dengan demikian, salah satu faktor penting yang membentuk nuansa keharmonisan dalam rumah tangga adalah pengelolaan keuangan keluarga yang benar dan tepat. Namun perlu digaris bawahi bahwa dalam mengelola keuangan keluarga tidak
ada
ketentuan
yang
mengharuskan
suami
menyerahkan
semua
penghasilannya kepada istri. Dalam hal ini, yang menjadi kewajiban suami adalah memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal layak untuk istri dan anak-anaknya. Sedangkan istri bertugas sebagai bendahara/pengelola keuangan rumah tangga. Suami bertugas melakukan cek, evaluasi, serta persetujuan terhadap perencanaan keuangan yang diatur istri. Dalam sebuah hadits,12 Rasululah saw. menegaskan bahwa istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas tugas kepemimpinanya tersebut. Sebagai seorang bendahara dan pemimpin rumah tangga suami, istri harus diberikan keleluasaan untuk mengatur pembelanjaan sesuai dengan rencana yang disepakati. Oleh karena itu, bila memiliki rencana untuk membantu orang tua
11
Richard R Clayton, The Family, Mariage and Social Change (USA:Lawrence Elbraum Press, 2003), h. 58-60. 12 'Ism±'il al-Ka¥l±n al-¢an'±n³, Subbu as-Sal±m, h. 231.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
harus dimusyawarahkan di antara keluarga dengan sebaik-baiknya. Hak-hak istri dan anak-anak tidak boleh terabaikan, baik untuk masa kini dan masa depan. Dengan begitu tidak ada kecurigaan dari istri. Jika suami dan istri terbuka dalam mengungkapkan keinginan, saling memahami, serta selalu bermusyawarah mencapai kata sepakat termasuk dalam urusan keuangan, maka tidak akan terjadi konflik pada keluarga. 13 Jadi, komunikasi yang baik antara suami istri adalah modal utama untuk sukses dalam mengelola keuangan keluarga. Untuk ini, tindakan menyembunyikan masalah keuangan keluarga dari pasangan harus dihindari, dan jangan mengacuhkan atau menunda penyelesaian masalah-masalah keuangan tersebut karena makin lama ditunda akan makin membahayakan kondisi keuangan keluarga. Sikap dalam Menggunakan Uang Dalam memenuhi kebutuhan hidup, orang tidak dapat melakukan semuanya secara seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan oleh pihak lain, dan untuk mendapatkannnya seorang individu harus menukarnya dengan barang atau jasa yang dihasilkannya. Namun dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan, setiap individu harus menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang dibutuhkannya dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang dimilikinya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi sebagai media pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Al-Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai dinar dan dirham. Uang dalam bahasa Arab disebut “maal”, asal katanya berarti condong,14 yang berarti menyondongkan mereka ke arah yang menarik, di mana uang sendiri mempunyai daya penarik, yang terbuat dari logam misalnya: tembaga, emas, dan perak. 13
S Minuchin, Families and Family Therapy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), h. 349.
Dâr al-Masyriq, al-Munjid Fî Lugah wa al-A‘lâm (Bayrût, Lubnân: Dâr al-Masyriq, 2002), h. 782. 14
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Dalam Islam, uang adalah adalah public good (milik masyarakat), dan oleh karenanya penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) berarti mengurangi jumlah uang beredar. 15 Implikasinya, proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Disamping itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh karenanya, Islam melarang penumpukan/penimbunan harta, memonopoli kekayaan, “al kanzu” sebagaimana telah disebutkan dalam QS. 9 (at-Taubah): 34-35 berikut:
ِ َّاس بِالْح ِ ُّ يا أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا ِ َّا َ ِ ا ِمن ااأل ا ِا اط ِل َ َ َ ِ اللْح َاا لََ ْح ُ ُو َا أ ْحَم َو َاا الن َ َ َ َ ًري َ ْح ِ َّالْح ِ َّ َ ي ْحن ِ ُووَها ِ ِ ِل ال َّ َ يَ ُ ُّ َا َ ْحن َ ِ ِل الَّ ِ َالَّ ِذين يَ ْح نُِ َا َ ُ َ َ َ َ َ الذ َ َ ِّشلُ ي بِ َذ ٍب .اا أَلِ ٍبي َ َ ْح ْح Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orangorang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.16
ِ ِ ِ ِ واُ ْحي َ َذا َما َ نَ ْح ُْحُت ُ َّي َتُ ْح َوى ِبَا جَا ُ ُه ْحي َ ُجنُوبُ ُه ْحي َ ظُ ُه َ يَ ْحوَ ُْح َ َ َْح َها وَاا َج َهن .اوْح ُ ِ ُ ْحي َ ُذ وُوا َما ُ ْحنتُ ْحي َ ْح نُِ َا Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.17 Jauh sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations pada tahun 1776 di Eropa., al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin telah membahas
15
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007),
h. 78. 16 17
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 153. Ibid.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan bahwa uang berfungsi sebagai media penukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maknanya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. 18 Dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan. Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab Muqaddimah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. 19 Misalnya, jika di suatu tempat makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang. Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali. Merujuk kepada alQur'an, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang 18 19
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddi., Juz III (Beirut: Dar al-Khair, 1999), h. 347-348. Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 478-479.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran.
20
Dalam
teori
moneter
modern,
penimbunan
uang
berarti
memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Dalam Islam, target hidup manusia di dunia adalah tercapainya falah. Falah berarti kesuksesan, kemuliaan, atau kemenangan. Kata falah dalam alQuran sering diungkapkan bagi orang-orang yang sukses atau beruntung. 21 Falah dimaknai dengan keberuntungan jangka panjang dunia dan akhirat. Dengan mengusung kepentingan tersebut, berarti falah melingkupi dua dimensi yaitu dimensi materi dan dimensi spiritual. Menurut Akram, untuk dunia falah menggambarkan tiga pengertian yaitu baqa (survival) atau kelangsungan hidup, ghana (freedom of want) atau kebebasan berkeinginan dan ’izz (power and honour) atau kekuatan dan kehormatan. Sedangkan untuk akhirat, falah mencakup baqa’ bila fana’ (eternal survival) atau kelangsungan hidup yang abadi, ghana bila faqr (eternal prosperity) atau kesejahteraan abadi, izz bila dhull (everlasting glory) atau kemualiaan abadi dan ’ilm bila jahl (knowledge free of all ignorance) atau pengetahuan abadi (bebas dari kebodohan).22 Falah akan dapat terwujud apabila kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Kondisi di mana terpenuhinya kebutuhan dasar manusia disebut maslahah. Mengutip pendapat as-Syatibi, Misanam mengatakan bahwa kebutuhan dasar manusia terdiri dari agama (ad-din), jiwa (nafs), intelektual (‘aql), keturunaan (nash) dan harta (maal). Penjelasan as-Syatibi ini menurut Misanam menggaris bawahi bahwa maal (uang) adalah salah satu komponen yang harus dipenuhi agar kondisi maslahah tercapai.23 Dari sini terdapat benang merah antara harta (uang)
20
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz III, h. 397. Munrokhim Misanam, Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2009), h. 2-4, dikatakan bahwa kata falah dalam al-Quran ditunjukkan dengan kata muflihun (QS 3:104 ; QS 7:8,157 ; QS 9: 88 ; QS 23: 102 ; QS 24: 51) dan aflah (QS 23: 1 ; QS 91: 9). 22 Muhammad Akram Khan, An Introduction to Islamic Economics (Islamabad-Pakistan: International Institue of Islamic Thought and Institute of Policy Studies, 1994), h. 92. 23 Munrokhim Misanam, Ekonomi Islam, h. 5-7, menyebutkan bahwa maslahah dalam alquran sering disebut dengan istilah manfa’at atau manafi’ yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, psikologis hal-hal indrawai lainnya (QS 6:76, QS 14:5, QS 17:28, QS 18: 21, QS 27: 55). Maslahah sering diungkap dengan istilah lain seperti hikmah, huda, barakah, yang 21
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
yang harus dikelola dengan kemaslahatan yang harus diwujudkan. Jadi dalam konteks keislaman, pengelolaan harta/keuangan yang dilakukan harus dalam koridor dalam rangka pemenuhan kemaslahatan. Dengan demikian sikap kita dalam menggunakan uang harus berpatokan kepada kemaslahatan, yakni orientasi uang yang digunakan untuk memproteksi agama, jiwa, keturunan, ilmu pengetahuan dan harta benda yang dimiliki. Perencanaan Keuangan Keluarga Secara Profesional Sikap dalam menggunakan uang sebagaimana telah dijelaskan pada sub pembahasan di atas, melahirkan suatu stereotip bahwa dalam Islam membuat perencanaan keuangan keluarga harus bertujuan untuk mencapai falah (sejahtera dunia dan akhirat), menghindari cara-cara yang maisir, gharar, riba dan zalim baik dalam
mengumpulkan
pendapatan
maupun
dalam
membelanjakannya,
mengutamakan sadaqah meskipun rizki sedang sempit, dan menjauhi sifat boros. Secara teknis membuat perencanaan keuangan keluarga tidaklah susah atau rumit diterapkan. Namun sayangnya, ilmu perencanaan keuangan keluarga tidak atau jarang diajarkan di lembaga-lembaga formal. Manajemen keuangan yang dipelajari di lembaga-lembaga formal adalah manajemen keuangan untuk perusahaan (corporate finance). Mengutip pendapat Antony Japari, 24 hal awal yang harus dilakukan dalam membuat perencanaan keuangan keluarga secara profesional agar tujuan tersebut di atas dapat tercapai, yaitu: (1) menentukan tujuan keuangan keluarga, baik jangka pendek, menengah, dan panjang, (2) mengetahui kemampuan keuangan saat ini dan potensi keuangan di masa depan, (3) membuat laporan arus kas, laporan neraca, dan anggaran keuangan keluarga, (4) dalam melakukan investasi, profil risiko pribadi perlu diketahui, apakah konservatif, moderat. atau agresif, dan (5) mengetahui cara atau model perencanaan keuangan yang efektif dan mudah dipahami.
berarti imbalan baik yang dijanjikan oleh Allah swt. di dunia maupun di akhirat (QS 2: 269, QS 24: 41). Jadi maslahah mengandung pengertian kemanfatan duniawi dan akhirat. 24 Antony Japari, "Konsep Perencanaan Keuangan Keluarga", Dokumen Internal, Financial Planner Assosiasi Indonesia, 23 Agustus 2012.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Untuk poin kelima, model perencanaan keuangan yang mudah diterapkan menurut Antony Japari yaitu model yang dikenal dengan istilah Piramida Keuangan,25 seperti yang digambarkan di bawah ini:
Model ini lahir dari konsep bahwa membuat perencanaan keuangan sama seperti membangun rumah. Semuanya berawal dari fondasi yang kuat sehingga bangunan di atasnya bisa kuat menghadapi badai topan. Jadi, perencanaan keuangan itu seperti membangun rumah keuangan di mana fondasinya harus kuat sehingga apabila terjadi badai atau krisis keuangan, maka keluarga tetap aman secara finansial. Pada gambar Piramida Keuangan, ada enam kotak di bawah piramida, yaitu enam buah batu yang merupakan fondasi bagi bangunan di atasnya. Sebagaimana dalam membangun sebuah rumah, fondasinya merupakan sesuatu hal yang paling penting agar rumah itu kuat dan tidak akan ambruk apabila diterpa hujan dan badai sekalipun. Dalam bangunan keuangan keluarga, terdapat enam batu fondasi sebagai proteksi kekayaan keluarga apabila terjadi badai keuangan yang menimpa keluarga kita. 25
Ibid.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Batu pertama adalah kebutuhan dasar (basic needs). Artinya, apabila kita sudah memiliki penghasilan, tentu saja yang akan dipenuhi terlebih dahulu adalah kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, dan papan. Setelah kebutuhan dasar untuk diri kita dan keluarga terpenuhi, kita bisa beralih ke batu fondasi yang berikutnya. Batu fondasi kedua adalah proteksi keluarga (family protection). Apabila uang kita sudah berlebih setelah kebutuhan dasar terpenuhi, maka keamanan keluarga adalah prioritas yang perlu kita perhatikan. Proteksi keluarga bertujuan untuk memproteksi keamanan keluarga kita dari berbagai risiko. Proteksi keluarga terdiri atas dua jenis, yaitu proteksi aset dan proteksi pendapatan. Proteksi aset artinya, kita melakukan proteksi atas aset yang kita miliki dari risiko kehilangan, kebakaran, ataupun kerusakan. Umumnya, proteksi aset ini berupa asuransi umum, seperti asuransi kendaraan bermotor dan asuransi rumah tinggal, kantor atau pabrik. Sedangkan proteksi pendapatan artinya, kita melakukan proteksi atas pendapatan kita sebagai kepala keluarga apabila tertimpa sakit, cacat, atau meninggal. Dengan kata lain, apabila seorang kepala keluarga terkena risiko sakit, cacat, atau meninggal, maka pendapatan bulanan yang seharusnya hilang karena terjadinya risiko, tetap tersedia bagi keluarga yang ditinggalkan, sama seperti apabila kepala keluarga tersebut sehat dan bekerja seperti biasa. Inilah yang dimaksud dengan proteksi pendapatan. Batu fondasi yang ketiga adalah dana darurat (emergency fund). Dana ini berguna apabila terjadi sesuatu yang sifatnya darurat, misalnya kendaraan milik keluarga rusak dan membutuhkan perbaikan dengan biaya besar, atau yang lebih tragis di-PHK. Umumnya, besarnya dana darurat adalah tiga sampai enam kali pendapatan bulanan. Itulah ketiga batu fondasi piramida keuangan kita. Sedangkan yang terkait dengan dana pendidikan anak, dana pensiun, dan warisan merupakan batu fondasi keempat, kelima, dan keenam. Aturan Penggunaan Keuangan dalam Keluarga Seorang kepala rumah tangga yang berpenghasilan ratusan juta rupiah bisa mengalami shock ketika menemukan uangnya tinggal Rp. 500.000 sebelum akhir bulan. Karena itu aturan penggunaan keuangan dalam keluarga harus dapat
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
dipahami dan diterapkan dengan baik jika tidak ingin shock sebelum akhir bulan. Jika mengacu pada kerangka pengelolaan keuangan dalam Islam yaitu untuk mencapai falah dan tahapan untuk mencapai falah maka pemanfaatan pendapatan harus mencakup tujuan kebahagiaan hidup di dunia dan kesuksesan hidup di akhirat. Pernyataan di atas mensiratkan bahwa masalah keuangan keluarga bukan terletak pada penghasilan yang kurang, tapi kebiasaan yang salah dalam mengelola uang. Jika demikian adanya, maka secara sederhana menurut Ligwina hal-hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan keuangan dalam keluarga, yaitu: 26 (1) memahami portofolio keuangan keluarga, (2) menyusun rencana keuangan atau anggaran, (3) memikirkan secara seksama pengertian antara butuh dan ingin, (4) menghindan hutang, (5) meminimalkan belanja konsumtif, (6) menetapkan tujuan atau cita-cita finansial, (7) menabung, dan (8) berinvestasi. Pertama, memahami portfolio keuangan keluarga. Setiap kepala rumah tangga harus tahu isi tabungannya, jumlah tagihan listrik, telepon, servis mobil, belanja, biaya periksa dokter dan lainnya. Demikian juga harus tahu berapa hutang kartu kredit, pinjaman bank atau cicilan rumah dan mobil. Kedua, menyusun rencana keuangan atau anggaran. Rencana keuangan yang realistis membantu setiap keluarga bersikap obyektif soal pengeluaran yang berlebihan. Tidak perlu terlalu ideal, sehingga lupa kebutuhan diri sendiri. Namun, tak ada salahnya memasukkan kebutuhan pergi ke salon, spa atau clubbing, yang penting harus dianggarkan jumlah yang realistis dan patuh dengan anggaran tersebut. Ketiga, memikirkan lebih seksama pengertian antara “butuh” dan “ingin”. Orang sering membelanjakan uang untuk hal yang tak terlalu penting atau hanya didorong keinginan, bukan kebutuhan. Karena itu, kita harus membuat daftar berupa tabel yang terdiri dari kolom untuk item belanja, kebutuhan dan keinginan. Setelah mengisi kolom item belanja, kolom “kebutuhan” dan “keinginan” harus
26
Liqwina, "Cara Sederhana Mengelola Keuangan Keluarga", Dokumen Internal, Financial Planner Assosiasi Indonesia, 23 Agustus 2012.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
diisi dengan tanda cek (V). Dari sini dapat dipertimbangkan dengan lebih matang tentang benda atau hal yang perlu dibeli/penuhi atau tidak. Keempat, menghindari hutang. Godaan untuk hidup konsumtif semakin besar. Namun bukan berarti dengan mudah kita bisa membeli berbagai benda secara kredit. Karena itu, kita harus bisa menumbuhkan kebiasaan keuangan yang sehat dimulai dari yang sederhana, seperti tak memiliki hutang konsumtif. Kelima, meminimalkan belanja konsumtif. Bertemu teman lama untuk bertukar pikiran di kafe terkadang memang perlu, tapi tak berarti kita harus melakukannya di setiap Jumat sore. Kita bisa gunakan pengeluaran ini untuk menabung atau memenuhi kebutuhan lain. Keenam, menetapkan tujuan atau cita-cita finansial. Kita harus bisa menyusun target keuangan yang ingin dicapai secara berkala, bersama pasangan. Dengan demikian, tujuan spesifik, realistis, terukur dan dalam kurun waktu tertentu harus ditetapkan. Tujuan ini membantu kita lebih fokus merancang keuangan. Misalnya, bercita-cita punya dana pendidikan prasekolah berstandar internasional dan sebagainya. Ketujuh, menabung. Kita harus bisa mengubah kebiasaan dan pola pikir segera setelah menerima gaji, menyisihkan sebagian untuk tabungan dalam jumlah yang telah direncanakan sesuai tujuan atau cita-cita finansial keluarga. Sebaiknya, setiap keluarga memiliki rekening terpisah untuk tabungan dan kebutuhan sehari-hari. Kedelapan, berinvestasi. Tentu kita tidak akan puas dengan hanya menunggu tabungan menjadi banyak, karena setiap keluarga memiliki cita-cita yang sangat banyak. Inilah saat yang tepat untuk memikirkan investasi. Kini bentuknya macam-macam. Tak perlu khawatir akan risiko investasi, kita hanya perlu belajar pada ahlinya. Karena itu, kondisi keuangan keluarga harus dikonsultasikan dengan ahli keuangan yang handal. Penutup Dalam konteks keislaman, pengelolaan harta/keuangan yang dilakukan harus dalam koridor pemenuhan kemaslahatan. Sikap ini melahirkan suatu
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
stereotip bahwa dalam Islam membuat perencanaan keuangan keluarga harus bertujuan untuk mencapai falah (sejahtera dunia dan akhirat), menghindari caracara yang maisir, gharar, riba dan zalim baik dalam mengumpulkan pendapatan maupun dalam membelanjakannya, mengutamakan sadaqah meskipun rizki sedang sempit, dan menjauhi sifat boros. Secara teknis membuat perencanaan keuangan keluarga tiadaklah susah atau rumit diterapkan. Hal awal yang harus dilakukan, yaitu: (1) menentukan tujuan keuangan keluarga, baik jangka pendek, menengah, dan panjang, (2) mengetahui kemampuan keuangan saat ini dan potensi keuangan di masa depan, (3) membuat laporan arus kas, laporan neraca, dan anggaran keuangan keluarga, (4) dalam melakukan investasi, profil risiko pribadi perlu diketahui, apakah konservatif, moderat. atau agresif, dan (5) mengetahui cara atau model perencanaan keuangan yang efektif dan mudah dipahami. Mengacu pada kerangka pengelolaan keuangan keluarga tersebut di atas maka pemanfaatan pendapatan harus mencakup untuk tujuan kebahagiaan hidup di dunia dan kesuksesan hidup di akhirat. Oleh karenanya, masalah keuangan keluarga bukan terletak pada penghasilan yang kurang, tapi kebiasaan yang salah dalam mengelola uang. Jika demikian adanya, maka secara sederhana hal-hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan keuangan dalam keluarga, yaitu: (1) memahami portofolio keuangan keluarga, (2) menyusun rencana keuangan atau anggaran, (3) memikirkan secara seksama pengertian antara butuh dan ingin, (4) menghindan hutang, (5) meminimalkan belanja konsumtif, (6) menetapkan tujuan atau cita-cita finansial, (7) menabung, dan (8) berinvestasi.
Al-Risalah-Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 1 No. 1 Juli 2014: 76-91
Daftar Pustaka Baron, R. A. dan Donn Byrne, Psikologi Sosial, Terj., Jakarta: Erlangga, 2003. Clayton, Richard R, The Family, Mariage and Social Change, USA:Lawrence Elbraum Press, 2003. Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2003. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz III, Beirut: Dar al-Khair, 1999. Japari, Antony, "Konsep Perencanaan Keuangan Keluarga", Dokumen Internal, Financial Planner Assosiasi Indonesia, 23 Agustus 2012. Khaldun, Ibnu, al-Muqaddimah, Beirut: Dar al-Fikr, 1988. Khan, Muhammad Akram, An Introduction to Islamic Economics, IslamabadPakistan: International Institue of Islamic Thought and Institute of Policy Studies, 1994. Liqwina, "Cara Sederhana Mengelola Keuangan Keluarga", Dokumen Internal, Financial Planner Assosiasi Indonesia, 23 Agustus 2012. Mandell, Lewis and Linda Schemid Klein, "The Impact of Financial Literacy Education on Subsequent Financial Behavior", Journal of Financial Counseling and Planning, Volume 20 Issue 1 2009. Minuchin, S., Families and Family Therapy, Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999. Misanam, Munrokhim, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2009. al-¢an'±n³, 'Ism±'il al-Ka¥l±n, Subbu as-Sal±m, Juz II, Dahlan: Bandung, t.th. Vangelis, Anita L., Handbook of Family Comunication, USA:Lawrence Elbraum Press, 2004. Wikipedia, "Defenisi, Fungsi dan Tugas Keluarga", The Free Encyclopedia, Dikutip dari http//:www.wikipedia.co.id, Diakses Tanggal 15 April 2014.